You are on page 1of 11

PEMIMPIN FEODAL : MUSUH BANGSA

Kepemimpinan birokrasi yang bersifat feodal masih terjadi di beberapa instansi


pemerintah sehingga perlu ada sosialisasi cara kepemimpinan yang transformasional atau
cara memimpin yang tidak menekankan pada kekuasaan.
"Sudah saatnya orientasi kepemimpinan birokrasi yang bersifat feodalistik diubah
ke arah kepemimpinan transformasional," kata Kepala Lembaga Administrasi Negara
(LAN) Sunarno ketika menutup Diklat Kepemimpinan Tingkat I Angkatan XII yang
diselenggarakan LAN, di Jakarta, Kamis.
Walapun saat ini kepemimpinan yang bersifat transformasional sudah mulai
terjadi masih ada kelompok tidak menerapkannya. "Hampir di setiap instansi masih ada
yang menggunakan pendekatan lama (gaya kepemimpinan feodal), `mindset` (cara pikir)
lama," katanya.
Ia mengatakan kepemimpinan birokrasi feodal yang menekankan pada kekuasaan,
pendekatan "top down" (dari atas) dan didasarkan pada hubungan formalitas sudah tidak
relevan lagi karena saat ini tantangan yang dihadapi tidak hanya bersifat internal namun
sudah bersifat global. ( Antara,2 Agustus 2007 ).
Sebenarnya, semenjak sebelum gerakan reformasi pada tahun 1988, kesadaran
dan desakan untuk mengganti pola kepemimpinan bergaya feodal ini tlah mengemuka.
Namun, hingga saat ini pun, para pemimpin kita, terutama pemimpin yang duduk di
birokrasi pemerintahan, termasuk juga di birokrasi pendidikan, masih mempertahankan
gaya ini. Tulisan ini bermaksud menyoroti berbagai hal seputar gaya kepemimpinan ini.

Pengertian Pemimpin
Sebagian orang mendefinisikan bahwa pemimpin adalah pribadi yang memiliki
kekuasaan. Definisi seperti ini akan melahirkan model kepemimpinan yang menekankan
penggunaan otoritas kekuasaan dalam memimpin. Pemimpin dengan paradigma model
ini cenderung menggunakan kekuasaan untuk memaksa anak buahnya menyelesaikan
tugas pekerjaan mereka, tanpa membutuhkan partisipasi aktif dan inisiatif mereka. Bagi
pemimpin jenis ini, satu-satunya tugas anak buah adalah melaksanakan perintahnya.
Anak buah tidak perlu mengetahui mengapa mereka harus mengerjakan ini atau itu dan
juga tidak perlu tahu mengapa mereka tidak boleh melakukan ini atau itu. Dalam kondisi
demikian, anak buah selalu di posisikan sebagai subordinat. Dalam perkembangannya,
kepemimpinan model ini ternyata memiliki banyak kelemahan.
Beberapa ahli mengemukakan pandangan lain. Definisi yang mereka kemukakan
adalah pemimpin merupakan pribadi yang mampu mempengaruhi orang lain untuk
bergerak dan bekerja sama mencapai tujuan kelompok atau organisasi. Namun, pada
definisi ini juga masih dimungkinkan munculnya gaya kepemimpinan otoriter seperti
definisi di atas.
Cara pemimpin mempengaruhi bawahannya bisa dilakukan dengan dua cara.
Pertama, melalui pressure. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, ia menekan semua
bawahannya untuk tunduk mengikuti perintahnya. Kedua, melalui gaya yang persuasif
dan dialogis. Selanjutnya, untuk menyebut gaya kepemimpinan yang menggunakan
pressure disebut gaya pemimpin otoriter-feodalistik, karena, sebagaimana akan dijelaskan
dalam bab berikutnya, gaya ini memang bersumber dari budaya feodalisme. Sedangkan
untuk gaya kepemimpinan yang lebih mengedepankan cara-cara persuasi dan dialogis
dinamakan kepemimpinan yang melayani atau kepemimpinan transformasional. Disebut
kepemimpinan transformasional karena pemimpinan dari kalangan paham ini senantiasa
mendorong setiap orang untuk mengalami transformasi atau perubahan ke arah yang
lebih baik.
