You are on page 1of 11

Jelaskan apa yang anda ketahui tentang :

1. sistematika sumber ajaran islam


2. pengertian al quran, hadist, ijtihad
3. fungsi al quran, hadist, ijtihad
4. kemukjizatan al quran
5. bentuk dan metodologi ijtihad

Pengertian al-Qur’an
Secara Bahasa (Etimologi)
Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (‫ )قرأ‬yang bermakna Talaa (‫[ )تال‬keduanya bererti:
membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro-’a Qor’an
Wa Qur’aanan (‫ )قرأ قرءا وقرآنا‬sama seperti anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan ( ‫غفر غفرا‬
‫)وغفرانا‬. Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna
dengan Ism Maf’uul, ertinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a)
maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, ertinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi) kerana ia
mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.*
Secara Syari’at (Terminologi)
Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad)
dengan beransur-ansur.” (al-Insaan:23)
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar
kamu memahaminya.” (Yusuf:2)
Allah ta’ala telah menjaga al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun
menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya,
“Sesunggunya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (al-Hijr:9)
Oleh kerana itu, selama berabad-abad telah berlangsung namun tidak satu pun musuh-musuh Allah yang
berupaya untuk merubah isinya, menambah, mengurangi atau pun menggantinya. Allah SWT pasti
menghancurkan tabirnya dan membuka tipudayanya.
http://hikmatun.wordpress.com/2007/01/03/pengertian-al-qur%E2%80%99an/

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad
SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam
agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber
hukum kedua setelah Al-Qur'an.
http://opi.110mb.com/haditsweb/pendahuluan/pengertian_hadits.htm

