Professional Documents
Culture Documents
Ekonomi
Written by Dr. Sri Adiningsih Kepala Pusat Studi Asia Pasifik UGM
Tuesday, 21 July 2009 09:54
Pendahuluan
Tidak terasa krisis ekonomi yang telah menghantam kita pada tahun 1997 sudah berlalu
lebih dari satu dekade. Banyak pelajaran yang dapat kita petik dalam penyehatan ekonomi
yang telah kita lakukan selama ini. Baik suka ataupun duka. Dampak krisis pun sampai
sekarang masih terasa, membebani keuangan Negara sehingga kemampuan Negara untuk
membiayai berbagai kegiatan sosial ataupun terkait dengan masalah lingkungan sulit
untuk mendapatkan prioritas anggaran.
Krisis telah memaksa Indonesia mereformasi ekonominya dalam kerangka program IMF
hingga akhir 2003. Ekonomi mulai pulih pada tahun 2004, sehingga Indonesia siap
membangun ekonominya lagi, bangkit dari keterpurukkannya. Namun ternyata
kebangkitan ekonomi tidak mudah dicapai, perkembangan eksternal yang semakin tidak
ramah dan juga kebijakan domestik dalam mengelola ekonomi yang tidak tepat telah
membuat ekonomi Indonesia tidak banyak mengalami kemajuan yang berarti hingga saat
ini.
Pembangunan yang dijalankan di Indonesia sejak tahun 1970-an hingga sekarang masih
cenderung fokus pada pembangunan ekonomi, bahkan pada pertumbuhan ekonomi yang
cenderung jangka pendek. Sehingga masalah keberlanjutan belum menjadi prioritas
utama. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi pun kualitasnya
semakin memburuk. Apalagi dengan keterbatasan APBN dan sumber daya yang kita
miliki, sehingga tidak mengherankan apabila pengambil kebijakan lebih memilih jalan
pintas, yang cepat kelihatan hasilnya, kurang memperhatikan keberlanjutannya.
Liberalisasi pasar yang semakin melibas perekonomian di banyak Negara juga telah
menghambat pembangunan berkelanjutan. Martin Khor direktur dari Third World
Network melihat bahwa lieberalisasi dan globalisasi yang menekankan pada "daya saing"
telah menghambat pembangunan berkelanjutan sehingga merusak lingkungan.
Liberalisasi dan globalisasi telah memperburuk lingkungan global karena tidak adanya
aturan dan pengawasan pada TNCs di pasar global sehingga meningkatnya volume bisnis
mereka meningkatkan kerusakan lingkungan. Padahal aktivitas TNCs telah banyak
merusak lingkungan hidup (penghasil lebih dari 50% greenhouse gases). Demikian juga
kebijakan yang liberal dan integrasi pasar telah mendorong peningkatan eksploitasi dari
sumber daya alam seperti hutan dan kelautan sehingga mendorong kerusakkan lingkungan
yang serius. Selain itu globalisasi mendorong ekplorasi sumber daya alam yang melampau
batas keberlangsungannya seperti air, tanah, dan mineral, telah banyak merusak
lingkungan hidup.
Bagi negara seperti Indonesia, yang baru saja keluar dari krisis ekonomi, serta masih
menghadapi banyak masalah ekonomi dan sosial yang berat, sehingga menghadapi proses
globalisasi baik dalam kerangka ASEAN Free Trade Area (AFTA) tahun 2010, ASEAN
Economic Community tahun 2015, Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), dan
WTO adalah tidak mudah. Oleh karena itu membangun kembali Indonesia tidaklah
mudah pada saat ini. Apalagi membangun secara berkelanjutan ditengah-tengah pasar
yang semakin liberal.
Tantangan Indonesia
Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa menjaga lingkungan tidaklah dapat berdiri
sendiri. Pembangunan berkelanjutan dengan melestarikan lingkungan hanya akan berhasil
jika dipadukan secara terintegral dengan pembangunan ekonomi dan sosial yang
berkelanjutan. Oleh karena itulah perlu kebijakan yang terintegral dalam pembangunan
lingkungan dengan pembangunan ekonomi dan sosial agar dapat memberikan hasil yang
optimal. Meski demikian desain program yang baikpun belum menjamin keberhasilan
pembangunan berkelanjutan. Banyak bukti menunjukkan bahwa keberhasilan
pembangunan berkelanjutan seringkali terganjal oleh kurangnya implementasi yang baik.
Secara prinsip pembangunan berkelanjutan sebenarnya harus terefleksi dalam cara
berfikir, hidup, memerintah dan berbisnis dari seluruh masyarakat. Oleh karena itulah
dalam kerangka mensukseskan pembangunan berkelanjutan banyak sekali aspek yang
perlu dibenahi.
Sementara itu kondisi keungan negara yang berat, hutang luar negeri yang besar, serta
fundamental ekonomi yang masih rapuh, disertai dengan kualitas pertumbuhan ekonomi
yang memburuk. Membuat Indonesia akan mudah terjebak memilih kebijakan ekonomi
yang cenderung menguntungkan dalam jangka pendek. Khususnya dengan
mengeksploitasi sumber daya alamnya, ataupun memberikan kelonggaran yang lebih
besar pada kegiatan ekonomi yang berpotensi merusak lingkungan baik dari industrialis
domestik ataupun asing. Pembangunan berkelanjutan menjadi semakin mahal untuk
diimplementasikan.
Kesimpulan
Masa depan kehidupan bangsa dan negara akan banyak sekali ditentukan oleh berbagai
pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada saat ini. Apalagi pemerintah juga
cenderung semakin liberal dalam melaksanakan kebijakan ekonominya. Sementara itu
tuntutan untuk membangun secara berkelanjutan juga semakin meningkat selaras dengan
semakin besarnya ongkos yang harus kita pikul dengan semakin rusaknya lingkungan
hidup, yang dapat dilihat dengan semakin banyaknya bencana alam yang merenggut
banyak nyawa dan material akhir-akhir ini. Oleh karena itu Indonesia tidak lagi dapat
mengabaikan pelestarian lingkungan hidupnya.
Referensi
Cooper, Phillip J. Dan Vargas, Claudia M., Implementing Sustainable Development from
Global Policy to Local Action, Rowman & Littlefield Publisher Inc., UK, 2004
Khor, Martin, "Globalization and the Crisis of Sustainable Development", Third World
Network.
Stiglitz, Joseph, Globalization and its Discontents, The Penguin Books, 2002)
Keanekaragaman hayati Indonesia telah dinilai tinggi didunia. Menurut publikasi dari
Kementrian Lingkungan Hidup Indonesa, melalui buku Status Lingkungan Hidup
Indonesia, menyebutkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara megabiodiversity.
Sebagai negara megabiodiversity, keanekaragaman hayati Indonesia terdiri dari: mamalia
515 species (12 % dari jenis mamalia dunia), reptilia 511 jenis (7,3 % dari jenis reptilia
dunia), burung 1.531 jenis (17% dari jenis burung dunia), amphibi 270 jenis,
binatang tak bertulang belakang 2.827 jenis dan tumbuhan sebanyak ± 38.000 jenis, di
antaranya 1.260 jenis yang bernilai medis (Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008).
Berbagai biota yang menghuni alam indonesia ini saling berinteraksi membentuk
berbagai ekosistem yang memiliki sumberdaya alam tinggi sebagai modal dalam
pembangunan. Perlu dicermati, kekayaan biodiversitas yang telah membentuk suatu
ekosistem, sebenarnya cukup rapuh. Bentang alam indonesia dari pegunungan, lembah,
ngarai, pesisir, sampai dengan laut lepas menyimpan sumberdaya alam yang tidak
ternilai. Interaksi dari berbagai ekosistem tersebut secara harmoni telah memberikan
manfaat bagi manusia. Kompleksitas ekosistem tersebut berperan dalam bidang industri,
pertanian, perikanan, maupun perdagangan di Indonesia secara langsung maupun tidak
langsung. Kelangsungan suatu ekosistem sangat menentukan seberapa besar nilai
ekonomi yang mampu diberikan oleh alam kepada manusia.
Dari berbagai kajian dan penelitian yang telah dilakukan terkait natural resource
memberikan fakta menarik, bahwa alam memiliki suatu sistem yang dinamis dan menjadi
sumber utama yang diperlukan manusia dalam kehidupan. Keterkaitan dan
keberlangsungan sistem di alam tersebut memberikan aliran energi terhadap biota
didalamnya sebagai suatu bentuk dukungan alam terhadap proses kehidupan yang
berlangsung. Dukungan alam tersebut memiliki keterbatasan (Daya Dukung Lingkungan)
dan sangat tergantung oleh interaksi-interaksi berbagai komponen yang ada di dalamnya.
Keharmonisan hubungan tersebut didukung oleh tingkat biodiversitas yang memiliki
kerentanan tinggi terhadap faktor internal ekosistem dan faktor luar yang mendukung
bentuk ekosistem yang ada.
Secara empirik disebutkan bahwa pada jaman dahulu kehidupan manusia yang sangat
bergantung pada alam. Selanjutnya di era modern dan yaitu dari revolusi industri di
negara Eropa, para pakar telah menyatakan bahwa manusia telah dan mampu menguasai
alam. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memang “bisa” menguasai alam, tetapi hal
tersebut hanya berlangsung pada beberapa aspek. Disadari atau tidak, sampai dengan saat
ini kehidupan manusia sangat tergantung kepada alam.
Ditinjau dari aspek yuridis upaya pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan alam yang bisa
diartikan biodiversitas telah dilakukan di tingkat lokal (nasional) maupun global
(internasional). Peraturan perundangan yang mengatur sistem pengelolaan dan
pemanfaatan kekayaan alam dari jaman orde baru dan reformasi terus berkembang
dengan tujuan pelestarian yang menitikberatkan kepada kesejahteraan dan pembangunan
untuk rakyat melalui pemanfaatan kekayaan alam yang lestari. Dari keputusan menteri,
peraturan presiden, hingga tingkat Undang Undang, yang mana semuanya adalah produk
hukum terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.
Selain produk hukum dalam negeri tersebut, upaya pemanfaatan dan pengelolaan
keakayaan alam juga telah disepakati di berbagai negara didunia melalui berbagai
konferensi tinggi tingkat dunia, satu diantaranya melahirkan MDG’s (Millenium
Development Goal’s) yaitu pada tujuan ke-7 Memastikan Kelestarian Lingkungan
Hidup).
Fakta menyebutkan berbagai kerusakan alam indonesia telah telah mengiringi kegiatan
pembangunan indonesia di dasawarsa terakhir ini. Eksploitasi sumberdaya alam pesisir
telah merusak sekian juta ha hutan mangrove yang memiliki peran penting dalam
ekosistem pesisir. Penambangan-penambangan diberbagai daerah juga telah
menyebabkan ketidak harmonisan interaksi keanekaragaman hayati di ekosistem sungai
maupun hutan. Sistem pertanian yang ada juga telah menurunkan kestabilan ekosistem di
dataran rendah. Pembangunan perkebunan yang menghasilkan devisa negara cukup tinggi
disinyalir telah menurunkan tingkat keanekaragaman hayati di ekosistem hutan hujan
tropis. Sampai dengan bahasan ini dikatakan bahwa pembangunan yang telah dilakukan
belum mampu menjawab kebutuhan alam dan kebutuhan manusia yang sesungguhnya.
Ekosistem sebagai sendi utama kehidupan di muka bumi harus menjadi salah satu dasar
pertimbangan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Meletakkannya dalam asas
tertinggi adalah suatu keharusan demi mewujudkan makna terdalam pemenuhan
kebutuhan manusia. Strategi pembangunan nasional bukan hanya Pekerjaan rumah
pemerintah berkuasa, namun menjadi kewajiban semua pihak, karena setiap manusia
hidup di alam dan tergantung terhadap substansi penting yang terkandung dalam alam itu
sendiri (Hafid@April 2010).
Lingkungan Hidup Dan Pembangunan
Berkelanjutan
Written by S.Budhisantosa - Puslit Pranata Pembangunan UI
Tuesday, 21 July 2009 08:58
Keberhasilan manusia mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya
sebagai makhluk yang tertinggi derajadnya di muka bumi (khalifah) adalah berkat
kemampuannya beradaptasi terhadap lingkungan hidupnya secara aktif. Sungguhpun
manusia merupakan makhluk lingkungan (territorial being) yang tidak mungkin
dipisahkan dari lingkungan hidupnya sebagai tempat bermukim, manusia tidak
menggantungkan dirinya pada kemurahan lingkungan semata-mata. Sejak terusir dari
Secara simbolik, sejak meninggalkan Taman Firdaus yang segala kebutuhan hidupnya
serba ada dan dalam jumlah serba banyak untuk menjamin hidupnya, terpaksa harus
bekerja keras dengan menguasai alam semesta beserta segala isinya.
