You are on page 1of 14

KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH

DAN DINASTI ABBASIYYAH


Oleh: Zainuddin
(Ketua LP3M & Dosen pada STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa)

Abstract
Islamic education which began by the Prophet Muhammad in Mecca
which later developed in Medina continued to develop and
growth rapidly until it reaches a time which the Historians say as the
heyday of Islamic education. This period begins with the growing
breadth of Islamic educational institutions and formal madrassas in
various centers of Islamic culture. This influenced by the soul and
spirit of the Muslims at that time very deep and its experiences
against Islamic teachings. But Islamic education which had reached
these peak periods, gradually began to decline when compared with
the period previously. This event lasts from the fall of Baghdad and
Granada in addition to several other factors.

Keywords: Kemunduran, Pendidikan Islam, Umayyah dan Abbasiyyah

I. Pendahuluan
Di kala umat manusia dalam kegelapan dan kehilangan pegangan
hidupnya, lahirlah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Ketika
menginjak usia 40 tahun, Nabi Muhammad saw lebih banyak
bertahannuts, yang pada malam 17 Ramadhan/06 Agustus 610 M di Gua
Hiro, datanglah malaikat Jibril dengan membawa wahyu pertama, yaitu
surat Al-‘Alaq ayat 1-5. Dengan wahyu tersebut beliau telah menjadi rasul
pilihan Allah yang bertugas menyampaikan perintah Allah kepada
segenap umat manusia. Semasa kerasulannya, beliau banyak membawa
pengikut kepada ajaran Allah. Hingga peradaban Islam pun tertanam
pada hati segenap umatnya dan dalam lingkungannya.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, kekhalifahan dipegang
oleh Khulafaur- Rasyidin. Banyak upaya yang dilakukan pada masa-masa
tersebut hingga pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dengan
meninggalnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, maka bentuk pemerintahan
kekhalifahan telah berakhir. Berubahnya bentuk pemerintahan dari
khalifah ke dinasti (kerajaan) tidak membuat ajaran Islam berubah pula,
melainkan peradabannya mengalami perkembangan yang pesat.
Kemudian dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan dinasti (kerajaan),
yaitu dinasti Bani Umayyah dan dinasti Bani Abbasiyah.

II. Pembahasan
A. 1. Sekilas Tentang Dinasti Umayyah

Dinasti Umayyah adalah kerajaan Islam pertama yang didirikan


oleh Mu'awiyah ibn Abi Sofyan pada tahun 41 H/661 M. tahun ini disebut
dengan 'Aam al-Jama'ah karena pada tahun ini semua umat Islam sepakat
atas ke-kholifah-an Mu'awiyah dengan gelar Amir al-Mu'minin.1

Dinasti Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan


bin Harb bin Umayyah. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan
dengan berbagai cara, siasat, dan tipu muslihat yang licik, bukan atas
dasar demokrasi yang berdasarkan atas hasil pilihan umat Islam. 2 Dengan
demikian, berdirinya dinasti ini bukan berdasarkan hukum musyawarah.
Dinasti Bani Umayyah berdiri selama ± 90 tahun (40 – 132 H / 661 –
750 M), dengan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya. Dinasti
Umayyah sangat bersifat Arab Orientalis, artinya dalam segala hal dan
segala bidang para pejabatnya berasal dari keturunan Arab murni, begitu
pula dengan corak peradaban yang dihasilkan pada masa dinasti ini. Pada
masa pemerintahan dinasti ini banyak kemajuan, perkembangan, dan
perluasan daerah yang dicapai, terlebih pada masa pemerintahan Khalifah
Walid bin Abdul Malik (86 – 96 H / 705 – 715 M).
Pada masa awal pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan ada
usaha memperluas wilayah kekuasaan ke berbagai daerah, seperti ke
India dengan mengutus Muhallab bin Abu Sufrah, dan usaha perluasan
1
Mana' al-Qatthon, Tarik al-Tasyri' al-Islam, (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. 4, t.t) h. 257
2
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: Karya Toha Putra, 2003),h. 41
ke Barat ke daerah Byzantium di bawah pimpinan Yazid bin Muawiyah.
Selain itu juga diadakan perluasan wilayah ke Afrika Utara. Juga
mengerahkan kekuatannya untuk merebut pusat-pusat kekuasaan di luar
jazirah Arab, antara lain kota Konstantinopel.
Menurut catatan sejarah dinasti Umayyah ini terbagi menjadi dua
periode, yaitu :

