Professional Documents
Culture Documents
Pasca dekrit 5 Juli 1959, Pancasila masih menjadi ‘kiblat’ kenegaraan dengan sistem
demokrasi terpimpin. Sukarno sebagai pemimpin bangsa menunjukkan sikap-sikap yang
cenderung otoriter, dan mudah terbawa angin kelompok komunis yang terlihat
revolusioner sehingga disayangi Sukarno. Pertentangan ideologi dalam suasana
kediktatoran semakin menunjukkan ruh Pancasila hanya sebagai simbol. Pembubaran
Masyumi dan Murba secara paksa oleh Sukarno sebagai bentuk otoriterisme presiden.
Pertentangan politik memuncak ketika terjadi peristiwa 30 September 1965.
Pada 12 Maret 1966, sehari setelah suksesi kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada
Jenderal Soeharto, tindakan pertama Soeharto adalah menyatakan bahwa PKI sebagai
partai terlarang yang diikuti dengan pembubaran PKI dan pemberantasan kader maupun
simpatisan PKI. Penasbihan dosa waris kepada para keturunan PKI, pembantaian anggota
dan kelompok yang dianggap PKI telah menimbulkan korban jutaan di Jawa dan Bali.
Pengerdilan partai politik berlanjut hingga pada pembungkaman suara rakyat kritis telah
menjadikan Orde Baru sebagai pemrakarsa memasukkan Pancasila dalam brankas
kenegaraan.
Awal dari orde baru pun bergulir di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto, nama orde
baru diciptakan demi membedakan dengan pemerintahan orde lama di bawah Presiden
Soekarno. Perbedaan nama rezim itu bukan saja secara harfiah, maupun perbedaan sang
pemimpin orde. Tapi juga berimplikasi kepada pergeseran secara fundamental misi dari
pemerintah serta metode yang tepat untuk mencapai misi tersebut. Radius Prawiro yang
mantan Deputi menteri untuk urusan Bank Sentral merangkap Gubernur Bank Indonesia
(1966-1973), dalam bukunya Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi menyatakan
bahwa, misi orde baru dapat disarikan sebagai pembangunan ekonomi. Orde Baru
memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh
kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan
nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Dalam pencapaian misi tersebut, disiplin ilmu
ekonomi - termasuk alat analisis ekonomi makro dan mikro - menjadi ujung tombak,
padahal di zaman orde lama ekonomi dianaktirikan, tanpa kebijakan ekonomi yang jitu
dan terencana, mustahil ekonomi Indonesia bisa sehat kembali. Faktor politik, budaya
dan sosial juga berperan penting dalam membangun budaya ekonomi baru itu.
Presiden Soeharto mendukung penuh tim ekonomi pemerintah dan rekomendasi mereka
sekalipun kebijakan yang diambil tidak populer secara politis. Staf ahli ekonomi Presiden
Soeharto terkenal sebagai para teknokrat atau sering disebut “mafia Berkeley” karena
beberapa anggotanya alumni University of California at Berkeley. Tim ini terpisah dari
kabinet yang anggotanya terdiri dari Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad
Sadli, Subroto, dan Emil Salim. Selanjutnya beberapa tim menyusul seperti Rachmat
Saleh, Arifin Siregar, J.B. Sumarlin dan Radius Prawiro. Soeharto mempercayakan
mempercayakan Widjojo Nitisastro sebagai pemimpin informal dari tim ekonomi ini.
Radius Prawiro menyatakan ada 3 hal nilai yang menonjol dalam menciptakan tatanan
ekonomi baru, yaitu gotong royong, trilogi pembangunan, dan Pragmatisme. Banyak cara
gotong royong yang telah diterjemahkan ke dalam tindakan politik dan kebijakan lainnya.
Dalam masa sulit, pemerintah telah mengimbau warga negara untuk mendukung
kebijakan yang merupakan langkah terbaik bagi kepentingan nasional meskipun
kebijakan tersebut menuntut pengorbanan dari banyak individu. Terutama saat awal orde
baru, gotong royong punya dua arti praktis. Pertama, konsep ini merupakan alternatif
budaya terhadap paham komunisme. Gotong royong menjadi basis ideologi yang berakar
pada budaya bangsa untuk memajukan kebijakan ekonomi yang bertanggung jawab
secara sosial, toleran terhadap kesejahteraan individu, dan tidak bertentangan dengan
ekonomi pasar bebas. Kedua, gotong royong punya pengaruh memoderatkan proses
perumusan kebijakan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh hubungan erat antara gotong
royong dengan dua konsep budaya Indonesia lainnya; musyawarah yang berarti dialog,
dan mufakat yang berarti konsensus.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966
dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas
politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan
Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari
kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan
aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil
karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga
melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Dari sisi ideologi, pendidikan sebenarnya telah cukup mendapat tempat dari pendiri
bangsa. Terbukti dengan dimasukkannya pendidikan sebagai salah satu prioritas utama
dalam Pembukaan UUD 1945, yang notabene tak dapat diubah dan dianggap sebagai
landasan perjuangan bangsa yang sakral. Sebelum pemerintahan Presiden Soeharto,
sebenarnya masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari
elite politik yang ada. Jika kita melihat sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah
satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan
bangsa sejak zaman kolonialisme.
Sebagai pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI baru) sejak tahun 1931 (PNI lalu pecah
menjadi Partai Sosialis dan Partai Sosialis Indonesia), konsep pentingnya pendidikan
telah diajukan Hatta dalam Pasal 4 Konstitusi PNI, yaitu untuk mencerdaskan rakyat
dalam hal pendidikan politik, pendidikan ekonomi, dan pendidikan sosial (pidato Bung
Hatta dalam reuni Pendidikan Nasional Indonesia yang diterbitkan di Bogor tahun 1968).
Namun, sejalan dengan pemerintahan Soeharto yang otoriter, tampaknya isu tentang
pendidikan mulai dikesampingkan, terutama mungkin terkait dengan kekhawatiran akan
timbulnya gejolak apabila pendidikan politik benar-benar dilakukan sepenuhnya. Sejak
saat itu kita lebih melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi
pemerintahan Soeharto untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat.
Kita masih ingat bagaimana, khususnya dalam sejarah, berbagai macam pelajaran sejarah
yang ada secara tumpang tindih diberikan berkali-kali, dari SD, SMP, dan SMA, bahkan
perguruan tinggi dalam bentuk P4. Masalahnya, isi pelajaran sejarah yang ada tidak lebih
dari justifikasi mengenai G30S, Serangan Fajar, atau berbagai pembenaran konstitusional
terhadap kebijakan pemerintah saat itu. Tidak heran apabila sistem pendidikan yang ada
di Indonesia amat tersentralisasi dengan 80 persen dari kurikulum yang ada ditentukan
oleh pusat (Ibrahim, 1998). Contoh lain, dalam hal dana instruksi presiden (inpres) pada
masa Soeharto. Meski tujuannya baik, yaitu untuk menanggulangi kemiskinan,
penyaluran dana inpres untuk pendidikan (pembangunan SD inpres) lebih banyak muatan
politiknya, yaitu untuk memberi \"hadiah\" bagi wilayah di mana pemerintah memperoleh
dukungan politik, hal ini dikarenakan kategori penyaluran dana yang tak jelas dan
abstrak.
