Professional Documents
Culture Documents
BAB 1. PENDAHULUAN
1
2
Langkah awal yang sangat membantu untuk menggali pengetahuan suku lokal
terhadap resep tradisional berkhasiat obat yaitu dengan berbagai pendekatan secara
ilmiah (Kuntorini, 2005). Salah satu pendekatan tersebut adalah etnofarmasi (Pieroni
et al., 2002). Pendekatan etnofarmasi telah dilakukan di berbagai suku di Indonesia,
diantaranya yang telah diterapkan pada masyarakat lokal Suku Muna Kecamatan
Wakarumba, Kabupaten Muna, Sulawesi Utara (Windadri et al, 2006), dan di sekitar
kawasan Gunung Gede Pangrango (Rosita et al, 2007). Keduanya mendapatkan resep
tradisional dari pengetahuan suku lokal tersebut.
Tengger sebagai salah satu suku di Indonesia, menurut Sutarto (2009)
masyarakatnya masih bersikukuh dengan tradisi yang diwarisi dari para
pendahulunya. Tradisi tersebut antara lain upacara Kasada, upacara Karo, Upacara
Unan-Unan dan masih banyak lagi upacara lain yang sampai sekarang masih
dijalankan dengan norma-norma sosial yang tetap terjaga. Salah satu norma sosial
yang ada adalah interaksi Suku Tengger dengan alam sekitar yang terdapat banyak
sumberdaya alamnya. Sumberdaya alam tersebut berada dalam kawasan Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru yang berupa fenomena Kaldera Tengger dengan
lautan pasir yang luas, pemandangan alam dan atraksi geologis Gunung Bromo dan
Gunung Semeru, keragaman flora langka dan endemik serta potensi hidrologis yang
tinggi termasuk keberadaan 6 buah danau alami yang indah (Hidayat dan Risna,
2007). Keadaan alam yang ada mampu menarik banyak wisatawan domestik maupun
mancanegara datang ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Wisatawan umumnya membawa peradaban modern yang dapat menggeser
sejumlah pengetahuan lokal masyarakat (Windadri et al., 2006). Hal ini dapat
menyebabkan pengetahuan tentang tumbuhan obat pada masyarakat atau Suku
Tengger juga mengalami erosi (hilang). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
etnofarmasi di suku Tengger agar kelestarian pengetahuan maupun penggunaan obat
tradisional tetap terjaga dan dapat digunakan sebagai referensi dasar pengembangan
bahan obat baru.
3
1.3 Tujuan
Penelitian di lingkungan Suku Tengger ini bertujuan untuk:
1. Melakukan inventarisasi tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang dimanfaatkan
Suku Tengger sebagai bahan obat tradisional.
2. Mengetahui cara penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral untuk
pengobatan.
3. Mengetahui persentase pengetahuan atau penggunaan setiap tumbuhan, hewan,
dan bahan mineral tersebut sebagai obat
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan membawa manfaat antara lain:
1. Memberikan informasi mengenai tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang
digunakan oleh Suku Tengger sebagai bahan obat tradisional.
2. Memberikan informasi cara penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral
tersebut untuk pengobatan.
3. Memberikan informasi persentase pengetahuan atau penggunaan setiap tumbuhan,
hewan, dan bahan mineral tersebut sebagai obat
4. Sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai Etnofarmasi Suku Tengger
dan pengembangan obat di Indonesia.
4
4
5
Gambar 2.1 “Desa Tengger” yang masyarakatnya mayoritas beragama Hindu Tengger
Saat ini, desa yang termasuk dalam “ Desa Tengger” hanya desa-desa yang
berada di Kecamatan Sukapura (Gambar 2.1) yang masyarakatnya mayoritas masih
10
beragama Hindu Tengger. Desa-desa di kawasan Tosari, Ranu Pani dan yang lain
sudah mengalami Islamisasi (Sutarto 2009. Komunikasi pribadi). “ Desa Tengger”
yang pada awalnya berjumlah tujuh belas desa yang tersebar diempat Kabupaten,
sekarang tinggal lima desa yaitu Desa Ngadirejo, Desa Ngadas, Desa Jetak, Desa
Wonotoro, Desa Ngadisari, yang berada di Kecamatan Sukapura Kabupaten
Probolinggo. Pada bulan Maret 2003 “desa Tengger” berpenduduk 6274 jiwa yang
tersebar di Desa Ngadirejo 2750 jiwa, Desa Ngadas 685 jiwa, Desa Jetak 559 jiwa,
Desa Wonotoro 717 Jiwa, dan Desa Ngadisari 1563 jiwa (Sutarto, 2007).
orang menjadi sakit adalah dukun cilik (dukun kecil) (Sutarto, 2007). Saat ini,
keberadaan dukun cilik (Batra) di Kecamatan Sukapura sudah tidak ditemukan
(Berdasarkan peninjauan yang dilakukan penulis pada bulan Mei 2009), sehingga
diperlukan kembali penggalian pengetahuan pengobatan tradisional di Suku Tengger
untuk pelestarian keanekaragaman budaya suku bangsa.
semangat pluralisme yang diejawantahkan melalui sikap budaya dan agama membuat
Suku Tengger terbebas dari konflik yang berdimensi etnis dan keagamaan
Kejujuran dan ketulusan Suku Tengger masih dapat dilihat sampai saat ini,
dengan angka kejahatan di desa-desa Tengger pada umumnya hampir tidak ada.
Suasana damai, tenteram, aman, dan penuh toleransi tercermin dalam kehidupan
sehari-hari Suku Tengger. Galba et al, (1989) menambahkan bahwa Suku Tengger
menjaga hubungannya dengan alam dan mencintai alam lingkungan tempat mereka
tinggal dengan cara mereka memanfaatkannya sebagai lahan pertanian dan bertani
dengan baik. Dalam hal ini,Suku Tengger tidak merusak hutan untuk dijadikan ladang
atau untuk diambil kayunya atau membuang sampah secara sembarangan yang akan
berakibat pada pencemaran lingkungan lahan pertanian. Hal ini telah diketahui Suku
Tengger untuk menjaga agar tidak terjadi erosi di hutan dan mencegah terjadinya
banjir.