1. Dinasti Umayyah I di Damaskus (41 H/661 M – 132H/750 M),


dinasti ini berkuasa kurang lebih selama 90 tahun dan mengalami
pergantian pemimpin sebanyak 14 kali. Diantara kholifah besar dinasti ini
adalah Muawiyyah ibn Abi Sofyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan
(685-705 M), al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz
(717-720 M), dan Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). 3 Sepeninggal
Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil
bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Akhirnya, pada tahun 750
M, dinasti ini digulingkan oleh dinasti Abbasiyyah.4

2. Dinasti Umayyah II di Andalus/Spanyol (755 – 1031 M), kerajaan


Islam di Spanyol ini didirikan oleh Abd al-Rahman I al-Dakhil. Ketika
Spanyol berada di bawah kekuasaan dinasti Umayyah-II ini, umat Islam
Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan. Terutama pada masa
kepemimpinan Abd al-Rahman al-Ausath, pendidikan islam
menunjukkan perkembangan yang sangat pesat.
Hal ini desebabkan karena sang kholifah sendiri terkenal sebagai
penguasa nyang cinta ilmu. Ia mengundang para ahli dari dunia islam
lainnya ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di sana menjadi
kian semarak.5

3
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: RajaGrafindon
Persada, cet. 14, 2003), h. 43.
4
Ibid., h. 47

5
Ibid., h. 95
Awal dari kehancuran dinasti Umayyah II di Spanyol ini bermula
ketika Hisyam II (400 H/1009 M – 403 H/1013 M) naik tahta dalamusia 11
tahun. Pada tahun 981 M khalifah menunjuk Ibn Abi 'Amir sebagai
pemegang kekuasaan secara mutlak. Pada tahun 1009 M khalifah
mengundurkan diri akibat beberapa kekacauan. Beberapa orang yang
dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggup
memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M Dewan Mentri
menghapus jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol sudah terpecah menjadi
beberapa negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu. 6

A. 2. Sekilas Tentang Dinasti Abbasiyyah

Dinasti Abbasiyyah adalah dinasti yang didirikan oleh salah satu


keturunan al-Abbas paman Nabi saw, yaitu Abdullah Al-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Dinasti ini berkuasa
dalam rentang waktu yang sangat panjang, yakni mulai tahun 132 H/750
M sampai 656 H/1258 M.
Daulah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan
daulah Umayyah yang telah hancur di Damaskus. Dinasti Abbasiyah di
samping bercorak Arab murni, juga terpengaruh dengan corak pemikiran
dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir, dan sebagainya. Juga dinasti
Abbasiyah ini sistem politiknya lebih bersifat demokratis dari pada dinasti
Umayyah yang Orientalis.
Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mahdi (158 – 169 H / 775 –
785 M), dinasti Abbasiyah memperluas kekuasaan dan pengaruh Islam ke
wilayah Timur Asia Tengah, dari perbatasan India hingga ke China. Saat
itu umat Islam berhasil memasuki selat Bosporus, sehingga membuat Ratu
Irene menyerah dan berjanji membayar upeti. Pada masa dinasti ini pula
wilayah kekuasaan Islam sangat luas yang meliputi wilayah yang telah
dikuasai Bani Umayyah, antara lain Hijjaz, Yaman Utara dan Selatan,