Sejak saat itu, fokus pembangunan lebih diarahkan kepada pembangunan ekonomi
daripada pembangunan manusia. Departemen Pendidikan pun tumbuh menjadi
kementerian yang termarjinalisasi dibandingkan dengan departemen lain. Rosser (2002)
mencatat, pada tahun 1980-an Menteri Sekretaris Negara (saat itu dipimpin Sudharmono
dan Ginandjar Kartasasmita) dan Menteri Riset dan Teknologi (saat itu dipimpin BJ
Habibie) merupakan kementerian yang memegang peran utama dalam perencanaan
pembangunan. Hal ini berbeda dengan Malaysia. Menurut Musa (2003), Kementerian
Pendidikan selalu memperoleh tempat yang terpandang di Malaysia, dengan semua
perdana menteri Malaysia pernah menjabat sebagai menteri pendidikan. Kementerian
Pendidikan di Malaysia juga memperoleh anggaran yang besar dari total pengeluaran
pemerintah. Bahkan, tahun 2003, departemen ini menerima 27 persen dari total
pengeluaran pemerintah (Musa, 2003).
Militer seakan menjadi penjaga gawang utama dalam mengamankan Pancasila. Melalui
badan inteligennya, pemerintah berhak menasbihkan individu atau kelompok yang
bersuara sebagai anti pancasila. Bahkan suara mahasiswa sebagai penyambung lidah
rakyat, dikooptasi sebagai ancaman negara seperti dalam petikan pembekuan dewan
Mahasiswa oleh Pangkopkamtib Sudomo ketika menghadapi berbagai aksi mahasiswa
menentang sidang umum MPR berikut ini:
Pancasila sebagai ideologi telah tertutup dengan penanaman yang bersifat idoktrinatif
daripada dialog secara terbuka tentang nilai-nilai Pancasila. Penaratan P4 dari BP7
menunjukkan syiar besar-besaran pemerintah untuk mengabarkan amalan-amalan
Pancasila. Sejak kelas V Sekolah Dasar, butir-butir Pancasila harus dihapal di luar
kepala. Pemerintah memiliki ratusan ribu “da’i P4” yang siap memberi bekal moral
kepada siapa saja. Uniknya, justru dengan penataran P4 yang dialami di tiap jenjang,
bangsa Indonesia terjerembab dalam lembah koruptor papan atas(Supardi, 2010).
Penyelenggaraan system pendidikan, di dalam dekade-dekade orde baru, sebagaimana
diungkapkan oleh Slamet Iman Santosa (Basis, 1998 : 6 dalam Qua Vadis Pendidikan di
Indonesia), banyak “disetir” oleh political will. Artinya, seluruh sistem pendidikan
mengacu pada kecenderungan politis.
Keadaan ini pada gilirannya telah mengekang kebebasan masyarakat untuk berkreasi,
berionovasi, berinisiatif, berimajinasi dan seterusnya. Sementara itu pemerintah daerah
tidak diberikan peluang mengelola pendidikan. Keadaan ini menyebabkan tersumbutnya
iklim demokrasi, kesenjangan ekonomi, dan berbagai ketidak-puasan masyarakat lainnya.
Dunia pendidikan kehilangan kebebasannya. Berbagai komponen pendidikan: dari
kurikulum, buku ajar, evaluasi, gelar akademik, manajemen, baju seragam, bahkan
hingga tali sepatu harus ditentukan dari pusat.
Dalam hal intervensi terhadap pendidikan, kebijakan Orba mirip kebijakan kolonial.
Praktik pendidikan disterilkan dari politik praktis. Kurikulum dan buku pelajaran tertentu
disusun menurut versi politik pemerintah. Seperti kolonial, gaya pemerintahan Orba
menimbulkan resistensi kelompok-kelompok kritis terhadap dominasi kekuasaan.
Kejatuhan Soeharto oleh aksi mahasiswa 1998 boleh disebut puncak perjuangan panjang
aneka kelompok mahasiswa sejak Peristiwa Malari 1974. Meski demikian, the aftermath
perjuangan generasi muda yang dilahirkan sistem pendidikan kolonial dan Orba
tampaknya berbeda sama sekali. Setidaknya selama dekade pertama pasca-Proklamasi
1945, Soekarno dan para “aktivis” kemerdekaan Indonesia relatif konsisten, committed,
dan “kompak” menjalankan cita-cita kebangsaan. Perbedaan pandangan politik tidak
menggoyahkan arah dasar perjuangan apalagi membuat mereka saling menjatuhkan demi
kekuasaan.
Di era Orde Baru kebebasan sedikit demi sedikit direnggut sampai tak tersisa sama
sekali. Membaca buku tertentu bahkan dianggap sebagai tindakan kriminal. Kebebasan
berorganisasi dikooptasi dengan adanya organisasi-organisasi yang sudah korporatis pada
kekuasaan, sehingga memarjinalisasi politik mahasiswa. Kebebasan akademis dikekang
dengan perlunya izin kegiatan dari pihak yang berwenang. Sementara itu, para aktivis
1998 (dan Malari) yang tersebar di partai politik, LSM, dan ranah publik tidak lagi
menunjukkan komitmen perjuangan yang sama (Kompas, 6/11/2007). Cita-cita
perubahan sosial, jika pernah mereka miliki, tampaknya melebur ke dalam kepentingan
politik kekuasaan kelompok, tempat mereka bergabung.
Selama mengikuti proses pembelajaran di sekolah, peserta didik (nyaris) tidak pernah
bersentuhan dengan pendidikan nilai yang berorientasi pada pembentukan watak dan
kepribadian. Mereka diperlakukan bagaikan “tong sampah” ilmu pengetahuan yang harus
menerima apa saja yang dijejalkan dan disuapkan oleh para guru.
Hal itu diperparah dengan munculnya kebijakan pemerintah masa lalu yang cenderung
sentralistis dan otoriter, sehingga memberangus dan mengebiri fungsi sekolah sebagai
pusat pendidikan nilai religi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, moral, kemanusiaan, dan
semacamnya. Segala macam bentuk praktik pendidikan telah dipola dan diseragamkan
dari pusat, sehingga sekolah tidak memiliki peluang untuk menumbuhkembangkan
potensi genius-local.
Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk
melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan
regulasi yang tidak memihak rakyat. Keluaran pendidikan tidak digembleng untuk
mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada
kepentingan kekuasaan an-sich.
