You are on page 1of 19

 

'PEMBELAJARAN MELALUI METODE PBL (PROBLEM BASED LEARNING)


DALAM UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN'

 Disusun Oleh: Wianti Aisyah, Yola Desnera dan Rizki Amelia


Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran
Disusun dalam rangka mengikuti Lomba Karya Tulis Mahasiswa Edisi Revisi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masyarakat dan bangsa Indonesia perlu dipersiapkan memasuki milenium ketiga dengan
tuntutan-tuntutan global. Pendidikan di Indonesia termasuk pendidikan tinggi, belum
bermakna bagi peningkatan kualitas manusia Indonesia. Kehidupan moral, etos kerja,
kemampuan dan keterampilan yang masih rendah. Kehidupan global menuntut
penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, pendidikan tinggi
belum sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut.
Jatuh bangunnya kualitas pendidikan di Indonesia disebabkan sering berubahnya
kurikulum yang diterapkan pada pembelajaran. Fenomena yang sering terjadi di
Indonesia yaitu setiap pergantian kabinet pemerintahan, dalam hal ini menteri
pendidikan, berubah pula kurikulum yang diterapkan.
Pendidikan dalam rangka untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang baru, tentunya
mengalami berbagai hambatan dan tantangan. Tantangan-tantangan tersebut ada yang
berasal dari dalam (internal) antara lain sebagai warisan kebijakan-kebijakan pendidikan
masa lalu. Tantangan-tantangan internal tersebut antara lain, masalah kesatuan bangsa,
demokratisasi pendidikan, desentralisasi manajemen pendidikan, dan kualitas
pendidikan. Selain itu, terdapat tantangan global yaitu pendidikan yang kompetitif dan
inovatif. Di dalam persaingan diperlukan kualitas individu yang dapat berkompetisi.
Kemampuan berkompetisi tersebut dihasilkan oleh pendidikan yang kondusif dan efektif.
Suatu sistem pendidikan dapat saja menghasilkan tenaga-tenaga pemikir yang
berkembang tetapi apabila tidak inovatif maka kemampuan berpikirnya tidak akan
mendapat makna di dalam kehidupan bersama.
Metode konvensional juga sudah banyak dikritik dan dituntut untuk diperbaiki.
Pembelajaran konvensional yang sifatnya searah yaitu dari dosen ke mahasiswa dan
mahasiswa hanya pasif menerima materi dari dosen, sekarang dianggap cara yang kurang
tepat lagi. Diperlukan metode pembelajaran yang lebih efektif yaitu membuat mahasiswa
lebih aktif dalam proses pembelajaran. Salah satu metode pembelajaran yang dapat
digunakan untuk maksud ini adalah metode Problem Based Learning (Jogiyanto,
2006).
Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning), merupakan salah satu
model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada
mahasiswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan mahasiswa untuk
memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga mahasiswa
dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan
sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002).
Saat ini banyak lulusan perguruan tinggi di Indonesia hanya memiliki karakteristik antara
lain, hanya memahami teori, memiliki keterampilan individual, motivasi belajar hanya
untuk lulus ujian, hanya berorientasi pada pencapaian grade atau pembatasan target,
orientasi belajar hanya pada mata kuliah individual secara terpisah, proses belajar
bersifat pasif, hanya menerima informasi dari dosen, serta penggunaan teknologi terpisah
dari proses belajar. Padahal, sumber daya manusia yang diperlukan dalam pasar kerja,
antara lain kemampuan solusi masalah berdasarkan konsep ilmiah, memiliki
keterampilan team work, mempelajari bagaimana belajar yang efektif, berorientasi pada
peningkatan terus-menerus dengan tidak dibatasi pada target tertentu saja. Setiap target
yang tercapai akan terus-menerus ditingkatkan, membutuhkan pengetahuan terintegrasi
antardisiplin ilmu untuk solusi masalah yang kompleks, bekerja adalah suatu proses
berinteraksi dengan orang lain dan memproses informasi secara aktif, penggunaan
teknologi merupakan bagian integral dari proses belajar untuk solusi masalah (Ragil
Turyanto, 2007).
Kesenjangan utama yang terjadi di atas, membutuhkan perubahan proses belajar di
perguruan tinggi dari metode konvensional berupa kuliah
atau ceramah, menjadi case Problem Based Learning yang mengandalkan analisis
kasus dan solusi masalah sehingga memperoleh keterampilan sebagai problem solver
yang handal. Kurikulum perguruan tinggi di Indonesia seyogyanya diarahkan untuk case
Problem Based Learning yang dilakukan melalui teori-teori ilmu pengetahuan
diorganisasikan di seputar masalah-masalah nyata yang diambil dari praktik-praktik
profesional, melalui mengajukan pertanyaan-pertanyaan lintas topik sehingga mampu
beradaptasi dengan lingkungan dan memperoleh keberhasilan (Ragil Turyanto, 2007).

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasikan
masalah-masalah sebagai berikut:
1.Apakah metode PBL dapat diaplikasikan untuk segala bentuk mata kuliah?
2.Bagaimana pengimplementasian metode PBL terhadap paradigma metode
konvensional saat ini?
3.Bagaimana kesiapan infrastruktur dan sumber daya pengajar dalam menerapkan
metode PBL?

1.3. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dari pembuatan karya tulis ini, sebagai berikut:
1.Memahami konsep pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem Based Learning.

2.Mampu memahami langkah-langkah pembelajaran PBL dalam menyelesaikan suatu


masalah.
3.Menerapkan metode PBL dalam team work secara langsung.

1.4. Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dari pembuatan karya tulis ini, antara lain:
1.Menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang mampu mengelola masalah masalah baik
akademik maupun profesional dari mereka yang mencari atau membutuhkan pelayanan
dalam bentuk yang kompeten.
2.Mengintegrasikan pengetahuan dasar keterampilan solusi masalah, keterampilan
pembelajaran mandiri yang efektif, dan keterampilan kerja sama.

BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1. Definisi Problem Based Learning (PBL)
PBL adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam
mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru (Suradijono, 2004). Menurut
Boud dan Felleti (1991, dalam Saptono, 2003) menyatakan bahwa “Problem Based
Learning is a way of constructing and teaching course using problem as a stimulus and
focus on student activity”.
H.S. Barrows (1982), sebagai pakar PBL menyatakan bahwa definisi PBL adalah sebuah
metode pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat
digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu
(knowledge) baru. Dengan demikian, masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar
anak didik dapat belajar sesuatu yang dapat menyokong keilmuannya.
PBL adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah
dalam kehidupan nyata lalu dari masalah ini mahasiswa dirangsang untuk mempelajari
masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai
sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk
pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil
merupakan poin utama dalam penerapan PBL.
PBL merupakan satu proses pembelajaran di mana masalah merupakan pemandu utama
ke arah pembelajaran tersebut. Boud dan Tamblyn (1980) mendefinisikan PBL
sebagai ...the learning which result from the process of working towards the
understanding of, or resolution of, a problem.
Menurut Duch (1995), PBL adalah metode pendidikan yang medorong siswa untuk
mengenal cara belajar dan bekerja sama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian
masalah-masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan
keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan siswa
untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan
menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran.
Margetson (1991) pula menganggap PBL sebagai konsep pengetahuan, pemahaman dan
pendidikan secara mendalam berbeda daripada kebanyakan konsep yang terletak di
bawah pembelajaran berasaskan mata kemahasiswaan. Dengan menggunakan
pendekatan PBL ini, mahasiswa akan bekerja secara kooperatif dalam kumpulan untuk
menyelesaikan masalah sebenarnya dan yang paling penting membina kemahiran untuk
menjadi mahasiswa yang boleh belajar secara sendiri (Hamizer, dkk, 2003).
Mahasiswa akan membina kebolehan berpikir secara kritis secara kontinu berkaitan
dengan ide yang dihasilkan serta apa yang akan dilakukan dengan maklumat yang
diterima. (Gallagher, 1997). Di dalam melaksanakan proses pembelajaran PBL ini,
Bridges (1992) dan Charlin (1998) telah menggariskan beberapa ciri-ciri utama yang
perlu ada di dalamnya seperti berikut:
1.Pembelajaran berpusat atau bermula dengan masalah.
2.Masalah yang digunakan merupakan masalah dunia sebenarnya yang mungkin akan
dihadapi oleh mahasiswa dalam kerja profesional mereka di masa depan.
3.Pengetahuan yang diharapkan dicapai oleh mahasiswa semasa proses pembelajaran
disusun berdasarkan masalah.
4.Para mahasiswa bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri.
5.Mahasiswa akan bersifat aktif dengan pemrosesan maklumat.
6.Pengetahuan sedia ada akan diaktifkan serta menyokong pembangunan pengetahuan
yang baru.
7.Pengetahuan akan diperoleh dalam konteks yang bermakna.
8.Mahasiswa berpeluang untuk meningkatkan serta mengorganisasikan pengetahuan.
9.Kebanyakan pembelajaran berlaku dalam kumpulan kecil dibanding menerusi kaidah
perkuliahan.

2.2. Metode PBL


Alder dan Milne (1997:195) mendefinisikan PBL dengan metode yang berfokus kepada
identifikasi permasalahan serta penyusunan kerangka analisis dan pemecahan. Metode
ini dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, banyak kerja sama dan
interaksi, mendiskusikan hal-hal yang tidak atau kurang dipahami serta berbagi peran
untuk melaksanakan tugas dan saling melaporkan.
Menurut Peterson (2004), metode PBL ini memberikan mahasiswa permasalahan yang
tidak terstruktur dengan baik dan pemecahan masalah yang tidak satu saja karena
berfokus pada pembelajaran sendiri (self-learning) serta sangat jauh dari penjelasan
yang langsung ke inti atau penjelasan yang langsung diberikan oleh pengajar.
Milne dan McConnell (2001:64-65) memberikan gambaran proses ideal dari PBL yang
terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2.1. Proses Ideal Metode PBL
Proses
Tujuan
Hasil
Pengajar memulai sesi awal PBL dengan presentasi permasalahan yang akan dihadapi
oleh mahasiswa.

Mahasiswa terstimulus untuk berusaha menyelesaikan permasalahan di lapangan yang


nantinya bisa saja menjadi situasi nyata tempat mereka bekerja.

Belajar sesuai konteksnya


akan diingat lebih lama dan dipahami lebih mudah.
Konteksnya relevan sehingga akan lebih memotivasi.
Mahasiswa mengorganisasikan
apa yang telah mereka pahami tentang permasalahan dan mencoba mengidentifikasi
hal-hal terkait.
Apa yang diketahui?
Mahasiswa berlatih mengobservasi. Mereka ditantang untuk memahami situasi
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ada.

Belajar secara terus-menerus mengarah kepada kebiasaan. Penstimulusan pengetahuan


yang ada akan memfasilitasi integrasi pengetahuan baru.

Selama diskusi, mahasiswa mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang tidak mereka
pahami (Apa yang
ingin diketahui?)

Mahasiswa terdorong untuk mengidentifikasi apa yang tidak mereka ketahui atau
pahami. Ini
melengkapi dasar mereka dalam menghadapi tantangan belajar selanjutnya.

Belajar akan lebih baik jika mahasiswa bisa mengajukan pertanyaan dan mencari
jawabannya sendiri.
Sebelum akhir sesi pertama, pengajar mendampingi mahasiswa untuk fokus terhadap
pertanyaan yang dianggap penting. Mahasiswa menentukan cara
membagi tanggung jawab untuk menyelidiki pertanyaan (Apa yang akan
dilakukan? Apa yang harus dilakukan sebagian dari kita? Siapa yang melakukan
apa?)

Mahasiswa bisa memahami hal yang terjadi secara lengkap dan belajar menggunakan
interrelating
ide serta pengetahuan dari bermacam disiplin. Kerja tim dan rasa kebersamaan juga akan
berkembang.

Integrasi dari belajar membantu untuk menggabungkan


pemahaman. Kerja tim dan keahlian manajemen akan terbangun.

Setelah periode self-study, sesi kedua dilakukan. Pada awal sesi ini mahasiswa
diharapkan dapat membagi pengetahuan baru yang mereka peroleh.

Mahasiswa berlatih menukar


informasi dari bermacam
sumber. Mereka membagi
pemahaman baru dengan
mempresentasikan serta
menanyakannya.

Mahasiswa belajar cara untuk mendapatkan informasi dari bermacam sumber.


Mahasiswa
belajar bagaimana untuk mempresentasikan informasi dan bagaimana bertanya.
Pengetahuan baru dan Pemahaman diaplikasikan pada permasalahan. Mahasiswa
menguji validitas dari pendekatan awal dan menyaringnya. Mahasiswa mungkin
membutuhkan penguraian solusi walaupun tidak selamanya itu penting.

Mahasiswa belajar mengaplikasikan pengetahuan baru terhadap


permasalahan semula atau
permasalahan yang akan terjadi nantinya.

Mahasiswa berlatih mentransfer pengetahuan dalam konteks nyata.


