You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Pancasila merupakan dasar pemkiran bansa Indonesia yang berdasarkan
Keruhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Adil dan Beradap, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan permusyawaratan/
perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila juga merupakan pandangan hidup bangsa serta kepribadian bangsa
yang mempunyai nilai-nilai luhur. Pancasila juga merupakan suatu sistem etika dan
politik yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, menjunjung persatuan dan
kesatuan, perdamaian dunia dan permusyawaratan yang adil dan beradap. Dalam
makalah ini akan diulas tentang pancasila sebagai suatu sistem etika politik yang
mempunyai nilai-nilai universal, sertaa moralitas.

1
BAB II
ISI
A. Pancasila sebagai Etika Politik

Dengan dipilihnya Pancasila sebagai dasar hidup bernegara dan berbangsa


atau sebagai dasar hidup berpolitik, maka politik tidaklah netral, tetapi harus
dilandasi nilai-nilai etis. Itulah salah satu tugas filsafat politik: mencerahi makna
berpolitik dan mengekplisitkan nilai-nilai etis dalam politik yang didasarkan atas
Pencasila.

Ada anggapan negatif dan sikap skeptik serta sinis terhadap politik. Ada
kecenderungan untuk menghindar dari politik. Namun perlu dicattat beberapa hal:
pertama, mau tidak mau kita tidak dapat lepas dari politik. Segala kegiatan kita
mengandaikan kerangka Negara dan masyarakat. Kedua, berbagai kesulitan yang
dihadapi dunia modern, seperti peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup,
kesenjangan sosial-ekonomi, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak dapat dipecahkan dengan meninggalkan politik, tetapi mengadakan
transformasi politik sedemikian rupa, sehingga memungkin kita membentuk dan
mengorganisir kehidupan secara efektif. Ketiga, sikap sinis dan skeptik terhadap
politik, bukan hal yang tak terhindari. Dengan membangun kredibilitas dan
kelayakan suatu model alternatif dan imaginatif institusi politik, ketidakpercayaan
akan pilitik bisa diatasi.

David Held mengartikan politik sebagai berikut: “Politik adalah mengenai


kekuasaan, yaitu mengenai kapasitas pelaku sosial dan institusi sosial untuk
mempertahankan atau mentransformir lingkungannya, sosial dan fisik. Politik
menyangkut sumber-sumber yang mendasari kapasitas ini dan mengenai kekuatan-
kekuatan yang membentuk dan mempengaruhi operasi dari kekuatan itu. Oleh
karena itu, politik adalah suatu fenomena yang diketemukan di dalam dan di antara
institusi dan masyarakat, melintasi kehidupan publik dan privat. Politik terungkap di
dalam semua aktivitas kerjasama, negosiasi dan perjuangan dalam penggunaan dan

2
distribusi sumberdaya. Politik terlibat dalam semua relasi, institusi dan struktur yang
melekat dalam aktivitas produksi dan reproduksi dalam kehidupan masyarakat.
Politik menciptakan dan mengkondisikan semua aspek kehidupan kita. Politik
berada pada inti perkembangan permasalahan dalam masyarakat dan cara kolektif
penyelesaian masalah tersebut.