Jelaslah bahwa kisah kejadian tentang asal-usul manusia pertama, yaitu Adam dan Siti
Hawa, mengandung pengertian bahwa manusia harus mengembangkan diri untuk
mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan sebagai manusia dengan
menguasai jagad raya beserta isinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejak hidup di
bumi manusia harus mengembangkan peralatan dan cara pengendaliannya untuk
membangun lingkungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan memenuhi kebutuhan
hidupnya dengan mengelola lingkungannya serta mengolah sumberdaya alam yang
tersedia. Pernyataan poluler tentang usaha manusia membina hubungan secara aktif dan
timbal balik seorang pelopor Antropologi kenamaan Gordon Childe diabadikan dalam
bukunya tentang sejarah peradaban manusia Man Makes Himself (19..).
Berkat kemampuan akal dan ketrampilan kerja kedua tangannya, manusia dapat
memahami lingkungannya dan menghimpun pengalaman sebagai pengetahuan dan
menciptakan peralatan sebagai penyambung keterbatasan jasmaninya. Keunggulan
manusia berfikir secara metaforik dan kemampuan kerja dengan menggunakan peralatan
itu, manusia dapat menghimpun pengalaman, mengembangkan pengalaman dan
kemampuan menguasai bumi dengan segala isinya. Akhirnya manusia menjadi makhluk
pemangsa yang terbesar di muka bumi. Manusia dapat melaksanakan perintah sang
Pencipta untuk menguasai ikan di lautan, menguasai segala binatang yang hidup di
daratan maupun burung-burung yang berterbangan di langit, untuk mengembangkan
keturunan dan memenuhi bumi. Karena itulah manusia berhasil menghantar dirinya
sebagai khalifah di muka bumi dan hidup tersebar luas di muka bumi.
Sungguhpun keunggulan manusia telah membuka peluang untuk menguasai bumi dengan
segala isinya dan dapat mengembangkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan di
manapun ia suka, tidaklah berarti bahwa kekuasaan manusia itu tanpa mengenal batas.
Dengan peralatan di tangan sejak zaman batu tua (palaeolithicum) hingga masa industri
yang didominasi dengan penerapan teknologi modern, manusia senantiasa mengalami
sejarah kemajuan dan kemerosotan menuju ke peradaban. Dengan peralatan batu yang
sederhana, manusia dengan lebih mudah memenuhi kebutuhan hidupnya dengan meramu
dan berburu binatang liar. Kemudahan itu untuk memenuhi kebutuhan hidup itu berhasil
meningkatkan kesejahteraan yang diikuti dengan meningkatnya kebutuhan hidup dalam
jumlah, ragam dan mutunya. Dengan demikian manusia dipacu untuk meningkatkan
intensitas pengolahan sumberdaya alam yang tersedia dan pada gilirannya menimbulkan
dampak pada lingkungan hidup mereka. Kemajuan peradaban berkat kemampuan manusia
menguasai lingkungannya itu telah menimbulkan dampak pada hubungan timbal balik
antara manusia dengan lingkungannya.
PEMBANGUNAN
Pengalaman penerapan teknologi maju di benua lama untuk mengembankan industri pada
awal abad XIX telah membuktikan betapa hubungan antar manusia dan lingkungan
hidupnya kehilangan keseimbangan. Dalam tempo yang relatif singkat hutan-hutan
setempat tidak dapat menghasilkan cukup banyak kayu yang diperlukan untuk
pembangunan. Demikian juga binatang liar tidak lagi dapat diharapkan menghasilkan
kulit berbulu tebal. Selama kurun waktu 50 tahun (1850-1900) tercatatat lebih dari 35 juta
penduduk Eropa terpaksa mengungsi ke luar untuk mencari penghidupan di daerah koloni.
Pengalaman di Eropa itu berulang di kebanyakan negara yang sedang berkembang dewasa
ini, termasuk Indonesia. Setelah selesai dengan "revolusi integratif" yang mempersatukan
bangsa (C.Geertz, 1966) di bawah kepemimpinan Bung Karno, pemerintahan Orde Baru
melanjutkan dengan "revolusi pembangunan". Pembangunan nasional diselenggarakan
dengan percepatan pada pertumbuhan ekonomi yang ditopang dengan penerapan
teknologi maju serta stabilitas nasional sebagai persyaratan.
Percepatan pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang tidak ditopang dengan
perkembangan pranata sosial yang diperlukan ternyata tidak berhasil memacu
perkembangan ekonomi (economic development) yang berakar kuat dalam tatanan
kehidupan masyarakat. Masyarakat Indonesia yang pada umumnya masih didominasi
tradisi agraris yang bertumpu pada ekonomi subsistensi yang penuh keseimbangan
(equilibrious society) harus dengan masyarakat industri yang bertumpu pada ekonomi
pasar (market oriented economy) yang mengejar keuntungan materi. Dalam keadaan
sedemikian itu pertumbuhan ekonomi hanya di nikmati oleh segolongan kecil masyarakat
yang telah siap memanfaatkan peluang dalam pembangunan. Akibatnya masyarakat
Indonesia mengalami pergeaseran dari masyarakat yang berkesenangan (equilibrious
society) ke arah masyarakat yang berkesenjangan sosial (disequilibrious society) dengan
segala implikasi sosial, politik dan keamanan.
Sementara itu penerapan teknologi modern yang cenderung lebih exploitatif dan expansif
penerapannya untuk mengimbangi besarnya biaya yang diperlukan telah berlangsung
tanpa kendali yang efektif. Akibatnya pengurasan sumberdaya alam berlangsung secara
besar-besaran tanpa mengindahkan keseimbangan fungsi lingkungan. Kenyataan tersebut
telah menyisihkan sebagian masyarakat dari sumberdaya alam yang selama ini mereka
rawat secara berkelanjutan, karena mereka tidak mampu bersaing tanpa perlindungan
dengan pihak "luar" yang memiliki berbagai keunggulan. Akibatnya bukan hanya
kesenjangan sosial bertambah lebar dan dalam, melainkan juga rusaknya keseimbangan
fungsi lingkungan.
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Mengingat kenyataan tersebut, model pembanguinan nasional harus diubah, bukan lagi
trilogi, melainkan pancalogi dengan menambahkan prinsip sosial dan ekologi.
Pembangunan nasional yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi
menjadi perkembangan ekonomi yang kuat berakar dalam kehidupan masyarakat harus
ditopang dengan pengembangan pranata sosial secara memadai. Dengan lain perkataan,
sejalan dengan usaha pembangunan sektor ekonomi harus diimbangi dengan usaha
memberdayakan masyarakat agar dapat mengambil bagian secara menguntungkan.
Pemberdayaan itu tidak sebatas pada pembekalan ketrampilan dan keahlian, melainkan
juga kondisi lingkungan sosial yang menjamin kebebasan penduduk untuk menentukan
pilihan hidupnya (cultural freedom), keadilan sosial dan demokrasi politik. Tanpa ke 3
persyaratan itu, masyarakat luas tidak akan mampu ikut mengambil bagian secara
menguntungkan, karena sebagian besar dari mereka itu masih didominasi tradisi agraris
masing-masing.
Dengan ke 3 persyaratan tersebut, masyarakat akan merasa aman dalam usahanya karena
perlindungan atas hak asazi mereka sebagai manusia serta perlindungan atas lingkungan
hidup tempat mereka bermukim dan mengembangkan kebudayaan masing-masing.
Sungguhpun tidak mungkin lagi bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan akan
lingkungan hidup dengan ke 5 fungsi sosial secara penuh. Setidak-tidaknya ada jaminan
bagi mereka untuk mendapatkan menciptakan lingkungan yang aman, terjamin sumber
pencaharian atau makanannya, tersedia tempat mengembangkan keturunan secara aktif,
terawatnya sarana integrasi sosial dan arena tempat aktualisasi diri bagi warganya dan
kebutuhan akan keamanan. Terpenuhinya jaminan tersebut juga akan memperkuat
kesadaran penduduk untuk mengelola lingkungan hidupnya dan mengolah
sumberdayanya secara berkelanjutan demi pelestarian fungsi lingkungannya secara
menyeluruh.
Sementara itu perhatian terhadap ekologi dalam pembangunan diperluka sebagai kendali
atas pengelolaan lingkungan dan pengolahan sumberdaya alam yang semakin langka
(Environment scarcity). Pertiakaian antar bangsa dan bahkan antar kelompok sosial dalam
lingkungan masyarakat bangsa yang lebih luas dewasa ini, pada hakekatnya berawal pada
perebutan penguasaan sumberdaya dan lingkungan yang terasa semakin langka.
Dalam memperebutkan lingkungan dan sumberdaya alam yang semakin langka itu,
manusia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dengan berbagai macam dalih dan
seringkali juga mengaktifkan simbol-simbol ikatan primordial kesukubangsaan,
kebangsaan dan keagamaan ataupun ideologi politik. Karena itu, pembangunan yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umum jangan sampai sebaliknya
menimbulkan kesengsaraan umum. Pembangunan, karena itu bukan semata-mata sekedar
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, melainkan juga harus mampu memacu
perkembangan sosial-budaya dan melestarikan fungsi lingkungan sebagai tempat manusia
mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Manusia sebagai makhluk lingkungan (territorial being), tidak mungkin dipisahkan dari
lingkungannya dan tidak mungkin merusak lingkungannya untuk kepentingan sejenak
atau bagi generasinya. Semata. Manusia mempunyai tanggungjawab melestarikan fungsi
lingkungan bagi generasi penerus mereka. Apa yang mereka perlukan adalah pengaturan
yang disepakati bersama untuk melestarikan ke 5 fungsi sosial lingkungannya.
Masalahnya siapa yang akan mengambil prakarsa untuk memulainya secara perorangan
maupun kolektif.
Ekonomi
Berbagai Hambatan dalam Penerapan Kebijakan Moneter Inflation
Targeting
I. PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui bahwa negara Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi yang
berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Tingginya tingkat krisis yang dialami negri kita ini
diindikasikan dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak atas inflasi, terjadi
penurunan tabungan, berkurangnya investasi, semakin banyak modal yang dilarikan ke luar
negeri, serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan untuk
terus berlanjut dan memaksa pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan dalam
mengatasinya.
Kebijakan moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah
mencerminkan arah ke sistem pasar. Artinya, orientasi pemerintah dalam mengelola
perekonomian telah bergeser ke arah makin kecilnya peran pemerintah. Tujuan pembangunan
bukan lagi semata-mata pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi lebih kepada pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan.
Penerapan kebijakan moneter dengan menggunakan target inflasi (inflation targeting) ini
diharapkan dapat menciptakan fundamental ekonomi makro yang kuat. Makalah ini akan
membahas berbagai hal yang berkaitan dengan target inflasi, yang meliputi pengertian, evolusi
teori, prasyarat, karakteristik dan elemen target inflasi. Agar dapat mengetahui dengan jelas
kondisi ekonomi nasional Indonesia hingga tahun 2000 ini, maka dalam pembahasan juga
dipaparkan tentang perkembangan ekonomi makro Indonesia.
II. PEMBAHASAN
Program pembangunan bidang ekonomi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1970-an
dan menunjukkan perkembangan yang pesat sejak tahun 1980-an. Pada masa itu pemerintah
memberikan banyak kemudahan bagi para investor yang akan berinvestasi di bidang keuangan
dan perbankan. Hingga pertengahan tahun 1990-an perekonomian Indonesia terlihat semakin
kuat dan mulai terpandang di dunia internasional. Dalam artikel ini akan dibahas perkembangan
ekonomi di Indonesia saat mulai berkembang tahun 1980-an hingga terjadinya krisis moneter
pada tahun 1997.
3. Kebijakan Moneter
Kondisi ekonomi negara Indonesia pada masa orde baru sudah pernah memanas. Pada
saat itu pemerintah melakukan kebijakan moneter berupa contractionary monetary policy dan
vice versa. Kebijakan tersebut cukup efektif dalam menjaga stabilisasi ekonomi dan ongkos yang
harus dibayar relatif murah. Kebijakan moneter yang ditempuh saat ini berupa open market
operation memerlukan ongkos yang mahal. Kondisi ini diperparah dengan adanya kendala yang
lebih besar, yaitu pengaruh pasar keuangan internasional.
4. Kebijakan Fiskal.
Dominasi kebijakan moneter dibanding kebijakan fiskal dan deregulasi sektor riil
menyebabkan terjadinya kebijakan makro ekonomi yang tidak seimbang.
Ditinjau dari aspek ekonomi makro, kinerja perekonomian bukan hanya dipengaruhi oleh
faktor-faktor internal, namun juga dari faktor eksternal. Kondisi ekonomi sangat dipengaruhi oleh
kondisi politik dan keamanan dalam negeri. Untuk beberapa tahun ke depan, kegiatan ekonomi
Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan, dengan asumsi kondisi politik dan
keamanan stabil. Peningkatan pertumbuhan ekonomi bertumpu pada kenaikan ekspor yang
dewasa ini mulai membaik kembali.
6 Target Inflasi.
Pengertian.