Masing-masing gaya kepemimpinan memiliki pengaruh pada suasana kerja
dilingkungan kerja masing-masing. Secara teoritis dan faktual, situasi kerja yang tercipta
oleh gaya kepemimpinan yang digunakan, akan sangat berpengaruh terhadap kinerja
semua personil di lingkungan kerja, tak terkecuali pada diri pemimpin yang
bersangkutan. Yang akhirnya, semua itu akan berdampak pada kinerja organisasi secara
keseluruhan.

Pemimpin Feodal
Pemimpin bergaya feodal ini cenderung menjadi otoriter. Mereka
mendefinisikan pemimpin sebagai pribadi yang memiliki kekuasaan. Pola kepemimpinan
seperti ini sangat membudaya di Indonesia. Menurut ahli sosiologi Dr. Kastorius Sinaga,
pola hubungan kekuasaan di Indonesia tidak didasarkan pada pola hukum yang jelas.
"Bagi orang Indonesia, kekuasaan merupakan privilege atau anugerah yang datang dari
Tuhan ketimbang amanat dari rakyat," kata staf pengajar di Universitas Indonesia ini,
"Kekuasaan yang bagaikan raja ini berkenaan dengan budaya bangsa kita sejak dahulu
kala yang memang bersandarkan pada kekuasaan ketimbang pelayanan, terutama dalam
budaya Jawa."
Pemimpin otoriter-feodalistik ini beranggapan bahwa sumber kekuasaanya
berasal dari kekuasaan yang lebih tinggi, bukan dari masyarakat yang harus dilayani.
Sumber tersebut bisa berasal dari tuhan, dewa, atasan, atau lembaga yang lebih tinggi
daripada lembaga yang dipimpinnya. Pengabdian pemimpin ini bukanlah kepada
masyarakat atau bawahan yang dipimpinnya, tetapi kepada struktur atau orang-orang
yang dia anggap memiliki kekuasaan yang lebih besar. Semakin besar kekuasaan yang
dimiliki, semakin tinggi pula kedudukannya dalam suatu strata atau struktur. Di sini jelas,
bahwa pemimpin jenis ini memandang orang atas dasar besarnya kekuasaan yang
dimiliki. Orang dikelompokkan ke dalam strata-strata, sebuah pandangan khas dari
paham feodalisme.
Pandangan feodalisme ini melahirkan pribadi-pribadi pemimpin dengan
karakteristik, ‘menjilat ke atas, menginjak ke bawah’ atau “politik belah bambu”.
Karena pemimpin ini merasa bahwa sumber kekuasaannya diperoleh dari atasannya,
maka dia merasa berkewajiban mengabdikan diri dan hidupnya kepada atasan yang
memberinya kekuasaan. Segala aktivitas pekerjaannya terutama ditujukan untuk
‘mengambil hati’ atasannya. Dia akan selalu membina hubungan baik dengan atasan, dan
kalau perlu juga dengan keluarga atasan. Harapannya, semakin baik hubungan ini terbina,
akan semakin lama pula dia menggenggam kekuasaan yang ‘disedekahkan’ oleh
atasannya itu.
Pemimpin otoriter-feodalistik ini selalu memikirkan berbagai cara untuk tetap
memegang kekuasaan selama mungkin. Setiap ide, inisiatif dan kreativitas karyawan
yang berbeda dengan pikiriannya pasti akan dianggap sebagai pembangkang yang ingin
mendongkel kekuasaannya. Karyawan semacam ini akan di-pressing, dipinggirkan atau
bila perlu dimusnahkan.
