You are on page 1of 297

UNDANG-UNDANG

1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 1997
TENTANG
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HlDUP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup lndonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa
kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala
aspek dan matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara;
b. bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan
kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk
mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional
yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini
dan generasi masa depan;
c. bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan
dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang
guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup;
d. bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum
dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan
global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup;
e. bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan
lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;
f. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e di atas perlu
ditetapkan Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

ME MUTU S KAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lain;
2. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi
kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan
pengendalian lingkungan hidup;
3. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang
memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan;
4. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling
mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup;

2
5. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup;
6. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia
dan makhluk hidup lain;
7. Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan
hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap
mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain;
8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya;
9. Pelestarian daya tampung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan
hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya;
10. Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, baik
hayati maupun nonhayati, dan sumber daya buatan;
11. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang
ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya
tertentu sebagai unsur lingkungan hidup;
12. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
13. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan
hidup yang dapat ditenggang;
14. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung
terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam
menunjang pembangunan berkelanjutan;
15. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui untuk menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan
ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya;
16. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan;
17. Bahan berbahaya dan beracun adalah setiap bahan yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain;
18. Limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan
berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau
dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain;
19. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya
atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
20. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu
usaha dan/atau kegiatan;
21. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu
usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan;
22. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk atas kehendak dan keinginan sendiri di
tengah masyarakat yang tujuan dan kegiatannya di bidang lingkungan hidup;
23. Audit lingkungan hidup adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan untuk menilai tingkat ketaatan terhadap persyaratan hukum yang berlaku dan/atau kebijaksanaan
dan standar yang ditetapkan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
24. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum;
25. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.

Pasal 2

Ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-
Wawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya.

3
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN SASARAN

Pasal 3

Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan,
dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pasal 4

Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah :


a. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup;
b. terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi
dan membina lingkungan hidup;
c. terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
d. tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;

e. terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;

f. terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah
negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

BAB lII
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 5

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

(2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan
lingkungan hidup.

(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 6

(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.

(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan
akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 7

(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan
lingkungan hidup.

(2) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara :
a. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
b. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
c. menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
d. memberikan saran pendapat;
e. menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.

BAB IV
WEWENANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 8

(1) Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat,
serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah.

4
(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah :
a. mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup;
b. mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali
sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika;
c. mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek hukum lainnya serta
perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika;
d. mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;
e. mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9

(1) Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang
dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
(2) Pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang
tugas dan tanggung jawab masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan
memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan
hidup.
(3) Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber
daya alam nonhayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan eko-
sistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
(4) Keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikoordinasi oleh Menteri.
Pasal 10

Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah berkewajiban :


a. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para
pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
b. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup;
c. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha
dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
d. mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin
terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan proaktif dalam upaya
pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
f. memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan hidup;
g. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang lingkungan hidup;
h. menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada masyarakat;
i. memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang lingkungan hidup.

Pasal 11

(1) Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan
yang dikoordinasi oleh Menteri.
(2) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, wewenang dan susunan organisasi serta tata kerja kelembagaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 12

(1) Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan
lingkungan hidup, Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat :
a. melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah;

5
b. mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk membantu Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan
pengelolaan lingkungan hidup di daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13

(1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan
kepada Pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya.
(2) Penyerahan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 14

(1) Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar
baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
(2) Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta
pemulihan daya tampungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan kerusakan
serta pemulihan daya dukungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
(2) Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara penyusunan dan penilaian analisis
mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/
atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyerahkan
pengelolaan limbah tersebut kepada pihak lain.
(3) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan
beracun.
(2) Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi : menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan,
menggunakan dan/atau membuang.
(3) Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB Vl
PERSYARATAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP

Bagian Pertama
Perizinan
Pasal 18

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup
wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan.

6
(2) Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pejabat yang
berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan
upaya pengendalian dampak lingkungan hidup.

Pasal 19

(1) Dalam menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diperhatikan :
a. rencana tata ruang;
b. pendapat masyarakat;
c. pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan
tersebut.
(2) Keputusan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diumumkan.

Pasal 20

(1) Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan
hidup.
(2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup
Indonesia.
(3) Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada
Menteri.
(4) Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri.
(5) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21

Setiap orang dilarang melakukan impor limbah bahan berbahaya dan beracun.

Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 22

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan
yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan di bidang lingkungan hidup.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat
yang berwenang melakukan pengawasan.
(3) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menetapkan
pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

Pasal 23

Pengendalian dampak lingkungan hidup sebagai alat pengawasan dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk
khusus untuk itu oleh Pemerintah.

Pasal 24

(1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 berwenang melakukan
pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan,
memasuki tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat
transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggungjawab atas usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan
situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.

7
Bagian Ketiga
Sanksi Administrasi

Pasal 25

(1) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat
yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau
pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan
Undang-undang.

(2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala
Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.

(3) Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk
melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan surat perintah
dari pejabat yang berwenang.
(5) Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.

Pasal 26

(1) Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (5) serta
penagihannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk,
pelaksanaannya menggunakan upaya hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

Pasal 27
(1) Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.

(2) Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang
berwenang.
(3) Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut
izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan kepentingannya.

Bagian Keempat
Audit Lingkungan Hidup

Pasal 28

Dalam rangka peningkatan kinerja usaha dan/atau kegiatan, Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup.

Pasal 29

(1) Menteri berwenang memerintahkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit
lingkungan hidup apabila yang bersangkutan menunjukkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang ini.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diperintahkan untuk melakukan audit lingkungan hidup
wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakan audit
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan.
(4) Jumlah beban biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
(5) Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

8
BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HlDUP

Bagian Pertama
Umum

Pasal 30

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan
berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak
pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(3) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui
pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para
pihak yang bersengketa.

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Pasal 31

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau
terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Pasal 32

Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dapat
digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki
kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.

Pasal 33

(1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa
lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
(2) Ketentuan mengenai penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan

Paragraf 1
Ganti Rugi
Pasal 34

(1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/
atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat
menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.

Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 35

(1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan
limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan,
dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/
atau perusakan lingkungan hidup.

9
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/
atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini :
a. adanya bencana alam atau peperangan; atau
b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan olen pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.

Paragraf 3
Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Pasal 36

(1) Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana
diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung sejak saat korban mengetahui adanya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
(2) Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.

Paragraf 4
Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup
Untuk Mengajukan Gugatan

Pasal 37

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum
mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.
(2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 38

(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan,
organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan
hidup.
(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan
tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
(3) Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila
memenuhi persyaratan :
a. berbentuk badan hukum atau yayasan;
b. dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan
hidup;
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Pasal 39

Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi
lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku.

BAB VIIl
PENYIDlKAN
Pasal 40

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan

10
hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum
Acara Pidana yang berlaku.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di
bidang lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa
tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana
di bidang lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan
dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan
hidup.
(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan
kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik lndonesia.
(5) Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif dilakukan oleh
penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 41

(1) Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku
tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 42

(1) Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku
tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 43

(1) Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan
atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke
dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan,
mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau
sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).

(2) Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), barangsiapa yang
dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak
informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal
mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.

11
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan orang mati atau luka
berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling
banyak Rp. 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 44

(1) Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena kealpaannya
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat pelaku
tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 45

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.

Pasal 46

(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum,
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta
tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan,
perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap
kedua-duanya.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum,
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan
kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang
memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik
berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau
bersama-sama.
(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka,
atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang
pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap
sendiri di pengadilan.

Pasal 47

Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang
ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa :
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
b. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
c. perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
d. mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;dan/atau
e. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
f. menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama (3) tiga tahun.

Pasal 48

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini adalah kejahatan.

12
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49

(1) Selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak diundangkannya Undang-undang ini setiap usaha dan/atau kegiatan
yang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Sejak diundangkannya Undang-undang ini dilarang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang
menggunakan limbah bahan berbahaya dan beracun yang diimpor.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50

Pada saat berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan hidup yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan
Undang-undang ini.

Pasal 51

Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3215) dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 52

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

S O E HAR TO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 September 1997

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA


REPUBLIK INDONESIA

ttd.

MOERDIONO

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan

ttd.

Lambock V. Nahattands

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 68

13
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 1997
TENTANG
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

UMUM

1. Lingkungan hidup lndonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia
merupakan karunia dan rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar dapat
tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa lndonesia serta makhluk hidup lainnya
demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
Pancasila, sebagai dasar dan falsafah negara, merupakan kesatuan yang bulat dan utuh yang memberikan
keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai jika didasarkan atas
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa
maupun manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia sebagai pribadi, dalam rangka
mencapai kemajuan lahir dan kebahagiaan batin. Antara manusia, masyarakat, dan lingkungan hidup terdapat
hubungan timbal balik, yang selalu harus dibina dan dikembangkan agar dapat tetap dalam keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan yang dinamis.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional mewajibkan agar sumber daya alam
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dinikmati
generasi masa kini dan generasi masa depan secara berkelanjutan.
Pembangunan sebagai upaya sadar dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk mencapai kepuasan
batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi
Iingkungan hidup.

2. Lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas wilayah, baik wilayah negara maupun
wilayah administratif. Akan tetapi, lingkungan hidup yang berkaitan dengan pengelolaan harus jelas batas
wilayah wewenang pengelolaannya. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan hidup Indonesia. Secara
hukum, lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang tempat negara Republik Indonesia melaksanakan
kedaulatan dan hak berdaulat serta yurisdiksinya. Dalam hal ini lingkungan hidup lndonesia tidak lain adalah
wilayah, yang menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca
serta musim yang memberikan kondisi alam dan kedudukan dengan peranan strategis yang tinggi nilainya
sebagai tempat rakyat dan bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dalam segala aspeknya. Dengan demikian, wawasan dalam menyelenggarakan pengelolaan
lingkungan hidup Indonesia adalah Wawasan Nusantara.

3. Lingkungan hidup lndonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas berbagai subsistem, yang mempunyai
aspek sosial, budaya, ekonomi, dan geografi dengan corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berlainan. Keadaan yang demikian memerlukan pembinaan
dan pengembangan lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup akan meningkatkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan subsistem, yang berarti
juga meningkatkan ketahanan subsistem itu sendiri. Dalam pada itu, pembinaan dan pengembangan subsistem
yang satu akan mempengaruhi subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketahanan
ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya
suatu sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya. Untuk itu, diperlukan suatu kebijaksanaan nasional
pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai
ke daerah.

4. Pembangunan memanfaatkan secara terus-menerus sumber daya alam guna meningkatkan kesejahteraan
dan mutu hidup rakyat. Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam terbatas dan tidak merata, baik dalam
jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan permintaan akan sumber daya alam tersebut makin meningkat
sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin
meningkat dan beragam. Di pihak lain, daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya tampung
lingkungan hidup dapat menurun.
Kegiatan pembangunan yang makin meningkat mengandung risiko pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak.
Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu akan merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat
dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.

14
Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan kepentingan rakyat sehingga menuntut
tanggung jawab, keterbukaan, dan peran anggota masyarakat, yang dapat disalurkan melalui orang
perseorangan, organisasi lingkungan hidup, seperti lembaga swadaya masyarakat, kelompok masyarakat
adat, dan lain-lain, untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
yang menjadi tumpuan keberlanjutan pembangunan.
Pembangunan yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam, menjadi sarana untuk
mencapai keberlanjutan pembangunan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan dan mutu hidup generasi
masa kini dan generasi masa depan.
Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dikelola dengan prinsip melestarikan fungsi lingkungan
hidup yang serasi, selaras, dan seimbang untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan.

5. Arah pembangunan jangka panjang Indonesia adalah pembangunan ekonomi dengan bertumpukan pada
pembangunan industri, yang diantaranya memakai berbagai jenis bahan kimia dan zat radioaktif. Disamping
menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain
dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup
dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Secara global, ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup manusia. Pada kenyataannya,
gaya hidup masyarakat industri ditandai oleh pemakaian produk berbasis kimia telah meningkatkan produksi
limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal itu merupakan tantangan yang besar terhadap cara pembuangan
yang aman dengan risiko yang kecil terhadap lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia
serta makhluk hidup lain.
Menyadari hal tersebut di atas, bahan berbahaya dan beracun beserta limbahnya perlu dikelola dengan baik.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari buangan
limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah Indonesia.

6. Makin meningkatnya upaya pembangunan menyebabkan akan makin meningkat dampaknya terhadap
lingkungan hidup. Keadaan ini mendorong makin diperlukannya upaya pengendalian dampak lingkungan
hidup sehingga risiko terhadap lingkungan hidup dapat ditekan sekecil mungkin.
Upaya pengendalian dampak lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tindakan pengawasan agar ditaatinya
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Suatu perangkat hukum yang bersifat
preventif berupa izin melakukan usaha dan/atau kegiatan lain. Oleh karena itu, dalam izin harus dicantumkan
secara tegas syarat dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/
atau kegiatan lainnya. Apa yang dikemukakan tersebut di atas menyiratkan ikut sertanya berbagai instansi
dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga perlu dipertegas batas wewenang tiap-tiap instansi yang ikut
serta di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

7. Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem
pengelolaan lingkungan hidup sebagai bagian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi
upaya pengelolaan lingkungan hidup. Dasar hukum itu dilandasi oleh asas hukum lingkungan hidup dan
penaatan setiap orang akan norma hukum lingkungan hidup yang sepenuhnya berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1982 No.12, Tambahan Lembaran Negara No. 3215) telah menandai awal
pengembangan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai
bagian integral dari upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dalam
kurun waktu lebih dari satu dasawarsa sejak diundangkannya Undang-undang tersebut, kesadaran lingkungan
hidup masyarakat telah meningkat dengan pesat, yang ditandai antara lain oleh makin banyaknya ragam
organisasi masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup selain lembaga swadaya masyarakat. Terlihat
pula peningkatan kepeloporan masyarakat dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup sehingga masyarakat
tidak hanya sekedar berperan serta, tetapi juga mampu berperan secara nyata. Sementara itu, permasalahan
hukum lingkungan hidup yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat memerlukan pengaturan dalam
bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain, perkembangan lingkungan global serta aspirasi
internasional akan makin mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup Indonesia. Dalam mencermati
perkembangan keadaan tersebut, dipandang perlu untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang ini memuat norma hukum lingkungan hidup. Selain itu, Undang-undang ini akan menjadi
landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan
tentang lingkungan hidup yang berlaku, yaitu peraturan perundang-undangan mengenai pengairan,
pertambangan dan energi, kehutanan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, industri,
permukiman, penataan ruang, tata guna tanah, dan lain-lain.

15
Peningkatan pendayagunaan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata maupun
hukum pidana, dan usaha untuk mengefektifkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara alternatif,
yaitu penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan untuk mencapai kesepakatan antarpihak
yang bersengketa. Disamping itu, perlu pula dibuka kemungkinan dilakukannya gugatan perwakilan. Dengan
cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup tersebut diharapkan akan meningkatkan ketaatan masyarakat
terhadap sistem nilai tentang betapa pentingnya pelestarian dan pengembangan kemampuan lingkungan
hidup dalam kehidupan manusia masa kini dan kehidupan manusia masa depan.
Sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas
subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti
sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif
dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya
menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan mengantisipasi kemungkinan semakin munculnya tindak pidana
yang dilakukan oleh suatu korporasi, dalam Undang-undang ini diatur pula pertanggungjawaban korporasi.
Dengan demikian, semua peraturan perundang-undangan tersebut di atas dapat terangkum dalam satu sistem
hukum lingkungan hidup Indonesia.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Angka 1
Cukup Jelas

Angka 2
Cukup Jelas

Angka 3
Cukup Jelas

Angka 4
Cukup Jelas

Angka 5
Cukup Jelas

Angka 6
Cukup Jelas

Angka 7
Cukup Jelas

Angka 8
Cukup Jelas

Angka 9
Cukup Jelas

Angka 10
Cukup Jelas

Angka 11
Cukup Jelas

Angka 12
Cukup Jelas

Angka 13
Cukup Jelas

Angka 14
Cukup Jelas

Angka 15
Cukup Jelas

16
Angka 16
Cukup Jelas

Angka 17
Cukup Jelas

Angka 18
Cukup Jelas

Angka 19
Cukup Jelas

Angka 20
Cukup Jelas

Angka 21
Cukup Jelas

Angka 22
Cukup Jelas

Angka 23
Cukup Jelas

Angka 24
Cukup Jelas

Angka 25
Cukup Jelas

Pasal 2
Cukup Jelas

Pasal 3
Berdasarkan asas tanggung jawab negara, di satu sisi, negara menjamin bahwa pemanfaatan sumber daya
alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik
generasi masa kini maupun generasi masa depan. Di lain sisi, negara mencegah dilakukannya kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah yurisdiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah
yurisdiksi negara lain, serta melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara. Asas
keberlanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi
mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung
jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup, harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan
lingkungan hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan.

Pasal 4
Cukup Jelas

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup Jelas

Ayat (2)
Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam
pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan
hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas peranserta dalam pengelolaan lingkungan hidup, disamping
akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat. Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa data,
keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang menurut
sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai
dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik pemantauan
penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup, dan rencana tata ruang.

Ayat (3)
Peran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini meliputi peran dalam proses pengambilan keputusan,
baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan. Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian
analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau perumusan kebijaksanaan lingkungan hidup.

17
Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat
ikut memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan di
bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 6
Ayat (1)
Kewajiban setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak terlepas dari kedudukannya sebagai
anggota masyarakat yang mencerminkan harkat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Kewajiban
tersebut mengandung makna bahwa setiap orang turut berperanserta dalam upaya memelihara lingkungan
hidup. Misalnya, peranserta dalam mengembangkan budaya bersih lingkungan hidup, kegiatan
penyuluhan dan bimbingan di bidang lingkungan hidup.

Ayat (2)
Informasi yang benar dan akurat itu dimaksudkan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/
atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup Jelas

Ayat (2)
Huruf a
Kemandirian dan keberdayaan masyarakat merupakan prasyarat untuk menumbuhkan kemampuan
masyarakat sebagai pelaku dalam pengelolaan lingkungan hidup bersama dengan pemerintah
dan pelaku pembangunan lainnya.
Huruf b
Meningkatnya kemampuan dan kepeloporan masyarakat akan meningkatkan efektifitas peran
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Huruf c
Meningkatnya ketanggapsegeraan masyarakat akan semakin menurunkan kemungkinan terjadinya
dampak negatif.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dengan meningkatnya ketanggapsegeraan akan meningkatkan kecepatan pemberian informasi
tentang suatu masalah lingkungan hidup sehingga dapat segera ditindaklanjuti.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup Jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Kegiatan yang mempunyai dampak sosial merupakan kegiatan yang berpengaruh terhadap
kepentingan umum, baik secara kultural maupun secara struktural.
Huruf e
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup Jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Dalam rangka penyusunan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang
wajib diperhatikan secara rasional dan proporsional potensi, aspirasi, dan kebutuhan serta nilai-nilai
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Misalnya, perhatian terhadap masyarakat adat yang hidup
dan kehidupannya bertumpu pada sumber daya alam yang terdapat di sekitarnya.

Ayat (2)
Cukup jelas

18
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengambil keputusan dalam ketentuan ini adalah pihak-pihak yang berwenang
yaitu Pemerintah, masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya.

Huruf b
Kegiatan ini dilakukan melalui penyuluhan, bimbingan, serta pendidikan dan pelatihan dalam rangka
peningkatan kualitas dan kuantitas sumber manusia.

Huruf c
Peran masyarakat dalam Pasal ini mencakup keikutsertaan, baik dalam upaya maupun dalam proses
pengambilan keputusan tentang pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam
rangka peran masyarakat dikembangkan kemitraan para pelaku pengelolaan lingkungan hidup, yaitu
pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat termasuk antara lain lembaga swadaya masyarakat dan
organisasi profesi keilmuan.

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan perangkat yang bersifat preemtif adalah tindakan yang
dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan dan perencanaan, seperti tata ruang dan analisis dampak
lingkungan hidup. Adapun preventif adalah tindakan tingkatan pelaksanaan melalui penaatan baku mutu
limbah dan/atau instrumen ekonomi. Proaktif adalah tindakan pada tingkat produksi dengan menerapkan
standarisasi lingkungan hidup, seperti lSO 14000.
Perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat preemtif, preventif dan proaktif misalnya adalah
pengembangan dan penerapan teknologi akrab lingkungan hidup, penerapan asuransi lingkungan hidup
dan audit lingkungan hidup yang dilakukan secara sukarela oleh penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan guna meningkatkan kinerja.

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Cukup jelas

Huruf i
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)
Lingkup pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup pada dasarnya meliputi berbagai sektor yang menjadi
tanggung jawab berbagai departemen dan instansi pemerintah. Untuk menghindari tumpang tindih
wewenang dan benturan kepentingan perlu adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi
melalui perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri.

Ayat (2)
Cukup Jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Negara Kesatuan Republik Indonesia kaya akan keanekaragaman potensi sumber daya alam
hayati dan nonhayati, karakteristik kebhinekaan budaya masyarakat, dan aspirasi dapat menjadi
modal utama pembangunan nasional. Untuk itu guna mencapai keterpaduan dan kesatuan pola
pikir, dan gerak langkah yang menjamin terwujudnya pengelolaan lingkungan hidup secara berdaya
guna dan berhasil guna yang berlandaskan Wawasan Nusantara, maka Pemerintah Pusat dapat
menetapkan wewenang tertentu dengan memperhatikan situasi dan kondisi daerah baik potensi

19
alam maupun kemampuan daerah, kepada perangkat instansi pusat yang ada di daerah dalam
rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.
Huruf b
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Tingkat I dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah
Tingkat II untuk berperan dalam pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup sebagai
tugas pembantuan. Melalui tugas pembantuan ini maka wewenang, pembiayaan, peralatan, dan
tanggung jawab tetap berada pada pemerintah yang menugaskannya.

Ayat (2)
Cukup Jelas

Pasal 13
Ayat (1)
Dengan memperhatikan kemampuan, situasi dan kondisi daerah, Pemerintah Pusat dapat menyerahkan
urusan di bidang lingkungan hidup kepada daerah menjadi wewenang, tugas, dan tanggung jawab
Pemerintah Daerah berdasarkan asas desentralisasi.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 15
Ayat (1)
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian studi kelayakan untuk
melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi
untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui
secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, baik dampak negatif maupun
dampak positif yang akan timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah
untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.
Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di antaranya digunakan kriteria
mengenai :
a. besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Pengelolaan limbah merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penyimpanan, pengumpulan,
pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 17
Ayat (1)
Kewajiban untuk melakukan pengelolaan dimaksud merupakan upaya untuk mengurangi terjadinya
kemungkinan risiko terhadap lingkungan hidup berupa terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan
hidup, mengingat bahan berbahaya dan beracun mempunyai potensi yang cukup besar untuk
menimbulkan efek negatif.

20
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Contoh izin yang dimaksud antara lain izin kuasa pertambangan untuk usaha di bidang pertambangan,
atau izin usaha industri untuk usaha di bidang industri.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan harus ditegaskan kewajiban yang berkenaan dengan
penaatan terhadap ketentuan mengenai pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam melaksanakan usaha dan/atau kegiatannya. Bagi
usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan untuk membuat atau melaksanakan analisis mengenai dampak
lingkungan hidup, maka rencana pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang wajib
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan harus dicantumkan dan dirumuskan
dengan jelas dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Misalnya kewajiban untuk mengolah limbah,
syarat mutu limbah yang boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup, dan kewajiban yang berkaitan
dengan pembuangan limbah, seperti kewajiban melakukan swapantau dan kewajiban untuk melaporkan
hasil swapantau tersebut kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan hidup. Apabila suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku diwajibkan melaksanakan analisis dampak lingkungan hidup, maka persetujuan
atas analisis mengenai dampak lingkungan hidup tersebut harus diajukan bersama dengan permohonan
izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Pengumuman izin melakukan usaha dan/atau kegiatan merupakan pelaksanaan atas keterbukaan
pemerintahan. Pengumuman izin melakukan usaha dan/atau kegiatan tersebut memungkinkan
peranserta masyarakat khususnya yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur keberatan,
dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses pengambilan keputusan izin.

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Suatu usaha dan/atau kegiatan akan menghasilkan limbah. Pada umumnya limbah ini harus diolah
terlebih dahulu sebelum dibuang ke media lingkungan hidup sehingga tidak menimbulkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dalam hal tertentu, limbah yang dihasilkan oleh suatu usaha dan/
atau kegiatan itu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku suatu produk. Namun dari proses pemanfaatan
tersebut akan menghasilkan limbah, sebagai residu yang tidak dapat dimanfaatkan kembali, yang akan
dibuang ke media lingkungan hidup.
Pembuangan (dumping) sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah pembuangan limbah sebagai
residu suatu usaha dan/atau kegiatan dan/atau bahan lain yang tidak terpakai atau daluwarsa ke dalam
media lingkungan hidup, baik tanah, air maupun udara. Pembuangan limbah dan/atau bahan tersebut ke
media lingkungan hidup akan menimbulkan dampak terhadap ekosistem. Sehingga dengan ketentuan
Pasal ini, ditentukan bahwa pada prinsipnya pembuangan limbah ke media lingkungan hidup merupakan
hal yang dilarang, kecuali ke media lingkungan hidup tertentu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.

Ayat (5)
Cukup jelas

21
Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Dalam hal menetapkan pejabat yang berwenang dari instansi lain untuk melakukan pengawasan, Menteri
melakukan koordinasi dengan pimpinan instansi yang bersangkutan.

Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini merupakan pelaksanaan Pasal 13 ayat (1).

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan adalah menghormati
nilai dan norma yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 27
Ayat (1)
Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda mulai dari pelanggaran syarat ad-
ministratif sampai dengan pelanggaran yang menimbulkan korban.
Yang dimaksud dengan pelanggaran tertentu adalah pelanggaran oleh usaha dan/atau kegiatan yang
dianggap berbobot untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya telah ada warga masyarakat yang
terganggu kesehatannya akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 28
Audit lingkungan hidup merupakan suatu instrumen penting bagi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
untuk meningkatkan efisiensi kegiatan dan kinerjanya dalam menaati persyaratan lingkungan hidup yang

22
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam pengertian ini, audit lingkungan hidup dibuat secara
sukarela untuk memverifikasi ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku,
serta dengan kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan secara internal oleh penanggung jawab usaha dan/
atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan dokumen yang bersifat
terbuka untuk umum, sebagai upaya perlindungan masyarakat karena itu harus diumumkan.

Pasal 30
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya putusan yang berbeda mengenai satu
sengketa Iingkungan hidup untuk menjamin kepastian hukum.

Pasal 31
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui perundingan di luar pengadilan dilakukan secara sukarela
oleh para pihak yang berkepentingan, yaitu para pihak yang mengalami kerugian dan mengakibatkan kerugian,
instansi pemerintah yang terkait dengan subyek yang disengketakan, serta dapat melibatkan pihak yang
mempunyai kepedulian terhadap pengelolaan lingkungan hidup.
Tindakan tertentu di sini dimaksudkan sebagai upaya memulihkan fungsi lingkungan hidup dengan
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat.

Pasal 32
Untuk melancarkan jalannya perundingan di luar pengadilan, para pihak yang berkepentingan dapat meminta
jasa pihak ketiga netral yang dapat berbentuk :
a. pihak ketiga netral yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan.
Pihak ketiga netral ini berfungsi sebagai pihak yang memfasilitasi para pihak yang berkepentingan
sehingga dapat dicapai kesepakatan.
Pihak ketiga netral ini harus :
1) disetujui oleh para pihak yang bersengketa;
2) tidak memiliki hubungan keluarga dan/atau hubungan kerja dengan salah satu pihak yang
bersengketa;
3) memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan;
4) tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.
b. pihak ketiga netral yang memiliki kewenangan mengambil keputusan berfungsi sebagai arbiter, dan
semua putusan arbitrase ini bersifat tetap dan mengikat para pihak yang bersengketa.

Pasal 33
Ayat (1)
Lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini dimaksudkan sebagai suatu
lembaga yang mampu memperlancar pelaksanaan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa dengan
mendasarkan pada prinsip ketidakberpihakan dan profesionalisme.
Lembaga penyedia jasa yang dibentuk Pemerintah dimaksudkan sebagai pelayanan publik.

Ayat (2)
Cukup jelas

23
Pasal 34
Ayat (1)
Ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar
membayar. Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat
pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk :
- memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu
lingkungan hidup yang ditentukan;
- memulihkan fungsi lingkungan hidup;
- menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.

Ayat (2)
Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan
untuk melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pasal 35
Ayat (1)
Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan
lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti
rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat
ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksudkan sampai batas tertentu, adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau
telah tersedia dana lingkungan hidup.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan pihak ketiga dalam ayat ini merupakan perbuatan persaingan curang
atau kesalahan yang dilakukan Pemerintah.

Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan pada ayat ini adalah hak kelompok kecil masyarakat
untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan
permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas

24
Ayat (2)
Gugatan yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup tidak dapat berupa tuntutan membayar ganti
rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu :
a. memohon kepada pengadilan agar seseorang diperintahkan untuk melakukan tindakan hukum
tertentu yang berkaitan dengan tujuan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena mencemarkan atau
merusak lingkungan hidup;
c. memerintahkan seseorang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan untuk membuat atau
memperbaiki unit pengolah limbah;
Yang dimaksud dengan biaya atau pengeluaran riil adalah biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan telah
dikeluarkan oleh organisasi lingkungan hidup.

Ayat (3)
Tidak setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan lingkungan hidup, melainkan harus
memenuhi persyaratan tertentu. Dengan adanya persyaratan sebagaimana dimaksud di atas, maka
secara selektif keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui memiliki ius standi untuk mengajukan
gugatan atas nama lingkungan hidup ke pengadilan, baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata
usaha negara, tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan dalam memeriksa dan mengadili
perkara yang dimaksud.

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas
25
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup Jelas

Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3699

26
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1999

TENTANG

PEMERINTAHAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang
Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah;

b. bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan
pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah;

c. bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta
tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan
memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara
proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasional, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta potensi dari
keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik In-
donesia;

d. bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah


(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037) tidak
sesuai lagi dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan
keadaan, sehingga perlu diganti;

e. bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara
Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan
desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta
menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti;

f. bahwa sehubungan dengan itu, perlu ditetapkan undang-undang mengenai Pemerintahan


Daerah untuk mengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998 tentang


Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;

3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang


Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;

4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang


Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya
Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia;

5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis


Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3811).

27
Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

ME MUTU S KAN

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

(1) Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indone-
sia yang terdiri dari Presiden beserta para menteri.

(2) Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonomi yang lain sebagai badan
eksekutif daerah.

(3) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya DPRD, adalah Badan Legislatif Daerah.

(4) Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah
dan DPRD menurut asas desentralisasi.

(5) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(6) Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah
dan/atau perangkat pusat di daerah.

(7) Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan Desa dan dari Daerah ke
Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber
daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada
yang menugaskannya.

(8) Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

(9) Daerah Otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas
daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(10) Wilayah Administrasi adalah wilayah kerja Gubernur selaku wakil pemerintah.

(11) Instansi vertikal adalah perangkat departemen dan/atau lembaga pemerintah non departemen di daerah.

(12) Pejabat yang berwenang adalah pejabat pemerintah di tingkat pusat dan/atau pejabat pemerintah di daerah
propinsi yang berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(13) Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota.

(14) Kelurahan adalah wilayah kerja Lurah sebagai perangkat daerah kabupaten dan/atau daerah kota di bawah
kecamatan.

(15) Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di
daerah kabupaten.

(16) Kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan
sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman pedesaan, pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

28
(17) Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

BAB II
PEMBAGIAN DAERAH

Pasal 2

(1) Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan
Daerah Kota yang bersifat otonom.

(2) Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Wilayah Administrasi.

Pasal 3

Wilayah Daerah Provinsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut
sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

BAB III
PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN DAERAH

Pasal 4

(1) Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah provinsi, daerah kabupaten,
dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

(2) Daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai
hubungan hirarki satu sama lain.

Pasal 5

(1) Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial
politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya
Otonomi Daerah.

(2) Pembentukan, nama, batas, dan ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan undang-
undang.

(3) Perubahan batas yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah, perubahan nama daerah, serta
perubahan nama dan pemindahan ibukota daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(4) Syarat-syarat pembentukan daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 6

(1) Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan/atau digabung dengan
daerah lain.

(2) Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah.

(3) Kriteria tentang penghapusan, penggabungan, dan pemekaran daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(4) Penghapusan, penggabungan, dan pemekaran daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), ditetapkan dengan undang-undang.

29
BAB IV
KEWENANGAN DAERAH

Pasal 7

(1) Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain.

(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya
manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan
standarisasi nasional.

Pasal 8

(1) Kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai
dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia
sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.

(2) Kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai
dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.

Pasal 9

(1) Kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang
bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.

(2) Kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat
dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

(3) Kewenangan provinsi sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan
yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah.

Pasal 10

(1) Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab
memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Kewenangan Daerah di wilayah laut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, meliputi :

a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut;

b. pengaturan kepentingan administrasi;

c. pengaturan tata ruang;

d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya oleh Pemerintah; dan

e. bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.

(3) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Provinsi.

(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

(1) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain
kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9.

(2) Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan
umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan,
penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

30
Pasal 12

Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 9 ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 13

(1) Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas pembantuan
disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah.

(2) Setiap penugasan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan.

BAB V
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN DAERAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 14

(1) Di Daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif
Daerah.

(2) Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat Daerah lainnya.

Bagian Kedua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Pasal 15

Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan, pimpinan, dan alat kelengkapan DPRD diatur dengan
undang-undang.

Pasal 16

(1) DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di Daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi
berdasarkan Pancasila.

(2) DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah.

Pasal 17

(1) Keanggotaan DPRD dan jumlah anggota DPRD ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Alat kelengkapan DPRD terdiri atas pimpinan, komisi-komisi, dan panitia-panitia.

(3) DPRD membentuk fraksi-fraksi yang bukan merupakan alat kelengkapan DPRD.

(4) Pelaksanaan ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Tata
Tertib DPRD.

Pasal 18

(1) DPRD mempunyai tugas dan wewenang :

a. memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota;

b. memilih anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Utusan Daerah;

c. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati,


atau Walikota/Wakil Walikota;
31
d. bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota membentuk Peraturan Daerah;

e. bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah;

f. melaksanakan pengawasan terhadap:

1. pelaksanaan Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lain;

2. pelaksanaan keputusan Gubernur, Bupati, dan Walikota;

3. pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

4. kebijakan Pemerintah Daerah; dan

5. pelaksanaan kerja sama internasional di Daerah;

g. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah terhadap rencana perjanjian


internasional yang menyangkut kepentingan Daerah; dan

h. menampung dan menindaklanjuti aspirasi Daerah dan masyarakat.

(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang, sebagaimana dimaksud ayat (1), diatur dalam Peraturan Tata Tertib
DPRD.

Pasal 19

(1) DPRD mempunyai hak :

a. meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati, dan Walikota;

b. meminta keterangan kepada Pemerintah Daerah;

c. mengadakan penyelidikan;

d. mengadakan perubahan atas Rancangan Peraturan Daerah;

e. mengajukan pernyataan pendapat;

f. mengajukan Rancangan Peraturan Daerah;

g. menentukan Anggaran Belanja DPRD; dan

h. menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRD.

(2) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.

Pasal 20

(1) DPRD dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga
masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan negara,
bangsa, pemerintahan, dan pembangunan.

(2) Pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat yang menolak permintaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun karena merendahkan
martabat dan kehormatan DPRD.

(3) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2), diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.

Pasal 21

(1) Anggota DPRD mempunyai hak :


a. pengajuan pertanyaan;
b. protokoler; dan
c. keuangan/administrasi.

(2) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.
32
Pasal 22

DPRD mempunyai kewajiban :

(1) mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

(2) mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta menaati segala peraturan perundang-
undangan,

(3) membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, meningkatkan kesejahteraan rakyat
di Daerah berdasarkan demokrasi ekonomi, dan

(4) memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta
memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.

Pasal 23

(1) DPRD mengadakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya enam kali dalam setahun.

(2) Kecuali yang dimaksud pada ayat (1), atas permintaan sekurang-kurangnya seperlima dari jumlah anggota
atau atas permintaan Kepala Daerah, Ketua DPRD dapat mengundang anggotanya untuk mengadakan
rapat selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan setelah permintaan itu diterima.

(3) DPRD mengadakan rapat atas undangan Ketua DPRD.

(4) Pelaksanaan ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan
Peraturan Tata Tertib DPRD.

Pasal 24

Peraturan Tata Tertib DPRD ditetapkan dengan Keputusan DPRD.

Pasal 25

Rapat-rapat DPRD bersifat terbuka untuk umum, kecuali yang dinyatakan tertutup berdasarkan Peraturan Tata Tertib
DPRD atau atas kesepakatan diantara pimpinan DPRD.

Pasal 26

Rapat tertutup dapat mengambil keputusan, kecuali mengenai :

a. pemilihan Ketua/Wakil Ketua DPRD,

b. pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,

c. pemilihan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Utusan Daerah,

d. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,

e. penetapan perubahan dan penghapusan pajak dan retribusi,

f. utang piutang, pinjaman, dan pembebanan kepada Daerah,

g. Badan Usaha Milik Daerah,

h. penghapusan tagihan sebagian atau seluruhnya,

i. persetujuan penyelesaian perkara perdata secara damai, dan

j. kebijakan tata ruang.

33
Pasal 27

Anggota DPRD tidak dapat dituntut di pengadilan karena pernyataan dan atau pendapat yang dikemukakan dalam
rapat DPRD, baik terbuka maupun tertutup, yang diajukannya secara lisan atau tertulis, kecuali jika yang bersangkutan
mengumumkan apa yang disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh
ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam buku kedua Bab I Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 28

(1) Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dapat dilaksanakan atas persetujuan tertulis Menteri Dalam
Negeri bagi anggota DPRD Propinsi dan Gubernur bagi anggota DPRD Kabupaten dan Kota, kecuali jika
yang bersangkutan tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan.

(2) Dalam hal anggota DPRD tertangkap tangan melakukan tindak pidana, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), selambat-lambatnya dalam tempo 2 kali 24 jam diberitahukan secara tertulis kepada Menteri Dalam
Negeri dan/atau Gubernur.

Bagian Ketiga
Sekretariat DPRD

Pasal 29

(1) Sekretariat DPRD membantu DPRD dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya.

(2) Sekretariat DPRD dipimpin oleh seorang Sekretaris DPRD yang diangkat oleh Kepala Daerah dari Pegawai
Negeri Sipil yang memenuhi syarat atas persetujuan pimpinan DPRD.

(3) Sekretaris DPRD dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan
DPRD.

(4) Sekretaris DPRD dapat menyediakan tenaga ahli dengan tugas membantu anggota DPRD dalam
menjalankan fungsinya.

(5) Anggaran Belanja Sekretaris DPRD ditetapkan dengan Keputusan DPRD dan dicantumkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.

Bagian Keempat
Kepala Daerah

Pasal 30

Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang dibantu oleh seorang Wakil
Kepala Daerah.

Pasal 31

(1) Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai Wakil Pemerintah.

(2) Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada
DPRD Propinsi.

(3) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dengan
Peraturan Tata tertib DPRD sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(4) Dalam kedudukan sebagai Wakil Pemerintah, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden.

(5) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban, sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ditetapkan oleh
Pemerintah.

Pasal 32

(1) Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati.

(2) Kepala Daerah Kota disebut Walikota.

34
(3) Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Walikota bertanggung jawab
kepada DPRD Kabupaten/Kota.

(4) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dalam
Peraturan Tata Tertib DPRD sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 33

(1) Yang dapat ditetapkan menjadi Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia dengan syarat-
syarat :

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah yang sah;

c. tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 yang dinyatakan dengan surat keterangan ketua Pengadilan Negeri;

d. berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan/atau sederajat;

e. berumur sekurang-kurangnya tiga puluh tahun;

f. sehat jasmani dan rohani;

g. nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya;

h. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana;

i. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri;

j. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;

k. menyerahkan daftar kekayaan pribadi; dan

l. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Daerah.

Pasal 34

(1) Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan
secara bersamaan.

(2) Calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahap pencalonan
dan pemilihan.

(3) Untuk pencalonan dan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dibentuk Panitia Pemilihan.

(4) Ketua dan para Wakil Ketua DPRD karena jabatannya adalah Ketua dan Wakil Ketua Panitia Pemilihan
merangkap sebagai anggota.

(5) Sekretaris DPRD karena jabatannya adalah Sekretaris Panitia Pemilihan, tetapi bukan anggota.

Pasal 35

(1) Panitia pemilihan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), bertugas:

a. melakukan pemeriksaan berkas identitas mengenai bakal calon berdasarkan persyaratan yang
telah ditetapkan dalam Pasal 33;

b. melakukan kegiatan teknis pemilihan calon; dan

c. menjadi penanggung jawab penyelenggaraan pemilihan.

(2) Bakal calon Kepala Daerah dan bakal calon Wakil Kepala Daerah yang memenuhi persyaratan sesuai
dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diajukan kepada DPRD untuk ditetapkan sebagai calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah.

35
Pasal 36

(1) Setiap fraksi melakukan kegiatan penyaringan pasangan bakal calon sesuai dengan syarat yang ditetapkan
dalam Pasal 33.

(2) Setiap fraksi menetapkan pasangan bakal calon Kepala Daerah dan bakal calon Wakil Kepala Daerah dan
menyampaikannya dalam rapat paripurna kepada pimpinan DPRD.

(3) Dua fraksi atau lebih dapat secara bersama-sama mengajukan pasangan bakal calon Kepala Daerah dan
bakal calon Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 37

(1) Dalam Rapat Paripurna DPRD, setiap fraksi atau beberapa fraksi memberikan penjelasan mengenai bakal
calonnya.

(2) Pimpinan DPRD mengundang bakal calon dimaksud untuk menjelaskan visi, misi, serta rencana-rencana
kebijakan apabila bakal calon dimaksud terpilih sebagai Kepala Daerah.

(3) Anggota DPRD dapat melakukan tanya jawab dengan para bakal calon.

(4) Pimpinan DPRD dan pimpinan fraksi-fraksi melakukan penilaian atas kemampuan dan kepribadian para
bakal calon dan melalui musyawarah atau pemungutan suara menetapkan sekurang-kurangnya dua pasang
calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah yang akan dipilih satu pasang di antaranya oleh
DPRD.

Pasal 38

(1) Nama-nama calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yang telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD
dikonsultasikan dengan Presiden.

(2) Nama-nama calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota yang akan
dipilih oleh DPRD ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPRD.

Pasal 39

(1) Pemilihan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dilaksanakan dalam Rapat Paripurna
DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPRD.

(2) Apabila jumlah anggota DPRD belum mencapai kuorum, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan
rapat dapat menunda rapat paling lama satu jam.

(3) Apabila ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dicapai, rapat paripurna diundur paling
lama satu jam lagi dan selanjutnya pemilihan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah tetap
dilaksanakan.

Pasal 40

(1) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung, bebas, rahasia, jujur
dan adil.

(2) Setiap anggota DPRD dapat memberikan suaranya kepada satu pasang calon Kepala Daerah dan calon
Wakil Kepala Daerah dari pasangan calon yang telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4).

(3) Pasangan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak pada
pemilihan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden.

36
Pasal 41

Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.

Pasal 42

(1) Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk bertindak atas nama Presiden.

(2) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Daerah mengucapkan sumpah/janji.

(3) Susunan kata-kata sumpah/janji dimaksud adalah sebagai berikut :

“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Gubernur/
Bupati/Walikota dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat
dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan
menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara serta
segala peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Daerah dan Negara Kesatuan Republik Indone-
sia”.

(4) Tata cara pengucapan sumpah/janji dan pelantikan bagi Kepala Daerah ditetapkan oleh Pemerintah.

Bagian Kelima
Kewajiban Kepala Daerah

Pasal 43

Kepala Daerah mempunyai kewajiban :

(1) mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945;

(2) memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

(3) menghormati kedaulatan rakyat;

(4) menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;

(5) meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat;

(6) memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; dan

(7) mengajukan Rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya sebagai Peraturan Daerah bersama dengan
DPRD.

Pasal 44

(1) Kepala Daerah memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD.

(2) Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD.

(3) Kepala Daerah wajib menyampaikan laporan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada Presiden
melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Gubernur bagi Kepala Daerah Kabupaten dan
Kepala Daerah Kota, sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun, atau jika dipandang perlu oleh Kepala
Daerah atau apabila diminta oleh Presiden.

Pasal 45

(1) Kepala Daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran.

(2) Kepala Daerah wajib memberikan pertanggungjawaban kepada DPRD untuk hal tertentu atas permintaan
DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2).

37
Pasal 46

(1) Kepala Daerah yang ditolak pertanggungjawabannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, baik
pertanggungjawaban kebijakan pemerintahan maupun pertanggungjawaban keuangan, harus dilengkapi
dan atau menyempurnakannya dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari.

(2) Kepala Daerah yang sudah melengkapi dan/atau menyempurnakan pertanggungjawabannya


menyampaikannya kembali kepada DPRD, sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Bagi Kepala Daerah yang pertanggungjawabannya ditolak untuk kedua kalinya, DPRD dapat mengusulkan
pemberhentiannya kepada Presiden.

(4) Tata cara, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 47

Kepala Daerah mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa untuk mewakilinya.

Bagian Keenam
Larangan bagi Kepala Daerah

Pasal 48

(1) Kepala Daerah dilarang :

a. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik Negara/Daerah, atau dalam
yayasan bidang apa pun juga;

b. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi dirinya, anggota
keluarganya, kroninya, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang secara nyata merugikan
kepentingan umum atau mendiskriminasikan warga negara dan golongan masyarakat lain;

c. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun
tidak langsung, yang berhubungan dengan Daerah yang bersangkutan;

d. menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang patut dapat diduga akan mempengaruhi
keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; dan

e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan, selain yang dimaksud
dalam Pasal 47.

Bagian Ketujuh
Pemberhentian Kepala Daerah

Pasal 49

Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan karena:

a. meninggal dunia;

b. mengajukan berhenti atas permintaan sendiri;

c. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;

d. tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33;

e. melanggar sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3);

f. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48; dan

g. mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggung jawabnya, dan
keterangannya atas kasus itu ditolak oleh DPRD.

38
Pasal 50

(1) Pemberhentian Kepala Daerah karena alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ditetapkan
dengan Keputusan DPRD dan disahkan oleh Presiden.

(2) Keputusan DPRD, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua
pertiga dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua
pertiga dari jumlah anggota yang hadir.

Pasal 51

Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui Keputusan DPRD apabila terbukti melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih, atau diancam dengan hukuman mati
sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 52

(1) Kepala Daerah yang diduga melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara
Kesatuan Republik Indonesia diberhentikan untuk sementara dari jabatannya oleh Presiden tanpa melalui
Keputusan DPRD.

(2) Kepala Daerah yang terbukti melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang dinyatakan dengan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden, tanpa persetujuan DPRD.

(3) Kepala Daerah yang setelah melalui proses peradilan ternyata tidak terbukti melakukan makar dan perbuatan
yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diaktifkan kembali dan direhabilitasi selaku Kepala Daerah sampai akhir masa jabatannya.

Pasal 53

(1) DPRD memberitahukan akan berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah secara tertulis kepada yang
bersangkutan, enam bulan sebelumnya.

(2) Dengan adanya pemberitahuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah mempersiapkan
pertanggungjawaban akhir masa jabatannya kepada DPRD dan menyampaikan pertanggungjawaban
tersebut selambat-lambatnya empat bulan setelah pemberitahuan.

(3) Selambat-lambatnya satu bulan sebelum masa jabatan Kepala Daerah berakhir, DPRD mulai memproses
pemilihan Kepala Daerah yang baru.

Pasal 54

Kepala Daerah yang ditolak pertanggungjawabannya oleh DPRD, sebagaimana dimaksud dalam pasal 53, tidak
dapat dicalonkan kembali sebagai Kepala Daerah dalam masa jabatan berikutnya.

Bagian Kedelapan
Tindakan Penyidikan Terhadap Kepala Daerah

Pasal 55

(1) Tindakan penyidikan terhadap Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari
Presiden.

(2) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lima
tahun atau lebih; dan

b. dituduh telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman mati.

(3) Setelah tindakan penyidikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan, hal itu harus dilaporkan
kepada Presiden selambat-lambatnya dalam 2 kali 24 jam.

39
Bagian Kesembilan
Wakil Kepala Daerah

Pasal 56

(1) Di setiap Daerah terdapat seorang Wakil Kepala Daerah.

(2) Wakil Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk, bersamaan dengan pelantikan
Kepala Daerah.

(3) Sebelum memangku jabatannya, Wakil Kepala Daerah mengucapkan sumpah/janji.

(4) Susunan kata-kata sumpah/janji dimaksud adalah sebagai berikut :

“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Wakil
Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa
saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi
negara serta segala peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Daerah dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.

(5) Ketentuan-ketentuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 41, Pasal 43 kecuali huruf g, Pasal
47 sampai dengan Pasal 54, berlaku juga bagi Wakil Kepala Daerah.

(6) Kepala Daerah Provinsi disebut Wakil Gubernur, Wakil Kepala Daerah Kabupaten disebut Wakil Bupati dan
Wakil Kepala Daerah Kota disebut Wakil Walikota.

Pasal 57

(1) Wakil Kepala Daerah mempunyai tugas:

a. membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan kewajibannya;

b. mengkoordinasikan kegiatan instansi pemerintahan di Daerah; dan

c. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah.

(2) Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.

(3) Wakil Kepala Daerah melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah apabila Kepala Daerah
berhalangan.

Pasal 58

(1) Apabila Kepala Daerah berhalangan tetap, jabatan Kepala Daerah diganti oleh Wakil Kepala Daerah sampai
habis masa jabatannya.

(2) Apabila Wakil Kepala Daerah berhalangan tetap, jabatan Wakil Kepala Daerah tidak diisi.

(3) Apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhalangan tetap, Sekretaris Daerah melaksanakan
tugas Kepala Daerah untuk sementara waktu.

(4) Apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhalangan tetap, DPRD menyelenggarakan pemilihan
Kepala Daerah Wakil Kepala Daerah selambat-lambatnya dalam waktu tiga bulan.

Bagian Kesepuluh
Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pasal 59

Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

40
Bagian Kesebelas
Perangkat Daerah

Pasal 60

Perangkat Daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan lembaga teknis Daerah lainnya, sesuai dengan
kebutuhan Daerah.

Pasal 61

(1) Sekretariat daerah dipimpin oleh Sekretariat Daerah.

(2) Sekretariat daerah Propinsi diangkat oleh Gubernur atas persetujuan pimpinan DPRD dan Pegawai Negeri
Sipil yang memenuhi syarat.

(3) Sekretaris Daerah Propinsi karena jabatannya adalah Sekretaris Wilayah Administrasi.

(4) Sekretaris Daerah Kabupaten atau Sekretaris Daerah Kota diangkat oleh Bupati atau Walikota atas
persetujuan pimpinan DPRD dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.

(5) Sekretaris Daerah berkewajiban membantu Kepala Daerah dalam menyusun kebijakan serta membina
hubungan kerja dengan dinas, lembaga teknis dan unit pelaksana lainnya.

(6) Sekretaris Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.

(7) Apabila Sekretaris Daerah berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas Sekretaris Daerah dilaksanakan
oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

Pasal 62

(1) Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah.

(2) Dinas dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang diangkat oleh Kepala Daerah dari Pegawai Negeri Sipil
yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah.

(3) Kepala Dinas bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.

Pasal 63

Penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah dalam
rangka dekonsentrasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), dilaksanakan oleh Dinas Provinsi.

Pasal 64

(1) Penyelenggaraan bidang pemerintah yang menjadi wewenang Pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7, dilakukan oleh instansi vertikal.

(2) Pembentukan, susunan organisasi, formasi, dan tata laksananya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 65

Di Daerah dapat dibentuk lembaga teknis sesuai dengan kebutuhan daerah

Pasal 66

(1) Kecamatan merupakan perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dipimpin oleh Kepala
Kecamatan.

(2) Kepala Kecamatan disebut Camat.

(3) Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai Negeri
Sipil yang memenuhi syarat.

(4) Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah dari Bupati/Walikota.

(5) Camat bertanggung jawab kepada Bupati atau Walikota.

(6) Pembentukan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

41
Pasal 67

(1) Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan.

(2) Kepala Kelurahan disebut Lurah.

(3) Lurah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat oleh Walikota/Bupati atas usul Camat.

(4) Lurah menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat.

(5) Lurah bertanggung jawab kepada Camat.

(6) Pembentukan Kelurahan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 68

(1) Susunan organisasi perangkat Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman
yang ditetapkan Pemerintah.

(2) Formasi dan persyaratan jabatan perangkat Daerah ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai
dengan pedoman yang ditetapkan Pemerintah.

BAB VI
PERATURAN DAERAH DAN KEPUTUSAN KEPALA DAERAH

Pasal 69

Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan Otonomi
Daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pasal 70

Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah lain, dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pasal 71

(1) Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum,
seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar.

(2) Peraturan Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dengan atau tidak merampas barang tertentu untuk Daerah,
kacuali jika ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 72

(1) Untuk melaksanakan Peraturan Daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku,
Kepala Daerah menetapkan keputusan Kepala Daerah.

(2) Keputusan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
peraturan daerah, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pasal 73

(1) Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersifat mengatur diundangkan dengan
menempatkannya dalam Lembaran Daerah.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah
diundangkan dalam Lembaran Daerah.
42
Pasal 74

(1) Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah dilakukan oleh pejabat
penyidik dan penuntut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Dengan Peraturan Daerah dapat juga ditunjuk pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan
terhadap pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah.

BAB VII
KEPEGAWAIAN DAERAH

Pasal 75

Norma, standar, dan prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji,
tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, serta kedudukan hukum Pegawai Negeri Sipil di Daerah dan Pegawai
Negeri Sipil Daerah, ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 76

Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun,
gaji, tunjangan, dan kesejahteraan pegawai, serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 77

Pemerintah Wilayah Propinsi melakukan pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian karier pegawai di
wilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
KEUANGAN DAERAH

Pasal 78

(1) Penyelenggaraan tugas Pemerintahan Daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja daerah.

(2) Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Daerah dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara

Pasal 79

(1) Sumber Pendapatan daerah terdiri atas :

- pendapatan asli daerah, yaitu :

a. hasil pajak Daerah, hasil retribusi Daerah, hasil perusahaan milik Daerah, dan hasil
pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang
sah;

b. dana perimbangan;

c. pinjaman Daerah;

d. lain-lain pendapatan Daerah yang sah.

Pasal 80

(1) Dana perimbangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, terdiri atas :

a. bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;

43
b. dana alokasi umum; dan

c. dana alokasi khusus.

(2) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan, perkotaan, dan perkebunan
serta Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diterima
langsung oleh Daerah penghasil.

(3) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan serta kehutanan dan
penerimaan dari sumber daya alam, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diterima oleh Daerah
penghasil dan Daerah lainnya untuk pemerataan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan
undang-undang.

Pasal 81

(1) Pemerintahan Daerah dapat melakukan peminjaman dalam negeri dan/atau dari sumber luar negeri untuk
membiayai kegiatan pemerintahan dengan persetujuan DPRD.

(2) Pinjaman dari dalam negeri diberitahukan kepada Pemerintah dan dilaksanakan sesuai dengan pedoman
yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(3) Peminjaman dan sumber dana pinjaman yang berasal dari luar negeri, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), harus mendapatkan persetujuan Pemerintah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Tata cara peminjaman, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 82

(1) Pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang.

(2) Penentuan tarif dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan Peraturan daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 83

(1) Untuk mendorong pemberdayaan Daerah, Pemerintah memberi insentif fiskal dan nonfiskal tertentu.

(2) Ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 84

Daerah dapat memiliki Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
pembentukkannya diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 85

(1) Barang Milik Daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum tidak dapat digadaikan, dibebani
hak tanggungan, dan/atau dipindahtangankan.

(2) Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD dapat menetapkan keputusan tentang :

a. penghapusan daerah sebagian atau seluruhnya;

b. persetujuan penyelesaian sengketa perdata secara damai; dan

c. tindakan hukum lain mengenai barang milik Daerah.

Pasal 86

(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah selambat-lambatnya satu
bulan setelah ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2) Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah selambat-
lambatnya tiga bulan sebelum tahun anggaran berakhir.

44
(3) Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya
tahun anggaran yang bersangkutan.

(4) Pedoman tentang penyusunan, perubahan, dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(5) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah disampaikan
kepada Gubernur bagi Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi
Pemerintah Propinsi untuk diketahui.

(6) Pedoman tentang pengurusan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan Daerah serta tata cara
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan Daerah dan
penyusunan perhitungan dan Belanja Daerah ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB IX
KERJASAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 87

(1) Beberapa Daerah dapat mengadakan kerjasama antar Daerah yang diatur dengan keputusan bersama.

(2) Daerah dapat membentuk Badan Kerja Sama antar Daerah.

(3) Daerah dapat mengadakan kerja sama dengan badan lain yang diatur dengan keputusan bersama.

(4) Keputusan bersama dan/atau badan kerjasama, sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), yang membebani masyarakat dan Daerah harus mendapat persetujuan DPRD masing-masing.

Pasal 88

(1) Daerah dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga/badan di luar negeri,
yang diatur dengan keputusan bersama, kecuali menyangkut kewenangan Pemerintah, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7.

(2) Tata cara, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 89

(1) Perselisihan antar Daerah diselesaikan oleh Pemerintah secara musyawarah.

(2) Apabila dalam penyelesaian perselisihan antar-Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdapat
salah satu pihak yang tidak dapat menerima keputusan Pemerintah, pihak tersebut dapat mengajukan
penyelesaian kepada Mahkamah Agung.

BAB X
KAWASAN PERKOTAAN

Pasal 90

Selain Kawasan Perkotaan yang berstatus Daerah Kota, perlu ditetapkan Kawasan Perkotaan yang terdiri atas :

(a) Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian Daerah Kabupaten;

(b) Kawasan Perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah Kawasan Perdesaan
menjadi Kawasan Perkotaan; dan

(c) Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih Daerah yang berbatasan sebagai satu
kesatuan sosial, ekonomi, dan fisik perkotaan.

45
Pasal 91

(1) Pemerintah Kota dan/atau Pemerintah Kabupaten yang wilayahnya berbatasan langsung dapat membentuk
lembaga bersama untuk mengelola Kawasan Perkotaan.

(2) Di Kawasan Perdesaan yang direncanakan dan dibangun menjadi Kawasan Perkotaan di Daerah Kabupaten,
dapat dibentuk Badan Pengelolaan Pembangunan yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan hal-hal lain mengenai pengelolaan
Kawasan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 92

(1) Dalam penyelenggaraan pembangunan Kawasan Perkotaan, Pemerintah Daerah perlu mengikutsertakan
masyarakat dan pihak swasta.

(2) Pengikutsertaan masyarakat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan upaya pemberdayaan
masyarakat dalam pembangunan perkotaan.

(3) Pengaturan mengenai Kawasan Perkotaan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

BAB XI
DESA

Bagian Pertama
Pembentukan, Penghapusan, dan/atau Penggabungan Desa

Pasal 93

(1) Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa
masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD.

(2) Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 94

Di Desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintah Desa.

Bagian Kedua
Pemerintah Desa

Pasal 95

(1) Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan perangkat Desa.

(2) Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa dari calon yang memenuhi syarat.

(3) Calon Kepala Desa yang terpilih dengan mendapatkan dukungan suara terbanyak, sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ditetapkan oleh Badan Perwakilan Desa dan disahkan oleh Bupati.

Pasal 96

Masa jabatan Kepala Desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan.

Pasal 97

Yang dapat dipilih menjadi Kepala Desa adalah penduduk Desa warga negara Republik Indonesia dengan syarat-
syarat :

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

46
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

c. tidak pernah terlibat langsung atau tidak langsung dalam kegiatan yang mengkhianati Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, G-30S/PKI dan/atau kegiatan organisasi terlarang lainnya;

d. berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau berpengalaman yang


sederajat;

e. berumur sekurang-kurangnya 25 tahun;

f. sehat jasmani dan rohani;

g. nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya;

h. berkelakuan baik, jujur, dan adil;

i. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana;

j. tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

k. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di Desa setempat;

l. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa; dan

m. memenuhi syarat-syarat lain yang sesuai dengan adat istiadat yang diatur dalam Peraturan Daerah.

Pasal 98

(1) Kepala Desa dilantik oleh Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk.

(2) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desa mengucapkan sumpah/janji.

(3) Susunan kata-kata sumpah/janji dimaksud adalah sebagai berikut :

“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Kepala
Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam
mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan menegakkan
kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara serta segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi Desa, Daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Pasal 99

Kewenangan Desa mencakup :

a. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa;

b. kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah
dan Pemerintah; dan

c. tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten.

Pasal 100

Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten kepada Desa disertai
dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.

47
Pasal 101

Tugas dan kewajiban Kepala Desa adalah :

a. memimpin penyelenggaraan Pemerintah Desa;

b. membina kehidupan masyarakat Desa;

c. membina perekonomian Desa;

d. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;

e. mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa; dan

f. mewakili Desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya.

Pasal 102

Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, sebagaimana dimaksud dalam pasal 101, Kepala Desa :

a. bertanggung jawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa; dan

b. menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati.

Pasal 103

(1) Kepala desa berhenti karena :

a. meninggal dunia;

b. mengajukan berhenti atas permintaan sendiri;

c. tidak lagi memenuhi syarat dan/atau melanggar sumpah/janji;

d. berakhir masa jabatan dan telah dilantik Kepala Desa yang baru; dan

e. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang


berlaku dan/atau norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Desa.

(2) Pemberhentian Kepala Desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Bupati atas usul
Badan Perwakilan Desa.

Bagian Ketiga
Badan Perwakilan Desa

Pasal 104

Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan
Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Pemerintah Desa

Pasal 105

(1) Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk Desa yang memenuhi persyaratan.

(2) Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota.

(3) Badan Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa.

(4) Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.

48
Bagian Keempat
Lembaga Lain

Pasal 106

Di Desa dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.

Bagian Kelima
Keuangan Desa

Pasal 107

(1) Sumber pendapatan Desa terdiri atas :

a. pendapatan asli Desa yang meliputi :

1) hasil usaha Desa,

2) hasil kekayaan Desa,

3) hasil swadaya dan partisipasi,

4) hasil gotong-royong, dan

5) lain-lain pendapatan asli Desa yang sah;

b. bantuan dari Pemerintah Kabupaten yang meliputi :

1) bagian dari perolehan pajak dan retribusi Daerah, dan

2) bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten;

c. bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Propinsi;

d. sumbangan dari pihak ketiga; dan

e. pinjaman Desa.

(2) Sumber pendapatan Desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa.

(3) Kepala Desa bersama-sama Badan Perwakilan Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
setiap tahun dengan Peraturan Desa.

(4) Pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ditetapkan oleh Bupati.

(5) Tata cara dan pungutan objek Pendapatan dan Belanja Desa ditetapkan bersama antara Kepala Desa dan
Badan Perwakilan Desa.

Pasal 108

Desa dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam
Kerja Sama Antar Desa

Pasal 109

(1) Beberapa Desa dapat mengadakan kerja sama untuk kepentingan Desa yang diatur dengan Keputusan
Bersama dan diberitahukan kepada Camat.

(2) Untuk pelaksanaan kerja sama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibentuk Badan Kerja Sama.

49
Pasal 110

Pemerintah Kabupaten dan/atau pihak ketiga yang merencanakan pembangunan bagian wilayah Desa menjadi
wilayah permukiman, industri, dan jasa wajib mengikutsertakan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasannya.

Pasal 111

(1) Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten, sesuai dengan
pedoman umum yang ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan undang-undang ini.

(2) Peraturan Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengakui dan menghormati hak, asal
usul, dan adat istiadat Desa.

BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 112

(1) Dalam rangka pembinaan, Pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi Daerah.

(2) Pedoman mengenai pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Otonomi Daerah ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 113

Dalam rangka pengawasan, Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah disampaikan kepada Pemerintah
selambat-lambatnya lima belas hari setelah ditetapkan.

Pasal 114

(1) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan
dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan
perundang-undangan lainnya.

(2) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diberitahukan kepada Daerah yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya.

(3) Selambat-lambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah tersebut
dibatalkan pelaksanaannya.

(4) Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah
mengajukannya kepada Pemerintah.

BAB XIII
DEWAN PERTIMBANGAN OTONOMI DAERAH

Pasal 115

(1) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai:

a. pembentukan, penghapusan, penggabungan dan pemekaran daerah;

b. Perimbangan keuangan pusat dan daerah; dan

c. Kemampuan daerah kabupaten dan daerah kota untuk melaksanakan kewenangan tertentu,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11.

(2) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah terdiri dari Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri
Sekretaris Negara, Menteri Lain sesuai dengan kebutuhan, perwakilan asosiasi pemerintah daerah, dan
wakil-wakil daerah yang dipilih oleh DPRD.

(3) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan karena jabatannya adalah Ketua dan Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah.

50
(4) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengadakan rapat sekurang-kurangnya satu kali dalam 6 (enam)
bulan.

(5) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah bertanggung jawab kepada Presiden.

(6) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 116

Dalam melaksanakan tugasnya Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dibantu oleh Kepala Sekretaris yang
membawahkan bidang otonomi daerah dan bidang perimbangan keuangan pusat dan daerah.

BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 117

Ibukota Negara Republik Indonesia, Jakarta, karena kedudukannya diatur tersendiri dengan undang-undang.

Pasal 118

(1) Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur dapat diberikan otonomi khusus dalam rangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan perundang-undangan.

(2) Pengaturan mengenai penyelenggaraan otonomi khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan undang-undang.

Pasal 119

(1) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, berlaku juga
di kawasan otorita yang terletak di dalam Daerah Otonom, yang meliputi badan otorita, kawasan pelabuhan,
kawasan bandar udara, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan
pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan pariwisata, kawasan jalan bebas hambatan, dan kawasan
lain yang sejenis.

(2) Pengaturan lebih lanjut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 120

(1) Dalam rangka menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum serta untuk menegakkan Peraturan
Daerah dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja sebagai perangkat Pemerintah Daerah.

(2) Susunan organisasi, formasi, kedudukan, wewenang, hak, tugas, dan kewajiban Polisi Pamong Praja
ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah

Pasal 121

Sebutan Propinsi Daerah Tingkat I, Kabupaten Daerah Tingkat II, dan Kotamadya Daerah Tingkat II, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, berubah masing-masing menjadi Propinsi, Kabupaten,
dan Kota.

Pasal 122

Keistimewaan untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan Propinsi Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada undang-undang
ini.

Pasal 123

Kewenangan Daerah, baik kewenangan pangkal atas dasar pembentukan Daerah maupun kewenangan tambahan
atas dasar Peraturan Pemerintah dan/atau atas dasar peraturan perundang-undangan lainnya, penyelenggaraannya
disesuaikan dengan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 undang-undang ini.

51
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 124

Pada saat berlakunya undang-undang ini, nama, batas, dan ibukota Propinsi Daerah Tingkat I, Daerah Istimewa,
Kabupaten Daerah Tingkat II, Kotamadya Daerah Tingkat II, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan, adalah tetap.

Pasal 125

(1) Kotamadya Batam, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Mimika, Kabupaten Simeuleu,
dan semua Kota Administratif dapat ditingkatkan menjadi Daerah Otonom dengan memperhatikan Pasal 5
Undang-undang ini.

(2) Selambat-lambatnya dua tahun setelah tanggal ditetapkannya undang-undang ini, Kotamadya, Kabupaten,
dan Kota Administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sudah harus berubah statusnya menjadi
Kabupaten/Kota jika memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 5 Undang-undang ini.

(3) Kotamadya, Kabupaten, dan Kota Administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dihapuskan
jika tidak memenuhi ketentuan untuk ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Otonom.

Pasal 126

(1) Kecamatan, Kelurahan, dan Desa yang ada pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini tetap sebagai
Kecamatan, Kelurahan, dan Desa atau yang disebut dengan nama lain, sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 huruf m, huruf n, dan huruf o Undang-undang ini, kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan.

(2) Desa-desa yang ada dalam wilayah Kotamadya, Kotamadya Administratif, dan Kota Administratif berdasarkan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini ditetapkan sebagai
Kelurahan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf n Undang-undang ini.

Pasal 127

Selama belum ditetapkan peraturan pelaksanaan Undang-undang ini, seluruh instruksi, petunjuk, atau pedoman
yang ada atau yang diadakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah jika tidak bertentangan dengan Undang-
undang ini dinyatakan tetap berlaku.

Pasal 128

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Wakil Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Bupati Kepala Daerah Tingkat II,
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Wakil Bupati Kepala Daerah Tingkat II, Wakil Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II, Bupati, Walikotamadya, Walikota, Camat, Lurah, dan Kepala Desa beserta perangkatnya yang
ada, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1979, pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini tetap menjalankan tugasnya, kecuali ditentukan lain berdasarkan
Undang-undang ini.

Pasal 129

(1) Dengan diberlakukannya Undang-undang ini, Lembaga Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati, Pembantu
Walikotamadya, dan Badan Pertimbangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
5 Tahun 1974, dihapus.

(2) Instansi vertikal di Daerah selain yang menangani bidang-bidang luar negeri, pertahanan, keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, serta agama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, menjadi perangkat
Daerah.

(3) Semua instansi vertikal yang menjadi perangkat Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kekayaannya
dialihkan menjadi milik Daerah.

Pasal 130

(1) Apabila masa jabatan Wakil Kepala Daerah berakhir lebih awal daripada masa jabatan Kepala Daerah,
jabatan Wakil Kepala Daerah tidak diisi.

(2) Apabila masa jabatan Wakil Kepala Daerah berakhir lebih lambat daripada masa jabatan Kepala Daerah,
masa jabatan Wakil Kepala Daerah disesuaikan dengan masa jabatan Kepala Daerah.

52
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 131

(1) Pada saat berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi :

(2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

(3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor
56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153)

Pasal 132

(1) Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut Undang-undang ini sudah selesai selambat-lambatnya satu
tahun sejak Undang-undang ini ditetapkan.

(2) Pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan secara efektif selambat-lambatnya dalam waktu dua tahun
sejak ditetapkannya Undang-undang ini.

Pasal 133

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan Undang-undang ini,
diadakan penyesuaian.

Pasal 134

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di : Jakarta

Pada tanggal : 7 Mei 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Mei 1999

MENTERI SEKRETARIS NEGARA


REPUBLIK INDONESIA

ttd.

AKBAR TANDJUNG

53
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1999
TENTANG
PEMERINTAH DAERAH

UMUM

1. Dasar Pemikiran

a. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada Daerah untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah. Karena itu, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, antara lain,
menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang.

Dalam penjelasan pasal tersebut, antara lain, dikemukakan bahwa “Oleh karena Negara Indonesia itu
suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat
staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi akan dibagi dalam
daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek en locale rechtgemeenschappen)
atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-undang.”
Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah. Oleh karena itu, di daerah
pun, pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

b. Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan
otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah,
sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

c. Undang-undang ini disebut “Undang-undang Pemerintah Daerah” karena Undang-undang ini pada prinsipnya
mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas
desentralisasi.

d. Sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tersebut di atas, penyelenggaraan Otonomi Daerah
dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah
secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu, penyelenggaraan
Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan,
dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.

e. Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran
dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, Undang-undang ini menempatkan Otonomi
Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yang dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974 berkedudukan sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II dan Kotamadya Daerah Tingkat II. Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota tersebut berkedudukan sebagai Daerah Otonom mempunyai kewenangan
dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.

f. Propinsi Daerah Tingkat I menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, dalam Undang-undang ini dijadikan
Daerah Propinsi dengan kedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang
melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Propinsi
bukan merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan demikian, Daerah
Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hirarki.

g. Pemberian kedudukan propinsi sebagai Daerah Otonom dan sekaligus sebagai Wilayah Administrasi
dilakukan dengan pertimbangan :

1. untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia;

54
2. untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang bersifat lintas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota
serta melaksanakan kewenangan Otonomi Daerah yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota; dan
3. untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan
asas dekonsentrasi.

h. Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang menganut
prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan
kewajiban daripada hak, maka dalam Undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas,
nyata dan bertanggung jawab.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang
mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu, keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan
yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian, dan evaluasi.
Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan
pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang
di daerah.
Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban
yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan
pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam
rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi untuk Daerah Propinsi diberikan secara terbatas yang meliputi kewenangan lintas Kabupaten dan
Kota, dan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta
kewenangan di bidang pemerintah tertentu lainnya.

i. Atas dasar pemikiran di atas, prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah yang dijadikan pedoman dalam
Undang - undang ini adalah sebagai berikut :

1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,


pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan
yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatnya kemandirian Daerah Otonomi, dan karenanya
dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah Administrasi.
Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti badan
otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan
pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya
berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonomi.
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah,
baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi dalam kedudukannya sebagai
Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada
Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah,
tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah.

2. Pembagian Daerah

Isi dan jiwa yang terkandung dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya menjadi
pedoman dalam penyusunan undang-undang ini dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

a Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan


asas dekonsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah Daerah Propinsi,
sedangkan Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan
melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

55
c. Pembagian Daerah di luar daerah Propinsi dibagi habis ke dalam Daerah Otonom. Dengan demikian,
Wilayah Administrasi yang berada dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dapat dijadikan Daerah
Otonom atau dihapus.

d. Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 sebagai Wilayah Administrasi dalam
rangka dekonsentrasi, menurut undang-undang ini kedudukannya diubah menjadi perangkat Daerah
Kabupaten atau Daerah Kota.

3. Prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Prinsip penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, adalah :


a. digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;
b. penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota; dan
c. asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, Daerah
Kota, dan Desa.

4. Susunan Pemerintahan Daerah dan Hak DPRD

Susunan Pemerintahan Daerah Otonom meliputi DPRD dan Pemerintah Daerah. DPRD dipisahkan dari
Pemerintah Daerah dengan maksud untuk lebih memberdayakan DPRD dan meningkatkan
pertanggungjawaban Pemerintah Daerah kepada rakyat. Oleh karena itu, hak-hak DPRD cukup luas dan
diarahkan untuk menyerap serta menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi kebijakan Daerah dan melakukan
fungsi pengawasan.

5. Kepala Daerah

Untuk menjadi Kepala Daerah, seseorang diharuskan memenuhi persyaratan tertentu yang intinya agar
Kepala Daerah selalu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki etika dan moral, berpengetahuan,
dan berkemampuan sebagai pimpinan pemerintahan, berwawasan kebangsaan, serta mendapatkan
kepercayaan rakyat.
Kepala Daerah disamping sebagai pimpinan pemerintahan, sekaligus adalah Pimpinan Daerah dan
pengayom masyarakat sehingga Kepala Daerah harus mampu berpikir, bertindak, dan bersikap dengan
lebih mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat umum daripada kepentingan pribadi,
golongan, dan aliran. Oleh karena itu, dari kelompok atau etnis, dan keyakinan mana pun Kepala Daerah
harus bersikap arif, bijaksana, jujur, adil, dan netral.

6. Pertanggungjawaban Kepala Daerah

Dalam menjalankan tugas dan kewajiban Pemerintah Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD
Provinsi, sedangkan dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada
Presiden. Sementara itu, dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,
Bupati atau Walikota bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten/DPRD Kota dan berkewajiban
memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dalam rangka pembinaan dan
pengawasan.

7. Kepegawaian

Kebijakan kepegawaian dalam undang-undang ini dianut kebijakan yang mendorong pengembangan
Otonomi Daerah sehingga kebijakan kepegawaian di Daerah yang dilaksanakan oleh Daerah Otonom
sesuai dengan kebutuhannya, baik pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan mutasi maupun
pemberhentian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mutasi antar Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota dalam Daerah Propinsi diatur oleh Gubernur, sedangkan mutasi antar Daerah Propinsi diatur oleh
Pemerintah. Mutasi antar Daerah Propinsi dan/atau antar Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan
pada kesepakatan Daerah Otonom tersebut.

8. Keuangan Daerah

(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, diperlukan
kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antara Propinsi dan Kabupaten/Kota yang
merupakan prasyarat dalam sistem Pemerintahan Daerah.

(2) Dalam rangka menyelenggarakan Otonomi Daerah kewenangan keuangan yang melekat pada setiap
kewenangan Pemerintahan menjadi kewenangan Daerah.

56
9. Pemerintahan Desa

(1) Desa berdasarkan undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai
suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang
bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.
Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.

(2) Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan


pemerintahan sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab pada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan
laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati.

(3) Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan,
harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan. Untuk itu, Kepala Desa
dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum
dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.

(4) Sebagai perwujudan demokrasi, di Desa dibentuk Badan Perwakilan Desa atau sebutan lain yang
sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga
legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa, dan Keputusan Kepala Desa.

(5) Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa. Lembaga
dimaksud merupakan mitra Pemerintah Desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat Desa.

(6) Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan Desa, bantuan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman Desa.

(7) Berdasarkan hak asal usul Desa yang bersangkutan, Kepala Desa mempunyai wewenang untuk
mendamaikan perkara/sengketa dari para warganya.

(8) Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat yang bercirikan perkotaan
dibentuk Kelurahan sebagai unit Pemerintah Kelurahan yang berada di dalam Daerah Kabupaten dan/
atau Daerah Kota.

10. Pembinaan dan Pengawasan

Yang dimaksud dengan pembinaan adalah lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan
Daerah Otonom, sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih
memberikan kebebasan kepada Daerah Otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran
kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan Otonomi
Daerah. Karena itu, Peraturan Daerah yang ditetapkan Daerah Otonom tidak memerlukan pengesahan
terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud Wilayah Administrasi adalah daerah administrasi menurut Undang-Undang Dasar
1945.

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas

57
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain adalah bahwa Daerah
Propinsi tidak membawahkan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, tetapi dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi, kerja sama, dan/atau kemitraan dengan
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dalam kedudukan masing-masing sebagai Daerah Otonom.
Sementara itu, dalam kedudukan sebagai Wilayah Administrasi, Gubernur selaku Wakil Pemerintah
melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Untuk menentukan batas dimaksud, setiap undang-undang mengenai pembentukan Daerah dilengkapi
dengan peta yang dapat menunjukkan dengan tepat letak geografis Daerah yang bersangkutan,
demikian pula mengenai perubahan batas Daerah.

Ayat (3)
Yang dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan pada usul Pemerintah Daerah
dengan persetujuan DPRD.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan moneter dan fiskal adalah kebijakan makro ekonomi. Khusus di bidang
keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah kepada Daerah sebagai upaya
meningkatkan keikutsertaan Daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 8
Dalam penyelenggaraan kewenangan Pemerintah yang diserahkan dan/atau dilimpahkan kepada Daerah/
Gubernur, Daerah/Gubernur mempunyai kewenangan untuk mengelolanya mulai dari pembiayaan, perizinan,
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sesuai dengan standar, norma, dan kebijakan Pemerintah.

Pasal 9
Ayat (1)
Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota seperti kewenangan di
bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan.
Yang dimaksud dengan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya adalah :
perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro;
pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial, dan penelitian yang mencakup
wilayah provinsi;
pengelolaan pelabuhan regional;
pengendalian lingkungan hidup;
promosi dagang dan budaya / pariwisata;
penanganan penyakit menular dan hama tanaman; dan
perencanaan tata ruang propinsi.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kewenangan ini adalah kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota
yang ditangani oleh Propinsi setelah ada pernyataan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sumber daya nasional adalah sumber daya alam, sumber daya buatan, dan
sumber daya manusia yang tersedia di Daerah.

58
Ayat (2)
Khusus untuk penangkapan ikan secara tradisional tidak dibatasi wilayah laut.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)
Dengan diberlakukannya undang-undang ini, pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada
pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak perlu
dilakukan secara aktif, tetapi dilakukan melalui pengakuan oleh Pemerintah.

Ayat (2)
Tanpa mengurangi arti dan pentingnya prakarsa Daerah dalam penyelenggaraan otonominya, untuk
menghindarkan terjadinya kekosongan penyelenggaraan pelayanan dasar kepada masyarakat. Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota wajib melaksanakan kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu
menurut pasal ini, sesuai dengan kondisi Daerah masing-masing.
Kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak dapat dialihkan
ke Daerah Propinsi. Khusus kewenangan Daerah Kota disesuaikan dengan kebutuhan perkotaan,
antara lain, pemadam kebakaran, kebersihan, pertamanan, dan tata kota.

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Dalam kedudukannya sebagai Badan Legislatif Daerah, DPRD bukan merupakan bagian dari
Pemerintah Daerah.

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Pemilihan anggota MPR dari Utusan Daerah hanya dilakukan oleh DPRD Provinsi.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

59
Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pejabat negara dan pejabat pemerintah adalah pejabat di lingkungan kerja
DPRD bersangkutan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

60
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara bersamaan adalah
bahwa calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dipilih secara berpasangan. Pemilihan
secara bersamaan ini dimaksudkan untuk menjamin kerja sama yang harmonis antara Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan rapat paripurna adalah rapat yang khusus diadakan untuk pemilihan Kepala
Daerah.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Ayat (1)
Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dikonsultasikan dengan Presiden, karena kedudukannya
selaku wakil Pemerintah di Daerah.

Ayat (2)
Calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota diberitahukan
kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah.

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Pengucapan sumpah/janji dan pelantikan Kepala Daerah dapat dilakukan di Gedung DPRD atau di
gedung lain, dan tidak dilaksanakan dalam rapat DPRD. Pengucapan sumpah/janji dilakukan menurut
agama yang diakui Pemerintah, yakni :

61
diawali dengan ucapan “Demi Allah” untuk penganut agama Islam, diakhiri dengan ucapan “Semoga
Tuhan menolong saya” untuk penganut agama Kristen Protestan/Katolik, diawali dengan ucapan “Om
atah paramawisesa” untuk penganut agama Hindu, dan diawali dengan ucapan “Demi Sanghyang Adi
Buddha” untuk penganut agama Buddha.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 43
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, Kepala Daerah berkewajiban mewujudkan
demokrasi ekonomi dengan melaksanakan pembinaan dan pengembangan koperasi, usaha kecil
dan menengah yang mencakup permodalan, pemasaran, pengembangan teknologi, produksi, dan
pengolahan serta pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia.

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Huruf a dan huruf e
Larangan tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya konflik kepentingan
bagi Kepala Daerah dalam melaksanakan tugasnya untuk memberikan pelayanan pemerintahan
dengan tidak membeda-bedakan warga masyarakat.

Huruf b, huruf c, dan huruf d


Larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, antara lain yang
berwujud korupsi, kolusi dan nepotisme.

Pasal 49
Cukup jelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas
62
Pasal 53
Ayat (1)
Pemberitahuan secara tertulis tentang berakhirnya masa jabatan Gubernur, tembusannya dikirimkan
kepada Presiden, sedangkan berakhirnya masa jabatan Bupati/Walikota, tembusannya dikirimkan
kepada Gubernur.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Pengucapan sumpah/janji dan pelantikan Wakil Kepala Daerah dapat dilakukan di gedung DPRD
atau gedung lain, dan tidak dilaksanakan dalam rapat DPRD. Pengucapan sumpah/janji dilakukan
menurut agama yang diakui Pemerintah, yakni :
diawali dengan ucapan “Demi Allah” untuk penganut agama Islam
diakhiri dengan ucapan “Semoga Tuhan menolong saya” untuk penganut agama Kristen Protestan/
Katolik.
diawali dengan ucapan “Om atah paramawisesa” untuk penganut agama Hindu, dan
diawali dengan ucapan “Demi Sanghyang Adi Buddha” untuk penganut agama Budha.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Cukup jelas

Pasal 60
Cukup jelas

Pasal 61
Cukup jelas

Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas

63
Pasal 64
Cukup jelas

Pasal 65
Yang dimaksud dengan lembaga teknis adalah Badan Penelitian dan Pengembangan, Badan Perencanaan,
Lembaga Pengawasan, Badan Pendidikan dan Pelatihan, dan lain-lain.

Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Sekretaris Daerah Kota/Kabupaten memberi pertimbangan kepada Walikota/Bupati dalam proses
pengangkatan Lurah.

Ayat (4)
Camat dapat melimpahkan sebagian kewenangan kepada Lurah.

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Peraturan Daerah hanya ditandatangani oleh Kepala Daerah dan tidak ditandatangani serta Pimpinan
DPRD karena DPRD bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah.

Pasal 70
Yang dimaksud dengan Peraturan Daerah lain adalah Peraturan Daerah yang sejenis dan sama kecuali
untuk perubahan.

Pasal 71
Ayat (1)
Paksaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk menegakkan hukum dengan undang-undang
ini disebut “paksaan penegakan hukum” atau “paksaan pemeliharaan hukum”.

Paksaan penegakan hukum itu pada umumnya berwujud mengambil atau meniadakan, mencegah,
melakukan, atau memperbaiki segala sesuatu yang telah dibuat, diadakan, dijalankan, dialpakan,
atau ditiadakan yang bertentangan dengan hukum.

Paksaan itu harus didahului oleh suatu perintah tertulis oleh penguasa eksekutif kepada pelanggar.
Apabila pelanggar tidak mengindahkannya, diambil suatu tindakan paksaan. Pejabat yang menjalankan
tindakan paksaan penegakan hukum terhadap pelanggar harus dengan tegas diserahi tugas tersebut.
Paksaan penegakan hukum itu hendaknya hanya dilakukan dalam hal yang sangat perlu saja dengan
cara seimbang sesuai dengan berat pelanggaran, karena paksaan tersebut pada umumnya dapat
menimbulkan kerugian atau penderitaan. Jumlah denda dapat disesuaikan dengan perkembangan
tingkat kemahalan hidup.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 72
Cukup jelas

Pasal 73
Ayat (1)
Pengundangan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersifat mengatur dilakukan
menurut cara yang sah, yang merupakan keharusan agar Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
Daerah tersebut mempunyai kekuatan hukum dan mengikat.
64
Pengundangan dimaksud kecuali untuk memenuhi formalitas hukum juga dalam rangka keterbukaan
pemerintahan. Cara pengundangan yang sah adalah dengan menempatkannya dalam Lembaran
Daerah oleh Sekretaris Daerah. Untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah, peraturan dan keputusan tersebut perlu dimasyarakatkan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 74
Cukup jelas

Pasal 75
Cukup jelas

Pasal 76
Pemindahan pegawai dalam Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Bupati/Walikota, pemindahan pegawai
antar Daerah Kabupaten/Kota dan/atau antara Daerah Kabupaten/Kota dan Daerah Propinsi dilakukan oleh
Gubernur setelah berkonsultasi dengan Bupati/Walikota, dan pemindahan pegawai antar Daerah Propinsi
atau antara Daerah Propinsi dan Pusat serta pemindahan pegawai Daerah antara Daerah Kabupaten/Kota
dan Daerah Kabupaten/Kota di Daerah Propinsi lainnya ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi
dengan Kepala Daerah.

Pasal 77
Cukup jelas

Pasal 78
Cukup jelas

Pasal 79
Huruf a
Angka (1)
Cukup jelas

Angka (2)
Cukup jelas

Angka (3)
Cukup jelas

Angka (4)
Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah antara lain hasil penjualan aset Daerah dan jasa giro.

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Lain-lain pendapatan Daerah yang sah adalah antara lain hibah atau penerimaan dari Daerah Propinsi
atau Daerah Kabupaten/Kota lainnya, dan penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 80
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan penerimaan sumber daya alam adalah penerimaan negara yang berasal
dari pengelolaan sumber daya alam antara lain di bidang pertambangan umum, pertambangan
minyak dan gas bumi, kehutanan, dan perikanan.

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

65
Ayat (2)
Tidak termasuk bagian Pemerintah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan yang dikembalikan kepada Daerah.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 81
Ayat (1)
Pinjaman dalam negeri bersumber dari Pemerintah, lembaga komersial, dan/atau penerbitan obligasi
Daerah dengan diberitahukan kepada Pemerintah sebelum peminjaman tersebut dilaksanakan.

Yang berwenang mengadakan dan menanggung pinjaman Daerah adalah Kepala Daerah, yang
ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah atas persetujuan DPRD.

Di dalam Keputusan Kepala Daerah harus dicantumkan jumlah pinjaman dan sumber dana untuk
memenuhi kewajiban pembayaran pinjaman.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Mekanisme pinjaman dari sumber luar negeri harus mendapat persetujuan Pemerintah mengandung
pengertian bahwa Pemerintah akan melakukan evaluasi dari berbagai aspek mengenai dapat tidaknya
usulan pinjaman Daerah untuk diproses lebih lanjut. Dengan demikian pemrosesan lebih lanjut usulan
pinjaman Daerah secara tidak langsung sudah mencerminkan persetujuan Pemerintah atas usulan
termaksud.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 82
Ayat (1)
Daerah dapat menetapkan pajak dan retribusi dengan Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan
undang-undang.

Ayat (2)
Penentuan tata cara pemungutan pajak dan retribusi Daerah termasuk pengembalian atau pembebasan
pajak dan/atau retribusi Daerah yang dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.

Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan insentif nonfiskal adalah bantuan Pemerintah berupa kemudahan
pembangunan prasarana, penyebaran lokasi industri strategis, penyebaran lokasi pusat-pusat
perbankan nasional, dan lain-lain.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 84
Cukup jelas

Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Yang dimaksud dengan tindakan hukum lain adalah menjual, menggadaikan, menghibahkan,
tukar guling, dan/atau memindahtangankan.

66
Pasal 86
Cukup jelas

Pasal 87
Cukup jelas

Pasal 88
Cukup jelas

Pasal 89
Cukup jelas

Pasal 90
Cukup jelas

Pasal 91
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan lembaga bersama adalah lembaga yang dibentuk secara bersama oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota yang berbatasan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 92
Ayat (1)
Pemerintah Daerah perlu memfasilitasi pembentukan forum perkotaan untuk menciptakan sinergi
Pemerintah Daerah, masyarakat, dan pihak swasta.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat adalah pengikutsertaan dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pemilikan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 93
Ayat (1)
Istilah Desa disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat seperti nagari, kampung,
huta, bori, dan marga.
Yang dimaksud dengan asal usul adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang
Dasar 1945 dan penjelasannya.

Ayat (2)
Dalam pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa perlu dipertimbangkan luas
wilayah, jumlah penduduk, sosial budaya, potensi Desa, dan lain-lain.

Pasal 94
Istilah Badan Perwakilan Desa dapat disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa setempat.
Pembentukan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dilakukan oleh masyarakat Desa.

Pasal 95
Ayat (1)
Istilah Kepala Desa dapat disesuaikan dengan kondisi sosial budaya Desa setempat.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

67
Pasal 96
Daerah Kabupaten dapat menetapkan masa jabatan Kepala Desa sesuai dengan sosial budaya setempat.

Pasal 97
Cukup jelas

Pasal 98
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Pengucapan sumpah/janji Kepala Desa dilakukan menurut agama yang diakui Pemerintah, yakni :
diawali dengan ucapan “Demi Allah” untuk penganut agama Islam,
diakhiri dengan ucapan “semoga Tuhan menolong saya” untuk penganut agama Kristen Protestan/
Katolik,
diawali dengan ucapan “Om atah paramawisesa” untuk penganut agama Hindu, dan
diawali dengan ucapan “Demi Sanghyang Adi Buddha” untuk penganut agama Buddha.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 99
Cukup jelas

Pasal 100
Pemerintah Desa berhak menolak pelaksanaan Tugas Pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.

Pasal 101
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Untuk mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa, Kepala Desa dapat dibantu oleh lembaga
adat Desa. Segala perselisihan yang telah didamaikan oleh Kepala Desa bersifat mengikat pihak-
pihak yang berselisih.

Huruf f
Cukup jelas

Pasal 102
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Laporan Kepala Desa disampaikan kepada Bupati dengan tembusan kepada Camat

Pasal 103
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

68
Huruf d
Untuk menghindari kekosongan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Kepala Desa yang
telah berakhir masa jabatannya tetap melaksanakan tugasnya sebagai Kepala Desa sampai
dengan dilantiknya Kepala Desa yang baru.

Huruf e
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 104
Fungsi pengawasan Badan Perwakilan Desa meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.

Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan Bupati, tetapi wajib disampaikan kepadanya selambat-
lambatnya dua minggu setelah ditetapkan dengan tembusan kepada Camat.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 106
Cukup jelas

Pasal 107
Ayat (1)
Sumber pendapatan yang telah dimiliki dan dikelola oleh Desa tidak dibenarkan diambil alih oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Pemberdayaan potensi Desa dalam meningkatkan pendapatan Desa dilakukan, antara lain, dengan
pendirian Badan Usaha Milik Desa, kerja sama dengan pihak ketiga, dan kewenangan melakukan
pinjaman. Sumber Pendapatan Daerah yang berada di Desa, baik pajak maupun retribusi yang sudah
dipungut oleh Daerah Kabupaten, tidak dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah
Desa.
Pendapatan Daerah dari sumber tersebut harus diberikan kepada Desa yang bersangkutan dengan
pembagian secara proporsional dan adil. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan beban
ekonomi tinggi dan dampak lainnya.

Ayat (2)
Kegiatan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang ditetapkan setiap tahun meliputi
penyusunan anggaran, pelaksanaan tata usaha keuangan, dan perubahan serta perhitungan anggaran.

Pasal 108
Cukup jelas

Pasal 109
Ayat (1)
Kerja sama antar-Desa yang memberi beban kepada masyarakat harus mendapat persetujuan Badan
Perwakilan Desa.

Ayat (2)
Cukup jelas

69
Pasal 110
Pemerintah Desa yang tidak diikutsertakan dalam kegiatan dimaksud berhak menolak pembangunan
tersebut.

Pasal 111
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan asal usul adalah asal usul terbentuknya Desa yang bersangkutan.

Pasal 112
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memfasilitasi adalah upaya memberdayakan Daerah Otonom melalui
pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 113
Cukup jelas

Pasal 114
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagai upaya hukum terakhir dilakukan selambat-
lambatnya lima belas hari setelah adanya keputusan pembatalan dari Pemerintah.

Pasal 115
Ayat (1)
Mekanisme pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau pemekaran Daerah dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
Daerah yang akan dibentuk, dihapus, digabung, dan/atau dimekarkan diusulkan oleh Kepala Daerah
dengan persetujuan DPRD kepada Pemerintah.
Pemerintah menugaskan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah untuk melakukan penelitian dengan
memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk,
luas daerah, dan pertimbangan lain.
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyampaikan pertimbangan untuk penyusunan rancangan
undang-undang yang mengatur pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau pemekaran
Daerah Otonom.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Asosiasi Pemerintah Daerah adalah organisasi yang dibentuk oleh Pemerintah
Daerah dalam rangka kerja sama antar-Pemerintah Propinsi, antar-Pemerintah Kabupaten, dan/atau
antar-Pemerintah Kota berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
Wakil-wakil Daerah dipilih oleh DPRD dari berbagai keahlian, terutama di bidang keuangan dan
pemerintahan, serta bersikap independen sebanyak 6 orang, yang terdiri atas 2 orang Wakil Daerah
Propinsi, 2 orang Wakil Daerah Kabupaten, dan 2 orang Wakil Daerah Kota dengan masa tugas
selama dua tahun.

Ayat (3)
Cukup jelas

70
Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 116
Cukup jelas

Pasal 117
Cukup jelas

Pasal 118
Ayat (1)
Pemberian otonomi khusus kepada Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur didasarkan pada perjanjian
bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Portugal di bawah supervisi Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Yang dimaksud dengan ditetapkan lain adalah Ketetapan MPR RI yang mengatur status Propinsi
Daerah Tingkat I Timor Timur lebih lanjut.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 119
Cukup jelas

Pasal 120
Cukup jelas

Pasal 121
Cukup jelas

Pasal 122
Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Aceh didasarkan pada sejarah perjuangan kemerdekaan
nasional, sedangkan isi keistimewaannya berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat, dan pendidikan
serta memperhatikan peranan ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.

Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal usul dan peranannya dalam
sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan
mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan
calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini.

Pasal 123
Cukup jelas

Pasal 124
Cukup jelas

Pasal 125
Cukup jelas

Pasal 126
Cukup jelas

Pasal 127
Cukup jelas

Pasal 128
Cukup jelas

Pasal 129
Cukup jelas

71
Pasal 130
Cukup jelas

Pasal 131
Cukup jelas

Pasal 132
Ayat (1)
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan undang-undang ini sudah harus
selesai selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun.

Ayat (2)
Pelaksanaan penataan dimulai sejak ditetapkannya undang-undang ini dan sudah selesai dalam
waktu dua tahun.

Pasal 133
Cukup jelas

Pasal 134
Cukup jelas

______________________________________

72
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 5 TAHUN 1994

TENTANG

PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-


BANGSA MENGENAI KEANEKARAGAMAN HAYATI)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa keanekaragaman hayati di dunia, khususnya di Indonesia, berperan penting untuk
berlanjutnya proses evolusi serta terpeliharanya keseimbangan ekosistem dan sistem kehidupan
biosfer;
b. bahwa keanekaragaman hayati yang meliputi ekosistem, jenis dan genetik yang mencakup hewan,
tumbuhan, dan jasad renik (microorganism), perlu dijamin keberadaan dan keberlanjutannya bagi
kehidupan;
c. bahwa keanekaragaman hayati sedang mengalami pengurangan dan kehilangan yang nyata
karena kegiatan tertentu manusia yang dapat menimbulkan terganggunya keseimbangan sistem
kehidupan di bumi, yang pada gilirannya akan mengganggu berlangsungnya kehidupan manusia;
d. bahwa diakui adanya peranan masyarakat yang berciri tradisional seperti tercermin dalam gaya
hidupnya, diakui pula adanya peranan penting wanita, untuk memanfaatkan kekayaan
keanekaragaman hayati dan adanya keinginan untuk membagi manfaat yang adil dalam
penggunaan pengetahuan tradisional tersebut melalui inovasi-inovasi, dan praktik-praktik yang
berkaitan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatannya secara berkelanjutan;
e. bahwa adanya kesanggupan negara-negara maju untuk menyediakan sumber dana tambahan
dan dana baru serta kemudahan akses untuk memperoleh alih teknologi bagi kebutuhan negara
berkembang dan memperhatikan kondisi khusus negara terbelakang serta negara berkepulauan
kecil sebagaimana diatur dalam United Nations Convention on Biological Diversity merupakan
peluang yang perlu ditanggapi secara positif oleh Pemerintah Indonesia;
f. bahwa dalam rangka melestarikan keanekaragaman hayati, memanfaatkan setiap unsurnya secara
berkelanjutan, dan meningkatkan kerja sama internasional di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi guna kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang, Konferensi Tingkat Tinggi
Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992 telah menghasilkan
komitmen internasional dengan ditandatanganinya United Nations Convention on Biological
Diversity oleh sejumlah besar negara di dunia, termasuk Indonesia yang kaya akan
keanekaragaman hayati;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Pemerintah Indonesia memandang perlu untuk
mengesahkan United Nations Convention on Biological Diversity tersebut dengan Undang-undang;

Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION ON BIOLOGICAL


DIVERSITY (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI KEANEKARAGAMAN
HAYATI).

Pasal 1

Mengesahkan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Keanekaragaman Hayati) yang selain naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia sebagaimana terlampir yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-undang ini.

73
Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 1994
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

MOERDIONO

74
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1994
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-
BANGSA MENGENAI KEANEKARAGAMAN HAYATI)

I. UMUM
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menggariskan agar Pemerintah Negara Republik Indonesia
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selain itu Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
menggariskan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat:
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara khususnya tentang Lingkungan Hidup dan Hubungan Luar Negeri, antara lain, menegaskan
sebagai berikut :
a. Pembangunan lingkungan hidup yang merupakan bagian penting dari ekosistem yang berfungsi sebagai
penyangga kehidupan seluruh makhluk hidup di muka bumi diarahkan pada terwujudnya kelestarian fungsi
lingkungan hidup dalam keseimbangan dan keserasian yang dinamis dengan perkembangan kependudukan
agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pembangunan lingkungan hidup bertujuan
meningkatkan mutu, memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, merehabilitasi kerusakan
lingkungan, mengendalikan pencemaran, dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
b. Sumber daya alam di darat, di laut maupun di udara dikelola dan dimanfaatkan dengan memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup agar dapat mengembangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan
yang memadai untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik bagi generasi
masa kini maupun bagi generasi masa depan.
Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya peranan lingkungan hidup dalam kehidupan manusia terus
ditumbuhkembangkan melalui penerangan dan pendidikan dalam dan luar sekolah, pemberian rangsangan,
penegakan hukum, dan disertai dengan dorongan peran aktif masyarakat untuk menjaga kelestarian
lingkungan hidup dalam setiap kegiatan ekonomi sosial.
c. Konservasi kawasan hutan nasional termasuk flora dan faunanya serta keunikan alam terus ditingkatkan
untuk melindungi keanekaragaman plasma nutfah, jenis spesies, dan ekosistem. Penelitian dan
pengembangan potensi manfaat hutan bagi kepentingan kesejahteraan bangsa, terutama bagi
pengembangan pertanian, industri, dan kesehatan terus ditingkatkan. Inventarisasi, pemantauan, dan
penghitungan nilai sumber daya alam dan lingkungan hidup terus dikembangkan untuk menjaga keberlanjutan
pemanfaatannya.
d. Kerja sama regional dan internasional mengenai pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup, dan
peran serta dalam pengembangan kebijaksanaan internasional serta kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi tentang lingkungan perlu terus ditingkatkan bagi kepentingan pembangunan berkelanjutan.
e. Hubungan luar negeri merupakan kegiatan antarbangsa baik regional maupun global melalui berbagai
forum bilateral dan multilateral yang diabdikan pada kepentingan nasional, dilandasi prinsip politik luar
negeri bebas aktif dan diarahkan untuk turut mewujudkan tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial serta ditujukan untuk lebih meningkatkan kerjasama internasional,
dengan lebih memantapkan dan meningkatkan peranan Gerakan Nonblok.
f. Peranan Indonesia di dunia internasional dalam membina dan mempererat persahabatan dan kerjasama
yang saling menguntungkan antara bangsa-bangsa terus diperluas dan ditingkatkan. Perjuangan bangsa
Indonesia di dunia internasional yang menyangkut kepentingan nasional, seperti upaya lebih memantapkan
dasar pemikiran kenusantaraan, memperluas ekspor dan penanaman modal dari luar negeri serta kerja
sama ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu terus ditingkatkan.
g. Langkah bersama antar negara berkembang untuk mempercepat terwujudnya perjanjian perdagangan
internasional dan meniadakan hambatan serta pembatasan yang dilakukan oleh negara industri terhadap
ekspor negara berkembang, dan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi dan kerjasama teknik antar negara
berkembang, terus dilanjutkan dalam rangka mewujudkan tata ekonomi serta tata informasi dan komunikasi
dunia baru.

A. Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dan mendukung Konvensi.
Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang berkaitan dan mendukung untuk
meratifikasi Konvensi dan pelaksanaannya. Peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain :
a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia ( Lembaran Negara
Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2994 ), jo Pengumuman Pemerintah
Republik Indonesia tentang Landas Kontinen Indonesia Tanggal 17 Pebruari 1969;

75
c. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
d. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3260);
e. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor
46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
f. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Conventions on the
Law of the Sea (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3319);
g. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419);
h. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
i. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
j. Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Pengesahan Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (Lembaran Negara Tahun 1978 Nomor 51);
k. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1989 tentang Pengesahan Convention Concerning the
Protection of the World Cultural and Natural Heritage (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 17);
l. Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1991 tentang Pengesahan Convention on Wetlands of
International Importance Especially as Waterfowl Habitat (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor
73);
Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang telah berlaku dan konvensi-konvensi yang telah
disahkan tersebut sejalan dengan isi United Nations Convention on Biological Diversity. Dengan
demikian, pengesahan Konvensi ini tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.

