You are on page 1of 53

PERANAN DAN TUGAS UTAMA PEMERINTAHAN DAERAH

DALAM PELAYANAN PUBLIK


(Suatu Analisis Akademik dan Empirik Mengenai
Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Menurut Versi UU No. 32 Tahun 2004
dalam Mendukung Hubungan antar Pemerintahan dan Mendorong
Kerjasama antar Daerah dalam upaya mewujudkan pelayanan public yang
baik)1

Oleh:
Prof.Dr. H. Zaidan Nawawi2

1. Latar Belakang Pilosofis.

Pembahasan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah dilandasi asumsi


bahwa hubungan antara orang yang memerintah dan orang yang diperintah, sama
halnya dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah
merupakan masalah klasik dalam ilmu politik. Paradigma lama yang memandang
masih kuatnya hubungan sub-ordinasi antara pemerintah dan rakyat, nampaknya
sudah mulai luntur yang dalam paradigma baru cendurung menghendaki hubungan
yang setara antara pemerintah dan rakyat. Peranan pemerintah tidak lagi
membawahi dan memerintah, melainkan lebih mengarahkan dan memfasilitasi apa
yang menjadi kebutuhan rakyat. Persoalan utamanya bersumber pada seberapa
bebas masyarakat (baca: pemerintah daerah) bergerak atau berinitiatif dalam
lingkungan kekuasaan negara, dan seberapa besar pula masyarakat daerah dapat
mempengaruhi kebijakan negara dan atau pemerintahan daerah yang pada
giliranya kebijakan itu akan berujung kepada pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Atas dasar inilah konsep desentralisasi dan otonomi
dapat dipandang, baik sebagai fenomena politik maupun administrasi negara.
Walaupun Pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak menganut “faham
negara integralistik”3, namun penyelenggaraan Pemerintahan negara di bawah
regime demokrasi terpimpin dan regime orde baru pada masa yang lalu, demikian
pula pada masa-masa pemerintahan selanjutnya, menunjukkan betapa kuatnya
“faham negara integralistik” yang mempengaruhi penyelenggaraan sistem
pemerintahan negara, dimana negara memiliki kemauan dan kepentingan yang
1

3
“Faham Negara Integralistik” adalah suatu faham yang memandang kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat harus dilihat secara keseluruhan (integral), tidak terpisah sendiri-
sendiri, dengan kata lain setiap kepentingan apapaun selalu harus dikaitkan dengan
kepentingan Negara secara keseluruhan.

1
sering berbeda dengan kepentingan warganya, yang dapat melakukan intervensi
kedalam kehidupan masyarakat, sekalipun hal itu didedikasikan untuk
kesejahteraan dan kemajuan masyarakat itu sendiri4. Kondisi seperti ini
dimungkinkan terjadi, karena setiap kebijakan yang ditetapkan sebagai kebijakan
publik, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh sikap, perilaku, dan value
judgement dari para penyelenggara negara (human behaviour and value
judgement), yang pada gilirannya dipandang sebagai “pembenaran hukum” dan
sebagai alat pemaksa yang harus ditaati oleh rakyat.
Dalam “faham negara integralistik”, negara mempunyai kekuasaan mutlak,
dimana kedaulatan negara mengatasi kedaulatan rakyat. Semua bagian - bagian
dalam keseluruhan diarahkan kepada persatuan dan kesatuan, bagi negara yang
terpenting adalah keseluruhan bukan bagian - bagian. Itulah faham negara
integralistik yang sering dipraktekkan oleh para penyelenggara kekuasaan
pemerintahan negara.
Ide faham “Negara integralistik” ini semula diekspose dan
direkomendasikan oleh Prof. Dr. Supomo pada sidang BUPKI tanggal 15 Mei 1945
dengan mengemukakan 3 (tiga) pilihan yang diusulkan untuk dijadikan dasar
Negara, apabila Indonesia telah merdeka, yaitu faham:
(1) Individualisme;
(2) Kolektivisme; dan
(3) Integralistik
Para Pendiri Negara (The Founding Fathers) kurang sefaham dengan ide
negara integralistik ini yang akan dijadikan konsep dasar negara, karena faham ini
menonjolkan sifat totalitarian dari negara yang tidak selaras dengan ide kekeluargaan
yang bersifat egalitarian. Ide kekeluargaan menghendaki posisi sejajar antara fihak -
fihak yang berinteraksi, termasuk antara negara dan masyarakatnya.5
Hal ini dapat terlihat dari pasal - pasal dalam UUD 1945 yang secara ideatif
bertolak belakang dengan gagasan faham negara integralistik tersebut, misalnya
pasal 28 yang menjamin hak - hak azasi manusia6, dan pasal 18 yang menghormati dan
menghargai sifat - sifat khusus dari daerah - daerah yang ada di Indonesia. 7 Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa UUD 1945 sebenarnya berusaha mengatur
keseimbangan antara individualisme dan kolektivisme, UUD 1945 menganut
kedaulatan rakyat, dan bukan kedaulatan negara.

4
Alfred Stepan, The State and Society, Peru in comparative perspective, Princeton, NJ: Princeton UP,
1978, hlm. 26-27
5
Ide tentang negara integralistik ini dipaparkan oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI tanggal 31 Mei
1945, ketika membahas dasar negara apabila kelak Indonesia merdeka. Pembahasan yang sangat tajam
mengenai penyimpangan gagasan Soepomo ini, dapat dilihat dalam karya Marsilam Simanjuntak,
Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Grafiti, 1994.
6
Pasal 28 UUD 1945 yang tadinya hanya 1 pasal, setelah amandemen kedua berubah menjadi 10 Pasal,
yaitu 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, dan 28J
7
Pasal 18 UUD 1945 yang tadinya hanya satu pasal berubah menjadi 3 (tiga) pasal, yaitu pasal 18, 18A,
18B setelah terjadi amandemen kedua.

2
Dari kenyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan faham negara
integralistik sering lebih banyak bersifat politis daripada hukum tata negara. 8
Namun, apabila dikaitkan dengan konteks desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia, maka fenomena ini sebenarnya sudah terjadi sejak awal penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia. Situasi inilah yang sedikit - banyak mempengaruhi
penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia, baik sebagai suatu fenomena politik
maupun fenomena administrasi yang seharusnya ditujukan bagi kesejahteraan
masyarakat.
Salah satu argumentasi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah
mendekatkan pemerintah dalam bentuk Pemerintah Daerah kepada masyarakat, agar
pemerintah daerah memahami keinginan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dengan
demikian tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung kepada tingkat
”pelayanan publik” yang disediakan oleh pemerintah daerah. Paradigma ”otonomi
daerah” menurut semangat UU No. 32 Tahun 2004 adalah ”otonomi masyarakat”,
dalam arti Pemerintah Daerah sebagai perwujudan dari ”otonomi masyarakat”
dituntut untuk lebih mampu mensejahterakan masyarakat melalui pelayanan publik
dibanding dengan pemerintah pusat yang jaraknya lebih jauh kepada masyarakat.
Motivasi yang mendorong tumbangnya rejim orde baru oleh gerakan reformasi
dengan dipelopori oleh para mahasiswa pada pertengahan tahun 1998 adalah karena
melihat fenomena penyelenggaraan pemerintahan negara berorientasi kepada format
politik totalitarian, sehingga tidak mencerminkan dan menjamin terwujudnya
keadilan, demokrasi dan kesejahteraan bagi rakyat banyak.
Salah satu kebijakan politik yang menjadi sumber kelemahan dan mendorong
terjadinya krisis multidimensi yang mengancam keutuhan negara bangsa adalah
diterapkannya sistem pemerintahan negara yang terlalu sentralistik dengan
mengabaikan prinsip - prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, baik langsung
maupun melalui kontrol perwakilan rakyat, serta pemerataan dan keadilan, yang pada
gilirannya kebhinekaan dalam segala bidang kehidupan yang menjadi sumber potensi
dan keanekaragaman daerah, terabaikan pula.
Kebijakan politik tersebut, tidak hanya berdampak terbelenggunya aspirasi,
oto-aktivitas dan kreativitas masyarakat setempat, melainkan juga mematikan
sumber potensi dan sumber daya di daerah, terutama sumberdaya manusianya, yang
pada gilirannya pula pelayanan publik dalam upaya mensejahterakan masyarakat tidak
terselenggara dengan optimal.

8
Marsilam Simanjuntak, op.cit., hlm. 247.

3
2. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan.

Prinsip penyelenggaraan pemerintahan, bisa dilihat dari dua aspek, yaitu:


Pertama, prinsip penyelenggaraan pemerintahan sebagai suatu sistem
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan atau dianut oleh suatu
negara bangsa (Nation State) sebagai satu kebijakan, seperti sentralisasi,
desentralisasi, dekonsentrasi, devolusi, parlementair, presidensiil dlsb. Tergantung
dari sistem mana yang dianut oleh suatu Negara Bangsa (Nation State) tersebut.
Sistem ini berkaitan dengan kebijakan pembagian kekuasaan (Division of Power) di
dalam lingkungan kekuasaan pemerintahan negara, baik secara horisontal (Capital
Division of Power) antara lembaga-lembaga negara yang ada, maupun secara vertikal
antara Pusat dan Daerah (Areal Division of Power).
Di dalan Negara Kesatuan (Unitary State), secara vertikal terdapat
”Satuan Pemerintahan Nasional” (Pemerintah Pusat) dan ”Satuan Pemerintahan Sub-
National” (Pemerintahan Daerah), sedangkan secara horisontal terdapat Badan-
badan/Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Judicatif. Kekuasaan atau kewenangan
dibagi (”diberikan; toekennen”) oleh pemerintah pusat kepada satuan pemerintahan
daerah yang dibentuk dengan Undang-undang, namun kedaulatan (souvereignty) yang
melekat kepada Negara dan Bangsa tidak dibagi kepada pemerintah daerah.
Satuan Pemerintahan Sub Nasional merupakan hasil pembentukan dan
pengembangan pemerintahan. Karenanya, kewenangan pemerintahan sub nasional
dapat ditambah, dikurangi atau bahkan dapat dihapuskan melalui proses hukum dan
per-undang-undangan. Kedudukan satuan pemerintahan sub nasional, karenanya pula
adalah ”tergantung” (dependent) kepada pemerintah nasional. Karena itu pula ia
berada di bawah (sub ordinated) pemerintah nasional.
Sistem pemerintahan NKRI tidak menganut paham ”sentralisme” dalam
kekuasaan, melainkan mengakui dan menganut prinsip ”desentralisasi” dalam
pemerintahan. Sesuai dengan amanat UUD, dalam rangka menjalankan prinsip
desentralisasi di wilayah NKRI dibentuk daerah-daerah Provinsi, dan di wilayah
provinsi dibentuk daerah-daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom.
Secara juridis, politis dan administratif, daerah otonom mempunyai
kewenangan ”otonomi daerah” yang diberikan (”toekennen”) oleh pemerintah pusat
kepada masyarakat setempat dalam wilayah tertentu sesuai dengan aspirasi dan oto-
aktivitas masyarakat sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri, yang dijalankan oleh
pemerintahan daerah yang mempunyai kewenangan dan berkewajiban untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri . Dengan kata lain ”daerah otonom”
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
perundang-undangan.
Dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan, tidak sepenuhnya
dilaksanakan secara ”desentralistik”, tetapi ada beberapa bagian yang tetap

4
dilaksanakan secara ”sentral”, karena pertimbangan pencapaian tujuan (doelmatig),
dayaguna dan hasilguna, serta karena sifat dan coraknya yang tidak bisa lain harus
diselenggarakan secara sentral. Pertimbangannya didasarkan kepada kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi dan keserasian hubungan pengelolaan urusan
pemerintahan, seperti dianut di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999.
Kedua, dalam koridor Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang sering
terabaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam kaitannya dengan pelayanan
publik adalah prinsip penyelenggaraan pemerintahan dari aspek ”kepatutan
pemerintahanan” (”Behoorlijk Bestuur”), karena aspek ini seringkali dipengaruhi oleh
”perilaku” (behaviour) dan value judgement dari para penyelenggara negara. Prinsip-
prinsip tersebut seperti, antara lain: Vrijbestuur; Nach Freies Ermessen,
Preventieve Rechtszorg; Omnipresence dan Van zelf principles, serta prinsip-prinsip
umum penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik, sering terabaikan.
Walaupun UU No. 32 Tahun 2004 mencantumkan asas-asas kepatutan dengan
merujuk kepada UU No. 28 Tahun 1999,9 tetapi tidak secara imperatif
mengkaitkannya dengan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan sebagai suatu
sistem. Bahkan suatu kekeliruan yang cukup mendasar dalam UU No. 32 Tahun 2004
tersebut yang membedakan antara asas penyelenggaraan sistem pemerintahan di
pusat dengan asas penyelenggaraan sistem pemerintahan pada pemerintahan daerah,
yang menekankan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah
menggunakan asas-asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan,10 sedangkan penyelenggaraan pemerintahan
daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas ”otonomi dan tugas pembantuan”11
sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, padahal ”otonomi dan tugas
pembantuan” merupakan hak dan wewenang (bukan asas) yang diberikan (”toekennen”)
oleh pemerintah pusat yang merupakan manifestasi atau perwujudan dianutnya asas
desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
Oleh karena itu, betapapun baiknya sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang dianut oleh suatu negara bangsa, kalau tidak dibarengi dengan penegakkan
”asas-asas kepatutan pemerintahan” yang dilakukan oleh para penyelenggara negara,
maka kepentingan masyarakat dalam bentuk pelayanan publik untuk mensejahterakan
masyarakat, tetap akan sulit untuk dapat diwujudkan.
Dalam kedudukannya sebagai Daerah Otonom, dan dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah, dengan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat, ditegaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004, bahwa Daerah
berkewajiban untuk:12
9
Lihat Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004
10
Lihat Pasal 20 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.
11
Ayat (3) Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004.
12
Lihat Pasal 22 UU No.32 Tahun 2004.

5
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional,
serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. melestarikan lingkungan hidup;
l. mengelola administrasi kependudukan;
m. melestarikan nilai sosial budaya;
n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya; dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam perundang-undangan
Misalnya, dalam menerapkan asas ”Omnipresence dan Van zelf principles” yang pada
dasarnya memandang bahwa pemerintahan itu berada di mana-mana, tidak terikat
kepada ruang dan waktu, sehingga pada intinya prinsip ini mewajibkan kepada
masyarakat untuk tetap mentaati peraturan perundang-undangan yang sudah
dikeluarkan oleh pemerintah, sekalipun tidak secara terus menerus diawasi oleh
pemerintah, namun ketika rakyat memerlukan pertolongan atau bantuan, maka dengan
sendirinya (van zelf) merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk membantunya,
sehingga disini terjadi ”kewajiban yang berimbang” antara pemerintah dan
masyarakat.
Preventieve Rechtszorg adalah suatu prinsip dalam pemerintahan yang
menyatakan bahwa peranan dan tugas utama pemerintahan adalah menjaga agar
supaya anggota masyarakat mentaati tertib hukum dan mencegah (to prevent) agar
supaya masyarakat tidak melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku. Jadi, intinya
adalah ”tidak patut” (onbehoorlijk) apabila para aktor penyelenggara negara
membiarkan anggota masyarakat untuk melanggar hukum kemudian ditindak
(represif). Prinsip ini berkaitan dengan prinsip Omnipresence dan Van Zelf
principles, contohnya: penggusuran kios-kios PKL di jalan-jalan trotoir, dlsb.

3. Essensi Pelayanan Publik.

Salah satu argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bahwa


perangkat pemerintahan daerah dengan kewenangan-kewenangan otonominya harus
mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan
demikian, kewenangan yang diberikan kepada masyarakat dalam bentuk otonomi

6
daerah itu adalah suatu ”alat” (means) untuk mencapai ”tujuan” (end) dalam wujud
pelayanan publik guna mensejahterakan masyarakat.
Oleh karena itu argumen pertama untuk menentukan pelayanan publik
yang diperlukan oleh masyarakat adalah Pemerintah Daerah perlu mengidentifikasi
apa-apa saja input (masukan) sesuai kebutuhan masyarakat untuk diolah menjadi
output (produk) yang perlu dihasilkan oleh Pemerintah Daerah sehingga menjadi
outcome yang dapat memenuhi pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah
Daerah, dan bagimana dampaknya yang ditimbulkan oleh pelayanan publik tersebut. 13
”Pada dasarnya output Pemda adalah untuk menghasilkan ”good and regulations” untuk
kepentingan publik.Kelompok dari Goods adalah barang-barang atau fasilitas publik
yang dihasilkan Pedmda seperti pasar, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dsb.
Sedangkan dalam kelompok Regulations yang dihasilkan umumnya yang bersifat
’Regulatory” atau Pengaturan, seperti pengaturan untuk KPT, KK, Akte Kelahiran,
IMB, Izin usaha , pengaturan tata tertib dan ketentraman, dlsb. Apabila dikaitkan
dengan posisi Pemerintah Daerah sebagai lembaga yang memperoleh ”legitimasi” dari
rakyat untuk menyelenggarakan ”good and regulations” tersebut, pertanyaanya
adalah: ” Sejauh mana Pemerintah Daerah mampu mempertanggungjawabkan
kuantitas dan kualitas output yang dihasilkannya, sehingga benar-benar dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat? Untuk itulah rakyat membayar pajak dan
mempercayakan penggunaan pajak tersebut kepada wakil-wakil rakyat yang dipilih
melalui mekanisme Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah. Dari dasar
pemikiran ini lahir konsep yang sangat dikenal sebagai ”No Tax Without
Representation” 14
Dalam pada itu, dalam penyelenggaraan otonomi daerah menurut semangat UU
No. 32 Tahun 2004 yang menganut prinsip ”otonomi nyata dan bertanggungjawab”
mengisyaratkan bahwa Pemerintahan Daerah dalam menentukan isi otonomi sesuai
dengan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, bagaimanapun juga harus
dikaitkan dengan ”kebutuhan riil masyarakat di daerah”, dengan perkataan lain
seberapapun luasnya otonomi daerah yang diberikan, haruslah mampu
memanifestasikan ”pelayanan publik” yang berkorelasi atau yang ”relevant” dengan
kebutuhan masyarakat. Misalnya, adalah tidak logis atau tidak riil-rasional, kalau
Pemerintahan Daerah yang murni perkotaan, ditekankan kepada kegiatan urusan-
urusan yang berkaitan dengan urusan kehutanan, pertanian, pertambangan,
perindustrian atau peternakan. Walaupun urusan-urusan tersebut ada di perkotaan,
tapi relatif kecil sekali dibandingkan kebutuhan-kebutuhan yang merupakan ”core-
competence” di perkotaan.
”Derasnya arus urbanisasi ke Jakarta seiring dengan kembalinya arus mudik
Lebaran, merupakan bentuk kegagalan konsistensi Indonesia sebagai negara agraris.