Pemberitaan tentang empat unsur tersebut yg disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. disebut berita yg
marfu’ yg disandarkan kepada para sahabat disebut berita mauquf dan yg disandarkan kepada tabi’in disebut
maqthu’.
1. Perkataan Yang dimaksud dgn perkataan Nabi Muhammad saw. ialah perkataan yg pernah beliau
ucapkan dalam berbagai bidang syariat akidah akhlak pendidikan dan sebagainya. Contoh perkataan beliau
yg mengandung hukum syariat seperti berikut. Nabi Muhammad saw. bersabda Hanya amal-amal perbuatan
itu dgn niat dan hanya bagi tiap orang itu memperoleh apa yg ia niatkan .. . Hukum yg terkandung dalam
sabda Nabi tersebut ialah kewajiban niat dalam seala amal perbuatan utk mendapatkan pengakuan sah dari
syara’.
2. Perbuatan Perbuatan Nabi Muhammad saw. merupakan penjelasan praktis dari peraturan-peraturan yg
belum jelas cara pelaksanaannya. Misalnya cara cara bersalat dan cara menghadap kiblat dalam salat sunah
di atas kendaraan yg sedang berjalan telah dipraktikkan oleh Nabi dgn perbuatannya di hadapan para
sahabat. Perbuatan beliau tentang hal itu kita ketahui berdasarkan berita dari sahabat Jabir r.a. katanya
Konon Rasulullah saw.
bersalat di atas kendaraan menurut kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak salat fardu beliau turun
sebentar terus menghadap kiblat. .
Tetapi tidak semua perbuatan Nabi saw. itu merupakan syariat yg harus dilaksanakan oleh semua umatnya.
Ada perbuatan-perbuatan Nabi saw. yg hanya spesifik utk dirinya bukan utk ditaati oleh umatnya. Hal itu
krn adanya suatu dalil yg menunjukkan bahwa perbuatan itu memang hanya spesifik utk Nabi saw. Adapun
perbuatan-perbuatan Nabi saw. yg hanya khusus utk dirinya atau tidak termasuk syariat yg harus ditaati
antara lain ialah sebagai berikut.
a. Rasulullah saw. diperbolehkan menikahi perempuan lbh dari empat orang dan menikahi perempuan tanpa
mahar. Sebagai dalil adanya dispensasi menikahi perempuan tanpa mahar ialah firman Allah sebagai
berikut.
.. dan Kami halalkan seorang wanita mukminah menyerahkan dirinya kepada Nabi bila Nabi menghendaki
menikahinya sebagai suatu kelonggaran utk engkau bukan utk kaum beriman umumnya.
b. Sebagian tindakan Rasulullah saw. yg berdasarkan suatu kebijaksanaan semata-mata yg bertalian dgn
soal-soal keduniaan perdagangan pertanian dan mengatur taktik perang. Misalnya pada suatu hari
Rasulullah saw. pernah kedatangan seorang sahabat yg tidak berhasil dalam penyerbukan putik kurma lalu
menanyakannya kepada beliau maka Rasulullah menjawab bahwa kamu adl lbh tahu mengenai urusan
keduiaan . Dan pada waktu Perang Badar Rasulullah menempatkan divisi tentara di suatu tempat yg
kemudian ada seorang sahabat yg menanyakannya apakah penempatan itu atas petunjuk dari Allah atau
semata-mata pendapat dan siasat beliau. Rasulullah kemudian menjelaskannya bahwa tindakannya itu
semata-mata menurut pendapat dan siasat beliau. Akhirnya atas usul salah seorang sahabat tempat tersebut
dipindahkan ke tempat lain yg lbh strategis.
c. Sebagian perbuatan beliau pribadi sebagai manusia. Seperti makan minum berpakaian dan lain
sebagainya. Tetapi kalau perbuatan tersebut memberi suatu petunjuk tentang tata cara makan minum
berpakaian dan lain sebagainya menurut pendapat yg lbh baik sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq
dan kebanyakan para ahli hadis hukumnya sunah. Misalnya Konon Nabi saw. mengenakan jubah sampai di
atas mata kaki. .
3. Taqrir Arti taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui
apa yg telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau. Contohnya dalam suatu
jamuan makan sahabat Khalid bin Walid menyajikan makanan daging biawak dan mempersilakan kepada
Nabi utk meni’matinya bersama para undangan.
Rasulullah saw. menjawab Tidak . Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku aku jijik
padanya! Kata Khalid Segera aku memotongnya dan memakannya sedang Rasulullah saw.
melihat kepadaku. .
Contoh lain adl diamnya Nabi terhadap perempuan yg keluar rumah berjalan di jalanan pergi ke masjid dan
mendengarkan ceramah-ceramah yg memang diundang utk kepentingan suatu pertemuan.
Adapun yg termasuk taqrir qauliyah yaitu apabila seseorang sahabat berkata aku berbuat demikian atau
sahabat berbuat berbuat begitu di hadapan Rasul dan beliau tidak mencegahnya. Tetapi ada syaratnya
yaituperkataan atau perbuatan yg dilakukan oleh seorang sahabat itutidak mendapat sanggahan dan
disandarkan sewaktu Rasulullah masih hidup dan orang yg melakukan itu orang yg taat kepada agama
Islam. Sebab diamnya Nabi terhadap apa yg dilakukan atau diucapkan oleh orang kafir atau munafik bukan
berarti menyetujuinya. Memang sering nabi mendiamkan apa-apa yg diakukan oleh orang munafik lantaran
beliau tahu bahwa banyak petunjuk yg tidak memberi manfaat kepadanya.
4. Sifat-Sifat Keadaan-Keadaan dan Himmah Rasulullah Sifat-sifat beliau yg termasuk unsur al-hadits ialah
sebagai berikut.
a. Sifat-sifat beliau yg dilukiskan oleh para sahabat dan ahli tarikh seperti sifat-sifat dan bentuk jasmaniah
beliau yg dilukiskan oleh sahabat Anas r.a. sebagai berikut. Rasulullah itu adl sebaik-baik manusia
mengenai paras mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang tinggi dan bukan pula orang pendek. .
b. Silsilah-silsilah nama-nama dan tahun kelahiran yg telah ditetapkan oleh para sahabat dan ahli sejarah.
Contoh mengenai tahun kelahiran beliau seperti apa yg dikatakan oleh Qais bin Mahramah r.a. Aku dan
Rasulullah saw. dilahirkan pada tahun gajah. .
c. Himmah beliau yg belum sempat direalisasi. Misalnya hasrat beliau utk berpuasa pada tanggal 9 Asyura
seperti yg diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. Tatkala Rasulullah saw. berpuasa pada hari Asyura dan
memerintahkan utk dipuasai para sahabat menghadap kepada Nabi mereka berkata ‘Ya Rasulullah bahwa
hari ini adl yg diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.’ Sahut Rasulullah ‘Tahun yg akan datang Insya
Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan’. .
http://blog.re.or.id/pengertian-hadis.htm