Dalam menjaga keselarasan antara alam dan kehidupan manusia, Suku
Tengger juga mengadakan serangkaian upacara. Upacara Kasodo merupakan salah
satu upacara untuk menjaga keselarasan alam, yaitu menjaga agar Dewa tidak marah
sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti gunung meletus, tanah
menjadi tidak subur, panen gagal dan sebagainya (Galba et al., 1989).
Suku Tengger juga dikenal sebagai petani tradisional yang tangguh. Ketika
hasil pertanian mengalami harga yang tidak stabil dan biaya operasional yang tinggi
dalam pengolahan pertanian, tidak menyusutkan semangat Suku Tengger dalam
mengelola dan mempertahankan tradisi sebagai petani tradisional. Hal ini terlihat dari
persentase Suku Tengger yang bermata pencaharian sebagai petani sebanyak 95%
(Sutarto, 2009). Dengan demikian, kegiatan pertanian menyatu dalam kehidupan
sehari-hari Suku Tengger.
14
bido (Spilornis cheela bido), srigunting hitam (Dicrurus macrocercus), dan elang
bondol (Haliastur indus) yang hidup di Ranu Pani, Ranu Regulo, dan Ranu Kumbolo
(Dephut, 2009a). Hewan lain yaitu kupu-kupu yang ditemukan di Hutan Ireng-ireng
wilayah konservasi Senduro Lumajang kawasan TN-BTS. Ditemukan sebanyak 31
species dan sub species yang berasal dari 21 genus dalam delapan famili. Satu species
dilindungi undang-undang di Indonesia yaitu Troides Helena (Suharto et al., 2005).
untuk bahan bakar dapur (pawon), dan berdiang (gegeni) untuk mengatasi hawa
dingin.
b. Pengetahuan Fauna
Suku Tengger sebagian besar memiliki sapi, kerbau, kambing, kuda, dan
ayam sebagai binatang ternak (Depdikbud, 1997). Binatang ternak tersebut dagingnya
digunakan untuk dikonsumsi, dijual untuk kebutuhan rumah tangga dan dipakai untuk
keperluan selamatan atau upacara adat. Sedangkan kotorannya sengaja dikumpulkan
untuk pupuk kandang pada lahan pertanian mereka.
Binatang ternak dipelihara dengan dibuatkan kandang tersendiri yang terpisah
jauh dari rumah pemukiman penduduk. Hewan ternak tersebut tidak dilepas supaya
tidak mengganggu dan merusak tanaman atau lahan pertanian. Rumput gajah
biasanya digunakan sebagai makanan ternak setiap hari, karena makanan ternak ini
tidak sulit diperoleh dan umumya banyak ditanam di tegalan atau di pekarangan
penduduk.
Suku Tengger menggunakan hasil pertanian dan ternak untuk dikonsumsi,
dijual, dan digunakan untuk upacara adat. Hal ini dapat dilihat pada upacara Kasodo
yang mempersembahkan hasil pertanian dan ternak untuk dipersembahkan ke
Gunung Bromo setiap setahun sekali. Hasil pertanian dan ternak di tempatkan pada
sebuah Ongkek (alat sesaji yang terbuat dari kayu dan bambu petung yang dapat
dipikul) yang berisi jagung, bawang merah, kubis, pisang, kentang, dan kadang-
kadang padi, dan kelapa, dan juga kambing, ayam, angsa, itik, serta burung. Ongkek
biasanya diberi hiasan bunga dan janur kuning agar kelihatan indah. Untuk
persembahan yang lain seperti pada upacara Karo, Unan-unan, Entas-entas Suku
Tengger menggunakan Kerbau sebagai hewan kurban dan juga kemenyan digunakan
dalam selamatannya (Sutarto, 2007).
17
3.3.2 Sampel
Suku Tengger yang mengetahui atau menggunakan tumbuhan, hewan, dan
bahan mineral dalam pengobatan tradisional.