Bagi Aristoteles manusia akan menjadi sempurna dan mencapai tujuan


kodratinya, kalau ia hidup dalam polis (negara-kota). Suatu Negara ada, demi hidup
baik dan bukan hanya untuk hidup saja. Seperti dikatakan H. Arend, “Polis
sebenarnya bukanlah Negara-kota (city-state) dalam lokasi fiknya; polis adalah
organisasi masyarakat yang muncul dari perbuatan dan pembicaraan bersama dan
ruang yang sebenarnya terletak di antara orang yang hidup bersama untuk tujuan itu,
tak peduli dimanapun terjadi. Maka istilah politik menunjuk kepada aktivitas dari
polis, dimana kesejahteraan bersama dideliberasikan dan keputusan yang secara
kolektif mengikat dibuat. Jadi politik muncul dari tindakan bersama, “sharing of
words and deeds”.
Ada hal-hal yang dapat kita petik dari kehidupan politik pada jaman Yunani
itu, meskipun harus diakui bahwa ada contoh yang jelek yang terjadi pada waktu itu,
misalnya wanita dan budak tidak termasuk dalam warganegara. Ada anggapan pada
waktu itu bahwa mereka yang berhasil dalam kehidupan politik, yaitu hal-ihwal
kehidupan dalam Negara, akan mencapai kebaikan tertinggi. Kehidupan bersama
dalam Negara (polis) akan mencapai kebaikan yang lebih besar, karena dilakukan
bersama. Maka kehidupan bersama dalam Negara tidak hanya akan melindungi
individu dan hak miliknya (sebagaimana jaman sekarang dituntut oleh liberalisme),
tetapi harus menciptakan keunggulan manusiawi (arête). Kodrat manusia
mendorong, agar Negara berperan dalam mengembangkan potensi manusia,
mengajarkan kita untuk mencintai yang baik dan membuat warganegara menjadi
lebih baik dengan menciptakan kebiasaan yang baik (inilah arti utama dari
“pendidikan politik”). Maka dapat dikatakan bahwa bagi Aristoteles, Negara atau
polis adalah “perkumpulan teman-teman yang saling memprovokasi untuk berbuat

3
kebajikan. Politik adalah suatu aktivitas etis, yaitu bersangkut paut dengan masalah
bagaimana kita harus hidup dalam suatu masyarakat politik.
Michel Foucault mengatakan bahwa politik pada masa ini ditandai oleh
“pendisiplinan” dan “penundukan” yaitu pemaksaan agar manusia berperilaku
tertentu. Ini disebut “biopower”. Politik adalah pengaturan dan penguasaan hidup
dan biopower ini secara fundamental modern, yaitu manakala kehidupan manusia
dipertaruhkan oleh strategi politiknya sendiri. Dengan lain perkataan, kehidupan
manusia menjadi objek politik itu sendiri. Ini yang menjadi ciri dari politik modern,
berbeda dari politik di masa lalu.

Berbeda dari Foucault, Giorgio Agamben dalam Homo Sacer: Sovereign


Power and Bare Life,9) berpendapat bahwa tidak benar kehidupan manusia selalu
menjadi objek dari politik. Ia mengingatkan bahwa dalam Buku Pertama Politics
(1.2.8) Aristoteles membedakan antara “kehidupan yang begitu saja” atau
“kehidupan biologis semata”(bare life, nuda vita, kehidupan telanjang, kehidupan
biologis, to zen) dan “hidup yang baik” (eu zen). Kehidupan politik mengatasi
kehidupan “yang biologis melulu” menjadi “sesuatu yang lebih”, yaitu lebih
manusiawi. Yang menjadi ciri politik adalah perwujudan kemampuan manusia
untuk menstrukturkan suatu kehidupan bersama dalam komunitas yang tidak
memaksa, yang mampu melakukan refleksi deliberatif atas pertanyaan apakah
keadilan itu dan sarana konkrit apa untuk mencapainya? “Keadilan melekat dalam
polis; karena keadilan, yang adalah penentuan apa yang adil, adalah pengaturan
persekutuan politik” (Politics 1.2.66).

Ini menarik perhatian kita pada apa yang dikatakan oleh Aristoteles
mengenai bahasa dalam Politics 1.2.16: Agar menjadi benar-benar manusiawi orang
harus menjadi anggota polis, karena hanya dengan begitu, ia dapat berbicara.
“Mengeluarkan suara berfungsi untuk menunjukkan kesenangan atau kesakitan,
dan ini suatu kemampuan yang dimiliki hewan pada umumnya….. Tetapi bahasa
berfungsi untuk…..menyatakan apa yang adil dan tidak adil”. Disini kehidupan di
lihat tidak hanya sebagai suatu fakta, tetapi suatu capaian. Capaian itu adalah

