You are on page 1of 16

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Strategi Pembelajaran Afektif

Belajar dipandang sebagai upaya sadar seorang individu untuk


memperoleh perubahan perilaku secara keseluruhan, baik aspek kognitif,
afektif dan psikomotor. Namun hingga saat ini dalam praktiknya, proses
pembelajaran di sekolah tampaknya lebih cenderung menekankan pada
pencapaian perubahan aspek kognitif (intelektual), yang dilaksanakan melalui
berbagai bentuk pendekatan, strategi dan model pembelajaran tertentu.
Sementara, pembelajaran yang secara khusus mengembangkan kemampuan
afektif tampaknya masih kurang mendapat perhatian. Kalaupun dilakukan
mungkin hanya dijadikan sebagai efek pengiring (nurturant effect) atau
menjadi hidden curriculum, yang disisipkan dalam kegiatan pembelajaran
yang utama yaitu pembelajaran kognitif atau pembelajaran psikomotor.
Secara konseptual maupun emprik, diyakini bahwa aspek afektif
memegang peranan yang sangat penting terhadap tingkat kesuksesan
seseorang dalam bekerja maupun kehidupan secara keseluruhan. Meski
demikian, pembelajaran afektif justru lebih banyak dilakukan dan
dikembangkan di luar kurikulum formal sekolah. Salah satunya yang sangat
populer adalah model pelatihan kepemimpinan ESQ ala Ari Ginanjar.
Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual dan
keterampilan, karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah
berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari. Hal-hal diatas
menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar yang
berbeda dari mengajar segi kognitif dan keterampilan.
Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya
bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan
untuk mencapai dimensi yang lainnya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif
berhubungan dengan volume yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 7
seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian
behavioral yang di akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Sikap afektif erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki seseorang.
Sikap ini merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki tersebut. Maka dari itu,
pendidikan sikap merupakan pendidikan nilai.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusian yang
sifatnya tersebunyi atau dapat ikatakan tidak beraa dalam dunia empiris. Nilai
berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan
tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya.
Pandangan ini tidak dapat diraba, tetapi kita hanya mungkin dapat
mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Maka dari itu, nilai pada
dasarnya merupakan standart perilaku dan ukuran untuk menentukan
pandangan tersebut, sehingga standart tersebut akan mewarnai seseorang.
Jadi, pendidikan pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta didik
yang diharapkan oleh karenanya siswa apat berperilaku sesuai dengan
pandangan yang dianggapnya baik maupun yang bertentangan dengan norma
yang berlaku.
Douglas Graham melihat 4 faktor yang merupakan dasar kepatuhan
seseorang terhadap nilai tertentu :

a) Normativist
Kepatuhan terhadap norma hukum, dalam hal ini juga dibagi menjadi 3
bentuk yaitu :
 Kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri
 Kepatuhan pada proses tanpa mempedulikan normanya sendiri
 Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkan dari peraturan
tersebut.
b) Integralist
Kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan yang
rasional.

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 8
c) Fenomenalist
Kepatuhan yang berdasarkan suara hati atau sekedar basa basi
d) Hedonist
Kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri

Dalam hal ini yang menjadi kepatuhan individu adalah kepatuhan yang
bersifat normativist, sebab kepatuhannya didasarkan atas nilai dan tanpa
memperdulikan apakah perilaku tersebut bermanfaat untuk dirinya atau tidak.
Dari sumber yang sama, juga terapat 5 tipe kepatuhan :

a) Otoritarian
Yaitu kepatuhan tanpa reserve atau dapat dianggap kepatuhan yang
bersifat ikut-ikutan
b) Conformist
Kepatuhan ini mempunyai 3 bentuk yaitu :
 Conformist directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat
atau orang lain
 Conformist hedonist, kepatuhan yang berorientasi paa untung rugi
 Conformist integral, kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri
sendiri dengan masyarakat
 Compulsift devian, Kepatuhan yang tidak konsisten
c) Hedonik psikopatik
Kepatuan pada kekayaan tanpa memperhitungkan orang lain
d) Supramoralist
Kepatuhan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.