B. Latar Belakang Lahirnya Konvensi


Konvensi Keanekaragaman Hayati yang selanjutnya disebut Konvensi, dalam bahasa aslinya bernama United
Nations Convention on Biological Diversity. Konvensi ini telah ditandatangani oleh 157 kepala negara dan/atau
kepala pemerintahan atau wakil negara pada waktu naskah Konvensi ini diresmikan di Rio de Janeiro, Brazil.
Penandatanganan ini terlaksana selama penyelenggaraan United Nations Conference on Environment and
Development (UNCED), pada tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992. Indonesia merupakan negara kedelapan
yang menandatangani Konvensi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tanggal 5 Juni 1992.
Tanggal inilah yang tercantum pada naskah Konvensi sebagai tanggal peresmiannya. Naskah akhir Konvensi
terbentuk setelah melalui beberapa tahap perundingan yang dilakukan di berbagai tempat dengan melibatkan
berbagai kelompok kepakaran.
Konferensi di Rio de Janeiro, Brazil, yang sebelumnya didahului oleh tiga pertemuan kepakaran teknis dan tujuh
sidang, diselenggarakan antara Nopember 1988 sampai dengan Mei 1992. Pertemuan dan sidang tersebut
selalu dihadiri oleh delegasi Indonesia.
Sebagai tindak lanjut keputusan Governing Council No. 14/17 tanggal 17 Juni 1987, dibentuk Ad Hoc Working
Group of Experts on Biological Diversity, yang kemudian diselenggarakan tiga sidang dalam masa antara
Nopember 1988 hingga Juli 1990.
Berdasarkan laporan akhir Ad Hoc Working Group of Experts, Governing Council, dengan keputusan No. 15/34
tanggal 25 Mei 1989, membentuk Ad Hoc Working Group of Legal and Technical Experts. Ad Hoc Working Group
ini mempunyai kewenangan merundingkan perangkat hukum internasional untuk pelestarian dan pemanfaatan
berkelanjutan keanekaragaman hayati. Ad Hoc Working Group ini menyelenggarakan sidang-sidang sebagai
berikut:
a. First Session Ad Hoc Working Group of Legal and Technical Experts on Biological Diversity di Nairobi, Kenya,
pada tanggal 19 sampai dengan 23 Nopember 1990;
b. Second Session Ad Hoc Working Group of Legal and Technical Experts on Biological Diversity di Nairobi,
Kenya, pada tanggal 25 Februari sampai dengan 6 Maret 1991;
c. Third Session of Intergovernmental Negotiating Commitee for a Convention on Biological Diversity (INC-
CBD) di Madrid, Spanyol, pada tanggal 24 Juni sampai dengan 3 Juli 1991. Dalam sidang ini disajikan dan
dibahas konsep (draft) Konvensi Keanekaragaman Hayati;
d. Fourth Session INC-CBD di Nairobi, Kenya, pada tanggal 23 September sampai dengan 2 Oktober 1991;
e. Fifth Session of INC-CBD di Geneva, Swiss, pada tanggal 25 Nopember sampai dengan 4 Desember 1991;
f. Sixth Session of INC-CBD di Nairobi, Kenya, pada tanggal 6 sampai dengan 15 Pebruari 1992;
g. Sidang terakhir diadakan di Nairobi, Kenya, pada tanggal 11 sampai dengan 22 Mei 1992. Pada sidang
terakhir ini disusun Nairobi Final Act of the Conference for the Adoption of the Agreed Text of the Convention on
Biological Diversity. Semua negara diundang untuk berpartisipasi dalam pertemuan pengesahan teks
Konvensi yang telah disetujui. Selain negara-negara ini, ikut hadir pula Masyarakat Ekonomi Eropa dan
beberapa badan dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Lembaga Swadaya Masyarakat internasional
sebagai peninjau.

76
Sesudah pengesahan ini dikeluarkan empat Resolutions Adopted by the Conference for the Adoption of the
Agreed Text of the Convention on Biological Diversity. Semuanya disahkan pada tanggal 22 Mei 1992.
Keempat resolusi tersebut ialah :
a. Interim Financial Agreement;
b. International Cooperation for the Conservation of Biological Diversity and the Sustainable use of Its
Components Pending the Entry into Force of the Convention on Biological Diversity;
c. The Interrelationship between the Convention on Biological Diversity and the Promotion of Sustainable
Agriculture;
d. Tribute to the Government of the Republic of Kenya.
Selain itu, dikeluarkan juga Declaration Made at the Time of Adoption of the Agreed Text of the Convention on
Biological Diversity, yang di antaranya berisi saran, keberatan, usul perubahan, dan penyempurnaan.

C. Naskah Konvensi
Naskah Konvensi terdiri atas :
a. Batang Tubuh yang berisi pembukaan dan 42 pasal, yaitu :
1. Tujuan;
2. Pengertian;
3. Prinsip;
4. Lingkup Kedaulatan;
5. Kerja sama Internasional;
6. Tindakan Umum bagi Konservasi dan Pemanfaatan secara Berkelanjutan;
7. Identifikasi dan Pemantauan;
8. Konservasi In-situ;
9. Konservasi Ex-situ;
10. Pemanfaatan secara Berkelanjutan Komponen-komponen Keanekaragaman Hayati;
11. Tindakan Insentif;
12. Penelitian dan Pelatihan;
13. Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat;
14. Pengkajian Dampak dan Pengurangan Dampak yang Merugikan;
15. Akses pada Sumber Daya Genetik;
16. Akses pada Teknologi dan Alih Teknologi;
17. Pertukaran Informasi;
18. Kerja Sama Teknis dan Ilmiah;
19. Penanganan Bioteknologi dan Pembagian Keuntungan;
20. Sumber Dana;
21. Mekanisme Pendanaan;
22. Hubungan dengan Konvensi Internasional yang Lain;
23. Konferensi Para Pihak;
24. Sekretariat;
25. Badan Pendukung untuk Nasihat-nasihat Ilmiah, Teknis dan Teknologis;
26. Laporan;
27. Penyelesaian Sengketa;
28. Pengesahan Protokol;
29. Amandemen Konvensi atau Protokol;
30. Pengesahan dan Lampiran Amandemen;
31. Hak Suara;
32. Hubungan antara Konvensi dan Protokolnya;
33. Penandatanganan;
34. Ratifikasi, Penerimaan atau Persetujuan;
35. Aksesi;
36. Hal Berlakunya;
37. Keberatan-keberatan (Reservasi);
38. Penarikan Diri;
39. Pengaturan Pendanaan Interim;
40. Pengaturan Sekretariat Interim;
41. Depositari;
42. Teks Asli
b. Lampiran :
Lampiran I :
Indentifikasi dan Pemantauan (Indentification and Monitoring) ;
Lampiran II :
Bagian 1. Arbitrase (Arbitration) dan
Bagian 2. Konsiliasi (Conciliation).
Uraian secara lengkap naskah Konvensi tersebut di atas dapat dilihat pada salinan naskah asli Konvensi
dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia terlampir.

77
D. Manfaat Konvensi
Dengan meratifikasi Konvensi, Indonesia akan memperoleh manfaat berupa :
1. Penilaian dan pengakuan dari masyarakat internasional bahwa Indonesia peduli terhadap masalah
lingkungan hidup dunia, yang menyangkut bidang keanekaragaman hayati, dan ikut bertanggung jawab
menyelamatkan kelangsungan hidup manusia pada umumnya dan bangsa Indonesia pada khususnya;
2. Penguasaan dan pengendalian dalam mengatur akses terhadap alih teknologi, berdasarkan asas perlakuan
dan pembagian keuntungan yang adil dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
nasional;
3. Peningkatan kemampuan pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang diperlukan untuk memanfaatkan
secara lestari dan meningkatkan nilai tambah keanekaragaman hayati Indonesia dengan mengembangkan
sumber daya genetik;
4. Peningkatan pengetahuan yang berkenaan dengan keanekaragaman hayati Indonesia sehingga dalam
pemanfaatannya Indonesia benar-benar menerapkan Asas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi seperti yang
diamanatkan dalam GBHN 1993;
5. Jaminan bahwa Pemerintah Indonesia dapat menggalang kerja sama di bidang teknis ilmiah baik antar
sektor pemerintah maupun dengan sektor swasta, di dalam dan di luar negeri, memadukan sejauh mungkin
pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program, dan kebijakan baik
secara sektoral maupun lintas sektoral;
6. Pengembangan dan penanganan bioteknologi sehingga Indonesia tidak dijadikan ajang uji coba pelepasan
organisme yang telah direkayasa secara bioteknologi oleh negara-negara lain;
7. Pengembangan sumber dana untuk penelitian dan pengembangan keanekaragaman hayati Indonesia;
8. Pengembangan kerja sama internasional untuk peningkatan kemampuan dalam konservasi dan
pemanfaatan keanekaragaman hayati, meliputi :
a) Penetapan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati baik in-situ maupun ex-situ;
b) Pengembangan pola-pola insentif baik secara sosial budaya maupun ekonomi untuk upaya perlindungan
dan pemanfaatan secara lestari;
c) Pertukaran Informasi;
d) Pengembangan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan peningkatan peran serta masyarakat.
Dengan meratifikasi Konvensi ini, kita tidak akan kehilangan kedaulatan atas sumber daya alam keanekaragaman
hayati yang kita miliki karena Konvensi ini tetap mengakui bahwa negara-negara, sesuai dengan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip hukum Internasional, mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan
sumber daya alam keanekaragaman hayati secara bekelanjutan sejalan dengan keadaan lingkungan serta
sesuai dengan kebijakan pembangunan dan tanggung jawab masing-masing sehingga tidak merusak
lingkungan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, maka dipergunakan salinan
naskah aslinya dalam bahasa Inggris.

Pasal 2
Cukup jelas

LAMPIRAN I
UNDANG - UNDANG NO. 5 TAHUN 1994
IDENTITAS DAN PEMANTAUAN

1. Ekosistem dan habitat berisi keragaman yang tinggi, sejumlah besar jenis atau hidupan liar endemik atau
terancam kepunahan; yang diperlukan oleh jenis yang bermigrasi, mempunyai nilai penting secara ekonomi,
budaya atau ilmiah; atau yang mewakili, unik atau dihubungkan dengan kunci proses-proses evolusi atau
biologi lain;

2. Jenis dan komunitas yang terancam; berkerabat dengan jenis domestik atau budidaya; mempunyai nilai penting
untuk obat-obatan, pertanian atau nilai ekonomis yang lain; atau mempunyai nilai sosial, ilmiah atau budaya
yang penting; atau bernilai penting untuk penelitian bagi konservasi dan pemantauan secara berkelanjutan
keanekaragaman hayati, seperti halnya jenis indikator; dan

3. Genome dan gene tertentu yang mempunyai nilai sosial, ilmiah dan ekonomi penting.

78
LAMPIRAN II
UNDANG - UNDANG NO. 5 TAHUN 1994

Bagian 1
ARBITRASE

Pasal 1
Pihak penuntut harus memberitahu sekretariat bahwa pihak-pihak tersebut mengajukan persengketaan kepada
arbitrase menurut Pasal 27. Pemberitahuan tersebut harus menyebutkan pokok permasalahan arbitrase dan
mencantumkan secara khusus pasal-pasal dalam Konvensi atau protokol, tafsiran atau penerapan hal-hal yang
menjadi pokok permasalahan. Jika pihak-pihak tersebut sepakat dengan pokok permasalahan persengketaan
sebelum Presiden pengadilan ditunjuk, sidang arbitrase (arbitral) wajib menjelaskan pokok permasalahan tersebut.
Sekretariat wajib menyampaikan informasi ini sehingga diterima oleh semua pihak-pihak penandatangan Konvensi
ini atau kepada protokol yang berkaitan.

Pasal 2
1. Dalam persengketaan antara dua pihak, sidang arbitrase harus terdiri dari tiga anggota. Setiap pihak yang
bersengketa harus menunjuk seorang penengah dan kedua penengah yang ditunjuk wajib menunjuk, dengan
persetujuan bersama, penengah ketiga yang akan menjadi Presiden pengadilan. Penengah ketiga harus bukan
warga negara salah satu pihak yang bersengketa, atau mempunyai tempat tinggal di dalam wilayah salah satu
pihak tersebut, atau bekerja pada salah satu dari pihak tersebut, mempunyai urusan apapun dengan kasus ini
dalam kapasitas apapun.
2. Dalam persengketaan di antara lebih dari dua pihak, pihak-pihak yang mempunyai kepentingan sama dapat
menunjuk satu penengah atas dasar persetujuan bersama.
3. Setiap lowongan harus diisi dengan cara yang telah ditentukan bagi penunjukan awal.

Pasal 3
1. Presiden sidang arbitrase belum ditunjuk dalam jangka waktu dua bulan sejak penunjukan penengah kedua,
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan, atas permintaan salah satu pihak, menunjuk Presiden
dalam jangka dua bulan berikutnya.
2. Jika salah satu pihak yang bersengketa tidak menunjuk seorang penengah dalam jangka waktu dua bulan sejak
penerimaan permohonan, pihak yang lain dapat memberitahu Sekretaris Jenderal yang wajib mengadakan
penunjukan dalam jangka dua bulan berikutnya.

Pasal 4
Sidang arbitrase wajib membuat keputusannya sesuai dengan ketetapan Konvensi ini, semua protokol yang berkaitan,
dan hukum internasional.

Pasal 5
Jika pihak-pihak yang bersengketa tidak setuju, sidang arbitrase wajib menentukan peraturan-peraturan prosedur
persidangan sendiri.

Pasal 6
Sidang arbitrase dapat, dengan permintaan salah satu pihak, merekomendasikan langkah-langkah sementara
untuk perlindungan.

Pasal 7
Pihak-pihak yang bersengketa wajib membantu pekerjaan sidang arbitrase dan khususnya, menggunakan semua
sarana yang dimilikinya, akan :
(a) Memberi sidang segala dokumen, informasi dan fasilitas yang berkaitan; dan
(b) Membantu sidang, bilamana perlu, untuk memanggil saksi-saksi atau para ahli dan menerima bukti-bukti mereka.

Pasal 8
Pihak-pihak yang bersengketa dan para hakim di bawah sumpah untuk melindungi kerahasiaan setiap informasi
yang mereka terima secara rahasia selama berlangsungnya sidang arbitrase.

Pasal 9
Jika sidang arbitrase tidak menetapkan hal yang berlawanan, karena keadaan khusus kasus tersebut, biaya sidang
arbitrase wajib ditanggung oleh pihak-pihak yang bersengketa dengan pembagian yang sama. Sidang wajib mencatat
segala pembiayaannya, dan harus membuat pernyataan akhir kepada pihak-pihak yang bersengketa.

Pasal 10
Setiap Pihak pada Konvensi yang mempunyai kepentingan bersifat hukum dalam pokok permasalahan persengketaan
yang dapat terpengaruh oleh keputusan kasus tersebut, dapat campur tangan dalam proses persidangan dengan
ijin sidang.

79
Pasal 11
Sidang dapat mendengar dan menentukan tuntutan baik yang muncul secara langsung dari pokok permasalahan
persengketaan.

Pasal 12
Keputusan, baik pada prosedur dan substansi sidang arbitrase harus ditentukan melalui hasil pemungutan suara
terbanyak anggota-anggota sidang.

Pasal 13
Jika salah satu pihak yang bersengketa tidak muncul dalam sidang arbitrase atau gagal dalam mempertahankan
kasusnya, pihak yang lain dapat meminta sidang untuk melanjutkan acara persidangan dan memberikan
keputusannya. Ketidakhadiran satu pihak atau kegagalan satu pihak untuk mempertahankan kasusnya harus tidak
merupakan penghalang bagi acara persidangan. Sebelum membuat keputusan akhirnya, sidang arbitrase harus
meyakinkan diri bahwa tuntutan tersebut berdasarkan pada fakta dan hukum yang kuat.

Pasal 14
Sidang wajib membuat keputusan akhirnya dalam jangka lima bulan sejak sidang tersebut sepenuhnya diangkat
kecuali jika dirasa perlu untuk memperpanjang batas waktu hingga pada periode yang tidak lebih dari lima bulan
lagi.

Pasal 15
Keputusan akhir sidang arbitrase harus dibatasi pada pokok permasalahan persengketaan dan harus menyatakan
pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasarnya. Keputusan tersebut harus memuat nama-nama para anggota
yang telah berperan serta dan tanggal keputusan akhirnya. Setiap anggota sidang arbitrase dapat melampirkan
opini terpisah atau ketidaksepakatannya pada keputusan akhir tersebut.

Pasal 16
Keputusan sidang wajib mengikat pihak-pihak yang bersengketa.
Keputusan tersebut harus tanpa permohonan banding kecuali pihak-pihak yang bersengketa sebelumnya telah
menyetujui prosedur untuk naik banding.

Pasal 17
Setiap perbedaan pendapat yang dapat timbul diantara pihak-pihak yang bersengketa sebagai akibat penafsiran
atau cara pelaksanaan keputusan akhir tersebut dapat diajukan oleh masing-masing pihak pada sidang arbitrase
yang mengeluarkan keputusan tersebut untuk ketegasannya.

Bagian 2
KONSILIASI (CONCILIATION)

Pasal 1
Dewan konsiliasi wajib dibentuk berdasarkan permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Dewan tersebut
akan terdiri dari lima anggota, dua dipilih oleh setiap pihak yang bersengketa dan seorang Presiden yang dipilih
secara bersama oleh keempat anggota tersebut, kecuali bilamana pihak-pihak yang bersengketa tidak setuju.

Pasal 2
Dalam persengketaan antara lebih dari dua pihak, pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama wajib
menunjuk anggota mereka pada dewan konsiliasi secara bersama-sama melalui persetujuan. Jika dua atau lebih
pihak yang bersengketa tersebut mempunyai kepentingan yang berbeda-beda atau bilamana ada ketidaksetujuan
bilamana pihak-pihak tersebut mempunyai kepentingan yang sama, mereka dapat memilih anggota-anggota secara
terpisah.

Pasal 3
Jika penunjukan anggota-anggota dewan dari setiap pihak yang bersengketa tidak dilaksanakan dalam jangka
waktu dua bulan sejak tanggal permohonan untuk membentuk dewan konsiliasi, Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa jika diminta oleh pihak yang mengajukan permohonan dapat membuat penunjukannya tersebut
jangka dua bulan berikutnya.

Pasal 4
Jika Presiden dewan konsiliasi tidak terpilih dalam jangka waktu dua bulan sejak anggota dewan terakhir terpilih.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa jika diminta oleh salah satu pihak, dapat menunjuk seorang
Presiden dalam jangka waktu dua bulan berikutnya.
80
Pasal 5
Dewan konsiliasi wajib membuat keputusannya melalui pemungutan suara terbanyak dari para anggotanya. Dewan
tersebut harus, kecuali bila pihak-pihak yang bersengketa tidak setuju, menetapkan prosedurnya sendiri. Dewan
wajib membuat usulan untuk pemecahan persengketaan yang harus diterima oleh semua pihak yang bersengketa
dengan itikad baik.

Pasal 6
Ketidaksepakatan mengenai kewenangan dewan konsiliasi wajib diputuskan oleh dewan tersebut.

81
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 5 TAHUN 1990
TENTANG
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta
peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu
dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan
masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun
masa depan;
b. bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian
integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;
c. bahwa unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung
antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan
salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem;
d. bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan
cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat
dengan pembangunan itu sendiri;
e. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dan masih berlaku merupakan produk hukum
warisan pemerintah kolonial yang bersifat parsial, sehingga perlu dicabut karena sudah tidak
sesuai dengan perkembangan hukum dan kepentingan nasional;
f. bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum nasional yang ada belum menampung
dan mengatur secara menyeluruh mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya;
g bahwa sehubungan dengan hal-hal di atas, dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam suatu Undang-undang;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan
Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988
(Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor
46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI
DAN EKOSISTEMNYA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan)
dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan
membentuk ekosistem.
2. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

82
3. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik
hayati maupun nonhayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi.
4. Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidup di darat maupun di air.
5. Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat dan/atau di air, dan/atau di udara.
6. Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan/atau dipelihara, yang masih mempunyai
kemurnian jenisnya.
7. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih mempunyai
sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
8. Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami.
9. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
10. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan,
satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung
secara alami.
11. Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau
keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
12. Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang
telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan
penelitian dan pendidikan.
13. Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
14. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem
zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi.
15. Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami
atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
16. Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan
rekreasi alam.

Pasal 2
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan
sumber daya alam hayati dalam ekosistemnya secara serasi dan seimbang.

Pasal 3
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber
daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

Pasal 4
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah
serta masyarakat.

Pasal 5
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan :
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati dan ekosistemnya.

BAB II
PERLINDUNGAN SISTEM PENYANGGA KEHIDUPAN

Pasal 6
Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan nonhayati yang menjamin
kelangsungan kehidupan makhluk.

Pasal 7
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang
kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

Pasal 8
(1) Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah menetapkan :
a. wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
c. pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

83
Pasal 9
(1) Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan
wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.
(2) Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pemerintah mengatur serta melakukan
tindakan penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang
terletak dalam wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(3) Tindakan penertiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 10
W ilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan secara alami dan/atau oleh karena
pemanfaatannya serta oleh sebab-sebab lainnya diikuti dengan upaya rehabilitasi secara berencana dan
berkesinambungan.

BAB III
PENGAWETAN KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN
DAN SATWA BESERTA EKOSISTEMNYA

Pasal 11
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan melalui kegiatan :
a. pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
b. pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.

Pasal 12
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan dengan menjaga keutuhan
kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli.

Pasal 13
(1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam.
(2) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di dalam kawasan suaka alam dilakukan dengan membiarkan agar
populasi semua jenis tumbuhan dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya.
(3) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan suaka alam dilakukan dengan menjaga dan
mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa untuk menghindari bahaya kepunahan.

BAB IV
KAWASAN SUAKA ALAM

Pasal 14
Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 terdiri dari:
a. cagar alam;
b. suaka margasatwa.

Pasal 15
Kawasan suaka alam selain mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Pasal 16
(1) Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai upaya pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penetapan dan pemanfaatan suatu wilayah sebagai kawasan suaka
alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 17
(1) Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu
pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
(2) Di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu
pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18
(1) Dalam rangka kerja sama konservasi internasional, khususnya dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya dapat ditetapkan sebagai cagar biosfer.
(2) Penetapan suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai cagar biosfer diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

84
Pasal 19
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan
suaka alam.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kegiatan pembinaan habitat untuk kepentingan
satwa di dalam suaka marga satwa.
(3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi,
menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang
tidak asli.

BAB V
PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

Pasal 20
(1) Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:
a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.
(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan dalam :
a. tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan;
b. tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21
1) Setiap orang dilarang untuk :
a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan
tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu
tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
(2) Setiap orang dilarang untuk :
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan
satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan
mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar
Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau
barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang
satwa yang dilindungi.

Pasal 22
(1) Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan
penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan.
(2) Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemberian atau penukaran
jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.
(3) Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan
dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 23
(1) Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemasukan tumbuhan dan satwa liar dari luar negeri ke dalam wilayah
Negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24
(1) Apabila terjadi pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, tumbuhan dan satwa
tersebut dirampas untuk negara.
(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan
ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dari
satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik
dimusnahkan.

Pasal 25
(1) Pengawasan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan
atau pengembangbiakan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk untuk itu.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

85
BAB VI
PEMANFAATAN SECARA LESTARI
SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

Pasal 26
Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan :
a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam;
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

Pasal 27
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi
kawasan.

Pasal 28
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung,
dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.

BAB VII
KAWASAN PELESTARIAN ALAM

Pasal 29
(1) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari :
a. taman nasional;
b. taman hutan raya;
c. taman wisata alam.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu wilayah sebagai kawasan pelestarian alam dan penetapan
wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 30
Kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.

Pasal 31
(1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-
masing kawasan.

Pasal 32
Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain
sesuai dengan keperluan.

Pasal 33
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti
taman nasional.
(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan
satwa lain yang tidak asli.
(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain
dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Pasal 34
(1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana
kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan.
(3) Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona
pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikutsertakan rakyat.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 35
Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk mempertahankan atau memulihkan kelestarian sumber daya
alam hayati beserta ekosistemnya, Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan dan menutup taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagian atau seluruhnya untuk selama waktu tertentu.

86
BAB VIII
PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

Pasal 36
(1) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk :
a. pengkajian, penelitian dan pengembangan;
b. penangkaran;
c. perburuan;
d. perdagangan;
e. peragaan;
f. pertukaran;
g. budidaya tanaman obat-obatan;
h. pemeliharaan untuk kesenangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
PERAN SERTA RAKYAT

Pasal 37
(1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan
oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(2) Dalam mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan
dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui
pendidikan dan penyuluhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN

Pasal 38
(1) Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, Pemerintah dapat
menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
PENYIDIKAN

Pasal 39
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana
di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(2) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak mengurangi kewenangan penyidik
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya;
c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
alam;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya;
e. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
f. membuat dan menandatangani berita acara;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil
penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

87
BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 40
(1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4) adalah pelanggaran.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 41
Hutan suaka alam dan taman wisata yang telah ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini dianggap telah ditetapkan sebagai kawasan suaka alam dan
taman wisata alam berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 42
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, tetap berlaku sampai
dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 43
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini maka:
1. Ordonansi Perburuan (Jachtordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer 133);
2. Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermingsordonnantie 1931 Staatsblad 1931
Nummer 134);
3. Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtcrdonnantie Java en Madoera 1940 Staatsblad 1939 Nummer
733);
4. Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonnantie 1941 Staatsblad 1941 Nummer 167);

dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 44
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Konservasi Hayati.

Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 1990

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 1990

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

MOERDIONO

88
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1990
TENTANG
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

I. UMUM
Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik
di darat, di perairan maupun di udara yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang.
Modal dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara
optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan manusia pada umumnya
menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik antara manusia dengan Tuhan
penciptanya, antara manusia dengan masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya.
Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai bagian dari modal dasar
tersebut pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai
pengamalan Pancasila.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri
dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-
sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak
dapat diganti. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting
bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi
kewajiban mutlak dari tiap generasi.
Tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan suaka alam dan
kawasan pelestarian alam ataupun tindakan yang melanggar ketentuan tentang perlindungan tumbuhan dan
satwa yang dilindungi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana badan dan denda. Pidana yang berat
tersebut dipandang perlu karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi,
sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi.
Oleh karena sifatnya yang luas dan menyangkut kepentingan masyarakat secara keseluruhan, maka upaya
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah
serta masyarakat. Peran serta rakyat akan diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui kegiatan yang
berdaya guna dan berhasil guna. Untuk itu, Pemerintah berkewajiban meningkatkan pendidikan dan penyuluhan
bagi masyarakat dalam rangka sadar konservasi.
Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga
sasaran konservasi, yaitu :
1. menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan
pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan);
2. menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu
menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan
manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma
nutfah);
3. mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya.
Akibat sampingan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan
dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di
perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam
hayati (pemanfaatan secara lestari).
Mengingat Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum, maka pengelolaan konservasi
sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya perlu diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh
guna menjamin kepastian hukum bagi usaha pengelolaan tersebut.
Dewasa ini kenyataan menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat nasional belum ada. Peraturan perundang-undangan warisan
pemerintah kolonial yang beraneka ragam coraknya, sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan
hukum dan kebutuhan bangsa Indonesia.
Perubahan-perubahan yang menyangkut aspek-aspek pemerintahan, perkembangan kependudukan, ilmu
pengetahuan, dan tuntutan keberhasilan pembangunan pada saat ini menghendaki peraturan perundang-
undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat nasional sesuai
dengan aspirasi bangsa Indonesia.
Upaya pemanfaatan secara lestari sebagai salah satu aspek konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, belum sepenuhnya dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Demikian pula pengelolaan kawasan
pelestarian alam dalam bentuk taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, yang menyatukan
fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari.
Peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional yang ada kaitannya dengan konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara
Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988, dan Undang-
undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan belum mengatur secara lengkap dan belum sepenuhnya dapat
dipakai sebagai dasar hukum untuk pengaturan lebih lanjut.
Undang-undang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat nasional dan menyeluruh
sangat diperlukan sebagai dasar hukum untuk mengatur perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

89
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya agar dapat menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat dan
peningkatan mutu kehidupan manusia.
Undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok dan mencakup semua segi di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sedangkan pelaksanaannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas

Angka 2
Cukup jelas

Angka 3
Cukup jelas

Angka 4
Cukup jelas

Angka 5
Cukup jelas

Angka 6
Cukup jelas

Angka 7
Ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian satwa liar, tetapi termasuk di dalam pengertian
satwa.

Angka 8
Cukup jelas

Angka 9
Cukup jelas

Angka 10
Cukup jelas

Angka 11
Cukup jelas

Angka 12
Cukup jelas

Angka 13
Cukup jelas

Angka 14
Cukup jelas

Angka 15
Cukup jelas

Angka 16
Cukup jelas

Pasal 2
Pada dasarnya semua sumber daya alam termasuk sumber daya alam hayati harus dimanfaatkan untuk
kesejahteraan masyarakat dan umat manusia sesuai dengan kemampuan dan fungsinya.
Namun, pemanfaatannya harus sedemikian rupa sesuai dengan Undang-undang ini sehingga dapat
berlangsung secara lestari untuk masa kini dan masa depan.
Pemanfaatan dan pelestarian seperti tersebut di atas harus dilaksanakan secara serasi dan seimbang
sebagai perwujudan dari asas konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pasal 3
Sumber daya alam hayati merupakan unsur ekosistem yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Namun, keseimbangan ekosistem harus tetap
terjamin.

90
Pasal 4
Mengingat pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, maka masyarakat juga mempunyai kewajiban
dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi.

Pasal 5
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui tiga kegiatan :
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan.
Kehidupan adalah merupakan suatu sistem yang terdiri dari proses yang berkait satu dengan lainnya
dan saling mempengaruhi, yang apabila terputus akan mempengaruhi kehidupan. Agar manusia tidak
dihadapkan pada perubahan yang tidak diduga yang akan mempengaruhi kemampuan pemanfaatan
sumber daya alam hayati, maka proses ekologis yang mengandung kehidupan itu perlu dijaga dan
dilindungi.
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang
berkaitan dengan perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau, dan jurang, pemeliharaan fungsi
hidrologi hutan, perlindungan pantai, pengelolaan daerah aliran sungai, perlindungan terhadap gejala
keunikan dan keindahan alam, dan lain-lain.
b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsur-unsur hayati dan nonhayati (baik fisik
maupun nonfisik).
Semua unsur ini sangat berkait dan pengaruh mempengaruhi. Punahnya salah satu unsur tidak dapat
diganti dengan unsur yang lain. Usaha dan tindakan konservasi untuk menjamin keanekaragaman
jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-masing
unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi
kesejahteraan manusia.
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilaksanakan di dalam kawasan (konservasi in-situ)
ataupun di luar kawasan (konservasi exsitu).
c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Usaha pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya
merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilaksanakan secara terus menerus pada masa
mendatang.

Pasal 6
Unsur hayati adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, tumbuhan, satwa, dan jasad renik. Unsur
nonhayati terdiri dari sinar matahari, air, udara, dan tanah. Hubungan antara unsur hayati dan nonhayati
harus berlangsung dalam keadaan seimbang sebagai suatu sistem penyangga kehidupan dan karena itu
perlu dilindungi.

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Ayat (1)
Perlindungan sistem penyangga kehidupan dilaksanakan dengan cara menetapkan suatu wilayah
tertentu sebagai wilayah perlindungan.
Guna pengaturannya Pemerintah menetapkan pola dasar pembinaan pemanfaatan wilayah tersebut
sehingga fungsi perlindungan dan pelestariannya tetap terjamin.
Wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi antara lain hutan lindung, daerah
aliran sungai, areal tepi sungai, daerah pantai, bagian tertentu dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
daerah pasang surut, jurang, dan areal berpolusi berat. Pemanfaatan areal atau wilayah tersebut tetap
pada subyek yang diberi hak, tetapi pemanfaatan itu harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan
Pemerintah.
Dalam menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, perlu diadakan
penelitian dan inventarisasi, baik terhadap wilayah yang sudah ditetapkan maupun yang akan ditetapkan.

Ayat (2)
Dalam Peraturan Pemerintah ini perlu diperhatikan kepentingan yang serasi antara kepentingan
pemegang hak dengan kepentingan perlindungan sistem penyangga kehidupan.

Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hak pengusahaan di perairan adalah hak yang diberikan oleh Pemerintah
untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di perairan, baik yang bersifat ekstratif maupun
nonekstratif, bukan hak penguasaan atas wilayah perairan tersebut. Yang dimaksud dengan perairan
adalah perairan Indonesia yang meliputi perairan pedalaman (sungai, danau, waduk, rawa, dan
genangan air lainnya), laut wilayah Indonesia, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Termasuk dalam pengertian penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak
pengusahaan di perairan meliputi pencabutan hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan yang
pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal penertiban
tersebut berupa pencabutan hak atas tanah, maka kepada pemegang hak diberikan ganti rugi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
91
Pasal 10
Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan karena bencana alam seperti longsor,
erosi, kebakaran, dan gempa bumi, atau karena pemanfaatannya yang tidak tepat serta oleh sebab-sebab
lainnya perlu segera direhabilitasi agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Rehabilitasi ini perlu mengikutsertakan masyarakat, khususnya mereka yang berhak di atas wilayah tersebut.

Pasal 11
Yang dimaksud dengan pengawetan disini adalah usaha untuk menjaga agar keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya tidak punah. Pengawetan diluar kawasan meliputi pengaturan
mengenai pembatasan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terhadap tumbuhan dan satwa sebagaimana
diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25 Undang-undang ini. Pengaturan diluar kawasan berupa
pengawetan jenis (spesies) tumbuhan dan satwa. Pengawetan di dalam kawasan dilakukan dalam bentuk
kawasan suaka alam dan zona inti taman nasional.

Pasal 12
Upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa berupa kawasan suaka alam yang karena
fungsi pokoknya adalah pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, maka
keutuhan dan keaslian dari kawasan suaka alam tersebut perlu dijaga dari gangguan agar prosesnya
berjalan secara alami.

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Pengelolaan kawasan suaka alam merupakan kewajiban Pemerintah sebagai konsekuensi
penguasaan oleh negara atas sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar kawasan suaka alam,
baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan
dan mampu menjaga keutuhan kawasan suaka alam. Pengelolaan atas daerah penyangga tetap
berada di tangan yang berhak, sedangkan cara-cara pengelolaan harus mengikuti ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 17
Ayat (1)
Fungsi penunjang budidaya dapat dilaksanakan dalam bentuk penggunaan plasma nutfah yang terdapat
dalam cagar alam yang bersangkutan untuk keperluan permuliaan jenis dan penangkaran.
Plasma nutfah adalah unsur-unsur gen yang menentukan sifat kebakaan suatu jenis.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan wisata terbatas adalah suatu kegiatan untuk mengunjungi, melihat, dan
menikmati keindahan alam di suaka margasatwa dengan persyaratan tertentu.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Adanya cagar biosfer dimaksudkan sebagai tempat penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan,
serta mengamati dan mengevaluasi perubahan-perubahan yang terjadi pada kawasan yang
bersangkutan.
Dengan ditentukannya suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai cagar biosfer,
maka kawasan yang bersangkutan menjadi bagian dari pada jaringan konservasi internasional. Namun,
kewenangan penentuan kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta mengamati dan
mengevaluasi perubahan- perubahan di dalam cagar biosfer sepenuhnya berada di tangan Pemerintah.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah melakukan perusakan
terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya, perburuan satwa yang berada dalam kawasan, dan
memasukkan jenis-jenis bukan asli.

92
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pembinaan habitat satwa adalah kegiatan yang dilakukan di dalam kawasan
dengan tujuan agar satwa dapat hidup dan berkembang secara alami. Contoh kegiatan tersebut
antara lain pembuatan padang rumput untuk makanan satwa, pembuatan fasilitas air minum, dan
sebagainya.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan jenis tumbuhan dan satwa yang tidak asli adalah jenis tumbuhan dan jenis
satwa yang tidak pernah terdapat di dalam kawasan.

Pasal 20
Ayat (1)
Dalam rangka mengawetkan jenis, maka ditetapkan jenis-jenis tumbuhan satwa yang dilindungi.
Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dimaksudkan untuk melindungi spesies tumbuhan dan
satwa agar jenis tumbuhan dan satwa tersebut tidak mengalami kepunahan.
Penetapan ini dapat diubah sewaktu-waktu tergantung dari tingkat keperluannya yang ditentukan oleh
tingkat bahaya kepunahan yang mengancam jenis bersangkutan.

Ayat (2)
Jenis tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan meliputi jenis tumbuhan dan satwa yang dalam
keadaan bahaya nyaris punah dan menuju kepunahan. Tumbuhan dan satwa yang endemik adalah
tumbuhan dan satwa yang terbatas penyebarannya, sedangkan jenis yang terancam punah adalah
karena populasinya sudah sangat kecil serta mempunyai tingkat perkembangbiakan yang sangat
lambat, baik karena pengaruh habitat maupun ekosistemnya. Jenis tumbuhan dan satwa yang
populasinya jarang dalam arti populasinya kecil atau jarang sehingga pembiakannya sangat sulit.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa adalah suatu upaya penyelamatan
yang harus dilakukan apabila dalam keadaan tertentu tumbuhan dan satwa terancam hidupnya bila
tetap berada dihabitatnya dalam bentuk pengembangbiakan dan pengobatan, baik di dalam maupun
di luar negeri.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di
luar negeri adalah untuk keperluan tukar menukar antar lembaga-lembaga yang bergerak di bidang
konservasi tumbuhan dan satwa dan hadiah Pemerintah.

Ayat (3)
Membahayakan di sini berarti tidak hanya mengancam jiwa manusia melainkan juga menimbulkan
gangguan atau keresahan terhadap ketenteraman hidup manusia, atau kerugian materi seperti
rusaknya lahan atau tanaman atau hasil pertanian.

Ayat (4)
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur cara-cara mengatasi bahaya, cara melakukan
penangkapan hidup-hidup, penggiringan dan pemindahan satwa yang bersangkutan, sedangkan
pemusnahan hanya dilaksanakan kalau cara lain ternyata tidak memberi hasil efektif.

Pasal 23
Ayat ( 1)
Yang dimaksud dengan apabila diperlukan adalah untuk koleksi tumbuhan dan satwa untuk kebun
binatang, taman safari, dan untuk permuliaan jenis tumbuhan dan satwa. Pemasukan jenis tumbuhan
dan satwa liar ke dalam wilayah Republik Indonesia perlu diatur untuk mencegah terjadinya polusi
genetik dan menjaga kemantapan ekosistem yang ada, guna pemanfaatan optimal bagi bangsa
Indonesia.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dirampas untuk negara adalah bahwa di samping dirampas sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, juga memberikan kewenangan kepada pejabat yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk
menguasai dan menyelamatkan tumbuhan dan satwa sebelum proses pengadilan dilaksanakan.

93
Ayat (2)
Tumbuhan dan satwa yang dilindungi harus dipertahankan agar tetap berada di habitatnya. Oleh
karena itu, tumbuhan dan satwa yang dirampas harus dikembalikan ke habitatnya. Kalau tidak mungkin
dikembalikan ke habitatnya karena dinilai tidak dapat beradaptasi dengan habitatnya dan/atau untuk
dijadikan barang bukti di pengadilan, maka tumbuhan dan satwa tersebut diserahkan atau dititipkan
kepada lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa.
Apabila keadaan sudah tidak memungkinkan karena rusak, cacat, dan tidak memungkinkan hidup,
lebih baik dimusnahkan.
Lembaga yang dimaksud dalam ayat ini dapat berupa lembaga pemerintah dan lembaga non
pemerintah, misalnya kebun binatang, kebun botani, museum biologic herbarium, taman safari dan
sebagainya yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 25
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 24 ayat (2)

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 26
Yang dimaksud dengan kondisi lingkungan adalah potensi kawasan berupa ekosistem, keadaan iklim,
fenomena alam, kekhasan jenis tumbuhan dan satwa, dan peninggalan budaya yang berada dalam kawasan
tersebut.

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Ayat (1)
Wilayah taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam meliputi areal daratan dan perairan.

Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 16 ayat (2)

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 32
Yang dimaksud dengan zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak
diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia.
Yang dimaksud dengan zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan
pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Yang dimaksud dengan zona lain adalah zona di luar kedua zona
tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan
tradisional zona rehabilitasi, dan sebagainya.

Pasal 33
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 19 ayat ( 1)

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 34
Ayat (1)
Pada dasarnya pengelolaan kawasan pelestarian alam merupakan kewajiban dari Pemerintah sebagai
konsekuensi penguasaan oleh negara atas sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya,
dan taman wisata alam, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan kepada koperasi, badan
usaha milik negara, perusahaan swasta dan perorangan.

94
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Pengertian mengikutsertakan rakyat di sini adalah memberi kesempatan kepada rakyat sekitarnya
untuk ikut berperan dalam usaha di kawasan tersebut.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 35
Yang dimaksud dengan dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan adalah keadaan dan situasi yang
terjadi di kawasan pelestarian alam karena bencana alam (gunung meletus, keluar gas beracun, bahaya
kebakaran), dan kerusakan akibat pemanfaatan terus menerus yang dapat membahayakan pengunjung
atau kehidupan tumbuhan dan satwa.

Pasal 36
Ayat (1)
Dalam pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar harus dilakukan dengan tetap menjaga
keseimbangan populasi dengan habitatnya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 37
Ayat (1)
Peranserta rakyat dapat berupa perorangan dan kelompok masyarakat baik yang terorganisasi maupun
tidak. Agar rakyat dapat berperan secara aktif dalam kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, maka melalui kegiatan penyuluhan, Pemerintah perlu mengarahkan dan menggerakkan
rakyat dengan mengikutsertakan kelompok-kelompok masyarakat.

Ayat (2)
Dalam upaya menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi di kalangan rakyat, maka perlu
ditanamkan pengertian dan motivasi tentang konservasi sejak dini melalui jalur pendidikan sekolah
dan luar sekolah.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 38
Ayat (1)
Selain Pemerintah Pusat dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya kepada Pemerintah Daerah, juga Pemerintah Pusat dapat menugaskan
kepada Pemerintah Daerah Tingkat I untuk melaksanakan urusan tersebut sebagai tugas pembantuan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas
95
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 24 TAHUN 1992
TENTANG
PENATAAN RUANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa kepada bangsa Indonesia dengan letak dan kedudukan yang strategis sebagai negara
kepulauan dengan keanekaragaman ekosistemnya merupakan sumber daya alam yang perlu
disyukuri, dilindungi, dan dikelola untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional sebagai
pengamalan Pancasila;
b. bahwa pengelolaan sumber daya alam yang beraneka ragam di daratan, di lautan, dan di udara,
perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber
daya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang
dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan
lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan, yang berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang belum
menampung tuntutan perkembangan pembangunan, sehingga perlu ditetapkan undang-undang
tentang penataan ruang;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
3. Undang-undang 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Di Daerah (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
5. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan
Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3234), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988
(Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENATAAN RUANG.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan
hidupnya.
2. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak.
3. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang.
4. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
5. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas
dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
6. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya.
7. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan
hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
8. Kawasan budi daya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar
kondisi dan potensi sumber-sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
9. Kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber
daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

96
10. Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
11. Kawasan tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis yang penataan
ruangnya diprioritaskan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Penataan ruang berasaskan:
a. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras,
seimbang, dan berkelanjutan;
b. keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.

Pasal 3
Penataan ruang bertujuan:
a. terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan
Ketahanan Nasional;
b. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya;
c. tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:
1) mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera;
2) mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia;
3) meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya guna, berhasil
guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
4) mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap
lingkungan;
5) mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 4
(1) Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan
ruang.
(2) Setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 5
(1) Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang.
(2) Setiap orang berkewajiban menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

Pasal 6
Ketentuan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PERENCANAAN, PEMANFAATAN, DAN PENGENDALIAN

Bagian Pertama
Umum

Pasal 7
(1) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya.
(2) Penataan ruang berdasarkan aspek administratif meliputi ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(3) Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan
perkotaan, dan kawasan tertentu.

97
Pasal 8
(1) Penataan ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II dilakukan secara terpadu dan tidak dipisah-pisahkan.
(2) Penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dikoordinasikan
penyusunannya oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) untuk ketentuan dipadukan ke
dalam Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
(3) Penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
dikoordinasikan penyusunannya oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk kemudian dipadukan ke dalam
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Pasal 9
(1) Penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, di
samping meliputi ruang daratan, juga mencakup ruang lautan dan ruang udara sampai batas tertentu yang
diatur dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Penataan ruang lautan dan penataan ruang udara di luar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur secara
terpusat dengan undang-undang.

Pasal 10
(1) Penataan ruang kawasan perdesaan, penataan ruang kawasan perkotaan, dan penataan ruang kawasan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) diselenggarakan sebagai bagian dari penataan ruang wilayah
Nasional atau wilayah Propinsi Daerah Tingkat I atau wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Penataan ruang kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan diselenggarakan untuk:
a. mencapai tata ruang kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan yang optimal, serasi, selaras, dan
seimbang dalam pengembangan kehidupan manusia;
b. meningkatkan fungsi kawasan perdesaan dan fungsi kawasan perkotaan secara serasi, selaras, dan
seimbang antara perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat;
c. mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi
dampak negatif terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial.
(3) Penataan ruang kawasan tertentu diselenggarakan untuk:
a. mengembangkan tata ruang kawasan yang strategis dan diprioritaskan dalam rangka penataan ruang wilayah
Nasional atau wilayah Propinsi Daerah Tingkat I atau wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;
b. meningkatkan fungsi kawasan lindung dan fungsi kawasan budi daya;
c. mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan.
(4) Pengelolaan kawasan tertentu diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 11
Penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 dilakukan dengan memperhatikan:
a. lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, dan interaksi lingkungan;
b. tahapan, pembiayaan, dan pengelolaan pembangunan, serta pembinaan kemampuan kelembagaan.

Pasal 12
(1) Penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan peran serta masyarakat.
(2) Tata cara dan bentuk peran serta masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Perencanaan

Pasal 13
(1) Perencanaan tata ruang dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata
ruang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Rencana tata ruang ditinjau kembali dan atau disempurnakan sesuai dengan jenis perencanaannya secara
berkala.
(3) Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 24 ayat (3).
(4) Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 14
(1) Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan
a. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi budi daya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi,
sosial budaya, serta fungsi pertahanan keamanan;
b. aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas
ruang.
(2) Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata
guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya.
(3) Perencanaan tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan keamanan sebagai subsistem perencanaan
tata ruang, tata cara penyusunannya diatur dengan peraturan perundang-undangan.
98
Bagian Ketiga
Pemanfaatan

Pasal 15
(1) Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, yang
didasarkan atas rencana tata ruang.
(2) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan
jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.

Pasal 16
(1) Dalam pemanfaatan ruang dikembangkan:
a. pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam lainnya
sesuai dengan asas penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b. perangkat tingkat yang bersifat insentif dan disinsentif dengan menghormati hak penduduk sebagai
warganegara.
(2) Ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber
daya alam lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir a, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Pengendalian

Pasal 17
Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap
pemanfaatan ruang.

Pasal 18
(1) Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang diselenggarakan dalam bentuk pelaporan, pemantauan, dan evaluasi.
(2) Penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang diselenggarakan dalam
bentuk pengenaan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V
RENCANA TATA RUANG

Pasal 19
(1) Rencana tata ruang dibedakan atas:
a. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
c. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digambarkan dalam peta wilayah negara Indonesia,
peta wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, peta wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II, dan peta wilayah Kotamadya
Daerah Tingkat II, yang tingkat ketelitiannya diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 20
(1) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang
wilayah negara, yang meliputi:
a. tujuan nasional dari pemanfaatan ruang untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan;
b. struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional;
c. kriteria dan pola pengelolaan kawasan lindung, kawasan budi daya, dan kawasan tertentu.
(2) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional berisi:
a. penetapan kawasan lindung, kawasan budi daya, dan kawasan tertentu yang ditetapkan secara nasional;
b. norma dan kriteria pemanfaatan ruang;
c. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.
(3) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional menjadi pedoman untuk:
a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
b. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antara wilayah serta keserasian
antar sektor;
c. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat;
d. penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(4) Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Nasional adalah 25 tahun.
(5) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

99
Pasal 21
(1) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan
pemanfaatan ruang wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I, yang meliputi :
a. tujuan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan pertahanan keamanan;
b. struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
c. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.
(2) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I berisi:
a. arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budi daya;
b. arahan pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu;
c. arahan pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian,
pariwisata, dan kawasan lainnya;
d. arahan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dan perkotaan;
e. arahan pengembangan sistem prasarana wilayah yang meliputi prasarana transportasi, telekomunikasi,
energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan;
f. arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan;
g. arahan kebijaksanaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam
lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
(3) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I menjadi pedoman untuk:
a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
b. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I serta keserasian antar sektor;
c. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat;
d. penataan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang merupakan dasar dalam pengawasan
terhadap perizinan lokasi pembangunan.
(4) Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I adalah 15 tahun.
(5) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pasal 22
(1) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II merupakan penjabaran Rencana Tata
Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I ke dalam strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II, yang meliputi:
a. tujuan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan pertahanan keamanan;
b. rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;
c. rencana umum tata ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;
d. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berisi:
a. pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budi daya;
b. pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu;
c. sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman perdesaan dan perkotaan;
d. sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, prasarana pengelolaan lingkungan;
e. penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya,
serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
(3) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II menjadi pedoman untuk:
a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;
b. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II serta keserasian antar sektor;
c. penetapan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat di Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II;
d. penyusunan rencana rinci tata ruang di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;
e. pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan.
(4) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II menjadi dasar untuk penerbitan perizinan
lokasi pembangunan.
(5) Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II adalah 10 tahun.
(6) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pasal 23
(1) Rencana tata ruang kawasan perdesaan dan rencana tata ruang kawasan perkotaan merupakan bagian dari
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Rencana tata ruang kawasan tertentu dalam rangka penataan ruang wilayah nasional merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan atau Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kawasan, pedoman, tata cara, dan lain-lain yang diperlukan bagi
penyusunan rencana tata ruang kawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

100
BAB VI
WEWENANG DAN PEMBINAAN

Pasal 24
(1) Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pelaksanaan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan wewenang kepada
Pemerintah untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan penataan ruang;
b. mengatur tugas dan kewajiban instansi pemerintah dalam penataan ruang.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang
dimiliki orang.

Pasal 25
Pemerintah menyelenggarakan pembinaan dengan:
a. mengumumkan dan menyebarluaskan rencana tata ruang kepada masyarakat;
b. menumbuhkan serta mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat melalui penyuluhan,
bimbingan, pendidikan, dan pelatihan.

Pasal 26
(1) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ini dinyatakan batal oleh Kepala Daerah yang
bersangkutan.
(2) Apabila izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuktikan telah diperoleh dengan itikad baik, terhadap
kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat dimintakan penggantian yang layak.

Pasal 27
(1) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menyelenggarakan penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.
(2) Untuk Daerah Khusus lbukota Jakarta, pelaksanaan penataan ruang dilakukan Gubernur Kepala Daerah dengan
memperhatikan pertimbangan dari Departemen, Lembaga, dan Badan-badan Pemerintah lainnya serta
koordinasi dengan Daerah sekitarnya sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang
Susunan Pemerintahan Daerah Khusus lbukota Negara Republik Indonesia Jakarta.
(3) Apabila dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) terdapat
hal-hal yang tidak dapat diselesaikan di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, maka diperlukan pertimbangan dan
persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1).

Pasal 28
(1) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II menyelenggarakan penataan ruang wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Apabila dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat hal-hal yang
tidak dapat diselesaikan di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, maka diperlukan pertimbangan
dan persetujuan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

Pasal 29
(1) Presiden menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang.
(2) Tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pengendalian perubahan fungsi ruang
suatu kawasan dan pemanfaatannya yang berskala besar dan berdampak penting.
(3) Perubahan fungsi ruang suatu kawasan dan pemanfaatannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Penetapan mengenai perubahan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) menjadi dasar dalam
peninjauan kembali Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 30
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
penataan ruang yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-
undang ini.

101
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Ordonansi Pembentukan Kota (Stadsvormingsordonnantie Staatsblad
Tahun 1948 Nomor 168, Keputusan Letnan Gubernur Jenderal tanggal 23 Juli 1948 no.13) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 32
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 1992

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 1992

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

MOERDIONO

102
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 1992
TENTANG
PENATAAN RUANG

I. UMUM
1. Ruang wilayah negara Indonesia sebagai wadah atau tempat bagi manusia dan makhluk lainnya hidup, dan
melakukan kegiatannya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia.
Sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola, ruang wajib dikembangkan
dan dilestarikan pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup yang berkualitas.
Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara memberikan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup dapat tercapai
jika didasarkan atas keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi,
hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, maupun hubungan manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa keyakinan tersebut menjadi pedoman dalam penataan ruang.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut harus dapat dinikmati, baik oleh generasi
sekarang maupun generasi yang akan datang.
Garis-garis Besar Haluan Negara menetapkan bahwa pembangunan tidak hanya mengejar kemakmuran lahiriah
ataupun kepuasan batiniah, akan tetapi juga keseimbangan antara keduanya. Oleh karena itu, ruang harus
dimanfaatkan secara serasi, selaras, dan seimbang dalam pembangunan yang berkelanjutan.

2. Wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh wilayah negara meliputi daratan, lautan, dan udara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk laut dan landas kontinen di sekitarnya, di
mana Republik Indonesia memiliki hak berdaulat atau kewenangan hukum sesuai dengan ketentuan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982 tentang Hukum laut.
Laut sebagai salah satu sumber daya alam tidaklah mengenal batas wilayah. Akan tetapi, kalau ruang dikaitkan
dengan pengaturannya, maka haruslah jelas batas, fungsi dan sistemnya dalam satu kesatuan. Secara geografis
letak dan kedudukan negara Indonesia sebagai negara kepulauan adalah sangat strategis, baik bagi kepentingan
nasional maupun internasional. Secara ekosistem kondisi alamiahnya adalah sangat khas karena menempati
posisi silang di khatulistiwa antara dua benua dan dua samudera dengan cuaca, musim, dan iklim tropisnya.
Dengan demikian, ruang wilayah negara Indonesia merupakan aset besar bangsa Indonesia yang harus
dimanfaatkan secara terkoordinasi, terpadu, dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, serta kelestarian kemampuan lingkungan untuk menopang
pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur. Dengan kata lain wawasan penataan
ruang wilayah negara Indonesia adalah Wawasan Nusantara.

3. Ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta sumber daya alam yang terkandung di
dalamnya bagi kehidupan dan penghidupan. Kegiatan manusia dan makhluk hidup lainnya membutuhkan
ruang sebagaimana lokasi berbagai pemanfaatan ruang atau sebaliknya suatu ruang dapat mewadahi berbagai
kegiatan, sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan. Meskipun suatu ruang tidak
dihuni manusia seperti ruang hampa udara, lapisan di bawah kerak bumi, kawah gunung berapi, tetapi ruang
tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan dan kelangsungan
hidup. Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak tak terbatas. Bila pemanfaatan ruang tidak diatur
dengan baik, kemungkinan besar terdapat pemborosan manfaat ruang dan penurunan kualitas ruang. Oleh
karena itu, diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis
kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan.

4. Ruang wilayah negara sebagai suatu sumber daya alam terdiri dari berbagai ruang wilayah sebagai suatu
subsistem. Masing-masing subsistem meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan,
dan kelembagaan dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Seluruh wilayah negara Indonesia terdiri dari wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, yang masing-masing merupakan subsistem ruang menurut batasan
administrasi.
Di dalam subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan
sumber daya alam, sumber daya buatan, dan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak
ditata secara baik dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta
ketidak lestarian lingkungan hidup.
Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik dan daya dukungnya serta didukung oleh teknologi yang
sesuai, akan meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistem yang berarti juga
meningkatkan daya tampungnya.
Oleh karena pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya
akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan, pengaturan ruang menuntut dikembangkannya suatu
sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Ini berarti perlu adanya suatu kebijaksanaan nasional penataan
ruang yang memadukan berbagai kebijaksanaan pemanfaatan ruang. Seiring dengan maksud tersebut, maka

103
pelaksanaan pembangunan, di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, harus sesuai dengan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan rencana tata
ruang.

5. Penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang merupakan satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Untuk menjamin
tercapainya tujuan penataan ruang diperlukan peraturan perundang-undangan dalam satu kesatuan sistem
yang harus memberi dasar yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya
pemanfaatan ruang. Untuk itu, undang-undang tentang penataan ruang ini memiliki ciri sebagai berikut:
a. Sederhana tetapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan pemanfaatan ruang pada masa depan
sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat.
b. Menjamin keterbukaan rencana tata ruang bagi masyarakat sehingga dapat lebih mendorong peran serta
masyarakat dalam pemanfaatan ruang yang berkualitas dalam segala segi pembangunan.
c. Mencakup semua aspek di bidang penataan ruang sebagai dasar bagi pengaturan lebih lanjut yang perlu
dituangkan dalam bentuk peraturan tersendiri.
d. Mengandung sejumlah ketentuan proses dan prosedur perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang sebagai dasar bagi pengaturan lebih lanjut.
Selain itu, Undang-undang ini menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan peraturan perundang-undangan
yang memuat ketentuan tentang segi-segi pemanfaatan ruang yang telah berlaku yaitu peraturan perundang-
undangan mengenai perairan, pertanahan, kehutanan, pertambangan, pembangunan daerah, perdesaan,
perkotaan, transmigrasi, perindustrian, perikanan, jalan, Landas Kontinen Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, perumahan dan permukiman, kepariwisataan, perhubungan, telekomunikasi, dan sebagainya dengan
memperhatikan di antaranya:
a. Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960
Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1942) jo. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1976 tentang
Pengesahan Penyatuan Timor Timur Ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan
Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 35, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3084);
b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419;
c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 35, tambahan Lembaran Negara Nomor 3475).
Dengan demikian, semua peraturan perundang-undangan yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang dapat
terangkum dalam satu sistem hukum penataan ruang Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Istilah yang dirumuskan dalam Pasal ini dimaksudkan agar terdapat keseragaman pengertian atas Undang-
undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Angka 1
Ruang yang diatur dalam Undang-undang ini adalah ruang di mana Republik Indonesia mempunyai
hak yurisdiksi yang meliputi hak berdaulat di wilayah teritorial maupun kewenangan hukum di luar
wilayah teritorial berdasarkan ketentuan konvensi yang bersangkutan yang berkaitan dengan ruang
lautan dan ruang udara. Pengertian ruang mencakup ruang daratan, ruang lautan, dan ruang
udara.

Ruang daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan termasuk
permukaan perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah.

Ruang lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut
garis laut terendah termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya, di mana Republik Indonesia
mempunyai hak yurisdiksi.

Ruang udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan dan atau ruang lautan sekitar
wilayah negara dan melekat pada bumi, di mana Republik Indonesia mempunyai hak yurisdiksi.
Dalam Undang-undang ini, pengertian ruang udara (air-space) tidak sama dengan pengertian
ruang angkasa (outerspace). Ruang angkasa beserta isinya seperti bulan dan benda-benda langit
lainnya adalah bagian dari antariksa, yang merupakan ruang di luar ruang udara.

Ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara merupakan satu kesatuan ruang yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara mempunyai potensi yang dapat
dimanfaatkan sesuai dengan tingkat intensitas yang berbeda untuk kehidupan manusia dan makhluk
hidup lainnya. Potensi itu diantaranya sebagai tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan
pangan, industri, pertambangan, sebagai jalur perhubungan, sebagai obyek wisata, sebagai sumber
energi, atau sebagai tempat penelitian dan percobaan.

104
Angka 2
Yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur
pembentuk ruang lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang secara hirarkis
dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang.

Wujud struktural pemanfaatan ruang di antaranya meliputi hirarki pusat pelayanan seperti pusat
kota, pusat lingkungan, pusat pemerintahan; prasarana jalan seperti jalan arteri, jalan kolektor, dan
jalan lokal; rancang bangun kota seperti ketinggian bangunan, jarak antar bangunan, garis langit,
dan sebagainya. Yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan
ruang yang menggambarkan ukuran, fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan
alam.

Wujud pola pemanfaatan ruang di antaranya meliputi pola lokasi, sebaran permukiman, tempat
kerja, industri, dan pertanian, serta pola penggunaan tanah perdesaan dan perkotaan.

Tata ruang yang dituju dengan penataan ruang ini adalah tata ruang yang direncanakan. Tata ruang
yang tidak direncanakan berupa tata ruang yang terbentuk secara alamiah seperti wilayah aliran
sungai, danau, suaka alam, gua, gunung dan sebagainya.

Angka 3
Cukup jelas

Angka 4
Cukup jelas

Angka 5
Wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif disebut wilayah
pemerintahan. Wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut
kawasan.

Angka 6
Cukup jelas

Angka 7
Kelestarian lingkungan hidup mencakup pula sumber daya alam dan sumber daya buatan yang
mempunyai nilai sejarah dan budaya bangsa.

Angka 8
Pembudidayaan kawasan memperhatikan asas konservasi.

Angka 9
Cukup jelas

Angka 10
Cukup jelas

Angka 11
Cukup jelas

Pasal 2
Yang dimaksud dengan semua kepentingan adalah bahwa penataan ruang dapat menjamin seluruh
kepentingan, yakni kepentingan pemerintah dan masyarakat secara adil dengan memperhatikan golongan
ekonomi lemah.

Yang dimaksud dengan terpadu adalah bahwa penataan ruang dianalisis dan dirumuskan menjadi satu
kesatuan dari berbagai kegiatan pemanfaatan ruang baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Penataan
ruang dilakukan secara terpadu dan menyeluruh mencakup antara lain pertimbangan aspek waktu, modal,
optimasi, daya dukung lingkungan, daya tampung lingkungan, dan geopolitik. Dalam mempertimbangkan
aspek waktu, suatu perencanaan tata ruang memperhatikan adanya aspek prakiraan, ruang lingkup wilayah
yang direncanakan, persepsi yang mengungkapkan berbagai keinginan serta kebutuhan dan tujuan
pemanfaatan ruang. Penataan ruang harus diselenggarakan secara tertib sehingga memenuhi proses dan
prosedur yang berlaku secara teratur dan konsisten.

Yang dimaksud dengan berdaya guna dan berhasil guna adalah bahwa penataan ruang harus dapat
mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan potensi dan fungsi ruang.

Yang dimaksud dengan serasi, selaras, dan seimbang adalah bahwa penataan ruang dapat menjamin
terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan struktur dan pola pemanfaatan ruang bagi
persebaran penduduk antar wilayah, pertumbuhan dan perkembangan antar sektor, antar daerah, serta
antara sektor dan daerah dalam satu kesatuan Wawasan Nusantara.

105
Yang dimaksud dengan berkelanjutan adalah bahwa penataan ruang menjamin kelestarian kemampuan
daya dukung sumber daya alam dengan memperhatikan kepentingan lahir dan batin antar generasi.

Pasal 3
Tujuan pengaturan penataan ruang dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara berbagai kegiatan
dengan fungsi ruang guna tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas.

Yang dimaksud dengan pengaturan pemanfaatan kawasan lindung adalah bentuk-bentuk pengaturan
pemanfaatan ruang di kawasan lindung seperti upaya konservasi, rehabilitasi, penelitian, obyek wisata
lingkungan, dan lain-lain yang sejenis. Penataan ruang kawasan lindung bertujuan:
a. tercapainya tata ruang kawasan lindung secara optimal;
b. meningkatkan fungsi kawasan lindung.

Yang dimaksud dengan pengaturan pemanfaatan kawasan budi daya adalah bentuk-bentuk pengaturan
pemanfaatan ruang di kawasan budi daya seperti upaya eksploitasi pertambangan, budi daya kehutanan,
budi daya pertanian, dan kegiatan pembangunan permukiman, industri, pariwisata, dan lain-lain yang sejenis.
Penataan ruang kawasan budi daya bertujuan :
a. tercapainya tata ruang kawasan budi daya secara optimal;
b. meningkatkan fungsi kawasan budi daya.

Yang dimaksud dengan mewujudkan keterpaduan adalah mencegah perbenturan kepentingan yang
merugikan kegiatan pembangunan antar sektor, daerah, dan masyarakat dalam penggunaan sumber daya
alam dengan memperhatikan sumber daya manusia, dan sumber daya buatan melalui proses koordinasi,
integrasi, dan sinkronisasi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang.

Pasal 4
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang adalah orang seorang, kelompok orang, atau
badan hukum. Pemerintah berkewajiban melindungi hak setiap orang untuk menikmati manfaat ruang.

Ayat (2)
Hak setiap orang dalam penataan ruang dapat diwujudkan dalam bentuk bahwa setiap orang dapat
mengajukan usul, memberi saran, atau mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam rangka
penataan ruang.

Penggantian yang layak diberikan kepada orang yang dirugikan selaku pemegang hak atas tanah, hak
pengelolaan sumber daya alam seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan, dan atau ruang, yang
dapat membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat
penataan ruang. Hak tersebut didasarkan atas ketentuan perundang-undangan ataupun atas hukum
adat dan kebiasaan yang berlaku.

Yang dimaksud dengan hak atas ruang adalah hak-hak yang diberikan atas pemanfaatan ruang daratan,
ruang lautan, dan ruang udara. Hak atas pemanfaatan ruang daratan dapat berupa hak untuk memiliki
dan menempati satuan ruang di dalam bangunan sebagai tempat tinggal; hak untuk melakukan
kegiatan usaha seperti perkantoran, perdagangan, tempat peristirahatan, dan atau melakukan kegiatan
sosial seperti tempat pertemuan di dalam satuan ruang bangunan bertingkat; hak untuk membangun
dan mengelola prasarana transportasi seperti jalan layang; dan sebagainya. Hak atas pemanfaatan
ruang lautan dapat berupa hak untuk memiliki dan menempati satuan ruang di dalam rumah terapung;
hak untuk melakukan kegiatan di dalam satuan ruang di dalam kota terapung dan atau di dalam laut;
hak untuk mengelola pariwisata bahari; hak pemeliharaan taman laut; hak untuk melakukan angkutan
laut; hak untuk mengeksploitasi sumber alam di laut seperti penangkapan ikan, penambangan lepas
pantai; dan sebagainya. Hak atas pemanfaatan ruang udara dapat berupa hak untuk menggunakan
jalur udara bagi lalu lintas pesawat terbang; hak untuk menggunakan media udara bagi telekomunikasi;
dan sebagainya.

Yang dimaksud dengan penggantian yang layak adalah bahwa nilai atau besar penggantian itu tidak
mengurangi tingkat kesejahteraan orang yang bersangkutan.

Pasal 5
Ayat (1)
Kewajiban dalam memelihara kualitas ruang merupakan pencerminan rasa tanggung jawab sosial
setiap orang terhadap pemanfaatan ruang. Kualitas ruang ditentukan oleh terwujudnya keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan pemanfaatan ruang yang mengindahkan faktor-faktor daya dukung
lingkungan seperti struktur tanah, siklus hidrologi, siklus udara; fungsi lingkungan seperti wilayah

106
resapan air, konservasi flora dan fauna; estetika lingkungan seperti bentang alam, pertanaman,
arsitektur bangunan; lokasi seperti jarak antara perumahan dengan tempat kerja, jarak antara
perumahan dengan fasilitas umum; dan struktur seperti pusat lingkungan dalam perumahan, pusat
kegiatan dalam kawasan perkotaan.
Pengertian memelihara kualitas ruang mencakup pula memelihara kualitas tata ruang yang
direncanakan.

Ayat (2)
Penyesuaian pemanfaatan ruang, baik yang telah mempunyai izin maupun tidak, wajib dilakukan
sewaktu-waktu oleh yang bersangkutan bila terjadi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dengan
rencana tata ruang.
Pelaksanaan kewajiban menaati rencana tata ruang dilakukan sesuai dengan kemampuan setiap
orang yang terkena langsung akibat pemanfaatan rencana tata ruang.
Bagi orang yang tidak mampu, maka sesuai haknya untuk mendapatkan penggantian yang layak,
kompensasi diatur melalui pengaturan nilai tambah yang ditimbulkan sebagai akibat adanya perubahan
nilai ruang.

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Ayat (1)
Termasuk dalam kawasan lindung adalah kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan
resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar
mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai
berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, kawasan cagar budaya
dan ilmu pengetahuan, dan kawasan rawan bencana alam.

Termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan
permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat beribadah,
kawasan pendidikan, kawasan pertahanan keamanan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Susunan fungsi kawasan yang berwujud kawasan perdesaan meliputi tempat permukiman perdesaan,
tempat kegiatan pertanian, kegiatan pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Susunan fungsi kawasan yang berwujud kawasan perkotaan meliputi tempat permukiman perkotaan,
tempat pemusatan dan pendistribusian kegiatan bukan pertanian seperti kegiatan pelayanan jasa
pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Fungsi kawasan yang berwujud kawasan tertentu meliputi tempat pengembangan kegiatan yang
strategis yang ditentukan dengan kriteria antara lain:
a. kegiatan di bidang yang bersangkutan baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama
yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap upaya pengembangan tata ruang di wilayah
sekitarnya;
b. kegiatan di suatu bidang yang mempunyai dampak baik terhadap kegiatan lain di bidang yang
sejenis maupun terhadap kegiatan di bidang lainnya;
c. kegiatan di bidang yang bersangkutan yang merupakan faktor pendorong bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Kegiatan dalam kawasan tertentu dapat berupa misalnya kegiatan pembangunan skala besar untuk
kegiatan industri beserta sarana dan prasarananya, kegiatan pertahanan keamanan beserta sarana
dan prasarananya, kegiatan pariwisata beserta sarana dan prasarananya, dan sebagainya.

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah administratif Daerah Tingkat I dapat berupa kawasan
lindung dan kawasan budi daya seperti wilayah aliran sungai, kawasan resapan air, wilayah perbatasan,
kawasan hutan lindung, taman nasional, serta kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan
tertentu.

Dalam hal kawasan tersebut di atas mencakup dua atau lebih wilayah administrasi Daerah Tingkat I,
maka koordinasi penyusunan rencana tata ruang diselenggarakan oleh Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 Ayat (1).

107
Bagian dari masing-masing kawasan dipadukan ke dalam Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I yang bersangkutan untuk ditetapkan dengan peraturan daerah.

Ayat (3)
Kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah administratif Daerah Tingkat II dapat berupa kawasan
lindung dan kawasan budi daya seperti wilayah aliran sungai, kawasan resapan air, wilayah perbatasan,
kawasan hutan lindung, taman nasional, serta kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan
tertentu.

Kecuali kawasan tertentu, maka dalam hal kawasan tersebut di atas mencakup dua atau lebih wilayah
administrasi Daerah Tingkat II, koordinasi penyusunan rencana tata ruang diselenggarakan oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

Bagian dari masing-masing kawasan dipadukan ke dalam Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan untuk ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pasal 9
Ayat (1)
Penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
yang daratannya berbatasan dengan laut perlu mencakup ruang lautan dalam batas tertentu.
Penataan ruang tersebut berkaitan dengan lokasi dan tempat kegiatan masyarakat di daerah seperti
tempat permukiman dan kegiatan nelayan dan sebagainya. Penataan ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I, wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berkaitan dengan ruang udara dalam batas
tertentu. Penataan ruang tersebut bersangkutan dengan wadah kegiatan masyarakat di daerah seperti
batas ketinggian bangunan, penggunaan jembatan penyeberangan yang diperlebar untuk pertokoan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Dalam kawasan perdesaan terdapat kawasan lindung dan kawasan budidaya dengan kegiatan utama
budidaya pertanian.

Dalam kawasan perkotaan terdapat kawasan lindung dan kawasan budi daya dengan kegiatan utama
budidaya bukan pertanian.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kawasan yang strategis adalah kawasan yang secara nasional menyangkut
hajat hidup orang banyak, baik ditinjau dari sudut kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya,
lingkungan, dan pertahanan keamanan.
Kawasan tertentu dapat berada dalam satu kesatuan kawasan perdesaan dan atau kawasan perkotaan.
Yang dimaksud dengan kawasan yang strategis dan diprioritaskan adalah kawasan yang tingkat
penanganannya diutamakan dalam pelaksanaan pembangunan.

Sebagai contoh kawasan tertentu adalah kawasan strategis dalam skala besar untuk kegiatan industri,
pariwisata, suaka alam, wilayah perbatasan, dan daerah latihan militer.

Yang dimaksud dengan perbatasan adalah perbatasan yang ada, di daratan, di lautan dan di udara dengan
negara tetangga.

Ayat (4)
Dalam hal perencanaan tata ruang kawasan tertentu, koordinasi penyusunannya diselenggarakan
oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1).

Pasal 11
Dengan memperhatikan aspek seperti tersebut dalam Pasal ini, penataan ruang dilakukan untuk terciptanya
upaya dalam pemanfaatan ruang secara berdaya guna dan berhasil guna serta untuk terpeliharanya
kelestarian kemampuan lingkungan hidup.

108
Pasal 12
Ayat (1)
Peran serta masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam penataan ruang karena pada
akhirnya hasil penataan ruang adalah untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta untuk
tercapainya tujuan penataan ruang.
Masyarakat berperan sebagai mitra pemerintah dalam penataan ruang. Dalam menjalankan peranannya
itu, masyarakat mendayagunakan kemampuannya secara aktif sebagai sarana untuk melaksanakan
peran serta masyarakat dalam mencapai tujuan penataan ruang.

Peran serta masyarakat dalam penataan ruang dapat diselenggarakan oleh orang seorang, kelompok
orang, atau badan hukum.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 13
Ayat (1)
Proses dan prosedur penyusunan Rencana Tata Ruang wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I, Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
dilaksanakan secara terarah dan terpadu.

Proses dan prosedur penetapan rencana tata ruang diselenggarakan pada tingkat Nasional, Daerah
Tingkat I dan Daerah Tingkat II.

Dalam penyusunan dan penetapan rencana tata ruang, ditempuh langkah-langkah kegiatan:
a. menentukan arah pengembangan yang akan dicapai dilihat dari segi ekonomi, sosial, budaya,
daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta fungsi pertahanan keamanan;
b. mengidentifikasikan berbagai potensi dan masalah pembangunan dalam suatu wilayah
perencanaan;
c. perumusan perencanaan tata ruang;
d. penetapan tata ruang,

Ayat (2)
Rencana tata ruang disusun dengan perspektif menuju keadaan pada masa depan yang diharapkan,
bertitik tolak dari data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dipakai, serta
memperhatikan keragaman wawasan kegiatan tiap sektor. Perkembangan masyarakat dan lingkungan
hidup berlangsung secara dinamis; ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang seiring dengan
berjalannya waktu. Oleh karena itu, agar rencana tata ruang yang telah disusun itu tetap sesuai dengan
tuntutan pembangunan dan perkembangan keadaan, rencana tata ruang dapat ditinjau kembali dan
atau disempurnakan secara berkala.

Peninjauan kembali sebagaimana tersebut di atas bukan berarti penyusunan rencana baru secara
totalitas dan hanya dapat dilakukan atas dasar Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (4) Pasal ini.

Jenis perencanaan dibedakan menurut hirarki administrasi pemerintahan, kedalaman rencana, dan
fungsi wilayah serta kawasan.

Ayat (3)
Ketentuan ini memberikan penegasan bahwa bagaimanapun bila peninjauan kembali tersebut
berakibat kepada penyempurnaan rencana tata ruang, maka hak orang harus tetap dilindungi. Dalam
penyempurnaan rencana tata ruang tersebut dilaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 dan Pasal 12.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 14
Ayat (1)
Pengaturan pemanfaatan ruang untuk fungsi pertahanan keamanan di tingkat Rencana Tata Ruang
wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
merupakan satu kesatuan proses dalam rangka mewujudkan keseimbangan kepentingan
kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan.
Aspek pengelolaan dalam ketentuan ini perlu mempertimbangkan secara terpadu karena hal tersebut
mempengaruhi dinamika pemanfaatan ruang. Dinamika dalam pemanfaatan ruang tercermin antara
lain dalam:

109
a. perubahan nilai sosial akibat rencana tata ruang;
b. perubahan nilai tanah dan sumber daya alam lainnya;
c. perubahan status hukum tanah akibat rencana tata ruang;
d. dampak terhadap lingkungan;
c. perkembangan serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan struktur pemanfaatan ruang adalah susunan dan tatanan komponen lingkungan
alam hayati, lingkungan alam nonhayati, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial yang secara hirarkis
dan fungsional berhubungan satu sama lain membentuk tata ruang.

Yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah bentuk hubungan antar berbagai aspek
sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan, sosial, budaya, ekonomi, teknologi,
informasi, administrasi, pertahanan keamanan; fungsi lindung, budi daya, dan estetika lingkungan;
dimensi ruang dan waktu yang dalam kesatuan secara utuh menyeluruh serta berkualitas membentuk
tata ruang.

Perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang merupakan kegiatan menyusun rencana tata ruang
yang produknya menitikberatkan kepada pengaturan hirarki pusat permukiman dan pusat pelayanan
barang dan jasa, serta keterkaitan antara pusat tersebut melalui, antara lain, sistem prasarana. Sistem
prasarana meliputi, antara lain, jaringan transportasi seperti jalan raya, jalan kereta api, sungai yang
dimanfaatkan sebagai sarana angkutan, dan jaringan utilitas seperti: air bersih, air kotor, pengatusan
air hujan, jaringan telepon, jaringan gas, jaringan listrik dan sistem pengelolaan sampah.
Tata guna tanah, tata guna air, dan tata guna udara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, supaya keberlanjutan pemanfaatan tanah, air,
udara, dan sumber daya alam lainnya untuk kegiatan pembangunan dan peningkatan kualitas tata
ruang dapat terus berlangsung.

Sebagai contoh sumber daya alam lainnya adalah sumber daya alam non-hayati seperti hutan, flora,
fauna; dan sumber daya alam non-hayati seperti tambang mineral, minyak bumi, energi angin, energi
surya, potensi meteorologi klimatologi, dan geofisika.

Ayat (3)
Kegiatan perencanaan tata ruang untuk fungsi pertahanan keamanan karena sifatnya yang khusus
memerlukan pengaturan tersendiri. Meskipun demikian, penataan ruang untuk fungsi ini tetap
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya keseluruhan penataan ruang wilayah negara.

Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemanfaatan ruang adalah rangkaian program kegiatan pelaksanaan
pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan di dalam rencana
tata ruang. Yang dimaksud dengan pembiayaan program pemanfaatan ruang adalah mobilisasi,
prioritas, dan alokasi pendanaan yang diperlukan untuk pelaksanaan pembangunan.

Ayat (2)
Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap melalui penyiapan program kegiatan
pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang akan dilakukan oleh
pemerintah dan masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama, sesuai dengan rencana
tata ruang yang telah ditetapkan.

Pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui tahapan pembangunan dengan memperhatikan sumber


dan mobilisasi dana serta alokasi pembiayaan program pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana
tata ruang.

Pasal 16
Ayat (1)
Pengertian pola pengelolaan tata guna tanah, pola pengelolaan tata guna air, pola pengelolaan tata
guna udara, dan pola pengelolaan tata guna sumber daya alam lainnya adalah sama dengan
penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam
lainnya.

Yang dimaksud dengan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan
penatagunaan sumber daya alam lainnya antara lain adalah penguasaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya yang berwujud konsolidasi pemanfaatan
tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan
pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya sebagai satu kesatuan sistem untuk

110
kepentingan masyarakat secara adil. Dalam pemanfaatan tanah, pemanfaatan air, pemanfaatan udara,
dan pemanfaatan sumber daya alam lainnya, perlu diperhatikan faktor yang mempengaruhinya seperti
faktor meteorologi, klimatologi, dan geofisika.

Yang dimaksud dengan perangkat insentif adalah pengaturan yang bertujuan memberikan rangsangan
terhadap kegiatan yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang.

Apabila dengan pengaturan akan diwujudkan insentif dalam rangka pengembangan pemanfaatan
ruang, maka melalui pengaturan itu dapat diberikan kemudahan tertentu:
a. di bidang ekonomi melalui tata cara pemberian kompensasi, imbalan, dan tata cara
penyelenggaraan sewa ruang dan urun saham; atau
b. di bidang fisik melalui pembangunan serta pengadaan sarana dan prasarana seperti jalan, listrik,
air minum, telepon dan sebagainya untuk melayani pengembangan kawasan sesuai dengan
rencana tata ruang.

Yang dimaksud dengan perangkat disinsentif adalah pengaturan yang bertujuan membatasi
pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana kawasan ruang, misalnya
dalam bentuk:
a. pengenaan pajak yang tinggi; atau
b. ketidaktersediaan sarana dan prasarana.

Pelaksanaan insentif dan disinsentif tidak boleh mengurangi hak penduduk sebagai warganegara.
Hak penduduk sebagai warganegara meliputi pengaturan atas harkat dan martabat yang sama, hak
memperoleh, dan mempertahankan ruang hidupnya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 17
Agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang dilakukan pengendalian melalui kegiatan
pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang.

Yang dimaksud dengan pengawasan dalam ketentuan ini adalah usaha untuk menjaga kesesuaian
pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.

Yang dimaksud dengan penertiban dalam ketentuan ini adalah usaha untuk mengambil tindakan agar
pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud.
Di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II penyelenggaraan pengendalian pemanfaatan ruang
selain melalui kegiatan pengawasan dan penertiban juga meliputi mekanisme perizinan.

Penertiban adalah tindakan menertibkan yang dilakukan melalui pemeriksaan dan penyelidikan atas semua
pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.

Pasal 18
Ayat (1)
Bentuk pelaporan dalam ketentuan ini adalah berupa kegiatan memberi informasi secara obyektif
mengenai pemanfaatan ruang baik yang sesuai maupun yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang. Bentuk pemantauan adalah usaha atau perbuatan mengamati, mengawasi, dan memeriksa
dengan cermat perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang.

Bentuk evaluasi adalah usaha untuk menilai kemajuan kegiatan pemanfaatan ruang dalam mencapai
tujuan rencana tata ruang.

Ayat (2)
Bentuk sanksi adalah sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi pidana.
Pengenaan sanksi dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang sanksi baik pelanggaran
maupun kejahatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian,
meskipun Undang-undang ini tidak memuat Pasal tentang ketentuan pidana, sanksi terhadap
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang tetap dapat dikenakan berdasarkan
atas ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 19
Ayat (1)
Rencana tata ruang dibedakan menurut administrasi pemerintahan karena kewenangan mengatur
pemanfaatan ruang sesuai dengan pembagian administrasi pemerintahan.

111
Ayat (2)
Rencana tata ruang dibedakan menurut tingkat ketelitiannya karena informasi yang termuat dan skalanya
berbeda.
Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur peta wilayah dapat ditentukan tingkat
ketelitiannya dengan pedoman:
a. peta wilayah negara Indonesia dengan tingkat ketelitian minimal berskala 1:1.000.000;
b. peta wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dengan tingkat ketelitian minimal berskala 1:250.000;
c. peta wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II dengan tingkat ketelitian minimal berskala 1:100.000
dan peta wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II dengan tingkat ketelitian minimal berskala 1:50.000.
Dalam pengertian minimal untuk skala peta dikandung arti bahwa suatu rencana tata ruang dapat
digambarkan dalam peta wilayah berskala yang lebih besar.
Rencana Tata Ruang wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II memerlukan peta dengan tingkat ketelitian
minimal berskala 1:50.000 karena faktor-faktor seperti kepadatan penduduk dan bangunan,
keanekaragaman kegiatan pembangunan, dan intensitas pemanfaatan ruang di wilayah Kotamadya
Daerah Tingkat II lebih tinggi daripada di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II.
Tingkat ketelitian tersebut di atas dapat berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.

Pasal 20
Ayat (1)
Strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara dirumuskan dengan
mempertimbangkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, data dan informasi, serta
pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 14.

Rencana Tata Ruang wilayah Nasional yang berupa strategi nasional pengembangan pola
pemanfaatan ruang merupakan kebijaksanaan pemerintah yang menetapkan rencana struktur dan
pola pemanfaatan ruang nasional beserta kriteria dan pola penanganan kawasan yang harus dilindungi,
kawasan budi daya, dan kawasan lainnya.

Rencana Tata Ruang wilayah Nasional meliputi antara lain arahan pengembangan sistem permukiman
dalam skala nasional, jaringan prasarana yang melayani kawasan produksi dan permukiman,
penentuan wilayah yang akan datang dalam skala nasional, termasuk penetapan kawasan tertentu.

Rencana Tata Ruang wilayah Nasional memperhatikan antara lain:


a. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. pokok permasalahan dalam lingkup global dan internasional serta pengkajian implikasi penataan
ruang nasional terhadap strategi tata pengembangan internasional dan regional,
c. pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas;
d. keselarasan aspirasi pembangunan sektoral dan pembangunan daerah;
e. daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penetapan kawasan lindung, kawasan budi daya, dan kawasan tertentu secara
nasional adalah bahwa pengaturan untuk penetapan kawasan tersebut secara makro dan menyeluruh
diselenggarakan sebagai bagian dari strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
negara.

Yang dimaksud dengan norma dan kriteria pemanfaatan ruang adalah ukuran berupa kriteria lokasi
dan standar teknik pemanfaatan ruang yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan untuk
terwujudnya kualitas ruang dan tertibnya pemanfaatan ruang.

Ayat (3)
Dengan ketentuan ini dimaksudkan bahwa Rencana Tata Ruang wilayah Nasional menjadi acuan
bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan
memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan
ruang.
Hal ini berarti bahwa dalam pemanfaatan ruang untuk menyusun rencana pembangunan, harus selalu
diperhatikan Rencana Tata Ruang wilayah Nasional.
Dalam rangka penyusunan Rencana Tata Ruang wilayah Nasional perlu diselenggarakan pula antara
lain:
a. Penataan ruang bagian wilayah nasional yang masing-masing terdiri dari beberapa propinsi sebagai
satu kesatuan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dan mewujudkan Wawasan
Nusantara sebagai satu kesatuan nasional;
b. Kesatuan Wawasan Nusantara melalui penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang membentuk
sistem keterkaitan antar lokasi dan kawasan antara lain jaringan darat, laut, dan udara;
c. Penjabaran strategi ekonomi nasional terhadap strategi tata ruang yang saling terkait dan
berkesinambungan.

112
Rencana Tata Ruang wilayah Nasional selain menjadi pedoman untuk pemanfaatan ruang daratan di
tingkat daerah juga menjadi pedoman untuk pemanfaatan ruang lautan dan ruang udara dalam batas-
batas tertentu.

Ayat (4)
Seiring dengan Pola Pembangunan Jangka Panjang yang berjangka waktu 25 tahun, Rencana Tata
Ruang wilayah Nasional disusun untuk jangka waktu yang sama dan dengan perspektif 25 tahun ke
masa depan.
Meskipun demikian, rencana tata ruang wilayah Nasional dapat ditinjau kembali dan atau
disempurnakan dalam waktu kurang dari 25 tahun apabila terjadi perubahan kebijaksanaan nasional
yang mempengaruhi pemanfaatan ruang akibat perkembangan teknologi dan keadaan yang mendasar.

Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk mencapai strategi dan arahan
kebijaksanaan yang telah ditetapkan pada 25 tahun dilakukan paling tidak 5 tahun sekali.

Rencana Tata Ruang wilayah Nasional dijabarkan ke dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan
sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Selanjutnya, program pemanfaatan ruang
tersebut dijabarkan lagi ke dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran.

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 21
Ayat (1)
Strategi dan struktur tata ruang wilayah Daerah Tingkat I dirumuskan dengan mempertimbangkan
kemampuan teknologi, data dan informasi, serta pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 11
dan Pasal 14. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I memperhatikan antara lain:
a. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. pokok permasalahan kepentingan nasional;
c. pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas;
d. arah dan kebijaksanaan penataan ruang wilayah tingkat nasional;
e. modal dasar pembangunan Daerah Tingkat I;
f. potensi dan tata guna sumber daya di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
g. daya dukung dan daya tampung lingkungan;
h. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I lainnya yang berbatasan;
i. keselarasan dengan aspirasi pembangunan dan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II.

Ayat (2)
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I serupa Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi
Daerah Tingkat I adalah kebijaksanaan yang memberikan arahan tata ruang untuk kawasan, dan
wilayah dalam skala propinsi yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu sesuai
dengan rencana tata ruang.

Ayat (3)
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah untuk
mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam
memberikan rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang. Dengan demikian, maka pemanfaatan
ruang untuk menyusun rencana pembangunan di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I harus tetap
memperhatikan Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.

Ayat (4)
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I disusun dengan perspektif ke masa depan
dan untuk jangka waktu 15 tahun.

Apabila jangka waktu 15 tahun Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I berakhir, maka
dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang yang jangka waktunya
melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui seperti, Hak Guna Bangunan yang jangka
waktunya 20 tahun, Hak Guna Usaha yang jangka waktunya 30 tahun.

Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan
dalam waktu kurang dari 15 tahun apabila strategi pemanfaatan ruang dan struktur tata ruang wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan perlu ditinjau kembali dan atau disempurnakan sebagai
akibat dari penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Nasional.

113
Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk mencapai strategi dan struktur
tata ruang yang ditetapkan pada 15 tahun dilakukan paling tidak 5 tahun sekali.

Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dijabarkan ke dalam program pemanfaatan
ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Propinsi Daerah Tingkat I yang
bersangkutan.
Program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai
dengan tahun anggaran.

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dirumuskan
dengan mempertimbangkan kemampuan teknologi, data dan informasi, serta pembiayaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 14.
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II memperhatikan antara lain:
a. kepentingan nasional dan Daerah Tingkat I;
b. arah dan kebijaksanaan penataan ruang wilayah tingkat Nasional dan Propinsi Daerah Tingkat I;
c. pokok permasalahan Daerah Tingkat II dalam mengutamakan kepentingan kesejahteraan
masyarakat dan pertahanan keamanan;
d. keselarasan dengan aspirasi masyarakat;
e. persediaan dan peruntukan tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya;
f. daya dukung dan daya tampung lingkungan;
g. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II lainnya yang berbatasan.
Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II adalah kebijaksanaan yang
menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan serta wilayah yang akan
diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan.

Ayat (2)
Sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan pengelolaan lingkungan,
penatagunaan air, penatagunaan tanah, dan penatagunaan udara merupakan satu kesatuan dalam
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

Ayat (3)
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II menjadi pedoman bagi
Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan pembangunan dalam menetapkan ruang serta
dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut
dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang,
sehingga pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan Rencana
Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang sudah ditetapkan.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II disusun dengan perspektif ke
masa depan dan untuk jangka waktu 10 tahun. Apabila jangka waktu 10 tahun Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata
ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang dan masyarakat yang jangka waktunya melebihi jangka
waktu rencana tata ruang tetap diakui seperti, Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya 20 tahun,
dan Hak Guna Usaha yang jangka waktunya 30 tahun.

Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dapat ditinjau kembali dan atau
disempurnakan dalam waktu kurang dari 10 tahun apabila strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan perlu ditinjau kembali dan atau
disempurnakan sebagai akibat dari penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat
I dan dinamika pembangunan. Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk
mencapai strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang yang ditetapkan pada 10 tahun dilakukan minimal
5 tahun sekali. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dijabarkan ke
dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan. Program pemanfaatan ruang tersebut
dijabarkan lagi ke dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran.

Ayat (6)
Cukup jelas

114
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Kawasan tertentu yang dimaksud adalah kawasan yang strategis dan diprioritaskan bagi kepentingan
nasional berdasarkan pertimbangan kriteria strategis seperti tersebut dalam ketentuan Pasal 10 Ayat
(3). Nilai strategis ditentukan antara lain oleh karena kegiatan yang berlangsung di dalam kawasan:
a. mempunyai pengaruh yang besar terhadap upaya pengembangan tata ruang wilayah sekitarnya;
b. mempunyai dampak penting, baik terhadap kegiatan yang sejenis maupun terhadap kegiatan
lainnya;
c. merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan.
Dengan demikian, penataan ruang kawasan tertentu dianggap perlu untuk memperoleh prioritas baik
dalam hal penyusunan rencana tata ruang, pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta
pembiayaannya, maupun dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang kawasan.
Pemilikan, penguasaan, dan pengelolaan kawasan tertentu dilakukan oleh Pemerintah.

Ayat (3)
Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman dan tata cara penyusunan rencana
tata ruang untuk kawasan perdesaan diatur antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan
perdesaan serta pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan perdesaan untuk
keserasian perkembangan kegiatan pertanian di kawasan perdesaan dalam menunjang
pengembangan wilayah sekitarnya, mengendalikan konversi pemanfaatan ruang yang berskala besar,
dan mencegah kerusakan lingkungan.

Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman dan tata cara penyusunan rencana
tata ruang untuk kawasan perkotaan diatur antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan
perkotaan serta pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan perkotaan untuk
keserasian perkembangan kawasan perkotaan secara administratif dan fungsional dengan
pengembangan wilayah sekitarnya serta daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman dan tata cara penyusunan rencana
tata ruang untuk kawasan tertentu diatur antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan yang
secara nasional mempunyai nilai strategis kriteria penentuan prioritas penataan ruang kawasan,
pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan dalam kaitannya dengan besaran
kawasan, lokasi, dan kegiatan yang ditetapkan.
Penyusunan rencana tata ruang kawasan tertentu dikoordinasikan oleh Menteri.

Arahan pengelolaan kawasan tertentu sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I diberikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.

Pengelolaan rencana tata ruang kawasan tertentu sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat
II yang bersangkutan.

Pasal 24
Ayat (1)
Pengertian menyelenggarakan adalah suatu pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang
dalam bidang hukum publik sebagaimana perinciannya disebut dalam ayat (2) pasal ini.

Ayat (2)
Kelembagaan dalam penyelenggaraan, kewenangan, dan pembinaan penataan ruang di tingkat
nasional dilaksanakan oleh Menteri dan di tingkat daerah dilaksanakan oleh Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Tugas dan kewajiban instansi pemerintah
dalam penataan ruang wilayah negara antara lain adalah memadukan kegiatan antar instansi
pemerintah dan dengan masyarakat.

Ayat (3)
Pengertian menghormati hak yang dimiliki orang adalah suatu pengertian yang mengandung arti
menghargai, menjunjung tinggi, mengakui, dan menaati peraturan yang berlaku terhadap hak yang
dimiliki orang.
Yang dimaksud dengan hak yang dimiliki orang adalah segala kepentingan hukum yang diperoleh
atau dimiliki berdasarkan peraturan perundang-undangan, hukum adat, atau kebiasaan yang berlaku.
Kepentingan hukum tersebut antara lain berupa pemilikan atau penguasaan tanah atas dasar sesuatu
hak yang diakui dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA).

115
Pasal 25
Penyebarluasan informasi tentang penataan ruang kepada masyarakat dapat dilakukan melalui media
elektronik dan media cetak serta media komunikasi lainnya.

Penataan ruang dilakukan secara terbuka yaitu bahwa setiap pihak dapat memperoleh keterangan mengenai
produk perencanaan tata ruang serta proses yang ditempuh dalam penataan ruang, sehingga upaya
memelihara kualitas penataan ruang dan kualitas tata ruang dapat dilakukan secara lebih terarah.

Dalam pembinaan penataan ruang ini Pemerintah mengambil langkah untuk mencegah terjadinya kerugian
pada masyarakat sebagai akibat perubahan nilai ruang.

Pembinaan penataan ruang meliputi pembinaan kemampuan aparatur pemerintah dan masyarakat dalam
bidang penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang pengendalian pemanfaatan ruang, dan
pengendalian perencanaan tata ruang oleh instansi yang diberi tugas dalam penataan ruang.

Dalam tugas pembinaan ini termasuk pula kegiatan menyusun pedoman teknis, proses, prosedur, standar
dan kriteria teknis, serta rencana elemen pembentuk struktur pemanfaatan ruang seperti jaringan jalan,
jaringan air minum, jaringan pengatusan, jaringan air kotor, jaringan penyediaan air baku, jaringan telepon,
jaringan listrik dalam kerangka tata ruang.
Pembinaan peran serta masyarakat dalam penataan ruang dan peningkatan kualitas ruang dilakukan
melalui upaya menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran dan tanggung jawabnya dengan program
penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan pelatihan secara berlanjut untuk setiap tingkatan pemerintahan
dan lapisan masyarakat.

Pasal 26
Ayat (1)
Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang berkaitan dengan lokasi, kualitas ruang, dan tata bangunan
yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hukum adat, dan kebiasaan yang berlaku.
Yang dibatalkan dalam ayat ini adalah izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai, baik yang telah ada
sebelum maupun sesudah adanya Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan itikad baik adalah perbuatan pihak pemanfaat ruang yang mempunyai bukti-
bukti hukum sah berupa perizinan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dengan maksud tidak
untuk memperkaya diri sendiri secara berlebihan dan tidak merugikan pihak lain. Penggantian yang
layak pada pihak yang menderita kerugian sebagai akibat pembatalan izin menjadi kewajiban bagi
instansi pemerintah yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang bersangkutan.
Besarnya penggantian yang layak berarti tidak mengurangi tingkat kesejahteraan pihak yang
bersangkutan. Apabila terjadi sengketa dalam penggantian oleh pemerintah, penyelesaiannya
dilakukan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Akibat kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten
Kotamadya Daerah Tingkat II adalah berubahnya fungsi ruang sehingga perlu dilakukan upaya
pemulihan.
Pemulihan fungsi pemanfaatan ruang ini diselenggarakan untuk merehabilitasi fungsi ruang tersebut.
Pemulihan fungsi tersebut menjadi kewajiban Pemerintah Daerah Tingkat II, sesuai dengan alokasi
dana sebagaimana tercantum dalam program pembangunan.

Pasal 27
Ayat (1)
Untuk menyelenggarakan penataan ruang di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I menyelenggarakan koordinasi penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.

Ayat (2)
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta menyusun rencana tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan
mempertimbangkan rencana pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dari
Departemen, Lembaga, dan Badan-badan Pemerintah lainnya.
Sebaliknya Departemen, Lembaga, dan Badan-badan Pemerintah lainnya menyesuaikan
perencanaannya dengan Rencana Tata Ruang wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Ayat (3)
Cukup jelas

116
Pasal 28
Ayat (1)
Untuk menyelenggarakan penataan ruang di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, Bupati/
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II menyelenggarakan koordinasi penyusunan rencana tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 29
Ayat (1)
Tugas koordinasi yang dimaksud meliputi keseluruhan penataan ruang wilayah nasional, wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

Ayat (2)
Perubahan fungsi ruang suatu kawasan termasuk di dalamnya perubahan bentuk fisik (bentang alam)
dan pemanfaatannya meliputi perubahan sebagai akibat kejadian alam maupun perbuatan manusia.

Perubahan atau konversi fungsi ruang suatu kawasan yang berskala besar seperti dari kawasan
hutan menjadi kawasan pertambangan, pertanian, permukiman, pariwisata, dan sebagainya; kawasan
pertanian menjadi kawasan pertambangan, permukiman, pariwisata, industri, dan sebagainya;
kawasan perumahan menjadi kawasan industri, perdagangan, pariwisata, dan sebagainya
memerlukan pengkajian dan penilaian atas perubahan fungsi ruang tersebut secara lintas sektoral,
lintas daerah, dan terpusat, dikoordinasikan oleh Menteri.

Perubahan pemanfaatan ruang yang perlu dikoordinasikan, antara lain, meliputi perubahan ruang
lautan menjadi ruang daratan karena reklamasi di daerah pasang surut, perubahan bentang alam
perbukitan karena penambangan bahan galian golongan C.

Perubahan fungsi ruang yang terjadi setelah ditetapkan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II disesuaikan ke dalam Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II melalui peraturan daerah yang bersangkutan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 30
Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan yang telah ada yang berkaitan
dengan penataan ruang yang ketentuan-ketentuannya mengandung Pasal yang tidak sesuai perlu diganti;
sedangkan ketentuan-ketentuan yang sesuai dan sejalan perlu diatur dalam peraturan pelaksanaan sebagai
penjabaran ketentuan Undang-undang ini.

Sebagai contoh, ketentuan Pasal 14 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria (UUPA) adalah sejalan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Peraturan daerah yang
dimaksudkan dalam Undang-undang ini adalah sama dengan peraturan daerah yang dimaksud dalam
Pasal 14 UUPA. Untuk pedoman pelaksanaannya seperti dimaksud dalam Undang-undang ini dibuat
peraturan pemerintah tentang penatagunaan tanah sebagai subsistem penataan ruang.

Pada prinsipnya, secara hirarkis baik menurut jenjang administrasi pemerintahan maupun jenis
perencanaan, rencana tata ruang harus ada mulai dari tingkat yang sangat umum sampai dengan tingkat
yang terinci, dan penyusunannya dilakukan secara berurutan. Akan tetapi, untuk menghindari kevakuman,
penataan ruang yang lebih rendah baik menurut jenjang administrasi pemerintahan wilayah maupun jenis
perencanaannya, dapat berlaku sambil menunggu penataan ruang di atasnya, sepanjang
penyelenggaraannya tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

117
AMDAL

118
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan hidup sebagai upaya
sadar dan berencana mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup, perlu dijaga keserasian antar
berbagai usaha dan/atau kegiatan;
b. bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan pada dasarnya menimbulkan dampak terhadap lingkungan
hidup yang perlu dianalisis sejak awal perencanaannya, sehingga langkah pengendalian dampak
negatif dan pengembangan dampak positif dapat dipersiapkan sedini mungkin;
c. bahwa analisis mengenai dampak lingkungan hidup diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup;
d. bahwa dengan diundangkannya Undang-undang 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ;
e. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

ME MUTU S KAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting
suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan;
2. Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh
suatu usaha dan/atau kegiatan;
3. Kerangka acuan adalah ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang merupakan
hasil pelingkupan;
4. Analisis dampak lingkungan hidup (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak
besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan;
5. Rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan;
6. Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang
terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan;
7. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan yang akan dilaksanakan;
8. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan izin melakukan usaha dan/
atau kegiatan;
9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan kelayakan lingkungan
hidup dengan pengertian bahwa kewenangan di tingkat pusat berada pada Kepala instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan dan di tingkat daerah berada pada Gubernur;
10. Instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan adalah instansi yang membina secara teknis usaha dan/
atau kegiatan dimaksud;
11. Komisi penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen analisis mengenai dampak lingkungan dengan
pengertian di tingkat pusat oleh komisi penilai pusat dan di tingkat daerah oleh komisi penilai daerah;
12. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
13. Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengendalian dampak lingkungan;
14. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa atau Gubernur
Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

119
Pasal 2
(1) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha dan/
atau kegiatan.
(2) Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan
wilayah.
(3) Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup dapat dilakukan melalui pendekatan studi terhadap
usaha dan/atau kegiatan tunggal, terpadu atau kegiatan dalam kawasan.

Pasal 3
(1) Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup meliputi :
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta
lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber
daya dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati;
h. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup;
i. kegiatan yang mempunyai resiko tinggi, dan atau mempengaruhi pertahanan negara.
(2) Jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang wajib memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan hidup ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar dan memperhatikan saran dan pendapat
Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang terkait.
(3) Jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali sekurang-
kurangnya dalam 5 (lima) tahun.
(4) Bagi rencana usaha dan/atau kegiatan di luar usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang
pembinaannya berada pada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan.
(5) Pejabat dari instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib mencantumkan
upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup dalam izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh instansi yang membidangi
usaha dan/atau kegiatan setelah mempertimbangkan masukan dari instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 4
(1) Usaha dan/atau kegiatan yang akan dibangun di dalam kawasan yang sudah dibuatkan analisis mengenai
dampak lingkungan tidak diwajibkan membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup lagi.
(2) Usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwajibkan untuk melakukan pengendalian
dampak lingkungan hidup dan perlindungan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup kawasan.