6
Ibid., h. 97
Oman, Kuwait, Iran (Persia), Irak, Yordania, Palestina, Libanon, Mesir,
Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Spanyol, Afghanistan, dan Pakistan. Juga
mengalami perluasan ke daerah Turki, wilayah-wilayah Armenia dan
daerah sekitar Laut Kaspia, yang sekarang termasuk wilayah Rusia.
Wilayah bagian Barat India dan Asia Tengah, serta wilayah perbatasan
China sebelah Barat.
Secara garis besar ada 2 faktor penyebab tumbuh dan
perkembangnya peradaban Islam, yakni faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal berasal dari dalam ajaran Islam bahwa ajaran
Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, memiliki kekuatan
yang luar biasa yang mampu memberikan motivasi bagi para pemeluknya
untuk mengembangkan peradabannya.
Sedangkan faktor eksternal, yaitu ajaran yang merupakan proses
sejarah umat Islam di dalam kehidupannya yang dijiwai oleh nilai-nilai
ajaran Islam. Faktor penyebab tersebut adalah semangat Islam,
perkembangan organisasi ketatanegaraan, perkembangan ilmu
pengetahuan, dan perluasan Islam.7
Para sejarawan biasanya membagi dinasti ini menjadi lima periode,
yaitu :
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), periode ini
disebut sebagai periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), periode ini
disebut sebagai masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), preiode ini
disebut periode pengaruh Persia kedua. Pada masa ini dinasti
Abbasiyyah dipegang oleh Bani Buwaih.
4. Periode Keempat (447 H/1005 M – 590 H/1194 M), disebut
dengan masa pengaruh Turki kedua. Pada masa ini dinasti
Abbasiyyah dipegang oleh Bani Seljuk.
7
Murodi, Sejarah…, h. 56
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), pada masa ini
bani Abbasiyyah kembali memegang kekuasaan lagi, tetapi
hanya efektif disekitar kota Baghdad.8
Menurut W. Montgomery Watt, sebagaimana dikutip oleh Badri
Yatim, Dinasti Abbasiyyah mencapai puncak kejayaannya ketika berada
di bawah pimpinan Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya
yaitu al-Ma'mun (813-833 M). Terutama pada masa al-Ma'mun – yang
dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan –
gerakan penerjemahan buku-buku asing sanagat digalakkan.
Selain itu, beliau juga benyak mendirikan sekolah yang salah
satunya adalah pembangunan Bait al-Hikmah sebagai pusat
penerjemahan dan berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan
perpustakaan yang sangat besar.9 Prestasi menggemilangkan yang diraih
Islam pada masa Dinasti Abbasiyyah hanya terjadi pada periode pertama
saja. Adapun pada periode selanjutnya, pemerintahan dinasti ini mulai
menurun terutama dalam bidang politik. Perkembangan peradaban dan
kebudayaan serta kemajuan besar yang telah dicapai oleh Dinasti
Abbasiyyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa pada
periode selanjutnya untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok.
Hal ini ditambah dengan kelemahan khalifah dan faktor lainnya
menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.
Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang
semula diangkat oleh Khalifah al-Mu'tashim untuk mengambil kendali
pemerintahan.
Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas
mulai terlihat sejak abad ke-9. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan
datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di
propinsi-propinsi tertentu yang membuat meraka benar-benar