Dengan adanya masyarakat yang mudah berubah pada saat ini,


pendidikan nilai bagi anak sangatlah penting. Karena dengan adanya era
global yang saat ini sedang berkembang, anak akan dihadapkan pada banyak
pilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya baik. Pertukaran dan
pengikisan nilai dalam suatu masyarakat akan mungkin akan terjadi secara
terbuka. Nilai yang dianggap baik bagi masyarakat bukan tak mungkin akan

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 9
luntur dan diganti oleh nilai yang baru yang belum tentu cocok dengan
budaya masyarakat.
Nilai bagi seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah dan
seseorang akan menganggap hal itu baik jika sesuai dengan pandangannya
saat itu, maka dari itu perlu adanya pembinaan dan pengarahan terhadap nilai
yang dimiliki seseorang. Misalnya, jika seseorang menganut nilai agama
merupakan nilai yang paling benar, maka dia akan melakukan hal yang
disesuaikan dengan nilainya, jika hal tersebut dianggapnya bertentangan,
maka dia akan menganggap hal tersebut salah.
Komitmen seseorang terhadap nilai terjadi melalui pembentukan sikap,
yaitu kecenderungan seseorang terhadap suatu objek. Jika seseorang sedang
dekat dengan suatu objek, maka dia akan menunjukkan gejala senang atau
tidak senang. Begitu juga seseorang saat sedang berhadapan dengan
pendidikan sebagai suatu objek, dia juga akan menunjukkan perasaan yang
senang atau sebaliknya. Gulo menyimpulkan nilai sebagai berikut .

a) Nilai tidak dapat diajarkan akan tetapi diketahui dari penampilannya.


b) Pengembangan dominan afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari
aspek kognitif dan psikomotorik
c) Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah,
berkembang, sehingga bisa dibina.
d) Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui
tahap tertentu

Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak


suatu objek berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Berarti
belajar sikap adalah kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu
objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut sebagai hal yang berguna
atau berguna (sikap positif) dan begitu juga sebaliknya. Sikap merupakan
suatu kemampuan internal yang berperanan sekali dalam mengambil

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 10
tindakan, lebih-lebih jika terbuka kemungkinan untuk bertindak atau tersedia
beberapa alternatif (Winkel, 2004)
Tingkat pemahaman atau kognitif suatu objek akan sangat
mempengaruhi tingkat kesenangana atau ketidaksenangan seseorang, maka
dari itu tingkat penalaran dan tindakan selanjutnya terhadap objek akan turut
menentukan sikap seseorang tersebut terhadap objek. Misalnya seseorang
dapat memberikan penjelasan kenapa mencuri itu dilarang, dia akan dapat
menjelaskan menggunakan norma apapun (kognitif), dan berdasarkan hal
tersebut dia tidak suka melakukannya (afektif). Hal ini juga akan
mempengaruhi dia dalam hal melakukannya, sekalipun ada kesempatan untuk
dia dalam melakukan hal tersebut dia tetap tidak akan melakukannya, karena
dianggap tidak sesuai dengan keinginannya.

B. Proses Pembentukan Sikap


a) Pola pembiasaan
Cara belajar ini menjadi dasar penanaman sikap tertentu terhadap
suatu objek. Hal ini biasanya dilakukan dilingkungan sekolah, secara tidak
langsung guru dapat menanamkan kebiasaan tersebut kepada siswanya
melalui proses pembiasaan. Misalnya, siswa selalu menerima perlakuan
yang kurang menyenangkan dari guru, maka anak lama kelamaan akan
merasa benci pada guru tersebut dan secara tidak langsung dia akan
mengalihkan hal tersebut juga pada pelajarannya. Dalam hal ini jika
mengembalikan pada hal yang bersifat positif akan lebih sulit. Percobaan
tersebut secara tidak langsung telah dilakukan oleh watson yang mana
menjadikan anak yang tadinya sangat senang pada tikusnya, ,menjadi takut
dan tidak suka. Karena tiap dia ingin mengambil tikus tersebut, dia
mendengar bentakan yang keras.
Menurut Skinner melalui teorinya operant conditioning, yang mana
menekankan pada proses peneguhan respon anak. Saat anak mendapatkan
prestasi, maka dia diberi penguatan (reinforcement) dengan memberikan

