You are on page 1of 8

Pendidikan Ekonomi Kreatif, Solusi bagi

Pengangguran Akademik
Senin, 22 November 2010 - Dibaca 124 kali

Setiap orang pasti mempunyai impian untuk mengenyam pendidikan hingga ke jenjang
yang setinggi-tingginya. Mulai dari SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Bahkan
orang yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja selalu berharap agar salah seorang dari
keluarganya dapat mengenyam bangku pendidikan sampai ke jenjang doctor bila
memungkinkan. Tak asing lagi jika kita melihat banyak orang tua di desa-desa yang
nekat menjual sawah mereka demi biaya sekolah sang anak. Apa gerangan yang
membuat orang begitu obsesi untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya? Jawaban
dari pertanyaan itu adalah demi sebuah pekerjaan yang layak dan meningkatkan taraf
hidup.

Dari zaman dahulu paradigma masyarakat kita selalu berpikir bahwa dengan
mengantongi ijazah pendidikan tinggi seseorang pasti akan mendapatkan pekerjaan yang
layak. Bekerja di tempat yang enak, ruangan ber-AC, dan dengan honor yang tinggi
tentunya. Namun pada kenyataannya, impian tidaklah selalu sama dengan kenyataan.
Sakarang ini ijazah tak lagi menjamin pekerjaan seseorang. Jangankan ijazah SMA,
bahkan orang yang berijazah perguruan tinggi pun tak selalu beruntung mendapatkan
pekerjaan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa angka pengangguran di Indonesia
bagaikan bom waktu yang siap meledak pada saatnya. Berdasarkan data Badan Statistik
Nasional (BSN), jumlah pengangguran di Indonesia hingga februari 2010 mencapai
angka 8.59 juta jiwa atau sekitar 7.41 persen dari total penduduk Indonesia. Ironisnya,
angka pengangguran itu tak hanya didominasi oleh orang-orang yang tak berpendidkan
saja. Bahkan orang-orang yang lulus perguruan tinggi pun tak luput dari predikat
“pengangguran”. Inilah yang kemudian disebut sebagai pengangguran akademik. Ditulis
dalam kompas.com (28/10/10), bahwa angka pengangguran akademik lebih dari dua juta
orang. Padahal, tanpa merekapun angka pengangguran di Indonesia kian melambung.
Jika sudah begini, mau jadi apa negara kita ini.

Jika mereka yang berpendidikan tinggi saja tak mampu mendapatkan pekerjaan, apa
kabar dengan mereka yang hanya lulusan SMA atau di bawahnya. Hal yang perlu
dikhawatirkan adalah pandangan masyarakat terhadap dunia pendidikan di negeri kita ini.
Tak menutup kemungkinan masyarakat awam akan memandang pendidikan sebelah mata
jika kondisi ini terus dibiarkan begitu saja. Mereka tak mau lagi mengindahkan imbauan
pemerintah tentang wajib belajar sembilan tahun. Para orang tua akan lebih memilih
anaknya untuk membantu perekonomian keluarga ketimbang untuk sekolah yang
dianggap hanya membuang-buang biaya, toh ujung-ujungnya jadi pengangguran juga.

Apa yang salah dengan dunia pendidikan kita. Sepertinya ini tak hanya menjadi
pekerjaan rumah bagi para guru di sekolah atau di perguruan tinggi, namun juga menjadi
pekerjaan rumah bagi pemerintah. Ada hal yang harus dibenahi dengan dunia pendidikan
kita, entah itu sistim, kurikulum, maupun yang lainnya. Rupanya kondisi ini tak hanya
menjadi kerisauan segelintir orang saja. Pemerintah pun mulai merasa gerah dengan
angka pengangguran di negeri kita ini. Ini dibuktikan dengan digagasnya pendidikan
ekonomi kreatif beberapa tahun silam.