Peristiwa meninggalnya Wahyu Hidayat, praja STPDN, karena kekejaman para seniornya
pada tahun 2004 merupakan wujud dari masuknya warna militerisme pada pendidikan di
Indonesia. Hal ini adalah bentuk lain dari korporatisme pendidikan yang terjadi di
Indonesia. Lembaga pendidikan semacam ini lahir dari rahim rezim militer Orde Baru
yang masuk ke ranah sipil. Di perguruan-perguruan tinggi swasta dan negeri, hal ini
mewujud dengan adanya resimen mahasiswa. Resimen mahasiswa (menwa) merupakan
salah satu unit kegiatan mahasiswa yang berafiliasi langsung ke institusi-institusi militer
seperti kodam.
Di dalam kelas ataupun birokrasinya, reproduksi sistem ini juga berlangsung. Dosen
seringkali dipandang oleh mahasiswa sebagai orang yang ditakuti, berkuasa. Birokrasi
perguruan tinggi berkembang begitu kuat tanpa adanya kebebasan berserikat bagi civitas-
civitas akademika, kecuali terbatas pada mahasiswa. Namun, bagi karyawan-karyawan
nonpengajar di perguruan tinggi, seringkali posisi mereka sangat lemah secara politik dan
hukum, seperti halnya kelas pekerja lain di Indonesia. Penelitian pers mahasiswa
Mahkamah Fakultas Hukum UGM pada tahun 2000 mengungkapkan sekitar seperempat
karyawan UGM merupakan karyawan honorer dengan status tidak jelas dan upah tidak
sesuai dengan upah minimum regional (sekarang upah minimum provinsi) yang berlaku.
Sejalan dengan pemerintahan Soeharto yang otoriter, tampaknya isu tentang pendidikan
mulai dikesampingkan, terutama terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak
apabila pendidikan politik benar-benar dilakukan sepenuhnya. Sejak saat itu kita lebih
melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintahan Soeharto
untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat. Dalam konteks ini, sudah saatnya para
pelaku dan pemerhati pendidikan perlu mencoba menyelami dunia politik dan seluk
beluknya. Maksudnya, masyarakat pendidikan harus aktif untuk memengaruhi para
pengambil keputusan (politikus) di bidang pendidikan. Dengan begitu kaum pendidik
tidak lagi menjadi objek politisasi pendidikan dan terkungkung dalam dunianya,
melainkan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan ikut menjadi agen perubahan.
Rezim Orde Baru amat yakin akan terjadi mukjizat yang meneteskan hasil pembangunan
kepada rakyat miskin (trickle down effects). Kejayaan politik dan ekonomi ternyata tak
langgeng karena modal utama pembangunan, yaitu manusia, terabaikan. Kondisi itu
berlanjut hingga kini karena bangsa kita kurang memiliki modal manusia berkualitas
yang diperlukan guna menopang pertumbuhan dan kemajuan ekonomi. Sepertinya,
pemerintah selama ini tetap tak sadar akan fungsi ekonomi politik pendidikan. Sehingga,
akses terhadap pendidikan dan kesehatan amat buruk dan ini membuat sepertiga atau
separuh penduduk Indonesia masih rentan terhadap masalah kemiskinan, kesehatan dan
korupsi.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru diarahkan pada penyeragaman. Tilaar
(2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau
keseragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal
dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat
yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga
melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru.
Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima. Pembangunan tidak
berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik, melainkan bergantung pada
utang luar negeri sehingga melahirkan sistem yang tidak peka terhadap daya saing dan
tidak produktif. Berbagai layanan publik tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh
karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya. Bentuk pembangunan
pada saat itu mengingkari kebhinekaan serta semakin mempertajam bentuk
primordialisme. Penerapan pendidikan tidak diarahkan lagi pada peningkatan kualitas
melainkan pada target kuantitas.
Rezim berganti, ideologi dan politik pendidikan pun berganti. Awalnya perubahan
ideologi dan politik ini belum berubah tajam, sampai suatu hari terjadi krisis minyak
dunia pada awal 1980-an, yang membuat negara mengetatkan anggaran. Ketergantungan
pada ekspor minyak seketika mendatangkan malapetaka karena harga minyak turun
drastis di kala utang luar negeri juga jatuh tempo. Anggaran untuk publik diketatkan
termasuk di bidang pendidikan. Seketika rakyat masuk dalam sistem pendidikan pasar
yang memperbesar ketimpangan si kaya dan si miskin. Gaji guru tidak lagi mampu
mendukung kebutuhan minimal untuk mengajar dengan tekun dan baik. Ekstensifikasi
pendidikan berjalan lambat karena keterbatasan anggaran.
Para penguasa terlalu banyak mencampuri dan “mengarahkan“ sistem pendidikan ini,
sehingga apa yang disebut filsafat pendidikan nyaris tidak terefleksikan dalam setiap
tindakan pendidikan maupun pembelajaran. Sistem pendidikan, ataupun mungkin lebih
sempit dari itu : sistem persekolahan terlalu banyak digunakan sebagai vehicle untuk
transmisi sosial membangun kehidupan bersama dan menomorduakan kebhinekaan demi
keekaan. Konvergensi dan kesamaan tujuan pembangunan. Dengan demikian
membangun manusia Indonesia seutuhnya sebenarnya telah direduksikan dalam tindak
pendidikan. Demikian pula tujuan pendidikan juga mengacu pada tujuan pembangunan
bangsa dan negara yang menuntut konvergensi perilaku, bahkan hal-hal yang original,
lateral dan baru dianggap mengganggu keselarasan dan kesesuaian corak kehidupan hari
ini. Ini berarti, bahwa sistem pendidikan bersifat status quo karena kemungkinan
mengadakan inovasi dan bertindak kreatif, menuntut divergensi berfikir dan originalitas
yang kurang diperhatikan karena suasana belajar sifatnya uniform. Disamping itu lebih
diprioritaskan stabilitas dan keseragaman kontinuitas (Semiawan, C, 2000 : 21).
Tetapi sekali lagi, kebijakan orde baru yang menempatkan lembaga pendidikan di bawah
birokrasi negara yang ketat melahirkan generasi yang gagal. Gagal dalam artian mereka
melawan tujuan pendidikan ala Orde Baru. Generasi yang gagal ini berorganisasi di
kampus dalam bentuk kelompok studi, lembaga swadaya masyarakat, aksi-aksi
penolakan penggusuran sepanjang tahun 1987-1989, aksi mendukung perjuangan rakyat
Palestina dan Bosnia tahun 1992, penolakan tarif kenaikan angkutan umum di tahun
1996, menyikapi krisis Ekonomi 1997 dan penurunan Soeharto di tahun 1998. Dengan
menggunakan organisasi Himpunan Mahasiswa Jurusan, Senat Mahasiswa Fakultas, Unit
Kegiatan Mahasiswa, Pers Mahasiswa, Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (kecuali
mahasiswa ITB yang paling keras menolak pembentukan Senat Mahasiswa ITB),
Organisasi Ekstrakampus, dan Komite aksi yang sporadis.