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 11
hadiah atau perilaku yang menyenangkan. Maka anak secara tidak
langsung akan meningkatkan sikap positifnya tersebut.

b) Modeling

Pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses


mencontoh, karena salah satu karakteristik anak didik yang sedang
berkembang adalah meniru (imitasi). Hal yang ditiru adalah perilaku yang
diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang menjadi idolanya.
Peniruan inilah yang disebut dengan modeling, yaitu proses peniruan anak
terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau yang dihormatinya.
Permodelan ini dimulai dengan rasa kagum. Misalnya, seorang
anak kagum terhadap kepintaran gurunya, maka hal tersebut akan
mempengaruhi emosi anak dan perlahan-lahan anak tersebut akan
melakukan perilaku yang dilakukan gurunya. Jadi jika idolanya melakukan
perilaku tertentu terhadap objek, maka anak akan cenerderung melakukan
hal yang dilakukan oleh idolanya.
Proses penanaman sikap anak terhadap suatu objek melalui proses
modeling pada mulanya akan dilakukan dengan proses mencontoh, namun
anak harus diberi pemahaman dengan apa yang dilakukan. Hal ini
diperlukan agar sikap yang muncul benar-benar disadari oleh keyakinan
terhadap sistem nilai.

C. Model Strategi Pembelajaran dan Penerapannya


Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan
siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi problematis, melalui
situasi ini di harapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai
yang dianggapnya baik. Berikut akan dipaparkan beberapa mengenai model –
model dari strategi pembelajaran afektif.
a) Model Konsiderasi
Model konsiderasi (the consideration) di kembangkan oleh Mc
Paul, seorang humanis, Paul menganggap bahwa pembentukan moral

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 12
tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Menurutnya
pembentukan atau pembelajaran moral siswa adalah pembentukan
kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini
menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk
kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang
memiliki kepribadian terhadap orang lain, saling memberi dan menerima
dengan penuh cinta dan kasih sayang. Dengan demikian, pembelajaran
sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan
kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli, dan
merasakan apa yang dirasakan orang lain (tepo seliro).
Dari uraian diatas memberikan pengetahuan kepada peserta didik
bahwasanya guru sepatutnya menjadi trade center dalam bersikap, hal ini
dapat dilakukan dengan bagaimana memperlakukan setiap siswa dengan
rasa hormat, menjauhi sikap otoriter,selain itu guru juga dituntut mampu
menciptakan suana kebersamaan, saling membantu, saling menghargai,
dsb.
Pada bukunya, Dr. Wina Sanjaya, M.pd mengatakan bahwa
Implementasi model konsidersi guru dapat mengikuti tahap – tahapan
sebagai berikut ;
1. Menghadapkan siswa paa suatu masalah yang mengandung konflik
yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, yang mana dalam hal
ini siswa seakan-akan turut merasakan masalah yang sedang dihadapi.
2. Menyuruh siswa menganalis situasi masalah dengan melihat dan bukan
hanya yang tampak, tetapi yang tersirat dalam permasalahan, misalnya
: perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain.
3. Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap
permasalahan yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat
menelaah perasaannya sendiri sebelum dia mendengar respon orang
lain untuk dibandingkan.
4. Mengajak siswa untuk menganalisis respon orang lain serta membuat
kategori dari setiap respon yang diberikan siswa.

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 13
5. Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari
setiap tindakan yang diusulkan siswa. Dalam tahapan ini siswa diajak
berpikir tentang segala kemungkinan yang akan timbul sehubungan
engan tindakannya. Guru perlu menjaga agar siswa dapat menjelaskan
argumennya secara terbuka serta dapat saling menghargai pendapat
orang lain. Diupayakan agar perbedaan pendapat tumbuh dengan baik
sesuai dengan titik pandang yang berbeda.
6. Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut
pandang (interdisipliner) untuk menambah wawasan agar mereka
dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimiliki.
7. Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus
dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya
sendiri. Guru hendaknya menilai beanr atau salah atas pilihan siswa.
Yang diperlukan adalah guru dapat membimbing mereka menentukan
pilihan yang lebih matang sesuai dengan pertimbangannya sendiri.
b) Model pengembangan kognitif
Model ini dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. John Dewey
dan Jean Piaget berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai
proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-
angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu
berkembang melalui 3 tingkat dan setiap tingkat tediri dari 2 tahap,
1. Tingkat prokonvensional
Saat ini individu memandang moral berdasarkan kepentingannya
sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya
secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat
oleh masyarakat. Pada tingkat ini terdapat 2 tahap :
 Orientasi hukuman dan kepatuhan
Didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi.
Artinya, anak hanya berpikir bahwa perilaku yang benar adalah
perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman, jadi peraturan
harus dipenuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negatif.