Al-Qur'an adalah wahyu Allah ( 7:2 ) yang berfungsi sebagai mu'jizat bagi Rasulullah Muhammad saw ( 17:88; 10:38 )
sebagai pedoman hidup bagi setiap Muslim ( 4:105; 5:49,50; 45:20 ) dan sebagai korektor dan penyempurna
terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya ( 5:48,15; 16:64 ), dan bernilai abadi.
Sebagai mu'jizat, Al-Qur'an telah menjadi salah satu sebab penting bagi masuknya orang-orang Arab di zaman
Rasulullah ke dalam agama Islam, dan menjadi sebab penting pula bagi masuknya orang-orang sekarang, dan
( insya Allah) pada masa-masa yang akan datang. Ayat-ayat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dapat
meyakinkan kita bahwa Al-Qur'an adalah firman-firman Allah, tidak mungkin ciptaan manusia apalagi ciptaan Nabi
Muhammad saw yang ummi (7:158) yang hidup pada awal abad ke enam Masehi (571 - 632 M). Diantara ayat-ayat
tersebut umpamanya : 39:6; 6:125; 23:12,13,14; 51:49; 41:11-41; 21:30-33; 51:7,49 dan lain-lain.
Demikian juga ayat-ayat yang berhubungan dengan sejarah seperti tentang kekuasaan di Mesir, Negeri Saba'.
Tsamud, 'Ad, Yusuf, Sulaiman, Dawud, Adam, Musa dan lain-lain dapat memberikan keyakinan kepada kita bahwa
Al-Qur'an adalah wahyu Allah bukan ciptaan manusia. Ayat-ayat yang berhubungan dengan ramalan-ramalan khusus
yang kemudian dibuktikan oleh sejarah seperti tentang bangsa Romawi, berpecah-belahnya Kristen dan lain-lain juga
menjadi bukti lagi kepada kita bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Allah SWT. (30:2,3,4;5:14).
Bahasa Al-qur'an adalah mu'jizat besar sepanjang masa, keindahan bahasa dan kerapihan susunan katanya tidak
dapat ditemukan pada buku-buku bahasa Arab lainnya. Gaya bahasa yang luhur tapi mudah dimengerti adalah
merupakan ciri dari gaya bahasa Al-Qur'an. Karena gaya bahasa yang demikian itulah �Umar bin Khattab masuk
Islam setelah mendengar Al-Qur'an awal surat Thaha yang dibaca oleh adiknya Fathimah. Abul Walid, diplomat
Quraisy waktu itu, terpaksa cepat-cepat pulang begitu mendengar beberapa ayat dari surat Fushshilat yang
dikemukakan Rasulullah sebagai jawaban atas usaha-usaha bujukan dan diplomasinya.
http://www.pengobatan.com/ajaran_islam/fungsidanperanan_alquran.htm

Fungsi Hadis terhadap Al-Quran


           Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS
16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan
sifat serta fungsinya.
           'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi
Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi
sehubungan dengan pembinaan hukum syara'. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam Al-
Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah
yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta'kid dan bayan
tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-
Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-
Quran.
            Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan
hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan
pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat)
apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati.
Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah,
sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan
hukum.
            Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya
mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad
Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci,
pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw.
melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada
zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah
penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
            Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang
bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang
terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-
Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan
bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Quran
terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan
dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena Al-Quran
lebih utama untuk diikuti."
           Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh
hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan
satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang
demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat
bahwa al-hadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator
yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan
kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam
pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya,
walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
             Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak
pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat.
Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam
bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah
mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
             Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama
kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga
ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara
meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).
http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/34

1. Definisi dan Fungsi Ijtihad


Secara bahasa ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan
sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum
tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran dan as-Sunnah. Rasulullah saw
pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud sebagai berikut : " Berhukumlah engkau dengan al-
Qur'an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu engkau temukan pada dua sumber
tersebut. Tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka ijtihadlah ".
Kepada �Ali bin Abi Thalib beliau pernah menyatakan : " Apabila engkau berijtihad dan ijtihadmu
betul, maka engkau mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ijtihadmu salah, maka engkau
hanya mendapatkan satu pahala ". Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle
of movement. Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro'yu
mencakup dua pengertian :
a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara
eksplisit oleh al-Qur'an dan as-Sunnah.
b. Penggunaan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari
sesuatu ayat atau hadits.
Adapun dasar dari keharusan berijtihad ialah antara lain terdapat pada al-Qur'an surat an-
Nisa ayat 59.
http://www.pengobatan.com/ajaran_islam/def_fungsi_ijtihad.htm