13
Grand design implementasi otonomi daerah dalam koridor UU nomor 32 tahun 2004,
Depdagri, Jakarta 2005, hlm.50
14
Ibid, hlm. 50

7
Salah satu akan persoalan yang mendasari adalah sempitnya akses petani kecil dan
buruh tani terhadap tanah serta infrastruktur pertanian”15
Kondisi ini semakin parah karena kebijakan pembangunan yang menitik beratkan
kepada ”pertumbuhan” (growth) masih tetap menenmpatkan kota-kota besar seperti
Jakarta sebagai pusat pertumbuhan. Sedangkan, di sisi lain berbagai persoalan di
pedesaan seperti minimnya infrastruktur dan kesulitan lahan terus terjadi, sehingga
tidak mengherankan jika warga desa terus mengalir ke kota untuk mencari nasib.
Beberapa warga desa yang ikut bersama pemudik balik ke Jakarta mengaku, bahwa
mengadu nasib ke Jakarta, karena kondisi lahan di desa mereka sangat
memprihatinkan, kekeringan menyebabkan banyak lahan terlantar, tiadanya jaringan
irigasi, jalan, dan listrik di pedesaan menyebabkan parahnya kehidupan ekonomi di
pedesaan.16 Kalau begitu, buat apa kebijakan desentralisasi dengan memberikan
otonomi yang luas dan bertanggung jawab kepada Daerah kalau bukan untuk
mensejahterakan rakyat di pedesaan? Pertanyaan inilah yang harus terjawab, baik
oleh penentu kebijakan di daerah maupun di pusat, terutama dalam mencari akar
permasalahannya.
Oleh karena itu, setidaknya ada dua pendekatan yang bisa dipakai dalam
menentukan isi otonomi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sbb:
Pertama, pendekatan isi otonomi yang berorientasi kepada penyediaan
pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan pokok (Basic needs) masyarakat, seperti
: pelayanan kesehatan, pendidikan, lingkungan air minum, transportasi perkotaan,
fasilitas untuk pejalan kaki (trotoir), fasilitas pencegah dan pemadam kebakaran,
relokasi pedagang kaki lima, resetlement daerah2 kumuh dlsb.
Kedua, pendekatan atas dasar sektor unggulan (”core-competence”) daerah,
yaitu kebutuhan daerah untuk melakukan kewenangan yang berdasarkan pertimbangan
urusan-urusan ”unggulan” yang akan dilakukan daerah tersebut untuk memajukan
daerahnya masing-masing. Penentuan core-competence ini didasarkan kepada
perhitungan terhadap apa yang menjadi unggulan suatu daerah yang pengembangannya
akan berdampak sangat besar terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah ybs,
misalnya core-competence di bidang pertanian, peternakan, industri, pariwisata dlsb.
Untuk menentukan core-competence suatu daerah, bisa diukur dari 3
indikator sbb:
a. Komposisi penduduk menurut mata pencahariannya. Dari data statistik mata
pencaharian penduduk, akan terlihat sektor mana yang paling menyerap tenaga
kerja penduduk daerah ybs. Dengan demikian, Pemerintah Daerah sudah seharusnya
memberikan perhatian untuk pengembangan sektor-sektor yang menyerap tenaga
kerja penduduk terbanyak;
b. Pemanfaatan lahan. Dari pemanfaatan lahan akan terlihat sektor mana yang
dikembangkan di daerah yang bersangkutan;

15
Dipetik dari harian Kompas, 29 Oktober 2006, “Kegagalan Negara Agraris”, hlm.3.
16
Ibid. hlm 3.

8
c. Komposisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dari komposisi PDRB dapat
dilihat sektor mana yang memberikan kontribusi paling besar terhadap perekonomian
daerah. Dari setiap sektor yang ada dalam komposisi PDRB, dilihat sektor mana yang
mempunyai ”forward linkage” dan ”backward linkage” terbesar, terutama dampaknya
terhadap kegiatan penduduk.
Pertimbangan dari ketiga faktor tersebut akan memberikan gambaran
kepada Pemerintah Daerah, sektor-sektor mana yang menjadi andalan daerah yang
bersangkutan untuk dikembangkan, sehingga pemahaman sektor unggulan tsb akan
menjadi acuan bagi Daerah dalam menentukan isi otonomi atas dasar core-
competence daerah ybs., sudah barang tentu termasuk fasilitas pelayanan umum
yang harus disediakan oleh pemerintah, dalam bentuk infrastruktur, fasilitas umum
dlsb.
Keleluasaan (diskresi) yang cukup luas yang diberikan kepada Daerah oleh
UU No.32 Tahun 2004 untuk menentukan isi otonominya, dengan mengacu kepada
pendekatan core-competence, maka isi otonomi daerah dari satu daerah akan
berbeda dengan daerah lainnya, tergantung dari sektor mana yang akan
dikembangkan sebagai core competence diluar kewenangan yang menjadi kewajiban
untuk penyediaan basic services.
Dari kondisi tersebut, maka Pemerintahan Daerah haruslah berhati-hati
dalam menentukan urusan-urusan mana saja yang akan dijadikan ruang lingkup
otonominya. Akan tetapi, bukan juga berarti bahwa Pemerintahan Daerah dapat
mengenyampingkan urusan-urusan yang merupakan pelayanan terhadap kebutuhan
pokok (basic services) masyarakat seperti: pendidikan, kesehatan, lingkungan,
transportasi dlsb, dan juga urusan yang berkaitan dengan pengembangan core-
competence daerah ybs. Disamping itu, harus juga menjadi perhatian Pemerintahan
Daerah untuk menentukan pilihan (option) yang paling optimal dalam melaksanakan
urusan otonominya, terutama yang menyangkut dengan pelayanan publik, apakah suatu
urusan tersebut akan sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintahan Daerah sendiri public),
atau diserahkan sepenuhnya kepada swasta (private), atau dilakukan kemitraan
antara Pem.Daerah dengan Swasta (public private partnership) .17

Dalam pada itu, perlu menjadi perfhatian bahwa urusan pemerintahan


Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan (option) dalam UU No. 32 Tahun 2004
ditegaskan bahwa urusan itu adalah urusan yang secara nyata ada dan berpotensi
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan.18 Walaupun pelaksanaan ketentuan
tersebut dijanjikan dalam UU 32/2004 akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah, namun Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebaiknya pro-aktif
mengambil initiatif dan oto-aktivitas dalam menentukan option tersebut, karena

17
Ibid., hlm 52
18
Lihat Pasal 14 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 beserta penjelasannya.

9
kesempatan, serta kewenangan untuk mengatur dan mengurus pemerintahan sendiri
dan kepentingan masyarakat setempat secara undang-undang telah diberikan kepada
pemerintahan/masyarakat daerah. Initiatif tersebut bisa dilakukan, baik melalui
pengembangan hubungan pemeriantahan, maupun peningkatan kerjasama antar
daerah.

4. Mendorong Hubungan Pemerintahan dan Kerjasama antar Daerah.

Kalau dalam UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa antara Daerah


Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak
mempunyai hubungan hierarkhi satu sama lain, maka dalam UU No. 32 Tahun 2004
dengan tegas dinyatakan bahwa terdapat hubungan pemerintahan yang mencakup 3
(tiga) hal, yaitu hubungan dalam bidang keuangan, bidang pelayanan umum, dan bidang
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, yang kesemuanya meliputi
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan antar Pemerintahan
daerah, sehingga pola hubungan tersebut menjadi sbb:
Pertama, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah
dalam bidang keuangan, meliputi:
a. pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;
b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
c. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.
Kedua, hubungan antar Pemerintahan daerah dalam bidang keuangan,
meliputi:
a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan
daerah kabupaten/kota;
b. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;
c. pembiayaan bersama atas kerjasama antar daerah; dan
d. pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.
Ketiga, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam
bidang pelayanan umum, meliputi:
a. kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;
b. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;
dan
c. fasilitasi pelaksanaan kerjasama antar pemerintahan daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan umum.
Keempat, hubungan antar Pemerintahan daerah dalam bidang pelayanan
umum, meliputi:
a. pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;
b. kerjasama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan
umum; dan
c. pengelolaan perizinan bersama dalam bidang pelayanan umum.

10
Kelima, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah dalam
bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, meliputi:
a. kewenangan, tannggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian
dampak, budi daya dan pelestarian;
b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
c. penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Keenam, hubungan antar Pemerintahan daerah dalam bidang pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya, meliputi:
a. pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang
menjadi kewenangan daerah;
b. kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan
c. pengelolaan peridzinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya.
Daerah yang memiliki ”wilayah laut” diberikan kewenangan untuk mengelola
sumber daya di wilayah laut, dimana daerah akan memperoleh bagi hasil atas
pengelolaan sumber daya di bawah dasar dan/atau di dasar laut, yang
pengaturannya sesuai dengan perundang-undangan.
Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut, meliputi:
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan
administrasi; pengaturan tata ruang; penegakkan hukum terhadap perauran yang
dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewsenangannya oleh pemerintah;
ikut serta dalam pemeliharaan, keamanan; dan ikut serta dalam pertahanan
kedaulatan negara.
Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut tersebut,
ditentukan paling jauh 12 (duabelas) mil laut, diukur dari garis pantai kearah laut
lepas dan/atau kearah perairan kepulauan untuk provinsi, dan 1/3 (sepertiga) dari
wilayah kewenangan provinsi diperuntukkan untuk Kabupaten/Kota.
Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh
empat) mil, maka kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut tsb
dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antara 2
(dua) provinsi tersebut, dan untuk Kabupaten/Kota memperoleh 1/3 (sepertiga)
dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud. Ketentuan tersebut diatas, tidak
berlaku bagi penangkapan ikan oleh nelayan kecil. Yang dimaksud dengan ”nelayan
kecil” disini adalah nelayan masyarakat tradisional Indonesia yang menggunakan
bahan dan alat penangkapan ikan secara tradisional, dan terhadapnya tidak
dikenakan surat idzin usaha, dan bebas dari pajak, dan bebas manangkap ikan di
seluruh pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia.

5. Kesenjangan antara niat dan realitas.

Konstatasi adanya kesenjangan antara niat (willingness; political will)

11
Pemerintah Indonesia dan realitas di lapangan dalam melaksanakan asas
desentralisasi dan otonomi daerah, berawal dari perkembangan konfigurasi politik
yang mendasari piranti perundang - undangan serta komitmen politik pemerintah
yang sangat jelas menginginkan terwujudnya otonomi daerah dalam
penyelenggaraan administrasi pemerintahan di Indonesia, berdasarkan asas
desentralisasi.
Namun, sejauh ini perwujudan asas ini masih senggang dari idealisasi yang
diharapkan. Misalnya, beberapa urusan wajib yang menjadi kewenangan
pemerintahan daeah Kabupaten/Kota, yang seharusnya sudah bisa direalisasikan
di daerah, nyatanya masih tetap ditangani oleh pusat dengan dalih eksternalitas
dan akuntabilitas tergolong kepada kepentingan nasional (seperti: petanahan,
sumber-sumber daya alam dan sumber daya lainnya dlsb.), sehingga dalam
realisasi manajemen pemerintahan terdapat beberapa Keppres yang dikeluarkan
yang dalam praktek mengalahkan kekuatan Undang-undang.
Sebagai bangsa yang besar, seharusnya kita bisa mengatasi segala
persoalan yang besar pula. Dalam sejarah bangsa ini, kita melihat kenyataan selalu
bisa keluar dari berbagai kemelut bangsa, baik mengusir penjajah, meredam
berbagai pemberontakan, dan jatuh bangunnya sistem pemerintahan yang
berganti - ganti. Kita juga telah memperlihatkan kepada dunia atas kemampuan
kita mngintegrasikan seluruh wilayah dan masyarakat Indonesia yang tersebar di
berbagai wilayah yang amat luas ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ini bukan kerja yang asal - asalan, tetapi pekerjaan besar, pekerjaan yang genius,
berkat pimpinan negara yang lalu. Bung Karno, seorang yang gandrung akan
persatuan dan selalu bergelora bicara masa depan bangsa. Ia hidup dalam mimpi -
mimpi dan gagasan besar, tetapi yang kurang diperhatikan adalah merumuskan
atau membuat fondasi tahapan seperti apa yang harus dilalui untuk menjadi
bangsa yang besar itu. Penggantinya H.M.Soeharto, menggerakan sejarah
persatuan dengan doktrin dan kekuatan tentara. Politik menjadi “tertib” sebab
semuanya dalam bingkai dan kontrol negara. Pengelola negara yang mestinya
melayani publik, memposisikan dirinya sebagai pihak yang harus dilayani.
Pengelolaan negara dan keluarga pun menjadi wilayah yang sulit dibedakan. Dalam
tumpang tindih garis batas wilayah negara dan keluarga, praktek perkoncoan dan
kronisme pun tidak bisa dihindarkan. Baik Bung Karno maupun Pak Harto kurang
memperhatikan aspek pembngunan manusia (human development). “Politik” adalah
panglima di masa orde lama dan “stabilitas” adalah panglima di masa orde baru.
Keduanya telah mengorbankan kualitas manusia Indonesia19 Dampaknya, adalah
sangat mudah difahami kalau menurut ukuran Human Development Index (HDI),
kualitas manusia Indonesia terburuk di antara negara - negara di Asean, dimana
Indonesia berada di peringkat ke-111 di antara 175 negara di dunia, sedangkan
Malaysia yang dulu hampir seluruhnya belajar dari kita, kini di urutan ke-76, dan

19
Editorial Media Indonesia, Rabu, 16 Maret 2005/No.8867/Tahun XXXVI.

12
Filipina di urutan ke-98. Dalam pada itu, menurut Badan Pusat Statistik 2004, kini
penduduk miskin mencapai 36,1 juta. Kondisi kemiskinan seperti ini setara dengan
keadaan 15 tahun yang lalu.20
Inilah salah satu masalah cukup mendasar yang menjadi tantangan kita dalam
menghadapi krisis multidimensi, melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
di Indonesia menuju kepada proses penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good
governance), dan yang berpihak kepada rakyat.

6. Melihat sekilas perspektif historis.

Melalui kajian sejarah administrasi pemerintahan di Indonesia, tampak


sebenarnya adanya semacam kesinambungan upaya mewujudkan desentralisasi yang
selalu berakhir dengan munculnya praktek - praktek sentralisasi. Apakah dengan
melalui Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1945; Undang - Undang Nomor 22 Tahun
1948. Pengecualian terjadi pada masa berlakunya Undang - Undang Nomor 1 Tahun
1957 yang didasarkan kepada UUDS - 1950 melalui sistem pemerintahanan yang
parlementer dan dilandasi oleh faham demokrasi yang sangat liberal.
Namun, pada masa rezim Orde Lama dengan menggunakan semangat
Demokrasi Terpimpin, setelah keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Undang - Undang
Nomor 1 Tahun 1957 umurnya tidak panjang, dan keburu dipangkas dengan
dikeluarkannya Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 yang merombak secara
fundamental Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 hanya dengan sebuah “Penetapan
Presiden” tanpa meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Alasannya, sekalipun
“Penetapan Presiden” mempunyai derajat lebih rendah daripada Undang-undang,
namun dasarnya adalah Dekrit Presiden yang menyelamatkan kesatuan dan persatuan
bangsa, yang hampir kolaps pada Sidang Dewan Kontituante yang gagal membentuk
UUD tetap, disamping untuk menghapus dualisme pemerintahan yang marasuk
penyelenggaraan pemerintahan pada masa Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957.
Itulah era Demokrasi Terpimpin dengan semangat “Faham Negara Intergralistik”,
yang sesungguhnya faham ini, sekali lagi secara konstitutional tidak dianut di dalam
UUD 1945.
Rezim Orde Lama, dengan dalih atas dasar semangat Demokrasi Terpimpin,
mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghapuskan dualisme
dalam pemerintahan, dengan dikeluarkannya Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1959,
kembali terjebak dalam pola “sentralisasi” yang merombak “sistem pemerintahan
kolegial” (collegial bestuur) yang dianut dalam Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957
menjadi “sistem pemerintahan tunggal” (Eenhoofdig-bestuur) dengan mengangkat dan
mendudukan Kepala Daerah sebagai “alat daerah” dan sekaligus sebagai “alat pusat”.
Dengan kebijakan ini, upaya pemerintah untuk menghapuskan “dualisme” dalam
penyelenggaraan pemerintahan, hanya berhasil menghapuskan “dualisme struktural”