2.3. Kurikulum PBL
Pada saat ini beberapa program studi di beberapa perguruan tinggi menerapkan
kurikulum (PBL), berbeda dengan kurikulum yang dikenal selama ini yang disebut
dengan kurikulum konvensional. Kurikulum PBL bersifat sentral atau tidak lagi bersifat
departemental. Perbedaan pokok antara keduanya terletak pada aspek integrasi disiplin
ilmu, struktur unit ranah, dan ciri-ciri tiap disiplin ilmu (Supeno Djanali, 2005).
Terdapat dua jenis kurikulum PBL, yaitu hybrid PBL (hPBL) dan PBL curriculum
(PBLc). Hybrid PBL bersifat sederhana, tidak serumit PBLc. Kurikulum PBL mengubah
dan menstransformasikan seluruh kurikulum konvensional menjadi sistem blok melalui
pemetaan kurikulum dan tujuan belajar yang terintegrasi. Pada hPBL, hanya sebagian
dari kurikulum konvensional yang diubah dan ditransformasikan ke sistem blok. Dalam
pelaksanaan hPBL digunakan strategi SPICES (student centered, problem-based
learning, community oriented, early clinical exposure, self directed learning) dengan
tetap memperhatikan adanya pengulangan materi yang bersifat spiral atau helix. Model
hPBL seperti ini tidak mengganggu kurikulum konvensional yang ada (Harsono, 2005).
Setelah melalui proses ini, kurikulum yang telah tersusun perlu melalui beberapa tahap
validasi sebelum dilaksanakan. Komisi yang dapat melakukan validasi antara lain Komisi
Pengkajian Kurikulum yang dapat dibentuk di tingkat jurusan atau fakultas, atau sebagai
salah satu komisi dalam senat fakultas.

2.4. Perbedaan Metode Konvensional dengan PBL


Metode konvensional berupa kuliah atau ceramah yang memusatkan perhatian
mahasiswa sepenuhnya kepada dosen sehingga yang aktif di sini hanya dosen, sedangkan
mahasiswa hanya tunduk mendengarkan penjelasan yang dipaparkan oleh dosen.
Partisipasi mahasiswa rendah karena mahasiswa hanya diberi kebebasan untuk bertanya
mengenai materi yang telah dijelaskan oleh dosen sehingga metode konvensional masih
kurang menggugah daya pemikiran mahasiswa.
Sedangkan, metode PBL adalah metode perkuliahan yang berbasis kepada partisipasi
para mahasiswa. Pada jam pertama perkuliahan, metode yang diterapkan adalah diskusi.
Dosen memberikan pertanyaan kepada mahasiswa yang ditunjuk secara acak. Pertanyaan
yang diajukan bersifat menggali pendapat dan mengembangkan kemampuan analisis
mahasiswa. Kemudian, pada satu jam terakhir, dosen memberikan rangkuman dan inti
dari diskusi pada hari itu disertai dengan inti dari konteks materi dihubungkan dengan
implementasi di lapangan.
Tabel 2.2. Perbedaan Metode Konvensional dengan Metode PBL
Metode Konvensional
Metode PBL
Berfokus pada dosen
Berfokus di mahasiswa
Dosen menerangkan dan mahasiswa mendengarkan (one way learning).
Mahasiswa menjelaskan (two way learning).
Mahasiswa bertanya.
Dosen bertanya.
Dosen menjelaskan seluruh materi.
Dosen merangkum materi berdasarkan hasil diskusi/pemikiran mahasiswa.
Key process is teaching.
Key process is learning.
Dosen hanya menyiapkan materi.
Dosen tidak hanya menyiapkan materi, tetapi juga harus menguasai metode penyampaian
materi yang efektif.
Mahasiswa membaca menjelang ujian, terutama catatan (reading habit rendah).
Mahasiswa membaca sesuai silabus sebelum kuliah dimulai (reading habit tinggi).
Mahasiswa pasif (partisipatif rendah).
Mahasiswa aktif (partisipatif tinggi).
Mahasiswa hanya menghafal materi) dan kemudian lupa.
Mahasiswa dapat dengan mudah menangkap esensi dari perkuliahan.
(Magister Management UI, 2006)
2.5. Pengembangan Sikap Kritis dalam Belajar
Sesungguhnya, belajar itu merupakan pekerjaan yang cukup berat yang menuntut sikap
kritis-sistemik dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktik
langsung. Sikap kritis manusia sama sekali tidak dapat dihasilkan oleh pendidikan yang
bergaya bank (banking education). Sebaliknya pendidikan semacam itu justru pada
dasarnya membunuh semangat, keingintahuan, dan kreativitas kita (Paulo Freire, 1999).
Berikut ini bagan evaluasi diri dalam pengembangan sikap kritis dalam belajar:

Gambar 2.1. Obyek dan Komponen Evaluasi Diri


(Sumber : Buku Pedoman Evaluasi-Diri BAN PT, 2002)

Dalam pendidikan gaya bank, yang dibutuhkan bukanlah pemahaman akan isi, tetapi
sekedar hafalan. Sekali lagi bukannya memahami teks, tetapi tugasnya hanya menghafal
dan jika mahasiswa melakukannya berarti telah memenuhi kewajibannya. Lain halnya
dengan visi pendidikan yang kritis : seorang pembaca, dalam hal ini adalah pelajar
merasa tertantang oleh teks yang disodorkan padanya dan tujuan membaca adalah untuk
memahami makna yang lebih dalam.
Berikut ini beberapa cara untuk mengembangkan sikap kritis dalam belajar menurut
Paulo Freire (1999) :
a.Pembaca harus mengetahui peran dirinya. Tidak mungkin orang dapat belajar secara
serius jika motivasi membaca disebabkan oleh ketertarikan terhadap daya pikat kata-kata
pengarangnya, terpesona oleh kekuatan magis, atau jika dia bersikap pasif dan
terbelenggu, hanya berusaha menghafal pemikiran pengarangnya, atau jika dia
membiarkan dirinya ’diserbu’ oleh pemikiran pengarang, atau jika pembaca dijadikan
sebuah ’bejana’ yang cukup diisi dengan kutipan-kutipan dari teks yang termaktub di
dalamnya.
b.Pada dasarnya praktik belajar adalah bersikap terhadap dunia. Belajar adalah
memikirkan pengalaman, dan memikirkan pengalaman adalah cara terbaik untuk berpikir
secara benar. Orang yang sedang belajar tidak boleh menghentikan rasa ingin tahunya
terhadap orang lain dan kehidupan nyata. Mereka itu selalu bertanya dan berusaha
menemukan jawaban, serta terus mencarinya. Dengan memelihara sikap ingin tahu ini
menyebabkan kita menjadi cekatan dan mendapat banyak keuntungan.
Sikap kritis dalam belajar sama dengan sikap yang diperlukan untuk menghadapi dunia
(yakni dunia dan kehidupan nyata pada umumnya), untuk bertanya dalam hati, yang
dimulai dengan terus mengamati kebenaran yang tersembunyi di balik fakta yang
dipaparkan dalam teks-teks.
Semakin tekun kita belajar semakin kita mempunyai pandangan global dan makin
mampu mengaplikasikannya ketika membaca suatu teks dengan cara memilah-milah
komponennya. Membaca ulang sebuah teks untuk mengetahui batasan-batasan
komponen tersebut akan menciptakan pemahaman yang lebih signifikan secara
keseluruhannya.
Kualitas perilaku belajar tidak bisa diukur dengan jumlah halaman yang dibaca selama
satu semester. Belajar bukanlah mengonsumsi ide, namun menciptakan dan terus
menciptakan ide.
Berikut ini bagan Standar Keterkaitan Tri Dharma Perguruan Tinggi Terintegrasi dengan
Perwujudan Suasana Akademik Kondusif:

Gambar 2.2. Mekanisme Standar Keterkaitan Tri Dharma Perguruan Tinggi Terintegrasi
dengan Perwujudan Suasana Akademik Kondusif
(Sumber : Buku Pedoman Evaluasi-Diri BAN PT, 2002)

Konsep inovasi pendidikan (Harsono, 2004):


1.Mahasiswa memperoleh pengetahuan dasar (basic sciences) yang berguna untuk
memecahkan masalah-masalah yang dijumpainya.
2.Student-centered: mahasiswa belajar secara aktif dan mandiri (sebagai adult learner)
dengan sajian materi terintegrasi (horisonal dan vertikal) dan relevan dengan real setting
(profesionalisme).
3.Mahasiswa mampu berpikir kritis, mengembangkan inisiatif.

2.6. Studi Kasus dalam Metode PBL


Metode studi kasus memungkinkan mahasiswa mempraktikkan keterampilan komunikasi
baik secara tertulis maupun lisan. Metode studi kasus menggunakan strategi
pembelajaran kooperatif atau kolaborasi antara dosen yang berfungsi sebagai fasilitator
dan mahasiswa sebagai team (kelompok) melalui diskusi dan presentasi kelompok.
Latihan-latihan berpikir yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa sebagai team work
dalam melakukan analisis studi kasus adalah serupa analogi dengan aktivitas ilmuwan
dalam riset.
Latihan-latihan solusi masalah dalam studi kasus merupakan pelatihan dan persiapan
yang baik bagi mahasiswa yang akan memasuki dunia kerja (bisnis dan industri) maupun
akan meniti karier sebagai ilmuwan, karena akan memberikan kebiasaan “berpikir
melalui masalah (think through the real problems)”.
Mahasiswa sering bertanya mengapa mereka perlu mempelajari suatu topik atau
informasi apa yang akan diperoleh dan digunakan oleh mereka ketika mempelajari topik.
Studi kasus menempatkan pembelajaran dalam konteks dunia, yang berkaitan dengan
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata atau setidak-tidaknya mendekati
dunia nyata.
Belajar menganalisis dan menyelesaikan studi kasus merupakan penerapan “body of
knowledge” yang penting dan sesungguhnya. Studi kasus mengembangkan kemampuan
penggunaan atau penerapan ilmu pengetahuan secara efektif dalam menanggapi dan
menyelesaikan masalah-masalah.

2.7. Langkah-Langkah Kegiatan PBL


Peran mahasiswa secara umum dalam perkuliahan ber-PBL adalah mempersiapkan diri
untuk belajar dan bekerja secara kelompok serta berperan aktif dalam kuliah. Peran serta
mahasiswa yang dimaksud adalah seperti menghadiri dan mengikuti keseluruhan
perkuliahan dan tidak diperkenankan men-drop mata kuliah di saat mata kuliah tersebut
sedang berjalan.
Dalam mengikuti kegiatan PBL, waktu kegiatan disesuaikan dengan beban kurikulum
yang hendak dicapai. Setiap pengajar memiliki kebijakan sendiri dalam menyusun waktu
kegiatan yang akan dilaksanakan.

Tabel 2.3. Langkah-langkah PBL berikut ini:


Kegiatan
Langkah-langkah
Pembimbing
Diskusi kelompok I

1. Identifikasi masalah
2. Analisis masalah
3. Hipotesis/penjelasan logis sistematis
4. Identifikasi pengetahuan
Fasilitator

Belajar mandiri/ individual


1. Penentuan sumber pembelajaran
2. Identifikasi pengetahuan baru
3. Sintesis pengetahuan lama dan baru untuk diterapkan pada permasalahan
Narasumber
Diskusi kelompok II
1. Pengulangan kegiatan
2. Menyimpulkan hal yang tidak dipelajari
3. Perangkuman hasil/penyusunan laporan ke masalah berikutnya
Fasilitator
BAB III
METODE PENULISAN

3.1. Waktu dan Tempat Penulisan


Penulisan dilaksanakan pada bulan Februari 2008. Penyusunan karya tulis ini bertempat
di Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Jatinangor.

3.2. Metode Penulisan


Metode penulisan yang dilakukan pada karya tulis ini adalah dengan cara penelusuran
data. Informasi pada karya tulis ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari buku
tentang kehidupan politik pendidikan di Indonesia, Filosofi, Pendekatan dan Penerapan
Pembelajaran Metode Kasus. Selain itu, pengumpulan data dilakukan juga melalui
pencarian berbagai jurnal dan artikel di internet yang memuat informasi mengenai
metode Problem Based Learning (PBL) baik pengaruh maupun pengaplikasiannya.
Adapun langkah-langkah yang telah dilakukan diantaranya sebagai berikut :
1. Mengamati dan menelaah mengenai PBL.
2. Menelaah metode PBL di Indonesia.
3. Pencarian dan pengumpulan data yang dilakukan melalui studi literatur yang
dilakukan baik di perpustakaan maupun di internet.
4. Analisis informasi yang meliputi :
a. Klasifikasi data, yaitu pengelompokkan data berdasarkan permasalahan yang akan
dibahas.
b. Klarifikasi data, yaitu membandingkan data yang sama dari narasumber yang berbeda
kemudian menentukan data yang digunakan berdasarkan informasi yang paling akurat
c. Menginterpretasikan data berdasarkan hubungan antara data yang satu dengan data
yang lainnya.
d. Penulisan laporan, dimana hasil interpretasi data dari sumber-sumber yang ada
dirangkai secara sistematis dan logis dalam bentuk karya tulis.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Penerapan Metode PBL pada Mata Kuliah