Ekonomi kreatif pertama kali diperkenalkan oleh John Howkins, penulis buku "Creative
Economy, How People Make Money from Ideas" . Menurutnya ekonomi baru telah
muncul seputar industri kreatif yang dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual
seperti paten, hak cipta, merek, royalti, dan desain. Menurut sumber lain ekonomi kreatif
merupakan upaya penciptaan nilai tambah melalui pengembangan intelektual dan talenta
baik pribadi maupun kelompok. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekonomi kreatif
adalah upaya pemenuhan kebutuhan hidup dengan mengoptimalkan potensi kreativitas
sehingga meningkatkan nilai komersiil suatu produk. Oleh karena itu, kreativitas yang
tinggi dan ide serta gagasan yang fresh dan orisinil. Ekonomi Kreatif merupakan era
ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan
pada ide dan stock of knowledge dari SDM sebagai faktor produksi utama dalam
kegiatan ekonominya. Alvin Toffler (1980) dalam teorinya melakukan pembagian
gelombang peradaban ekonomi kedalam tiga gelombang.Gelombang pertama adalah
gelombang ekonomi pertanian. Kedua, gelombang ekonomi industri, dan yang ketiga
adalah gelombang ekonomi informasi. Kemudian diprediksikan gelombang keempat
inilah merupakan gelombang ekonomi kreatif yang berorientasi pada ide dan gagasan
kreatif. Dengan ekonomi kreatif, rakyat jadi mandiri; meminimalkan ketergantungan,
mengikis mental buruh, menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi pengangguran,
menyemarakkan dunia pariwisata, menggaet devisa. Pada akhirnya, rakyat jadi makmur.

Munculnya ekonomi kreatif di Indonesia berawal pada tahun 2006. Pada saat itu, dalam
sebuah kesemapatan presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono mengarahkan untuk
mengembangkan ekonomi kreatif di Indonesia. Kemudian pemerintah melalui
Kementerian perdagangan dan perindustrian bekerja sama dengan KADIN membentuk
Indonesia Design Power untuk mengembangkan ekonomi kreatif.

Gagasan ekonomi kreatif harus dipandang dan ditempatkan sebagai gagasan yang unggul
untuk masyarakat yang memiliki keunggulan. Karenanya pencanangan ekonomi kreatif
juga harus mendapat dukungan khususnya dari masyarakat. Pengembangan ekonomi
kreatif berasumsi bahwa masyarakat di mana ekonomi kreatif dikembangkan adalah
masyarakat yang memiliki atau bersedia untuk tumbuh secara kreatif berdasarkan kriteria
pengembangan industri atau ekonomi kreatif.

Persoalannya, kendala yang harus dihadapi adalah bagaimana menghadapi rakyat awam
yang tidak proaktif, yang terbiasa menunggu perintah dan petunjuk berperilaku
kontraproduktif. Di sinilah dunia pendidikan memegang peran penting. Melalui
pendidikan ekonomi kreatif, siswa dan mahasiswa disiapkan secara fisik dan mental untu
menjadi manusia yang berjiwa enterpreunership. Sehingga ketika mereka lulus dan
meninggalkan bangku pendidikan, mereka tak lagi kebingungan untuk mencari kerja
karena mereka telah memiliki skill. Bahkan mereka berpeluang untuk membuka
lowongan kerja bagi orang lain.

Di sekolah, ekonomi kreatif ini dapat diajarkan kepada siswa melalui berbagai macam
kegiatan baik yang berhubungan dengan materi pembelajaran maupun tidak. Misalnya,
pada mata pelajaran ilmu pengetahuan alam, para siswa tak hanya diajarkan materi saja.
Tapi mereka juga harus bereksperimen. Beberapa materi yang dapat diimplementasikan
langsung dalam kehidupan sehari-hari seperti sel elektrolisis (penyepuhan), pembangkit
listrik tenaga air, angin, dan lainnya, larutan elektrolit (dapat menghasilkan arus listrik),
wawasan sadar lingkungan (memanfaatkan barang bekas untuk digunakan kembali
maupun dijadikan sebagai hiasan), dan masih banyak lagi materi yang sangat aplikatif
dan kontekstual bagi para siswa. Pada mata pelajaran kerajinan dan kesenian misalnya,
siswa dapat diajarkan bagiaman cara membuat bermacam-macam kerajinan dan kesenian
tangan, cara memasak, membuat keu, dan yang lainnya. Pada mata pelajaran ekonomi,
siswa dapat diajarkan bagaimana cara mendirikan dan mengelola koperasi dengan baik.
Dan masih banyak hal-hal lain yang dapat diajarkan secara praktis kepada para siswa. Itu
semua merupakan modal yang sanga besar bagi para siswa maupun mahasiswa untuk
masa depan mereka. Mental mereka sedikit demi sedikit akan mulai terbangun untuk
menjadi enterpreuner sejati.