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 14
 Orientasi instrumental relatif
Didasarkan kepada rasa adil berdasarkan aturan permainan
yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas
perilaku kita yang dianggap baik. Dengan demikian, perilaku
tersebut didasarkan kepada saling tolong dan saling memberi.

2. Tingkat konvensional
Pada tahap ini mendekati masalah yang didasarkan pada hubungan
nindividu masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa
perilaku itu harus sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku
di masyarakat. Dengan demikian, pemecahan masalah bukan hanya
didasarkan pada rasa keadilan belaka, akan tetapi dilihat berdasarkan
cocok tidaknya pemecahan masalah dengan norma yang ada di
masyarakat. Pada tingkat konvensional mempunyai 2 tahap, yang
mana kelanjutan dari tahap prokonvensional.
 Keselarasan interpersonal
Ditandai dengan setiap perilaku yang ditampilkan inividu
didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain.
Kesadaran mulai tumbuh bahwa ada orang lain di luar dirinya
untuk berperilaku sesuai dengan harapannya. Artinya, anak sadar
bahwa ada hubungan antara dirinya dengan orang lain dan
hubungan itu tiak boleh dirusak.
 Sistem sosial dan kata hati
Perilaku inividu bukan didasarkan pada dorongan untuk
memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya, akan tetapi
didasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat. Hal ini berarti
telah terjadi pergeseran dari kesadaran individu kepada kesadaran
sosial. Artinya, aqnak sudah menerima adanya sistem sosial yang
mengatur perilakunya.
3. Tingkat postkonvensional
Perilaku bukan hanya didasarkan kepatuhan terhadap norma
masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 15
sesuai dengan nilai yang dimiliki oleh individu, tingkat ini juga
mempunyai 2 tahap yaitu :
 Kontak sosial
Didasarkan pada kebenaran yang diakui oleh masyarakat.
Kesadaran ini untuk berperilaku tumbuh karena kesadaran untuk
menerapkan prinsip sosial. Dengan demikian, kewajiban moral
dipandang sebagai kontrak sosial yang harus dipatuhi, bukan hanya
sekedar pemenuhan sistem sosial.
 Prinsip etis yang universal
Perilaku manusia didasarkan pada prinsip universal. Segala
tindakan bukan hanya didasarkan pada suatu kewajiban sebagai
manusia. Setiap individu wajib menolong orang lain, dan
pertolongan yang diberikan bukan didasarkan pada alasan
subjektif, tetapi didasarkan pada kesadaran yang bersifat universal.
Sesuai dengan prinsi bahwa moral terjadi secara bertahap,
maka strategi pembelajaran model ini diarahkan untuk membantu
agar setiap individu meningkat dalam perkembangan moralnya.
c) Teknik mengklarifikasi nilai
Teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan
menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu
persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam
dalam diri siswa.
Kelemahan yang terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap
yaitu dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai
yang dianggapnya baik tanpa memperhaitkan nilai yang sudah tertanam
dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau konflik dalam
diri siswa karena ketidakcocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk
dengan nilai yang baru yang ditanamkan oleh guru. Dalam hal ini, siswa
sering mengalami kesulitan dalam menyelaraskan nilai yang lama dengan
nilai yang baru.
Salah satu karakteristik model ini sebagai suatu model dalam
strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 16
melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa
kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak
ditanamkan. Model pembelajaran ini sebagai suatu model dalam strategi
pembelajaran moral yang bertujuan untuk :
a. Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang
suatu nilai
b. Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik
tingkatannya maupun sifatnya baik yang bernilai positif maupun yang
bernilai negatif untuk kemudian dibina ke arah peningkatan dan
pembetulannya.
c. Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siwa melalui cara yang
rasional dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan
menjadi milik siswa.
d. Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima, serta mengambil
keputusan terhadap suatu persoalan dalam hubungannya dengan
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.
Pada model ini terdapat 3 tingkat pembelajaran yaitu :
1. Kebebasan memilih
Pada tingkat ini juga terdapat 3 tahap yaitu :
 Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan
pilihan yang menurutnya baik. Nilai yang dipaksakan tidak
akan menjadi miliknya sepenuhnya
 Memilih berbagai alternaitf, artinya untuk menentukan pilihan
dari beberapa alternatif pilihan secara bebas.
 Memilih setelah dilakukannya analisis pertimbangan
konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.
2. Menghargai
Terdiri atas 2 tahap pembelajaran ;
a. Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi
pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian integral
dari dirinya.