Ada berbagai kebijakan yang biasa dipergunakan oleh pemerintah dalam menangani
permasalahan ekonomi, misalnya kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Target inflasi
merupakan salah satu bentuk kebijakan moneter yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia
dalam upaya pemulihan kondisi ekonomi nasional. Dalam hal ini Bank Indonesia selaku bank
sentral menetapkan target laju inflasi untuk periode jangka waktu tertentu. Dengan demikian,
kebijakan target inflasi lebih berorientasi ke depan (forward looking) dibanding kebijakan-
kebijakan moneter sebelumnya (yang oleh BI disebut juga kebijakan konvensional).
Evolusi Teori.
Inflasi sebagai sasaran utama dan indepensi bank sentral sebagai pengendali inflasi
merupakan landasan dari target inflasi. Konsep target inflasi ini merupakan produk dari evolusi
teori moneter dan akumulasi pengalaman empiris. Teori-teori moneter yang memberikan
kontribusi bagi pematangan konsep ini meliputi teori klasik hingga teori modern, antara lain:
Menurut teori Klasik, kebijakan moneter tidak berpengaruh terhadap sektor riil. Sedangkan
menurut teori Keynes, sektor moneter dan sektor riil saling terkait melalui suku bunga.
Berdasarkan perkembangan teori dan pengalaman empirik, disimpulkan bahwa dalam jangka
panjang teori yang sesuai untuk dipergunakan adalah teori Klasik, sedangkan dalam jangka
pendek teori Keynes lebih tepat. Kebijakan moneter hanya mempunyai dampak permanen pada
tingkat harga umum (inflasi). Dengan kata lain bahwa pembenahan sektor ekonomi dapat
dilakukan dengan cara pengendalian inflasi.
Salah satu penganut teori klasik modern, Milton Friedman, mengemukakan bahwa
kebijakan rule lebih baik dibanding discretion. Pendapat tersebut bertolak belakang dengan teori
Keynes. Kemudian, untuk menentukan pilihan atas rule vs discretion, target inflasi menawarkan
suatu framework yang mengkombinasikan keduanya secara sistematis, yang disebut dengan
constrained discretion. Karena pada dasarnya, dalam praktik kebijakan moneter tidak ada yang
murni rules ataupun murni discretion.
Teori Keynes mempergunakan tingkat bunga sebagai sasaran antara, sedangkan dalam
teori kuantitas digunakan jumlah uang beredar. Penggunaan sasaran antara, baik berupa tingkat
bunga maupun kuantitas uang, akan menyebabkan pembatasan diri terhadap informasi. Guna
menghindarkan polemik ini, kebijakan target inflasi menentukan inflasi sebagai sasaran akhir.
Dengan demikian target inflasi menggunakan mekanisme transmisi yang relevan, tidak harus
tingkat bunga ataupun kuantitas uang. Dengan mengambil inflasi sebagai sasaran akhir, otoritas
moneter dapat lebih bebas dan lebih fleksibel dalam menggunakan semua data dan informasi
yang tersedia untuk mencapai sasaran, karena inflasi dipengaruhi bukan hanya oleh satu faktor.
7 Prasyarat.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan moneter dapat mencapai
keberhasilan dalam pelaksanaannya. Prasyarat tersebut meliputi:
Pengendalian inflasi hanyalah salah satu di antara beberapa sasaran lain yang
hendak dicapai oleh Bank Sentral. Sasaran-sasaran lain kadang-kadang
bertentangan dengan sasaran pengendalian inflasi, misalnya sasaran
pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, neraca pembayaran, dan kurs. Oleh
karena itu, seharusnya bank Sentral tidak menetapkan sasaran lain dan berfokus
pada sasaran utama pengendalian inflasi.
- Pengawasan instrumen
Biasanya, kebijakan yang fleksibel akan cenderung kurang kredibel dan hal itu
merupakan dilema dalam penentuan kebijakan. Aturan Taylor (Taylor’s rule)
dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk mengatasi dilema tersebut.
8 Karakteristik.
a. Dalam kebijakan ini target dan indikator inflasi ditentukan terlebih dahulu dan
dipergunakan sebagai pegangan dalam pelaksanaan kebijakan moneter.
b. Dalam kebijakan ini juga dibuat prediksi inflasi di masa yang akan datang. Prediksi
dilakukan dengan mempergunakan data besaran moneter, tingkat bunga, kurs, harga
aset, harga barang industri dan sebagainya.
c. Melakukan review terhadap kinerja kebijakan moneter. Hasil tinjauan tersebut dapat
dipergunakan sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki kinerja selanjutnya.
9 Elemen-elemen.
Berdasarkan teori dan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa elemen-elemen dalam
target inflasi terdiri atas:
Sasaran utama dalam kebijakan target inflasi adalah pengendalian inflasi. Kalau ada
sasaran-sasaran lain di samping sasaran ini, maka sasaran yang lain harus tunduk pada
sasaran utama.
b. Laporan pelaksanaan
Mestinya, publik perlu untuk mengetahui sasaran kebijakan ini. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka hasil yang telah dicapai oleh kebijakan ini harus dimonitor, dilaporkan dan
diumumkan secara periodik. Ini penting bagi publik agar dapat mengukur keberhasilan
kebijakan ini, karena akan berpengaruh terhadap ekspektasi masyarakat.
c. Independensi
d. Komunikasi
Dalam pelaksanaan kebijakan ini perlu adanya komunikasi yang efektif terhadap publik
tentang cara-cara pencapaian sasaran inflasi dan mekanisme transmisi yang jelas.
Data dan informasi yang relevan, terbaru dan lengkap diperlukan untuk melakukan analisis
kebijakan yang prima.
10 Prospek.
Kebijakan target inflasi ini telah dilaksanakan di negara-negara Selandia Baru, Kanada,
Inggris, Finlandia, Swedia, Australia, Spanyol, Korea dan Filipina. Negara-negara tersebut
mendapatkan keberhasilan dalam menekan laju inflasi dengan penerapan kebijakan ini.
Meski kebijakan target inflasi ini cukup menjanjikan, namun sebenarnya terdapat banyak
hambatan yang berkaitan dengan banyaknya prasyarat yang harus dipenuhi dalam
pelaksanaannya di Indonesia. Ditambah dengan adanya faktor lain yang juga menjadi kendala
dalam pemberlakuan kebijakan ini. Secara singkat, hambatan-hambatan dapat dijelaskan
sebagai berikut:
- Sulitnya menciptakan independensi bank sentral, karena hingga saat ini sistem
pemerintahan Indonesia tidak memungkinkan untuk memberikan kewenangan
penuh terhadap suatu lembaga/otoritas dalam menjalankan fungsi pengawasan
instrumen keuangan. Dengan kata lain bahwa pemerintah tidak dapat benar-
benar tidak turun campur tangan dalam urusan lembaga pengawas, meski
lembaga tersebut disebut lembaga independen. Para pejabat dalam lembaga
tersebut digaji oleh pemerintah, yang berarti loyalitas mereka terhadap
pemerintah tak diragukan lagi. Hal ini jelas-jelas menyebabkan fungsi
pengawasan tak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
- Pelaksanaan kebijakan target inflasi secara konsisten dan transparan juga akan
sulit terwujud. Tingkat korupsi di Indonesia yang sedemikian tinggi akan
mempersulit pemerintah dalam meraih kepercayaan dari masyarakat. Juga
maraknya praktik kolusi yang menyebabkan sikap masyarakat semakin apatis
dan enggan berpartisipasi dalam pelaksanaan pemulihan krisis ekonomi.
Kebijakan target inflasi belum tentu didukung oleh masyarakat, kecuali apabila
lembaga pelaksana kebijakan ini dapat meyakinkan masyarakat bahwa
aparaturnya negara bersih dan bebas korupsi.
- Faktor lain adalah tingkat keparahan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia
sudah tergolong akut, sehingga penanganannya juga lebih sulit dibanding
negara-negara lain. Mungkin kebijakan target inflasi ini berhasil diberlakukan di
negara-negara lain, namun belum tentu akan sesuai diberlakukan di Indonesia.
III. KESIMPULAN
- Kondisi perekonomian Indonesia yang terpuruk akibat krisis memerlukan upaya pemulihan
dengan menggunakan kebijakan moneter. Kebijakan yang diterapkan berupa inflation
targeting yang telah berhasil mengentaskan problem inflasi di berbagai negara di dunia.
- Target inflasi dicetuskan dari perkembangan evolusi teori-teori ekonomi dan dalam
pelaksanaannya ditentukan oleh kondisi suatu negara dengan prasyarat-prasyarat untuk
keberhasilan sistem ini.
- Pemulihan kondisi ekonomi yang stabil bukan hanya ditentukan oleh faktor internal, namun
juga faktor eksternal, misalnya kondisi politik dan keamanan negara.
- Target inflasi nampaknya akan sulit untuk diberlakukan sebagai salah satu kebijakan
moneter di Indonesia, mengingat berbagai hambatan yang harus dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA :
- Bernanke, B. and Mihov. 1997. "What Does the Bundesbank Target?" European Economic
Review.
- Boediono. 2000. "Inflation Targeting". Makalah Seminar Sehari Kerjasama FE UGM dengan
BI, MM UGM, 29 September.
- Mishkin, F.S. 1999. "International Experience with Different Monetary Policy Regimes".
Journal of Monetary Economics.
- Nopirin. 2000. "Kebijakan Moneter Dengan Target Inflasi". Makalah Seminar Sehari
Kerjasama FE UGM dengan BI, MM UGM, 29 September.
- Saudagaran, S.M. and Diga, J.G. 2000. "The Institutional Environment of Financial Reporting
Regulation in ASEAN". The International Journal of Accounting.
Sumber: http://www.stie-stikubank.ac.id/webjurnal
Senin Paing, 28 Agustus 2006
Artikel
Pola pembangunan konvensional harus segera ditinggalkan. Jika tidak segera mengubah haluan,
dampak negatif pada ketimpangan kehidupan dan lingkungan akan semakin menjadi-jadi.
---------------------
KERUSAKAN lingkungan Pulau Bali akibat eksploitasi berlebihan, dan berkembangnya usaha
yang mencemari lingkungan, mau tak mau harus disikapi dengan tindakan yang lebih aktif
melalui penyikapan bersama dalam menciptakan sinergi dan jejaring di antara semua
pemangku kepentingan (stakeholders).
---------------------------
Selama ini pembangunan sepertinya hanyalah mengejar pertumbuhan ekonomi, yang diukur
dengan produk domestik bruto (PDB) di tingkat nasional dan produk domestik regional bruto
(PDRB) di level lokal (propinsi dan kabupaten/kota). Jika PDB/PDRB meningkat, maka
pertumbuhan ekonomi tentu meningkat pula, yang dianggap merupakan ''prestasi'' pemimpin
nasional/lokal. Padahal dalam mencapai PDB/PDRB itu, kemajuan pembangunan masih berbasis
pada pembangunan yang bersifat konvensional. Dalam pembangunan konvensional,
keberhasilan menaikkan produksi barang dan jasa secara melimpah (yang merupakan unsur
PDB/PDRB), tidak mengakomodasi aspek lingkungan. Pembangunan sosial juga tersingkirkan,
terutama yang menyangkut kepentingan kelompok miskin. Banyak bukti untuk kasus ini, di
mana rakyat miskin selalu termarginalkan dalam setiap pembangunan.
Kinerja ekonomi dalam pembangunan konvensional seperti itu jelas mengarah kepada
pertumbuhan semu atau dikenal dengan istilah pseudo growth. Pseudo dalam dictionary berarti
palsu atau pura-pura, dan dalam kamus bahasa Indonesia berarti tidak asli dan tidak sah. Dalam
mengukur keberhasilan pembangunan melalui PDB/PDRB, cenderung pada pertumbuhan
ekonomi yang umumnya melakukan eksploitasi sumber daya alam secara eksploitatif, agresif,
dan ekspansif. Sebagai akibatnya, deplisi dan/atau degradasi serta kerusakan sumber daya
alam terjadi begitu mengenaskan. Implikasinya jelas berpotensi menghancurkan kinerja
pertumbuhan ekonomi itu sendiri (self-destructive). Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi
yang selama ini diukur melalui PDB/PDRB dan merupakan sebagai ukuran kesejahteraan
masyarakat masih bersifat "sesaat" dan belum memikirkan kelangsungan hidup untuk generasi
penerus.
Misalnya contoh penebangan pohon di hutan, seharusnya dilakukan peremajaan kembali atau
perbaikan sebagai akibat kerusakan yang timbul. Tetapi kenyataannya, hutan hanya
dieksploitasi untuk perolehan ekonomi tanpa dilakukan reboisasi kembali. Demikian juga galian
C, para pengusaha yang mengeksploatasinya hampir semuanya tidak melakukan upaya atau
memikirkan cara penanganan lubang bekas galian, yang jelas berpotensi akan tenggelam di
kemudian hari. Secara ekonomi, keuntungan diperoleh luar biasa saat pengeksploitasian, baik
bagi si pengusaha maupun yang diterima pemerintah daerah dan pusat melalui restribusi. Saat
menghitung PDB/PDRB, peningkatan pertumbuhan ekonomi terjadi, sehingga dianggap prestasi
bagi pimpinan, baik pimpinan nasional maupun pimpinan wilayah. Jenis pertumbuhan ekonomi
seperti itulah yang dapat dikatekagorikaan pseudo growth (pertumbuhan semu).