4
kebudayaan. Agamben menyebut kehidupan biologis semata sebagai “inklusif
eksklusif (un ‘ esclusione inclusive).
Maksud dari pernyataan itu ialah bahwa kehidupan yang baik (eu zen) bukan
kehidupan biologis semata, namun kehidupan yang baik juga merupakan
perkembangan dari kehidupan biologis semata. Politik seolah-olah merupakan
tempat dimana kehidupan harus mengalami transformasi menjadi kehidupan yang
baik. Tetapi ini bukan suatu capaian dari Aufhebung dari kehidupan biologis semata.
Aufhebung politik tidak pernah tercapai, identitas tak pernah selesai’.Dengan
ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara, kehidupan politik memiliki dimensi
etis, bukan sesuatu yang netral. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
mendorong warganegara untuk berperilaku etis dalam politik.

Apabila nilai-nilai Pancasila itu dapat ditransformasikan ke dalam ethos


masyarakat, maka akan menjadi pandangan hidup atau Weltanschauung.
Pandangan hidup dapat dilihat sebagai suatu cultural software, suatu perangkat
lunak budaya. Pandangan hidup adalah suatu cara memahami dunia dan kehidupan
sosial, suatu kosmologi masyarakat. Sebagai perangkat lunak budaya pandangan
hidup berperan dalam mengkonstruksikan dunia sosial dan politik. Tetapi
pandangan hidup itu selalu berada dalam kontestasi dan negosiasi dengan pandangan
hidup lainnya. Cultural software dikopi dalam setiap individu melalui sosialisasi,
interaksi dan komunikasi. Fungsi cultural software mirip dengan apa yang disebut
Gadamer “tradisi”: tradisi melengkapi kita dengan pra-pemahaman yang
memungkinkan kita membuat penilaian mengenai dunia sosial Sejauh masyarakat
memiliki kopi yang kurang lebih sama, maka pemahaman budaya mereka adalah
pemahaman budaya bersama.

5
1. Etika dan Moralitas

Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan merupakan filsafat yang


mereflesikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri khas yaitu
rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif. Rasional berarti mendasarkan
diri pada rasio atau nalar, pada argumentasi yang bersedia untuk dipersoalkan tanpa
perkecualian. Kritis berarti filsafat ingin mengerti sebuah masalah sampai ke akar-
akarnya, tidak puas dengan pengertian dangkal. Sistematis artinya membahas
langkah demi langkah. Normatif menyelidiki bagaimana pandangan moral yang
seharusnya.

2. Etika dan Agama

Etika tidak dapat menggantikan agama. Agama merupakan hal yang tepat
untuk memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar
kehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika
agar dapat memberikan orientasi, bukan sekadar indoktrinasi. Hal ini disebabkan
empat alasan sebagai berikut:

1. Orang agama mengharapkan agar ajaran agamanya rasional. Ia tidak puas


mendengar bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapi ia juga ingin
mengerti mengapa Tuhan memerintahkannya. Etika dapat membantu
menggali rasionalitas agama.

2. Seringkali ajaran moral yang termuat dalam wahyu mengizinkan interpretasi


yang saling berbeda dan bahkan bertentangan.

3. Karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan masyarakat maka


agama menghadapi masalah moral yang secara langsung tidak disinggung-
singgung dalam wahyu. Misalnya bayi tabung, reproduksi manusia dengan
gen yang sama.

6
4. Adanya perbedaan antara etika dan ajaran moral. Etika mendasarkan diri
pada argumentasi rasional semata-mata sedangkan agama pada wahyunya
sendiri. Oleh karena itu ajaran agama hanya terbuka pada mereka yang
mengakuinya sedangkan etika terbuka bagi setiap orang dari semua agama
dan pandangan dunia.

