Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
LAMPUNG (Pos Kota) – TKI asal Bakauheni, Lampung Selatan, yang bekerja jadi
pembantu rumah tangga di Malaysia tewas dengan kondisi mengenaskan, hidung sompel,
tangan kanan dan tangan kiri lebam menghitam. Korban tiba di Rumah Sakit Umum
Daerah Abdoel Moeluk, Bandarlampung pada pukul 20.30 WIB.
Korban, Juta Wiyanah ,20, bekerja di negeri jiran sejak tahun 2008 hingga dipulangkan
pada Jum’at (26/11) malam dengan kondisi sudah tidak bernyawa. Ayah korban,
Amirudin ,50, meminta agar jenazah anaknya diotopsi yang akan dilakukan pihak Rumah
Sakit pada pukul 23.00 WIB.
Jenazah korban sejak datang sudah masuk ruang otopsi. Pda tubuh korban ditemukan
banyak luka lebam, kepala, hidung sampai sompel,, lebam menghitam di kaki dan tangan.
Pertama kali Amirudin mendapat kabar pada Rabu (24/11) Juta Wiyana meninggal dari
Adi Rahmat ,23, kakak Juta yang bekerja di kapal. Juta Wiyana anak nomor dua yang
sejak 2008 menjadi TKI di Malaysia. Tidak percaya nkabar yang diterimanya, Amirudin
menghubungi majikan anaknya dan mengatakan bahwa Juta sakit inpeksi otak hingga
meninggal di rumah sakit. Kata majikan jenazah Juta akan diterbangkan pada Jum’at
(26/11).
Amirudin lalu mempersiapkan dii menyambut jenazah putrinya tapi ketika diperiksa
ternyata banyak sekali luka lebam bahkan hidung putrinya sompel.”Saya minta agar
kematian anak saya diselidiki karena anak saya bukan sakit tapi dianiaya hingga tewas”,
kata Amir. (koesma/B)
1
http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/11/26/tki-asal-lampung-tewas-dianiaya-di-malaysia
2.2 Perlindungan Hukum terhadap Buruh Perempuan
Negara kita sesungguhnya telah memiliki seperangkat aturan untuk mengatur bidang
ketenagakerjaan. Selain payung hukum UU No. 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan,
terdapat berbagai payung hukum yang dapat dijadikan acuan dalam melindungi buruh,
khususnya buruh perempuan. Perlindungan hukum tersebut antara lain diatur dalam
undang-undang nasional, yaitu:
c) Untuk tujuan Konvensi ini, istilah pekerjaan dan jabatan termasuk di dalamnya akses
mendapatkan pendidikan kejuruan (training), akses pada pekerjaan dan jabatan tertentu,
serta syarat dan kondisi pekerjaan.Perlindungan Buruh Perempuan dan Kebijakan
Ketenagakerjaan Indonesia 119
Dengan adanya payung hukum, yaitu UUD 45, dan berbagai konvensi yang mengatur
anti diskriminasi terhadap perempuan, UU No. 13/ 2003 harus mengacu pada peraturan-
peraturan tersebut. Akan tetapi, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, UU No. 13/
2003 banyak dikeluhkan oleh kalangan organisasi buruh karena dinilai tidak memihak
kepentingan mereka. Diskriminasi terhadap perempuan juga cenderung terus terjadi. Pada
bagian selanjutnya akan diuraikan proses politik pembuatan kebijakan UU No. 13/ 2003
untuk memahami pertarungan kepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut
Hak-hak Pekerja Menurut Darwan Prints, yang dimaksud dengan hak di sini adalah
sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukan atau
status dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau
jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukan atau statusnya.2
1) Hak mendapat upah/gaji (Pasal 1602 KUH Perdata, Pasal 88 s/d 97 Undang-undang
No. 13 Tahun 2003; Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
Upah);
2) Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 4 Undang-
undang No. 13 Tahun 2003);
3) Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya (Pasal 5
Undang-undang No. 13 Tahun 2003);
4) Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah keahlian
dan keterampilan lagi ( Pasal 9 – 30 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);
6) Hak mendirikan dan menjadi anggota Perserikatan Tenaga Kerja (Pasal 104 Undang-
undang No. 13 Tahun 2003 jo. Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh ) ;
7) Hak atas istirahat tahunan, tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja 12 (dua
belas) bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi
majikan (Pasal 79 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);
2
Darwan Prints, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000. hal. 23.