17
18
Sa1
Pa S Sn Sa2
Sast
Sb1
Pb S Sn
Sb2
Sbst
Sc1
P S Sn Sc2 D
Pc
Scst
Sd1
Pd S Sn Sd2
Sdst
Se1
Pe S Sn Se2
Sest
P = Populasi
Pa = Populasi desa Ngadas
Pb = Populasi desa Jetak
Pc = Populasi desa Wonotoro
Pd = Populasi desa Ngadirejo
Pe = Populasi desa Ngadisari
20
Sn = Pengambilan Snowball
S = Sampel
Sa1 = Sampel desa Ngadas 1
Sa2 = Sampel desa Ngadas 2
Sast = Sampel desa Ngadas seterusnya
Sb1 = Sampel desa Jetak 1
Sb2 = Sampel desa Jetak 2
Sbst = Sampel desa Jetak seterusnya
Sc1 = Sampel desa Wonotoro 1
Sc2 = Sampel desa Wonotoro 2
Scst = Sampel desa Wonotoro seterusnya
Sd1 = Sampel desa Ngadirejo 1
Sd2 = Sampel desa Ngadirejo 2
Sdst = Sampel desa Ngadirejo seterusnya
Se1 = Sampel desa Ngadisari 1
Se2 = Sampel desa Ngadisari 2
Sest = Sampel desa Ngadisari seterusnya
D = Data
Kegunaan Persentase
Nama Tumbuhan
No Nama Famili
Lokal Ilmiah Bagian Tumbuhan Penyakit Pengetahuan Penggunaan
1
2
3
st
22
Tabel 3.2 Tabulasi Daftar Hewan yang Diketahui atau Digunakan oleh Suku Tengger sebagai
Obat
Nama hewan Persentase
No Nama famili Penyakit
Lokal Ilmiah Pengetahuan Penggunaan
1
2
3
st
Tabel 3.3 Tabulasi Daftar Bahan Mineral yang Diketahui atau Digunakan oleh Suku Tengger
sebagai Obat
Persentase
No Bahan mineral Penyakit
Pengetahuan Penggunaan
3
st
a
X = x 100%
n
Keterangan:
X = Angka rata-rata
a = Jumlah jawaban mengenai tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang diketahui atau
digunakan
n = Jumlah responden
Penulisan data persentase pengetahuan atau penggunaan dari tumbuhan atau hewan
yang digunakan oleh Suku Tengger sebagai obat dalam tabel (Pieroni et al., 2002):
= Informasi yang didapatkan sampai 20%
= Informasi yang didapatkan lebih dari 20%-50%
= Informasi yang didapatkan lebih besar dari 50%
24
Mempersiapkan instrumen
penelitian
Menentukan Sampel
Interview narasumber
Analisis data
4.1.1 Ambeien
Daun Ceplukan pada Suku Tengger digunakan untuk mengobati masalah
ambeien. Daun ceplukan (Physalis angulata L.) ditumbuk halus kemudian dioleskan
di dubur orang yang menderita. Ceplukan (Physalis angulata L.) yang berasal dari
famili Solanaceae menurut Depkes (1995) digunakan sebagai penyembuh penyakit
bisul, borok, kencing manis dengan kandungan didalamnya antara lain asam sitrat,
fisalin sterol/ terpen, saponin, flavonoid, dan alkaloid. Kandungan utama yang aktif
pada bagian daun dan kelopak menurut Sastroamidjojo (1997) adalah fisalin dengan
kegunaannya sebagai diuretikum, dan jika terlalu banyak pemakaiannya maka akan
25
26
wadah dan dihaluskan. Bahan obat yang sudah halus dioleskan pada kening. Cara
peramuan dan pengobatan panas dengan resep tradisional ini sudah lama dikenal oleh
Suku Tengger terutama oleh para Dukun bayi. Pengobatan panas bayi dengan
ramuan ini disertai mantra khusus.
Tumbuhan Adas (Foeniculum vulgare Mill.) dari famili Apiaceae kandungan
utamanya adalah minyak atsiri yang didalamnya terdapat anethol yang tinggi
(Sastroamidjojo, 1997). Kandungan minyak atsiri dalam tumbuhan famili Apiaceae
sangat banyak dan ada dua komponen utama didalamnya, yaitu anethol dan estragole,
komponen utama tersebut bisa digunakan sebagai antipiretik. Contoh tumbuhan yang
digunakan sebagai antipiretik dari famili Apiaceae lainnya yaitu Pimpinella anisum
L, dan Angelica archangelica L. (Newal et al., 1995).
Dringu (Acorus calamus L.) famili Araceae untuk pengobatan tradisional di
Indonesia sudah tidak asing lagi. Dringu digunakan sebagai pengobatan pada masa
nifas, obat limpa yang membesar, diare dan gigi yang goyang serta insektisida,
dengan kandungan utamanya adalah minyak atsiri 1,5-3,5 % yang didalamnya
terdapat kandungan utama asasilaldehid, eugenol, dan asaron, zat pahit akorin,
amilum dan tanin (Depkes, 1978; Sastroamidjojo, 1997).
Temulawak (Curcuma xantorrhiza L.) dari famili Zingiberaceae mempunyai
kandungan bahan aktif minyak atsiri yang didalamnya terkandung sikloisoren,
mirsen, d kamfer, metilkarbon, zat warna kurkumin (Depkes, 1979). Bahan aktif yang
terkandung pada temulawak dapat digunakan sebagai pengobatan demam atau panas
(Dalimartha, 2000). Campuran Adas, Dringu serta Temulawak yang aktif sebagai
obat panas adalah Adas dan Temulawak, dimungkinkan Dringu mempunyai aktifitas
lain untuk pengobatan badan panas.
c. Daun Dadap
Dadap (Erythrina lythosperma Miq.) berasal dari famili Fabaceae digunakan
oleh Suku Tengger sebagai obat penyakit panas. Cara peramuan dan penggunaan
daun Dadap yaitu dicuci bersih kemudian ditempelkan di kening penderita panas.
Daun yang ditempelkan dan sudah kering diganti lagi dengan daun yang baru.
28
Kandungan bahan aktif tumbuhan Dadap (Erythrina lythosperma Miq.) antara lain
alkaloid hypaphorine (Sastroamidjojo, 1997), dari kandungan bahan aktif tersebut
daun dadap digunakan sebagai obat demam (antipiretik) (Depkes,1989;
Sastroamidjojo, 1997).
d. Buah Jeruk Nipis dengan Minyak Kayu Putih
Suku Tengger meramu resep pengobatan tradisional dari perasan buah Jeruk
nipis (Citrus aurantifolia Swingle) ditambah Minyak kayu putih (Melaleuca
leucadendra L.) untuk pengobatan badan panas. Campuran dari Jeruk nipis dan
Minyak kayu putih dioleskan keseluruh badan penderita panas. Buah Jeruk nipis
(Citrus aurantifolia Swingle) memiliki kandungan bahan aktif synephrine dan N-
methyltyramine, dari kandungan yang ada dapat digunakan sebagai obat batuk
(Dalimartha, 2000). Belum diketahui literatur yang menyebutkan Jeruk nipis dapat
digunakan sebagai antipiretik, namun dari famili yang sama yaitu pada tumbuhan
Citrus medica Linn. digunakan sebagai antipiretik (Sastroamidjojo, 1997).