Ketidakpuasan menggejala pada rakyat, karena akses terhadap pendidikan yang makin
berkurang. Sekolah dan perguruan tinggi swasta menggejala karena keterbatasan
pemerintah untuk menyediakan sekolah-sekolah baru. Ekstensifikasi pasar ini kemudian
diimbangi oleh Orde Baru dengan proses indoktrinasi. Peng-asastunggal-an ideologi
Pancasila melalui pengajaran Pancasila dari bangku sekolah dasar sampai perguruan
tinggi, penataran P4 bagi pegawai negeri sipil dan militer, pelarangan ideologi-ideologi
tertentu untuk dipelajari, pembelokan sejarah, dan banyak doktrinasi lain adalah contoh-
contoh proses tersebut. Pada era ini pula mahasiswa dibungkam dengan pembubaran
dewan-dewan mahasiswa dan pelarangan mahasiswa berpolitik melalui kebijakan NKK/
BKK.
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di
Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara yang ada di Asia. Sedangkan Prof. Ki
Supriyoko di Harian Kedaulatan Rakyat memberi penilaian terhadap kualitas pendidikan
kita yang didasarkan laporan The International Baccalaureate Organization ( IBO) yaitu
lembaga yang didirikan tahun 1995, berpusat di Switzerland (administrasi) dan di Inggris
(riset kurikiulum dan asesmen) ternyata berkesimpulan bahwa pendidikan yang ada di
Indonesia masih jauh dari harapan. Menurut IBO, dari 146.052 SD di Indonesia, ternyata
hanya 8 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years
Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata hanya 8 sekolah yang mendapat
pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA
hanya 7 sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program
(DP).
Publikasi IBO tersebut senada dengan publikasi sebelumnya yang diakui oleh Asia Week,
yang menyatakan sangat sedikit perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki kualitas
dunia. Dari 2000-an Perguruan Tinggi di Indonesia ternyata hanya 4 Perguruan Tinggi
saja yang mendapat pengakuan dalam kategori Multi Discipline University serta hanya
satu Perguruan Tinggi yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori Science and
Technology University.
Karena pada saat yang sama indoktrinasi dari negara juga berlangsung, muncul kritik-
kritik dari kalangan pengamat pendidikan yang kritis namun liberal yang memandang
terjadinya paradoks dalam dunia pendidikan karena sama sekali tidak sesuai dengan
perkembangan zaman. Banyak muncul ketidakpuasan dan perlawanan dari dalam
kalangan akademisi pendidikan terhadap intervensi negara dalam kurikulum pendidikan.
Ketidakpuasan muncul karena mereka menganggap tidak efisien.
Ketidakpuasan dan perlawanan dari dalam kampus ini menyemai bibit perlawanan
mahasiswa. Pada tahun 1994 misalnya berdiri Dewan Mahasiswa UGM yang tegas
menolak korporatisme negara terhadap kampus. Langsung atau tidak langsung, masifnya
demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998 merupakan imbas dari kebijakan pendidikan
yang korporatis dan tidak demokratis di perguruan-perguruan tinggi. Kemandirian suatu
bangsa tidak bisa ditawar-tawar. Bangsa yang tidak mandiri dalam banyak hal, akan sulit
maju, terutama menyangkut kebutuhan pokok suatu bangsa. Masalah ketidakmandirian
itu pula yang membuat bangsa Indonesia tetap tidak stabil, terutama dari sisi ekonomi.
Dari sisi ideologi, pendidikan sebenarnya telah cukup mendapat tempat dari pendiri
bangsa. Terbukti dengan dimasukkannya pendidikan sebagai salah satu prioritas utama
dalam Pembukaan UUD 1945, yang notabene tak dapat diubah dan dianggap sebagai
landasan perjuangan bangsa yang sakral. Di awal pemerintahannya, Soeharto ketika itu
memprioritaskan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan utama
pemerintah.
Kebijakan Pendidikan :
Ada beberapa kebijakan pokok dalam pendidikan pada masa orde baru, yaitu :
1. Relevansi Pendidikan,
Yaitu penyesuaian isi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan terhadap sumber daya
manusia yang diperlukan. Kebijakan ini secara eksplisit muncul pada pelita I, II, III, IV
dan V. Setelah perluasan kesempatan belajar, sasaran perbaikan bidang pendidikan
selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Kenyataan bahwa masih banyak
penduduk yang buta huruf ditanggapi pemerintahan Soeharto dengan pencanangan
penuntasan buta huruf pada 16 Agustus 1978. Tekniknya adalah dengan pembentukan
kelompok belajar atau ”kejar”. Kejar merupakan program pengenalan huruf dan angka
bagi kelompok masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun. Tujuannya, mereka akan
mampu membaca serta menulis huruf dan angka Latin. Tutor atau pembimbing setiap
kelompok adalah siapa saja yang berpendidikan minimal sekolah dasar. Jumlah peserta
dan waktu pelaksanaan dalam setiap kejar bersifat fleksibel. Hingga saat ini program
kejar yang sudah semakin berkembang masih tetap dijalankan.
Keberhasilan program kejar salah satunya terlihat dari angka statistik penduduk buta
huruf yang menurun. Pada sensus tahun 1971, dari total jumlah penduduk 80 juta jiwa,
Indonesia masih memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang berstatus buta
huruf. Sepuluh tahun kemudian, menurut sensus tahun 1980, persentase itu menurun
menjadi hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya tahun 1990, angkanya terus
menyusut menjadi 15,9 persen.
Sasaran yang terungkap dalam lima Pelita dalam PJPT I menunjukkan runtutan sasaran
yang sistematis; dimulai dengan sektor agraris dan secara bertahap sampai dengan sektor
industri. Sayangnya, dalam prakteknya, sektor agraris seakan-akan ditinggalkan begitu
saja, dan diganti sepenuhnya dengan industrialisasi. Tampak pemerintah begitu berambisi
mengikuti pola Barat, yaitu industrialisasi. Perjalanan dunia pendidikan Indonesia
ternyata kembali terulang pada masa pemerintahan Rezim Orde Baru, dimana terjadi
Liberalisasi Ekonomi tahap kedua.
Focus pembangunan lebih diarahkan kepada pembangunan ekonomi daripada
pembangunan manusia. Departemen Pendidikan pun tumbuh menjadi kementerian yang
termarjinalisasi dibandingkan dengan departemen lain. Rosser (2002) mencatat, pada
tahun 1980-an Menteri Sekretaris Negara (saat itu dipimpin Sudharmono dan Ginandjar
Kartasasmita) dan Menteri Riset dan Teknologi (saat itu dipimpin BJ Habibie)
merupakan kementerian yang memegang peran utama dalam perencanaan pembangunan.