8) Hak atas upah penuh selama istirahat tahunan ( Pasal 88 – 98 Undangundang No. 13
Tahun 2003);
9) Hak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan, bila pada saat diputuskan
hubungan kerja ia sudah mempunyai masa kerja sedikitdikitnya enam bulan terhitung
dari saat ia berhak atas istirahat tahunan yang terakhir; yaitu dalam hal bila hubungan
kerja diputuskan oleh majikan tanpa alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh buruh,
atau 76 oleh buruh karena alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh Majikan (Pasal
150 – 172 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);
Menurut Konvensi ILO 1948 ada empat macam hak tenaga kerja yaitu hak berserikat;
hak berunding kolektif; hak mogok, dan hak mendapat upah.
Inti masalah dari perlindungan terhadap TKI terletak pada tidak terulangnya kembali
penganiayaan ataupun perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI. Kalaupun
peristiwa tersebut terulang kembali, mekanisme di negara setempat dapat memastikan
ganjaran yang setimpal bagi para pelakunya. Ganjaran yang sesuai pada gilirannya juga
akan mencegah para majikan untuk melakukan tindakan serupa. Di samping itu, para TKI
yang dianiaya harus mendapatkan kompensasi atas derita yang dialaminya. Hak-hak
sebagai TKI pun harus bisa dipenuhi. Ketika peristiwa penganiayaan terhadap TKI
mencuat ke publik, pemerintah selalu mendapat kritik oleh banyak pihak. Pemerintah dan
perwakilan Indonesia dianggap kurang maksimal memberikan perlindungan dan tidak
tegas dalam penyelesaian, baik di tingkat proses hukum maupun pembicaraan di tingkat
antarpemerintah. Harus diakui pemerintah telah melakukan upaya dalam perlindungan
TKI, khsusnya di Malaysia. Pada 2006 pemerintah telah membuat suatu Memorandum of
Understanding (MoU) dengan Pemerintah Malaysia. Judulnya, the Recruitment and
Placement of Indonesian Domestic Workers. Sementara para aktivis TKI mendesak
pemerintah segera meratifikasi The International Convention on the Protection of the
Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Pekerja
Migran). Ratifikasi diharapkan menjadi suatu solusi. Bila menilik pada MoU tahun 2006,
kelemahan dari MoU tersebut adalah sama sekali tidak ditujukan untuk memberi
perlindungan kepada TKI di Malaysia. Ada sejumlah kelemahan dari MoU. Pertama,
substansi MoU tidak mengatur TKI secara keseluruhan. TKI yang diatur hanyalah
mereka yang masuk kategori sebagai pramuwisma (domestic workers). Kedua, MoU
tidak mengatur tentang hal-hal yang terkait dengan perlindungan para pramuwisma.
Tidak ada satu pasal pun yang secara spesifik mengatur hak pramuwisma bila mereka
mengalami penganiayaan ataupun perlakuan yang merendahkan martabat manusia. MoU
hanya berpihak pada kepentingan Malaysia yaitu lebih pada pengaturan syarat dan
mekanisme bagi pengiriman pramuwisma. MoU sama sekali tidak mengakomodasi
kepentingan Indonesia berupa perlindungan hukum bagi pramuwisma. Sementara
meratifikasi Konvensi Pekerja Migran juga mengandung sejumlah kelemahan. Salah satu
yang utama dan mendasar adalah kenyataan bila Indonesia meratifikasi, belum tentu
negara-negara penerima TKI akan meratifikasi. Perlu diketahui Konvensi ini akan efektif
memberi perlindungan jika negara penerima TKI juga meratifikasi. Bila tidak maka efek
yang diharapkan tidak akan terwujud. Bagi negara penerima TKI banyak alasan bagi
mereka untuk tidak meratifikasi. Mulai dari masalah kedaulatan yang tidak mau
diintervensi melalui perjanjian multilateral hingga Konvensi tidak memberi keuntungan.