Kemukjizatan Al-Qur’an
Ditulis oleh admin • Okt 7th, 2008 • Kategori: Kajian Al-Qur'an
Di antara ciri agama yang layak dianut di abad modern adalah bahwa agama tersebut dibawa oleh manusia
pilihan (yaitu nabi) yang dikuatkan dengan mukjizat. Sebagian mukjizat nabi tersebut hendaknya masih bisa
kita saksikan sekarang ini, sehingga kita bisa membuktikan apakah agama tersebut benar-benar asli dari
Sang Pencipta atau tidak, dengan cara menentang mukjizat tersebut. Kalau mukjizat itu bisa kita kalahkan
berarti ia bukanlah mukjizat.
Dalam pengetahuan agama, mukjizat bisa diartikan sebagai sesuatu yang luar biasa, muncul pada diri
seseorang yang mengaku menjadi Nabi, bersifat menantang dan tidak mungkin untuk ditandingi oleh
siapapun. Kalau mukjizat bisa ditandingi oleh manusia, tidak ada artinya mukjizat tersebut sebagai tanda
kebenaran seorang Rasul Allah. Agama nantinya bisa dipalsukan oleh orang-orang yang mengaku menjadi
nabi.
Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Beliau dikuatkan dengan berbagai
mukjizat seperti membelah bulan, kitab suci Al-Quran, dan sebagainya. Mukjizat Nabi Muhammad saw
yang masih bisa kita saksikan adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad yang abadi
sampai hari Kiamat. Ciri-ciri kemukjizatan Al-Qur’an adalah : ia merupakan kitab suci yang luar biasa
hebatnya baik ditinjau dari segi keindahan susunan bahasa ataupun dari isinya. Ia diwahyukan Allah kepada
Nabi Muhammad saw yang menantang semua orang kafir untuk menandinginya (lihat QS Al-Baqarah 23-24
dan QS Yunus 37-39), tapi sampai sekarang tidak ada seorangpun yang mampu menandinginya. Allah
berfirman, ”Bila kalian ragu-ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (berupa Al-
Qur’an), buatlah satu surat saja yang sepadan (dengan salah satu surat Al-Qur’an) dan panggillah penolong-
penolong kalian selain Allah bila kamu sekalian benar. Bila kalian tidak bisa melakukannya dan pasti tidak
akan bisa melakukannya, takutlah kepada api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, yang
disiapkan untuk orang-orang kafir.” (QS Al-Baqarah: 23-24).
Al-Qur’an menantang orang-orang kafir yang ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an untuk membuat surat
yang sepadan dengan Al-Qur’an dari segi keindahan bahasa dan kebenaran isinya. Kemukjizatan Al-Qur’an
menurut sebagian ulama terletak pada keindahan susunan kalimatnya dalam hal balaghah, fashahah dan
keindahan ungkapannya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada
kesesuaian prinsip-prinsip Al-Qur’an untuk seluruh umat manusia. Kalau seandainya prinsip-prinsip ajaran
itu dari produk manusia atau produk masyarakat tertentu pasti tidak akan cocok untuk diterapkan sepanjang
masa .

Sebagian ulama berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada pemberitannya tentang hal-hal
ghaib. Misalnya dalam QS Ali Imran disebutkan: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: Kalian pasti
akan dikalahkan di dunia ini dan akan digiring ke dalam neraka jahannam. Dan itulah tempat yang seburuk-
buruknya. Sesungguhnya telah ada tanda bagi kalian pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur).
Segolongan berperang di jalan Allah dan segolongan yang lainnya kafir yang dengan mata kepala seakan-
akan melihat orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa
yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai mata hati.” (QS Ali Imran: 12-13)
http://ikadijatim.org/?p=149