Pasal 5
(1) Kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup antara
lain :
a. jumlah manusia yang akan terkena dampak;
b. luas wilayah persebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak;
e. sifatnya kumulatif dampak;
f. berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
(2) Pedoman mengenai penentuan dampak besar dan penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 6
(1) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) tidak perlu dibuat
bagi rencana usaha dan/atau kegiatan untuk menanggulangi suatu keadaan darurat.
(2) Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan menetapkan telah terjadinya suatu keadaan darurat.

Pasal 7
(1) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.

120
(2) Pemohon izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
pemrakarsa kepada pejabat yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib
melampirkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 19 ayat (2) yang diberikan instansi yang bertanggung jawab.
(3) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencantumkan syarat dan kewajiban
sebagaimana ditentukan dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup
sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkannya.
(4) Ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipatuhi
dan dilaksanakan oleh pemrakarsa, dalam menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.

BAB II
KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI
DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 8
(1) Komisi penilai dibentuk :
a. di tingkat pusat : oleh Menteri;
b. di tingkat daerah : oleh Gubernur.
(2) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a) di tingkat pusat berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
b) di tingkat daerah berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan Daerah Tingkat
I.
(3) Komisi penilai menilai kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan
hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
(4) Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh tim teknis
yang bertugas memberikan pertimbangan teknis atas kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup,
rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
(5) Dalam menjalankan tugasnya, komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibantu oleh
tim teknis dari masing-masing sektor.
(6) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyerahkan hasil penilaiannya kepada instansi yang
bertanggung jawab untuk dijadikan dasar keputusan atas kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup,
rencana pengelolaan lingkungan hidup, rencana pemantauan lingkungan hidup.
(7) Ketentuan mengenai tata kerja komisi penilai dimaksud, baik pusat maupun daerah, ditetapkan oleh Menteri,
setelah mendengar dan memperhatikan saran/pendapat Menteri Dalam Negeri dan Menteri lain dan/atau Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terkait.
(8) Ketentuan mengenai tata kerja tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan lebih lanjut oleh
Komisi Penilai Pusat.

Pasal 9
(1) Komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a terdiri atas unsur-unsur instansi
yang ditugasi mengelola lingkungan hidup, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan,
Departemen Dalam Negeri, instansi yang ditugasi bidang kesehatan, instansi yang ditugasi bidang pertahanan
keamanan, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal, instansi yang ditugasi bidang pertanahan, instansi
yang ditugasi bidang ilmu pengetahuan, departemen dan/atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
membidangi usaha dan/atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terkait, wakil Propinsi Daerah Tingkat
I yang bersangkutan, Wakil Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan
hidup, ahli di bidang yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan
yang dikaji, wakil masyarakat terkena dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 10
(1) Komisi penilai daerah sebagaimana dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b terdiri atas unsur-unsur : Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, instansi yang
ditugasi mengendalikan dampak lingkungan Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal
daerah, instansi yang ditugasi bidang pertanahan di daerah, instansi yang ditugasi bidang pertahanan keamanan
daerah, instansi yang ditugasi bidang kesehatan Daerah Tingkat I, wakil instansi pusat dan/atau daerah yang
membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil instansi terkait di Propinsi Daerah Tingkat I,
wakil Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan, pusat studi lingkungan hidup perguruan
tinggi daerah yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli dibidang yang berkaitan, organisasi
lingkungan hidup di daerah, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang
dikaji, warga masyarakat yang terkena dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota komisi penilai daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Gubernur.

121
Pasal 11
(1) Komisi penilai pusat berwenang menilai hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi jenis usaha
dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria :
a. usaha dan/atau kegiatan bersifat strategis dan/atau menyangkut ketahanan dan keamanan negara;
b. usaha dan/atau kegiatan yang lokasinya meliputi lebih dari satu wilayah propinsi daerah tingkat I;
c. usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain;
d. usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah ruang lautan;
e. usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di lintas batas negara kesatuan Republik Indonesia dengan negara
lain.
(2) Komisi penilai daerah berwenang menilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi jenis-jenis usaha
dan/atau kegiatan yang diluar kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 12
(1) Tim teknis sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (4) terdiri atas para ahli dari instansi teknis yang membidangi
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dan instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan,
serta ahli lain dengan bidang ilmu yang terkait.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri untuk komisi penilai pusat, dan oleh Gubernur untuk komisi penilai daerah tingkat I.

Pasal 13
Dalam melaksanakan tugasnya, komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), wajib memperhatikan
kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup, rencana pengembangan wilayah, rencana tata ruang wilayah
dan kepentingan pertahanan keamanan.

BAB III
TATA LAKSANA

Bagian Pertama
Kerangka Acuan

Pasal 14
(1) Kerangka acuan sebagai dasar pembuatan analisis dampak lingkungan hidup disusun oleh pemrakarsa.
(2) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh
Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 15
(1) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disampaikan oleh pemrakarsa kepada instansi
yang bertanggung jawab, dengan ketentuan :
a. di tingkat pusat : kepada Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melalui komisi
penilai pusat;
b. di tingkat daerah : kepada Gubernur melalui komisi penilai daerah tingkat I.
(2) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan tanda bukti penerimaan kepada
pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal diterimanya kerangka acuan pembuatan analisis dampak
lingkungan hidup.

Pasal 16
(1) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dinilai oleh komisi penilai bersama dengan pemrakarsa
untuk menyepakati ruang lingkup kajian analisis dampak lingkungan hidup yang akan dilaksanakan.
(2) Keputusan atas penilaian kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh instansi
yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung
sejak tanggal diterimanya kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).
(3) Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), maka instansi yang bertanggung jawab dianggap menerima kerangka acuan dimaksud.
(4) Instansi yang bertanggung jawab wajib menolak kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila
rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam kawasan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan.

Bagian Kedua
Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup,
dan rencana pemantauan lingkungan hidup

Pasal 17
(1) Pemrakarsa menyusun analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup, berdasarkan kerangka acuan yang telah mendapatkan keputusan dari instansi
yang bertanggung jawab.
(2) Penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup, berpedoman pada pedoman penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang ditetapkan oleh Kepala instansi
yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
122
Pasal 18
(1) Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan
hidup, diajukan oleh pemrakarsa kepada :
a. di tingkat pusat : Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melalui komisi penilai
pusat;
b. di tingkat daerah : Gubernur melalui komisi penilai daerah tingkat I.
(2) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan tanda bukti penerimaan kepada
pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal diterimanya analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).

Pasal 19
(1) Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan
hidup dinilai :
a. di tingkat pusat : oleh komisi penilai pusat;
b. di tingkat daerah : oleh komisi penilai daerah
(2) Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau
kegiatan berdasarkan hasil penilaian analisis dampak lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan dasar
pertimbangan dikeluarkannya keputusan itu, dan pertimbangan terhadap saran, pendapat, dan tanggapan
yang diajukan oleh warga masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1).

Pasal 20
(1) Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh
puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (2).
(2) Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dianggap layak lingkungan.

Pasal 21
(1) Instansi yang bertanggung jawab mengembalikan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pegelolaan
lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada pemrakarsa untuk diperbaiki apabila
kualitas analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup tidak sesuai dengan pedoman penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
(2) Perbaikan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup diajukan kembali kepada instansi yang bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20.
(3) Penilaian atas analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup serta pemberian keputusan kelayakan lingkungan hidup atas usaha dan/atau
kegiatan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 dan Pasal 20.

Pasal 22
(1) Apabila hasil penilaian komisi penilai menyimpulkan bahwa :
a. dampak besar dan penting negatif yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan
tidak dapat ditanggulangi oleh teknologi yang tersedia, atau
b. biaya penanggulangan dampak besar dan penting negatif lebih besar dari pada manfaat dampak besar dan
penting positif yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, maka instansi yang
bertanggung jawab memberikan keputusan bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan
tidak layak lingkungan.
(2) Instansi yang berwenang menolak permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan
apabila instansi yang bertanggung jawab memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 23
Salinan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup, serta salinan keputusan kelayakan lingkungan hidup, serta salinan keputusan kelayakan
lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan disampaikan oleh :
a. di tingkat pusat : instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan kepada instansi yang berwenang
menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, instansi terkait yang berkepentingan,
Gubernur dan Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
b. di tingkat daerah : Gubernur kepada Menteri, Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan,
instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, dan instansi
yang terkait.

123
Bagian Ketiga
Kadaluwarsa dan batalnya keputusan hasil Analisis Dampak
Lingkungan Hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup

Pasal 24
(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan dinyatakan kadaluwarsa atas kekuatan
Peraturan Pemerintah ini, apabila rencana usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3
(tiga) tahun sejak ditertibkannya keputusan kelayakan tersebut.
(2) Apabila keputusan kelayakan lingkungan hidup dinyatakan kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
maka untuk melaksanakan rencana usaha dan/atau kegiatannya, pemrakarsa wajib mengajukan kembali
permohonan persetujuan atas analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) instansi yang bertanggung jawab memutuskan :
a. Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup yang pernah disetujui dapat sepenuhnya dipergunakan kembali; atau
b. Pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 25
(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas kekuatan Peraturan
Pemerintah ini apabila pemrakarsa memindahkan lokasi usaha dan/atau kegiatan.
(2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan dilokasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 26
(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas kekuatan Peraturan
Pemerintah ini apabila pemrakarsa mengubah desain dan/atau proses dan/atau kapasitas dan/atau bahan
baku dan/atau bahan penolong.
(2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
maka pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 27
(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas kekuatan Peraturan
Pemerintah ini apabila terjadi perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar akibat peristiwa alam atau
karena akibat lain sebelum dan pada waktu usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan.
(2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
maka pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini.
BAB IV
PEMBINAAN

Pasal 28
(1) Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melakukan pembinaan teknis terhadap komisi penilai
pusat dan daerah.
(2) Instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan melakukan pembinaan teknis pelaksanaan pengelolaan
dan pemantauan lingkungan hidup yang menjadi bagian dari izin.

Pasal 29
(1) Pendidikan, pelatihan, dan pengembangan di bidang analisis mengenai dampak lingkungan hidup dilakukan
dengan koordinasi instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
(2) Lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang analisis mengenai dampak lingkungan hidup diselenggarakan
dengan koordinasi dari instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dengan memperhatikan
sistem akreditasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 30
Kualifikasi penyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup dengan pemberian lisensi/sertifikasi dan
peraturannya ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 31
Penyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah
dibantu pemerintah, dan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri setelah memperhatikan saran dan pendapat instansi
yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

124
BAB V
PENGAWASAN

Pasal 32
(1) Pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada instansi yang membidangi usaha dan/
atau kegiatan yang bersangkutan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan Gubernur.
(2) Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melakukan :
a. pengawasan dan pengevaluasian penerapan peraturan perundang-undangan di bidang analisis mengenai
dampak lingkungan hidup;
b. pengujian laporan yang disampaikan oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1);
c. penyampaian laporan pengawasan dan evaluasi hasilnya kepada Menteri secara berkala, sekurang-
kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun, dengan tembusan kepada instansi yang berwenang menerbitkan
izin dan Gubernur.

BAB VI
KETERBUKAAN INFORMASI DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 33
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib diumumkan terlebih
dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan
pemrakarsa.
(3) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diumumkannya rencana usaha dan/atau kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), warga masyarakat yang berkepentingan berhak mengajukan saran,
pendapat, dan tanggapan tentang akan dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan.
(4) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan secara tertulis kepada instansi
yang bertanggung jawab.
(5) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipertimbangkan dan dikaji dalam
analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
(6) Tata cara dan bentuk pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tatacara penyampaian saran,
pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 34
(1) Warga masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian
kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup
(2) Bentuk dan tata cara keterlibatan warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 35
(1) Semua dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, saran, pendapat, dan tanggapan warga
masyarakat yang berkaitan, kesimpulan komisi penilai, dan keputusan kelayakan lingkungan hidup dari usaha
dan/atau kegiatan bersifat terbuka untuk umum.
(2) Instansi yang bertanggung jawab menyerahkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada suatu
lembaga dokumentasi dan/atau kearsipan.

BAB VII
PEMBIAYAAN

Pasal 36
Biaya pelaksanaan kegiatan komisi penilai dan tim teknis analisis mengenai dampak lingkungan hidup dibebankan
:
a. di tingkat pusat : pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan;
b. di tingkat daerah : pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan daerah tingkat I.

Pasal 37
Biaya penyusunan dan penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup di bebankan kepada pemrakarsa.

Pasal 38
(1) Biaya pembinaan teknis dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat
(1) dibebankan pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
(2) Biaya pengumuman yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (2) dibebankan pada anggaran instansi yang bertanggung jawab.

125
(3) Biaya pembinaan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dibebankan pada anggaran instansi yang membidangi
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 39
Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan yang pada saat
diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini :
a. sedang dalam proses penilaian oleh komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang
bersangkutan; atau
b. sudah diajukan kepada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, tetap dinilai
oleh komisi penilai instansi yang bersangkutan, dan harus selesai paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan
Pemerintah ini berlaku secara efektif.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 40
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang analisis mengenai
dampak lingkungan hidup yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 41
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3538) dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 42
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku efektif 18 ( delapan belas ) bulan sejak tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundanganPeraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Mei 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

AKBAR TANDJUNG

126
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

I. UMUM
Pembangunan yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu
hidup rakyat. Proses pelaksanaan pembangunan di satu pihak menghadapi permasalahan jumlah penduduk
yang besar dengan tingkat pertambahan yang tinggi, tetapi dilain pihak ketersediaan sumber daya alam bersifat
terbatas. Kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan meningkatkan permintaan atas
sumber daya alam, sehingga timbul tekanan terhadap sumber daya alam. Oleh karena itu, pendayagunaan
sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan harus disertai dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian, pembangunan
untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan adalah
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Terlestarikannya fungsi lingkungan hidup
yang merupakan tujuan pengelolaan lingkungan hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan
berkelanjutan. Oleh karena itu, sejak awal perencanaan usaha dan/atau kegiatan sudah harus diperkirakan
perubahan rona lingkungan hidup akibat pembentukan suatu kondisi lingkungan hidup yang baru, baikyang
menguntungkan maupun yang merugikan, yang timbul sebagai akibat diselenggarakannya usaha dan/atau
kegiatan pembangunan. Pasal 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup menetapkan bahwa setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
Dengan dimasukkannya analisis mengenai dampak lingkungan hidup ke dalam proses perencanaan suatu
usaha dan/atau kegiatan, maka pengambil keputusan akan memperoleh pandangan yang lebih luas dan
mendalam mengenai berbagai aspek usaha dan/atau kegiatan tersebut, sehingga dapat diambil keputusan
optimal dari berbagai alternatif yang tersedia. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan salah
satu alat bagi pengambil keputusan untuk mempertimbangkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup guna mempersiapkan langkah untuk menanggulangi
dampak negatif dan mengembangkan dampak positif. Terlestarikannya fungsi lingkungan hidup yang menjadi
tumpuan terlanjutkannya pembangunan merupakan kepentingan seluruh masyarakat. Diselenggarakannya
usaha dan/atau kegiatan akan mengubah rona lingkungan hidup, sedangkan perubahan ini pada gilirannya
akan menimbulkan dampak terhadap masyarakat. Oleh karena itu, keterlibatan warga masyarakat yang akan
terkena dampak menjadi penting dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan hak setiap orang untuk berperan
dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Peran masyarakat itu meliputi peran dalam proses pengambilan
keputusan. Hal ini berarti bahwa warga masyarakat wajib dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan atas
analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Keterlibatan warga masyarakat itu merupakan pelaksanaan asas
keterbukaan. Dengan keterlibatan warga masyarakat itu akan membantu dalam mengidentifikasi persoalan
dampak lingkungan hidup secara dini dan lengkap, menampung aspirasi dan kearifan pengetahuan lokal dari
masyarakat yang seringkali justru menjadi kunci penyelesaian persoalan dampak lingkungan yang timbul.
Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Sebagai bagian dari
studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, analisis mengenai dampak
lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan. Hal itu merupakan konsekuensi dari kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Konsekuensinya adalah bahwa syarat dan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup harus dicantumkan sebagai ketentuan dalam izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Angka (1)
Cukup jelas

Angka (2)
Dampak besar dan penting merupakan satu kesatuan makna dari arti dampak penting.

Angka (3)
Cukup jelas

127
Angka (4)
Cukup jelas

Angka (5)
Cukup jelas

Angka (6)
Cukup jelas

Angka (7)
Cukup jelas

Angka (8)
Cukup jelas

Angka (9)
Cukup jelas

Angka (10)
Cukup jelas

Angka (11)
Cukup jelas

Angka (12)
Cukup jelas

Angka (13)
Cukup jelas

Angka (14)
Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (1)
Studi kelayakan pada umumnya meliputi analisis dari aspek teknis dan aspek ekonomis-
finansial.Dengan ayat ini, maka studi kelayakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi komponen analisis teknis, analisis
ekonomis-finansial, dan analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Oleh karena itu, analisis
mengenai dampak lingkungan hidup sudah harus disusun dan mendapatkan keputusan dari instansi
yang bertanggung jawab sebelum kegiatan konstruksi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan
dilaksanakan.
Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup dapat digunakan sebagai masukan bagi
penyusunan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, di samping dapat digunakan sebagai
masukan bagi perencanaan pembangunan wilayah.

Analisis mengenai dampak lingkungan hidup khususnya dokumen rencana pengelolaan lingkungan
hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup juga merupakan dasar dalam sistem manajemen
lingkungan (Environmental Management System) usaha dan/atau kegiatan.

Ayat (2)
Karena analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan bagian dari studi kelayakan suatu
usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi pada ekosistem tertentu, maka hasil analisis mengenai
dampak lingkungan hidup tersebut sangat penting untuk dijadikan sebagai masukan dalam
perencanaan pembangunan wilayah.

Ayat (3)
Usaha dan/atau kegiatan tunggal adalah hanya satu jenis usaha dan/atau kegiatan yang kewenangan
pembinaannya di bawah satu instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan. Analisis mengenai
dampak lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan terpadu/multisektor adalah hasil kajian mengenai
dampak besar dan penting usaha dan/atau kegiatan yang terpadu yang direncanakan terhadap
lingkungan hidup dan melibatkan lebih dari satu instansi yang membidangi kegiatan dimaksud.

Kriteria usaha dan/atau kegiatan terpadu meliputi :


a. berbagai usaha dan/atau kegiatan tersebut mempunyai keterkaitan dalam hal perencanaan,
pengelolaan, dan proses produksinya;
b. usaha dan/atau kegiatan tersebut berada dalam kesatuan hamparan ekosistem;

128
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan kawasan adalah hasil kajian
mengenai dampak besar dan penting usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup dalam
satu kesatuan hamparan ekosistem zona pengembangan wilayah/kawasan sesuai dengan rencana
tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan.

Kriteria usaha dan/atau kegiatan di zona pengembangan wilayah/kawasan meliputi :


a. berbagai usaha dan/atau kegiatan yang saling terkait perencanaannya antar satu dengan yang
lainnya;
b. berbagai usaha dan/atau kegiatan tersebut terletak dalam/merupakan satu kesatuan zona rencana
pengembangan wilayah/kawasan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana
tata ruang
kawasan:
c. usaha dan/atau kegiatan tersebut terletak pada kesatuan hamparan ekosistem.

Pasal 3
Ayat (1)
Usaha dan/atau kegiatan yang dimaksud dalam ayat ini merupakan kategori usaha dan/atau kegiatan yang
berdasarkan pengalaman dan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai potensi
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian penyebutan kategori
usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak bersifat limitatif dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyebutan tersebut bersifat alternatif, sebagai contoh seperti usaha dan/
atau kegiatan :
a. pembuatan jalan, bendungan, jalan kereta api dan pembukaan hutan;
b. kegiatan pertambangan dan eksploitasi hutan;
c. pemanfaatan tanah yang tidak diikuti dengan usaha konservasi dan penggunaan energi yang tidak
diikuti dengan teknologi yang dapat mengefisienkan pemakaiannya;
d. kegiatan yang menimbulkan perubahan atau pergeseran struktur tata nilai, pandangan dan/atau
cara hidup masyarakat setempat;
e. kegiatan yang proses dan hasilnya menimbulkan pencemaran, kerusakan kawasan konservasi
alam, atau pencemaran benda cagar budaya;
f. introduksi suatu jenis tumbuh-tumbuhan baru atau jasad renik (mikro organisme) yang dapat
menimbulkan jenis penyakit baru terhadap tanaman, introduksi suatu jenis hewan baru dapat
mempengaruhi kehidupan hewan yang telah ada;
g. penggunaan bahan hayati dan non hayati mencakup pula pengertian pengubahan;
h. penerapan teknologi yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang. Oleh karena itu, jenis usaha dan/atau kegiatan
yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang mendasarkan diri pada ilmu
pengetahuan dan teknologi, perlu ditinjau kembali.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 5
Ayat (1)
Kriteria yang menentukan adanya dampak besar dan penting dalam ayat ini ditetapkan berdasarkan
tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Oleh karena itu kriteria ini dapat berubah sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tidak bersifat limitatif.

Ayat (2)
Cukup jelas

129
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah keadaan atau kondisi yang sedemikian rupa, sehingga
mengharuskan dilaksanakannya tindakan segera yang mengandung resiko terhadap lingkungan hidup
demi kepentingan umum, misalnya pertahanan negara atau penanggulangan bencana alam. Keadaan
darurat ini tidak sama dengan keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Keadaan Darurat.

Ayat (2)
Keadaan darurat yang tidak memerlukan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, misalnya
pembangunan bendungan/dam untuk menahan bencana lahar, ditetapkan oleh menteri yang
membidangi usaha dan/atau kegiatan dimaksud.

Pasal 7
Ayat (1)
Untuk melakukan suatu usaha dan/atau kegiatan terdapat satu izin yang bersifat dominan, tanpa izin
tersebut seseorang tidak dapat melakukan usaha dan/atau kegiatan yang dimaksud. Misalnya izin
usaha industri di bidang perindustrian, kuasa pertambangan di bidang pertambangan, izin
penambangan daerah di bidang penambangan bahan galian golongan C, izin hak pengusahaan
hutan di bidang kehutanan, izin hak guna usaha pertanian di bidang pertanian. Sedangkan keputusan
kelayakan lingkungan hidup adalah persyaratan yang diwajibkan untuk dapat menerbitkan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Ayat (2)
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan bagian dari proses perizinan melakukan
usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.
Izin merupakan suatu instrumen yuridis preventif. Oleh karena itu, keputusan kelayakan lingkungan
hidup berdasarkan hasil penilaian analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan
hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup, sebagaimana telah diterbitkan oleh instansi yang
bertanggung jawab wajib dilampirkan pada permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Wakil dari instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup di komisi penilai daerah
dapat berarti wakil dari instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan wilayah dengan
maksud agar terdapat keterpaduan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya
pengendalian dampak lingkungan hidup dengan kebijaksanaan dan program pengendalian dampak
lingkungan hidup di daerah. Pengangkatan para ahli dari pusat studi lingkungan hidup perguruan
tinggi sebagai anggota komisi penilai daerah adalah untuk memantapkan kualitas hasil kajian analisis
mengenai dampak lingkungan hidup dalam penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
Adanya wakil yang ditunjuk dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan instansi yang ditugasi
di bidang pertanahan di daerah dimaksudkan untuk menjamin keterpaduan pengelolaan lingkungan
hidup secara lintas sektor yang ada di daerah. Adapun wakil yang ditunjuk dari bidang kesehatan di
daerah dikarenakan pada akhirnya dampak semua kegiatan selalu berakhir pada aspek kesehatan.
Duduknya wakil organisasi lingkungan hidup dalam komisi penilai merupakan aktualisasi hak warga
masyarakat untuk berperan dalam proses pengambilan keputusan. Organisasi lingkungan hidup
sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji adalah lembaga swadaya masyarakat.
Duduknya wakil masyarakat terkena dampak suatu usaha dan/atau kegiatan diharapkan dapat
memberikan masukan tentang aspirasi masyarakat yang terkena dampak akibat dari usaha dan/atau
kegiatan tersebut. Duduknya wakil instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan adalah untuk memberikan penilaian secara teknis usaha dan/atau kegiatan yang dinilai.

Ayat (2)
Cukup jelas

130
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf (a)
Usaha dan/atau kegiatan bersifat strategis dan/atau kegiatan yang menyangkut ketahanan dan
keamanan negara misalnya : pembangkit listrik tenaga nuklir, pembangkit listrik tenaga air,
pembangkit listrik tenaga uap/panas bumi, eksploitasi minyak dan gas, kilang minyak, penambangan
uranium, industri petrokimia, industri pesawat terbang, industri kapal, industri senjata, industri
bahan peledak, industri baja, industri alat-alat berat, industri telekomunikasi, pembangunan
bendungan, bandar udara, pelabuhan dan rencana usaha dan/atau kegiatan lainnya yang menurut
instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan dianggap strategis. Dalam hal usaha dan/
atau kegiatan yang bersifat strategis ini menjadi bagian dari usaha dan/atau kegiatan terpadu/
multisektor, maka penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup menjadi wewenang
komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup pusat.

Huruf (b)
Cukup jelas

Huruf (c)
Usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain misalnya: rencana
usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di Pulau Sipadan, Ligitan dan Celah Timor

Huruf (d)
Cukup jelas

Huruf (e)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Ayat (1)
Kerangka acuan bagi pembuatan analisis dampak lingkungan hidup merupakan pegangan yang
diperlukan dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Berdasarkan hasil
pelingkupan, yaitu proses pemusatan studi pada hal-hal penting yang berkaitan dengan dampak
besar dan penting, kerangka acuan terutama memuat komponen-komponen aspek usaha dan/atau
kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, serta komponen-
komponen parameter lingkungan hidup yang akan terkena dampak besar dan penting.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jeias

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Penetapan jangka waktu selama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja dimaksudkan untuk memberikan
kepastian kepada pemrakarsa. Jangka waktu selama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja ini meliputi
proses penyampaian dokumen kerangka acuan ke instansi yang bertanggung jawab melalui komisi
penilai, penilaian secara teknis, konsultasi dengan warga masyarakat yang berkepentingan, penilaian
oleh komisi penilai, sampai ditetapkannya keputusan.

Ayat (3)
Cukup jelas

131
Ayat (4)
Menolak untuk memberikan keputusan atas kerangka acuan adalah untuk melindungi kepentingan
umum.
Kerangka acuan merupakan dasar bagi penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Kerangka acuan yang
baik dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah akan menghasilkan analisis dampak lingkungan
hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang baik
pula, demikian pula sebaliknya. Sedangkan kewajiban untuk membuat analisis mengenai dampak
lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting adalah
untuk melindungi fungsi lingkungan hidup. Perlindungan fungsi lingkungan hidup merupakan
kepentingan umum. Yang dimaksud dengan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan adalah Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional yang telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat I ,
dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang telah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Tingkat II.
Yang dimaksud dengan rencana tata ruang kawasan yang ditetapkan adalah baik rencana tata ruang
kawasan tertentu yang telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden maupun rencana tata ruang
kawasan perdesaan atau rencana tata ruang kawasan perkotaan sebagai bagian dari Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Tingkat II. Termasuk dalam pengertian rencana tata ruang kawasan adalah rencana rinci tata ruang di
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang meliputi rencana terperinci (detail) tata ruang kawasan
di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Dari analisis dampak lingkungan hidup dapat diketahui dampak besar dan penting yang akan
ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup. Dengan mengetahui dampak
besar dan penting itu dapat ditentukan :
a. cara mengendalikan dampak besar dan penting negatif dan mengembangkan dampak besar dan
penting positif, yang dicantumkan dalam rencana pengelolaan dampak lingkungan hidup, dan
b. cara memantau dampak besar dan penting tersebut, yang dicantumkan dalam rencana pemantauan
lingkungan hidup.

Apa yang dicantumkan dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan
lingkungan hidup merupakan syarat dan kewajiban yang harus dilakukan pemrakarsa apabila hendak
melaksanakan usaha dan/atau kegiatannya. Oleh karena itu, hasil penilaian atas analisis dampak
lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup
oleh komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup menjadi dasar bagi instansi yang
bertanggung jawab dalam memberikan keputusan kepada instansi yang berwenang.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Penetapan jangka waktu selama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja dimaksudkan untuk memberikan
kepastian kepada pemrakarsa. Jangka waktu selama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja ini meliputi
proses penyampaian dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan
hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup ke instansi yang bertanggung jawab melalui komisi
penilai, penilaian secara teknis, konsultasi dengan warga masyarakat yang berkepentingan, penilaian
oleh komisi penilai, sampai dengan diterbitkannya keputusan kelayakan lingkungan hidup.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

132
Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Sejalan dengan cepatnya pengembangan pembangunan wilayah, dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
kemungkinan besar telah terjadi perubahan rona lingkungan hidup, sehingga rona lingkungan hidup
yang semula dipakai sebagai dasar penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup tidak
cocok lagi digunakan untuk memprakirakan dampak lingkungan hidup rencana usaha dan/atau kegiatan
yang bersangkutan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 26
Ayat (1)
Perubahan desain dan/atau proses dan/atau kapasitas dan/atau bahan baku dan/atau bahan penolong
bagi usaha dan/atau kegiatan akan menimbulkan dampak besar dan penting yang berbeda. Oleh
karena itu, keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian analisis dampak
lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup
yang telah diterbitkan menjadi batal.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 27
Ayat (1)
Terjadinya perubahan lingkungan hidup secara mendasar berarti hilangnya atau berubahnya rona
lingkungan hidup awal yang menjadi dasar penyusunan analisis dampak lingkungan hidup. Keadaan
ini menimbulkan konsekuensi batalnya keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil
penilaian analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Bantuan yang dimaksud untuk golongan ekonomi lemah dapat berupa biaya penyusun analisis mengenai
dampak lingkungan hidup atau tenaga ahli untuk penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup
atau bantuan lainnya. Bantuan diberikan oleh instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan.

133
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 33
Ayat (1)
Pengumuman merupakan hak setiap orang atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan
peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Ayat (2)
Pengumuman oleh instansi yang bertanggung jawab dapat dilakukan, misalnya, melalui media cetak
dan/atau media elektronik. Sedangkan pengumuman oleh pemrakarsa dapat dilakukan dengan
memasang papan pengumuman di lokasi akan diselenggarakannya usaha dan/atau kegiatan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Saran, pendapat dan tanggapan secara tertulis diperlukan agar terdokumentasi.

Ayat (5)
Semua saran dan pendapat yang diajukan oleh warga masyarakat harus tercermin dalam penyusunan
kerangka acuan, dikaji dalam analisis dampak lingkungan hidup dan diberikan alternatif pemecahannya
dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup.

Ayat (6)
Dalam pengumuman akan diselenggarakannya usaha dan/atau kegiatan diberitahukan sekurang-
kurangnya, antara lain: tentang apa yang akan dihasilkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan, jenis dan volume limbah yang dihasilkan serta cara penanganannya, kemungkinan
dampak lingkungan hidup yang akan ditimbulkan.

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Biaya penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup antara lain mencakup biaya
untuk mendatangkan wakil-wakil masyarakat dan para ahli yang terlibat dalam penilaian mengenai analisis
dampak lingkungan hidup, menjadi tanggungan pemrakarsa.

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas

134
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 86 TAHUN 2002
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTAUAN
LINGKUNGAN HIDUP

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, bagi usaha dan atau kegiatan yang tidak diwajibkan
menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup wajib melakukan Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL);
b. bahwa pembinaan usaha dan atau kegiatan yang wajib melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) berada pada pemerintah;
c. bahwa salah satu upaya pembinaan tersebut dapat berupa penerbitan pedoman pelaksanaan
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL)
bagi usaha dan atau kegiatan yang tidak wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup;
d. bahwa penerbitan pedoman pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) seperti tersebut pada huruf c, sejalan dengan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom;
e. bahwa daerah saat ini membutuhkan pedoman pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) untuk pengendalian pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup;
f. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-12/MENLH/3/1994 tentang
Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Hidup (UPL) tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini;
g. bahwa Menteri Negara Lingkungan Hidup berwenang untuk menetapkan kebijakan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan;
h. bahwa mengingat hal-hal seperti tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL);

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 101 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis Rencana
Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PEDOMAN PELAKSANAAN UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTAUAN
LINGKUNGAN HIDUP.

Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) adalah upaya yang
dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan yang tidak wajib melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).

135
2. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha dan atau
kegiatan yang akan dilaksanakan.

3. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan izin melakukan usaha dan
atau kegiatan.

Pasal 2
(1) Setiap jenis usaha dan atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi dengan AMDAL wajib melakukan UKL dan UPL,
yang proses dan prosedurnya tidak dilakukan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup.

(2) UKL dan UPL wajib dilakukan oleh pemrakarsa usaha dan atau kegiatan dengan menggunakan formulir isian
seperti terlampir dalam Keputusan ini.

Pasal 3
Di dalam formulir isian tentang UKL dan UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berisikan informasi:
a. identitas pemrakarsa;
b. rencana usaha dan atau kegiatan;
c. dampak lingkungan yang akan terjadi;
d. program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup;
e. tanda tangan dan cap.

Pasal 4
Pemrakarsa mengajukan formulir isian tentang UKL dan UPL kepada:
a. instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota, apabila usaha dan
atau kegiatan berlokasi pada 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota;
b. instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi, apabila usaha dan atau
kegiatan berlokasi pada lebih 1 (satu) Kabupaten/Kota;
c. instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan,
apabila usaha dan atau kegiatan berlokasi pada lebih 1 (satu) Propinsi dan atau lintas batas negara.

Pasal 5
(1) Berdasarkan formulir isian tentang UKL dan UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan atau instansi
yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi atau Kabupaten/Kota wajib
berkoordinasi dengan instansi yang membidangi usaha dan atau kegiatan untuk melakukan pemeriksaan
formulir isian tentang UKL dan UPL yang telah disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya
formulir isian tentang UKL dan UPL.

(2) Dalam hal terdapat kekurangan informasi yang disampaikan dalam formulir isian tentang UKL dan UPL dan
memerlukan tambahan dan atau perbaikan, pemrakarsa wajib menyempurnakan dan atau melengkapinya
sesuai hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja.

(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan
atau instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi atau Kabupaten/Kota
wajib menerbitkan rekomendasi tentang UKL dan UPL kepada pemrakarsa paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak diterimanya formulir isian tentang UKL dan UPL yang telah diperbaiki oleh pemrakarsa.

Pasal 6
Dalam hal formulir isian tentang UKL dan UPL tidak memerlukan perbaikan, instansi yang bertanggung jawab di
bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan atau instansi yang bertanggung jawab
di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi atau Kabupaten/Kota wajib memberikan rekomendasi paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya formulir isian tentang UKL dan UPL.

Pasal 7
Pemrakarsa mengajukan rekomendasi tentang UKL dan UPL dari pejabat instansi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 kepada instansi yang berwenang sebagai dasar penerbitan izin melakukan usaha dan atau kegiatan.

Pasal 8
(1) Pejabat dari instansi yang berwenang wajib mencantumkan syarat dan kewajiban yang tercantum dalam program
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, di dalam izin melakukan
usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.

(2) Izin yang diterbitkan oleh pejabat dari instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tembusannya wajib disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan
hidup dan pengendalian dampak lingkungan atau instansi yang bertangung jawab di bidang pengelolaan
lingkungan hidup Propinsi atau Kabupaten/Kota sesuai kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

136
Pasal 9
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-12/MENLH/3/
1994 tentang Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan dinyatakan
tidak berlaku lagi.

Pasal 10
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 Oktober 2002
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan
Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd.

Hoetomo, MPA.

137
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 17 TAHUN 2001
TENTANG
JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN
YANG WAJIB DILENGKAPI DENGAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN HIDUP

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom perlu ditetapkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi
Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
b. bahwa berdasarkan kenyataan terdapat jenis rencana usaha dan/atau kegiatan dalam skala/
besaran yang lebih kecil dibandingkan dengan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
yang tercantum dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2000 Tentang
Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup, tetapi karena daya dukung, daya tampung, dan tipologi ekosistem daerah
setempat jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan hidup;
c. bahwa mengingat hal tersebut diatas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 115; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952).

ME MUTU S KAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN
YANG WAJIB DILENGKAPI DENGAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.

Pertama
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.

Kedua
Apabila skala/besaran suatu jenis rencana usaha dan/atau kegiatan lebih kecil daripada skala/besaran yang tercantum
pada Lampiran keputusan ini akan tetapi atas dasar pertimbangan ilmiah mengenai daya dukung dan daya tampung
lingkungan serta tipologi ekosistem setempat diperkirakan berdampak penting terhadap lingkungan hidup, maka
bagi jenis usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Ketiga
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam lampiran keputusan ini tetapi lokasinya berbatasan
langsung dengan kawasan lindung wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup.

138
Keempat
Apabila Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau masyarakat
menganggap perlu untuk mengusulkan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak tercantum dalam Lampiran
Keputusan ini tetapi jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dianggap mempunyai dampak penting terhadap
lingkungan, maka Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau masyarakat
wajib mengajukan usulan secara tertulis kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Kelima
Menteri Negara Lingkungan Hidup akan mempertimbangkan penetapan keputusan terhadap jenis rencana usaha
dan/atau kegiatan yang diusulkan tersebut menjadi jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi
dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

Keenam
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini akan ditinjau kembali sekurang-kurangnya sekali
dalam 5 (lima) tahun.

Ketujuh
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 3 Tahun 2000 tentang
Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Kedelapan
Keputusan ini mulai berlaku 2 (dua) bulan sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 22 Mei 2001

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Hukum Lingkungan,

Sudharto P. Hadi

139
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 17 Tahun 2001
TANGGAL : 22 Mei 2001

JENIS RENCANA USAHA DAN ATAU KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI


DENGAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

1. Pendahuluan
Jenis rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (AMDAL) ditetapkan berdasarkan :
a. Potensi dampak penting
Sesuai Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999, jenis usaha dan/atau kegiatan yang
berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib dilengkapi dengan AMDAL.
Potensi dampak penting bagi setiap jenis usaha dan/atau kegiatan tersebut ditetapkan berdasarkan:
1. Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 056 Tahun 1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak
Penting.
2. Referensi internasional yang diterapkan oleh beberapa negara sebagai landasan kebijakan tentang
AMDAL.
b. Ketidakpastian kemampuan teknologi yang tersedia untuk menanggulangi dampak penting negatif yang
akan timbul.
2. Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup
A. Bidang Pertahanan dan Keamanan
Secara umum, kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas militer dengan skala/besaran berikut
berpotensi menimbulkan resiko lingkungan dengan terjadinya ledakan serta keresahan sosial
akibat kegiatan operasional dan penggunaan lahan yang cukup luas.

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus

1 Pembangunan Gudang Munisi Semua besaran * Beresiko terjadinya ledakan saat perjalanan
Pusat dan Daerah dan saat penyimpanan yangmembahayakan
penduduk walaupun sudah memiliki
standard operating procedure (SOP)
penanganan bahan peledak.

2 Pembangunan Pangkalan TNI Kelas A dan B * Kegiatan pengerukan dan reklamasi


AL berpotensi mengubah ekosistem laut dan
pantai.
* Kegiatan pangkalan berpotensi
menyebabkan dampak akibat limbah cair
dan sampah padat.

3 Pembangunan Pangkalan TNI Kelas A dan B * Kegiatan pangkalan berpotensi


AU menyebabkan dampak akibat limbah cair,
sampah padat dan kebisingan pesawat.

4 Pembangunan Pusat Latihan Luas > 10.000 ha * Bangunan pangkalan dan fasilitas
Tempur pendukung, termasuk daerah penyangga,
tertutup bagi masyarakat.
* Kegiatan latihan tempur berpotensi
menyebabkan dampak akibat limbah cair,
sampah padat dan kebisingan akibat
ledakan.

5 Pembangunan Lapangan Luas > 10.000 ha * Bangunan pangkalan dan fasilitas


Tembak TNI AD, TNI AL, TNI AU pendukung, termasuk daerah penyangga,
dan Polri tertutup bagi masyarakat.
* Kegiatan penyiapan lahan (land clearing) di
areal yang cukup luas untuk pangkalan,
landasan pacu, dan bangunan penyangga
menyebabkan perubahan ekosistem.
* Kegiatan latihan berpotensi menyebabkan
kebisingan.

140
B. Bidang Pertanian
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya tanaman pangan, hortikultura,
dan perkebunan berupa erosi tanah, perubahan ketersediaan dan kualitas air, persebaran hama,
penyakit dan gulma, serta perubahan kesehatan tanah akibat penggunaan pestisida/herbisida.
Disamping itu sering pula muncul potensi konflik sosial dan penyebaran penyakit endemik.
Skala/besaran yang tercantum di bawah ini telah memperhitungkan potensi dampak penting
kegiatan terhadap ekosistem, hidrologi, dan bentang alam. Skala /besaran tersebut merupakan
luasan rata-rata dari berbagai ujicoba untuk masing-masing kegiatan dengan mengambil lokasi
di daerah dataran rendah, sedang, dan tinggi.

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus

1 Budidaya tanaman pangan dan Luas > 2.000 ha * Lihat penjelasan di atas
hortikultura semusim dengan atau
tanpa unit pengolahannya

2 Budidaya tanaman pangan dan Luas > 5.000 ha * Lihat penjelasan di atas
hortikultura tahunan dengan atau
tanpa unit pengolahannya

3 Budidaya tanaman perkebunan Luas > 3.000 ha * Lihat penjelasan di atas


semusim dengan atau tanpa Semua besaran
unit pengolahannya:
- Dalam kawasan budidaya non
kehutanan
- Dalam kawasan budidaya kehutanan

4 Budidaya tanaman perkebunan Luas > 3.000 ha * Lihat penjelasan di atas


tahunan dengan atau tanpa unit Semua besaran
pengolahannya:
- Dalam kawasan budidaya non
kehutanan
- Dalam kawasan budidaya kehutanan

141
C. Bidang Perikanan
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya tambak udang, ikan, dan
pembangunan pelabuhan perikanan adalah perubahan ekosistem perairan dan pantai, hidrologi,
dan bentang alam.
Pembukaan hutan mangrove akan berdampak terhadap habitat, jenis dan kelimpahan dari tumbuh-
tumbuhan dan hewan yang berada di kawasan tersebut.

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilimiah Khusus

1 Budidaya tambak udang/ikan dengan Luas > 50 ha * Rusaknya ekosistem


atau tanpa unit pengolahannya mangrove yang menjadi
tempat pemijahan dan
pertumbuhan ikan ( nursery
areas) akan mempengaruhi
tingkat produktivitas daerah
setempat.
* Beberapa komponen
lingkungan yang akan
terkena dampak adalah:
kandungan bahan organik.
perubahan BOD, COD, DO,
kecerahan air, jumlah
phytoplankton maupun
peningkatan virus dan
bakteri.
* Berpotensi menimbulkan
konflik sosial.

2 Usaha budidaya perikanan terapung * Perubahan kualitas


(jaring apung dan pen system): perairan.
a. Di air tawar (danau) * Pengaruh perubahan arus
- Luas > 2,5 ha dan penggunaan ruang
- Atau jumlah > 500 unit perairan.
* Pengaruh terhadap estetika
b. Di air laut perairan.
- Luas > 5 ha
- Atau jumlah > 1.000 unit

3 Rencana pembangunan prasarana * Berpotensi menimbulkan


perikanan yang berbentuk dampak berupa: penurunan
pelabuhan perikanan yang terletak kualitas air, penurunan
di luar daerah lingkungan kerja stabilitas garis pantai, potensi
pelabuhan umum dan memenuhi konflik sosial, pergeseran pola
kriteria sebagai berikut: penyakit, dan dampak potensi
- Panjang dermaga > 300 m limbah cair dan padat yang
- Atau mempunyai Kawasan > 10 ha dihasilkan.
Industri Perikanan dengan luas
- Atau kedalaman perairan di dermaga > -4 m LWS

142
D. Bidang Kehutanan
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan adalah gangguan terhadap ekosistem hutan,
hidrologi, keanekaragaman hayati, hama penyakit, bentang alam dan potensi konflik sosial.

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus

1 Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Semua besaran * Pemanenan pohon dengan
(UPHHK) diameter tertentu berpotensi
merubah struktur dan
komposisi tegakan, satwa liar
dan habitatnya.

2 Usaha Hutan Tanaman > 5.000 ha * Usaha hutan tanaman


dilaksanakan melalui sistem
silvikultur Tebang Habis
Permudaan Buatan (THPB),
dimana untuk penyiapan
lahannya dilaksanakan secara
mekanis menggunakan alat
berat.

E. Bidang Kesehatan

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus

1. Pembangunan Rumah Kelas A dan B atau yang * Berpotensi menimbulkan


Sakit setara dampak penting dalam bentuk
limbah B3 / radioaktif dan
potensi penularan penyakit.

F. Bidang Perhubungan
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus
1 Pembangunan Jaringan Jalan Kereta > 25 km * Berpotensi menimbulkan dampak berupa emisi,
Api gangguan lalu lintas, k e b i s i n g a n , g e t a r a n ,
- Panjang gangguan pandangan, ekologi, d a n d a m p a k
sosial.
2 Pembangunan Stasiun Kereta Api Stasiun kelas besar * Berpotensi menimbulkan dampak berupa emisi,
dan/atau kelas I gangguan lalu lintas, aksesibilitas transportasi,
kebisingan, getaran, gangguan pandangan,
ekologi, dampak sosial dan keamanan di sekitar
kegiatan serta membutuhkan area yang luas.
3 Konstruksi bangunan jalan rel di Semua besaran * Berpotensi menimbulkan dampak berupa
bawah permukaan tanah perubahan kestabilan lahan (land subsidence), air
tanah serta gangguan berupa dampak terhadap
emisi, lalu lintas, kebisingan, getaran, gangguan
pandangan, gangguan jaringan prasarana sosial
(gas, listrik, air minum, telekomunikasi) dan dampak
sosial di sekitar kegiatan tersebut.
4 Pengerukan alur pelayaran Sungai * Berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap
- Volume > 500.000 m3 sistem hidrologi dan ekologi yang lebih luas dari
batas tapak kegiatan itu sendiri. Kegiatan ini juga
akan menimbulkan gangguan terhadap lalu lintas
pelayaran sungai.
5 Pembangunan pelabuhan dengan * Kunjungan kapal yang cukup tinggi dengan bobot
salah satu fasilitas berikut: sekitar 5.000 - 10.000 DWT serta draft kapal
a. Dermaga dengan konstruksi masif minimum 4-7 m sehingga kondisi kedalaman yang
- Panjang > 200 m dibutuhkan menjadi -5 s/d -9 m LWS.
- Atau luas > 6.000 m2
b. Penahan gelombang (Break * Berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap
water/talud) sistem hidrologi, ekosistem, kebisingan dan
- Panjang > 200 m dapat mengganggu proses-proses alamiah di
c. Prasarana pendukung pelabuhan daerah pantai (coastal processes).
(terminal, gudang, peti kemas, dll) * Berpotensi menimbulkan dampak terhadap
143
- Luas > 5 ha ekosistem, hidrologi, garis pantai dan batimetri serta
mengganggu proses-proses alamiah yang terjadi di
daerah pantai.
* Berpotensi menimbulkan dampak berupa emisi,
gangguan lalu lintas, aksesibilitas transportasi,
kebisingan, getaran, gangguan pandangan, ekologi,
dampak sosial dan keamanan di sekitar area yang luas.
d. Single Point Mooring Boey * Kunjungan kapal yang cukup tinggi dengan bobot
- Untuk kapal > 10.000 DWT sekitar 5.000 - 10.000 DWT serta draft kapal minimum
4-7 m sehingga kondisi kedalaman yang dibutuhkan
menjadi -5 s/d -9 m LWS.
* Berpotensi menimbulkan dampak berupa gangguan alur
pelayaran, perubahan, batimetri, ekosistem, dan
mengganggu proses-proses alamiah di daerah pantai
terutama apabila yang dibongkar muat minyak mentah
yang berpotensi menimbulkan pencemaran laut dari
tumpahan minyak
6 Pengerukan: * Berpotensi menimbulkan dampak berupa perubahan
a. Capital dregging batimetri, ekosistem, dan mengganggu proses-proses
- Volume > 250.000 m3 alamiah di daerah pantai termasuk menurunnya
produktivitas kawasan yang dapat menimbulkan dampak
sosial.
b. Maintenance dregging * Berpotensi menimbulkan dampak berupa perubahan
- Volume > 500.000 m3 batimetri,ekosistem,dan mengganggu proses-proses
alamiah di daerah pantai dan membutuhkan waktu 3 -6
bulan
7 Reklamasi (pengurungan): * Berpotensi menimbulkan dampak terhadap sistem
- Luas > 25 ha geohidrologi, hidrooseanografi, dampak sosial, ekologi,
- Atau Volume > 5.000.000 m3 perubahan garis pantai, kestabilan lahan, lalu lintas
serta mengganggu proses-proses alamiah di daerah
pantai.
8 Kegiatan penempatan hasil keruk
(dumping)
a. Di darat: * Menimbulkan terjadinya perubahan bentang lahan
- Volume > 250.000 m3 yang akan mempengaruhi ekologi, hidrologi setempat.
- Atau luas area dumping > 5 ha
b. Di laut Semua besaran * Berpotensi menimbulkan dampak terhadap ekosistem
laut, pola arus, batimetri, kestabilan pantai dan
produktivitas laut yang akan menimbulkan dampak sosial.
9 Pembangunan bandar udara baru Semua besaran ( kelas I * Termasuk kegiatan yang berteknologi tinggi, harus
beserta fasilitasnya s.d. V) beserta hasil studi memperhatikan ketentuan keselamatan penerbangan
rencana induk yang telah dan terikat dengan konvensi internasional.
disetujui * Berpotensi menimbulkan dampak berupa kebisingan,
getaran, dampak sosial, keamanan negara, emisi dan
kemungkinan bangkitan transportasi baik darat dan
udara.
10 Pengembangan bandar udara beserta Kelas I, II, III, berdasarkan * Termasuk kegiatan berteknologi tinggi, harus memenuhi
fasilitasnya rencana pengembangan aturan keselamatan penerbangan dan terikat dengan
(rencana induk, rencana konvensi internasional.
tata letak, dll) * Berpotensi menimbulkan dampak kebisingan, getaran,
dampak sosial, keamanan negara, emisi dan
kemungkinan bangkitan transportasi baik darat dan
udara.
11 Perluasan bandar udara beserta/atau * Termasuk kegiatan berteknologi tinggi, harus memenuhi
fasilitasnya: aturan keselamatan penerbangan dan terikat dengan
a. - Pemindahan penduduk >200 KK konvensi internasional.
- Atau pembebasan lahan > 100 ha * Berpotensi menimbulkan dampak kebisingan, getaran,
b. Reklamasi pantai: dampak sosial, keamanan negara, emisi dan
- Luas > 25 ha kemungkinan bangkitan transportasi baik darat dan
- Atau Volume ruangan > 100.000 m3 udara.
c. Pemotongan bukit dan pengurugan > 500.000 m3
lahan dengan volume
12 Pemasangan kabel bawah laut Semua besaran * Berpotensi menimbulkan dampak terhadap ekosistem
laut, pola arus, batimetri, kestabilan pantai dan
produktivitas laut.
* Penyiapan area konstruksi dapat menimbulkan gangguan
terhadap daerah sensitif ( misalnya terumbu karang).
* Pengoperasian kabel bawah laut rawan terhadap
gangguan aktifitas lalu lintas kapal buang sauh,
penambangan pasir.
144
G. Bidang Teknologi Satelit
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus

1 Teknologi Satelit: Semua besaran * Kegiatan ini memerlukan persyaratan


-Pembangungan fasilitas peluncuran lokasi yang khusus dan teknologi canggih
satelit * Bangunan peluncuran satelit dan fasilitas
pendukung, termasuk daerah penyangga,
tertutup bagi masyarakat.
H. Bidang Perindustrian
Kegiatan bidang perindustrian pada umumnya menimbulkan pencemaran air, udara, tanah,
gangguan kebisingan, bau, dan getaran. Beberapa jenis industri menggunakan air dengan volume
sangat besar, yang diperoleh baik dari sumber air tanah ataupun air permukaan.
Penggunaan air ini berpengaruh terhadap sistem hidrologi sekitar.
Berbagai potensi pencemaran, gangguan fisik dan gangguan pasokan air tersebut di atas
menimbulkan dampak sosial.
Beberapa jenis industri yang sudah memiliki teknologi memadai untuk mengatasi dampak negatif
yang muncul, sehingga tidak termasuk dalam daftar berikut, tetapi menggunakan areal yang luas
tetap wajib dilengkapi dengan AMDAL (nomor 15).

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus

1 Industri semen (yang dibuat melalui Semua besaran Industri semen dengan Proses Klinker adalah
produksi klinker) industri semen yang kegiatannya bersatu dengan
kegiatan penambangan, dimana, terdapat proses
penyiapan, bahan
baku (raw millprocess), penggilingan batubara
(coalmill) serta proses pembakaran dan
pendinginan klinker (Rotary Klin and Clinker Cooler).
Umumnya dampak yang ditimbulkan disebabkan
oleh:
* Penggunaan lahan yang luas.
* Kebutuhan air cukup besar (3,5 ton semen
membutuhkan 1 ton air).
* Kebutuhan energi cukup besar baik tenaga
listrik (110-140 KwH/ton) dan tenaga panas
(800 - 900 Kcal/ton).
* Tenaga kerja besar (+ 1-2 TK/3000 ton
produk).
* Potensi berbagai jenis limbah: padat (tailing),
debu ( CaO, SiO2, Al203FeO2) dengan radius
2-3 km, limbah cair (sisa
cooling mengandung minyak lubrikasi
pelumas), limbah gas CO 2, SOx,NOx) dari
pembakaran energi batubara, minyak dan gas.
2 Industri pulp atau industri kertas yang Semua besaran * Proses pembuatan pulp meliputi kegiatan
terintegrasi dengan industri pulp (tidak penyiapan bahan baku, pemasakan serpihan
termasuk pulp dari kertas bekas dan pulp kayu, pencucian pulp, pemutihan pulp
dari industri kertas budaya) (bleaching) dan pembentukan lembaran pulp
yang dalam prosesnya banyak menggunakan
bahan-bahan kimia sehingga berpotensi
menghasilkan limbah cair
(BOD,COD,TSS),limbahgas
(H2S,S02,NOx,Cl2) dan limbah padat (ampas
kayu, serat pulp, lumpur kering).
Umumnya dampak yang ditimbulkan
disebabkan oleh:
* Penggunaan lahan yang luas (0,2
ha/1000 ton produk).
* Tenaga kerja besar.
* Kebutuhan energi besar (0,2 Mw/
1000 ton produk).

145
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilimiah Khusus
3 Industri petrokimia hulu Semua besaran Industri petrokimia hulu adalah industri yang
mengolah hasil tambang mineral (kondensat) terdiri
dari Pusat Olefin yang mengkasilkan Benzena,
Propilena dan Butadiena serta Pusat Aromatik
yang menghasilkan Benzena,Toluena, Xylena, dan
Etil Benzena.
Umumnya dampak yang ditibulkan disebabkan
oleh:
* Kebutuhan lahan yang luas.
* Kebutuhan air cukup besar (untuk pendingin
1 l/dt/1000 ton produk).
* Tenaga kerja besar.
* Kebutuhan energi relatif besar (6-7 Kw
ton produk) disamping bersumber dari
listrik juga energi gas.
* Potensi berbagai limbah: gas (SO2 dan
NOx), debu (SiO2), limbah cair (TSS, BOD,
COD, NH4Cl) dan limbah sisa katalis bekas
yang bersifat B3.
4 Industri pembuatan besi dasar atau baja Semua besaran Industri pembuatan besi dasar dan baja adalah
dasar (iron and steel making) meliputi usahan merupakan industri yang mengolah besi bekas
pembuatan besi dan baja dalam bentuk dasar (steel scrap) atau konsentrat biji besi yang
seperti pallet bijih besi, besi spons, besi menggunakan tungku-tungku pembakaran baik
kasar/pig iron, paduan besi/alloy, ingot baja, menggunakan energi listrik, batubara ataupun
pellet baja, baja bloom dan baja slab) bahan bakar dengan proses pembakaran sampai
dengan temperatur 1600 derajat Celcius.
Umumnya dampak yang ditimbulkan disebabkan
oleh:
* Kebutuhan lahan yang cukup luas.
* Kebutuhan energi relatif besar (1 Kwh 0,5
ton produk).
* Tenaga kerja cukup besar (1000 ton produk/
TK).
* Kebutuhan air untuk pendingin relatif besar
(> 1000 m3/hari).
* Potensi berbagai limbah (termasuk B3): limbah
padat (basic slag), limbah cair (minyak dan
scale), gas (NO x, H2S, SO2) debu berupa
scale (2-3% dari total
produk per hari).
5 Industri pembuatan timah hitam (Pb) Semua besaran Timah hitam (Pb) merupakan logam berat yang
dasar (termasuk industri daur ulang) termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3)
yang mudah terurai.
Proses pembuatannya melalui proses peleburan
yang menghasilkan limbah gas
beracun dan debu (partikulat) dan proses
peredaman yang menghasilkan limbah cair
dengan kadar asam yang tinggi.
6 Industri pembuatan tembaga (Cu) dasar/ Semua besaran Industri pembuatan tembaga (Cu) dasar adalah
katoda tembaga (bahan baku dari Cu industri yang mengolah konsentrat
konsentrat) bahan tambang. Proses pembuatannya melalui
pemisahan konsentrat, peleburan
dengan tungku-tungku bertemperatur tinggi dan
elektrolisa.
Umumnya dampak yang ditimbulkan disebabkan
oleh:
* Penggunaan lahan yang cukup luas.
* Kebutuhan energi relatif besar (264 ribu Mwh/
tahun).
* Tenaga kerja cukup besar.
* Kebutuhan air untuk proses pendinginan dan
elektronika relatif besar (air bersih 5000 m3/
hari dan air laut 3,3 juta m3/hari).
* Potensi berbagai limbah: gas (SO2, SOx, N2,
O2 dan tail gas dengan parameter Zn, Pb, Cd,
Hg), limbah cair (Fe, Cu, Zn, Hg, Pb, Sn, As,
Ni, Se, F, Cd, Cr, TDS & TSS), limbah padat
gipsum dan slag (Fe, Cu, Zn, Ni, Pb, As, Hg,
Se, Cd).

146
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus

7 Industri pembuatan aluminium dasar Semua besaran Industri pembuatan aluminium dasar merupakan
(bahan baku dari alumina) industri pembuatan batangan aluminium yang
menggunakan bahan baku bijih alumina yang
dilakukan melalui proses peleburan, elektrolisa dan
pencetakan.
Umumnya dampak yang ditimbulkan disebabkan
oleh:
* Penggunaan lahan yang luas untuk bangunan
pabrik dan fasilitas penunjang.
* Kebutuhan energi relatif besar (+ 295 ribu
Mwh/hari).
* Tenaga kerja sangat besar.
* Kebutuhan air yang sangat besar untuk proses
pendinginan (+ 17.000 m3/hari).
* Potensi limbah yang dihasilkan (termasuk B3):
padat (dross, pelapis bekas), cair (air spray
dengan kadar Flour tinggi dan air pendingin
mengandung minyak), gas (H2S, NH3,NO2, SO2
& HF) dan debu
8 Kawasan Industri (termasuk komplek Semua besaran Kawasan industri (industrial estate) merupakan
industri yang terintegrasi) lokasi yang dipersiapkan untuk berbagai jenis
industri manufaktur yang masih prediktif, sehingga
dalam pengembangannya diperkirakan akan
menimbulkan berbagai dampak penting antara lain
disebabkan:
* Kegiatan grading (pembentukan muka tanah)
dan runoff (air larian).
* Pengadaan dan pengoperasian alat alat berat.
* Mobilisasi tenaga kerja (90 – 110 TK ha).
* Kebutuhan pemukiman dan fasilitas sosial.
* Kebutuhan air bersih dengan tingkat kebutuhan
rata-rata 0,55 – 0,75 l/dt/ha.
* Kebutuhan energi listrik cukup besar baik
dalam kaitan dengan jenis pembangkit ataupun
trace jaringan (0,1 Mw/Ha).
* Potensi berbagai jenis limbah dan cemaran
yang masih prediktif terutama dalam hal cara
pengelolaannya.
* Bangkitan lalulintas.
9 Industri galangan kapal dengan sistem > 4.000 DWT Sistem graving dock adalah galangan kapal yang
graving dock dilengkapi dengan kolam perbaikan dengan ukuran
panjang 100 m, lebar 40 m, dan kedalaman 15 m
dengan sistem sirkulasi.
Pembuatan kolam graving ini dilakukan dengan
mengeruk laut yang dikhawatirkan akan
menyebabkan longsoran atau pun abrasi pantai.
Perbaikan kapal berpotensi menghasilkan limbah
cair (air ballast, pengecatan lambung kapal dan
bahan kimia B3) maupun limbah gas dan debu dari
kegiatan sand blasting dan pengecatan.
10 Industri pesawat terbang Semua besaran Industri pesawat terbang merupakan industri
strategis berteknologi tinggi yang membutuhkan
tingkat pengamanan (security) yang tinggi.
Dampak penting yang ditimbulkan berasal dari:
* Pengadaan lahan untuk bangunan pabrik dan
landasan pacu.
* Gangguan kebisingan dan getaran.
11 Industri senjata, munisi dan bahan Semua besaran Industri senjata, munisi dan bahan peledak
peledak merupakan industri yang dalam proses
produksinya menggunakan bahan-bahan kimia
yang bersifat B3, disamping kegiatannya
membutuhkan tingkat keamanan yang tinggi.

147
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus

12 Industri baterai kering Semua besaran Industri baterai kering yang diperkirakan menimbulkan
(yang menggunakan bahan baku dampak penting adalah yang menggunakan bahan
merkuri/Hg) baku merkuri (Hg), mengingat merkuri ini bersifat B3
yang mempunyai efek mutagenik, teratogenik dan
karsinogenik terhadap manusia.
Umumnya dampak yang ditimbulkan disebabkan oleh:
* Kebutuhan tenaga kerja relatif besar.
* Kebutuhan air relatif besar baik untuk proses
(pembuatan pasta dan pemasakan baterai)
maupun domestik (170 m3/hari).
* Potensi berbagai jenis limbah: padat (sludge B3,
bekas kemasan), limbah cair (Zn, Hg, Cr, COD,
TSS, Mn & NH3), limbah debu dan gas (H2S, SO2,
NOx, CO, NH3, Zn, Pb dan Cd).
13 Industri baterai basah (akumulator Semua besaran Pada umumnya proses produksi lengkap dimulai dari
listrik) grid casting (persiapan, peleburan dan pencetakan
timah hitam sebagai bahan aktif sel), lead part
(pencetakan bagian-bagian aki dari timah hitam), lead
powder (proses pembentukan bubuk Pb), pasting
(pembuatan pasta dengan H2SO4 pekat), formation\
(merupakan proses elektrolisa) dan assembling.
Umumnya dampak yang ditimbulkan disebabkan oleh:
* Kebutuhan tenaga kerja relatif besar.
* Kebutuhan air relatif besar (+ 270 m3/hari) baik
untuk proses maupun domestik.
* Kebutuhan energi listrik cukup besar.
* Potensi limbah dari proses produksi seperti limbah
cair (pH, TDS, Sulfat & Pb), gas (proses finishing
dengan parameter Pb dan formation parameter
sulfat, sedangkan pembakaran COx, NOx dan SO2),
dan limbah padat (sludge dari IPAL dan bekas
kemasan bahan penolong).
14 Industri bahan kimia organik dan Semua besaran * Kegiatan produksi, penyimpanan,pengemasan,
anorganik yang memproduksi pengangkutan,perdagangan danpembuangannya
material yang digolongkan bahan memerlukan persyaratan khusus.
Berbahaya dan Beracun (B3) * Berpotensi menimbulkan pencemaran udara, air
dan tanah.
15 Kegiatan industri yang tidak termasuk > 5 ha Besaran untuk masing-masing tipologi kota
angka 1 s/d 14 diperhitungkan berdasarkan:
* Tingkat pembebasan lahan.
Penggunaan areal: * Daya dukung lahan; seperti daya dukung tanah,
a. Urban: kapasitas resapan air tanah, tingkat kepadatan
- Metropolitan; luas > 10 ha bangunan per hektar, dll.
- Kota besar; luas > 15 ha
- Kota sedang; luas > 20 ha
- Kota kecil; luas
b. Rural/pedesaan; luas > 30 ha Umumnya dampak yang ditimbulkan berupa:
* Bangkitan lalulintas.
* Konflik sosial.
* Penurunan kualitas lingkungan.

I. Bidang Prasarana Wilayah


Kegiatan pembangunan dan pengadaan prasarana wilayah umumnya berfungsi untuk melayani
kepentingan masyarakat. Potensi konflik yang timbul sangat berkaitan dengan tingkat kepadatan
penduduk karena umumnya membutuhkan lahan yang luas dan seringkali mengubah tata guna
lahan.
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus
1 Pembangunan Bendungan/Waduk
atau Jenis Tampungan Air lainnya:
- Tinggi > 15 m * Termasuk dalam kategori “large dam ”
(bendungan besar).
* Pada skala ini dibutuhkan spesifikasi khusus baik
bagi material dan desain konstruksinya.

148
* Pada skala ini diperlukan quarry/burrow area yang
besar, sehingga
berpotensi menimbulkan dampak.
- Atau luas genangan > 200 ha * Dampak pada hidrologi.
* Kegagalan bendungan pada luas genangan sebesar
ini berpotensi mengakibatkan genangan yang cukup
besar dibagian hilirnya.
* Akan mempengaruhi pola iklim mikro pada kawasan
sekitarnya dan ekosistem daerah hulu dan hilir
bendungan/waduk.
* Dampak pada hidrologi.
2 Daerah Irigasi * Mengakibatkan perubahan pola iklim mikro dan
a. Pembangunan baru dengan luas > 2.000 ha ekosistem kawasan.
* Selalu memerlukan bangunan utama (headworks) dan
bangunan pelengkap (oppurtenants structures) yang
besar dan sangat banyak sehingga berpotensi untuk
mengubah ekosistem yang ada.
* Mengakibatkan mobilisasi tenaga kerja yang signifikan
pada daerah sekitarnya, baik pada saat pelaksanaan
maupun setelah pelaksanaan.
* Membutuhkan pembebasan lahan yang besar
sehingga berpotensi menimbulkan dampak sosial.
b. Peningkatan dengan luas > 1.000 ha * Berpotensi menimbulkan dampak negatif akibat
tambahan perubahan ekosistem pada kawasan tersebut.
* Memerlukan bangunan tambahan yang berpotensi
untuk mengubah ekosistem yang ada.
* Mengakibatkan mobilisasi manusia yang dapat
menimbulkan dampak sosial.
c. Pencetakan sawah, luas > 500 ha * Memerlukan alat berat dalam jumlah yang cukup
(perkelompok) banyak.
* Perubahan Tata Air.
3 Pengembangan Rawa: > 1.000 ha * Berpotensi mengubah ekosistem dan iklim mikro pada
Reklamasi rawa untuk kepentingan kawasan tersebut dan berpengaruh pada kawasan
irigasi disekitarnya.
* Berpotensi mengubah sistem tata air yang ada pada
kawasan yang luas secara drastis.
4 Pembangunan Pengaman Pantai dan * Pembangunan pada rentang kawasan pantai selebar
perbaikan muara sungai: > 500 m berpotensi mengubah ekologi kawasan pantai
- Jarak dihitung tegak lurus pantai > 500 m dan muara sungai sehingga berdampak terhadap
keseimbangan ekosistem yang ada.
* Gelombang pasang laut (tsunami) di Indonesia
berpotensi menjangkau kawasan sebesar 500 m,
sehingga diperlukan kajian khusus untuk
pengembangan kawasan pantai yang mencakup
rentang lebih dari 500 m dari garis pantai.
5 Normalisasi Sungai dan Pembuatan
Kanal Banjir
a. Kota Besar/Metropolitan > 5 km * Terjadi timbunan tanah galian di kanan kiri sungai
- Panjang > 500.000 m3 yang menimbulkan dampak lingkungan, dampak sosial,
- Atau volume pengerukan dan gangguan.
* Mobilisasi alat besar dapat menimbulkan gangguan
dan dampak.
b. Kota Sedang
- Panjang > 10 km * Terjadi timbunan tanah galian di kanan kiri sungai yang
- Atau volume pengerukan > 500.000 m3 menimbulkan dampak lingkungan, dampak sosial, dan
gangguan.
* Mobilisasi alat besar dapat menimbulkan gangguan
dan dampak.
c. Pedesaan > 15 km
- Panjang > 500.000 m3 * Terjadi timbunan tanah galian di kanan kiri sungai yang
- Atau volume pengerukan menimbulkan dampak lingkungan, dampak sosial, dan
gangguan.
* Mobilisasi alat besar dapat menimbulkan gangguan
dan dampak.

149
6 a. Pembangunan Jalan Tol Semua besaran Bangkitan lalu lintas, dampak kebisingan, getaran, emisi
yang tinggi, gangguan visual dan dampak sosial.
b. Pembangunan Jalan > 2 km Bangkitan lalu lintas, dampak kebisingan, getaran, emisi
Layang dan Subway yang tinggi, gangguan visual dan dampak sosial.
7 Pembangunan dan.atau peningkatan
jalan dengan pelebaran diluar daerah
milik jalan
a. Kota Besar/Metropolitan
- Panjang > 5 km Bangkitan lalu lintas, dampak kebisingan, getaran, emisi
- Atau luas > 5 ha yang tinggi, gangguan visual dan dampak sosial.

b. Kota Sedang
- Panjang > 10 km Bangkitan lalu lintas, dampak kebisingan, getaran, emisi
- Atau luas > 10 ha yang tinggi, gangguan visual dan dampak sosial.

c. Pedesaan Bangkitan lalu lintas, dampak kebisingan, getaran, emisi


- Panjang > 30 km yang tinggi, gangguan visual dan dampak sosial.
8 Persampahan
a. Pembuangan dengan sistem
control landfill / sanitary landfill
(diluar B3) Dampak potensial berupa pencemaran dari leachate
- Luas > 10 ha (lindi), udara, bau, gas beracun, dan gangguan
- Atau kapasitas total > 10.000 ton kesehatan.

b. TPA di daerah pasang surut,


- Luas landfill > 5 ha Dampak potensial adalah bahaya banjir dan perubahan
- Atau kapasitas total > 5.000 ton pola air.
c. Pembangunan transfer station
- Kapasitas > 1.000 ton / hari Dampak potensial berupa bau, gas beracun, dan
gangguan kesehatan.
d. TPA dengan sistem open Semua ukuran Dampak potensial berupa pencemaran dari leachate
dumping (lindi), udara, bau, gas beracun, dan gangguan
kesehatan.
9 Pembangunan Perumahan/Permukiman Besaran untuk masing-masing tipologi kota
a. Kota metropolitan, luas > 25 ha diperhitungkan berdasarkan:
b. Kota besar;,luas > 50 ha * Tingkat pembebasan lahan.
c. Kota sedang dan kecil, luas > 100 ha * Daya dukung lahan; seperti daya dukung tanah,
kapasitas resapan air tanah, tingkat kepadatan
bangunan per hektar, dll.
* Tingkat kebutuhan air sehari-hari.
* Limbah yang dihasilkan sebagai akibat hasil
kegiatan perumahan dan pemukiman.
* Efek pembangunan terhadap lingkungan sekitar
(mobilisasi material dan manusia).
* KDB (koefisien dasar bangunan) dan KLB
(koefisien luas bangunan).
* Setara dengan layanan untuk 10.000 orang.
10 a. Pembangunan Instalasi > 2 ha * Dampak kebauan dan gangguan visual.
Pengolahan Lumpur Tinja
(IPTL), termasuk fasilitas
penunjangnya * Setara dengan layanan untuk 10.000 orang.
b. Pembangunan Instalasi > 3 ha * Dampak kebauan dan gangguan visual.
Pengolahan Air Limbah (IPAL)
limbah domestik termasuk
fasilitas penunjangnya * Setara dengan 17.000 sambungan.
c. Pembangunan sistem perpipaan > 500 ha * Setara dengan kota kecil.
air limbah, luas layanan Berpotensi menimbulkan dampak meningkatnya
11 Drainase Permukiman kepadatan lalulintas, kebisingan, getaran, perubahan
a. Pembangunan saluran di kota tata air.
besar/metropolitan > 5 km * Setara dengan kota kecil-sedang/kota kecamatan.
- Panjang * Isu utama adalah perubahan fungsi lahan.
b. Pembangunan saluran di kota
sedang > 10 km
- Panjang
12 Jaringan air bersih di kota
besar/metropolitan Berpotensi menimbulkan dampak hidrologi dan
a. Pembangunan jaringan distribusi persoalan keterbatasan air.

150
- Luas layanan > 500 ha
b. Pembangunan jaringan transmisi
- Panjang > 10 km
13 Pengambilan air dari danau, sungai, * Setara kebutuhan air bersih 200.000 orang.
mata air permukaan, atau sumber air * Setara kebutuhan kota sedang.
permukaan lainnya
- Debit pengambilan > 250 I/dt
Besaran diperhitungkan berdasarkan:
14 Pembangunan Pusat Perkantoran, * Pembebasan lahan
Pendidikan, Olahraga, Kesenian, * Daya dukung lahan
Tempat Ibadah, Pusat Perdagangan/ * Tingkat kebutuhan air sehari-hari
perbelanjaan relatif terkonsentrasi * Limbah yang dihasilkan
- Luas lahan > 5 ha * Efek pembangunan terhadap lingkungan sekitar (getaran,
- Atau bangunan > 10.000 m2 kebisingan, polusi udara, dll)
* KDB (koefisien dasar bangunan) dan KLB (koefisien luas
bangunan)
* Jumlah dan jenis pohon yang mungkin hilang
Khusus bagi pusat perdagangan/perbelanjaan relatif
terkonsentrasi dengan luas tersebut diperkirakan akan
menimbulkan dampak penting:
* Konflik sosial akibat pembebasan lahan (umumnya
berlokasi dekat pusat kota yang memiliki kepadatan tinggi).
* Struktur bangunan bertingkat tinggi dan basement
menyebabkan masalah dewatering dan gangguan tiang-
tiang pancang terhadap akuifer sumber air sekitar.
* Bangkitan pergerakan (traffic) dan kebutuhan permukiman
dari tenaga kerja yang besar.
* Bangkitan pergerakan dan kebutuhan parkir pengunjung.
* Produksi sampah.
Berpotensi menimbulkan dampak yang disebabkan oleh:
15 Pembangunan kawasan permukiman * Pembebasan lahan.
untuk pemindahan penduduk/ * Tingkat kebutuhan air.
transmigrasi: * Daya dukung lahan; seperti daya dukung tanah, kapasitas
- Jumlah penduduk yang dipindahkan > 200 KK resapan air tanah, tingkat kepadatan bangunan per hektar,
- Atau luas lahan > 100 ha dll.

J. Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus

A PERTAMBANGAN UMUM * Dampak penting terhadap lingkungan antara lain:


1 - Luas perizinan (KP) > 200 ha merubah bentang alam, ekologi dan hidrologi.
- Atau luas daerah terbuka untuk > 50 ha (kumulatif/tahun) * Lama kegiatan juga akan memberikan dampak
pertambangan *) penting terhadap kualitas udara, kebisingan,
*) Untuk menghindari bukaan lahan terlalu getaran apabila menggunakan peledak, serta
luas dampak dari limbah cair yang dihasilkan.
2. Tahap eksploitasi produksi:
a. Batubara/gambut > 250.000 ton/th (ROM)
b. Bijih Primer > 200.000 ton/th (ROM)
c. Bijih Sekunder/Endapan Alluvial > 150.000 ton/th (ROM)
d. Bahan galian bukan logam atau > 250.000 m3/th (ROM)
bahan galian golongan C
e. Bahan galian radioaktif, termasuk Semua besaran Sampai saat ini bahan radioaktif digunakan sebagai
pengolahan, penambangan dan bahan bakar reaktor nuklir maupun senjata nuklir.
pemurnian Oleh sebab itu, selain dampak penting yang dapat
ditimbulkan, keterkaitannya dengan masalah
pertahanan dan keamanan menjadi alasan mengapa
kegiatan ini wajib dilengkapi AMDAL untuk semua
besaran.
f. Bahan galian timbal, termasuk Semua besaran * Timah hitam (Pb) merupakan logam berat yang
pengolahan, penambangan dan termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3)
pemurnian yang mudah terurai.
* Dalam lingkungan perairan, sifat mudah terurai
tersebut menyebabkan Pb mudah tersedia
secara biologis ( bioavailable).

151
3. Tambang di laut Semua besaran Berpotensi menimbulkan dampak berupa perubahan
batimetri, ekosistem, mengganggu alur pelayaran dan
proses-proses alamiah di daerah pantai termasuk
menurunnya produktivitas kawasan yang dapat
menimbulkan dampak sosial.
4. Melakukan Submarine Tailing Disposal Semua besaran Memerlukan lokasi khusus dan berpotensi
menimbulkan dampak berupa perubahan batimetri,
ekosistem, mengganggu proses-proses alamiah di
daerah pantai termasuk menurunnya produktivitas
kawasan yang dapat menimbulkan dampak sosial
dan gangguan kesehatan.
5. Melakukan pengolahan bijih dengan proses Semua besaran Menggunakan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
sianidasi yang berpotensi menimbulkan pencemaran air
permukaan, air tanah dan udara.
B. KETENAGALISTRIKAN
> 150 KV * Keresahan masyarakat karena gangguan
1. Pembangunan jaringan transmisi kesehatan akibat transmisi
* Aspek sosial, ekonomi dan budaya terutama
pada pembebasan lahan dan keresahan
masyarakat
2. Pembangunan PLTD/PLTG/PLTU/ > 100 MW Berpotensi menimbulkan dampak pada:
PLTGU * Aspek fisik kimia, terutama pada kualitas udara
(emisi, ambient dan kebisingan) dan kualitas air
(ceceran minyak pelumas, limbah bahang dll)
serta air tanah.
* Aspek sosial, ekonomi dan budaya, terutama
pada saat pembebasan lahan dan pemindahan
penduduk.
3. Eksploitasi dan pengembangan Uap Panas Bumi > 55 MW Berpotensi menimbulkan dampak pada:
dan atau Pembangunan Panas Bumi * Aspek fisik-kimia, terutama pada kualitas udara
(bau dan kebisingan) dan kualitas air.
* Aspek flora fauna.
* Aspek sosial, ekonomi dan budaya, terutama
pada pembebasan lahan.
4. Pembangunan PLTA dengan: Berpotensi menimbulkan dampak pada:
- Tinggi bendung > 15 m - Aspek fisik-kimia, terutama pada kualitas udara
- Atau luas genangan > 200 ha (bau dan kebisingan) dan kualitas air.
- Atau aliran langsung (kapasitas daya) > 50 MW - Aspek flora fauna.
- Aspek sosial, ekonomi dan budaya, terutama
pada pembebasan lahan.
* Termasuk dalam kategori “large dam”
(bendungan besar).
* Kegagalan bendungan (dam break), akan
mengakibatkan gelombang banjir (flood surge)
yang sangat potensial untuk merusak lingkungan
di bagian hilirnya.
* Pada skala ini dibutuhkan spesifikasi khusus baik
bagi material dan desain konstruksinya.
* Pada skala ini diperlukan quarry/burrow area yang
besar, sehingga berpotensi menimbulkan
dampak.
* Dampak pada hidrologi (kapasitas daya).
5. Pembangunan pusat listrik dari jenis lain (Surya, ³ 10 MW * Membutuhkan areal yang sangat luas.
Angin, Biomassa dan Gambut) * Dampak visual (pandang).
* Dampak kebisingan.
* Khusus penggunaan gambut berpotensi
menimbulkan gangguan terhadap ekosistem
gambut.
C. MINYAK DAN GAS BUMI
1. Eksploitasi Migas dan Pengembangan Produksi di * Potensi menimbulkan limbah B3 dari lumpur
darat pengeboran.
a. Lapangan minyak > 5.000 BOPD * Potensi ledakan.
* Pencemaran udara, air dan tanah.
* Potensi kerusakan ekosistem.
* Pertimbangan ekonomis.
b. Lapangan gas > 30 MMSCFD * Potensi menimbulkan limbah B3 dari lumpur
pengeboran.
* Potensi ledakan.
* Pencemaran udara, air dan tanah.
* Pertimbangan ekonomis.
2. Eksploitasi Migas dan Pengembangan Produksi di Semua besaran * Potensi menimbulkan limbah B3 dari lumpur
laut pengeboran.
* Potensi ledakan.
* Pencemaran udara, air.
* Pertimbangan ekonomis.
* Perubahan Ekosistem laut.

152
3. Transmisi Migas (tidak termasuk * Pembebasan lahan cukup luas (dapat lintas kabupaten/
pemipaan di dalam lapangan) kota).
a. Di darat * Pelaksanaan konstruksi dapat meningkatkan erosi
- Panjang > 50 km tanah.
- Atau diameter pipa > 20 inci * Ada potensi perambahan ROW oleh kegiatan atau
aktifitas penduduk.
* Tekanan operasi pipa cukup tinggi sehingga berbahaya
apabila melalui daerah pemukiman penduduk.
b. Di laut Semua besaran * Pemanfaatan lahan yang tumpang tindih dengan aktifitas
nelayan dianggap cukup luas lintas kabupaten/kota
juga dapat mengganggu aktifitas nelayan.
* Penyiapan area konstruksi dapat menimbulkan
gangguan terhadap daerah sensitif.
* Pengoperasian pipa rawan terhadap gangguan aktifitas
lalu lintas kapal buang sauh, penambangan pasir.
* Tekanan operasi pipa cukup tinggi sehingga berbahaya
terhadap kegiatan/aktifitas nelayan, tambang pasir dan
alur pelayaran.
4. Pembangunan kilang: * Potensi konflik sosial.
- LPG > 50 MMSCFD * Merupakan industri strategis.
- LNG > 550 MMSCFD * Potensi dampak dari sarana penunjang khusus.
* Proses pengolahan menggunakan bahan yang
berpotensi menghasilkan limbah yang bersifat turunan.
* Berpotensi menghasilkan limbah gas, padat dan cair
yang cukup besar.
* Membutuhkan area yang cukup luas.
* Khusus LNG, berpotensi menghasilkan limbah gas H2S
5. Pembangunan kilang minyak > 10.000 BOPD * Potensi konflik sosial.
* Merupakan industri strategis.
* Potensi dampak dari sarana penunjang khusus.
* Proses pengolahan menggunakan bahan yang
berpotensi menghasilkan limbah yang bersifat turunan.
* Berpotensi menghasilkan limbah gas, padat dan cair
yang cukup besar.
* Membutuhkan area yang cukup luas.
* Potensi perubahan dan gangguan sistem geohidrologi.
* Berpotensi mengubah ekosistem yang lebih luas.
6. Kilang minyak pelumas bekas (termasuk > 10.000 ton/th * Potensi konflik sosial.
fasilitas penunjang) * Merupakan industri strategis.
* Potensi dampak dari sarana penunjang khusus.
* Proses pengolahan menggunakan bahan yang
berpotensi menghasilkan limbah yang bersifat turunan.
* Berpotensi menghasilkan limbah gas, padat dan cair
yang cukup besar.
* Membutuhkan area yang cukup luas.
* Potensi perubahan dan gangguan sistem geohidrologi.
D. GEOLOGI TATA LINGKUNGAN > 50 l/dt (dari 1 * Potensi perubahan dan gangguan sistem geohidrologi.
1. Pengambilan air bawah tanah (sumur sumur; atau dari 5 * Potensi intrusi air laut.
tanah dangkal, sumur tanah dalam dan sumur dalam area
mata air) <10 ha)

K. Bidang Pariwisata
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan adalah gangguan terhadap ekosistem, hidrologi,
bentang alam dan potensi konflik sosial.
No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus
1 Taman Rekreasi > 100 ha Berpotensi menimbulkan dampak berupa gangguan lalu lintas,
aksesibilitas lalu lintas, pembebasan lahan, dan sampah.
2 Kawasan Pariwisata Semua besaran Berpotensi menimbulkan dampak berupa perubahan fungsi
lahan/kawasan, gangguan lalu lintas, pembebasan lahan,
dan sampah.
3 Hotel: Berpotensi menimbulkan dampak dari kegiatan laundry,
- Jumlah kamar > 200 unit kebutuhan air yang besar, bangkitan lalu lintas dan sampah.
- Atau luas bangunan > 5 ha
4 Lapangan golf Semua besaran Berpotensi menimbulkan dampak dari penggunaan pestisida/
(tidak termasuk driving range) herbisida, limpasan air permukaan (run off), serta kebutuhan
air yang relatif besar.

153
L. Bidang Pengembangan Nuklir
Secara umum, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan dan penggunaan
teknologi nuklir selalu memiliki potensi dampak dan resiko radiasi. Persoalan kekhawatiran
masyarakat yang selalu muncul terhadap kegiatan-kegiatan ini juga menyebabkan kecenderungan
terjadinya dampak sosial.
No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus
1 Pembangunan dan pengoperasian
reaktor nuklir:
a. Reaktor Penelitian Daya > 100 KWt Potensi dampak pengoperasian reaktor penelitian
dengan daya <100 KWt terbatas pada lokasi reaktor.
b. Reaktor Daya (PLTN) Semua instalasi * Keamanan konstruksi.
* Beresiko tinggi.
* Dampak radiasi pada tahap decomisioning (pasca
operasi).
* Transportasi, penyimpanan dan pembuangan bahan
baku dan sisa-sisa bahan radioaktif.
2. Pembangunan dan pengoperasian
instalasi nuklir non reaktor
a. Fabrikasi bahan bakar nuklir Produksi > 50 elemen bakar/ Secara teknoekonomik, fabrikasi bahan bakar nuklir
tahun selalu memiliki kapasitas minimal 50-100 elemen bakar/
tahun.
b. Pengolahan dan pemurnian Produksi > 100 ton yellow Debu radioaktif yang terlepas akan terakumulasi dalam
uranium cake/tahun berbagai komponen ekosistem.
c. Pengolahan limbah radioaktif Semua instalasi Debu radioaktif yang terlepas akan terakumulasi dalam
berbagai komponen ekosistem.
d. Pembangunan Iradiator Aktivitas sumber Membutuhkan air pendingin yang telah didemineralisasi
(Kategori II s/d IV) > 37.000 TBq (100.000 Ci) dalam kolam beton. Apabila air pendingin berkurang
volumenya akan menyebabkan akumulasi panas di
tempat penyimpanan sumber. Akumulasi panas
memungkinkan terjadinya kebocoran radiasi ke
lingkungan.
e. Produksi Radioisotop Semua instalasi Semua tahapan dalam proses berpotensi mencemari
dan membahayakan lingkungan dalam bentuk radiasi.
f. Produksi kaos lampu Semua instalasi Proses produksi menggunakan thorium (Th) yang
memiliki radiotoksisitas yang sangat tinggi.

M. Bidang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Kegiatan yang menghasilkan
limbah B3 berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan kesehatan manusia,
terutama kegiatan yang dipastikan akan mengkonsentrasikan limbah B3 dalam jumlah besar
sebagaimana tercantum dalam tabel. Kegiatan-kegiatan ini juga secara ketat diikat dengan
perjanjian internasional (konvensi Basel) yang mengharuskan pengendalian dan penanganan
yang sangat seksama dan terkontrol.

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus

1 Pengumpulan, pemanfaatan, Semua kegiatan yang bersifat jasa Lihat penjelasan diatas
pengolahan dan/atau penimbunan pelayanan, komersial, menetap dan
limbah Bahan Berbahaya dan mengelola berbagai jenis dan sifat limbah
Beracun (B3) sebagai kegiatan B3 (tidak termasuk kegiatan skala kecil
utama seperti pengumpulan minyak pelumas
bekas, minyak kotor dan “slop oil”,
pemanfaatan timah dan “ flux solder”).

N. Bidang Rekayasa Genetika


Kegiatan-kegiatan yang menggunakan hasil rekayasa kesehatan manusia dan keseimbangan
ekosistem genetika berpotensi menimbulkan dampak terhadap Salinan sesuai dengan aslinya
No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus
1. Introduksi jenis-jenis tanaman, hewan, Semua besaran Lihat penjelasan diatas
dan jasad renik produk bioteknologi hasil
rekayasa genetika
2. Budidaya produk bioteknologi hasil Semua besaran Lihat penjelasan diatas
rekayasa genetika

Menteri Negara Lingkungan Hidup,


ttd.
Dr. A. Sonny Keraf
154
Daftar Singkatan:

m = meter
m2 = meter persegi
m3 = meter kubik
km = kilometer
km2 = kilometer persegi
ha = hektar
l = liter
dt = detik
Kw = kilowatt
Kwh = kilowatt hour
KV = kilovolt
Mw = megawatt
Mwh = megawatt hour
Kcal = kilocalorie
TBq = Terra Becquerel
Ci = Curie
BOPD = barrel oil per day = minyak barrel per hari
MMSCFD = million metric square cubic feet per day = juta metrik persegi kaki
kubik per hari LWS = low water sea = di bawah permukaan laut
DWT = dead weight tonnage = bobot mati
KK = kepala keluarga
TK = tenaga kerja
KP = kuasa pertambangan
ROM = raw of material = bahan mentah
LPG = Liquiefied Petroleum Gas = gas minyak bumi yang dicairkan
LNG = Liquiefied Natural Gas = gas alam yang dicairkan
ROW = Right of way = daerah milik jalan (damija)
BOD = biological oxygen demand = kebutuhan oksigen biologis
COD = chemical oxygen demand = kebutuhan oksigen kimiawi
DO = dissolved oxygen = oksigen terlarut
TSS = total suspended solid = total padatan tersuspensi
TDS = total dissolved solid = total padatan terlarut ;

155
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 04 TAHUN 2000
TENTANG
PANDUAN PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN
PEMBANGUNAN PERMUKIMAN TERPADU

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Permukiman Terpadu;

Mengingat : 1. Undang-ungang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 355/M/1999 tentang Kabinet Persatuan Nasional;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PANDUAN PENYUSUNAN


AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN PERMUKIMAN TERPADU.

Pertama

Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Permukiman Terpadu adalah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran Keputusan ini.

Kedua

Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan bilamana di kemudian hari terdapat kekeliruan,
maka Keputusan ini akan ditinjau kembali.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Pebruari 2000

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya

Kepala Biro Umum Kantor MENLH,

ttd

Najib Dahlan, S.H.

156
LAMPIRAN : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 4 TAHUN 2000
TANGGAL : 21 PEBRUARI 2000

PANDUAN PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN


PEMBANGUNAN PERMUKIMAN TERPADU

BAB I. PENJELASAN UMUM


1.1.LATAR BELAKANG
Pengembangan wilayah berdasarkan konsep permukiman terpadu, yaitu pembangunan kawasan
permukiman beserta fasilitas penunjangnya terus meningkat. Berdasarkan Pusat Data Properti Indonesia
Tahun 1995 diketahui, bahwa lahan yang dihabiskan untuk kegiatan tersebut makin luas. Persoalannya
kemudian rasional ekonomi yang menganggap bahwa di satu sisi lahan ini akan sangat berguna dan tinggi
nilainya bila dikembangkan sebagai perumahan kelas menengah ke atas, telah menghadapi dilema. Oleh
karena proses tersebut dapat dicapai dengan mengorbankan fungsi ekosistem seperti hilangnya kesuburan
tanah, pengendali banjir, pemasok air baku untuk kebutuhan penyediaan air minum, perubahan iklim mikro,
dan flora fauna yang berfungsi sebagai keseimbangan ekosistem.
Sejak memasuki Pembangunan Jangka Panjang Kedua, perkembangan kota di Indonesia menunjukkan
lima ciri pokok yang menonjol. Pertama, kota di Indonesia memainkan peran yang makin penting. Oleh
karena, pada tahun 2010 diperkirakan paling sedikit setengah dari kependudukan Indonesia akan berdiam
di kota dan kecenderungan ini tidak akan berbalik kembali. Kedua, kota makin terlibat di dalam ekonomi
global, ini berarti bahwa perkembangan kota akan banyak dipengaruhi oleh dinamika ekonomi global.
Pembangunan kota cenderung berskala mega atau super dengan intensitas yang tinggi, Aglomerasi daerah
urban menjadi ciri yang makin menonjol. Dalam banyak hal keadaan ini menghabiskan sawah dan tambak
(pantai) yang sudah didukung oleh prasarana dasar. Sedang disamping kebutuhan prasarana dan sarana
penunjang, pembangunan yang terkonsentrasi ini akan menimbulkan masalah lingkungan yang juga intensif.
Ketiga Perkembangan ekonomi kota terus tinggi, jauh diatas rata-rata nasional maupun propinsi.Ini
menimbulkan ancaman yang makin berat terhadap keberlanjutan ekosistem (sosial dan alam) kota yang
sudah makin rapuh. Di samping itu, peran kota lama makin nampak terancam oleh pertimbangan kepentingan
ekonomi yang sempit.
Bangunan lama terlalu mudah dianggap tidak efisien dan oleh karena itu perlu diremajakan yang sekaligus
akan menghilangkan nilai sejarah dan kekhasan kota yang bersangkutan. Ciri Keempat, pembangunan kota
makin menunjukkan sifatnya sebagai komoditi yang selalu mengejar nilai tambah. Pertimbangan
pembangunan kota sudah terlalu didominasi oleh pertimbangan manfaat ekonomi saja dengan mendudukkan
pertimbangan-pertimbangan lain hanya menjadi pelengkap.
Pengembangan permukiman terpadu di Indonesia dikhawatirkan mengeksploitasi lahan-lahan agraris, dan
lahan yang memiliki fungsi lindung, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan secara makro, secara
mikro ada peningkatan kualitas lingkungan akibat tertata dengan baik. Dengan dasar ciri dinamika sistem
lingkungan yang bersifat “site specific”, maka jenis dan besaran dampak yang ditimbulkan oleh pengembangan
permukiman terpadu diperkirakan akan berbeda dari satu ekosistem ke ekosistem lainnya. Oleh karena itu,
apabila dampak yang ditimbulkan tersebut tidak diantisipasi dan dikelola secara optimal dikhawatirkan hal
ini akan menjadi unsur pembangunan sosial ekonomi yang mengabaikan kemampuan sistem alam
(ekosistem).
Mengingat salah satu cara sistematis untuk memasukkan pertimbangan ekologis dan kepentingan
pembangungan sosial ekonomi adalah melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL),
maka penyusunan studi tersebut di dalam merancang permukiman terpadu menjadi sangat strategis.
Hal yang kemudian perlu diingat adalah bahwa mutu yang baik dari studi AMDAL sangat bergantung pada
kemampuan tim studi melakukan impact assesment. Proses yang terdiri dari proses identifikasi, prakiraan
dan evaluasi dampak. Atas dasar analisis yang baik tentang keterkaitan antara jenis dan tahapan kegiatan
pembangunan permukiman terpadu dengan karakteristik dari ekosistem yang diperkirakan akan menerima
dampak ini kemudian segenap dampak diantisipasi dan dikelola secara optimal.

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN


Dokumen ini dimaksudkan sebagai panduan untuk memudahkan, penyusunan AMDAL bagi berbagai kegiatan
(proyek) pengembangan pemukiman terpadu.
Secara khusus Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan terpadu ini diharapkan dapat :
1) Mengendalikan cara pembukaan lahan di kawasan pengembangan permukiman terpadu sehingga terpelihara
kelestarian fungsi ekologisnya; mengingat peruntukan lahan yang tidak harmonis dan penerapan teknologi
yang kurang bijaksana dapat mengakibatkan gejala erosi genetik, pencemaran dan penurunan potensi
lahan.
2) Menopang upaya-upaya mempertahankan proses ekologis antar ekosistem di kawasan permukiman terpadu
sebagai penyangga kehidupan yang bermakna penting bagi kelangsungan pembangunan dan peningkatan
kesejahteraan penduduk di kawasan permukiman terpadu khususnya, serta masyarakat di sekitar kawasan
permukiman terpadu.
3) Memberikan panduan dan pemahaman kepada penyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(AMDAL) kegiatan pengembangan permukiman terpadu, yang didasari dengan pendekatan terhadap
pembinaan terhadap struktur dan fungsi ekosistem.
157
1.3. PENDEKATAN DAN RUANG LINGKUP
Agar dapat melakukan identifikasi, memprakirakan dan mengevaluasi dampak lingkungan akibat kegiatan
pengembangan, permukiman terpadu secara cermat, diperlukan pengetahuan tentang struktur dan ekosistem
lahan basah dan lahan kering di kawasan pembangunan permukiman terpadu yang terkena dampak.
Informasi ini diperlukan agar ragam respon sistem lingkungan yang akan menerima dampak dapat teridentifikasi
sedini mungkin.
Oleh karena itu, panduan ini diawali dengan perumusan tentang kriteria dan batasan konsep pembangunan
permukiman terpadu (Bab II), dan kegiatan permukiman terpadu kaitannya dengan pembangunan regional (Bab
III). Kemudian diikuti oleh panduan proses penyusunan Kerangka Acuan ANDAL kawasan permukiman terpadu
(Bab IV) yang menjelaskan mengenai proses pelingkupan, identifikasi dampak potensial, sampai pada pemusatan
dampak penting dan issue pokok lingkungan. Selain itu, juga menjelaskan komponen lingkungan yang harus
ditelaah akibat satu jenis kegiatan, penentuan batas wilayah studi dan lingkup waktu perkiraan dampak dalam
studi AMDAL. Proses tentang penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) disajikan dalam Bab V.
Sebagai suatu panduan, maka segenap metode yang disarankan dalam dokumen ini diuraikan secara garis
besar dan dilengkapi dengan bahan rujukan yang memuat metode pengumpulan atau analisis data secara
terperinci. Selanjutnya, panduan untuk penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana
Pemantauan Hidup (RPL) disajikan pada Bab VI. Secara skematis, sistematika panduan ini mengikuti alur pikir
proses penyusunan AMDAL pembangunan permukiman terpadu seperti pada Gambar 1.1.

STRUKTUR DAN FUNGSI STRUKTUR DAN FUNGSI


KOMPONEN LINGKUNGAN KOMPONEN KEGIATAN

Struktur Ekosistem/Komponen Lingkungan : . Kegiatan Pra-Konstruksi


· Fisik – Kimia . Kegiatan Konstruksi
· Biologi (Flora dan Fauna) . Kegiatan Permukiman Terpadu
· Sosek/Sosbud/Kesmas
Fungsi ekosistem
(Lahan Basah, Lahan Kering, Pegunungan)

PROSES PELINGKUPAN
DAN
PENYUSUNAN KA-ANDAL

PENYUSUNAN ANDAL

PENYUSUNAN RKL DAN RPL

KELAYAKAN LINGKUNGAN

Gambar 1.1
Pendekatan sistem dalam penyusunan AMDAL pengembangan pemukiman terpadu

BAB II. KONSEP PENGEMBANGAN PERMUKIMAN TERPADU


2.1 PRINSIP DASAR PENGEMBANGAN PERMUKIMAN TERPADU BERWAWASAN LINGKUNGAN
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, khususnya
Pasal 21 telah menetapkan penyelenggaraan lingkungan siap bangun (Lisiba). Dalam pembahasan konsep
undang-undang ini disebutkan bahwa konsep kawasan siap bangunan atau kasiba (Pasal 18 ayat 1) terdiri
dari beberapa lingkungan perumahan (Pasal 18 ayat 2 b). Mengingat Peraturan Pemerintah pelaksana
undang-undang tersebut hingga kini belum terbit, maka dari beberapa diskusi luas Lisiba perumahan sebesar
200 hektar sedangkan kasiba mencapai sampai 1000 hektar.
Angka luas ini kelak dapat disesuaikan mengikuti peraturan yang berlaku. Kepadatan penduduk dan
permukiman terpadu belum ditetapkan secara pasti, tetapi akan berkisar dari 150 orang per hektar bagi
permukiman yang berada di dalam kawasan yang mempunyai ciri lingkungan yang kuat (semi urban) sampai
yang mencapai kepadatan hingga 350 orang per hektar bagi yang sepenuhnya merupakan permukiman
urban. Dengan sendirinya kawasan ini merupakan kawasan yang utuh baik langsung menempel pada kota
yang ada maupun masih ada jarak yang berupa ruang terbuka atau tidak. Walaupun hingga kini belum ada
ketentuan jelas, namun permukiman terpadu utamanya adalah sebuah permukiman yang menurut UU No 4/
1992 tersebut (Pasal 1) adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa
kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan dan sarana lingkungan yang terstruktur. Jadi permukiman terpadu perlu
158
perencanaan pembangunan dan tata ruang yang lengkap dan sah serta dilengkapi dengan perumahan
serta dukungan prasarana dan sarana yang menjamin penyelenggaraan perumahan serta kebutuhan hidup
dan lapangan kerja yang berskala bulanan.
Permukiman terpadu tumbuh, di samping sebagai kawasan perumahan dapat pula berfungsi sebagai
wilayah untuk menunjang pertumbuhan ekonomi regional. Fungsi terakhir ini tidak pernah menjadi
pertimbangan bagi pertumbuhan permukiman terpadu di Indonesia. Masalahnya pengembangan permukiman
terpadu sering sulit ditentukan skala waktu rampungnya proses pembangunan. Walaupun bila dibandingkan
dengan Kebayoran Baru atau Klender dan Depok, Bumi Serpong Damai (BSD) selama lebih lima belas
tahun eksistensinya, baru sekitar 200 hektar dikatakan telah “selesai” dibangun.
Banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan proses pembangunan ini. Kawasan Darmo Satelit di Surabaya
ternyata berlangsung lebih cepat sebab kawasan ini boleh dikatakan adalah permukiman terpadu pertama
di Surabaya. Kawasan yang luasnya sekitar 2000 hektar selesai dibangun dalam waktu sekitar 20 tahun
yang dikerjakan oleh lebih sepuluh pembangun perumahan (developer) dibandingkan dengan di Jakarta
yang hanya dikerjakan oleh sebuah perusahaan saja. Hal ini memang menjadi kesulitan tersendiri sebab
dampak yang hendak dikelola sangat tergantung dari waktu dan tempat. Kawasan Driyorejo di Barat Daya
Surabaya mengalami tahap persiapan lebih dari dua puluh tahun. Kini bagian ikutannya yang mulai dibangun
oleh Perum Perumnas bagi RS dan RSS sebanyak 3000-4000 unit rumah tinggal yang akan selesai tahun
1996.
Sekarang para pengembang menawarkan permukiman terpadu yang berwawasan lingkungan. Namun
hingga kini konsep perumahan atau permukiman yang bersahabat dengan lingkungan belum pernah
dirumuskan secara jelas. Ada 5 (lima) prinsip utama dari konsep perumahan dan permukiman yang
berwawasan lingkungan yang harus dikembangkan sesuai kondisi awal yang ada, yaitu:
(1) Mempertahankan dan memperkaya ekosistem yang ada
Termasuk di dalamnya adalah berlanjutnya ekosistem yang ada. Perubahan yang dilakukan terhadap
unsur ekosistem karena adanya pembangunan gedung atau prasarananya harus diimbangi dengan
peningkatan kemampuan dari unsur ekosistem yang tidak terusik. Di samping itu, perlu ditambah
unsur ekosistem baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang memperkaya peran ekosistem secara
keseluruhan.
(2) Penggunaan energi yang minimal
Baik rencana makro maupun mikro perumahan dan permukiman harus memanfaatkan sistem iklim
yang ada (secara pasif) dan perancangan bangunan yang memanfaatkan prinsip yang sama ditambah
dengan sistem radian yang dapat meningkatkan efektifitasnya dibandingkan dengan sistem pasif.
Pemilihan bahan bangunan, cara membangun dan rancangan bentuk dapat berpengaruh terhadap
kebutuhan energi baik jangka pendek maupun panjang.
(3) Pengendalian limbah dan pencemaran
Limbah yang harus dikendalikan mulai dari yang dihasilkan oleh jamban dan kamar mandi, dapur,
rumah sampai akibat dari pemakaian berbagai peralatan listrik, bahan bakar fosil dan sebagainya.
Limbah ini harus terkelola dengan baik dan jelas dengan prinsip produksi bersih.
(4) Menjaga kelanjutan sistem sosial-budaya lokal
Gaya hidup yang berlaku sudah secara mantap diterjemahkan ke dalam berbagai tatanan dan bentuk
bangunan serta peralatan yang dipakai sehari-hari. Kaidah dan pola dari warisan budaya dan pola
hidup ini harus menjadi dasar awal untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan
baru yang diciptakan oleh pembangunan yang maju dan berhasil yang merupakan proses berlanjut.
(5) Peningkatan pemahaman konsep lingkungan
Permukiman terbentuk melalui proses yang berlangsung terus. Dalam perkembangan proses ini selalu
akan terjadi pergantian pemukim baik secara alami melalui proses lahir dan mati, maupun karena
mobilitas penduduk antara yang datang dan pergi.