B. Apa Itu Politik

Politik berasal dari bahasa Yunani Polis yang artinya kota atau negara, yang
kemudian muncul kata-kata polities yang artinya warga negara dan kata politikos
yang artinya kewarganegaraan. Politik adalah seni tentang kenegaraan yang
dijabarkan dalam praktek di lapangan, sehingga dapat dijelaskan bagaimana
Imbungan antar manusia (penduduk) yang tinggal di suatu tempat (wilayah) yang
meskipun memiliki perbedaan pendapat dan kepentingannya, tetap mengakui adanya
kepentingan bersama untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya.
Penyelenggaraan kekuasaan negara dipercayakan kepada suatu badan/ lembaga yaitu
pemerintah.

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam


masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya
dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai
definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
maupun nonkonstitusional.

Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu
antara lain:

• Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan


kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)

7
• Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan
negara
• Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat
• Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan
kebijakan publik.

Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara


lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik,
proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk
tentang partai politik.

1. Teori Politik Lao Tzu (Taoisme)

Teori politik Taoisme didasarkan pada ajaran utama tentang Tao. Orang
Taios memandang bahwa semua perubahan di alam adalah manifestasi-manifestasi
proses dinamis saling mempengaruhi antara oposisi-oposisi kutub Yin dan Yang.
Oleh sebab itu, mereka percaya bahwa setiap pasangan yang berlawanan memiliki
hubungan polar, dimana masing-masing kutub terkait secara dinamis satu sama lain.
Maka, kapanpun kita ingin mencapai apapun, kita mesti memulainya dengan
lawannya. Di sisi lain, kapanpun kita ingin mempertahankan apapun, kita harus
membiarkan di dalamnya ada lawannya. Inilah jalan hidup orang bijak yang telah
mencapai sudut pandang lebih tinggi, suatu perspektif dimana relativitas dan
hubungan polar dari semua hal yang berlawanan dapat dipersepsi dengan jelas.
Tindakan-tindakan orang bijak Taois muncul dari kebijakan intuitifnya, secara
spontan dan dalam keselarasan dengan lingkungannya. Ia tidak perlu memaksakan
dirinya sendiri, atau apapun di sekitarnya, namun sekedar menyesuaikan
tindakannya dengan gerakan Tao. Inilah yang disebut Wu-Wei. Wu Wei berarti non-
aksi (berbuat tidak berbuat). Arti dari ungkapan ini adalah alam dan segala isinya
telah memiliki irama geraknya sendiri-sendiri. Manusia dalam menghadapi alam dan
hidup sehari-hari tidak perlu banyak campur tangan, biarkan alam dalam peristiwa
berkembang menurut iramanya masing-masing. Manusia jangan memaksakan

8
kehendaknya sendiri dan ingin bertindak, karena dengan demikian merusak irama
alam dan hasilnya justru keserakahan, kemarahan dan malapetaka.

2. Teori Politik Aristoteles Teori Politik Aristoteles

Dalam Aristoteles, teori politik berhubungan dengan teori etika. Politik


sangat bersifat etis, menjunjung prinsip-perinsip etis/moral, mengejar nilai-nilai
etis/moral, dan membelanya. Pembukaan bukunya “politics” sangat mengandaikan
dan berkaitan dengan pembukaan bukunya “Nicomachean Ethics”. Jika dalam buku
etikanya, kebaikan adalah tujuan atau keterarahan dari segala aktivitas kehidupan
manusia, dalam buku politiknya, polis adalah cetusan paling tinggi dari aktivitas
hidup manusia dalam menggapai kesempurnaan dan kebaikan sosialitasnya.
Hubungan antara politik dan etika bersifat timbal balik, yaitu etika terarah kepada
pembentukan tata kehidupan bersama yang baik dalam politik, dan politik
mengandaikan fondasi etis yang benar. Etika dan politik merupakan dua entitas yang
bersinergis.