Belum lagi negara penerima TKI tidak hanya menerima pekerja migran dari Indonesia.
Sebagai contoh, di Malaysia dan Singapura para pekerja migran juga berasal dari
Bangladesh, Filipina, dan lain sebagainya. Meratifikasi Konvensi Pekerja Migran berarti
harus memberi hal yang sama kepada semua pekerja migran, tanpa melihat asal
negaranya. Ini akan dianggap memiliki konsekuensi yang banyak dan besar.
Kabar gembira bagi TKI (Tenaga Kerja Indonesia), karena telah tertandatangani
perjanjian Letter of Intent (LoI) oleh Pemerintah RI dengan Pemerintah Malaysia.3
Perjanjian ini berisikan perlindungan hukum bagi TKI yang bekerja di Malaysia.
Perjanjian yang dilangsungkan di Kantor PM Malaysia di kawasan Putrajaya Malaysia ini
dihadiri oleh kedua kepala negara Indonesia dan Malaysia, hadir pula para menteri-
menteri kedua negara yang ikut mendampingi Presiden SBY dan Perdana Menteri
Malaysia Datuk Seri Mohammad Najib bin Tun Haji Abdul Razak . Sebelumnya kita
sering mendengar TKI sering mendapatkan perlakuan tidak manusiawi di berbagai negara
seperti tidak digaji, disiksa, diperkosa, atau pulang di dalam peti mati. Sungguh miris
nasib TKI kita mendengar berita tersebut. Usaha pemerintah RI untuk memberikan
perlindungan hukum bagipahlawan devisa negara ini sebelumnya tidak didukung oleh
pemerintah Malaysia, bahkan permintaan perjanjian perlindungan hukum ini ditolak oleh
pemerintah Malaysia. Namun akhirnya setelah beberapa lama akhirnya Malaysia bersedia
memberikan perlindungan bagi TKI yang bekerja di negara jiran tersebut.
Berikut isi kesepakatan LoI yang ditandatangani yang tidak diterima sebelumnya oleh
TKI :
1. Pembantu rumah tangga (PRT) diberikan satu hari libur dalam seminggu,
3
http://joyhomework.wordpress.com/2010/05/20/akhirnya-tki-mendapatkan-perlindungan-hukum-di-
malaysia/
2. Kedua belah negara mengawal dan mengawasi gaji sesuai dengan harga pasaran
yang ada,
3. Paspor PRT harus dipegang langsung oleh PRT yang bersangkutan, tidak seperti
selama ini, dan
4. Biaya penempatan PRT harus disepakati oleh kedua negara.
Berdasarkan analisa di atas sebenranya sudah ada pasal-pasal yang berguna untuk
menjamin perlindungan TKI di Indonesia. Namun Negara ini belum cukup menjalankan
pasal-pasal tersebut sehingga sering terjadi banyak penyimpangan dan akhirnya jatuh
korban. TKI sebagai salah satu devisa Negara seharusnya dijamin perlindungannya dan
juga dijaga dengan baik. Dengan adanya letter of intent yang telah ditanda tangan
seharusnya lebih menjamin lagio hak hak para TKI sehingga kejadian seperti kasus di
atas tidak terulang lagi. Pemerintah sebagai agen yang paling berkuasa dalam hal ini
seharusnya lebih waspada dan tegas dalam menindak kasus kasus seperti ini sehingga
dapat lebih menunjukkan kepada banyakn pihak bahwa mereka memperjatikan
kesejahteraan para TKI yang bekerja di luar negeri.