Kandungan dari Minyak kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) dalam antara
lain minyak atsiri yang terdiri dari sineol 50-65%, α-terpineol, valeraldehida, dan
belzaldehida, dengan kandungan tersebut dapat digunakan sebagai pengobatan
demam, flu dan perut kembung (karminatif) (Wijayakusuma et al., 1998).
e. Daun Bawang Merah, Daun Adas, dan Tepung Beras
Daun Bawang Merah, daun Adas, dan Tepung Beras dihaluskan bersamaan
dalam suatu wadah kemudian dioleskan langsung keseluruh bagian tubuh atau bahasa
jawanya dibobok untuk pengobatan panas. Pengetahuan dan penggunaan dari
tumbuhan bawang merah (Allium ascolanicum L.) dari famili Liliaceae menunjukkan
frekuensi yang cukup baik untuk pengobatan panas badan (antipiretik). Kandungan
bawang merah (Allium ascolanicum L.) didalamnya adalah flavonoid, tannin 1%,
minyak atsiri yang mengandung komponen sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin,
kaemferol, kuersetin, florogusin (Depkes, 1997). Kebanyakan dari famili Liliaceae
digunakan sebagai antiseptik, antibakteri dan ekspektoran (Asean, 1993; Newall et
al., 1995). Literatur yang menyebutkan bawang merah sebagai antipiretik belum
29
4.1.3 Batuk
Kasus penyakit batuk pada Suku Tengger sering terjadi. Bisa dilihat dari
banyaknya jenis resep tradisional yang digunakan untuk pengobatan.
a. Jahe
Jahe (Zingiber officinale Roscoe) dari famili Zingiberaceae sudah sangat
lazim digunakan untuk pengobatan tradisional di Indonesia. Penggunaan Jahe pada
Suku Tengger untuk menyembuhkan batuk. Peramuannya yaitu dengan cara rimpang
30
dari jahe dibersihkan kemudian ditumbuk, jahe yang ditumbuk tidak sampai halus
kemudian disedu dengan air panas. Selain untuk pengobatan batuk, jahe digunakan
sebagai minuman penghangat badan oleh Suku Tengger.
Kandungan bahan aktif Jahe (Zingiber officinale Roscoe) antara lain minyak
atsiri 2-3% mengandung zingiberen, felandren, kamfen, limonen, borneol, sineol,
sitral dan zingiberol, minyak dammar yang mengandung zingeron, dengan kegunaan
dari Jahe sebagai karminatif (Depkes,1978; Newall et al., 1995), selain itu jahe
digunakan sebagai antitusife dan ekspektoran (Asean, 1993; Sastroamidjojo,1997).
b. Buah Jeruk Nipis dan Kecap
Suku Tengger menggunakan Jeruk nipis sebagai obat batuk, dan untuk
penggunaannya ditambahkan bahan lain yaitu kecap. Peramuan obat batuk dengan
buah Jeruk nipis yaitu buah yang sudah tua diperas kemudian ditambahkan kecap dan
air secukupnya. Buah Jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle) memiliki kandungan
bahan aktif synephrine dan N-methyltyramine, dari kandungan yang ada dapat
digunakan sebagai obat batuk (Dalimartha, 2000).
c. Akar Adas
Akar Adas (Foeniculum vulgare Mill.) dari famili Apiaceae direbus kemudian
diambil airnya. Air rebusan akar adas digunakan untuk pengobatan batuk dengan
aturan pemakaian sebanyak tiga kali sehari satu gelas. Kandungan Adas sudah
diterangkan sebelumnya dan dapat digunakan sebagai ekspektoran (Asean,1993).
Kandungan aktif sebagai ekspektoran belum ada literatur yang menjelaskan.
d. Bawang Pre ditambah Garam
Bawang Pre (Allium fistulosum L.) dari famili Liliaceae di bakar kemudian
ditambahkan garam secukupnya. Hasil bakaran yang sudah hampir hangus langsung
dimakan untuk pengobatan batuk. Famili Liliaceae yang bisa digunakan sebagai obat
batuk atau ekspektoran salah satunya adalah Bawang putih (Newall et al., 1995).
Pendekatan kemotaksonomi yang berada pada Genus yang sama dimungkinkan
Bawang Pre juga bisa digunakan sebagai ekspektoran. Penelitian lebih lanjut dari
penggunaan Bawang Pre yang dicanpur dengan garam untuk obat batuk.
31
4.1.4 Beri-beri
Penyakit beri-beri jarang sekali muncul pada Suku Tengger, namun di Suku
Tengger terdapat resep tradisional yang selalu dijaga sampai sekarang untuk
pengobatan penyakit beri-beri. Suku Tengger menggunakan Jamur Impes (Bovista
gigantea (Batsch) Gray) famili Lycoperdaceae sebagai pengobatan. Jamur Impes
diambil secukupnya kemudian ditambahkan air dan langsung dioleskan pada bagian
tubuh yang terkena beri-beri. Suku Tengger menyertakan mantra pada waktu
mengoleskannya. Penggunaan yang umum dari Jamur Impes antara lain digunakan
untuk menghentikan pendarahan dan luka yang mengering (Sastroamidjojo,1997).
Belum diketahui literatur yang menyebutkan kandungan dan manfaat dari Jamur
Impes untuk pengobatan beri-beri.