Corak politik pemerintah yang demikian itu selanjutnya menimbulkan paling kurang
enam masalah pendidikan. Pertama, masih banyak rakyat Indonesia yang belum
memperoleh pendidikan. Kedua, mutu lulusan pendidikan di Indonesia tergolong rendah
dibandingkan dengan mutu lulusan pendidikan di negara lain. Ketiga, pendidikan di
Indonesia belum menjadi pranata sosial yang kuat dalam memberdayakan sumber daya
manusia Indonesia. Keempat, pendidikan di Indonesia belum berhasil melahirkan lulusan
yang mengamalkan keimanan, ketakwaan, aklak mulia dan budi pekerti luhur. Kelima,
pendidikan belum mampu mendorong lahirnya masyarakat belajar (learning society)
dalam rangka pelaksanaan konsep belajar seumur hidup. Keenam, dunia pendidikan
kurang sejalan dengan tuntutan dunia kerja dan kebutuhan lokal.
Dahulu kualitas pendidikan bangsa kita itu diatas negara-negara tetangga seperti
Malaysia, tapi saat ini menapa justru terjadi sebaliknya. Sudah dari zaman Soeharto
sebenarnya bukannya sekarang. Pak Soeharto kan yang pertama kali mengadakan SPP.
Jadi seolah pendidikan itu tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, dan orang
tua. Betul, tapi bukan dalam pengertian uang. Uang, pasal 31 ayat 2 sebelum amandemen,
pemerintah mengusahakan dan menyelenggaran. Universitas Kebangsaan Malaysia itu
dulu dibangun oleh orang-orang ITB. Sekarang fasilitasnya kalah dengan Univesitas
kebangsaan Malaysia. Kalau profesor-profesornya memang masih lebih jago ITB(Prof.
Soedirjanto, 2009).
Alam kolonial dan Orba sama-sama hegemonik melahirkan dua generasi aktivis dengan
ketangguhan komitmen pembaruan yang berbeda. Lebih dari itu, kita tidak
mengharapkan hadirnya kekuasaan opresif untuk melahirkan pemimpin baru. Oleh
karena itu, pemimpin dan kepemimpinan harus dibentuk dan disiapkan. Di sinilah proses
pendidikan seharusnya berperan. Sudah saatnya praktik pendidikan kita meninggalkan
misi reproduksi kelas sosial. Pendidikan harus diarahkan untuk membuka pemahaman
kritis dan pencarian alternatif atas keterbatasan struktur sosial dalam menciptakan
masyarakat adil, terbuka, dan partisipatif. Tanpa pendidikan yang memberi arah
transformasi sosial masyarakat, 40 tahun ke depan kita akan dihadapkan pada problem
yang sama tentang regenerasi kepemimpinan. Saat itu mungkin masih akan terdengar
pernyataan naif, pendidikan kolonial lebih berkualitas daripada era Orba dan Reformasi.
Atau, Soekarno dan Soeharto muncul sebagai pemimpin bangsa hanya karena wangsit
dan keberuntungan.
2. Pemerataan Pendidikan.
Sejak pelita I disadari pentingnya memberikan kesempatan yang sama dan lebih luas
tentang pendidikan untuk semua warga negara. Kebijakan pemerataan dan perluasan
pendidikan dilaksanakan melalui wajib belajar Sekolah Dasar. Sejak awal kekuasaannya
sebagai Presiden RI, Soeharto berupaya menggarap pendidikan sebagai hal yang harus
dibenahi secara serius. Tiga hal yang cukup populer di masyarakat adalah program wajib
belajar, pembangunan SD inpres, dan pembentukan kelompok belajar atau kejar. Dengan
mencanangkan “wajib belajar 9 tahun”, termasuk juga yang tak kalah populer adalah
dibukanya program SD Inpres untuk daerah-daerah terpencil dan terisolir diberbagai
belahan daerah di Indonesia. Program wajib belajar dicanangkan pada 2 Mei 1984, di
akhir Pelita (Pembangunan Lima Tahun) III. Dalam sambutannya saat itu, Soeharto
menyatakan, kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama dan adil
kepada seluruh anak usia 7-12 tahun di belahan bumi Indonesia mana pun dalam
menikmati pendidikan dasar. Seremonial pencanangan dilakukan secara besar-besaran di
Stadion Utama Senayan, Jakarta.
Program ini memang telah direncanakan saat Pelita II. Tidak murni seperti kebijakan
wajib belajar di negara lain yang memiliki unsur paksaan dan ada sanksi bagi yang
mengabaikan. Pemerintah hanya mengimbau orangtua agar memasukkan anaknya yang
sudah cukup umur ke sekolah. Negara bertanggung jawab terhadap penyediaan sarana
dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan, seperti gedung sekolah, peralatan sekolah, di
samping tenaga guru dan kepala sekolah. Karena tidak ada sanksi, dalam prosesnya
hingga kini, masih ditemukan anak-anak pada kelompok usia pendidikan dasar yang tidak
bersekolah.
Upaya pelaksanaan wajib belajar 9 tahun pada kelompok usia 7-15 tahun dimulai saat
diresmikannya Pencanangan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994.
Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1
Tahun 1994. Program wajib belajar yang dimulai Soeharto di akhir Pelita III diakui telah
meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia saat itu. Fokus utama ketika itu
adalah peningkatan angka-angka indikator kualitas pendidikan dasar.
Sebelum wajib belajar dicanangkan, upaya peningkatan kualitas pendidikan dasar
didahului dengan dikeluarkannya Inpres No 10/1973 tentang Program Bantuan
Pembangunan Gedung SD. Tujuan penerbitan kebijakan ini adalah untuk memperluas
kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan yang penduduknya
berpenghasilan rendah.
Pelaksanaan program wajib belajar yang diikuti dengan penambahan fasilitas pendidikan
diwujudkan dengan peningkatan jumlah sekolah dan guru SD di seluruh Indonesia.
Sebelum program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dilaksanakan, jumlah
gedung SD yang tercatat pada tahun 1968 sebanyak 60.023 unit dan gedung SMP 5.897
unit. Pada awal Pelita VI, jumlah itu telah meningkat menjadi sekitar 150.000 gedung SD
dan 20.000 gedung SMP. Pelaksanaan tahap pertama program SD inpres adalah
pembangunan 6.000 gedung SD yang masing-masing memiliki tiga ruang kelas. Ketika
itu Indonesia baru saja mendapat limpahan dana hasil penjualan minyak bumi yang
harganya naik sekitar 300 persen dari sebelumnya. Uang itu kemudian digunakan untuk
mempercepat pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, salah satunya pendidikan.