2.2 RENCANA KEGIATAN PERMUKIMAN TERPADU KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN REGIONAL


Sesuai dengan uraian di atas, terhadap permukiman terpadu seperti Kebayoran Baru, Darmo Satelit, Klender,
Depok dan sebagainya, sejauh ini yang diperhatikan adalah dampak pasca konstruksi dalam bentuk kemacetan
lalu lintas. Di Jakarta keadaannya paling parah, dari Klender ke pusat kota pada hari dan jam kerja biasanya
membutuhkan waktu paling sedikit dua jam untuk pergi atau pulang. Dalam keadaan sepi (seperti antara Natal
dan Tahun Baru) waktu tempuh nyata paling lama hanya empat puluh menit atau sepertiga waktu “normal”.
Dapat dibayangkan pemborosan energi dan waktu yang ditimbulkan hanya oleh satu dampak ini di samping
pencemaran terhadap udara dan rusaknya ekosistem di kawasan antara permukiman terpadu dan kota lama
yang nilainya sulit diukur.
Di samping dampak yang bersifat langsung seperti diuraikan di atas, banyak dampak yang berskala regional
yang tidak langsung nampak, seperti perubahan nilai, budaya dan berbagai pemborosan. Tidak semua dampak
bersifat merugikan, sebab ada cukup banyak dampak yang bersifat menguntungkan seperti terciptanya lapangan
kerja baru, mutu kehidupan yang lebih baik dan sebagainya. Berbagai dampak ini harus diketahui setepat dan
sedini mungkin untuk dirancang cara-cara penanganan dan penanggulangan terhadap dampak yang merugikan,
dan hal yang mendukung untuk memantapkan dan mengembangkan bagi dampak yang positif. Sedangkan
terhadap dampak yang dualistis seperti naiknya harga lahan, perlu dicari jalan untuk membuatnya tetap serasi
dan seimbang dalam arti yang seluas-luasnya.
Di samping itu, pada tahap konstruksi timbul dampak yang dualistis, positif dan negatif; utamanya yang berkaitan
dengan pengadaan bahan urugan dan bahan bangunan konvensional seperti pasir, batu bata, kayu, dan
sebagainya. Bila ada sebuah kawasan seluas seratus hektar, maka secara “normal” akan dibutuhkan sebanyak
215.000 trip truk besar dengan nilai total sekitar Rp. 65 milyar. Bila pengurugan diselesaikan dalam waktu tiga
bulan, tiap hari akan terjadi perjalanan truk sebanyak 2400 atau tiap hari kerja (delapan jam) akan lewat 300 truk,
dapat dibayangkan dampak lalu lintas yang ditimbulkannya. Kalau 2400 truk tersebut digandeng maka panjangnya
159
sekitar 20 kilometer. Padahal saat ini, kawasan perumahan yang dikembangkan di Surabaya mencapai sekitar
2000 hektar dan tanah urug umumnya diambil dari Porong, sekitar 60 kilometer selatan Surabaya.
Dari uraian di atas terlihat, bahwa setiap pembangunan perumahan dengan pembukaan lahan seluas 200
hektar perlu melakukan kajian dampak regional yang dilakukan secara teliti.

2.2.1 Kaitan permukiman terpadu terhadap pengembangan regional


Salah satu dasar yang harus dijadikan pertimbangan dalam pengembangan permukiman terpadu adalah
bahwa kegiatan permukiman terpadu harus dapat mendukung kebijaksanaan dasar daerah mengenai
pelestarian fungsi lindung dan keseimbangan budidaya daerah setempat. Hal ini sangat penting karena
pola kebijaksanaan dasar daerah merupakan arahan yang harus dianut.
Menurut Soemarwoto (1985), fungsi lindung dapat merupakan cagar alam hutan lindung suaka marga
satwa, hutan wisata, hutan buru dan taman laut. Untuk menjaga keseimbangan ekosistem, fungsi-fungsi
lindung ini harus dijaga dan jangan sampai menjadi fungsi yang lain. Misalnya hutan lindung dan cagar
alam berfungsi untuk melindungi hidrologi. Hutan wisata berfungsi sebagai tempat wisata, namun
merupakan daerah yang dilindungi.
Kegiatan yang mendukung kehidupan manusia dalam suatu permukiman terpadu dapat diletakkan pada
daerah budidaya yang telah dituangkan dalam pola kebijaksanaan dasar daerah. Dengan demikian
pelestarian; fungsi lindung dan keseimbangan budidaya suatu daerah akan tetap terjaga, dan di sisi lain
permukiman terpadu pun dapat tetap berkembang dalam mendukung pengembangan regional yang telah
direncanakan sesuai dengan RUTRD. Misalnya didaerah Pasuruan Jawa Timur, rencana kebijaksanaan
dasar daerah adalah mengembangkan daerah wisata di daerah pegunungan, yaitu Perkampungan
Serbaguna Tarnan Dayu. Pembangunan ini akan mendukung pengembangan regional Jawa Timur di
mana kota-kota di sekitar akan ikut memanfaatkan keberadaan kota Taman Dayu. Namun fungsi daerah
Taman Dayu untuk melindungi hidrologi harus tetap terjaga.

2.2.2 Kaitan permukiman terpadu terhadap pusat pertumbuhan lainnya


Permukiman terpadu yang dibangun dan merupakan pusat pertumbuhan baru, hendaknya dapat
mengurangi tekanan-tekanan yang telah ada yang pada saat itu harus diemban oleh kota-kota pertumbuhan
di sekitarnya. Dalam hal perekonomian, permukiman terpadu dapat menunjang tumbuhnya perekonomian
baru yang dampaknya dapat dirasakan secara regional. Kegiatan-kegiatan perekonomian dapat sebagian
beralih ke permukiman terpadu, demikian juga dengan kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Penduduk di
permukiman terpadu dan kota-kota pertumbuhan lain dapat memanfaatkan kegiatan perekonomian,
kegiatan sosial yang ditawarkan dengan adanya fasilitas-fasilitas sosial di permukiman terpadu, dan
kegiatan-kegiatan pendidikan yang dibangun dalam permukiman terpadu. Permukiman terpadu beserta
kota-kota pertumbuhan di sekitarnya dapat bersama-sama dalam membangun perkembangan regionalnya.
Perkembangan regional, dengan dibangunnya permukiman terpadu, dapat terpacu karena dibangunnya
jaringan infrastruktur pendukung. Jaringan infra struktur ini, antara lain adalah jaringan transportasi, jaringan
listrik, telepon dan air bersih, akan memudahkan dan mempercepat hubungan antara permukiman terpadu
dengan kota-kota pertumbuhan di sekitarnya.
Kelembagaan yang harus ada menyertai dibangunnya permukiman terpadu adalah kelembagaan
pemerintahan, kelembagaan perbankan, swasta, perindustrian dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan
dan ciri khas permukiman terpadu.
Kelembagaan yang dibentuk ini akan saling berhubungan dengan kelembagaan-kelembagaan lain yang
telah ada dalam kota-kota pertumbuhan lain di sekitar permukiman terpadu untuk melayani seluruh
penduduk serta untuk mengelola permukiman terpadu.

2.2.2 Kaitan permukiman terpadu terhadap pusat pertumbuhan lainnya


Permukiman yang dibangun harus dapat berperan sebagai pendukung perkembangan kota-kota lain di
sekitarnya. Dengan hadirnya kawasan permukiman terpadu ini diharapkan daerah disekitarnya juga dapat
berkembang dan memperoleh dampak positifnya, misal desa-desa di sekitar dapat memanfaatkan
kebutuhan tenaga kerja, sehingga penduduk dari daerah sekitar dapat memperoleh lapangan kerja baru.
Daerah sekitar diharapkan juga dapat memasok berbagai jenis kebutuhan yang diperlukan permukiman
terpadu, dan terciptalah hubungan perekonomian dengan permukiman terpadu. Selain itu, penduduk dari
daerah sekitar dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ditawarkan oleh permukiman terpadu, baik
permukiman, fasilitas pertokoan dan rekreasi, fasilitas pendidikan dan fasilitas wisata. Maka terjadilah
hubungan sosial antar permukiman terpadu dengan daerah sekitarnya.
Kelembagaan yang berkembang dengan adanya permukiman terpadu, misalnya lembaga pemerintahan,
lembaga perbankan, lembaga swasta, lembaga pendidikan, dan kepolisian, diharapkan dapat berfungsi
dengan baik dalam mengatur berputarnya roda pemerintahan suatu permukiman terpadu. Berkembangnya
berbagai institusi ini, hendaknya dapat menimbulkan dampak positif terhadap daerah di sekitarnya. karena
dapat pula dimanfaatkan oleh daerah-daerah lain di sekitar permukiman terpadu, seperti jaringan
transportasi, listrik, air bersih, telepon, saluran air buangan dan pengeringan (drainase) serta tempat-
tempat pembuangan sampah.
Permukiman terpadu yang dibangun harus dapat tetap melestarikan fungsi lindung dari desa-desa atau
kawasan lindung di sekitarnya. Batasan kawasan lindung akan merupakan hal yang sangat penting,
karena itu harus jelas, baik di peta maupun di lapangan, batas-batas ini dapat menghindari sengketa dan
dapat menjadi pegangan bagi pengelola kawasan lindung, misalnya: pengembangan wisata di kawasan
lindung harus diatur agar tidak berlawanan dengan tujuan perlindungan.
Daerah untuk wisata yang intensif harus dibedakan dari daerah wisata terbatas, agar fungsi lindung tetap
terjaga. Dalam daerah wisata yang intensif dapat dibangun fasilitas-fasilitas wisata seperti hotel, restoran
kolam renang, lapangan golf, dan lain-lain.
160
Kemungkinan penduduk di desa-desa sekitar permukiman terpadu akan berubah pola mata
pencahariannya dari sektor agraris ke sektor perkotaan. Untuk itu keberadaan permukiman terpadu
hendaknya juga dapat memberikan jasa dan lapangan kerja bagi penduduk yang berubah mata
pencahariannya.
Penciptaan lapangan kerja di sektor non pertanian dalam permukiman terpadu harus mendapatkan
perhatian yang serius, agar dapat memberikan bantuan mata pencaharian baru bagi penduduk di sekitar
permukiman terpadu. Hal ini hanya mungkin terjadi bila para pemrakarsa permukiman terpadu mempunyai
komitmen sosial. Di samping itu, pihak yang berwenang dapat mengatur dan mensyaratkan agar
permukiman terpadu yang dibangun akan memberikan dampak positif terhadap kehidupan sosial dan
perekonomian masyarakat desa di sekitarnya.

2.3 KEGIATAN DALAM PENGEMBANGAN PERMUKIMAN TERPADU


Kegiatan-kegiatan yang biasa terdapat dalam permukiman terpadu dan keterkaitan antar kegiatan dalam
permukiman terpadu antara lain sebagai berikut:
(1) Kegiatan kehidupan manusia sehari-hari dalam permukiman;
(2) Kegiatan sosial masyarakat dalam fasilitas-fasilitas sosial yang dibangun taman-taman, tempat bermain,
balai-balai pertemuan;
(3) Kegiatan perekonomian dan perdagangan, misalnya: pasar, pertokoan, pergudangan, pelabuhan, hotel;
(4) Kegiatan transportasi, misalnya: jalan tol, jalan kota, jembatan, terminal kota, atau mungkin terminal udara
dan pelabuhan laut;
(5) Kegiatan olah raga dan rekreasi, misalnya: golf, tenis, sepak bola, renang dan sebagainya yang
membutuhkan adanya lapangan golf, lapangan sepak bola dan seterusnya;
(6) Kegiatan pariwisata, misalnya: kebun binatang, wisata air atau wisata alam yang lain, daerah konservasi
dan wisata buatan;
(7) Kegiatan pendidikan, misalnya: pendidikan formal dan informal yang memerlukan gedung-gedung sekolah;
(8) Kegiatan industri kecil maupun besar dengan bangunan industri disertai dengan fasilitas pengolah limbah;
(9) Kegiatan untuk menunjang kesehatan masyarakat yang dilengkapi dengan rumah sakit, balai pengobatan,
apotek, laboratorium klinis dan lain-lain;
(10) Kegiatan untuk pengamanan kota dan angkatan bersenjata, misalnya kantor polisi atau kemungkinan
juga terdapat latihan atau pendidikan untuk angkatan bersenjata tertentu.
Kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan di atas banyak yang termasuk dalam daftar wajib AMDAL sebagaimana
disebutkan dalam lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Jenis Usaha dan/atau
Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL. Dengan demikian maka dalam AMDAL untuk permukiman
terpadu akan banyak sekali kegiatan-kegiatan yang saling terkait dengan ukuran dan skala tertentu, yang
merupakan suatu kesatuan kegiatan dalam permukiman terpadu yang harus disusun AMDALnya.

2.4 URAIAN TENTANG KETERKAITAN ANTARA KEGIATAN


Kegiatan sentral dalam pengembangan permukiman terpadu adalah kegiatan dalam kawasan permukiman
karena dapat terkait dengan kegiatan dalam kota. Misalnya penghuni permukiman akan selalu terkait dengan
jalur transportasi, yang menghubungkan permukiman ke tempat-tempat kegiatan lain, seperti kegiatan
perdagangan, pendidikan, olah raga dan rekreasi, pariwisata, industri dan fasilitas kesehatan. Suatu permukiman
terpadu akan selalu dilengkapi dengan permukiman sebagai tempat hunian, lengkap dengan sarana dan
prasarana penunjangnya, seperti: jaringan listrik, air bersih, telepon, sarana sosial, jaringan pematusan kota,
jalan-jalan lingkungan, dan tempat pembuangan sampah. Tetapi belum tentu suatu permukiman terpadu akan
mempunyai kegiatan pariwisata atau industri atau kegiatan pelabuhan.

2.5 UKURAN DAN SKALA PERMUKIMAN TERPADU


Seperti disebutkan dalam pendahuluan, ukuran dan skala permukiman terpadu tidak selalu sama. Ukuran luas
permukiman terpadu dapat berkisar 1 antara 200 sampai lebih dari 5000 ha, sedangkan skalanya dapat berupa
kota kecil, kota sedang maupun kota besar, sesuai dengan definisi kota yang biasa dipakai oleh Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup dalam menilai kebersihan kota dalam memperoleh Adipura. Kota kecil dapat meliputi
luas 200 sampai 1000 ha, kota sedang meliputi > 1000 ha sampai 5000 ha dan kota besar meliputi luas > 5000
ha.

2.6 KRITERIA PENGEMBANGAN PERMUKIMAN TERPADU


Mengacu pada ukuran dan skala permukiman terpadu, maka dalam pengembangan kawasan permukiman
terpadu hendaknya mencakup dan mengikuti 3 (tiga) kriteria yaitu: kriteria ekosistem, kriteria pemrakarsa, dan
kriteria sektor yang berwenang. Kriteria-kriteria dimaksud adalah :
2.6.1 Kriteria ekosistem
Dalam PP No. 51 Tahun 1993 telah disebutkan bahwa kegiatan yang bersifat regional, dapat terletak lebih
dari satu kesatuan hamparan ekosistem. Permukiman terpadu yang mempunyai kegiatan yang bersifat
regional juga dapat terletak dalam suatu gabungan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, atau
ekosistem pegunungan dengan ekosistem pantai, atau terletak dalam satu tipe ekosistem, misalnya
ekosistem pegunungan.

2.6.2 Kriteria pemrakarsa


Dalam kegiatan yang bersifat regional, misalnya dalam permukiman terpadu, masing-masing usaha dan/
atau kegiatan dapat dimiliki oleh lebih dari satu pemrakarsa. Misalnya, kegiatan perdagangan dapat dimiliki
oleh pihak lain (swasta) seperti pertokoan, plaza, sedangkan kegiatan perdagangan lain dapat dimiliki
161
oleh pemerintah, seperti pelabuhan dimiliki oleh Perum Pelabuhan, Bank Indonesia, BNI, BRI, dimiliki
oleh pemerintah. Demikian juga dengan kawasan wisata yang ada dalam permukiman terpadu, dapat
dimiliki oleh pihak pemerintah maupun swasta. Jadi ada batasan bahwa dalam permukiman terpadu,
usaha dan/atau kegiatan yang ada dimiliki oleh lebih dari satu pemrakarsa.

2.6.3 Sektor yang berwenang


Masing-masing usaha dan/atau kegiatan dalam suatu wilayah yang mempunyai dampak regional seperti
permukiman terpadu, menjadi kewenangan lebih dari satu instansi yang bertanggung jawab. Seperti yang
telah disebutkan dalam kajian teori (Bab II) yang berwenang mengatur kegiatan dalam suatu permukiman
terpadu akan terdiri lebih dari satu instansi, misalnya: Departemen Pekerjaan Umum akan mengatur dan
bertanggung jawab untuk jembatan, jalan tol, pintu pintu air dan kesehatan lingkungan permukiman;
Departemen Perindustrian akan bertanggung jawab untuk industri-industri kecil maupun besar yang ada
dalam kawasan tersebut. Jadi permukiman terpadu akan selalu ditangani dan dikelola oleh lebih dari satu
instansi.

BAB III. PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANDAL


3.1 PELINGKUPAN DAMPAK PENTING
Menurut Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL,
pelingkupan dampak penting ditempuh melalui tiga proses utama, yaitu: (1) identifikasi dampak potensial;
(2) evaluasi dampak potensial; dan (3) pemusatan dampak penting. Berikut diutarakan proses pelingkupan
untuk ANDAL pengembangan permukiman terpadu dengan mengacu pada peraturan perundangan tersebut.
3.1.1 Identifikasi dampak potensial
Pelingkupan pada tahap ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi segenap dampak lingkungan (primer,
sekunder, dan seterusnya) yang secara potensial akan timbul akibat adanya proyek pengembangan
permukiman terpadu. Pada tahap ini hanya akan diinventarisir dampak yang potensial akan timbul
tanpa memperhatikan besar/kecilnya dampak, atau penting tidaknya dampak.
Identifikasi dampak potensial ditempuh melalui serangkaian langkah-langkah kegiatan berikut ini:
- Konsultasi dan diskusi dengan para pakar, pemrakarsa kegiatan, instansi yang bertanggung jawab,
serta masyarakat (tokoh-tokoh) yang berkepentingan;
- Analisis terhadap peta dan data sekunder yang ada, seperti: peta rencana umum tata ruang daerah,
peta tata guna tanah, peta vegetasi, peta sistem lahan, dan lain sebagainya;
- Observasi atau kunjungan ke calon lokasi proyek.
Adapun metoda identifikasi dampak potensial yang dapat digunakan antara lain adalah:
- Daftar uji sederhana;
- Matriks interaksi sederhana;
- Penelaahan pustaka;
- Pengamatan Lapangan;
- Analisis isi (content analysis);
- Interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brainstorming, dan lain-lain).
Lihat pula KEP-30/MENKLH/7/1992 tentang Panduan Pelingkupan Untuk Penyusunan Kerangka Acuan
ANDAL untuk informasi yang lebih rinci.
Berikut diutarakan langkah-langkah identifikasi dampak potensial bagi aktivitas proyek pengembangan
permukiman terpadu

Langkah 1
Buat daftar rencana usaha dan/atau kegiatan proyek pengembangan permukiman terpadu berikut dengan
rencana pembangunannya menurut persebaran ruang dan waktu.

Hasil langkah 1
1. Diperoleh daftar kegiatan atau aktivitas proyek yang dapat merupakan penyebab dampak lingkungan antara lain
adalah:
1) Kegiatan pra-konstruksi, yang meliputi:
a) Kegiatan survei;
b) Kegiatan pembebasan lahan;
2) Kegiatan konstruksi, yang meliputi:
a) Kegiatan pembangunan perumahan;
i. Pembangunan perumahan;
ii. Pemadatan, pengerasan, dan pembangunan jalan lingkungan;
iii. Penggalian saluran air;
iv. Pengalihan aliran air;
v. Penggalian/pembuatan jaringan air bersih, listrik, dan telepon;
vi. Pembuatan tempat pembuangan sampah;
b) Kegiatan pembangunan tempat olah raga dan rekreasi:
i. Pembangunan gedung olah raga;
ii. Pembangunan lapangan golf;
iii. Pembuatan taman kota dan tempat bermain;
iv. Penanaman tanaman (penghijauan/reklamasi);
c) Kegiatan pembangunan fasilitas perekonomian dan perdagangan:
i. Pembangunan pusat pertokoan dan perbelanjaan;
ii. Pembangunan pasar;
iii. Pembangunan pergudangan;
iv. Pembangunan terminal dan transportasi angkutan;
162
d) Kegiatan pembangunan industri kecil/menengah:
i. Industri kulit (sepatu dan tas);
ii. Industri makanan;
iii. Industri mebel kayu dan rotan;
iv. Unit pengolahan limbah;
3) Kegiatan Permukiman Terpadu, yang meliputi kegiatan:
a) Kehidupan manusia sehari-hari dalam permukiman;
b) Aktivitas sosial masyarakat di fasilitas-fasilitas sosial/umum yang ada;
c) Perekonomian dan perdagangan;
d) Transportasi;
e) Olah raga dan rekreasi;
f) Pariwisata;
g) Pendidikan;
h) Industri kecil dan menengah;
i) Penunjang kesehatan masyarakat;
j) Ketertiban dan keamanan;
k) Seni budaya;
2. Diperoleh informasi tentang rencana pembangunan kota menurut persebaran ruang dan waktu.

Langkah 2
Identifikasi tipe-tipe ekosistem yang akan menjadi lokasi proyek dan/atau yang akan terpengaruh oleh
kegiatan proyek sebagaimana dimaksud pada hasil langkah 1.

Hasil langkah 2
Diperoleh daftar tipe-tipe ekosistem yang akan menjadi lokasi proyek dan/atau yang akan terpengaruh oleh kegiatan
proyek, pada ruang dan waktu tertentu yang diantaranya adalah:
1) Lahan basah, yang diantaranya meliputi tipe-tipe ekosistem sebagai berikut:
- Hutan bakau;
- Hutan rawa payau;
- Hutan rawa air tawar;
- Hutan rawa bergambut;
- Danau/situ;
- Tambak udang/bandeng;
- Tambak garam;
- Sawah;
- Kolam budidaya ikan air tawar;
2) Ekosistem Lahan kering, yang diantaranya meliputi tipe-tipe ekosistem sebagai berikut:
- Hutan tropika basah (berstatus konversi);
- Kebun/talun;
- Perkebunan karet/kelapa sawit;
- Tegalan/pertanian lahan kering;
- Tanaman pekarangan

Langkah 3
Identifikasikan komponen lingkungan atau struktur ekosistem yang
berpotensi terkena dampak akibat proyek pada dua tingkat, yakni:
a) Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak menurut hasil langkah 2
b) Di tingkat regional yang merupakan dampak regional dari pengembangan permukiman terpadu

Hasil Langkah 3
Diperoleh daftar komponen Lingkungan atau struktur ekosistem yang potensial terkena dampak proyek, yakni:
1. Daftar spesifik untuk setiap ekosistem yang terkena dampak, misalnya adalah:
1) Komponen Fisik-Kimia:
a) Iklim:
i. Suhu udara;
ii. Kelembaban nisbi udara;
iii. Kualitas udara;
b) Hidrologi:
i. Tinggi muka air tanah;
ii. Pola aliran dan debit sungai;
iii. Tinggi, lama dan frekuensi genangan/banjir;
iv. Kualitas air permukaan (sumur, sungai);
c) Tanah:
i. Topografi
ii. Sifat fisik tanah;
iii. Sifat kimia tanah.
2) Komponen Biologi:
a) Komunitas Vegetasi:

163
i. Komunitas biota;
ii. Struktur dan komposisi vegetasi;
iii. Produktivitas lahan pertanian;
b) Komunitas Satwa Liar:
i. Komunitas biota akuatik;
ii. Jenis dan populasi satwa Liar;
iii. Jenis satwa liar langka dan/atau dilindungi;
iv. Produktivitas budidaya perairan.
2. Daftar potensial dampak regional, misalnya adalah:
1) Komponen Fisik-Kimia:
a) Kualitas udara;
b) Hidrologi:
i Tinggi muka air tanah,
ii. Pola aliran dan debit sungai;
iii. Tinggi, lama dan frekuensi genangan/banjir;
iv. Kualitas air permukaan (sumur, sungai);
2) Komponen Biologi:
a) Komunitas Vegetasi;
b) Komunitas Satwa Liar;
3) Komponen Sosial Ekonomi dan Budaya:
a) Demografi/kependudukan;
i. Pertumbuhan;
ii. Mobilisasi, migrasi, urbanisasi;
iii. Sektor informal/multiplier effect;
b) Fasilitas sosial dan fasilitas umum;
c) Sarana dan prasarana perhubungan darat;
d) Sumber mata pencaharian;
e) Peluang bekerja dan berusaha;
f) Rekreasi dan pariwisata;
g) Kepemilikan tanah masyarakat setempat (tanah milik, tanah adat);
h) Perubahan gaya hidup dan tradisi masyarakat lokal;
i) Akulturasi dan asimilasi;
j) Pola konsumsi;
k) Pusat pertumbuhan baru dan ekonomi regional;
l) Persepsi masyarakat terhadap proyek.

Langkah 4
Di setiap tipe ekosistem menurut hasil langkah 2, identifikasikan fungsi ekosistem yang potensial terkena
dampak penting akibat adanya proyek.

Hasil Langkah 4
Diperoleh daftar fungsi untuk setiap tipe ekosistem yang potensial terkena dampak, yang diantaranya meliputi :
1. Bila ekosistem lahan basah yang terkena dampak, maka fungsi ekosistem yang akan terkena dampak misalnya
adalah :
1) Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air), yang berupa air bersih yang dapat langsung dimanfaatkan
oleh masyarakat dan/atau sebagai pemasok ke aquifer (groundwater recharge) dan lokasi lahan basah
lainnya;
2) Fungsi pengendalian air terutama pengendalian banjir;
3) Fungsi pencegah intrusi air laut ke air tanah dan/atau air permukaan;
4) Fungsi perlindungan terhadap kekuatan alam, yang berupa perlindungan garis pantai, pengendalian erosi,
dan pemecah angin (windbreak);
5) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen;
6) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara;
7) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-bahan beracun;
8) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekonomi, seperti: kayu, ikan, daging satwa liar, rotan, getah,
obat, dan gambut;
9) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekologi seperti: pasokan bahan anorganik dan organik dan
hara terlarut bagi wilayah hilir dan pasokan bagi ikan serta burung-burung migran;
10) Fungsi pemasok energi, seperti energi kayu dan listrik-hidro;
11) Fungsi transportasi/perhubungan;
12) Fungsi bank gen bagi spesies tumbuhan komersil dan populasi satwa Liar;
13) Fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi habitat satwa liar dan tumbuhan penting, komunitas,
ekosistem, dan lansekap lahan basah,
14) Fungsi rekreasi dan pariwisata;
15) Fungsi sosial budaya, berupa estetika lansekap, keagamaan dan spiritual serta peninggalan sejarah;
16) Fungsi sosial ekonomi, misalnya: berupa sumber mata pencaharian bagi penduduk setempat dan tanah
adat masyarakat setempat;
17) Fungsi penelitian dan pendidikan;
18) Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, seperti: proses ekologi, geomorfologi dan geologi, rosot karbon
(carbon sink) dan pencegahan perluasan tanah sulfat masam;

164
2. Bila ekosistem lahan kering yang terkena dampak, maka fungsi ekosistem yang akan terkena dampak misalnya
adalah :
1) Fungsi pemasok produksi pangan, seperti pangan beras, palawija, hortikultura, serta buah-buahan;
2) Fungsi pemasok produk alam, seperti bahan organik dan anorganik yang tertransportasi ke hilir, hara terlarut
yang terbawa ke hilir;
3) Fungsi produksi energi (kayu);
4) Fungsi transportasi/perhubungan;
5) Fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi, habitat satwa liar dan tumbuhan penting, komunitas,
ekosistem, dan lansekap;
6) Fungsi rekreasi dan pariwisata;
7) Fungsi sosial budaya, seperti estetika lansekap, keagamaan dan spiritual, dan peninggalan sejarah;
8) Fungsi sosial ekonomi, misalnya berupa sumber mata pencaharian bagi penduduk setempat dan tanah
adat masyarakat setempat;
9) Fungsi sosial budaya, berupa estetika lansekap, keagamaan dan spiritual, serta peninggalan sejarah;
10) Fungsi penelitian dan pendidikan;
11) Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, seperti proses ekologi, geomorfologi dan geologi, rosot karbon
(carbon sink) dan pencegahan perluasan tanah sulfat masam.

Langkah 5
a) Buat matrik dampak komponen yang pada bagian kolom memuat rencana usaha dan atau kegiatan proyek
(hasil langkah 1) dan pada bagian baris memuat komponen lingkungan atau struktur ekosistem (hasil langkah
3).
b) Buat matrik dampak ekosistem pada bagian kolom memuat rencana usaha dan atau kegiatan proyek (hasil
langkah 1) dan pada bagian baris memuat fungsi ekosistem (hasil langkah 4).
c) Masing-masing jenis matrik dibuat sebanyak jumlah tipe ekosistem menurut hasil langkah 2

Hasil langkah 5
a) Terbentuk matrik dampak komponen lingkungan atau struktur ekosistem seperti contoh pada Lampiran 3-1.
Matrik sebanyak jumlah tipe ekosistem menurut hasil Langkah 2.
b) Terbentuk matrik dampak fungsi ekosistem seperti contoh pada Lampiran 3-2. Matrik sebanyak jumlah tipe
ekosistem menurut hasil Langkah 2.

Langkah 6
Disetiap jenis matrik yang diperoleh dari hasil langkah 4 lakukan identifikasi dampak dengan cara:
Beri tanda “X” atau “V” atau simbol lainnya pada komponen lingkungan tertentu dan fungsi tertentu dari tipe
ekosistem yang potensial terkena dampak kegiatan tertentu dari proyek.

Hasil Langkah 6
Disetiap tipe ekosistem sebagaimana dimaksud hasil langkah 2, diperoleh daftar komponen lingkungan (struktur)
dan fungsi ekosistem yang potensial terkena dampak.

3.1.2 Evaluasi dampak potensial


Evaluasi dampak potensial dalam proses pelingkupan bertujuan untuk meniadakan dampak potensial yang
dianggap tidak relevan atau tidak penting, sehingga diperoleh daftar dampak penting hipotetis yang dipandang
perlu dan relevan untuk ditelaah secara mendalam dalam studi AMDAL. Berikut adalah langkah-langkah
yang dapat digunakan untuk memandu evaluasi dampak potensial:

Langkah 7
Gunakan Keputusan Kepala BAPEDAL tentang Pedoman Penentuan Dampak Besar dan Penting untuk
mengevaluasi penting tidaknya hasil langkah 6.

Hasil Langkah 7
Diperoleh daftar komponen lingkungan (struktur) dan fungsi ekosistem yang terkena dampak penting. Komponen
lingkungan yang terkena dampak penting dikelompokkan atas 2 (dua) kelompok, yakni (lihat pengelompokkan pada
hasil langkah 3):
a) Daftar dampak penting spesifik untuk masing-masing tipe ekosistem;
b) Daftar dampak penting untuk tingkat/skala regional.
Adapun untuk fungsi ekosistem yang terkena dampak penting, daftar dampak penting dikelompokkan menurut
masing-masing tipe ekosistem.

Langkah 8
Tetapkan dampak penting (hipotesis) yang akan diteliti secara mendalam dalam studi ANDAL

Hasil Langkah 8
Diperoleh daftar komponen lingkungan (struktur) dan fungsi ekosistem yang harus diteliti secara mendalam pada
studi ANDAL kawasan pengembangan permukiman terpadu, yakni yang meliputi:
a. Potensial terkena dampak penting proyek berdasarkan hasil langkah 7;
b. Tidak dapat di evaluasi sifat pentingnya berdasarkan hasil Langkah 7, karena data/informasi tentang komponen
lingkungan bersangkutan sangat terbatas.
Komponen lingkungan (struktur) dan fungsi ekosistem yang tidak terkena dampak penting tidak diteliti dalam studi
ANDAL.
165
3.1.3 Pemusatan dampak penting (Focussing)
Tujuan pemusatan dampak penting adalah untuk mengelompokkan dan mengorganisir dampak potensial
yang telah dirumuskan pada tahap evaluasi dampak potensial (butir 3.1.2.) dengan maksud agar diperoleh
isu-isu pokok lingkungan yang secara komprehensif dapat menggambarkan:
a) Keterkaitan antara rencana usaha dan/atau kegiatan proyek dengan komponen lingkungan yang akan
terkena dampak penting;
b) Keterkaitan antar dampak penting yang telah di identifikasi pada butir 3.1.2.

Langkah yang dapat ditempuh untuk memandu pemusatan dampak penting adalah sebagai berikut:

Langkah 9
Kelompokkan dampak penting hasil langkah 8 atas beberapa isu pokok lingkungan

Hasil langkah 9
Diperoleh beberapa isu pokok lingkungan yang merefleksikan perubahan-perubahan penting yang akan dialami
ekosistem sebagai akibat adanya proyek.

Catatan langkah 9 :
Dampak penting hasil langkah 8 dapat dikelompokkan ke dalam beberapa isu pokok lingkungan melalui :
- Pengelompokkan berdasarkan konsentrasi persebaran dampak penting di suatu lokasi; dan/atau
- Pengelompokkan berdasarkan struktur (komponen lingkungan) dan fungsi tertentu dari ekosistem yang terkena
dampak penting proyek.

Langkah 10
Urutkan isu-isu pokok lingkungan hasil langkah 9 menurut kepentingan dari segi ekonomi, sosial maupun
ekologi.

Hasil langkah 10
Diperoleh urutan isu-isu pokok Lingkungan berdasarkan kepentingan ekonomi, sosial dan ekologi.

3.2 PELINGKUPAN WILAYAH STUDI


Pelingkupan wilayah studi yang dikembangkan di sini mengacu pada Lampiran 1 Keputusan Menteri Negara
tentang Pedoman Umum Penyusunan AMDAL, dan lampiran II Keputusan Kepala Bapedal tentang Pedoman
Teknis Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan AMDAL.

Langkah 1
Buat batas proyek dengan cara:
a) Plotkan pada peta kerja yang tersedia, batas terluar kegiatan proyek dalam melakukan kegiatan pra-konstruksi,
konstruksi dan permukiman di kawasan pengembangan permukiman terpadu. Termasuk dalam hal ini
alternatif lokasi kegiatan proyek. Hasil langkah 1 dari butir 3.1.1. dapat digunakan untuk memandu hal ini.
b) Dalam batas proyek tersebut identifikasikan komunitas masyarakat dan/ atau lembaga-lembaga masyarakat
(social institutions) yang berpotensi berubah secara mendasar akibat adanya proyek.

Hasil Langkah 1
a) Diperoleh batas kegiatan proyek pengembangan permukiman terpadu di atas peta yang digunakan;
b) Di dalam batas proyek dimaksud teridentifikasi komunitas masyarakat atau lembaga-lembaga masyarakat yang
akan terkena dampak penting kegiatan proyek.

Catatan Langkah 1:
Yang dimaksud dengan batas proyek adalah ruang dimana suatu rencana usaha dan/atau kegiatan proyek akan
melakukan kegiatan pra-konstruksi, konstruksi dan operasi. Ruang kegiatan proyek ini merupakan sumber
dampak terhadap lingkungan di sekitarnya.

Langkah 2
Buat batas ekologis pada peta yang sama yang digunakan pada langkah 1 dengan cara :
a) Plotkan batas terjauh dari transportasi limbah proyek , melalui media air, terhadap ekosistem disekitarnya;
dan/atau
b) Plotkan batas terjauh atau lokasi-lokasi terjadinya perubahan fungsi ekosistem sebagai akibat adanya proyek
c) Gabungkan hasil langkah a) dan b) sehingga menghasilkan batas ekologis. Hasil langkah 2 sampai 4 dari
proses identifikasi dampak potensial, dapat memandu mengarahkan hal ini
d) Di dalam batas ekologis tersebut identifikasikan komunitas masyarakat dan/atau lembaga-lembaga
masyarakat yang berpotensi berubah secara mendasar akibat rusaknya sumber daya atom dan/atau
pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek pengembangan permukiman terpadu.

Hasil Langkah 2
a) Diperoleh batas ekologis di atas peta yang digunakan pada langkah 1;
b) Di dalam batas ekologis dimaksud teridentifikasi komunitas masyarakat atau lembaga-lembaga masyarakat
yang akan terkena dampak penting kegiatan proyek.

Catatan Langkah 2 :
Yang dimaksud dengan batas ekologis adalah ruang persebaran dampak dari kegiatan proyek menurut media
transportasi limbah (air dan udara) dan/atau menurut timbulnya kerusakan sumber daya alam, dimana proses-
proses alami yang berlangsung di dalam ruang tersebut diperkirakan akan mengalami perubahan mendasar.
166
Langkah 3
Buat batas sosial di atas peta yang sama yang digunakan pada langkah 1 dengan cara:
a) Plotkan lokasi komunitas masyarakat dan/atau lembaga-lembaga masyarakat sebagaimana dimaksud pada
hasil langkah 1 dan 2;
b) Plotkan lokasi komunitas masyarakat yang berada di luar batas proyek dan batas ekologis namun berpotensi
terkena dampak penting akibat proyek, misalnya: akibat aktivitas rekruitmen tenaga kerja, pembangunan
fasilitas umum dan fasilitas sosial.

Hasil Langkah 3
Diperoleh batas sosial di atas peta yang sama dengan yang digunakan pada langkah 1.

Catatan Langkah 3 :
Yang dimaksud dengan batas sosial adalah ruang di sekitar proyek yang merupakan tempat berlangsungnya
berbagai interaksi sosial yang mengandung norma dan nilai tertentu yang sudah mapan (termasuk sistem dan
struktur sosial), yang diperkirakan akan mengalami perubahan mendasar akibat proyek. Batas sosial dapat
menyebar di beberapa lokasi dan dapat lebih luas dari batas proyek atau batas ekologi.

Langkah 4
Buat batas administratif di atas peta yang sama yang digunakan pada langkah 1 dengan cara:
Plotkan batas-batas kewenangan tertentu untuk mengatur/mengelola sumber daya alam dan lingkungan tertentu
yang keabsahannya diakui oleh lembaga formal pemerintahan, lembaga non pemerintah dan/atau lembaga lokal
masyarakat setempat.

HasiL langkah 4
Diperoleh batas administratif di atas peta yang sama dengan yang digunakan pada langkah1.

Catatan langkah 4 :
Yang dimaksud dengan batas administratif adalah ruang dimana lembaga-lembaga masyarakat tertentu
mempunyai kewenangan tertentu untuk mengatur/mengelola sumber daya alam dan lingkungan tertentu
berdasarkan peraturan perundangan yang ada. Sebagai contoh adalah batas administratif pemerintahan daerah,
batas kuasa pertambangan, batas kawasan perkebunan, di dalam ruang tersebut masyarakat dapat secara
leluasa melakukan kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.

Langkah 5
Buat batas wilayah studi ANDAL di atas peta yang sama yang digunakan pada langkah 1 dengan cara:
a) Buat batas terluar dari gabungan batas proyek (hasil langkah 1), batas ekologi (hasil langkah 2), batas sosial
(hasil langkah 3), dan batas administratif (hasil langkah 4);
b) Tetapkan batas wilayah studi ANDAL dengan mempertimbangkan hasil kegiatan butir a) di atas dengan dana,
waktu, dan tenaga yang tersedia.

Hasil Langkah 5
Diperoleh wilayah studi ANDAL pada peta yang sama dengan yang digunakan pada langkah 1. Batas dimaksud
merupakan resultante dari batas kegiatan proyek batas ekologi, batas sosial, batas administratif, dan kendala teknis
yang dihadapi.

BAB IV. PENYUSUNAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP


4.1 OUTLINE/RANCANGAN STUDI
Outline penyusunan Kerangka Acuan ANDAL, studi ANDAL serta RKL dan RPL Kegiatan Pengembangan
Permukiman Terpadu yang dijelaskan dalam Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan ANDAL, studi ANDAL serta
RKL dan RPL, karena itu tidak dijelaskan tentang outline tersebut.

4.2 METODE STUDI


4.2.1 Macam data dan informasi yang dikumpulkan
Pada bagian ini diutarakan macam data dan informasi yang akan dikumpulkan dalam studi ANDAL
pengembangan permukiman terpadu, yakni yang meliputi:
a) Macam data dan informasi tentang rencana usaha dan/atau kegiatan proyek yang dikumpulkan dalam
studi ANDAL berdasarkan hasil proses pelingkupan sebagaimana dimaksud pada Bab III terdahulu;
b) Macam data dan informasi tentang struktur dan fungsi ekosistem permukiman terpadu, termasuk yang
tergolong terkena dampak penting, yang dikumpulkan dalam studi ANDAL berdasarkan hasil proses
pelingkupan sebagaimana dimaksud pada Bab III terdahulu.
Data yang dikumpulkan tersebut meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data
yang diperoleh langsung dari sumber data. Adapun data sekunder merupakan data yang diperoleh secara
tidak langsung dari sumber data.

4.2.2 Wilayah studi ANDAL pengembangan permukiman terpadu


Pada bagian ini dipaparkan wilayah studi ANDAL pengembangan permukiman terpadu dengan mengacu
pada hasil proses pelingkupan sebagaimana dimaksud pada Bab III terdahulu. Pada peta ini dicantumkan
pula lokasi pengamatan atau pengambilan contoh/sampel pada saat studi ANDAL dilaksanakan.

167
4.2.3 Metode pengumpulan dan analisis data
Data dan informasi tersebut dikumpulkan dan di analisis dengan maksud untuk:
a) mengetahui kondisi atau rona lingkungan hidup ekosistem permukiman terpadu sebelum proyek
dibangun;
b) memprakirakan besar dampak lingkungan yang akan dialami oleh struktur dan fungsi ekosistem
permukiman terpadu sebagai akibat adanya proyek dengan menggunakan hasil kegiatan butir a);
c) mengevaluasi dampak lingkungan dari proyek terhadap struktur dan fungsi ekosistem permukiman
terpadu secara holistik dengan menggunakan hasil kegiatan butir a) dan butir b).
Data primer dikumpulkan melalui metode survei. Adapun data sekunder diperoleh melalui pengumpulan
data dari pihak ketiga.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan metode pengumpulan dan analisis data adalah:
a) Untuk menghasilkan data yang berkualitas, maka akurasi dan kemantapan alat ukur merupakan hal
penting yang harus diperhatikan. Untuk itu metode atau instrumen yang bersifat sahih dan reliabel
merupakan pilihan utama yang harus digunakan;
b) Dampak penting yang diakibatkan oleh proyek pada umumnya tidak menyebar secara merata di seluruh
komponen ekosistem permukiman terpadu serta di seluruh kelompok atau lapisan masyarakat yang
terkena dampak. Variabilitas ini harus dapat diketahui oleh penyusun ANDAL;
c) Mengingat ekosistem di sekitar pengembangan permukiman terpadu yang dimaksud dalam panduan
ini merupakan ekosistem yang tergolong memiliki variabilitas dan heterogenitas yang tinggi, dan di lain
pihak dalam studi ANDAL diperlukan prakiraan dampak yang tajam maka dalam pengumpulan data
atau penarikan sampel perlu diperhatikan hal berikut:
- Metode penarikan contoh (sampling) yang digunakan harus disesuaikan dengan tujuan dan
efisiensi pengukuran, serta sifat dan karakter komponen Lingkungan yang diukur;
- Kejelasan satuan analisis yang akan diukur, misal untuk biologi pada tingkatan komunitas, untuk
aspek sosial berjenjang dari rumah tangga, kampung, desa hingga kecamatan sesuai dengan
parameter yang hendak diukur;
- Lokasi pengambilan sampel harus dapat mewakili heterogenitas persebaran dampak, yang
meliputi:
(1) daerah atau kelompok masyarakat yang diprakirakan akan terkena dampak; dan
(2) daerah atau kelompok masyarakat yang diprakirakan tidak akan terkena dampak sebagai
lokasi rujukan/pembanding (reference station);
- Saat pengambilan sampel harus dapat mewakili variabilitas harian, bulanan atau musiman;
d) Khusus untuk aspek sosial, data dan informasi yang dikumpulkan agar tidak hanya menggunakan
ukuran-ukuran yang bersifat penting dari sudut pandang pelaksana studi/pakar (etic) namun juga menurut
pandangan target group (kelompok/masyarakat sasaran) di sekitar rencana kegiatan (emic);
e) Kualitas data sekunder harus dicermati untuk itu diperlukan cross check dengan data lain yang diperoleh.

Contoh metode pengumpulan dan/atau analisis data yang digunakan oleh penyusun ANDAL dapat dilihat
pada Tabel 4-1 sampai Tabel 4-3.

4.2.4 Metode prakiraan dampak dan evaluasi dampak


Metode prakiraan dampak dan metode evaluasi dampak yang digunakan dalam studi ANDAL
pengembangan permukiman terpadu agar mengikuti panduan yang terdapat pada Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.

168
Tabel 4-1. Contoh metode pengumpulan dan analisis data aspek fisik kimia

Komponen Metode Pengumpulan Data Metode Keterangan


Lingkungan Parameter Metode Lokasi Analisis Data

• Suhu udara • Pengumpulan data • Pelabuhan Udara • Tabulasi data


Iklim • Kelembaban nisbi udara sekunder terdekat • Klasifikasi Schmith
• Kualitas udara • Pengukuran di • Stasiun & Ferguson,
lapangan (untuk Meteorologi Koppen dan
kualitas udara) terdekat. Oldeman

• Tinggi muka air tanah • Pengamatan Lapang • Sungai • Analisis Hidrograf


• Pola aliran dan debit • Pengukuran Lapang • Saluran Primer, • Pengukuran
Hidrologi sungai • Pengamatan Lapang Sekunder & Lapang
• Tinggi, lama, dan Tersier • Penilaian Ahli
frekuensi genangan/
banjir
• Kualitas air permukaan
(sumur, sungai)

• Warna • Pengukuran in situ • Sungai • Visual


Sifat fisik • Rasa dan bau • Pengambilan sampel air • Saluran Primer, • Organoleptik
air permukaan • Kekeruhan Sekunder & • Gravimetrik
• Padatan tersuspensi Tersier • Elektrometrik
• pH
• DHL

• DO • Titrasi • Sungai • Titrimetrik


Sifat kimia • BOD • Titrasi • Saluran Primer, • Titrimetrik
air permukaan • COD • Titrasi Sekunder & • Titrimetrik
• Kesadahan total • Titrasi Tersier • Titrimetrik
• Kalsium (Ca) • Spektrofotometrik
• Magnesium (Mg)
• Mangan (Mn)
• Karbonat (CO3)
• Nitrit (NO2)
• Nitrat (NO3)
• Sulfat (SO4)

Tanah • Fisiografi, litologi • Observasi Lapang • Lahan gambut • Penilaian Ahli


• Sifat fisik tanah • Pengeboran dan • Lahan rawa • Analisa laborato-
• Sifat kimia tanah pengambilan contoh rium

169
Tabel 4-2. Contoh metode pengumpulan dan analisis data aspek fisik biologi

Komponen Metode Pengumpulan Data Metode Keterangan


Parameter
Lingkungan Metode Lokasi Analisis Data

Komunitas • Komunitas biota • Transek • Hutan bakau • Penghitungan Indek


vegetasi • Struktur dan • Pengumpulan • Hutan rawa Nilai Penting (INP)
komposisi data sekunder • Hutan payau • Indek Keanekaragaman
vegetasi • Analisis vegetasi • Indek Keseragaman
• Observasi Je nis.
lapangan • Pemetaan Plasma
Nutfah.

Komunitas • Komunitas biota • Transek • Hutan bakau • Penghitungan


satwa liar almafile • Pengumpulan • Hutan rawa Indek Nilai Penting
• Jenis dan data sekunder • Hutan payau (INP)
populasi satwa • Analisis satwa • Indek keanekaragaman
liar liar • Indek keseragaman jenis
• Jenis satwa liar • Observasi • Tabulasi jenis satwa liar
langka dan/atau lapangan yang dilindungi
dilindungi

Tabel 4-3. Contoh metode pengumpulan dan analisis data aspek fisik sosial

Metode Pengumpulan Data Metode


Komponen Parameter
Analisis Data Keterangan
Lingkungan Metode Lokasi

Sosial • Demografi dan • Pengumpulan • Desa-desa/ • Tabulasi silang


ekonomi data Untuk
kependudukan pemukiman • Analisis deskriptif
sekunder. perekonomian
• Fasilitas sosial dan penduduk ter- dan tabulasi silang
fasilitas umum • Observasi dilakukan di pusat
dekat. • Penilaian ahli
lapang pusat kegiatan
• Sarana dan • Wilayah
• Wawancara perekonomian.
prasarana administrasi
perhubungan darat proyek.
• Sumber mata
pencaharian
• Peluang bekerja
dan berusaha
• Rekreasi dan pari-
wisata

Sosial • Kepemilikan tanah • Pengumpulan • Desa-desa/ • Tabulasi silang


budaya masyarakat data pemukiman • Analisis deskriptif
setempat (tanah sekunder. penduduk ter- dan tabulasi silang
milik, tanah adat) • Observasi dekat. • Penilaian ahli
• Perubahan gaya lapangan • Wilayah
hidup dan tradisi • Wawancara administrasi
masyarakat lokal dengan tokoh proyek.
• Akulturasi dan asi- masyarakat
miliasi dan ketua
• Pola konsumsi suku atau
• Persepsi adat.
masyarakat
terhadap proyek

170
4.3 URAIAN RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN
Dalam bagian ini deskripsi rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan kawasan permukiman terpadu
hendaknya diuraikan secara rinci dan sistematis. Hal-hal penting yang perlu dimuat antara lain adalah tentang
(sebagian diantaranya merujuk pada Bab III di depan):
(1) Aspek bentuk pengembangan permukiman terpadu:
a) menempel pada kota yang sudah ada (misal, Pondok Indah);
b) lepas namun terkait dengan kota yang sudah ada (misal, Depok);
c) mendukung kegiatan pertambangan (misal, Bontang, Tembagapura);
d) kota yang berdiri sendiri (misal, Palangka Raya);
e) merupakan kawasan siap bangun;
(2) Aspek konsepsi pengembangan permukiman terpadu, misal kota dibangun berdasarkan konsep kota bisnis,
kota wisata, atau kota ramah lingkungan;
(3) Aspek rencana daya tampung atau jumlah penghuni permukiman terpadu;
(4) Aspek jangka waktu pengembangan;
(5) Aspek rencana lokasi, yakni lokasi administratif dan rencana luas/skala permukiman terpadu;
(6) Aspek tata ruang mikro permukiman terpadu;
(7) Aspek manajemen kota/kelembagaan;
(8) Aspek kegiatan persiapan, konstruksi dan hunian permukiman terpadu. Perlu diketahui aspek kegiatan ini
tidak berjalan secara sekuensial serentak untuk seluruh kawasan permukiman terpadu. Oleh karena itu
kegiatan persiapan, konstruksi dan hunian sering dijumpai berlangsung secara paralel, sehingga
pembangunan permukiman terpadu dapat menelan waktu bertahun-tahun tergantung pada skala/luas kota
dan permintaan masyarakat. Kegiatan pembangunan dimaksud dideskripsikan dengan penekanan pada
pokok uraian berikut ini :
1) Kegiatan persiapan atau pra-konstruksi, yang meliputi:
a) Kegiatan survei;
b) Kegiatan pembebasan lahan;
2) Kegiatan konstruksi, yang meliputi:
a) Kegiatan pembangunan perumahan:
i. Pembangunan perumahan;
ii. Pemadatan, pengerasan, dan pembangunan jalan lingkungan;
iii. Penggalian saluran air;
iv. Pengalihan aliran air;
v. Penggalian/pembuatan jaringan air bersih, listrik dan telepon;
vi. Pembuatan tempat pembuangan sampah;
b) Kegiatan pembangunan tempat olah raga dan rekreasi:
i. Pembangunan gedung olah raga;
ii. Pembangunan lapangan golf;
iii. Pembuatan taman-taman kota dan tempat bermain;
iv. Penanaman tanaman (penghijauan/reklamasi);
c) Kegiatan pembangunan fasilitas perekonomian dan perdagangan:
i. Pembangunan pusat pertokoan dan perbelanjaan;
ii. Pembangunan pasar;
iii. Pembangunan pergudangan;
iv. Pembangunan terminal dan transport angkutan;
d) Kegiatan pembangunan industri kecil, misal:
i. Industri kulit (sepatu dan tas);
ii. Industri makanan;
iii. Industri mebel kayu dan rotan;
iv. Unit Pengolahan Limbah;
3) Kegiatan hunian, yang meliputi:
a) Kehidupan manusia sehari-hari dalam permukiman;
b) Kegiatan masyarakat dalam fasilitas sosial & fasilitas umum yang dibangun;
c) Perekonomian dan perdagangan;
d) Transportasi;
e) Olahraga dan rekreasi;
f) Pariwisata;
g) Pendidikan;
h) Industri kecil atau menengah;
l) Penunjang kesehatan masyarakat;
j) Ketertiban dan keamanan;
k) Seni budaya;
Dari berbagai jenis kegiatan yang diutarakan pada angka (7) usahakan dapat dipaparkan :
a) Disain teknik yang akan diaplikasikan. Mengingat studi ANDAL ini dilakukan saat proyek berada
pada tahap studi kelayakan, maka disain teknik yang diutarakan masih belum bersifat rinci/detil;
b) Alternatif lokasi, alternatif ruas jalan, atau alternatif disain teknik yang sedang ditelaah;
c) Jenis dan jumlah peralatan yang digunakan dalam kegiatan konstruksi;
d) Teknologi dan proses yang digunakan pada saat kegiatan hunian (misal sarana pengolahan air
limbah);
e) Tenaga kerja yang dicurahkan untuk kegiatan persiapan, konstruksi dan hunian.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL serta Pedoman Teknis
Penyusunan AMDAL (Sektoral) dapat digunakan sebagai rujukan untuk pengumpulan data dan informasi
tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dibangun.
4.4 RONA LINGKUNGAN HIDUP AWAL
Rona lingkungan yang diutarakan dalam studi ANDAL kegiatan di kawasan pembangunan permukiman terpadu
pada dasarnya harus dapat menggambarkan tentang:
a) struktur dari setiap tipe ekosistem permukiman terpadu yang potensial terkena dampak proyek terutama
komponen lingkungan yang akan terkena dampak penting sebagaimana dinyatakan pada butir 4.2.1;
b) fungsi dari setiap ekosistem permukiman terpadu yang potensial terkena dampak proyek terutama fungsi
lingkungan yang akan terkena dampak penting sebagaimana dinyatakan pada butir 4.2.1.

171
4.4.1 Struktur ekosistem permukiman terpadu
Pada bagian ini diutarakan struktur ekosistem permukiman terpadu saat proyek belum dibangun dan
beroperasi di daerah tersebut. Uraian disusun berdasarkan sistimatika sebagai berikut (yang diutarakan
di sini hanyalah contoh saja):
1. Komponen fisik-kimia
a) Iklim, yang meliputi:
i. Curah hujan;
ii. Suhu dan kelembaban nisbi udara;
iii. Panjang penyinaran matahari;
iv. Kecepatan angin;
b) Hidrologi, yang meliputi:
i. Tinggi dan elevasi muka air tanah;
ii. Debit sungai dan pola aliran;
iii. Tinggi, lama, dan frekuensi genangan/banjir;
iv. Kualitas air permukaan (sumur, sungai);
c) Tanah, yang meliputi:
i. Topografi;
ii. Sifat fisik tanah;
iii. Sifat kimia tanah;
2. Komponen biologi
a) Komunitas Vegetasi;
b) Komunitas Biota;
c) Struktur dan komposisi vegetasi;
d) Komunitas satwa liar;
e) Komunitas biota almafile;
f) Jenis dan populasi satwa liar;
g) Jenis satwa liar langka dan/atau dilindungi;
3. Komponen sosial ekonomi dan sosial budaya
a) Demografi dan kependudukan;
b) Fasilitas sosial dan fasilitas perhubungan darat;
c) Sumber mata pencaharian;
d) Peluang bekerja dan berusaha;
e) Rekreasi dan pariwisata;
f) Kepemilikan tanah masyarakat setempat (tanah milik, tanah adat)
g) Perubahan gaya hidup dan tradisi masyarakat lokal;
h) Akulturasi dan asimilasi;
i) Pola konsumsi;
j) Persepsi masyarakat terhadap proyek.
4.4.2 Fungsi ekosistem permukiman terpadu
Pada bagian ini diutarakan fungsi-fungsi yang masih dimiliki oleh ekosistem bersangkutan sebelum
proyek beroperasi di wilayah tersebut. Fungsi dimaksud berlaku untuk setiap tipe ekosistem yang strukturnya
mengalami perubahan sebagaimana dimaksud pada angka 4.4.1. Fungsi dimaksud adalah sebagai
berikut (yang diutarakan di sini hanyalah contoh saja):
I. Fungsi ekosistem lahan basah, yang diantaranya meliputi :
1) Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air), yang berupa:
a. Pemanfaatan langsung oleh masyarakat;
b. Ke lokasi lain:
- Pasokan air ke aquifer (groundwater recharge);
- Pasokan air ke permukiman terpadu lainnya;
2) Fungsi pengendalian air, terutama pengendalian banjir;
3) Fungsi pencegah intrusi air laut ke:
a. Air tanah;
b. Air permukaan;
4) Fungsi lindung (dari kekuatan alam), yang berupa:
a. Perlindungan garis pantai dan pengendalian erosi;
b. Pemecah angin (windbreak);
5) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen;
6) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara;
7) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-bahan beracun;
8) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekonomi, seperti:
a. Kayu;
b. Ikan dan daging satwa (misal, rusa);
c. Rotan, getah, dan obat;
d. Gambut;
9) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekologi, seperti:
a. Bahan organik dan anorganik yang tertransportasi ke hilir
b. Hara terlarut yang tertransportasi ke hilir;
c. Ikan dan burung-burung migran;
10) Fungsi pemasok energi, misal: energi dari kayu, listrik-hidro;
11) Fungsi transportasi/perhubungan;
12) Fungsi bank gen bagi:
a. Spesies-spesies tumbuhan komersil;
b. Populasi satwa liar;
13) Fungsi konservasi bagi:
a. Spesies langka dan dilindungi;

172
b. Habitat satwa liar dan tumbuhan penting;
c. Komunitas;
d. Ekosistem;
e. Lansekap atau jenis-jenis permukiman terpadu;
14) Fungsi rekreasi dan pariwisata;
15) Fungsi sosial budaya, yang diantaranya berupa:
a. Estetika lansekap;
b. Keagamaan dan spiritual;
c. Peninggalan sejarah;
16) Fungsi sosial ekonomi yang diantaranya meliputi:
a. Sumber mata pencaharian masyarakat setempat;
b. Tanah adat masyarakat setempat;
17) Fungsi penelitian dan pendidikan;
18) Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, yang antara lain berupa:
a. Proses ekologi, geomorfologi dan geologi;
b. Rosot karbon (carbon sink);
c. Pencegahan perluasan tanah sulfat masam;
II. Fungsi ekosistem lahan kering yang diantaranya meliputi:
1) Fungsi pemasok produk pangan, seperti :
a) makanan pokok (beras);
b) palawija dan hortikultura;
c) buah-buahan;
2) Fungsi pemasok produk alam, seperti:
a) bahan organik dan anorganik yang tertransportasi ke hilir;
b) hara terlarut yang tertransportasi ke hilir;
c) pasokan hara untuk ikan dan burung-burung migran;
3) Fungsi produksi energi (kayu);
4) Fungsi transportasi/perhubungan;
5) Fungsi konservasi bagi spesies:
a) Langka dan dilindungi;
b) habitat satwa liar dan tumbuhan penting;
c) komunitas;
d) ekosistem;
6) Fungsi rekreasi dan pariwisata;
7) Fungsi sosial budaya, seperti:
a) estetika lansekap;
b) keagamaan dan spirituil
c) peninggalan sejarah;
8) Fungsi sosial ekonomi, yang meliputi:
a) sumber mata pencaharian masyarakat setempat;
b) tanah adat masyarakat setempat;

4.5 PRAKIRAAN DAMPAK PENTING


Bab tentang prakiraan dampak penting yang diutarakan dalam studi ANDAL pengembangan permukiman terpadu
pada dasarnya harus dapat menggambarkan tentang:
1) Analisis prakiraan dampak hanya dilakukan pada komponen-komponen lingkungan yang potensial terkena
dampak penting sebagaimana dinyatakan pada angka 3.1.2 (Langkah 8: Komponen dampak penting yang
ditelaah ANDAL). Dengan kata lain analisis prakiraan dampak hanya ditujukan pada komponen-komponen
tertentu dari struktur ekosistem permukiman terpadu yang terkena dampak penting;
2) Analisis prakiraan dampak yang dimaksud pada angka 1) di atas meliputi kajian tentang arah dan besar
dampak yang akan terjadi di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak yang dimaksud oleh angka 3.1.1.
langkah 2;
3) Prakiraan terhadap besarnya dampak lingkungan yang timbul dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu:
a) metode formal, yang antara lain meliputi: model matematik dan metode grup eksperimen;
b) metode non-formal yang antara lain meliputi: penilaian para ahli dan metode analogi;
4) Sehubungan dengan proyek masih berada pada tahap studi kelayakan, dimana masih dilakukan pemilihan
alternatif kegiatan (misal alternatif lokasi dan/atau teknologi yang digunakan), maka prakiraan besar dampak
sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan 2) di atas dilakukan untuk masing-masing alternatif kegiatan;
5) Mengingat di kalangan komponen ekosistem terdapat keterkaitan dan ketergantungan yang tinggi, maka
dalam analisis prakiraan dampak (serta evaluasi dampak) perlu diperhatikan pola aliran dampak yang dapat
terjadi sebagai berikut:
a. Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen fisik-kimia kemudian menimbulkan rangkaian
dampak lanjutan berturut-turut terhadap komponen biologi dan sosial. Misalnya proyek mengakibatkan
erosi dan abrasi pantai yang kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan pada populasi biota
akuatik yang bernilai ekonomi tinggi, dan kemudian pada mata pencaharian penduduk setempat;
b. Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen biologi yang kemudian membangkitkan dampak
lanjutan pada komponen sosial.Sebagai misal, proyek mengakibatkan dampak negatif terhadap habitat
satwa liar (buruan) yang kemudian membangkitkan dampak lanjutan berupa menurunnya hasil
tangkapan berburu oleh penduduk;
c. Proyek langsung menimbulkan dampak pada salah satu komponen sosial dan kemudian berdampak
lanjutan di kalangan komponen sosial sendiri;
d. Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen biologi dan kemudian menimbulkan dampak
lanjutan terhadap komponen fisik-kimia dan sosial. Sebagai misal, proyek pengembangan permukiman
terpadu yang berlokasi di pantai akan mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove. Kerusakan pada
173
ekosistem mangrove ini menyebabkan kerusakan pada stabilitas pantai dan kemudian berdampak
lanjutan pada produksi tambak udang;
e. Dampak penting yang diutarakan seluruhnya pada huruf a) selanjutnya mengakibatkan dampak balik
pada kegiatan proyek. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan
AMDAL dan Keputusan Kepala Bapedal tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan
AMDAL, disarankan digunakan pula sebagai acuan untuk prakiraan dampak penting.

Untuk mencapai maksud tersebut penulisan pada Bab ini perlu dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Langkah 1:
Prakiraan dampak penting dengan cara:
prakiraan besar dampak untuk setiap komponen dampak lingkungan yang terdapat dalam angka 3.1.2., khususnya
Langkah 8: Komponen dampak penting yang ditelaah ANDAL.

Hasil langkah 1
Diperoleh prakiraan perihal besar (magnitude) dampak pada dua tingkat analisis yakni :
a) Tingkat ekosistem yang terkena dampak penting
Prakiraan besar dampak untuk setiap komponen lingkungan dari ekosistem (dengan kata lain struktur
ekosistem) yang dinyatakan terkena dampak penting menurut hasil langkah 8 dalam proses pelingkupan;
b) Tingkat dampak penting regional
Prakiraan besar dampak untuk setiap komponen lingkungan tingkat regional yang dinyatakan terkena dampak
penting menurut hasil langkah 8 dalam, proses pelingkupan.

Langkah 2
Lakukan hal yang sama seperti langkah 1 di atas untuk setiap alternatif kegiatan proyek menurut yang terdapat
dalam angka 3.1.1. khususnya langkah 1: Identifikasi rencana usaha dan/atau kegiatan proyek.

Hasil Langkah 2
Diperoleh prakiraan besar (magnitude) dampak yang akan dialami oleh setiap komponen dampak penting dari
setiap tipe ekosistem dan setiap alternatif tertentu usaha dan/atau kegiatan proyek.

4.6 EVALUASI DAMPAK PENTING


Penulisan bab Evaluasi Dampak Penting dimaksudkan untuk:
1) Mengevaluasi dampak berbagai alternatif kegiatan proyek secara komprehensif /holistik, berikut dengan arti
penting dari perubahan atau dampak tersebut dari sudut ekologi dan sosial, sebagai bahan masukan untuk
pengambilan keputusan atas kelayakan lingkungan dari proyek;
2) Memberi arahan untuk penyusunan program-program pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang akan
dituangkan dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan dokumen Rencana
Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).

Untuk mencapai maksud tersebut penulisan pada bab ini perlu diarahkan sebagai berikut:

Langkah 1:
Telaah secara komprehensif seluruh dampak penting yang dialami oleh struktur sistem, baik tingkat ekosistem
maupun regional, sebagai akibat alternatif usaha dan/atau kegiatan tertentu, dengan cara:
a) telaah fenomena hubungan sebab-akibat yang potensial terjalin di kalangan seluruh komponen dampak
penting tingkat ekosistem, yang tercantum pada angka 4.5. (hasil langkah 2), berikut dengan penyebab
utama perubahan tersebut;
b) telaah fenomena hubungan sebab-akibat yang potensial terjalin di kalangan seluruh komponen dampak
penting tingkat ekosistem regional, yang tercantum pada angka 4.5. (hasil langkah 2), berikut dengan penyebab
utama perubahan tersebut;
c) telaah arti penting dari perubahan yang dimaksud pada huruf a) tersebut dengan menggunakan Keputusan
Kepala BAPEDAL tentang Pedoman Penentuan Dampak Besar dan Penting.

Hasil langkah 1
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak menurut alternatif tertentu dari proyek diperoleh sintesis komprehensif
perihal :
a) fenomena perubahan struktur ekosistem akibat adanya alternatif tertentu dari proyek, berikut dengan penyebab
utama perubahan tersebut;
b) arti penting dari berubahnya struktur ekosistem lahan basah dimaksud.

Catatan langkah 1 :
Penelaahan secara komprehensif fenomena hubungan sebab akibat dan penyebab utama perubahan struktur
ekosistem dapat dilakukan melalui metode matrik (misal, matrik Leopold), metode Daftar Uji Berkala dengan
Pembobotan (misal, Environmental Evaluation System), dan/atau metode bagan alir.

Langkah 2
Telaahan secara komprehensif sejauh mana perubahan struktur ekosistem dan regional yang dimaksud pada
langkah 1 berpengaruh terhadap fungsi ekosistem dan ekonomi regional dengan cara:
a) telaah sejauh mana fungsi-fungsi ekosistem yang tercantum pada angka 3.1.1 (yakni langkah 4 proses
pelingkupan), dan yang tercantum pada angka 4.4.2. (yakni rona lingkungan hidup awal) akan berubah secara
mendasar.
b) telaah sejauh mana fungsi-fungsi ekonomi regional akan berubah secara mendasar akibat adanya proyek
pengembangan permukiman terpadu.
c) telaah arti penting dari perubahan yang dimaksud pada huruf a) dan b) tersebut dengan menggunakan
Keputusan Kepala BAPEDAL tentang Pedoman Penentuan Dampak Besar dan Penting.

174
Hasil langkah 2
Diperoleh sintesis komprehensif perihal fungsi ekosistem dan regional yang terkena dampak penting menurut
alternatif tertentu dari proyek, dengan fokus pada :
a) fenomena perubahan fungsi ekosistem dan ekonomi regional akibat adanya alternatif tertentu dari proyek;
b) arti penting dari berubahnya fungsi ekosistem dan ekonomi di kawasan permukiman terpadu dimaksud.

Langkah 3
Telaah kelayakan lingkungan dari usaha dan/atau kegiatan proyek, dengan cara:
a) Untuk setiap alternatif usaha dan/atau kegiatan proyek, lakukan telaahan sejauh mana dampak penting yang
ditimbulkan terhadap (i) struktur dan fungsi ekosistem, serta (ii) struktur dan fungsi ekonomi regional,
sebagaimana dimaksud pada langkah 1 dan 2, memenuhi Pasal 22 PP Nomor 27 Tahun 1999.
b) Bila seluruh alternatif usaha dan/atau kegiatan proyek memenuhi Pasal 22 PP Nomor 27 Tahun 1999, maka
pilih alternatif yang paling minimum menimbulkan dampak penting negatif terhadap kehidupan ekosistem
dan ekonomi regional di kawasan permukiman terpadu.

Hasil langkah 3
Diperoleh informasi perihal alternatif kegiatan proyek yang layak dari segi lingkungan hidup.

Langkah 4
Dari alternatif usaha dan/atau kegiatan proyek yang layak dari segi lingkungan, rumuskan arahan untuk RKL dan
RPL dengan prioritas pada pencegahan dampak lingkungan.

Hasil Langkah 4
Diperoleh langkah-langkah strategis untuk:
a) mencegah dan menanggulangi dampak penting negatif serta meningkatkan dampak positif sebagai arahan
untuk penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL);
b) memantau dampak penting negatif sebagai arahan untuk penyusunan dokumen Rencana Pemantauan
Lingkungan Hidup (RPL).

BAB V. PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL) DAN RENCANA PEMANTAUAN
LINGKUNGAN HIDUP (RPL)

5.1 RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL)


5.1.1 Lingkup dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dokumen RKL, dalam pengertian generik, merupakan dokumen yang memuat upaya, program dan/
atau upaya-upaya untuk mencegah, mengendalikan dan menanggulangi dampak penting lingkungan
yang bersifat negatif dan meningkatkan dampak positif yang timbul sebagai akibat dari proyek.
Dalam pengertian tersebut upaya atau program pengelolaan lingkungan di kawasan pengembangan
permukiman terpadu tersebut mencakup empat kelompok aktifitas, yakni:
a) Pengelolaan lingkungan yang tujuan utamanya adalah untuk mencegah timbulnya dampak penting
yang bersifat negatif di saat pra-konstruksi, konstruksi, maupun penempatan permukiman pada
kawasan permukiman terpadu, misalnya melalui pemilihan lokasi atau teknologi yang dapat
mencegah rusaknya fungsi-fungsi tertentu ekosistem di rencana kawasan pengembangan
permukiman terpadu. Sehubungan dengan hal tersebut, pencegahan dampak negatif merupakan
prioritas utama mengingat dampak yang timbul bersifat kompleks;
b) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk memanfaatkan ulang (reuse), mendaur ulang
(recycle), dan/atau mengurangi (reduce) dampak penting yang bersifat negatif bila upaya, program
atau tindakan yang dimaksud pada huruf a) dari sudut ekonomi, teknologi dan sosial tidak
memungkinkan atau sulit untuk ditempuh;
c) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi-fungsi alami dari ekosistem
dan kondisi fisik kawasan permukiman terpadu sehingga proyek memberi dampak positif yang
tidak hanya pada manfaat ekonomi saja;
d) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk memulihkan atau merehabilitasikan fungsi-fungsi
tertentu ekosistem yang terkena dampak penting negatif dari proyek sebagai kompensasi terhadap
rusak atau hilangnya fungsi-fungsi tersebut di saat pra-konstruksi, konstruksi dan penempatan
permukiman.
Keempat bentuk pengelolaan lingkungan tersebut pada dasarnya merupakan upaya, program atau
tindakan untuk mencegah, menanggulangi dan mengendalikan kerusakan komponen lingkungan
atau struktur ekosistem dan kondisi fisik lokasi pengembangan. Dengan dicegah/ditanggulanginya
kerusakan struktur maka fungsi ekosistem juga dapat dicegah/ditanggulangi dari kerusakan akibat
proyek.

5.1.2 Kedalaman dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup


Mengingat dokumen AMDAL merupakan bagian dari studi kelayakan, maka yang termuat dalam
dokumen RKL adalah berupa pokok-pokok arahan, prinsip-prinsip atau persyaratan untuk
melaksanakan upaya, program atau tindakan-tindakan yang diprioritaskan pada pencegahan dampak
penting yang bersifat negatif. Bila dipandang perlu dapat dilengkapi dengan acuan literatur tentang
rancang bangun untuk pencegahan dan pengendalian dampak. Lebih lanjut pada Lampiran III
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL dipaparkan
alasan yang melatarbelakangi kedalaman dokumen RKL.

5.1.3 Struktur inti dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup


Inti dokumen RKL termuat butir yang memuat enam aspek berikut ini:

175
a) Komponen Lingkungan terkena dampak penting yang dikelola;
b) Tujuan pengelolaan lingkungan;
c) Upaya pengelolaan lingkungan;
d) Waktu dan periode pengelolaan lingkungan;
e) Pembiayaan pengelolaan lingkungan;
f) Institusi pengelolaan lingkungan.
Perlu diperhatikan bahwa enam aspek pengelolaan lingkungan tersebut diterapkan untuk setiap kegiatan
pengembangan permukiman terpadu yang terkena dampak penting sebagaimana dimaksud pada
angka 4.6. dari Bab IV di muka, yakni Bab Evaluasi dampak dari dokumen ANDAL.
a. Komponen Lingkungan terkena dampak penting yang dikelola
Pada butir ini utarakan secara singkat komponen lingkungan yang terkena dampak penting berikut
dengan penyebabnya (menurut hasil ANDAL), yang dipandang strategis untuk dikelola di suatu
kegiatan pengembangan permukiman terpadu. Komponen Lingkungan tersebut strategis untuk
dikelola berdasarkan pertimbangan:
a) Komponen lingkungan yang dikelola merupakan isu pokok lingkungan sebagaimana
dimaksud oleh hasil pelingkupan pada angka 3.1.2. langkah 10, dan terkena dampak penting
sebagaimana yang ditelaah pada angka 4.5. Prakiraan dampak penting;
b) Dampak penting yang dikelola adalah yang tergolong banyak menimbulkan dampak penting
turunan (dampak sekunder, tersier, kuarter dan selanjutnya) dan/atau yang banyak
menimbulkan dampak penting pada fungsi ekosistem di kawasan pengembangan
permukiman terpadu, sehingga bila dicegah/ditanggulangi akan membawa pengaruh lanjutan
pada dampak penting turunannya.
Pada bagian ini sekaligus diutarakan pula penyebab timbulnya dampak penting. Penyebab dampak
penting dimaksud dapat mengacu pada bab prakiraan dampak dan bab evaluasi dampak dari
dokumen ANDAL sebagaimana tercantum pada angka 4.5. dan angka 4.6. di muka.
b. Tujuan pengelolaan lingkungan
Pada bagian ini utarakan secara spesifik tujuan dikelolanya dampak penting pengembangan
permukiman terpadu berikut dengan dampak turunannya yang secara simultan akan turut tercegah/
tertanggulangi (keterkaitan inter ekosistem).
Pernyataan tujuan pengelolaan lingkungan hidup dapat merujuk pada Lampiran III Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
c. Pengelolaan lingkungan
Pada butir ini hendaknya diuraikan secara jelas upaya-upaya, program atau tindakan untuk
mencegah, menanggulangi dan mengendalikan dampak negatif penting serta berbagai upaya
untuk mengembangkan dampak positif penting akibat kegiatan proyek.
Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang diutarakan harus berciri sebagai
berikut:
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang dijalankan akan dapat mencapai
tujuan pengelolaan lingkungan yang tercantum pada huruf c).
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang dijalankan merupakan
kombinasi dari tiga pendekatan: teknologi, ekonomi atau kelembagaan. Jika upaya
pengelolaan lingkungan dilakukan melalui pendekatan teknologi, maka sedapat mungkin
dituangkan disain teknologinya.
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang dijalankan bermuara pada
dilindungi atau dipertahankannya fungsi-fungsi ekosistem permukiman terpadu.
d. Waktu dan lokasi pengelolaan
Pada butir ini hendaknya dijelaskan tentang waktu dan lokasi pengelolaan lingkungan dengan
memperhatikan sifat dampak penting yang dikelola (lama dampak berlangsung, sifat kumulatif,
berbalik tidaknya dampak) sebagaimana telah diutarakan pada angka 4.5. Lokasi pengelolaan
lingkungan sejauh mungkin dilengkapi pula dengan peta/sketsa/gambar.
e. Pembiayaan pengelolaan lingkungan
Pembiayaan untuk pengelolaan lingkungan bersumber dari pemrakarsa proyek. Biaya dimaksud
antara lain meliputi: biaya investasi, biaya operasi dan biaya pendidikan serta pelatihan ketrampilan
operasional.
f. Institusi pengelolaan lingkungan
Uraian pada butir ini hendaknya mengacu pada makna yang terkandung dalam lampiran II Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.

5.2 RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)


5.2.1 Lingkup dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan lingkungan dapat digunakan untuk memahami fenomena-fenomena perubahan lingkungan
yang terjadi mulai dari tingkat sekitar proyek, sampai ke tingkatan ekosistem, kawasan, atau bahkan
regional, tergantung pada skala kepentingan atau keacuhan terhadap isu lingkungan yang timbul.
Pada ekosistem permukiman terpadu pemantauan lingkungan setidaknya harus mampu memantau
perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar proyek dan di tingkatan ekosistem permukiman terpadu yang
terkena dampak.
Pemantauan merupakan kegiatan yang berorientasi pada data, sistematik, berulang dan terencana. Dengan
demikian kegiatan pemantauan sangat berbeda dengan pengamatan yang bersifat acak dan sesaat.
Tujuan utama dari dokumen RPL adalah sebagai pedoman untuk melaksanakan upaya pemantauan
lingkungan, sehingga RKL dapat dijamin terlaksana secara efektif serta untuk mendeteksi perubahan-
perubahan yang tidak terduga pada komponen lingkungan/struktur dan fungsi ekosistem permukiman
terpadu.

176
5.2.2 Kedalaman dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Kedalaman yang diinginkan dokumen RPL mengacu pada angka 2 Lampiran Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.

5.2.3 Struktur inti dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup


Struktur inti dokumen RPL pada dasarnya harus mencakup:
a) Dampak penting dan indikator yang dipantau;
b) Tolok ukur dampak;
c) Tujuan pemantauan lingkungan;
d) Metode pemantauan lingkungan (meliputi metode pengumpulan dan analisa data, lokasi dan jangka
waktu serta frekuensi pemantauan)
e) Pembiayaan pemantauan lingkungan;
f) Institusi pemantauan
Perlu diperhatikan bahwa enam aspek pemantauan lingkungan tersebut diterapkan untuk setiap kegiatan
permukiman terpadu yang terkena dampak penting sebagaimana dimaksud pada angka 4.5. dan 4.6.
yakni bab prakiraan dampak penting dan bab evaluasi dampak penting dari dokumen ANDAL.
a. Dampak penting dan indikator yang dipantau
Pada butir ini utarakan secara singkat komponen lingkungan yang terkena dampak penting berikut
dengan penyebabnya (menurut hasil ANDAL), yang dipandang strategis untuk dipantau di suatu
kawasan pengembangan permukiman terpadu. Komponen lingkungan tersebut strategis untuk
dikelola berdasarkan pertimbangan:
a) Komponen lingkungan yang dipantau hanyalah komponen yang terkena dampak penting.
Dengan demikian tidak seluruh komponen lingkungan harus dipantau. Hal-hal yang
dipandang tidak penting atau tidak relevan tidak perlu dipantau;
b) Komponen lingkungan yang dipantau mencerminkan isu pokok lingkungan sebagaimana
dimaksud oleh hasil pelingkupan pada angka 3.1.2. Langkah 10, dan terkena dampak penting
sebagaimana yang ditelaah pada angka 4.5. Prakiraan dampak penting dan angka 4.6.
Evaluasi dampak penting;
c) Dampak penting yang dipantau adalah yang tergolong banyak menimbulkan dampak penting
turunan (dampak sekunder, tersier, kuarter dan selanjutnya) dan/atau yang banyak
menimbulkan dampak penting pada fungsi ekosistem permukiman terpadu, sehingga dapat
mencerminkan efektivitas pengaruh pengelolaan lingkungan terhadap dampak penting
turunannya;
d) Komponen lingkungan yang dipantau mencerminkan kelangsungan fungsi-fungsi tertentu
dari ekosistem yang terkena dampak penting sebagaimana dimaksud pada bab evaluasi
dampak dari dokumen ANDAL (angka 4.5. Langkah 2).
Pada bagian ini juga diutarakan indikator dari komponen dampak penting yang dipantau. Indikator
adalah alat pemantau (sesuatu) yang dapat memberikan petunjuk atau keterangan tentang suatu
kondisi. Semisal, indikator yang relevan untuk kualitas air sungai (komponen lingkungan yang
terkena dampak penting) adalah BOD, suhu, warna, bau, kandungan minyak terlarut.
b. Tolok ukur dampak
Pada butir ini jelaskan tolok ukur dampak yang digunakan untuk menyatakan suatu komponen
lingkungan terkena dampak kegiatan tertentu (proyek, sebagai misal). Tolok ukur dampak yang
dimaksud di sini dapat berupa baku mutu limbah cair, baku mutu lingkungan, keputusan pakar
yang dapat diterima secara ilmiah, atau ketetapan resmi suatu instansi.
c. Tujuan pemantauan lingkungan
Pada bagian ini utarakan secara spesifik tujuan dipantaunya dampak penting berikut dengan
memperhatikan dampak penting yang dikelola, upaya/program/tindakan pengelolaan lingkungan,
serta dampak turunan yang secara simultan akan turut tercegah/ tertanggulangi (keterkaitan inter
ekosistem).
Pernyataan tujuan pemantauan lingkungan dapat merujuk pada Lampiran IV Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
d. Metode pemantauan lingkungan
Uraian pada butir ini merujuk ada Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Penyusunan AMDAL.
e. Pembiayaan pemantauan lingkungan
Pembiayaan untuk kegiatan pemantauan lingkungan bersumber dari pemrakarsa proyek. Biaya
dimaksud antara lain meliputi: biaya investasi, biaya operasi dan biaya pendidikan serta pelatihan
ketrampilan operasional bagi para karyawan.
f. Institusi pemantauan lingkungan
Uraian pada butir ini hendaknya mengacu pada makna yang terkandung dalam Lampiran IV
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH,

ttd

Nadjib Dahlan, SH
177
Lampiran 3-1. Matriks Interaksi Dampak Kegiatan Proyek dengan Komponen Lingkungan

Kegiatan Proyek
1 2 3
Komponen Lingkungan a b a b c d e f g h i j
i ii iii iv v vi i ii iii iv i ii iii iv

1. Komponen Fisik Kimia


a). Iklim
i. Suhu udara
ii. Kelembaban nisbi udara
b). Kualitas udara
c). Hidrologi
i. Tinggi muka air tanah
ii. Pola aliran dan debit air sungai
iii. Tinggi, lama dan frekuensi genangan/banjir
iv. Kualitas air permukaan (sumur, sungai)
d). Tanah
i. Topografi
ii. Sifat fisik tanah
iii. Sifat kimia tanah
2. Komponen Biologi
a). Komunitas vegetasi
i. Komunitas biota

178
ii. Struktur dan komposisi vegetasi
b). Komunitas satwa liar
i. Komunitas biota almafile
ii. Jenis dan populasi satwa liar
iii. Jenis satwa liar langka dan/atau dilindungi

Keterangan:
1. Kegiatan 2. Kegiatan Konstruksi 3. Kegiatan Pemukiman PemukimanTerpadu
pra-konstruksi
a. Kegiatan survei Kegiatanpembangunan Kegiatanpembangun- Kegiatanpembangu- Kegiatanpembangun- Keg. kehidup- Keg. sosial ma- Keg.Pereko- Kegiatan trans- Kegiatan olah
b. Kegiatan pembe- perumahan nan tempat olah raga nan fasilitas pereko- nan industri kecil an manusia se- syarakat dalam nomian dan portasi raga dan
basan lahan dan rekreasi nomian dan perda- hari-hari dalam fasilitas sosial perdagangan rekreasi
gangan pemukiman yang dibangun
i. Pemb.perumahan i. Pemb.gedung i. Pemb.pusat Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan ketertiban
ii. Pemadatan, i. Industri kulit Kegiatan
olah raga pertokoan, & pendidikan industri kecil penunjang dan keamanan
pengerasan, (sepatu dan tas) pariwisata.
ii. Pemb. lapangan perbelanjaan dan maupun kesehatan
pembangunan ii. Industri makanan
jalan lingkungan golf ii. Pemb.pasar kebudayaan industri besar masyarakat
iii.Industri mebel
iii. Penggalian saluran air iii.Pembuatan iii.Pembangunan
kayu dan rotan
iv.Penggalian aliran air taman taman pergudangan
v. Penggalian jaringan iv.Unit pengolahan
kota & taman iv.Pemb. terminal
air bersih, listrik , limbah
bermain &transportasi
telpon
vi.Pembuatan TPA iv.Penghijauan/ darat
reklamasi
Lampiran3-1.(Lanjutan)
Kagiatan Proyek
1 2 3
Komponen Lingkungan a b a b c d e f g h i j
i ii iii iv v vi i ii iii iv i ii iii iv

3. Komponen Sosial Ekonomi dan Budaya


a). Demografi dan Kependudukan
b). Fasilitas umumdan fasilitas sosial
c). Sarana dan prasarana perhubungan darat
d). Sumber mata pencaharian
e). Peluang bekerja dan berusaha
f). Rekreasi dan pariwisata
g). Kepemilikan tanah masyarakat setempat (tanah milik dan
tanah adat)
h). Perubahan gaya hidup dan tradisi masyarakat lokal
i). Akulturasi dan asimilasi
j). Pola konsumsi
k). Persepsi masyarakat terhadap proyek

Keterangan:
1. Kegiatan 2. Kegiatan Konstruksi 3. Kegiatan Pemukiman PemukimanTerpadu

179
pra-konstruksi
a. Kegiatan survei Kegiatanpembangunan Kegiatanpembangun- Kegiatanpembangu- Kegiatanpembangun- Keg. kehidup- Keg. sosial ma- Keg.Pereko- Kegiatan trans- Kegiatan olah
b. Kegiatan pembe- perumahan nan tempat olah raga nan fasilitas pereko- nan industri kecil an manusia se- syarakat dalam nomian dan portasi raga dan
basan lahan dan rekreasi nomian dan perda- hari-hari dalam fasilitas sosial perdagangan rekreasi
gangan pemukiman yang dibangun
i. Pemb.perumahan i. Pemb.gedung i. Industri kulit Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan ketertiban
ii. Pemadatan, i. Pemb.pusat
pengerasan, olah raga pertokoan, & (sepatu dan tas) pariwisata. pendidikan dan industri penunjang dan keamanan
pembangunan ii. Pemb. lapangan perbelanjaan ii. Industri makanan kebudayaan kecil kesehatan
jalan lingkungan golf ii. Pemb.pasar iii.Industri mebel maupun masyarakat
iii.Penggalian saluran iii.Pembuatan iii.Pembangunan kayu dan rotan industri
air taman-taman
iv.Penggalian aliran air pergudangan iv.Unit pengolahan besar
v. Penggalian jaringan kota & taman iv.Pemb. terminal limbah
air bersih,listrik , bermain &transportasi
telpon iv.Penghijauan/ darat
vi.Pembuatan TPA reklamasi
Lampiran3-2MatrikInteeraksiDampakKegiatanProyekdenganFungsiEkosistemKawasanPengembanganPemukimanTerpaduuntukTipeEkosistem:Lahanbasahdanlahankering

Kegiatan Proyek
1 2 3
Fusngsi EkosistemKawasan Pengembangan Pemukiman Terpadu a b a b c d e f g h i j
i ii iii iv v vi i ii iii iv i ii iii iv

A. EkosistemLahanBasah
1. Fungsipemasokair(kualitasdankuantitasair),yangberupaair
bersihyangdapatlangsungdimanfaatkanolehmasyarakat
dan/atausebagaipemasokkeaquifer(groundwaterrecharge),
lokasilahanbasahlainnya.
2. Fungsipengedalianair,terutamapengendalianbanjir
3. Fungsipencegahintrusiairlautkeairtanahdan/atauair
permukaan
4. Fungsiperlindunganterhadapkekuatanalam,yangberupa
perlindungangarispantai,pengendalianerosi,danpemecah
angin(windbreak)
5. Fungsipenangkapandan/ataupengendapansedimden
6. Fungsipenangkapandan/ataupengendapanunsurhara
7. Fungsipenangkapandan/ataupengendapanbahan-bahanberacun
8. Fungsipemasokbahan-bahanyangbernilaiekonomi,seperti
kayu,ikandandagingsatwaliar,rotan,getah,obat,dangambut
9. Fungsipemasokbahan-bahanyangbernilaiekologiseperti,

180
pasokanbahananorganikdanorganikdanharaterlarutbagi
wilayahhilirdanbagiikansertaburung-burungmigran.

Keterangan:
1. Kegiatan 2. Kegiatan Konstruksi 3. Kegiatan Pemukiman PemukimanTerpadu
pra-konstruksi
a. Kegiatan survei Kegiatanpembangunan Kegiatanpembangun- Kegiatanpembangu- Kegiatanpembangun- Keg. kehidup- Keg. sosial ma- Keg.Pereko- Kegiatan trans- Kegiatan olah
b. Kegiatan pembe- perumahan nan tempat olah raga nan fasilitas pereko- nan industri kecil an manusia se- syarakat dalam nomian dan portasi raga dan
basan lahan dan rekreasi nomian dan perda- hari-hari dalam fasilitas sosial perdagangan rekreasi
gangan pemukiman yang dibangun
i. Pemb.perumahan i. Pemb.gedung i. Pemb.pusat i. Industri kulit Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan
ii. Pemadatan, olah raga pertokoan, & (sepatu dan tas) pariwisata. pendidikan industri kecil penunjang ketertiban
pengerasan,
pembangunan ii. Pemb. lapangan perbelanjaan ii. Industri makanan dan maupun kesehatan dan
jalan lingkungan golf ii. Pemb.pasar iii.Industri mebel kebudayaan industri besar masyarakat keamanan
iii.Penggalian saluran iii.Pembuatan iii.Pembangunan kayu dan rotan
air taman-taman pergudangan iv.Unit pengolahan
iv.Penggalian aliran kota & taman iv.Pemb. terminal limbah
air
v. Penggalian jaringan bermain &transportasi
air bersih,listrik , iv.Penghijauan/ darat
telpon reklamasi
vi.Pembuatan TPA
Lampiran3-2(lanjutan)

Kegiatan Proyek
1 2 3
Fusngsi EkosistemKawasan Pengembangan Pemukiman Terpadu a b a b c d e f g h i j
i ii iii iv v vi i ii iii iv i ii iii iv

B. EkosistemLahan Kering, yang meliputi ekosistempertanian


sawah, ekosistem pertanian lahan kering, dan ekosistem
hutan (yang berstatus konservasi)
1. Fungsi pemasok produk alam, seperti makanan pokok
(beras), palawija dan hortikultura, serta buah-buahan
2. Fngsi pemasok produk alam, seperti bahan organik dan
anorganik yang tertransportasi ke hilir, hara terlarut yang
tertransportasi ke hilir, serta ikan dan burung-burung migran.
3. Fungsi produksi energi (kayu)
4. Fungsi transportasi/perhubungan
5. Fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi, habitat
satwa liar dan tumbuhan penting, komunitas, ekosistem, dan
lansekap
6. Fungsi rekreasi dan pariwisata
7. Fungsisosialbudaya sepertiestetikalansekap,keagamaan
dan spiritual, dan peninggalan sejarah
8. Fungsi sosial ekonomi misalnya berupa sumber mata

181
pencaharian masyarakat setempat dan tanah adat masyarakat
setempat
9. Fungsi pemukiman masyarakat

Keterangan:
1. Kegiatan 2. Kegiatan Konstruksi 3. Kegiatan Pemukiman PemukimanTerpadu
pra-konstruksi
a. Kegiatan survei Kegiatanpembangunan Kegiatanpembangun- Kegiatanpembangu- Kegiatanpembangun- Keg. kehidup- Keg. sosial ma- Keg.Pereko- Kegiatan trans- Kegiatan olah
b. Kegiatan pembe- perumahan nan tempat olah raga nan fasilitas pereko- nan industri kecil an manusia se- syarakat dalam nomian dan portasi raga dan
basan lahan dan rekreasi nomian dan perda- hari-hari dalam fasilitas sosial perdagangan rekreasi
gangan pemukiman yang dibangun
i. Pemb.perumahan i. Pemb.gedung i. Pemb.pusat i. Industri kulit Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan
ii. Pemadatan, olah raga pertokoan, & (sepatu dan tas) pariwisata. pendidikan industri penunjang ketertiban
pengerasan,
pembangunan ii. Pemb. lapangan perbelanjaan ii. Industri makanan dan kecil kesehatan dan
jalan lingkungan golf ii. Pemb.pasar iii.Industri mebel kebudayaan maupun masyarakat keamanan
iii.Penggalian saluran iii.Pembuatan iii.Pembangunan kayu dan rotan industri
air taman-taman pergudangan iv.Unit pengolahan besar
iv.Penggalian aliran kota & taman iv.Pemb. terminal limbah
air
v. Penggalian jaringan bermain &transportasi
air bersih, listrik , iv.Penghijauan/ darat
telpon reklamasi
vi.Pembuatan TPA
Lampiran3-2(lanjutan)

Kegiatan Proyek
1 2 3
Fusngsi EkosistemKawasan Pengembangan Pemukiman Terpadu a b a b c d e f g h i j
i ii iii iv v vi i ii iii iv i ii iii iv

10. Fungsi produksi energi, seperti energi kayu, listrik-hidro


11. Fungsi transportasi/perhubungan
12. Fungsi bank gen bagi spesies tumbuhan komersil dan populasi
satwa liar
13. Fungsi konservatif bagi spesies langka dan dilindungi, habitat
satwa liar dan tumbuhan penting, komunitas, ekosistem dan
lansekap lahan basah
14. Fungsi rekreasi dan pariwisata
15. Fungsi sosial budaya, berupa estetika lansekap, keagamaan
dan spiritual, serta peninggalan sejarah
16. Fungsi sosial ekonomi, misal berupa sumber mata
pencaharian bagi penduduk setempat dan tanah adat
masyarakat setempat
17. Fungsi penelitian dan pendidikan
18. Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, seperti proses
ekologi, geomorfologi dan geologi, rosot karbon (carbon
sink) dan pencegahan perluasan tanah sulfat masam

182
Keterangan:
1. Kegiatan 2. Kegiatan Konstruksi 3. Kegiatan Pemukiman PemukimanTerpadu
pra-konstruksi
a. Kegiatan survei Kegiatanpembangunan Kegiatanpembangun- Kegiatanpembangu- Kegiatanpembangun- Keg. kehidup- Keg. sosial ma- Keg.Pereko- Kegiatan trans- Kegiatan olah
b. Kegiatan pembe- perumahan nan tempat olah raga nan fasilitas pereko- nan industri kecil an manusia se- syarakat dalam nomian dan portasi raga dan
basan lahan dan rekreasi nomian dan perda- hari-hari dalam fasilitas sosial perdagangan rekreasi
gangan pemukiman yang dibangun
i. Pemb.perumahan i. Pemb.gedung i. Pemb.pusat i. Industri kulit Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan
ii. Pemadatan, olah raga pertokoan, & (sepatu dan tas) pariwisata. pendidikan industri penunjang ketertiban
pengerasan,
pembangunan ii. Pemb. lapangan perbelanjaan ii. Industri makanan dan kecil kesehatan dan
jalan lingkungan golf ii. Pemb.pasar iii.Industri mebel kebudayaan maupun masyarakat keamanan
iii.Penggalian saluran iii.Pembuatan iii.Pembangunan kayu dan rotan industri
air taman-taman pergudangan iv.Unit pengolahan besar
iv.Penggalian aliran kota & taman iv.Pemb. terminal limbah
air
v. Penggalian jaringan bermain &transportasi
air bersih, listrik , iv.Penghijauan/ darat
telpon reklamasi
vi.Pembuatan TPA
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 05 TAHUN 2000
TENTANG
PANDUAN PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN
PEMBANGUNAN DI DAERAH LAHAN BASAH

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup tentang Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di
Daerah Lahan Basah;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 355/M/1999 tentang Kabinet Persatuan Nasional;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PANDUAN PENYUSUNAN


AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN DI DAERAH LAHAN BASAH.

PERTAMA : Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah adalah
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.

KEDUA : Keputusan ini berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan bilamana di kemudian hari
terdapat kekeliruan, maka Keputusan ini akan ditinjau kembali.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 7 November 2002

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH,

Nadjib Dahlan,S.H.

183
LAMPIRAN : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 5 TAHUN 2000
TANGGAL : 21 PEBRUARI 2000

PANDUAN PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN DI DAERAH LAHAN BASAH

BAB I. PENJELASAN UMUM


1.1 LATAR BELAKANG

Upaya melengkapi tuntutan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
telah diwujudkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup (AMDAL). Di dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan secara tegas bahwa analisis mengenai
dampak lingkungan hidup merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha dan/atau kegiatan.
Selanjutnya, dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup
digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah.

Salah satu kategori wilayah yang pertu dioptimalkan pembangunannya adalah kawasan lahan basah.
Ketersediaan areal lahan basah yang masih cukup luas dengan potensi sumberdaya alami yang terkandung
di dalamnya masih belum banyak termanfaatkan, telah mengundang peningkatan usaha pemanfaatan lahan
basah untuk berbagai sektor kegiatan. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kawasan ini semakin
potensial untuk dikembangkan.

Beberapa kegiatan yang diperkirakan akan terus berkembang antara lain, pembukaan persawahan,
perkebunan dan pertambakan yang dikaitkan dengan pembangunan permukiman transmigrasi. Bersamaan
dengan itu pembangunan agroindustri dan berbagai industri jasa seperti pengangkutan dan pelabuhan
tentu akan semakin terfokus pada kawasan lahan basah sebagai wilayah sasarannya.

Berbagai perkembangan kegiatan perekonomian baik bertaraf lokal, regional, maupun nasional akan
menyebabkan keberadaan potensi sumberdaya alami terutama di kawasan lahan basah semakin terancam
kelestariannya. Sejumlah program yang sudah diimplementasikan kebanyakan kurang memenuhi kaidah
keberlanjutan, sehingga terjadi pemubaziran sumberdaya lahan basah dan tidak jarang menimbulkan
berbagai permasalahan lingkungan yang serius. Mulai tampak berkurangnya luasan alami kawasan lahan
basah, dan secara langsung maupun tak langsung menurunkan mutu dan fungsi ekologis dari sumberdaya
alami setempat. Pemanfaatan yang sudah berlangsung ternyata, berpengaruh besar terhadap penyusutan
mutu dan keberadaan sumberdaya keanekaragaman hayati, sumberdaya perairan rawa, sungai, estuaria
dan bahkan potensi laut dalam (Syarkowi, 1995 dan Verheught, 1990). Kecenderungan pemanfaatan yang
ada menunjukkan bahwa, banyak pihak yang berkepentingan terhadap daerah itu masih pertu dibekali
pengetahuan tentang strategi pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Cara-cara pengelolaan berbagai program pembangunan yang ada telah menjadikan kawasan ini kurang
termanfaatkan secara optimal. Padahal jika potensi yang besar itu semakin surut dan banyak yang tersia-
siakan, maka pembangunan di kawasan lahan basah akan sulit berkelanjutan. Diakui bahwa kompleksitas
persoalan lingkungan dan pengendalian dampak negatif pembangunan kawasan lahan basah itu sangat
rumit. Keberadaan lahan basah secara geografis menghubungkan ekosistem lahan kering terhadap
ekosistem pesisir dan kelautan, yang tentunya memiliki keterkaitan fungsi dan kepekaan ekosistem yang
beragam pula. Pengalaman pelaksanaan studi AMDAL beberapa proyek di berbagai area lahan basah
selama ini menunjukkan bahwa kompleksitas dampak lingkungan yang bisa terjadi memang sangat tinggi
(Euroconsult, 1991), akan tetapi sedapat mungkin harus diupayakan memprakirakannya. Dari studi khusus
tentang “Pedoman Pelingkupan AMDAL Lahan Basah” yang dilakukan oleh AWB (1991) misalnya, kompleksitas
dampak lingkungan itu secara sistematis mulai dipahami dinamikanya. Walaupun demikian kenyataan
tentang munculnya berbagai masalah lingkungan hidup di kawasan lahan basah dan sekitarnya selama
pertengahan dekade 90-an, harus pula diakui bahwa masih banyak rahasia yang perlu diungkapkan dan
diketahui dibalik dinamika dampak pembangunan lahan basah itu.

Guna mengendalikan pembangunan yang dilaksanakan secara tidak bijaksana itu, maka studi AMDAL
harus dioptimalkan dengan mengacu kepada piranti khusus “Metodologi AMDAL Lahan Basah”. Panduan ini
khusus memberi petunjuk bagaimana melaksanakan AMDAL di daerah lahan basah. Dengan ini diharapkan
informasi minimal tentang karakteristik lahan basah baik yang bersifat umum maupun khusus dari komponen
lingkungan yang peka terhadap kegiatan pembangunan dan pengembangan diarahkan agar dapat dipenuhi.
Demikian pula tentang karakteristik proyek pembangunan yang prospektif berkembang di kawasan itu sangat
perlu dan akan dapat dipahami atas dasar sifat kepentingannya terhadap lahan basah.