Ditingkat perguruan tinggi tentunya akan lebih mudah mengajarkan ekonomi kreatif ini
karena mereka bukan lagi siswa sekolah yang harus disuapi. Mahasiswa akan lebih aktif
dan kreatif, tergantung bagaimana sistim dan para pendidik mengarahkan mereka.

Perlu diingat bahwa dalam pendidikan ekonomi kreatif ini, modal mental saja tak cukup.
Yang paling penting adalah sikap inovatif, karena bagaimanapun juga, permintaan pasar
selalu berkembang dan konsumen akan mudah tergiur dengan produk-produk baru yang
ditawarkan.

Ekonomi kreatif tak hanya berkutat dalam satu bidang saja, namun ekonomi kreatif
punyai 14 subsektor industri, yaitu periklanan (advertising), arsitektur, pasar seni dan
barang antik, kerajinan, desain, fashion, video/ film/ animasi/ fotografi, game, musik, seni
pertunjukan (showbiz), penerbitan/percetakan, software, televisi/ radio (broadcasting),
dan riset & pengembangan (R&D).

Dari sekian banyak sektor ekonomi kreatif itu, di Indonesia sendiri ekonomi kreatif yang
berkembang pesat adalah dalam bidang kerajinan yang berbasis warisan budaya. Ini
dapat dilihat dari produk-produk yang dihasilkan oleh para putra bangsa di berbagai
daerah, terutama daerah pariwisata. Tahap selanjutnya adalah bagaimana pemerintah
mengelola kreativitas anak bangsa ini menjadi produk unggulan.

Dengan demikian, pendidikan ekonomi kreatif yang diberikan di sekolah maupun


perguruan tinggi diharapkan mampu mengikis mental buruh ketika para siswa dan
mahasiswa meninggalkan bangku kuliah. Mereka tak lagi harus berdesak-desakan di
bursa kerja untuk melamar pekerjaan dengan peluang yang sangat kecil. Karena
bagaiamanapun juga keterampilan sangat dibutuhkan, tak hanya ijazah. Selain itu, sangat
diharapkan mereka dapat membuka lapangan pekerjaan di berbagai sektor sehingga dapat
mengurangi angka pengangguran di negeri tercinta, terutama pengangguran akademik.
Pendidikan ekonomi kreatif ini akan berjalan sesuai dengan harapan jika semua pihak
yang terlibat benar-benar mencurahkan kemampuan dan konsisten terhadap apa yang
menjadi kewajibannya. Pemerintah, pendidik, siswa/ mahasiswa, maupun para pengusaha
sekalipun harus terlibat aktif dalam pengembangan ekonomi kreatif ini. Sehingga bangsa
kita akan lebih maju dan terangkat martabatnya di mata dunia.

INTERNALISASI EKONOMI KREATIF DAN PENDIDIKAN BUDAYA


KARAKTER BANGSA DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Oleh : Siti Melina Andri

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A. Perkembangan Kurikulum Pendidikan di Indonesia

Dunia pendidikan di Indonesia dapat dikatakan masih dalam tahap perkembangan.