Dengan demikian, politik adalah sistem tata hidup bersama dalam polis
tunduk pada dan mengandaikan etika kebaikan sekaligus merupakan puncak
kesempurnaan cetusan etika. Etika adalah pendasaran dari politik.
Bagi Aristoteles, manusia adalah zoon politicon, makhluk sosial, makhluk hidup
yang membentuk masyarakat. Demi keberadaannya dan demi penyempurnaan
dirinya, diperlukan persekutuan dengan orang lain. Untuk itu diperlukan negara.
Negara bertujuan untuk memungkinkan hidup dengan baik, seperti halnya dengan
segala lembaga yang lain.

Negara memiliki beberapa bentuk. Tidak semua bentuk adalah baik. Bentuk
negara yang buruk adalah tirani, yaitu pemerintahan seorang lalim. Selain itu ada
bentuk negara oligarkhi, pemerintahan sekelompok kecil orang, dan demokrasi,
yaitu pemerintahan seluruh rakyat, kaya, miskin, berpendidikan atau tidak. Negara
yang demikian tidak mungkin mencapai tujuannya. Sebaliknya, susunan negara yang
tergolong ideal adalah monarki, yaitu pemerintahan oleh seorang raja, aristokrasi,

9
pemerintahan kaum ningrat dan politeia, yaitu pemerintahan banyak orang.
Menurut Arototeles, dalam prakteknya, pemerintahan yang paling baik adalah
politeia yang bersifat demokratis-moderat, atau demokrasi dengan undang-undang
dasar, sebab hak memilih dan hak dipilih bukan ada pada semua orang, melainkan
pada golongan tengah, yang memiliki senjata dan yang telah biasa berperang.
Bentuk pemerintahan ini memberi jaminan yang terkuat, bahwa pemerintahan akan
bertahan lama dan akan dihindarkan dari perbuatan-perbuatan yang berlebih-lebihan.

C. MORAL

Moral berasal dari bahasa latin yakni mores kata jamak dari mos yang berarti
adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia moral diartikan dengan susila.
Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang
tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar.

Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada pula
berbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak
bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang tingkah laku
perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral
menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.

Namun demikian, dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki
perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai
perbutan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio,
sedangkan dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma
yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.

Istilah moral senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan manusia


sebagai manusia. Inti pembicaraan tentang moral adalah menyangkut bidang
kehidupan manusia dinilai dari baik buruknya perbutaannya selaku manusia. Norma
moral dijadikan sebagai tolak ukur untuk menetapkan betul salahnya sikap dan
tindakan manusia, baik buruknya sebagai manusia.

10
D. NORMA

Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau
siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita
dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi
norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah
ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu
perbuatan.

Jadi secara terminologi kiat dapat mengambil kesimpulan menjadi dua


macam. Pertama, norma menunjuk suatu teknik. Kedua, norma menunjukan suatu
keharusan. Kedua makna tersebut lebih kepada yang bersifat normatif. Sedangkan
norma norma yang kita perlukan adalah norma yang bersifat prakatis, dimana norma
yang dapat diterapkan pada perbuatan-perbuatan konkret.

Dengan tidak adanya norma maka kiranya kehidupan manusia akan manjadi
brutal. Pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh keinginan manusia yang tidak
ingin tingkah laku manusia bersifat senonoh. Maka dengan itu dibutuhkan sebuah
norma yang lebih bersifat praktis. Memang secara bahasa norma agak bersifat
normatif akan tetapi itu tidak menuntup kemungkinan pelaksanaannya harus bersifat
praktis

11
E. PANCASILA SEBAGAI SUMBER NILAI

1. PENGERTIAN NILAI

Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan


berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna
bagi kehidupan manusia.