Di masa orde baru, perilaku pemimpin otoriter-feodalistik ini mengalami
perkembangan yang sangat membahayakan. Di dalam melanggengkan kekuasaan yang
digenggamnya, dia mulai mengendalikan sumber-sumber kekuasaanya ini. Kita masih
ingat, betapa Soeharto sangat menguasai Lembaga Tertinggi DPR/MPR. Segala
keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga tertinggi ini sangat diwarnai pemikiran
Soeharto demi kepentingan Soeharto sendiri. Kita tahu, bahwa saat itu lembaga
DPR/MPR dikuasai oleh orang-orang Golkar secara mutlak. Sementara, Soeharto
merupakan ketua pembina Golkar, yang merupakan kedudukan tertinggi dari partai
tersebut.
Akibat “perselingkuhan” ini, orang-orang Golkar tidak pernah berani
mengkritik atau berbeda pendapat dengan Soeharto. Seperti dikemukakan Rachmat
Witoelar, mantan sekjen Golkar di masa orde baru, saat itu para anggota DPR tidak
pernah berani melaksanakan fungsi kontrol terhadap kinerja pemerintahan yang
dikomandani Soeharto karena para anggotanya dicekam rasa takut, seperti rasa takut
dimarahi, hingga takut di – recall.
Bisa dibayangkan, jika melakukan kontrol saja tidak berani, apalagi mencabut
mandat kekuasaan yang diberikan kepada Soeharto. Kita patut bersuyukur bahwa
management murahan yang dikembangkan Soeharto bisa dipahami oleh gerakan
mahasiswa kita. Sehingga, gerakan mereka tidak ditujukan untuk pembubaran
DPR/MPR-sebagai sumber kekuasaan Soeharto, tetapi langsung ditujukan untuk
menumbangkan Soeharto.
Kendati kekuasaan Soeharto telah tumbang, namun pola ini masih tetap eksis
hingga saat ini. Sebagai misal keberadaan Komite Sekolah. Menurut peraturan yang ada
struktur di dalam komite sekolah diangkat oleh kepala sekolah. Padahal, hakikat dari
keberadaan komite sekolah adalah penyeimbang dan fungsi kontrol bagi kebijakan dan
kinerja kepala sekolah. Dalam prakteknya, orang-orang yang ‘didudukkan’ di dalam
struktur komite sekolah adalah orang-orang yang relatif dikenal baik oleh kepala sekolah,
orang-orang yang diperkirakan tidak akan pernah membangkang terhadap segala
keputusan kepala sekolah. Dengan demikian, mana mungkin komite sekolah bisa
menjalankan fungsinya dengan baik ?
Dari kenyataan tersebut, kita bisa menduga bahwa pemerintah ( dalam hal ini
jajaran diknas ) takut kehilangan loyalitas para kepala sekolah. Mereka tidak ingin
loyalitas kepala sekolah beralih kepada komite sekolah.
Sekarang mari kita kembali kepada gaya kepemimpinan otoriter-feodalis. Jika di
atas diulas tentang sikap, pikiran dan perilaku pemimpin ini kepada atasan, maka
berikutnya akan dibahas sikap, pikiran dan perilaku pemimpin ini terhadap karyawan
yang menjadi bawahannya. Pemimpin ini mengharapkan loyalitas karyawan sebagaimana
dia bersikap loyal kepada atasannya. Jika dia sering ‘menjilat-jilat’ atasannya, maka dia
menginginkan karyawan juga ‘menjilat-jilat’ padanya. Jika dia bersikap tunduk-patuh
kepada atasannya, maka dia juga mengharapkan anak buahnya bersikap tunduk-patuh
kepada dirinya. Jika dia selalu ketakutan atasannya akan mencabut mandat kekuasaan
yang telah disedekahkan kepadanya, maka dia suka mengancam anak buahnya dengan
ancaman “pecat’. Pendek kata, sikap, pikiran dan perilakunya terhadap bawahannya
merupakan ‘cermin terbalik’ dari sikap, pikiran dan perilakunya terhadap atasannya.