Pergantian kurikulum seringkali mewarnai perkembangan pendidikan di Indonesia.
Hingga kini, sebanyak 9 kali penyempurnaan kurikulum yang telah dilaksanakan oleh
pemerintah. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional
telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,
2004 dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya
perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa
dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu
dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di
masyarakat (Dion Eprijum Ginanto: 2009). Semua kurikulum nasional dirancang
berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Perbedaanya terletak
pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta strategi maupun pendekatan dalam
merealisasikannya. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab (Puskur: 2010). Sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional, diharapkan mampu mencetak lulusan yang memiliki potensi yang unggul serta
memiliki keterampilan dalam hidup agar dapat bersaing baik dalam negeri maupun
dengan luar negeri.

B. Persaingan Global dalam Dunia Pendidikan

Pada era globalisasi seperti sekarang ini, persaingan kehidupan pada berbagai sektor
sudah sangat meluas, tidak hanya bersaing dengan masyarakat dari dalam negeri saja,
melainkan sudah mulai bersaing masyarakat global. Persaingan tidak hanya dalam bidang
perekonomian saja, dalam bidang pendidikan pun mulai persaingan sudah sangat terasa di
berbagai daerah. Sebagai anak bangsa, kita harus siap menghadapi persaingan tersebut,
karena bagi siapa yang tidak dapat bertahan maka akan terlempar dari perputaran
persaingan. Oleh karena itu perlu penanganan khusus untuk menyelesaikan permasalahan
ini. Tugas pemerintah yang harus mulai membenahi sistem pendidikan nasional agar
dapat mempertahankan bangsa dari ketertinggalan bahkan membawa nama bangsa serta
mengharumkan Indonesia ke kancah internasional.

Salah satu sektor yang harus dibenahi adalah dalam bidang pendidikan, karena dengan
pendidikan yang baik seseorang dapat bertahan hidup dimanapun ia berada. Pendidikan
di Indonesia saat ini relatif masih berkembang. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan
anak bangsa berprestasi yang mampu bersaing dengan negara lain dalam berbagai
kejuaran. Ada beberapa diantara mereka yang mampu mengharumkan nama bangsa
dengan mengikuti berbagai ajang kejuaraan internasional seperti olimpiade sains,
kejuaraan aplikasi TI (Teknologi Informasi) dan kejuaraan lainnya. Akan tetapi
persentase jumlah anak yang berprestasi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
anak yang kurang berprestasi. Rata-rata anak yang berprestasi hanya dari kalangan
ekonomi menengah ke atas yang memiliki motivasi tinggi, karena didukung oleh fasilitas
yang memadai dan lingkungan yang kondusif serta asupan gizi yang memenuhi standar 4
(empat) sehat 5 (lima) sempurna, sehingga berpeluang besar untuk mengukir prestasi.
Akan tetapi beda halnya dengan nasib anak dari kalangan ekonomi menengah ke bawah
yang memiliki kompetensi yang tinggi dan kemauan yang besar untuk mengembangkan
intelektualitas dan kreatifitas yang dimilikinya namun terbentur masalah ekonomi dan
fasilitas yang kurang memadai. Lingkungan keluarga sudah tentu tidak dapat
membantunya dikarenakan keterbatasan biaya. Maka kewajiban sekolahlah yang
seharusnya dapat memfasilitasi anak berbakat seperti itu. Kenyataannya masih banyak
sekolah yang belum mampu mengatasi permasalahan tersebut, terutama bagi sekolah
yang berada di pedalaman yang jauh dari perhatian pemerintah pusat, sehingga sangat
minim fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah tersebut. Kemungkinan besar
akan sulit mewujudkan tujuan pendidikan seperti yang tertulis dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional.

C. Gagasan Ekonomi Kreatif dalam Dunia Pendidikan

Indonesia sebagai negara berkembang dituntut untuk dapat bersaing dengan negara
berkembang lainnya. Untuk itu presiden Susilo Bambang Yodhoyono mengarahkan
untuk mengembangkan kegiatan ekonomi yang kreatif. Munculnya ekonomi kreatif di
Indonesia berawal pada tahun 2006. Pada saat itu, dalam sebuah kesemapatan presiden
RI, Susilo Bambang Yudhoyono mengarahkan untuk mengembangkan ekonomi kreatif di
Indonesia. Ekonomi Kreatif merupakan era ekonomi baru yang mengintensifkan
informasi dan kreativitas dengan mengandalkan pada ide dan stock of knowledge dari
SDM sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya.

