You are on page 1of 21

BAB II

ISI

2.1. Pengertian Filsafat

Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman
akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa
Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa
Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab.

Para filsuf memberi batasan yang berbeda-beda mengenai filsafat, namun batasan yang berbeda
itu tidak mendasar. Selanjutnya batasan filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara
etimologi dan secara terminologi.

Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah atau juga dari
bahasa Yunani yaitu philosophia – philien : cinta dan sophia : kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami
bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Dan seorang filsuf adalah pencari kebijaksanaan,
pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat.

Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan pengertian
filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Seorang Plato
mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan
kebenaran yang asli. Sedangkan muridnya Aristoteles berpendapat kalau filsafat adalah ilmu
( pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Lain halnya dengan Al Farabi yang
berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) tentang alam maujud bagaimana hakikat
yang sebenarnya.

Berikut ini disajikan beberapa pengertian Filsafat menurut beberapa para ahli:
Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.

Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan
asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan
tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.

Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “( the mother of all
the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )

Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-
ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau
jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari
kebenaran dari seluruh kenyataan.

Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak
menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang
memikul sekaliannya .

Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange menjadi pokok dan
pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.

1. Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya metafisika )


2. Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika )
3. Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama )
4. Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi )

Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang
mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.

Driyakarya : filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya


ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang
penghabisan “.
Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang
segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.

Harold H. Titus (1979 ): (1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap
kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik
atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2) Filsafat adalah suatu
usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3) Filsafat adalah analisis logis dari
bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian ( konsep ); Filsafat adalah kumpulan

Bertrand Russel: Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan
sains. Sebagaimana teologi , filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah
yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan;namun,
seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun
otoritas wahyu.

Dari semua pengertian filsafat secara terminologis di atas, dapat ditegaskan bahwa filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam
dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.
2.2. Rumusan Pancasila Sebagai Suatu Sistem

Pancasila Sebagai Suatu Sistem

Pancasila yang terdiri dari lima sila pada hakikatnya adalah sebuah system. Yang
dimaksud dengan sistem adalah suatu kesatuan bagian – bagian yang saling berhubungan,
saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu
kesatuan yang utuh, system lazimnya memiliki cirri-ciri sebagai berikut :

a. Suatu kesatuan bagian-bagian

b. Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri

c. Saling berhubungan, saling ketergantungan

d. Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama

e. Yang terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.

Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila, di mana setiap
sila pada hakikatnya merupakan asas tersendiri, yang berfungsi masing-masing dengan
tujuan tertentu yang berbeda. Namun, isi masing-masing sila pada hakikatnya adalah satu
kesatuan dan keutuhan yang sifatnya majemuk tunggal, yaitu saling terkait antara sila yang
satu dengan sila yang lain dan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri.

Kesatuan Sila – Sila Pancasila

Susunan pancasila adalah hierarkis dan mempunyai bentuk piramidal. Pengetian ini
untuk menggambarkan hubungan hierarki sila-sila dari pancasila dalam urutan luas
(kwantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya (kwalitas). Kalau dilihat dari intinya, urut-
urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi sifat-sifatnya,
merupakan pengkhususan dari sila-sila yang dimukanya. Jika demikian, maka diantara lima
sila ada hubungan yang mengikat yang satu kepada yang lain sehingga pancasila merupakan
suatu kesatuan keseluruhan yang bulat.
Sila-sila pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya
saling mengisi atau mengkualifikasi dalam rangka hubungan hierarkis pyramidal diatas.
Tiap-tiap sila mengandung empat sila lainnya, dikualifikasi oleh empat sila lainnya.

2.2.1. Pancasila sebagai suatu sistem Filsafat

Pancasila sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat
menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila. Filsafat Pancasila dapat didefinisikan
secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan
kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang
mendasar dan menyeluruh.

Pancasila dikatakan sebahai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa
yang mendalam yang dilakukan oleh the faounding father kita, yang dituangkan dalam suatu
sistem (Ruslan Abdul Gani). Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan penngertian ilmiah
yaitu tentang hakikat dari Pancasla (Notonagoro).
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Yang
dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling
bekerjasama untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan
organis. Artinya, antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling
mengkualifikasi. Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang
manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan
masyarakat bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Dengan demikian Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri khas yang berbeda dengan
sistem-sistem filsafat lainnya, seperti materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme,
komunisme dan sebagainya.

Ciri sistem Filsafat Pancasila itu antara lain:


1. Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh. Dengan
kata lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-
pisah maka itu bukan Pancasila.
2. Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat
digambarkan sebagai berikut:
Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5;
Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3,
4 dan 5;
Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila
4, 5;
Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3, dan mendasari dan menjiwai
sila 5;
Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4.

