Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dari pembuatan karya tulis ini, sebagai berikut:
1.Memahami konsep pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem Based Learning.
1.4. Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dari pembuatan karya tulis ini, antara lain:
1.Menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang mampu mengelola masalah masalah baik
akademik maupun profesional dari mereka yang mencari atau membutuhkan pelayanan
dalam bentuk yang kompeten.
2.Mengintegrasikan pengetahuan dasar keterampilan solusi masalah, keterampilan
pembelajaran mandiri yang efektif, dan keterampilan kerja sama.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1. Definisi Problem Based Learning (PBL)
PBL adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam
mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru (Suradijono, 2004). Menurut
Boud dan Felleti (1991, dalam Saptono, 2003) menyatakan bahwa “Problem Based
Learning is a way of constructing and teaching course using problem as a stimulus and
focus on student activity”.
H.S. Barrows (1982), sebagai pakar PBL menyatakan bahwa definisi PBL adalah sebuah
metode pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat
digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu
(knowledge) baru. Dengan demikian, masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar
anak didik dapat belajar sesuatu yang dapat menyokong keilmuannya.
PBL adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah
dalam kehidupan nyata lalu dari masalah ini mahasiswa dirangsang untuk mempelajari
masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai
sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk
pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil
merupakan poin utama dalam penerapan PBL.
PBL merupakan satu proses pembelajaran di mana masalah merupakan pemandu utama
ke arah pembelajaran tersebut. Boud dan Tamblyn (1980) mendefinisikan PBL
sebagai ...the learning which result from the process of working towards the
understanding of, or resolution of, a problem.
Menurut Duch (1995), PBL adalah metode pendidikan yang medorong siswa untuk
mengenal cara belajar dan bekerja sama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian
masalah-masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan
keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan siswa
untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan
menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran.
Margetson (1991) pula menganggap PBL sebagai konsep pengetahuan, pemahaman dan
pendidikan secara mendalam berbeda daripada kebanyakan konsep yang terletak di
bawah pembelajaran berasaskan mata kemahasiswaan. Dengan menggunakan
pendekatan PBL ini, mahasiswa akan bekerja secara kooperatif dalam kumpulan untuk
menyelesaikan masalah sebenarnya dan yang paling penting membina kemahiran untuk
menjadi mahasiswa yang boleh belajar secara sendiri (Hamizer, dkk, 2003).
Mahasiswa akan membina kebolehan berpikir secara kritis secara kontinu berkaitan
dengan ide yang dihasilkan serta apa yang akan dilakukan dengan maklumat yang
diterima. (Gallagher, 1997). Di dalam melaksanakan proses pembelajaran PBL ini,
Bridges (1992) dan Charlin (1998) telah menggariskan beberapa ciri-ciri utama yang
perlu ada di dalamnya seperti berikut:
1.Pembelajaran berpusat atau bermula dengan masalah.
2.Masalah yang digunakan merupakan masalah dunia sebenarnya yang mungkin akan
dihadapi oleh mahasiswa dalam kerja profesional mereka di masa depan.
3.Pengetahuan yang diharapkan dicapai oleh mahasiswa semasa proses pembelajaran
disusun berdasarkan masalah.
4.Para mahasiswa bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri.
5.Mahasiswa akan bersifat aktif dengan pemrosesan maklumat.
6.Pengetahuan sedia ada akan diaktifkan serta menyokong pembangunan pengetahuan
yang baru.
7.Pengetahuan akan diperoleh dalam konteks yang bermakna.
8.Mahasiswa berpeluang untuk meningkatkan serta mengorganisasikan pengetahuan.
9.Kebanyakan pembelajaran berlaku dalam kumpulan kecil dibanding menerusi kaidah
perkuliahan.
Selama diskusi, mahasiswa mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang tidak mereka
pahami (Apa yang
ingin diketahui?)
Mahasiswa terdorong untuk mengidentifikasi apa yang tidak mereka ketahui atau
pahami. Ini
melengkapi dasar mereka dalam menghadapi tantangan belajar selanjutnya.
Belajar akan lebih baik jika mahasiswa bisa mengajukan pertanyaan dan mencari
jawabannya sendiri.