Seperti dikemukakan di atas, pemimpin jenis ini tidak terlalu mengharapkan
partisipasi anak buahnya dalam pengambilan keputusan, maka dia akan ‘menggenggam’
informasi. Dalam artian, baginya, informasi merupakan salah satu senjata untuk
mempertahankan kekuasaan, maka dia jarang melakukan sharing informasi dengan anak
buahnya. Berbagi informasi, terutama informasi yang berasal dari pihak yang dipandang
atasannya, dianggap sebagai ‘memberi senjata’ kepada anak buahnya untuk mengkoreksi
kebijakan-kebijkannya. Koreksi dari karyawan dianggap sebagai salah satu bentuk
pembangkangan.
Pemimpin macam ini sangat mengaharamkan masukan dari karyawan dalam
pembuatan keputusan. Memberi peluang terhadap mereka dalam pembuatan keputusan
dianggapnya memberi peluang bawahannya menjadi ‘keminter’ yang berujung pada
‘minteri’ dirinya sebagai pimpinan. Baginya, yang punya hak untuk menjadi ‘keminter’
hanyalah dirinya sebagai pemimpin. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pembuatan
keputusan dalam managemen organisasi di bawah pemimpin otoriter-feodalistik sangat
tertutup. Anak buah tidak diberi akses sama sekali dalam pembuatan keputusan. Tidak
ada transparansi dalam pembuatan keputusan. Kalau pemimpin ini sedikit memberi akses
dalam pembuatan keputusan, hanyalah sekadar kepura-puraan. Biar dianggap demokratis.
Tugas anak buah hanyalah melaksanakan segala titah ( keputusan ) yang dibuatnya dan
melayani kepentingan-kepentingannya.
Jika dalam pembuatan keputusan tidak ada transparansi, maka dalam
pengelolaan anggaran juga setali tiga uang. Karyawan sama sekali tidak diberi akses
untuk mengetahui keuangan yang masuk dan berapa besar pengeluaran dan untuk apa
saja dana tersebut dibelanjakan. Seperti alasan tiadanya transparansi di dalam pembuatan
keputusan, transparansi dalam hal pengelolaan keuangan juga dipahami sebagai bentuk
pemberian ‘amunisi’ bagi anak buah untuk ‘menembak’ kekuasaannya. Jika kepada
bawahan, yang notabene merupakan rekan kerjanya, saja sangat tertutup, apalagi kepada
masyarakat ?
Mudah dimengerti bahwa tiadanya transparansi di bidang anggaran ini sangat
mudah digunakan oleh pimpinan untuk melakukan penyimpangan penggunaan anggaran
untuk memenuhi kepentingan pribadi atau untuk memberi glondhong pengareng-areng
alias persembahan kepada atasannya. Maka, tak mengherankan jika di bawah model
kepemimpinan ini, penyimpangan penggunaan anggaran sangat sering terjadi. Pimpinan
dapat menggunakan dana dengan sewenang-wenang tanpa ada kontrol dari mana pun.
Tidak saja bawahannya yang tidak bisa melakukan kontrol, struktur yang lebih atas pun
tidak bisa melaksanakan fungsi ini, karena mereka juga telah ‘menikmati’ anggaran
penyimpangan ini dalam bentuk glondhong pengareng-areng tadi.