Jamur Impes muncul di daerah Tengger pada waktu musim hujan. Keberadaan
dari Jamur Impes pada musim hujan sekarang ini sangat sulit ditemukan. Menurut
32
4.1.7 Diare
Obat tradisional yang digunakan oleh Suku Tengger untuk pengobatan diare
sangat umum atau banyak individu Suku Tengger mengetahui atau menggunakannya,
diantaranya:
a. Tumbuhan Grunggung
Grunggung (Potentilla argunta Pursh) berasal dari famili Rosaceae digunakan
sebagai pengobatan penyakit diare oleh Suku Tengger. Bagian yang digunakan
sebagai obat diare adalah buahnya yang masih muda. Buah muda Grunggung ditandai
dengan warna buah yang hijau dan sedikit keunguan. Pengobatan untuk diare yaitu
dengan cara buah grunggung dipetik dari dahannya kemudian dicuci bersih dan
langsung dimakan. Persentase pengetahuan dan penggunaan dari tumbuhan
Grunggung sebagai obat diare cukup besar. Grunggung (Potentilla arguta Pursh)
dapat digunakan sebagi antidiare (Lans et al., 2007). Famili Rosaceae jenis lain yang
dapat digunakan sebagai anti diare diantaranya adalah tumbuhan Agrimonia
eupatoria L., Geum urbanum L., Sanguisorba officinalis L. dengan kandungan bahan
yang ada didalamnya antara lain Tanin, flavonoid dan Vitamin (Newall et al., 1995)
b. Buah Pisang
Buah pisang (Musa paradisiaca L.) famili Musaceae yang masih mentah
dibakar sampai hangus kemudian dimakan. Pisang mempunyai kandungan kimia
serotanina, norepinefrina, noreadrenalina, hidroksi-triptamina, dopamine, tannin,
vitaminA, vitamin B, dan vitamin C dengan kegunaan pisang sebagai penawar racun
(Depkes, 1989). Sedangkan menurut Sastroamidjojo (1997) getah dari pohon pisang
yang digunakan sebagai antidiare. Penggunaan getah pisang sebagai antidiare juga
telah dilakukan oleh Suku lokal Gunung Gede Pangarango (Rosita et al., 2007).
c. Daun Jambu biji
Daun jambu biji sudah sangat lazim digunakan oleh berbagai Suku di
Indonesia sebagai obat antidiare. Penggunaan Daun muda jambu biji (Psidium
guajava L.) di Suku Tengger dengan cara direbus kemudian air rebusan diminum
sehari tiga kali satu gelas. Kandungan aktif yang ada pada jambu biji antara lain
34
tannin 9-12%, minyak atsiri, minyak lemak, dan asam malat, dari kandungan tersebut
digunakan sebagai pengobatan diare (Depkes, 1977; Sastroamidjojo, 1997).
d. Jambu Wer
Tumbuhan Jambu Wer (Pimento dionica L.) satu famili dengan jambu biji
yaitu famili Myrtaceae. Pada Suku Tengger digunakan sebagai antidiare. Cara
penggunaannya yaitu buah yang masih muda dicuci bersih dan kemudian dimakan
langsung. Kandungan dan kegunaan dari Jambu Wer berdasarkan literatur belum
ditemukan, namun dengan kesamaan famili dengan jambu biji dimungkinkan
mempunyai kandungan yang mirip dan bisa digunakan sebagai antidiare.
e. Kulit Manggis
Kulit buah manggis oleh Suku Tengger tidak dibuang, tetapi dimanfaatkan
sebagai pengobatan diare. Cara pengobatannya relatife mudah yaitu dengan cara kulit
buah dibakar pada perapian sampai hangus kemudian setelah dingin dimakan
langsung. Manggis (Garcinia mangostana L.) berasal dari famili Clusiaceae dengan
kandungan aktif didalamnya triterpenoid, tannin, resin, mangostin (Depkes, 1989).
Kandungan bahan aktif kulit buah manggis dapat digunakan sebagai antidiare
(Depkes, 1989; Sastroamidjojo, 1997).
4.1.9 Gatal
a. Daun Tirem
Tirem (Cayratia clematidea Domin) famili Vitaceae digunakan untuk
mengobati gatal gatal. Daun tirem dicuci bersih kemudian direbus sampai mendidih.
35
Hasil rebusan diminum airnya sehari dua sampai tiga kali satu gelas kecil. Belum
diketahui literatur yang menjelaskan kandungan dan kegunaan dari tirem untuk
pengobatan gatal.
b. Akar Pangotan
Pangotan (Microsorium buergerianum (Miq.) Ching) di Suku Tengger
digunakan untuk penyembuhan gatal-gatal. Bagian tumbuhan pangotan yang
digunakan adalah akarnya. Akar dari pangotan menyerupai rimpang seperti pada
layaknya famili zingiberaceae. Pangotan (Microsorium buergerianum (Miq.) Ching)
merupakan jenis tumbuhan paku famili Polypodiaceae. Tumbuhan pangotan
digunakan untuk pengobatan gatal-gatal dengan cara merebus akarnya. Hasil rebusan
tersebut diminum dua sampai tiga kali sehari satu gelas.
c. Daun Adas
Penggunaan daun Adas (Foeniculum vulgare Mill.) untuk pengobatan gatal-
gatal belum diketahui literatur yang menyebutkan. Akan tetapi, Famili Apiaceae yang
lain seperti Pimpinella anisum L, Angelia archangelica L, Apium graveolens, dan
Petroselinum crispum (Mill.) Nyman. dapat digunakan sebagai antiseptik (Newall et
al., 1995).
halus kemudian ditambah air panas secukupnya. Setelah dingin, air rendaman dapat
diminum dengan aturan sehari tiga kali satu gelas.