20
Ibid, Editorial Media Indonesia.

13
saja, sedangkan dualisme dalam fungsi (dualism in function) tetap tidak terhapuskan,
karena justru penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan fungsi
“dekonsentrasi” yang menyangkut fungsi “pemerintahan umum” (“Algemene bestuur”)
yang menurut Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Tugas -
Tugas Pemerintah Pusat dalam bidang Pemerintahan Umum, Perbantuan Pegawai
Negeri dan Penyerahan Keuangannya kepada Pemerintah Daerah diletakkan kembali di
tangan Kepala Derah dalam kedudukannya sebagai “alat pusat”.
Dengan demikian, kedudukan dan peranan Kepala Daerah semakin diperkuat
dan semakin dominan. Itulah era pemerintahan yang disebut “Executive heavy” atau
sering juga disebut “Strong Executive System”. Itulah pula sebabnya, banyak
kritikan yang dilontarkan kepada rezim pemerintahan pada saat itu, yang menyatakan
bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959, terutama setelah dikeluarkannya PenPres Nomor 6 Tahun 1959 dipandang
sebagai “retreat from autonomy”.
Dengan demikian pula, terlihat adanya kausalitas antara sistem politik dan
pemerintahan yang berlaku, dengan upaya mewujudkan asas desentralisasi
pemerintahan. Pemerintah Indonesia tampaknya sangat menyadari kausalitas ini.
Oleh karena itu, pada era rezim Orde Baru diambil keputusan politik yang
menetapkan Demokrasi Pancasila sebagai landasan berpolitik bangsa. Dengan
keputusan politik tersebut, seluruh tatanan pemerintahan harus disesuaikan dengan
isi dan semangat Demokrasi Pancasila. Konsekuensinya, harus disusun Undang –
Undang yang menjadi landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.
Maka keluarlah Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok - pokok
Pemerintahan di Daerah. Melalaui Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini
pemerintah bertekad untuk mewujudkan Otonomi Daerah. Namun, dikehendaki agar
pelaksanaan Otonomi Daerah ini tidak mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,
ataupun membahayakan kesinambungan gerak pembangunan nasional. Maka lahirlah
konsep “otonomi nyata dan bertanggung jawab”, Otonomi daerah dipandang lebih
merupakan “kewajiban” daripada “hak”. Prinsip Otonomi yang seluas - luasnya, yang
digelar melalui UU No. 18 Tahun 1965 tidak dianut lagi, karena berdasarkan
pengalaman konsep ini sangat rawan disintegrasi dan dikhawatirkan akan mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa.
Melalui konsep Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini, pemberian otonomi
daerah dalam wujud hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah sendiri, disesuaikan dengan kemampuan daerah, serta kerangka besar dalam
pembangunan nasional. Tampaknya, syarat - syarat semacam ini yang memunculkan
kendala baru bagi perwujudan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Penelitian yang terus menerus saya lakukan, menemukan bahwa UU Undang -
Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menitik beratkan pelaksanaan otonomi daerah pada
Daerah Tingkat II, demikian pula paradigma yang menyatakan bahwa azas
desentralisasi dilaksanakan bersama - sama dengan asas dekonsentrasi, ternyata
kembali terjebak dengan kecendurungan awal munculnya sentralisasi pelaksanaan

14
administrasi pemerintahan di Indonesia, yang dalam prakteknya dekonsentrasi lebih
menonjol dan sangat dominan, yang diletakkan di tangan Kepala Daerah dalam
kedudukannya sebagai Kepala Wilayah.
Ini adalah lagi - lagi penonjolan wajah “Eksekutif heavy” dalam era konfigurasi
politik menurut Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana DPRD sebagai
penyalur aspirasi rakyat dalam pengembangan demokrasi dan sebagai alat kontrol,
dalam era Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 hampir - hampir tidak berfungsi,
karena didominasi oleh wewenang Kepala Daerah/ Kepala Wilayah yang sangat kuat.
Walaupun Undang - Undang ini bertahan selama lebih dari 25 tahun, dengan
menekankan bahwa titik - berat otonomi diletakkan pada Daerah Tingkat II, namun
keinginan politik ini tidak bisa direalisasikan, karena Peraturan Pemerintah sebagai
pelaksanaan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 baru dapat dikeluarkan 18
(delapan belas) tahun kemudian, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik berat
pada Daerah Tingkat II. Namun, Peraturan Pemerintah inipun tidak berjalan mulus,
karena lagi-lagi Pemerintah Pusat tidak konsekuen dengan kebijakannya yang
mestinya Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
Pemerintah Daerah dengan mengutamakan penyerahannya kepada Pemerintah Daerah
Tingkat II, tidak berjalan dengan baik. Demikian pula, Pemerintah Daerah Tingkat I
yang secara imperatif dalam PP tsb diwajibkan untuk secara berangsur - angsur
selambat - lambatnya dalam waktu 2 (dua) tahun sejak dikeluarkannya PP tersebut,
menyerahkan lebih lanjut kewenangan otonominya kepada Pemerintah Daerah Tingkat
II, boleh dikatakan tidak berjalan sama sekali, karena PP tersebut tegas - tegas
menyatakan bahwa kebijakan peletakan titik berat otonomi daerah pada Daerah
Tingkat II sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengurangi keberadaan dan peranan
Pemerintah Daerah Tingkat I. Dengan demikian, eksistensi Daerah Tingkat I sebagai
“daerah otonom” tetap kuat, sedangkan Daerah Tingkat II perkembangan otonominya
tetap tersendat - sendat.
Kemudian, kebijakan desentralisasi yang telah ditetapkan pemerintah dalam
rangka reformasi perundang - undangan politik dan pemerintahan, dengan memberikan
keleluasaan penyelenggaraan otonomi daerah yang tertuang dalam Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 1999 adalah suatu strategi dan paradigma baru dalam upaya
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kuat, bersih, bertanggung
jawab dan demokratis, dengan menggeser paradigma “Executive heavy” kepada
“Legislative heavy”, dengan lebih menonjolkan kepada keberpihakan kepada rakyat.
Perumusan “Otonomi Daerah” yang merupakan pergeseran paradigma yang berpihak
kepada rakyat, menyebutkan bahwa “Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat………. dst.”
Sebelum terjadi perubahan Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999, dilihat
dari sisi hubungan kelembagaan antara Eksekutif dan Legislatif ternyata adanya
hubungan kemitraan yang sebenarnya kurang tepat (hubungan yang tidak sejajar),

15
dimana Kepala Daerah dipilih dan ditetapkan oleh DPRD, dan bertanggung jawab
kepada DPRD, tetapi di pasal lain menegaskan bahwa kedudukan DPRD dan Kepala
Daerah adalah sejajar sebagai mitra - kerja. Sedangkan DPRD sendiri tidak jelas
bertangungg jawab kepada siapa. Kalau bertanggung jawab kepada rakyat, tidak
terdapat mekanisme yang jelas bagaimana bentuk pertanggung jawaban DPRD
tersebut. Dengan demikian, kondisi tersebut tidak memungkinkan adanya “kemitraan”
yang sejajar dan kecendurungan secara realitas posisi DPRD lebih kuat daripada
Kepala Daerah, sehingga mencerminkan gejala bahwa kewenangan DPRD lebih tinggi
dari Kepala Daerah.

7. Kebijakan Pilkada yang membawa anarkhisme.

Pengalaman menunjukkan, bahwa sering terjadi ”impeachment” terhadap


Kepala Daerah hanya dengan keputusan DPRD, apakah karena LPJ - nya ditolak atau
karena sebab - sebab lain yang kecendurungan menunjukkan kekuasaan DPRD lebih
tinggi dari Kepala Daerah, meskipun menurut jiwa dan semangat Undang - Undang
Nomor 22 Tahun 1999 pemberhentian Kepala Daerah tidak sepenuhnya berada dalam
kompetensi DPRD, melainkan kewenangan untuk memberhentidkan Kepala Daerah
tersebut berada pada Presiden. Inilah suatu paradigma yang cenderung lebih
menjukkan “Legislative heavy” dalam sistem Pemerintahan Daerah yang berjalan
menurut Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Inilah pula, salah satu alasan mengapa Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti
dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pergantian Undang – Undang Nomor
22 Tahun 1999 dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang tujuannya
antara lain untuk mengembalikan dan mewujudkan keseimbangan dari “Legislatif
heavy” kepada “Eksekutif heavy” dan keseimbangan antara hubungan kekuasaan pusat
dan daerah, kembali terjebak kepada nuansa “re-sentralisasi” dalam penyelenggaraan
otonomi daerah.
Hubungan Eksekutif – Legislatif Daerah, idenya ingin mengembangkan strategi
baru yang lebih dinamis, dimana hampir 30% pasal - pasal dalam Undang – Undang
Nomor 32 Tahun 2004 (pasal 56 s/d pasal 119) mengatur tentang Pemilihan Kepala
Daerah secara langsung. Namun, kenyataan di lapangan banyak kericuhan terjadi
dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, terjadi konflik horizontal dimana - mana,
terutama setelah salah satu “calon terpilih” dinyatakan menang dalam Pilkada
tersebut. Namun tidak jarang pula terjadi konflik vertikal, ketika salah satu calon
yang diajukan oleh Parpol ditolak oleh KPUD, belum lagi terjadinya “money politic”
yang berlebih - lebihan, uang terhamburkan dimana - mana hanya untuk memenangkan
jabatan Kepala Daerah, daripada diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, ada orang
yang bangkrut setelah tidak terpilih menjadi Kepala Daerah, sebaliknya orang yang
terpilih sebagai Kepala Daerah, menjadi kebingungan bagaimana mengembalikan uang
biaya Pilkada yang jumlahnya milyaran rupiah itu. Disamping itu, banyak perilaku

16
masyarakat pemilih menjadi anarchist, merusak gedung - gedung dan sarana
pemerintahan, karena ketidak puasan hasil Pilkada, dengan dalih pencerminan
“demokrasi”, tetapi nyatanya kaostik dan anarkhis, dan banyak lagi persoalan -
persoalan yang muncul yang mencerminkan seolah - olah pemerintah tidak mampu lagi
untuk menyelesaikannya, bahkan seolah - olah ada kesan bahwa tidak ada satu badan
publikpun yang semestinya bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan -
persoalan tersebut, sehingga membawa dampak instabilitas dalam pemerintahan dan
ketidak tentraman dalam masyarakat.
Sedikit saya mengutip Editorial Media Indonesia, yang berjudul “Wajah
Seram Indonesia”, a.l. sbb:
“Wajah Indonesia berubah total akhir - akhir ini. Di Era Orde Baru, wajah
Indonesia ditampar-tampar oleh Negara, demi keamanan dan pembangunan.
Sekarang, di era reformasi wajah Indonesia digebuk - gebuk oleh rakyatnya
sendiri atas nama demokrasi. Kita sekarang muncul sebagai bangsa yang
gaduh. Apa saja yang dirasa tidak sesuai dengan pikiran individu atau
kelompok diributkan, entah di parlemen, entah di jalan - jalan. Di parlemen
hampir setiap minggu kita mendengar tentang ancaman angket dan interpelasi.
Di jalan raya demonstrasi oleh warga dan anggota LSM tidak pernah putus.
Pekan-pekan ini, citra Indonesia tidak lagi sekedar bangsa yang gaduh.
Demonstrasi menentang PT Freeport di Papua yang berujung kematian tiga
anggota Polri dan satu TNI, pembakaran kamp milik PT Newmont di NTB, dan
disusul sekarang dengan aksi - aksi menentang Exxon Mobile di Blok Cepu,
memperburuk wajah kita. Indonesia tidak lagi hanya bangsa yang gaduh, tetapi
anarkistis. Bangsa yang tidak menghargai perjanjian dan komitmen. Para elite
bangsa sekarang tenggelam dalam keyakinan super - kuat seakan - akan
Indonesia begitu hebatnya, sehingga tidak memerlukan lagi orang - orang di
bagian dunia yang lain. Setiap hari kita memaki, mengecam, mengusir, dan
merusak. Padahal Indonesia sangat miskin dan lemah. Kita membutuhkan
modal, keahlian, dan teknologi. Semua ini hanya bisa diperoleh apabila kita
menampilkan wajah yang menawan dan bersahabat. Tidak wajah garang yang
selalu mengepal tinju dan menghunus pedang…………….dst. dst.”21

8. Kelemahan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam


penyelenggaraan Pilkada.

Ada beberapa kelemahan terdapat dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun


2004 yang berdampak kerancuan dalam implementasi Pilkada, antara lain:
a. Penunjukan KPUD sebagai Pelaksana Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung
(PILKADA) adalah kurang tepat, karena tugas dan kewenangan KPU (KPUD) adalah
melaksanakan Pemilu, dan bukan melaksanakan Pilkada;

21
Editorial Media Indonesia, 21 Maret 2006, hlm.1

17
b. Pasal 57 UU No.32/2004 menyatakan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD, namun
Pasal tsb dalam judicial - review dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. sehingga, dalam
menyelenggarakan Pilkada, KPUD tidak jelas bertanggung - jawab kepada siapa;

c. Penyelenggaraan Pilkada merupakan kompetensi Pemerintah cq. Pemerintahan


Daerah, dan karenanya perlu dibentuk Panitia/ Komisi Pemilihan Kepala Daerah yang
unsur - unsurnya terdiri dari tokoh masyarakat, perguruan tinggi, pers dll yang
bertanggung jawab kepada Pemerintah cq. Pemerintahan Daerah;

d. Sosialisasi dan diseminasi peraturan perundang - undangan tentang Pilkada


sebagaimana tertuang dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan
Pelaksanaannya, kurang sekali disosialisasikan kepada masyarakat luas, sehingga
masyarakat kurang memahami aturan main, semangat dan jiwa, serta konsekuensi -
konsekuensi yang bakal terjadi pada Pilkada, sehingga dalam pelaksanaannya
menimbulkan multi - interpretasi dan persepsi yang berbeda - beda;

e. Maraknya “politik - uang” hampir di seluruh lini penyelenggaraan Pilkada, baik di


kalangan masyarakat, KPUD, para calon Kepala Daerah, termasuk Tim Suksesnya dll.

f. Panitia Pengawas Pilkada tidak berfungsi secara optimal.

9. Upaya menyeimbangkan hubungan antara DPRD dan Kepala


Daerah.

Sesungguhnya, ideenya, kalau pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara


langsung, maka diharapkan akan merubah perimbangan hubungan antara Eksekutif dan
Legislatif daerah, sehingga skenario format hubungan yang akan terjadi adalah
sebagai berikut:22

Pertama, DPRD akan dipilih dengan sistem proportional terbuka, ini berarti
ada tanda gambar dan sekali gus daftar nama caleg. Kalau pemilih tidak memilih nama,
maka alternatifnya adalah menusuk tanda gambar, yang berarti Elite Parpol yang akan
memegang peranan utama menentukan siapa yang akan didudukkan di lembaga
legislatif daerah. Hasil Pemilu 5 April 2004 juga menunjukkan bahwa hanya 2 orang
anggota DPR di tingkat Nasional yang benar-benar terpilih yang memenuhi “Bilangan
Pembagi Pemilih” (BPP). Masalahnya sering calon yang mendapatkan suara terbanyak,
tidak memenuhi treshold BPP yang diunjuk mewakili parpol di DPR atau DPRD dan
menimbulkan konflik internal di tubuh parpol. Kalau rakyat lebih banyak memilih

22
I Made Suwandi, “ Implikasi Pemilihan Kepala Daerah Langsung” (Dalam koridor UU 32 Tahun 2004),
LAPI, Materi Workshop, 2004, hlm. 3-4.

18
tanda gambar dan bukan orang, akibatnya, akuntabilitas individu akan berkurang,
sedang akuntabilitas kolektif akan lebih menonjol.
Kalau Kepala Daerah dipilih secara langsung, ini berarti bahwa Kepala Daerah
akan mendapatkan legitimasi penuh dari rakyat pemilih, artinya rakyat akan
memberikan legitimasi politik secara langsung kepada orang yang dipilihnya. Dengan
kata lain akuntabilitas Kepala Daerah akan lebih kuat dibanding dengan akuntabilitas
DPRD, dimana akuntabilitas Kepala Daerah lebih bersifat individu dibanding dengan
akuntabilitas DPRD yang bersifat kolegial. Akibatnya, akan terjadi pergeseran (shift)
titik berat kekuatan politik yang tadinya ke DPRD (“Legislative heavy”) akan bergeser
kepada Kepala Deerah (“Executive heavy”). Ini adalah akibat akuntabilitas Kepala
Daerah yang lebih kuat dibandingkan dengan DPRD. Kondisi tersebut akan diperkuat
lagi dengan adanya dukungan perangkat daerah kepada Kepala Daerah. Dengan
demikian, jelas akan lebih memperkuat posisi Kepala Daerah.
Kedua, konsekuensi dari pemilihan langsung, maka baik DPRD maupun Kepala
Daerah akan bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih. Ini berarti, tidak
lagi Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD sekalipun DPRD mempunyai posisi
sebagai wakil rakyat, karena Kepala Derah pun akan mengklaim dirinya sebagai wakil
rakyat yang dipilih secara langsung. Persoalannya sekarang, kepada siapa Kepala
Daerah harus bertanggung jawab? Karena Kepala Derah dipilih langsung oleh rakyat,
maka seyogyanya ia (Kepala Daerah) bertanggung jawab langsung kepada rakyat.
Lantas mekanismenya bagaimana kalau Kepala Daerah bertanggung jawab langsung
kepada rakyat, dan apakah rakyat bisa memberhentikan Kepala Derah apabila rakyat
tidak menyukai atau mempercayainya lagi. Di negara - negara maju, seperti di
Amerika, Kepala Derah dapat diberhentikan oleh rakyat apabila diatas 50% pemilih
menyatakan tidak menghendaki lagi Kepala Daerah ybs. Kondisi ini, akan berjalan baik,
apabila pendidikan politik rakyat sudah mantap, seperti di Amerika. Namun, kalau
cara - cara tersebut diterapkan di Indonesia, dimana pendidikan politik rakyat belum
mantap, pelaksanaan demokrasi tendensinya anarkhis, maka sudah bisa dipastikan
akan terjadi instabilitas dalam pemerintahan daerah, dimana di kalangan masyarakat
Indonesia masih kental cara - cara “money politics” dalam pemilihan Kepala Daerah,
maka dengan imbalan uang, rakyat akan dengan mudah digerakkan untuk memilih
seseorang calon Kepala Derah, demikian juga sebaliknya rakyat akan dengan mudah
digerakkan untuk menjatuhkan Kepala Daerah dengan cara - cara yang sama. Sebagai
konsekuensinya, pemerintahan yang tidak stabil sudah barang tentu akan mengganggu
stabilitas keamanan dan counter - productive terhadap laju pertumbuhan dan
investasi, yang pada gilirannya kondisi tersebut akan menciptakan krisis yang
berkepanjangan. Karena itu, dalam rangka pemilihan Kepala Derah perlu adanya
sosialisasi dan pendidikan politik yang intensif bagi rakyat pemilih, supaya mereka
menyadari bahwa sekali mereka memilih Kepala Daerah maka mereka akan
menanggung segala konsekuensi dari pilihannya tersebut. Karenanya perlu penegasan
dan difahami oleh rakyat bahwa pemberhentian Kepala Derah hanya dapat dilakukan
apabila ybs melakukan tindak - pidana, mengundurkan diri atau tidak lagi mampu