Ijtihad dan Kesegaran Islam


Oleh Muhammad Nurul Fikri
Syariat adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah secara menyeluruh. Setiap masalah yang
menyimpang dari keadilan ke tirani, dari rahmat ke permusuhan, dari maslahat ke kebinasaan, dari hikmat
ke kesia-siaan atau kemuspraan, bukanlah termasuk syariat, dengan interpretasi bagaimana pun juga.
Ijtihad adalah ruh penggerak berkembang dan majunya berbagai pemikiran keagamaan pada masa kejayaan
Islam tempo dulu, bahkan hingga saat ini. Padahal, jika dicermati lebih dalam, di dalam Alquran sebetulnya
tidak ada kata ijtihad dalam pengertian yang dipahami saat ini. Yang ada justru adalah kata jihad. 
Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, konfrontasi yang berkepanjangan dengan kaum
Quraisy Mekkah penganut pagan (politeisme) yang tidak rela pengaruh Nabi Muhammad dan pengikutnya
semakin membesar. Karena itu, kata yang dipakai adalah jihad, dalam konteks pengorbanan jiwa, raga dan
harta untuk berjuang menghadapi kaum Quraisy. 
Kedua, yang jauh lebih dibutuhkan oleh umat Islam kala itu bukanlah pemikiran rasional, tetapi memupuk
keyakinan baru sebagai lawan dari keyakinan pagan yang dianut umat manusia kala itu. Masyarakat Arab
kala itu disebut sebagai masyarakat jahiliah bukan karena mereka tak mengetahui apa-apa. Mereka sudah
mengetahui Tuhan, tetapi tuhan yang mereka persepsikan bukan Tuhan seperti yang Nabi sampaikan. 
Ketiga, Nabi Muhammad adalah penerus para nabi dan rasul sebelumnya. Artinya, masih ada
kesinambungan antara ajaran para nabi dan rasul yang satu dengan yang lainnya. Karena itu ada beberapa
syariat terdahulu yang kemudian dipertahankan Rasulullah. Sebab, selain nilai-nilai moral yang
dikandungnya masih relevan dengan apa yang beliau bawa, ia juga merupakan pesan-pesan universal dari
wahyu Allah yang dengan itu, kebaikan dan keburukan tetap bisa dipisahkan secara jelas, tidak bercampur
aduk. 
Menurut Fazlur Rahman di dalam Islam and Modernity, Transformation of Intellectual Tradition, apabila
kita membaca Alquran, kita akan melihat bahwa sesungguhnya ia tidaklah memberikan banyak prinsip-
prinsip umum. Untuk sebagian besar, ia memberikan solusi dan keputusan terhadap masalah-masalah
historis yang spesifik dan kongkret. Tetapi, Alquran memberikan, baik secara eksplisit maupun implisit,
alasan-alasan di balik solusi-solusi dan keputusan-keputusan tersebut, dari mana bisa disimpulkan prinsip-
prinsip umum. 
Meski demikian, ada legalisasi niscayanya ijtihad, dalam pengertian optimalisasi kemampuan nalar, di
dalam sunah Nabi. Di antaranya, ketika hendak mengutus Muâdz bin Jabal ke Yaman, beliau menanyakan
soal apa yang jadi landasan Muâdz nantinya ketika menghukumi sesuatu. Muâdz mengatakan akan
menggunakan Kitabullah. Jika tidak ada dalam Kitabullah, maka menggunakan sunah Rasulullah. Jika tidak
ada, maka menggunakan ijtihad nalar (HR. Bukhari-Muslim). Nabi sendiri mengatakan bahwa seorang yang
berijtihad, dan ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Pahala ijtihad dan pahala benarnya
ijtihad itu. 
http://islamlib.com/id/artikel/ijtihad-dan-kesegaran-islam/

29. Apa arti harfiah dan istilah IJtihad? Sebutkan bentuk-bentuk Ijtihad?
Jawab:
Ijtihad menurut arti harfiahnya adalah kerja keras. Sedangkan arti istilahnya adalah kerja keras menggali
hukum islam dari sumber-sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Berdasarkan definisi di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa iijtihad adalah proses menggali hukum syariat
dari dalil-dalil yang bersifat zhanni dengan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan hingga tidak
mungkin lagi melakukan usaha lebih dari itu.
Bentuk-bentuk Ijtihad yaitu:
• Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu Ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan
kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum.
Norma-norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari tingkatan ini
contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan sebutan
Mazhab Empat.
• Ijtihad Muntasib, yaitu Ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma
dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari
sumbernya, mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan
sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah
tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab Hanafi seperti
Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok
pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
• Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid mazhab/fatwa, yaitu Ijtihad yang dilakukan
seorang mujtahid dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-
norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah dihasilkan
imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya,
men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana
yang shahih dan mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi'i.
• Ijtihad di bidang tarjih, yaitu Ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang
ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih
mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan
sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam
Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali
perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu
tingkatan.
www.contohskripsitesis.com/.../Jawab%20Soal%20Hukum%20Islam.doc