Pemimpin otoriter-feodalistik ini memandang jabatan bukanlah sarana untuk
melakukan aktualisasi diri atau melaksanakan sebuah amanah, namun sebagai sarana
untuk mendapatkan kekuasaan. Bagi golongan ini, aktualisasi diri dan pengabdian
bukanlah hal yang dianggap penting. Kekuasaanlah yang menjadi tujuan hidupnya. Untuk
mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan yang telah ‘digenggamnya’, ia tak segan
untuk ‘meletakkan’ integritas pribadinya. Demi membuat hati atasannya, sebagai sumber
kekuasannya, merasa terpuaskan, ia rela membuang jauh harga diri dan nuraninya. Apa
pun akan ia lakukan, meski itu bertentangan dengan nilai-nilai hidup yang diyakininya,
demi memperoleh pujian sang pemberi kekuasaan. Barangkali kasus ‘pembuangan’ 26
orang gelandangan dan pengemis ( gepeng ) ke hutan oleh petugas satpol pamong praja
Jombang tempo hari merupakan contoh konkrit personil tipikal ini. Bagi para satpol PP
itu, yang penting adalah ‘mengamankan’ perintah bos untuk membersihkan kota Jombang
dari gepeng. Apa pun caranya akan dilakukan, meski itu bertentangan dengan norma-
norma kemanusiaan. Yang penting, bos merasa senang dengan tiadanya gepeng di kota
Jombang.
Dalam mengelola personil yang menjadi bawahannya, pemimpin otoriter-
feodalistik mempolarisasi anak buahnya menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah
orang-orang yang dipandang sangat loyal kepadanya, orang-orang yang pandai menjilat
kepadanya. Golongan lainnya adalah berisi orang-orang yang dipandang sebagai
pembangkang. Golongan kedua ini biasanya terdiri dari orang-orang yang tidak suka
menjilat, tidak se-visi, tidak se-ideologi atau tidak menyukai gaya kepemimpinannya.
Oleh karena dia telah melakukan polarisasi seperti itu, maka sikap, pikiran dan
perilakunya tentu berbeda terhadap kedua golongan tersebut. Pada golongan loyalis, dia
bersikap sangat afirmatif : sering memuji-muji, menganggap semua usulan dan kinerja
kelompok ini pasti baik dan benar, sering memberi reward-baik finansial maupun
kedudukan. Sebaliknya, terhadap kelompok yang dianggap pembangkang, dia bersikap
sangat negatif. Di matanya, sedikit sekali hal benar dari kelompok ini. Pekerjaan apa pun
yang dilakukan kelompok ini dipandang salah. Semua ide yang keluar dari mereka selalu
dipandang dengan kecurigaan. Sikap dan perilakunya terhadap kelompok yang dipandang
pembangkang ini adalah menekan, meneror, menakut-nakuti dan mengancam
sebagaimana sering dilakukan Soeharto dan kelompoknya di jaman orba dulu.
Sikap yang berbeda terhadap bawahan seperti itu menghasilkan akibat yang
berbeda pula terhadap kinerja masing-masing kelompok. Kelompok loyalis, karena
merasa selalu mendapat dukungan dari pimpinan, biasanya akan mengembangkan tehnik-
tehnik menjilat yang semakin canggih. Fokus kinerja mereka adalah memberi ‘service
yang memuaskan’ bagi pimpinan. Sisi baik dari kelompok ini adalah segala perintah
pimpinan akan mereka lakukan dengan sebaik mungkin. Sisi negatifnya, karena fokus
mereka pada menyenangkan pimpinan, maka tanggung-jawab mereka dalam
melaksanakan tanggungjawabnya relatif tidak bisa diharapkan. Ide-ide kreatif mereka
biasanya mandul. Mereka tidak berani mengambil keputusan cerdas tanpa restu
pimpinan, hal ini karena tidak memiliki kemandirian. Yang lebih parah lagi, demi
mengambil hati pimpinan, para loyalis ini sangat suka menjelek-jelekkan kelompok yang
dipandang pembangkang di hadapan pimpinannya. Mereka beranggapan, semakin
mereka bisa menunjukkan ‘permusuhan’ dengan para pembangkang ini, mereka akan
semakin mendapat tempat di hati pimpinannya.