Tumbuhan Alang-alang dapat digunakan sebagai diuretik, dengan kandungan
minyak atsiri yang banyak pada rimpang. Komponen minyak atsiri tersebut antara
lain arundion, fernenol, isoarborinol, clyindrin, simiarenol, campesterol (Asean
1993).
b. Getah Pisang
Dahan pisang (Musa paradisiaca L.) famili Musaceae dipotong kemudian
langsung dioleskan pada bagian yang luka. Pisang mempunyai kandungan kimia
serotanin, norepinefrin, noreadrenalina, hidroksitriptamina, dopamin, tanin, vitamin
A, vitamin B, dan vitamin C dengan keguanaan pisang sebagai penawar racun
(Depkes, 1989). Menurut Sastroamidjojo (1997) getah pisang bisa digunakan sebagai
pengobat luka, baik luka gores maupun luka terbakar. Penggunaan pisang sebagai
pengobatan luka juga digunakan oleh Suku lokal Gunung Gede Pangarango (Rosita
et al., 2007).
c. Bawang Merah atau Bawang Putih
Bawang merah atau bawang putih biasanya digunakan sebagai bumbu dapur,
oleh Suku Tengger digunakan sebagai obat luka. Penggunaannya dengan cara
ditumbuk halus kemudian ditambahkan gula pasir secukupnya. Setelah penambahan
gula pasir, hasil tumbukan dilekatkan pada luka. Bawang merah mempunyai
kandungan didalamnya adalah flavonoid, tanin 1% minyak atsiri mengandung
komponen sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin, kaemferol, kuersetin, florogusin
(Depkes,1997; Sastroamidjojo,1997). Sedangkan Bawang putih (Allium sativum L.)
didalamnya terdapat tanin <1% minyak atsiri, dialilsulfida, alisin, enzim alinase,
vitamin A, vitamin B, dan juga Vitamin C (Depkes 1997). Kandungan bawang merah
dan bawang putih dapat digunakan sebagai antiseptik (Newall et al., 1995).
d. Daun Sirih
Daun sirih (Piper betle L.) famili Piperaceae banyak digunakan oleh Suku
Tengger untuk mengobat luka. Daun sirih dipetik kemudian dicuci bersih, setelah itu
ditumbuk sampai halus dan langsung dioleskan pada bagian tubuh yang terluka. Sirih
dapat digunakan sebagai antiseptik luka (Depkes, 1980; Sastroamidjojo,1997).
Kandungan utama daun sirih adalah minyak atsiri yang didalamnya mengandung
hidroksi kavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol, karvakrol, terpinen,
seskuiterpen, fenil propanan, dan tannin (Depkes, 1980).
39
yaitu dengan diambil akar alang-alang secukupnya ditambah akar lempuyang yang
kemudian ditumbuk sampai halus. Setelah dirasa cukup halus hasil tumbukan tersebut
direbus dengan air secukupnya. Air hasil rebusan diminum sehari tiga kali satu gelas.
Alang-alang dapat digunakan sebagai obat penghancur batu ginjal.
Kandungan kimia di dalamnya antara lain damar, asam kresik, kalium dan logam
alkali. Kalium merupakan zat yang diduga kuat sebagai penghancur batu ginjal
(Wakidi, 2003). Lempuyang (Pragmites australis) dan Alang-alang (Imperata
cylindrical L.) masih dalam satu famili. Diduga kuat dengan keterkaitan famili
tersebut Lempuyang juga mempunyai kandungan dan aktivitas yang sama dengan
Alang alang.
4.1.16 Mimisan
Ganjan di wilayah Tengger tumbuh liar seperti rumput, Suku Tengger
menyebutnya sebagai hama tumbuhan. Ganjan (Tagetes signata Bartl.) dari suku
Asteraceae digunakan oleh Suku Tengger sebagai obat mimisan. Tumbuhan dari
famili Asteraceae yang digunakan sebagai obat mimisan antara lain Artemisia
vulgaris L., Eupatorium triplinerve Vahl. (Dalimartha, 1999). Zat yang terkandung
didalam kedua tumbuhan tersebut antara lain glikosida dan tanin (Sastroamidjojo,
1997). Penggunaan Ganjan sebagai obat mimisan sangat sederhana sekali. Daun
Ganjan diremas-remas kemudian di sumbatkan ke lubang hidung yang keluar darah
mimisan.
sebagian besar Suku Tengger yang mayoritas pekerjaannya sebagai petani dan rentan
terkena pegal linu. Penggunaan tepung otot sangat mudah yaitu tumbuhan tepung otot
yang menjalar dikumpulkan satu genggam kemudian dibasahi dengan air secukupnya.
Setelah terbasahi, tepung otot diremas-remas dan kemudian digosokkan pada bagian
tubuh yang terserang pegal linu.
b. Pangotan dan Pakis Sayur
Microsorium buergerianum (Miq.) Ching atau yang biasa disebut oleh Suku
Tengger tumbuhan Pangotan berasal dari satu famili dengan Pakis Sayur (Diplazium
esculentum (Retz.) Sw.) yaitu famili Polypodiaceae. Campuran dari kedua tumbuhan
tersebut pada Suku Tengger digunakan sebagai pengobatan pegal linu atau yang biasa
disebut Linu-linu. Penggunaannya yaitu dengan mencampurkan akar dari pangotan
dan herba pakis sayur yang kemudian direbus dengan air secukupnya. Air rebusan
yang sudah dingin diminum sehari dua kali satu gelas.
Pangotan mempunyai nama umum Paku Pedang yang mempunyai kandungan
aktif alkaloid, saponin dan polifenol dengan khasiatnya sebagai anti radang (anti
inflamasi), anti bakteri dan peluruh air seni (IPTEK, 2009). Dapat disimpulkan
sementara bahwa antara pangotan dan pakis sayur mempunyai kandungan dan fungsi
yang sama.
4.1.21 Rematik
Suku tengger menggunakan tumbuhan Bawang pre (Allium fistulosum L.) dari
famili Liliaceae sebagai pengobatan asam urat dan rematik. Bawang pre dibakar
kemudian dioleskan pada bagian tubuh yang linu atau terasa sakit untuk pengobatan
rematik. Selain menggunakan bawang pre, Suku Tengger menggunakan akar Pring
kuning atau Bambu kuning (Bambusa vulgaris Schrad.) sebagai pengobatan penyakit
rematik. Akar Pring kuning direbus kemudian diminum air rebusannya sehari dua
sampai tiga kali satu gelas. Bawang pre maupun Pring kuning belum ada literatur
yang menyebutkan kandungan dan kegunaan sebagai obat rematik atau asam urat.