Metodologi Ijtihad
Dilihat dari pelaksanaannya, ijtihad dibagi kepada dua macam, yaitu ijtihad fardhi dan
ijtihad jama’i. Ijtihad fardhi adalah ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid secara pribadi.
Sedangkan ijtihad jamai’ adalah ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid secara berkelompok.
Metode yang umumnya digunakan dalam berijtihad yaitu :
Ijma' , Kebulatan pendapat atau kesepakatan semua ahli ijtihad ummat setelah wafatnya nabi
pada suatu masa tentang suatu hukum. Seperti mendirikan Negara bagi masyarakat Islam dan
mengangkat pemimpin bagi ummat, pembukuan Al Quran dsb.
Ijma terdiri atas ijma qauli (ucapan), dan ijma sukuti (diam). Ijma qauli maksudnya para ulama
mujtahidin menetapkan pendapatnya baik dengan ucapan maupun dengan tulisan yang
menerangkan persetujuan atas pendapat mujtahid lain di masanya. Ijma sukuti adalah ketika
para ulama mujtahidin berdiam diri; tidak mengeluarkan pendapatnya atas hasil ijtihad para
ulama lain, diamnya itu bukan karena takut atau malu.
• Qiyas , menetapkan suatu perbutan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan suatu
hukum yang sudah ditentukan oleh nash, didasarkan adanya persamaan diantara keduanya.
Contoh hukum berKB era sekarang dengan sistem ‘azl pada zaman Nabi saw. Karena ada
kesamaan ‚ilat hukum (sebab dan tujuan), KB era sekarang dan sistem ‚azl sama-sama cara berKB
maka para ulama sepakat menetapkan bolehnya berKB. Contoh lainnya zakat padi. Nash yang
sudah ada hanya menyebutkan gandum, bukannya padi. Karena ada kesamaan ‚ilat hukum
(sebab dan tujuan), padi dan gandum sama-sama makanan pokok, maka para ulama sepakat
menetapkan wajibnya zakat atas padi.
• Istihsan, merupakan perluasan dari qiyas. Yang dimaksud dengan istihsan adalah 1)
meninggalkan qiyas jalli (qiyas nyata) untuk menjalankan qiyas khafi (qiyas samar-samar) atau
meninggalkan hukum kulli (hukum umum) untuk menjalankan hukum istisna’i (pengecualian),
disebabkan ada dalil logika yang membenarkannya. 2) menetapkan suatu hukum yang berlainan
dengan hasil qiyas karena pertimbangan kepentingan dan kemaslahatan umat untuk
menghindarkan terjadinya kesulitan dan kezaliman. Contoh, Islam hanya membenarkan transaksi
jual beli jika barangnya sudah nyata-nyata ada. Praktek salam, yakni jual beli dengan cara bayar
duluan sementara barangnya belakangan dilarang oleh Islam. Tentu saja maksudnya agar tidak
terjadi kecurangan. Tapi zaman berkembang dan sistem trnsaski bisnis bergerak lebih cepat.
Seringkali produsen tidak sanggup menyediakan barang yang dibutuhkan pelanggan karena
keterbatasan modal. Atas dasar kebutuhan dan kepercayaan, pelanggan akhirnya membayar
duluan, sementara barang yang dipesannya baru diproduksi stelh pelanggan membayar (penuh
atau sebagian) dari keseluruhan harga barang yang dipesannya. Pembayaran secara salam
tersebut merupakan „kekecualian“ dari salam yang umum.
•Maslahah Mursalah , menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan ijtihadiah atas dasar
pertimbangan keguanaan dan kemanpaatan yang sesuai dengan tujuan syariat Islam, sekalipun
tidak ada dalil-dalil secara eksplisit dari Al Quran dan Hadits. Contoh, mendirikan penjara.
Hukum Islam menetapkan qishas bagi pembunuhan sengaja, hukum cambuk bagi pezina. Dalam
perkembangan hukum terjadi ragam tindak pidana dan kriminal yang tidak tercakup secara tegas
dalam syara’. Kemudian muncul „penjara“. Syara tidak memerintahkan ataupun melarang
pembuatan penjara. Tetapi karena fungsinya sangat baik bagi kemananan dan ketertiban
masyarakat, maka keberadaan penjara dapat dipandang bermaslahat.
• ‘Urf atau Adat Kebiasaan
‘Urf merupakan adat kebiasaan baik berupa perkataan atau perbuatan yang baik, yang karenanya
dapat dibenarkan oleh syara’. Contohnya belanja di supermarket tanpa adanya ijab qabul secara
lisan dengan lafal yang jelas, karena ketika pelanggan memilih barang dan membayarnya di kasir
sebenarnya sudah terjadi ijab qabul. Hukum kebiasaanlah (‘urf) yang menetapkan sahnya jual
beli demikian.
http://yudaningsih-saad.com/?pg=articles&article=10021