Pembangunan Berkelanjutan
Pola pembangunan konvensional harus segera ditinggalkan. Jika tidak segera mengubah haluan,
dampak negatif pada ketimpangan kehidupan dan lingkungan akan semakin menjadi-jadi.
Meskipun kendala yang dihadapi pasti besar, sebab banyak orang pada saat ini masih
mengutamakan kepentingan jangka pendek dibandingkan jangka panjang. Di samping itu,
adanya egoisme sektoral dan lemahnya penegakan hukum, juga akan menjadi kendala cukup
berat untuk dihadapi.
Sebenarnya sejak dasawarsa 1900-an, semua pihak seharusnya sudah menyadari konsep yang
dijadikan pijakan dalam setiap gerak menuju kemajuan pembangunan, yaitu dikenalkannya
konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Konsep ini didefinisikan sebagai pembangunan atau perkembangan yang memenuhi kebutuhan
masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya. Namun tantangan pembangunan berkelanjutan ini cukup banyak. Salah satu
yang paling krusial adalah menemukan cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat sambil
menggunakan sumber daya alam secara bijaksana, sehingga sumber daya alam terbarukan
dapat dilindungi, dan penggunaan sumber alam yang dapat habis (tidak terbarukan) pada
tingkat di mana kebutuhan generasi mendatang masih tetap akan terpenuhi.
Internalisasi Biaya
Secara global konsep pembangunan berkelanjutan sudah ada gerakan nyata untuk
mengimplementasikannya. Seperti, ketatnya, berbagai aturan tentang produk yang masuk ke
negara-negara maju. Misalnya harus mencantumkan label yang ramah lingkungan (eco-
labelling). Bagaimana di tingkat nasional dan lokal? Tampaknya belum.
Untuk itu, secara sederhana jika memungkinkan mulai sekarang setiap perusahaan yang bidang
usahanya berpotensi merusak atau mencemari lingkungan memasukkan biaya perbaikan
lingkungan ke dalam harga pokok produk/jasa yang dihasilkannya, sehingga peremajaan atau
perbaikan lingkungan menjadi tanggung jawab perusahaan yang bersangkutan. Konsep
internalisasi biaya perbaikan lingkungan ke dalam harga pokok, paling tidak akan menjadi
langkah sedikit maju di masa mendatang. Rasanya hal ini tidak begitu sulit dilakukan. Namun
pertanyaannya sekarang, apakah ada pengusaha yang mau melakukannya?
------------------
* Mulai sekarang setiap perusahaan yang bidang usahanya berpotensi merusak atau mencemari
lingkungan, memasukkan biaya perbaikan lingkungan ke dalam harga pokok produk/jasa yang
dihasilkannya.
1. Istana Raja masih menjadi pusat kebudayaan, keabsahan suatu nilai dari ekspresi
budaya, apakah ilmu pengetahuan, seni rupa, musik, sastra, atau tari, ditentukan
oleh patron utama, yaitu institusi kerajaan
2. Gejala sosial yang demikian adalah pengambilan elemen bentuk dari abad 17 dan
18 dalam desain interior gaya historisisme, yang ditandai dengan penggunaan
ornamen dan dekorasi yang berlebihan.
Program Modernisasi
• Karya budaya ragawi yang umumnya memiliki ciri – ciri yang sesuai dengan
proses modernisasi dalam arti yang luas
• Lahir dari pemikiran modern dan tumbuh di lingkungan masyarakat modern
• Ilmuwan Sosial :
Kemunculan masyarakat industri barat dibandingkan dengan masyarakat negara
berkembang yang masih tradisional
• Eisenstadt :
Modernisasi merupakan proses perubahan masyarakat menuju tipe sistem sosial,
ekonomi, dan politik yang berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara.
Kemudian itu memuncak pada Abad ke-19 dan 20, serta meluas ke sejumlah
negara di Amerika Selatan, Asia, dan Afrika (Eisenstadt, 1996, Modernization:
Protest and Change, Englewood Cliffs, Prentice-Hall)
• Ahli Ekonomi :
Modernisasi berdasarkan berbagai model pertumbuhan ekonomi, standar hidup,
pendapatan per kapita, dan pertumbuhan Industri
• Ahli Sosiologi
Modernisasi dengan lebih mengarah kepada perspektif evolusioner yang
mencakup transisi multilinier masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang
lebih maju
• Ahli Komunikasi
Modernisasi sebagai proses perubahan dari cara hidup tradisional menuju gaya
hidup yang lebih kompleks dan maju secara teknologi
• Black
Modernisasi ditandai oleh perkembangan sejumlah lembaga yang secara
fungsional meningkatkan pengetahuan manusia untuk menguasai lingkungannya
secara cepat.
• Inkeles dan McCleland
Memaparkan modernitas dari variabel psikologis yang membentuk mentalitas
manusia modern secara khas, yaitu dorongan untuk berprestasi, yang diistilahkan
sebagai faktor N-ach (Need of achievement)
Modernisasi di dunia
1. Modernisasi Industri
2. Modernisasi Akulturasi
3. Modernisasi Induksi
Menurut Abraham
Menurut Giddens
• Kapitalisme
• Industrialisme
• Kekuatan Militer
• Kontrol terhadap informasi dan aktivitas sosial
• Proses industrialisasi
• Peledakan penduduk
• Sekularisasi
• Revolusi harapan
• Berkembangnya media massa
• Stabilitas kependudukan
• Bangkitnya kelas menengah secara besar – besaran
• Revolusi budaya yang dahsyat
Keterangan gambar :
• Sisi Struktural :
Meliputi peningkatan diferensiasi dan integrasi struktural, yaitu pemisahan
hubungan ekonomi dengan sistem sosial yang lain, kebangkitan lembaga politik
baru, dan perluasan pendidikan formal, spesialisasi serta mencairnya stratifikasi
kemasyarakatan
• Sisi Attitudinal :
Orientasi individu ke arah kemajuan
• Sisi Possesual :
Mengarah kepada terbentuknya spesialisasi fungsional dalam masyarakat
Desain Modern
Menurut Dormer :
1. Barang Konsumen
2. Kerajinan
3. Benda Eksklusif hasil rancangan arsitek dan desainer terkenal
1. Konteks ekonomi
2. Penggunaan teknologi baru yang memungkinkan seorang pendesain bermain
dengan bentuk
3. Hubungan antara produksi, konsumsi, dan kepuasan pribadi
4. Kebutuhan masyarakat dengan berbagai perubahannya
• Perkotaan
• Arsitektur
• Aneka Barang Industri dan Karya Cetak
• Pendidikan Seni Rupa dan Desain
Dalam teori modernisasi, kondisi Indonesia (Hindia Belanda) pada awal abad ke-20
dapat dikatakan sebagai masa transisi dari tradisional ke arah kehidupan modern
dengan ditandai oleh :
I. Desain Global
• Peter F. Drucker :
Keberlangsungan pembangunan sebuah bangsa bukan lagi bersandar pada modal,
besarnya tenaga kerja ataupun penguasaan wilayah, namun akan tercipta oleh
kemampuan mengembangkan daya inovasi yang didasari pada penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi
• Jane Jacobs, seorang sosiolog Amerika, mengkritik dengan keras tentang
buruknya perencanaan tatakota di Amerika (1960)
• Robert Venturi yang mengkritik secara tajam Modernisme dalam dunia
arsitektur pada tahun 1966
• Charles Jencks, seorang arsitek Amerika terkemuka mengumandangkan
kematian Modernisme seiring dengan diruntuhkannya bangunan bertingkat Pruitt-
Igoe pada tanggal 15 Juli 1972 di St. Louis, Missouri, pada jam 15.32 karena
bangunan tersebut selama ini menjadi tonggak terapan gaya Modernisme di
Amerika.
• Saiful Arif, Guru Besar dari The Australian National University :
Makna pembangunan yang dilakukan oleh setiap negara adalah proses
transformasi segala bidang dari kondisi tertentu menuju kondisi lain yang lebih
baik.
Belajar dari pelbagai kebijakan dan hasil pembangunan selama beberapa dekade, telah
nyata bahwa Indonesia terpengaruh oleh dampak percepatan keterbukaan budaya sedunia,
yang ditandai oleh :
1. Semakin menonjolnya pengaruh budaya kuat negara – negara adidaya, hal ini
tercermin dari adanya penentuan arah kebijakan perekonomian akibat adanya
perjanjian internasional dan permainan “Mata Uang” oleh negara – negara maju
2. Sejak pergantian era pemerintahan Orde Baru dan tuntutan perbaikan kinerja
program
a. Fenomena Persaingan :
Terjadi akibat percepatan yang terjadi sebelumnya dimana memicu lahirnya
pengelolaan produksi barang dan pergerakan pasar yang semakin tinggi, tidak
hanya secara teraga, melainkan juga dalam bentuk nilai – nilai
b. Keterbukaan Budaya :
Budaya ragawi yang dihasilkan manusia tidak terlepas dari sistem dunia yang
terintegrasi antara satu sistem nilai dengan sistem lainnya.
c. Upaya Pemberdayaan :
Sebagai bagian dari kebudayaan yang teraga, desain tidak terlepas dari rona
pembangunan “besar” yang dijalankan oleh satu pemerintahan dimana tercermin
dari aneka kebijakan termasuk komitmen antar kebudayaan ataupun antarnegara
Era Posmodern adalah Masa transisi antara berakhirnya masa modernisme dan
munculnya alternatif pemikiran baru sebagai usaha mencari bentuk baru
Aktivitas desain tidak terlepas dari sistem nilai yang berkembang di dalam
masyarakatnya. Desain adalah wujud yang teraga dengan muatan – muatan makna di
dalamnya. Ditinjau dari aspek rupa, desain telah menunjukkan aspek keragaman yang tak
terhitung, baik gaya, tema maupun teknik pengungkapan. Fenomena yang terbentuk,
teraga menjadi kebudayaan benda, baik pada masa lalu, kini dan yang akan datang.
Makna budaya yang lebih spesifik dalam karya – karya desain yang teraga itu dapat
dikelompokkan atas beberapa peran, diantaranya :
a. Peragaman Bahasa Rupa yang menjadi bagian kreatif wujud desain setiap
periode, baik mengandung nilai – nilai kebaruan, pengembangan ataupun varian
b. Peragaman citarasa masyarakat yang muncul sebagai perluasan, penyebaran dan
kebutuhan baru masyarakat akan aneka produk, perumahan, pakaian dan
komunikasi
Menjelang abad ke – 21, telah tumbuh kesadaran akan hak – hak penciptaan, msekipun
awalnya bukan dari seniman, namun dari kalangan praktisi hukum yang mengamati
fenomena global bahwa hak – hak penciptaan merupakan bagian yang tidak dapat
terpisahkan dari wacana ekonomi global. Baik untuk karya cipta milik orang asing
maupun karya cipta milik Bangsa Sendiri
HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) dalam bidang desain di Indonesia dikategorikan :
1. Karya Cipta Bidang Seni Rupa (UU Hak Cipta Tahun 1997)
2. Karya yang bersifat Temuan (UU Paten Tahun 1997)
3. Merek Produk berupa logo atau identitas produsen (UU No. 19 tentang Merek)
4. Bidang desain terutama performansinya (UU tentang Desain Industri No. 20
Tahun 2000)
Beberapa dasar hukum yang dapat dipakai sebagai acuan adanya perlindungan bagi karya
cipta di bidang desain terdiri dari :
a. Konvensi Internasional :
WIPO (World Intelectual Property International)
Paris Convention for The Protection of Industrial Property (11 April 1995
beranggotakan 129 negara termasuk Indonesia)
Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Work (16
Mei 1995 beranggota 112 negara termasuk Indonesia)
The Haque Agreement Concerning the International Deposit of Industrial
Designs (1993, ada 24 negara yang menjadi anggota termasuk Indonesia
sejak tahun 1953
Locarno Agreement Establishing an International Classification for
Industrial Designs (1968 hingga 1995 beranggotakan 23 negara)
TRIPs (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights, Including
Trade in Counterfeit Goods), merupakan persetujuan integral dari
persetujuan Putaran Uruguay dalam rangka GATT
b. Undang –Undang No. 5 tentang Perindustrian Pasal 17 : Desain Produk Industri
mendapat perlindungan hukum yang ketentuan – ketentuannya diatur dengan
peraturan pemerintah
c. Undang – undang hak cipta 1997 (diperbarui lagi tahun 2002)
d. Undang – undang paten No. 6 tahun 1989
e. RPP tentang desain produk industri
f. Undang – Undang tentang merek No. 19 tahun 1992
g. Undang – undang tentang desain industri No. 31 Tahun 2000
Dorongan dan isu – isu gentingnya masalah lingkungan tersebut, kemudian melahirkan
Deklarasi Rio tahun 1992 yang berisi antara lain :
1. Undang – Undang :
o No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan – ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup, memuat ketentuan bahwa setiap rencana yang
diperkirakan mempunyai dampak terhadap lingkungan, wajib dilengkapi
dengan AMDAL yang pelaksanaannya diatur oleh PP
o No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
o No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
2. Peraturan Pemerintah (PP) :
o PP No. 51 Tahun 1993 tentang AMDAL
o Menteri Perindustrian No. 12/M/SK/1978, tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Pencemaran Lingkungan sebagai akibat Usaha Industri
o MENKLH No. KEP.02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Baku Mutu
Lingkungan
o MENLH No. Kep.35/MENLH/10/1993, tentang Ambang Batas Emisi Gas
Buang Kendaraan Bermotor
o Menteri Perhubungan No. KM 8 Tahun 1989, tentang Persyaratan Laik
Jalan Kendaraan Bermotor
o Kepala BAPEDAL RI No. Kep-56 Tahun 1994 tentang Pedoman
Mengenai Ukuran Dampak Penting (sebagai pengganti No. Kep-
49/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman Dampak Penting)
MENLH No. KEP-16/MENLH/4/1996 tentang pelaksanaan Program
Langit Biru
Sumber : http://sosiologidesain.wordpress.com/desain-modern-di-indonesia/
Warta Pelaku: Artikel
sumber: warta.asp?mid=3210&catid=2
Bangsa Indonesia sebenarnya masih mengalami berbagai masalah yang begitu kompleks dari segala
sektor. Baik itu sektor sosial, ekonomi, hukum, budaya, politik, maupun keamanan dan pertahanan
negara, yang bisa berpengaruh terhadap tujuan dan cita-cita bangsa ini. Permasalahan-permasalahan
ini merupakan mata rantai masalah. Secara umum dan sederhana masalah ini kemudian berimplikasi
pada lemahnya penghayatan moral dan norma dalaam aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masalah ini justru menimbulkan krisis kualitas manusia Indonesia yang pada gilirannya tidak mampu
mengelola sumber daya nasional. Krisis kesejahteraan rakyat ini membuka peluang terjadinya krisis
moral.