8
Ibid., h. 49-50
9
Ibid., h. 52
independent. Pengangkatan tentara Turki ini dalam perkembangan
selanjutnya ternyata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah.
Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode
kedua, pada periode ketiga. Pada periode ketiga Daulah Abbasiyyah
berada di bawah kekuasan Bani Buwaihi. Kekuatan politik Bani Buwaihi
tidak bertahan lama. Setelah generasi pertama, kekuasaan menjadi ajang
pertikaian diantara anak-anak mereka. Masing-masing merasa berhak atas
kekuasaan pusat. Perebutan kekuasaan ini merupakan salah satu faktor
internal yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Bani Buwaihi.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan Abbasiyyah jatuh ke
tangan Bani Seljuk (447 H/1055 M – 590 H/119 M). Namun, karena timbul
konflik-konflik dan peperangan diantara mereka, kekuasaan mereka pun
melemah, sehingga kekuasaan politik khalifah Abbasiyyah menguat
kembali terutama untuk wilayah Irak. Setelah kekuasaan Bani Seljuk atas
Bani Abbasiyyah berakhir, khilafah islamiyyah kembali dipegang oleh
Bani Abbasiyyah (590 H/1199 M – 656 H/1258 M), tetapi hanya di
Baghdad dan sekitarnya saja. Pada masa inilah datang tentara Mongol
dan Tartar menghancurluluhkan Baghdad tanpa ada perlawanan yang
berarti.10

B. Relasi Politik dengan Maju-Mundurnya Pendidikan Islam

Pendidikan sebagai suatu sistem di suatu wilayah, tentunya tidak


dapat dipisahkan dari situasi politik di wilayah tersebut. Berubah-
ubahnya kebijakan politik membuat berubah-ubahnya kebijaksanaan
penguasa terhadap pelaksanaan pendidikan Islam.
Ketika Islam berada di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah,
pelaksanaan pendidikan Islam semakin meningkat jika dibandingkan
dengan pendidikan pada masa sebelumnya. Pendidikan Islam yang

10
Ibid., h. 61 – 80, lihat juga Ensiklopedi Islam, (Jakarta Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994,
cet. 3), h. 4 – 9.
sebelumnya hanya dilaksanakan di kuttab, masjid dan rumah, pada masa
ini pendidikan juga dilaksanakan di istana untuk mendidik anak-anak
keluarga kerajaan. Pada masa ini pula mulai ada perhatian pembidangan
ilmu tafsir, hadist, fikih dan ilmu kalam.
Dibidang ilmu kalam mulai tampak pula salah satu gerakan teologi
Islam yang dipelopori oleh Washil ibn 'Atho' yaitu Mu'tazilah sebagai
respon terhadap aliran Khawarij dan Murji'ah. Semakin meluasnya
kekuasaan Islam ke berbagai wilayah di luar Arab, memicu umat Islam
untuk mengembangkan Bahasa Arab yang diantara tokohnya adalah Abu
al-Aswad ad-Duali dan Sibawaih. Karena usahanya inilah, Philip K. Hitti
– sebagaimana dikutip oleh Hanun Asrohah – mengatakan bahwa masa
Dinasti Umayyah ini adalah masa inkubasi atau masa tunas bagi
pertumbuhan intelektual Islam. Usaha ini berhasil dilaksanakan oleh
Dinasti Umayyah karena didukung oleh mantapnya stabilitas sosial,
politik dan ekonomi.11
Meskipun pada masa al-Walid II Ibn Yazid II (126-127 H) situasi
politik terganggu, namun tidak demikian halnya dengan perkembangan
keilmuan. Hal ini dikerenakan adanya faktor yang tidak diapat dianggap
remeh, yaitu sikap umat Islam yang menghargai pengetahuan. Ini dapat
dibuktikan dengan lahirnya dua madzhab besar yakni Madzhab Hanafi
yang didirikan oleh Abu Hanifah (80 H-150 H) dan Madzhab Maliki (96
H-117 H).
Pengaruh helenisme12 pun juga mulai tampak pada masa ini.
Pemikiran helenistik ini pertama kali menjadi perhatian umat Islam