Howard Barrows (2005) menyatakan PBL merepresentasikan metode belajar yang
“Learn-by-doing” dan akar dasarnya adalah metode pemagangan (apprenticeship),
dimana pemula mempelajari pengetahuan dan keterampilan dari bidang yang dipilihnya
dengan mengerjakan sesuatu dibawah panduan dan pengajaran seorang yang ahli, sampai
ia nantinya mampu menghasilkan karyanya sendiri. PBL telah mengembangkan metode
pembelajaran ini, yang barangkali sama tuanya dengan peradaban manusia, dengan
pemahaman baru melalui penelitian tentang pendidikan dan pengalaman dalam tiga
puluh tahun terakhir. Selayaknya seorang pakar, seorang pengajar menjadi tutor yang
akan memfasilitasi proses pembelajaran, dan memungkinkan mahasiswa mengambil
banyak manfaat saat mereka belajar.
Strategi dalam PBL adalah memberikan mahasiswa “problem” dan tugas yang akan
mereka hadapi dalam dunia kerja dan dalam proses usaha mereka memecahkan masalah
tersebut mahasiswa akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan
atas masalah itu. Karena itu, sebaiknya urutan-urutan pembelajaran mahasiswa paralel
dengan urutan kejadian yang terjadi di dunia kerja sehingga mahasiswa akan
mendapatkan keterampilan kognitif dan pengetahuan yang mereka butuhkan di dunia
kerja saat mereka belajar dengan konteks dunia kerja.
Dalam proses ini mahasiswa bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri karena
keterampilan itu yang akan mereka butuhkan nantinya dalam kehidupan profesional
mereka. Mereka menerapkan apa yang telah mereka ketahui, menemukan apa yang perlu
mereka ketahui, dan belajar bagaimana mendapatkan informasi yang dibutuhkan lewat
berbagai sumber termasuk sumber-sumber online, perpustakaan, profesional dan para
pakar. Singkatnya, PBL bertujuan untuk mengembangkan dan menerapkan kecakapan
yang penting yakni pemecahan masalah, belajar sendiri, kerja sama tim, dan
pemerolehan yang luas atas pengetahuan (H.Barrows, 2005).
PBL kini telah meluas digunakan di seluruh dunia untuk semua tingkatan pendidikan,
mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan pascasarjana profesional. PBL juga optimal
untuk berbagai fakultas dan bidang. Berbagai fakultas yang mempunyai berbagai bidang
baik eksakta maupun non-eksakta, tentu memiliki suatu permasalahan yang secara tidak
langsung harus dapat dipecahkan oleh mahasiswa.
Tidak semua mata kuliah atau mata pelajaran dimungkinkan untuk dilaksanakan dengan
metode PBL. Mata kuliah tingkat lanjut lebih cocok diajarkan dengan metode PBL
karena dalam PBL pembelajaran mahasiswa dilakukan dengan cara membangun
penalaran dari semua pengetahuan yang dimiliki mahasiswa dan dari semua yang
diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama individu. Mata kuliah yang
sangat relevan dilaksanakan dengan metode PBL adalah kelompok Mata Kuliah
Keahlian Berkarya (MKB). Mata kuliah selain kelompok MKB perlu ditingkatkan untuk
mendukung pelaksanaan mata kuliah ber-PBL dan mendukung paradigma studend-
centered learning. Proses pembelajaran dalam mata kuliah tersebut ditingkatkan dengan
mengadopsi pilar student-centered learning (Sudarman, 2007).
Di sisi lain, mata kuliah kuantitatif lebih cocok menggunakan metode PBL. Dalam PBL,
mahasiswa diberikan soal  hitungan  yang sederhana. Mahasiswa dapat mengerjakan soal
tersebut cukup dengan membaca materi dari text book. Dengan demikian, mahasiswa
merasa percaya diri mengikuti perkuliahan hari tersebut karena merasa bisa mengerjakan
tugas yang diberikan. Lalu, ketika perkuliahan dimulai dengan pembahasan tugas,
mahasiswa bisa diminta satu per satu untuk mengerjakan tugas di depan atau ditanya satu
per satu. Pembahasan tugas tersebut dilanjutkan dengan lecturing. Pada akhir pertemuan,
inti materi hari tersebut serta kaitannya dengan materi untuk pertemuan minggu
selanjutnya ditekankan kembali.
Pendidikan tinggi selain memberikan teori-teori yang cukup, juga perlu memberikan
contoh-contoh pemecahan problem nyata dengan memanfaatkan teori-teori yang ada.
Dengan demikian, pengembangan proses pembelajaran secara alamiah disimulasi oleh
masalah-masalah pada situasi nyata dimana PBL menstimulasi proses belajar dengan
menggunakan masalah-masalah tersebut pada situasi nyata dari suatu bidang.
Institusi, mahasiswa, pengajar masing-masing punya peran yang saling menunjang. Para
pengajar, terutama punya peran memberikan inspirasi agar potensi mahasiswa
dimaksimalkan. Para Pengajar harus mampu mengeluarkan kemampuan setiap
mahasiswa dan memungkinkan mereka berkembang. Para pengajar harus meneliti ulang
peran mereka kini.
Untuk menghasilkan bibit mahasiswa yang baru, para pengajar dan institusi juga harus
berubah. Para pengajar juga harus “belajar” dan “belajar ulang” agar tetap terus relevan
dan menginspirasi mahasiswa kita untuk memaksimalkan potensi mereka.
PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik
konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih
sehingga pembelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan
masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu,
mahasiswa tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang
menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan
dengan keterampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan
menumbuhkan pola berpikir kritis (I Wayan Dasna dan Sutrisno, 2007).
Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi bila masalah tersebut
bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri
mahasiswa. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan
bermacam-macam pertanyaan di sekitar masalah seperti “apa yang dimaksud
dengan….”, “mengapa bisa terjadi….”, “bagaimana mengetahuinya…” dan seterusnya.
Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri mahasiswa maka motivasi
intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran
dosen sebagai fasilitator untuk mengarahkan mahasiswa tentang “konsep apa yang
diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana
melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa penerapan
PBL dalam pembelajaran dapat mendorong mahasiswa mempunyai inisiatif untuk belajar
secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana
berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia
membelajarkan dirinya.
Lebih lanjut Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang
diperoleh mahasiswa yang diajar dengan PBL yaitu:
1. Inkuiri dan keterampilan melakukan pemecahan masalah,
2. Belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan
3. Keterampilan belajar mandiri (skills for independent learning).
Inkuiri dan keterampilan proses dalam pemecahan masalah telah dipaparkan sebelumnya.
Mahasiswa yang melakukan inkuiri dalam pembelajaran akan menggunakan
keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill) di mana mereka akan
melakukan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan reasoning. PBL juga
bertujuan untuk membantu mahasiswa mahasiswa belajar secara mandiri.
Pembelajaran PBL dapat diterapkan bila didukung lingkungan belajar yang
konstruktivistik. Lingkungan belajar konstruktivistik mencakup beberapa faktor yaitu
(Jonassen dalam Reigeluth (Ed), 1999:218): kasus-kasus berhubungan, fleksibelitas
kognisi, sumber-sumber informasi, cognitive tools, pemodelan yang dinamis, percakapan
dan kolaborasi, dan dukungan sosial dan kontekstual.
Kasus-kasus berhubungan, membantu mahasiswa untuk memahami pokok-pokok
permasalahan secara implisit. Kasus-kasus berhubungan dapat membantu mahasiswa
belajar mengidentifikasi akar masalah atau sumber masalah utama yang berdampak pada
munculnya masalah yang lain. Kegiatan belajar seperti itu dapat membantu mahasiswa
meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang sangat berguna dalam kehidupan sehari-
hari (I Wayan Dasna dan Sutrisno, 2007).
Fleksibelitas kognisi merepresentasi materi pokok dalam upaya memahami kompleksitas
yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibelitas kognisi dapat ditingkatkan
dengan memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk memberikan ide-idenya, yang
menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibelitas kognisi dapat
menumbuhkan kreativitas berpikir divergen di dalam mempresentasikan masalah. Dari
masalah yang mahasiswa tetapkan, mereka dapat mengembangkan langkah-langkah
pemecahan masalah, mereka dapat mengemukakan ide pemecahan yang logis. Ide-ide
tersebut dapat didiskusikan dahulu dalam kelompok kecil sebelum dilaksanakan.
Sumber-sumber informasi, bermanfaat bagi mahasiswa dalam menyelidiki permasalahan.
Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik
tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Dalam konteks belajar sains,
pengetahuan sains yang dimiliki siswa terhadap masalah yang dipecahkan dapat
digunakan sebagai acuan awal dan dalam penelusuran bahan pustaka sesuai dengan
masalah yang mereka pecahkan.
Percakapan dan kolaborasi, dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah.
Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Diskusi yang
intensif dimana terjadi proses menjelaskan dan memperhatikan penjelasan peserta diskusi
dapat membatu siswa mengembangkan komunikasi ilmiah, argumentasi yang logis, dan
sikap ilmiah.
Dukungan sosial dan kontekstual, berhubungan dengan bagaimana masalah yang
menjadi fokus pembelajaran dapat membuat mahasiswa termotivasi untuk
memecahkannya. Dukungan sosial dalam kelompok, adanya kondisi yang saling
memotivasi antarmahasiswa dapat menumbuhkan kondisi ini. Suasana kompetitif
antarkelompok juga dapat mendukung kinerja kelompok. Dukungan sosial dan
kontekstual hendaknya dapat diakomodasi oleh para dosen untuk menyukseskan
pelaksanaan pembelajaran (I Wayan Dasna dan Sutrisno, 2007).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa PBL sebaiknya digunakan dalam
pembelajaran karena:
1. Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Mahasiswa yang belajar
memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang
dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar
tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat
diperluas ketika mahasiswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan.
2. Dalam situasi PBL, mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan
secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang
mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-
masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama
pembelajaran berlangsung.
3. PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif
mahasiswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan
hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
Gejala umum yang terjadi pada mahasiswa pada saat ini adalah “malas berpikir” mereka
cenderung menjawab suatu pertanyaan dengan cara mengutip dari buku atau bahan
pustaka lain tanpa mengemukakan pendapat atau analisisnya terhadap pendapat tersebut.
Bila keadaan ini berlangsung terus maka mahasiswa akan mengalami kesulitan
mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya di kelas dengan kehidupan nyata.
Dengan kata lain, pelajaran di kelas adalah untuk memperoleh nilai ujian dan nilai ujian
tersebut belum tentu relevan dengan tingkat pemahaman mereka. Oleh sebab itu, model
PBL mungkin dapat menjadi salah satu solusi untuk mendorong mahasiswa berpikir dan
bekerja dibanding menghafal dan bercerita.
Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah.
Dengan demikian mahasiswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan
terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar
melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada mahasiswa.