Menurut pandangan secara umum, ada beberapa masalah dan tantangan yang dihadapi Indonesia,
yang merupakan rantai masalah bangsa. Yaitu, sebagai berikut.
A. Melemahnya kualitas penghayatan moral dan norma dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Ditandai dengan gejala menurunnya rasa kasih sayang dan kepedulian sosial, penyakit sosial (social
pathology) masih ditemukan di antara sesama bangsa Indonesia, serta praktek-praktek moral hazard
menjalar di setiap aktivitas masyarakat.
Budaya belajar dan menuntut ilmu semakin dikesampingkan oleh bangsa ini walau Pemerintah telah
mengambil kebijakan wajib belajar dan memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada aset bangsa
untuk belajar dengan biaya yang telah disediakan Pemerintah, mulai tingkat Sekolah Dasar (SD)
sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Upaya Pemerintah untuk mencerdaskan bangsa
adalah agar mampu mengembangkan ilmu pengetahuannya sebagai modal keberlangsungan hidup
yang bergengsi, layak jual dan memiliki nilai tawar yang diperhitungkan.
Namun, upaya Pemerintah tersebut masih mengalami kendala yang ditandai dengan banyaknya
jumlah anak dan pemuda yang putus sekolah. Gejala yang timbul adalah sebagian lulusan perguruan
tinggi tidak mampu membuka kesempatan berwirausaha. Produk dalam negeri kalah bersaing dengan
produk asing. Nilai produk dalam negeri masih sangat rendah. Dalam segi ketenagakerjaan juga
mengalami penurunan kualitas kemampuan tenaga kerja. Ternyata persoalan di atas merupakan
konsekuensi kelemahan di bidang ilmu pengetahuan.
Potensi pertambahan penghasilan negara pengelolaan yang dilakukan masih mengalami hambatan.
Hal ini terlihat dari penerimaan pajak yang belum maksimal. Pengelolaan tabungan juga belum
optimal. Pertumbuhan ekonomi masih didominasi oleh konsumsi dan impor. Pengelolaan uang
negara belum efisien dan sebagainya. Ironisnya, investor luar maupun dalam negeri merasa was-was
untuk menyuntikkan modalnya untuk membangun usaha maupun industri, dengan alasan
kenyamanan dan keamanan serta keberlangsungan sebuah proyek perekonomian dikhawatirkan
terganggu.
Begitu juga dengan sejumlah jenis kekayaan/aset negara yang tidak dikelola sepenuhnya oleh negara.
Justru malah pihak asing yang memiliki peran penting meraih keuntungan besar dari negara kita.
Padahal, pengelolaan sumber daya yang baik dapat menopang penghasilan negara, dan dengan
sendirinya, rakyat akan merasakan dampak positif dari hal tersebut, pembangunan meningkat,
peluang lapangan pekerjaan dan pendapatan lebih layak, sehingga perputaran perekonomian
Indonesia stabil.
Tujuan bangsa Indonesia membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum/rakyat, sebagaimana tertuang
dan diamanahkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Amanah ini merupakan harga mati
yang tidak bisa ditawar-tawar dengan dalih apapun. Artinya, mensejahterakan seluruh rakyat
Indonesia merupakan agenda pembangunan nasional yang prioritas untuk direalisasikan.
Pemerintah, sebagai salah satu pelaksana amanah tersebut, telah berupaya melakukan program
gerakan/aksi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, tidak sedikit upaya itu
tertunda keberhasilannya, sehingga masih banyak ditemukan masyarakat yang hidupnya di bawah
standar kelayakan, bahkan standar manusiawi, sehingga dikategorikan “miskin”.
Bantuan-bantuan diberikan kepada masyarakat miskin (pro poor) pun dilakukan oleh hampir seluruh
departemen/badan/dinas/instansi pemerintahan, bahkan Pihak swasta—sebut saja pemberian asuransi
dan pelayanan kesehatan maupun pendidikan, sembako, Bantuan Langsung Tunai (BLT), rehab
rumah, pinjaman modal usaha, hingga pemberian alat/bahan/material sebagai potensi usaha yang
diinginkan oleh masyarakat.
Ternyata persoalannya adalah kebijakan dan upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan
dipandang kurang efektif dalam menurunkan angka kemiskinan, karena hanya bersifat parsial, tidak
berkelanjutan, atau tidak tepat sasaran kepada kelompok masyarakat miskin.
Permasalahan kemiskinan yang begitu kompleks, multidimensional dan struktural ini menyisakan
beberapa gejala-gejala yang bergerak merusak upaya transformasi sosial. Di antaranya:
Paradigma dan praktek yang muncul adalah membatasi kegiatan yang mengindahkan dan
mendukung kelestarian lingkungan dan peningkatan pembangunan yang berkelanjutan,
bahkan praktek yang ditekuni kurang menjaga kenyamanan lingkungan dan permukiman.
Misalnya saja mengubah sungai, saluran air/parit maupun jalan yang semula indah menjadi
pemandangan suram—yaitu sebagai wadah penampungan sampah dan limbah. Lain lagi
perumahan yang dijadikan wadah berteduh, berlindung, berkumpul dan mengembangkan diri,
ternyata di bawah standar kelayakan, dengan penampilan, volume serta material sangat
sederhana, ditambah MCK yang kurang memadai dan tidak sehat, atau bahkan tidak ada sama
sekali ini merupakan ciri-ciri kemiskinan yang dimiliki, sehingga keadaan inilah yang
dimaksud di atas: kurang peduli menjaga kelestarian lingkungan dan permukiman.
Disadari atau tidak, kondisi ini akan memperparah keadaan masyarakat miskin itu sendiri.
Padahal, kondisi ini dapat diubah menjadi baik, tanpa mengeluarkan modal atau dengan
modal yang sedikit apabila kesadaran berpikir dan bersikap mengubah keadaan itu muncul
lebih kuat, daripada pasrah menerima nasib saja.
• Ruang lingkup ekonomi
Keterbatasan kemampuan masyarakat miskin membangun akses dan nilai jual terhadap
keterampilan, keahlian dan disiplin ilmu tidak memadai serta cendrung mengandalkan tenaga,
mendapatkan perhatian yang rendah pula dari pembeli jasa. Andalan tenaga yang satu-
satunya dimiliki hanya dihitung oleh pembeli jasa. Lazimnya nominal jasa tidak lebih,
bahkan kurang dari pemenuhan kebutuhan pokok, atau lebih mendekati cukup untuk makan
sehari-hari keluarga saja.
Begitulah kehidupan yang dihadapi dengan penghasilan rendah, sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidup yang manusiawi. Keadaan ini bukan hanya sekedar narasi
semata, melainkan fakta yang lalu dituangkan dalam sebuah catatan sejarah.
Sedikit pemisalan diuraikan sebagai referensi yang diperoleh dari pemantauan, kunjungan,
maupun survai ke lokasi. Sebuah kisah salah satu keluarga yang hidup sangat sederhana di
daerah perkotaan, tepatnya di Wilayah Provinsi Sumatera Utara, diharapkan patut menjadi
renungan dan sekaligus perhatian semua pihak. Menurut pendapat yang disampaikan para
ahli/pakar atau pengamat/pemerhati atau tokoh/ilmuwan internasional maupun Indonesia,
keluarga tersebut dapat dikategorikan keluarga miskin karena berpenghasilan tidak menentu.
Rata-rata per hari hanya mampu memperoleh Rp7.000 – Rp15.000 yang dimanfaatkan oleh
empat orang tanggungan. Penghasilan itu semata-mata diupayakan oleh satu orang saja tanpa
ada penghasilan tambahan.
Seorang laki-laki berusia 62 tahun berperan sebagai kepala keluarga penopang hidup keluarga
ini. Ia bergelut mengandalkan tenaga dan kerasnya persaingan di bidang jasa yang
dilakoninya. Ia bekerja menawarkan jasa transportasi angkutan jenis becak dayung, yang
tengah mengalami pergeseran kualitas dan kuantitas, dimana keberadaannya perlahan punah
dan sedikit peminatnya. Becak dayung yang mengandalkan tenaga itu, kerap tidak dilirik oleh
pengguna jasa dengan alasan yang cukup mendasar: kecepatan dan kapasitas angkutnya
terbatas, biaya cukup tinggi dan sering mengalami kerusakan karena rata-rata becak dayung
yang beroperasi adalah “barang lama” dan produk baru sukar ditemukan.
Ditinjau dari kondisinya, penjual jasa ini sudah tidak layak bekerja lagi, mengingat telah
lanjut usia. Kekhawatiran terhadap keselamatan pengguna jasa terkadang menjadi alasan.
Tentu, kondisi lanjut usia mudah terkontaminasi dengan fisik lemah dan cenderung tidak
sehat. Kondisi ini membuka peluang terjadinya kecelakaan maupun menimbulkan penyakit
bagi dirinya sendiri. Diperparah keadaan bahwa empat tahun belakangan ini becak dayung
kalah bersaing dengan becak bermotor yang dinilai lebih mampu memenuhi keinginan
pengguna jasa, bahkan nilai jasa lebih murah dari becak dayung. Becak bermotor, selain
efektif waktu, nyaman, murah, juga berkapasitas lebih dari segi jumlah pengguna jasa dan
barang yang dibawanya.
Dari uraian ini, secara teoritis berdasar materi kajian pemetaan swadaya, khususnya kajian
ekonomi, keluarga ini mengalami perbandingan yang tidak seimbang: pengeluaran lebih
besar dari pendapatannya. Pengeluaran yang kongkret meliputi biaya makan untuk empat
orang terdiri dari pembelian bahan bakar minyak, beras + lauk pauknya, biaya listrik per
bulan dan biaya tambahan lain, seperti biaya perawatan becak dayung, biaya kesehatan, dan
lain-lain. Jenis pengeluaran yang mendasar ini dapat dianalisa beberapa pengeluaran akan di-
delete, dalam arti beberapa kebutuhan akan dihilangkan dan penyelesaian yang dilakukan
adalah pemaksaan kondisi agar normal dengan segala resiko yang ada.
• Ruang lingkup Aset
Rendahnya tingkat kepemilikan masyarakat miskin terhadap modal yang mendorong
keberlangsungan hidup. Sumber daya manusia (human capital) sangat terbatas. Alat
pendukung, material dan dana dari usaha yang dijalankan sangat tidak memadai, sehingga
kompetisi usaha dengan sendirinya mengalami kekalahan. Begitu juga dengan hunian atau
perumahan. Ada yang berstatus tidak memiliki rumah, menumpang, menyewa, dan bila
adapun tidak layak huni. Kepemilikan aset berupa tanah, misalnya, tidak dimiliki oleh
masyarakat miskin. Malah bagi mereka yang memiliki aset berupa harta warisan, yang sering
terjadi adalah penjualan aset satu persatu dan pengelolaan dana yang tidak beraturan. Perilaku
ini bukan menambah aset, tapi justru sebaliknya menambah beban utang di mana-mana.