Semburat harapan muncul dengan diluncurkannya program baru dari pemerintah untuk
menunjang pencapaian kemajuan ekonomi rakyat dengan tajuk “ekonomi kreatif”,
meskipun di tempat lain sudah lebih dulu dilansir. Program ini beberapa waktu lalu telah
dikampanyekan orang nomor satu di negeri ini. Menteri terkait pun sibuk
mensosialisasikannya.
Program ini diharapkan membantu kesenjangan yang terjadi pada rakyat dengan tingkat
perekonomian menengah ke bawah. Dengan ekonomi kreatif, rakyat menjadi mandiri;
meminimalkan ketergantungan, mengikis mental buruh, menciptakan lapangan kerja
baru, mengurangi pengangguran, menyemarakkan dunia pariwisata, dan dapat menggaet
devisa. Sehingga rakyat menjadi makmur.

Persoalannya, kendala yang harus dihadapi adalah bagaimana menghadapi rakyat awam
yang tidak proaktif, yang terbiasa menunggu perintah dan petunjuk berperilaku
kontraproduktif.

Upaya yang telah didesain dan dijalankan pemerintah pusat ternyata masih juga
terkendala lemahnya apresiasi para penyelenggara negara di daerah. Jangan heran kalau
oknum di instansi terkait sangat tidak paham dengan persoalan ini.

Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia mempunyai tantangan untuk


meningkatkan taraf hidup penduduknya baik dari segi pendidikan, kesehatan maupun
ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah menggagas untuk diterapkannya ekonomi kreatif di
Indonesia.

Bercermin dari berbagai kendala yang dihadapi dalam upaya penerapan ekonomi kreatif
itu maka pemerintah mencoba memasukkan ekonomi kreatif ini ke dalam kurikulum
pendidikan yang tertuang dalam KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang
salah satu acuan operasional KTSP adalah tuntutan dunia kerja di mana kurikulum harus
memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja sesuai
dengan tingkat perkembangan peserta didik dan kebutuhan dunia kerja, khususnya bagi
mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini
merupakan salah satu inovasi yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki sistem
pendidikan di Indonesia.

Penerapan ekonomi kreatif dapat aplikasikan melalui proses pembelajaran, di mana


setelah guru selesai atau sedang memberikan materi pelajaran, sebisa mungkin guru
memberikan contoh aplikasi materi tersebut dalam kehidupan sehari-hari yang dapat
memberikan nilai ekonomi dan sebaiknya guru dapat memotivasi siswa agar dapat
memunculkan kreatifitasnya, sehingga siswa terpacu untuk mengeluarkan ide-idenya dan
menciptakan suatu inovasi baru yang mempunyai nilai ekonomi dan daya jual. Kelak
kreatifitasnya itu dapat diterapkan di masa yang akan datang untuk membekali kecakapan
hidupnya.

Kecakapan hidup juga dapat diaplikasikan melalui mulok (muatan lokal) masing-masing
instansi. Dengan mendatangkan para ahli yang sesuai dengan kecakapan yang diinginkan.
Substansinya dapat berupa program keterampilan produk dan jasa (Puskur: 2010),
Contoh:

§ Bidang Budidaya: Tanaman Hias, Tanaman Obat, Sayur, Pembibitan ikan hias dan
konsumsi, dll.
§ Bidang Pengolahan: Pembuatan Abon, Kerupuk, Ikan Asin, Baso dll.

§ Bidang TIK dan lain-lain: Web Desain, Berkomunkasi sebagai Guide, akuntansi
komputer, Kewirausahaan dll.