Sebelum akhir sesi pertama, pengajar mendampingi mahasiswa untuk fokus terhadap
pertanyaan yang dianggap penting. Mahasiswa menentukan cara
membagi tanggung jawab untuk menyelidiki pertanyaan (Apa yang akan
dilakukan? Apa yang harus dilakukan sebagian dari kita? Siapa yang melakukan
apa?)
Mahasiswa bisa memahami hal yang terjadi secara lengkap dan belajar menggunakan
interrelating
ide serta pengetahuan dari bermacam disiplin. Kerja tim dan rasa kebersamaan juga akan
berkembang.
Setelah periode self-study, sesi kedua dilakukan. Pada awal sesi ini mahasiswa
diharapkan dapat membagi pengetahuan baru yang mereka peroleh.
Dalam pendidikan gaya bank, yang dibutuhkan bukanlah pemahaman akan isi, tetapi
sekedar hafalan. Sekali lagi bukannya memahami teks, tetapi tugasnya hanya menghafal
dan jika mahasiswa melakukannya berarti telah memenuhi kewajibannya. Lain halnya
dengan visi pendidikan yang kritis : seorang pembaca, dalam hal ini adalah pelajar
merasa tertantang oleh teks yang disodorkan padanya dan tujuan membaca adalah untuk
memahami makna yang lebih dalam.
Berikut ini beberapa cara untuk mengembangkan sikap kritis dalam belajar menurut
Paulo Freire (1999) :
a.Pembaca harus mengetahui peran dirinya. Tidak mungkin orang dapat belajar secara
serius jika motivasi membaca disebabkan oleh ketertarikan terhadap daya pikat kata-kata
pengarangnya, terpesona oleh kekuatan magis, atau jika dia bersikap pasif dan
terbelenggu, hanya berusaha menghafal pemikiran pengarangnya, atau jika dia
membiarkan dirinya ’diserbu’ oleh pemikiran pengarang, atau jika pembaca dijadikan
sebuah ’bejana’ yang cukup diisi dengan kutipan-kutipan dari teks yang termaktub di
dalamnya.
b.Pada dasarnya praktik belajar adalah bersikap terhadap dunia. Belajar adalah
memikirkan pengalaman, dan memikirkan pengalaman adalah cara terbaik untuk berpikir
secara benar. Orang yang sedang belajar tidak boleh menghentikan rasa ingin tahunya
terhadap orang lain dan kehidupan nyata. Mereka itu selalu bertanya dan berusaha
menemukan jawaban, serta terus mencarinya. Dengan memelihara sikap ingin tahu ini
menyebabkan kita menjadi cekatan dan mendapat banyak keuntungan.
Sikap kritis dalam belajar sama dengan sikap yang diperlukan untuk menghadapi dunia
(yakni dunia dan kehidupan nyata pada umumnya), untuk bertanya dalam hati, yang
dimulai dengan terus mengamati kebenaran yang tersembunyi di balik fakta yang
dipaparkan dalam teks-teks.
Semakin tekun kita belajar semakin kita mempunyai pandangan global dan makin
mampu mengaplikasikannya ketika membaca suatu teks dengan cara memilah-milah
komponennya. Membaca ulang sebuah teks untuk mengetahui batasan-batasan
komponen tersebut akan menciptakan pemahaman yang lebih signifikan secara
keseluruhannya.
Kualitas perilaku belajar tidak bisa diukur dengan jumlah halaman yang dibaca selama
satu semester. Belajar bukanlah mengonsumsi ide, namun menciptakan dan terus
menciptakan ide.
Berikut ini bagan Standar Keterkaitan Tri Dharma Perguruan Tinggi Terintegrasi dengan
Perwujudan Suasana Akademik Kondusif:
Gambar 2.2. Mekanisme Standar Keterkaitan Tri Dharma Perguruan Tinggi Terintegrasi
dengan Perwujudan Suasana Akademik Kondusif
(Sumber : Buku Pedoman Evaluasi-Diri BAN PT, 2002)
1. Identifikasi masalah
2. Analisis masalah
3. Hipotesis/penjelasan logis sistematis
4. Identifikasi pengetahuan
Fasilitator
BAB IV
PEMBAHASAN
Ada beberapa cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum, penerapan
model ini mulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan atau dicari
pemecahannya oleh mahasiswa. Masalah tersebut dapat berasal dari mahasiswa atau
mungkin juga diberikan oleh pengajar. Mahasiswa akan memusatkan pembelajaran di
sekitar masalah tersebut, dengan arti lain, mahasiswa belajar teori dan metode ilmiah
agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya (I Wayan Dasna dan
Sutrisno, 2007).
Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah.
Dengan demikian mahasiswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan
terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar
melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada mahasiswa.
Berikut Diagram Sebab-Akibat Pembentukan Suasana Akademik Kondusif:
1.2.
1.3.
1.4.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1.Problem Based Learning (PBL) optimal untuk segala fakultas, tetapi tidak semua
mata kuliah dimungkinkan untuk dilaksanakan dengan metode PBL. Mata kuliah yang
sangat relevan dilaksanakan dengan metode PBL adalah mata kuliah kelompok Mata
Kuliah Keahlian Berkarya (MKB).
2.Secara umum pengimplementasian model ini mulai dengan adanya masalah yang harus
dipecahkan oleh mahasiswa. Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan
langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian mahasiswa belajar memecahkan
masalah secara sistematis dan terencana.
3.Infrastruktur harus dipersiapkan dalam pelaksanaan PBL dengan baik. Institusi,
mahasiswa, pengajar masing-masing mempunyai peran yang saling menunjang. Para
pengajar, terutama mempunyai peran memberikan inspirasi agar potensi mahasiswa
dimaksimalkan.
5.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis, antara lain:
1.Diperlukan penerapan metode Problem Based Learning (PBL) di berbagai fakultas,
sehingga dapat dihasilkan lulusan yang kompeten, mampu berkompetisi, cerdas, kreatif,
peka terhadap perubahan di lingkungan, serta mampu mencari solusi pemecahan
masalah.
2.Kurikulum perguruan tinggi di Indonesia seyogyanya diarahkan untuk case Problem
Based Learning (PBL) yang dilakukan melalui teori-teori ilmu pengetahuan
diorganisasikan diseputar masalah-masalah nyata yang diambil dari praktik-praktik
profesional.
DAFTAR PUSTAKA
Adler, Ralph W. and Milne, Markus J. 1997. Improving The Quality of Accounting
Students’Learning Through Action-Oriented Learning Tasks. Accounting Education.
Vol. 6 No. 3: 191-215.
Amir, M. Taufiq. 2005. PBL Optimal Untuk Segala Bentuk Fakultas (Wawancara
dengan Prof. Howard Barrows, MD). Diakses dari
http://www.ibii.ac.id/files/newsletter/edisi3/ pada tanggal 21 Februari 2008.
Bahti, Husein H. 2006. Riset Multidisiplin Dan Terpadu Untuk Pelaksanaan Tridharma
Di Unpad Sebagai (Calon) Perguruan Tinggi Bhpmn Dengan Visi Research University.
Diakses dari http://www.unpad.ac.id pada tanggal 10 Februari 2008.
Dasna, I Wayan. 2005. Penggunaan Model Pembelajaran Problem-based Learning dan
Kooperatif learning untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kuliah
metodologi penelitian. Malang: Lembaga Penelitian UM.
Depdiknas. Buku Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi.
2003. Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi - Departemen Pendidikan Nasional.
Djanali, Supeno. 2005. Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan
Tinggi. Diakses dari http://www.kopertis4.or.id/ pada tanggal 21 Februari 2008.
Djanali, Supeno. 2005. Suasana Akademik. Diakses dari http://www.kopertis4.or.id/
pada tanggal 21 Februari 2008.
Ferdian, Riki. 2006. Pengaruh Problem-Based Learning (Pbl) Pada Pengetahuan
Tentang Kekeliruan DanKecurangan (Errors And Irregularities). Diakses dari
http://info.stieperbanas.ac.id/makalah/ pada tanggal 10 Februari 2008.
Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembahasan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2. PBL
3. Ada beberapa definisi dan intepretasi terhadap Problem Based
Learning (PBL). Salahsatunya menurut Duch (1995):
Sejarah PBL