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN

Panduan ini dimaksudkan untuk memudahkan penyusunan AMDAL bagi berbagai usaha dan/atau kegiatan
(proyek) pembangunan di daerah lahan basah.
Secara khusus Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah ini diharapkan
dapat:
1. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan lahan basah sehingga terpelihara kelestarian fungsi
ekologisnya; mengingat peruntukan lahan yang tidak harmonis dan penerapan iptek yang kurang
bijaksana dapat mengakibatkan gejala erosi genetik, polusi dan penurunan potensi lahan basah sulit
dikendalikan.
184
2. Menopang upaya-upaya mempertahankan proses ekologis antar ekosistem di kawasan, lahan basah
sebagai sistem penyangga kehidupan yang perlu bagi kelangsungan pembangunan dan peningkatan
kesejahteraan penduduk di kawasan lahan basah pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
3. Mendorong langkah-langkah antisipatif dalam menggali dan mengembangkan potensi
keanekaragaman sumber genetik serta potensi lain dari berbagai tipe ekosistem lahan basah dalam
kerangka kemajuan iptek dan perkembangan sosial ekonomi dan budaya di masa depan.

1.3 PENDEKATAN DAN RUANG LINGKUP

Agar dapat melakukan identifikasi, prakiraan dan evaluasi dampak penting lingkungan akibat pembangunan
di daerah lahan basah, secara cermat diperlukan pengetahuan tentang sifat dan kekhasan daerah lahan

KOMPONEN LINGKUNGAN KOMPONEN KEGIATAN

• Iklim • Eksploitasi SDA di lahan basah


• Tanah • Konservasi Lahan (Perkebunan,
• Kedalaman dan Kematangan Gambut Persawahan/Irigasi, Pertambakan)
• Hidrologi • Konservasi Balik (Kawasan Lindung dan
• Vegetasi dan Satwa liar Konservasi)
• Sosial Ekonomi dan Budaya serta Demografi • Reklamasi Lahan Basah

PROSES PELINGKUPAN DAN


PENYUSUNAN KA-ANDAL

• Dampak Penting Hipotetik


• Penetapan Batas Wilayah Studi
• Penetapan Tenaga Ahli
• Penetapan Metode Pengumpulan dan Analisis Data
yang Akan Digunakan
• Penetapan Lokasi Pengambilan Sampel
• Penetapan Metode Prakiraan dan Evaluasi
Dampak yang digunakan dalam Penyusunan
ANDAL.

PENYUSUNAN ANDAL

• Survey Lapang
• Analisis Data
• Prakiraan Dampak Penting
• Evaluasi Dampak Penting

PENYUSUNAN RKL DAN RPL

• Penyusunan Upaya Pengelolaan dan Pemantauan


Lingkungan
• Penetapan Pihak-pihak yang Terlibat dalam
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan.

KELAYAKAN LINGKUNGAN

Gambar 1-1
Pendekatan Sistem dalam Penyusunan AMDAL Kawasan Lahan Basah

185
basah tersebut. Hal ini diperlukan agar ragam respon sistem lingkungan yang akan menerima dampak
dapat dikenal pasti sedini mungkin. Oleh karena itu, panduan ini diawali dengan perumusan tentang kriteria
dan batasan kawasan lahan basah disajikan pada Bab II. Kemudian diikuti oleh panduan proses pelingkupan
yang disajikan pada Bab III, yang menjelaskan penentuan isu pokok, komponen lingkungan yang harus
ditelaah akibat satu jenis kegiatan, penentuan batas wilayah studi dan lingkup waktu perkiraan dampak
dalam studi AMDAL. Panduan penyusunan analisis dampak lingkungan (ANDAL) disajikan dalam Bab IV.
Sebagai suatu panduan, maka segenap metode dalam dokumen ini diuraikan secara garis besar dan
dilengkapi dengan bahan rujukan yang memuat metode pengumpulan atau analisis data secara terperinci.
Selanjutnya, panduan untuk penyusunan rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan
lingkungan (RPL) disajikan pada Bab V. Secara skematis, sistematika panduan ini mengikuti alur pikir
proses: penyusunan AMDAL seperti pada Gambar 1-1. Pembangunan di daerah lahan basah akan memiliki
ragam dan besaran dampak tergantung pada sistem lingkungan yang akan terkena dampak. Dengan
demikian, mengikuti tujuan studi AMDAL adalah memelihara kapasitas ekosistem alamiah dalam hal
penentuan parameter lingkungan yang harus ditelaah, pengumpulan dan analisis data, prakiraan evaluasi
dampak perlu disusun atas dasar pendekatan pemeliharaan, ekosistem yang berkesinambungan.

BAB II. KONSEP STRUKTUR DAN FUNGSI EKOSISTEM LAHAN BASAH


2.1 TIPOLOGI EKOSISTEM

Keberadaan lahan basah atau lahan berawa dapat diklasifikasikan menjadi 3 zona, yaitu :
(1) Ekosistem rawa pasang surut air payau/asin;
(2) Ekosistem rawa pasang surut air tawar; dan
(3) Ekosistem rawa non-pasang surut atau rawa lebak.
Zonasi ini diterapkan demikian berdasarkan kekuatan air sungai dan air pasang (Sandy dan Nad Darga,1979).
Pada musim hujan zona I dan II memperoleh pengaruh pasang surut, sedangkan zona III tidak dipengaruhi.
Pada musim kemarau, hanya zona I yang dipengaruhi oleh luapan dan intrusi air payau/asin. Berkenaan
dengan itu, maka ada tiga hal penting yang perlu diingat sehubungan dengan ekosistem lahan basah; yaitu:
(1) Ekosistem lahan basah sesungguhnya memiliki potensi alami yang; sangat peka terhadap setiap
sentuhan pembangunan yang merubah pengaruh perilaku air (hujan, air sungai, dan air laut) pada
bentang lahan itu;
(2) Ekosistem lahan basah sesungguhnya bersifat terbuka untuk menerima dan meneruskan setiap
material (“slurry”) yang terbawa sebagai kandungan air, baik yang bersifat hara mineral, zat atau
bahan berat maupun energi lainnya, sehingga membahayakan; dan
(3) Ekosistem lahan basah sesungguhnya berperan penting dalam mengatur keseimbangan hidup
setiap ekosistem darat di hulu dan sekitarnya serta setiap ekosistem kelautan di hilirnya.
Bentuk pemanfaatan yang utama dan merupakan fungsi perlindungan pada lahan basah terhadap sistem
penyangga kehidupan, antara lain
(1) Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air)
(2) Fungsi pengendalian air, terutama pengendalian banjir
(3) Fungsi pencegah intrusi air laut
(4) Fungsi lindung (dari kekuatan alam)
(5) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen
(6) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara
(7) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-bahan beracun
(8) Fungsi pemasok kekayaan alam (di dalam areal lahan basah)
(9) Fungsi pemasok kekayaan alam (ke luar areal lahan basah)
(10) Fungsi produksi energi (kayu, listrik-hidro)
(11) Fungsi transportasi/perhubungan
(12) Fungsi bank gen
(13) Fungsi konservasi
(14) Fungsi rekreasi dan pariwisata
(15) Fungsi sosial budaya
(16) Fungsi sosial ekonomi
(17) Fungsi penelitian dan pendidikan
(18) Fungsi pemeliharaan proses-proses alam.
Selanjutnya manfaat sampingan dapat dipanen dan dinikmati masyarakat sampai batas-batas tertentu
tanpa merusak proses ekologis yang diperankan oleh ekosistem itu. Bentuk pemanfaatan golongan ini
antara lain:
(1) sumber air bagi penduduk (setempat);
(2) sumber produk alami (nipah dan ikan);
(3) sumber energi (kayu dan gambut); dan
(4) sumber kesegaran dan keindahan (wisata).
Bertolak dari pemahaman akan arti penting fungsi-fungsi ekologis maupun fungsi ekonomis yang diperankan
oleh ekosistem lahan basah itu, maka upaya untuk melestarikan keberadaan mutu dan fungsi ekosistem
lahan basah patut direalisasikan. Ini antara lain dilakukan melalui pendekatan peraturan perundangan yang
melindungi komponen-komponen kawasan yang berfungsi penting dan strategis. Pelestarian sumberdaya
kawasan lahan basah dimungkinkan oleh adanya ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Ketentuan perundangan itu meliputi perlindungan jenis flora dan fauna serta benda cagar budaya, yang
tidak jarang banyak ditemukan pada daerah lahan basah. Sampai sejauh ini, kawasan yang ingin
dipertahankan dan dijaga serta dilestarikan fungsinya antara lain:

186
(1) Kawasan Gambut, yaitu kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa
sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu lama. Perlindungan terhadap kawasan
gambut dilakukan untuk mengendalikan hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air
dan pencegah banjir maupun kebakaran, serta melindungi sistem ekonomi yang khas di
kawasan yang bersangkutan. Kriteria kawasan gambut yang dilindungi itu adalah tanah gambut
dengan ketebalan tiga meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa (Pasal 10
Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung)
(2) Kawasan Resapan Air, yaitu daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air
hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber
air. Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup
bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediaan kebutuhan kawasan
yang bersangkutan. Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah
yang mudah meresapkan air bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara
besar-besaran (Pasal 12 Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung);
(3) Sempadan Sungai, yaitu kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/
saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian
fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi dari
kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir
dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.
Kriteria sempadan sungai yaitu:
(a) Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan
sungai yang berada di luar permukiman (Pasal 16 butir a Keppres No. 32 Tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung jo PP No. 35 tahun 1991 tentang Sungai)
(b) Untuk sungai di kawasan permukiman lebar sempadan sungai seharusnya cukup untuk
membangun jalan inspeksi yaitu antara 10 sampai dengan 15 meter (Pasal 16 Butir b
Keppres No. 32 Tahun 1990 jo PP No. 35 Tahun 1991);
(4) Sempadan Pantai, adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting
untuk mempertahankan dan melindungi kelestarian fungsi pantai dari gangguan berbagai
kegiatan dan proses alam. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang
lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat (Pasal 14 Keppres No. 32 Tahun 1990);
(5) Kawasan Sekitar Danau/Waduk, adalah kawasan tertentu di sekeliling danau/waduk yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk
Perlindungan terhadap kawasan sekitar danau/waduk dilakukan untuk melindungi danau/waduk
dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestariaan fungsi danau/waduk.
Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat (Pasal 18 Keppres No. 32 Tahun 1990);
(6) Kawasan Pantai Berhutan Bakau, yaitu kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami
hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai
dan lautan. Perlindungan terhadap kawasan ini dilakukan untuk melestarikan hutan bakau
sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembang-biaknya berbagai biota
laut disamping sebagai pelindung usaha budidaya di belakangnya. Kriteria kawasan ini adalah
minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari
garis air surut terendah ke arah darat (Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Pasal 27 Keppres No. 32 Tahun 1990);
(7) Rawa yang merupakan lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus-menerus atau
musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara
fisik, kimiawi, atau biologis.
Konservasi rawa adalah pengelolaan rawa sebagai sumber air yang berdasarkan pertimbangan
teknis, sosial ekonomis dan lingkungan, bertujuan untuk mempertahankan dan sebagai sumber
air serta meningkatkan fungsi dan manfaatnya, dengan memperhatikan faktor - faktor sebagai
berikut (Pasal 9 PP No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa) :
(a) kemampuan meningkatkan rawa sebagai ekosistem sumber air;
(b) kelestarian rawa;
(c) kemampuan meningkatkan perekonomian masyarakat dan
(d) kelestarian lingkungan hidup.

2.1.1 Ekosistem Hutan “Bakau” (Zonasi I)

Ekosistem ini terdiri dari formasi bakau, nipah, serta formasi Acrostichum. Formasi hutan mangrove
atau “bakau” ditandai dengan kehadiran jenis tanah aluvial, sebagai hasil dari sedimentasi dan akumulasi
lumpur yang dibawa oleh air sungai. Formasi ini begitu dinamis dengan adanya peran dari tumbuhan
pemul, umumnya berupa tumbuhan Api-api (Avicennia sp.) dan Pedada (Sonneratia sp.), dan jika
kondisi lahan menjadi stabil, maka akan ditemui jenis Bakau (Rizophora spp.) dan Nyireh (Xylocarpus
sp.). Jenis-jenis ini diketahui sangat baik beradaptasi pada tanah bersalinitas tinggi sebagai pengaruh
dari pasang air laut.
Pada ekosistem ini formasi Rhizophora sp., Avicennia sp., dan Sonneratia marina menduduki formasi
terdepan sedangkan agak kebelakang dijumpai jenis tumu atau bakau tomak (Bruguirea hexangula),
Xylocarpus muluccensis dan Sonneratia ovata. Formasi hutan “bakau” ini diketahui sangat penting
peranannya sebagai habitat pijah-asuh berbagai jenis ikan dan udang. Di sisi lain, formasi Acrostichum
juga dominan dan berfungsi sebagai penutup tanah hutan mangrove hingga ketinggian 3-4 meter.
Bersamaan dengan itu terdapat pula assosiasi dengan Nipa. Jenis tumbuhan Nipa membutuhkan air

187
selama hidupnya.Ini terlihat dari seringnya Nipa diketemukan di sepanjang tepi sungai dengan aliran
yang tenang. Jenis ini dapat hidup sebagai pioner di sedimen berlapis. Reptilia yang hidup di habitat ini
adalah biawak ( Varanus salvator), buaya (Crocodylus porosus), ular cincin emas (Boiga sp.), sedangkan
mamalia yang umum ditemukan adalah babi hutan (Sus scoria), kera (Macaca sp.), kucing hutan (Felix
sp.), Napu (Tragulus napu), dan kelompok burung yang banyak ditemukan merupakan kelompok cemar
laut (wader) dan bangau, serta kuntul.

2.1.2 Ekosistem Hutan Raya Payau (Zona I)

Merupakan formasi hutan rawa campuran air asin dan air tawar, dan umumnya terdapat di belakang
hutan mangrove atau di sepanjang tepi sungai. Tumbuhan pada formasi ini didominasi oleh Terentang
(Camnosperma), Putai (Alstonia), dan Rengas (Gluta rengas). Formasi ini berperan sebagai pembatas
terhadap ekosistem hutan bakau dengan kehadiran formasi Nibung. Formasi ini merupakan pembatas
antara hutan mangrove dan hutan lainnya di belakang mangrove, baik hutan rawa maupun hutan
gambut. Kelebatan formasi ini berkisar antara 100-500 meter. Fauna yang ditemukan di habitat ini pada
umumnya fauna yang hidup di daerah mangrove maupun di hutan rawa air tawar.

2.1.3 Ekosistem Hutan Rawa Air Tawar (Zona II)

Formasi hutan rawa air tawar terletak di bagian belakang hutan rawa payau. Salah satu indikator
formasi hutan ini adalah hadirnya tanaman pandan (Pandanus sp.) dan rumput yang terapung (kumpai)
di perairan. Tumbuhan lain yang juga sering ditemukan adalah Comnosperma dan Alstonia. Selain itu
terdapat familia Dipterocarpaceae dari Genera Shorea, Dipterocarpus, Marsawa, dan Cotilelobium.
Pada habitat ini biasa ditemukan fauna yang tergolong reptilia, yaitu buaya senjolong (Tomastoma
schlegelii), dan kelompok mamalia antara lain : gajah (Elephas maximus), tapir (Tapirus indicus),
badak (Dicerorhinus sumatrensis), beruang (Herartos malayensis), kancil (Tragulus javanicus), babi
(Sus barbatus), dan lain-lain.

2.1.4 Ekosistem Hutan Rawa Gambut (Zona III)

Di daerah delta yang biasanya banyak mendapat pengaruh air asin dan payau, beberapa jenis tumbuhan
dominan adalah jenis terentang abang (Camnosperma macrophylla). Hutan pelawan beriang (Tristania
abovata) dan Ploiarium alternifolium ditemukan pada lapisan gambut yang tebal, sedangkan pada
lapisan gambut yang tipis ditemukan tegakan nibung (Oncosperma filamentosa). Di dekat sungai-
sungai besar, pada tempat -tempat yang kurang tergenang ditumbuhi oleh jenis perepat (Combretocarpus
motleyi) yang bercampur dengan Camnosperma macrophylla dan meranti paya (Shorea spp.).
Hutan rawa gambut yang tidak dipengaruhi oleh air asin memiliki jenis tumbuhan yang lebih kaya.
Hutan ini merupakan formasi transisi dari hutan gambut ke hutan rawa ( mixed peat swamp forest). Di
dalam formasi ini terdapat lapisan bergambut dengan ketebalan sekitar 20 cm. Komposisi floristik
pada formasi ini mirip dengan komposisi di hutan rawa air tawar. Komposisi tumbuhannya terdiri dari
tiga zona yang secara horizontal adalah berturut-turut : zona pertama didominasi oleh jenis durian
payau (Durio carrinatus), meranti (Shorea sp.), merawan bunga (Hopea mangerawan), simang
(Diospyros sp.), dan jenis-jenis yang termasuk ke dalam famili Anacardiaceae. Zona kedua terdiri atas
tumbuhan Sindai (Knema spp.), Blumeodendron sp., Prunus sp., dan beberapa jenis dari familia
Poligalaceae serta Euphorbiacece.
Di bagian zona III terutama didominasi oleh tipe semak dan rumputan. Ketebalan gambut di daerah ini
mencapai 2 sampai 3 meter dengan dominasi jenis palem yang merupakan indikator bahwa formasi di
daerah ini merupakan formasi transisi antara tipe rawa dan gambut (hutan campuran rawa dan gambut
atau mixed peat swamp forest).

2.2 TIPOLOGI GEOFISIK

Kualitas dan karakteristik lahan basah pada masing-masing zona dapat ditetapkan apabila jenis tanahnya
diketahui. Nama atau jenis tanah tertentu sekurang-kurangnya memberi gambaran tentang sifat dan kelakuan
tahan dalam merespon suatu teknologi yang diterapkan. Dan berbagai laporan studi dapat dikemukakan
bahwa jenis tanah dominan pada lahan basah adalah: (1) tanah aluvial; (2) tanah sulfat masam; dan (3)
tanah bergambut dan gambut. Pada umumnya sifat-sifat tanah pada lahan basah tersebut sangat
berhubungan erat dengan fisiografi dimana tanah tersebut ditemukan. Fisiografi utama pada zona I termasuk
grup marin dan kubah gambut. Pada zona II termasuk grup aluvial, marin dan kubah gambut, sedangkan
pada zona III termasuk grup aluvial dan kubah gambut. Informasi tentang tipologi geo-fisik lahan basah itu
dapat digunakan sebagai arahan pemanfaatan, pengembangan dan pengelolaannya.
Secara geofisik, karakteristik lahan basah yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
(1) lama dan kedalaman genangan air banjir atau air pasang, serta kualitasnya;
(2) ketebalan dan kematangan gambut serta kandungan hara mineral;
(3) kedalaman lapisan pirit serta kemasan potensial dan aktual setiap lapisan tanahnya;
(4) pengaruh luapan/air laut;
(5) tinggi muka air tanah; dan
(6) keadaan substratum lahan.
Rincian karakteristik umum tipologi geo-fisik lahan basah disajikan pada Tabel 2-1.

188
Tabel 2-1. Karakteristik Umum Tipologi Geofisik Lahan Basah
No Faktor Kualitas Lahan Karakteristik Satuan
1. Genangan Periode lamanya genangan waktu
Kedalaman genangan cm
Kualitas air genangan kelas
Tipe luapan kelas

2. Media perakaran Tekstur tanah kelas


Kedalaman efektif tanah cm
Ketebalan gambut cm
Tingkat kematangan gambut kelas
Tinggi muka air tanah cm

3. Ketersediaan hara N-total persen


P-tersedia ppm
K-dapat ditukar me/100 g tanah
Kapasitas Tukar Kation me/100 g tanah
Kejenuhan Basa persen
PH unit

4. Kegaraman tanah Salinitas atau sodisitas mmhos/cm

5. Toksisitas Kejenuhan aluminium persen


Kedalaman bahan sulfidik cm
Keadaan substratum jenis

Kelima faktor mutu lahan yang diindikasikan pada Tabel 2-1 tersebut penting diperhatikan dalam penentuan
kesesuaian lahan untuk kegiatan pertanian. Adapun faktor No. 1,4, dan 5 merupakan hal yang patut
dipertimbangkan dalam menentukan lokasi proyek pembangunan non pertanian.

2.3 TIPOLOGI AGROEKOSISTEM


2.3.1 Agro ekosistem Rawa Pasang Surut
Pola pemanfaatan lahan basah pada zona rawa pasang surut dapat didasarkan pada tipe luapan air
pasang surut. Dengan tipe luapan air yang dimaksudkan itu maka pemanfaatan lahan dapat
dikelompokkan ke dalam 4 tipe [berdasarkan luapan pasang besar (maksimum) dan pasang kecil
(minimum)], yaitu :
(1) Tipe A = terluapi pasang besar dan kecil;
(2) Tipe B = terluapi pasang besar;
(3) Tipe C = tidak terluapi pasang, air tanah < 50 cm; dan
(4) Tipe D = tidak terluapi dan air tanah > 50 cm
Pengelompokan tipe luapan ini sepadan dengan kategorisasi hidup topografi lahan basah berdasarkan
pasang besar pada MH dan MK yaitu kategori I, II, III, dan IV. Jika dipertimbangkan tipologi lahan tipe
luapan, kendala fisik lahan yang ada dan diperkirakan ada, maka dapat dikemukakan pola pemanfaatan
lahan rawa pasang surut (Halim1994), seperti pada Tabel 2-2.

Tipologi Lahan Tipe Luapan Pola Pemanfaatan Lahan


(Kategori)

Lahan Potensial A (I) Sawah


B (II) Sawah/surjan
C (III) Surjan pangan/holtikultura
D (IV) Lahan Kering Pangan/Hortikultura/Perkebunan
Kelapa dan Kelapa Sawit

Lahan Sulfat Masam A (I) Sawah


B (II) Sawah/Surjan “Kridit”
C (III) Surjan “Kridit” Pangan/Hortikultura
D (IV) Perkebunan Kelapa

Lahan Gambut A (I) Sawah


B (II) Sawah/Surjan
C (III) Surjan Pangan/Hortikultura
D (IV) Perkebunan Kelapa dan Kelapa Sawit

Tabel 2-2
Pola Pemanfaatan Lahan Rawa Pasang Surut Sesuai dengan Tipologi Lahan dan Tipe Luapannya

189
Lahan potensial, gambut dan sulfat masam dengan tipe luapan A dan B dimanfaatkan untuk sawah.
Sawah dapat dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun pada lahan dengan tipe luapan A. Dengan
sistem Surjan, lahan dengan tipe luapan B juga dapat disawahkan sebanyak dua kali dalam setahun.
Lahan dengan tipe luapan C juga dapat disawahkan dalam musim hujan bila diterapkan sistem surjan.
Pada guludan dapat ditanam beberapa jenis tanaman pangan lainnya serta tanaman hortikultura.
Pemanfaatan lahan dengan tipe luapan D adalah berupa usaha tani lahan kering untuk tanaman
pangan/hortikultura atau perkebunan kelapa. Pada lahan gambut sebaiknya diusahakan sebagai lahan
perkebunan kelapa sawit yang didahului dengan tanaman pangan dan hortikultura untuk beberapa
musim. Sedangkan pada lahan sulfat masam, sebaiknya dimanfaatkan langsung sebagai lahan
perkebunan kelapa.

2.3.2 Agroekosistem Rawa Lebak


Pola pemanfaatan lahan basah pada zona rawa lebak disesuaikan dengan tipologi lahannya seperti
disajikan pada Tabel 2-3. Tipologi lahan aluvial dimanfaatkan untuk sawah lebak atau sawah tadah
hujan. Rawa lebak bertipologi demikian umumnya termasuk rawa lebak dangkal. Sedangkan pada
tipologi lahan gambut-dangkal, gambut sedang dan gambut dalam dapat dimanfaatkan untuk perkebunan
kelapa sawit dengan sistem “polder”. Rawa lebak pada tipologi lahan tersebut umumnya termasuk
rawa lebak tengahan dan/atau dalam.

Tabel 2-3 Pola Fisiografis Pemanfaatan Lahan Basah

Zonasi Tipologi Lahan Pola Pemanfaatan

Pasang Surut Air Lahan Potensial, Payau/Asin Sawah


Payau/Asin Lahan Sulfat Masam, Payau/Asin Hutan Mangrove/Tambak
Lahan Gambut, Payau/Asin Hutan Mangrove

Pasang Surut Lahan Potensial Sawah


Air Tawar Lahan Sulfat Masam Sawah
Lahan Gambut Dangkal Lahan Kering Pangan/Hortikultura
Lahan Gambut Sedang-Dalam Perkebunan Kelapa/Kelapa Sawit

Rawa Lebak Rawa Lebak Aluvial Sawah/Sawah Tadah Hujan


Rawa Lebak Gambut Dangkal Perkebunan Kelapa Sawit Sistem “Polder”
Rawa Lebak Gambut Sedang Perkebunan Kelapa Sawit Sistem “Polder”
Dalam

Pada kawasan lebak dangkal (pematang), lebak tengahan, dan lebak dalam sebenarnya
mengindikasikan adanya cekungan bentang lahan yang digenangi air tawar. Indikasi yang demikian
amat perlu diperhatikan setiap kali suatu pembangunan direncanakan. Pembangunan suatu waduk
untuk irigasi di bagian hulu misalnya, mengubah keadaan bentang lahan lebak di bagian hilir. Lebak
dangkal berubah jadi kering, yang tengahan menjadi dangkal. Demikian pula lebak dalam yang biasanya
berperan sebagai gudang kehidupan berbagai jenis ikan akan berkurang kemampuan ekologisnya.

2.4 TIPOLOGI SOSEKBUD DAN KESEHATAN MASYARAKAT


2.4.1 Sosekbud
Dari sisi sosial ekonomi, sesungguhnya sumberdaya alam kawasan lahan basah amat kaya, baik
yang terbarukan maupun yang tak terbarukan. Sumberdaya alam di kawasan lahan basah dapat
dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu:
(1) Sumberdaya “alam-terludesi” (exhaustible resources);
(2) Sumberdaya “alam-hayati” (biological resources);
(3) Sumberdaya “alam-maliri” (flow resources);
(4) Sumberdaya “alam-segari” (amenity resources).
Keempat kategori sumberdaya alam tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat daerah setempat
maupun masyarakat pengusaha. Walaupun demikian, karena keterisolasian lokasi dan keterbatasan
sarana pengangkutan berbagai jenis sumberdaya alam dan sumberdaya turunannya masih sering
tersia-siakan begitu saja.
Misalnya, potongan kayu dan tempurung kelapa (yang baik untuk arang) serta sabut kelapa biasanya
belum sepenuhnya dimanfaatkan penduduk sebagai bahan sumber tambahan pendapatan. Oleh karena
terdapat berbagai ragam potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan, maka interaksi sosial
dan proses sosial bisa beragam coraknya. Dari sudut pandangan lingkungan hidup, interaksi sosial
dalam pemanfaatan sumberdaya alam seyogyanya diperhatikan keterkaitannya dengan pencemaran

190
dan pengrusakan lingkungan alam. Diantara interaksi itu ada yang patut diteladani sebagai kearifan
lokal, tapi ada yang harus dikendalikan agar tidak meluas pengaruhnya.
Dari segi sosial-budaya, isu lingkungan di kawasan lahan basah juga perlu diperhatikan. Kawasan
lahan basah di Indonesia ada yang berada dalam lingkup pengaruh atau telah merupakan perkampungan
bahkan ada yang sudah merupakan bagian dari wilayah kota besar. Keadaan ini menempatkan aspek
sosial budaya sebagai komponen lingkungan yang tetap harus diperhatikan. Dengan kata lain suatu
proyek pembangunan harus mempertimbangkan pola kebudayaan lokal, agar sedapat mungkin
kelangsungan proyek mendapat dukungan masyarakat atau paling tidak dampak yang ditimbulkan
dapat diantisipasi. Sehubungan dengan itu, pemahaman tentang persepsi masyarakat di kawasan
lahan basah menjadi sangat penting.
Semangat dan aktivitas gotong royong di kawasan lahan basah berbeda dengan kawasan-kawasan
lain. Spektrum kegiatan gotong royong dalam suatu kekerabatan atau kelompok sosial di kawasan
lahan basah relatif luas dibandingkan dengan kawasan lainnya. Dapat dilihat bahwa penguasaan
lahan oleh suatu keluarga dapat mencapai 2 sampai 5 Ha. Selain itu, peran limpahan air yang secara
musiman membatasi intensitas tanaman akan memudahkan pengendalian hama dan gulma, sehingga
mendorong masyarakat untuk melaksanakan upaya gotong royong dalam memperluas lahan usaha.
Dengan demikian, perlu memperhatikan tradisi pemilikan lahan yang luas itu sebagai aspek
pertimbangan utama. Jika tidak demikian, maka sikap masyarakat bisa negatif terhadap aktivitas proyek
pembangunan.
Aspek sosial lain di kawasan lahan basah yang perlu diperhatikan adalah tentang hak atas tanah. Di
kawasan lahan basah masih terdapat penguasaan lahan secara komunal yang dikenal dengan Hak
Ulayat.
Dengan Hak Ulayat ini, masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara
menyeluruh. Hak masyarakat atas tanah yang terwujud dalam Hak Ulayat di kawasan lahan basah
berupa:
(1) Hak untuk meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada di wilayah/wewenang hukum
masyarakat bersangkutan; dan
(2) Hak untuk berburu dalam batas wilayah atau wewenang hukum masyarakat merdeka. Namun,
dalam konsepsi hak ulayat tersebut ternyata masih ada hak anggota masyarakat secara individu
menguasai sebagian obyek penguasaan Hak Ulayat tersebut dengan sistem tertentu, misalnya
sistem lelang lebak-lebung di Sumatera Selatan.
Oleh karena itu dapat dipahami jika terhadap sumberdaya alami yang dilingkupi oleh hak ulayat itu
terdapat gengsi kesukuan yang tinggi. Kehati-hatian diutamakan di sini, karena suatu keputusan yang
tidak transparan oleh aparat tidak akan didukung oleh masyarakat setempat. Selain itu, apabila terjadi
pengambilalihan tanah Hak Ulayat maka perlu dipertimbangkan untuk seyogyanya tidak secara penuh
meliputi setiap jenis sumberdaya terkait yang justru menjadi sumber nafkah penduduk. Misalnya, hak
untuk menanam ikan diperairan dalam kawasan proyek bekas tanah Hak Ulayat hendaknya tetap
diberikan kepada penduduk setempat.

2.4.2 Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan


Karakteristik utama lahan basah yang dicirikan dengan keberadaan air, pada keadaan yang masih
alami ciri itu sangat menonjol, dan dalam keadaan keseimbangan maka keberadaan air akan menopang
kehidupan sehari-hari. Akan tetapi setiap sentuhan proyek pembangunan yang mengganggu dan
mengubah keseimbangan alami itu, baik langsung maupun tidak berpengaruh negatif terhadap tingkat
kesehatan masyarakat. Di lokasi pemukiman kawasan lahan basah menunjukkan urutan jenis penyakit
terbesar adalah penyakit malaria. Serangan penyakit ini diprakirakan akan selalu berlangsung pada
setiap awal kegiatan pembangunan di kawasan lahan basah.

BAB III. PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN


3.1 PELINGKUPAN DAMPAK PENTING
Menurut Lampiran 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL,
pelingkupan dampak penting ditempuh melalui tiga proses utama. yaitu:
(1) identifikasi dampak potensial;
(2) evaluasi dampak potensial; dan
(3) pemusatan dampak penting.
Berikut diutarakan proses pelingkupan untuk ANDAL di daerah lahan basah dengan mengacu pada peraturan
perundangan tersebut.
3.1.1 Identifikasi Dampak Potensial
Pelingkupan pada tahap ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi segenap dampak lingkungan (primer,
sekunder, dan seterusnya) yang secara potensial akan timbul akibat adanya proyek. Pada tahap ini
hanya diinventarisasi dampak potensial akan timbul tanpa memperhatikan besar dampak, atau penting
tidaknya dampak.
Identifikasi dampak potensial ditempuh melalui serangkaian langkah kegiatan berikut ini:
- Konsultasi dan diskusi dengan para pakar, pemrakarsa kegiatan, instansi yang bertanggungjawab,
serta (tokoh-tokoh) masyarakat yang berkepentingan,
- Analisis terhadap peta dan data sekunder yang ada, seperti peta vegetasi, peta tata guna tanah,
peta sistem lahan, dan data/informasi tentang hidrologi,
- Observasi atau kunjungan ke calon lokasi proyek.
Adapun metode identifikasi dampak potensial yang dapat digunakan antara lain adalah:
- Penelaahan pustaka:

191
- Analisis isi (content analysis);
- Interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brainstorming dan lain-lain);
- Daftar uji sederhana;
- Matrik interaksi sederhana; dan
- Pengamatan lapangan (observasi).
Lihat pula KEP-30/MENKLH/7/I992 tentang Panduan Pelingkupan untuk Penyusunan Kerangka Acuan
ANDAL sebagai sumber informasinya yang lebih rinci.

Berikut diutarakan langkah-langkah identifikasi dampak potensial aktivitas proyek di daerah lahan basah.

Langkah 1
Buat daftar rencana kegiatan proyek yang akan dibangun di daerah lahan basah.

Hasil Langkah 1
Daftar kegiatan atau aktivitas proyek yang dapat merupakan penyebab dampak lingkungan antara lain
adalah:
1. Kegiatan pra konstruksi yang meliputi:
a) Kegiatan survei.
b) Kegiatan pembebasan lahan
2. Kegiatan konstruksi, yang meliputi :
a) Kegiatan yang bersifat merubah lahan/lansekap lahan:
i. Pengurangan/pembuangan lahan
Seperti antara lain : pembangunan tambak
ii. Penambahan/pengurukan lahan
Seperti antara lain : pembangunan jalan
iii. Pemadatan lahan
b) Kegiatan yang bersifat mengubah rejim hidrologi
i. Pembangunan saluran drainase
ii. Kanalisasi sungai
iii. Pengalihan aliran
iv. Konstruksi dam
c) Kegiatan yang bersifat mengubah komposisi vegetasi
i. Penebangan vegetasi
ii. Pemungutan hasil
iii. Penanaman tanaman (penghijauan/reklamasi)
iv. Introduksi spesies asing
d) Kegiatan yang bersifat mengubah komposisi satwa
i. Pengambilan/perburuan satwa
ii. Introduksi spesies asing
3. Kegiatan operasi, yang meliputi:
a) Kegiatan proses produksi yang menimbulkan pencemaran
i. Minyak
ii. Kimia
iii. Radioaktif
iv. Limbah domestik
v. Limbah Industri
vi. Panas
vii. Udara
b) Kegiatan instalasi dan operasi pengolah limbah
i. Limbah padat
ii. Limbah cair
iii. Limbah gas
c) Kegiatan pengambilan/pemanfaatan air untuk kebutuhan domestik dan kebutuhan proses
produksi
i. air permukaan (sungai, danau)
ii. air tanah dalam
d) Kegiatan penerimaan tenaga kerja
e) Kegiatan yang mendorong pengembangan wilayah
i. Aksesibilitas wilayah
ii. Pusat-pusat pertumbuhan baru

Langkah 2
Identifikasi tipe-tipe ekosistem lahan basah yang akan menjadi lokasi pro dan/atau yang akan
terpengaruh oleh kegiatan proyek sebagaimana dimaksud pada Hasil Langkah 1.

192
Hasil Langkah 2
Daftar tipe-tipe ekosistem lahan basah yang akan menjadi lokasi proyek dan/ atau yang akan terpengaruh
oleh kegiatan proyek. Dalam Panduan ini tipe ekosistem dimaksud dibatasi pada:
1. hutan bakau,
2. hutan rawa payau,
3. hutan rawa air tawar, dan
4. hutan rawa bergambut.

Langkah 3
Di setiap tipe ekosistem menurut Hasil Langkah 2, identifikasikan komponen ekosistem yang akan
mengalami perubahan akibat adanya proyek.

Hasil Langkah 3
Diperoleh daftar komponen lingkungan untuk setiap tipe ekosistem lahan basah yang potensial terkena
dampak proyek, yang diantara adalah:
1. Komponen Fisik-Kimia
a) Iklim, yang meliputi:
i. Curah hujan
ii. Suhu dan kelembaban nisbi udara
iii. Panjang penyinaran matahari
iv. Kecepatan angin
b) Hidrologi, yang meliputi:
i. Tinggi dan elevasi muka air (pasang surut)
ii. Debit dan pola aliran
iii. Tinggi, lama, dan frekuensi genangan/banjir
iv. Pola sedimentasi dan drainase
v. Sifat fisik dan kimia air permukaan
c) Tanah, yang meliputi:
i. Fisiografi, litologi
ii. Sifat fisik tanah
iii. Sifat kimia tanah
2. Komponen Biologi
a) Komunitas Vegetasi
i. Keanekaragaman jenis/komunitas vegetasi
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota air/phytoplankton
iii. Struktur dan komposisi vegetasi
iv. Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai ekonomi tinggi
v. Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai ekologi tinggi
vi. Zona habitat khusus dan plasma nutfah
b) Komunitas Satwa Liar
i. Keanekaragaman jenis/komunitas satwa liar
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota air/zooplankton, nekton
iii. Jenis dan populasi satwa liar bernilai ekonomi tinggi
iv. Jenis dan populasi satwa liar bernilai ekologi tinggi
v. Jenis dan populasi nekton yang bernilai ekonomi tinggi
vi. Jenis dan populasi nekton yang bernilai ekologi tinggi
vii. Jenis satwa liar yang langka dan/atau dilindungi
3. Komponen Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya
a) Kepadatan dan pertumbuhan penduduk
b) Persebaran penduduk
c) Peluang bekerja dan berusaha
d) Pemilikan dan penguasaan atas sumber daya alam
e) Persarana perhubungan air
f) Pemukiman penduduk
g) Fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, dan peribadatan
h) Adat istiadat
i) Kelembagaan tradisional
j) Aktivitas perekonomi dan perdagangan
k) Sistem pertanian
l) Akulturasi dan asimilasi
m) Kesehatan masyarakat
n) Kesehatan lingkungan

Langkah 4
Di setiap tipe ekosistem menurut Hasil Langkah 2, identifikasikan fungsi atau manfaat yang masih
dimiliki oleh ekosistem bersangkutan yang akan mengalami perubahan mendasar akibat adanya
proyek.

193
Hasil Langkah 4
Diperoleh daftar fungsi atau manfaat untuk setiap tipe ekosistem lahan basah yang terkena dampak
yang diantaranya meliputi:
1. Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air), yang berupa air bersih yang dapat langsung
dimanfaatkan oleh masyarakat dan/atau sebagai pemasok ke aquifer (ground water recharge) dan
lokasi lahan basah lainnya.
2. Fungsi pengendalian air, terutama pengendalian banjir
3. Fungsi pencegah intrusi air laut ke air tanah dan/atau air permukaan.
4. Fungsi perlindungan terhadap kekuatan alam, yang berupa perlindungan garis pantai, pengendalian
erosi, dan pemecah angin (windbreak)
5. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen
6. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara
7. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-bahan beracun
8. Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekonomi, seperti kayu, ikan dan daging satwa liar,
rotan, getah, obat, dan gambut.
9. Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekologi seperti, pasokan bahan anorganik dan organik
dan hara terlarut bagi wilayah hilir dan bagi ikan serta burung-burung migran.
10. Fungsi pemasok energi, seperti energi kayu, dan listrik-hidro.
11. Fungsi transportasi/perhubungan
12. Fungsi bank gen bagi spesies tumbuhan komersil dan populasi satwa liar.
13. Fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi, habitat satwa liar dan tumbuhan penting,
komunitas, ekosistem, dan lansekap lahan basah.
14. Fungsi rekreasi dan pariwisata
15. Fungsi sosial budaya, berupa estetika lansekap, keagamaan dan spiritual, serta peninggalan
sejarah.
16. Fungsi sosial ekonomi, misal berupa sumber mata pencaharian bagi penduduk setempat dan
tanah adat masyarakat setempat.
17. Fungsi penelitian dan pendidikan
18. Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, seperti proses ekologi, geomorfologi dan geologi,
rosot karbon (carbon sink) dan pencegahan perluasan tanah sulfat masam.

Langkah 5
a) Buat matrik dampak komponen lingkungan yang pada bagian kolom memuat rencana kegiatan
proyek (Hasil Langkah 1) dan pada bagian baris memuat komponen lingkungan lahan basah (Hasil
Langkah 3).
b) Buat matrik dampak fungsi ekosistem yang pada bagian kolom memuat rencana kegiatan
proyek (Hasil Langkah 1) dan pada bagian baris memuat komponen fungsi ekosistem lahan
basah (Hasil Langkah 4).
c) Masing-masing jenis matrik dibuat sebanyak jumlah tipe ekosistem sebagaimana Hasil Langkah
2.

Hasil langkah 5
a) Terbentuk matrik dampak komponen lingkungan ekosistem seperti contoh pada Lampiran 3-1.
Matrik sebanyak jumlah tipe ekosistem menurut hasil langkah 2.
b) Terbentuk matrik dampak fungsi ekosistem seperti contoh pada Lampiran 3-2. Matrik sebanyak
jumlah tipe ekosistem menurut hasil Langkah 2.

Langkah 6
Disetiap jenis matrik yang diperoleh dari hasil langkah 4 lakukan identifikasi dampak dengan cara:
Beri tanda “X” atau “V” atau simbol lainnya pada komponen lingkungan tertentu dan fungsi tertentu
dari tipe ekosistem lahan basah yang potensial terkena dampak kegiatan tertentu dari proyek.

Hasil Langkah 6
Disetiap tipe ekosistem sebagaimana dimaksud hasil langkah 2, diperoleh daftar komponen lingkungan
dan fungsi lahan basah yang potensial akan terkena dampak.

3.1.2 Evaluasi dampak potensial


Evaluasi dampak potensial dalam proses pelingkupan bertujuan untuk meniadakan dampak potensial
yang dianggap tidak relevan atau tidak penting, sehingga diperoleh daftar dampak penting hipotetis
yang dipandang perlu dan relevan untuk ditelaah secara mendalam dalam studi AMDAL. Berikut adalah
langkah-langkah yang dapat digunakan untuk memandu evaluasi dampak potensial:

Langkah 7
Gunakan Keputusan Kepala BA PEDAL tentang Pedoman Penentuan Dampak besar dan Penting
untuk mengevaluasi penting tidaknya hasil langkah 6 dari identifikasi dampak potensial.

194
Hasil Langkah 7
Diperoleh daftar komponen lingkungan dan fungsi lahan basah yang berdasarkan Keputusan Kepala
BAPEDAL tentang Pedoman Penentuan Dampak Besar dan Penting tergolong terkena dampak besar
dan penting. Lihat pula matrik pada lampiran 3-1 sebagai contoh.

Langkah 8
Tetapkan dampak penting (hipotesis) yang akan diteliti secara mendalam dalam studi ANDAL

Hasil Langkah 8
Diperoleh daftar komponen lingkungan dan fungsi ekosistem lahan basah yang harus diteliti secara
mendalam pada studi ANDAL,yakni yang meliputi:
a. Potensial terkena dampak penting proyek berdasarkan hasil langkah 7;
b. Tidak dapat di evaluasi sifat pentingnya berdasarkan hasil langkah 7, karena data/informasi tentang
komponen lingkungan bersangkutan sangat terbatas.
Komponen lingkungan dan fungsi ekosistem lahan basah yang tidak terkena dampak penting tidak
diteliti dalam studi ANDAL.

3.1.3 Pemusatan dampak besar dan penting (Focussing)


Tujuan pemusatan dampak besar dan penting adalah untuk mengelompokkan dan mengorganisir
dampak potensial yang telah dirumuskan pada tahap evaluasi dampak potensial (butir 3.1.2.) dengan
maksud agar diperoleh isu-isu pokok lingkungan yang secara komprehensif dapat menggambarkan:
a) Keterkaitan antara rencana kegiatan proyek dengan komponen lingkungan yang akan terkena
dampak besar dan penting;
b) Keterkaitan antar dampak besar dan penting yang telah di identifikasi pada butir 3.1.2.
Langkah yang dapat ditempuh untuk memandu pemusatan dampak besar dan penting adalah sebagai
berikut:

Langkah 9
Kelompokkan dampak besar dan penting Hasil Langkah 8 atas beberapa isu pokok lingkungan.

Hasil Langkah 9
Diperoleh beberapa isu pokok lingkungan yang merefleksikan perubahan-perubahan pokok yang akan
dialami ekosistem lahan basah yang bersifat mendasar akibat adanya proyek.

Catatan Langkah 9
Dampak besar dan penting Hasil Langkah 8 dapat dikelompokkan ke dalam beberapa isu pokok
lingkungan melalui:
- Pengelompokkan berdasarkan konsentrasi persebaran dampak besar dan penting di suatu lokasi,
dan/atau
- Pengelompokkan berdasarkan struktur (komponen lingkungan) dan fungsi tertentu dari ekosistem
lahan basah yang terkena dampak besar dan penting proyek.

Langkah 10
Urutkan isu-isu pokok lingkungan Hasil Langkah 9 menurut kepentingan dari segi ekonomi, sosial
maupun ekologi.

Hasil Langkah 10
Isu-isu pokok lingkungan berdasarkan kepentingan ekonomi, sosial dan ekologi.

3.2 PELINGKUPAN WILAYAH STUDI


Pelingkupan wilayah studi yang dikembangkan di sini mengacu pada lampiran 1 Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL, dan Lampiran II Keputusan Kepala
BAPEDAL Nomor: KEP-229/11/1996 tentang Pedoman Teknis Kajian

Aspek Sosial dalam Penyusunan KA-ANDAL.

Langkah 1
Buat batas proyek dengan cara:
a) Plotkan pada peta vegetasi/peta tata guna tanah/peta sistem lahan yang tersedia, batas terluar
kegiatan proyek dalam melakukan kegiatan pra konstruksi, konstruksi dan operasi di daerah
lahan basah. Termasuk dalam hal ini alternatif lokasi kegiatan proyek. Hasil Langkah I dari butir
3.1.1 dapat digunakan untuk memandu hal ini.
b) Dalam batas proyek tersebut identifikasikan komunitas masyarakat dan/atau lembaga-lembaga
masyarakat (social institution) yang berpotensi berubah secara mendasar akibat adanya proyek.

Hasil Langkah 1
a) Diperoleh batas kegiatan proyek di daerah lahan basah di atas peta yang digunakan.

195
b) Di dalam batas proyek dimaksud teridentifikasi komunitas masyarakat atau lembaga-lembaga
masyarakat yang akan terkena dampak penting kegiatan proyek.

Catatan Langkah 1
Yang dimaksud dengan batas proyek adalah ruang dimana suatu rencana usaha atau kegiatan/proyek
akan melakukan kegiatan pra konstruksi, konstruksi dan operasi. Ruang kegiatan proyek ini merupakan
sumber dampak terhadap lingkungan di sekitarnya.

Langkah 2
Buat batas ekologis pada peta yang sama yang digunakan pada Langkah 1 dengan cara:
a) Plotkan batas terjauh dari transportasi limbah proyek, melalui media air, terhadap ekosistem
lahan basah di sekitarnya, dan/atau
b) Plotkan batas terjauh atau lokasi-lokasi tempat terjadinya gangguan atau kerusakan terhadap
fungsi ekosistem lahan basah sebagai akibat adanya proyek.
c) Gabungkan hasil langkah a) dan b) sehingga menghasilkan batas ekologis.
Hasil Langkah 2 sampai 4 dari proses Identifikasi Dampak Potensial, dapat memandu
mengarahkan hal ini.
d) Di dalam batas ekologis tersebut identifikasikan komunitas masyarakat dan/atau lembaga-
lembaga masyarakat yang berpotensi berubah mendasar sebagai akibat rusaknya sumber
daya alam dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek.

Hasil Langkah 2
a) Diperoleh batas ekologis di atas peta yang sama dengan yang digunakan pada Langkah 1.
b) Dalam batas ekologis dimaksud teridentifikasi komunitas masyarakat atau lembaga-lembaga
masyarakat yang terkena dampak penting kegiatan proyek.

Catatan Langkah 2
Yang dimaksud dengan batas ekologis adalah ruang persebaran dampak dari kegiatan proyek menurut
media transportasi limbah (air, udara) dan/atau menurut timbulnya kerusakan sumber daya alam,
dimana proses-proses alami yang berlangsung di dalam ruang tersebut diperkirakan akan mengalami
perubahan mendasar.

Langkah 3
Buat batas sosial di atas peta yang sama yang digunakan pada Langkah I dengan cara:
a) Plotkan lokasi komunitas masyarakat dan/atau lembaga-lembaga masyarakat sebagaimana
dimaksud pada Hasil Langkah 1 dan 2.
b) Plotkan lokasi komunitas masyarakat yang berada di luar batas proyek dan batas ekologi
namun berpotensi terkena dampak mendasar dari proyek misalnya, melalui penyerapan tenaga
kerja, pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial

Hasil Langkah 3
Diperoleh batas sosial di atas peta yang sama dengan yang digunakan pada Langkah 1.

Catatan Langkah 3
Yang dimaksud dengan batas sosial adalah ruang di sekitar proyek yang merupakan tempat
berlangsungnya berbagai interaksi sosial yang mengandung norma dan nilai tertentu yang sudah
mapan (termasuk sistem dan struktur sosial), yang diperkirakan akan mengalami perubahan mendasar
akibat proyek. Batas sosial dapat menyebar di beberapa lokasi dan dapat lebih luas dari batas proyek
atau batas ekologi.

Langkah 4
Buat batas administratif di atas peta yang sama yang digunakan pada Langkah 1 dengan cara:
Plotkan batas-batas kewenangan tertentu untuk mengatur/mengelola sumber daya alam dan
lingkungan tertentu yang keabsahannya diakui oleh lembaga formal pemerintahan, swasta dan/
atau lembaga lokal masyarakat setempat

Hasil Langkah 4
Diperoleh batas administratif di atas peta yang sama dengan yang digunakan pada Langkah 1.

Catatan Langkah 4
Yang dimaksud dengan batas administratif adalah ruang dimana lembaga-lembaga masyarakat tertentu
mempunyai kewenangan tertentu untuk mengatur/mengelola sumber daya alam dan lingkungan tertentu
berdasarkan peraturan perundangan yang ada. Sebagai contoh adalah batas administratif pemerintahan
daerah; batas kuasa pertambangan; batas HPH. Di dalam ruang tersebut masyarakat dapat secara
leluasa melakukan kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.

196
Langkah 5
Buat batas wilayah studi ANDAL di atas peta yang sama yang digunakan pada Langkah 1 dengan cara:
a) Buat batas terluar dari gabungan batas proyek (Hasil Langkah 1), batas ekologi (Hasil Langkah
2), batas sosial (Hasil Langkah 3), dan batas administratif (Hasil Langkah 4).
b) Tetapkan batas wilayah studi ANDAL dengan mempertimbangkan hasil kegiatan butir a) di atas
dengan dana, waktu, dan tenaga yang tersedia.

Hasil Langkah 5
Diperoleh batas wilayah studi ANDAL pada peta yang sama dengan yang digunakan pada Langkah 1.
Batas dimaksud merupakan resultante dari batas proyek, batas ekologi, batas sosial, batas administratif
dan kendala teknis yang dihadapi.

Pelingkupan Dampak Penting Pelingkupan Wilayah Studi

Identifikasi Dampak Potensial

Langkah 1: Identifikasi Rencana Kegiatan Proyek Langkah 1: Penetapan Batas Proyek


Langkah 2: Identifikasi Tipe Eksosistem
Langkah 3: Identifikasi Komponen Lingkungan
Langkah 4: Identifikasi Fungsi Ekosistem
Langkah 5: Matrik Identifikasi Dampak
Langkah 6: Identifikasi Dampak Potensial

Evaluasi Dampak Potensial Langkah 2: Penetapan Batas Ekologi


Langkah 7: Evaluasi Sifat Penting Dampak Langkah 3: Penetapan Batas Sosial
Langkah 8: Dampak Penting yg Ditelaah ANDAL Langkah 4: Penetapan Batas Administratif

Pemusatan Dampak Penting


Langkah 9: Pengelompokkan Isu-isu Lingkungan Langkah 5: Penetapan Wilayah Studi ANDAL
Langkah 10: Pengurutan Isu-isu Lingkungan

Lingkup dan Kedalaman Studi ANDAL


Rencana Kegiatan Proyek yang perlu Isu Pokok/Dampak Penting
Ditelaah Mendalam Lingkungan yang perlu Ditelaah Mendalam
Gambar 3-1. Skema Proses Pelingkupan Dampak Penting dan Studi

BAB IV PENYUSUNAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN


4.1 OUTLINE/RANCANGAN STUDI
Outline penyusunan kerangka Acuan ANDAL, ANDAL; RKL dan RPL kegiatan pembangunan di daerah lahan
basah seperti yang dijelaskan dalam Pedoman Penyusunan AMDAL. Karena itu, dalam panduan ini tidak
dijelaskan tentang outline tersebut.

4.2 METODE STUDI


4.2.1 Macam data dan informasi yang dikumpulkan
Pada bagian ini diutarakan macam data dan informasi yang akan dikumpulkan dalam studi ANDAL
Daerah Lahan Basah, yakni yang meliputi:
a) Macam data dan informasi tentang rencana kegiatan proyek yang dikumpulkan dalam studi ANDAL
berdasarkan hasil proses pelingkupan sebagaimana dimaksud pada Bab III terdahulu.
b) Macam data dan informasi tentang struktur dan fungsi ekosistem lahan basah, termasuk yang
tergolong terkena dampak penting, yang dikumpulkan dalam studi ANDAL berdasarkan hasil proses
pelingkupan sebagaimana dimaksud pada Bab III terdahulu.
Data yang dikumpulkan tersebut meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data
yang diperoleh langsung dari sumber data. Adapun data sekunder merupakan data yang diperoleh
secara tidak langsung dari sumber data.

4.2.2 Wilayah studi ANDAL daerah lahan basah

197
Pada bagian ini dipaparkan wilayah studi ANDAL daerah lahan basah dengan mengacu pada hasil
proses pelingkupan sebagaimana dimaksud pada Bab III terdahulu. Pada peta ini dicantumkan pula
lokasi pengamatan atau pengambilan contoh/sampel pada saat studi ANDAL dilaksanakan.

4.2.3 Metode pengumpulan dan analisis data


Data dan informasi tersebut dikumpulkan dan di analisis dengan maksud untuk:
a) mengetahui kondisi atau rona lingkungan hidup ekosistem lahan basah sebelum proyek dibangun,
b) memprakirakan besar dampak lingkungan yang akan dialami oleh struktur dan fungsi ekosistem
lahan basah sebagai akibat adanya proyek dengan menggunakan hasil kegiatan butir a).
c) mengevaluasi dampak lingkungan dari proyek terhadap struktur dan fungsi ekosistem lahan basah
secara holistik dengan menggunakan hasil kegiatan butir a) dan butir b).
Data primer dikumpulkan melalui metode survei. Adapun data sekunder diperoleh melalui pengumpulan
data dari pihak ketiga.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan metode pengumpulan dan analisis data adalah:
a) Untuk menghasilkan data yang berkualitas keakuratan dan kemantapan alat ukur merupakan
hal penting yang harus diperhatikan. Untuk itu metode atau instrumen yang bersifat sahih
dan reliabel merupakan pilihan utama yang harus digunakan.
b) Dampak besar dan penting yang diakibatkan oleh proyek pada umumnya tidak menyebar
secara merata di seluruh komponen ekosistem lahan basah serta di seluruh kelompok
atau lapisan masyarakat yang terkena dampak. Variabilitas ini harus dapat diketahui oleh
penyusun ANDAL.
c) Mengingat ekosistem lahan basah yang dimaksud dalam panduan ini merupakan ekosistem
yang tergolong memiliki variabilitas dan heterogenitas yang tinggi, dan dilain pihak dalam
studi ANDAL diperlukan prakiraan dampak yang tajam, maka dalam pengumpulan data atau
penarikan sampel perlu diperhatikan hal berikut:
- metode pengambilan contoh (sampling) yang digunakan harus disesuaikan dengan
tujuan dan efisiensi pengukuran,serta sifat dan karakter komponen lingkungan yang
diukur.
- Kejelasan satuan analisis yang akan diukur, misal untuk biologi pada tingkatan
komunitas, untuk aspek sosial berjenjang dari rumah tangga, kampung, desa hingga
kecamatan sesuai dengan parameter yang hendak diukur.
- Lokasi pengambilan sampel harus dapat mewakili heterogenitas persebaran dampak,
yang meliputi:
(1) daerah atau kelompok masyarakat yang diprakirakan akan terkena dampak; dan
(2) daerah atau kelompok masyarakat yang diprakirakan tidak akan terkena dampak
sebagai lokasi rujukan/pembanding (reference station).
- Waktu pengambilan sampel harus dapat mewakili variabilitas harian, bulanan atau
musiman. Sebagai misal, dalam studi ANDAL di ekosistem lahan basah yang
terpengaruh gerak pasang surut air laut, saat pengambilan sampel kualitas air harus
dapat mewakili pola pasang surut yang ada.
d) Khusus untuk aspek sosial, data dan informasi yang dikumpulkan agar tidak hanya
menggunakan ukuran-ukuran yang bersifat penting dari sudut pandang pelaksana studi/
pakar (etic) namun juga menurut pandangan target group (kelompok/masyarakat sasaran)
di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan (emic).
e) Kualitas data sekunder harus dicermati untuk itu diperlukan cross check dengan data lain
yang diperoleh.
Contoh metode pengumpulan dan/atau analisis data yang digunakan oleh penyusun ANDAL dapat
dilihat pada Tabel 4-1 sampai Tabel 4-3.

Tabel 4-1 Contoh Metode Pengumpulan dan Analisis data Aspek Fisik Kimia

198
Komponen Parameter Metode Pengumpulan Data Metode Keterangan
Lingkungan Analisis
Metode Lokasi Data

Iklim · Curah hujan


· Pengumpulan · Pelabuhan · Tabulasi data
· Suhu dan data sekunder Udara terdekat · Klasifikasi Schmith
kelembaban nisbi udara · Stasiun & Ferguson,
· Lama penyinaran · Pengamatan Meteorologi Koppen dan
matahari Lapang terdekat. Oldeman
· Kecepatan angin
Hidrologi · Tinggi dan elevasi muka · Pengukuran · Sungai · Analisis Hidrograf
air Lapang · Saluran · Pengukuran Lapang
· Debit dan pola aliran · Pengamatan Primer, · Penilaian Ahli
· Tinggi, lama, dan fre- Lapang Sekunder &
kuensi genangan/banjir Tersier
· Pola sedimentasi dan
drainase
Sifat fisik air · Warna · Pengukuran · Sungai · Visual
permukaan · Rasa dan bau insitu · Saluran · Organoleptik
· Kekeruhan · Pengambilan Primer, · Gravimetrik
· Padatan tersuspensi sampel air Sekunder & · Elektrometrik.
· pH Tersier
· DHL

Sifat kimia air · DO · Titrasi · Sungai · Titrimetrik


permukaan · BOD · Titrasi · Saluran · Titrimetrik
· COD · Titrasi Primer, · Titrimetrik
· Kesadahan Total · Titrasi Sekunder & · Titrimetrik
· Kalsium (Ca) Tersier · Spektrofotometrik
· Magnesium (Mg)
· Mangan (Mn)
· Karbonat (CO3)
· Nitrit (NO2)
· Nitrat (NO3)
· Sulfat (SO4)

Tanah · Fisiografi, litologi · Observasi · Lahan · Penilaian Ahli


· Sifat fisik tanah Lapang gambut · Analisa labo-
· Sifat kimia tanah · Pengeboran · Lahan rawa ratorium
dan pengam -
bilan contoh
tanah.

199
Tabel 4-2 Contoh Metode Pengumpulan dan Analisis data- Aspek Biologi

Komponen Parameter Metode Pengumpulan Data Metode Keterangan


Lingkungan Lokasi Analisis Data
Metode

Komunitas · Keanekaragaman · Transek · Hutan Bakau · Penghitungan


Vegetasi jenis/komunitas · Pengumpulan · Hutan Rawa Indek Nilai
vegetasi data sekunder · Hutan Payau Penting (INP)
· Keanekaragaman · Analisis vegetasi · Indek Keaneka-
jenis/komunitas biota · Observasi ragaman
air/phytoplankton lapangan · Indek Kesera-
· Struktur dan · Transek gaman Jenis.
komposisi vegetasi · Pemetaan
· Jenis dan populasi Plasma Nutfah.
vegetasi yang bernilai
ekonomi tinggi
· Jenis dan populasi
vegetasi yang bernilai
ekologi tinggi
· Zona habitat khusus
dan plasma nutfah

Komunitas · Keanekaragaman · Pengumpulan · Hutan Bakau · Penghitungan


Satwa Liar jenis/komunitas data sekunder · Hutan Rawa Indek Nilai
satwa liar · Analisis satwa · Hutan Payau Penting (INP)
· Keanekaragaman liar · Indek Keaneka-
jenis/komunitas biota · Observasi ragaman
air/zooplankton, lapangan · Indek Kesera-
nekton gaman Jenis.
· Jenis dan populasi · Tabulasi Jenis
satwa liar bernilai Satwa Liar yang
ekonomi tinggi di Lindungi.
· Jenis dan populasi
satwa liar bernilai
ekologi tinggi
· Jenis dan populasi
nekton yang bernilai
ekonomi tinggi
· Jenis dan populasi
nekton yang bernilai
ekologi tinggi
· Jenis satwa liar yang
langka dan/atau
dilindungi

200
Tabel 4-3 Contoh Metode Pengumpulan dan Analisis data Aspek Sosial

Komponen Parameter Metode Pengumpulan Data Metode Keterangan


Lingkungan Analisis Data
Metode Lokasi

· Kepadatan dan · Pengumpulan · Desa-desa/ · Tabulasi silang Untuk pere-


Sosial Ekonomi
pertumbuhan penduduk data sekunder. pemukiman pen- · Analisis deskriptif konomian
· Persebaran penduduk · Observasi lapang duduk terdekat. dan tabulasi si- dilakukan di
· Peluang bekerja dan · Wawancara · Wilayah lang pusat pusat
berusaha administrasi · Penilaian Ahli kegiatan per-
· Pemilikan dan penguasaan proyek. ekonomian.
atas sumber daya alam
· Persarana perhubungan air
· Pemukiman penduduk
· Fasilitas umum, pendidikan,
kesehatan, dan peribadatan

Sosial Budaya · Adat istiadat · Pengumpulan · Desa-desa/ · Tabulasi silang


· Kelembagaan tradisional data sekunder. pemukiman · Analisis deskriptif
· Aktivitas perekonomi · Observasi lapang penduduk dan tabulasi si-
dan perdagangan · Wawancara terdekat. lang
· Sistem pertanian dengan tokoh · Wilayah · Penilaian Ahli
· Akulturasi dan asimilasi masyarakat dan administrasi
· Kesehatan masyarakat ketua suku atau proyek.
· Kesehatan lingkungan adat.

4.2.4. Metode prakiraan dampak dan evaluasi dampak


Metode prakiraan dampak dan metode evaluasi dampak yang digunakan dalam studi ANDAL Daerah
Lahan Basah agar mengikuti panduan yang terdapat pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.

4.3 URAIAN RENCANA DAN USAHA ATAU KEGIATAN


Dalam bagian ini deskripsi rencana kegiatan pembangunan kawasan lahan basah hendaknya diuraikan
secara rinci dan sistematis. Hal-hal penting yang perlu dimuat antara lain adalah tentang (sebagian
diantaranya merujuk pada Bab III di depan):
1. Kegiatan pra konstruksi yang meliputi:
a) Kegiatan survei :
b) Kegiatan pembebasan lahan
2. Kegiatan konstruksi, yang meliputi :
a) Kegiatan yang bersifat merubah lahan/lansekap lahan:
i. Pengurangan/pembuangan lahan
ii. Penambahan/pengurukan lahan
iii. Pemadatan lahan
b) Kegiatan yang bersifat mengubah rejim hidrologi :
i. Pembangunan saluran drainase
ii. Kanalisasi sungai
iii. Pengalihan aliran
iv. Konstruksi dam
c) Kegiatan yang bersifat mengubah komposisi vegetasi :
i. Penebangan vegetasi
ii. Pemungutan hasil
iii. Penanaman tanaman (penghijauan/reklamasi)
iv. Introduksi spesies asing
d) Kegiatan yang bersifat mengubah komposisi satwa :
i. Pengambilan/perburuan satwa
ii. Introduksi spesies asing

201
3. Kegiatan operasi, yang meliputi:
a) Kegiatan proses produksi yang menimbulkan pencemaran :
i. Minyak
ii. Kimia
iii. Radioaktif
iv. Limbah domestik
v. Limbah Industri
vi. Panas
vii. Udara
b) Kegiatan instalasi dan operasi pengolah limbah :
i. Limbah padat
ii: Limbah cair
iii. Limbah gas
c) Kegiatan pengambilan/pemanfaatan air untuk kebutuhan domestik dan kebutuhan proses produksi:
i. air permukaan(sungai, danau)
ii. air tanah dalam
d) Kegiatan rekrutmen tenaga kerja
e) Kegiatan yang mendorong pengembangan wilayah :
i. Aksesibilitas wilayah
ii. Pusat-pusat pertumbuhan baru
Di berbagai jenis kegiatan tersebut usahakan dapat diutarakan perihal :
a) Disain teknik yang akan diaplikasikan. Mengingat studi ANDAL ini dilakukan saat proyek berada
pada tahap studi kelayakan , maka disain teknik yang diutarakan masih belum bersifat rinci detail.
b) Alternatif lokasi, alternatif ruas jalan, atau alternatif disain teknik yang sedang ditelaah
c) Jenis dan jumlah peralatan yang digunakan dalam kegiatan konstruksi
d) Teknologi dan proses yang digunakan pada saat kegiatan operasi
e) Tenaga kerja yang dicurahkan.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL dapat digunakan
sebagai rujukan untuk pengumpulan data dan informasi tentang rencana usaha dan/atau kegiatan
yang akan dibangun.

4.4 RONA LINGKUNGAN HIDUP


Rona lingkungan yang diutarakan dalam studi ANDAL kegiatan pembangunan di daerah lahan basah pada
dasarnya harus dapat menggambarkan tentang:
a) struktur dari setiap tipe ekosistem lahan basah yang potensial terkena dampak proyek terutama
komponen lingkungan yang akan terkena dampak penting sebagaimana dinyatakan pada butir 4.2.1.
b) fungsi dari setiap ekosistem lahan basah yang potensial terkena dampak proyek terutama fungsi
lingkungan yang akan terkena dampak penting sebagaimana dinyatakan pada butir 4.2.1.

4.4.1 Struktur ekosistem lahan basah


Pada bagian ini diuraikan struktur ekosistem lahan basah saat proyek belum dibangun dan beroperasi
di daerah tersebut. Uraian disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut (hanya contoh saja).
1. Komponen Fisik-Kimia
a) Iklim, yang meliputi:
i. Curah hujan
ii. Suhu dan kelembaban nisbi udara
iii. Panjang penyinaran matahari .
iv. Kecepatan angin
b) Hidrologi, yang meliputi:
i. Tinggi dan elevasi muka air
ii. Debit dan pola aliran
iii. Tinggi, lama, dan frekuensi genangan/banjir
iv. Pola sedimentasi dan drainase
v. Sifat fisik dan kimia air permukaan
c) Tanah, yang meliputi:
i. Fisiografi; litologi
ii. Sifat fisik tanah
iii. Sifat kimia tanah
2. Komponen Biologi
a) Komunitas vegetasi
i. Keanekaragaman jenis/komunitas vegetasi
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota air/phytoplankton
iii. Struktur dan komposisi vegetasi
iv. Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai ekonomi tinggi
v. Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai ekologi tinggi
vi. Zona habitat khusus dan plasma nutfah
b) Komunitas satwa liar
i. Keanekaragaman jenis/komunitas satwa liar
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota air/zooplankton, nekton
iii. Jenis dan populasi satwa liar bernilai ekonomi tinggi.
iv Jenis dan populasi satwa liar bernilai ekologi tinggi
v. Jenis dan populasi nekton yang bernilai ekonomi tinggi
vi. Jenis dan populasi nekton yang bernilai ekologi tinggi
vii. Jenis satwa liar yang langka dan/atau dilindungi

202
3. Komponen sosial ekonomi dan sosial budaya :
a) Kepadatan dan pertumbuhan penduduk
b) Persebaran penduduk
c) Peluang bekerja dan berusaha
d) Pemilikan dan penguasaan atas sumber daya alam
e) Persarana perhubungan air
f) Pemukiman penduduk
g) Fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, dan peribadatan
h) Adat istiadat
i) Kelembagaan tradisional
j) Aktivitas perekonomi dan perdagangan
k) Sistem pertanian
l) Akulturasi dan asimilasi
m) Kesehatan masyarakat
n) Kesehatan lingkungan

4.4.2 Fungsi ekosistem lahan basah


Pada bagian ini diuraikan fungsi-fungsi ekosistem lahan basah yang saat ini masih dimiliki oleh
ekosistem bersangkutan sebelum proyek beroperasi di daerah tersebut. Uraian disusun berdasarkan
sistematika sebagai berikut (hanya contoh saja).
1) Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air), yang berupa:
i. Pemanfaatan langsung oleh masyarakat
ii. Ke lokasi lain:
- Pasokan air ke aquifer (groundwater recharge)
- Pasokan air ke lahan basah lainnya
2) Fungsi pengendalian air, terutama pengendalian banjir
3) Fungsi pencegah intrusi air laut ke:
i. Air tanah
ii. Air permukaan
4) Fungsi lindung (dari kekuatan alam), yang berupa:
i. Perlindungan garis pantai dan pengendalian erosi
ii. Pemecah angin (windbreak)
5) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen
6) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara
7) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-bahan beracun
8) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekonomi, seperti:
i. Kayu
ii. Ikan dan daging satwa (misal, rusa)
iii. Rotan, getah, dan obat
iv. Gambut
9) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekologi, seperti:
i. Bahan organik dan anorganik yang tertransportasi ke hilir ,
ii. Hara terlarut yang tertransportasi ke hilir
iii. Ikan dan burung-burung migran
10) Fungsi pemasok energi, misal: energi dari kayu, listrik-hidro
11) Fungsi transportasi/perhubungan
12) Fungsi bank gen bagi:
i. Spesies-spesies tumbuhan komersil
ii. Populasi satwa liar
13) Fungsi konservasi bagi:
i. Spesies langka dan dilindungi
ii. Habitat satwa liar dan tumbuhan penting
iii. Komunitas
iv. Ekosistem
v. Lansekap atau jenis-jenis lahan basah
14) Fungsi rekreasi dan pariwisata
15) Fungsi sosial budaya; yang diantaranya berupa:
i. Estetika lansekap
ii. Keagamaan dan spiritual
iii. Peninggalan sejarah
16) Fungsi sosial ekonomi, yang diantaranya meliputi:
i. Sumber mata pencaharian masyarakat setempat
ii. Tanah adat masyarakat setempat
17) Fungsi penelitian dan pendidikan
18) Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, yang antara lain berupa:
i. Proses ekologi, geomorfologi dan geologi
ii. Rosot karbon (carbon sink)
iii. Pencegahan perluasan tanah sulfat masam

4.5 PRAKIRAAN DAMPAK PENTING


Bab tentang prakiraan dampak penting yang diutarakan dalam studi ANDAL daerah lahan basah pada
dasarnya harus dapat menggambarkan tentang:
1) Analisis prakiraan dampak hanya dilakukan pada komponen-komponen lingkungan yang potensial
terkena dampak penting sebagaimana dinyatakan pada angka 3.1.2 (Langkah 8: Komponen Dampak
Penting yang Ditelaah ANDAL). Dengan kata lain analisis prakiraan dampak hanya ditujukan pada
komponen-komponen tertentu dari struktur ekosistem lahan basah yang terkena dampak penting.

203
2) Analisis prakiraan dampak yang dimaksud pada angka 1) di atas meliputi kajian tentang arah dan
besar dampak yang akan terjadi di setiap tipe ekosistem lahan basah yang terkena dampak yang
dimaksud oleh angka 3.1.1 Langkah 2.
3) Prakiraan terhadap besarnya dampak lingkungan yang timbul dapat dilakukan dengan dua metode,
yaitu:
a) metode formal, yang antara lain meliputi model matematik, dan metode grup eksperimen.
b) metode non-formal yang antara lain meliputi penilaian para ahli, dan metode analogi
4) Sehubungan dengan proyek masih berada pada tahap studi kelayakan, dimana masih dilakukan
pemilihan alternatif kegiatan (misal alternatif lokasi dan/atau teknologi yang digunakan), maka prakiraan
besar dampak sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan 2) di atas dilakukan untuk masing-masing
alternatif kegiatan.
5) Prakiraan dampak pada komponen ekosistem lahan basah perlu memperhatikan faktor-faktor berikut
ini:
a) Ekosistem lahan basah banyak dijumpai berada antara ekosistem daratan dan ekosistem pesisir/
laut. Sebagai misal, zona rawa lebak terkait dengan ekosistem daratan di atasnya, sementara
zona pasang surut terkait dengan ekosistem pesisir/laut. Sehingga prakiraan dampak juga harus
memperhitungkan pengaruh faktor eksternal pada komponen lingkungan yang tengah ditelaah
secara mendalam untuk keperluan ANDAL. Hal ini terutama perlu diperhatikan pada studi AMDAL
Kegiatan Terpadu dan AMDAL Kawasan.
b) Ekosistem lahan basah kebanyakan masih berwujud alami,sehingga tingkat keanekaragaman
hayati masih relatif tinggi sehingga prakiraan dampak harus dilakukan pada seluruh komponen
ekosistem yang terkena dampak penting, sebagai landasan untuk menilai totalitas dampak proyek
terhadap fungsi dari ekosistem lahan basah (untuk keperluan Bab Evaluasi Dampak).
c) Daerah lahan basah umumnya merupakan medan yang berat dan terisolasi sehingga kebanyakan
desa yang ada tergolong miskin, tradisional, dan berpendidikan rendah. Prakiraan dampak penting
aspek sosial dengan demikian harus mencermati kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat
setempat.
6) Mengingat dikalangan komponen ekosistem lahan basah terdapat keterkaitan dan ketergantungan
yang tinggi, sebagaimana diutarakan pada butir 5) di atas, maka dalam analisis prakiraan dampak
(serta evaluasi dampak) perlu diperhatikan pola aliran dampak yang dapat terjadi sebagai berikut:
a) Mekanisme aliran dampak yang bersifat inter ekosistem:
- Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen fisik kimia kemudian
menimbulkan rangkaian dampak lanjutan berturut-turut terhadap komponen biologi
dan sosial. Sebagai contoh: proyek mengakibatkan erosi dan abrasi pantai yang
kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan pada populasi biota akuatik yang
bernilai ekonomi tinggi, dan kemudian pada mata pencaharian penduduk setempat.
- Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen biologi yang kemudian
membangkitkan dampak lanjutan pada komponen sosial. Sebagai misal, proyek
mengakibatkan dampak negatif terhadap habitat satwa liar langka dan dilindungi
(gajah) yang kemudian membangkitkan dampak lanjutan berupa gangguan gajah
terhadap produksi pertanian.
- Proyek langsung menimbulkan dampak pada salah satu komponen sosial dan
kemudian berdampak lanjutan dikalangan komponen sosial sendiri.
- Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen biologi dan kemudian
menimbulkan dampak lanjutan terhadap komponen fisik-kimia dan sosial. Sebagai
misal, proyek mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove. Kerusakan pada
ekosistem mangrove ini menyebabkan kerusakan pada stabilitas pantai dan kemudian
berdampak lanjutan pada produksi tambak di pesisir
- Dampak besar dan penting yang diutarakan seluruhnya pada huruf a) selanjutnya
mengakibatkan dampak balik pada kegiatan proyek.
b) Mekanisme aliran dampak yang bersifat antar ekosistem:
Dampak penting yang dialami suatu ekosistem akibat adanya aktivitas tertentu dari proyek
mengakibatkan dampak lanjutan pada ekosistem lainnya. Sebagai contoh, kerusakan
ekosistem hutan bakau akibat kegiatan suatu proyek pembangunan dapat mengakibatkan
dampak lanjutan pada ekosistem terumbu karang di perairan pesisir dan juga pada
ekosistem rawa lebak yang terletak lebih ke pedalaman.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL dan Keputusan Kepala
Bapedal tentang Panduan Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan AMDAL, disarankan digunakan pula
sebagai acuan untuk prakiraan dampak penting.

Untuk mencapai maksud tersebut penulisan pada Bab ini perlu dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut.

Langkah 1:
Prakirakan dampak penting dengan cara:
a) prakirakan besar dampak untuk setiap komponen dampak lingkungan yang terdapat dalam
angka 3.1.2, khususnya Langkah 8: Komponen Dampak Besar dan Penting yang ditelaah dalam
ANDAL
b) prakiraan dilakukan untuk setiap tipe ekosistem lahan basah yang terdapat dalam angka 3.1.1
khususnya Langkah 2 : Identifikasi Tipe Ekosistem.

Hasil Langkah 1
Diperoleh data dan informasi perihal besar (atau magnitude) dampak yang akan dialami oleh setiap
komponen dampak penting dari setiap tipe ekosistem tertentu yang terkena dampak kegiatan tertentu
dari proyek.
204
Langkah 2
Lakukan hal yang sama seperti Langkah 1 di atas untuk setiap alternatif kegiatan proyek menurut
yang terdapat dalam angka 3.1.1 khususnya Langkah 1: Identifikasi Rencana Kegiatan Proyek.
Hasil Langkah 2
Diperoleh prakiraan besar (atau magnitude) dampak yang akan dialami oleh setiap komponen dampak
penting dari setiap tipe ekosistem dan setiap alternatif tertentu kegiatan proyek.
4.6 EVALUASI DAMPAK PENTING
Penulisan bab evaluasi dampak penting dimaksudkan untuk:
1) Mengevaluasi dampak berbagai alternatif kegiatan proyek secara komprehensif/holistik, berikut dengan
arti penting dari perubahan atau dampak tersebut dari sudut ekologi dan sosial, sebagai bahan masukan
untuk pengambilan keputusan atas kelayakan lingkungan dari proyek.
2) Memberi arahan untuk penyusunan program-program pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang
akan dituangkan dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan dokumen Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL).
Untuk mencapai maksud tersebut penulisan pada bab ini perlu diarahkan sebagai berikut:
Langkah 1:
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak; telaah secara komprehensif perubahan seluruh
komponen yang terkena dampak penting (atau dalam hal ini perubahan struktur ekosistem lahan
basah) akibat alternatif kegiatan tertentu proyek, dengan cara:
a) telaah fenomena hubungan sebab-akibat yang potensial terjalin dikalangan seluruh komponen
dampak penting yang tercantum pada angka 4.5. (Hasil Langkah 2), berikut dengan penyebab
utama perubahan tersebut
b) telaah arti penting dari perubahan yang dimaksud pada huruf a) tersebut dengan menggunakan
Keputusan Kepala BAPEDAL tentang Pedoman Penentuan Dampak Besar dan Penting.
Hasil Langkah 1
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak menurut alternatif tertentu dari proyek diperoleh sintesis
komprehensif perihal:
a) fenomena perubahan struktur ekosistem: akibat adanya alternatif tertentu dari proyek, berikut dengan
penyebab utama perubahan tersebut.
b) arti penting dari berubahnya struktur ekosistem lahan basah dimaksud.
Catatan Langkah 1
Penelaahan secara komprehensif fenomena hubungan sebab akibat dan penyebab utama perubahan
struktur ekosistem, dapat dilakukan melalui metode matrik (misal, matrik Leopold), metode daftar uji
berskala dengan pembobotan (misal, Environmental Evaluation System), dan/atau metode bagan alir.

Langkah 2
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak, telaah secara komprehensif sejauh mana perubahan
struktur ekosistem lahan basah yang dimaksud pada Langkah 1 berpengaruh terhadap fungsi
ekosistem, dengan cara:
a) telaah sejauh mana fungsi-fungsi ekosistem yang tercantum pada angka 3.1.1 (yakni langkah 4
proses pelingkupan), dan yang tercantum pada angka 4.4.2 (yakni Rona Lingkungan Hidup)
akan berubah secara mendasar.
b) telaah arti penting dari perubahan yang dimaksud pada huruf a) tersebut dengan menggunakan
Keputusan Kepala BAPEDAL tentang Pedoman Penentuan Dampak Besar dan Penting.
Hasil Langkah 2
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak menurut alternatif tertentu dari proyek diperoleh sintesis
komprehensif perihal:
a) fenomena perubahan fungsi ekosistem, akibat adanya alternatif tertentu dari proyek, berikut dengan
penyebab utama perubahan tersebut.
b) arti penting dari berubahnya fungsi ekosistem lahan basah dimaksud
Langkah 3
Telaah kelayakan lingkungan dari kegiatan proyek, dengan cara:
a) Untuk setiap alternatif kegiatan proyek, lakukan telaahan sejauh mana dampak besar dan
penting yang ditimbulkan terhadap struktur dan fungsi ekosistem lahan basah sebagaimana
dimaksud pada Langkah 1 dan 2, memenuhi Pasal 22 PP Nomor 21 Tahun 1999.
b) Bila seluruh alternatif kegiatan proyek memenuhi Pasal 22 PP Nomor 21 Tahun 1999, maka pilih
alternatif yang paling minimum menimbulkan dampak penting negatif terhadap ekosistem lahan
basah.
Hasil Langkah 3
Diperoleh informasi perihal alternatif kegiatan proyek yang layak dari segi lingkungan hidup.
Langkah 4
Dari alternatif kegiatan proyek yang layak dari segi lingkungan, rumuskan arahan untuk RKL dan
RPL dengan prioritas pada pencegahan dampak lingkungan.
Hasil Langkah 4
Diperoleh langkah-langkah strategis untuk:
a) mencegah dan menanggulangi dampak penting negatif serta meningkatkan dampak positif sebagai
arahan untuk penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL),
b) memantau dampak penting negatif sebagai arahan untuk penyusunan dokumen Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL).

205
BAB V PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (RKL) DAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN
(RPL)
5.1 RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (RKL)
5.1.1 Lingkup dokumen rencana pengelolaan lingkungan
Dokumen RKL, dalam pengertian generik, merupakan dokumen yang memuat upaya, program dan/
atau tindakan-tindakan untuk mencegah, mengendalikan dan menanggulangi dampak penting
lingkungan yang bersifat negatif dan meningkatkan dampak positif yang timbul sebagai akibat dari
proyek.
Dalam pengertian tersebut upaya atau program pengelolaan lingkungan di ekosistem lahan basah
tersebut mencakup empat kelompok aktifitas, yakni:
a) Pengelolaan lingkungan yang tujuan utamanya adalah untuk mencegah timbulnya dampak penting
yang bersifat negatif disaat pra konstruksi, konstruksi, operasi maupun pasca operasi, misalnya
melalui pemilihan lokasi atau teknologi yang dapat mencegah rusaknya fungsi-fungsi tertentu dari
eksosistem lahan basah. Dalam konteks pembangunan proyek di ekosistem lahan basah,
pencegahan dampak negatif merupakan prioritas utama mengingat sifat ekosistemnya yang
kompleks dan multi fungsi.
b) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk memanfaatkan ulang (reuse), mendaur ulang (recy-
cle), dan/atau mengurangi (reduce) dampak penting yang bersifat negatif bila upaya, program atau
tindakan yang dimaksud pada huruf a) dari sudut ekonomi, teknologi dan sosial tidak
memungkinkan atau sulit untuk ditempuh
c) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi-fungsi alami dari ekosistem
lahan basah sehingga proyek memberi dampak positif yang tidak hanya pada manfaat ekonomi
saja.
d) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk memulihkan merehabilitasikan fungsi-fungsi tertentu
ekosistem lahan basah yang terkena dampak penting negatif dari proyek sebagai kompensasi
terhadap rusak atau hilangnya fungsi-fungsi tertentu ekosistem di saat pra-konstruksi, konstruksi
dan operasi proyek.
Keempat bentuk pengelolaan lingkungan tersebut pada dasarnya merupakan upaya, program atau
tindakan untuk mencegah, menanggulangi dan mengendalikan kerusakan komponen lingkungan atau
struktur ekosistem lahan basah. Dengan dicegah/ditanggulanginya kerusakan struktur maka fungsi
ekosistem lahan basah juga dapat dicegah/ditanggulangi dari kerusakan akibat proyek.

5.1.2 Kedalaman dokumen rencana pengelolaan lingkungan


Mengingat dokumen AMDAL merupakan bagian dari studi kelayakan, maka yang termuat dalam dokumen
RKL adalah berupa pokok-pokok arahan, prinsip-prinsip atau persyaratan untuk melaksanakan upaya,
program atau tindakan-tindakan yang diprioritaskan pada pencegahan dampak penting yang bersifat
negatif. Bila dipandang perlu dapat dilengkapi dengan acuan literatur tentang rancang bangun untuk
pencegahan dan pengendalian dampak. Lebih lanjut pada Lampiran Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL dipaparkan alasan yang melatar belakangi
kedalaman dokumen RKL.

5.1.3 Struktur inti dokumen rencana pengelolaan lingkungan


Inti dokumen RKL termuat butir yang memuat enam aspek berikut ini:
a) Komponen lingkungan terkena dampak penting yang dikelola
b) Tujuan pengelolaan lingkungan
c) Pengelolaan lingkungan
d) Waktu pengelolaan lingkungan
e) Pembiayaan pengelolaan lingkungan
f) Institusi pengelolaan lingkungan.
Perlu diperhatikan bahwa enam aspek pengelolaan lingkungan tersebut diterapkan untuk setiap tipe
ekosistem lahan basah yang terkena dampak penting sebagaimana dimaksud pada angka 4.6 dari
Bab IV di muka, yakni Bab Evaluasi Dampak dari dokumen ANDAL.
a) Komponen lingkungan terkena dampak penting yang dikelola
Pada butir ini utarakan secara singkat komponen lingkungan yang terkena dampak penting
berikut dengan penyebabnya (menurut hasil ANDAL), yang dipandang strategis untuk dikelola
di suatu tipe ekosistem lahan basah komponen lingkungan tersebut strategis untuk dikelola
berdasarkan pertimbangan:
a) Komponen lingkungan yang dikelola merupakan isu pokok lingkungan sebagaimana
dimaksud oleh hasil pelingkupan pada angka 3.1.2 Langkah 10, dan terkena dampak
penting sebagaimana yang ditelaah pada angka 4.5 (Prakiraan Dampak Penting).
b) Dampak penting yang dikelola adalah yang tergolong banyak menimbulkan dampak
penting turunan (dampak sekunder, tersier, kuarter dan selanjutnya) dan/atau yang
banyak menimbulkan dampak penting pada fungsi ekosistem lahan basah, sehingga
bila dicegah/ditanggulangi akan membawa pengaruh lanjutan pada dampak penting
turunannya. Pada bagian ini sekaligus diutarakan pula penyebab timbulnya dampak
penting. Penyebab dampak penting dimaksud dapat mengacu pada Bab Prakiraan
Dampak dan Bab Evaluasi Dampak dari dokumen ANDAL sebagaimana tercantum
pada angka 4.5.dan angka 4.6 di muka.
b) Tujuan pengelolaan lingkungan
Pada bagian ini utarakan secara spesifik tujuan dikelolanya dampak penting di suatu tipe
ekosistem lahan basah berikut dengan dampak turunannya yang secara simultan akan
turut tercegah/ tertanggulangi (keterkaitan inter ekosistem).
Bila lebih dari 1 tipe ekosistem yang terkena dampak dan mengingat adanya keterkaitan
antar ekosistem sebagaimana diutarakan pada angka 4.5. maka pada bagian ini utarakan
pula komponen lingkungan dari tipe eksositem lahan basah lainnya yang akan turut tercegah/
tertanggulangi dari kerusakan.

206
Pernyataan tujuan pengelolaan lingkungan dapat merujuk Lampiran Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan
(RKL).
c) Pengelolaan lingkungan
Pada butir ini hendaknya diuraikan secara jelas upaya-upaya, program atau tindakan untuk
mencegah, menanggulangi dan mengendalikan dampak negatif penting serta berbagai
upaya untuk mengembangkan dampak positif penting akibat kegiatan proyek.
Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang diutarakan harus berciri sebagai
berikut:
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang dijalankan akan dapat
mencapai tujuan pengelolaan lingkungan yang tercantum pada huruf c).
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang dijalankan merupakan
kombinasi dari tiga pendekatan: teknologi, ekonomi atau kelembagaan. Jika upaya
pengelolaan lingkungan dilakukan melalui pendekatan teknologi, maka sedapat
mungkin dituangkan desain teknologinya.
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang dijalankan bermuara
pada dilindungi atau dipertahankannya fungsi-fungsi ekosistem lahan basah
sebagaimana yang disebut pada halaman III-5 s/d III-6.
d) Waktu dan lokasi pengelolaan
Pada butir ini hendaknya dijelaskan tentang waktu dan lokasi pengelolaan lingkungan dengan
memperhatikan sifat dampak penting yang dikelola (lama dampak berlangsung, sifat
kumulatif, berbalik tidaknya dampak) sebagaimana telah diutarakan pada angka 4.5. Lokasi
pengelolaan lingkungan sejauh mungkin dilengkapi pula dengan peta/sketsa/gambar.
e) Pembiayaan pengelolaan lingkungan
Pembiayaan untuk pengelolaan lingkungan bersumber dari pemrakarsa proyek. Biaya
dimaksud antara lain meliputi: biaya investasi, biaya operasi dan biaya pendidikan serta
pelatihan keterampilan operasional
f) Institusi pengelolaan lingkungan
Uraian pada butir ini hendaknya mengacu pada makna yang terkandung dalam Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Pengelolaan Lingkungan.

5.2 RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)


5.2.1 Lingkup dokumen rencana pemantauan lingkungan
Pemantauan lingkungan dapat digunakan untuk memahami fenomena-fenomena perubahan lingkungan
yang terjadi mulai dari tingkat sekitar proyek sampai ke tingkatan ekosistem, kawasan, atau bahkan
regional, tergantung pada skala kepentingan atau keacuhan terhadap isu lingkungan yang timbul.
Pada ekosistem lahan basah pemantauan lingkungan setidaknya harus mampu memantau perubahan-
perubahan yang terjadi di sekitar proyek dan di tingkatan ekosistem lahan basah yang terkena dampak.
Pemantauan merupakan kegiatan yang berorientasi pada data, sistematik, berulang dan terencana.
Dengan demikian kegiatan pemantauan sangat berbeda dengan pengamatan yang bersifat acak dan
sesaat.
Tujuan utama dari dokumen RPL adalah sebagai pedoman untuk melaksanakan upaya pemantauan
lingkungan, sehingga RKL dapat dijamin terlaksana secara efektif serta untuk mendeteksi perubahan-
perubahan yang tidak terduga pada komponen lingkungan/struktur dan fungsi ekosistem lahan basah.

5.2.2 Kedalaman dokumen rencana pemantauan lingkungan


Kedalaman yang diinginkan dokumen RPL mengacu pada Lampiran Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Khusus
ekosistem lahan basah, selain 6 (enam) faktor yang diutarakan pada Keputusan Menteri tersebut ada
faktor lain yang perlu diperhatikan seperti diutarakan pada paragrap berikut ini.
Pemantauan dapat dilakukan pada fungsi-fungsi ekosistem yang terkena dampak penting sebagaimana
dimaksud pada Bab Evaluasi Dampak dari dokumen ANDAL (angka 4.6, Langkah 2). Pemantauan
terhadap komponen lingkungan yang terkena dampak sebagaimana dimaksud pada Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, pada dasarnya dapat dipandang sebagai pemantauan
terhadap struktur ekosistem.

5.2.3 Struktur inti dokumen rencana pemantauan lingkungan


Struktur inti dokumen RPL pada dasarnya harus mencakup:
a) Dampak penting dan indikator yang dipantau
b) Tolok ukur dampak
c) Tujuan pemantauan lingkungan
d) Metode pemantauan lingkungan (meliputi metode pengumpulan dan analisis data, lokasi dan
jangka waktu serta frekwensi pemantauan)
e) Pembiayaan pemantauan lingkungan
f) Institusi pemantauan lingkungan

207
Perlu diperhatikan bahwa enam aspek pemantauan lingkungan tersebut diterapkan untuk setiap tipe
ekosistem lahan basah yang terkena dampak penting sebagaimana dimaksud pada angka 4.5 dan 4.6
yakni Bab Prakiraan Dampak Penting dan Bab Evaluasi Dampak Penting dari dokumen ANDAL.
a) Dampak penting dan indikator yang dipantau
Pada butir ini utarakan secara singkat komponen lingkungan yang terkena dampak penting
berikut dengan penyebabnya (menurut hasil ANDAL), yang dipandang strategis untuk dipantau
di suatu tipe ekosistem lahan basah Komponen Lingkungan tersebut strategis untuk dikelola
berdasarkan pertimbangan:
- Komponen lingkungan yang dipantau hanyalah komponen yang terkena dampak
penting. Dengan demikian tidak seluruh komponen lingkungan harus dipantau. Hal-
hal yang dipandang tidak penting atau tidak relevan tidak perlu dipantau.
- Komponen lingkungan yang dipantau mencerminkan isu pokok lingkungan
sebagaimana dimaksud oleh hasil pelingkupan pada angka 3.1.2 Langkah 10, dan
terkena dampak penting sebagaimana yang ditelaah pada angka 4.5 (Prakiraan
Dampak Penting) dan angka 4.6 (Evaluasi Dampak Penting).
- Dampak penting yang dipantau adalah yang tergolong banyak menimbulkan dampak
penting turunan (dampak sekunder, tersier, kuarter dan selanjutnya) dan/atau yang
banyak menimbulkan dampak penting pada fungsi ekosistem lahan basah, sehingga
dapat mencerminkan efektivitas pengaruh pengelolaan lingkungan terhadap dampak
penting turunannya.
- Komponen lingkungan yang dipantau mencerminkan kelangsungan fungsi-fungsi
tertentu dari ekosistem lahan basah yang terkena dampak penting sebagaimana
dimaksud pada Bab Evaluasi Dampak dari dokumen ANDAL (angka 4.6, Langkah 2).
Pada bagian ini juga diutarakan indikator dari komponen dampak penting yang dipantau.
Indikator adalah alat pemantau (sesuatu) yang dapat memberikan petunjuk atau keterangan
tentang suatu kondisi. Semisal, indikator yang relevan untuk kualitas air sungai (komponen
lingkungan yang terkena dampak penting) adalah BOD, suhu, warna, bau, kandungan minyak
terlarut.
b) Tolok ukur dampak
Pada butir ini jelaskan tolok ukur dampak yang digunakan untuk menyatakan suatu komponen
lingkungan terkena dampak kegiatan tertentu: (proyek, sebagai misal). Tolok ukur dampak
yang dimaksud disini dapat berupa baku mutu limbah cair, baku mutu lingkungan keputusan
pakar yang dapat diterima secara ilmiah, atau ketetapan resmi suatu instansi. Mengingat
pada ekosistem lahan basah sebagian besar tolok ukur dampak yang digunakan masih
banyak yang bersifat kualitatif, maka diperlukan kejelasan deskripsi dari tolok ukur dampak
yang hendak digunakan.
c) Tujuan pemantauan lingkungan
Pada bagian ini uraikan secara spesifik tujuan dipantaunya dampak penting di suatu tipe
ekosistem lahan basah berikut dengan memperhatikan dampak penting yang dikelola, upaya/
program/tindakan pengelolaan lingkungan, serta dampak turunan yang secara simultan
akan turut tercegah/ tertanggulangi (keterkaitan inter ekosistem).
Pernyataan tujuan pemantauan lingkungan dapat merujuk pada Lampiran Keputusan Menteri
Negara Lingkungan tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
d) Metode pemantauan lingkungan
Uraian pada butir ini merujuk pada Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
e) Pembiayaan pemantauan lingkungan
Pembiayaan untuk kegiatan pemantauan lingkungan bersumber dari pemrakarsa proyek.
Biaya dimaksud antara lain meliputi: biaya investasi, biaya operasi dan biaya pendidikan
serta pelatihan ketrampilan operasional bagi para karyawan.
f) Institusi pemantauan lingkungan
Uraian pada butir ini hendaknya mengacu pada makna yang terkandung dalam Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Dr. A Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH,

ttd

Nadjib Dahlan, SH

208
Lampiran3-1MatrikInteraksiDampakKegiatanProyekdenganKomponenLingkunganDaerahLahanBasah

Kegiatan Proyek
Komponen Lingkungan 1 2 3
a b a b c d a b c d e
i ii iii i ii iii iv i ii iii iv i ii i ii iii iv v vi vii i ii iii i ii i ii iii
I. Komponen Fisik-Kimia
a) Iklim
i. Curah hujan
ii. Suhu dan kelembaban nisbi udara
iii. Panjang penyinaran matahari
iv. Kecepatan angin

b) Hidrologi
i. Tinggi dan elevasi muka air
ii. Debit dan pola aliran
iii. Tinggi, lama, &frekuensi genangan/banjir
iv. Pola sedimentasi dan drainase

c) Tanah
i. Fisiografi dan litologi
ii. Sifat fisik tanah
iii. Sifat kimia tanah

209
iv. Jenis satwa liar langka dan/atau dilindungi

Keterangan:
1. Kegiatan 2. Kegiatan Konstruksi 3. Kegiatan Operasi
pra-konstruksi
a. Kegiatan survei Kegiatan yang bersifat Kegiatan yang ber- Kegiatan yang ber- Kegiatan yang ber- Kegiatan proses Kegiatan instalasi Kegiatan peman- Kegiatan Kegiatan yang
b. Kegiatan pembe- merubah lahan/ sifat mengubah sifat mengubah sifat mengubah produksi yang me- dan operasi pengo faatan air untuk rekrutmen mendorong
bebasan lahan lansekap lahan rehidrologi komposisi vegetasi komposisi satwa nimbulkan pence- lah limbah kebutuhan tenaga kerja pengembangan
maran domestik dan wilayah
kebutuhan
proses produksi

i. Pengurangan/pem- i. Pembangunan i. Penebangan veg. i. Pengambilan/ i. Minyak i. Limbah padat i. Air permukaan - Aksesibi-
buangan lahan saluran drainase ii. Pemungutan hasil perburuan satwa ii. Kimia ii. Limbah cair (sungai,danau) bilitas wilayah
ii.Penambahan/ ii. Kanalisasi sungai iii. Penanaman ii. Introduksi iii. Radioaktif iii.Limbah gas ii. Air tanah dalam - Pusat-pusat
pengurukan lahan iii.Pengalihan aliran tanaman spesies asing iv. Limb.domestik pertumbuh-
iii.Pemadatan lahan iv. Konstruksi dam iv. Introduksi v. Limb.Industri an baru
spesies asing vi. Panas
vii.Udara
Lampiran3-1.(Lanjutan)

Kegiatan Proyek
Komponen Lingkungan 1 2 3
a b a b c d a b c d e
i ii iii i ii iii iv i ii iii iv i ii i ii iii iv v vi vii i ii iii i ii i ii iii
I. Komponen Biologi
a) Komunitas Vegetasi
i. Keanekaragaman jenis/komunitas vegetasi
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota/-
phytoplankton
iii. Struktur dan komposisi vegetasi
iv. Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai
ekonomi tinggi
v. Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai
ekologi tinggi
vi. Zona habitat khusus dan plasma natfah
b) Komunitas Satwa Liar
i. Keanekaragaman jenis/kom. satwa liar
ii. Keanekaragaman jenis/Komunitas biota air
zooplankton, nekton
iii. Jenis dan populasi satwa liar bernilai eko-
nomi tinggi
iv. Jenis dan populasi satwa liar yang bernilai
ekologi tinggi
v. Jenis dan populasi nekton yang bernilai
ekonomi tinggi

210
vi. Jenis dan populasi nekton yang bernilaiekologi tinggi
vii. Jenis dan satwa liar langka dan/atau dilindungi

Keterangan:
1. Kegiatan 2. Kegiatan Konstruksi 3. Kegiatan Operasi
pra-konstruksi
a. Kegiatan survei Kegiatan yang bersifat Kegiatan yang ber- Kegiatan yang ber- Kegiatan yang ber- Kegiatan proses Kegiatan instalasi Kegiatan peman- Kegiatan Kegiatan yang
b. Kegiatan pembe- merubah lahan/ sifat mengubah sifat mengubah sifat mengubah produksi yang me- dan operasi pengo faatan air untuk rekrutmen mendorong
bebasan lahan lansekap lahan rehidrologi komposisi vegetasi komposisi satwa nimbulkan pence- lah limbah kebutuhan tenaga kerja pengembangan
maran domestik dan wilayah
kebutuhan
proses produksi

i. Pengurangan/pem- i. Pembangunan i. Penebangan veg. i. Pengambilan/ i. Minyak i. Limbah padat i. Air permukaan - Aksesibi-
buangan lahan saluran drainase ii. Pemungutan hasil perburuan satwa ii. Kimia ii. Limbah cair (sungai,danau) bilitas wilayah
ii.Penambahan/ ii. Kanalisasi sungai iii. Penanaman ii. Introduksi iii. Radioaktif iii.Limbah gas ii. Air tanah dalam - Pusat-pusat
pengurukan lahan iii.Pengalihan aliran tanaman spesies asing iv. Limb.domestik pertumbuh-
iii.Pemadatan lahan iv. Konstruksi dam iv. Introduksi v. Limb.Industri an baru
spesies asing vi. Panas
vii.Udara
Lampiran3-1.(Lanjutan)

Kegiatan Proyek
Komponen Lingkungan 1 2 3
a b a b c d a b c d e
i ii iii i ii iii iv i ii iii iv i ii i ii iii iv v vi vii i ii iii i ii i ii iii
I. Komponen Sosial Ekonomi dan Budaya
a) Kepadatan dan pertumbuhan penduduk
b) Persebaran penduduk
c) Peluang bekerja dan berusaha
d) Pemilikan dan penguasaan atas sumber daya
alam
e) Prasarana perhubungan air
f) Permukiman penduduk
g) Fasilitas umum :
i. Pendidikan
ii. Kesehatan
iii.Kepribadian
h) Adat istiadat
i) Kelembagaan tradisional
j) Aktivitas perekonomian dan perdagangan
k) Sistem pertanian
l) Akulturasi dan asimilasi
m) Kesehatan masyarakat

211
n) Kesehatan lingkungan

Keterangan:
1. Kegiatan 2. Kegiatan Konstruksi 3. Kegiatan Operasi
pra-konstruksi
a. Kegiatan survei Kegiatan yang bersifat Kegiatan yang ber- Kegiatan yang ber- Kegiatan yang ber- Kegiatan proses Kegiatan instalasi Kegiatan peman- Kegiatan Kegiatan yang
b. Kegiatan pembe- merubah lahan/ sifat mengubah sifat mengubah sifat mengubah produksi yang me- dan operasi pengo faatan air untuk rekrutmen mendorong
bebasan lahan lansekap lahan rehidrologi komposisi vegetasi komposisi satwa nimbulkan pence- lah limbah kebutuhan tenaga kerja pengembangan
maran domestik dan wilayah
kebutuhan
proses produksi

i. Pengurangan/pem- i. Pembangunan i. Penebangan veg. i. Pengambilan/ i. Minyak i. Limbah padat i. Air permukaan - Aksesibi-
buangan lahan saluran drainase ii. Pemungutan hasil perburuan satwa ii. Kimia ii. Limbah cair (sungai,danau) bilitas wilayah
ii. Penambahan/ ii. Kanalisasi sungai iii. Penanaman ii. Introduksi iii. Radioaktif iii.Limbah gas ii. Air tanah dalam - Pusat-pusat
pengurukan lahan iii.Pengalihan aliran tanaman spesies asing iv. Limb.domestik pertumbuh-
iii.Pemadatan lahan iv. Konstruksi dam iv. Introduksi v. Limb.Industri an baru
spesies asing vi. Panas
vii.Udara
Lampiran3-2.MatrikInteraksiDampakKegiatanProyekdenganFungsiEkosistemLahanBasahuntukTipeEkosistem:
hutan bakau/hutan rawa payau/hutan rawa bergambut/ hutan rawa air tawar

Kegiatan Proyek
Komponen Lingkungan 1 2 3
a b a b c d a b c d e
i ii iii i ii iii iv i ii iii iv i ii i ii iii iv v vi vii i ii iii i ii i ii iii
1. Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air), yang
berupa air bersih yang dapat langsung dimanfaatkan
oleh masyarakat dan/atau sebagai pemasok ke aquifer
(groundwater recharge) dan lokasi lahan basah lainnya.
2. Fungsi pengendalian air, terutama pengendalian banjir
3. Fungsi pencegah instrusi air laut ke air tanah dan/atau
air permukaan.
4. Fungsi perlindungan terhadap kekuatan alam, yang
berupa perlindungan garis pantai, pengendalian erosi,
dan pemecah angin (windbreak)
5. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen
6. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara.
7. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-
bahan beracun.
8. Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai eko-
nomi, seperti kayu, ikan dan daging satwa liar, rotan,
getah, obat, dan gambut.
9. Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekologi
seperti, pasokan bahan anorganik dan organik dan

212
hara terlarut bagi wilayah hilir dan bagi ikan serta
burung-burung migran

Keterangan:
1. Kegiatan 2. Kegiatan Konstruksi 3. Kegiatan Operasi
pra-konstruksi
a. Kegiatan survei Kegiatan yang bersifat Kegiatan yang ber- Kegiatan yang ber- Kegiatan yang ber- Kegiatan proses Kegiatan instalasi Kegiatan peman- Kegiatan Kegiatan yang
b. Kegiatan pembe- merubah lahan/ sifat mengubah sifat mengubah sifat mengubah produksi yang me- dan operasi pengo faatan air untuk rekrutmen mendorong
bebasan lahan lansekap lahan rehidrologi komposisi vegetasi komposisi satwa nimbulkan pence- lah limbah kebutuhan tenaga kerja pengembangan
maran domestik dan wilayah
kebutuhan
proses produksi

i. Pengurangan/pem- i. Pembangunan i. Penebangan veg. i. Pengambilan/ i. Minyak i. Limbah padat i. Air permukaan - Aksesibi-
buangan lahan saluran drainase ii. Pemungutan hasil perburuan satwa ii. Kimia ii. Limbah cair (sungai,danau) bilitas wilayah
ii.Penambahan/ ii. Kanalisasi sungai iii. Penanaman ii. Introduksi iii. Radioaktif iii.Limbah gas ii. Air tanah dalam - Pusat-pusat
pengurukan lahan iii.Pengalihan aliran tanaman spesies asing iv. Limb.domestik pertumbuh-
iii.Pemadatan lahan iv. Konstruksi dam iv. Introduksi v. Limb.Industri an baru
spesies asing vi. Panas
vii.Udara
Lampiran3-2.(lanjutan)

Kegiatan Proyek
Komponen Lingkungan 1 2 3
a b a b c d a b c d e
i ii iii i ii iii iv i ii iii iv i ii i ii iii iv v vi vii i ii iii i ii i ii iii
10. Fungsi produksi energi, seperti energi kayu, listrik-
hidro
11. Fungsi transportasi/perhubungan
12. Fungsi bank gen bagi spesies tumbuhan komersil
dan populasi satwa liar
13. Fungsi konservasi bagi spesies langka dan
dilindungi, habitat satwa liar dan tumbuhan
penting, komunitas, ekosistem, dan lansekap lahan
basah.
14. Fungsi rekreasi dan pariwisata
15. Fungsi sosial budaya, berupa estetika lansekap,
keagamaan dan spiritual, serta peninggalan
sejarah
16. Fungsi sosial ekonomi, misal berupa sumber mata
pencaharian bagi penduduk setempat dan tanah
adat masyarakat setempat.
17. Fungsi penelitian dan pendidikan
18. Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, seperti
proses ekologi, geomorfologi dan geologi, rosot

213
karbon (carbon sink) dan pencegahan perluasan
tanah asam sulfat.