Pada tahun-tahun awal pelaksanaan program SD inpres, hampir setiap tahun, ribuan
hingga puluhan ribu gedung sekolah dibangun. Pembangunan paling besar terjadi pada
periode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD baru dibuat. Hingga periode 1993/1994
tercatat hampir 150.000 unit SD inpres telah dibangun. Seiring dengan pembangunan
gedung SD inpres tersebut, ditempatkan pula satu juta lebih guru inpres di sekolah-
sekolah itu. Total dana yang dikeluarkan untuk program ini hingga akhir Pembangunan
Jangka Panjang (PJP) I mencapai hampir Rp 6,5 triliun.
Meski dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sudah disebutkan salah
satu tujuan nasional dari bangsa ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa selain
untuk memajukan kesejahteraan umum, sektor pendidikan tampaknya amat terbelakang
dibandingkan dengan upaya pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi, misalnya.
Hal ini dapat dilihat dari pengeluaran pemerintah untuk pendidikan yang amat rendah.
Indonesia hanya menyumbangkan sekitar 1,4 persen produk nasional brutonya untuk
pendidikan dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 4,5 persen (UNDP, 2001).
Keberhasilan program wajib belajar 6 tahun ditandai dengan kenaikan angka partisipasi
sekolah dasar (SD) sebesar 1,4 persen. Angka partisipasi SD menjadi 89,91 persen di
akhir Pelita IV. Kenaikan angka partisipasi itu menambah kuat niat pemerintah untuk
memperluas kelompok usia anak yang ikut program wajib belajar selanjutnya, menjadi 7-
15 tahun, atau tamat sekolah menengah pertama (SMP). Jumlah guru SD yang
sebelumnya pada kisaran angka ratusan ribu, pada awal tahun 1994 menjadi lebih dari
satu juta guru. Lonjakan jumlah guru dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu juga terjadi
pada guru SMP.
5. Pendidikan Kejuruan
Sesuai dengan gerakan pembangunan telah disadari sejak pelita I akan langkanya tenaga-
tenaga terampil. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan kejuruan mendapat prioritas
sejak pelita I s.d pelita V. Hingga awal tahun 90-an menurut Dody Heriawan Priatmoko,
paling tidak ada 3 permasalah pendidikan di Indonesia, yakni : Pertama, adalah
kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan
hanya terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Kedua, adalah rendahnya tingkat Relevansi
pendidikan dengan kebutuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang
menganggur. Data BAPPENAS yang dikumpulkan sejak 1990 menunjukan angka
penganggur terbuka yang di hadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47 %, Diploma sebesar
27,5 % dan PT sebesar 36,6 %. Sedangkan pada priode yang sama pertumbuhan
kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4 %,
14,21 %, dan 15,07 %.
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja disebabkan
kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan
ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Ketiga, adalah rendahnya mutu pendidikan.
Indikator rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat pada prestasi siswa. Dalam
skala internasional, menurut laporan Bank Dunia(Greaney,1992), study IEA
( International Assosiation for The Evaluation of Educatin Achievemen) di Asia Timur
menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD pada tingkat terendah, dan
rata-rata skor untuk siswa SD Indonesia adalah 51,7 %. Anak-anak Indonesia ternyata
hanya mampu menguasai 30 % dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini dikarenakan
keterbiasaan mereka menghapal dan mengerjakan soal-soal pilihan ganda.
Apa yang diungkapkan oleh Radius Prawiro diatas dalam bukunya Pergulatan Indonesia
Membangun Ekonomi sekiranya bisa menjadi sedikit pengetahuan bagi kita akan sejarah
dari awal kebijakan ekonomi dalam masa awal orde baru, terlepas dari berapa banyak
rakyat Indonesia melupakan Soeharto, tetap saja warisannya yang penting dan berdampak
luas tidak akan terlupakan. Mudah-mudahan para pemimpin kita bisa mengambil
pelajaran dari sejarah panjang bangsa ini, almuhafadzah ‘alal qodim al sholih wal akhdu
‘alal jadid al ashlah ‘ memelihara tradisi lama yang masih baik dan mengambil/membuat
tradisi baru yang lebih baik.
Banyak yang terabaikan oleh kebijakan masa lalu perihal identitas dan arah bangsa,
hasilnya sekarang setelah keruntuhan rezim Soeharto, adalah Indonesia yang terombang-
ambing, tanpa landasan, tanpa kejelasan akan tujuan kemana Indonesia kelak, tanpa visi
yang disepakati akan ke arah mana hendak berjalan serta bagaimana sebaiknya
melakukan perjalanan tersebut. Saya sepakat dengan yang digambarkan R.E. Elson
bahwa tidak mengherankan bila persepsi kedaulatan yang defensif, yang dibesar-besarkan
serta mudah dibangkitkan amarahnya, begitu dominan dalam bangsa Indonesia kini.
Warisan paradoksikal kekuasaan Soeharto adalah bahwa transformasi-transformasi yang
coba ia atasi adalah akibat langsung walau awalnya tidak dimaksudkan demikian dari
upaya-upayanya melakukan modernisasi sosial dan ekonomi.
Masalah paling serius bagi Indonesia adalah bahwa tidak adanya pemimpin yang tampak
dapat menggabungkan keterampilan-keterampilan politik dan strategi Soeharto dengan
pemahaman yang lebih luas dan manusiawi tentang dunia serta posisi Indonesia yang
tepat di dalamnya. Kondisi perekonomian nasional saat itu memang lagi amburadul.
Kebijakan yang diambil Soeharto tentu saja sangat tepat dan mendapat dukungan dari
banyak pihak. Ketika itu dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang
sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis.
Teknokrat yang diambil umumnya berpendidikan Barat dan liberal seperti lulusan
Berkeley, yang kemudian dikenal di dalam klik ekonomi sebagai “Mafia Berkeley”.
Bicara tentang neo-liberalisme di Indonesia tidak bisa tidak menyinggung timbulnya UU
Penanaman Modal Asing Tahun 1967, yang merupakan pembuka pintu penetrasi politik
neoliberalisme di Indonesia. Politik Pintu Terbuka tersebut adalah hasil kerjasama kaum
neoliberal dengan antek-anteknya (Mafia Berkeley) di Indonesia yang bersarang di dalam
rejim Orde Baru.
Dalam waktu singkat akibat "Politik pintu terbuka" tersebut sebagian besar sumberdaya
alam Indonesia dikuasai oleh kapital finansial global. Malapetaka kemudian timbul:
hutan manjadi gundul – yang berakibat timbulnya bencana tanah longsor, banjir,
kehancuran lingkungan; hasil-hasil pertambangan dikuasai dan dikuras oleh kapital
monopoli asing , sehingga rakyat tidak merasakan enaknya, sebaliknya sangat ironis:
Indonesia sebagai negara penghasil minyak tapi rakyatnya harus antri panjang untuk
mendapatkan minyak. Lebih celaka lagi harga BBM akan dinaikkan oleh pemerintah
dewasa ini. Maka gerakan menolak kenaikan harga BBM perlu didukung. Jelas Pasal 33
UUD 1945 oleh pemerintah telah diinjak-injak, dan dengan demikian rakyat pun diinjak-
injak haknya untuk menikmati kekayaan alamnya.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini
merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri
hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut
pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat
seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri. Pada dasarnya kebijakan ini sangat
bagus, karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi,
dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal
ini bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan
dalam negeri.
Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa
dana-dana pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal,
ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-
akibat. Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga
yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak
akan menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya
lagi ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha
meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah,
dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan.
Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang
telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi
dalam pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan
reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan proses
yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak
dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang
bersamaan persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus
meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa pemerintahan Orde
Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada akhirnya berakibat
tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.
Melalui komisi pembaharuan pendidikan yang diketuai oleh Prof. Dr. Suyanto, M.Pd,
dari UNY, kebijakan pendidikan sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang Nomor
2 Tahun 1989 direformasi menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Dibentuknya SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi) lewat SK. MENDIKBUD No.
0457/U/1990; Sistem Kredit Semester; absensi; semester pendek dan Drop Out
merupakan usaha dominasi agar mahasiswa berpikir dan bertindak dalam kerangka yang
sudah ditentukan. Kemudian muncul organisasi gerakan mahsiswa yang lebih solid,
bahkan mengembangkan diri menjadi gerakan pemuda, seperti halnya Front Perjuangan
Pemuda Indonesia. Hal ini sesungguhnya adalah wujud dari kritik dan refleksi
mahasiswa bahwa kampus tidak lagi sebagai alat yang memadai bagi perlawanan dan
perubahan. Di kampus hanya ada pragmatisme, yang berpadu dengan hedonisme, elitis
dan pembodohan.
Konsep Link and Match adalah upaya penyeragaman berfikir yang telah dilakukan
negara ‘yang berkembang secara berlebihan (overdeveloped state)’ dalam rangka
rekayasa sosial. . Belum lagi, fenomena Mafia Berkeley, yang ditandai dengan
pengiriman teknokrat-teknokrat dan ekonom-ekonom Indonesia untuk dididik tentang
logika developmentalisme serta modernisme ala barat, merupakan bukti bahwa
intelektual yang ada hanyalah merupakan sekrup-sekrup industrialisasi.
Wadiman mengingatkan pentingnya link and match (jaringan dan aplikasi) dalam dunia
pendidikan. Era globalisasi menuntut sumber daya manusia tangguh. Pendidikan yang
berorientasi aspek kompetensi menjadi kuncinya. Sehingga, proses belajar mengajar yang
memfokuskan pada nilai sepatutnya mulai ditinggalkan. “Ketika saya awal jadi menteri
saya sempat heran. Hampir semua orang mengejar ijazah. Padahal yang penting adalah
kompetensi karena nanti ketika memasuki dunia kerja akan ada interview dan tes.
Percuma punya ijazah tapi tidak kompeten. Misalnya, ada yang dapat sertifikat lulus
bahasa Inggris, tapi ketika dihadapkan untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris
ternyata tidak mampu lantas apa artinya ijazah itu. Maka sekolah wajib mengajarkan
kompetensi, bukan lagi sekadar ijazah. Untuk itu, sekolah dituntut mampu
menerjemahkan kebutuhan ini, ” terang Wardiman Djojonegoro yang menjadi Menteri P
& K pada Kabinet Pembangunan IV periode 1993-1998.
Untuk menjadi negara maju dan makmur, menurut Wardiman dalam paparannya, paling
tidak ada tiga faktor. Pertama, karena manusia bukan mesin. Kedua, SDM yang
berketerampilan dan berpengetahuan. Dan ketiga, kesinambungan dari pembangunan
negara adalah pemanfaatan dan penerapan dari ilmu dan pengetahuan (iptek). “Iptek itu
memberi nilai tambah. Di Singapura air saja impor dari Malaysia. Tapi dengan
kemampuan iptek yang dimilikinya, bahan baku dari Indonesia dan sekitarnya mampu
diolah sehingga, misalnya, dapat memproduksi komputer atau barang dan jasa lainnya
yang nilainya jauh dari bahan baku yang diimpornya. Lihat saja maskapai
penerbangannya Singapore Airlines yang terkenal tidak hanya dalam jasa pelayanan tapi
juga perkembangannya padahal mereka negara kecil,” ujar Wardiman Djojonegoro, yang
sehari-hari kini aktif di Habibie Center bidang pendidikan. Karena itu, tambah
Wardiman, agar kita maju, syarat lainnya, guru juga harus berpikiran terbuka dan
mengoptimalisasikan ilmu pengetahuan dan teknologi. “Sejak dini sebaiknya iptek sudah
harus mulai diperkenalkan ke siswa, bahkan tingkat sekolah dasar. Lihat keberhasilan
negara tetangga kita Malaysia dan Singapura,” jelas Wardiman.
Nampaknya ada sesuatu yang "salah" , apakah sistem pendidikan yang "salah" karena
hanya "membentuk" manusia-manusia yang tidak "mampu", [Salahuddin, 1998:303),
menjadi beban, dan brutal, ataukah merupakan ekses dari kebijakan dan praktik
pendidikan di masa "rezim Orde Baru yang otoriter telah melahirkan sistem pendidikan
yang tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif. Walaupun secara
kuantitatif rezim ini memang telah mampu menunjukkan prestasi yang cukup baik di
bidang pendidikan. Dan patut diakui kemajuan-kemajuan pendidikan secara kuantitatif
bisa kita rasakan selama Orde Baru [Suyanto dan Hisyam, 2000:5]. Namun keberhasilan
kuantitatif ini, belum terlihat pemberdayaan masyarakat secara luas, sebagai cermin dari
keberhasilan suatu sistem pendidikan, dan tidak pernah terjadi. "Mengapa demikian?
Karena Orde Baru, setelah lima tahun pertama berkuasa, secara sistematis telah
menyiapkan skenario pemerintahan yang memiliki visi dan misi utama untuk
melestarikan kekuasaan dengan berbagai cara dan metode.
Akibatnya, sistem pendidikan kemudian dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk
menciptakan safetynet bagi pelestarian kekuasaan. Visi dan misi pelestarian kekuasaan
itu, melahirkan kebijakan pendidikan yang bersifat straight jacket" (Suyanto dan Hisyam,
2000:7). Pendidikan produk Orde Baru belum bisa diharapkan untuk membangun dan
memberdayakan masyarakat, karena pendidikan yang berjalan pada masa Orde Baru dan
produknya dapat dirasakan sekarang ini, sebatas pada sosialisasi nilai dengan pola
hafalan, dan kreativitas dipasung. Menurut Tilaar, bahwa "sistem pendidikan nasional
sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik bangsa pada saat itu. Maka selama Orde
Baru telah tercipta suatu hidupan bangsa yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD 1945.