Bersambung.. (Rahdiansyah Pane, ST, Asisten Kota Infrastruktur Kota Padangsidimpuan-
Sibolga, OC-1 Provinsi Sumatera Utara, PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina)
Pusat Informasi P2KP, Jl. Penjernihan 1, No. 19 F, Pejompongan -Jakarta Pusat 10210. Telp: (021)
70912271, (021)-70952271
Wednesday, November 05, 2008
NEGARA DAN PEMBANGUNAN
BOOK REVIEW:
Negara dan Pembangunan, Studi Tentang Indonesia dan Korea Selatan
Pengarang: Arief Budiman
Penerbit: Yayasan Padi dan Kapas, Jakarta
Tahun: 1991
Jumlah Halaman: 101
Mubyarto
EKONOMI KERAKYATAN DALAM ERA GLOBALISASI
Banyak orang berpendapat bahwa sejak krismon 1997 Indonesia telah men
jadi korban arus besar "globalisasi" yang telah menghancur-leburkan
sendi-sendi kehidupan termasuk ketahanan moral bangsa. "Diagnosis"
tersebut menurut pendapat kami memang benar dan kami ingin menunjukkan
di sini bahwa kecemasan dan keprihatinan kami sendiri sudah berumur 23
tahun sejak kami menyangsikan ajaran-ajaran dan paham ekonomi Neoklasik
Barat yang memang cocok untuk menumbuhkan ekonomi (ajaran efisiensi)
tetapi tidak cocok untuk mewujudkan pemerataan (ajaran keadilan). Pada
waktu itu (1979) kami ajukan ajaran ekonomi alternatif yang kami sebut
Ekonomi Pancasila. Pada tahun 1981 konsep Ekonomi Pancasila
dijadikan "Polemik Nasional" selama 6 bulan tetapi selanjutnya
digemboskan dan ditenggelamkan.
Pada buku baru yang kami tulis di AS bersama seorang rekan Prof. Daniel
W. Bromley "A Development Alternative for Indonesia", bab 4 kami beri
judul The New Economics of Indonesian Development: Ekonomi Pancasila,
dengan isi
(1) Partisipasi dan Demokrasi Ekonomi, (2) Pembangunan Daerah bukan
Pembangunan di Daerah, (3) Nasionalisme Ekonomi, (4) Pendekatan
Multidisipliner dalam Pembangunan, dan (5) Pengajaran Ilmu Ekonomi di
Universitas.
Kesimpulan kami tetap sama seperti pada tahun 1979 yaitu bahwa hanya
dalam sistem Ekonomi Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia dapat dicapai yaitu melalui etika, kemanusiaan, nasionalisme,
dan demokrasi/kerakyatan. Berikut kami sampaikan terjemahan bab
terakhir (bab 5) Summary and Implications dari buku kami tersebut.
Para "teknokrat" ini bergaul akrab dengan pakar-pakar dari IMF dan Bank
Dunia, dan mereka segera tersandera ajaran dogmatis tentang pasar,
dengan alasan untuk menemukan "lembaga dan harga-harga yang tepat", dan
selanjutnya menggerakkan mereka lebih lanjut pada penelitian-penelitian
dan arah kebijaksanaan yang memuja-muja persaingan atomistik,
intervensi pemerintah yang minimal, dan menganggung-agungkan keajaiban
pasar sebagai sistem ekonomi yang baru saja dimenangkan.
Doktrin ini sungguh sangat kuat daya pengaruhnya terutama sejak
jatuhnya rezim Stalin di Eropa Tengah dan Timur dan bekas Uni Soviet.
Nampaknya sudah berlaku pernyataan "kini kita semua sudah menjadi
kapitalis". Sudahkah kita sampai pada "akhir sejarah ekonomi?". Belum
tentu.
Kesimpulan
Globalisasi bukan momok tetapi merupakan kekuatan serakah dari sistem
kapitalisme-liberalisme yang harus dilawan dengan kekuatan ekonomi-
politik nasional yang didasarkan pada ekonomi rakyat. Semasa krismon
kekuatan ekonomi rakyat telah terbukti mampu bertahan. Ekonomi rakyat
benar-benar tahan banting. Survey Aspek Kehidupan Rumah Tangga
Indonesia (Sakerti) 3 (Juni – Desember 2000) membuktikan hal itu dengan
menunjukkan 70% rumah tangga meningkat standar hidupnya.
Krismon memang lebih menerpa orang-orang kota dan menguntungkan orang-
orang desa. Bagi kebanyakan orang desa tidak ada krisis ekonomi. Kesan
krisis ekonomi memang dibesar-besarkan oleh mereka yang tidak lagi
mampu "berburu rente" (rent seekers) yang bermimpi masih dapat
kembalinya sistem ekonomi "persaingan monopolistik" yang lebih
menguntungkan sekelompok kecil orang/pengusaha kaya tetapi merugikan
sebagian besar golongan kecil ekonomi rakyat.
Ke-Indonesia-an
Rumors about such a synergy plan of Pertamina and MedcoEnergy have spread since the
last several months. These two corporations are increasingly mentioned in some news
and energy magazines in Indonesia. Actually, it was also confirmed by Arifin Panigoro
(Founder of Medco) in end October 2008 that Medco was possibility for have a synergy
with Pertamina to stimulate the state oil and gas company to become a world-class
company. There are three optional synergy plans that can be chosen by them, it could be
acquisition, merger, or joint operation based only on certain project area.
Merger, acquisition, or joint operation of each business companies are ordinary things to
keep on the continuity of companies. A merger occurs when two companies combine to
form a single company. A merger is very similar to an acquisition or takeover, except that
in the case of a merger existing stockholders of both companies involved retain a shared
interest in the new corporation. By contrast, in an acquisition one company purchases a
bulk of a second company’s stock, creating an uneven balance of ownership in the new
combined company. And joint operation occurs when two or more companies just
temporary doing specific project until it finished.
There are some examples for this synergy plan in oil and gas industry. Acquisition occurs
in BP and ARCO or Chevron and Texaco where eventually we know only left as BP and
Chevron today. And merger ever happens to Exxon Oil and Mobil Oil or Conoco Oil and
Phillips Oil. Until now, we know that both names are remaining affixed to ExxonMobil
or ConocoPhillips. Joint operation happened to Pertamina and ExxonMobil to operate
Cepu Block in Indonesia. All these entire sample synergy plans happens depend on
situation and also by certain purpose each companies.
As is well known, Pertamina is placed in second rank in oil production after Chevron
Company and gas production after Total Company. This company has reached 191
mbopd (million barrel oil per day) and 1450 mmscfd (million standard cubic feet per day)
of gas until august 2010. It’s only oil company have production increase when other
company has decrease in their production in several years. Medco has reaching 30
thousand bopd and gas reaching 145 mmscfd. In addition, Medco has a network business
in exploration and production overseas, from USA and some countries in Middle East
area. No other words to say, synergy plan between these companies will push Pertamina
into becoming a world class company like other state oil companies in other Asian
companies.
Now the question, what is appropriate choice of cooperation option for synergy plan of
Pertamina-Medco? To able develop Pertamina rapidly, acquisition is more appropriate
than merger and joint operation. If it can materialize, Pertamina will not only potentially
grow in performance of production, but also in assets and network. This company can
increase profit and will easy to expanding the overseas oil business. But actually, Medco
will disappear from oil and gas industry in Indonesia.
However, merger is second choice for synergy plan after acquisition, if Medco isn’t
willing and Pertamina not ready for acquisition for now. Pertamina should choose this
option, because these companies will acquire profit and risk business equally, although it
can’t grow Pertamina rapidly as same as acquisition choice. Merger can grow both
companies potentially, if they can combine their strength to expand their business to all
Middle East area, whose reserves reach 716 billion barrel. It will be an origin appears of
merger between a state oil company and a private oil company in Indonesia.
How about Joint Operation? Looking the intensive process these companies, it seems to
be small opportunity choice for Pertamina-Medco synergy plan. Moreover, these
companies had in fact to do it a long time ago in Donggi Senoro gas in Central Sulawesi.
Moreover, with the revised Law No. 21/2001 issue and the spirit of Article 33 of the
1945, actually synergy plan between Pertamina and Medco has great opportunity and
answer a doubt some parties that Pertamina can become a world class company not only
for this country but also be an international player by its business in various countries.
Written by:
Namun tampaknya prestasi tim sepakbola Indonesia mulai mandek semenjak memenangi
medali emas SEA Games 1991. Bisa dikatakan, itulah prestasi tertinggi yang diraih
Merah-Putih hingga detik ini. Peringkat Indonesia di daftar Asosiasi Federasi Sepak Bola
Internasional pun juga semakin jeblok. Jika ditilik dalam satu tahun terakhir, Indonesia
berada pada posisi ke-135 pada tahun 2010. Posisi ini turun jauh dibandingkan tahun
2003, dimana Indonesia ada di posisi ke-91. Maka pantaslah jika Indonesia kini disebut
sebagai Macan Asia yang tertidur.
Hal kedua yang harus dilakukan adalah merealisasikan pemusatan latihan bertaraf
international di dalam negeri. Sebenarnya hal ini sangat memungkinkan dilakukan
Indonesia mengingat negeri ini seringkali menginvestasikan jutaan dolarnya untuk
mengirimkan sebuah timnas untuk belajar dan berlatih ke luar negeri 2 sampai 4 tahun.
Dengan adanya akademi latihan yang lengkap ini, kontinuitas peningkatan kualitas
pemain dapat terus terjaga dari generasi ke generasi.
Hal reformatif berikutnya adalah meningkatkan iklim bisnis Indonesia yang menjangkau
sepakbola. Di Indonesia, sepakbola belum dianggap sebagai lahan industri yang bisa
menghasilkan keuntungan besar. Padahal dengan hadirnya sepakbola menjadi industri
besar di Indonesia, akan menjadikan posisi tawar persepakbolaan Indonesia di mata Asia
Football Confederation (AFC) meningkat. Dengan demikian, peluang klub Indonesia
bermain di ajang Liga Champion Asia akan semakin lebar. Tentu hal ini akan
meningkatkan performa dan kualitas pemain-pemain Indonesia agar lebih kompetitif.
Hal reformatif terakhir yang harus dilakukan adalah organisasi yang memegang kuasa
penuh atas perkembangan dunia persepakbolaan Indonesia. Hal ini harus dilakukan
mengingat masih banyaknya jajaran pengurus pusat dan daerah PSSI yang memegang
jabatan ganda di klub masing-masing. Tak jarang, konflik kepentingan muncul mewarnai
organisasi tersebut disaat prestasi sepakbola Indonesia sangat merosot. Padahal untuk
membentuk tim sepakbola kompetitif juga diperlukan organisasi yang sehat dengan
pengurus yang bersih dan profesional.
Memang semua hal reformatif bukan semudah membalik telapak tangan. Perlu jangka
waktu yang panjang dan dukungan penuh semua pihak, jika memang bangsa ini mau
menyabet kembali gelar “Macan Asia” yang hilang,
Oleh:
*Tulisan ini pernah nangkring di Harian Seputar Indonesia pada hari Rabu 13 Oktober
2010
Sudah ada banyak tulisan yang telah menguak tentang sains perminyakan (maknanya,
cara pembentukannya, jenisnya, dll) dan analisis perminyakan (analisis energi, analisis
ekonomi, dll). Namun kali ini, saya ingin meneropong lebih jauh tentang masa depan
perkembangan “Teknik Perminyakan”, dari sisi prakteknya dilapangan dan serta peluang
diversifikasi ilmunya di Indonesia. Bagaimanapun juga, hal ini menjadi penting untuk
dipelajari karena negeri ini kaya dengan sumber migasnya. Jika ilmu Teknik
Perminyakan tidak mengakselerasi perkembangannya, maka tantangan energi bangsa ini
tidak akan pernah terjawab.
Berkaca dari sejarahnya, ilmu Teknik Perminyakan mulai tumbuh kembang saat Kolonel
Drake yang mengebor lapisan tanah di Titusville di Pennsylvania. Sejak saat itulah ilmu
itu terus menggeliat hingga memiliki kurikulum terstandar dalam dunia universitas atau
institut dengan judul “Petroleum Engineering”, yang tak lain dan tak bukan lahir dari
ilmu geologi yang telah berkembang cukup pesat sebelumnya. Bisa dikatakan, hingga
kini ilmu Teknik Perminyakan masih “balita” karena baru berumur sekitar dua abad. Hal
ini bisa dibandingkan dengan ilmu matematika, filsafat, ekonomi, dan politik yang kini
telah dewasa karena telah berkembang selama beratus-ratus abad yang lalu.
Berbicara ihwal perkembangan ilmu Teknik Perminyakan ini, perlu kiranya kita kaitkan
dengan realita sumber migas yang ada di Indonesia ini. Dalam salah satu sumber telah
disebutkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki 60 cekungan sumber migas yang
terbentang di sepanjang pantai barat Sumatera termasuk di Laut Cina Selatan, pantai
utara Jawa dan berbelok ke selat Makasar, yaitu di sepanjang pantai barat Kalimantan
(Sumber: IAGI, 2006). 60 cekungan ini dirinci lagi menjadi 38 basin telah dieksploitasi,
yang 15 di antaranya telah berproduksi, 11 belum produksi, dan dalam tahap eksploitasi,
dan masih ada 22 basin lagi yang belum dieksploitasi hingga sekarang. Walhasil, saat ini
produksi minyak mengalami degradasi terus-menerus sejak tahun 2000. Rupanya era
keemasan produksi minyak Indonesia dari tahun 1976-2000 telah berlalu karena
stagnansi eksploitasi basin Indonesia.