19
menjalankan tugasnya sebagai Kepala Derah sebagaimana ditentukan dalam perundang
- undangan. Demikian juga dengan posisi DPRD, dengan diberlakukannya Undang –
Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Parpol, Undang – Undang Nomor 22 Tahun
2003 tentang Susduk, anggota DPRD dapat di re-call oleh pimpinan Parpolnya. Dalam
pada itu ada Badan Kehormatan dalam lembaga DPRD yang nantinya akan menerima
komplain dari masyarakat tentang anggota DPRD dan dapat memberhentikan anggota
DPRD apabila anggota DPRD terbukti melanggar tata - tertib dan kode - etik DPRD.
Ketiga, DPRD diharapakan akan tetap mempunyai otoritas di bidang legislasi,
anggaran dan kontrol, sesuai dengan hak-haknya sebagaimana ditentukan dalam
peraturan perundang - undangan. Apabila mereka mampu mempergunakan kewenangan
dan hak - hak tersebut secara effektif, maka diharapkan DPRD sedikit - banyak akan
mampu mengimbangi kekuatan Eksekutif. Namun, kalau kualitas anggota DPRD tetap
seperti sekarang, tanpa adanya kemajuan yang berarti, maka akan sulit bagi DPRD
untuk mengimbangi kekuatan dan kinerja eksekutif yang didukung oleh perangkat
daerah yang professional. DPRD yang lemah, berpotensi untuk melemahkan fungsi
kontrol terhadap eksekutif, fungsi legislasi dalam membuat kebijakan, dan fungsi
anggaran dalam menetapkan dan mendayagunakan potensi anggaran daerah, sehingga
akan menciptakan kondisi “Executive heavy” seperti terjadi puluhan tahun pada masa
orde baru. Oleh karena itu, untuk menciptakan “check and balances” yang seimbang,
maka rakyat sebagai “stake - holders” utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah,
perlu digerakkan agar mampu menjadi “pressures and supporters”, baik kepada DPRD
maupun kepada Kepala Daerah melalui upaya revitalisasi LSM, Forum Komunikasi,
Organisasi professi dll yang berbasis demokrasi, professionalisme, serta ethik dan
moral.
Keempat, harus ada perubahan yang signifikan terhadap konstruksi
pemerintahan daerah, terutama yang menyangkut kejelasan antara “pejabat politik”
(Kepala Daerah dan DPRD) dengan “Pejabat non - politik” (Pejabat karier). Pejabat
politik adalah pejabat yang bertugas merumuskan dan menetapkan “kebijakan publik”,
sedangkan pejabat karir adalah pejabat yang melaksanakan/ mengoperasionalkan
kebijakan tersebut kedalam bentuk pelayanan publik atau pemenuhan kebutuhan
publik. Dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 terdapat
masalah kepegawaian daerah, a.l. dengan diberikannya kewenangan manajemen
kepegawaian sebagaimana diatur dalam Pasal 76 Undang - Undang Nomor 22 Tahun
1999, terjadi kecendurungan kooptasi oleh kekuatan politik di daerah, baik dari pihak
Kepala Daerah maupun dari DPRD, misalnya banyak kasus terjadi pemberhentian
Sekda oleh Kepala Daerah/ DPRD tanpa alasan yang jelas. Untuk memberikan
keleluasaan kepada Daerah di bidang manajemen kepegawaian, maka Daerah
sebaiknya dilibatkan dalam proses rekrutmen, placement, development dan appraisal
dari PNS Daerah, artinya unsur - unsur “separated system” dalam manajemen
kepegawaian, diberikan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah, dan “integrated system” diterapkan dalam rangka menjaga keseimbangan
antara kepentingan nasional dan otonomi daerah, karena bagaimanapun juga posisi

20
PNS tetap harus difungsikan sebagai perekat negara dan bangsa disamping
professionalisme pegawai yang perlu terus ditingkatkan.

10. Penutup.

Demikian, beberapa pokok-pokok pikiran tentang pelaksanaan kebijakan


penyelenggaraan otonomi daerah sebagai bahan masukan dalam Seminar ini untuk
didiskusikan lebih lanjut.
Terima kasih atas perhatiannya.

Jakarta, 10 Nopember 2006.

3. APRESIASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI


DAERAH MENURUT PERSPEKTIF UNDANG - UNDANG NOMOR 22
TAHUN 1999.

Kebijakan desentralisasi yang telah ditetapkan pemerintah dalam rangka


reformasi perundang - undangan politik dan pemerintahan, dengan memberikan
keleluasaan penyelenggaraan otonomi daerah yang tertuang dalam Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 1999 adalah suatu strategi dan paradigma baru dalam upaya
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kuat, bersih dan
bertanggung jawab, serta berpihak kepada rakyat.
Berbagai upaya dan terobosan politik telah banyak dilakukan dalam rangka
membangun pemerintahan daerah yang baik dan berpihak kepada rakyat. Dengan
melihat perspektif historis ketata-negaraan Indonesia, Pemerintah NKRI telah
berhasil mengundangkan berbagai perundang - undangan pemerintahan daerah yang
diwarnai dengan berbagai perkembangan konfigurasi politik sejak lahirnya Undang –
Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang -

21
Undang Nomor 32 Tahun 1956, Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang -
Undang Nomor 6 Tahun 1959, Penetapan Presiden (PenPres) No. 6 Tahun 1959,
PenPres No. 5 Tahun 1960, Undang - Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang - Undang
Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1979, sampai kepada
paket kebijakan terakhir, yaitu Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa paket Undang - Undang Nomor
22 dan 25 Tahun 1999 sebagai produk kebijakan politik desentralisasi dan otonomi
daerah pada masa pemerintahan transisi, masih mengandung berbagai kelemahan dan
masalah, baik ditinjau dari tataran konsep maupun tataran operasional.
Yang menjadi fokus pertanyaan adalah apakah kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah yang dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu,
baik secara konsep akademik maupun operasional signifikan dalam upaya menerapkan
prinsip - prinsip akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
terutama dalam mewujudkan pemerintahan daerah yang baik, bersih, berwibawa dan
bertanggung jawab (“Good Governance”) serta berpihak kepada rakyat. Hal tersebut,
adalah suatu prasyarat yang harus terjawab dalam upaya menjalankan “keinginan
politik” (political will”) pemerintah untuk menjadikan Daerah Otonom yang mandiri
berdasarkan prinsip - prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, peningkatan
daya saing daerah, serta menjamin tetap terjaga dan terpeliharanya Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Berbagai pendapat dan pandangan telah banyak dilontarkan orang terhadap
kelahiran Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25
Tahun 1999. Ada yang menganggap Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 terlalu
luas memberikan kewenangan kepada daerah, sehingga dengan keleluasaan
(“discretionary power”) yang diberikan kepada Daerah, dikhawatirkan akan
menimbulkan perpecahan (“disintegrasi”) karena terkotak - kotaknya antara daerah
yang satu dengan daerah yang lain, dan tidak terkendalinya oleh pemerintah pusat,
yang akhirnya daerah yang merasa sangat kuat akan tidak peduli terhadap daerah
lainnya, sehingga timbul kesenjangan antar daerah dan laju pertumbuhan antar
daerah, yang pada gilirannya akan mengakibatkan lemahnya persatuan dan kesatuan
bangsa. Bahkan ada yang beranggapan bahwa dengan otonomi daerah ini,
dikhawatirkan akan memindahkan birokrasi pusat ke daerah dengan segala ekses
-eksenya seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) akan merajalela di daerah,
arogansi kekuasaan, egoisme kedaerahan yang sempit, timbulnya raja - raja kecil di
daerah dlsb.
Namun sebaliknya, ada pula yang beranggapan bahwa Undang - Undang ini
masih jauh dari harapan, dan masih berbau “status quo”, pemerintah yang menamakan
dirinya sebagai “pemerintah orde reformasi” nyatanya tidak reformis dan dalam
memberikan otonomi kepada daerah, masih setengah hati. Apalagi Undang – Undang

22
Nomor 25 Tahun 1999 dengan segala peraturan pelaksanaannya, dianggapnya masih
terlalu berorientasi ke pusat, adanya arogansi pusat dengan pencerminan pembagian
sumber - sumber keuangan yang tidak proportional, tidak adil dan sangat berat ke
pusat.
Dalam pada itu, sebagian masyarakat beranggapan bahwa Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 mampu menjawab
tuntutan demokrasi, desentralisasi dan otonomi yang kini semakin nyaring terdengar,
sementara sebagian lainnya justru menganggap kedua UU tersebut sebagai sumber
malapetaka bagi beberapa daerah tertentu dan bahkan bagi Indonesia.23 Maraknya
korupsi di daerah, baik yang dilakukan oleh para pejabat Eksekutif, maupun para
anggota badan Legislatif (DPRD) membuktikan kebenaran anggapan masyarakat
tersebut.
Ditinjau dari perspektif Daerah, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
menurut Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25
Tahun 1999 adalah merupakan angin segar dan sangat menguntungkan daerah, karena
sebagian besar kewenangan dan sumber keuangan telah diserahkan kepada daerah,
terutama Daerah Kabupaten/Kota, sehingga daerah bisa mengatur dan mengurus
kepentingan masyrakat setempat. Inilah sesungguhnya yang didambakan oleh daerah
sejak lama. Namun, ditinjau dari perspektif nasional, pemerintah pusat yang telah
memberikan kewenangan yang luas kepada daerah sebagaimnana ditetapkan dalam
Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 11 Undang – Undang Nomorr 22 Tahun 1999, justru merasa
sangat risau dan khawatir terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
karena sisa kewenangannya sangat dibatasi. Demikian pula, otonomi daerah yang
diberikan kepada daerah Propinsi sangat terbatas yang hanya meliputi kewenangan
yang bersifat lintas kabupaten/ kota sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan PP 25/2000. Inilah pula antara lain salah satu
pertimbangan mengapa Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah yang baru berumur kurang dari 5 (lima) tahun telah diganti
dengan Undang – Undang yang baru, yaitu Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004,
dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara
pusat dan daerah telah diganti dengan Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004.
Konsep hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi
penting untuk dikaji, karena ia merupakan salah satu komponen utama dari fondasi
yang menopang keberadaan “bangunan” desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan
kata lain, karakteristik desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan dalam
suatu negara, antara lain, sangat ditentukan oleh format pengaturan distribusi
kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Kategorisasi, seperti – desentralisasi
politik, desentralisasi administrasi, otonomi luas, otonomi terbatas, dan otonomi
khusus – semuanya sangat ditentukan oleh seberapa jauh kekuasaan dan wewenang

23
Pande Radja Silalahi, “Implikasi Kebijakan Ekonomi Pemerintah Pusat dan Pembangunan Ekonomi di
Daerah”, dalam Jurnal CSIS, Tahun XXXIX/2000, No.1, hlm.87.

23
yang dimiliki oleh pemerintah daerah.24 Oleh karena itu, ditinjau dari tataran teoritis,
karakteristik hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah telah
didudukkan sebagai variabel penting yang membedakan dua konsep antara perspektif
“desentralisasi politik” (“political decentralization perspective”) dan perspectif
“desentralisasi administrative” (“administrative decentralization perspective”)25
Salah satu hal yang amat penting dan mungkin terlupakan adalah bahwa
urusan/kewenangan yang sudah dimiliki oleh Daerah otonom sejak pembentukannya
dengan Undang - Undang yang secara materiil sudah diserahkan kepada Daerah ybs,
yang menurut Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 (Pasal 7, 8, dan 11 serta
penjelasannya) harus ada “pengakuan” (“erkennen”) dari Pemerintah sampai sekarang
belum dijalankan secara tuntas sampai dicabutnya Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1999 oleh Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004.

4. TINJAUAN TEORITIS: PANDANGAN TENTANG


DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH.

Konsep desentralisasi sering dibahas dalam konteks pembahasan mengenai


sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pada masa sekarang, hampir
setiap negara bangsa (nation state) menganut desentralisasi sebagai suatu asas dalam
sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Walaupun demikian, desentralisasi
bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri, melainkan merupakan rangkaian
kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar.
Suatu negara bangsa menganut desentralisasi bukan pula merupakan alternatif
dari sentralisasi, karena antara desentralisasi dan sentralisasi tidak dilawankan dan
karenanya tidak bersifat dikotomis, melainkan merupakan sub - sub sistem dalam
kerangka sistem organisasi negara. Karenanya suatu negara bangsa merupakan genus
dari species desentralisasi dan sentralisasi. Akan tetapi, pengertian desentralisasi
tersebut sering dikacaukan (interchangeably) dengan istilah - istilah lainnya, seperti
decenralization, devolution, deconcentration, desentralisasi politik (political
decentralization), desentralisasi administratif (adminisrative decentralization),
desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie), desentralisasi jabatan
(ambtelijke decentralisatie), desentralisasi fungsional, otonomi dan medebewind, dan
sebagainya. Berbagai definisi tentang desentralisasi dan otonomi telah banyak
dikemukakan oleh para penulis yang sudah barang tentu pada umumnya didasarkan
pada sudut pandang yang berbeda.
Walaupun begitu, beberapa batasan perlu diajukan sebagai bahan
perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian yang mendasar
tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai manifestasi dari politik desentralisasi.
24
Syarif Hidayat, “Evaluasi UU No.22 Tahun 1999: Tinjauan Kritis atas Konsep Hubungan Kekuasaan
Pusat – Daerah”, dalam “Evaluasi Implementasi Otonomi Daerah”, Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), 2002, hlm.11
25
Ibid., hlm.11.

24
Salah satu batasan tentang desentralisasi yang sering dibahas adalah:
“decentralization refers to the transfer of authority away from the national capital
whether by deconcentration (i.e. delegation) to field offices or by devolution to
local authorities or local bodies”26
Batasan ini dimaksudkan untuk menjelaskan proses penyerahan wewenang dari
pusat kepada organ di daerah melalui dua cara, yaitu melalui deconcentration atau
devolution. Kalau deconcentration melalui delegasi kekuasaan kepada pejabat -
pejabatnya di daerah, sedangkan devolution kepada badan - badan politik di daerah
yang disebut pemerintah daerah. Disini, tidak dijelaskan isi dan keluasan kewenangan
tersebut serta konsekuensi-konsekuensi apa penyerahan itu bagi organ - organ di
daerah, karena itu adalah kompetensinya politik desentralisasi. Batasan itu lebih
memfokuskan kepada bentuk - bentuk atau macam - macam decentralization. There
are two principal forms of decentralization of governmental powers and functions
are deconcentration to area offices of administration and devolution to state and
local authorities.27 Yang dimaksud dengan area offices of administration adalah suatu
perangkat wilayah yang berada di luar kantor pusat. Kepada pejabatnya oleh
departemen pusat dilimpahkan wewenang dan tanggung jawab bidang tertentu yang
bertindak sebagai perwakilan departemen pusat untuk melaksanakan fungsi bidang
tertentu yang bersifat administratif tanpa menerima penyerahan penuh kekuasaan
(final authority). Pertanggungjawaban akhir tetap berada pada departemen pusat
(the arrangement is administrative in nature and implies no transfer of final
authority from the ministry, whose responsibility continues).28Jadi, hal ini berbeda
dengan devolution, dimana sebagian kekuasaan yang diserahkan kepada badan politik
di daerah itu merupakan kekuasaan penuh untuk mengambil keputusan, baik secara
politik maupun administrasi. Sifatnya adalah penyerahan nyata berupa fungsi dan
kekuasaan, bukan hanya sekedar pelimpahan. Dengan demikian bentuk devolution
merupakan type of arrangement having a political as well as an administrative
character.29
Dalam kenyatannya memang ada dua bentuk decentralization, yaitu yang
bersifat administatif (administative decentralization) dan yang bersifat politik
(political decentralization). Desentralisasi administratif adalah suatu delegasi
wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat lokal. Para
pejabat tersebut bekerja dalam batas - batas rencana dan sumber pembiayaan yang
sudah ditentukan, namun juga memiliki keleluasaan, kewenangan dan tanggung jawab
tertentu dalam mengembangkan kebijaksanaan pemberian jasa dan pelayanan di
26
United Nations, Technical Assistant Progame, Decentralization for National and Local Development,
Departement of Economic and Social Affair, Division for Public Administration, New York: United
Nations, 1962, hlm.3.
27
United Nations, Handbook of Public Administration, Current Concept and Pracice with Special
Reference to Developing Countries, Department of Economics and Social Affair, New York: UN, 1961,
hlm.64.
28
Ibid., hlm.64.
29
Ibid.