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 17
b. Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam
dirinya di depan ujmum, artinya bila kita menganggap nilai
itusuatu pilihan, maka kita akan berani dengan penuh kesadaran
untuk menunjukkannya di depan orang lain.
3. Berbuat
Terdiri atas :
a. Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya
b. Mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya. Artinya
nilao yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam
kehidupannya sehari-hari.
VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangunkan
nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai tersebut
akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari di masyarkat.
Dalam praktik pembelajaran, VCT dikembangkan melalui proses dialog
antara guru dan siswa. Proses tersebut hendaknya berlangsung dalam
suasana santai dan terbuka, sehingga setiap siswa dapat mengungkapkan
secara bebas perasaannya. Beberapa hal yang harus diperhatikan guru
dalam mengimplementasikan VCT melalui proses dialog :
 Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasehat yaitu
memberikan pesan moral yang menurut guru dianggap baik,
 Jangan memaksakan siswa untuk memberi respon tertentu apabila
siswa tidak menghendakinya,
 Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga
siswa akan mengungkapkannya secara jujur dan apa adanya.
 Dialog dilaksanakan kepada kelompok kelas.
 Hindari respon yang dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga dia
menjadi defensif
 Tidak mendesak siswa dalam pendirian tertentu
 Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 18
d) Pengembangan moral kognitif

Perkembangan moral manusia berlangsung melalui


restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif, yang yang berlangsung secara
berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan pasca konvensi.
Model ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampauan
mempertimbangkan nilai moral secara kognitif.

Langkah-langkah pembelajaran moral kognitif: (1) menghadapkan


siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan
nilai, (2) siswa diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung
nilai moral tertentu, (3) siswa diminta mendiskusikan/ menganalisis
kebaikan dan kejelekannya, (4) siswa didorong untuk mencari tindakan-
tindakan yang lebih baik, (5) siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.

e) Model nondirektif

Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang


sendiri. Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana
permisif dan kondusif. Guru hendaknya menghargai potensi dan
kemampuan siswa dan berperan sebagai fasilitator/konselor dalam
pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan model ini bertujuan
membantu siswa mengaktualisasikan dirinya.

Langkah-langkah pembelajaran nondirekif: (1) menciptakan


sesuatu yang permisif melalui ekspresi bebas, (2) pengungkapan siswa
mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah-masalah yang
dihadapinya,guru menerima dan memberikan klarifikasi, (3)
pengembangan pemahaman (insight), siswa mendiskusikan masalah, guru
memberrikan dorongan, (4) perencanaan dan penentuan keputusan, siswa
merencanakan dan menentukan keputusan, guru memberikan klarifikasi,
(5) integrasi, siswa memperoleh pemahaman lebih luas dan
mengembangkan kegiatan-kegiatan positif.