Keterangan:
1. Kegiatan 2. Kegiatan Konstruksi 3. Kegiatan Operasi
pra-konstruksi
a. Kegiatan survei Kegiatan yang bersifat Kegiatan yang ber- Kegiatan yang ber- Kegiatan yang ber- Kegiatan proses Kegiatan instalasi Kegiatan peman- Kegiatan Kegiatan yang
b. Kegiatan pembe- merubah lahan/ sifat mengubah sifat mengubah sifat mengubah produksi yang me- dan operasi pengo faatan air untuk rekrutmen mendorong
bebasan lahan lansekap lahan rehidrologi komposisi vegetasi komposisi satwa nimbulkan pence- lah limbah kebutuhan tenaga kerja pengembangan
maran domestik dan wilayah
kebutuhan
proses produksi

i. Pengurangan/pem- i. Pembangunan i. Penebangan veg. i. Pengambilan/ i. Minyak i. Limbah padat i. Air permukaan - Aksesibi-
buangan lahan saluran drainase ii. Pemungutan hasil perburuan satwa ii. Kimia ii. Limbah cair (sungai,danau) bilitas wilayah
ii.Penambahan/ ii. Kanalisasi sungai iii. Penanaman ii. Introduksi iii. Radioaktif iii.Limbah gas ii. Air tanah dalam - Pusat-pusat
pengurukan lahan iii.Pengalihan aliran tanaman spesies asing iv. Limb.domestik pertumbuh-
iii.Pemadatan lahan iv. Konstruksi dam iv. Introduksi v. Limb.Industri an baru
spesies asing vi. Panas
vii.Udara
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 40 TAHUN 2000
TENTANG
PEDOMAN TATA KERJA KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,


Menimbang : 1. Bahwa untuk melaksanakan Pasal 8 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Pasal 2 Ayat (3) angka 18 serta Pasal 3 ayat (5)
angka 16 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, perlu menetapkan Tata Kerja Komisi Penilai
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota;
2. Bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep-13/MENLH/3/1994 tentang
Pedoman Susunan Keanggotaan dan Tata Kerja Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dan 2 diatas, perlu
ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Tata Kerja Komisi
Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3699);
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan
Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3848);
4. Peraturan Pemeritah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3838);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 134 Tahun 1999 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2000 tentang Jenis Usaha dan/atau
Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG TATA KERJA KOMISI PENILAI
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.

BAB I
TUGAS, WEWENANG, DAN FUNGSI

Pasal 1

(1) Komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut komisi penilai mempunyai
tugas menilai kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup.
(2) Komisi Penilai dibentuk :
a. Di tingkat Pusat oleh Menteri;
b. Di tingkat Propinsi oleh Gubernur;
c. Di tingkat Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh :
a. Tim teknis komisi penilai yang selanjutnya disebut tim teknis;
b. Sekretariat komisi penilai yang selanjutnya disebut sekretariat komisi penilai.
(4) Komisi penilai pusat berwenang menilai hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi jenis rencana
usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria :
a. Kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat luas dan/atau menyangkut pertahanan
dan keamanan seperti: pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir, pembangunan dan pengoperasian
instalasi nuklir non reaktor, submarine tailing, teknologi peluncuran satelit, teknologi rekayasa genetika,
eksploitasi minyak dan gas, pembangunan kilang minyak, penambangan bahan galian radioaktif,
pembangunan industri pesawat terbang, pembangunan industri senjata, pembangunan industri bahan
peledak, pembangunan industri yang menggunakan bahan baku dari limbah import, pembangunan bandar
udara internasional, pembangunan pelabuhan samudera, pengolahan limbah terpadu Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3).
214
b. Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan meliputi lebih dari satu wilayah propinsi;
c. Kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain;
d. Di wilayah laut diatas 12 (dua belas) mil; dan
e. Di lintas batas negara kesatuan Republik Indonesia dengan negara lain.
(5) Komisi Penilai Propinsi berwenang menilai hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi:
a. Rencana usaha dan/atau kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat luas seperti:
pembangunan industri pulp atau industri kertas yang terintegrasi dengan industri pulp, pembangunan industri
semen dan quarry-nya, pembangunan industri petrokimia, pembangunan hak pengusahaan hutan beserta
unit pengelolaannya, pembangunan hutan tanaman industri beserta unit pengelolaannya, budidaya tanaman
pangan dan hortikultura tahunan dengan unit pengelolaannya, pembangkit listrik tenaga air, pembangkit
listrik tenaga uap/panas bumi/diesel, pembangunan bendungan, pembangunan bandar udara diluar kategori
bandar udara internasional, pembangunan pelabuhan diluar kategori pelabuhan samudera;
b. Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan meliputi lebih dari satu Kabupaten/Kota; dan
c. Di wilayah laut di antara 4 (empat) sampai 12 (dua belas) mil.
(6) Komisi penilai Kabupaten/Kota berwenang menilai hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi
semua rencana usaha dan/atau kegiatan diluar kewenangan Pusat dan Propinsi, sebagaimana diatur melalui
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib dilengkapi
dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
(7) Dalam hal Kabupaten/Kota tidak atau belum mampu melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), maka pelaksanaannya dapat dilakukan dengan menyerahkan kewenangan tersebut kepada Propinsi.
(8) Dalam hal Propinsi tidak mampu melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan (7),
maka komisi penilai propinsi dapat meminta bantuan kepada komisi penilai pusat.

Pasal 2

(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pasal 1, komisi penilai mempunyai fungsi memberikan
masukan dan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan kesepakatan kerangka acuan dan kelayakan
lingkungan hidup atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan kepada:
a. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan di tingkat Pusat;
b. Gubernur di tingkat Propinsi; dan
c. Bupati/Walikota di tingkat Kabupaten/Kota.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, komisi penilai wajib memperhatikan kebijaksanaan nasional pengelolaan
lingkungan hidup, rencana pengembangan wilayah, rencana tata ruang wilayah dan kepentingan pertahanan
keamanan.

Pasal 3

(1) Keanggotaan Komisi penilai terdiri dari : ketua merangkap anggota, sekretaris merangkap anggota serta anggota-
anggota lainnya.
(2) Ketua Komisi penilai sebagaimana di maksud pada ayat (1):
a. Di tingkat Pusat adalah Deputi Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan yang membidangi analisis
mengenai dampak lingkungan hidup;
b. Di tingkat Propinsi adalah Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah;
c. Di tingkat Kabupaten/Kota adalah Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/
Kota atau pejabat lain yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup ditingkat Kabupaten/Kota.
(3) Ketua Komisi penilai bertugas :
a. Melakukan koordinasi proses penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup;
b. Menyampaikan bahan pertimbangan komisi penilai sebagai dasar pengambilan keputusan kesepakatan
kerangka acuan dan kelayakan lingkungan hidup suatu rencana usaha dan/atau kegiatan kepada Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan atau Gubernur atau Bupati/Walikota.
(4) Sekretaris komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. Di tingkat Pusat dijabat oleh Kepala Direktorat yang menangani analisis mengenai dampak lingkungan
hidup di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
b. Di tingkat Propinsi dijabat oleh Kepala Bidang yang menangani analisis mengenai dampak lingkungan
hidup di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi;
c. Di Tingkat Kabupaten/Kota dijabat oleh Kepala Bidang yang menangani analisis mengenai dampak lingkungan
hidup di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau pejabat lain yang ditugasi
menangani analisis mengenai dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota.
(5) Sekretaris Komisi Penilai bertugas :
a. Membantu tugas ketua;
b. Merumuskan hasil penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan komisi penilai.
(6) Dalam melaksanakan penilaian, anggota komisi penilai pusat memberikan saran, pendapat dan tanggapan
berupa:
a. Kebijakan instansi yang diwakilinya, bagi anggota yang berasal dari instansi pemerintah;
b. Kebijakan pembangunan daerah dan pembangunan wilayah, bagi anggota yang berasal dari tingkat Propinsi
dan Kabupaten/Kota;
c. Pertimbangan sesuai kaidah ilmu pengetahuan, bagi para anggota yang berasal dari perguruan tinggi;
d. Pertimbangan sesuai dengan bidang keahliannya, bagi para ahli;
e. Kepentingan lingkungan hidup, bagi anggota yang berasal dari organisasi lingkungan/lembaga swadaya
masyarakat;
215
f. Aspirasi dan kepentingan masyarakat, bagi para anggota yang berasal dari wakil masyarakat yang diduga
terkena dampak dari usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
(7) Dalam melaksanakan penilaian, anggota komisi penilai Propinsi memberikan saran, pendapat dan tanggapan
berupa:
a. Kebijakan instansi yang diwakilinya, bagi anggota yang berasal dari instansi pemerintah;
b. Kebijakan pembangunan daerah dan pembangunan wilayah, bagi anggota yang berasal dari tingkat
Kabupaten/Kota;
c. Pertimbangan sesuai kaidah ilmu pengetahuan, bagi para anggota yang berasal dari perguruan tinggi;
d. Pertimbangan sesuai dengan bidang keahliannya, bagi para ahli;
e. Kepentingan lingkungan hidup, bagi anggota yang berasal dari organisasi lingkungan/lembaga swadaya
masyarakat;
f. Aspirasi dan kepentingan masyarakat, bagi para anggota yang berasal dari wakil masyarakat yang diduga
terkena dampak dari usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
(8) Dalam melaksanakan penilaian, anggota komisi penilai Kabupaten/kota memberikan saran, pendapat dan
tanggapan berupa:
a. Kebijakan instansi yang diwakilinya, bagi anggota yang berasal dari instansi pemerintah;
b. Pertimbangan sesuai dengan bidang keahliannya yang didasari atas kaidah ilmu pengetahuan, bagi para
ahli;
c. Kepentingan lingkungan hidup, bagi anggota yang berasal dari organisasi lingkungan/lembaga swadaya
masyarakat;
d. Aspirasi dan kepentingan masyarakat, bagi para anggota yang berasal dari wakil masyarakat yang diduga
terkena dampak dari usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;

Bagian Kedua
Tim Teknis

Pasal 4

(1) Tim Teknis di bentuk :


a. Di tingkat pusat oleh Menteri Departemen Teknis atau Pimpinan Lembaga Pemerintahan Non Departemen
yang berkedudukan di masing-masing sektor, Tim ini merupakan bagian dari tim teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999;
b. Di tingkat Propinsi oleh Kepala Bapedal Daerah Propinsi selaku Ketua Komisi Penilai Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup Propinsi;
c. Di tingkat Kabupaten/Kota oleh Kepala Bapedal Daerah Kabupaten/Kota atau Pejabat yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan hidup selaku Ketua Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup Kabupaten/Kota.
(2) Tim teknis dipimpin oleh seorang ketua yang secara ex-officio dijabat oleh sekretaris komisi penilai analisis
mengenai dampak lingkungan hidup.

Pasal 5

(1) Tim teknis bertugas menilai secara teknis kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup atas permintaan komisi penilai.
(2) Penilaian secara teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penilaian terhadap:
a. Kesesuaian dengan pedoman umum dan/atau pedoman teknis di bidang analisis mengenai dampak
lingkungan hidup;
b. Kesesuaian peraturan perundangan di bidang teknis sektor bersangkutan;
c. Kesesuaian lokasi dengan tata ruang;
d. Ketepatan penerapan metode penelitian/analisis;
e. Kesahihan data yang digunakan;
f. Kelayakan desain, teknologi dan proses produksi yang digunakan;
g. Kelayakan ekologis.

Pasal 6

Dalam menjalankan tugasnya, tim teknis berfungsi memberikan masukan dan pertimbangan teknis kepada komisi
penilai.

Bagian Ketiga
Sekretariat Komisi Penilai

Pasal 7

(1) Sekretariat Komisi Penilai berkedudukan di :


a. Tingkat Pusat di Direktorat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Badan Pegendalian Dampak
Lingkungan
b. Tingkat Propinsi di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi
c. Tingkat Kabupaten/Kota di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau instansi
lain yang menangani pengendalian dampak lingkungan di tingkat Kabupaten/Kota.
(2) Sekretariat komisi penilai dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab kepada ketua komisi penilai.

216
Pasal 8

Sekretariat komisi penilai bertugas di bidang kesekretariatan, perlengkapan dan penyediaan informasi pendukung
dan tugas-tugas lain yang diberikan oleh komisi.

Pasal 9

Dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, sekretariat komisi penilai berfungsi
mendukung kelancaran tugas dan fungsi komisi penilai dan tim teknis.

BAB II
KERANGKA ACUAN

Bagian Pertama
Prosedur Penerimaan Dokumen

Pasal 10

(1) Kerangka acuan yang dinilai oleh :


a. Komisi penilai Pusat, diajukan oleh pemrakarsa kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
melalui sekretariat komisi penilai pusat;
b. Komisi penilai Propinsi, diajukan oleh pemrakarsa kepada Gubernur melalui sekretariat komisi penilai
Propinsi;
c. Komisi penilai Kabupaten/Kota, diajukan oleh pemrakarsa kepada Bupati/Walikota melalui sekretariat komisi
penilai Kabupaten/Kota;
(2) Dokumen kerangka acuan yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya berjumlah
35 (tiga puluh lima) eksemplar.
(3) Sekretariat komisi penilai memberikan tanda bukti penerimaan dokumen sebagaimana di maksud pada ayat (2)
kepada pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal penerimaan dokumen.

Bagian Kedua
Penilaian oleh Tim Teknis

Pasal 11

(1) Ketua komisi penilai meminta tim teknis menilai kerangka acuan.
(2) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
hari dan tanggal penilaian.
(3) Penilaian oleh Tim Teknis dilakukan dalam bentuk rapat dan dipimpin oleh ketua tim teknis.
(4) Semua saran, pendapat dan tanggapan anggota tim teknis dicatat oleh petugas dari sekretariat komisi penilai.
(5) Masukan dan pertimbangan teknis disampaikan pada rapat komisi penilai.

Bagian Ketiga
Penilaian oleh Komisi Penilai

Pasal 12

(1) Ketua komisi penilai mengundang para anggota untuk menilai kerangka acuan
(2) Undangan dan dokumen untuk rapat penilaian sudah harus diterima oleh seluruh peserta rapat selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum hari dan tanggal rapat.
(3) Penilaian oleh komisi penilai dilakukan dalam bentuk rapat dan dipimpin oleh ketua komisi penilai.
(4) Dalam hal ketua komisi penilai tidak dapat memimpin rapat, maka rapat dipimpin oleh sekretaris penilai.
(5) Dalam hal ketua dan sekretaris komisi penilai tidak dapat memimpin rapat, maka rapat dipimpin oleh anggota
lain yang disepakati.
(6) Rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga dihadiri oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
atau wakil yang ditunjuk yang memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan.
(7) Dalam rapat penilaian, semua anggota komisi penilai berhak menyampaikan pendapatnya sesuai dengan
ketentuan pada Pasal 3 ayat (6), (7) dan (8).
(8) Komisi penilai wajib memperhatikan saran, masukan dan tanggapan dari masyarakat dalam proses penentuan
ruang lingkup kajian analisis dampak lingkungan.
(9) Anggota komisi penilai yang tidak hadir dalam rapat penilaian dapat memberikan masukan tertulis selambat-
lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah rapat penilaian.
(10) Semua saran, pendapat dan tanggapan para anggota komisi penilai dan pemrakarsa dicatat oleh petugas dari
sekretaris komisi penilai dan dituangkan dalam berita acara penilaian.
(11) Pemrakarsa wajib segera menanggapi dan menyempurnakan kerangka acuan berdasarkan hasil penilaian
komisi penilai.
(12) Dokumen yang telah ditanggapi dan disempurnakan oleh pemrakarsa diserahkan kepada ketua komisi penilai
melalui sekretariat komisi penilai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak hari dan tanggal
rapat penilaian dilaksanakan.
(13) Dalam hal dokumen yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) belum memenuhi
ketentuan perbaikan berdasarkan hasil penilaian, ketua komisi setelah mendengarkan saran-saran tim teknis

217
berhak meminta pemrakarsa untuk memperbaiki kembali dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari kerja.
(14) Ketua Komisi penilai selaku :
a. Deputi Kepala Badan Pegendalian Dampak Lingkungan yang menangani Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup di tingkat Pusat.
b. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi di tingkat Propinsi.
c. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau pejabat lain yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota.
Menerbitkan Keputusan Kesepakatan Kerangka Acuan berdasarkan hasil penilaian komisi penilai.
(15) Apabila rencana lokasi dilaksanakan usaha dan/atau kegiatan terletak dalam kawasan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan, maka komisi penilai wajib menolak
kerangka acuan tersebut.

Bagian Keempat
Keputusan

Pasal 13

(1) Keputusan kesepakatan kerangka acuan diterbitkan oleh :


a. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, bagi dokumen yang dinilai oleh komisi penilai pusat;
b. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi, bagi dokumen yang dinilai oleh komisi
penilai Propinsi;
c. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota, bagi dokumen yang dinilai oleh
komisi penilai Kabupaten/Kota;
(2) Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan hasil rapat penilaian
komisi penilai.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib memuat kesepakatan tentang ruang lingkup kajian analisis
dampak lingkungan hidup yang akan dilaksanakan.
(4) Di tingkat Pusat, salinan keputusan kesepakatan kerangka acuan beserta dokumennya disampaikan oleh Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan kepada:
a. Pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
b. Pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
c. Gubernur yang bersangkutan;
d. Bupati/Walikota yang bersangkutan;
(5) Di tingkat Propinsi, salinan keputusan kesepakatan kerangka acuan beserta dokumennya disampaikan oleh
Gubernur kepada:
a. Pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan ditingkat propinsi;
b. Pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan ditingkat propinsi;
c. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
d. Bupati/Walikota yang bersangkutan;
(6) Di tingkat Kabupaten/Kota, salinan keputusan kesepakatan kerangka acuan beserta dokumennya disampaikan
oleh Bupati/Walikota kepada:
a. Pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan ditingkat Kabupaten/
Kota;
b. Pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan ditingkat Kabupaten/
Kota;
c. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
d. Gubernur yang bersangkutan;
(7) Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan atau Gubernur atau Bupati/Walikota mempublikasikan
keputusan kesepatan kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta dokumennya.

BAB III
ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP, RENCANA PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP DAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP

Bagian Pertama
Prosedur Penerimaan Dokumen

Pasal 14

(1) Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan
hidup yang dinilai oleh:
a. Komisi penilai Pusat, diajukan oleh pemrakarsa kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
melalui sekretariat komisi penilai pusat;
b. Komisi penilai Propinsi, diajukan oleh pemrakarsa kepada Gubernur melalui sekretariat komisi penilai
propinsi;
c. Komisi penilai Kabupaten/Kota, diajukan oleh pemrakarsa kepada Bupati/Walikota melalui sekretariat komisi
penilai Kabupaten/Kota;
(2) Dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya berjumlah 35 (tiga
puluh lima) eksemplar

218
(3) Sekretariat komisi penilai memberikan tanda bukti penerimaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada pemrakarsa dengan mencatat hari dan tanggal penerimaan dokumen.

Bagian Kedua
Penilaian oleh Tim Teknis

Pasal 15

(1) Ketua komisi penilai meminta tim teknis untuk menilai analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
(2) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
hari dan tanggal penilaian.
(3) Penilaian oleh tim teknis dilakukan dalam bentuk rapat dan dipimpin oleh ketua tim teknis.
(4) Semua saran, pendapat dan tanggapan anggota tim teknis dicatat oleh petugas dari sekretariat komisi penilai
(5) Masukan dan pertimbangan teknis disampaikan pada rapat komisi penilai.

Bagian Ketiga
Penilaian oleh Komisi Penilai

Pasal 16

(1) Ketua komisi penilai mengundang para anggota untuk menilai analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
(2) Undangan dan dokumen untuk rapat penilaian sudah harus diterima oleh seluruh peserta rapat selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum hari dan tanggal penilaian.
(3) Penilaian oleh komisi penilai dilakukan dalam bentuk rapat dan dipimpin oleh ketua komisi penilai.
(4) Dalam hal ketua komisi penilai tidak dapat memimpin rapat, maka rapat dipimpin oleh sekretaris komisi
penilai.
(5) Dalam hal ketua dan sekretaris komisi penilai tidak dapat memimpin rapat, maka rapat dipimpin oleh anggota
lain yang disepakati.
(6) Rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga dihadiri oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
atau wakil yang ditunjuk yang memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan.
(7) Dalam rapat penilaian, semua anggota komisi penilai berhak menyampaikan pendapatnya sesuai dengan
ketentuan pada Pasal 3 ayat (6), (7) dan (8).
(8) Dalam penilaiannya, komisi penilai wajib memperhatikan saran, masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(9) Anggota komisi penilai yang tidak hadir dalam rapat penilaian dapat memberikan masukan tertulis selambat-
lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah rapat penilaian.
(10) Semua saran, pendapat dan tanggapan para anggota komisi penilai dan pemrakarsa dicatat oleh petugas dari
sekretariat komisi penilai dan dituangkan dalam berita acara penilaian.
(11) Dalam melaksanakan tugasnya, komisi penilai wajib memperhatikan kebijaksanaan nasional pengelolaan
lingkungan hidup, rencana pengembangan wilayah, rencana tata ruang wilayah dan kepentingan pertahanan
keamanan.
(12) Pemrakarsa wajib segera menanggapi dan menyempurnakan analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian komisi
penilai.
(13) Dokumen yang telah ditanggapi dan disempurnakan oleh pemrakarsa diserahkan kepada ketua komisi penilai
melalui sekretariat komisi penilai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak hari dan tanggal
rapat penilaian dilaksanakan.
(14) Dalam hal dokumen yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) belum memenuhi
ketentuan perbaikan berdasarkan hasil penilaian, ketua komisi berhak meminta pemrakarsa untuk memperbaiki
kembali dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
(15) Ketua komisi penilai menyampaikan berita acara penilaian dan dokumen yang telah disempurnakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (13) kepada:
a. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, bagi analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang dinilai oleh komisi
penilai Pusat;
b. Gubernur, bagi analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup yang dinilai oleh komisi penilai Propinsi;
c. Bupati/Walikota, bagi analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup yang dinilai oleh komisi penilai Kabupaten/Kota;

untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan kelayakan lingkungan hidup bagi
rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

Bagian Keempat
Keputusan

Pasal 17

(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu rencana usaha dan/atau kegiatan diterbitkan oleh:
a. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, bagi dokumen yang dinilai oleh komisi pusat;

219
b. Gubernur, bagi dokumen yang dinilai oleh komisi penilai Propinsi;
c. Bupati/Walikota, bagi dokumen yang dinilai oleh Komisi penilai Kabupaten/Kota.
(2) Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan :
a. Dasar pertimbangan dikeluarkannya keputusan tersebut;
b. Pertimbangan terhadap saran, pendapat dan tanggapan yang diajukan oleh warga masyarakat.
(3) Di tingkat Pusat, salinan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan beserta dokumen
analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan
hidup disampaikan oleh instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan kepada :
a. instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
b. instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
c. instansi terkait lainya;
d. Gubernur yang bersangkutan; dan
e. Bupati/Walikota yang bersangkutan.
(4) Di tingkat Propinsi, salinan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan beserta
dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan
lingkungan hidup disampaikan oleh Gubernur kepada :
a. instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan;
b. Bupati/Walikota yang bersangkutan;
c. instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan di tingkat Propinsi;
d. instansi terkait lainya di tingkat Propinsi;
e. Menteri;
f. Menteri sektor dan/atau Pimpinan LPND;
g. Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
(5) Di tingkat Kabupaten/Kota, salinan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan beserta
dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan
lingkungan hidup disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada:
a. instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan;
b. instansi terkait lainya di tingkat Kabupaten/Kota;
c. Gubernur yang bersangkutan;
d. Menteri;
e. Menteri sektor dan/atau Pimpinan LPND;
f. Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
(6) Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan atau Gubernur atau Bupati/Walikota mempublikasikan
keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta dokumennya.

BAB IV
PEMBIAYAAN

Pasal 18

Biaya pelaksanaan kegiatan komisi penilai, tim teknis, dan sekretariat komisi analisis mengenai dampak lingkungan
hidup dibebankan :
a. Di tingkat Pusat pada anggaran Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
b. Di tingkat Propinsi pada anggaran Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi;
c. Di tingkat Kabupaten/Kota pada anggaran Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota
atau pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/
Kota.

BAB V
PENUTUP

Pasal 19

(1) Keputusan ini berlaku efektif pada tanggal 7 Nopember 2000.


(2) Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor : Kep-13/MENLH/
3/1994 tentang Pedoman Susunan Keanggotaan dan Tata Kerja Komisi AMDAL dinyatakan tidak berlaku lagi.

Ditetapkan : di Jakarta
Tanggal : 6 Nopember 2000
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH

ttd

Nadjib Dahlan, S.H.

220
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 41 TAHUN 2000
TENTANG
PEDOMAN PEMBENTUKAN KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
KABUPATEN/KOTA

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : 1. bahwa untuk melaksanakan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, perlu menetapkan
Pedoman Pembentukan Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/
Kota;
2. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup belum mengatur tentang Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup Kabupaten/Kota;
3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dan 2 di atas, perlu
ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Pembentukan Komisi
Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3699);
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3848);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3838);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 134 Tahun 1999 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2000 tentang Jenis Usaha dan/atau
Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
9. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 40 Tahun 2000 tentang Pedoman Tata Kerja
Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

ME MUTU S KAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN


KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN/KOTA.

BAB I
PEMBENTUKAN KOMISI PENILAI

Pasal 1
Pembentukan Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota wajib memenuhi kriteria:
a. Tersedianya sumber daya manusia yang telah lulus mengikuti pelatihan Dasar-dasar Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup dan/atau Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan/atau Penilaian
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup khususnya di instansi pemerintah untuk melaksanakan tugas
dan fungsi komisi penilai;
b. Tersedianya tenaga ahli sekurang-kurangnya di bidang biogeofisik-kimia, ekonomi, sosial, budaya, kesehatan,
perencanaan pembangunan wilayah/daerah, dan lingkungan sebagai anggota komisi penilai dan tim teknis;
c. Adanya organisasi lingkungan/lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup yang
telah lulus mengikuti pelatihan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dalam fungsinya sebagai salah
satu anggota komisi penilai;
d. Memiliki sekretariat komisi penilai yang berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota; dan

221
e. Adanya kemudahan akses ke laboratorium yang memiliki kemampuan menguji contoh uji kualitas sekurang-
kurangnya untuk parameter air dan udara baik laboratorium yang berada di Kabupaten/Kota maupun di ibukota
propinsi terdekat.

Pasal 2
Komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota dibentuk oleh Bupati/Walikota.

Pasal 3
Komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota berkedudukan di Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau di instansi lain yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan
hidup di tingkat Kabupaten/Kota.

BAB II
SUSUNAN KEANGGOTAAN

Bagian Pertama
Komisi Penilai

Pasal 4
1. Susunan keanggotaan terdiri dari Ketua merangkap sebagai anggota, Sekretaris merangkap sebagai anggota,
dan anggota-anggota lainnya.
2. Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabat oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Daerah Kabupaten/Kota atau pejabat lain yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup di tingkat
Kabupaten/Kota.
3. Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabat oleh salah seorang pejabat yang menangani masalah
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup baik dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
Kabupaten/Kota atau dari instansi lain yang menangani pengendalian dampak lingkungan hidup di tingkat
Kabupaten/Kota.
4. Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. wakil dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota;
b. wakil dari instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan Daerah Kabupaten/Kota;
c. wakil dari instansi yang ditugasi bidang penanaman modal Daerah Kabupaten/Kota;
d. wakil dari instansi yang ditugasi bidang pertanahan di daerah Kabupaten/Kota;
e. wakil dari instansi yang ditugasi bidang pertahanan daerah Kabupaten/Kota;
f. wakil dari instansi yang ditugasi bidang kesehatan daerah Kabupaten/Kota;
g. wakil dari instansi terkait di daerah Kabupaten/Kota;
h. ahli di bidang lingkungan hidup;
i. ahli di bidang yang berkaitan dengan rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
j. wakil dari organisasi lingkungan sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
k. wakil dari masyarakat yang terkena dampak;
l. anggota lain yang dianggap perlu.

Bagian Kedua
Tim Teknis

Pasal 5
1. Tim teknis terdiri atas para ahli dari instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan
dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau instansi lain yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota, serta ahli lain dengan bidang ilmu yang
terkait.
2. Tim teknis dipimpin oleh seorang ketua yang dalam hal ini dirangkap oleh sekretaris komisi penilai Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota.

BAB III
TUGAS DAN FUNGSI

Bagian Pertama
Komisi Penilai

Pasal 6
Komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota bertugas menilai kerangka acuan,
analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan
hidup.

Pasal 7
Dalam melaksanakan tugasnya, komisi penilai dibantu oleh:
a. Tim teknis komisi penilai;
b. Sekretariat komisi penilai.

222
Pasal 8
Dalam melaksanakan tugas, komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota
mempunyai fungsi memberikan masukan dan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan kesepakatan
kerangka acuan dan keputusan kelayakan lingkungan hidup atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan kepada
Bupati/Walikota.

Bagian Kedua
Tim Teknis

Pasal 9
1. Tim teknis bertugas menilai secara teknis kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup atas permintaan komisi penilai.
2. Penilaian secara teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penilaian terhadap:
a. Kesesuaian dengan pedoman umum dan atau pedoman teknis di bidang analisis mengenai dampak
lingkungan hidup;
b. Kesesuaian peraturan perundangan di bidang teknis sektor bersangkutan;
c. Ketepatan penerapan metoda penelitian/analisis;
d. Kesahihan data yang digunakan;
e. Kelayakan desain, teknologi, dan proses produksi yang digunakan.

Pasal 10
Dalam menjalankan tugasnya, tim teknis berfungsi memberikan masukan dan pertimbangan teknis dan bertanggung
jawab kepada komisi penilai.

Bagian Ketiga
Sekretariat Komisi Penilai

Pasal 11
Sekretariat komisi penilai bertugas di bidang kesekretariatan, perlengkapan dan penyediaan informasi pendukung.

Pasal 12
Dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, sekretariat komisi penilai berfungsi
mendukung kelancaran tugas dan fungsi komisi penilai dan tim teknis.

BAB IV
PEMBIAYAAN

Pasal 13
Biaya atas pelaksanaan kegiatan komisi penilai, tim teknis, dan sekretariat komisi analisis mengenai dampak
lingkungan hidup dibebankan pada anggaran Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota
atau pada anggaran instansi yang ditugasi menangani pengendalian dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/
Kota yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

BAB V
PENUTUP

Pasal 14
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta
Tanggal : 6 Nopember 2000

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH

ttd.

Nadjib Dahlan, S.H.

223
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 42 TAHUN 2000
TENTANG
SUSUNAN KEANGGOTAAN KOMISI PENILAI DAN TIM
TEKNIS ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PUSAT

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Pasal 9 dan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, perlu dibentuk Susunan Keanggotaan
Komisi Penilai dan Tim Teknis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3699);
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3848);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3838);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 134 Tahun 1999 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 40 Tahun 2000 Tentang Pedoman Tata Kerja
Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

ME MUTU S KAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG SUSUNAN KEANGGOTAAN


KOMISI PENILAI DAN TIM TEKNIS ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PUSAT.

Pertama : Susunan keanggotaan komisi penilai dan tim teknis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Pusat adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran I dan II dalam Keputusan ini.

Kedua : Setiap anggota komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat mempunyai
kewenangan pengambilan keputusan dari instansi/organisasi/masyarakat yang diwakilinya.

Ketiga : Ketua komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat dalam melaksanakan
tugasnya bertanggungjawab kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

Keempat: Ketua tim teknis dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Ketua komisi penilai
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat.

Kelima : Anggota komisi penilai dan tim teknis dalam melaksanakan tugasnya wajib memperhatikan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 40 Tahun 2000 tentang Pedoman Tata Kerja
Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Keenam : Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 6 Nopember 2000

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH

ttd

Nadjib Dahlan , S.H.

224
LAMPIRAN I : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 42 TAHUN 2000
TANGGAL : 6 Nopember 2000

SUSUNAN KEANGGOTAAN KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI


DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PUSAT

No. Jabatan/Instansi Kedudukan

1. Deputi Kepala Badan Pengendalian Dampak Ketua merangkap anggota


Lingkungan yang membidangi Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup
2. Kepala Direktorat Analisis Mengenai Dampak Sekretaris merangkap anggota
Lingkungan Hidup, Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan
3. Wakil dari Departemen dan/atau Lembaga Anggota
Pemerintah Non Departemen yang membidangi
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan
4. Wakil dari Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Anggota
5. Wakil dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Anggota
6. Wakil dari Departemen Dalam Negeri Anggota
7. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang kesehatan Anggota
8. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang pertahanan Anggota
9. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang perencanaan Anggota
pembangunan nasional
10. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang penanaman Anggota
modal
11. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang pertanahan Anggota
12. W akil dari instansi yang ditugasi bidang ilmu Anggota
pengetahuan
13. Wakil dari departemen dan/atau lembaga pemerintah Anggota
non departemen yang terkait
14. Wakil dari Propinsi yang bersangkutan Anggota
15. Wakil dari Kabupaten/Kota yang bersangkutan Anggota
16. Ahli di bidang lingkungan hidup Anggota
17. Ahli di bidang yang berkaitan dengan rencana usaha Anggota
dan/atau kegiatan
18. Wakil dari organisasi lingkungan hidup/ Lembaga Anggota
Swadaya Masyarakat sesuai dengan bidang usaha dan/
atau kegiatan yang dikaji
19. Wakil dari masyarakat terkena dampak Anggota
20. Anggota lain yang dianggap perlu Anggota

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH

ttd

Nadjib Dahlan , S.H.

225
LAMPIRAN II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 42 TAHUN 2000
TANGGAL : 6 Nopember 2000

SUSUNAN KEANGGOTAAN TIM TEKNIS ANALISIS MENGENAI


DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PUSAT

No. Jabatan/Instansi Kedudukan


1. Ahli dari instansi teknis yang membidangi usaha
dan/atau kegiatan yang paling dominan Ketua merangkap anggota

2. Ahli dari instansi teknis yang membidangi usaha


dan/atau kegiatan yang bersangkutan lainnya Anggota

3. Ahli dari Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan Anggota
4. Ahli lain di bidang ilmu yang terkait Anggota
5. Ahli lain di bidang kegiatan yang bersangkutan Anggota

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH

ttd

Nadjib Dahlan , S.H.

226
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP - 30/MENKLH/7/1992
TENTANG
PANDUAN PELINGKUPAN UNTUK PENYUSUNAN
KERANGKA ACUAN ANDAL

MENTERI NEGARA KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisa Mengenai
Dampak Lingkungan perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup tentang Panduan Pelingkupan untuk Penyusunan Kerangka Acuan Andal.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3125) ;
2. Peraturan Pemerintan Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Nomor 42 Tahun 1986, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3338);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1983 tentang Kedudukan, Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Kependudukan serta Organisasi Staf Menteri
Negara;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 1983 tentang Pengangkatan Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup ;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1990 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
6. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 49/MENKLH/6/1987
tentang Pedoman Penentuan Dampak Penting;
7. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 50/MENKLH/6/1987
tentang Pedoman Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
8. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep-01Tahun 1990
tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PANDUAN PELINGKUPAN UNTUK PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANDAL

Pertama: Panduan Pelingkupan untuk Penyusunan Kerangka Acuan ANDAL adalah sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran Surat Keputusan ini.

Kedua: Panduan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan bilamana dikemudian hari terdapat
kekeliruan, maka Keputusan ini akan ditinjau kembali.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 16 Juli 1992

Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan


Hidup,

ttd

Emil Salim.

227
LAMPIRAN : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP - 30/MENKLH/7/1992
TENTANG : PANDUAN PELINGKUPAN UNTUK PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANDAL MENTERI NEGARA
KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP

1. PENDAHULUAN

Dalam Keputusan Menteri Negara LH Nomor KEP-50/MNKLH/6/1987, Lampiran II, tentang Pedoman Penyusunan
Acuan Analisis Dampak Lingkungan; dan Nomor KEP-51/MNKLH/6/1987, Lampiran II, tentang Pedoman
Penyusunan Kerangka Acuan Studi Evaluasi Lingkungan; ditegaskan bahwa dokumen Kerangka Acuan (KA)
disusun karena adanya pertimbangan:

1. Keanekaragaman
KA diperlukan untuk memberikan arahan tentang komponen kegiatan dan komponen lingkungan yang harus
ditelaah dan diamati dalam penyusunan ANDAL/SEL.

2. Keterbatasan Sumberdaya
KA memberikan ketegasan tentang bagaimana menyesuaikan tujuan dan hasil yang ingin dicapai dalam
penyusunan ANDAL/SEL.

3. Efisiensi
KA memberikan arahan tentang data dan informasi yang perlu dikumpulkan untuk penyusunan ANDAL/SEL,
sehingga data dan informasi yang terkumpul hanyalah yang relevan dengan dampak lingkungan yang telah
ditelaah.

Ketiga pertimbangan tersebut pada dasarnya dapat terwujud dengan baik dalam dokumen KA bila dalam
penyusunan KA ditempuh suatu proses yang dikenal sebagai pelingkupan (scoping). Kegiatan pelingkupan
(scoping) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyusunan KA dan hasilnya dapat berpengaruh besar
pada kualitas dokumen ANDAL/SEL. Semakin baik hasil proses pelingkupan semakin baik pula dokumen ANDAL/
SEL yang dihasilkan, berkat identifikasi dampak yang semakin tajam, dan adanya arahan yang tegas dalam
lingkup serta kedalaman studi ANDAL/SEL.

Menyadari pentingnya arti kegiatan pelingkupan ini dipandang penting disusun suatu panduan pelingkupan yang
komprehensif. Panduan ini merupakan pendukung ( suplemen) untuk penyusunan KA sehingga dokumen KA
yang dihasilkan dapat memenuhi persyaratan teknis seperti yang digariskan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Panduan pelingkupan ini disusun dengan maksud agar pemrakarsa kegiatan, dan instansi
pemerintah yang berwenang/terkait dapat memahami pengertian, tujuan, manfaat, proses, metode, dan prosedur
pelingkupan untuk penyusunan dokumen KA

2. PENGERTIAN, TUJUAN DAN MANFAAT PELINGKUPAN

2.1. Pengertian

Pelingkupan merupakan suatu proses awal (dini) untuk menentukan lingkup permasalahan dan mengidentifikasi
dampak penting (hipotesis) yang terkait dengan rencana kegiatan.

2.2. Tujuan

Pelingkupan bertujuan untuk:


a. Menetapkan batas wilayah studi dan batas/horison waktu prakiraan dampak.
b. Mengidentifikasi dampak penting terhadap lingkungan yang dipandang relevan untuk ditelaah secara
mendalam dalam penyusunan ANDAL/SEL, dengan meniadakan hal-hal yang dipandang kurang atau tidak
penting untuk ditelaah; berdasarkan hasil konsultasi dan diskusi dengan para pakar, instansi pemerintah
yang terkait, serta kelompok masyarakat yang terkena dampak
c. Menetapkan tingkat kedalaman studi ANDAL/SEL sesuai dengan sumber daya yang tersedia (waktu, dana,
tenaga), sehingga data dan informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk memprakirakan dampak
lingkungan yang akan timbul.
d. Menetapkan lingkup studi dan rancangan studi ANDAL/SEL secara sistematis, sehingga dokumen ANDAL/
SEL dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan tentang rencana kegiatan
yang diusulkan.
e. Menelaah kegiatan/proyek-proyek lain yang terkait dan terletak di wilayah studi, termasuk dokumen ANDAL/
SEL dari proyek-proyek tersebut, guna menghindari pembahasan yang landung ( redundant), serta membantu
menelaah dampak kumulatif dari proyek-proyek tersebut.

2.3. Manfaat

Manfaat pelingkupan adalah sebagai berikut:

a. Penyusunan ANDAL/SEL dapat langsung diarahkah pada hal-hal yang menjadi pokok bahasan secara
mendalam, karena dampak bersifat yang kurang penting atau tidak relevan tidak akan dikaji dalam ANDAL/
SEL.

228
b. Kemungkinan timbulnya konflik dan tertundanya kegiatan pembangunan proyek dapat dihindari, berkat
adanya diskusi dan konsultasi antara pemrakarsa dan berbagai pihak yang berkepentingan sejak awal
kegiatan proyek.
c. Biaya, tenaga, dan waktu untuk penyusunan ANDAL/SEL dapat dicurahkan lebih efektif dan efisien berkat
terfokusnya studi ANDAL/SEL hanya pada dampak penting.
d. Penyusunan ANDAL/SEL dapat berlangsung dengan lebih terarah berkat adanya kejelasan lingkup studi,
kedalaman, dan strategi pelaksanaan studi.

3. PROSES DAN METODE PELINGKUPAN

3.1. Waktu Pelaksanaan Pelingkupan

Pelingkupan pada dasarnya merupakan kegiatan yang sinambung ( continue). Kegiatan pelingkupan sebenarnya
berawal sejak penapisan proyek, penyusunan dokumen Kerangka Acuan, hingga berakhirnya studi AMDAL/
SEMDAL.

a. Saat Penapisan Proyek


Proses pelingkupan yang dilakukan pada saat ini ditujukan untuk menetapkan:
a.1. Jenis rencana kegiatan atau proyek yang tidak memerlukan proses AMDAL/SEMDAL;
a.2. Jenis rencana kegiatan atau proyek yang memerlukan penyusunan dokumen PIL terlebih dahulu
karena “perilaku” dampak belum banyak diketahui atau diragukan;
a.3. Jenis rencana kegiatan atau proyek yang langsung memerlukan penyusunan ANDAL/SEL karena
dipandang jelas menimbulkan dampak penting;

Dengan digunakannya pelingkupan pada saat penapisan proyek prosedur AMDAL/SEMDAL yang harus
ditempuh oleh suatu rencana kegiatan dapat diputuskan dengan lebih tepat.

b. Saat Penyusunan Kerangka Acuan


Pelingkupan yang berlangsung di saat penyusunan KA pada dasarnya dimaksudkan untuk mencapai
tujuan dan manfaat seperti yang dimaksud pada BAB 2 panduan pelingkupan ini. Pelingkupan pada saat
ini lebih merupakan proses kelembagaan, mengingat “diikutsertakannya” berbagai pihak di luar
pemrakarsa, seperti instansi yang berwenang, tokoh-tokoh masyarakat, dan para pakar, dalam penyusunan
Kerangka Acuan ANDAL/SEL

c. Saat Penyusunan ANDAL/SEL, RKL, RPL


Pelingkupan pada saat ini, sepenuhnya dilakukan oleh penyusun ANDAL/SEL, RKL, dan RPL. Tujuannya
agar studi ANDAL/SEL dan RKL/RPL tetap berada dalam konteks menelaah dampak penting lingkungan
seperti yang digariskan dalam Kerangka Acuan. Pelingkupan yang dilakukan pada saat ini lebih bersifat
teknis, dalam artian bahwa kegiatan pengumpulan data, analisis data, serta rekomendasi upaya
pengelolaan dan pemantauan lingkungan; senantiasa akan diarahkan untuk keperluan kajian dampak
penting lingkungan.

Panduan yang diutarakan di sini adalah panduan pelingkupan untuk keperluan penyusunan dokumen Kerangka
Acuan.

3.2. Proses Pelingkupan

Pelingkupan untuk penyusunan Kerangka Acuan ANDAL/SEL dilaksanakan melalui serangkaian proses berikut:

a. Identifikasi dampak potensial yang bersumber dari pemrakarsa kegiatan, masyarakat, pakar dan instansi
pemerintah tentang rencana kegiatan atau proyek yang diusulkan.
b. Evaluasi segenap dampak protensial sehingga dihasilkan dampak penting hipotetis dengan meniadakan
dampak potensial yang tidak atau kurang penting.
c. Pemusatan (focussing) segenap dampak penting (hipotetis) dengan maksud agar terancang lingkup dan
kedalaman studi ANDAL/SEL yang jelas dan sistematis dengan fokus bahasan dan dampak penting.

Kaitan ke tiga proses pelingkupan di atas dapat dilihat pada Gambar berikut: Identifikasi pengaruh kegiatan
terhadap komponen lingkungan menghasilkan keluaran berupa diketahuinya hal-hal penting.

Langkah selanjutnya yaitu evaluasi terhadap hal-hal yang dianggap penting dimaksudkan untuk menentukan isi
pokok yang tercakup dalam AMDAL (dan menghilangkan isi yang dianggap tidak penting). Selanjutnya dilakukan
pengorganisasian dan komunikasi (pemusatan) dari isi pokok tersebut untuk membantu menganalisis isi dan
membuat keputusan akhir.

229
KEGIATAN

HAL-HAL ISI ANALISIS ISI


PENTING POKOK DAN PENGAMBILAN
KEPUTUSAN

LINGKUNGAN
EVALUASI PEMUSATAN

IDENTIFIKASI

3.2.1. Identifikasi Dampak Potensi

Kegiatan pelingkupan pada tahap ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi segenap dampak lingkungan
(primer) maupun sekunder yang secara potensial akan timbul sebagai akibat adanya rencana kegiatan/
proyek. Identifikasi dampak potensial ini bersumber dari serangkaian hasil konsultasi dan diskusi dengan
para pakar, instansi pemerintah, serta masyarakat yang terkena dampak. Pada tahap ini belum ada upaya
untuk mengevaluasi apakah segenap dampak potensial tersebut akan merupakan dampak penting. Pada
tahap ini yang diperlukan hanyalah menyusun daftar segenap “dampak potensial” yang mungkin akan
timbul.

Contoh:
(Kasus Pengembangan lapangan minyak, catatan: contoh ini hanyak merupakan ilustrasi dan sifatnya
tidak mengikat). Setelah melalui serangkaian konsultasi dan diskusi dengan pakar, instansi pemerintah,
dan masyarakat sekitar rencana kegiatan/proyek; suatu lapangan minyak yang akan dibuka di dataran
seluas 50 ha secara potensial diduga akan menimbulkan dampak terhadap beberapa komponen
lingkungan di sekitarnya. Komponen lingkungan tersebut adalah:
(1) Sedimentasi sungai,
(2) Kualitas air,
(3) Kualitas udara,
(4) Kesuburan tanah,
(5) Erosi,
(6) Perikanan (sungai),
(7) Satwa liar yang dilindungi,
(8) Vegetasi hutan,
(9) Kesempatan kerja,
(10) Kepadatan penduduk,
(11) Kesehatan masyarakat,
(12) Aksesibilitas daerah,
(13) Sikap terhadap proyek,
(14) Warisan peninggalan budaya.

3.2.2. Evaluasi Dampak Potensial

Pelingkupan pada tahap ini bertujuan untuk menghilangkan atau meniadakan dampak potensial yang
dipandang tidak relevan atau tidak penting; sehingga diperoleh seperangkat dampak penting hipotetis
yang dipandang perlu dan patut untuk ditelaah dalam penyusunan ANDAL/SEL. Pada tahap ini akan dihasilkan
daftar dampak penting hipotetik yang belum berurutan dan terorganisir secara sistematis.
Contoh:
(Lanjutan kasus lapangan minyak, catatan: contoh ini hanya merupakan ilustrasi dan sifatnya tidak mengikat)

Dari 14 komponen lingkungan yang semula dipandang merupakan dampak potensial untuk diperhatikan,
setelah ditelaah lebih lanjut (misal melalui metode matrik atau penelaahan literatur) ternyata terdapat 6
komponen lingkungan yang tidak relevan untuk diteliti. Dengan demikian dampak potensial yang secara
hipotetis dipandang penting untuk ditelaah adalah:
(1) Kualitas air,
(2) Kualitas udara,
(3) Perikanan (sungai),
(4) Vegetasi hutan,
(5) Kesempatan kerja,
(6) Pendapatan penduduk,
(7) Aksesibilitas hutan,
(8) Sikap terhadap proyek.

3.2.3. Pemusatan (Focussing)

Pelingkupan yang dilakukan pada tahap ini bertujuan untuk mengelompokkan atau mengorganisir dampak-
dampak penting yang telah dirumuskan pada tahap sebelumnya, dengan maksud agar diperoleh gambaran
230
yang utuh dan lengkap. Pertama, segenap dampak penting dikelompokkan menjadi beberapa kelompok
menurut tingkat keterkaitannya satu sama lain. Selanjutnya diurut berdasarkan tingkat kepentingannya baik
dari segi ekonomi ataupun ekologis.

Dampak penting hipotetis yang terkelompok inilah yang merupakan fokus bahasan dalam penyusunan
ANDAL/SEL, dan digunakan sebagai dasar untuk menjabarkan ruang lingkup, kedalaman dan strategi
pelaksanaan studi ANDAL/SEL (batas wilayah studi, jenis data dan informasi yang dikumpulkan, jumlah
sample, lokasi pengamatan/pengukuran, dan lain sebagainya).

Contoh:
(Lanjutan kasus lapangan minyak, catatan: contoh ini hanya merupakan ilustrasi dan sifatnya tidak mengikat)

Delapan dampak penting yang semula belum terkelompok (menurut derajat kepentingan dampak), setelah
melalui serangkaian diskusi dan konsultasi yang intensif dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok
dampak penting. Kedua kelompok dampak penting hipotetis tersebut adalah:
(1) Dampak terhadap kualitas air dan perikanan sungai.
(2) Dampak terhadap kesempatan berusaha dan pendapatan penduduk yang tergantung pada
penangkapan ikan disungai.

Dari kedua kelompok dampak penting tersebut selanjutnya dijabarkan: batas wilayah studi, jenis data dan
informasi yang dikumpulkan, jumlah sampel, lokasi, pengamatan/pengukuran, metode analisis data, atau
bila memungkinkan metode prakiraan dampak, dan metode evaluasi dampak yang akan digunakan untuk
penyusunan ANDAL/SEL Lingkup kedalaman studi ANDAL/SEL ini ditetapkan sedemikian rupa sehingga
dengan waktu, dana dan tenaga yang tersedia, dokumen ANDAL/SEL yang dihasilkan dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan.

3.3. Metode Pelingkupan

Dalam proses pelingkupan digunakan metode-metode untuk identifikasi, evaluasi, dan pemusatan dampak
penting hipotetis. Secara garis besar metode yang dapat digunakan adalah:

a. Metode identifikasi dampak.


b. Pengamatan lapangan.
c. Penelaahan pustaka
d. Analisis isi (content analysis)
e. Interaksi grup (group process) yang terutama meliputi brainstorming, lokakarya dan rapat.

Berikut diutarakan secara singkat metode-metode dimaksud:

3.3.1. Metode Identifikasi Dampak

Untuk mengidentifikasi dampak potensial dapat digunakan metode identifikasi dampak lingkungan yang
secara konvensional telah dikenal. Ada tiga macam metode identifikasi dampak yang dapat dipilih untuk
digunakan, yakni:

a. Daftar-uji (checklist), yang terdiri atas:


a.1. Daftar-uji sederhana (simple checklist)
a.2. Daftar-uji kuesioner (questionnaire checklist)
a.3. Daftar-uji deskriptif (descriptive checklist)
b. Matrik
c. Bagan alir (Network).

Berikut diuraikan secara singkat masing-masing metoda tersebut.

3.3.1.1. Daftar-uji sederhana (simple checklist)

Produk metoda ini sangat sederhana, hanya berupa serangkaian daftar tentang parameter-parameter
lingkungan yang perlu mendapat perhatian akibat adanya suatu rencana kegiatan. Daftar Uji Sederhana ini
sangat membantu dalam mengidentifikasi dampak potensial yang diduga akan timbul. Namun demikian
metoda ini hanya memberi sedikit informasi tentang dampak yang timbul bila dibandingkan dengan metoda
Daftar Uji Kuesioner (questionnaire checklist) dan matrik.

3.3.1.2. Daftar-uji kuesioner (questionnaire checklist)

Daftar uji jenis lainnya adalah daftar-uji dengan kuesioner. Daftar uji kuesioner ini akan lebih memberi
manfaat bila dalam mengidentifikasi dampak potensial didukung dengan pengamatan ke wilayah sekitar
rencana kegiatan.

231
3.3.1.2. Daftar-uji deskriptif (descriptive checklist)

Daftar-uji deskriptif menguraikan tentang hal-hal yang patut untuk diteliti oleh penyusun ANDAL/SEL seperti
data dan informasi yang diperlukan untuk analisis parameter yang diduga sebagai dampak penting, sumber
data dan bahkan metoda perkiraan dampak yang direkomendasikan untuk diterapkan. Umumnya daftar-uji
deskriptif ini diawali dengan parameter yang relevan untuk diteliti dan selanjutnya diikuti dengan petunjuk
pencarian data.

Kekuatan metoda daftar-uji ini terletak pada kesederhanaannya, namun demikian apabila daftar-uji ini tidak
diverifikasi dengan kondisi lingkungan dan proyek yang diteliti, maka kemungkinan besar butir-butir yang
dipandang relevan untuk ditelaah tidak termuat dalam daftar dan sebaliknya hal-hal yang tidak relevan
tercantum dalam daftar.

Mengingat dampak suatu proyek bersifat unik dan khas maka relatif tidak ada daftar uji yang berlaku sama
untuk semua proyek di semua lokasi/ruang. Dengan demikian isi atau materi daftar uji yang relevan dengan
karakteristik proyek dan kondisi wilayah sekitar proyek harus dikembangkan sendiri oleh penyusun ANDAL/
SEL. Satu kelemahan lain dari daftar-uji adalah tidak diketahuinya secara jelas sumber penyebab dampak.

3.3.1.4. Matrik

Matrik yang digunakan untuk keperluan identifikasi dampak merupakan matrik sederhana ( simple matrik).
Matrik sederhana menggambarkan interaksi antara kegiatan proyek dengan komponen-komponen
lingkungan di sekitarnya. Pada bagian lajur tertera berbagai kegiatan pembangunan yang direncanakan,
sedang pada bagian baris tertera berbagai komponen dan parameter lingkungan. Apabila suatu kegiatan
proyek, misal kegiatan ke i (i ; 1,2,3,.............., m), secara potensial diduga menimbulkan dampak pada
komponen lingkungan tertentu, misal komponen ke j (j : 1,2,3,.................., n) maka pada interaksi ke ij diberi
tanda atau noktah seperti X. Kelebihan matrik sederhana ini dibandingkan dengan daftar uji adalah
diketahuinya sumber penyebab timbulnya potensi dampak lingkungan.

3.3.1.5. Bagan Alir

Bagan alir (network) merupakan suatu model yang dikonstruksikan melalui jalinan hubungan sebab-akibat
antara sumber penyebab dampak (kegiatan/proyek) dan faktor-faktor lingkungan yang terkena dampak,
baik dampak lingkungan yang bersifat primer, sekunder maupun tersier.

Metoda bagan alir ini dapat digunakan untuk mengantisipasi dampak-dampak lingkungan yang akan timbul
akibat adanya aktivitas proyek. Metode ini tergolong komunikatif untuk materi diskusi dan konsultasi dengan
para pejabat instansi pemerintah atau masyarakat awam yang ingin mengetahui dampak lingkungan
suatu kegiatan/proyek.

3.4. Pengamatan Lapangan

Pengamatan lapangan yang dilakukan dalam rangka penyusunan dokumen KA umumnya berlangsung dalam
waktu yang singkat, dan lebih ditujukan untuk mengidentifikasi dampak potensial yang akan timbul. Target ini
dapat dicapai melalui serangkaian kegiatan berikut:

a. Pengamatan secara umum terhadap lokasi proyek berikut rencana tata letak kegiatan. Bila kegiatan sudah
berjalan (dalam rangka penyusunan SEL) perlu dilakukan pula pengamatan terhadap jalannya proses
produksi dan limbah yang dihasilkan.

b. Diskusi dengan pemrakarsa kegiatan perihal karakteristik rencana kegiatan (misal, asal dan jumlah bahan
baku yang digunakan rangkaian proses produksi, jenis limbah yang dihasilkan, jumlah karyawan yang
diserap, rencana penanganan limbah dan lain sebagainya). Untuk kegiatan yang telah berjalan (dalam
rangka penyusunan SEL) dapat diperoleh data dan informasi yang lebih rinci.

c. Pengamatan secara umum terhadap kondisi bentang alam, perairan umum, kondisi biologi, dan sosial
ekonomi wilayah sekitar rencana kegiatan/proyek.

d. Wawancara singkat dengan tokoh-tokoh masyarakat sekitar rencana kegiatan dan pejabat pemerintahan
setempat perihal rencana kegiatan. Wawancara singkat ini diperlukan dalam rangka untuk memperoleh
masukan tentang hal-hal yang dipandang penting oleh masyarakat dan pemerintahan setempat sehubungan
dengan adanya rencana kegiatan/proyek.

Bila pengamatan lapangan ini dilakukan oleh pakar yang berpengalaman, maka di samping akan diperoleh
hasil yang bernilai juga dapat diperoleh gambaran umum tentang kedalaman dan lingkup studi ANDAL/SEL.

232
3.5. Penelahaan Pustaka
Metode ini digunakan untuk keperluan identifikasi dan evaluasi dampak potensial. Melalui metode ini identifikasi
dan evaluasi dampak potensial suatu rencana kegiatan dapat dilakukan lebih cepat berkat adanya data dan
informasi dari studi-studi yang sejenis. Pustaka yang perlu ditelaah antara lain adalah:

a. Buku-buku teks atau jurnal tentang dampak lingkungan suatu kegiatan/proyek.

b. Dokumen AMDAL/SEMDAL dari proyek-proyek sejenis atau dari proyek-proyek di sekitar wilayah studi.

c. Laporan-laporan resmi tentang masalah lingkungan di sekitar wilayah studi yang dikeluarkan oleh pemerintah
daerah, departemen sektoral, atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

d. Laporan-laporan penelitian tentang masalah-masalah lingkungan di sekitar wilayah studi.

3.6. Analisis Isi

Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi dampak potensial yang akan timbul menurut persepsi atau pandangan
masyarakat. Persepsi masyarakat “ditangkap” secara tidak langsung melalui metode analisis ini (content
analysis).

“Partisipasi” masyarakat dilibatkan secara tidak langsung dengan cara menelaah berita-berita yang disampaikan
melalui berbagai media massa, seperti koran, majalah dan televisi. Telaahan terutama difokuskan pada respon
masyarakat terhadap kehadiran proyek-proyek pembangunan di sekitarnya. Analisis ini sangat bermanfaat untuk
mengidentifikasi dampak potensial dari sudut masyarakat.

3.7. Interaksi Kelompok

Metode ini dapat digunakan untuk identifikasi, evaluasi dampak potensial, atau pemusatan dampak penting.
Metode yang dapat digunakan antara lain: rapat, lokakarya dan brainstorming.

a. Rapat
Metode ini dapat digunakan untuk identifikasi, evaluasi, atau pemusatan dampak penting. Metode ini
mensyaratkan bahwa ketua rapat harus menguasai prosedur dan teknik penyusunan ANDAL/SEL. Dalam
rapat, peserta harus mengerti benar bahwa tujuan rapat adalah untuk mengidentifikasi, mengevaluasi,
atau pemusatan dampak penting yang berkenaan dengan rencana kegiatan/proyek.

b. Lokakarya
Metode ini dapat digunakan untuk evaluasi atau pemusatan dampak penting. Melalui metode ini dapat
dilibatkan peran serta beragam instansi yang terkait dengan proses AMDAL (pemrakarsa, calon penyusun
ANDAL/SEL, instansi yang berwenang, tokoh masyarakat), untuk terlibat dalam proses pelingkupan.
Lokakarya akan memberikan manfaat yang tinggi bila dipersiapkan dengan baik dan draft dokumen KA
telah tersusun dan siap untuk dibahas dalam forum.

c. Brainstorming
Metode ini terutama digunakan untuk identifikasi dampak potensial. Dalam brainstorming dampak potensial
dari sudut pemrakarsa, pakar, instansi pemerintah yang berwenang, dan masyarakat yang terkena dampak;
didaftar untuk selanjutnya dievaluasi tingkat kepentingan dampaknya. Metode ini efektif untuk digunakan
dalam rapat-rapat untuk identifikasi dampak potensial.

4. PROSEDUR PELINGKUPAN

Agar dokumen KA yang dihasilkan mampu mengarahkan penyusunan ANDAL/SEL seperti yang diharapkan,
perlu ditempuh prosedur pelingkupan seperti berikut ini:

a. Langkah Pertama: Identifikasi Dampak Potensial

b. Langkah Kedua: Evaluasi Dampak Potensial dan Pemusatan Dampak Penting

c. Langkah Ketiga: Perumusan Lingkup dan Kedalaman Studi ANDAL/SEL

Berikut dikemukakan langkah-langkah kegiatan pelingkupan dimaksud:

4.1. Langkah Pertama: Identifikasi Dampak Potensial

Seperti telah diutarakan pada butir 3.1.2. kegiatan pelingkupan pada tahap ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi
segenap dampak potensial (primer maupun sekunder) yang secara potensial akan timbul sebagai akibat adanya
rencana kegiatan/proyek.

Mengingat inisiatif kegiatan identifikasi dampak ini berada pada pemrakarsa kegiatan, penanggung jawab kegiatan
ini juga berada di pundak pemrakarsa.
233
Kegiatan yang dilakukan pemrakarsa pada Langkah Pertama ini adalah:

1. Konsultasi dan diskusi dengan para pakar (yang dalam hal ini dapat tergabung dalam konsultasi
penyusun ANDAL/SEL), serta instansi pemerintah yang berwenang; perihal peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk penyusunan Kerangka Acuan dan ANDAL/SEL, deskripsi kegiatan yang
berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, dan lain sebagainya. Pada taraf ini sudah dapat dilakukan
identifikasi dampak dengan menggunakan metode seperti diutarakan pada butir 3.2.; 3.4; 3.5 dan 3.6.
(brainstorming)

2. Pengamatan terhadap kondisi wilayah sekitar rencana kegiatan dengan menggunakan metode seperti
diutarakan pada butir 3.3. Pengamatan sebaiknya dilakukan oleh para pakar (yang dalam hal ini dapat
tergabung dalam konsultan penyusun ANDAL/SEL). Pemrakarsa perlu terlibat secara aktif dalam
kegiatan ini agar dapat dihasilkan butir-butir identifikasi dampak yang lebih jelas/tajam. Hal ini tidak
lain karena kegiatan ini dapat diperoleh masukan tentang dampak lingkungan yang akan timbul dari
sudut pandang masyarakat.
3. Dari hasil kegiatan butir 1 dan 2 pemrakarsa/konsultan penyusun ANDAL/SEL selanjutnya dapat
menyusun daftar dampak potensial yang bersumber dari berbagai pihak.

4.2. Langkah Kedua: Evaluasi Dampak Potensial dan Pemusatan

Pada Langkah Kedua ini evaluasi dampak potensial dan pemusatan dampak penting ditempuh sekaligus
mengingat eratnya kaitan kedua proses pelingkupan tersebut. Inisiatif Langkah Kedua ini juga berada pada
pemrakarsa kegiatan (yang dalam hal ini dapat diwakili oleh konsultan penyusun ANDAL/SEL).

Seperti telah diutarakan pada butir 3.2.2., evaluasi dampak potensial bertujuan untuk menghilangkan atau
meniadakan dampak yang dipandang tidak relevan atau tidak penting; sehingga diperoleh seperangkat dampak
penting hipotetik. Sedang pemusatan ( focussing) dimaksudkan untuk mengorganisir dampak penting hipotetik
ke dalam beberapa kelompok (lihat butir 3.2.3); sehingga dapat dijadikan dasar untuk penjabaran lingkup dan
kedalam studi ANDAL/SEL.

Kegiatan yang dilakukan pemrakarsa pada Langkah Kedua ini meliputi:

1. Evaluasi derajat kepentingan dampak setiap komponen/parameter lingkungan yang secara potensial
akan terkena dampak lingkungan, melalui metode rapat (butir 3.6.) dan telaahan pustaka (butir 3.4.),
dengan menggunakan Keputusan Menteri Negara KLH No. 49/MNKLH/VI/1987, tentang Pedoman
Penentuan Dampak Penting, sebagai bahan acuan. Dampak potensial yang dipandang kurang penting
atau tidak relevan ditiadakan dari daftar, sehingga diperoleh seperangkat dampak penting hipotetik
yang dipandang yang layak untuk ditelaah secara mendalam dalam ANDAL/SEL.

2. Segenap dampak penting hipotetik selanjutnya disintesis jalinan keterkaitannya sehingga diperoleh
di beberapa kelompok dampak penting yang akan menjadi fokus bahasan dalam penyusunan ANDAL./
SEL. Perlu diketahui bahwa pada langkah ini proses pelingkupan semakin mengandalkan pertimbangan
pakar (expert judgement), sehingga evaluasi dan pemusatan harus dilaksanakan secara kritis dan
obyektif. Berdasarkan hasil pemusatan ini selanjutnya dilakukan Langkah Ketiga.

4.3. Langkah Ketiga: Perumusan Lingkup dan Kedalaman ANDAL/SEL

Pelingkupan yang dilakukan pada langkah ini bersifat lebih teknis, sehingga sedapat mungkin kegiatan ini
dilakukan oleh para pakar (yang dalam hal ini dapat diwakili dalam konsultan penyusun ANDAL/SEL). Hal ini
mengingat karena ruang lingkup, kedalaman, dan strategi pelaksanaan studi ANDAL/SEL harus dijabarkan dari
kelompok dampak penting hipotetik yang telah dirumuskan pada langkah sebelumnya. Aspek-aspek yang
dijabarkan lebih lanjut untuk keperluan penyusunan dokumen KA ANDAL/SEL perlu meliputi tentang:

1. Batas wilayah studi dan batas/horison waktu untuk memprakirakan dampak penting yang akan timbul.

2. Jenis data dan informasi yang perlu dikumpulkan agar dampak penting, yang menjadi fokus bahasan,
dapat ditelaah secara mendalam. Sedapat mungkin lengkapi pula dengan jenis data dan jumlah
sampel yang harus dikumpulkan, serta lokasi pengumpulan data.

3. Jenis tenaga ahli yang diperlukan berikut dengan jangka waktu yang tersedia untuk penyusunan
ANDAL/SEL. Dari segenap hasil pelingkupan tersebut selanjutnya disusun dokumen KA untuk
penyusunan ANDAL dengan berpedoman pada Keputusan Menteri Negara KLH Nomor KEP-50/MNKLH/
6/1987, Lampiran II, tentang Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan
(atau SEL dengan berpedoman pada Keputusan Menteri Negara KLH Nomor KEP-51/MNKLH/6/1987,
Lampiran II, tentang Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan Studi Evaluasi Lingkungan). Dokumen
yang telah tersusun ini selanjutnya diserahkan kepada Komisi Pusat AMDAL departemen untuk dibahas
dan disepakati oleh instansi yang berwenang, calon penyusun ANDAL/SEL, dan penanggung jawab
kegiatan.

234
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 08 TAHUN 2000
TENTANG
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PROSES ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN HIDUP

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 1/M Tahun 2000 tentang Pengangkatan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG KETERLIBATAN


MASYARAKAT DAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PROSES ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN HIDUP.

PERTAMA : Keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses analisis mengenai dampak
lingkungan hidup diselenggarakan dengan berpedoman pada Lampiran sebagaimana dimaksud
dalam Keputusan ini.

KEDUA : Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Keputusan ini, Gubernur dapat mengatur lebih lanjut:
1. Penentuan wakil masyarakat terkena dampak yang duduk dalam Komisi Penilai Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
2. Rincian tata cara:
a. keterlibatan masyarakat dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
b. pengumuman; dan
c. penyampaian saran, pendapat, dan tanggapan warga masyarakat.

KETIGA : Surat Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan bilamana di kemudian
hari terdapat kekeliruan, maka Surat Keputusan ini akan ditinjau kembali.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 17 Pebruari 2000

Kepala Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Sekretaris Utama BAPEDAL,

Sudarsono, S.H.

235
LAMPIRAN : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 08 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000

KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PROSES ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN HIDUP

1. PENDAHULUAN
1.1 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dilaksanakannya keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ini adalah untuk:
1) Melindungi kepentingan masyarakat;
2) Memberdayakan masyarakat dalam pengambilan keputusan atas rencana usaha dan/atau kegiatan
pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan;
3) Memastikan adanya transparansi dalam keseluruhan proses AMDAL dari rencana usaha dan/atau kegiatan;
dan
4) Menciptakan suasana kemitraan yang setara antara semua pihak yang berkepentingan, yaitu dengan
menghormati hak-hak semua pihak untuk mendapatkan informasi dan mewajibkan semua pihak untuk
menyampaikan informasi yang harus diketahui pihak lain yang terpengaruh.
1.2 Prinsip Dasar Pelaksanaan
1) Kesetaraan posisi diantara pihak-pihak yang terlibat;
2) Transparansi dalam pengambilan keputusan;
3) Penyelesaian masalah yang bersifat adil dan bijaksana; dan
4) Koordinasi, komunikasi, dan kerjasama dikalangan pihak-pihak yang terkait.
1.3 Pengertian
Masyarakat yang Berkepentingan:
Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam
proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana
usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan
hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses
AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.
Masyarakat Terkena Dampak:
Masyarakat terkena dampak adalah masyarakat yang akan merasakan dampak dari adanya rencana usaha dan/
atau kegiatan, terdiri dari masyarakat yang akan mendapatkan manfaat dan masyarakat yang akan mengalami
kerugian.
Masyarakat Pemerhati:
Masyarakat pemerhati adalah masyarakat yang tidak terkena dampak dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan,
tetapi mempunyai perhatian terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut, maupun dampak-dampak
lingkungan yang akan ditimbulkannya.
Keterlibatan Masyarakat dalam Proses AMDAL:
Keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan tentang AMDAL. Dalam proses ini, masyarakat menyampaikan aspirasi, kebutuhan, dan nilai-nilai
yang dimiliki masyarakat, serta usulan penyelesaian masalah dari masyarakat yang berkepentingan dengan
tujuan memperoleh keputusan yang terbaik.
Wakil Masyarakat dalam Komisi Penilai AMDAL:
Wakil masyarakat dalam Komisi Penilai AMDAL adalah wakil dari masyarakat terkena dampak yang telah
memenuhi kriteria yang ditetapkan untuk dapat duduk sebagai anggota Komisi Penilai AMDAL.

2. HAK DAN KEWAJIBAN


2.1 Hak-hak Warga Masyarakat
Hak-hak warga masyarakat dalam proses AMDAL adalah:
1) Memperoleh informasi mengenai:
a) rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib menyusun AMDAL;
b) dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL);
c) dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL);
d) dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL);
e) dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL);
f) proses penilaian dokumen AMDAL oleh Komisi Penilai AMDAL;
g) sikap instansi yang bertanggung jawab atas saran, pendapat, dan tanggapan masyarakat yang
disampaikan; dan
h) keputusan hasil penilaian dokumen AMDAL;
2) Memberikan saran, pendapat, dan/atau tanggapan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib
menyusun AMDAL dan dokumen KA-ANDAL, ANDAL, RKL, dan RPL dengan ketentuan:
a) Spesifikasi Media Penyampaian Saran, Pendapat, dan Tanggapan Bentuk tertulis (contoh: surat, e-
mail) atau bentuk cetak (contoh: surat pembaca di media massa) sehingga mudah
didokumentasikan.
b) Spesifikasi Teknik Penyampaian Saran, Pendapat, dan Tanggapan
(1) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar;
(2) Menuliskan dengan jelas sehingga mudah dibaca;
(3) Menjelaskan dan atau melampirkan identitas pribadi.
c) Tata Cara
Tata cara penyampaian saran, pendapat, dan tanggapan dijelaskan lebih lanjut dalam bab 3.
3) Duduk sebagai anggota Komisi Penilai AMDAL; khusus bagi warga masyarakat terkena dampak yang
penetapannya dilaksanakan berdasarkan ketentuan butir a) dibawah, dan dengan menggunakan
mekanisme perwakilan yang pelaksanaannya berdasarkan ketentuan butir b) dibawah :
a) Penetapan lingkup masyarakat terkena dampak
Penetapan lingkup warga masyarakat terkena dampak pada tahap penyusunan KA-ANDAL
dilakukan atas kesepakatan bersama antara instansi yang bertanggungjawab, pemrakarsa dan
masyarakat terkena dampak terkait dengan tetap memperhatikan kemungkinan penyempurnaannya
kembali pada tahap proses penilaian dokumen ANDAL, RKL, dan RPL di Komisi Penilai.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan lingkup masyarakat terkena dampak adalah:

236
(1) Memperhatikan karakter rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan diusulkan
Contoh :
• jenis-jenis usaha dan/atau kegiatan yang membutuhkan dukungan semua lapisan
masyarakat setempat berarti menjadikan seluruh masyarakat setempat sebagai
kelompok yang terkena dampak (misalnya : proyek pembukaan lahan pertanian skala
besar, pembuatan infrastruktur desa, proyek peremajaan kota, dan lain-lain);
• jenis usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pengaruh positif atau negatif besar
pada satu kelompok masyarakat tertentu menjadikan hanya sebagian masyarakat
menjadi kelompok yang terkena dampak (misalnya: proyek transmigrasi/ pemindahan
pemukim perambah hutan yang akan mempengaruhi penduduk yang dipindahkan
dan penduduk yang akan menerima, atau proyek pertambangan terhadap masyarakat
suku terasing);
(2) Memperhatikan jenis isu pokok/dampak besar dan penting yang muncul
Sebuah rencana usaha dan/atau kegiatan bisa memiliki lingkup warga masyarakat yang
terkena dampak berbeda-beda menurut jenis isu pokok/dampak besar dan penting.
Contoh :
• adanya perbedaan antara kelompok warga masyarakat terkena dampak akibat isu
konflik sosial budaya dengan kelompok akibat isu pencemaran lingkungan, dan lain
sebagainya.
(3) Mengacu pada batas wilayah dampak yang ditetapkan dalam studi AMDAL
Warga masyarakat yang terkena dampak haruslah warga yang memang berada di dalam
wilayah dampak yang batas-batasnya ditetapkan dalam studi AMDAL.
(4) Memperhatikan tahapan proses kajian AMDAL
Semakin jelas permasalahan dan alternatif mitigasi dampak, lingkup warga masyarakat
yang terkena dampak dapat membesar/mengecil.
Contoh :
• identifikasi dampak dan wilayah sebarannya pada saat KA-ANDAL mungkin hanya
menghasilkan satu kelompok masyarakat terkena dampak, namun pada saat evaluasi
dampak akan dapat teridentifikasi kelompok masyarakat terkena dampak baru.
Demikian pula halnya pada saat ditemukannya alternatif mitigasi dampak dalam RKL
dan RPL, dimana kemudian dapat memunculkan kelompok masyarakat terkena
dampak yang tidak teridentifikasi sebelumnya.
b) Penetapan wakil masyarakat terkena dampak yang duduk dalam Komisi Penilai AMDAL. Warga
masyarakat terkena dampak memilih sendiri wakilnya yang duduk dalam Komisi Penilai AMDAL. Kriteria
dan syarat wakil masyarakat terkena dampak adalah:
(1) Seseorang yang diakui sebagai juru bicara dan/atau mendapat mandat dari kelompok masyarakat
terkena dampak. Wujud dari pengakuan ini dapat berupa bukti yang sifatnya formal (misalnya:
surat persetujuan bersama dari kelompok masyarakat yang diwakili), atau bentuk-bentuk pengakuan
lainnya yang ditetapkan dan disetujui oleh kelompok masyarakat terkena dampak yang diwakilinya
(misalnya: menetapkan tokoh masyarakat formal seperti Kepala Desa dan LKMD, atau informal
seperti tokoh adat dan tokoh agama setempat sebagai wakil yang disepakati);
(2) Menyuarakan semua bentuk aspirasi dan pendapat masyarakat yang diwakilinya secara apa adanya,
termasuk juga pendapat-pendapat yang saling bertentangan;
(3) Melakukan komunikasi dan konsultasi rutin dengan masyarakat yang diwakilinya.

2.2 Kewajiban Instansi yang Bertanggung Jawab


Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
1) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan memulai penyusunan AMDAL dengan
ketentuan:
a) Spesifikasi Media Pengumuman
(1) Media cetak lokal dan nasional;
(2) Papan pengumuman kantor instansi yang bertanggung jawab di tingkat pusat dan/atau
daerah; dan dapat ditambahkan dengan
(3) Media elektronik televisi dan/atau radio; dan
(4) Pusat dan/atau tempat pengumuman resmi yang ditetapkan dan diatur oleh instansi yang
bertanggung jawab.
b) Spesifikasi Tampilan Pengumuman
(1) Semua bentuk pengumuman baik tertulis maupun tidak tertulis harus menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar, disampaikan dengan jelas dan mudah dimengerti oleh
seluruh lapisan masyarakat;
(2) Pengumuman tertulis di media cetak harus berukuran minimal 5x3 cm 2 dan ditulis dengan
huruf standar sekurang-kurangnya berukuran 10. Ukuran minimal tidak boleh dijadikan alasan
tidak lengkapnya lingkup materi yang disampaikan;
(3) Pengumuman pada papan pengumuman harus sekurang-kurangnya:
• Ditulis dengan warna hitam dan dasar putih;
• Ditulis dengan huruf cetak standar dengan ukuran minimal 12;
• Berukuran minimal 60 x 100 cm 2
(4) Pengumuman pada media elektronik dapat berupa berita ataupun spot iklan, dengan lama
minimal 10 (sepuluh) detik untuk televisi dan 20 (dua puluh) detik untuk radio
c) Tata Cara Pengumuman
Tata cara pengumuman dijelaskan lebih lanjut dalam bab 3.
2) Mendokumentasikan dan mengolah saran, pendapat, dan tanggapan dari warga masyarakat yang
disampaikan;
3) Menyampaikan rangkuman hasil saran, pendapat, dan tanggapan dari warga masyarakat serta respon
dan sikap atas saran, pendapat, dan tanggapan warga masyarakat tersebut kepada Komisi Penilai
AMDAL;
4) Menyediakan informasi tentang proses dan hasil keputusan penilaian dokumen KA-ANDAL dan ANDAL,
RKL, dan RPL kepada warga masyarakat yang berkepentingan; dan
5) Memfasilitasi terlaksananya dengan baik hak warga masyarakat atas informasi dan berperanserta
dalam proses AMDAL.

237
2.3 Kewajiban Pemrakarsa
Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
1) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatan sebelum memulai penyusunan dokumen AMDAL
dengan ketentuan:
a) Spesifikasi Media Pengumuman
(1) Papan pengumuman di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;
(2) Papan pengumuman di lokasi-lokasi strategis yang ditetapkan oleh instansi yang
bertanggung jawab di tingkat pusat atau daerah; dan
(3) Media lain yang dianggap tepat dengan situasi setempat; misalnya brosur, surat, media
cetak, dan/atau media elektronik.
b) Spesifikasi Tampilan Pengumuman
Spesifikasi tampilan pengumuman sesuai dengan ketentuan b) dalam butir 1) sub bab 2.2.
c) Tata Cara Pengumuman
Tata cara pengumuman dijelaskan lebih lanjut dalam bab 3.
2) Menyelenggarakan konsultasi kepada warga masyarakat yang berkepentingan dalam penyusunan
dokumen KA-ANDAL;
3) Memberikan informasi mengenai dokumen KA-ANDAL, ANDAL, RKL, dan RPL kepada warga masyarakat
yang memerlukannya;
4) Menanggapi saran, pendapat, dan tanggapan yang disampaikan oleh warga masyarakat yang
berkepentingan

3. TATA CARA KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM PROSES AMDAL


3.1 Tahap Persiapan Penyusunan AMDAL
Pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan memulai menyusun dokumen AMDAL wajib:
1) Memberitahukan rencananya kepada instansi yang bertanggung jawab;
2) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatannya terhitung sejak jadwal pengumuman yang telah
disepakati bersama instansi yang bertanggung jawab;
3) Mengumumkan hal-hal:
a) Nama dan alamat pemrakarsa;
b) Lokasi dan luas usaha dan/atau kegiatan, serta dilengkapi dengan peta wilayah rencana usaha
dan/atau kegiatan;
c) Jenis usaha dan/atau kegiatan;
d) Produk yang akan dihasilkan;
e) Jenis dan volume limbah yang akan dihasilkan, serta cara penanganannya;
f) Dampak lingkungan hidup yang akan timbul;
g) Tanggal pengumuman tersebut mulai dipasang dan batas waktu pemberian saran, pendapat, dan
tanggapan dari warga masyarakat; dan
h) Nama dan alamat instansi yang bertanggung jawab dalam menerima saran, pendapat, dan
tanggapan dari warga masyarakat
4) Mengikuti ketentuan spesifikasi media dan teknik pengumuman sebagaimana diatur dalam butir 1)
sub bab 2.3.
Instansi yang bertanggung jawab wajib mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan
memulai menyusun AMDAL dengan ketentuan:
1) Mengumumkan hal-hal:
a) Lokasi usaha dan/atau kegiatan serta dilengkapi dengan peta wilayah rencana usaha dan/
atau kegiatan;
b) Jenis usaha dan/atau kegiatan;
c) Nama dan alamat pemrakarsa;
d) Tanggal pengumuman tersebut mulai dipasang dan batas waktu pemberian saran, pendapat
dan tanggapan dari warga masyarakat; dan
e) Nama dan alamat instansi yang bertanggung jawab menerima saran, pendapat, dan
tanggapan dari warga masyarakat.
2) Mengikuti ketentuan spesifikasi media dan teknik pengumuman sebagaimana diatur dalam butir
1) sub bab 2.2.
Warga masyarakat yang berkepentingan berhak menyampaikan saran, pendapat, dan tanggapan,
yang teknisnya diatur dalam butir 2) sub bab 2.1, terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang
diumumkan selama periode 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal pengumuman dilaksanakan,
dan disampaikan kepada:
• Instansi yang bertanggung jawab di tingkat Pusat :
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan u.p. Unit yang membidangi AMDAL,
dengan tembusan kepada Pemrakarsa; dan/atau
• Instansi yang bertanggung jawab di tingkat Daerah :
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I u.p. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Daerah Tingkat I, dengan tembusan kepada Pemrakarsa.
3.2 Tahap Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
Pada saat penyusunan KA-ANDAL, pemrakarsa wajib melakukan konsultasi kepada warga masyarakat
yang berkepentingan. Hasil dari konsultasi kepada warga masyarakat wajib digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam melakukan pelingkupan.
Pemrakarsa harus mendokumentasikan semua berkas yang berkaitan dengan pelaksanaan konsultasi
dan membuat rangkuman hasilnya untuk diserahkan kepada Komisi Penilai AMDAL sebagai lampiran
dokumen KA-ANDAL.
Untuk melancarkan konsultasi kepada warga masyarakat dalam tahap ini, pemrakarsa harus memenuhi
kewajiban sebagai berikut :
1) Menyediakan informasi dengan lingkup: penjabaran kegiatan (jenis kegiatan, kapasitas dan lokasi
kegiatan), komponen lingkungan yang sangat penting diperhatikan karena akan terkena dampak, dan
isu-isu pokok mengenai dampak lingkungan yang diperkirakan akan muncul; dan
2) Mengumumkan waktu, tempat serta cara konsultasi yang akan dilakukan (misalnya: pertemuan-
pertemuan publik, lokakarya, seminar, diskusi terfokus dan metoda-metoda lain yang dapat dipergunakan
untuk berkomunikasi secara dua arah).

238
BAGAN
PROSEDUR KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM PROSES AMDAL

Masyarakat Instansi yang Pemrakarsa


Berkepentingan Bertanggung jawab

PENGUMUMAN
RENCANA USAHA DAN KEGIATAN

PENGUMUMAN
PERSIAPAN
PENYUSUNAN AMDAL

SARAN, PENDAPAT, DAN


TANGGAPAN

KONSULTASI PENYUSUNAN
KA-ANDAL

SARAN, PENDAPAT, DAN PENILAIAN KA-ANDAL


TANGGAPAN OLEH KOMISI
(maks. 75 hari)

PENYUSUNAN
KA-ANDAL

SARAN, PENDAPAT, DAN PENILAIAN ANDAL,


TANGGAPAN RKL, RPL OLEH KOMISI
(maks. 75 hari)

KEPUTUSAN KELAYAKAN
LINGKUNGAN HIDUP
KEPALA
BAPEDAL/GUBERNUR

3.3 Tahap Penilaian KA-ANDAL


Warga masyarakat terkena dampak berhak duduk sebagai anggota Komisi Penilai AMDAL melalui wakil
yang telah ditetapkan.
Warga masyarakat berkepentingan juga dapat menyampaikan saran, pendapat, dan tanggapannya dengan
ketentuan:
1) Disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab dan/atau pemrakarsa;
2) Disampaikan dalam bentuk yang mudah didokumentasikan dan/atau tertulis, sesuai dengan
ketentuan butir 2) sub bab 2.1; dan
3) Disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum rapat Komisi Penilai AMDAL.
3.4 Tahap Penilaian Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan
Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Warga masyarakat terkena dampak berhak duduk sebagai
anggota Komisi Penilai melalui wakil yang telah ditetapkan.
Warga masyarakat berkepentingan juga dapat menyampaikan saran, pendapat, dan tanggapannya dengan
ketentuan:
1) Disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab, dan/atau pemrakarsa;
2) Disampaikan dalam bentuk yang mudah didokumentasikan dan/atau tertulis, sesuai dengan
ketentuan butir 2) sub bab 2.1; dan
3) Disampaikan selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari kerja setelah informasi jadwal rencana
sidang penilaian oleh Komisi Penilai AMDAL disebarluaskan secara resmi.

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf


239
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TENTANG
PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup perlu ditetapkan
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Penyusunan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 115; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/M Tahun 2000 tentang Pengangkatan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN


PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.

Pertama : Yang dimaksud dengan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Analisis Dampak
Lingkungan Hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan
Hidup adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Kedua : Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup dibuat dengan berpedoman pada Pedoman
Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam
lampiran I Keputusan ini.

Ketiga : Analisis Dampak Lingkungan Hidup dibuat dengan berpedoman pada Pedoman Penyusunan
Analisis Dampak Lingkungan Hidup adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran II Keputusan
ini.

Keempat : Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dibuat dengan berpedoman pada Pedoman Penyusunan
Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam lampiran III Keputusan
ini.

Kelima : Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup dibuat dengan berpedoman pada Pedoman Penyusunan
Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam lampiran IV Keputusan
ini.

Keenam : Ringkasan Eksekutif dibuat dengan berpedoman pada Pedoman Penyusunan Ringkasan Eksekutif
sebagaimana dimaksud dalam lampiran V Keputusan ini.

Ketujuh : a. Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum dicabut.
b. Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan bilamana dikemudian
hari terdapat kekeliruan, maka keputusan ini akan ditinjau kembali.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 17 Februari 2000

Kepala Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Sekretaris Utama BAPEDAL,

Sudarsono, S.H.

240
LAMPIRAN I : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000

PEDOMAN PENYUSUNAN
KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (KA-ANDAL)

A. PENJELASAN UMUM
1. Pengertian
Kerangka Acuan adalah ruang lingkup studi analisis dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil
pelingkupan yang disepakati oleh Pemrakarsa/Penyusun AMDAL dan Komisi AMDAL.
2. Fungsi pedoman penyusunan KA-ANDAL
Pedoman penyusunan KA-ANDAL digunakan sebagai dasar bagi penyusunan KA-ANDAL baik KA-ANDAL
kegiatan tunggal, KA-ANDAL kegiatan terpadu/multisektor maupun KA-ANDAL kegiatan dalam kawasan.
3. Tujuan dan fungsi KA-ANDAL
3.1. Tujuan penyusunan KA-ANDAL adalah:
a. Merumuskan lingkup dan kedalaman studi ANDAL;
b. Mengarahkan studi ANDAL agar berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan biaya, tenaga,
dan waktu yang tersedia.
3.2. Fungsi dokumen KA-ANDAL adalah:
a. Sebagai rujukan penting bagi pemrakarsa, instansi yang membidangi rencana usaha atau kegiatan,
dan penyusun studi AMDAL tentang lingkup dan kedalaman studi ANDAL yang akan dilakukan;
b. Sebagai salah satu bahan rujukan bagi penilai dokumen ANDAL untuk mengevaluasi hasil studi
ANDAL.
4. Dasar pertimbangan penyusunan KA-ANDAL
4.1. Keanekaragaman
ANDAL bertujuan menduga kemungkinan terjadinya dampak dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan
terhadap lingkungan hidup. Rencana usaha dan/atau kegiatan dan rona lingkungan hidup pada
umumnya sangat beraneka ragam. Keanekaragaman rencana usaha dan/atau kegiatan dapat berupa
keanekaragaman bentuk, ukuran, tujuan, sasaran, dan sebagainya. Demikian pula rona lingkungan
hidup akan berbeda menurut letak geografi, keanekaragaman faktor lingkungan hidup, pengaruh
manusia, dan sebagainya. Karena itu, tata kaitan antara keduanya tentu akan sangat bervariasi pula.
Kemungkinan timbulnya dampak lingkungan hidup pun akan berbeda-beda. Dengan demikian KA-
ANDAL diperlukan untuk memberikan arahan tentang komponen usaha dan/atau kegiatan manakah
yang harus ditelaah, dan komponen lingkungan hidup manakah yang perlu diamati selama menyusun
ANDAL.
4.2. Keterbatasan sumber daya
Penyusunan ANDAL acap kali dihadapkan pada keterbatasan sumber daya, seperti antara lain:
keterbatasan waktu, dana, tenaga, metode, dan sebagainya. KA-ANDAL memberikan ketegasan tentang
bagaimana menyesuaikan tujuan dan hasil yang ingin dicapai dalam keterbatasan sumber daya tersebut
tanpa mengurangi mutu pekerjaan ANDAL. Dalam KA-ANDAL ditonjolkan upaya untuk menyusun prioritias
manakah yang harus diutamakan agar tujuan ANDAL dapat terpenuhi meski sumber daya terbatas.
4.3. Efisiensi
Pengumpulan data dan informasi untuk kepentingan ANDAL perlu dibatasi pada faktor-faktor yang
berkaitan langsung dengan kebutuhan. Dengan cara ini ANDAL dapat dilakukan secara efisien.
Penentuan masukan berupa data dan informasi yang amat relevan ini kemudian disusun dan
dirumuskan dalam KA-ANDAL.
5. Pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL
Pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL adalah pemrakarsa, instansi yang
bertanggung jawab, dan penyusun studi ANDAL. Namun dalam pelaksanaan penyusunan KA-ANDAL (proses
pelingkupan) harus senantiasa melibatkan para pakar serta masyarakat yang berkepentingan sesuai Pasal
33 s/d Pasal 35 PP. Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL.
KA-ANDAL ini merupakan dokumen penting untuk memberikan rujukan tentang kedalaman studi ANDAL
yang akan dicapai.
6. Pemakai hasil ANDAL dan hubungannya dengan penyusunan KA-ANDAL
Menurut Pasal 2 PP. Nomor 27 Tahun 1999, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup merupakan
bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha dan/atau kegiatan.
Hasil studi kelayakan ini tidak hanya berguna untuk para perencana, tetapi yang terpenting adalah juga bagi
pengambilan keputusan. Karena itu, dalam menyusun KA-ANDAL untuk suatu ANDAL perlu dipahami bahwa
hasilnya nanti akan merupakan bagian dari studi kelayakan yang akan digunakan oleh pengambil keputusan
dan perencanaan. Sungguhpun demikian, berlainan dengan bagian studi kelayakan yang menggarap faktor
penunjang dan penghambat terlaksananya suatu usaha dan/atau kegiatan ditinjau dari segi ekonomi dan
teknologi, ANDAL lebih menunjukkan pendugaan dampak yang bisa ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan
tersebut terhadap lingkungan hidup.
Karena itu, penyusun KA-ANDAL perlu mengikuti diagram alir penyusunan ANDAL di bawah ini sehingga
akhirnya dapat memberikan masukan yang diperlukan oleh perencana dan pengambil keputusan:

241
Pengumpulan data dan informasi tentang
• Rencana usaha dan/atau kegiatan
• Rona lingkungan hidup awal

Proyeksi perubahan rona lingkungan hidup awal


sebagai akibat adanya rencana usaha
dan/atau kegiatan

Penentuan dampak besar dan penting terhadap


lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh
rencana usaha dan/atau kegiatan

Evaluasi dampak besar dan penting


terhadap lingkungan hidup

Rekomendasi/saran tindak untuk pengambil


keputusan, perencana dan pengelola
lingkungan hidup berupa:
• Alternatif usaha dan/atau kegiatan
• Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
• Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup

7. Wawasan KA-ANDAL
Dokumen KA-ANDAL harus mencerminkan secara jelas dan tegas wawasan lingkungan hidup yang harus
dipertimbangkan dalam pembangunan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Sehubungan dengan hal
tersebut, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan:
a. Dokumen KA-ANDAL harus menampung berbagai aspirasi tentang hal-hal yang dianggap penting
untuk ditelaah dalam studi ANDAL menurut pihak-pihak yang terlibat;
b. Mengingat AMDAL adalah bagian dari studi kelayakan, maka dalam studi ANDAL perlu ditelaah dan
dievaluasi masing-masing alternatif dari rencana usaha dan/atau kegiatan yang dipandang layak baik
dari segi lingkungan hidup, teknis maupun ekonomis sebagai upaya untuk mencegah timbulnya dampak
negatif yang lebih besar;
c. Mengingat kegiatan-kegiatan pembangunan pada umumnya mengubah lingkungan hidup, maka menjadi
penting memperhatikan komponen-komponen lingkungan hidup yang berciri:
i. Komponen lingkungan hidup yang ingin dipertahankan dan dijaga serta dilestarikan fungsinya,
seperti antara lain:
• Hutan Lindung, Hutan Konservasi, dan Cagar Biosfer;
• Sumber daya air;
• Keanekaragaman hayati;
• Kualitas udara;
• Warisan alam dan warisan budaya;
• Kenyamanan lingkungan hidup;
• Nilai-nilai budaya yang berorientasi selaras dengan lingkungan hidup.
ii. Komponen lingkungan hidup yang akan berubah secara mendasar dan perubahan tersebut
dianggap penting oleh masyarakat di sekitar suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, seperti
antara lain:
• Pemilikan dan penguasaan lahan;
• Kesempatan kerja dan usaha;
• Taraf hidup masyarakat;
• Kesehatan masyarakat.
d. Pada dasarnya dampak lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu rencana usaha dan/atau kegiatan
tidak berdiri sendiri, satu sama lain memiliki keterkaitan dan ketergantungan. Hubungan sebab akibat
ini perlu dipahami sejak dini dalam proses penyusunan KA-ANDAL agar studi ANDAL dapat berjalan
lebih terarah dan sistematis.
Keempat faktor tersebut harus menjadi bagian integral dalam penyusunan KA-ANDAL terutama dalam proses
pelingkupan.
8. Proses pelingkupan
Pelingkupan merupakan suatu proses awal (dini) untuk menentukan lingkup permasalahan dan
mengidentifikasi dampak besar dan penting (hipotesis) yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan.
242
Pelingkupan merupakan proses terpenting dalam penyusunan KA-ANDAL karena melalui proses ini dapat
dihasilkan:
a. Dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang dipandang relevan untuk ditelaah secara
mendalam dalam studi ANDAL dengan meniadakan hal-hal atau komponen lingkungan hidup yang
dipandang kurang penting ditelaah;
b. Lingkup wilayah studi ANDAL berdasarkan beberapa pertimbangan: batas proyek, batas ekologis,
batas sosial, dan batas administratif;
c. Kedalaman studi ANDAL antara lain mencakup metoda yang digunakan, jumlah sampel yang diukur,
dan tenaga ahli yang dibutuhkan sesuai dengan sumber daya yang tersedia (dana dan waktu).
Semakin baik hasil pelingkupan semakin tegas dan jelas arah dari studi ANDAL yang akan dilakukan.
8.1. Pelingkupan dampak besar dan penting
Pelingkupan dampak besar dan penting dilakukan melalui serangkaian proses berikut:
1) Identifikasi dampak potensial
Pada tahap ini kegiatan pelingkupan dimaksudkan untuk mengidentifikasi segenap dampak
lingkungan hidup (primer, sekunder, dan seterusnya) yang secara potensial akan timbul sebagai
akibat adanya rencana usaha dan/atau kegiatan. Pada tahapan ini hanya diinventarisasi dampak
potensial yang mungkin akan timbul tanpa memperhatikan besar/kecilnya dampak, atau penting
tidaknya dampak. Dengan demikian pada tahap ini belum ada upaya untuk menilai apakah dampak
potensial tersebut merupakan dampak besar dan penting.
Identifikasi dampak potensial diperoleh dari serangkaian hasil konsultasi dan diskusi dengan
para pakar, pemrakarsa, instansi yang bertanggungjawab, masyarakat yang berkepentingan serta
dilengkapi dengan hasil pengamatan lapangan (observasi). Selain itu identifikasi dampak potensial
juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode-metode identifikasi dampak berikut ini:
a) penelaahan pustaka; dan/atau
b) analisis isi (content analysis); dan/atau
c) interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brainstorming, dan lain-lain); dan/atau
d) metoda ad hoc; dan/atau
e) daftar uji (sederhana, kuesioner, deskriptif); dan/atau
f) matrik interaksi sederhana; dan/atau
g) bagan alir (flowchart); dan/atau
h) pelapisan (overlay); dan/atau
i) pengamatan lapangan (observasi).
Untuk jelasnya proses pelaksanaan pelingkupan dapat mempelajari Panduan Pelingkupan Untuk
Penyusunan Kerangka Acuan ANDAL sesuai Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor: KEP-30/MENKLH/7/1992.
2) Evaluasi dampak potensial
Pelingkupan pada tahap ini bertujuan untuk menghilangkan/meniadakan dampak potensial yang
dianggap tidak relevan atau tidak penting, sehingga diperoleh daftar dampak besar dan penting
hipotesis yang dipandang perlu dan relevan untuk ditelaah secara mendalam dalam studi ANDAL.
Daftar dampak besar dan penting potensial ini disusun berdasarkan pertimbangan atas hal-hal
yang dianggap penting oleh masyarakat di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan, instansi yang
bertanggung jawab, dan para pakar. Pada tahap ini daftar dampak besar dan penting hipotesis
yang dihasilkan belum tertata secara sistematis. Metoda yang digunakan pada tahap ini adalah
interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brainstorming). Kegiatan identifikasi dampak besar dan penting
ini terutama dilakukan oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan (yang dalam hal ini dapat diwakili
oleh konsultan penyusun AMDAL), dengan mempertimbangkan hasil konsultasi dan diskusi dengan
pakar, instansi yang bertanggungjawab serta masyarakat yang berkepentingan.
3) Pemusatan dampak besar dan penting ( Focussing)
Pelingkupan yang dilakukan pada tahap ini bertujuan untuk mengelompokkan/mengorganisir
dampak besar dan penting yang telah dirumuskan dari tahap sebelumnya dengan maksud agar
diperoleh isu-isu pokok lingkungan hidup yang dapat mencerminkan atau menggambarkan secara
utuh dan lengkap perihal:
• Keterkaitan antara rencana usaha dan/atau kegiatan dengan komponen lingkungan hidup
yang mengalami perubahan mendasar (dampak besar dan penting);
• Keterkaitan antar berbagai komponen dampak besar dan penting yang telah dirumuskan.
Isu-isu pokok lingkungan hidup tersebut dirumuskan melalui 2 (dua) tahapan. Pertama, segenap
dampak besar dan penting dikelompokkan menjadi beberapa kelompok menurut keterkaitannya
satu sama lain. Kedua, dampak besar dan penting yang berkelompok tersebut selanjutnya diurut
berdasarkan kepentingannya, baik dari ekonomi, sosial, maupun ekologis.
8.2. Pelingkupan wilayah studi
Penetapan lingkup wilayah studi dimaksudkan untuk membatasi luas wilayah studi ANDAL sesuai
hasil pelingkupan dampak besar dan penting, dan dengan memperhatikan keterbatasan sumber daya,
waktu dan tenaga, serta saran pendapat dan tanggapan dari masyarakat yang berkepentingan.
Lingkup wilayah studi ANDAL ditetapkan berdasarkan pertimbangan batas-batas ruang sebagai berikut:
1) Batas proyek
Yang dimaksud dengan batas proyek adalah ruang dimana suatu rencana usaha dan/atau kegiatan
akan melakukan kegiatan pra-konstruksi, konstruksi dan operasi. Dari ruang rencana usaha dan/
atau kegiatan inilah bersumber dampak terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, termasuk dalam
hal ini alternatif lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Posisi batas proyek ini agar dinyatakan
juga dalam koordinat.