25
tingkat lokal. Kewenangan itu bervariasi, mulai dari penetapan peraturan-peraturan
yang sifatnya pro - forma sampai kepada keputusan - keputusan yang lebih
substansial. Sedangkan desentralisasi politik, yaitu wewenang pembuatan keputusan
dan kontrol tertentu terhadap sumber - sumber daya yang diberikan kepada badan -
badan pemerintah regional dan lokal.30
Pengertian ini lebih menekankan kepada dampak atau konsekuensi penyerahan
wewenang untuk mengambil keputusan dan kontrol oleh badan - badan otonom daerah
yang menuju kepada pemberdayaan (empowerment) kapasitas lokal. Yang perlu
menjadi perhatian disini adalah, bahwa desentralisasi, baik secara politik maupun
administrasi merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kapasitas lokal,
dimana kekuasaan dan pengaruh cendurung bertumpu pada sumber daya. Jika suatu
badan lokal diserahi tanggung jawab dan sumber daya, kemampuan untuk
mengembangkan otoritasnya akan meningkat. Sebaliknya, jika pemerintah lokal
semata - mata hanya ditugaskan untuk mengikuti kebijakan nasional, maka para
pemuka dan warga masyarakat akan mempunyai investasi kecil saja di dalamnya. 31
Akan tetapi, jika suatu unit lokal diberi kesempatan untuk meningkatkan
kekuasaannya, kekuasaan pada tingkat nasional tidak dengan sendirinya akan
menyusut. Pemerintah Pusat malah mungkin memperoleh respek dan kepercayaan
karena menyerahkan proyek dan sumber daya kepada unit lokal, dan dengan demikian
akan meningkatkan pengaruh serta legitimasinya.32
Dengan demikian, Konsep desentralisasi yang menekankan kepada salah satu
cara untuk memberdayakan kapasitas lokal, dapat didjadikan titik tolak pemikiran
dalam rangka mengembangkan penyelenggaraaan otonomi daerah di Indonesia,
terutama untuk mempengaruhi elit birokrasi dan pengambil keputusan di pusat yang
nampaknya belum sepenuh hati rela menyerahkan berbagai kewenangan dan sumber
daya kepada daerah, karena kekhawatiran timbulnya disintegrasi dalam pelaksanaan
otonomi daerah, yang sesungguhnya hal itu dikarenakan “konflik kepentingan” antara
individu-individu di Pusat dan Daerah. Kalau ada orang yang berpendapat bahwa
pemberian otonomi kepada daerah dapat menimbulkan disintegrasi dan karenanya
harus diwaspadai,33 saya justru berpendapat sebaliknya, bahwa hak - hak dan
kewenangan otonomi daerah yang ditahan - tahan, jutru akan menimbulkan
“disintegrasi”, resistensi dan pembangkangan daerah terhadap pusat, bahkan
kebanyakan orang sekarang mempersoalkan kapan dan bagaimana peletakkan otonomi

30
Bryant, Carolie dan Louise G., White, Managing Development in the Third World, terjemahan Rusyant
“Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang”, Jakarta: LP3ES, 1987, hlm. 213-214.
31
Ibid., hlm.215.
32
Ibid., hlm.215-216.
33
Midjaja, Subarda, “Pidato Pengarahan pada Pembukaan Sespanas-Seskoad, Bandung, 20 Januari 1992,
dalam Ateng Syafrudin, Pendayagunaan Otonomi Daerah yang Bertitik Berat pada Daerah Tingkat II
dan Implikasinya pada Manajemen Pembangunan, Makalah disajikan dalam diskusi terbatas, 5-6
September 1992, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan, Bandung:
Unpad, hlm.1.

26
pada daerah tingkat lokal itu akan dilaksanakan, bukan mepersoalkan kekhawatiran
disintegrasi.34
Sejalan dengan pendapat Bryant, Rondinelli (1988) lebih luas memaparkan
konsep decentralization dengan memberikan batasan sebagai berfikut:
“the transfer of planning, decision making, or administrative authority from
the central government to its field organizations, local adminisrative units,
semi-autonomous and parastatal organizations, local government, or non
-governmental organizations.”
Dengan batasan ini, Rondinelli membedakan 4 (empat) bentuk decentralization,
yaitu: deconcentration; delegation to semi - autonomous and parastatal agencies;
devolution to local government; and non - governmental institutions. Dengan demikian,
keempat bentuk decentralization ini merupakan species dari genus decentralization.
Menurutnya, decentralization dalam bentuk deconcentration, sebagai bentuk
pertama, pada hakekatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung
jawab administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat di lapangan.
Pendapat ini tidak berbeda dengan pendapat Bryant. Selanjutnya dikatakan bahwa
kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan lebih banyak berupa shifting of
workload from a central government ministry or agency headquarters to its own
field staff located in offices outside of the national capital without transferring to
them the authority to make decisions or to exercise discretion in carrying them
out.35 Oleh karena itu, kalau suatu sistem pemerintah daerah yang kebijakannya lebih
mengutamakan deconcentration daripada devolution, maka sudah bisa dibayangkan
tidak akan mendorong kepada pemberdayaan masyarakat lokal, karena dalam
deconcentration semua keputusan sudah ditetapkan, baik di pusat maupun di daerah
tanpa mengikutsertakan masyarakat lokal.
Bentuk yang kedua tidak akan saya bahas, saya akan lebih memfokuskan
kepada bentuk yang ketiga yang ada relevansinya atau setidaknya sebagai
perbandingan dengan kebijakan desentralisasi di Indonesia, meskipun harus tetap
disesuaikan dengan prinsip - prinsip pembagian kewenangan dan prinsip - prinsip
hubungan pusat – daerah dalam NKRI.
Bentuk ketiga dari decentralization yang lebih relevan dengan perkembangan
politik dan pemerintahan di Indonesia adalah devolution to local government.
Konsekuensi dari devolution ini, Pemerintah pusat membentuk unit - unit atau badan -
badan pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi
tertentu untuk dilaksanakan secara independen (mandiri).

34
Ateng Syafrudin, Ibid.
35
Rondinelli, Dennis A, and Cheema, G. Shabbir, “Implementing Decentralization Policies: An
Introduction, dalam Rondinelli, Dennis A, and Cheema, G. Shabbir, Decentralization and Development,
Policy Implementation in Developing Countries, California, SAGE Publications Inc., Beverly Hills, 1988,
hlm. 18-19.

27
Ada beberapa karakteristik bentuk devolution sebagai berikut:
Pertama, unit pemerintahan bersifat otonom, mandiri (independent) dan
secara tegas terpisah dari tingkat - tingkat pemerintahan. Pemerintah pusat tidak
melakukan pengawasan langsung terhadapnya;
Kedua, unit pemerintahaan tersebut diakui mempunyai batas - batas wilayah
yang jelas dan legal, dan mempunyai wewenang untuk melakukan tugas - tugas umum
pemerintahan;
Ketiga, unit pemerintahan daerah tersebut berstatus sebagai badan hukum
dan berwenang mengelola dan memanfaatkan sumber - sumber daya untuk mendukung
pelaksanaan tugas - tugas umum pemerintahan;
Keempat, unit pemerintahan daerah tersebut diakui oleh warganya sebagai
suatu lembaga yang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat guna memenuhi
kebutuhan mereka. Oleh karena itu, pemerintah daerah ini mempunyai pengaruh dan
kewibawaan terhadap warganya (credibility; vertrauwen);
Kelima, terdapat hubungan kesetaraan dan saling menguntungkan melalui
koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit - unit
organisasi lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.
Dengan memperhatikan ciri - ciri karakteristik tersebut, nampaknya ada
beberapa hal kemiripan kebijakan desentralisasi yang sedang dilancarkan di
Indonesia, terutama dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, namun dalam
beberapa hal masih terdapat perbedaan, misalnya kewenangan untuk mengelola dan
memanfaatkan sumber daya nasional, bagi daerah di Indonesia masih sangat
terbatas. Kalau kita bandingkan dengan sistem di Indonesia, ciri - ciri Kesatu dan
Ketiga, boleh dikatakan mirip dengan Indonesia, namun ciri yang Keempat adalah
justru menjadi “tantangan” bagi pemerintah daerah di Indonesia pada umumnya, oleh
karena kita masih melihat bahwa segala keinginan atau tuntutan masyarakat
seringkali tidak diajukan kepada pemerintah daerah setempat, melainkan langsung ke
Pusat karena kurangnya “keterpercayaan” terhadap pemerintah daerah setempat
yang dipandangnya tidak bakalan dapat menyelesaikan permasalahan di daerah.
Sedangkan ciri yang Kelima, justru kita tidak memiliki kesetaraan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, karena prinsip desentralisasi yang dianut dalam NKRI, bahwa
kedudukan pemerintah daerah adalah “tergantung” (dependent) dan karenanya
Pemerintah Daerah berada “dibawah” (subordinated) Pemerintah Pusat, sehingga
prinsip ini tidak sejalan dengan prinsip hubungan pusat – daerah dalam NKRI.
Konsep decentralization ini didasarkan kepada adanya perhatian yang semakin
besar untuk memberikan keleluasaan decentralization dalam kewenangan
perencanaan, pengambilan keputusan dan administrasi yang pada tahun 1970-an,
disebut sebagai the second wave of decentralization, dengan didorong oleh tiga hal
kekuatan sebagai berikut:
Pertama, melihat kenyataan hasil yang tidak memuaskan akibat perencanaan
pembangunan dan kontrol administrasi secara terpusat yang berjalan sekitar tahun
1950 dan 1960-an; Kedua, melihat perlunya dikembangkan cara - cara baru dalam

28
mengelola program dan proyek serta administrasi pembangunan yang meliputi strategi
pertumbuhan dan pemerataan yang dijalankan selama tahun 1970-an; Ketiga, melihat
kenyataan kehidupan masyarakat semakin kompleks, kegiatan pemerintahan semakin
meluas, sehingga semakin sulit untuk mencapai efisiensi dan efektifitas apabila semua
perencanaan dan kegiatan pembangunan dipusatkan pada pemerintah pusat.
Dari berbagai batasan dan pengertian yang dikemukakan diatas, ternyata
decentralization tidak berdiri sendiri, melainkan decentralization sebagai genus dan
mempunyai species yang bermacam - macam. Namun Mawhood (1987 : 9) dengan tegas
mengatakan bahwa decentralization adalah devolution of power from central to local
governments. Sementara deconcentration yang dalam hal ini oleh Mawhood telah
dipersamakan dengan administrative decentralization, didefinisikan sebagai the
ransfer of administrative responsibility from central to local government.36 Dengan
demikian, Mawhood tidak menjadikan decentralization sebagai genus dengan species
devolution dan deconcentration, melainkan memisahkan antara decentralization dan
deconcentration.
Kalau kita bandingkan dengan versi kontinental, pada prinsipnya sama
mendudukan decentralization sebagai genus dengan species yang bermacam-macam,
hanya dengan istilah yang berbeda. Menurut versi kontinental, desentralisasi
digolongkan menjadi dua, yaitu ambtelijke decentralisatie dan staatskundige
decentralisatie yang dibagi lagi menjadi territoriale decentralisatie dan functionele
decentralisatie. Yang dimaksud dengan ambtelijke decentralisatie, adalah pemberian
(pemasrahan) kekuasaan dari atas kebawah di dalam rangka kepegawaian, guna
kelancaran pekerjaan semata - mata. Sedangkan yang dimaksud dengan staatskundige
decentralisatie merupakan pemberian kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di
dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi pemerintahan negara, sehingga
dengan demikian, decentralisatie tsb mempunyai dua wajah, yaitu autonomie dan
medebewind atau zelfbestuur.37
Dalam hubungan ini, dapat dipahami bahwa pengertian decentralisatie sebagai
“staatskundige decentralisatie” (desentralisasi ketatanegaraan) merupakan
pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah - daerah untuk
mengurus rumah tangganya sendiri (daerah - daerah otonom). Desentralisasi ini
adalah sistem untuk mewujudkan asas demokrasi yang memberikan kesempatan
kepada rakyat untuk ikut serta dalam proses penyelenggaraan kekuasaan negara.
Menurut konsep ini, desentralisasi lazim dibagi dalam dua macam: Pertama,
dekonsentrasi (deconcentration) atau ambtelijke decentralisatie adalah pelimpahan
kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat lebih atas kepada bawahannya guna

36
Diana Conyers (1984), dalam Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessein, “Desentralisasi dan Otonomi
Daerah: Perspektif Teoritis dan Perbandingan”, dalam Paradigma Baru Otonomi Daerah, Pusat Penelitian
Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPPI), 2001, hlm.24.
37
Didiskusikan dalam Bagir Manan, “Hubungan antara Pusat dan Daerah berdasarkan Azas Desentralisasi
Menurut UUD 1945”, Disertasi Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Hukum pada Universitas
Padjadjaran, Bandung, 1990, hlm.19.

29
melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Dalam desentralisasi semacam ini
rakyat tidak diikut sertakan; Kedua, desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige
decentralisatie) atau juga disebut “desentralisasi politik” (politieke decentralisatie)
adalah pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en
bestuurende bevoegheid) kepada daerah - daerah otonom di dalam lingkungannya. Di
dalam desentralisasi politik atau ketatanegaraan ini, rakyat dengan mempergunakan
berbagai saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam pemerintahan.
Desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie) ini dibagi lagi menjadi
dua macam: a) desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie), yaitu
pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing -
masing (otonom); b) desentralisasi fungsional (functionele decentralisatie), yaitu
pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa
kepentingan tertentu. Di dalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar
kepentingan - kepentingan tertentu diselenggarakan oleh golongan - golongan yang
bersangkutan sendiri. Kewajiban pemerintah dalam hubungan ini hanyalah memberikan
pengesahan atas segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh golongan-golongan
kepentingan tersebut.38 Kedua pandangan ini membagi desentralisasi teritorial
(territoriale decentralisatie) menjadi dua macam, yaitu: otonomi (autonomie) dan
medebewind atau zelfbestuur. Otonomi berarti pengundangan sendiri
(zelfwetgeving). Akan tetapi, menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia,
otonomi itu selain berarti perundangan (wetgeving), juga berarti pemerintahan
(bestuur). Seperti dikatakan C.W. van der Pot bahwa autonomie betekent anders dan
het woord zou doen vermoeden-regeling en bestuur van eigen zaken, van het de
Grondwet noemt, eigen huishouding. Hal ini berbeda dengan pendapat J.J. Schrieke
yang mengatakan bahwa autonomie adalah eigen meesterschap, zelfstandigheid, dan
bukan onafhankelijkheid.39
Dengan diberikannya hak dan kekuasaan perundangan/ pengaturan dan
pemerintahan kepada badan - badan otonom, seperti propinsi, kotamadya dan
seterusnya, badan - badan tersebut dengan initiatifnya sendiri dapat mengurus
rumah tangganya dengan jalan mengadakan peraturan - peraturan daerah yang tidak
boleh bertentangan dengan Undang - Undang dasar atau perundang - undangan lainnya
yang tingkatnya lebih tinggi, dan dengan jalan menyelenggarakan kepentingan umum.40
Dengan demikian, adalah kurang tepat kalau dikatakan bahwa otonomi dan
medebewind (tugas pembantuan) sebagaimana ditegaskan dalam Undang - Undang
Nomor 32 Tahun 2004 adalah asas penyelenggaraan dalam pemerintahan daerah.
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan otonomi adalah asas
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah “misleading” dan dikhawatirkan akan
menyesatkan, baik ditinjau dari perspektif akademik, maupun dari tataran

38
Koesoemahatmadja, “Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia”, Bandung:
Binacipta, 1979, hlm.14.
39
Ibid., hlm.15.
40
Ibid., hlm.16.

30
operasional. Karena, otonomi adalah hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dengan perkataan lain, otonomi itu
merupakan manifestasi atau perwujudan kewenangan yang diberikan (“toekennen”)
oleh pemerintah pusat, sebagai konsekuensi dianutnya asas desentralisasi teritorial
(territoriale decentralisatie) sebagai suatu sistem dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Kalau dikatakan, bahwa otonomi itu bermakna kebebasan atau kemandirian
(zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid), maka di dalamnya
terkandung dua aspek utama, Pertama, pemberian tugas dan kewenangan untuk
menyelesaikan suatu urusan; Kedua, pemberian kepercayaan dan wewenang untuk
memikirkan dan menetapkan sendiri cara - cara penyelesaian tugas tersebut.41
Dengan demikian, otonomi dapat diartikan sebagai kesempatan untuk
menggunakan prakarsa sendiri atas segala macam nilai yang dikuasai untuk mengurus
kepentingan umum (penduduk). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu
merupakan wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.42
Kemudian mengenai medebewind atau zelfbestuur, diartikan sebagai
pemberian kemungkinan kepada pemerintah pusat/ pemerintah daerah yang
tingkatannya lebih atas untuk minta bantuan kepada pemerintah daerah/ pemerintah
daerah yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan
pemerintah pusat atau rumah tangga (daerah yang tingkatannya lebih atas) tersebut.
Istilah zelfbestuur adalah terjemahan dari selfgovernment yang di Inggris diartikan
sebagai segala kegiatan pemerintahan di tiap bagian dari Inggris yang dilakukan oleh
wakil - wakil dari yang diperintah. Di Belanda medebewind atau zelfbestuur diartikan
sebagai pembantu penyelenggaraan kepentingan - kepentingan dari pusat atau daerah
- daerah yang tingkatannya lebih atas oleh alat - alat perlengkapan daerah yang lebih
bawah. Dalam menjalankan tugas - tugas medebewind, urusan - urusan yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah masih tetap merupakan urusan pusat cq
daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah yang
dimintakan bantuan. Akan tetapi, bagaimana cara daerah otonom yang dimintakan
bantuan itu, dalam melakukan bantuannya itu diserahkan sepenuhnya kepada daerah
itu sendiri. Daerah otonom yang diminta bantuan itu tidak berada di bawah perintah
dari dan tidak pula dapat diminta pertanggungjawaban oleh pemerintah pusat/ daerah
yang lebih tinggi.43 Selanjutnya dikatakan, bahwa “Jika ternyata ada daerah yang
tidak menjalankan tugas bantuannya atau tidak begitu baik melakukan tugasnya,
sebagai sanksinya pemerintah pusat/ daerah yang minta bantuan hanya dapat
menghentikan perbuatan dari daerah yang dimintakan bantuan, untuk selanjutnya
dipertimbangkan tentang pelaksanaan kepentingan atasan termaksud dengan jalan

41
Logeman, “Het Staatsrecht der Zelfregelende Gemeenschappen” dalam Ateng Syafrudin, “Pasang
Surut Otonomi Daerah”, Bandung: Binacipta, 1983, hlm.23.
42
Ibid, hlm. 25
43
Koesoemahatmadja, op.cit., hlm.21.