11
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1999, cet. I), h. 22-24
12
Orang Yunani kuno menyebut diri mereka sendiri dengan Hellenes, segala sesuatu yang
dipandang sebagai milik budaya mereka disebut Hellenic. Adapun bentuk kebudayaan Yunani
Kuno yang berkembang sesudah masa Alexander the Great disebut Hellenistic, yang artinya
“seperti atau mirip, tetapi tidak sungguh-sungguh Yunani”. Sedangkan paham untuk
mengembangkan dan mempelajari kebudayaan Hellenistic yang berkembang di India kemudian
disebut dengan Hellenisme (Trevor Cairns, Men Become Civilized. Cambridge Introduction to the
History Mankind. (Cambridge: Cambridge University Press. 1985), h. 93
setelah mereka tertarik kepada masalah teologi. Perdebatan antara umat
Islam dengan Kristen menyebabkan umat Islam mengenal kebudayaan
helenistik, seperti istilah-istilah dalam helenistik, argumen-argumen
rasional dan ilmu sastra. Hal ini terlihat dengan adanya usaha
penerjemahan buku-buku yunani, misalnya yang dilakukan oleh
Masarjawaih – ahli fisika Yahudi – telah menerjemahkan buku
kedokteran, astronomi dan kimia ke dalam bahasa arab.
Pendidikan Islam yang masa tunasnya dirintis oleh Dinasti
Umayyah dapat mencapai kemajuan setelah Dinasti Abbasiyyah
mengambil alih kekuasaan. Kemajuan pendidikan terus meningkat setelah
Bani Abbas mengambil kebijakan dengan mengangkat orang-orang Persia
menjadi pejabat istana. Lebih-lebih setelah aliran Mu'tazilah yang
berpikiran rasional dijadikan sebagai madzhab negara. Ini terjadi ketika
Dinasti Abbasiyyah dipimpin oleh al-Makmun (813-833 M). Pada masa ini
berkembang ilmu pengetahuan dan filsafat, sebagaimana berkembang
ilmu agama dan bahasa arab.13 Namun pda masa al-Mutawakkil pengaruh
Mu'tazilah tersebut mulai dihapus. Karena Ia merasa khawatir akan
keresahan umat islam. Selain itu Ia juga beralih mendukung golongan Ahl
al-Sunnah wa al-Jama'ah yang dianut oleh mayoritas umat Islam.14 Akibat
dari itu semua adalah timbulnya sikap anti pati umat terhadap ilmu-ilmu
rasional.
Disamping itu, Islam di Andalusia pun mengalami perkembangan
yang sangat signifikan. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan
mulai dikembangkan pada abad ke-9 M. atas inisiatif al-Hakam (961-976
M), karya-karya ilmiah dan filosofis di impor dari wilayah timur dalam
jumlah besar sehingga Cordova mampu menyaingi Baghdad sebagai
pusat ilmu pengetahuan dunia islam15. Pada masa itu lahirlah beberapa

13
Mahmud Yunus, Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992, cet. 7), h. 88
14
Asrohah, Sejarah Pendidikan…, h. 105
15
Yatim, Sejarah Peradaban..., h.101.
ahli filsafat yang diantaranya ialah Ibn Bajjah, Ibn Thufail, Ibn Rusyd, Ibn
Khaldun dll. Namun setelah Islam lenyap dari bumi Andalusia, lenyap
pulalah filsafat.