4.2. Pengimplementasian Metode PBL dalam Pembelajaran


Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mana suatu kegiatan berasal
atau berubah lewat reaksi dari suatu situasi yang dihadapi, dengan keadaan bahwa
karakteristik-karakteristik dari perubahan aktivitas tersebut tidak dapat dijelaskan dengan
dasar kecendrungan-kecendrungan reaksi asli, kematangan, atau perubahan-perubahan
sementara dari organisme.(Learning is the process by which an activity originates or is
changed through reacting to an encountered situation, provided that the characteristics of
the change in activity cannot be explained on the basis of native response tendencies,
maturation, or temporary state of the organism) (Hilgard dan Bower,1996,hal 2, di
Bonoma,1987).
Berikut ini bagan Proses Transformasi-Produktif di Perguruan Tinggi:

Gambar 4.1. Proses Transformasi-Produktif di Perguruan Tinggi


(Sumber : Buku Pedoman Evaluasi-Diri Program Studi –BAN PT, 2002)

Ada beberapa cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum, penerapan
model ini mulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan atau dicari
pemecahannya oleh mahasiswa. Masalah tersebut dapat berasal dari mahasiswa atau
mungkin juga diberikan oleh pengajar. Mahasiswa akan memusatkan pembelajaran di
sekitar masalah tersebut, dengan arti lain, mahasiswa belajar teori dan metode ilmiah
agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya (I Wayan Dasna dan
Sutrisno, 2007).
Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah.
Dengan demikian mahasiswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan
terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar
melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada mahasiswa.
Berikut Diagram Sebab-Akibat Pembentukan Suasana Akademik Kondusif:

Gambar 4.2. Diagram Sebab-Akibat Pembentukan Suasana Akademik Kondusif


(Sumber : Buku Pedoman Evaluasi-Diri Program Studi –BAN PT, 2002)

Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL paling sedikit ada


delapan tahapan (Pannen, 2001), yaitu:
1.Mengidentifikasi masalah,
2.Mengumpulkan data,
3.Menganalisis data,
4.Memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya,
5.Memilih cara untuk memecahkan masalah,
6.Merencanakan penerapan pemecahan masalah,
7.Melakukan uji coba terhadap rencana yang ditetapkan, dan
8.Melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah.
Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat berpikir,
sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan untuk
mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills).
Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBL.
Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang
mencirikan kerja ilmiah seringkali menjadi ”masalah” bagi dosen dan siswa. Artinya,
pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi
pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir
siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran.
Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh dosen pada tahap ini.
Walaupun dosen tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat memfokuskan
masalah melalui pertanyaan-pertanyaan agar mahasiswa melakukan refleksi lebih dalam
terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini dosen harus berperan sebagai fasilitator
agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakan. Suatu hal yang sangat penting
untuk diperhatikan dalam PBL adalah pertanyaan berbasis why bukan sekedar how.
Setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan mahasiswa dalam tahap tersebut
hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi kemampuan menjelaskan
permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Namun yang harus dicapai
pada akhir pembelajaran adalah kemampuannya untuk memahami permasalahan dan
alasan timbulnya permasalahan tersebut serta kedudukan permasalahan tersebut dalam
tatanan sistem yang sangat luas.