Selain ekonomi kreatif yang sedang booming di gembar-gemborkan oleh kalangan


pemerintah, pendidikan budaya karakter bangsapun sudah mulai diterapkan dalam sistem
pendididkan nasional melalui kurikulum.

D. Urgensi Penerapan Budaya Karakter Bangsa dalam Dunia Pendidikan

Budaya dan karakter merupakan hasil dari pendidikan dalam arti luas. Budaya dan
karakter bangsa Indonesia secara konseptual tercermin dalam rumusan dan kandungan
sila-sila Pancasila. Membangun budaya dan karakter secara psikologis harus bertumpu
pada pembangunan hati, otak dan fisik. Dengan demikian pendidikan budaya dan
karakter bangsa ditekankan pada internalisasi, personalia atau penghayatan, dan
pembentukan prilaku peserta didik. Sebagai suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam
mengembangkan potensi peserta didik, pendidikan juga merupakan suatu usaha kolektif
dari masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi kehidupan
mereka, kelangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan.
Oleh karena itu pendidikan harus disikapi sebagai proses pewarisan budaya dan
pembangunan bangsa dan karakter (nation and character building) bagi generasi muda.
Proses pengembangan budaya dan karakter bangsa dimaksudkan sebagai wahana untuk
menjamin kelangsungan serta peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di
masa mendatang. Pengembangan yang dilakukan melalui pendidikan harus diwujudkan
dalam bentuk proses pengembangan potensi diri setiap peserta didik sebagai komponen
pendukung budaya dan karakter bangsa di masa mendatang. Oleh karena itu program
pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berfokus pada pengembangan nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa yang mendasar dan baik atau fundamental, diperlukan, dan
diinginkan oleh masyarakat dan bangsa.

Pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan


dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan tersebut harus dilakukan
dengan perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar dan
pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat nilai, pendidikan budaya dan karakter
bangsa merupakan usaha bersama sekolah dan oleh karenanya harus dilakukan secara
bersama oleh semua guru, semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari budaya sekolah.

Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan proses pendidikan yang berpusat
pada pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter pada masyarakat sekolah termasuk di
dalamnya dan paling utama peserta didik. Pengembangan nilai-nilai tersebut harus tetap
menempatkan peserta didik sebagai subjek yang aktif mempelajari, menginternalkan,
memasukkan nilai dalam sistem nilai yang sudah ada pada dirinya, menjadikan nilai baru
tersebut menjadi bagian dari kepribadian dirinya. Secara kontekstual nilai-nilai itu terus
berkembang selama mereka berada dalam proses pendidikan di sekolah dan masyarakat,
dan menjadi dasar untuk mempelajari nilai-nilai baru setelah sepenuhnya berkarya di
masyarakat. Dengan perkataan lain, nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dimiliki
peserta didik tersebut akan menjadi modal dasar menjadikan mereka sebagai warganegara
Indonesia yang mampu membangun bangsa dan negaranya.

Internalisasi ekonomi kreatif dan budaya karakter bangsa dalam dunia pendidikan
diharapkan mampu menciptakan lulusan yang memiliki kompetensi baik dari segi
kognitif, afektif dan psikomotorik yang bersinergi sehingga mampu menjadikan pribadi
yang mandiri, cakap, kreatif, berkarakter, dan bertanggungjawab. Sehingga jika ia tidak
mampu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maka kreatifitas yang
telah diajarkan dapat diaplikasikan untuk menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai
ekonomi dan mempunyai daya jual yang tinggi. Apalagi jika ia membuat inovasi baru
dalam kreatifitasnya serta ulet dan jujur dalam berusaha, maka dapat dipastikan
kesuksesan akan diraihnya. Akan tetapi segiat apapun seseorang itu berusaha jika tanpa
disertai dengan doa, maka semua itu akan sia-sia, karena kita sebagai manusia hanya bisa
berusaha, berdoa, dan bertawakal. Terlepas dari itu semua ada yang lebih berhak
menentukan jalan hidup kita. (wawlahu ‘alamu bissawab).

You might also like