Efek domino yang bisa dirasakan saat ini adalah perkembangan dunia migas di Indonesia
menjadi terhambat. Hal ini ditandai dengan menurunnya pendapatan negara yang berasal
dari sektor migas. Selain itu, industri migas mulai berancang-ancang untuk melakukan
pembatasan jumlah karyawan karena belum adanya lapangan baru untuk dieksploitasi.
Belum lagi ditambah dengan faktor politis sumber migas yang jadi rebutan negara
adidaya dan isu hangat PSC Indonesia yang masih belum surut hingga kini. Sebenarnya
solusi permasalahan ini dapat dipandang dari berbagai sisi. Namun semuanya akan
berpulang lagi pada perkembangan ilmu Teknik Perminyakan itu sendiri, kemudian baru
berlanjut pada SDM yang berkualitas dan modal yang mumpuni.
Mari kita melihat sekilas sumber energi dalam permukaan bumi Indonesia lainnya, yang
proses mengambilnya mirip dengan proses mengambil migas. Adalah non konvensional
gas (coalbed methane dan gas hydrate) dan geotermal yang memiliki prospek masa
depan energi yang potensial di Indonesia. Walaupun pengenalan kedua ilmu itu belum
terlalu populer di Indonesia, namun secara perlahan mulai menunjukan
perkembangannya. Hal ini ditandai dengan diadakannya mata kuliah Teknik Panas Bumi
dan Unconventional Hydrocarbon Recovery sebagai mata kuliah baru di Teknik
Perminyakan kampus Indonesia, khususnya ITB. Kedepannya, mata kuliah yang
berkaitan dengan hal ini sebaiknya diperbanyak, dan adalah sebuah keniscayaan suatu
saat akan menjadi disiplin ilmu tersendiri di kampus yang nantinya akan menjadi
interdisiplin dari ilmu perminyakan.
Yang kedua adalah SDM yang berkualitas. Sudah kita ketahui bersama bahwa kampus
merupakan lembaga pendidik dan penghasil manusia sesuai dengan tujuan kampusnya.
Di Indonesia dikenal sebuah credo Tridharma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian,
dan Pengabdian Masyarakat, yang menjadi visi besar setiap kampus negeri ini. Jadi di
perguruan tinggi manapun di Indonesia, kegiatannya selalu diarahkan pada pembangunan
bangsanya. Dalam kaitannya dalam dunia perminyakan, tentu SDM yang dihasilkan
haruslah bisa membangun kemandirian negara dari sektor energi. Dunia migas
merupakan “lahan basah” untuk berkarir dan tidak bisa dipungkiri juga bahwa prospek
gajinya sangat cerah. Tanpa adanya penanaman jiwa nasionalisme dan integritas pribadi
pada calon alumni-alumninya, maka yang tercipta hanyalah manusia-manusia yang hanya
mementingkan kepentingan pribadinya sendiri dan tidak memilikisense of belonging pada
permasalahan energi bangsanya.
Selain itu, kampus juga harus bisa meningkatkan kapasitas para calon alumninya agar
dapat unggul di kancah dunia internasional. Tidak diragukan lagi bahwa penguasaan
bahasa asing, kepandaian berbicara di depan umum, kemampuan memimpin tim,
merupakan beberapa softskill yang harus dimiliki para alumni Teknik Perminyakan agar
bisa berkompetisi dan bersosialisasi dengan para rekannya. Yang menjadi rekan disini
bukan hanya dari Indonesia saja, alih-alih sudah mencakup rekan dari seluruh tataran
belahan dunia lainnya.
Dan yang terakhir dan tak kalah pentingnya adalah permasalahan modal. Modal sangat
penting bagi kampus sebagai biaya riset dan penelitian. Memang hingga detik ini,
kebanyakan soft-product (metode, analisis, atau laporan) yang dihasilkan para calon
alumni Teknik Perminyakan masih terkendala dengan keterbatasan data yang dimiliki
kampus. Belum lagi alat laboratorium yang sudah usang karena tak diganti sejak lama.
Hal ini dimotori kurangnya asupan dana yang disuntikan oleh pihak-pihak yang
bersangkutan seperti ikatan alumni, pemerintah, dan industri. Kedepannya, perlu
dibentuk sebuah komitmen jelas antara industri, pemerintah, dan pihak alumni dari
Teknik Perminyakan sendiri untuk membangun proses riset dan penelitian yang baik di
kampus. Apalagi jika arah riset dari kampus di bidang Teknik Perminyakan sendiri mulai
diarahkan pada pembentukan hard-product yang dapat diaplikasikan langsung di
lapangan dan bukan lagi hanya konsepsi tertulis diatas kertas saja. Tentunya, modal yang
dibutuhkan tidaklah sedikit.
Akhirnya, saya ingin menutup tulisan saya ini dengan kata-kata John Naisbitt dalam salah
satu bukunya. Dia mengatakan: “we must learn from the future in precisely the ways we
have learned from the past”. Memang benar adanya bahwa kita harus belajar dari masa
depan seperti kita belajar dari masa lalu. Masa emas produksi minyak Indonesia memang
sudah lewat, tapi disana kita belajar dan menginstropeksi diri kita selama 24 tahun
bagaimana cara mengelola minyak dengan baik hingga era kemandirian energi Indonesia
itu pernah ada. Memang saat ini kita berada dalam kidung keterbatasan energi nasional
kita sehingga mau tidak mau kita telah mengimpor minyak. Masa lalu telah mengajarkan
banyak hal pada kita semua, untuk bisa membangun dan mengembangkan dunia
petroleum Indonesia. Kita pasti bisa.
Oleh:
Menjadi aktivis pada zaman yang “musuh bersama”-nya sangat abstrak saat ini, memang
butuh kreatifitas ekstra. Adanya kemampuan pihak suprastruktur (pemerintah) untuk
menggeser-geser isu negara dengan cepat dan cantik, membuat para aktivis terkadang
kelimpungan menghadapinya. Hal ini dilanjutkan dengan belum ditemukannya format
baku gerakan aktivis pasca reformasi ini. Jika dulu para aktivis dapat melakukan
terobosan gerakannya lewat momentum kemerdekaan, untuk mengusir para pemodal
asing, untuk menggulingkan kediktatoran seorang pemimpin.Bisa jadi memang kita
belum menemukan momentumnya, sehingga seakan kita terpecah dalam terobosan
gerakan masing-masing “wadah” aktivis. Lantas bagaimana menyikapi hiruk-pikuk
permasalahan era zaman kita? Apakah kita akan diam?
Kalau kita ingin biasa-biasa saja, maka janganlah membuat terobosan-terobosan apa-apa.
Silakan statis dan monoton saja. Tetapi kalau suara kita mau didengar, kiprah kita
mempengaruhi banyak orang dalam skala yang luas, sehingga kita “bukan aktivis biasa”,
maka berbuatlah sesuatu. Manfaatkan media apapun secara positif karena kekuatan media
adalah sangat luar biasa.
Sebagai contoh, kisah gugatan hukum Prita oleh sebuah Rumah Sakit Internasional di
Indonesia tentu masih melekat kuat dibenak kita. Prita yang merasa dirugikan digugat
hukum oleh pihak rumah sakit. Lewat opini yang dia lontarkan di media maya surat
elektronik, Prita memantik dukungan masyarakat Indonesia lewat gerakannya yang
bertajuk “gerakan koin peduli Prita”.
Akan halnya dengan kisah Jojo dan Sinta. Siapa kini yang tidak tahu mereka? Dua wanita
yang merekam lipsync “Keong Racun” mendadak melontarkan keduanya sebagai orang-
orang yang bahkan lebih popular ketimbang peserta kontes idol atau pencarian bakat
yang terlembaga. Ternyata, hal sederhana yang tampil apik di media dapat menyebabkan
dampak sistemik yang tak sekedar isapan jempol belaka.
Bang Alfan Alfian (Dosen Fisip UN) pernah mengatakan dalam salah satu tulisannya,
bahwa jangan pernah terjebak, karena kita tidak suka substansinya, menyalahkan alatnya.
Kalau kita tidak suka musik, jangan salahkan peralatan musiknya. Kalau Anda tidak suka
konten-konten negatif situs-situs di internet, jangan salahkan internetnya. Manfaatkan
saja “alat-alat” itu untuk kepentingan yang lebih positif.
Penggunaan media yang optimal harus diimbangi dengan “isi” yang mau hendak kita
bawa. Bentuknya bisa tuangan pemikiran orisinalitas kita dalam bentuk tulisan atau bisa
pula berupa penyuaraan opini lewat gerakan-gerakan inovatif atau karya yang telah
dilakukan. Kalau tulisan atau gerakan yang kita lagi-lagi, biasa-biasa saja, tentu akan sulit
dilirik media dan barangkali masyarakat pun sudah lelah melihat hal berulang dan
terkesan itu-itu saja. Memang konten lewat kajian intelektual yang mendalam itu penting,
tetapi metode atau cara penyampaian juga tak kalah pentingnya.
Adalah sebuah kebenaran bahwa bukan tugas aktivis saja untuk menyodorkan konsep-
konsep finalnya dalam sebuah aksi, tetapi aksi apa pun juga memerlukan situasi medan
yang dihadapi. Jadi, adalah sebaiknya aktivis jika mereka setidak-tidaknya mempunyai
gambaran yang menyeluruh mengenai masalah-masalah pokok yang dihadapi negaranya.
Tanpa big picture yang demikian itu, kita hanya akan kehilangan orientasi dan akhirnya
hanya sekedar bertindak sebagai pemberi reaksi-reaksi spontan yang tidak akan
berdampak fundamental dalam masyarakat.
Buat apa kita melakukan aksi berkarya? Buat apa kita melakukan aksi turun ke jalan?
Buat apa ada aksi mengabdi masyarakat? Buat apa aksi melatih jiwa kewirausahaan kita?
Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa didapatkan ketika kita dapat menemukan titik temu
intelektualitas kita dengan realitas masyarakat. Intelektualitas tanpa menyentuh sisi
realitas hanya menjadi kajian belaka, dan realitas tanpa disentuh intelektualitas hanya
akan menjadi permasalahan tak akan kunjung usai.
Oleh:
Hakikat pembangunan kota yang baik adalah membangun masyarakat. Sebaik apapun
sebuah kota, masyarakatlah yang akan menjadi penentu akan bertahan seberapa lama
keutuhan kota tersebut. Untuk membangun kota yang baik, masyarakat harus
berpendidikan dan moral yang baik. Dan untuk pembangunan kota yang lebih efektif,
masyarakat harus melakukan pembelajaran sejarah masyarakat dunia yang telah berhasil
membangun kotanya.
Pun demikian jika berbicara tentang kota madani. Kota madani diadaptasikan dari
pembangunan kota madinah. Jika dirujuk pada sejarahnya, kota madinah berhasil
membuat sebuah konstitusi dimana didalamnya terdapat produk politik yang terumuskan
melalui kesepakatan berbagai unsur pluralisme kultural dalam masyarakat. Dari sini pula
muncul sebuah sikap kosmopolit yang menjadi cikal bakal terbentuknya sebuah
masyarakat yang terbuka dan demokratis. Kota madani sering dielu-elukan oleh kota
abad 21 saat ini, karena konsep pembangunannya yang holistik, realistik, namun tidak
meninggalkan unsur perbedaannya.
Setelah mengetahui sejarah, langkah selanjutnya yang harus difahami adalah modal,
proses, dan tujuan pembangunan yang mengarah pada perekonomian yang baik,
masyarakat yang baik, dan proses politik yang baik. Semuanya saling bergantung
(interdependent) yang disebut oleh Bung Karno dengan masyarakat gotong royong. Jika
hal ini benar-benar dapat diaplikasikan, maka pembangunan kota akan dapat menjadi
lebih aman, nyaman, tentram, dan efisien.
Menurut World Bank, ada empat pilar modal yang diperlukan sebuah kota agar dapat
melaksanakan sebuah proses pembangunan kota yang baik. Empat modal itu adalah
modal alami, modal fisik, modal manusia, dan modal sosial. Dan semua modal tadi
dipadukan dalam satu indikator yang bernama Gross Domestic Product (GDP). Semakin
tinggi GDP sebuah kota, maka semakin produktif dan tumbuh ekonomi kota tersebut.
Berbicara tentang pemerintah, kota madani memerlukan pemimpin yang bersih jujur,
adil, dan profesional untuk mengambil pilihan-pilihan sulit untuk membuat kota yang
lebih baik. Pemimpin disini adalah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Koordinasi dan
lebih mengutamakan kepentingan masyarakat adalah penting. Disinilah mental pemimpin
akan diuji, apakah berhasil atau tidak.