243
2) Batas ekologis
Yang dimaksud dengan batas ekologis adalah ruang persebaran dampak dari suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan menurut media transportasi limbah (air, udara), dimana proses alami
yang berlangsung di dalam ruang tersebut diperkirakan akan mengalami perubahan mendasar.
Termasuk dalam ruang ini adalah ruang di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan yang secara
ekologis memberi dampak terhadap aktivitas usaha dan/atau kegiatan.
3) Batas sosial
Yang dimaksud dengan batas sosial adalah ruang di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan
yang merupakan tempat berlangsungnya berbagai interaksi sosial yang mengandung norma dan
nilai tertentu yang sudah mapan (termasuk sistem dan struktur sosial), sesuai dengan proses
dinamika sosial suatu kelompok masyarakat, yang diperkirakan akan mengalami perubahan
mendasar akibat suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Batas sosial ini sangat penting bagi pihak-pihak yang terlibat dalam studi ANDAL, mengingat
adanya kelompok-kelompok masyarakat yang kehidupan sosial ekonomi dan budayanya akan
mengalami perubahan mendasar akibat aktifitas usaha dan/atau kegiatan. Mengingat dampak
lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh suatu rencana usaha dan/atau kegiatan menyebar tidak
merata, maka batas sosial ditetapkan dengan membatasi batas-batas terluar dengan
memperhatikan hasil identifikasi komunitas masyarakat yang terdapat dalam batas proyek, ekologis
serta komunitas masyarakat yang berada diluar batas proyek dan ekologis namun berpotensi
terkena dampak yang mendasar dari rencana usaha dan/atau kegiatan melalui penyerapan tenaga
kerja, pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial.
4) Batas administratif
Yang dimaksud dengan batas administrasi adalah ruang dimana masyarakat dapat secara leluasa
melakukan kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di dalam ruang tersebut.
Batas ruang tersebut dapat berupa batas administrasi pemerintahan atau batas konsesi
pengelolaan sumber daya oleh suatu usaha dan/atau kegiatan (misal, batas HPH, batas kuasa
pertambangan).
Dengan memperhatikan batas-batas tersebut di atas dan mempertimbangkan kendala-kendala
teknis yang dihadapi (dana, waktu, dan tenaga), maka akan diperoleh ruang lingkup wilayah studi
yang dituangkan dalam peta dengan skala yang memadai.
5) Batasan ruang lingkup wilayah studi ANDAL
Yakni ruang yang merupakan kesatuan dari keempat wilayah di atas, namun penentuannya
disesuaikan dengan kemampuan pelaksana yang biasanya memiliki keterbatasan sumber data,
seperti waktu, dana, tenaga, tehnik, dan metode telaahan.
Dengan demikian, ruang lingkup wilayah studi memang bertitik tolak pada ruang bagi rencana usaha
dan/atau kegiatan, kemudian diperluas ke ruang ekosistem, ruang sosial dan ruang administratif yang
lebih luas.

B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN


BAB I. PENDAHULUAN

Bab pendahuluan mencakup:


1.1.Latar belakang
Uraikan secara singkat latar belakang dilaksanakannya studi ANDAL ditinjau dari:
a. Tujuan dan kegunaan proyek;
b. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan rencana kegiatan, rona lingkungan yang terkena
dampak dan isu-isu pokok;
c. Kebijaksanaan Regional, Lokal dan Perusahaan terhadap pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup.
1.2.Tujuan dan kegunaan studi
Tujuan dilaksanakannya studi ANDAL adalah:
a. Mengidentifikasikan rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilakukan terutama yang menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;
b. Mengidentifikasikan rona lingkungan hidup terutama yang akan terkena dampak besar dan penting;
c. Memprakirakan dampak dan mengevaluasikan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.

Kegunaan studi ANDAL adalah untuk:


a. Membantu pengambilan keputusan dalam pemilihan alternatif yang layak dari segi lingkungan hidup,
teknis dan ekonomis;
b. Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dalam tahap perencanaan rinci dari suatu usaha
dan/atau kegiatan;
c. Sebagai pedoman untuk kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

BAB II. RUANG LINGKUP STUDI

2.1.Lingkup rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan ditelaah


a. Uraikan secara singkat mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan penyebab dampak sesuai dengan
jenis-jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dibangun;
b. Komponen usaha dan/atau kegiatan yang ditelaah yang berkaitan dengan dampak yang akan
ditimbulkannya. Uraian ini dibuat sesuai dengan tahapan kegiatan;
c. Uraikan secara singkat mengenai kegiatan-kegiatan yang ada di sekitar rencana lokasi beserta dampak-
dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan hidup.

244
Penjelasan ini agar dilengkapi dengan peta yang dapat menggambarkan lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan beserta kegiatan-kegiatan lain yang berada di sekitarnya.
2.2.Lingkup rona lingkungan hidup awal
a. Uraikan dengan singkat mengenai rona lingkungan hidup yang terkena dampak. Data rona lingkungan
hidup semaksimal mungkin menggunakan data aktual di lapangan;
b. Komponen lingkungan hidup yang ditelaah karena terkena dampak.
2.3.Isu-isu pokok
Uraikan secara singkat isu-isu pokok yang dapat ditimbulkan akibat rencana usaha dan/atau kegiatan sesuai
hasil pelingkupan. Tata cara pelingkupan agar mengacu pada serangkaian proses pelingkupan sebagaimana
dimaksud di dalam penjelasan umum.
2.4.Lingkup wilayah studi
Wilayah studi ini merupakan resultante dari batas wilayah proyek, ekologis, sosial dan administratif setelah
mempertimbangkan kendala teknis yang dihadapi.
Bab ini agar dilengkapi dengan peta batas wilayah studi yang dapat menggambarkan batas wilayah proyek,
ekologis, sosial dan administratif.

BAB III. METODE STUDI


3.1.Metoda pengumpulan dan analisis data
Pada bagian ini jelaskan metode pengumpulan dan analisis data baik primer dan/atau sekunder yang sahih
dan dapat dipercaya (reliabel) untuk digunakan:
a. Menelaah, mengamati, dan mengukur komponen rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan
mendapat dampak besar dan penting dari lingkungan hidup sekitarnya;
b. Menelaah, mengamati dan mengukur komponen lingkungan hidup yang diperkirakan terkena dampak
besar dan penting.
3.2.Metode prakiraan dampak besar dan penting
Pada bagian ini jelaskan metode yang digunakan dalam studi ANDAL untuk memprakirakan besaran dampak
dan penentuan tingkat kepentingan dampak. Metoda formal dan non formal digunakan dalam memprakirakan
besaran dampak. Dalam hal usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan bersifat terpadu atau berada
dalam suatu kawasan, maka pengukuran terhadap besaran dampak kumulatif akibat berbagai usaha dan/
atau kegiatan tersebut mutlak diperhitungkan. Sementara untuk memprakirakan tingkat kepentingan dampak
agar digunakan Pedoman Penentuan Dampak Besar dan Penting.
Dalam hal ini, uraikan secara jelas untuk setiap komponen lingkungan hidup yang diperkirakan akan terkena
dampak besar dan penting.
3.3.Metode evaluasi dampak besar dan penting
Pada bagian ini diuraikan metode yang lazim digunakan dalam studi ANDAL untuk mengevaluasi dampak
besar dan penting yang ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup secara holistik
(seperti antara lain: matrik, bagan alir, overlay) untuk digunakan sebagai :
a. dasar untuk menelaah kelayakan lingkungan hidup dari berbagai alternatif usaha dan/atau kegiatan;
b. identifikasi dan perumusan arah pengelolaan dampak besar dan penting lingkungan hidup yang
ditimbulkan.
Evaluasi dampak besar dan penting secara holistik tersebut di atas harus mencakup baik dampak yang
tergolong besar dan penting maupun tidak sebagaimana telah dihasilkan dalam bab prakiraan dampak
sebelumnya.

BAB IV. PELAKSANAAN STUDI


4.1.Pemrakarsa
Pada bagian ini dicantumkan nama dan alamat lengkap instansi/perusahaan sebagai pemrakarsa rencana
usaha dan/atau kegiatan, nama dan alamat lengkap penanggung jawab pelaksanaan rencana usaha dan/
atau kegiatan.
4.2.Penyusun studi AMDAL
Pada bagian ini dicantumkan nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan, nama dan alamat lengkap
penanggung jawab penyusun AMDAL, nama dan keahlian dari masing-masing anggota penyusun AMDAL.
Perlu diketahui bahwa Ketua tim penyusun studi AMDAL harus bersertifikat AMDAL B sedangkan anggota tim
penyusun lainnya harus mempunyai keahlian yang sesuai dengan lingkup studi AMDAL yang akan dilakukan.
4.3.Biaya studi
Pada bagian ini diuraikan prosentase jenis-jenis biaya yang dibutuhkan dalam rangka penyusunan studi
ANDAL.
4.4.Waktu studi
Pada bagian ini diungkapkan jangka waktu pelaksanaan studi ANDAL sejak tahap persiapan hingga
penyerahan laporan ke instansi yang bertanggung jawab.

BAB V. DAFTAR PUSTAKA


Pada bagian ini uraikan pustaka atau literatur yang digunakan untuk keperluan penyusunan dokumen KA-
ANDAL.

BAB VI. LAMPIRAN


Pada bagian ini dilampirkan berbagai keputusan perizinan yang berkaitan dengan proyek dimaksud, butir-butir
penting hasil konsultasi dan diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat (masyarakat yang berkepentingan).
Disamping itu harus dilampirkan pula biodata personil penyusun ANDAL.

245
LAMPIRAN II: KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000

PEDOMAN PENYUSUNAN
ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (ANDAL)
A. PENJELASAN UMUM
1. Pengertian
Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak
besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan (PP Nomor 27 Tahun 1999 Pasal 1).
2. Fungsi pedoman penyusunan dokumen ANDAL
Pedoman penyusunan ANDAL digunakan sebagai dasar penyusunan ANDAL baik AMDAL kegiatan tunggal,
AMDAL kegiatan terpadu/multisektor maupun AMDAL kegiatan dalam kawasan.

B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN DOKUMEN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (ANDAL)


RINGKASAN
Ringkasan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) perlu disusun sedemikian rupa, sehingga dapat :
1. Langsung mengemukakan masukan penting yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan, perencana,
dan pengelola rencana usaha dan/atau kegiatan;
2. Mudah dipahami isinya oleh semua pihak, termasuk masyarakat, dan mudah disarikan isinya bagi pemuatan
dalam media massa, bila dipandang perlu;
3. Memuat uraian singkat tentang :
a. Rencana usaha dan/atau kegiatan dengan berbagai kemungkinan dampak besar dan pentingnya. Baik
pada tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi maupun pasca operasi;
b. Keterangan mengenai kemungkinan adanya kesenjangan data informasi serta berbagai kekurangan
dan keterbatasan, yang dihadapi selama menyusun ANDAL;
c. Hal lain yang dipandang sangat perlu untuk melengkapi ringkasan.

BAB I. PENDAHULUAN
Bab pendahuluan mencakup :
1.1.Latar belakang
Uraikan secara singkat latar belakang dilaksanakannya studi ANDAL ditinjau dari:
a. Tujuan dan kegunaan proyek;
b. Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan
dan lingkungan;
c. Landasan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup;
d. Kaitan rencana usaha dan/atau kegiatan dengan dampak besar dan penting yang ditimbulkan (isu-isu
pokok hasil pelingkupan yang tertuang dalam dokumen KA-ANDAL).
1.2.Tujuan studi
Tujuan dilaksanakannya studi ANDAL adalah :
a. Mengidentifikasi rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan, terutama yang menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;
b. Mengidentifikasi komponen-komponen lingkungan hidup yang akan terkena dampak besar dan penting;
c. Memprakirakan dan mengevaluasi rencana usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup;
d. Merumuskan RKL dan RPL.

Kegunaan dilaksanakannya studi ANDAL adalah :


a. Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah;
b. Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha
dan/atau kegiatan;
c. Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan;
d. Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dari
rencana usaha dan/atau kegiatan;
e. Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan.

BAB II. RUANG LINGKUP STUDI


Bab ruang lingkup studi mencakup tentang kajian dampak besar dan penting yang ditelaah serta wilayah studi.
Masing-masing butir yang diuraikan pada bab ruang lingkup studi ini disusun dengan mengacu pada hal-hal yang
tertuang dalam dokumen Kerangka Acuan.
2.1.Dampak besar dan penting yang ditelaah
a. Uraikan secara singkat mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan penyebab dampak, terutama
komponen usaha dan/atau kegiatan yang berkaitan langsung dengan dampak yang ditimbulkannya;
b. Uraikan dengan singkat kondisi rona lingkungan hidup yang terkena dampak, terutama komponen
lingkungan hidup yang langsung terkena dampak;
c. Uraikan secara singkat jenis-jenis kegiatan yang ada di sekitar rencana lokasi beserta dampak -
dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan hidup;
d. Aspek-aspek yang diteliti sebagaimana dimaksud pada butir 2.1. a, b, c dimaksud mengacu pada hasil
pelingkupan yang tertuang dalam dokumen Kerangka Acuan untuk ANDAL.

246
Penjelasan ini agar dilengkapi dengan peta yang dapat menggambarkan lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan beserta kegiatan - kegiatan yang berada di sekitarnya.
2.2.Wilayah Studi
Uraian singkat tentang lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan wilayah studi yang digariskan dalam
Kerangka Acuan untuk ANDAL, dan hasil pengamatan di lapangan.
Batas wilayah studi ANDAL dimaksud digambarkan pada peta dengan skala yang memadai.

BAB III. METODA STUDI


3.1.Metoda pengumpulan dan analisis data
a. Mengingat studi ANDAL merupakan telaahan mendalam atas dampak besar dan penting usaha dan/
atau kegiatan terhadap lingkungan hidup, maka jenis data yang dikumpulkan baik data primer maupun
sekunder harus bersifat sahih dan dapat dipercaya ( reliable) yang diperoleh melalui metoda atau alat
yang bersifat sahih;
b. Uraikan secara jelas tentang metoda pengumpulan data, metoda analisis atau alat yang digunakan,
serta lokasi pengumpulan data berbagai komponen lingkungan hidup yang diteliti sebagaimana
dimaksud pada Bab II butir 2.1.b. Lokasi pengumpulan data agar dicantumkan dalam peta dengan
skala memadai;
c. Pengumpulan data dan informasi untuk demografi, sosial ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan
keamanan, dan kesehatan masyarakat menggunakan kombinasi dari tiga atau lebih metoda agar
diperoleh data yang reliabilitasnya tinggi.
3.2.Metoda prakiraan dampak besar dan penting
Uraikan secara jelas tentang metoda yang digunakan untuk memprakirakan besar dampak usaha dan/atau
kegiatan dan penentuan sifat penting dampak terhadap komponen lingkungan hidup yang dimaksud pada
butir 2.1.b. Penggunaan metoda formal dan non formal dalam memprakirakan besaran dampak dan
Keputusan Kepala BAPEDAL tentang Pedoman Penentuan Dampak Besar dan Penting untuk memprakirakan
tingkat kepentingan dampak.
3.3.Metoda evaluasi dampak besar dan penting
Uraikan singkat tentang metoda evaluasi dampak yang lazim digunakan dalam studi untuk menelaah dampak
besar dan penting usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup secara holistik (seperti antara lain:
matrik, bagan alir, overlay), yang menjadi dasar untuk menelaah kelayakan lingkungan hidup dari berbagai
alternatif usaha dan/atau kegiatan.

BAB IV. RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN


4.1.Identitas pemrakarsa dan penyusun ANDAL
Isi uraian mengenai identitas pemrakarsa dan penyusun ANDAL terdiri dari :
a. Pemrakarsa :
1) Nama dan alamat lengkap instansi/perusahaan sebagai pemrakarsa rencana usaha dan/atau
kegiatan;
2) Nama dan alamat lengkap penanggung jawab pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan.
b. Penyusun ANDAL :
1) Nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan disertai dengan kualifikasi dan rujukannya;
2) Nama dan alamat lengkap penanggung jawab penyusun ANDAL.
4.2.Tujuan rencana usaha dan/atau kegiatan
Pernyataan rencana maksud dan tujuan dari rencana usaha dan/atau kegiatan perlu dikemukakan secara
sistematis dan terarah.
4.3.Kegunaan dan keperluan rencana usaha dan/atau kegiatan
Uraian yang memuat tentang kegunaan dan keperluan mengapa rencana usaha dan/atau kegiatan harus
dilaksanakan, baik ditinjau dari segi kepentingan pemrakarsa maupun dari segi menunjang program
pembangunan.
a. Penentuan batas-batas lahan yang langsung akan digunakan oleh rencana usaha dan/atau kegiatan
harus dinyatakan dalam peta berskala memadai, dan dapat memperlihatkan hubungan tata kaitan dan
tata letak antara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan usaha dan/atau kegiatan lainnya,
seperti pemukiman (lingkungan hidup binaan manusia umumnya), dan lingkungan hidup alami yang
terdapat di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan. Hutan lindung, cagar alam, suaka alam, suaka
margasatwa, sumber mata air, sungai, dan kawasan lindung lainnya yang terletak dekat lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan harus diberikan tanda istimewa dalam peta;
b. Hubungan antara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan jarak dan tersedianya sumber daya
air, energi, sumber daya alam hayati dan, sumber daya alam non hayati serta sumber daya manusia
yang diperlukan oleh rencana usaha dan/atau kegiatan setelah usaha dan/atau kegiatan ini beroperasi.
Hubungan ini perlu dikemukakan dalam peta dengan skala memadai;
c. Alternatif usaha dan/atau kegiatan berdasarkan hasil studi kelayakan (misal: alternatif lokasi, tata letak
bangunan atau sarana pendukung, atau teknologi proses produksi). Bila berdasarkan studi kelayakan
terdapat beberapa alternatif lokasi usaha dan/atau kegiatan; maka berikan uraian tentang masing-
masing alternatif lokasi tersebut sebagaimana dimaksud pada butir a. dan b.;
d. Tata letak usaha dan/atau kegiatan dilengkapi dengan peta, yang berskala memadai, yang memuat
informasi tentang letak bangunan dan struktur lainnya yang akan dibangun dalam lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan, serta hubungan bangunan dan struktur tersebut dengan bangunan yang
sudah ada di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan (jalan raya, jalan kereta api, dermaga dan
sebagainya). Bila terdapat beberapa alternatif tata letak bangunan dan struktur lainnya, maka alternatif
rancangan tersebut diutarakan pula dalam peta yang berskala memadai;

247
e. Tahap pelaksanaan usaha dan/atau kegiatan tahap pra-konstruksi, konstruksi, jangka waktu masa
operasi, hingga rencana waktu pasca operasi.
1) Tahap pra-konstruksi/persiapan
Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadwal usaha dan/atau kegiatan pada
tahap pra konstruksi. Uraikan secara mendalam difokuskan pada kegiatan selama masa persiapan
(pra-konstruksi) yang menjadi penyebab timbulnya dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup.
2) Tahap konstruksi
(a) Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha dan/atau kegiatan
pada tahap konstruksi. Uraian secara mendalam difokuskan pada usaha dan/atau kegiatan
yang menjadi penyebab timbulnya dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.
Misalnya:
(1) Rencana penyerapan tenaga kerja menurut jumlah, tempat asal tenaga kerja, dan
kualifikasi pendidikan;
(2) Kegiatan pembangunan sarana dan prasarana (jalan, listrik, air) dari rencana usaha
dan/atau kegiatan;
(3) Kegiatan pengangkutan dan penimbunan bahan atau material yang dapat
menimbulkan dampak lingkungan hidup;
(4) Jenis-jenis dan tipe peralatan yang digunakan.
(b) Uraikan tentang usaha dan/atau kegiatan pembangunan unit atau sarana pengendalian
dampak (misal: unit pengolahan limbah), bila unit atau sarana dimaksud direncanakan
akan dibangun oleh pemrakarsa. Disamping itu, bila ada, jelaskan pula upaya-upaya untuk
mengatasi berbagai masalah lingkungan hidup yang timbul selama masa konstruksi;
(c) Uraikan tentang rencana pemulihan kembali bekas-bekas material/bahan, gudang, jalan-
jalan darurat dan lain-lain setelah usaha dan/atau kegiatan konstruksi berakhir.
3) Tahap Operasi
(a) Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha dan/atau kegiatan
pada tahap operasi. Uraian secara mendalam difokuskan pada usaha atau kegiatan yang
menjadi penyebab timbulnya dampak penting terhadap lingkungan hidup. Misalnya:
(1) Desain dan spesifikasi teknologi yang digunakan;
(2) Jumlah dan jenis bahan baku dan bahan penolong yang digunakan dalam proses
produksi yang mungkin menimbulkan dampak besar dan penting lingkungan hidup
serta cara pengangkutan dan penyimpanannya (misal: pestisida serta bahan berbahaya
dan beracun lainnya). Perlu juga diuraikan neraca air (waterbalance) bila usaha dan/
atau kegiatan yang akan dibangun menggunakan air yang banyak, demikian pula
neraca bahan (material balance), sehingga dapat diketahui input-output dan jumlah
serta kualitas limbah;
(3) Rencana jumlah tenaga kerja, tempat asal tenaga kerja yang akan diserap langsung
oleh rencana usaha dan/atau kegiatan pada tahap operasi;
(4) Rencana penyelamatan dan penanggulangan bahaya atau masalah selama operasi
baik yang bersifat fisik maupun sosial;
(5) Karakteristik limbah yang dihasilkan baik limbah padat, cair maupun gas dan rencana-
rencana pengelolaannya. Dalam kaitan ini perlu diuraikan pula sifat-sifat limbah B3
maupun non B3.
(b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan dilaksanakan selama masa operasi.
Termasuk dalam hal ini rencana pengoperasian unit atau sarana pengendalian dampak
yang telah dibangun pada masa konstruksi.
4) Tahap Pasca Operasi
Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadwal usaha dan/atau kegiatan pada
tahap pasca operasi. Misalnya:
(a) Rencana merapikan kembali bekas serta tempat timbunan bahan/material, bedeng kerja,
gudang, jalan darurat dan sebagainya;
(b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan dilaksanakan setelah masa operasi
berakhir;
(c) Rencana pemanfaatan kembali lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan untuk tujuan lain
bila seluruh rencana usaha dan/atau kegiatan berakhir;
(d) Rencana penanganan tenaga kerja yang dilepas setelah masa usaha dan/atau kegiatan
berakhir.
4.4. Keterkaitan proyek dengan kegiatan lain disekitarnya
Uraikan mengenai kegiatan-kegiatan yang berada di sekitar rencana lokasi beserta dampak-dampak
yang ditimbulkannya, baik dampak rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap kegiatan-kegiatan yang
sudah ada atau sebaliknya maupun dampak kumulatif dari rencana usaha dan/atau kegiatan dan kegiatan
yang sudah ada terhadap lingkungan hidup.

BAB V. RONA LINGKUNGAN HIDUP


Dalam bab ini hendaknya dikemukakan rona lingkungan hidup selengkap mungkin mengenai:
1) Rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan, yang mengungkapkan secara mendalam
komponen-komponen lingkungan hidup yang berpotensi terkena dampak penting usaha dan/atau kegiatan.
Selain itu komponen lingkungan hidup yang memiliki arti ekologis dan ekonomis perlu mendapat perhatian;

248
2) Kondisi kualitatif dan kuantitatif dari berbagai sumber daya alam yang ada di wilayah studi rencana usaha dan/
atau kegiatan, baik yang sudah atau yang akan dimanfaatkan maupun yang masih dalam bentuk potensi.
Penyajian kondisi sumber daya alam ini perlu dikemukakan dalam peta dan atau label dengan skala memadai
dan bila perlu harus dilengkapi dengan diagram, gambar, grafik atau foto;
3) Data dan informasi rona lingkungan hidup
Uraikan secara singkat rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan. Rona lingkungan
hidup yang diuraikan pada butir ini agar dibatasi pada komponen-komponen lingkungan hidup yang berkaitan
dengan, atau berpotensi terkena dampak besar dan penting.
Berikut ini adalah beberapa contoh komponen lingkungan hidup yang dapat dipilih untuk ditelaah sesuai hasil
pelingkupan dalam KA-ANDAL. Penyusun dapat menelaah komponen lingkungan hidup yang lain diluar dari
daftar contoh komponen ini bila dianggap penting berdasarkan hasil penilaian lapangan dalam studi ANDAL ini.
a. Fisik Kimia
1) Iklim, kualitas udara dan kebisingan
(a) Komponen iklim yang perlu diketahui antara lain seperti tipe iklim, suhu (maksimum, minimum,
rata-rata), kelembaban curah hujan dan jumlah hari hujan, keadaan angin (arah dan kecepatan),
intensitas radiasi matahari;
(b) Data periodik bencana (siklus tahunan, lima tahunan, dan sebagainya) seperti sering terjadi angin
ribut, banjir tahunan, banjir bandang di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan;
(c) Data yang tersedia dari stasiun meteorologi dan geofisika yang mewakili wilayah studi tersebut;
(d) Pola iklim mikro, pola penyebaran bahan pencemar udara secara umum maupun pada kondisi
cuaca terburuk;
(e) Kualitas udara baik pada sumber maupun daerah sekitar wilayah studi rencana usaha dan/atau
kegiatan;
(f) Sumber kebisingan dan getaran, tingkat kebisingan serta periode kejadiannya.
2) Fisiografi
(a) Topografi bentuk lahan (morphologi), struktur geologi dan jenis tanah;
(b) Indikator lingkungan hidup yang berhubungan dengan stabilitas geologis dan stabilitas tanah,
terutama ditekankan bila terdapat gejala ketidak stabilan, dan harus diuraikan dengan jelas dan
seksama (misal: longsor tanah, gempa, sesar, kegiatan-kegiatan longsor tanah, gempa, sesar,
kegiatan-kegiatan vulkanis, dan sebagainya);
(c) Keunikan, keistimewaan, dan kerawanan bentuk lahan dan batuan secara geologis.
3) Hidrologi
(a) Karakteristik fisik sungai, danau, rawa (rawa pasang surut, rawa air tawar);
(b) Rata-rata debit dekade, bulanan, tahunan;
(c) Kadar sedimentasi (lumpur), tingkat erosi;
(d) Kondisi fisik daerah resapan air permukaan dan air tanah;
(e) Fluktuasi , potensi dan kualitas air tanah (dangkal dan dalam);
(f) Tingkat penyediaan dan kebutuhan/pemanfaatan air untuk air minum, mandi, cuci;
(g) Tingkat penyediaan dan kebutuhan/pemanfaatan air untuk keperluan lainnya seperti pertanian,
industri, dan lain-lain;
(h) Kualitas fisik, kimia dan mikrobiologi air mengacu pada baku mutu dan parameter kualitas air yang
terkait dengan limbah yang akan keluar.
4) Hidrooseanografi
Pola hidrodinamika kelautan seperti pasang surut, arus dan gelombang/ombak, morfologi pantai,
abrasi dan akresi serta pola sedimentasi yang terjadi secara alami di daerah penelitian.
5) Ruang, lahan, dan tanah
(a) Inventarisasi tata guna lahan dan sumber daya lainnya pada saat rencana usaha dan/atau kegiatan
yang diajukan dan kemungkinan potensi pengembangannya di masa datang;
(b) Rencana pengembangan wilayah, rencana tata ruang (kawasan budidaya seperti pertanian,
perkebunan, hutan, perikanan dan lain-lain serta kawasan non budidaya seperti hutan lindung ,
suaka margasatwa, taman nasional dan lain-lain), rencana tata guna tanah, dan sumber daya
alam lainnya yang secara resmi atau belum resmi disusun oleh Pemerintah setempat baik di
tingkat kabupaten, propinsi atau nasional di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan;
(c) Kemungkinan adanya konflik atau pembatasan yang timbul antara rencana tata guna tanah dan
sumber daya alam lainnya yang sekarang berlaku dengan adanya pemilikan/penentuan lokasi
bagi rencana usaha dan/atau kegiatan;
(d) Inventarisasi estetika dan keindahan bentang alam serta daerah rekreasi yang ada di wilayah
studi rencana usaha dan/atau kegiatan.
b. Biologi
1) Flora
(a) Peta zona biogeoklimatik dari vegetasi alami yang meliputi tipe vegetasi, sifat-sifat dan
kerawanannya yang berada dalam wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan;
(b) Uraikan tentang jenis-jenis vegetasi dan ekosistem yang dilindungi undang-undang yang berada
dalam wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan;
(c) Uraikan tentang keunikan dari vegetasi dan ekosistemnya yang berada pada wilayah studi rencana
usaha dan/atau kegiatan.
2) Fauna
(a) Taksiran kelimpahan dan keragaman fauna, habitat, penyebaran, pola migrasi, populasi hewan
budidaya (ternak) serta satwa dan habitatnya yang dilindungi undang-undang dalam wilayah studi
rencana usaha dan/atau kegiatan;

249
(b) Taksiran penyebaran dan kepadatan populasi hewan invertebrata yang dianggap penting karena
memiliki peranan dan potensi sebagai bahan makanan, atau sumber hama dan penyakit;
(c) Perikehidupan hewan penting di atas, termasuk cara perkembangbiakan, siklus dan daur hidupnya,
cara pemijahan, cara bertelur dan beranak, cara memelihara anaknya, perilaku dalam daerah
teritorinya.
c. Sosial
Komponen sosial yang penting untuk ditelaah diantaranya:
1) Demografi
(a) Struktur penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin, mata pencaharian, pendidikan, dan
agama;
(b) Tingkat kepadatan penduduk;
(c) Pertumbuhan penduduk (tingkat kelahiran, tingkat kematian bayi dan pola migrasi sirkuler, komuter,
permanen);
(d) Tenaga kerja (tingkat partisipasi angkatan kerja, tingkat pengangguran).
2) Ekonomi
(a) Ekonomi rumah tangga (tingkat pendapatan, pola nafkah ganda);
(b) Ekonomi sumber daya alam (pola pemilikan dan penguasaan sumber daya alam, pola pemanfaatan
sumber daya alam, pola penggunaan lahan, nilai tanah dan sumber daya alam lainnya, sumber
daya alam milik umum);
(c) Perekonomian lokal dan regional (kesempatan kerja dan berusaha, nilai tambah karena proses
manufaktur, jenis dan jumlah aktifitas ekonomi non-formal, distribusi pendapatan, efek ganda
ekonomi, produk domestik regional bruto, pendapatan asli daerah, pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi, fasilitas umum dan fasilitas sosial, aksesibilitas wilayah).
3) Budaya
(a) Kebudayaan (adat-istiadat, nilai dan norma budaya);
(b) Proses sosial (proses asosiatif/kerjasama, proses disosiatif/konflik sosial, akulturasi, asimilasi
dan integrasi, kohesi sosial);
(c) Pranata sosial/kelembagaan masyarakat dibidang ekonomi (misal hak ulayat), pendidikan, agama,
sosial, keluarga;
(d) Warisan budaya (situs purbakala, cagar budaya);
(e) Pelapisan sosial berdasarkan pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan kekuasaan;
(f) Kekuasaan dan kewenangan (kepemimpinan formal dan informal, kewenangan formal dan informal,
mekanisme pengambilan keputusan di kalangan masyarakat, kelompok individu yang dominan,
pergeseran nilai kepemimpinan);
(g) Sikap dan persepsi masyarakat terhadap rencana usaha atau kegiatan;
(h) Adaptasi ekologis.
4) Pertahanan/Keamanan
Konflik kepentingan pertahanan dan keamanan dengan rencana pembangunan usaha dan/atau
kegiatan.
d. Kesehatan Masyarakat
1) Parameter lingkungan yang diperkirakan terkena dampak rencana pembangunan dan berpengaruh
terhadap kesehatan;
2) Proses dan potensi terjadinya pemajanan;
3) Potensi besarnya dampak timbulnya penyakit (angka kesakitan & angka kematian);
4) Karakteristik spesifik penduduk yang beresiko;
5) Sumber daya kesehatan;
6) Kondisi sanitasi lingkungan;
7) Status gizi masyarakat;
8) Kondisi lingkungan yang dapat memperburuk proses penyebaran penyakit.

BAB VI. PRAKIRAAN DAMPAK BESAR DAN PENTING


Dalam bab ini hendaknya dimuat :
1) Prakiraan secara cermat dampak usaha dan/atau kegiatan pada saat pra konstruksi, konstruksi, operasi, dan
pasca operasi terhadap lingkungan hidup. Telaahan ini dilakukan dengan cara menganalisis perbedaan antara
kondisi kualitas lingkungan hidup yang diperkirakan dengan adanya usaha dan/atau kegiatan, dan kondisi
kualitas lingkungan hidup yang diprakirakan tanpa adanya usaha dan/atau kegiatan dengan menggunakan
metode prakiraan dampak;
2) Penentuan arti penting perubahan kualitas lingkungan hidup yang diprakirakan bagi masyarakat di wilayah studi
rencana usaha dan/atau kegiatan, dan pemerintah; dengan mengacu pada Pedoman penentuan dampak besar
dan penting;
3) Dalam melakukan telaahan butir 1) dan 2) tersebut perlu diperhatikan dampak yang bersifat langsung dan atau
tidak langsung. Dampak langsung adalah dampak yang ditimbulkan secara langsung oleh adanya usaha dan/
atau kegiatan. Sedang dampak tidak langsung adalah dampak yang timbul sebagai akibat berubahnya suatu
komponen lingkungan hidup dan/atau usaha atau kegiatan primer oleh adanya rencana usaha dan/atau kegiatan.
Dalam kaitan ini maka perlu diperhatikan mekanisme aliran dampak pada berbagai komponen lingkungan
hidup sebagai berikut:
(a) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen sosial;
(b) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen fisik-kimia, kemudian
menimbulkan rangkaian dampak lanjutan berturut-turut terhadap komponen biologi dan sosial;
(c) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen biologi, kemudian
menimbulkan rangkaian dampak lanjutan pada komponen sosial;
250
(d) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada aspek fisik-kimia dan selanjutnya
membangkitkan dampak pada komponen sosial;
(e) Dampak penting berlangsung saling berantai diantara komponen sosial itu sendiri;
(f) Dampak penting pada butir a,b,c dan d yang telah diutarakan selanjutnya menimbulkan dampak balik pada
rencana usaha dan/atau kegiatan.
4) Mengingat usaha dan/atau kegiatan masih berada pada tahap pemilihan alternatif usaha atau kegiatan (lokasi,
atau teknologi yang digunakan), sehubungan dengan AMDAL merupakan komponen dari studi kelayakan, maka
telaahan sebagaimana dimaksud pada butir VI.1 dan VI.2 dilakukan untuk masing-masing alternatif;
5) Dalam melakukan analisis prakiraan dampak penting agar digunakan metoda-metoda formal secara matematis.
Penggunaan metoda non formal hanya dilakukan bilamana dalam melakukan analisis tersebut tidak tersedia
formula-formula matematis atau hanya dapat didekati dengan metoda non formal.

BAB VII. EVALUASI DAMPAK BESAR DAN PENTING


Dalam Bab ini hendaknya diberikan uraian mengenai hasil telaahan dampak besar dan penting dari rencana usaha
dan/atau kegiatan. Hasil evaluasi ini selanjutnya menjadi masukan bagi instansi yang bertanggungjawab untuk
memutuskan kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan, sebagaimana dimaksud dalam
PP. Nomor 27 Tahun 1999.
1) Telaahan terhadap dampak besar dan penting
(a) Telaahan secara holistik atas berbagai komponen lingkungan hidup yang diprakirakan mengalami perubahan
mendasar sebagaimana dikaji pada Bab VI, dilakukan dengan menggunakan metode-metode evaluasi
yang lazim dan sesuai dengan kaidah metoda evaluasi dampak penting dalam AMDAL sesuai keperluannya;
(b) Yang dimaksud dengan evaluasi dampak yang bersifat holistik adalah telaahan secara totalitas terhadap
beragam dampak besar dan penting lingkungan hidup yang dimaksud pada Bab VI, dengan sumber usaha
dan/atau kegiatan penyebab dampak. Beragam komponen lingkungan hidup yang terkena dampak penting
tersebut (baik positif maupun negatif) ditelaah sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan saling pengaruh-
mempengaruhi, sehingga diketahui sejauh mana perimbangan dampak besar dan penting yang bersifat
positif dengan yang bersifat negatif;
(c) Dampak-dampak besar dan penting yang dihasilkan dari evaluasi disajikan sebagai dampak-dampak besar
dan penting yang harus dikelola.
2) Telaahan sebagai dasar pengelolaan
(a) Hubungan sebab akibat (kausatif) antara rencana usaha atau kegiatan dan rona lingkungan hidup dengan
dampak positif dan negatif yang mungkin timbul. Misalnya, mungkin saja dampak besar dan penting timbul
dari rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap rona lingkungan hidup, karena rencana usaha atau kegiatan
itu dilaksanakan di suatu lokasi yang terlalu padat manusia, atau pada tingkat pendapatan dan pendidikan
yang terlampau rendah, bentuk teknologi yang tak sesuai dan sebagainya;
(b) Ciri dampak penting ini juga perlu dikemukakan dengan jelas, dalam arti apakah dampak penting baik positif
atau negatif akan berlangsung terus selama rencana usaha dan/atau kegiatan itu berlangsung nanti. Atau
antara dampak-dampak satu dengan dampak yang lainnya akan terdapat hubungan timbal balik yang
antagonistis dan sinergistis. Apabila dimungkinkan, uraikan kejelasan tentang waktu ambang batas (misal:
baku mutu lingkungan) dampak besar dan penting mulai timbul. Apakah ambang batas tersebut akan mulai
timbul setelah rencana usaha dan/atau kegiatan dilaksanakan atau akan terus berlangsung sejak masa
pra-konstruksi dan akan berakhir bersama selesainya rencana usaha dan/atau kegiatan. Atau mungkin akan
terus berlangsung, umpamanya lebih dari satu generasi;
(c) Kelompok masyarakat yang akan terkena dampak negatif dan kelompok yang akan terkena dampak positif.
Identifikasi kesenjangan antara perubahan yang diinginkan dan perubahan yang mungkin terjadi akibat
usaha dan/atau kegiatan pembangunan;
(d) Kemungkinan seberapa luas daerah yang akan terkena dampak penting ini, apakah hanya akan dirasakan
dampaknya secara lokal, regional, nasional, atau bahkan internasional, melewati batas negara Republik
Indonesia;
(e) Analisis bencana dan analisis risiko bila rencana usaha dan/atau kegiatan berada di dalam daerah bencana
alam atau di dekat sumber bencana alam.

BAB VIII. DAFTAR PUSTAKA


Dalam hal ini hendaknya dikemukakan rujukan data dan pernyataan-pernyataan penting yang harus ditunjang oleh
kepustakaan ilmiah yang mutakhir serta disajikan dalam suatu daftar pustaka dengan penulisan yang baku.

BAB IX. LAMPIRAN


Dalam bab ini hendaknya disebut bahan-bahan yang dilampirkan :
1) Surat izin/rekomendasi yang telah diperoleh pemrakarsa sampai dengan saat ANDAL akan disusun;
2) Surat-surat tanda pengenal, keputusan, kualifikasi, rujukan bagi para pelaksana dan peneliti serta penyusun
analisis dampak lingkungan hidup;
3) Foto-foto yang dapat menggambarkan rona lingkungan hidup awal, usulan rencana usaha dan/atau kegiatan
sehingga bisa memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang hubungan timbal balik serta kemungkinan
dampak lingkungan hidup penting yang akan ditimbulkannya;
4) Diagram, peta, gambar, grafik, serta tabel lain yang belum tercantum dalam dokumen;
5) Hal lain yang dianggap perlu atau relevan yang dimuat dalam lampiran ini.
Bahan-bahan tersebut diatas tidak perlu lagi dilampirkan dalam dokumen ANDAL bilamana telah dicantumkan
dalam dokumen KA.

251
LAMPIRAN III : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000

PEDOMAN PENYUSUNAN
RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL)

A. PENJELASAN UMUM
1. Lingkup rencana pengelolaan lingkungan hidup
Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) merupakan dokumen yang memuat upaya-upaya
mencegah, mengendalikan dan menanggulangi dampak besar dan penting lingkungan hidup yang bersifat
negatif dan meningkatkan dampak positif yang timbul sebagai akibat dari suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan. Dalam pengertian tersebut upaya pengelolaan lingkungan hidup mencakup empat kelompok
aktivitas:
(a) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk menghindari atau mencegah dampak negatif lingkungan
hidup melalui pemilihan atas alternatif, tata letak (tata ruang mikro) lokasi, dan rancang bangun proyek;
(b) Pengelolaan lingkungan hidup yang bertujuan untuk menanggulangi, meminimisasi, atau
mengendalikan dampak negatif baik yang timbul di saat usaha dan/atau kegiatan beroperasi, maupun
hingga saat usaha dan/atau kegiatan berakhir (misalnya: rehabilitasi lokasi proyek);
(c) Pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat meningkatkan dampak positif sehingga dampak tersebut
dapat memberikan manfaat yang lebih besar baik kepada pemrakarsa maupun pihak lain terutama
masyarakat yang turut menikmati dampak positif tersebut;
(d) Pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat memberikan pertimbangan ekonomi lingkungan sebagai
dasar untuk memberikan kompensasi atas sumber daya tidak dapat pulih, hilang atau rusak (baik
dalam arti sosial ekonomi dan atau ekologis) sebagai akibat usaha dan/atau kegiatan.
2. Kedalaman rencana pengelolaan lingkungan hidup
Mengingat dokumen AMDAL merupakan bagian dari studi kelayakan, maka dokumen RKL hanya akan bersifat
memberikan pokok-pokok arahan, prinsip-prinsip, kriteria atau persyaratan untuk pencegahan/
penanggulangan/pengendalian dampak. Bila dipandang perlu dapat dilengkapi dengan acuan literatur tentang
“basic design” untuk pencegahan/penanggulangan/pengendalian dampak. Hal ini tidak lain disebabkan
karena :
(a) Pada taraf studi kelayakan informasi tentang rencana usaha dan/atau kegiatan (proyek) relatif masih
umum, belum memiliki spesifikasi teknis yang rinci, dan masih memiliki beberapa alternatif. Hal ini
tidak lain karena pada tahap ini memang dimaksudkan untuk mengkaji sejauh mana proyek dipandang
patut atau layak untuk dilaksanakan ditinjau dari segi teknis dan ekonomi; sebelum investasi, tenaga,
dan waktu terlanjur dicurahkan lebih banyak. Keterbatasan data dan informasi tentang rencana usaha
atau kegiatan ini sudah barang tentu berpengaruh pada bentuk kegiatan pengelolaan yang dapat
dirumuskan dalam dokumen RKL;
(b) Pokok-pokok arahan, prinsip-prinsip, kriteria atau persyaratan pengelolaan lingkungan hidup yang
tertuang dalam dokumen RKL selanjutnya akan diintegrasikan atau menjadi dasar pertimbangan bagi
konsultan rekayasa dalam menyusun rancangan rinci rekayasa;
Disamping itu perlu diketahui bahwa rencana pengelolaan lingkungan hidup yang tertuang dalam dokumen
RKL harus terkait dengan hasil dokumen ANDAL, dalam arti komponen lingkungan hidup yang dikelola
adalah yang hanya mengalami perubahan mendasar sebagaimana disimpulkan oleh dokumen ANDAL.
3. Rencana pengelolaan lingkungan hidup
Rencana pengelolaan lingkungan hidup dapat berupa pencegahan dan penanggulangan dampak negatif,
serta peningkatan dampak positif yang bersifat strategis. Rencana pengelolaan lingkungan hidup harus
diuraikan secara jelas, sistimatis, serta mengandung ciri-ciri pokok sebagai berikut :
(a) Rencana pengelolaan lingkungan hidup memuat pokok-pokok arahan, prinsip-prinsip, kriteria pedoman,
atau persyaratan untuk mencegah, menanggulangi, mengendalikan atau meningkatkan dampak besar
dan penting baik negatif maupun positif yang bersifat strategis; dan bila dipandang perlu, lengkapi pula
dengan acuan literatur tentang rancang bangun penanggulangan dampak dimaksud;
(b) Rencana pengelolaan lingkungan hidup dimaksud perlu dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat
dijadikan bahan pertimbangan untuk pembuatan rancangan rinci rekayasa, dan dasar pelaksanaan
kegiatan pengelolaan lingkungan hidup;
(c) Rencana pengelolaan lingkungan hidup mencakup pula upaya peningkatan pengetahuan dan
kemampuan karyawan pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan dalam pengelolaan lingkungan hidup
hidup melalui kursus-kursus yang diperlukan pemrakarsa berikut dengan jumlah serta kualifikasi yang
akan dilatih;
(d) Rencana pengelolaan lingkungan hidup juga mencakup pembentukan unit organisasi yang
bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup untuk melaksanakan RKL. Aspek-aspek yang perlu
diutarakan sehubungan dengan hal ini antara lain adalah struktur organisasi, lingkup tugas dan
wewenang unit, serta jumlah dan kualifikasi personalnya.
4) Pendekatan pengelolaan lingkungan hidup
Untuk menangani dampak besar dan penting yang sudah diprediksi dari studi ANDAL, dapat menggunakan
salah satu atau beberapa pendekatan lingkungan hidup yang selama ini kita kenal seperti : teknologi, sosial
ekonomi, maupun institusi.
(a) Pendekatan teknologi
Pendekatan ini adalah cara-cara atau teknologi yang digunakan untuk mengelola dampak besar dan
penting lingkungan hidup;

252
Sebagai misal :
(1) Dalam rangka penanggulangan limbah bahan berbahaya dan beracun, akan ditempuh cara :
(1.1) Membatasi atau mengisolasi limbah;
(1.2) Melakukan minimisasi limbah dengan mengurangi jumlah/volume limbah (reduce),
menggunakan kembali limbah (reuse) atau mendaur ulang (recycle);
(1.3) Menetralisasi limbah dengan menambahkan zat kimia tertentu sehingga tidak
membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya.
(2) Dalam rangka mencegah, mengurangi, atau memperbaiki kerusakan sumberdaya alam, akan
ditempuh cara, misalnya :
(2.1) Membangun terasering atau penanaman tanaman penutup tanah untuk mencegah erosi;
(2.2) Mereklamasi lahan bekas galian tambang dengan pengaturan tanah atas dan penanaman
tanaman penutup tanah.
(3) Dalam rangka meningkatkan dampak positif berupa peningkatan nilai tambah dari dampak positif
yang telah ada, misalnya melalui peningkatan dan daya guna dari dampak positif tersebut.
(b) Pendekatan sosial ekonomi
Pendekatan ini adalah langkah-langkah yang akan ditempuh pemrakarsa dalam upaya menanggulangi
dampak penting melalui tindakan-tindakan yang berlandaskan pada interaksi sosial, dan bantuan
peran pemerintah. Sebagai misal:
(1) Melibatkan masyarakat di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan untuk berpartisipasi aktif dalam
kegiatan pengelolaan lingkungan hidup;
(2) Permintaan bantuan kepada pemerintah untuk turut menanggulangi dampak penting lingkungan
hidup karena keterbatasan kemampuan pemrakarsa;
(3) Permohonan keringanan bea masuk peralatan pengendalian pencemaran;
(4) Memprioritaskan penyerapan tenaga kerja setempat sesuai dengan keahlian dan ketrampilan
yang dimiliki;
(5) Kompensasi atau ganti rugi atas lahan milik penduduk untuk keperluan rencana usaha dan/atau
kegiatan dengan prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak;
(6) Bantuan fasilitas umum kepada masyarakat sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki pemrakarsa;
(7) Menjalin interaksi sosial yang harmonis dengan masyarakat sekitar guna mencegah timbulnya
kecemburuan sosial.
c) Pendekatan institusi
Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh pemrakarsa dalam rangka
menanggulangi dampak besar dan penting lingkungan hidup. Sebagai misal:
(1) Kerjasama dengan instansi-instansi yang berkepentingan dan berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan hidup;
(2) Pengawasan terhadap hasil unjuk kerja pengelolaan lingkungan hidup oleh instansi yang
berwenang;
(3) Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan hidup secara berkala kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
5) Format dokumen RKL
Mengingat dokumen RKL disusun sekaligus dengan dokumen ANDAL dan RPL, dan ketiganya dinilai
sekaligus maka format dokumen RKL langsung berorientasi pada keempat pokok rencana pengelolaan
lingkungan hidup sebagaimana pada butir 1 di atas.

B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN DOKUMEN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP


PERNYATAAN PELAKSANAAN
Pernyataan Pemrakarsa untuk melaksanakan RKL dan RPL yang ditandatangani diatas kertas bermaterai.

BAB I. PENDAHULUAN
1) Pernyataan tentang maksud dan tujuan pelaksanaan RKL dan RPL secara umum dan jelas. Pernyataan
ini harus dikemukakan secara sistematis, singkat dan jelas;
2) Pernyataan kebijakan lingkungan. Uraian tentang komitmen pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan
untuk memenuhi (melaksanakan) ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
yang relevan, serta komitmen untuk melakukan penyempurnaan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan secara berkelanjutan dalam bentuk mencegah, menanggulangi dan mengendalikan dampak
lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatannya serta melakukan pelatihan bagi karyawannya
dibidang pengelolaan lingkungan hidup;
3) Uraian tentang kegunaan dilaksanakannya Rencana Pengelolaan Lingkungan.

BAB II. PENDEKATAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN


Untuk menangani dampak besar dan penting yang sudah diprediksi dari studi ANDAL, dapat menggunakan
salah satu atau beberapa pendekatan lingkungan hidup yang selama ini kita kenal seperti: teknologi, sosial
ekonomi, maupun institusi.
(a) Pendekatan teknologi
Pendekatan ini adalah cara-cara atau teknologi yang digunakan untuk mengelola dampak besar dan
penting lingkungan hidup.
Sebagai misal :
(1) Dalam rangka penanggulangan limbah bahan berbahaya dan beracun, akan ditempuh cara :
(1.1) Membatasi atau mengisolasi limbah;
(1.2) Melakukan minimisasi limbah dengan mengurangi jumlah/volume limbah (reduce),
menggunakan kembali limbah (reuse) atau mendaur ulang (recycle);

253
(1.3) Menetralisasi limbah dengan menambahkan zat kimia tertentu sehingga tidak
membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya.
(2) Dalam rangka mencegah, mengurangi, atau memperbaiki kerusakan sumber daya alam, akan
ditempuh cara, misalnya :
(2.1) Membangun terasering atau penanaman tanaman penutup tanah untuk mencegah erosi;
(2.2) Mereklamasi lahan bekas galian tambang dengan pengaturan tanah atas dan penanaman
tanaman penutup tanah.
(3) Dalam rangka meningkatkan dampak positif berupa peningkatan nilai tambah dari dampak positif
yang telah ada, misalnya melalui peningkatan dan daya guna dari dampak positif tersebut.
(b) Pendekatan sosial ekonomi
Pendekatan ini adalah langkah-langkah yang akan ditempuh pemrakarsa dalam upaya menanggulangi
dampak penting melalui tindakan-tindakan yang berlandaskan pada interaksi sosial, dan bantuan
peran pemerintah. Sebagai misal,
(1) Melibatkan masyarakat di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan untuk berpartisipasi aktif dalam
kegiatan pengelolaan lingkungan hidup;
(2) Permintaan bantuan kepada pemerintah untuk turut menanggulangi dampak penting lingkungan
hidup karena keterbatasan kemampuan pemrakarsa;
(3) Permohonan keringanan bea masuk peralatan pengendalian pencemaran;
(4) Memprioritaskan penyerapan tenaga kerja setempat sesuai dengan keahlian dan ketrampilan
yang dimiliki;
(5) Kompensasi atau ganti rugi atas lahan milik penduduk untuk keperluan rencana usaha dan/atau
kegiatan dengan prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak;
(6) Bantuan fasilitas umum kepada masyarakat sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki pemrakarsa.
(7) Menjalin interaksi sosial yang harmonis dengan masyarakat sekitar guna mencegah timbulnya
kecemburuan sosial.
(c) Pendekatan institusi
Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh pemrakarsa dalam rangka
menanggulangi dampak besar dan penting lingkungan hidup. Sebagai misal:
(1) Kerjasama dengan instansi-instansi yang berkepentingan dan berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan hidup;
(2) Pengawasan terhadap hasil unjuk kerja pengelolaan lingkungan hidup oleh instansi yang
berwenang;
Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan hidup secara berkala kepada pihak-pihak yang berkepentingan

BAB III. RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP


Uraikan secara singkat dan jelas jenis masing-masing dampak yang ditimbulkan baik oleh satu kegiatan
atau lebih dengan urutan pembahasan sebagai berikut:
1) Dampak penting dan sumber dampak besar dan penting
(a) Uraikan secara singkat dan jelas komponen atau parameter lingkungan hidup yang diprakirakan
mengalami perubahan mendasar menurut hasil ANDAL. Perlu ditegaskan bahwa yang diungkapkan
hanyalah komponen atau parameter lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting
saja. Uraikan pula sejauh mana taraf perkembangan rencana usaha dan/atau kegiatan di saat
RKL sedang disusun (studi kelayakan, rancangan rinci rekayasa, atau taraf konstruksi).
Komponen atau parameter lingkungan hidup yang berubah mendasar menurut ANDAL perlu
ditetapkan beberapa hal yang dipandang strategis untuk dikelola berdasarkan pertimbangan :
(1) Dampak besar dan penting yang dikelola terutama ditujukan pada komponen lingkungan
hidup yang menurut hasil evaluasi dampak besar dan penting merupakan dampak besar
dan penting akibat adanya rencana usaha dan/atau kegiatan;
(2) Dampak besar dan penting yang dikelola adalah dampak yang tergolong banyak
menimbulkan dampak besar dan penting turunan (dampak sekunder, tersier, dan
selanjutnya);
(3) Dampak besar dan penting yang dikelola adalah dampak yang bila dicegah/ditanggulangi
akan membawa pengaruh lanjutan pada dampak besar dan penting turunannya.
Selain itu utarakan pula dampak besar dan penting turunannya yang akan turut terpengaruh akibat
dikelolanya dampak besar dan penting strategis tersebut.
(b) Sumber Dampak
Utarakan secara singkat sumber penyebab timbulnya dampak besar dan penting :
(1) Apabila dampak besar dan penting timbul sebagai akibat langsung dari rencana usaha dan/
atau kegiatan, maka uraikan secara singkat jenis usaha dan/atau kegiatan yang merupakan
penyebab timbulnya dampak besar dan penting;
(2) Apabila dampak besar dan penting timbul sebagai akibat berubahnya komponen lingkungan
hidup yang lain, maka jelaskan secara singkat komponen dampak besar dan penting tersebut.
2) Tolok ukur dampak
Jelaskan tolok ukur dampak yang akan digunakan untuk mengukur komponen lingkungan hidup yang
akan terkena dampak akibat rencana usaha dan/atau kegiatan berdasarkan baku mutu standar
(ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan); keputusan para ahli yang dapat diterima secara
ilmiah, lazim digunakan, dan/atau telah ditetapkan oleh instansi yang bersangkutan. Tolok ukur yang
diutarakan adalah yang digunakan dalam ANDAL.
3) Tujuan rencana pengelolaan lingkungan hidup
Uraikan secara spesifik tujuan dikelolanya dampak besar dan penting yang bersifat strategis berikut
dengan dampak turunannya yang otomatis akan turut tercegah/tertanggulangi/terkendali.

254
Sebagai misal, dampak yang strategis dikelola untuk suatu rencana industri pulp dan kertas adalah
pencemaran air, maka tujuan upaya pengelolaan lingkungan hidup secara spesifik adalah :
Mengendalikan mutu limah cair yang dibuang ke sungai XYZ, khususnya parameter BOD5, COD, Padatan
Tersuspensi Total, dan pH; agar tidak melampaui baku mutu limbah cair sebagaimana yang ditetapkan
dalam KEP 51/MENLH/10/1995, tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri.
4) Pengelolaan Lingkungan hidup
Jelaskan secara rinci upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dapat dilakukan melalui
pendekatan teknologi, dan atau sosial ekonomi, dan atau institusi sebagaimana dijelaskan pada bagian
penjelasan umum butir 4.
Upaya pengelolaan lingkungan hidup yang diutarakan juga mencakup upaya pengoperasian unit atau
sarana pengendalian dampak (misal unit pengolahan limbah), bila unit atau sarana dimaksud di
dalam dokumen ANDAL dinyatakan sebagai aktifitas dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
5) Lokasi pengelolaan lingkungan hidup
Jelaskan rencana lokasi kegiatan pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan sifat
persebaran dampak besar dan penting yang dikelola. Lengkapi pula dengan peta/sketsa/gambar dengan
skala yang memadai.
6) Periode pengelolaan lingkungan hidup
Uraikan secara singkat rencana tentang kapan dan berapa lama kegiatan pengelolaan lingkungan
dilaksanakan dengan memperhatikan : sifat dampak besar dan penting yang dikelola (lama berlangsung,
sifat kumulatif, dan berbalik tidaknya dampak), serta kemampuan pemrakarsa (tenaga, dana).
7) Pembiayaan pengelolaan lingkungan hidup
Pembiayaan untuk melaksanakan RKL merupakan tugas dan tanggung jawab dari pemrakarsa rencana
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pembiayaan tersebut antara lain mencakup :
(a) Biaya investasi misalnya pembelian peralatan pengelolaan lingkungan hidup serta biaya untuk
kegiatan teknis lainnya;
(b) Biaya personil dan biaya operasioanal;
(c) Biaya pendidikan serta latihan keterampilan operasional.
8) Institusi pengelolaan lingkungan hidup
Pada setiap rencana pengelolaan lingkungan hidup cantumkan institusi atau kelembagaan yang akan
berurusan, berkepentingan, dan berkaitan dengan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik di tingkat nasional maupun daerah, Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 UU Nomor 23 Tahun 1997 yang meliputi :
(a) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Lingkungan hidup;
(b) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
(c) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh sektor terkait;
(d) Keputusan Gubernur, Bupati/Walikotamadya;
(e) Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan pembentukan institusi pengelolaan lingkungan
hidup.
Institusi pengelolaan lingkungan hidup yang perlu diutarakan meliputi :
(a) Pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup
Cantumkan institusi pelaksana yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan sebagai
penyandang dana kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Apabila dalam melaksanakan
kegiatan pengelolaan lingkungan hidup pemrakarsa menugaskan atau bekerjasama dengan
pihak lain, maka cantumkan pula institusi dimaksud;
(b) Pengawas pengelolaan lingkungan hidup
Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi terlaksananya RKL.
Instansi yang terlibat dalam pengawasan mungkin lebih dari satu instansi sesuai dengan
lingkup wewenang dan tanggungjawab, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(c) Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan hidup
Cantumkan instansi-instansi yang akan dilaporkan hasil kegiatan pengelolaan lingkungan
hidup secara berkala sesuai dengan lingkup tugas instansi yang bersangkutan, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV. PUSTAKA


Pada bagian ini jelaskan sumber data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan RKL, baik yang
berupa buku, majalah, makalah, tulisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan pustaka tersebut
agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara penulisan pustaka.

BAB V. LAMPIRAN
Pada bagian ini lampirkan tentang :
1) Ringkasan dokumen RKL dalam bentuk tabel dengan urutan kolom sebagai berikut : Jenis Dampak ,
Sumber Dampak, Tolok Ukur Dampak, Tujuan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Rencana Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup, Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup,
dan Institusi Pengelolaan Lingkungan Hidup;
2) Data dan informasi penting yang merujuk dari hasil studi ANDAL seperti peta-peta (lokasi kegiatan,
lokasi pengelolaan lingkungan hidup, dll.), rancangan teknik (engineering design), matrik serta data
utama yang terkait dengan rencana pengelolaan lingkungan hidup untuk menunjang isi dokumen RKL.

255
LAMPIRAN IV : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000

PEDOMAN PENYUSUNAN
RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)

A. PENJELASAN UMUM
1. Lingkup rencana pemantauan lingkungan hidup
Pemantauan lingkungan hidup dapat digunakan untuk memahami fenomena-fenomena yang terjadi pada
berbagai tingkatan, mulai dari tingkat proyek (untuk memahami perilaku dampak yang timbul akibat usaha
dan/atau kegiatan), sampai ke tingkat kawasan atau bahkan regional; tergantung pada skala keacuhan
terhadap masalah yang dihadapi.
Disamping skala keacuhan, ada 2 (dua) kata kunci yang membedakan pemantauan dengan pengamatan
secara acak atau sesaat, yakni merupakan kegiatan yang bersifat berorientasi pada data sistematik, berulang
dan terencana.
2. Kedalaman rencana pemantauan lingkungan hidup
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan dokumen rencana pemantauan lingkungan
hidup, yakni :
(a) Komponen/parameter lingkungan hidup yang dipantau hanyalah yang mengalami perubahan mendasar,
atau terkena dampak besar dan penting. Dengan demikian tidak seluruh komponen lingkungan hidup
yang harus dipantau. Hal-hal yang dipandang tidak penting atau tidak relevan tidak perlu di pantau;
(b) Keterkaitan yang akan dijalin antara dokumen ANDAL, RKL dan RPL. Aspek-aspek yang dipantau perlu
memperhatikan benar dampak besar dan penting yang dinyatakan dalam ANDAL, dan sifat pengelolaan
dampak lingkungan hidup yang dirumuskan dalam dokumen RKL;
(c) Pemantauan dapat dilakukan pada sumber penyebab dampak dan atau terhadap komponen/parameter
lingkungan hidup yang terkena dampak. Dengan memantau kedua hal tersebut sekaligus akan dapat
dinilai/diuji efektifitas kegiatan pengelolaan lingkungan hidup yang dijalankan;
(d) Pemantauan lingkungan hidup harus layak secara ekonomi. Walau aspek-aspek yang akan dipantau
telah dibatasi pada hal-hal yang penting saja (seperti diuraikan pada butir (a) sampai (c ), namun biaya
yang dikeluarkan untuk pemantauan perlu diperhatikan mengingat kegiatan pemantauan senantiasa
berlangsung sepanjang usia usaha dan/atau kegiatan;
(e) Rancangan pengumpulan dan analisis data aspek-aspek yang perlu dipantau, mencakup :
1) Jenis data yang dikumpulkan;
2) Lokasi pemantauan;
3) Frekuensi dan jangka waktu pemantauan;
4) Metode pengumpulan data (termasuk peralatan dan instrumen yang digunakan untuk pengumpulan
data);
5) Metode analisis data.
(f) Dokumen RPL perlu memuat tentang kelembagaan pemantauan lingkungan hidup. Kelembagaan
pemantauan lingkungan hidup yang dimaksud disini adalah institusi yang bertanggungjawab sebagai
penyandang dana pemantauan, pelaksana pemantauan, pengguna hasil pemantauan, dan pengawas
kegiatan pemantauan. Koordinasi dan kerjasama antar institusi ini dipandang penting untuk digalang
agar data dan informasi yang diperoleh, dan selanjutnya disebarkan kepada berbagai penggunanya,
dapat bersifat tepat guna, tepat waktu dan dapat dipercaya;

B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN DOKUMEN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)

BAB I. PENDAHULUAN
Pendahuluan mencakup :
1.1. Latar belakang pemantauan lingkungan hidup
a. Pernyataan tentang latar belakang perlunya dilaksanakan rencana pemantauan lingkungan hidup
baik ditinjau dari kepentingan pemrakarsa, pihak-pihak yang berkepentingan maupun untuk
kepentingan umum dalam rangka menunjang program pembangunan;
b. Uraikan secara sistematis, singkat, dan jelas tentang tujuan pemantauan lingkungan hidup yang
akan diupayakan pemrakarsa sehubungan dengan pengelolaan rencana usaha dan/atau kegiatan;
c. Uraikan tentang kegunaan dilaksanakannya pemantauan lingkungan hidup baik bagi pemrakarsa
usaha atau kegiatan, pihak-pihak yang berkepentingan, maupun bagi masyarakat.
BAB II. RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP
Uraikan secara singkat dan jelas jenis masing-masing dampak yang ditimbulkan baik oleh satu kegiatan
atau lebih dengan urutan pembahasan sebagai berikut :
1. Dampak besar dan penting yang dipantau
Cantumkan secara singkat :
(a) Jenis komponen atau parameter lingkungan hidup yang dipandang strategis untuk dipantau;
(b) Indikator dari komponen dampak besar dan penting yang dipantau.
Indikator adalah alat pemantau (sesuatu) yang dapat memberikan petunjuk atau keterangan tentang
suatu kondisi.
Sebagai misal, indikator yang relevan untuk kualitas air limbah dan air sungai sehubungan dengan
karakteristik rencana usaha dan/atau kegiatan, adalah pH, BOD5, suhu, warna, bau, kandungan
minyak, dan logam berat.
2. Sumber dampak
Utarakan secara singkat sumber penyebab timbulnya dampak besar dan penting:
(a) Apabila dampak besar dan penting timbul sebagai akibat langsung dari rencana usaha atau
kegiatan, maka uraikan secara singkat jenis usaha dan/atau kegiatan yang merupakan penyebab
timbulnya dampak besar dan penting;
(b) Apabila dampak besar dan penting timbul sebagai akibat berubahnya komponen lingkungan hidup
yang lain, maka utarakan secara singkat komponen atau parameter lingkungan hidup yang
merupakan penyebab timbulnya dampak besar dan penting tersebut.

256
3. Parameter lingkungan hidup yang dipantau
Uraikan secara jelas tentang parameter lingkungan hidup yang dipantau. Parameter ini dapat meliputi
aspek biologi, kimia, fisika dan aspek sosial ekonomi dan budaya.
4. Tujuan rencana pemantauan lingkungan hidup
Uraikan secara spesifik tujuan dipantaunya suatu dampak besar dan penting lingkungan hidup, dengan
memperhatikan dampak besar dan penting yang dikelola, bentuk rencana pengelolaan lingkungan
hidup, dan dampak besar dan penting turunan yang ditimbulkannya.
Sebagai misal, dampak yang strategis dikelola untuk suatu rencana industri pulp dan kertas adalah
kualitas air limbah, maka tujuan rencana pemantauan lingkungan hidup secara spesifik adalah :
Memantau mutu limah cair yang dibuang ke sungai XYZ, khususnya parameter BOD 5, COD, Padatan
Tersuspensi Total, dan pH; agar tidak melampaui baku mutu limbah cair sebagaimana yang ditetapkan
dalam KEP: 51/MENLH/10/1995, tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri .
5. Metode pemantauan lingkungan hidup
Uraikan secara singkat metode yang akan digunakan untuk memantau indikator dampak besar dan
penting, yang mencakup :
(a) Metode pengumpulan dan analisis data
Cantumkan secara singkat dan jelas metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data
berikut dengan jenis peralatan, instrumen, atau formulir isian yang digunakan. Cantumkan pula
tingkat ketelitian alat yang digunakan dalam pengumpulan data sehubungan dengan tingkat
ketelitian yang disyaratkan dalam Baku Mutu Lingkungan hidup.
Selain itu uraikan pula metode yang digunakan untuk menganalisis data hasil pengukuran.
Cantumkan jenis peralatan, instrumen, dan rumus yang digunakan dalam proses analisis data.
Selain itu uraikan pula tolok ukur yang digunakan untuk menilai kondisi kualitas lingkungan hidup
yang dipantau, dan sebagai umpan balik untuk kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Perlu
diperhatikan bahwa metode pengumpulan dan analisis data sejauh mungkin konsisten dengan
metode yang digunakan disaat penyusunan ANDAL.
(b) Lokasi pemantauan lingkungan hidup
Cantumkan lokasi pemantauan yang tepat disertai dengan peta berskala yang memadai dan
menunjukkan lokasi pemantauan dimaksud. Perlu diperhatikan bahwa lokasi pemantauan sejauh
mungkin konsisten dengan lokasi pengumpulan data disaat penyusunan ANDAL.
(c) Jangka waktu dan frekwensi pemantauan
Uraikan tentang jangka waktu atau lama periode pemantauan berikut dengan frekuensinya per
satuan waktu. Jangka waktu dan frekuensi pemantauan ditetapkan dengan mempertimbangkan
sifat dampak besar dan penting yang dipantau (instensitas, lama dampak berlangsung, dan sifat
kumulatif dampak).
6. Institusi pemantauan lingkungan hidup
Pada setiap rencana pemantauan lingkungan hidup cantumkan institusi atau kelembagaan yang akan
berurusan, berkepentingan, dan berkaitan dengan kegiatan pemantauan lingkungan hidup, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik ditingkat nasional maupun daerah. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pemantauan lingkungan hidup meliputi :
(a) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup;
(b) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh sektor terkait;
(c) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah;
(d) Keputusan Gubernur, Bupati/Walikotamadya;
(e) Keputusan-keputusan lain yang berkaitan dengan pembentukan institusi pemantauan lingkungan
hidup.
Institusi pemantau lingkungan hidup yang perlu diutarakan meliputi :
(a) Pelaksana pemantauan lingkungan hidup
Cantumkan institusi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan sebagai penyandang dana
kegiatan pemantauan lingkungan hidup;
(b) Pengawas pemantauan lingkungan hidup
Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi terlaksananya RPL. Instansi
yang terlibat dalam pengawasan mungkin lebih dari satu instansi sesuai dengan lingkup wewenang
dan tanggung jawab, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(c) Pelaporan hasil pemantauan lingkungan hidup;
Cantumkan instansi-instansi yang akan dilapori hasil kegiatan pemantauan lingkungan hidup
secara berkala sesuai dengan lingkup tugas instansi yang bersangkutan.
BAB III. PUSTAKA
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan RPL baik yang
berupa buku, majalah, makalah, tulisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian, bahan-bahan pustaka tersebut
agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara penulisan pustaka.
BAB IV. LAMPIRAN
Pada bagian ini lampirkan tentang :
1. Lampiran ringkasan dokumen RPL dalam bentuk tabel dengan urutan kolom sebagai berikut: dampak
besar dan penting yang dipantau, sumber dampak, tujuan pemantauan lingkungan hidup, rencana
pemantauan lingkungan hidup (yang meliputi metode pengumpulan data, lokasi pemantauan lingkungan
hidup, jangka waktu dan frekuensi pemantauan lingkungan hidup, serta metode analisis), dan institusi
pemantau lingkungan hidup.
2. Data dan informasi yang dipandang penting untuk dilampirkan karena menunjang isi dokumen RPL.
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,
ttd
Dr. A. Sonny Keraf
Salinan sesuai dengan aslinya
Sekretaris Utama BAPEDAL,
ttd

Sudarsono, S.H.
257
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : KEP-105/11/1997
TENTANG
PANDUAN PEMANTAUAN PELAKSANAAN
RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (RKL) DAN
RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang : a. Bahwa panduan pemantauan pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL) ini dimaksudkan untuk mewujudkan dan meningkatkan kesadaran
para pemrakarsa usaha atau kegiatan untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan secara benar,
bersungguh-sungguh, kreatif dan bertanggung jawab;
b. Bahwa mengingat hal tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Panduan Pemantauan Pelaksanaan Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL);

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
3. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
4. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 98 Tahun 1996 tentang Pedoman Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PANDUAN


PEMANTAUAN PELAKSANAAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (RKL) DAN RENCANA
PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)

Pasal 1

Untuk menjamin Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
dilaksanakan dengan baik, perlu dilakukan pengelolaan dan pemantauan serta pelaporan secara terencana,
terkoordinasi, sistematis dan berkesinambungan serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari komponen
lain dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Pasal 2

Panduan pemantauan pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan
(RPL) dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini.

Pasal 3

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 14 Nopember 1997

Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

258
Lampiran : Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : 105 Tahun 1997
Tanggal : 14 Nopember 1997

PANDUAN PEMANTAUAN PELAKSANAAN RENCANA PENGELOLAAN


LINGKUNGAN (RKL) DAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)

A. LATAR BELAKANG
Salah satu fungsi penting didalam AMDAL (PP 51 Tahun 1993) adalah fungsi manajemen lingkungan. Fungsi
manajemen lingkungan ini berupa pelaksanaan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL).
Untuk menjamin RKL dan RPL dilaksanakan dengan baik perlu dilakukan pemantauan dan pelaporan secara
terencana, terkoordinasi, sistematis dan berkesinambungan. Pemantauan dan pelaporan penerapan RKL dan
RPL ini dimaksudkan untuk mewujudkan dan meningkatkan kesadaran para pemrakarsa usaha atau kegiatan
untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan secara benar, bersungguh-sungguh, kreatif dan bertanggung
jawab sehingga kualitas lingkungan dapat dipertahankan sesuai dengan fungsinya.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, dan untuk memberikan acuan bagi para pelaku pemantauan pelaksanaan
RKL dan RPL, maka perlu disusun Pedoman Umum Pemantauan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan
Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).

B. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup:
a. Pasal 11 ayat (1)
Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat
kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri.
b. Pasal 15
(1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan
hidup.
(2) Ketentuan tentang rencana dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara penyusunan
dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah
2. Pasal 25, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
menyebutkan:
(1) Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan menggunakan dokumen analisis
mengenai dampak lingkungan sebagai bahan penguji terhadap:
a). laporan pemantauan lingkungan dan evaluasi hasilnya yang dilakukan oleh pemrakarsa sesuai
dengan rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan;
b). laporan pemantauan lingkungan dan evaluasi hasilnya yang dilakukan oleh instansi terkait
yang berkepentingan sesuai dengan rencana pengelolaan lingkungan dan rencana
pemantauan lingkungan;
c). laporan pengawasan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan
lingkungan yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab.
(2) Hasil pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan kepada Menteri atau Pemimpin lembaga pemerintah non
departemen dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan
dapat melakukan koordinasi sesuai dengan tugas dan wewenangnya.

C. MAKSUD DAN TUJUAN


Panduan Pemantauan Pelaksanaan RKL dan RPL bagi kegiatan wajib AMDAL ini dimaksudkan untuk memberikan
acuan dalam melaksanakan pemantauan dan pelaporan pelaksanaan RKL dan RPL. Tujuan:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan RKL dan RPL;
2. Untuk mengetahui tingkat ketaatan pemrakarsa usaha atau kegiatan dalam melakukan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan;
3. Untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan RKL dan RPL dalam menjaga dan meningkatkan kualitas
lingkungan.

D. SASARAN
Peningkatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan serta ketaatan pemrakarsa dalam melaksanakan RKL
dan RPL.

E. PELAKSANA PEMANTAUAN
Pemantauan dilaksanakan oleh:
1. Pemrakarsa usaha atau kegiatan.
2. Pemda Tk. I dan Tk. II yang bersangkutan.
3. Instansi Teknis/Sektor yang bertanggung jawab.
4. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL), BAPEDAL Wilayah, BAPEDALDA TK I dan BAPEDALDA
TK II.

F. PELAKSANAAN PEMANTAUAN
1. Bentuk pemantauan
a. Pemantauan tidak langsung (pasif)
1) Pemantauan tidak langsung (pasif) adalah pemantauan yang dilakukan dengan cara memanfaatkan
laporan pemantauan tertulis oleh pihak lain. Dalam kaitan ini, pemantauan pasif dilaksanakan
oleh Instansi Pemerintah dengan cara memanfaatkan laporan pemantauan yang dilakukan oleh
pemrakarsa.
2) Hasil pemantauan yang dilakukan oleh Pemrakarsa dilaporkan kepada:
a) Gubernur KDH Tk. I dan Bupati/Walikotamadya KDH Tk. II yang bersangkutan.

259
b) Instansi Teknis/Sektor yang memberi ijin.
c) BAPEDAL Pusat, Wilayah dan Daerah.
3) Instansi lain yang terkait.
Oleh Instansi yang menerima laporan hasil pemantauan tersebut, digunakan sebagai:
a) Masukan data dan informasi yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan
pengelolaan lingkungan.
b) Dasar pertimbangan untuk menentukan sasaran pemantauan (uji petik) aktif pelaksanaan
RKL dan RPL di lapangan.
Format laporan hasil pemantauan Pemrakarsa atas pelaksanaan RKL mengacu pada
Formulir-1 dan untuk pelaksanaan RPL mengacu pada Formulir-2. Secara keseluruhan,
laporan pemrakarsa mengacu pada Formulir-3.
b. Pemantauan langsung (aktif)
1) Pemantauan secara aktif adalah pemantauan yang langsung dilakukan di lapangan atas
pelaksanaan RKL dan RPL. Pemantauan ini dilakukan oleh :
a. BAPEDAL, BAPEDAL Wilayah, dan BAPEDAL Daerah.
b. Instansi teknis/sektor
2) Langkah-langkah pemantauan:
a. Menentukan sasaran usaha atau kegiatan yang akan dipantau, dengan memperhatikan/
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
- Usaha atau kegiatan yang besar dan komplek permasalahan lingkungannya.
- Usaha atau kegiatan yang berada di lokasi yang sensitif terhadap lingkungan.
- Berpotensi menjadi sumber isu atau kasus lingkungan.
- Hasil pemantauan (pasif dan atau aktif) yang telah dilakukan.
- Permintaan Instansi tertentu, masyarakat sekitar lokasi usaha atau kegiatan, atau
Lembaga Swadaya Masyarakat.
b. Mempelajari dokumen AMDAL, khususnya RKL dan RPL usaha atau kegiatan yang akan
dipantau.
c. Melakukan koordinasi dengan Instansi yang bertanggung jawab, BAPEDAL, Instansi terkait
(termasuk, bila perlu pihak Laboratorium Lingkungan) dan Pemerintah Daerah (Tingkat I
dan II) dimana usaha atau kegiatan itu berada. Koordinasi ini meliputi :
- Pengumpulan data dan informasi yang berkaitan dengan operasi usaha atau kegiatan
yang akan dipantau.
- Mengetahui apakah pihak-pihak tersebut telah melaksanakan pemantauan terhadap
usaha-usaha atau kegiatan yang akan dipantau termasuk hasil-hasilnya.
- Melakukan pemantauan bersama.
d. Mengumpulkan data dan informasi sekunder yang relevan.
e. Melakukan pemantauan di lapangan.
3) Frekuensi pemantauan lapangan dilaksanakan menurut kebutuhan dengan memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan sebagaimana disebutkan pada butir 2) huruf a di atas.
4) Metode pemantauan di lapangan.
Metode pelaksanaan RKL dan RPL dilakukan dengan cara:
a. Memeriksa dan mencocokkan seluruh pelaksanaan RKL dan RPL sesuai dengan dokumen,
serta memeriksa kebenaran laporan pemantauan yang dilaksanakan oleh Pemrakarsa.
b. Melakukan diskusi dengan pihak Pemrakarsa tentang manfaat, kendala dan hambatan
dalam pelaksanaan RKL dan RPL, meliputi : manajemen, pengelolaan limbah, unit intern
organisasi pengelolaan lingkungan, dll.
c. Melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat dan atau masyarakat sekitar lokasi
usaha atau kegiatan yang dipantau.
d. Bila diperlukan, melakukan pengambilan contoh limbah untuk diuji di laboratorium atau
keluaran pengelolaan lingkungan yang telah dilaksanakan.
Untuk membantu dan memudahkan pelaksanaan pemantauan di lapangan, pelaksanaan
pemantauan dapat menggunakan Formulir-1 dan Formulir-2.
5) Pelaporan hasil pemantauan lapangan
Hasil pelaksanaan pemantauan disusun dalam bentuk pelaporan yang kemudian dikirimkan
kepada Pemrakarsa dan pihak-pihak Instansi Pemerintah sebagaimana telah disebutkan pada
butir 2) huruf c.
Laporan disusun dengan sistematika sebagaimana pada Formulir-4.
G. PEMBIAYAAN
Untuk memperlancar pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL di lapangan diperlukan dukungan dana dan
fasilitas. Bagi pemrakarsa, maka pembiayaan dan penyediaan fasilitas pemantauan pelaksanaan RKL dan
RPL terintegrasi dalam manajemen usaha atau kegiatan yang direncanakan sejak dokumen AMDALnya disusun.
Bagi Instansi\Pemerintah, sumber pembiayaan dan pemenuhan fasilitas pemantauan RKL dan RPL disediakan
dari masing-masing Instansi. Biaya pemantauan antara lain meliputi:
- Biaya transportasi
- Lumpsum.
- Biaya Penyusunan Laporan.
- Biaya Analisis Laboratorium
H. PENUTUP
Hasil pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL yang sudah dikirimkan kepada Pemrakarsa dan pihak-pihak lain
tersebut perlu terus dipantau secara periodik untuk mengetahui apakah rekomendasi hasil pemantauan itu
benar-benar dilaksanakan oleh pemrakarsa atau tidak.
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 14 November 1997
Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan
ttd.

Sarwono Kusumaatmadja
260
Formulir-1
MATRIK PELAKSANAAN PEMANTAUAN RKL
OLEH : PEMRAKARSA / PETUGAS*
WAKTU PEMERIKSAAN : ………………

RKL PELAKSANAAN

NO DAMPAKPENTING SUMBERDAMPAK TOLOKUKUR/PARAMETER PENGELOLAAN TEKNIS PELAKSANAAN HASIL PELAKSANAAN/TEMUAN LAPANGAN KENDALA/MASALAH TINDAK LANJUT/
REKOMENDASI

1 2 3 4 5 6 7 8

261
Ket : * Coret yang tidak perlu
Formulir-2
MATRIK PELAKSANAAN PEMANTAUAN RPL
OLEH : PEMRAKARSA / PETUGAS*
WAKTU PEMERIKSAAN : ………………

RKL PELAKSANAAN

NO DAMPAKPENTING SUMBER DAMPAK TOLOKUKUR/PARAMETER METODA LOKASI WAKTU TEKNIS PELAKSANAAN HASILPEMANTAUAN KENDALA/MASALAH TINDAKLANJUT
REKOMENDASI
PARAMETER
YANGDIPANTAU METODA LOKASI WAKTU
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

262
Ket : * Coret yang tidak perlu
FORMULIR 3
LAPORAN HASIL
PEMANTAUAN PELAKSANAAN RKL DAN RPL

BIDANG USAHA ATAU KEGIATAN :


LOKASI :
PEMRAKARSA :
TANGGAL :

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
- Uraikan pentingnya pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL.
B. TUJUAN
- Uraikan tujuan pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL.
C. HASIL YANG INGIN DICAPAI (SASARAN)
- Tuliskan sasaran pemantauan ini sesuai dengan butir D dalam Panduan Pemantauan Pelaksanaan RKL
dan RPL.
- Dapat ditambahkan sasaran lain bila memang diperlukan.
D. RINGKASAN DESKRIPSI KEGIATAN
Tuliskan ringkasan deskripsi kegiatan, antara lain meliputi:
- Lokasi
- Kapan mulai beroperasi
- Jenis dan atau tahapan kegiatan
- Proses kegiatan/produksi

BAB II
RINGKASAN RKL DAN RPL

A. RINGKASAN R K L
Tuliskan ringkasan RKL, antara lain meliputi:
- Jenis dampak penting
- Sumber dampak penting
- Tolok ukur dampak penting
- Pengelolaan dampak penting
B. RINGKASAN RPL
Tuliskan ringkasan RPL, antara lain meliputi:
- Jenis dampak penting
- Sumber dampak penting
- Metode Pemantauan
- Lokasi Pemantauan
- Waktu Pemantauan

BAB III
HASIL PELAKSANAAN

A. RKL
- Uraikan secara singkat pelaksanaan pengelolaan lingkungan dan hasil-hasil yang dicapai.
- Lampirkan visualisasi pelaksanaan pengelolaan lingkungan (jika ada).
B. RPL
- Uraikan secara singkat pelaksanaan pemantauan lingkungan dan hasil yang dicapai.
- Lampirkan berbagai hasil pengukuran (hasil pelaksanaan fisik dan hasil analisis laboratorium).

BAB IV
EVALUASI

- Uraikan secara singkat kesesuaian hasil pelaksanaan pengelolaan lingkungan dengan tolok ukur.
- Uraikan kendala dan masalah yang dihadapi.
- Uraikan langkah-langkah perbaikan pelaksanaan RKL dan RPL.

263
Formulir – 4
LAPORAN HASIL PEMANTAUAN PELAKSANAAN RKL DAN RPL
BIDANG USAHAATAU KEGIATAN :

LOKASI :
PEMRAKARSA :
PETUGAS PELAKSANA / INSTANSI :
TANGGAL :

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
- Uraikan kenapa pemantauan RKL dan RPL ini penting.
- Jelaskan kenapa pemantauan ke usaha atau kegiatan yang dipilih ini dilakukan (alasan dan hasil yang
diinginkan).
B. TUJUAN
- Tuliskan tujuan pemantauan ini sesuai dengan butir C dalam Panduan Umum Pemantauan Pelaksanaan
RKL dan RPL.
- Dapat ditambahkan tujuan lain bila memang diperlukan.
C. HASIL YANG INGIN DICAPAI (SASARAN)
- Tuliskan sasaran pemantauan ini sesuai dengan butir D dalam Panduan Pemantauan Pelaksanaan RKL
dan RPL.
- Dapat ditambahkan sasaran lain bila memang diperlukan.
D. RINGKASAN DESKRIPSI KEGIATAN
Tuliskan ringkasan deskripsi kegiatan, antara lain meliputi:
- Lokasi
- Kapan mulai beroperasi
- Jenis dan atau tahapan kegiatan
- Proses kegiatan/produksi
E. WAKTU
- Tuliskan kapan waktu pemantauan berlangsung.
F. PELAKSANAAN
- Sebutkan nama-nama petugas dan dari lnstansi/Unit mana.

BAB II
RINGKASAN RKL DAN RPL

A. RINGKASAN RKL
Tuliskan ringkasan RKL, antara lain meliputi:
- Jenis dampak penting
- Sumber dampak penting
- Tolok ukur dampak penting
- Pengelolaan dampak penting
B. RINGKASAN RPL
Tuliskan ringkasan RPL, antara lain meliputi
- Jenis dampak penting
- Sumber dampak penting
- Metode Pemantauan
- Lokasi Pemantauan
- Waktu Pemantauan

BAB III
TEMUAN LAPANGAN/HASIL PENGECEKAN/HASIL PENGUKURAN

Temuan lapangan dibagi menjadi empat hal:


a. Temuan Lapangan RKL, meliputi : hasil pemeriksaan dan pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh
Pemrakarsa, meliputi:
- Bentuk pengelolaan lingkungan yang dilakukan Pemrakarsa.
- Jenis dan spesifikasi alat pengelolaan lingkungan.
- Proses beroperasinya alat pengelolaan lingkungan.
- Efektifitas dan efisiensi pengoperasian alat pengelolaan lingkungan.
- Unit organisasi yang melakukan pengelolaan lingkungan.
- Hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan lingkungan jika ada.

264
b. Temuan Lapangan RPL, meliputi hasil pemeriksaan pelaksanaan pemantauan,:
- Bentuk pemantauan lingkungan yang dilaksanakan.
- Jenis dan spesifikasi alat pemantauan lingkungan.
- Proses beroperasinya alat pemantauan lingkungan.
- Efektifitas dan efisiensi pengoperasian alat pemantauan lingkungan.
- Frekuensi dan kontinuitas pengoperasian pelaksanaan pemantauan lingkungan.
- Unit organisasi yang melaksanakan pemantauan lingkungan.
- Keterlibatan masyarakat sekitar dalam pemantauan lingkungan.
- Hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemantauan lingkungan jika ada.
c. Bandingkan hasil temuan lapangan, masing-masing dengan dokumen RKL dan RPL, termasuk menguraikan
hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan yang perlu dilakukan oleh Pemrakarsa tetapi tidak termuat
dalam dokumen RKL dan RPL.
d. Uraikan kendala dan hambatan Pemrakarsa dalam melaksanakan RKL dan RPL.

BAB IV
EVALUASI

Uraikan secara singkat kecenderungan adanya peningkatan/penurunan baik kegiatan maupun kualitas
lingkungannya.

BAB V
REKOMENDASI

Penulisan Kesimpulan dan Rekomendasi sebaiknya dipisahkan antara RKL dan RPL.

Kesimpulan berisi hal-hal yang berkaitan dengan tingkat ketaatan Pemrakarsa dan situasi-kondisi yang berkaitan
dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

Rekomendasi berisi saran tindak secara teknis, konkret dan yang dapat diterapkan (applicable) oleh Pemrakarsa
untuk melaksanakan RKL dan RPL.Dalam memberikan rekomendasi/saran tidak perlu memperhatikan: dokumen
RKL dan RPL, temuan lapangan/hasil pengecekan, kebijaksanaan dan peraturan perundang-undangan yang terkait,
perkembangan teknologi yang relevan, dll.

LAMPIRAN - LAMPIRAN

Lampirkan dokumen dan atau informasi yang dirasa perlu, antara lain: Photo-photo, Peta, Gambar-gambar, Copy
hasil uji limbah di laboratorium dsb.

265
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR: KEP-124/12/1997
TENTANG
PANDUAN KAJIAN ASPEK KESEHATAN
MASYARAKAT DALAM PENYUSUNAN AMDAL

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang : a. Bahwa kesehatan menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, untuk itu setiap usaha
atau kegiatan pembangunan yang diperkirakan menimbulkan dampak penting terhadap kesehatan
masyarakat, perlu dilakukan pengkajian aspek kesehatan masyarakat;
b. Bahwa aspek kesehatan masyarakat, merupakan bagian dalam penyusunan AMDAL, perlu dikaji
secara mendalam, sehingga dampak negatif akibat suatu kegiatan terhadap kesehatan masyarakat
dapat ditekan serendah mungkin, dan dikelola dengan baik;
c. Bahwa dalam pedoman penyusunan AMDAL, kajian aspek kesehatan masyarakat dirasakan kurang
memadai untuk melakukan analisis dampak guna menyusun rencana pemantauan serta
pengolahan dampak kesehatan;
d. Bahwa mengingat hal seperti tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Keputusan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Panduan Kajian Aspek Kesehatan Masyarakat
dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
3. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman
Umum Penyusunan AMDAL;
5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-39/MENLH/8/1996 tentang Jenis Usaha
atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

Pertama : Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Panduan Kajian Aspek
Kesehatan Masyarakat dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Kedua : Setiap jenis usaha atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL harus melakukan kajian
terhadap aspek kesehatan masyarakat pada rencana tapak (tipologi kegiatan, tipologi lingkungan),
media lingkungan, masyarakat yang akan terpajan, dan kondisi kesehatan masyarakat serta sumber
daya kesehatan.

Ketiga : Kajian Aspek Kesehatan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada diktum kedua di atas
dilaksanakan sesuai dengan Panduan Kajian Aspek Kesehatan Masyarakat dalam Penyusunan
AMDAL, sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini.

Keempat : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 29 Desember 1997

Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Sekretaris BAPEDAL

ttd.

Dadang Danumihardja
NIP. 060030827

266
LAMPIRAN I : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 124 Tahun 1997
TANGGAL : 29 Desember 1997

PANDUAN KAJIAN ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT


DALAM PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

I. PENDAHULUAN
Analisis mengenai dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), adalah hasil studi untuk mengkaji
kemungkinan timbulnya dampak penting terhadap lingkungan hidup dan suatu usaha atau kegiatan yang
direncanakan untuk memberikan masukan pada proses pengambilan keputusan.

Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah tersebut telah ditetapkan pula beberapa peraturan
pelaksanaannya oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup. Salah satu peraturan pelaksanaan yang ditetapkan
melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-14/MENLH/ 3/1994 antara lain menyatakan
bahwa kajian dampak penting dilakukan terhadap komponen biologi-kimia-fisika, sosial dan kesehatan
masyarakat.

Kesehatan masyarakat merupakan kondisi ketahanan fisik dan psikis dari suatu komunitas di daerah tertentu
yang merupakan implementasi dan interaksi antara perilaku yang merupakan cermin dan kebiasaan hidup,
dengan kualitas kesehatan Iingkungannya. Sedangkan kesehatan lingkungan merupakan kondisi dari berbagai
media lingkungan (air, udara, tanah, makanan, manusia, vektor penyakit, material) yang tercermin dalam sifat
fisik, biologis dan kimia dan kualitas parameter-parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan
masyarakat.

Untuk menggambarkan potensi besarnya dampak dan keterkaitan (asosiasi) antara parameter lingkungan
dengan masyarakat yang terpajan, dapat dipergunakan pendekatan Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan,
yang menggambarkan kondisi pengukuran pada sumber, emisi/ambien, masyarakat terpajan (biomarker), dan
dampak interaksi (prevalensi dan insidensi penyakit, kejadian keracunan, dan kecelakaan). Dalam Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan, terdapat dua komponen pokok yang tidak terpisahkan berkaitan dengan kajian
aspek kesehatan masyarakat, yaitu analisis terhadap potensi besarnya dampak, dan pengelolaan dampak. Dua
komponen pokok tersebut mencakup berbagai metoda, model pendekatan seperti epidemiologi, kesehatan
dan keselamatan kerja (K3), higiene, dan sanitasi, kinerja laboratorium, serta kajian komunikasi massa untuk
diseminasi informasi.

Untuk memberikan panduan sebagai arahan dalam melakukan studi guna mengkaji aspek kesehatan masyarakat
dalam penyusunan AMDAL, maka diperlukan kajian aspek kesehatan masyarakat sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari kajian-kajian komponen lain dalam studi AMDAL yang mencermati potensi besarnya dampak
(risiko) kesehatan.

Dengan demikian bahasan aspek kesehatan akan lebih terfokus dan terkait dalam permasalahan atau isu
pokok dan suatu rencana usaha atau kegiatan yang mencakup dua hal penting yaitu perubahan kualitas
lingkungan dan dinamika masyarakat disekitar rencana lokasi yang diperkirakan berdampak terhadap kesehatan
masyarakat.

II. TUJUAN

Panduan ini merupakan acuan yang disusun dengan tujuan untuk:


1. Memahami dan melakukan kajian mengenai aspek-aspek kesehatan Dampak Lingkungan,
2. Memahami keterkaitan antara jenis usaha atau kegiatan, perubahan parameter lingkungan, manusia yang
terpajan dan bentuk dampak kesehatan masyarakat serta sumber daya kesehatan.
3. Membantu mempermudah proses pengkajian aspek kesehatan masyarakat dalam studi AMDAL.
4. Membantu menyajikan hasil kajian yang informatif.

III. RUANG LINGKUP

A. Kajian aspek kesehatan masyarakat yang ditelaah meliputi:


1. Parameter lingkungan yang diperkirakan terkena dampak rencana pembangunan dan berpengaruh
terhadap kesehatan
2. Proses dan potensi terjadinya pemajanan
3. Potensi besarnya dampak timbulnya penyakit (angka kesakitan & angka kematian)
4. Karakteristik spesifik penduduk yang berisiko
5. Sumber daya kesehatan
6. Kondisi sanitasi lingkungan
7. Status gizi masyarakat
8. Kondisi lingkungan yang dapat memperburuk proses penyebaran penyakit

B. Kajian aspek kesehatan masyarakat dilakukan untuk setiap fungsi dokumen:


1. Kerangka Acuan (KA) ANDAL
2. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
3. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
4. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)

267
LAMPIRAN II : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 124 Tahun 1997
TANGGAL : 29 Desember 1997

PANDUAN KAJIAN ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT DALAM


PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN (KA- ANDAL)

I. PENDAHULUAN
Kerangka Acuan ANDAL pada dasarnya merupakan suatu arahan berdasarkan hasil perlingkupan dalam
menentukan batasan permasalahan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi dampak potensial sehingga
diperoleh gambaran tentang dampak penting. Hal-hal yang diperhatikan dalam perlingkupan kajian aspek
kesehatan masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Parameter lingkungan yang diperkirakan terkena dampak rencana pembangunan dan berpengaruh terhadap
kesehatan
2. Proses dan potensi terjadinya pemajanan
3. Potensi besarnya dampak terjadinya penyakit (angka kesakitan & angka kematian)
4. Karakteristik spesifik penduduk yang berisiko
5. Sumber daya kesehatan
6. Kondisi sanitasi lingkungan
7. Status gizi masyarakat
8. Kondisi lingkungan yang dapat memperburuk proses penyebaran penyakit
Metoda pendekatan analisis dampak kesehatan lingkungan dapat dipergunakan untuk identifikasi dampak
potensial dan suatu asosiasi atau hubungan antara parameter lingkungan, media lingkungan (ambien, emisi),
penduduk yang terpajan dan dampaknya terhadap kesehatan. Dengan demikian karakteristik spesifik dampak
penting dan setiap rencana usaha atau dapat diprediksi secara lebih cermat dan akurat.

II. PELINGKUPAN DAMPAK PENTING


A. Identifikasi Dampak Potensial
Identifikasi dampak potensial dilakukan melalui penilaian terhadap parameter lingkungan (fisik, biologis,
sosial) yang kemungkinan akan menjadi berbagai isu yang berkaitan dengan masalah kesehatan masyarakat,
melalui:
1. telaah kegiatan proyek
2. telaah data dan informasi berdasarkan studi pustaka dan atau bahan referensi yang relevan
3. telaah data dan informasi berdasar pengamatan lapangan (survei, observasi, dsb)
4. telaah hasil uji dan analisis laboratorium
5. telaah hasil penggunaan/uji binatang percobaan
6. studi banding terhadap hasil studi yang pernah dilaksanakan
7. telaah para ahli/profesional
8. simulasi/model
Dengan mengacu Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep- 14/MENLH/3/1994
dan substansi yang dijelaskan pada butir 2 pelingkupan, maka identifikasi dampak potensial dan kajian
aspek kesehatan masyarakat dalam studi AMDAL dapat disusun sebagai berikut.
1. Yang berhubungan dengan cemaran, perlu diperhatikan:
- penyebaran bahan pencemar di media lingkungan (air, udara, tanah dan makanan)
- jalur-jalur pemajanan yang mungkin terjadi (di masa depan)
- telaah data dan informasi berdasarkan studi toksikologi, studi epidemiologi dan studi
kesehatan lingkungan
- pengalaman negara lain untuk kasus sejenis
2. Yang berhubungan dengan perindukan vektor (binatang perantara penyakit)
- perubahan lahan yang dapat menimbulkan genangan air
- perubahan vegetasi yang menunjang atau menghambat berkembang biaknya vektor
- telaah data atau informasi dan studi kesehatan lingkungan survei malarlometrik dan studi
epidemiologi tentang penyakit bersumber binatang
- pengalaman negara lain untuk kasus sejenis
3. Yang berhubungan dengan perilaku masyarakat
- kebiasaan pemanfaatan air
- kebiasaan penggunaan bahan “reppelent” atau pelindung kebiasaan penggunaan
Insektisida
- kebiasaan yang berhubungan dengan sanitasi
- kebiasaan yang berhubungan dengan pengelolaan makanan
- kebiasaan yang berhubungan dengan masalah kesehatan (berobat, kontak penderita, dsb)
B. Evaluasi Dampak Potensial
Pelingkupan pada tahap ini bertujuan untuk menghilangkan dampak potensial yang dipandang tidak relevan,
sehingga diperoleh dampak penting hipotesis, yaitu prediksi, yang menggambarkan potensi, besarnya dampak
kesehatan yang kemungkinan dapat timbul akibat perubahan lingkungan yang berasosiasi dengan
masyarakat terpajan (“population at risk”).
Dampak potensial hipotesis ini kemudian disusun dalam suatu daftar guna dinilai berdasarkan pandangan
masyarakat, referensi yang relevan, dan pertimbangan para pakar untuk memperoleh dampak potensial.
Ukuran atau nilai dan evaluasi dampak potensial dapat mempergunakan pertimbangan dari beberapa
pernyataan di bawah ini:
1. Seberapa besar/luas rencana usaha atau kegiatan dapat menimbulkan perubahan kualitas
lingkungan yang memungkinkan berkembang biaknya vektor penyakit?
2. Seberapa besar/luas usaha atau kegiatan memerlukan pengerahan sumber daya manusia (lokal
dan pendatang) sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antar penduduk dan memiliki potensi
untuk menimbulkan penyakit menular?
3. Seberapa besar usaha/kegiatan membutuhkan/menggunakan bahan toksik dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan risiko kesehatan, baik akut maupun kronis seperti : keracunan, kanker,
kelainan reproduksi dan penyakit menahun lainnya?
268
4. Seberapa besar usaha atau kegiatan dapat menurunkan secara berarti pemenuhan makanan
dan gizi masyarakat dari generasi ke generasi?
5. Seberapa besar/luas rencana usaha atau kegiatan akan menurunkan kualitas sumber daya
manusia karena daya dukung lingkungan sedemikian rupa sehingga berdampak terhadap
kesehatan masyarakat?
C. Pemusatan Dampak Penting (focussing)
Pemusatan dampak penting (“focussing”) bertujuan untuk mengelompokkan dampak penting yang
telah dirumuskan dan dampak potensial sehingga diperoleh gambaran tentang isu-isu pokok
permasalahan lingkungan hidup yang terkait erat dengan risiko kesehatan secara utuh dan lengkap,
dengan memperhatikan:
1. Keterkaitan rencana usaha atau kegiatan dengan komponen lingkungan yang mengalami
perubahan mendasar (dampak penting)
2. Keterkaitan antar komponen dampak penting yang telah dirumuskan secara holistik, baik menurut
waktu, tahapan kegiatan maupun dampak komulatif yang terjadi
Dalam proses pemusatan (focussing), penyusun aspek kesehatan masyarakat dalam AMDAL perlu
diperhatikan prioritas kepentingannya sebagai berikut:
1. Sifat dampak (akut dan kronis)
Setiap rencana usaha atau kegiatan yang berpengaruh terhadap proses penularan penyakit
akibat perubahan interaksi antara manusia dengan habitat vektor penyakit, parasit, dan
mikroba secara terus-menerus atau periodik sehingga menimbulkan penyakit dan atau
kematian, penurunan intelegensia gangguan metabolisme yang dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan sel atau mutasi DNA yang berakibat kelainan genetik, keganasan
maupun kelainan reproduksi.
2. Jumlah penduduk
Peningkatan jumlah penduduk yang terkena dampak di masa depan dan rencana usaha
atau kegiatan sehingga berpengaruh terhadap status kesehatan melalui proses akumulasi,
sinergistik, dan kronis, yang dapat mengakibatkan gangguan kejiwaan, penderitaan seumur
hidup dan atau kematian.
3. Beban ekonomi
Meningkatkan beban ekonomi yang ditanggung masyarakat akibat dampak dan rencana
usaha atau kegiatan sehingga masyarakat sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan
yang optimal dan kesulitan akses terhadap sarana kesehatan yang ada.
Daftar dampak potensial yang diperoleh dari huruf C tersebut selanjutnya dievaluasi sehingga diperoleh
dampak penting kesehatan masyarakat.