31
lain, dengan tidak mengurangi hak pemerintah pusat/ daerah yang minta bantuan
untuk menuntut kerugian dari daerah yang melalaikan kewajibannya.” 44
Berbeda dengan konsep medebewind menurut versi Indonesia yang menurut
Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 disebut dengan tugas pembantuan, yaitu
suatu penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa untuk melaksanakan tugas
tertentu, disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya
manusia, dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskan. Jadi, antara yang menugaskan (pemerintah pusat) dan yang
ditugaskan ada hubungan sub - ordinasi, karena yang ditugaskan berkewajiban untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkannya. Pengertian tugas pembantuan versi
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 menurut pandangan saya adalah keliru,
karena kalau itu rumusannya berarti “dekonsentrasi” bukan tugas pembantuan,
karena dalam konsep itu pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia, semuanya disediakan oleh pemerintah pusat. Padahal, di dalam konsep tugas
pembantuan yang perlu disediakan oleh pemerintah pusat adalah hanya pembiayaan,
sedangkan peralatan dan personil justru merupakan kewajiban pemerintah daerah
dalam upaya membantu pelaksanaan tugas tertentu dari pemerintah pusat atau pem
erintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
Dengan menyimak berbagai batasan dan pengertian desentralisasi seperti
diuraikan diatas, saya dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar melihat karena
kecendurungan sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, maka
dilancarkan ide desentralisasi dengan berbagai corak dan bentuknya. Seperti
ditegaskan dalam tulisan Syarif Hidayat (2001 : 27-28) bahwa secara prinsipal, dapat
dikatakan bahwa lahirnya ide desentralisasi merupakan sebuah “anti - thesa” dari
sentralisasi.45 Padahal, seperti telah disinggung dimuka, bahwa desentralisasi bukan
merupakan sistem yang berdiri sendiri, melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari
suatu sistem yang lebih besar, yaitu negara bangsa (nation state). Dengan perkataan
lain, walaupun suatu negara bangsa menganut asas desentralisasi, namun tidak semua
urusan kewenangan diserahkan kepada daerah otonom, melainkan ada bagian - bagian
urusan tertentu yang tetap dikelola secara sentral (terpusat). Karenanya, menurut
pandangan saya suatu negara bangsa menganut desentralisasi bukan merupakan
alternatif dari sentralisasi, karena antara desentralisasi dan sentralisasi tidak
dilawankan dan karenanya tidak bersifat dikotomis, melainkan merupakan sub - sub
sistem dalam kerangka sistem organisasi negara.46 Karenanya pula, suatu negara
bangsa merupakan genusnya, sedangkan sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi
dan tugas pembantuan merupakan speciesnya. Masalahnya, bagaimana mencari
keseimbangan diantara species tersebut.

44
Ibid., hlm.21-22
45
Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessein, op.cit., hlm.27-28.
46
E. Koswara, “Otonomi Daerah, Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat”, Jakarta: Yayasan Pariba,
2001, hlm. 47.

32
Sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat upaya yang terus-menerus
mencari “titik - keseimbangan” yang tepat dalam meletakkan bobot desentralisasi dan
sentralisasi. Terjadi pergeseran antara “dua kutub nilai”, yaitu “nilai pembangunan
bangsa dan integritas nasional” disatu pihak yang menekankan pentingnya
“sentralisasi”, sehingga akan mewujudkan nilai dan bentuk “sentripetal”, dan dilain
pihak menekankan “nilai desentralisasi dan otonomi daerah” yang akan melahirkan nilai
dan bentuk “sentrifugal”, dan pergeseran kedua nilai ini terus - menerus menjadi
dilema. Respons juridis - formal terhadap dilemma ini bervariasi dari waktu ke waktu,
tergantung kepada konfigurasi - politik pada suatu waktu47.

5. EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG – UNDANG NOMOR 22


TAHUN 1999.
5.1. Pemikiran dasar terbentuknya Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1999.

Melihat perspektif Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, setidaknya ada


enam pemikiran dasar dalam pembentukan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999:
Pertama, sebagai upaya mewujudkan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraaan
otonomi daerah dalam rangka penetapan kebijakan desentralisasi dengan memberikan
keleluasaan kepada daerah untuk menjadikan “daerah otonom” yang mandiri dalam
naungan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia; Kedua, pemberian
keleluasaan yang pada hakekatnya diberikan kepada masyarakat daerah sebagai
kesatuan masyarakat hukum, dilaksanakan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi,
peranserta dan oto - aktivitas masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta
memperhatikan heteroginitas daerah dan perbedaan setempat; Ketiga,
memberdayakan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik sebagai
badan legislative daerah, maupun sebagai badan pengawas atas pelaksanaan kebijakan
daerah yang dijalankan oleh Kepala Daerah, serta penyalur aspirasi masyarakat
sebagai sarana pengembangan demokrasi, dalam rangka menjalankan prinsi - prinsip
partisipasi dan transparansi; Keempat, memantapkan hubungan antara Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah, terutama dalam perwujudan
akuntabilitas publik yang mendudukan Kepala Daerah bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dalam rangka membangun prinsip
keterpercayaan (akseptabilitas dan kredibilitas), serta meletakkan hubungan
kemitraan dan kesejajaran institutional antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dengan Kepala Daerah, dengan tujuan untuk menciptakan kerjasama yang erat antara

47
Moeljarto, T., “Politik Pembangunan, Sebuah Analisis, Konsep, Arah, dan Strategi”, Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana, 1987, hlm.

33
kedua institusi tersebut, menjaga dan memelihara stabilitas pemerintahan untuk
kepentingan dan kesejahteraan rakyat; Kelima, untuk mendudukan kembali posisi
“Desa” atau dengan nama lain, sebagai kesatuan masyarakat hukum terrendah, yang
memiliki hak asal - usul dan otonomi asli, yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia; Keenam, untuk mengantisipasi
perkembangan keadaan, baik di dalam negeri, maupun tantangan persaingan global,
yang mau tidak mau pengaruhnya akan sangat dirasakan oleh daerah - daerah.
Dari keenam pemikiran dasar tersebut secara signifikan dan potensial telah
tertampung dijalankannya prinsip - prinsip Good Governance.
Sejalan dengan dasar pemikiran tersebut diatas, Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1999 semangatnya mengandung prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan otonomi
daerah sebagai berikut:
1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman Daerah;
2) Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab;
3) Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi
yang terbatas;
4) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga
tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah, serta antar
-Daerah;
5) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah
Otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi
Wilayah Administrasi, sehingga asas dekonsentrasi dalam lingkungan Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota tidak dianut lagi.
6) Pada kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti
badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasaan industri,
kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan
perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya, berlaku ketentuan
Peraturan Daerah Otonom;
7) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislative daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah;
8) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah.
9) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah
kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa dengan
disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, dengan

34
kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.
Dari prinsip - prinsip dasar penyelenggaraan otonomi daerah tersebut di atas,
dapat disimpulkan bahwa ada “keinginan politik” (“political will”) yang kuat dari
Pemerintah Pusat untuk menggeser pendulum pembagian kekuasaan antara Pusat dan
Daerah yang semula sangat sentralistik dan bercorak “centripetal” menjadi
desentralistik yang bersifat “centrifugal”. Jadi, berbeda dengan Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1974 yang lebih cendurung menganut “The Structural Efficiency
Model”, Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini lebih condong menganut kepada
“The Local Democratic Model”, yang ditinjau dari segi tujuannya atau valuesnya,
model ini lebih menekankan kepada aspek - aspek demokrasi, perbedaan setempat
dan keanekaragaman daerah (“democratic, local differences and system diversity).
Walaupun kebijakan desentralisasi yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1999 ini telah melahirkan pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung
jawab, yang pada dasarnya untuk terwujudnya kemandirian daerah, (dalam pengertian
independent; self-determination; onafhankelijkheid; kemerdekaan atau ketidak
tergantungan), terutama bagi Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, namun posisi
kemandirian daerah otonom seperti itu tidak berarti bahwa Daerah-daerah itu akan
berkotak - kotak, terlepas dan bebas dari supervisi, pengendalian, pembinaan dan
pengawasan pemerintah pusat, melainkan keleluasaan otonomi yang diberikan kepada
Daerah ini, tetap merupakan sub - sistem dan sub - ordinasi dari Pemerintahan
nasional, dan karenanya harus terjamin bahwa pelaksanaan otonomi daerah itu tidak
keluar dari rambu - rambu dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu konstruksi untuk menjaga dan menjamin penyelenggaraan otonomi
daerah yang demikian itu, adalah dengan mendjadikan daerah Provinsi sekaligus
sebagai Wilayah Administrasi, dan dengan mendudukkan Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah Pusat yang berperan untuk menjaga keseimbangan dan memelihara
hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah dalam kerangka NKRI, memberikan
pengendalian, bimbingan dan fasilitasi kepada daerah kabupaten/ kota yang berada
dalam wilayah administrasi provinsi yang bersangkutan. Dalam pada itu, perlu
ditekankan bahwa dengan mendudukkan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah menurut
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, bukan berarti kembali kepada paradigma
lama seperti dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974 dimana Gubernur
berperan kuat sebagai “interventionist”.
Dalam hubungan ini, hendaknya dijaga benar - benar agar gerakan pergeseran
pendulum tersebut, baik dalam memahami pasal - pasal Undang - Undang Nomor 22
Tahun 1999 c.q Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, maupun dalam
implementasinya tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda - beda dan mengarah
kepada sikap dan tindakan yang akan membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.
Oleh karena itu, sikap emosional dan tuntutan yang berlebih - lebihan dan kurang
proporsional dari Daerah, demikian pula sikap dan perilaku birokrasi pusat yang
enggan untuk bergeser dari paradigma lama dalam memperlakukan pembagian

35
kewenangan pusat kepada daerah, sebaiknya sejauh mungkin dieliminir, sebab kalau
tidak, hal tersebut bukan saja akan mengaburkan makna persatuan dan kesatuan
bangsa, melainkan pula akan mengaburkan makna pemberian otonomi yang luas, nyata
dan bertanggungjawab, yang justru dimaksudkan untuk memperkuat integrasi,
persatuan dan kesatuan bangsa, pengembangan demokrasi, bahkan menurut
perspektif Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 diupayakan untuk mewujudkan peningkatan “daya saing
daerah”, yang pada akhirnya ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat,
pemerataan dan keadilan.
Ini prinsip transparansi yang harus dijaga benar dalam penyelenggaraaan
pemerintahan daerah, agar tidak menyimpang dari upaya mewujudkan Good
Governance.

5.2. Realisasi Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Realisasi Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak serta merta berjalan
mulus seperti yang diharapkan, melainkan terdapat benturan - benturan baik yuridis,
politik, maupun psikologis serta sosio - kultural yang menghambat jalannya
pelaksanaan otonomi daerah.
Pelaksanaan kebijakan desentralisasi berdasarkan Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1999 telah berlangsung sejak Januari 2001 dengan tahapan-tahapan yang
prosesnya sudah ditetapkan secara makro, yaitu: Pertama, Tahapan inisisasi yang
dilakukan selama tahun 2001; Kedua, Tahapan instalasi, yang diproyeksikan akan
berlangsung dalam tahun 2002-2003; ketiga, Tahapan konsolidasi, yang diproyeksikan
tahun 2004–2007, dan terakhir Keempat, Tahapan stabilisasi, dimana setelah tahun
2007 diharapkan lay-out atau bentangan daerah otonom secara lebih nyata dapat
dilihat di seluruh wilayah daerah otonom di Indonesia.
Amanat UU 22/1999 menyebutkan bahwa selama dua tahun diproyeksikan
persiapan segala peraturan perundangan organik Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1999, sehingga secara efektif pelaksanaan otonomi daerah menurut semangat Undang
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 akan dimulai pada Mei 2001. Namun,
mengingat kebijakan tentang tahun fiskal yang baru, yaitu mulai Januari sampai
Desember, maka pelaksanaan otonomi daerah secara formal menurut Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dimulai Januari 2001.
Dengan melihat hasil evaluasi seperti itu, walaupun secara teoritis pada
dasarnya implementasi otonomi daerah seharusnya sudah dapat berlangsung di

36
daerah, namun dalam praktiknya, masih timbul persoalan - persoalan yang mengemuka
di lapangan, antara lain:
(1) Menyangkut pengaturan prinsip-prinsip dasar dan distribusi
kewenangan diantara tingkat - tingkat pemerintahan, dimana Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tidak secara tegas mengatur kewenangan Propinsi dan
Kabupaten/ Kota, dan Departemen - departemen Sektoral.
(2) Ketentuan yang menyatakan tidak adanya hubungan hierarki48 antara
Propinsi dan Kabupaten/Kota, hampir selama k.l. 4 tahun berjalan dalam praktik
memunculkan hubungan yang kurang harmonis antara Gubernur dan
Bupati/Walikota di beberapa kasus tertentu. Kedudukan Gubernur sebagai
Wakil Pemerintah kurang berfungsi, karena ketidak tegasan meletakkan fungsi
dan kewenangan Gubernur dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, baik
dalam rangka dekonsentrasi, maupun selaku Wakil Pemerintah.
(3) Hubungan DPRD dengan Kepala Daerah yang sering menimbulkan
ketegangan, karena Laporan Pertanggungjawaban Akhir Tahun Angggaran hanya
dilihat semata - mata sebagai wahana untuk menjatuhkan Kepala Daerah, atau
sebagai ruang yang potensial untuk mengadakan kolusi antara DPRD dengan
Kepala Daerah, sesuai kehendaknya masing - masing.
(4) Demikian pula, dengan diletakannya otonomi daerah pada Daerah
Kabupaten/ Kota dan diberikan otonomi yang luas sebagaimana dinyatakan dalam
pasal 7 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, dapat ditafsirkan bahwa semua
kewenangan pemerintahan diluar yang dikecualikan, dipandang sepenuhnya
menjadi kewenangan daerah, tanpa melihat sifat dan coraknya serta ruang
lingkup urusan pemerintahan di Daerah.
(5) Belum sinkronnya peraturan perundang - undangan Sektoral yang belum
disesuaikan dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, menambah
rumitnya hubungan kewenangan antara pusat dan daerah. Inilah salah satu
alasan yang menjadi kritikan Remy Proud’homme (1998: 2)49 yang antara lain
menyatakan bahwa memberikan desentralisasi yang luas kepada daerah “ can
increase disparities”, disamping menyebutkan bahwa decentralization can
undermine efficiency, jeopardize stability and might be accompanied by more
corruption.
Persoalan tersebut muncul, disamping karena penafsiran terhadap pasal-pasal
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut diartikan secara “letterlijk” dan
dengan berbagai persepsi yang bermacam - macam, juga karena Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 1999 diluncurkan dan diberlakukan begitu saja, tanpa ada sosialisasi
48
Dalam UU yang baru (UU 32/2004) ketentuan mengenai “tidak adanya hubungan hierarkhis” sudah
dihapus.
49
Remy Prud’homme, “The Dangers of Decentralizartion”, 1998, dalam E. Koswara, “Teori Pemerintahan
Daerah, IIP Press, Jakarta, 2003, hlm. 202, 208, dan 218.

37
dan diseminasi terlebih dahulu, tanpa ada guide - lines dan rambu - rambu yang
mestinya jadi acuan bagi pelaksanaan UU tersebut, baik bagi perangkat pemerintah
daerah maupun bagi perangkat pemerintah pusat. Padahal Presiden menurut UUD
(Pasal 5, ayat 2) mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan PP tentang mulai
diberlakukannya suatu Undang - Undang, sebelum peraturan pelaksananaan
(peraturan organik) dikeluarkan, sehingga PP tersebut merupakan “umbrella” yang
memuat guide - lines sebagai acuan, baik dalam hal menafsirkan sesuatu pasal maupun
rambu - rambu bagi pelaksanaan secara operasional di lapangan. Sebab, banyak
penjelasan Pasal - pasal dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang tidak
jelas, meskipun dalam penjelasannya disebutkan “cukup jelas”.
(6) Isu lain yang menonjol adalah menyangkut kedudukan dan peran Gubernur, baik
sebagai Kepala Daerah Otonom Propinsi, maupun dan terutama dalam
kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah dalam kaitannya dengan pelaksanaan
asas dekonsentrasi tidak jelas dan tidak secara eksplisit menggambarkan
lingkup dekonsentrasi di Propinsi. Walaupun Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1999 menyatakan secara eksplisit bahwa Daerah Propinsi berkedudukan juga
sebagai Wilayah Administrasi, namun tidak jelas apakah dengan demikian
kedudukan Gubernur juga sebagai Kepala Wilayah, atau dalam kedudukan selaku
Wakil Pemerintah apakah Gubernur juga sebagai Kepala Wilayah? Dalam
penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Wilayah Administrasi adalah “daerah
administrasi” menurut Undang - Undang Dasar 1945. Di dalam UUD 1945,
penjelasan Pasal 18 (lama), bahwa Daerah - daerah itu bersifat autonom
(Streek en locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat administrative belaka.
Lazimnya “daerah administrasi” yang menganut “Split model” yang dikepalai
oleh seorang Kepala Wilayah.
(7) Demikian pula kewenangan dekonsentrasi bagi instansi vertikal tidak dengan
tegas dinyatakan bahwa instansi vertikal adalah perangkat Departemen
dan/atau Lembaga Pemerintah Non - Departemen (LPND) yang mempunyai tugas
dan kewenangan khusus (Sektoral/ Teknis; dekonsentrasi fungsional) di wilayah
dalam yurisdiksi tertentu sebagai “lingkungan kerjanya”, dan tidak hanya
berkoordinasi dengan Gubernur, melainkan kedudukannya berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada Gubernur selaku wakil pemerintah (dalam konteks
“Integrated Perfectoral System”).
Dalam kedudukan sebagai “Wakil Pemerintah” menurut Undang - Undang yang
baru, yaitu Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas dan wewenang Gubernur
lebih tegas, walaupun hanya terbatas kepada 3 (tiga) hal sebagai berikut:
(a) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kabupaten/ kota;
(b) Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan
kabupaten/ kota;