C. Kemunduran Pendidikan Islam

Sepanjang sejarahnya, sejak awal dalam pemikiran Islam telihat


dua pola pemikiran yang saling berlomba mengembangkan diri dan
memiliki andil yang sangat besar dalam pendidikan Islam, yaitu :
1. Pola pemikiran yang bersifat tradisional yang selalu
mendasarkan diri pada wahyu yang berkembang menjadi
pemikiran sufistik dan kemudian mengembangkan pola
pendidikan sufi, dan
2. Pola pemikiran rasional yang mementingkan akal yang
mengembangkan pola pendidikan rasional. Pola ini sangat
memperhatikan pendidikan intelektual dan material.
Kedua pola pendidikan yang menghiasi dunia Islam tersebut, pada
masa kejayaan pendidikan Islam merupakan dua pola pendidikan yang
berpadu dan saling melengkapi. Namun setelah umat Islam
meninggalkan pola pemikiran yang bersifat rasional dan hanya
mengambil pola pemikiran sufistik, maka pola pendidikan yang
dikembangkannya pun tidak lagi menghasilkan perkembangan
kebudayaan Islam yang bersifat material. Dari sinilah dapat dikatakan
bahwa pendidikan Islam mengalami kemunduran atau setidak-tidaknya
mengalami kemandegan.16 Fazlur Rahman – sebagaimana dikutip oleh
Zuhairini – mengatakan bahwa penutupan pintu ijtihad selama abad ke-4
H/10 M dan 5 H/11 M telah membawa kemacetan umum dalam ilmu
hokum dan ilmu intelektual, khususnya ilmu yang pertama. Dengan
semakin ditinggalkannya pendidikan intelektual, maka semakin statis
perkembangan kebudayaan Islam. Ketidak mampuan intelektual dalam