Inti sila-sila Pancasila meliputi:

1. Tuhan, yaitu sebagai kausa prima

2. Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial


3. Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri

4. Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong

5. Adil, yaitu memberi keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi
haknya.

Membahas Pancasila sebagai filsafat berarti mengungkapkan konsep-konsep kebenaran


Pancasila yang bukan saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan juga bagi manusia pada
umumnya.,Wawasan filsafat meliputi bidang atau aspek penyelidikan ontologi, epistemologi,
dan aksiologi. Ketiga bidang tersebut dapat dianggap mencakup kesemestaan.

2.2.2. Pancasila sebagai sistem nilai

Sistem dapat diartikan sebagai rangkaian yang saling berkaitan antara unsur yang  satu
dengan yang lain. Sistem nilai adalah konsep atau gagasan yang menyeluruh mengenai apa yang
hidup dalam pikiran seseorang. Pancasila sebagai sistem nilai mengandung serangkain nilai yaitu
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Selain itu juga adanya nilai
material dan nilai vital yang bersumber dari dasar ontologis Pancasila.

Yang mengatakan bahwa niai-nilai Pancasila bersifat objektif, yaitu :

1.      Rumusan dari nilai-nilai Pancasila sebenarnya hakekat maknanya.

2.      Inti nilai-nilai Pancasila berlaku tidak terikat oleh ruang.


3.      Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 memenuhi syarat sebagai pokok
kaidah negara yang fundamental.

Darmodiharjo, mengatakan bahwa Pancasila brsifat subjektif, yaitu :

1.      Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia itu sendiri.

2.      Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia.

3.      Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai yangs sesuai dengan hati nurani bangsa
Indonesia.

* Makna Nilai dalam Pancasila

a. Nilai Ketuhanan

Nilai ketuhanan Yang Maha Esa Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan
bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai ini
menyatakan bangsa indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang
ateis. Nilai ketuhanan juga memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk
memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak
berlaku diskriminatif antarumat beragama.

b. Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan
perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan
hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya.

c. Nilai Persatuan

Nilai persatuan indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan
rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap
keanekaragaman yang dimiliki bangsa indonesia..

d. Nilai Kerakyatan

Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga
perwakilan.

e. Nilai Keadilan

Nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung makna sebagai
dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan
Makmur secara lahiriah atauun batiniah.

Nilai-nilai dasar itu sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya abstrak dan
normatif, isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat operasional
dan eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh nilai
instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebagai nilai dasar, nilai-nilai tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan
bersumber pada kelima nilai dasar diatas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai
instrumental penyelenggaraan negara Indonesia.

1. Nilai Pancasila menjadi Sumber Norma Hukum

Upaya mewujudkan Pancasila sebagai sumber nilai adalah dijadikannya nilai nilai
dasar menjadi sumber bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Operasionalisasi
dari nilai dasar pancasila itu adalah dijadikannya pancasila sebagai norma dasar
bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Negara Indonesia memiliki hukum
nasional yang merupakan satu kesatuan sistem hukum. Sistem hukum Indonesia itu
bersumber dan berdasar pada pancasila sebagai norma dasar bernegara. Pancasila
berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar) atau staatfundamentalnorm (norma
fondamental negara) dalam jenjang norma hukum di Indonesia.

Nilai-nilai pancasila selanjutnya dijabarkan dalam berbagai peraturan


perundangam yang ada. Perundang-undangan, ketetapan, keputusan, kebijaksanaan
pemerintah, program-program pembangunan, dan peraturan-peraturan lain pada
hakikatnya merupakan nilai instrumental sebagai penjabaran dari nilai-nilai
dasar pancasila.

Sistem hukum di Indonesia membentuk tata urutan peraturan perundang-undangan.


Tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan sebagai
berikut.

a. Undang-Undang Dasar 1945

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

c. Undang-undang

d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)

e. Peraturan Pemerintah
f. Keputusan Presiden

g. Peraturan Daerah

Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan


perundang-undangan juga menyebutkan adanya jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:

a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu)

c. Peraturan pemerintah

d. Peraturan presiden

e. Peraturan daerah.

Pasal 2 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pancasila merupakan


sumber dari segala sumber hukum negara. Hal ini sesuai dengan kedudukannya
sebagai dasar (filosofis) negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945
Alinea IV.

2. Nilai Pancasila menjadi Sumber Norma Etik

Upaya lain dalam mewujudkan pancasila sebagai sumber nilai adalah dengan
menjadikan nilai dasar Pancasila sebagai sumber pembentukan norma etik (norma
moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai
pancasila adalah nilai moral. Oleh karena itu, nilai pancasila juga dapat
diwujudkan kedalam norma-norma moral (etik). Norma-norma etik tersebut
selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam bersikap dan
bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bangsa indonesia saat ini sudah berhasil merumuskan norma-norma etik sebagai
pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma etik tersebut bersumber
pada pancasila sebagai nilai budaya bangsa. Rumusan norma etik tersebut
tercantum dalam ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa,
Bernegara, dan Bermasyarakat.

Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang etika Kehidupan Berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat merupakan penjabaran nilai-nilai pancasila sebagai pedoman dalam
berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai
keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat

a. Etika Sosial dan Budaya

Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan
kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling
mencintai, dan tolong menolong di antara sesama manusia dan anak bangsa. Senafas
dengan itu juga menghidupkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan
dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya
bangsa. Untuk itu, perlu dihidupkan kembali budaya keteladanan yang harus
dimulai dan diperlihatkan contohnya oleh para pemimpin pada setiap tingkat dan
lapisan masyarakat.

b. Etika Pemerintahan dan Politik

Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan
efektif; menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan
keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat; menghargai
perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk menerima pendapat yang
lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang; serta
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan mengamanatkan agar para
pejabat memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada
publik, siap mundur apabila dirinya merasa telah melanggar kaidah dan sistem
nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan
negara.

c. Etika Ekonomi dan Bisnis

Etika ekonomi dan bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi, baik
oleh pribadi, institusi maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi, dapat
melahirkan kiondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur,
berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan
kemampuan bersaing, serta terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan
ekonomi rakyat melalui usaha-usaha bersama secara berkesinambungan. Hal itu
bertujuan menghindarkan terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli,
kebijakan ekonomi yang bernuansa KKN ataupun rasial yang berdampak negatif
terhadap efisiensi, persaingan sehat, dan keadilan; serta menghindarkan perilaku
menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan.

d. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Etika penegakan hukum dan berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan keasadaran


bahwa tertib sosial, ketenangan, dan keteraturan hidup bersama hanya dapat
diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang ada.
Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi hukum sejalan dengan
menuju kepada pemenuha rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam
masyarakat.

e. Etika Keilmuan dan Disiplin Kehidupan

Etika keilmuan diwujudkan dengan menjunjung tingghi nilai-nilai ilmu pengetahuan


dan teknologi agar mampu berpikir rasional, kritis, logis dan objektif. Etika
ini etika ini ditampilkan secara pribadi dan ataupun kolektif dalam perilaku
gemar membaca, belajar, meneliti, menulis, membahas, dan kreatif dalam
menciptakan karya-karya baru, serta secara bersama-sama menciptakan iklim
kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dengan adanya etika maka nilai-nilai pancasila yang tercermin dalam norma-norma
etik kehidupan berbangsa dan bernegara dapat kita amalkan. Untuk berhasilnya
perilaku bersandarkan pada norma-norma etik kehidupan berbangsa dan bernegara,
ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai berikut.

a. Proses penanaman dan pembudayaan etika tersebut hendaknya menggunakan bahasa


agama dan bahasa budaya sehingga menyentuh hati nurani dan mengundang simpati
dan dukungan seluruh masyarakat. Apabila sanksi moral tidak lagi efektif,
langkah-langkah penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan konsisten.

b. Proses penanaman dan pembudayaan etika dilakukan melalui pendekatan


komunikatif, dialogis, dan persuasif, tidak melalui pendekatan cara
indoktrinasi.

c. Pelaksanaan gerakan nasional etika berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat


secara sinergik dan berkesinambungan yang melibatkan seluruh potensi bangsa,
pemerintah ataupun masyarakat.

d. Perlu dikembangkan etika-etika profesi, seperti etika profesi hukum, profesi


kedokteran, profesi ekonomi, dan profesi politik yang dilandasi oleh pokok-pokok
etika ini yang perlu ditaati oleh segenap anggotanya melalui kode etik profesi
masing-masing.

e. Mengkaitkan pembudayaan etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan


bermasyarakat sebagai bagian dari sikap keberagaman, yang menempatkan
nilai-nilai etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di samping
tanggung jawab kemanusiaan juga sebagai bagian pengabdian pada Tuhan Yang Maha
Esa.
2.3. Susunan kesatuan Pancasila yang bersifat Organis

Isi sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan, peradaban, dalam arti, setiap
sila merupakan unsur (bagian yang mutlak) dari kesatuan Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila
merupakan suatu kesatuan yang majemuk tunggal, dengan akibat setiap sila tidak dapat berdiri
sendiri-sendiri terlepas dari sila-sila lainnya. Di samping itu, di antara sila satu dan lainnya
tidak saling bertentangan.

Kesatuan sila-sila yang bersifat organis tersebut pada hakikatnya secara filisofis bersumber pada
hakikat dasar ontologis manusia sebagai pendukung dari inti, isi dari sila-sila Pancasila yaitu
hakikat manusia monopluralis yang memiliki unsur-unsur susunan kodrat jasmani-rohani, sifat
kodrat individu-mahluk sosial, dan kedudukan kodrat sebagai pribadi berdiri sendiri-mahluk
Tuhan Yang Maha Esa. Unsur-unsur itu merupakan suatu kesatuan yang bersifat organis
harmonis.