38
(c) Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas
pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/ kota.
Tugas - tugas “dekonsentrasi” sebagaimana termaksud dalam Pasal 63 Undang
– Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan PP 39 Tahun 2003 sama sekali tidak disinggung
lagi dalam Undang – Undang yang baru (Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004).
Menyangkut penyelenggaraan dekonsentrasi, menurut pasal 63 Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 pelaksanaannya dilakukan oleh dinas - dinas daerah
propinsi. Ketentuan itu tidak tepat dan menimbulkan masalah serta bertentangan
dengan konsep dekonsentrasi itu sendiri, sebab kalau kewenangan pemerintah pusat
dilaksanakan oleh perangkat daerah otonom adalah tugas pembantuan, dan bukan
dekonsentrasi. Dalam pada itu, dinas - dinas daerah propinsi berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Gubernur selaku Kepala Daerah Otonom Propinsi, yang
selanjutnya pelaksanaan tugas - tugas tersebut dipertanggungjawabkan kepada
DPRD, sedangkan tugas - tugas dekonsentrasi tidak dipertanggungjawabkan kepada
DPRD, melainkan dipertanggung - jawabkan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
kepada Presiden, sehingga akan timbul tumpang - tindih pertanggungjawaban kepada
Presiden dan DPRD. Dalam hubungan dengan penyelenggaraan dekonsentrasi,
meskipun PP 39/2001 tentang penyelenggaraan dekonsentrasi merupakan tindak
lanjut dan peraturan organik dari Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, terutama
Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 12, namun disana - sini masih menimbulkan
kerancuan untuk dapat secara otomatis dijalankan oleh Gubernur selaku Wakil
Pemerintah, terutama menyangkut “Tata Cara Pelimpahan Wewenang dan
Penyelenggaraan Kewenangan”, misalnya saja disebutkan bahwa pelimpahan sebagian
kewenangan kepada Gubernur “mesti ditetapkan dengan Keputusan Presiden”, yang
semestinya melekat pada Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999. Mudah - mudahan
peraturan pelaksanaan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 nanti, akan
mengadakan penyesuaian terhadap kelemah - kelamahan yang terdapat dalam Undang
– Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Demikian pula, ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1999 yang menyatakan bahwa daerah-daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota masing-
masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkhi satu sama lain, yang
ternyata membawa dampak politis - psikologis yang tidak menguntungkan menyangkut
hubungan antara Gubernur dan Bupati/ Walikota, dalam Undang – Undang Nomor 32
Tahun 2004 tidak tercantum lagi, sehinga penyelenggaraan manajemen pemerintahan
di daerah akan lebih efektif dan efisien, yang pada gilirannya fungsi dan peranan
Gubernur yang diharapkan akan menjadi koordinator, penyeimbang, penyelaras, dan
pemersatu bangsa, benar - benar secara operasional dapat diselenggarakan secara
baik.
Sebagai Wakil Pemerintah di Daerah dalam konteks “Integrated Prefectoral
System”, Gubernur memang seharusnya mempunyai kewenangan untuk
mengkoordinasikan, mengawasi, melakukan supervisi dan memfasilitasi, agar Daerah
mampu menjalankan otonominya secara optimal. Sebab, dengan tidak adanya

39
ketegasan pengaturan mengenai tugas dan kewenangan Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah, terutama dalam menjalankan “Tutelage Power”, yaitu menjalankan
kewenangan Pusat untuk menjaga dan memelihara agar kebijakan dan jalannya
penyelenggaraan pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota tidak menyimpang dan tidak
bertentangan dengan kepentingan umum, kepentingan nasional ataupun peraturan
perundang - undangan yang lebih tinggi, maka dikhawatirkan akan menimbulkan
permasalahan yang kompleks dalam kaitan dengan mensinergikan kepentingan antar
tingkat pemerintahan sebagai suatu kesatuan sistem dalam Negara Kesatuan RI, yang
pada gilirannya bukan saja akan mengganggu penyelenggaraan prinsip - prinsip
manajemen pemerintahan yang efektif, melainkan juga akan merapuhkan persatuan
dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5.3. Beberapa pertimbangan perlunya perubahan Undang – Undang Nomor


22 Tahun 1999.

Dengan melihat hasil evaluasi terhadap Undang – Undang Nomor 22 Tahun


1999 dan pelaksanaannya telah mendorong perlunya penyempurnaan Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 1999, baik ditinjau dari perspektif Konsep, Instrumen, maupun
Inplementasi.
Adapun beberapa pertimbangan yang melatar - belakangi mengapa Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 perlu dirubah atau diganti, terutama menyangkut
perundang - undangan normatif, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Dari perspektif perundang-undangan.

(1) UUD 1945 telah diamandemen, terutama pasal-pasal yang terkait langsung dengan
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yaitu: Pasal - pasal 1, 5, 18, 18A, 18B,
20, 21, 22D, 23E ayat 24 ayat (1), 31 ayat (1), 33 dan 34.
(2). Beberapa Ketetapan MPR yang berkaitan dengan pemerintahan daerah, yaitu: (1)
Ketetapan MPR No. XV?MPR/1988; (2) Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999; (3)
Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000; (4) Ketetapan MPR No. VI/MPR?2002; (5)
Ketetapan MPR No. I/MPR/2003; (6) Keputusan MPR No. 5/MPR/2003.
(3) Perlunya penyerasian dan penyelarasan dengan Undang - undang lainnya, yang erat
kaitannya dengan penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah, diantaranya: (1)
Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (2) Undang – Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara; (3) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD; (4) Undang – Undang Nomor 23
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; (5) Undang –
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; (6) Undang – Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan; (7)

40
Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggungjawab Keuangan Negara; (8) Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

b. Dari perspektif Konsep.

Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberi kuasa kepada Pemerintah
untuk mengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi, namun tanpa diberikan rambu
- rambu yang jelas, sehingga menimbulkan peluang munculnya kebijakan yang tidak
mendorong otonomi daerah. Penyusunan pengaturan perundang - undnagan sebagai
tindak lanjut penyesuaian dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 belum
dapat dilakukan sepenuhnya, sehingga banyak daerah mengambil prakarsa sendiri
dalam membuat peraturan daerah dengan wewenang yang diberikan TAP MPR No.
IV/2000. Dalam pada itu, belum sinkronnya berbagai peraturan perundang -
undangan, baik yang diterbitkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah,
sehingga sering menimbulkan penafsiran yang berbeda.

c. Dari perspektif Instrumen.

 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberi kuasa kepada


pemerintah untuk mengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi tanpa diberikan
rambu - rambu, sehingga menimbulkan peluang munculnya kebijakan yang tidak
mendorong terselenggaranya otonomi daerah secara transparan atau terdapat
peraturan organik yang menyimpang dari esensi UU pokoknya;
• Penyusunan peraturan perundang - undangan sebagai tindak lanjut
penyesuaian dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 belum dapat
dilakukan sepenuhnya, sehingga daerah berprakarsa membuat pengaturan sendiri
dengan wewenang yang diberikan Tap MPR IV/2000;
• Belum harmonisnya berbagai peraturan perundang - undangan, baik
yang diterbitkan pemerintah maupun daerah, sehingga sering menimbulkan konflik
dan penafsiran yang berbeda.

d. Dari perspektif Implementasi.

Dalam pengelolaan kewenangan sering memunculkan friksi, ovelapping,


redundent dan conflict of interest antar tingkat pemerintahan, sehingga cendurung
mengurangi dan mengganggu pelayanan umum. Karena pemberian otonomi yang luas
yang tidak terkendali, pembentukan lembaga pemerintahan daerah sering kurang
memperhatikan atau kurang berorientasi kepada peningkatan pelayanan masyarakat,
sehingga terjadi pembengkakan struktur yang tidak effisien. Sistem pengelolaan
kepegawaian yang didasarkan kepada separated system menimbulkan ekses - ekses

41
ethnosentrisme dan terbatasnya mobilitas pegawai dalam pengembangan karier;
penetapan APBD lebih banyak berorientasi kepada menutup untuk keperluan aparat
daerah dan DPRD daripada untuk keperluan pelayanan publik.
Dalam pada itu, hubungan kemitra - sejajaran antara DPRD dan Kepala Daerah,
secara operasional kurang berjalan dengan baik, karena dalam prakteknya DPRD
sering mendominasi Kepala Daerah, misalnya dalam Laporan Pertanggungjawaban
Kepala Daerah kepada DPRD sering dipergunakan sebagai ajang politik untuk
menjatuhkan Kepala Daerah dan bukan untuk menilai performance Kepala Daerah
menurut ukuran Renstra, atau bahkan sering dijadikan ajang “politik uang” dalam
penerimaan atau penolakan LPJ tersebut. Kerjasama antara DPRD dan Kepala Daerah
yang mestinya diarahkan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, dalam praktek
sering dijadikan sebagai praktek “kolusi” atau pertentangan kepentingan yang
berlarut - larut yang sudah barang tentu akan menimbulkan “ketidak stabilan” dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang pada gilirannya membawa dampak
penurunan terhadap pelayanan masyarakat.
Timbulnya kebijakan sektoral di daerah yang tidak sejalan dengan semangat
otonomi daerah, akibat belum memadainya pedoman yang diperlukan dan adanya
berbagai perundang - undangan sektoral yang belum disesuaikan, sebagai tindak
lanjut Pasal 112 dan 133 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah juga yang
mendorong perlunya penyempurnaan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.

e. Pengaruh Lingkungan strategis.

Disamping itu, yang menjadi pertimbangan lainnya adalah pengaruh lingkungan


strategis, seperti globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas menuntut efisiensi dan
daya saing masyarakat, bangsa dan negara yang lebih tinggi, sehingga memerlukan
arahan yang jelas sebagai kebijakan pemerintah yang perlu dituangkan dalam undang -
undang. Demikian pula, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat
pesat merupakan tantangan untuk menyesuaikan sistem dan prosedur manajemen
pemerintahan daerah, misalnya peletakan dasar sistem informasi manajemen dalam
segala bidang.

f. Demokratisasi dan Hak Asasi Manusia.

Pertimbangan lain, bahwa perkembangan tuntutan demokratisasi dan Hak


Azasi Manusia (HAM) yang semakin menonjol dalam berbagai aspek kehidupan,
memerlukan landasan peran serta dan mekanisme penyaluran aspirasi masyarakat,
serta perlunya kepastian hukum terhadap persamaan kedudukan seluruh warga
negara.

5.4. Paradigma baru pembagian urusan pemerintahan

42
5.4.1.Peletakkan Otonomi Daerah dan pembagian urusan yang bersifat
Concurrent.

Mengenai strategi hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah, kalau Undang
– Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan tegas menyatakan bahwa letak otonomi
adalah pada Daerah Kabupaten/Kota dalam memfungsikan pelayanan kepada
masyarakat, dimana dalam strata pemerintahan daerah, kabupaten/ kota merupakan
pemerintahan daerah yang paling dekat kepada masyarakat, sedangkan dalam Undang
– Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak dengan tegas menyatakan tentang letak atau
titik - berat otonomi itu diletakkan, sebab baik Daerah Provinsi maupun Daerah
Kabupaten/ Kota mempunyai kedudukan yang sama sebagai Daerah Otonom.
Kenapa letak otonomi tidak dinyatakan dengan tegas, karena paradigma yang
dianutnya adalah konsep “pembagian urusan pemerintahan” yang bersifat
“concurrent”, baik yang menyangkut “urusan wajib” maupun “urusan pilihan”.
Pembagian urusan yang bersifat “Concurrent”, artinya urusan pemerintahan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama
disemua tingkat pemerintahan, dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.
Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada
bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, ada bagian urusan yang
diserahkan kepada provinsi, dan ada pula bagian urusan yang diserahkan kepada
kabupaten/ kota.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang bersifat concurrent
tersebut secara proporsional antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi,
daerah kabupaten/ kota, didasarkan kepada 4 (empat) kriteria yang meliputi:

Pertama: Eksternalitas, yaitu suatu pendekatan dalam pembagian urusan


pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/ akibat yang ditimbulkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan
itu bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan
kabupaten/ kota, apabila dampaknya regional menjadi kewenangan provinsi, dan
apabila nasional menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Kedua: Akuntabilitas, adalah suatu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan pertimbangan bahwa tiangkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian
urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/ dekat dari urusan yang
ditangani tersebut. Dengan demikian, maka akuntabilitas penyelenggaraan bagian
urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
Ketiga: Efisiensi, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
mempertimbangkan tersedianya sumber daya, baik personil, maupun sarana, untuk
mendapatkan ketepatan, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam
penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut. Artinya, apabila suatu bagian

43
urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna
dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/ atau Daerah Kabupaten/ Kota dibandingkan
apabila ditangani oleh pemerintah pusat, maka bagian urusan tersebut diserahkan
kepada daerah Provinsi dan/ atau Kabupaten/ Kota. Sebaliknya, apabila suatu bagian
urusan tertentu akan lebih berdayaguna dan berhasilguna bila ditangani oleh
pemerintah pusat, maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh pemerintah
pusat.
Keempat, Keserasian hubungan, adalah bahwa pengelolaan bagian urusan
pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat
saling berhubungaan (interconnection), saling tergantung (inter - dependent), dan
saling mendukung secara sinergis sebagai satu kesatuan sistem yang menyeluruh.
Sadar atau tidak, perumus Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 cendurung
menggunakan teori atau ajaran dari negeri Belanda yang sering disebut “de drie
kringenleer” , yaitu ajaran tentang pembagian urusan kewenangan dalam 3
lingkungan kekuasaan, yaitu antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah
kabupaten/ kota mempunyai kewenangan urusan yang sama, hanya sifat dan gradasi
yang berbeda yang ditentukan oleh 4 (empat) kriteria tersebut diatas. Dalam kaitan
dengan ajaran “ de drie kringenleer” ini, pada masa Undang – Undang Nomor 5 Tahun
1974 kita menggunakan ajaran ‘Rumah Tangga Materiil” (Materiele
Huishoudingsleer), yaitu suatu sistem dalam penyerahan kewenangan dalam rangka
otonomi daerah, dimana antara pemerintah pusat dan daerah terdapat pembagian
tugas yang diperinci secara tegas, baik di dalam undang - undang pembentukannya,
maupun pada penyerahan - penyerahan selanjutnya. Dalam ajaran ini ada yang disebut
“taak verdeling” antara pusat dan daerah. Kewenangan setiap daerah meliputi tugas -
tugas yang ditentukan satu per satu secara nominatif. Jadi apa yang tidak tercantum
dalam rincian itu, tidak termasuk kepada urusan rumah tangga daerah, dengan
perkataan lain daerah yang berszangkutan tidak mempunyai kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kegiatan di luar yang sudah diperinci atau yang secara a
priori telah ditetapkan.50
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 memperinci secara tegas “urusan wajib”
yang menjadi kewenangan daerah, disamping adanya kewenangan “pilihan” (option)
yang didasarkan kepada konsep concurrent tadi.
Sebenarnya, di Negeri Belanda sendiri teori ini sudah tidak dipakai lagi,
karena mengandung beberapa kelemahan, antara lain sering terjadi duplikasi,
kecendurungan terjadi sharing ratio dalam pembagian kewenangan yang sering
membias keatas, sehingga terjadi model piramid terbalik. Disamping itu, kejumbuhan
(overlapping) sulit untuk dihindarkan, demikian pula kevaccuman pemerintahan sering
terjadi karena ada kecendurungan masing - masing lingkungan kekuasaan bersikap dan
bertindak jurisdiksi - positive dan jurisdiksi - negatif51, dan kurang memberikan
50
E. Koswara, op.cit., hlm 73-74
51
Sikap dan tindakan Jurisdiksi-positif dan/atau Jurisdiksi-negatif, akan sangat dipengaruhi oleh
potensi sumber daya dari sebagian urusan yang akan diserahkan itu.

44
keleluasaan (descretion) kepada daerah untuk berinisiatif dan berinovasi. Dalam
prakteknya konsep ini sulit dioperasionalkan, karena faktor pendidikan dan
rasionalitas SDM aparatur pemerintah daerah di Indonesia yang relatif masih
rendah, kecuali kalau ditetapkan secara pasti (clear cut) mana soal - soal yang masuk
lingkungan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota.
Dengan demikian, ajaran ini tidak mendorong daerah untuk berprakarsa dan
mengembangkan potensi wilayahnya diluar urusan yang tercantum dalam undang -
undang pembentukannya. Kalau dibandingkan dengan negeri Belanda dan Inggris atau
di negara - negara maju lainnya akan sangat berbeda, dimana teori ini dapat
digunakan secara efektif, karena pada umumnya mereka sudah established, baik
aparatur maupun masyarakatnya tergolong kepada kaum menengah, baik dari segi
pendidikan maupun dari strata sosialnya.
Walaupun pengembangan paradigma baru yang dituangkan ke dalam Undang -
Undang Nomor 32 Tahun 2004 berasal dari ide Ketetapan MPR - RI Nomor IV/MPR-
RI/2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah,
namun Ketetapan MPR itu sendiri perlu dikaji, baik secara akademik, politik, juridis,
maupun operasional.
Tap MPR di atas dapat dikatakan sebagai upaya politik untuk menggeser
pendulum pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah pada “titik keseimbangan”
(equilibrium), terutama keseimbangan antara kekuasaan Pemerintah Pusat dengan
kekuasaan Pemerintah Daerah disemua tingkat pemerintahan.
Namun, perlu adanya klarifikasi terhadap TAP MPR tersebut, terutama
mengenai apa yang dimaksud dengan pemberian otonomi bertingkat dan penyesuaian
terhadap Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen kedua. Kalau yang dimaksud dengan
pemberian otonomi bertingkat terhadap Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota sama
dengan system penyerahan kewenangan otonomi proporsional bertingkat berarti
kembali kepada paradigma lama sebagaimana dianut dalam Undang - Undang Nomor 5
Tahun 1974, sedangkan penyesuaian terhadap Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen
kedua, setidak - tidaknya terdapat tiga persoalan yang prinsip, yaitu: Pertama,
meskipun Pasal 18 UUD 1945 diperluas menjadi tiga Pasal, yaitu Pasal - pasal 18, 18A
dan 18B yang meliputi 11 (sebelas) ayat, namun tidak ada satu ayatpun yang secara
ekplisit mengatur tentang pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah, misalnya
Pasal 18 ayat (5) hanya menyatakan bahwa “Pemerintah Daerah menjalankan otonomi
seluas - luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang - undang ditentukan
sebagai urusan pemerintah pusat” . Penggunaan istilah “otonomi seluas - luasnya”
berarti kembali kepada paradigma Undang - Undang Nomor 18 Tahun 1965, dimana
istilah itu baik dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 maupun dalam Undang -
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak dipergunakan lagi, karena berdasarkan
pengalaman istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecendurungan pemikiran
yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan dan tidak serasi dengan
maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah. Demikian pula, Pasal 18A ayat
(1) hanya menyatakan bahwa “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan

45
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau antara provinsi dan
kabupaten dan kota, diatur dengan undang - undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah”. Kedua, Pasal 18 baru UUD 1945 tidak menganut
lagi asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan di daerah,
disamping asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan. Pasal 18 ayat (2) hanya
menyatakan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan”. Penekanan terhadap terminologi “asas otonomi” dikhawatirkan akan
menimbulkan “misleading” dalam penafsiran, karena tidak lazim dipakai, baik dalam
tataran konsep akademik, maupun dalam tataran operasional, karena otonomi bukan
asas melainkan “hak, wewenang dan kewajiban” untuk mengatur dan mengurus sendiri
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diserahkan oleh
pemerintah pusat kepada daerah. Ketiga, menyangkut Pembagian Daerah. Dalam
perubahan kedua UUD 1945 tidak lagi mengenal “Pembagian Daerah” seperti halnya
dalam Pasal 18 lama, karena dalam Pasal 18 baru, ayat (1) yang dibagi adalah “Negara
Kesatuan Republik Indonesia”, yang bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut,
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah - daerah provinsi, dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap - tiap provinsi,
kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang -
undang”.
Ada sementara anggapan orang bahwa Pasal 18 baru ayat (1) ini bernuansa
“Federasi”, karena secara eksplisit menyatakan “NKRI dibagi”, kecuali apabila
Penjelasan Pasal 18 lama, tetap berlaku sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
batang tubuh UUD 1945, sehingga ketiga persoalan diatas bisa diklarifikasikan
(clarified) dengan baik. Namun Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 lama dinyatakan tidak
berlaku lagi, karena semangatnya sudah ditampung dalam berbagai
perubahan/tambahan Pasal dalam UUD 1945 yang baru. Walaupun demikian, saya
tidak berpretensi untuk menganggap bahwa Perubahan Kedua UUD 1945 yang
menyangkut Pasal 18 ayat (1) sebagai Pasal yang bernuansa “Federasi”, karena saya
tetap berpegang kepada Pasal 1 ayat (1) yang dalam Perubahan Pertama UUD 1945,
tidak diadakan perubahan, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 ayat (1) : “Negara
Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.”