4.3.Infrastruktur dan Sumber Daya Pengajar dalam Menerapkan Metode PBL


Sebelum melaksanakan perkuliahan dengan metode PBL perlu dilakukan persiapan yang
lebih intensif. Dalam perkuliahan dengan metode PBL ada tiga komponen yang akan
bekerja yaitu (1) insitusi, (2) dosen dan asisten dosen, dan (3) mahasiswa. Ketiga
komponen ini bekerja sesuai peran atau tugas masing-masing untuk mencapai
pembelajaran dalam mata kuliah ber-PBL secara optimal.
Institusi dalam PBL adalah perguruan tinggi atau satuan pendidikan. Institusi ini akan
mendukung pelaksanaan pembelajaran ber-PBL antara lain: (1) mempersiapkan sarana
perkuliahan, perpustakaan, dan alat-alat laboratorium, (2) menjamin keterlaksanaan
perkuliahan dengan mengganti kuliah yang tak terselenggara dan bila diperlukan
membentuk tim dosen mata kuliah, (3) menyediakan asisten perkuliahan, (4)
mempersiapkan sarana jaringan komputer, dan (5) merekam kehadiran perkuliahan
mahasiswa dalam database sehingga informasinya dapat digunakan untuk evaluasi
pelaksanaan mata kuliah ber-PBL.
Dalam PBL, peran dosen dan asisten adalah sebagai fasilitator pembelajaran dan
membangun komunitas pembelajaran. Peran dosen adalah:
1.Mempersiapkan skenario yang akan dibahas pada tiap sesi dan mengatur silabus mata
kuliah dalam format Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS).
Jumlah sesi disesuaikan dengan cakupan materi, output, dan outcome dari perkuliahan.
2.Secara bertahap mempersiapkan materi perkuliahan dalam bentuk file elektronik dan
memberikan beberapa sumber antara lain buku referensi dan link website.
3.Mendorong para mahasiwa untuk mengeksplorasi pengetahuan yang diperlukan
selanjutnya. Dosen umumnya diharapkan untuk menahan diri tidak memberikan
informasi, sebaliknya mendorong dilakukannya diskusi dan pembelajaran antar para
mahasiswa.
4.Sebagai evaluator. Walaupun peran dosen tidak lagi dominan dalam pelaksanaan
perkuliahan ber-PBL, namun tetap dosen bertanggung jawab penuh terhadap
keberhasilan pelaksanaan dan pencapaian tujuan perkuliahan. Untuk itu secara
berkelanjutan, dosen perlu mengevaluasi pelaksanaan perkuliahan dan melakukan
perbaikan segera bilamana diperlukan baik dari sisi content maupun proses.

1.2.
1.3.
1.4.

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1.Problem Based Learning (PBL) optimal untuk segala fakultas, tetapi tidak semua
mata kuliah dimungkinkan untuk dilaksanakan dengan metode PBL. Mata kuliah yang
sangat relevan dilaksanakan dengan metode PBL adalah mata kuliah kelompok Mata
Kuliah Keahlian Berkarya (MKB).
2.Secara umum pengimplementasian model ini mulai dengan adanya masalah yang harus
dipecahkan oleh mahasiswa. Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan
langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian mahasiswa belajar memecahkan
masalah secara sistematis dan terencana.
3.Infrastruktur harus dipersiapkan dalam pelaksanaan PBL dengan baik. Institusi,
mahasiswa, pengajar masing-masing mempunyai peran yang saling menunjang. Para
pengajar, terutama mempunyai peran memberikan inspirasi agar potensi mahasiswa
dimaksimalkan.

5.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis, antara lain:
1.Diperlukan penerapan metode Problem Based Learning (PBL) di berbagai fakultas,
sehingga dapat dihasilkan lulusan yang kompeten, mampu berkompetisi, cerdas, kreatif,
peka terhadap perubahan di lingkungan, serta mampu mencari solusi pemecahan
masalah.
2.Kurikulum perguruan tinggi di Indonesia seyogyanya diarahkan untuk case Problem
Based Learning (PBL) yang dilakukan melalui teori-teori ilmu pengetahuan
diorganisasikan diseputar masalah-masalah nyata yang diambil dari praktik-praktik
profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Adler, Ralph W. and Milne, Markus J. 1997. Improving The Quality of Accounting
Students’Learning Through Action-Oriented Learning Tasks. Accounting Education.
Vol. 6 No. 3: 191-215.
Amir, M. Taufiq. 2005. PBL Optimal Untuk Segala Bentuk Fakultas (Wawancara
dengan Prof. Howard Barrows, MD). Diakses dari
http://www.ibii.ac.id/files/newsletter/edisi3/ pada tanggal 21 Februari 2008.
Bahti, Husein H. 2006. Riset Multidisiplin Dan Terpadu Untuk Pelaksanaan Tridharma
Di Unpad Sebagai (Calon) Perguruan Tinggi Bhpmn Dengan Visi Research University.
Diakses dari http://www.unpad.ac.id pada tanggal 10 Februari 2008.
Dasna, I Wayan. 2005. Penggunaan Model Pembelajaran Problem-based Learning dan
Kooperatif learning untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kuliah
metodologi penelitian. Malang: Lembaga Penelitian UM.
Depdiknas. Buku Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi.
2003. Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi - Departemen Pendidikan Nasional.
Djanali, Supeno. 2005. Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan
Tinggi. Diakses dari http://www.kopertis4.or.id/ pada tanggal 21 Februari 2008.
Djanali, Supeno. 2005. Suasana Akademik. Diakses dari http://www.kopertis4.or.id/
pada tanggal 21 Februari 2008.
Ferdian, Riki. 2006. Pengaruh Problem-Based Learning (Pbl) Pada Pengetahuan
Tentang Kekeliruan DanKecurangan (Errors And Irregularities). Diakses dari
http://info.stieperbanas.ac.id/makalah/ pada tanggal 10 Februari 2008.
Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembahasan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Harsono. 2004. Pengalaman inovasi pendidikan di Fakultas Kedokteran UGM. Makalah