4.1.25 Stamina
Suku Tengger dalam menjaga kondisi tubuh (stamina) juga mempunyai resep
tradisional, diantaranya:
a. Mrica, Telur jawa, dan Madu
Suku Tengger untuk meningkatkan stamina menggunakan resep tradisional
campuran antara biji Mrica (Piper nigrum L) famili Piperaceae, Telur Jawa, dan
Madu. Satu sendok kecil mrica yang sudah halus dicampur dengan satu kuning telur
jawa dan ditambah madu secukupnya. Campuran tersebut diminum sehari satu kali
sebelum tidur malam.
45
penambahan beras yang dihaluskan digunakan sebagai pengobat sulit buang air besar
seperti yang dilakukan oleh Suku Tengger.
Buah jambe yang sudah masak dicacah halus kemudian digoreng di tempat
penggorengan yang terbuat dari tanah liat. Hasil penggorengan yang sudah hangus
kemudian ditumbuk sampai halus. Cara pemakaiannya yaitu dengan disedu
menggunakan air panas hasil tumbukan buah jambe yang sudah digoreng dua sampai
tiga sendok makan. Diminum sehari dua kali, pagi dan malam hari.
b. Daun Ceplukan
Daun ceplukan (Physalis angulata L.) famili Solanaceae digunakan oleh Suku
Tengger untuk mengatasi sulit buang air besar. Kandungan bahan di dalamnya antara
lain asam sitrat, fisalin sterol/ terpen, saponin, flavonoid, dan alkaloid (Depkes,
1995). Kandungan utama yang aktif pada daun dan kelopak adalah fisalin dengan
kegunaannya sebagai diuretikum, dan jika terlalu banyak pemakaiannya maka akan
dapat menyebabkan pusing (Sastroamidjojo, 1997). Jenis tumbuhan yang berasal dari
satu famili dengan ceplukan salah satunya adalah Capsicum sp. dengan kegunaan
sebagai antipiretik, antiflatulen dan sebagai obat mules atau sakit perut (Depkes,
1995).
4.1.29 Typus
Cacing yang digunakan berada di pohon pisang yang sudah busuk untuk
mengobati penyakit typus. Cacing direbus dengan air kemudian air rebusan diminum
sehari dua kali satu gelas. Cacing yang digunakan oleh Suku Tengger belum
teridentifikasi, sehingga kandungan dan manfaat yang jelas belum dapat ditemukan.
kawasan Tengger. Selain itu, ada beberapa jenis tumbuhan, hewan dan bahan mineral
yang diambil langsung dari hutan sekitar wilayah Tengger. Suku Tengger mengambil
tumbuhan, hewan dan bahan mineral alam sebagai obat dalam jumlah kecil, sehingga
penyusutan dari tumbuhan obat di wilayah Tengger relatif rendah. Akan tetapi,
keadaan wilayah Tengger yang sekarang banyak digunakan sebagai kawasan ladang
produktif untuk tanaman sayur-sayuran menyebabkan beberapa tumbuhan obat
menjadi langka. Seperti jamur impes yang tidak tahan terhadap bahan-bahan kimia
untuk penanaman sayur. Begitu juga dengan keong mas yang berada disekitar aliran
sungai yang keberadaannya sudah hampir tidak ada, sehingga perlu adanya kesadaran
dari semua pihak untuk tetap melestarikan tumbuhan atau hewan yang bisa digunakan
oleh Suku Tengger sebagai resep pengobatan tradisional.
Obat tradisional yang ada, digunakan oleh Suku Tengger secara turun temurun
dan diwariskan dari generasi ke generasi seiring dengan pewarisan budaya Suku
Tenger. Namun, pola pewarisan tersebut sangat terbatas dikalangan usia rata-rata
diatas 45 tahun keatas. Hal ini terbukti dari responden yang memberikan informasi
dari hasil metode pengambilan sample Snowball Sampling hanya dikalangan umur 45
tahun keatas. Dikhawatirkan ada kecenderungan terjadinya pengikisan pengetahuan
pengobatan tradisional pada Suku Tengger.
49
5.1 Kesimpulan
Pengetahuan atau penggunaan obat tradisional pada Suku Tengger Kecamatan
Sukapura yang terdiri dari 5 desa yaitu Desa Ngadirejo, Desa Ngadas, Desa Jetak,
Desa Wonotoro, dan Desa Ngadisari dari 29 narasumber telah terinventarisir 29 jenis
penyakit dengan 60 resep tradisional serta terdapat 47 tumbuhan, 3 jenis hewan dan 5
bahan mineral alam yang digunakan sebagai pengobatan di Suku Tengger. Bahan-
bahan yang digunakan sebagai bahan obat oleh Suku Tengger sebagian besar sudah
diteliti dan mempunyai khasiat obat, sehingga memiliki prospek untuk dikembangkan
menjadi bahan baku industri obat tradisional.
Cara penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral pada Suku Tengger
sebagai obat tradisional sangat sederhana antara lain: campuran bahan atau bahan
tunggal ditumbuk, diremas-remas, atau direbus kemudian diminum atau diolesakan
pada bagian tubuh yang sakit. Jenis-jenis penyakit yang diobati pada Suku Tengger
adalah penyakit ringan yang sering terjangkit di kawasan tersebut. Sedangkan rata-
rata persentase pengetahuan atau penggunaan bahan obat sebagian besar ada pada
angka 20% kebawah, hanya terdapat 2 bahan obat yang mempunyai persentase lebih
dari 50% dan 8 bahan bahan obat yang mempunyai persentase 20%-50%. Semakin
tinggi persentase penggunaan atau pengetahuan semakin tinggi tingkat kepercayaan
bahwa tumbuhan, hewan atau bahan mineral alam dapat memberikan pengobatan.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kegunaan dan kandungan
aktif dari tumbuhan, hewan dan bahan mineral yang digunakan sebagai obat
tradisional oleh Suku Tengger dan pelestarian pengetahuan atau penggunaan obat
tradisional pada Suku Tengger karena pola pewarisan sangat terbatas dikalangan usia
rata-rata diatas 45 tahun keatas.