Adanya dua macam nilai tersebut sejalan dengan penegasan pancasila


sebagai ideologi terbuka. Perumusan pancasila sebagai dalam pembukaan UUD
1945 Alinea4 dinyatakan sebagai nilai dasar dan penjabarannya sebagai nilai
instrumental. Nilai dasar tidak berubah dan tidak boleh diubah lagi. Betapapun
pentingnya nilai dasar yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 itu, sifatnya
belum operasional. Artinya kita belum dapat menjabarkannya secara langsung dalam
kehidupan sehari-hari. Penjelasan UUD 1945 sendiri menunjuk adanya undang-
undang

Sebagai pelaksanaan hukum dasar tertulis itu. Nilai-nilai dasar yang


terkandung dalam pembukaan UUD 1945 itu memerlukan penjabaran lebih lanjut.
Penjabaran itu sebagai arahan untuk kehidupan nyata. Penjabaran itu kemudian
dinamakan Nilai Instrumental.

Nilai Instrumental harus tetap mengacu kepada nilai-nilai dasar yang


dijabarkannya Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamis dalam
bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama dan dalam batas-batas
yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Penjabaran itu jelas tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya.

12
2. CIRI-CIRI NILAI

Sifat-sifat nilai menurut Bambang Daroeso (1986) adalah Sebagai berikut.

a. Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang
bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek
yang bernilai itu. Misalnya, orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah
nilai, tetapi kita tidak bisa mengindra kejujuran itu. Yang dapat kita indra
adalah kejujuran itu.
b. Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita,
dan suatu keharusan sehingga nilai nemiliki sifat ideal (das sollen). Nilai
diwujudkan dalam bentuk norma sebagai landasan manusia dalam bertindak.
Misalnya, nilai keadilan. Semua orang berharap dan mendapatkan dan
berperilaku yang mencerminkan nilai keadilan.
c. Nilai berfungsi sebagai daya dorong/motivator dan manusia adalah
pendukung nilai. Manusia bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang
diyakininya. Misalnya, nilai ketakwaan. Adanya nilai ini menjadikan semua
orang terdorong untuk bisa mencapai derajat ketakwaan.

3. MACAM-MACAM NILAI

Dalam filsafat, nilai dibedakan dalam tiga macam, yaitu

a. Nilai logika adalah nilai benar salah.


b. Nilai estetika adalah nilai indah tidak indah.
c. Nilai etika/moral adalah nilai baik buruk.

Berdasarkan klasifikasi di atas, kita dapat memberikan contoh dalam


kehidupan. Jika seorang siswa dapat menjawab suatu pertanyaan, ia benar secara
logika. Apabila ia keliru dalam menjawab, kita katakan salah. Kita tidak bisa

13
mengatakan siswa itu buruk karena jawabanya salah. Buruk adalah nilai moral
sehingga bukan pada tempatnya kita mengatakan demikian.

Contoh nilai estetika adalah apabila kita melihat suatu pemandangan,


menonton sebuah pentas pertunjukan, atau merasakan makanan, nilai estetika
bersifat subjektif pada diri yang bersangkutan. Seseorang akan merasa senang
dengan melihat sebuah lukisan yang menurutnya sangat indah, tetapi orang lain
mungkin tidak suka dengan lukisan itu. Kita tidak bisa memaksakan bahwa luikisan
itu indah.

Nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani
kelakuan baik atau buruk dari manusia.moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi
tidak semua nilai adalah nilai moral. Moral berhubungan dengan kelakuan atau
tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku
kehidupan kita sehari-hari.

Notonegoro dalam Kaelan (2000) menyebutkan adanya 3 macam nilai Ketiga


nilai itu adalah sebagai berikut.

a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani
manusia atau kebutuhan ragawi manusia.
b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat
mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.

Nilai kerohanian meliputi

a. Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta) manusia.
b. Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan
(emotion) manusia.
c. Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak (karsa,
Will) manusia.

14
Nilai religius yang merupakan nilai keohanian tertinggi dan mutlak serta
bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.

4. PANCASILA SEBAGAI SUMBER NILAI

Diterimanya pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional membawa


konsekuensi logis bahwa nilai-nilai pancasila dijadikan landasan pokok, landasan
fundamental bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila berisi lima sila
yang pada hakikatnya berisi lima nilai dasar yang fundamental. Nilai-nilai dasar
dari pancasila tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalan permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dengan pernyataan secara singkat bahwa
nilai dasar Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai
persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.