Sumber – sumber Ajaran Islam


Agama Islam memiliki aturan–aturan sebagai tuntunan hidup kita baik dalam berhubungan sosial dengan
manusia (hablu minannas) dan hubungan dengan sang khaliq Allah SWT (hablu minawallah) dan tuntunan
itu kita kenal dengan hukum islam atau syariat islam atau hukum Allah SWT. Sebelum kita lebih jauh
membahas mengenai sumber-sumber syariat islam, terlebih dahulu kita harus mengetahui definisi dari
hukum dan hukum islam atau syariat islam. Hukum artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu atau
meniadakannya. Menurut ulama usul fikih, hukum adalah tuntunan Allah SWT (Alquran dan hadist) yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah balig dan berakal sehat), baik berupa tuntutan,
pemilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah( kemudahan ) atau
azimah.
Sedangkan menurut ulama fikih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh syariat (Alquran dan hadist)
berupa al-wujub, al-almandub, al-hurmah, al- karahah, dan al-ibahah. Perbuatan yang dituntut tersebut
disebut wajib, sunah (mandub), haram, makruh, dan mubah. Ulama usul fikih membagi hukum islam
menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifiy dan hukum wadh’iy dan penjelasannya sebagai berikut :
1. Hukum Taklifiy
Adalah tuntunan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau
meninggalkannya. Hukum taklifiy dibagi menjadi lima macam, yaitu
a. Al-ijab, yaitu tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan dan dilarang ditinggalkan,
karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman
b. An-nadh, yaitu tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak
secara pasti. Jika tuntutan itu dikerjakan maka pelakunya mendapatkan pahala, tetapi
jika tidak dikerjakan tidak hukuman (dosa)
c. Al-ibahah, yaitu firman Allah yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau
meninggalkannya
d. Al-karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan
melalui untaian kata yang tidak pasti sehingga kalau dikerjakan pelakunya tidak
dikenai hukuman
e. Al-tahrim, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti
sehingga tuntutan untuk meninggalkan perbuatan itu wajib, dan jika dikerjakan
pelakunya mendapatkan hukuman (berdosa).
Menurut ulama fikih pebuatan mukallaf itu jika ditinjau dari syariat islam dibagi menjadi lima
macam, yaitu :
a. Fardu (wajib), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapatkan pahala, tetapi
apabila ditinggalkan pelakunya mendapatkan hukuman (berdosa)
perbuatan wajib ditinjau dari segi orang melakukannya dibagi menjadi dua, yaitu:
Fardu ain, yaitu perbuatan wajib yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf, seperti shalat lima
waktu
Fardu kifayah, yaitu perbuatan wajib yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota
masyarakat, dan jika telah dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat,
maka gugur kewajiban anggota masyarakat lainnya, seperti memandikan,
mengafani, menshalatkan, dan menguburkan jenazah muslim
b. sunnah (mandub), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapatkan pahala, tetapi
apabila ditinggalkan pelakunya tidak mendapatkan hukuman (dosa) perbuatan sunnah dibagi
menjadi dua, yaitu:
Sunnah ain, yaitu perbuatan sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap individu,
seperti shalat sunnah rawatib
Sunnah kifayah, yaitu perbuatan sunnah yang dianjurkan dikerjakan oleh salah seorang atau
beberapa orang dari golongan masyarakat, seperti memberi salam, mendoakan muslim atau
muslimat
c. Haram, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya berdosa dan akan dihukum, tetapi
apabila ditinggalkan pelakunya mendapatkan pahala, seperti: bezina, mencuri,
membunuh
d. Makruh, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya tidak berdosa, tetapi apabila
ditinggalkan pelakunya mendapat pahala, seperti: meninggalkan shalat Dhuha
e. Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, seperti: memilih warna
pakaian penutup auratnya.
1. Hukum Wa’iy
Adalah perintah Allah SWT, yang mengandung pengertian, bahwa terjadinya sesuatu merupakan
sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukum).
Ulama usul fikih berpendapat bahwa hukum waid’iy itu terdiri dari tiga macam, yaitu:
a. Sebab, yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan dalam nas (Alquran dan hadist),
bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya hukum. Seperti: tergelincirnya matahari
menjadi sebab wajibnya shalat zhuhur, jika matahari belum tergelincir maka shalat zhuhur belum
wajib dilakukan
b. Syarat, yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’
tergantung padanya, jika syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada. Seperti: genap satu tahun
(haul) adalah syarat wajibnya harta perniagaan, jika tidak haul maka tidak wajib zakat perniagaan
c. Penghalang (mani), yaitu sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau
tidak adanya sebab hukum. Seperti: najis yang ada di badan atau pakaian orang yang sedang
melaksanakan shalat menyebabkan shalatnya tidak sah atau menghalangi sahnya shalat.
Melalui penjelasan singkat mengenai pengertian hukum islam atau syariat islam tadi barulah kita mengerti
pengertian hukum islam. Yang dimaksud sebagai sumber hukum islam adalah segala sesuatu yang
melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila
dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian sumber
hukum islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam. Pada umumnya
para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum islam adalah Alquran dan hadist. Dalam sabdanya
Rasulullah SAW bersabda, “ Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat
selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” Dan disamping itu
pula para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah Alquran dan hadist.
Seluruh hukum produk manusia adalah bersifat subjektif, hal ini karena keterbatasan manusia dalam ilmu
pengetahuan yang diberikan Allah SWT mengenai kehidupan dunia dan kecenderungan untuk menyimpang,
serta menguntungkan penguasa pada saat pembuatan hukum tersebut, sedangkan hukum Allah SWT adalah
peraturan yang lengkap dan sempurna serta sejalan dengan fitrah manusia.