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 19
D. Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif
Disamping kemampuan intelektual untuk membentuk kecerdasan
peserta didik dan keterampilan untuk mengembangkan kompetensi agar
peserta didik memiliki kemampuan motorik, maka pembentukan sikap
merupakan aspek yang dapat dianggap pendidikan yang juga tidak kalah
pentingnya. Pendidikan yang diberikan tidak hanya untuk membentuk
kecerdasan akan tetapi juga keterampilan tertentu saja, akan tetapi juga
membentuk dan mengembangkan sikap agar anak berperilaku sesuai dengan
norma-norma yang berlaku di masyarkat. Namun demikian, dalam proses
pendidikan di sekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan.
Hal ini disebabkan proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki
beberapa kesulitan
Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang
berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual. Dengan
demikian, keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah
ditentukan oleh kriteria kemampuan intelektual (kemampuan kognitif).
Akibatnya, upaya yang dilakukan setiap guru diarahkan kepada bagaimana
agar anak dapat menguasai sejumlah pengetahuan sesuai dengan standart isi
kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan intelektual identik dengan
penguasaan materi pengajaran. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam
bentuk evaluasi yang dilakukan baik evaluasi tingkat sekolah, tingkat wilayah,
maupun evaluasi nasional diarahkan kepada kemampuan anak menguasai
materi pelajaran. Pendidikan agama atau pendidikan kewarganegaraan
misalnya yang semestinya diarahkan untuk pembentukan sikap dan moral,
oleh karena keberhasilannya diukur dari kemampuan intelektual, maka
evaluasinya pun lebih banyak mengukur kemampuan penguasaan materi
pelajaran dalam bentuk kognitif.
Kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang
dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan
kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan
hanya ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga faktor lain terutama faktor

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 20
lingkungan. Artinya, walaupun disekolah guru berusaha memberikan contoh
yang baik, akan tetapi manakala tidak didukung oleh lingkungan anak baik
lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat, maka pembentukan sikap
akan sulit dilaksanakan. Misalnya, ketika anak diajarkan tentang keharusan
bersikap jujur dan disiplin, maka sikap tersebut akan sulit diinternalisasi
manakala di lingkungan luar sekolah anak banyak melihat perilaku-perilaku
ketidakjujuran dan ketidakdisiplinan. Walaupun guru di sekolah begitu keras
menekankan pentingnya sikap tertib berlaku lalu lintas, maka sikap tersebut
akan sulit diadopsi oleh anak manakala ia melihat begitu banyak orang yang
melanggar rambu-rambu lalu lintas. Demikian juga, walaupun di sekolah
guru-guru menekankan perlunya bagi naka untuk berkata sopan dan halus
disertai contoh prilaku guru, akan tetapi sikap itu akan sulit diterima oleh anak
manakala di luar sekolah begitu banyak manusia yang berkata kasar dan tidak
sopan. Pembentukan sikap memang memerlukan upaya semua pihak, bagi
lingkungan sekolah, keluarga, maupun lingkungan masyarakat.
Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan
segera. Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan
yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, maka
keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu
yang cukup panjang. Hal ini disebabkan sikap berhubungan dengan
internalisasi nilai yang memerlukan proses yang lama. Kita tidak dapat
menyimpulkan bahwa seseorang telah memiliki sikap jujur hanya melihat
suatu kejadian tertentu. Selain sikap jujur perlu diuraikan pada indikator-
indikator yang mungkin sangat banyak, juga menilai sikap jujur perlu
dilaksanakan secara terus menerus hungga mengkristal dalam segala tindakan
dan perbuatan.
Keempat, pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi
informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada
pembentukan karekter anak. Tidak bisa kita pungkiri, program-program
televisi, misalnya yang banyak menayangkan program acara produksi luar
yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, kebutuhan pendidikan

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 21
yang berbeda, dan banyak ditonton oleh anak-anak, sangat berpengaruh dalam
pembentukan sikap dan mental anak. Secara perlahan tapi pasti budaya asing
yang belum tentu cocok dengan budaya lokal merembes dalam setiap relung
kehidupan, menggeser nilai-nilai lokal sebagai nilai luhur yang mestinya
ditumbuhkembangkan, sehingga pada akhirnya membentuk karakter baru
yang mungkin tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yang berlaku.
Misalnya, secara perlahan tapi pasti telah terjadi perubahan pandangan anak
pertama anak remaja kita terhadap nilai gotong-royong, nilai-nilai seks, dan
lain sebagainya.

BAB II Pembahasan Strategi Pembelajaran


Afektif 22

You might also like