5.4.2.Asas penyelenggaraan pemerintahan.

Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pemerintahan


daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh Undang - undang ditentukan menjadi urusan
pemerintah pusat.
Pasal 10 ayat (3) menegaskan bahwa yang menjadi urusan Pemerintah yang
dikecualikan tersebut adalah:
a. Politik luar negeri;

46
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiskal nasional; dan
f. Agama.

Ayat (4) menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan


sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau
dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau
wakil Pemerintah di daerah, atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah
dan/ atau pemerintahan desa. Selanjutnya ayat (5) menegaskan bahwa dalam urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat:
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah atau:
c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Dari uraian Pasal 10 ini dapat diartikan bahwa tidak ada kemungkinan daerah
akan memperoleh tambahan kewenangan dari Pemerintah selain dari yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 13 dan 14 Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004. Padahal,
mestinya sebagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5)
tersebut dimungkinkan untuk diserahkan kepada daerah melalui asas “desentralisasi”,
tidak hanya melalui “tugas pembantuan”. Mengenai penetapan asas penyelenggaraan
pemerintahan, Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 agak rancuh mengaturnya,
karena dalam UU tsb asas penyelenggaraan pemerintahan diatur dengan menetapkan
bahwa antara penyelenggaraan pemerintahan di Pusat dan di Daerah berbeda.
Pada Pemerintah pusat menggunakan asas - asas desentralisasi, tugas
pembantuan, dan dekonsentrasi, sedang penyelenggaraan pemerintahan di daerah
menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Padahal asas - asas tersebut
merupakan suatu kebijakan (“policy”) yang berlaku baik di pusat maupun di daerah
sebagai satu kesatuan sistem yang tidak bisa dipisahkan. Disamping itu, otonomi dan
tugas pembantuan sebagai “asas” adalah misleading, karena otonomi dan tugas
pembantuan bukan asas, melainkan suatu hak, wewenang dan kewajibansebagai
manifestasi atau perwujudan atau konkritisasi dianutnya asas desentralisasi dalam
NKRI. Walaupun kata-kata asas otonomi dan tugas pembantuan itu berasal dari UUD
(setelah diamandemen), tetapi kalau itu merupakan kekeliruan, mestinya diadakan
judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, jangan sampai perundang - undangan di
bawahnya ikut keliru.52

6. DAMPAK PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH


52
Lihat Pasal 20 ayat (2) dan (3) UU No.32/2004.

47
6.1. Dampak Positif

Sesuai dengan tujuan pemberian otonomi daerah, diharapkan pelaksanaan


otonomi daerah menurut Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang –
Undang Nomor 32 Tahun 2004 membawa dampak positif yang secara umum dapat
dikategorikan sebagai berikut:
a. Perkembangan proses demokrasi dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan
akan meningkat;
b. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses kepemerintahan, baik dalam proses
penentuan kebijakan, dan pelaksanaan maupun dalam proses evaluasi dan
pengawasan, akan semakin meningkat;
c. munculnya kreativitas dan inovasi Daerah untuk mengembangkan pembangunan
daerahnya;
d. meningkatnya gairah birokrasi pemerintahan Daerah, karena adanya keleluasaan
untuk mengambil keputusan, serta terbukanya peluang karier yang lebih tinggi,
karena kompetisi professional;
e. meningkatnya pengawasan atas jalannya pemerintahan Daerah, baik yang dilakukan
oleh masyarakat maupun DPRD, sehingga keinginan untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik, bersih, terpercaya dan akuntabel (“Good Governance”)
semakin sangat didambakan oleh masyarakat;
f. meningkatnya peranan DPRD sebagai wahana demokrasi dan penyalur aspirasi
rakyat dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan;
g. pemberian pelayanan umum kepada masyarakat semakin meningkat, baik kualitas
maupun kuantitas, sejalan dengan meningkatnya tuntutan dari masyarakat akan
pelayanan yang lebih baik, yang pada gilirannya akan menimbulkan
“keterpercayaan” masyarakat kepada pemerintah daerah.
h. munculnya semangat kedaerahan yang menjadi faktor pendorong yang kuat bagi
pengembangan daerahnya, dalam arti peningkatan Akuntabilitas.

6.2. Dampak negatif.

Walaupun kita melihat secara potensial dampak positif dari pelaksanaan


otonomi daerah, namun perlu juga mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi
secara negatif dalam pelaksanaan otonomi daerah menurut Undang - Undang ini, a.l.
sbb:
a. keinginan bagi Daerah Otonom untuk meningkatkan penghasilan asli Daerah
(PAD) yang berlebihan, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak ekonomi biaya
tinggi, memberatkan masyarakat, dan kurang terjaminnya kelestarian lingkungan
(tidak transparan dan tidak akuntabel);
b. kemungkinan munculnya konflik kepentingan antar Daerah dan antara
Daerah dan pusat yang berkaitan dengan pendayagunaan sumber daya alam,

48
seperti sumber daya air, hutan, lautan, lingkungan hidup dlsb.; kemungkinan
terjadi pengaturan daerah yang over regulated atau benturan antara peraturan
daerah di tingkat Daerah Kabupaten/ Kota dengan Daerah Propinsi, ataupun
Pusat, karena lemahnya antara perencanaan pembangunan Daerah Kabupaten/
Kota, Daerah Propinsi, dan Pusat, sehingga integritas dan sinergitas tidak
terjamin, karena masing - masing merasa mempunyai kompetensi sendiri - sendiri,
yang memungkinkan terjadinya segmentasi antar Daerah (tidak transparan);
c. munculnya egoisme kedaerahan yang sempit yang mendorong atau
menjurus kepada eksklusivisme daerah dan proteksionisme kedaerahan, sehingga
akan mengganggu kepada makna persatuan dan kesatuan bangsa.
d. sikap dan perilaku birokrasi pusat yang cenderung untuk tetap
mempertahankan statusquo, terutama dalam mempertahankan kewenangan pusat
yang enggan menyerahkannya kepada Daerah (tidak transparan);
e. belum sinkronnya perundang - undangan sektoral pusat dengan Undang -
Undang tentang pemerintahan daerah, sehingga para pejabat birokrasi
Departemen Sektoral pusat masih berpegang kepada Undang - Undang Sektoral
yang bersangkutan, dan belum menyesuaikan dengan jiwa dan semangat Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 cq. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004;
f. terjadinya multi-interpretasi, baik terhadap jiwa dan semangat Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999
maupun terhadap pasal - pasal didalamnya yang tidak atau kurang jelas.

7. PROSPEK OTONOMI DAERAH MELALUI SOLUSI ALTERNATIF

1). Upaya penyempurnaan/penggantian Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999


bukan semata - mata untuk mengatasi masalah yang timbul, tetapi juga untuk
menegaskan visi dan misi yang jelas dalam menetapkan format dan sistem
pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pada itu,
penegasan prinsip - prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik
(“Good Governance”), diarahkan kepada substansi yang bersifat strategis,
seperti: hubungan pusat dan daerah; penegasan hirarki dalam sistem
pemerintahan; penataan kembali sistem dan mekanisme penyelenggaraan
pemerintahan; pembagian kewenangan dan urusan pada tingkat - tingkat
pemerintahan yang berbeda.
2) Dengan penyempurnaan tersebut, hendaknya Pemerintah secara transparan dan
tidak menyimpang dari tujuan untuk kebaikan bangsa dan negara, terutama
untuk mewujudkan komitmen kebijakan desentralisasi, pengembangan demokrasi
dan peningkatan kemandirian daerah, serta daya saing daerah. Yang terpenting
adalah bagaimana upaya mengembangkan satu kesatuan sistem antara sistem
pemerintahan nasional dan sub - sistem pemerintahan daerah secara sinergis,

49
sehingga tercipta stabilitas, akuntabilitas, serta efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan, hubungan pusat - daerah terpelihara dengan
baik, keutuhan dan kesatuan bangsa tetap terjaga, serta prinsip - prinsip
perilaku “Good Governance” di semua tingkat pemerintahan, dapat diwujudkan.
Demikian pula, isu - isu strategis dan penting, serta diperlukan secara
proporsional bagi semua level pemerintahan, harus ditempatkan pada proporsi
waktu dan situasi yang tepat untuk menghindarkan kerancuhan, instabilitas dan
stagnasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana pemerintahan
daerah seharusnya menjadi “backbone” dari stabilitas pemerintahan nasional.
3) Terjadinya penggantian Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang
– Undang Nomor 32 Tahun 2004 tetap harus di arahkan kepada upaya
pencapaian kemandirian pemerintah daerah yang berorientasi kepada pelayanan,
pemberdayaan, daya saing daerah, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,
dan pengembangan demokrasi, tidak lagi sebagai ajang tarik - menarik
pembagian kekuasaan, baik antara pusat dan daerah, maupun hubungan antara
DPRD dan Kepala Daerah sebagaimana selama ini terjadi, sehingga nasib dan
kepentingan rakyat terabaikan.
4) Untuk lebih memantapkan penyelenggaraan otonomi daerah, maka secara
transparan perlu mengoptimalkan peranan dan fungsi Gubernur selaku Wakil
Pemerintah, terutama dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus dan
permasalahan di daerah. Dalam hubungan ini, sebaiknya Pemerintah Pusat
mengatur lebih lanjut dengan memberikan penugasan dan kewenangan yang
tegas kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah, sehingga segala persoalan
yang terjadi di Daerah, baik yang bersifat lokal maupun regional, hendaknya
dapat diselesaikan secara tuntas oleh Gubernur.
5) Ditinjau dari aspek asas kepatutan penyelenggaraan pemerintahan (Berhoorlijk
Bestuur) seharusnya ia (Gubernur) memiliki kewenangan “Vrijbestuur”, baik dari
aspek “teori sisa” (Residual Theory), maupun dan terutama dari aspek “Nach
Freies Ermessen” yang seharusnya melekat pada diri seorang Gubernur,
sehingga pada gilirannya akan mengurangi bertumpuknya “beban” (burden) pada
pemerintah pusat, dan ketegangan -ketegangan dan kerancuan di daerah yang
selama ini sering terjadi, dapat dituntaskan oleh Gubernur dalam kedudukan ia
(Gubernur) sebagai Wakil Pemerintah (representative of the President). Ini
adalah sebagai konsekuensi didudukannya Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
dalam rangka menjalankan tugas - tugas dekonsentras
i. Namun, sangat disayangkan perundang - undangan yang ada, tidak
mendukungnya, sehingga tidak memungkinkan Gubernur untuk bertindak pro -
aktif, tanpa dilandasi dasar hukum kewenangan yang kuat.
6) Kalau saja, kepada Gubernur dalam kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah
diberikan keleluasaan untuk menjalankan tugas “pemerintahan umum” (algemene

50
bestuur) di daerahnya melalui asas “Vrijbestuur”, dengan dasar hukum yang
tegas, maka diharapkan ia (Gubernur) akan mampu untuk mentuntaskan segala
persoalan yang terjadi di daerah.
7) Mengingat pengaturan lebih lanjut yang menegaskan kedudukan dan tugas serta
kewenangan Gubernur selaku Wakil Pemerintah, tidak ada, maka seyogyanya
sebagai tindak lanjut Pasal 38 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, segera
dikeluarkan Instruksi Presiden yang intinya menugaskan dan memberikan
keleluasaan kepada Gubernur untuk “mengusahakan secara terus - menerus agar
segala peraturan perundang - undangan dan peraturan daerah dijalankan oleh
instansi - instansi pemerintah dan pemerintah daerah, serta mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin stabilitas dan kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan di daerah secara baik".
8) Kewenangan dekonsentrasi yang dijalankan oleh Instansi Vertikal
(“dekonsentrasi fungsional”), yaitu tugas - tugas yang dikecualikan menurut
Pasal 7 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 cq. Pasal 10 Undang – Undang
Nomor 32 Tahun 2004, harus ada penegasan bahwa Instansi Vertikal dimaksud
adalah perangkat Departemen dan/ atau LPND yang mempunyai tugas dan
kewenangan khusus (Sektoral; Teknis; Fungsional) di wilayah dalam jurisdiksi
tertentu, yang posisinya tidak hanya wajib berkoordinasi dengan Gubernur,
melainkan kedudukannya berada di bawah dan bertanggungjawab kepada
Gubernur selaku Wakil Pemerintah (dalam konteks “Integrated Prefectoral
System”).
9) Seluruh peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penyelenggaraan
tugas-tugas substantif Departemen Sektoral/ Departemen Teknis, baik yang
terbit sebelum maupun sesudah terbitnya Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1999 c.q. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, harus dengan sendirinya
menyesuaikan dengan semangat Undang – Undang tersebut, dimana kedudukan
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 c.q Undang – Undang Nomor 32 Tahun
2004 itu sendiri seharusnya berkedudukan sebagai “batu penjuru” (“corner
stone”) bagi perundang - undangan Sekotral lainnya. Hal tersebut dimaksudkan
untuk menghindarkan terjadinya kesimpang - siuran penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, karena adanya tarik - menarik kewenangan dan tarik -
menarik kepentingan, yang pada gilirannya akan mengakibatkan terhambatnya
kelancaran pelaksanaan otonomi daerah yang seharusnya dapat memberikan
pelayanan prima kepada masyarakat setempat.
10) Pelaksanaan otonomi daerah, selaras dengan jiwa dan semangat Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 c.q. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004
dimaksudkan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan oto - aktivitas masyarakat,
guna memberdayakan masyarakat sendiri, sedangkan pemerintah daerah

51
berperan mendorong dan memfasilitasinya. Berdasarkan hal tersebut,
hendaknya semua komponen penyelenggara pemerintahan, baik di pusat maupun
di daerah, memiliki kesatuan sikap, kesatuan pandang, kesatuan pemahaman dan
kesatuan interpretasi, sehingga kelemahan dan kekurang sempurnaan Pasal -
pasal dan instrumen yang ada, hendaknya disikapi secara positif dan penuh
kearifan, sehingga tidak terjadi upaya-upaya manipulasi untuk menonjolkan
masing - masing kepentingan yang akan mengakibatkan terjadinya konflik
kepentingan dan konflik kewenangan, yang pada gilirannya hanya akan merugikan
kepentingan rakyat banyak, dan pelayan publik terabaikan. Dalam pada itu, perlu
merubah paradigma pemerintahan dari birokrasi yang berpola pikir (mindset)
bernuansa “dilayani” menjadi “melayani”.
11) Perlu mensosialisasikan dan mendesiminasikan Undang - Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya agar terdapat interpretasi dan
persepsi yang sama, baik bagi masyarakat, maupun bagi para pejabat di pusat
dan di daerah;

12) Menyikapi kelemahan dan atau kelebihan Undang - Undang Nomor 32 Tahun
2004 kita tidak seharusnya a priori untuk segera merobah Undang - Undang
Nomor 32 Tahun 2004 sekarang, melainkan kita perlu memahami substansi dan
semangat Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan turut serta
mensosialisasikannya, sambil mewacanakan berbagai aspek permasalahanya, baik
dari segi konsep akademik dan juridis, maupun empirik - administratif, dengan
kemungkinan memberikan alternatif solusinya.
Dalam mengantisipasi perubahan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004,
harus ada persiapan yang matang dan keterbukaan sedemikian rupa, baik antara
Pemerintah, kalangan perguruan tinggi, lembaga masyarakat, partai politik, dan para
praktisi operasional dan disosialisakan kepada masyarakat luas, sehingga hasil
perubahan itu akan menghasilkan produk Undang - Undang yang bisa
diimplementasikan dengan persepsi dan interpretasi yang sama antara Pusat dan
Daerah, sehingga baik dari segi akademik, juridis, politik dan operasional, benar -
benar dapat dipertanggungjawabkan.

8. PENUTUP

Demikian beberapa pemikiran tentang penyelenggaraan pelaksanaan kebijakan


otonomi daerah untuk dikembangkan dan didiskusikan lebih lanjut.

Jakarta, 3 April 2006.

52
E. Koswara Kertapradja

53

You might also like