You are on page 1of 3

c c



c 

Iman dan amal shaleh ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Meskipun konsep iman itu
sifatnya abstrak, tapi amal shaleh yang lahir dari seseorang merupakan pantulan dari keimanan
tersebut. Itulah sebabnya sehingga sejumlah ayat dalam al-Quran selalu menyandingkan iman
dengan amal shaleh. Tingkat keberimanan seseorang akan melahirkan perilaku-perilaku nyata
dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hubungan itu, sehingga Rasulullah saw. dalam sejumlah haditsnya selalu mengaitkan
tingkat kesempurnaan iman seseorang dengan prilaku sehari-hari. Di antara prilaku yang dijadikan
Rasulullah saw. sebagai parameter keberimanan seseorang adalah sejauh mana tingkat
kepeduliaan seseorang terhadap sesamanya manusia.
Dalam sebuah hadits : Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Yahya
telah menceritakan kepada kami dari Syu¶bah dari Qatadah dari Anas r.a berkata bahwa Nabi saw.
telah bersabda ³tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.´ (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa¶i)
Hal ini mengandung arti bahwa di antara ciri kesempurnaan iman seseorang adalah bahwa ia
mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Kecintaan yang dimaksudkan di sini
termasuk di dalam rasa bahagia jika melihat sesamanya muslim mendapatkan kebaikan yang ia
senangi, dan tidak senang jika sesamanya muslim mendapat kesulitan dan musibah yang ia sendiri
membencinya. Ketiadaan sifat seperti itu menurut hadits di atas menunjukkan kurang atau
lemahnya tingkat keimanan seseorang.
Sifat seperti yang disebutkan Rasulullah tersebut hanya dapat terwujud jika seseorang
terhindar dari sifat dengki dan iri hati. Oleh sebab itu, dapat dipahami secara terbalik bahwa orang
yang menyimpan sikap dendam, dengki dan iri terhadap sesamanya muslim termasuk orang yang
belum sempurna tingkat keimanannya, mengingat bahwa sifat dengki yang dimiliki seseorang
terhadap sesamanya mengandung kebencian terhadap orang yang mengunggulinya dalam hal-hal
tertentu.
Salah satu ciri seorang mukmin yang benar adalah apabila melihat kebaikan pada saudaranya,
ia berharap mendapatkan kebaikan yang sama tanpa mengharapkan nikmat itu hilang dari
saudaranya. Jika melihat kekurangan pada saudaranya, maka ia berusaha memperbaikinya, sebab
orang mukmin dengan orang mukmin yang lain ibarat satu anggota tubuh yang saling melengkapi
satu sama lain.
Di sisi lain, dari hadits di atas memberikan isyarat betapa besar penghargaan Islam terhadap
persaudaaraan. Demikian besarnya arti persaudaraan, maka Islam menjadikannya sebagai salah
satu indikator keberimanan seseorang. Saudara yang dimaksudkan bukan hanya saudara yang
diikat hubungan nasab, tetapi lebih dari itu, persaudaran yang diikat oleh hubungan agama dan
keimanan. Persaudaraan semacam ini adalah persaudaraan suci yang datang dari hati nurani, yang
dasarnya keimanan bukan motif-motif lain. Persaudaraan atas dasar keimanan dan keislaman
merupakan persaudaraan yang abadi dan tidak akan luntur selama keimanan dan keislaman tetap
bersemayam di dalam hati dan diri seseorang.
Dalam berbagai riwayat lain, Rasulullah saw. menjelaskan keutamaan dan keistimewaan yang
dimiliki oleh orang yang saling mencintai dan menyayangi atas dasar kecintaan kepada Allah.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda: Qutaibah bin
Sa¶id telah menceritakan kepada kami dari Malik bin Anas sebagaimana dibacakan kepadanya dari
µAbdillah bin µAbd al-Rahman bin Ma¶mar dari Abi al-Hubab Sa¶id bin Yasar dari Abu Hurairah
berkata, Rasulullah saw. telah bersabda, ³pada hari kiamat Allah swt. akan berfirman: µdimanakah