Pancasila di dalamnya mengandung nilai-nilai universal (umum) yang


dikembangkan dan berkembang dalam diri pribadi manusia sesuai dengan
kodratnya, sebagai makhluk pribadi dan sosial.
Manusia pada dasarnya memiliki :
- Kedudukan sebagai makluk pribadi dan social
- Manusia mempunyai jiwa dan raga
- Manusia mempunyai sifat tanpa batas

Sebagai suatu sistem nilai Pancasila bagi bangsa Indonesia memiliki


keunikan atau kekhasan, karena nilai-nilai Pancasila mempunyai kedudukan atau
status yang tetap dan berangkai. Keunikan ini disebabkan, karena masing-masing
sila tidak dapat dipisahkan dengan sila lainnya. Kekhususan ini merupakan identitas
bagi bangsa Indonesia.

Pancasila mempunyai nilai-nilai universal, pada bangsa lain tidak


dilaksanakan secara utuh dan menyeluruh sebagaimana bangsa Indonesia dan bangsa

15
lain. Dengan demikian perbedaannya bukan terletak pada sikap ramah tamah, gotong
royong dan lain-lain tetapi terletak pada pengamalan atau penerapan nilai-nilai
Pancasila tersebut. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia. Maka
dari pada itu penerapannya ditumbuhkan dan dikembangkan tanpa paksaan
melainkan atas kesadaran diri, merupakan panggilan hati nurani (ditimbulkan dari
dalam).

5. Memahami dan menghayati nilai-nilai pancasila


Pandangan hidup suatu bangsa adalah krtistalisasi nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya dan kesediaan untuk mewujudkan di dalam tindakan, sikap, perilaku
hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagi bangsa
Indonesia tidak dapat tidak mengkristalisasi nilai-nilai tersebut adalah yang terdapat
pada Pancasila, dimnana sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan nilai
inti dan nilai sumber yang mana masing-masing saling menjiwai dan meliputi, yang
akan memberikan landasan bagi:
a. Nilai dasar kemanusiaan sebagai tolok ukur (nilai kriteria),
b. Berlaku umum dan menyeluruh bagi nilai-nilai,
c. Menjadi landasan kepercayaan pandangan hidup dan sikap serta perilaku.
Nilai ketuhanan yang merupakan nilai inti dan nilai sumber criteria dapat
memberikan upaya dan usaha manusia dalam:
a. Investasi nilai
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa menagndung nilai-nilai
ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai-nilai
keadilan. Di samping itu terdapat pula nilai spiritual, nilai pragmatis dan nilai-
nilai positif. Lebih lanjut kita jumpai pula nilai logis, nilai estetis, nilai etis, nilai
sosial, dan nilai religius.
b. Fitur Tindakan Manusia
Dalam dunia yang semakin maju dan berkembang, ditandai dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Akibat kemajuan komunikasi, informasi dan
transformasi hampir dapat dikatakan tidak terdapat batas-batas wilayah lagi
sebagai akibat arus informasi tersebut. Arus informasi ini, baik dari dalam

16
maupun dari luar tidak mungkin terkendali, karena perubahan-perubahan
tersebut. Oleh sebab itu, perlu adanya semacam jaringan nilai-nilai untuk
menyaring nilai-nilai yang tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa.
Keadaan seperti itu disebut sebagai era globalisasi, keterbukaan atau transportasi
akan melanda kehidupan masyarakat dimana pun.
c. Memberikan Kendali kepada Manusia
Mengendalikan diri untuk mewujudkan keseimbangan, keserasian dan
keselarasan dalam hidup, perilaku dan tingkah laku dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Masyarakt itu sementara berubah (dinamis), yang kita
cari bukan dinamikanya, akan tetapi keseimbangan, keselarasan dan keserasian
untuk mencapai kebahagiaan.
d. Sebagai Pengarah (Orientasi) pada Manusia
Ia memberikan kekuatan kehidupan dan membimbing ke arah yang lebih
baik.
e. Sebagai Pendorong (Motivasi) bagi Manusia
Memberikan semangat dan dorongan yang lebih kreatif, positif sehingga
akan lebih berdayaguna, efisien, dan efektif.