49
50
DAFTAR PUSTAKA
Asean. 1993. Standard of Asean Herbal Medicine Volume I. Jakarta: Aksara Buana
Printing.
Dalimarta, setiawan. 1991. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid I. Jakarta: Trubus
Agriwidya.
Dalimarta, setiawan. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid II. Jakarta: Trubus
Agriwidya.
Darmono. 2007. Kajian Etnobotani Tumbuhan Jalukap (Centella asiatica L.) di Suku
Dayak Bukit Desa Haratai 1 Loksado. Bioscientiae. 4 (2) : 71-78.
Depkes. 1978. Materia Medika Indonesia Jilid II. Jakarta: Direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan Makanan.
Depkes. 1979. Materia Medika Indonesia Jilid III. Jakarta: Direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan Makanan.
Depkes. 1980. Materia Medika Indonesia Jilid IV. Jakarta: Direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan Makanan.
50
51
Depkes. 1995. Materia Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta: Direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan Makanan.
Gana, Singgih, dan Haryanto. 2009. Prospek Tumbuhan Indonesia dalam Kesehatan
dan Permasalahannya. http://www.isfinational. or.id/pt -isfi
penerbitan/ 126/480-prospek-tumbuhan- indonesia-dalam-kesehatan-dan
permasalahannya [26 April 2009]
Galba, Manan, Herutomo, dan Darnys. 1989. Pola Kehidupan Sosial Budaya dalam
Hubungan dengan Konsep Sanitasi pada Masyarakat Tengger. Tidak
Dipublikasikan. Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya..
Jember: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Jember Kerja
sama dengan Direktoral Jendral dan Kebudayaan dan direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional.
Hariana, A. 2005. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 1. Jakarta: Penebar Swadaya.
Hidayat, S., dan Risna, R. 2007. Kajian Ekologi Tumbuhan Obat Langka di Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru. Biodiversitas. 8 (3) : 169-173.
Katno dan Pramono, S. 2009. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman obat dan
obatTradisional.http://cintaialam.tripod.com/keamanan_obat
%20tradisional.pdf [26 04 09]
Kuntorini, E.M. 2005. Botani Ekonomi Suku Zingiberaceae Sebagai Obat Tradisional
Oleh Masyarakat di Kotamadya Banjarbaru. Bioscientiae. 2 (1) : 25-36.
Lans, C., Turner, N., Khan, T., Brauer, G., Boepple, W. 2007. Ethnoveterinary
Medicine Used For Ruminants In British Columbia Canada. Journal Of
Ethnobiologi And Ethnomedicine. 3 (11) : 1-22.
52
Muktiningsih, S. R., Syahrul, M., Harsana, I.W., Budhi, M., dan Panjaitan, P. 2001.
Review Tanaman Obat Yang Digunakan Oleh Pengobat Tradisional Di
Sumatra Utara,Sumatra Selatan, Bali dan Sulawesi Selatan.Media Litbang
Kesehatan.11 (4) 25.
Newall, C., Anderson, I., Philipson. J. 1995. Herbal Medicines. The school of
Pharmacy University of London: Departemen of Pharmacognosy.
Pieroni, A., Quave, C., Nebel, S., dan Henrich, M. 2002. Ethnopharmacy of the
Ethnic Albanians (Arbereshe) of Northern Basilicata, Italy. Fitoterapia. 72
(2002): 217-241.
Radji, M. 2005. Peran Bioteknologi dan Mikroba Endofit Dalam Pengembangan Obat
Herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2 (3) : 113-126.
Rosita, S.M.D., Rostiana, O., Pribadi, dan Hernani. 2007. Penggalian IPTEK
Etnomedisin di Gunung Gede Pangrango. Bul. Littro. 18 (1) : 13-28.
Sudiro, 2001. Legenda dan Religi sebagai Integrasi Bangsa. Humaniora. 13 (1) : 100-
110.
Sudjatno, A. 1994. Peran Dukun dan Orang Tua dalam Penentuan Usia Kawin pada
Masyarakat Tengger Jawa Timur. Tidak Dipublikasikan. Laporan
Penelitian. Jember: Universitas Jember.
Sunarto, Suandra, I K., Rato, D., Sugijono, dan Sriono, E. 1991. Sikap Masyarakat
Tengger Terhadap Norma-Norma yang Berlaku di Desa Ngadisari
Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Laporan Penelitian. Tidak
Dipublikasikan. Jember: Departemen Pendidikan dan Kebudayan
Universitas Jember
Sutarto, A. 2007. Saya Orang Tengger Saya Punya Agama, Kisah Orang Tengger
Menemukan Agamanya. Jember: Kelompok Peduli Budaya dan Wisata
Daerah Jawa Timur
Wijayakusuma, H., 2000. Potensi Tumbuhan Obat Asli Indonesia Sebagai Produk
Kesehatan. Risalah Pertemuan ILmiah Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Isotop dan Radiasi. 25-31
Wijayakusuma, H., Dalimartha, S., Wirian, A.S. 1998. Tanaman Berkhasiat Obat di
Indonesia Jilid 4. Jakarta: Pustaka Kartini.
Windadri, F. I., Rahayu, M., Uji, T., dan Rustiami, H. 2006. Pemanfaatan Tumbuhan
sebagai Bahan Obat Oleh Masyarakat Lokal Suku Muna Di Kecamatan
Wakarumba, Kabupaten Muna, Sulawesi Utara. Biodiversitas. 7 (4) : 333-
339.