Di pihak lain, kelompok yang dianggap pembangkang ini, karena merasa
memperoleh perlakuan yang tidak adil dari pimpinan, maka rasa tidak suka dengan
pimpinan semakin hari semakin tinggi. Perasaan tidak suka ini pada sebagian orang akan
diperlihatkan dalam bentuk pembangkangan secara terang-terangan, pada sebagian lain
dalam bentuk yang tersembunyi. Bawahan yang memiliki integritas pribadi yang kuat dan
prinsip hidup yang jelas, akan melakukan pembangkangan secara terbuka. Sedangkan
bawahan yang kurang memiliki integritas, akan melakukan secara sembunyi-sembunyi.
Meski berbeda dalam menyikapi kepemimpinan model ini, keduanya memiliki pola
kinerja yang sama, yakni menunjukkan performance yang pasif, rendah dan kurang
memiliki tanggung-jawab pribadi. Mereka melakukan pekerjaan semata-mata bertujuan
untuk menghindari ancaman pecat atau mutasi dari pimpinan saja. Performance mereka
sangat minim, sekadar untuk mencari selamat. Lebih parah lagi, kelompok ini tak segan-
segan melakukan perbuatan yang justru menjatuhkan lembaga atau organisasinya sendiri,
semata-mata untuk menunjukkan kegagalan dari pimpinannya.
Selain ditujukan kepada pimpinannya, kebencian kelompok pembangkang ini
juga dialamatkan kepada kelompok loyalis/penjilat. Akibat dari permusuhan ini,
kemudian muncul isu-isu saling menjatuhkan yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak.
Suasana kerja bagai bara dalam sekam. Jika tidak segera disadari, suasana ini semakin
hari akan semakin panas. Akhirnya, energi, waktu dan tenaga dari setiap personil banyak
tersita untuk melakukan ‘perang isu’. Keduanya kurang memiliki fokus pada
pekerjaannya masing-masing.
Dari penjelasan di atas, kiranya bisa disimpulkan bahwa di bawah model
kepemimpinan yang otoriter-feodalistik ini, sangat sulit diharapkan adanya kinerja yang
baik dari lembaga yang mereka pimpin. Hal ini karena para bawahannya sangat
disibukkan oleh adanya’permusuhan’ antara golongan loyalis dan golongan
pembangkang. Di samping itu, karena model managemen yang dikembangkan relatif
tidak memungkinkan seluruh karyawan yang ada untuk berpartisipasi dalam pembuatan
keputusan, penentuan tujuan mau pun controlling, maka perfomance yang ditampilkan
sekadar untuk mencari selamat.
Di bawah pemimpin yang otoriter-feodalistik peluang karyawan seakan
disumbat. Segala ide, kreativitas dan inovasi yang diusulkan bawahan dipotong oleh
pimpinan. Satu-satunya pemikiran yang boleh dikembangkan adalah yang berasal dari
atasan atau atasannya lagi. Pimpinan berasumsi bahwa hanyalah dia seorang yang paling
mengerti segala macam urusan organisasi tersebut, bawahan dianggapnya tidak mengerti
apa-apa. Satu-satunya kewajiban mereka adalah melaksanakan perintahnya.
Inilah kekeliruan asumsi yang digunakan pemimpin ini. Dia lupa bahwa
bawahanlah yang paling mengerti dan menguasai medan pekerjaannya masing-masing.
Mestinya, dari merekalah bisa diperoleh data dan usulan yang akurat mengenai keadaan
riil di masing-masing unit kerja. Mengabaikan data dan usulan dari kelompok ini akan
menyebabkan sering terjadi pembuatan keputusan yang tidak sesuai dengan kondisi riil di
lapangan.
Dari logika seperti itu jelas bahwa kemajuan, perubahan dan pelayanan yang
baik sangat sulit terjadi. Di satu sisi, pimpinan hanya mempertahankan status quo,
sementara di pihak lain karyawan menjadi SDM yang pasif. Ini bertolak belakang dengan
tuntutan yang ada di peradaban saat ini. Iklim kompetisi yang begitu ketat dan kemajuan
di bidang tehnologi informasi dan transportasi menuntut setiap lembaga untuk selalu
terus menerus melakukan perubahan-perubahan. Hal ini menyebabkan lembaga yang
lamban mengikuti perubahan justru akan menjadi penghambat kemajuan masyarakat.