orang yang saling berkasih sayang karena kebesaran-Ku, kini Aku naungi di bawah naungan-Ku,
pada saat tiada naungan kecuali naungan-Ku. (H.R. Muslim)
Dari keterangan ini kita tahu bahwa cinta yang mendatangkan kebahagiaan abadi adalah cinta
yang dibangun atas dasar keridhaan Allah swt. Orang yang membangun kecintaannya kepada
sesamanya manusia karena Allah swt. akan mendapatkan penghormatan istimewa di hari akhirat.
Orang seperti ini senantiasa memandang bahwa kehidupan yang bermakna adalah kehidupan yang
memberi makna kepada orang lain. Dengan demikian, ia selalu memposisikan dirinya sebagai
bagian dari masyarakat, yang harus membangun suatu tatanan hidup untuk kebahagiaan bersama.
Prinsip tersebut mengantarnya untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudaranya, baik
kebahagiaan maupun kesengsaraan. Sikap seperti ini menyebabkan terjadinya keharmonisan
hubungan antar individu yang akan memperkokoh persatuan dan kesatuan. Sehubungan dengan
hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
Khalad bin Yahya telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Sofyan telah
menceritakan kepada kami dari Abi Burdah ibn µAbdillah ibn Abi Burdah dari kakeknya dari Abi
Musa dari Nabi saw. telah bersabda: ³sesungguhnya antara seorang mukmin dengan mukmin
lainnya bagaikan bangunan yang saling melengkapi (memperkokoh) satu sama lain.´ (H.R. Bukhari
dan Muslim.)
Tatanan masyarakat yang penuh cinta kasih tidak hanya sebatas konsep dan motivasi dari
Rasulullah saw., tapi beliau sudah terlebih dahulu mempraktekkannya dalam masyarakat Madinah
pada peristiwa hijrah. Rasulullah mempersaudarakan mereka atas dasar persaudaraan agama,
sehingga jiwa mereka terpaut satu sama lain melebihi hubungan persaudaraan sedarah. Kaum
Anshar dengan tulus ikhlas menolong dan merasakan penderitaan yang dialami oleh kaum
Muhajirin sebagai penderitaannya. Perasaan seperti itu bukan didasarkan keterkaitan darah atau
keluarga, tetapi didasarkan pada keimanan yang teguh. Tak heran kalau mereka memberikan apa
saja yang dimilikinya untuk menolong saudaranya dari kaum Muhajirin, bahkan ada yang
menawarkan salah satu istrinya untuk dinikahkan kepada saudaranya dari kaum Muhajirin.
Persaudaraan seperti itu mencerminkan betapa kokoh dan kuatnya keimanan seseorang. Ia
selalu siap menolong saudaranya seiman meskipun tanpa diminta, bahkan tidak jarang
mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong saudaranya. Perbuatan baik seperti itulah
yang akan mendapat pahala besar di sisi Allah swt
Allah swt. berfirman dalam QS. Ali Imran (3): 92:
Terjemahnya:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah
mengetahuinya.
Sebaliknya, orang-orang mukmin yang hanya mementingkan dirinya sendiri, dan tidak memiliki
semangat ihsan terhadap sesamanya, orang seperti itulah yang masuk dalam kategori belum
sempurna keimanannya, meskipun mereka taat dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya
kepada Allah. Kesalehan seseorang tidak hanya diukur dengan parameter ketaatan melaksanakan
kewajiban individual terhadap al-Khaliq, tetapi juga harus dibarengi dengan hablum minan nas
yang baik.
Perlu diingat kembali bahwa perintah untuk mencintai sesama muslim haruslah senantiasa
berada dalam semangat ketaatan kepada Allah. Tidaklah benar jika atas alasan menolong sesama
manusia sehingga mengabaikan rambu-rambu Alah, sebab tidak ada ketaatan terhadap makhluk
dalam mendurhakai Allah. Oleh sebab itu, tidaklah dikategorikan berbuat baik kepada sesamanya
jika pertolongan yang diberikannya membantu orang tersebut dalam melakukan kemaksiatan
kepada Allah, sebab dalam kondisi seperti itu berarti memposisikan makhluk pada posisi Tuhan.