Sumber ajaran islam dirumuskan dengan jelas oleh Rasulullah SAW, yakni terdiri dari tiga sumber,
yaitu kitabullah (Alquran), as- sunnah (hadist), dan ra’yu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat
untuk berijtihad. Ketiga sumber ajaran ini merupakan satu rangkaian kesatuan dengan urutan yang tidak
boleh dibalik. Sumber-sumber ajaran islam ini dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu sumber ajaran
islam yang primer (Alquran dan hadist) dan sumber ajaran islam sekunder (ijtihad). Pembahasan mengenai
karakteristik masing-masing sumber ajaran islam tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sumber-Sumber Ajaran Islam Primer
1.1. Alqur’an
Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang
berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi
(syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-
Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang diturunkan pada
rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta
membacanya adalah ibadah
Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain:
Tauhid, yaitu kepercayaan ke-esaann Allah SWT dan semua kepercayaan yang
berhubungan dengan-Nya
Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran
tauhid
Janji dan ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan
isi Alquran dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkari
Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiaran syariat Allah SWT
maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah orang yang
mengingkari kebenaran Alquran agar dapat dijadikan
pembelajaran.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan
Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan.
Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu
Kalam.
Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia
dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta
manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin
dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu
yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam
kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial.
Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT,
misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan
alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah
sebagai berikut:
Hukum munakahat (pernikahan).
Hukum faraid (waris).
Hukum jinayat (pidana).
Hukum hudud (hukuman).
Hukum jual-beli dan perjanjian.
Hukum tata Negara/kepemerintahan
Hukum makanan dan penyembelihan.
Hukum aqdiyah (pengadilan).
Hukum jihad (peperangan).
Hukum dauliyah (antarbangsa).
1.2. Hadist
Sunnah menurut syar’i adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW baik perbuatan,
perkataan, dan penetapan pengakuan. Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Alquran yang kurang
jelas atau sebagai penentu hukum yang tidak terdapat dalam Alquran.
Sunnah dibagi menjadi empat macam, yaitu:
Sunnah qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
Sunnah fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
Sunnah taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan
ataupun perbuatan orang lain
Sunnah hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak
sampai dikerjakan
2. Sumber-Sumber Ajaran Islam Sekunder
2.1. Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja
semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berfikir
untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu Alquran dan hadist. Hasil dari ijtihad
merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist. Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu
masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat dilakukan ijtihad
dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu pada Alquran dan hadist.
Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu
 Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut
istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW
sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara
musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama
dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
 Qiyas, yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan
kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan
suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab
akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa
perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena
dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-
sama menyakiti hati orang tua.
 Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih
kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk
mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu
perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan
syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat
terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah
(kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system
pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
 Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut
istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi
kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun
Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk
membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan
oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
 Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah
adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh
atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya
larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk,
padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini
untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak
hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
 Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di
masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum.
Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum
berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila
tidak berwudhu.
 Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan
uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab
kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.

http://abdullah21.wordpress.com/2008/10/13/sumber-%E2%80%93-sumber-ajaran-islam/

You might also like