Belum lagi jika dilihat dari semakin menguatnya tuntutan akan pelayanan yang
semakin tinggi dari masyarakat, semakin tampak bahwa model kepemimpinan seperti
dijelaskan di atas sudah harus ditinggalkan. Kunci peningkatan pelayanan dari sebuah
lembaga adalah jika seluruh personil yang ada di lembaga tersebut bersedia memberikan
pelayanan secara maksimal kepada konsumen. Hal ini bisa terjadi dengan kondisi sebagai
berikut :
Pertama, loyalitas mereka bukan pada perorangan, tetapi kepada
lembaga/organisasi. Syarat ini jelas berbeda 180 derajad dengan loyalitas yang
dikembangkan oleh pemimpin otoriter-feodalistik. Seperti dijelaskan di atas, pemimpin
jenis ini memaksakan loyalitas bawahan terhadap dirinya. Akibatnya, bawahan yang loyal
terhadapnya hanya akan bekerja maksimal di bawah pengawasan pimpinan. Di luar
pengawasan pimpinan, para loyalis ini bekerja secara minimal. Selain itu, dalam bekerja
mereka menggunakan prinsip transaksional. Mereka mau bekerja dengan baik jika ada
reward yang dijanjikan. Bisakah dari kelompok ini diharapkan bisa memberi pelayanan
yang baik terhadap konsumen ? Jelas tidak bisa.
Yang kedua, menurut penelitian Hawthorne (Milton, 1981, hal. 161) “kepuasaan
akan kerja akan mengarahkan pekerja ke arah tampilan kerja yang lebih produktif.
Pekerja yang puas dengan pekerjaannya akan memiliki loyalitas yang tinggi kepada
perusahaan.” Gustiarti Leila, dalam thesisnya “Stress dan Kepuasan Kerja” menyatakan
bahwa Kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas
organisasi baik secara langsung ataupun tidak langsung. Ketidakpuasan merupakan titik
awal dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi, seperti kemangkiran, konflik
pimpinan-bawahan, serta banyak masalah lainnya yang menyebabkan terganggunya
proses pencapaian tujuan organisasi. Dari sisi karyawan, ketidakpuasan dapat
menyebabkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, menurunnya tampilan
kerja baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Kembali kepada kelompok yang dianggap oleh pimpinan sebagai pembangkang.
Seperti diuraikan di atas, kelompok ini seringkali mendapat punishment dari pimpinan.
Karena seringnya mendapat tekanan, teror , ancaman serta perlakuan yang tidak adil dari
pimpinan, kelompok ini mengalami stress dan kepuasan kerja yang sangat rendah.
Dengan kondisi psikologis seperti itu jelas tidak bisa diharapkan mereka memiliki kinerja
yang baik, justru yang terjadi sebaliknya: motivasi dan moral kerja mereka semakin hari
akan semakin menurun. Dari kelompok ini juga mustahil bisa diharapkan terjadi
pelayanan yang baik kepada masyarakat. Justru sering terjadi sebaliknya dari yang
diharapkan. Ketidakpuasan mereka terhadap pekerjaan ‘dilemparkan’ kepada masyarakat
yang harus dilayani. Masyarakat dilayani dengan cara yang sangat ‘menyakitkan’.
Jadi jelas bahwa dibawah kepemimpinan feodal, birokrasi menjadi brengsek,
mudah terjadi korupsi, kolusi, nepotisme serta kualitas pelayanan minimal. Pimpinan
seperti ini mestinya segera dibasmi dari muka bumi Indonesia. Jika tidak, bangsa ini akan
terus terpuruk.

You might also like