6. Nilai Laten
Seperti diungkapakan bahwa pandangan hidup bangsa adalah kristalisasi
nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan bermaksud menerapkannya dalam hidup
dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Apabila kita kaji sebenarnya nilai-nilai Pancasila tidak terbatas, dan apabila
bekum terungkap dalam kehidupan secara nasional, maka kewajiban kita untuk
mengungkapkannya dalam permukaan, sehingga nilai-nilai tersebut tidak laten
sifatnya. Nilai-nilai Pancasila yang belum terungkap jumlahnya tak terbatas.
Penerapan nilai-nilai Pancasila yang terdapat dalam kandungan dari setiap
sila adalah sebagai berikut:
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa

17
2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradap.
3. Mengemangkan sifat hormat menghormati dan bekerjasama antar apemeluk
agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
4. Mengembangkan kerukunan hidup diantara sesama umat bergama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah
yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa
yang dipercayai dan diyakininya.
6. Menembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah
sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa kepada orang lain.

Sila Kedua: Kemanusian Yang Adil dan Beradap


1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martbatnya
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap
manusia, tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama, keturunan, kepercayaan,
kedudukan social dan sebagainya.
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesame manusia
4. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira.
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan
8. Berani membela kebenaran dan keadilan

18
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
1. mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan
keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama diatas
kepentingan pribadi atau golongan
2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa apabila diperlukan.
3. mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
4. menembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan social.
6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Ika.
7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Sila Keempat : Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan/Perwakilan
1. Sebagai warga Negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia
mempunyai kedudukan yang sama.
2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dan mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai
hasil musyawarah.
6. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan
hasil musyawarah.
7. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuaidengan hati nurani yang
luhur.
8. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral
keada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan, megutamakan persatuan dan
kesatuan demi keentingan bersama.

19
9. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayakan ungtuk
melaksanakan permusyawaratan.

Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia


1. Mengenbangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan.
2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak orang lain.
5. Suka memberikan pertolongan pada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
6. Tidak menggunakan hak milik utntuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan
terhadap orang lain.
7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersipat pemborosan dan
gaya hidup mewah.
8. Tidak menggunakan hak milik uantuk hal-hal yang bertentangan dengan atau
merugikan kepentingan umum.
9. Suka bekerja keras.
10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama.
11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata
dan keadilan sosial.

20
BAB III
PENUTUPAN

KESIMPULAN

Pancasila adalah dasar Negara yang menjadi tolok ukur pemikiran bangsa
Indonesia yang mengandung nilai-nilai yang universal dan terkristalilasi dalam sila-
silanya. yang dikembangkan dan berkembang dalam diri pribadi manusia sesuai
dengan kodratnya, sebagai makhluk pribadi dan sosial. Didalam tubuh pancasila
telah terukir berbagai aspek pemikiran bangsa yang mengandung asas moralitas,
politik, sosial, agama, kemusyawaratan, persatuan dan kesatuan.

Seluruh aspek tersebut senafas, sejiwa, merupakan suatu totalitas saling


hidup menjiwai, diliputi dan dijiwai satu sama lain.

21
Daftar pustaka

Widjaja, AW, H, Drs, Penerapan Nilai-Nilai Pancasila dan Ham, Jakarata:


RINEKA CIPTA, 2004.
Tambujaya E, Rustam, Pendidikan Pancasila, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.
Hartono, Pendidikan Pancasila untuk SMA, Bandung: Yudistira, 1998.
http://www.google.com
http://www.yahoo.com
http://www.wikipedia.com
http://www.okezone.com

22

You might also like