16
.Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008, cet. 9) h. 109
memecahkan berbagai
permasalah yang baru yang timbul akibat perubahan zaman, ikut
merealisasi dengan adanya pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup,
sehingga terjadilah kebekuan intelektual secara total. 17
Lenyapnya metode berfikir rasional yang telah dikembangkan oleh
kaum Mu'tazillah ini mulai terjadi ketika Khalifah al-Mutawakkil
menyatakan bahwa aliran Mu'tazilah tidak lagi menjadi madzhab negara
dan digantikan dengan aliran Asy'ariyah, ditambah dengan sikap anti pati
umat Islam terhadap aliran Mu'tazilah. Ketika golongan Sunni memegang
otoritas politik, tokoh-tokoh Mu'tazillah diusir. Umat islam menjadi
antipati terhadap ilmu-ilmu aqliyyah. Akibatnya, perkembangan ilmu
rasional menjadi sedikit.18 Antipati terhadap Mu'tazilah menyebabkan
pengawasan yang ketat terhadap kurikulum. Untuk mengembalikan
paham Ahlussunnah sekaligus memperkokohnya, ulama-ulama
melakukann kontrol terhadap kurikulum di lembaga pendidikan.
Materi-materi yang diajarkan pun hanya terbatas pada ilmu-ilmu
keagamaan. Lembaga-lembaga pendidikan tidak lagi megajarkan ilmu-
ilmu filosofis, termasuk ilmu-ilmu pengetahuan.
Dengan dicurigainya pemikiran rasional daya penalaran umat
Islam
mengalami kebekuan sehingga pemikiran kritis, penelitian, dan ijtihad
tidak lagi dikembangkan. Akibat dari itu semua, tidak ada lagi ulama-
ulama yang menghasilkan karya-karya yang mengagumkan. Mereka tidak
mau berusaha untuk memunculkan gagasan keagamaan yang cemerlang
dan hanya mencukupkan diri dengan karya-karya masa lampau. Usaha
yang mereka tempuh hanyalah sebatas mensyarahi atau menta'liq yang
bertujuan untuk memudahkan pembaca untuk memahaminya atau
menambah penjelasan dengan mengutip pendapat ulama lainnya.19
17
Ibid., h. 111
18
Asrohah, Sejarah Pendidikan…, h. 94
19
Ibid., h. 121
Kondisi ini diperparah lagi oleh serangan orang-orang Tartar dan
Mongol pada pertengahan abad ke-13 M, yang menghancurkan kerajaan
Abbasiyyah. Dalam peristiwa itu umat Islam kehilangan lembaga-
lembaga pendidikan dan buku-buku ilmu pengetahuan yang sangat
berharga nilainya.20 Hancurnya pusat-pusat kebudayaan Islam (Baghdad
dan Granada) menimbulkan rasa lemah dan putus asa dikalangan
masyarakat kaum muslimin, sehingga menimbulkan gaya hidup yang
fatalistis dalam masyarakat dan mengembalikan segala urusan pada
Tuhan.
Seseorang yang frustasi dan fatalis tidak lagi percaya pada
kemampuannya untuk maju atau mengatasi problem keagamaan dan
kemsyarakatan. Mereka lari dari kenyataan dan hanya mendekatkan diri
kepada Tuhan. Untuk itulah kebanyakan dari umat Islam pada masa itu
masuk ke tarekat-tarekat dengan hanya berdzikir dan berdoa semoga
Allah menghapus penderitaan mereka dan mengembalikan kejayaan yang
pernah diraih. Berpikir secara ilmiah dan naturalis tidak lagi diterapkan.
Oleh karena itu berkembanglah tahayyul dan khurafat di kalangan
masyarakat.21
M.M. Sharif – sebagaimana dikutip oleh Zuhairini 22 – mengatakan
bahwa diantara sebab melemahnya pemikiran Islam tersebut antara lain :
1. Telah berkelebihan filsafat Islam yang bercorak sufi yang dimasukkan
oleh al-Ghozali yang mengarah pada bidang rohaniah sehingga
menghilang ke alam mega tasawuf yang kemudian menjadi satu
aliran
penting di dunia timur.
2. Umat Islam, terutama pemerintahnya melalaikan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan tanpa memberi kesempatan untuk berkembang.
Pada
20
Asrohah, Sejarah Pendidikan…., h.123
21
Ibid., h. 125
22
Zuhairini, Sejarah Pendidikan..., h. 110
masa ini para ahli ilmu umumnya terlibat dalam urusan
pemerintahan
sehingga melupakan pengembangan ilmu pengetahuan.
3. Terjadinya pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar
yang mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan
pengetahuan dan kebudayaan. Sementara itu obor pikiran islam telah
berpindah tangan kepada kaum Masehi, yang telah mengikuti jejak
kaum muslim. Ini terjadi di wilayah barat akibat adanya
perkembangan filsafat yang bercorak rasional yang dikembangkan
oleh Ibn Rusyd yang kemudian menjadi pimpinan yang penting bagi
alam pikiran barat setelah Islam di Andalusia hancur.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uaraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
perkembangan keilmuan dan pendidikan di dunia Islam mulai
mengalami kemunduran ketika umat Islam tidak mau menggunakan gaya
pemikiran rasional dan hanya mencukupkan diri dengan karya-karya
ulama terdahulu tanpa ada usaha untuk menelurkan pemikiran baru ke
arah yang lebih konservatif. Hal ini disebabkan karena umat Islam mulai
mejauhi pemikiran filsafat akibat trauma atas peristiwa mihnah setelah
aliran Mu’tazilah mulai menjadi madzhab kenegaraan. Kondisi ini
diperparah lagi dengan keadaan para pejabat dan para kaum intelektual
yang tidak lagi perhatian dengan bidang keilmuan. Lebih-lebih ketika
pusat peradaban Islam mendapat serangan dari tentara tar-tar dan
mongol yang menghancurkan lembaga-lembaga pendidikan dan buku-
buku ilmiah yang membuat umat muslim putus asa sehingga lari ke dunia
sufistik
yang penuh dengan tahayyul dan khurafat.
B. Saran
1. Hendaknya umat islam mulai membuka pikiran dan tidak hanya
mencukupkan diri dengan karya-karya ulama terdahulu.
Bagaimanapun juga buku-buku tersebut merupakan karya
manusia melalui proses dialog dengan kondisi pada waktu itu
yang sudah barang tentu berbeda dengan masa sekarang.
2. Hendaknya pemerintah memberikan perhatian yang cukup
terhadap gerakan keilmuan dan pendidikan serta kaum
intelektual tidak terlalu menyibukkan diri dengan urusan
perpolitikan.

DAFTAR PUSTAKA

Yatim, Badri,. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyyah II, Jakarta:


RajaGrafindo Persada, 2003.
Muchtarom, Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 2008.
Asrohah, Harun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999.
Yunus, Mahmud, Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1992.

You might also like