Seminar Penumbuhan Inovasi Sistem Pembelajaran: Pendekatan Problem-Based
Learning berbasis ICT (Information and Communication Technology), pada tanggal 15
Mei 2004, Yogyakarta.
Harsono, 2005, Pengantar Problem-Based Learning, edisi kedua. Medika: Fakultas
Kedokteran UGM, Yogyakarta.
Jogiyanto. 2006. Filosofi, Pendekatan dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus.
Yogyakarta: Andi.
Magister Management-UI. 2007. Proses Belajar-Mengajar. Diakses dari
http://www.mmui.edu/pcl.html pada tanggal 11 Februari 2008.
Nur, M., Wikandari, Prima, R.,. 1998. Pendekatan-pendekatan Konstruktivis dalam
Pembelajaran. Surabaya: IKIP Surabaya.
Ragil Turyanto. 2007. Case (Problem) Based Learning. Diakses dari
http://ragilt.org/archives/case-problem-based-learning.html pada tanggal 10 Februari
2008.
Saptono, R. 2003. Is Problem Based Learning (PBL) a better approach for engineering
education? CAFEO-21 (21st Conference of the Asian Federation of Engineering
Organization), 22-23 October 2003, Yogyakarta.
Sudarman. 2005. Problem Based Learning Suatu Model Pembelajaran untuk
Mengembangkan dan Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah. Diakses dari
http://jurnaljpi.files.wordpress.com/2007/09/04-sudarman.pdf pada tanggal 23 Februari
2008.
Suradijono, SHR. 2004. Problem-based learning: Apa dan bagaimana? Makalah
Seminar Penumbuhan Inovasi Sistem Pembelajaran: Pendekatan Problem Based
Learning berbasis ICT (Information and Communication Technology), 15/5/2004,
Yogyakarta.
Turyanto, Ragil. 2007. Case (Problem) Based Learning. Diakses dari
http://ragilt.org/archives/case-problem-based-learning.html pada tanggal 10 Februari
2008.

Warmada, I Wayan. 2004. Problem-based learning (PBL) berbasis teknologi informasi


(ICT). Diakses dari http://www.te.ugm.ac.id/ pada tanggal 10 Februari 2008.
Zulharman. 2007. Problem Based Learning (PBL). Diakses dari
http://zulharman79.wordpress.com/2007/07/15/problem-based-learning-pbl/ pada
tanggal 10 Februari 2008.

2. PBL
3. Ada beberapa definisi dan intepretasi terhadap Problem Based
Learning (PBL). Salahsatunya menurut Duch (1995):

Problem Based Learning (PBL) adalah metode pendidikan yang


medorong siswa untuk mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam
kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia
nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan
keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL
menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta
mampu untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-
sumber pembelajaran.

Sejarah PBL

Program inovatif PBL pertama kali diperkenalkan oleh Faculty of


Health Sciences of McMaster University di Kanada pada tahun 1966.
Yang menjadi ciri khas dari pelaksanaan PBL di mcmaster adalah
filosofi pendidikan yang berorientasi pada masyarakat, terfokus pada
manusia, melalui pendekatan antar cabang ilmu pengetahuan dan
belajar berdasar masalah.

Kemudian pada tahun 1976, Maastricht Faculty of Medicine di Belanda


menyusul sebagai institusi pendidikan kedokteran kedua yang
mengadopsi PBL. Kekhasan pelaksanaan PBL di Maastrich terletak
pada konsep tes kemajuan (progress test) dan pengenalan
keterampilan medik sejak awal dimulainya program pendidikan.
Dalam perkembangannya, PBL telah diadopsi baik secara keseluruhan
atau sebagian oleh banyak fakultas kedokteran di dunia.

Motivasi menggunakan PBL


4. Dalam pendidikan kedokteran konvensional, mahasiswa lebih banyak
menerima pengetahuan dari perkuliahan dan literatur yang diberikan
oleh dosen. Mereka diharuskan mempelajari beragam cabang ilmu
kedokteran dan menghapal begitu banyak informasi. Setelah lulus
dan menjadi dokter, mereka dihadapkan pada banyak masalah yang
tidak dapat diselesaikan hanya dari pengetahuan yang mereka dapat
selama kuliah. Sistem pendidikan kedokteran konvensional cenderung
membentuk mahasiswa sebagai pembelajar pasif. Mahasiswa tidak
dibiasakan berpikir kritis dalam mengidentifikasi masalah, serta aktif
dalam mencari cara penyelesainnya.
5. Prinsip-prinsip PBL

Dalam PBL, siswa dituntut bertanggungjawab atas pendidikan yang


mereka jalani, serta diarahkan untuk tidak terlalu tergantung pada
guru. PBL membentuk siswa mandiri yang dapat melanjutkan proses
belajar pada kehidupan dan karir yang akan mereka jalani. Seorang
guru lebih berperan sebagai fasilitator atau tutor yang memandu
siswa menjalani proses pendidikan. Ketika siswa menjadi lebih cakap
dalam menjalani proses belajar PBL, tutor akan berkurang
keaktifannya. 
Proses belajar PBL dibentuk dari ketidakteraturan dan kompleksnya
masalah yang ada di dunia nyata. Hal tersebut digunakan sebagai
pendorong bagi siswa untuk belajar mengintegrasikan dan
mengorganisasi informasi yang didapat, sehingga nantinya dapat
selalu diingat dan diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah-
masalah yang akan dihadapi. Masalah-masalah yang didesain dalam
PBL memberi tantangan pada siswa untuk lebih mengembangkan
keterampilan berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah
secara efektif.

Proses dalam PBL

Siswa dihadapkan pada masalah dan mencoba untuk menyelesaikan


dengan bekal pengetahuan yang mereka miliki. Pertama-tama
mereka mengidentifikasi apa yang harus dipelajari untuk memahami
lebih baik permasalahan dan bagaimana cara memecahkannya. 
Langkah selanjutnya, siswa mulai mencari informasi dari berbagai
sumber seperti buku, jurnal, laporan, informasi online atau bertanya
pada pakar yang sesuai dengan bidangnya. Melalui cara ini, belajar
dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan dan gaya tiap individu. 
Setelah mendapatkan informasi, mereka kembali pada masalah dan
mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari untuk lebih
memahami dan menyelesaikannya. 
Di akhir proses, siswa melakukan penilaian terhadap dirinya dan
memberi kritik mambangun bagi kolega.

You might also like