Adam bin Abi Isa telah mengabarkan kepada kami, ia berkata bahwa Syu¶bah telah
mengabarkan kepada kami dari µAbdullah bin Abi al-Saffar dan Isma¶il bin Abi Khalid dari al-Sya¶biy
dari µAbdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Nabi SAW. telah bersabda: ³orang muslim adalah orang
yang orang-orang Islam (yang lain) selamat dari lisan dan tangannya dan orang yang hijrah adalah
orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang Allah swt. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa¶i)
Hadits di atas tampak sangat singkat tetapi berisi pesan moral yang sangat sarat dengan
makna. Inti pesan dalam hadits tersebut ada dua, yaitu: membangun hubungan antar manusia
(hablum minan nas) yang harmonis, dan membina aktivitas dalam bingkai ketaatan kepada Allah
(hamblum minallah).
Pesan pertama yang tekandung dalam hadits di atas adalah memberi motivasi agar umat Islam
senantiasa berlaku baik terhadap sesamanya muslim dan tidak menyakitinya, baik secara fisik
maupun hati. Mengingat pentingnya hubungan baik dengan sesama muslim, maka Rasulullah saw.
menjadikannya sebagai ciri tingkat keislaman seseorang. Orang yang tidak memberikan rasa
tenang dan nyaman terhadap sesamanya muslim dikategorikan orang muslim sejati.
Hadits di atas tidaklah bertolak belakang dengan hadits tentang rukun Islam, yang nota
benenya jika telah terpenuhi maka seseorang sudah dianggap muslim. Hadits di atas lebih
berorientasi moral (moral oriented) bahwa muslim yang sejati tidak hanya memenuhi rukun Islam
secara formal, tetapi keislaman yang benar ialah di samping terpenuhinya rukun Islam, juga harus
senantiasa tercermin dalam segala tingkah lakunya nilai-nilai moral yang islami.
Keislaman seseorang belumlah dianggap sempurna dan sejati jika hanya terpaku pada ibadah
ritual sebagai kewajibannya terhadap Allah swt., lalu meremehkan hubungannya dengan sesama
manusia. Ajaran Islam tidak sepenuhnya berdimensi Ilahiyah, tetapi juga berdimensi insaniyah,
meskipun semuanya bermuara kepada ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, berlaku baik
kepada sesama manusia juga merupakan bagian dari ajaran Islam yang tidak dapat diabaikan.
Menyakiti sesama manusia mempunyai bentuk yang bermacam-macam. Namun dalam hadits
di atas hanya menyebutkan dua anggota tubuh secara simbolik. Penggunaan tangan untuk
gangguan fisik kepada secara metafora karena tanganlah yang paling banyak menyakiti manusia.
Selain itu, lidah merupakan bagian dari anggota tubuh yang paling banyak menyakiti hati sesama
manusia.
Oleh sebab itu, seorang muslim yang sejati harus mampu menjaga dirinya sehingga orang lain
selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek tangan dan mulutnya. Dengan kata lain, ia harus
berusaha agar saudaranya sesama muslim tidak merasa disakiti oleh tangannya, baik fisik seperti
dengan memukulnya, merusak harta bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya.
Adapun menyakiti orang lain dengan lisan, misalnya dengan memfitnah, mencaci, mengumpat,
menghina, dan lain-lain. Perasaan sakit yang disebabkan oleh lidah lebih sulit dihilangkan daripada
sakit akibat pukulan fisik. Tidak jarang terjanya perpecahan, perkelahian, bahkan peperangan di
berbagai daerah akibat tidak dapat mengontrol lidah. Salah satu pepatah Arab menyatakan:
Artinya: ³Keselamatan seseorang terletak sejauhaman ia menjaga lisannya.´
Dengan demikian, seseorang harus berusaha untuk tidak menyakiti saudaranya dengan cara
apapun dan kapan pun. Sebaliknya, ia selalu berusaha menolong dan menyayangi saudaranya
seiman sesuai dengasn kemampuan yang dimilikinya. Hal itu karena menjaga orang lain, baik fisik
maupun perasaan sangat penting dalam Islam.
Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh lisan, maka Allah swt. mengancam akan
menggugurkan nilai pahala sedekah seseorang yang senantiasa menyakiti hati sesamanya dengan
berbagai bentuknya. Sehubungan dengan hal ini. Allah swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah (2):
264:
Terjemahnya:
³Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) . . .´

You might also like