2.4. Susunan kesatuan Pancasila yang bersifat Hirarkhis dan berbentuk Piramidal.

Hirarkis dan piramidal mempunyai pengertian yang sangat matematis yang digunakan
untuk menggambarkan hubungan sila-sila Pancasila dalam hal urut-urutan luas (kuantiítas) dan
juga dalam hal isi sifatnya. Susunan sila-sila Pancasila menunjukkan suatu rangkaian tingkatan
luas dan isi sifatnya dari sila-sila sebelumnya atau diatasnya.

Dengan demikian, dasar susunan sila-sila Pancasila mempunyai ikatan yang kuat pada
setiap silanya sehingga secara keseluruhan Pancasila merupakan suatu keseluruhan yang bulat.
Oleh karena itu, sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis dari sila-sila
Pancasila berikutnya.

Secara ontologis hakikat Pancasila mendasarkan setiap silanya pada landasan, yaitu :
Tuhan, Manusia, Satu, Rakyat, dan Adil. Oleh karena itu, hakikat itu harus selalu berkaitan
dengan sifat dan hakikat negara Indonesia. Dengan demikian maka, sila pertama adalah sifat dan
keadaaan negara harus sesuai dengan hakikat Tuhan; sila kedua sifat dan keadaan negara harus
sesuai dengan hakikat manusia; sila ketiga sifat dan keadaan negara harus satu-sila keempat
adalah sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan hakikat rakyat; dan sila kelima adalah sifat
dan keadaan negara harus sesuai dengan hakikat

2.5. Kesatuan dasar Pancasila

Kesatuan sila-sila pancasila pada hakikatnya bukan hanya kesatuan yang bersifat formal
logis saja, namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar
aksiologis.

1. Dasar Antropologis Pancasila

Dasar Antropologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memilki


hakikat mutlak monopluralis. Subyek pendukung pancasila adalah manusia itu sendiri,
Hal ini dapat dijelaskan bahwa yang diatur dalam pancasila adalah manusia.

2. Dasar Epistemologis Sila-sila Pancasila

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada dasarnya adalah suatu sistem
pengetahuan. Dalam kehidupan, pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa
Indonesia dalam memandang realitas alam smesta, manusia, masyarakat, bangsa, dan
negara tentang makna hdup serta sebagai dasar bagi manusia menyelesaikan masalah
yang dihadapi dalam kehidupan.
Hal mendasar dalam epistemologis yaitu;

a. Sumber pengetahuan pancasila, yakni bangsa indonesia sendiri

b. Teori kebenaran pengetahuan manusia

c. Watak pengetahuan Indonesia

Sebagai suatu faham epistemologis maka pancasila mendasarkan pada pandangannya


bahwa ilmu pengethuan pada hakikatnya tidak bebbas nilai karena harus diletakkan pada
kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk
mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.

3. Dasar Aksiologis Sila-sila Pancasila

Dasar aksiologis pancasila adalah nila-nilai yang terkandung dalam pancasila


pada hakikatnya juga merupakan kesatuan atau bisa juga diartikan sebagai nilai-nilai
yang digunakan manusia untuk mengukur hakikat pancasila. Terdapat berbagai macam
teori tentang nilai dan hal ini sangat bergantung pada titik tolak dan sudut pandang
masing-masing dalam menentukan pengertian nilai dan hierarkinya.

Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat dikelompokkan pada dua
macam sudut pandang yaitu pandangan subjektif yang menganggap sesuatu itu bernilai
karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia. Yang kedua pandangan
objektif yang mengatakan bahwa hakikatnya sesuatu itu pada dirinya sendiri memang
bernilai.

 
2.6. Pancasila sebagai dasar Fundamental Negara Indonesia

Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD
1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas
nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu
disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR
No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.

Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara
(philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18
Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat
Indonesia yang merdeka.

Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir
d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila
merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung
tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.

Maka Pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam


masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila
sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum
semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka
“Bhinneka Tunggal Ika”.

Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak mendirikan
Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka
Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik … Negara tidak
mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak
mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan
dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara
Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk
kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal
itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang
didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan
mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang
adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan
dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan
kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan
kehidupan bangsa (keadilan sosial).”

Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga
merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan
dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak
azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan
itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah
manusia sesuai dengan principium identatis-nya.

Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman
sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-
piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu
sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari
pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus
dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha
memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan
Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.

Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan
utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara
tepat dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal
Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid
Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang
Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada
Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang
4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa.”

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar Fundamental negara
sesungguhnya berisi:

1. Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-
Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-
Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
3. Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang
adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan
beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang
ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan.

You might also like