III. PELINGKUPAN WILAYAH STUDI


Pelingkupan (scoping) adalah suatu proses berjenjang melalui penapisan (screening) untuk membatasi
permasalahan yang harus ditelaah secara cermat dan mendalam sedemikian rupa sehingga diperoleh isu
pokok, dengan mempertimbangkan tipologi usaha atau kegiatan, dan karakteristik spesifik lingkungan serta
penduduk disekitar tapak lokasi rencana kegiatan yang diarahkan pada lingkup ekologi yang terkena dampak
fisik, kimia, dan biologi serta aspek sosial yang akan terganggu.
Disamping batas-batas yang telah ditetapkan dalam pedoman seperti batas proyek, batas ekologis, batas
sosial dan batas administrasi, maka kajian aspek kesehatan masyarakat perlu mempertimbangkan batasan
epidemiologi dari penyakit yang ada disekitar tapak lokasi, yang berkait erat dengan batas ekologis dan sosial
yang akhirnya ditetapkan sebagai batas wilayah studi.
Berkaitan dengan masalah epidemiologi, maka penjabaran batas-batas yang tertuang dalam pedoman dapat
diuraikan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Batas Proyek
Pada saat menentukan batas proyek perlu dilakukan identifikasi sebagai berikut:
a. Apakah di dalam batas proyek tersebut ada komunitas masyarakat yang memiliki riwayat menyandang
penyakit tertentu yang endemis dan penyakit menular potensial wabah?
b. Apakah di dalam batas proyek tersebut terdapat vektor penyakit yang dapat berkembang dalam masa
pra konstruksi, konstruksi, dan pasca konstruksi?
c. Apakah di dalam batas lingkungan proyek mengandung bahan berbahaya (toksik) yang berpotensi
sebagai bahan pencemar yang dapat membahayakan kesehatan?
2. Batas Ekologis
Batas ekologis ditetapkan berdasarkan pengertian yang terkandung dalam Lampiran I Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 1994. Untuk itu perlu diidentifikasi apakah di dalam batas
ekologis tersebut ada komunitas masyarakat yang derajat kesehatannya dapat berubah secara mendasar
akibat kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh rencana usaha
atau kegiatan melalui media air, udara dan tanah, vektor penyakit, bahan material dan manusia itu sendiri.
3. Batas Sosial
Batas sosial ditetapkan dengan memperhatikan:
a) Hasil identifikasi komunitas masyarakat yang terdapat dalam batas proyek sebagaimana dimaksud
pada batas proyek di atas (butir 1).
b) Hasil identifikasi komunitas masyarakat yang terdapat dalam batas ekologi sebagaimana dimaksud
pada batas ekologi di atas (butir 2).
c). Lokasi komunitas masyarakat yang berada di luar batas proyek dan batas ekologi namun berpotensi
terkena dampak kesehatan dan rencana usaha atau kegiatan melalui penyerapan tenaga kerja,
pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial, serta pertumbuhan usaha non formal di sekitar lokasi
proyek.
4. Batas administrasi
Batas administrasi ditetapkan berdasarkan pengertian yang terkandung dalam Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 1994 pada Lampiran I tentang Pedoman Umum Penyusunan KA-ANDAL,
dikaitkan dengan akses komunitas masyarakat terhadap pelayanan dan sarana,serta sumber daya
kesehatan.

269
LAMPIRAN III : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 124 tahun 1997
TANGGAL : 29 Desember 1997

PANDUAN KAJIAN ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT


DALAM PENYUSUNAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN (ANDAL)

I. PENDAHULUAN
Panduan ini disusun untuk mempertajam kajian aspek kesehatan masyarakat dalam penyusunan AMDAL.
Sementara itu teknis penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) secara umum tetap mengacu pada
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-14/MENLH/3/1994 - Lampiran 2. Demikian pula
format penyusunan ANDAL, mengikuti pedoman baku yang telah ditetapkan. Memperhatikan posisi tersebut,
panduan ini difokuskan pada substansi pokok yang perlu dikaji berdasarkan permasalahan pokok. Beberapa
proses dan langkah penyusunan ANDAL akan disinggung kembali bila diperlukan disesuaikan dengan
kekhususan kajian.
Arahan pokok dan panduan ini yang perlu tercantum dalam dokumen ANDAL mencakup dua hal, yaitu metodologi
dan deskripsi dari kajian aspek kesehatan masyarakat, dengan memperhatikan:
1. Uraian rencana usaha atau kegiatan yang berhubungan erat dengan aspek kesehatan masyarakat;
2. Media lingkungan yang menjadi wahana transportasi bahan berbahaya dan kondisi lingkungan yang
menunjang terbentuknya habitat vektor penyakit;
3. Parameter lingkungan dan kesehatan serta metoda prakiraan dan evaluasi dampaknya pada kesehatan
masyarakat;
4. Metode pengumpulan dan analisis data dan butir-butir di atas;
5. Prakiraan dampak kesehatan masyarakat;
6. Evaluasi dampak kesehatan masyarakat.

II. METODA PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA, SERTA PRAKIRAAN DAN EVALUASI DAMPAK
Bagian ini menguraikan metoda pengumpulan dan analisis data, serta metoda prakiraan dan evaluasi dampak
yang akan digunakan dalam penyusunan AMDAL. Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa hal penting yang
perlu dipahami adalah sebagai berikut:
1. Lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan wilayah studi yang digariskan dalam Kerangka Acuan (KA);
2. Komponen lingkungan yang diteliti merupakan penjabaran dari isu pokok aspek kesehatan masyarakat
yang terdapat dalam KA;
3. Komponen lingkungan dan masyarakat yang diteliti harus bersifat spesifik lokasi, untuk itu perlu pemahaman
akan sifat komponen dan keterkaitannya dari sudut pandang aspek kesehatan masyarakat, karena tidak
semua parameter harus diteliti;
4. Dan angka 3 tersebut di atas membuka kemungkinan bahwa kajian komponen aspek kesehatan masyarakat
yang tertera pada KA ANDAL dapat mengalami penambahan dan atau pengurangan sepanjang terjalin
keterkaitan antara aspek fisik-kimia, biologi dan sosial dan masalah kesehatan masyarakat;
5. Sebagai alat bantu untuk melengkapi angka 3 dan 4 tersebut di atas, penyusunan aspek kesehatan masyarakat
dalam ANDAL dapat memanfaatkan Pedoman Teknis, dokumen-dokumen ANDAL dan kegiatan-kegiatan
sejenis (untuk keperluan analogi), referensi (data statistik, peta, rujukan, metoda & uji laboratorium), studi
kesehatan lingkungan, studi epidemiologi dan pustaka lainnya yang relevan.

A. Metoda Pengumpulan dan Analisis Data


1. Dampak penting aspek kesehatan masyarakat dan suatu rencana usaha atau kegiatan pada umumnya
tidak menyebar secara merata di seluruh kelompok dan lapisan masyarakat, tetapi akan menyebar secara
spesifik tergantung pada kondisi kesehatan masyarakat. Dengan demikian dalam menetapkan/memilih
metode pengumpulan dan analisis data yang relevan, baik yang bersifat kuantitatif atau kualitatif perlu
mempertimbangkan masalah kesehatan masyarakat secara epidemiologis:
- perubahan mendasar atau dampak penting lingkungan yang akan dialami oleh kelompok atau lapisan
masyarakat yang akan ditelaah;
- satuan analisis (rumah tangga, desa, kabupaten, propinsi) yang akan diukur;
- ukuran-ukuran yang bersifat penting menurut pandangan masyarakat (emic) disekitar rencana usaha
atau kegiatan;
- ketersediaan tenaga, waktu dan dana.
2. Beberapa metode pengumpulan data yang dapat dipergunakan antara lain:
- observasi / pengamatan lapangan;
- pengumpulan data sekunder;
- melalui penelusuran data dan informasi dari hasil-hasil penelitian, bahan-bahan pustaka dan bahan-
bahan referensi lain yang relevan yang dapat dikumpulkan dari berbagai instansi terkait;
- wawancara dengan menggunakan kuesioner;
- pengumpulan data pada sejumlah responden terpilih melalui wawancara dengan kuesioner yang
terstruktur;
- wawancara mendalam (indepth interview);

270
- wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat atau orang-orang yang dianggap mengetahui
tentang kondisi masyarakat setempat, dengan menggunakan pedoman pertanyaan;
- diskusi kelompok terarah (focussed group discussion) .
Diskusi ini dilakukan dalam kelompok kecil (5 - 7 orang) yang homogen untuk menghimpun pendapat,
pandangan dan aspirasi mereka.
Metode pengumpulan data yang disebutkan di atas bila perlu dapat digunakan secara simultan agar
diperoleh keabsahan dan ketelitian yang tinggi.
Dalam hal pengambilan sampel untuk keperluan uji laboratorium sebagai kelengkapan pengumpulan
data parameter lingkungan, dan sampel biologis dan masyarakat sekitar tapak lokasi, perlu diperhatikan
tingkat “representativeness” dan karakteristik spesifik dan lingkungan dan karakteristik spesifik dan
jenis “biomarker” tertentu yang kemungkinan akan berkait erat dengan dampak dan rencana usaha
atau kegiatan.
3. Sampel (responden) yang dipilih harus dapat mewakili populasi suatu kelompok dan lapisan
masyarakat tertentu yang diperkirakan terkena dampak. Beberapa teknik pengambilan sampel yang
dapat dipergunakan antara lain:
- teknik pengambilan sampel secara purposive;
- teknik pengambilan sampel secara acak (random).
Teknik pengambilan sampel yang dipilih harus mempertimbangkan jenis dan sifat parameter dampak
penting yang akan diukur, derajat kepekaan yang dikehendaki, dan kondisi lingkungan lain yang
berpengaruh terhadap kelayakan aplikasi teknik yang dipilih.
Jumlah sampel ditetapkan berdasarkan kriteria berikut ini
- derajat keseragaman (homogenitas) dan populasi.
Makin seragam populasi yang diteliti makin kecil jumlah sampel yang akan diambil.
- Presisi (ketepatan/akurasi) yang dikehendaki.
Makin tinggi tingkat presisi yang dikehendaki, makin besar jumlah sampel yang harus diambil.
- Kedalaman analisis yang ingin diperoleh, semakin dalam analisis yang diinginkan semakin
besar jumlah sampel yang dibutuhkan.
4. Metoda analisis data yang dapat digunakan adalah metoda analisis dampak kesehatan lingkungan
dan metoda epidemiologi, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
5. Data ekonomi ditekankan pada beban masyarakat akibat dampak kesehatan (penyakit cedera) yang
timbul. Ada dua cara pendekatan dasar yang dapat digunakan untuk menilai biaya dampak kesehatan,
yaitu:
- Metoda “Willingness to Pay (WTPJ)” - memperkirakan biaya dampak melalui perhitungan
kesediaan masyarakat membayar untuk menghindari atau menurunkan dampak; dan
- “Cost of illness (COI)” - memperkirakan biaya langsung untuk pengobatan, biaya langsung
bukan untuk pengobatan, dan biaya tidak langsung sebagai akibat dampak hilangnya
produktivitas.
Untuk itu indikator ekonomi kesehatan yang nilai moneternya tidak bisa dianalisis dengan akurat,
diperlukan “value judgement” dari penyusun AMDAL.
Caranya antara lain dengan menggunakan analogi terhadap biaya yang umumnya dikeluarkan untuk
jenis atau benda dampak tertentu.
B. Metoda Prakiraan Dampak
Prakiraan dampak merupakan telaahan untuk melihat besaran dan kecenderungan timbulnya dampak
kesehatan masyarakat.
Metoda ini perlu disesuaikan dengan isu pokok (lihat lampiran II - KA ANDAL) dan metoda yang digunakan untuk
pengumpulan dan analisis data (butir A di atas). Besaran dampak mencakup jenis, sifat, sebaran dan beban
yang diproyeksikan kepada jumlah penduduk terkena dampak. Sementara kecenderungan dimaksudkan sebagai
dampak yang segera muncul dan dampak tertunda. Jadi metoda yang akan digunakan hendaknya merupakan
rangkuman dari dua hal tersebut.
Beberapa metoda yang dapat dipergunakan untuk prakiraan dampak kesehatan masyarakat yang berkaitan
dengan perubahan lingkungan antara lain adalah:
- Perkiraan perluasan habitat vektor penyakit
- Analisis risiko kualitatif dan kuantitatif
- Analisis jalur pemajanan di masa depan
- Analisis risiko epidomiologis ( absolute risk, attributable, dan relative risk)
- Analisis biaya dampak kesehatan
- Analisis perubahan perilaku masyarakat terhadap dampak kesehatan.
C. Metoda Evaluasi Dampak
Evaluasi dampak merupakan kajian yang bersifat holistik, yakni telaahan secara menyeluruh terhadap berbagai
dampak lingkungan terkait erat dengan masalah kesehatan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara umum evaluasi dampak penting mengacu pada Keputusan Kepala Bapedal No. Kep- 056
tahun 1994.
Beberapa arahan penting untuk menetapkan prakiraan dampak penting dan aspek kesehatan masyarakat
adalah:
- prevalensi penyakit yang berhubungan dengan vektor cukup tinggi

271
- adanya spesies vektor penyakit di lokasi kegiatan yang direncanakan,
- manusia rentan terhadap “bahan berbahaya” yang dibuang oleh kegiatan yang direncanakan cukup
besar jumlahnya,
- persebaran “bahan berbahaya” cukup luas sehingga memungkinkan terjadinya jalur-jalur
pemajanan di masa depan yang cukup luas pula,
- bahan-bahan berbahaya tersebut sangat resisten di alam dan kumulatif sehingga pada jangka
panjang akan berpengaruh pada kesehatan penduduk yang cukup luas.
- bahan-bahan berbahaya tersebut menimbulkan dampak yang tak terpulihkan, misalnya
menyebabkan kanker, cacat dalam kandungan, dsb.,
- bahan-bahan berbahaya mengganggu kebutuhan hidup manusia, misalnya pencemaran air tanah
sehingga banyak masyarakat tidak memperoleh persediaan air bersih yang memadai, atau merusak
tanaman pangan yang pada gilirannya mengganggu keseimbangan konsumsi pangan masyarakat,
- sarana atau jangkauan pelayanan kesehatan yang masih sangat terbatas,
- perilaku masyarakat yang berisiko cukup besar, misalnya banyak masyarakat yang menggunakan
air sungai.

III. URAIAN RENCANA USAHA ATAU KEGIATAN


Pada dasarnya uraian rencana usaha atau kegiatan adalah seperti apa yang telah ditetapkan dalam pedoman
umum. Dari aspek kesehatan masyarakat, maka rencana kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak
seperti yang dinyatakan pada Bab Evaluasi Dampak (Butir II C), perlu dijelaskan dalam laporan studi ANDAL
terinci pada setiap tahapan pelaksanaan kegiatan yang direncanakan.

IV. RONA LINGKUNGAN HIDUP


Rona lingkungan harus menggambarkan kondisi lingkungan di wilayah studi, terutama aspek kesehatan
masyarakat dalam dokumen Kerangka Acuan (KA) yang akan terkena dampak penting dari rencana usaha atau
kegiatan. Dengan demikian rona lingkungan hidup harus bersifat spesifik lokasi dan menggambarkan kondisi
lingkungan masyarakat pada saat studi ANDAL berlangsung.
Sehubungan dengan hal tersebut maka data aspek kesehatan masyarakat yang disajikan dalam rona lingkungan
harus dibatasi pada hal-hal yang mempunyai relevansi dan keterkaitan yang erat dengan prakiraan dan evaluasi
dampak.
Informasi yang diperlukan untuk penyusunan rona lingkungan dan kesehatan masyarakat antara lain:
1. Karakteristik demografis penduduk di wilayah kegiatan yang direncanakan.
2. Karakteristik epidemiologis penduduk di wilayah kegiatan yang direncanakan.
3. Prevalensi penyakit menular.
4. Karakteristik fisik (hidrogeologis dan iklim) di wilayah kegiatan yang direncanakan.
5. Penggunaan lahan saat ini dan dimasa depan.
6. Penggunaan atau pemanfaatan sumber daya alam.
7. Tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan.
8. Status kesehatan penduduk.
9. Perilaku spesifik penduduk yang berhubungan dengan risiko.
10. Data lain atau hasil studi yang kemungkinan besar akan berkaitan dengan kegiatan yang direncanakan.
11. Kondisi kehidupan penduduk terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor seperti akses kepada penyediaan
air minum dan makanan dan sarana kesehatan.
12. Akses dan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada.
Contoh data set untuk kegiatan pembangunan industri yang direncanakan:
1. Deskripsi terbaik tentang jenis kegiatan yang direncanakan.
2. Deskripsi terbaik tentang emisi atau effluen atau perubahan kondisi fisik (perkembangan habitat vektor).
3. Deskripsi terbaik yang tersedia tentang mekanisme dispersi, absorpsi, absorpsi di udara, air dan
tanah.
4. Deskripsi terbaik yang tersedia tentang penyakit yang berkaitan dengan pencemaran yang berhubungan
dengan kegiatan yang direncanakan.
5. Informasi tentang faktor lingkungan, sosial, ekonomi yang kemungkinan besar mempengaruhi kepekaan
penduduk yang terkena dampak.
6. Analisis dampak kesehatan jangka panjang dan pendek.
7. Identifikasi cara-cara menghilangkan atau mengurangi dampak kesehatan dan prakiraan biaya yang
diperlukan.
8. Analisis dampak kesehatan pada alternatif rencana usaha atau kegiatan.
9. Perumusan sistem pemantauan kesehatan untuk dilakukan bersama-sama dengan kegiatan yang
direncanakan.

V. PRAKIRAAN DAMPAK PENTING


Hasil prakiraan dampak penting aspek kesehatan masyarakat hendaknya dilaporkan secara rinci dalam dokumen
ANDAL dengan menyebut setiap tahapan dimana dampak itu kemungkinan terjadi.
Umumnya, dampak kesehatan akan timbul setelah periode waktu tertentu. Karena itu kecenderungan dan
kapan kemungkinan dampak itu akan terjadi dijelaskan disertai justifikasi ilmiah yang memadai atau asumsi-
asumsi yang dapat diterima.

272
Pada setiap isu kesehatan masyarakat yang diprakirakan mengalami dampak penting dibahas melalui sistematika
sebagai berikut:
a. Pada bagian pertama, utarakan penyebab timbulnya (sumber) dampak, sebagai misal:
1. Dampak terhadap gangguan sistem pernapasan penduduk di sekitar rencana usaha atau kegiatantimbul
sebagai akibat dari emisi bahan-bahan berbahaya.
2. Persepsi masyarakat terhadap rencana usaha atau kegiatan timbul sebagai akibat dan gangguan
pernapasan yang ditanggungnya.
b. Pada bagian dua, uraikan tentang prakiraan besar dampak yang dilakukan dengan cara menganalisis
perbedaan angka gangguan pernapasan pada kondisi dengan dan tanpa adanya usaha atau kegiatan
dengan menggunakan metode yang telah diutarakan pada huruf ll.B. Metode Prakiraan Dampak. Disamping
itu ditelaah pula arah perubahan dampak tersebut dan segi positif dan atau negatif.
Untuk itu studi ANDAL Kawasan, Terpadu/multisektor, dan Regional perlu diberikan perhatian yang lebih
besar pada prakiraan dampak yang bersifat kumulatif.
c. Pada bagian tiga, diuraikan sifat penting dan besar dampak kesehatan masyarakat yang telah diutarakan
pada huruf b di atas ditinjau dari kepentingan masyarakat, pemerintah maupun pakar dengan mengacu
pada Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting (Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor: 056 Tahun 1994)
dan kriteria yang digunakan seperti contoh pada butir II.C.
d. Apabila dampak kesehatan masyarakat itu dapat dihitung dalam bentuk kerugian biaya, maka sajikan cara
perhitungannya.
e. Pada bagian keempat, bila dampak penting kesehatan masyarakat yang telah diutarakan pada huruf a, b dan
c tersebut di atas menimbulkan dampak lanjutan, maka uraikan sub-komponen atau parameter yang terkena
dampak lanjut tersebut.
f. Mengingat adanya alternatif teknologi atau lokasi dan suatu rencana usaha atau kegiatan, maka dampak
penting aspek kesehatan masyarakat untuk setiap alternatif perlu diprakirakan sesuai sistematika diatas.

VI. EVALUASI DAMPAK PENTING


Hal penting dalam evaluasi dampak penting adalah pengambilan keputusan berdasarkan data dan atau informasi
dan hasil analisis aspek kesehatan masyarakat dengan standar persyaratan dan atau kriteria kesehatan dan
berbagai media lingkungan (“environmental pathways”). Secara khusus perlu pula dijelaskan hubungan antara
rencana kegiatan, rona lingkungan dan kemungkinan timbulnya dampak kesehatan, baik langsung maupun
tidak langsung.

Hasil telaahan evaluasi dampak penting hendaknya diuraikan secara jelas dan komprehensif dan diarahkan
kepada alternatif tindakan yang harus diambil untuk mencegah atau memperkecil bahkan meniadakan
kemungkinan timbulnya dampak sehingga memudahkan pengambil keputusan menggunakan data evaluasi
dampak penting ini.

Misalnya, dampak penting itu timbul karena rencana usaha atau kegiatan secara kontinyu membuang logam
berat ke perairan (sungai), sementara sungai itu menjadi sumber daya alam yang banyak digunakan oleh
penduduk sebagai kebutuhan air untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk budi daya pertanian.
Ciri dampak penting kesehatan masyarakat itu juga harus dijelaskan, dalam arti akan berlangsung terus selama
kegiatan itu berjalan termasuk juga periode waktu kemungkinan dampak itu akan terjadi.
Misalnya logam berat yang terkonsumsi melalui tata perairan akan menimbulkan penyakit X setelah Y tahun.
Meskipun pada umumnya dampak kesehatan timbul setelah periode tertentu, tetapi tidak menutup kemungkinan
adanya gangguan kesehatan masyarakat yang bersifat Iangsung. Kemungkinan itu perlu disampaikan dalam
studi ANDAL.

Penjelasan terhadap kelompok masyarakat yang akan terkena dampak perlu mencakup karakteristik demografik
dan epidemiologi, termasuk pula apakah masyarakat yang terkena dampak tersebut terbatas pada lokasi kegiatan
yang direncanakan atau akan tersebar cukup jauh dan lokasi kegiatan itu.

273
LAMPIRAN IV : KEPUTUSAN KEPALA PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 124 Tahun 1997
TANGGAL : 29 Desember 1997

PANDUAN KAJIAN ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT DALAM


PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (RKL)

RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Kerangka pemikiran dasar dan penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan mengacu pada pedoman
umum Rencana Pengelolaan Lingkungan (lampiran III - Kep-14/MENLH/3/1994). Dari aspek kesehatan masyarakat,
perlu dikemukakan arahan-arahan konkrit untuk mencegah atau meminimisasi dampak dan memaksimalkan manfaat
yang diperoleh untuk tidak timbulnya dampak kesehatan.
Beberapa contoh arahan untuk mencapai maksud tersebut di atas, antara lain:
- Kebutuhan akan infrastruktur dan pelayanan (pelayanan kesehatan).
- Penyediaan daerah penyangga dan sarana umum seperti taman rekreasi dan sarana olah raga.
- Pengelolaan sampah yang dihasilkan dan kegiatan yang direncanakan.
- Pengendalian dampak kumulatif pada wilayah usulan baru yang akan bertambah atas pembangunan yang telah
ada.
- Pengelolaan tata ruang kota terhadap kesehatan mental dan kualitas lingkungan permukiman.
- Menciptakan kondisi lingkungan baru: konstruksi bebas banjir dan manipulasi lingkungan mencegah perindukan
vektor.
- Kewaspadaan penggunaan lahan dimasa datang.
- Pengendalian kecelakaan dan pemajanan emisi transportasi.
- Pemilihan lokasi pembangunan yang akan menghindari atau mengurangi efek gangguan vektor yang ada dan
mencegah perkembangan perindukan vektor.

LAMPIRAN V : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN


NOMOR : 124 Tahun 1997
TANGGAL : 29 Desember 1997

PANDUAN KAJIAN ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT DALAM


PENYUSUNAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)

RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN

Kerangka pemikiran dasar dan penyusunan dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan mengacu pada pedoman
umum Penyusunan Rencana Pemantauan Lingkungan (lampiran IV Kep 14/MENLH/3/1994). Dari aspek kesehatan
masyarakat, perlu dikemukakan arahan-arahan konkrit untuk dapat melakukan pemantauan dampak kesehatan
masyarakat secara tepat dan efisien.
Mengingat dampak kesehatan masyarakat timbul karena terbentuknya jalur pemajanan antara sumber dampak dan
manusia rentan. Karena itu pemantauan harus diarahkan kepada jalur pemajanan yang berhasil dikenali pada butir
prakiraan dampak. Disamping itu, periode waktu harus disesuaikan dengan saat timbulnya dampak, khususnya
pada pemantauan biomarker.
Beberapa contoh arahan untuk mencapai maksud tersebut diatas, antara lain:
- Memantau kandungan “bahan berbahaya” dalam emisi atau effluen kegiatan yang direncanakan.
- Memantau “bahan berbahaya” pada titik-titik di media lingkungan yang menjadi jalur penyebaran.
- Memantau titik-titik kontak antara media lingkungan dan manusia, misalnya memantau kandungan “bahan
berbahaya” dalam air sumur yang digunakan penduduk.
- Memantau cara kontak antara media lingkungan yang mengandung bahan berbahaya dengan manusia, apakah
melalui minum atau kontak kulit.
- Memar, atau biomarker pada manusia kontak sesuai dengan periode yang diperlukan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 1997

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd.

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Sekretaris BAPEDAL

ttd.

Dadang Danumihardja
NIP. 060030827
274
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : KEP-299/11/ 1996
TENTANG
PEDOMAN TEKNIS KAJIAN ASPEK SOSIAL DALAM
PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang : a. bahwa komponen aspek sosial merupakan bagian yang perlu dikaji secara mendalam dalam
penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan sehingga dampak negatif akibat suatu kegiatan
terhadap komponen tersebut dapat dikelola dengan baik;
b. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-14/MENLH/3/1994 tentang
Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dirasakan kurang memadai
untuk melakukan kajian aspek sosial;
c. bahwa mengingat hal seperti tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Keputusan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial Dalam
Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;

Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
2. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman
Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;

ME MUTU S KAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN


TEKNIS KAJIAN ASPEK SOSIAL DALAM PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN

Pasal 1

Aspek sosial dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah telaahan yang dilakukan terhadap
komponen demografi, ekonomi, dan budaya serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari komponen lain
dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Pasal 2

Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan AMDAL adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini.

Pasal 3

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 4 Nopember 1996

Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

275
LAMPIRAN I : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : KEP-299/11/1996
TANGGAL : 4 November 1996

PEDOMAN TEKNIS KAJIAN ASPEK SOSIAL DALAM PENYUSUNAN


ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

A. PENDAHULUAN
Analisis mengenai dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 51 tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah hasil studi mengenai
dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan.
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah ini telah ditetapkan pula beberapa peraturan pelaksanaannya
oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dengan demikian diharapkan Peraturan Pemerintah tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik. Namun keadaan yang demikian masih berjalan belum sebagaimana yang diharapkan,
ini sangat dirasakan akibat lemahnya acuan yang digunakan sebagaimana tersebut dalam Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan, khususnya kajian dampak sosial. Karena itu, maka pedoman teknis kajian
aspek sosial menjadi penting dalam penyusunan AMDAL dan ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari kajian-kajian komponen lain. Sebagai upaya untuk lebih memperjelas dalam melakukan kajian komponen
sosial seperti yang telah ditentukan.

B. TUJUAN
Pedoman teknis merupakan acuan yang disusun dengan tujuan untuk :
1. Memahami dan melakukan kajian mengenai aspek-aspek sosial dalam penyusunan AMDAL.
2. Memahami keterkaitan aspek biogeofisik dan sosial dalam AMDAL.
3. Membantu mempermudah proses penyusunan aspek sosial dalam studi AMDAL.

C. RUANG LINGKUP
1 . Komponen sosial yang ditelaah meliputi :
1.1. Demografi
1.2. Ekonomi, dan
1.3. Budaya.
2. Kajian aspek sosial dilakukan untuk setiap dokumen :
2.1. Kerangka Acuan (KA) ANDAL
2.2. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
2.3. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
2.4. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)

LAMPIRAN II : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN


NOMOR : KEP-299/11/1996
TANGGAL : 4 November 1996

PEDOMAN TEKNIS KAJIAN ASPEK SOSIAL DALAM PENYUSUNAN


KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN
( KA-ANDAL )

1. PENGERTIAN
Pelingkupan merupakan proses awal untuk menentukan lingkup permasalahan dan mengidentifikasikan dampak
penting potensial yang timbul sebagai akibat rencana usaha atau kegiatan. Dalam pelingkupan aspek sosial
dalam AMDAL perlu diperhatikan dua hal penting yaitu :

2. PELINGKUPAN DAMPAK PENTING


2.1.Identifikasi Dampak Potensial
Dalam proses identifikasi dampak potensial dapat dipergunakan beberapa metoda sebagaimana tercantum
dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman
Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan seperti :
a. daftar uji
b. matrik interaksi sederhana
c. bagan alir
d. penelaahan pustaka
e. pengamatan lapangan
f. analisis isi
g. interaksi kelompok.
Berkenaan dengan angka 2.1. tersebut identifikasi dampak sebaiknya didukung juga dengan teknis analogi
melalui observasi pada kegiatan atau usaha sejenis yang telah beroperasi di lokasi lain dengan maksud
untuk memperoleh informasi tentang fenomena dampak sosial yang timbul.
Beberapa komponen, sub-komponen dan parameter sosial yang dapat diidentifikasi sebagai dampak
potensial dapat dilihat pada Tabel 1: Daftar Komponen, Sub- Komponen dan Parameter Sosial terlampir.
276
2.2.Evaluasi Dampak Potensial
Evaluasi dampak potensial bertujuan menyeleksi dan menetapkan komponen dampak potensial aspek
sosial yang relevan untuk ditelaah. Dalam penetapan dampak potensial aspek sosial tersebut dapat digunakan
dengan beberapa pertanyaan seperti di bawah ini:
a. Apakah rencana usaha atau kegiatan akan menimbulkan perubahan mendasar pada struktur penduduk
(kepadatan dan komposisi penduduk), dan proses penduduk (pertumbuhan dan mobilitas penduduk)?
b. Apakah rencana usaha atau kegiatan akan menimbulkan perubahan mendasar terhadap pola pemilikan
dan penguasaan sumber daya alam, pola mata pencaharian penduduk, atau pendapatan/pengeluaran
rumah tangga ?
c. Apakah rencana usaha atau kegiatan akan menimbulkan perubahan mendasar terhadap tatanan norma
dan nilai masyarakat setempat, pranata-pranata sosial (lembaga-lembaga kemasyarakatan) yang
berkaitan dengan kekerabatan (kohesi sosial), kegiatan ekonomi, dan pemilikan sumberdaya alam
(property right) ?
Daftar dampak potensial yang diperoleh dari angka 2.2. tersebut selanjutnya dievaluasi untuk memperoleh
dampak penting sosial.
2.3.Pemusatan Dampak Penting (focussing)
Pemusatan dampak penting bertujuan untuk mengelompokkan / mengkategorisasikan dampak penting
yang telah dirumuskan sebelumnya agar diperoleh isu-isu pokok lingkungan secara utuh dan lengkap.
Dalam proses pemusatan (focussing), penyusun aspek sosial dalam AMDAL perlu memperhatikan:
a. Dampak rencana usaha atau kegiatan terhadap komponen lingkungan yang akan mengalami
perubahan mendasar (dampak penting), dan sebaliknya;
b. Dampak rencana aspek sosial yang mengakibatkan timbulnya dampak penting pada aspek fisik-kimia
dan biologi, dan sebaliknya;
c. Hubungan sebab akibat antar komponen dampak penting aspek sosial itu sendiri.

3. PELINGKUPAN WILAYAH STUDI


Berdasarkan KEPMENLH Nomor 14 tahun 1994 pada Lampiran I tentang Pedoman Umum Penyusunan KA-
ANDAL, wilayah studi ANDAL ditetapkan berdasarkan pertimbangan batas proyek, batas ekologis, batas sosial
dan batas administrasi. Berkenaan dengan penentuan batas sosial, ada beberapa langkah yang perlu ditempuh
yaitu :
3.1.Batas Proyek
Pada saat menentukan batas proyek perlu dilakukan identifikasi sebagai berikut :
a. Apakah di dalam batas proyek tersebut ada komunitas masyarakat yang struktur sosial dan atau nilai-
nilai sosial budaya yang dikandung berpotensi berubah secara mendasar akibat aktivitas pra-konstruksi
(pembebasan perolehan lahan, relokasi penduduk), konstruksi dan operasi dari rencana usaha atau
kegiatan?
Struktur sosial yang dimaksud di sini dapat berupa :
1) Struktur perekonomian masyarakat setempat (pertanian, perkebunan, perikanan, jasa dan
sebagainya);
2) Struktur kekerabatan;
3) Struktur pemilikan sumber daya alam baik yang bersifat formal maupun yang diakui/diatur oleh
adat setempat (hak ulayat);
4) Interaksi sosial yang terjalin di kalangan masyarakat setempat.
b. Apakah di dalam batas proyek tersebut terdapat situs purbakala atau hal-hal lain yang berkaitan dengan
kehidupan religi masyarakat setempat ?
3.2.Batas Ekologis
Setelah batas ekologis ditetapkan, berdasarkan pengertian yang terkandung dalam KEPMENLH Nomor 14
Tahun 1994, perlu diidentifikasi apakah didalam batas ekologis tersebut ada komunitas masyarakat yang
struktur sosial dan nilai-nilai sosial budayanya berpotensi berubah secara mendasar akibat kerusakan
sumber daya alam dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh rencana usaha atau kegiatan melalui
media air, udara dan tanah. Struktur sosial yang dimaksud disini seperti yang dimaksud dalam angka 3.1 .
tersebut di atas.
3.3.Batas Sosial
Batas sosial ditetapkan dengan mendeliniasi batas-batas terluar dengan memperhatikan :
a) Hasil identifikasi komunitas masyarakat yang terdapat dalam batas proyek sebagaimana dimaksud
pada angka 3.1.
b) Hasil identifikasi komunitas masyarakat yang terdapat dalam batas ekologi sebagaimana dimaksud
pada angka 3.2.
c) Lokasi komunikasi masyarakat yang berada di luar batas proyek dan batas ekologi namun berpotensi
terkena dampak yang mendasar dari rencana usaha atau kegiatan melalui penyerapan tenaga kerja,
pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial.
Batas-batas terluar dari komunitas masyarakat yang dimaksud pada huruf a, b dan c di atas merupakan
batas sosial. Perlu diketahui bahwa batas sosial mungkin bisa lebih luas dari batas ekologis dan batas
proyek. Contoh penetapan batas sosial seperti pada Gambar 1 terlampir.
3.4.Batas Administrasi
Batas administrasi ditetapkan berdasarkan pengertian yang terkandung dalam KEPMENLH Nomor 14 Tahun
1994 pada Lampiran 1 tentang Pedoman Umum Penyusunan KA-ANDAL.

277
Tabel I : Daftar Komponen, Sub-Komponen, dan Parameter Sosial
Perhatian : Daftar komponen, Sub komponen dan parameter aspek sosial berikut ini harus diseleksi lebih lanjut dan
disesuaikan dengan karakteristik rencana usaha atau kegiatan dan kondisi lingkungan hidup setempat (bersifat
spesifik lokasi).

Komponen Parameter
1. Demografi 1. Struktur Penduduk :
a. Komposisi penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin, mata
pencaharian, pendidikan, agama;
b. Kepadatan penduduk
2. Proses Penduduk :
2.1. Pertumbuhan Penduduk
a. tingkat kelahiran
b. tingkat kematian bayi
c. pola migrasi (sirkuler, komuter, permanen)
2.2. Mobilitas penduduk
a. migrasi masuk
b. migrasi keluar
c. pola migrasi (sirkuler, komputer, permanen)
d. pola perkembangan
3. Tenaga Kerja
a. tingkat partisipasi angkatan kerja
b. tingkat pengangguran

2. Ekonomi 1. Ekonomi Rumah Tangga


a.tingkat pendapatan
b.pola nafkah ganda
2. Ekonomi Sumber Daya Alam
a.pola pemilikan dan penguasaan sumber daya alam
b.pola pemanfaatan sumber daya alam
c. pola penggunaan lahan
d.nilai tanah dan sumber daya alam lainnya
e.Sumber daya alam milik umum (commmon property)
3. Perekonomian Lokal dan Regional
a.kesempatan kerja dan berusaha
b.nilai tambah karena proses manufaktur
c. jenis dan jumlah aktifitas ekonomi nonformal
d.distribusi pendapatan
e.efek ganda ekonomi (multiplier effect)
f. produk Domestik Regional Bruto
g.pendapatan asli daerah
h.pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
i. fasilitas umum dan fasilitas sosial
j. aksesibilitas wilayah

3. Budaya 1. Kebudayaan
a.adat-istiadat
b.nilai dan norma budaya
2. Proses sosial
a.proses asosiatif (kerjasama)
b.proses disosiatif (konflik sosial)
c. akulturasi
d.asimilasi dan integrasi
e.kohesi sosial
3. Pranata Sosial kelembagaan Masyarakat dibidang :
a.ekonomi, misal hak ulayat
b.pendidikan
c. agama
d.sosial
e.keluarga
4. Warisan Budaya
a.situs purbakala
b.cagar budaya
5. Pelapisan Sosial berdasarkan :
a.pendidikan
b.ekonomi
c. pekerjaan
d.kekuasaan
6. Kekuasan dan kewenangan :
a.kepemimpinan formal dan informal
b.kewenangan formal dan informal
c. mekanisme pengambilan keputusan di kalangan masyarakat
d.kelompok individu yang dominan
e.pergeseran nilai kepemimpinan
7. Sikap dan Persepsi Masyarakat terhadap rencana usaha atau kegiatan
8. Adaptasi Ekologis .

278
Keterangan Gambar 1
1. Rencana kegiatan yang dibangun terletak di daerah persawahan padi.
Areal rencana kegiatan diperoleh dengan cara; pengalihan status lahan milik masyarakat setempat (ganti rugi
lahan). Limbah cair direncanakan dibuang di sungai (7) setelah melalui instalasi pengolahan air limbah (2).
2. Lokasi instalasi pengolahan air limbah yang direncanakan dibangun.
Air limbah yang telah melalui proses instalasi pengolahan air limbah dialirkan ke sungai X (disimbolkan dengan
angka 7).
3. Jalur pipa air untuk mengalirkan air dari danau buatan yang akan direncanakan dibangun.
4. Danau buatan yang dibangun oleh rencana kegiatan khusus untuk menampung air hujan dan aliran permukaan
dari daerah sekitarnya. Air dari danau buatan digunakan untuk keperluan pabrik dan keperluan domestik.
5. Ruas jalan yang akan dibangun lahan untuk ruas jalan diperoleh dengan cara ganti rugi lahan. Ruas jalan yang
dibangun menghubungkan lokasi rencana kegiatan dengan jalan propinsi.
6. Jalan propinsi yang akan digunakan oleh rencana kegiatan untuk keperluan mobilisasi peralatan dan bahan
baik pada saat konstruksi dan operasi, serta pengangkutan hasil produksi. Disepanjang jalan propinsi ini
terdapat pemukiman penduduk setempat yang telah menghuni daerah ini sebelum rencana kegiatan dibangun.
7. Sungai X merupakan sungai penerima air limbah rencana kegiatan dibangun di lokasi tersebut. Sungai X akan
mengalir ke saluran irigasi Y (disimbolkan dengan angka 8). Di sekitar sungai ini juga terdapat pemukiman
penduduk setempat yang telah lama menghuni daerah ini.
8. Bila rencana kegiatan beroperasi, saluran irigasi Y akan menerima air limbah yang terangkut melalui sungai X.
Di sekitar saluran irigasi ini juga terdapat pemukiman penduduk.
Batas sosial yang terdapat pada gambar 1 ditetapkan dengan mengikuti teknik penetapan batas sosial sebagaimana
terdapat pada gambar 1 ditetapkan dengan mengikuti teknik penetapan batas sosial sebagaimana terdapat pada
lampiran II angka 5 tentang Pelingkupan Wilayah Studi.

279
Lampiran III : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : KEP-299/11/1996
TANGGAL : 4 November 1996

PEDOMAN TEKNIS KAJIAN ASPEK SOSIAL DALAM PENYUSUNAN


ANALISlS DAMPAK LINGKUNGAN (ANDAL)

Dalam penyusunan aspek sosial dalam ANDAL perlu diuraikan :


a. Metode pengumpulan dan analisis data sosial, serta metode prakiraan dan evaluasi dampak;
b. Uraian rencana usaha atau kegiatan;
c. Rona lingkungan hidup;
d. Prakiraan dampak penting;
e. Dan evaluasi dampak penting.

A. METODA PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA, METODA PRAKIRAAN DAN EVALUASI DAMPAK
Bagian ini menguraikan metoda pengumpulan dan analisis data, metoda prakiraan, dan evaluasi dampak yang
akan digunakan dalam penyusunan AMDAL. Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa hal penting yang
perlu dipahami terlebih dahulu :
a. Lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan wilayah studi yang digariskan dalam Kerangka Acuan (KA);
b. Komponen lingkungan yang diteliti merupakan penjabaran dari isu pokok aspek sosial yang terdapat dalam
KA;
c. Komponen lingkungan sosial yang diteliti harus bersifat spesifikasi lokasi, sehingga tidak selalu seluruh
komponen aspek sosial yang terdapat dalam Pedoman Umum Penyusunan ANDAL (KEPMENLH Nomor 14
Tahun 1994) dan dalam Tabel 1 paduan ini diteliti untuk setiap usaha atau kegiatan wajib AMDAL.
d. Huruf c tersebut di atas membuka kemungkinan bahwa komponen aspek sosial yang tertera pada KA-
ANDAL dapat mengalami penambahan atau pengurangan sepanjang terjalin keterkaitan yang antar aspek
fisik-kimia, biologi dan sosial.
Sebagai alat bantu untuk melengkapi huruf c dan d tersebut di atas, penyusunan aspek sosial dalam ANDAL
dapat memanfaatkan Pedoman Teknis, dokumen-dokumen ANDAL dari kegiatan-kegiatan sejenis (untuk
keperluan analogi), referensi (data statistik, peta, rujukan), dan pustaka lainnya.

1. METODA PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA


1.1.Dampak penting aspek sosial dari suatu rencana usaha atau kegiatan pada umumnya tidak menyebar
secara merata di seluruh kelompok dan lapisan masyarakat.
Dengan demikian dalam menetapkan/memilih metode pengumpulan data dan analisis data yang relevan,
baik yang bersifat kuantitatif atau kualitatif perlu mempertimbangkan :
a. Perubahan mendasar atau dampak penting sosial yang dialami oleh kelompok atau lapisan masyarakat
yang akan ditelaah;
b. Satuan analisis (rumah tangga, desa, kabupaten, propinsi) yang akan diukur;
c. Ukuran-ukuran yang bersifat penting menurut pandangan masyarakat (emic) disekitar rencana usaha
atau kegiatan;
d. Ketersediaan tenaga, waktu dan dana.
1.2.Beberapa metode pengumpulan data yang dapat dipergunakan antara lain :
a. Observasi/pengamatan lapangan;
b. Pengumpulan data sekunder;
Melalui teknik ini, data dan informasi yang berupa hasil-hasil penelitian, bahan-bahan pustaka dan
bahan-bahan lain yang relevan dikumpulkan dari berbagai instansi terkait.
c. Wawancara dengan kuesioner;
Pengumpulan data pada sejumlah responden terpilih melalui wawancara dengan kuesioner yang
terstruktur.
d. Wawancara mendalam (indepth interview).
Wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat atau orang-orang yang dianggap mengetahui
tentang kondisi masyarakat setempat, dengan menggunakan pedoman pertanyaan.
e. Diskusi kelompok terarah (focussed group discussion) .
Diskusi ini dilakukan dalam kelompok kecil (5-7 orang) yang homogen untuk menghimpun pendapat,
pandangan dan aspirasi mereka.
Metode pengumpulan data yang disebutkan di atas sebaiknya digunakan secara simultan dengan maksud
agar diperoleh keabsahan dan ketelitian yang tinggi.
1.3.Sampel (responden) yang dipilih harus dapat mewakili populasi suatu kelompok dan lapisan masyarakat
tertentu yang terkena dampak. Beberapa teknik pengambilan sampel yang dapat dipergunakan antara lain :
a. Teknik pengambilan sampel secara proporsional;
b. Teknik pengambilan sampel secara purposive;
c. Teknik pengambilan sampel secara acak (random).
Teknik pengambilan sampel yang dipilih harus mempertimbangkan karakteristik dampak penting yang akan
timbul dan kondisi sosial masyarakat.
Jumlah sampel ditetapkan berdasarkan kriteria berikut ini :
a. Derajat keseragaman (homogenitas) dari populasi.
Makin seragam populasi yang diteliti makin kecil jumlah sampel yang akan diambil.
b. Presisi (ketetapan/akurasi) yang dikehendaki.
Makin tinggi tingkat presisi yang dikehendaki, makin besar jumlah sampel yang harus diambil.
c. Kedalaman analisis yang ingin diperoleh, semakin dalam analisis yang diinginkan semakin besar
jumlah sampel yang dibutuhkan.
1.4.Metoda analisis data yang dapat digunakan antara lain :
a. Metoda analisis yang bersifat kuantitatif, seperti analisis statistik;
b. Metode analisis yang bersifat kualitatif, seperti analisis isi (content analysis)

280
1.5.Data ekonomi sedapat mungkin diberi nilai moneter (valuation) karena sebagian besar indikator-indikator
ekonomi dapat dikuantifikasi. Sehubungan dengan itu ada tiga (3) metode pemberian penilaian moneter
yaitu :
a. Penggunaan secara langsung berdasarkan harga pasar atau produktifitas (market-based Methods).
Metode ini terdiri dari tiga (3) pendekatan :
1) Pendekatan perubahan produktivitas (change of productivity)
2) Pendekatan hilangnya mata pencaharian/penghasilan (loss of learning approach).
3) Pendekatan pembatasan pengeluaran (defendive expenditures approach).
b. Penggunaan pengganti harga pasar (surrogate market value).
Metode ini terdiri dari empat (4) pendekatan:
1) Pendekatan nilai kepemilikan (property value approach).
2) Pendekatan pembedaan upah (wage differences approach).
3) Pendekatan biaya perjalanan (travel cost approach).
4) Pendekatan yang dikaitkan dengan nilai barang/komoditi tertentu sebagai penduga (hedonic pric-
ing).
c. Metode pasar buatan (constructed market) yang berdasar pada potensi pengeluaran atau kesediaan
untuk membayar atau menerima (potential expenditures willingness to pay or to accept) yang terdiri dari
tiga (3) pendekatan :
1) Pendekatan biaya pengganti (replacement cost approach).
2) Pendekatan harga bayangan (shadow project approach).
3) Pendekatan nilai kontingensi (contingent valuation approach) .
Untuk indikator ekonomi yang nilai moneternya tidak bisa dianalisis dengan akurat, diperlukan value judge-
ment dari penyusun AMDAL. Caranya antara lain dengan menggunakan analogi terhadap fenomena-fenomena
dampak penting yang timbul menurut dokumen AMDAL sejenis.
Data sosial aspek lainnya yang memungkinkan diberi nilai moneter hendaknya dilakukan pula valuasi.

2. METODE PRAKIRAAN DAMPAK


Prakiraan dampak merupakan telaahan yang menganalisis perbedaan antara kondisi kualitas lingkungan yang
diprakirakan akan terjadi akibat adanya rencana usaha atau kegiatan, dengan kondisi kualitas lingkungan yang
diprakirakan akan terjadi bila tidak ada rencana usaha atau kegiatan (pendekatan with and without project) Salah
satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memprakirakan (besar) dampak sosial adalah dengan penggunaan
teknik analogi.
Melalui pendekatan ini besar dampak suatu rencana usaha atau kegiatan (disimbolkan P) terhadap suatu
kelompok masyarakat (disimbolkan Xp), diukur dengan cara mengukur dampak yang telah terjadi pada kelompok
masyarakat yang berciri sama dengan masyarakat Xp (disimbolkan Xp*), yang terkena proyek serupa (disimbolkan
P*) di lokasi lain. Besar dampak proyek P* terhadap masyarakat Xp* ini dapat menjadi prakiraan dampak proyek
P terhadap masyarakat Xp: Ilustrasi berikut memperjelas hal dimaksud.

Kelompok Masyarakat Xp*


Kelompok Masyarakat Xp* dengan proyek P* di lokasi
pada saat tanpa Proyek P* lain

Proyek P*

Dasar prakiraan

Prakiraan dampak

Kelompok Masyarakat Xp* -- -- -- -- -- -- Kelompok Masyarakat Xp*


tanpa Proyek P tanpa Proyek P di lokasi Kelompok Masyarakat Xp
studi ANDAL dengan Proyek P

Waktu

Saat lalu Saat studi ANDAL Saat mendatang

Besar dampak, termasuk yang mempunyai nilai moneter, dapat diukur melalui dua metode berikut ini :
a. Metode Formal, antara lain :
1) Proyeksi penduduk (teknik ekstrapolasi)
2) Analisis kecenderungan (trend analysis)
3) Analisis deret waktu (time series analysis)
b. Metode Informal, antara lain :
1) Penilaian pakar (professional judgement)
2) Komparatif antar budaya (cross cultural)
3) Teknis analogi
4) Metode delphi
Adapun sifat penting dari besar dampak sosial yang akan terjadi ditelaah dengan mengacu pada Pedoman
Mengenai Ukuran Dampak Penting (Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 056 Tahun 1994)

281
3. METODE EVALUASI DAMPAK
Evaluasi dampak merupakan kajian yang bersifat holistik, yakni telaahan secara total terhadap beragam dampak
lingkungan. Beragam dampak penting lingkungan tersebut ditelaah sebagai satu kesatuan yang saling terkait
dan saling pengaruh-mempengaruhi.
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak secara holistik diantaranya adalah :
a. USGS Matrix (Matrik Leopold)
b. Bagan Alir Dampak
c. Evironmental Evaluation System (EES)
d. Matrik Tiga Tahap Fischer dan Davies
e. Extended Cost Benefit Analysis
Perlu diketahui, masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangan, sehingga relatif tidak ada
metode evaluasi dampak yang bisa digunakan untuk semua jenis studi ANDAL.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih metode evaluasi dampak yang tepat untuk studi ANDAL,
adalah :
a. Bersifat komprehensif, metode tersebut mampu menggambarkan keterkaitan antar komponen dampak
penting lingkungan sebagai akibat dari suatu rencana usaha atau kegiatan;
b. Bersifat fleksibel, metode tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi berbagai dampak penting dari
rencana usaha atau kegiatan yang ukuran, satuan, dan skalanya berbeda serta dampaknya berbeda;
c. Bersifat dinamis, metode tersebut sesuai dengan kondisi rona lingkungan dan karakteristik rencana
usaha atau kegiatan yang ditelaah;
d. Bersifat analitis, metode tersebut memenuhi syarat-syarat ilmiah;
e. Bila metode yang dipakai menggunakan skala dan atau bobot maka proses peleburan (amalgamasi)
harus dilakukan secara benar, dalam arti proses peleburan nilai-nilai yang satuannya berbeda harus
dilakukan melalui proses yang secara ilmiah dibenarkan. Disamping itu bila menggunakan bobot atau
skala, sejauh mungkin penyusun aspek sosial ANDAL memperhatikan atau menghimpun masukan
dari masyarakat yang terkena dampak;
f. Metode tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi rencana usaha atau kegiatan untuk pengambilan
keputusan.

B. URAIAN RENCANA USAHA ATAU KEGIATAN


Agar kajian dampak penting aspek sosial dapat ditelaah mendalam, maka uraian rencana usaha atau kegiatan
perlu memuat data dan informasi yang antara lain mencakup :
1. Kebijaksanaan dan cara pembebasan/perolehan lahan
2. Penyerapan tenaga kerja khususnya dari masyarakat setempat
3. Rencana pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial
4. Rencana pengembangan ekonomi masyarakat setempat.

C. RONA LINGKUNGAN HIDUP


Rona lingkungan harus menggambarkan kondisi lingkungan sosial di wilayah studi, terutama aspek-aspek
sosial yang menurut dokumen Kerangka Acuan (KA) akan terkena dampak penting dari rencana usaha atau
kegiatan. Dengan demikian rona lingkungan hidup harus bersifat spesifik lokasi dan menggambarkan kondisi
lingkungan sosial pada saat studi ANDAL berlangsung.
Sehubungan dengan hal tersebut maka data aspek sosial yang disajikan dalam rona lingkungan harus dibatasi
pada hal-hal yang mempunyai relevansi dan keterkaitan yang erat dengan prakiraan dan evaluasi dampak.
Dengan demikian, tidak seluruh komponen sosial harus diungkapkan dalam rona lingkungan hidup.

D. PRAKIRAAN DAMPAK PENTING


1. Setiap komponen lingkungan yang diprakirakan mengalami perubahan mendasar (dampak penting) dibahas
melalui sistematika sebagai berikut :
a. Pada bagian pertama, utarakan penyebab timbulnya (sumber) dampak, sebagai misal :
1 ) Dampak terhadap pendapatan masyarakat di sekitar rencana usaha atau kegiatan timbul sebagai
dampak lanjutan dari perubahan pencaharian dan kesempatan berusaha.
2) Persepsi masyarakat terhadap rencana usaha atau kegiatan timbul sebagai akibat dari berubahnya
tingkat pendapatan, kondisi kesehatan masyarakat di sekitar proyek dan penyerapan tenaga kerja
oleh proyek.
b. Pada bagian dua, uraian tentang prakiraan besar dampak yang dilakukan dengan cara menganalisa
perbedaan kualitas lingkungan pada kondisi dengan dan tanpa adanya usaha kegiatan dengan
menggunakan metode yang telah diutarakan pada huruf A.2. mengenai Metode Prakiraan Dampak.
Disamping itu ditelaah pula arah perubahan dampak tersebut dari segi positif dan atau negatif.
Untuk studi AMDAL Kawasan, Terpadu/multisektor, dan Regional perlu diberikan perhatian yang besar
pada prakiraan dampak yang bersifat kumulatif.
c. Pada bagian tiga, diuraikan sifat penting dari besar dampak sosial yang telah diutarakan pada huruf b
tersebut di atas ditinjau dari kepentingan masyarakat, pemerintah maupun pakar dengan mengacu
pada Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting (Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 056 Tahun
1994)
d. Pada bagian keempat, bila dampak penting sosial yang telah diutarakan pada huruf a, b, dan c tersebut
di atas menimbulkan dampak lanjutan, maka uraikan sub-komponen atau parameter yang terkena
dampak lanjutan tersebut.
2. Sistem bahasan sebagaimana pada angka 1 tersebut di atas berlaku pula untuk dampak penting yang
mempunyai nilai moneter.
3. Mengingat adanya alternatif teknologi atau lokasi dari suatu rencana usaha atau kegiatan, maka dampak
penting aspek sosial untuk setiap alternatif perlu diprakirakan sesuai sistematika angka 1.

E. EVALUASI DAMPAK PENTING


1. Evaluasi dampak penting dilakukan dengan sistematika sebagai berikut :
a. Pada bagian pertama, uraikan isu-isu pokok lingkungan yang terdapat dalam dokumen Kerangka
Acuan (KA) dan komponen dampak penting lingkungan hasil dari prakiraan dampak penting;
b. Pada bagian kedua, dibahas/ditelaah secara holistik (komprehensip) dampak penting lingkungan (fisik-
kimia, biologi dan sosial), baik yang positif maupun negatif, dengan menggunakan metode yang telah
diuraikan pada huruf A.3. mengenai Metode Evaluasi Dampak;
c. Pada bagian ke tiga, bila ada alternatif lokasi atau teknologi dari rencana usaha atau kegiatan maka

282
lakukan evaluasi dampak penting terhadap masing-masing alternatif tersebut. Hasil evaluasi tersebut
harus dapat menjadi dasar untuk pengambilan keputusan atas kelayakan lingkungan dari rencana
usaha atau kegiatan.
2. Evaluasi dampak juga dilakukan pada komponen-komponen dampak penting yang mempunyai nilai moneter,
sehingga diperoleh gambaran mengenai biaya eksternal yang akan ditanggung atau dinikmati oleh masyarakat
dan atau pemrakarsa.
3. Apabila Analisa Dampak Lingkungan menyimpulkan bahwa dampak negatif tidak dapat ditanggulangi
berdasarkan ilmu dan teknologi, atau biaya penanggulangan dampak negatif lebih besar dibandingkan
dengan hasil dampak positifnya; maka instansi yang bertanggung jawab dapat memutuskan menolak rencana
usaha atau kegiatan yang bersangkutan (Pasal 11 ayat 1 PP 51/1993)

LAMPIRAN IV : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN


NOMOR : KEP-299/11/1996
TANGGAL : 4 November 1996

PEDOMAN TEKNIS KAJIAN ASPEK SOSIAL PENYUSUNAN


PENGELOLAAN LINGKUNGAN (RKL)

Di dalam merumuskan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) bagi aspek sosial dalam Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Rencana pengelolaan lingkungan harus secara jelas mengutarakan upaya-upaya yang akan ditempuh untuk
mencegah, mengendalikan, dan menanggulangi dampak penting sosial yang akan timbul. Disamping itu juga
harus diutarakan pada kelompok atau lapisan masyarakat mana, di lokasi mana, bilamana, dan pihak mana
yang akan melaksanakan pengelolaan lingkungan.
2. Pihak yang melaksanakan pengelolaan lingkungan tidak hanya pemrakarsa saja melainkan juga dapat instansi
pemerintah dan atau masyarakat yang berkepentingan, sejauh terdapat :
a. Kesempatan antara pemrakarsa dan instansi pemerintah atau masyarakat yang berkepentingan dalam
melaksanakan pengelolaan lingkungan;
b. Kewenangan menangani atau mengelola dampak penting tertentu tidak berada pada pemrakarsa (misal,
dampak penting berupa timbulnya prostitusi disekitar rencana usaha atau kegiatan).
3. Upaya pengelolaan lingkungan aspek sosial ditempuh dengan cara mencegah, mengendalikan, dan
menanggulangi sumber dampak penting tersebut, baik yang bersumber dari aspek fisik-kimia, biologi, dan
kesehatan masyarakat maupun dari aspek sosial itu sendiri. Upaya pengelolaan lingkungan tersebut perlu
memperhatikan kepentingan masyarakat, pemerintah maupun pertimbangan pakar.
4. Bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam mencegah, menanggulangi dan mengendalikan dampak antara
lain dapat berupa, pembentukan forum komunikasi lingkungan untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan
yang timbul, yang anggotanya terdiri dari pemrakarsa, masyarakat sekitar yang terkena dampak, unsur-unsur
pemerintah daerah setempat, serta instansi sektoral terkait.
Disamping itu pranata sosial yang sudah ada di masyarakat didayagunakan untuk mengatasi masalah-masalah
lingkungan yang timbul.
5. Kompensasi kepada masyarakat yang terkena dampak, yang merupakan salah satu bentuk pengelolaan
lingkungan, harus mempertimbangkan prinsip saling menguntungkan berdasarkan kesepakatan pihak-pihak
yang terkait.

LAMPIRAN V : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN


NOMOR : KEP-299/11/1996
TANGGAL : 4 November 1996

PEDOMAN TEKNlS KAJIAN ASPEK SOSIAL DALAM PENYUSUNAN


RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)

Di dalam merumuskan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) bagi aspek sosial dalam Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Manfaat Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) adalah :
a. Sebagai alat untuk menguji efektifitas kegiatan pengelolaan lingkungan;
b. Sebagai masukan untuk penyempurnaan kegiatan pengelolaan lingkungan;
c. Sebagai alat bukti untuk melindungi adanya tuntutan kerusakan atau pencemaran lingkungan;
d. Sebagai isyarat dini tentang adanya gejala-gejala pencemaran dan kerusakan lingkungan sehingga upaya
pencegahan dapat dilakukan;
e. Sebagai sarana untuk uji hipotesis dampak penting yang dinyatakan dalam dokumen ANDAL.
2. Dalam merancang pemantauan lingkungan bagi aspek sosial, pemrakarsa sebaiknya tidak hanya mengandalkan
data yang diperoleh dari instrumen atau alat ukur yang dimiliki, melainkan juga perlu mendayagunakan informasi
tentang kualitas lingkungan dari masyarakat yang terkena dampak. Bila untuk keperluan tersebut digunakan
respon, maka di dalam dokumen perlu diutarakan teknik pengambilan sampel yang digunakan, jumlah sampel,
dan lokasi pengambilan sampel secara jelas.
3. Komponen lingkungan yang dipantau difokuskan pada dampak penting yang sekaligus berfungsi sebagai alat
untuk menguji efektifitas kegiatan pengelolaan lingkungan.
4. Pihak yang melaksanakan pemantauan lingkungan tidak hanya pemrakarsa saja melainkan dapat juga dilakukan
oleh instansi pemerintah dan atau masyarakat yang berkepentingan, sejauh terdapat :
a. Kesepakatan antara pemrakarsa dan instansi pemerintah atau masyarakat yang berkepentingan dalam
melaksanakan pemantauan lingkungan.
b. Kewenangan memantau dampak penting tertentu tidak berada pada pemrakarsa. Misalkan, memantau
dampak penting terhadap pertumbuhan sektor informal disekitar rencana usaha atau kegiatan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Nopember 1996
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
283
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : KEP-56/3/1994
TENTANG
PEDOMAN MENGENAI DAMPAK PENTING

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Dampak
Lingkungan perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang
Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3215);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara RI Nomor 49 Tahun 1990, Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 3419);
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara RI Nomor
115 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3501);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Dampak Lingkungan (Lembaran
Negara Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3538);
5. Keputusan Presiden RI Nomor 23 Tahun 1990 tentang Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PEDOMAN MENGENAI UKURAN DAMPAK PENTING

Pertama : Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran
keputusan ini.

Kedua : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan bilamana dikemudian hari terdapat
kekeliruan, maka keputusan ini akan ditinjau kembali.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Maret 1994

Kepala Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

284
LAMPIRAN
KEPUTUSAN BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : KEP-56/3/1994
TANGGAL : 18 Maret 1994

PEDOMAN MENGENAI UKURAN DAMPAK PENTING

I. PENGERTIAN

1. Dampak penting adalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha
atau kegiatan; Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 1982, menyatakan bahwa setiap rencana kegiatan yang
diperkirakan akan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan AMDAL.

2. Dampak penting suatu usaha atau kegiatan menurut Penjelasan Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 1982, dan
Pasal 2 dan Pasal 3 PP Nomor 51 Tahun 1993 ditentukan oleh faktor-faktor berikut:
a. Jumlah manusia yang akan terkena dampak,
b. Luas wilayah persebaran dampak,
c. Lamanya dampak berlangsung,
d. Intensitas dampak,
e. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak,
f. Sifat kumulatif dampak,
g. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak.

3. Masing-masing faktor sebagaimana dimaksud datam butir 2 tersebut memiliki seperangkat kriteria dampak
penting, yakni ukuran, standar tertentu atau prinsip-prinsip tertentu. Ukuran dampak penting tersebut digunakan
untuk menilai apakah suatu rencana usaha atau kegiatan dapat menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan atau tidak.

4. Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini merupakan
petunjuk dasar yang memberi arah apakah suatu rencana usaha atau kegiatan mempunyai dampak penting
terhadap lingkungan.

5. Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting digunakan untuk keperluan penapisan rencana usaha atau
kegiatan dan penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), termasuk bagi keperluan AMDAL kegiatan
Terpadu/Multisektor, AMDAL kawasan dan AMDAL Regional.

6. Untuk menentukan penting tidaknya dampak lingkungan akibat dilaksanakannya suatu rencana usaha atau
kegiatan perlu juga diperhatikan peraturan perundangan yang berlaku baik di dalam maupun diluar wilayah
negara Republik Indonesia.

7. Suatu rencana usaha atau kegiatan yang akan dibangun di kawasan lindung yang telah berubah
peruntukkannya atau lokasi rencana usaha atau kegiatan tersebut berbatasan langsung dengan kawasan
lindung, termasuk dalam kategori menimbulkan dampak penting.
Yang dimaksud dengan kawasan lindung menurut Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang adalah sebagai berikut :
a. Kawasan Hutan Lindung
b. Kawasan Bergambut
c. Kawasan Resapan Air
d. Sempadan Pantai
e. Sempadan Sungai
f. Kawasan Sekitar Danau/Waduk
g. Kawasan Sekitar Mata Air
h. Kawasan Suaka Alam (terdiri dari Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Wisata, Daerah Perlindungan
Plasma Nutfah, dan Daerah Pengungsian Satwa)
i. Kawasan Suaka Alam Laut dan Perairan lainnya (termasuk perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir,
muara sungai, gugusan karang atau terumbu karang, dan atol yang mempunyai ciri khas berupa
keragaman dan/atau keunikan ekosistem)
j. Kawasan Pantai Berhutan Bakau (mangrove)
k. Taman Nasional
l. Taman Hutan Raya
m. Taman Wisata Alam
n. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan (termasuk daerah karst berair, daerah dengan budaya
masyarakat istimewa, daerah lokasi situs purbakala atau peninggalan sejarah bernilai tinggi)
o. Kawasan Rawan Bencana Alam

II. UKURAN DAMPAK PENTING TERHADAP LINGKUNGAN

1. Ukuran dampak penting terhadap lingkungan, perlu disertai dengan dasar pertimbangan sebagai berikut :
a. Bahwa penilaian pentingnya dampak terhadap lingkungan berkaitan secara relatif dengan besar kecilnya
rencana usaha atau kegiatan, hasil guna dan daya gunanya, bila rencana usaha atau kegiatan tersebut
dilaksanakan.
b. Bahwa penilaian pentingnya dampak terhadap lingkungan dapat pula didasarkan pada dampak usaha
atau kegiatan tersebut terhadap salah satu aspek lingkungan saja, atau dapat juga terhadap kesatuan
dan tata kaitannya dengan aspek-aspek lingkungan lainnya dalam batas wilayah studi yang telah
ditentukan.

285
c. Bahwa penilaian pentingnya dampak terhadap lingkungan atas dasar kemungkinan timbulnya dampak
positif atau dampak negatif tak boleh dipandang sebagai faktor yang masing-masing berdiri sendiri,
melainkan harus diperhitungkan bobotnya guna dipertimbangkan hubungan timbal baliknya untuk
mengambil keputusan.

2. Pedoman mengenai ukuran dampak penting


a. Jumlah Manusia yang Akan Terkena Dampak
Setiap rencana usaha atau kegiatan mempunyai sasaran sepanjang menyangkut jumlah manusia
yang diperkirakan akan menikmati manfaat dari rencana usaha atau kegiatan itu bila nanti usaha atau
kegiatan tersebut dilaksanakan. Namun demikian, dampak lingkungan, baik yang bersikap negatif
maupun positif yang mungkin ditimbulkan oleh suatu usaha atau kegiatan, dapat dialami oleh baik
sejumlah manusia yang termasuk maupun yang tak termasuk dalam sasaran rencana usaha atau
kegiatan.
Mengingat pengertian manusia yang akan terkena dampak mencakup aspek yang luas, maka kriteria
dampakpenting dikaitkan dengan sendi-sendi kehidupan yang di kalangan masyarakat luas berada
dalam posisi atau mempunyai nilai yang penting. Karena itu, dampak lingkungan suatu rencana usaha
atau kegiatan, yang penentuannya didasarkan pada perubahan sendi-sendi kehidupan pada masyarakat
tersebut dan jumlah manusia yang terkena dampak menjadi penting bila manusia di wilayah studi
ANDAL yang terkena dampak lingkungan tetapi tidak menikmati manfaat dari usaha atau kegiatan,
jumlahnya sama atau lebih besar dari jumlah manusia yang menikmati manfaat dari usaha atau
kegiatan di wilayah studi. Adapun yang dimaksud dengan manfaat dari usaha atau kegiatan adalah
manusia yang secara langsung menikmati produk suatu rencana usaha atau kegiatan dan atau yang
diserap secara langsung sebagai tenaga kerja pada rencana usaha atau kegiatan.

b. Luas Wilayah Persebaran Dampak


Luas wilayah persebaran dampak merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan pentingnya
dampak terhadap lingkungan. Dengan demikian dampak lingkungan suatu rencana usaha atau kegiatan
bersifat penting bila: rencana usaha atau kegiatan mengakibatkan adanya wilayah yang mengalami
perubahan mendasar dari segi intensitas dampak, atau tidak berbaliknya dampak, atau segi kumulatif
dampak.

c. Lamanya Dampak Berlangsung


Dampak lingkungan suatu rencana usaha atau kegiatan dapat berlangsung pada suatu tahap tertentu
atau pada berbagai tahap dari kelangsungan usaha atau kegiatan. Dengan kata lain dampak suatu
usaha atau kegiatan ada yang berlangsung relatif singkat, yakni hanya pada tahap tertentu dari siklus
usaha atau kegiatan (perencanaan, konstruksi, operasi, pasca operasi); namun ada pula yang
berlangsung relatif lama, sejak tahap konstruksi hingga masa pasca operasi usaha atau kegiatan.
Berdasarkan pengertian ini dampak lingkungan bersifat penting bila: rencana usaha atau kegiatan
mengakibatkan timbulnya perubahan mendasar dari segi intensitas dampak atau tidak berbaliknya
dampak, atau segi kumulatif dampak yang berlangsung hanya pada satu atau lebih tahapan kegiatan.

d. Intensitas Dampak
Intensitas dampak mengandung pengertian perubahan lingkungan yang timbul bersifat hebat, atau
drastis. Serta berlangsung di area yang relatif luas, dalam kurun waktu yang relatif singkat. Dengan
demikian dampak lingkungan tergolong penting bila:
1. Rencana usaha atau kegiatan akan menyebabkan perubahan pada sifat-sifat fisik dan atau hayati
lingkungan yang melampaui baku mutu lingkungan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
2. Rencana usaha atau kegiatan akan menyebabkan perubahan mendasar pada komponen
lingkungan yang melampaui kriteria yang diakui, berdasarkan pertimbangan ilmiah.
3. Rencana usaha atau kegiatan akan mengakibatkan spesies-spesies yang langka dan atau
endemik, dan atau dilindungi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku terancam
punah; atau habitat alaminya mangalami kerusakan.
4. Rencana usaha atau kegiatan menimbulkan kerusakan atau gangguan terhadap kawasan lindung
(hutan lindung, cagar alam, taman nasional, suaka margasatwa, dan sebagainya) yang telah
ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan;
5. Rencana usaha atau kegiatan akan merusak atau memusnahkan benda-benda dan bangunan
peninggalan sejarah, yang bernilai tinggi;
6. Rencana usaha atau kegiatan akan mengakibatkan konflik atau kontroversi dengan masyarakat,
pemerintah daerah, atau pemerintah pusat, dan atau menimbulkan konflik atau kontroversi di
kalangan masyarakat, pemerintah daerah atau pemerintah pusat;
7. Rencana usaha atau kegiatan mengubah atau memodifikasi areal yang mempunyai nilai keindahan
alami yang tinggi;

e. Banyaknya Komponen Lingkungan Lain Yang Terkena Dampak


Mengingat komponen lingkungan hidup pada dasarnya tidak ada yang berdiri sendiri, atau dengan kata

286
lain satu sama lain saling terkait dan pengaruh mempengaruhi, maka dampak pada suatu komponen
lingkungan umumnya berdampak lanjut pada komponen lingkungan lainnya. Atas dasar pengertian ini
dampak tergolong penting bila: Rencana usaha atau kegiatan menimbulkan dampak sekunder dan
dampak lanjutan lainnya yang jumlah komponennya lebih atau sama dengan komponen lingkungan
yang terkena dampak primer.

f. Sifat Kumulatif Dampak


Kumulatif mengandung pengertian bersifat bertambah, bertumpuk, atau bertimbun. Dampak suatu
usaha atau kegiatan dikatakan bersifat kumulatif bila pada awalnya dampak tersebut tidak tampak atau
tidak dianggap penting, tetapi karena aktivitas tersebut bekerja berulang kali atau terus menerus, maka
lama kelamaan dampaknya bersifat kumulatif.
Dengan demikian dampak suatu usaha atau kegiatan tergolong penting bila:
1. Dampak lingkungan berlangsung berulang kali dan terus menerus, sehingga pada kurun waktu
tertentu tidak dapat diasimilasi oleh lingkungan alam atau sosial yang menerimanya;
2. Beragam dampak lingkungan bertumpuk dalam suatu ruang tertentu, sehingga tidak dapat
diasimilasi oleh lingkungan alam atau sosial yang menerimanya;
3. Dampak lingkungan dari berbagai sumber kegiatan menimbulkan efek yang saling memperkuat
(sinergetik).

g. Berbalik atau Tidak Berbaliknya Dampak


Dampak kegiatan terhadap lingkungan ada yang bersifat dapat dipulihkan, namun ada pula yang tidak
dapat dipulihkan walau dengan intervensi manusia sekalipun. Dalam hal ini maka dampak bersifat
penting bila: Perubahan yang akan dialami oleh suatu komponen lingkungan tidak dapat dipulihkan
kembali walaupun dengan intervensi manusia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Maret 1994

Kepala Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

287
AUDIT LINGKUNGAN

288
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 30 TAHUN 2001
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN HIDUP YANG DIWAJIBKAN

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Menteri berwenang memerintahkan kepada penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan untuk melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan;
b. bahwa agar pelaksanaan audit lingkungan hidup yang diwajibkan dapat dilakukan secara efektif
maka diperlukan suatu pedoman;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup Yang Diwajibkan;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1991 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3434);
4. Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;
5. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN AUDIT


LINGKUNGAN HIDUP YANG DIWAJIBKAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Audit Lingkungan hidup yang diwajibkan adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan oleh penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan berdasarkan perintah Menteri atas ketidakpatuhan penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang terkait dengan
kegiatan tersebut.
2. Auditor Lingkungan adalah seseorang yang memiliki kualifikasi untuk melaksanakan audit lingkungan.
3. Tim Audit adalah sekelompok atau seorang auditor yang diberi tugas untuk melaksanakan audit dan tim audit
juga dapat beranggotakan tenaga ahli teknis.
4. Tim Evaluasi adalah sekelompok orang yang ditugaskan oleh Menteri untuk melaksanakan evaluasi terhadap
masukan, informasi dan usulan untuk melakukan perintah audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
5. Tim Verifikasi adalah sekelompok orang yang ditugaskan oleh Menteri untuk melaksanakan verifikasi terhadap
laporan hasil audit lingkungan yang diwajibkan.
6. Pihak yang berkepentingan adalah orang seorang, kelompok orang, termasuk masyarakat hukum adat atau
badan hukum yang terkena dampak langsung atau berpotensi terkena dampak dan ketidakpatuhan, dan
organisasi lingkungan hidup.
7. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.
8. Instansi yang bertanggung jawab di daerah adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian
dampak lingkungan di daerah Propinsi/Kabupaten/Kota atau instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengelolaan lingkungan hidup di daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2
Ruang lingkup audit lingkungan hidup yang diwajibkan meliputi evaluasi masukan atau informasi, kriteria
ketidakpatuhan, pelaksanaan, dan verifikasi laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan akibat
ketidakpatuhan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup.

289
BAB III
TUJUAN, FUNGSI DAN MANFAAT

Pasal 3
(1) Tujuan audit lingkungan hidup yang diwajibkan :
a. untuk mengetahui tingkat ketidakpatuhan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;
b. memberikan uraian tentang penyebab terjadinya ketidakpatuhan, termasuk apabila terdapat pelanggaran
dan atau ketidaktepatan penerapan kebijaksanaan di bidang lingkungan hidup;
c. memberikan rekomendasi atas temuan-temuan pelaksanaan audit.
(2) Fungsi audit Iingkungan hidup yang diwajibkan merupakan salah satu instrumen penaatan atas ketidakpatuhan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengelola
Iingkungan hidup.
(3) Manfaat pelaksanaan audit Iingkungan hidup yang diwajibkan:
a. meningkatkan penaatan pengelolaan lingkungan hidup dan suatu usaha dan atau kegiatan;
b. mengetahui status ketaatan pengelolaan lingkungan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. sebagai bahan masukan bagi proses pengambilan keputusan Menteri tentang tindak lanjut penanganan
ketidakpatuhan.
d. mencegah terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.

BAB IV
KRITERIA KETIDAKPATUHAN DAN KEWENANGAN

Pasal 4
Kriteria ketidakpatuhan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang pengelolaan lingkungan hidup yang menjadi dasar dikeluarkannya perintah pelaksanaan audit lingkungan
hidup yang diwajibkan, meliputi:
a. ketidakpatuhan terhadap baku mutu lingkungan hidup, dan atau;
b. ketidakpatuhan terhadap kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dan atau;
c. ketidakpatuhan terhadap persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilakukan, dan atau;
d. ketidakpatuhan yang mengindikasikan bahwa penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak memiliki
dokumen pengelolaan lingkungan hidup atau tidak melaksanakan sistem pengelolaan lingkungan secara
efektif.

Pasal 5
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dinyatakan tidak mematuhi peraturan perundang-undangan di
bidang pengelolaan lingkungan hidup, apabila telah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4.
(2) Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila menunjukkan :
a. telah terjadi hal yang sama atau berkaitan secara berulangkali, dan;
b. telah diberikan peringatan oleh Menteri dan atau Gubernur dan atau Bupati dan atau Walikota sekurang-
kurangnya 3 (tiga) kali dalam jangka waktu setahun terakhir dan atau patut diduga akan terjadi lagi di masa
mendatang.

Pasal 6
(1) Menteri berwenang memerintahkan kepada penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk melakukan audit
lingkungan hidup yang diwajibkan apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menunjukkan
ketidakpatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5.
(2) Apabila Gubernur/Bupati/Walikota menilai bahwa suatu usaha dan atau kegiatan di wilayahnya menunjukkan
ketidakpatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5, maka Gubernur/Bupati/W alikota
mengusulkan kepada Menteri untuk memerintahkan penanggung jawab suatu usaha dan atau kegiatan tersebut
melakukan audit lingkungan hidup yang diwajibkan.

BAB V
PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN HIDUP YANG DIWAJIBKAN

Bagian Pertama
Tata Laksana

Pasal 7
(1) Tata laksana audit lingkungan hidup yang diwajibkan dilaksanakan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia
Nomor 19-14010-1997 tentang Pedoman Audit Lingkungan - Prinsip Umum atau standar lainnya yang sesuai
dengan tujuan pelaksanaan audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
(2) Audit lingkungan hidup yang diwajibkan dilakukan oleh auditor lingkungan yang terdaftar dan atau auditor yang
memenuhi kriteria kualifikasi sesuai dengan SNI 19-14012-1997 tentang Pedoman Audit Lingkungan - Kriteria
kualifikasi untuk auditor lingkungan dan bebas dari pertentangan kepentingan.
(3) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib memberikan informasi/data yang benar dan aktual kepada
auditor.
290
Bagian Kedua
Mekanisme

Pasal 8
Pihak yang berkepentingan dapat memberikan masukan atau informasi secara tertulis tentang terjadinya petunjuk
ketidakpatuhan suatu usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan
lingkungan hidup kepada Gubernur/Bupati/Walikota/Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan.

Pasal 9
(1) Gubernur/Bupati/Walikota menugaskan instansi yang bertanggung jawab di daerah untuk mengevaluasi masukan
atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan memeriksa unsur ketidakpatuhan penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5.
(2) Apabila instansi yang bertanggung jawab di daerah menemukan ketidakpatuhan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 dan Pasal 5, maka:
a. Kepala instansi yang bertanggung jawab di daerah menemukan hasil temuannya kepada Gubernur/Bupati/
Walikota;
b. Gubernur/Bupati/Walikota dapat mengusulkan secara tertulis kepada Menteri untuk mengeluarkan perintah
audit lingkungan hidup yang diwajibkan, dengan dilengkapi data pendukung.

Pasal 10
Instansi pengendalian dampak lingkungan dapat mengusulkan kepada Menteri untuk memerintahkan penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan untuk melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan berdasarkan masukan
atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan dilengkapi dengan data pendukung.

Pasal 11
(1) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 10 selambat-lambatnya dalam
waktu 5 (lima) hari kerja, Menteri membentuk Tim Evaluasi yang bertugas untuk mengevaluasi usulan perintah
audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
(2) Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur-unsur, instansi yang bertanggung jawab di
bidang pengendalian dampak lingkungan, instansi yang bertanggung jawab di daerah, instansi yang membidangi
usaha dan atau kegiatan dan tenaga ahli dalam bidang yang terkait.
(3) Tim Evaluasi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Sekretariat yang ditetapkan oleh Menteri dan
berkedudukan di instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.
(4) Tim Evaluasi melaksanakan kegiatan evaluasi paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja, terhitung sejak ditetapkan
oleh Menteri.
(5) Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan dan rekomendasi hasil evaluasi
secara tertulis kepada Menteri selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja, setelah selesai melaksanakan evaluasi.
(6) Rekomendasi Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa;
a. kelayakan untuk dikeluarkannya perintah audit lingkungan hidup yang diwajibkan, dilengkapi dengan
rancangan ruang lingkupnya, atau;
b. ketidaklayakan untuk dikeluarkan perintah audit lingkungan hidup yang diwajibkan dengan memberikan
alasan-alasan ketidaklayakan tersebut.
(7) Apabila rekomendasi berupa ketidaklayakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) huruf b, Menteri
memberitahukan kepada pihak yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

Pasal 12
(1) Berdasarkan rekomendasi Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6) huruf a, Menteri dapat
menyetujui atau tidak menyetujui usulan perintah audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
(2) Apabila Menteri menyetujui usulan perintah audit lingkungan hidup yang diwajibkan, Menteri mengeluarkan surat
perintah pelaksanaan audit lingkungan hidup yang diwajibkan kepada penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan yang bersangkutan.
(3) Apabila Menteri tidak menyetujui usulan perintah audit lingkungan hidup yang diwajibkan, Menteri memberikan
alasan-alasan mengenai ketidaksetujuan tersebut.

Pasal 13
(1) Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya surat perintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), penanggung jawab usaha dan atau kegiatan telah menunjuk auditor dengan
pemberitahuan kepada Menteri.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
tidak melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Menteri dapat:
a. melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan dengan membentuk Tim Audit, atau;
b. menugaskan pihak ketiga yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
untuk melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
(3) Jumlah beban biaya pelaksanaan audit lingkungan hidup yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditetapkan oleh Menteri.

291
Pasal 14
(1) Tim audit merumuskan Kerangka Acuan audit lingkungan hidup yang diwajibkan berdasarkan ruang lingkup
yang ditetapkan oleh Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah tim audit ditetapkan.
(2) Tim audit mulai melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari kerja setelah Kerangka Acuan mendapat persetujuan dari Menteri.
(3) Tim audit setelah melaksanakan tugasnya wajib menyerahkan laporan hasil audit lingkungan hidup yang
diwajibkan secara tertulis kepada Menteri.

Pasal 15
(1) Apabila dianggap perlu Menteri dapat melakukan verifikasi terhadap laporan hasil audit lingkungan hidup yang
diwajibkan, dengan membentuk Tim Verifikasi.
(2) Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari :
a. ahli di bidang lingkungan hidup khususnya yang berkaitan dengan laporan hasil audit lingkungan hidup yang
diwajibkan;
b. unsur lainnya yang dianggap perlu.
(3) Tim verifikasi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Sekretariat yang ditetapkan Menteri dan berkedudukan
di instansi yang bertanggung jawab dibidang pengendalian dampak lingkungan.
(4) Tugas Tim Verifikasi mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. melaksanakan kajian terhadap laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan;
b. apabila diperlukan dapat melaksanakan kegiatan verifikasi di lokasi usaha dan atau kegiatan yang
bersangkutan;
c. menyusun laporan hasil verifikasi secara tertulis dan menyampaikannya kepada Menteri;
(5) Tim Verifikasi melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) paling lama 14 (empat belas) hari
kerja, terhitung sejak ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 16
(1) Berdasarkan laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan, Menteri mengeluarkan surat perintah kepada
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan untuk melakukan perbaikan sesuai dengan
hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan atau instansi yang bertanggung
jawab di daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).

BAB VI
INFORMASI DAN PUBLIKASI

Pasal 17
Menteri mengumumkan surat perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan laporan hasil audit
lingkungan hidup yang diwajibkan kepada Masyarakat.

BAB VII
PENUTUP

Pasal 18
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 September 2001

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Nabiel Makarim, MPA,MSM.

292
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP- 42/MENLH/XI/1994
TENTANG
PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : 1. bahwa setiap orang yang menjalankan suatu bidang usaha atau kegiatan wajib memelihara
kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang
pembangunan yang berkelanjutan;
2. bahwa audit lingkungan sebagai suatu perangkat pengelolaan yang dilakukan secara dasar telah
diakui merupakan alat yang efektif dan sangat bermanfaat bagi suatu usaha atau kegiatan dalam
mengelola lingkungan hidup;
3. bahwa audit lingkungan adalah suatu proses untuk melaksanakan kajian secara sistematik,
terdokumentasi, berkala, dan obyektif terhadap prosedur dan praktek-praktek dalam pengelolaan
lingkungan hidup;
4. bahwa audit lingkungan dapat membantu menemukan upaya penyelesaian yang efektif tentang
masalah lingkungan hidup yang dapat dihadapi suatu usaha atau kegiatan, sehingga dapat
meningkatkan kinerja usaha atau kegiatan yang bersangkutan dalam kaitan dengan pelestarian
kemampuan lingkungan;
5. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan suatu pedoman umum tentang
pelaksanaan audit lingkungan dengan suatu keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara R.I. Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara
R.I. Nomor 3215);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara R.I. Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 3538);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok,
Fungsi, dan Tata Kerja Menteri Negara serta Organisasi Staf Menteri Negara;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN
AUDIT LINGKUNGAN

Pertama : Audit Lingkungan merupakan suatu kegiatan yang dianjurkan untuk dilaksanakan oleh dan merupakan
tanggung jawab pihak penanggung jawab usaha atau kegiatan;

Kedua : Audit Lingkungan dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sebagaimana tercantum
pada lampiran keputusan ini;

Ketiga : 1. Penanggung jawab usaha atau kegiatan dapat memberikan sebagian atau seluruh laporan audit
lingkungan kepada Pemerintah, masyarakat umum atau organisasi lainnya dengan tujuan;
2. mempublikasi upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan; untuk itu hasil audit lingkungan
dapat dimintakan keabsahannya dari instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan;
3. pengembangan sistem pengelolaan dan pemantauan lingkungan;
4. meningkatkan kinerja lingkungan suatu usaha atau kegiatan;
5. tujuan lainnya sebagaimana ditentukan oleh usaha atau kegiatan yang bersangkutan;

Keempat : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal, dan apabila terdapat kekeliruan maka keputusan ini akan
ditinjau kembali.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 22 Nopember 1994
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

293
LAMPIRAN : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-42/MENLH/XI/1994
TANGGAL : 22 NOVEMBER 1994

PRINSIP-PRINSIP DAN PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN

A. FUNGSI DAN TUJUAN


Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan dimaksudkan sebagai acuan untuk melakukan pelaksanaan
audit lingkungan bagi suatu usaha atau kegiatan.
Audit lingkungan yang dimaksud dalam keputusan ini dilaksanakan secara sukarela oleh penanggung jawab
usaha atau kegiatan dan merupakan alat pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang bersifat internal. Dengan
adanya pedoman ini, maka pengelolaan dan pemantauan lingkungan suatu usaha atau kegiatan diharapkan
dapat dilakukan dengan baik, lebih terarah, efektif dan efisien.

B. PENDAHULUAN
1. Definisi
Audit Lingkungan adalah suatu atau manajemen yang meliputi evaluasi secara sistematik, terdokumentasi,
periodik dan objektif tentang bagaimana suatu kinerja organisasi, sistem manajemen dan peralatan dengan
tujuan memfasilitasi kontrol manajemen terhadap pelaksanaan upaya pengendalian dampak lingkungan dan
pengkajian pentaatan kebijakan usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan tentang
pengelolaan lingkungan.
Audit Lingkungan suatu usaha atau kegiatan merupakan perangkat manajemen yang dilakukan secara internal
oleh suatu usaha atau kegiatan sebagai tanggung jawab pengelolaan dan pemantauan lingkungannya. Audit
lingkungan bukan merupakan pemeriksaan resmi yang diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan,
melainkan suatu usaha proaktif yang dilaksanakan secara sadar untuk mengindentifikasi permasalahan
lingkungan yang akan timbul sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahannya.

2. Fungsi
Fungsi audit lingkungan adalah sebagai :
(a) Upaya peningkatan pentaatan suatu usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan
lingkungan, misalnya: standar emisi udara, limbah cair, penanganan limbah dan standar operasi lainnya;
(b) Dokumen suatu usaha atau kegiatan tentang pelaksanaan standar operasi, prosedur pengelolaan dan
pemantauan lingkungan termasuk rencana tangggap darurat, pemantauan dan pelaporan serta rencana
perubahan pada proses dan peraturan;
(c) Jaminan untuk rnenghindari perusakan atau kecenderungan kerusakan lingkungan;
(d) Bukti keabsahan prakiraan dampak dan penerapan rekomendasi yang tercantum dalam dokumen AMDAL,
yang berguna dalam penyempurnaan proses AMDAL;
(e) Upaya perbaikan penggunaan sumber daya melalui penghematan penggunaan bagan, minimisasi limbah
dan identifikasi kemungkinan proses daur ulang;
(f) Upaya untuk meningkatkan tindakan yang telah dilaksanakan atau yang perlu dilaksanakan oleh suatu
usaha atau kegiatan untuk memenuhi kepentingan lingkungan, misalnya pembangunan yang berkelanjutan,
proses daur ulang dan efisiensi penggunaan sumber daya.

3. Manfaat
Audit Lingkungan bermanfaat untuk:
(a) Mengindentifikasi risiko lingkungan;
(b) Menjadi dasar bagi pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan atau upaya penyempurnaan rencana
yang ada;
(c) Menghindari kerugian finansial seperti penutupan/pemberhentian suatu usaha atau kegiatan atau pembatasan
oleh pemerintah, atau publikasi yang merugikan akibat pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang tidak
baik;
(d) Mencegah tekanan sanksi hukum terhadap suatu usaha atau kegiatan atau terhadap pimpinannya
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(e) Membuktikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan apabila dibutuhkan dalam proses pengadilan;
(f) Meningkatkan kepedulian pimpinan/penanggung jawab dan staf suatu badan usaha atau kegiatan tentang
pelaksanaan kegiatannya terhadap kebijakan dan tanggung jawab lingkungan;
(g) Mengidentifikasi kemungkinan penghematan biaya melalui upaya konservasi energi, dan pengurangan,
pemakaian ulang dan daur ulang limbah;
(h) Menyediakan laporan audit lingkungan bagi keperluan usaha atau kegiatan yang bersangkutan, atau bagi
keperluan kelompok pemerhati lingkungan, pemerintah, dan media massa;
(i) Menyediakan informasi yang memadai bagi kepentingan usaha-usaha atau kegiatan asuransi, lembaga
keuangan, dan pemegang saham.

C. RUANG LINGKUP
Audit Lingkungan perlu disusun sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan informasi mengenai:
1. sejarah atau rangkaian suatu usaha atau kegiatan, rona dan kerusakan lingkungan di tempat usaha atau
kegiatan tersebut, pengelolaan dan pemantauan yang dilakukan, serta isu lingkungan yang terkait;

294
2. perubahan rona lingkungan sejak usaha atau kegiatan tersebut didirikan sampai waktu terakhir pelaksanaan
audit;
3. penggunaan input dan sumber daya alam, proses bahan dasar, bahan jadi, dan limbah termasuk limbah B3;
4. identifikasi penanganan dan penyimpanan bahan kimia, B3 serta potensi kerusakan yang mungkin timbul;
5. kajian resiko lingkungan;
6. sistem kontrol manajemen, rute pengangkutan bahan dan pembuangan limbah, termasuk fasilitas untuk
meminimumkan dampak buangan dan kecelakaan;
7. efektifitas alat pengendalian pencemaran seperti ditunjukkan dalam laporan inspeksi, perawatan, uji emisi,
uji rutin, dll;
8. catatan tentang lisensi pembuangan limbah dan pentaatan terhadap peraturan perundang-undangan
termasuk standar dan baku mutu lingkungan;
9. pentaatan terhadap hasil dan rekomendasi AMDAL (Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana
Pemantauan Lingkungan);
10. perencanaan dan prosedur standar operasi keadaan darurat;
11. rencana minimalisasi limbah dan pengendalian pencemaran lingkungan;
12. penggunaan energi, air dan sumber daya alam lainnya;
13. program daur ulang, konsiderasi product life cycle;
14. peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan kepedulian lingkungan.
Ruang lingkup audit lingkungan sangat luwes, tergantung pada kebutuhan atau kegiatan yang bersangkutan.

D. PRINSIP-PRINSIP DASAR
1. Karakteristik dasar
Audit Lingkungan mempunyai ciri khas sebagai berikut:
(a) Metodologi yang komprehensif;
Audit lingkungan memerlukan tata laksana dan metodologi yang rinci. Audit lingkungan harus dilaksanakan
dengan metodologi yang komprehensif dan prosedur yang telah ditentukan, untuk menjamin pengumpulan
data dan informasi yang dibutuhkan serta dokumentasi dan pengujian informasi tersebut.
Metodologi tersebut harus fleksibel sehingga tim auditor dapat menerapkan teknik-teknik yang tepat. Audit
lingkungan harus berpedoman kepada penggunaan rencana yang sistematik dan sesuai dengan prosedur
pelaksanaan audit lapangan dan penyusunan laporan.
(b) Konsep pembuktian dan pengujian;
Konsep pembuktian dan pengujian terhadap penyimpangan pengelolaan lingkungan adalah hal yang pokok
dalam audit lingkungan. Tim audit harus mengkonfirmasikan semua data dan informasi yang diperolehnya
melalui pemeriksaan lapangan secara langsung.
(c) Pengukuran dan standar yang sesuai;
Penetapan standar dan pengukuran terhadap kinerja lingkungan harus sesuai dengan usaha atau kegiatan
dan proses produksi yang diaudit. Audit lingkungan tidak akan berarti kecuali bila kinerja usaha atau kegiatan
dapat dibandingkan dengan standar yang digunakan.
(d) Laporan tertulis.
Laporan harus memuat hasil pengamatan dan fakta-fakta penunjang serta dokumentasi terhadap proses
produksi. Seluruh data dan hasil temuan harus disajikan dengan jelas dan akurat, serla dilandasi dengan
bukti yang sahih dan terdokumentasi.
2. Kunci keberhasilan
(a) Dukungan pihak pimpinan
Pelaksanaan audit lingkungan harus diawali dengan adanya itikad pimpinan usaha atau kegiatan. Usaha
atau kegiatan dan proses audit dapat menjadi sangat kompleks dan pelaksanaan audit lingkungan menjadi
tidak efektif bila tidak ada dukungan yang kuat dari pimpinan usaha atau kegiatan. Selain itu tim auditor harus
pula diberi keleluasan untuk mengkaji hal-hal yang sensitif dan berpotensi menimbulkan dampak lingkungan.
(b) Keikutsertaan semua pihak
Keberhasilan audit lingkungan ditentukan pula oleh keikutsertaan dan kerjasama yang baik dari semua
pihak dalam usaha atau kegiatan yang bersangkutan, mengingat kajian terhadap kinerja lingkungan akan
meliputi semua aspek dan pelaksanaan tugas secara luas.
(c) Kemandirian dan obyektifitas auditor
Tim audit lingkungan harus mandiri dan tidak ada keterikatan dengan usaha atau kegiatan yang diaudit.
Apabila tidak, maka obyektifitas dan kredibilitas akan diragukan. Pada umumnya, kemandirian auditor diartikan
bahwa tim auditor harus dilaksanakan oleh orang di luar usaha atau kegiatan yang diaudit.
(d) Kesepakatan tentang tata laksana dan lingkup audit
Harus ada kesepakatan awal antara pimpinan usaha atau kegiatan dengan tim auditor tentang lingkup audit
lingkungan yang akan dilaksanakan.

E. PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN


1. Tata Laksana
Pelaksanaan audit lingkungan perlu mengikuti suatu tata laksana audit. Tata laksana audit merupakan suatu
rencana yang harus diikuti oleh auditor untuk dapat mencapai tujuan audit yang diharapkan. Dengan mengacu
pada tata laksana tersebut maka diharapkan adanya konsistensi dalam pelaksanaan audit dan pelaporan hasil
audit.

295
Tata laksana audit sangat beragam dan tergantung pada jenis usaha dan karakteristik lingkungan.
Berikut ini adalah beberapa tata laksana audit yang umum dilaksanakan:
(a) Daftar Isian.
Bentuk pelaksanaan audit yang paling sederhana adalah mempergunakan daftar isian dari laporan yang
akan dihasilkan sebagai acuan audit.
(b) Checklist.
Jenis ini merupakan cara yang umum digunakan yaitu dengan mempergunakan daftar yang rinci mengenai
isi yang akan diaudit.
(c) Daftar pertanyaan.
Daftar pertanyaan seringkali digunakan dalam pelaksanaan audit, dan daftar pertanyaan tersebut harus
dijawab secara lengkap oleh auditor. Pada umumnya, auditor telah mempersiapkan format baku untuk
melaksanakan audit dan menyusun laporan akhir.
(d) Pedoman.
Audit dengan menggunakan pedoman merupakan jenis tata laksana yang paling rinci. Pedoman ini memuat
instruksi-instruksi dan petunjuk pelaksanaan yang harus dilaksanakan oleh auditor, serta aspek yang harus
diteliti.

2. Pelaksanaan.
Tahapan pelaksanaan audit lingkungan adalah sebagai berikut:
1. Pendahuluan
Penerapan audit lingkungan akan tergantung kepada jenis audit yang dilaksanakan, jenis usaha atau kegiatan
dan pelaksanaan oleh tim auditor.
2. Pra-audit
Kegiatan pra-audit merupakan bagian yang penting dalam prosedur audit lingkungan. Perencanaan yang
baik pada tahap ini akan menentukan keberhasilan pelaksanaan audit dan tindak lanjut audit tersebut.
Informasi yang diperlukan pada tahap ini meliputi informasi rinci mengenai aktifitas di lapangan, status
hukum, struktur organisasi, dan lingkup usaha atau kegiatan yang akan diaudit. Aktifitas pra-audit juga
meliputi pemilihan tata laksana audit, penentuan tim auditor, dan pendanaan pelaksanaan kegiatan audit.
Pada saat ini, tujuan dan ruang lingkup audit harus telah disepakati.
3. Kegiatan Lapangan
(1) Pertemuan pendahuluan
Tahap awal yang harus dilaksanakan oleh tim audit adalah mengadakan pertemuan dengan pimpinan
usaha atau kegiatan untuk mengkaji tujuan audit, tata laksana, dan jadual kegiatan audit.
(2) Pemeriksaan lapangan
Pemeriksaan di lapangan dilaksanakan setelah pertemuan pendahuluan. Tim audit akan mendapatkan
gambaran tentang kegiatan usaha atau kegiatan yang akan menjadi dasar penetapan areal kegiatan
yang memerlukan perhatian secara khusus. Dengan melaksanakan pemeriksaan lapangan, tim auditor
dapat menemukan hal-hal yang terkait erat dengan kegiatan audit namun belum teridentifikasi dalam
perencanaan.
(3) Pengumpulan data
Data dan informasi yang dikumpulkan selama audit lingkungan akan mencakup tata laksana audit,
dokumentasi yang diberikan oleh pemilik usaha atau kegiatan, catatan dan hasil pengamatan tim
auditor, hasil sampling dan pemantauan, foto-foto, rencana, peta, diagram, kertas kerja dan hal-hal lain
yang berkaitan. Informasi tersebut harus terdokumentasi dengan baik agar mudah ditelusuri kembali.
Tujuan utama pengumpulan data adalah untuk menunjang dan merupakan dasar bagi pengujian temuan
audit lingkungan.
(4) Pengujian
Prinsip utama audit lingkungan adalah bahwa informasi yang disajikan oleh tim auditor telah diuji dan
dikonfirmasikan. Dokumentasi yang dihasilkan oleh tim auditor harus menunjang semua pernyataan,
atau telah teruji melalui pengamatan langsung oleh tim auditor.
Dalam menguji hasil temuan audit, tim auditor harus menjamin bahwa dokumen yang dihasilkan
merupakan dokumen yang asli dan sah. Oleh karena itu tata laksana audit harus menentukan tingkat
pengujian data yang dibutuhkan, atau harus ditentukan oleh tim auditor.
(5) Evaluasi hasil temuan
Hasil temuan audit harus dievaluasi sesuai dengan tujuan audit dan tata laksana yang telah disetujui
untuk menjamin bahwa semua isu/masalah telah dikaji. Dokumentasi penunjang harus dikaji secara
teliti sehingga semua hasil temuan telah ditunjang oleh data dan diuji secara tepat.
(6) Pertemuan akhir
Setelah penelitian lapangan selesai, tim auditor harus memaparkan hasil temuan pendahuluan dalam
suatu pertemuan akhir secara resmi. Pertemuan ini akan mendiskusikan berbagai hal yang belum
terpecahkan atau informasi yang belum tersedia. Tim auditor harus mengkaji hasil pertemuan secara
garis besar dan menentukan waktu penyelesaian laporan akhir. Seluruh dokumentasi selama penelitian
harus dikembalikan kepada penanggung jawab usaha atau kegiatan.
4. Pasca Audit
Tim auditor akan menyusun laporan tertulis secara lengkap sebagai hasil pelaksanaan audit lingkungan.
Laporan tersebut juga mencakup pemaparan tentang rencana tindak lanjut terhadap isu-isu yang telah
diidentifikasi.

296
F. SIFAT KERAHASIAAN
Laporan hasil audit lingkungan merupakan milik usaha atau kegiatan yang diaudit dan bersifat rahasia. Namun
demikian, dunia usaha atau kegiatan sesuai dengan kebebasannya dapat menyampaikan laporan audit
lingkungan kepada pemerintah, masyarakat luas atau organisasi lainnya dengan tujuan sebagai berikut :
(a) Publikasi terhadap upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang telah dilakukan. Pemerintah dapat
memberikan verifikasi atas hasil audit;
(b) Antisipasi kebutuhan penilaian peringkat kinerja usaha atau kegiatan lainnya;
(c) Tujuan lainnya yang ditetapkan oleh usaha atau kegiatan tersebut.

Kebijakan audit lingkungan dalam hal ini tidak membatasi hal-hal sebagai berikut :
(a) Hak pemerintah untuk melaksanakan pemeriksaan secara rutin pada suatu usaha atau kegiatan;
(b) Hak pemerintah untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap suatu kegiatan yang dicurigai sebagai kelalaian,
penghindaran kewajiban dan pelanggaran terhadap pentaatan hukum dan peraturan;
(c) Hak pemerintah untuk meminta sesuatu informasi khusus sebagai dasar penentuan peringkat kinerja
lingkungan suatu usaha atau kegiatan pelanggaran terhadap pentaatan hukum dan peraturan:
(d) Tanggung jawab dunia usaha atau kegiatan untuk menyediakan data hasil pengelolaan dan pemantauan
kepada pemerintah sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, Peraturan Pemerintah Nomor
51 Tahun 1993 dan peraturan pelaksanaan lainnya.

G. PENGAWASAN MUTU HASIL AUDIT


Dalam rangka menjamin bahwa audit lingkungan akan dilaksanakan secara baik dan profesional, maka usaha
atau kegiatan atau organisasi (non pemerintah) dianjurkan untuk membuat dan melaksanakan kode etik serta
sertifikasi auditor lingkungan.
Auditor lingkungan harus mempunyai pendidikan yang sesuai dan memiliki pengalaman profesional untuk
dapat melaksanakan tugasnya.
Kemampuan yang harus dimiliki oleh tim auditor adalah meliputi pengetahuan tentang :
- Proses, prosedur dan teknis audit
- Karakteristik dan analisis tentang sistem manajemen
- Peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan lingkungan
- Sistem dan teknologi pengelolaan lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja
- Fasilitas usaha atau kegiatan yang akan diaudit
- Potensi dampak lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja serta resiko bahaya
Auditor juga perlu mendapatkan pelatihan dan peningkatan kemampuan dalam bidang yang dibutuhkan dalam
audit, meliputi:
- Kemampuan berkomunikasi
- Kemampuan perencanaan dan penjadualan kerja
- Kemampuan untuk menganalisis data dan hasil temuan
- Kemampuan untuk menulis laporan audit
Auditor lingkungan harus terlatih secara profesional untuk menjamin ketepatan, konsistensi dan objektifitas
dalam pelaksanaan audit. Auditor harus mengikuti kode etik auditor yang ada.

297

You might also like