Masyarakat yang hidup dalam nuansa kota yang demokratis pun harus aktif mengawasi
pembangunan kotanya. Masyarakat harus mengingatkan pemerintahnya dengan cara-cara
yang beretika dan bermoral. Hal ini harus didukung dengan peran kaum intelektual,
pengusaha, dan media yang memberikan infrmasi yang menunjang kebenaran, kemajuan,
dan persatuan.
Dalam bukunya, The Theory of Moral Sentiments (1754), Adam Smith memberikan
sebuah argumentasi bahwa pemenuhan kepentingan pribadi (pure self interest) setiap
warga harus diimbangi dengan pengendalian diri (self restraint) dari ambisiusitas dirinya.
Disinilah fungsi besar pemerintah menjadi pengendalinya. Bukan hanya dengan hukum
dan peradilan, namun juga dengan nilai-nilai religiusitas dan budaya luhur masyarakatnya
sendiri.
Walaupun pada kenyataannya perekonomian yang baik, masyarakat yang baik, hukum
yang baik, dan proses politik yang baik adalah dambaan semua elemen masyarakat yang
hidup di kota madani, terkadang semua hal ini sulit tercapai. Ada banyak kasus
dilapangan yang membuat satu hal dambaan tadi saling berlawanan dengan hal yang
lainnya (trade-off). Untuk itu perlu ada upaya pemerintah dan masyarakat untuk
merealisasikan pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat yang baik (good
governance, good private sectors, dan good people).
Oleh:
Di dunia kita hari ini, setiap hari delapan juta orang meninggal karena terlalu miskin
untuk bertahan hidup. Sementara 1,1 milyar manusia, atau seperenam penduduk bumi,
terpuruk dalam apa yang disebut Jeffrey D. Sach dalam The End of Poverty: Economic
Possibilities for Our Time (2005) sebagai ”kemiskinan ekstrim”. Dunia kita sejatinya
dipenuhi kemiskinan. Inilah lahan subur bagi konflik, permusuhan dan terorisme. Ladang
kering dan tandus bagi perdamaian. Kemiskinan berlanjut pada merosotnya pemerataan
pendidikan dan peningkatan mortalitas manusia. Tidak berakhir sampai disana,
permasalahan penyebaran penyakit baru, rusaknya lingkungan hidup juga menjadi
permasalahan yang tak kunjung usai.
Hal inilah yang benar-benar diperingatkan sejak lama oleh Adam Smith didalam bukunya
Wealth of Nation (1776), bahwa dalam konteks kenegaraan, ambisi pribadi (self
interests) harus diimbangi dengan moral yang baik sehingga dapat menahan nafsu dan
ambisinya (self reliance). Bisa dibayangkan kalau hal itu tidak dilakukan, sudah tentu
tidak akan ada pemerataan yang adil bagi semua negara-negara di dunia. Negara-negara
yang kaya akan semakin kaya dan negara-negara miskin akan semakin berada di lembah
kemiskinannya.
Lahirnya delapan butir sasaran MDGs ini menjadi pintu gerbang negara-negara dunia
bisa mengendalikan ‘nafsu’ nya sekaligus memupuk kesadaran bahwa ada tanggung
jawab untuk menjaga keutuhan dunia bersama. Sampai sekarang, negara-negara penggiat
MDGs tetap bertahan menyuarakan seuran untuk mengambil langkah aksi guna mencapai
semua sasaran tersebut. Komitmen nyata yang telah hadir adalah tergalangnya dana 16
miliar dolar AS, dengan sekitar 1,6 miliar dolar AS untuk meningkatkan keamanan
pangan, 4,5 miliar dolar AS untuk pendidikan, dan 3 miliar dolar AS untuk mereduksi
penyakit malaria.
Sekarang bagaimana dengan negara Indonesia? Indonesia termasuk negara yang sangat
concern merealisasikan capaian 8 butir sasaran tadi. MDGs telah menjadi referensi
penting pembangunan di Indonesia, mulai dari tahap perencanaan seperti yang tercantum
pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) hingga pelaksanaannya dibawah
komando Bappenas. Walaupun mengalami berbagai kendala, namun pemerintah
memiliki komitmen untuk mencapai sasaran-sasaran ini dan dibutuhkan kerja keras serta
kerjasama dengan seluruh pihak, termasuk masyarakat madani, pihak swasta, dan
lembaga donor.
Sayang aduh sayang, baru-baru ini pemerintah menengarai bahwa ada tiga sasaran yang
dimungkinkan gagal pencapaiannya pada tahun 2015. Kemungkinan itu ditunjukan lewat
angka kematian ibu melahirkan yang masih tinggi, pencegahan HIV/ AIDS yang belum
maksimal, dan peremajaan lingkungan hidup yang tidak optimal. Belum lagi tanggungan
beban hutang yang sangat besar. Program-program MDGs lainnya membutuhkan biaya
yang sangat besar. Jika dirujuk lewat data Departemen Keuangan, per 31 Agustus 2008,
beban pembayaran utang Indonesia terbesar akan terjadi pada tahun 2009-2015 dengan
jumlah berkisar dari Rp97,7 triliun (2009) hingga Rp81,54 triliun (2015) rentang waktu
yang sama untuk pencapaian MDGs. Jumlah pembayaran utang Indonesia, baru menurun
drastis (2016) menjadi Rp66,70 triliun.
Akibat hal tersebut, tidak salah jika Indonesia ditempatkan pada posisi yang rentan.
Indeks kerentanan pencapaian MDGs Indonesia berada pada posisi menengah bersama
Filipina, Nepal, dan Papua Nugini, serta lebih buruk dibandingkan Vietnam, Bangladesh,
dan India. Hal ini sangat mengkhawatirkan, mengingat sisa waktu lima tahun lagi (baca:
2015) untuk bisa memenuhi MDGs. Indonesia harus benar-benar memacu diri untuk
mengejar ketertinggalannya. Setidaknya ada empat hal yang harus diperhatikan negara
ini untuk dapat memenuhi sasaran MDGs kedepannya:
Pertama, Sinkronisasi arah gerak pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Saat ini, ada
46 program dan 105 tindakan terkait upaya pencapaian MDGs, program prorakyat, dan
program keadilan untuk semua yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat. Program
dan tindakan itu hanyalah menjadi sia-sia belaka tanpa adanya tindakan nyata di level
kabupaten. Maka jangan sampai sistem desentralisasi negara ini menjadi penghambat.
Jadi, semakin menggeliatnya peran pemerintah daerah untuk menyukseskan tujuan
pembangunan milenium, semakin cepat pula MDGs negara Indonesia akan tercapai.
Ketiga, mempertahankan kearifan lokal yang ada di Indonesia. Didalam kearifan lokal
terkandung sebuah visi, misi, dan nilai-nilai yang menjelma menjadi sebuah identitas
sebuah masyarakat. Manusia Indonesia yang terkenal dengan jiwa sosial dan kegotong-
royongannya akan memberikan kontribusi yang besar dalam pencapaian MDGs
kedepannya. Dengan semangat kepedulian yang tinggi, anggota masyarakat Indonesia
bisa bertenggang rasa dan tepo seliro pada anggota masyarakat lainnya yang mengalami
suatu problem kehidupan. Dengan demikian, sektor masyarakat dapat membantu sektor
pemerintah secara kultural.
Hernando de Soto, seorang pemikir ekonomi dunia asal Peru pernah menegaskan bahwa
sejak proses globalisasi mulai berlangsung, kondisi kehidupan di hampir semua negara
terkesan meningkat, apalagi jika diukur dengan indikator-indikator lebih luas. Namun,
seringkali pula peningkatan itu hanya ada dalam hitung-hitungan di atas kertas. Negara-
negara maju dan kuat memang bisa meraih keuntungan, tapi tidak negara-negara
berkembang dan miskin.
Pengalaman sudah membuktikan sejak proses globalisasi bergulir muncul pula isu-isu
seperti perdagangan global yang tidak fair, juga sistem keuangan global yang labil yang
menelorkan krisis. Dalam kondisi tersebut, negara-negara berkembang dan miskin
berulang kali terjebak jeratan utang yang justru jadi beban. Belum lagi bermunculan
rezim hak properti intelektual, yang malah menghabisi akses masyarakat miskin untuk
mendapat obat-obatan dengan harga terjangkau.
Dalam proses globalisasi, seharusnya uang mengalir dari negara kaya ke negara miskin.
Tapi, dalam beberapa tahun terakhir, yang terjadi justru sebaliknya. Sementara negara-
negara kaya memiliki kemampuan untuk menahan risiko fluktuasi kurs dan suku bunga,
negara-negara berkembang dan miskin menanggung beban fluktuasi tadi.
Mari berkaca pada isu perjanjian AFTA yang kini menjadi dampak sistemik globalisasi,
pada sektor ekonomi Indonesia. Sebenarnya AFTA merupakan peluang bagi negara
ASEAN untuk berkompetisi secara fair memasarkan produk hasil negerinya. Namun
dengan kehadiran Cina yang turut meramaikan perjanjian ini, menjadikan semua bangsa
di ASEAN menjadi was-was, termasuk negara Indonesia.
Dengan kemampuan Cina menghasilkan produk yang sangat murah, Ekonom Indonesia
benar-benar khawatir kalau produk dalam negeri ini tidak mampu bersaing dengan negara
itu. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya fakta, banyak industri pengrajin Indonesia yang
bangkrut akibat tidak mampu bersaing dengan produk Cina. Padahal itu terjadi jauh
sebelum AFTA diberlakukan.
Mari beralih pada sektor kehidupan yang lain. Jika tadi Hernando lebih berfokus dampak
sistemik globalisasi sektor fiskal, maka Marshall Mc Luhan, seorang penulis buku
Understanding Media, lebih berfokus pada dampak sistemik globalisasi pada sektor
budaya. Dia mengatakan, bahwa kini semakin nyata saja imbas teknologi komunikasi
pada berbagai sektor kehidupan.
Media massa global seperti CNN, MTV, CNBC, HBO, BBC, ESPN, dan lain-lain, telah
menjangkau dan menembus yuridiksi berbagai negara. Setidaknya informasi itu sering
dimaknai di dalamnya mengandung kebudayaan, maka terjadilah penyebaran budaya
global. Media massa berperan sebagai kekuatan trend setter untuk isu-isu global, baik
persoalan politik seperti HAM, lingkungan hidup, maupun terorisme internasional,
hingga ke persoalan budaya dan gaya hidup.
Dampak sistemik ini telah kini telah sampai di Indonesia. Ada dampak positif dan ada
dampak negatif. Dampak positifnya adalah semakin mudahnya kita mengakses berita
internasional dalam real-time saat informasi itu baru didapatkan. Namun disisi lain,
dampak negatif pun tak dapat dielakkan juga. Tampaknya telah terjadi pergeseran nilai-
nilai norma kesopanan yang dahulu kita pegang teguh sebagai identitas negara kita. Saat
ini banyak beredar film Indonesia berkedok komedi atau horor, namun sebenarnya lebih
banyak menonjolkan adegan vulgar yang mengikuti budaya hidup orang barat.
Sebenarnya masih banyak lagi dampak sistemik globalisasi yang mempengaruhi sendi-
sendi kehidupan bernegara kita. Namun yang terpenting adalah bukanlah mendaftar efek
sistemik apa saja yang telah didapatkan Indonesia. Yang terpenting adalah kini sudah
saatnya rakyat dan pemerintah Indonesia sadar, bahwa saat ini bukanlah lagi waktu untuk
bersantai-santai dan memperlambat gerak pembangunan. Kalau ini terus dibiarkan, maka
negara kita akan tergilas oleh dampak sistemik itu sendiri.
Dengan adanya arus globalisasi dunia ini, Indonesia dihadapkan pada hanya dua pilihan
saja : memilih hal ini sebagai sebuah peluang atau sebagai sebuah hambatan. Peluang
berarti setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memanfaatkan situasi ini
dalam menghidupi kehidupannya dengan baik, sedangkan tantangan berarti setiap orang
diberi kesempatan untuk berkompetisi dan menunjukkan kemampuannya. Sudah saatnya
Indonesia melakukan akselerasi pembangunan disegala sektor menghadapi tantangan era
globalisasi yang sudah hadir di depan mata.
Proses globalisasi ini membuat dunia menjadi kian sempit seperti persis yang dikatakan
Thomas L. Friedman didalam bukunya yang berjudul The World is Flat. Jadi janganlah
heran, jika kita dapat menemukan dengan mudah berbagai produk luar negeri yang
beredar di seantero negeri kita.
Disamping itu, globalisasi pun telah membuat seakan negara satu dan lainnya kehilangan
batas-batas jelas teritorialnya serta berujung pada hilangnya status “negara–bangsa”, yang
sama persis seperti ramalan Profesor Kenichi Ohmae didalam bukunya yang berjudul
The End of Nation State.
Proffesor Kenichi Ohmae telah mewanti-wanti sejak lama kepada semua negara yang ada
di dunia bahwa ada empat “I” yang akan membawa dampak sistemik globalisasi ini.
Keempat “I” tersebut adalah Industri, Investasi, Individualisme, dan Informasi. Jadi
sudah seharusnya Indonesia mulai berancang-ancang terhadap empat “I” ini.