Pemerintah Orde Baru yang represif telah menghasilkan manusia-manusia Indonesia
yang tertekan, tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan
yang hanya mengabdi kepada kepentingan sekelompok kecil rakyat Indonesia (Tilaar,
1999:4). Patut diakui, bahwa produk pendidikan Orde Baru, masih berpengaruh sampai
sekarang ini.
Imbas dari moratorium yang disepakati dalam paris club hanya bersifat sementara karena
setelah tahun 1976 pembayaran utang berlanjut kembali. Mulai saat itu para kreditor
diuntungkan oleh kesepakatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya, Semua Utang yang
ditandatangani sebelum tahun 1966 (pada pemerintahan Sukarno) harus dibayar dalam 30
kali cicilan dalam kurun waktu antara tahun 1970 sampai 1999. Tanggungan pembayaran
ini diikuti dengan devaluasi dan perubahan nilai tukar, yang menjadikan Indonesia
sebagai negara dengan nilai tukar mengambang paling bebas di dunia.
Pada akhir tahun 1998 lebih dari 50% penduduk Indonesia hidup dibawah garis
kemiskinan. Salah satu resep kebijakan IMF untuk menutup 16 bank membuat
masyarakat panik dan menarik uangnya di bank-bank nasional dan sebagian di bank
asing, untuk mengatasi goncangan ini IMF kembali membuat rekomendasi kebijakan
yang mengharuskan pemerintah mengucurkan dana trilyunan rupiah untuk memperbaiki
kecukupan modal pada bank-bank yang bermasalah tersebut melalui obligasi rekap.
Sayang, kemandirian itu tidak dijaga oleh Presiden Soeharto, dia memilih berkompromi
dengan pihak asing ketimbang menggali potensi bangsa sendiri. Akibatnya, kemajuan
pesat yang dicapai semasa Presiden Soeharto tidak kokoh alias rapuh.
Terbukti, berbagai pencapaian yang dilakukan semasa Orde Baru seperti pemulihan
ekonomi dari kebangkrutan era Soekarno, hingga swasembada pangan, bahkan julukan
sebagai salah satu macan Asia dalam perekonomian tidak berlangsung lama. Apa yang
dicapai selama 32 tahun berantakan dalam sekejap pascakrisis ekonomi melanda
Indonesia pada 1997 silam. Sampai hari ini Indonesia tetap tergantung kepada pihak
asing, semakin sulit mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. Hal itu pula yang
disesalkan banyak pihak terhadap mantan Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32
tahun lebih. Presiden Soekarno sebelumnya padahal telah mencanangkan kemandirian
Indonesia sebagai awal kebangkitan bangsa Indonesia di kancah dunia.
Selanjutnya, melalui indoktrinasi, pemerintah orde baru telah membuat dunia pendidikan
Indonesia lepas dari filosofi dasar pendidikan. Dalam 40 tahun terakhir, sistem
pendidikan kita adalah produk kebijakan opresif Orde Baru (Orba). Sejauh mana sistem
pendidikan opresif melahirkan kepemimpinan transformative. Politik kekuasaan sering
digambarkan mendominasi arah pendidikan nasional melalui aneka kebijakan strategis,
seperti kurikulum dan ujian nasional. Namun, sejarah Indonesia menunjukkan, para
pendiri dan pemimpin awal bangsa lahir dan dibesarkan dalam alam pendidikan kolonial
yang diskriminatif.
Artinya, dampak politik kekuasaan tidak selalu negatif terhadap hasil pendidikan. Meski
demikian, dari sistem pendidikan Orba belum terlihat satu generasi pemimpin yang teruji
ketangguhan dan integritasnya sebagai agen pembaruan bangsa. Oleh karena itu,
kemunculan pemimpin muda saat ini harus didorong bukan sebagai peralihan kekuasaan
antargenerasi per se, tetapi cermin rekonsepsi arah pendidikan sekarang. Dunia
pendidikan Indonesia dijadikan abdi industrialisasi. Dunia pendidikan Indonesia dipaksa
harus bisa memenuhi kebutuhan tenaga kerja sektor industri semata-mata.
Meski dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sudah disebutkan salah
satu tujuan nasional dari bangsa ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa selain
untuk memajukan kesejahteraan umum, sektor pendidikan tampaknya amat terbelakang
dibandingkan dengan upaya pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi, misalnya.
Pandangan klasik melihat pendidikan sebagai alat reproduksi kelas sosial-ekonomi
masyarakat (London, 2002; Fernandes, 1988; Labaree, 1986). Seseorang memasuki jenis
sekolah sesuai derajat sosial-ekonomi orangtua untuk memegang posisi tertentu dalam
struktur kelas masyarakat tempat asalnya.
Pendidikan sebagai alat reproduksi kelas membuka peluang mobilitas sosial vertikal.
Namun, sistem demikian tidak mendobrak struktur sosial yang menjadi akar penyebab
timbulnya kelas-kelas masyarakat. Pemikiran postmodern merombak pandangan itu.
Melalui kajian radikal tentang aspek-aspek hubungan kekuasaan dalam pendidikan, para
pedagog dan filsuf pendidikan kontemporer, seperti Caughlan (2005), Schutz (2004),
Giroux (2000, 1981, 1980), dan Mangunwijaya (1999), menegaskan pentingnya pedagogi
kritis dan transformatif. Pendidikan ditantang melahirkan insan-insan unggul yang
mampu membarui struktur sosial masyarakat agar lebih adil, terbuka, dan partisipatif.
Dalam konteks ini, kemunculan pemimpin baru tidak memerlukan wacana karena pada
dasarnya insan-insan hasil pendidikan kritis-transformatif memiliki kualitas
kepemimpinan. Pemimpin menjadi sosok utama kumpulan insan unggul yang sama-sama
bervisi menciptakan struktur sosial baru.
Hal ini dapat dilihat dari pengeluaran pemerintah untuk pendidikan yang amat rendah.
Indonesia hanya menyumbangkan sekitar 1,4 persen produk nasional brutonya untuk
pendidikan dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 4,5 persen (UNDP, 2001).
Sementara untuk pengeluaran pemerintah pada periode sebelum krisis (1991-1995),
pengeluaran pemerintah hanya 1,3 persen, amat jauh di bawah negara jiran Malaysia
yang mencapai 4,8 persen. Meski sama-sama dikaruniai sumber daya alam yang
melimpah, Malaysia tampaknya lebih berhasil dalam mencerdaskan kehidupan rakyatnya
daripada Indonesia. Malaysia juga lebih berhasil dalam menanggulangi masalah
ketenagakerjaan. Data sebelum krisis (1995) menunjukkan, Malaysia bahkan mengalami
kekurangan tenaga kerja sebesar 60.000 orang, sedangkan Indonesia dihadapkan masalah
kelebihan 1,2 juta tenaga kerja!