Professional Documents
Culture Documents
X
Selamat Datang pengembara Google! Jika artikel berikut bermanfaat, Anda mungkin
tertarik mendaftar RSS feed Blog ini untuk mendapatkan update secara rutin.
You were searching for "hambatan-hambatan dalam pembelajaran membaca". See posts
relating to your search »
Powered by WP Greet Box
Tulisan berikut merupakan pembahasan dalam bentuk tertulis dari seminar yang saya
bawakan pada forum HPSMI (Himpunan Pengelola Sumber Daya Manusia Indonesia)
dengan topik “Membangun Budaya Belajar di Perusahaan Menuju Learning
Organization”
Karena pembahasan cukup panjang, maka tulisan saya bagi dalam dua bagian. Bagian
pertama membahas tentang mengapa organisasi perlu menciptakan budaya belajar
sebagai landasan dalam menciptakan Learning Organization.
Bagian kedua akan saya tulis kemudian yang membahas studi kasus pendekatan yang
dilakukan oleh PT. Unilever Indonesia, Tbk dalam menciptakan budaya belajar sekaligus
penerapan Knowledge Management di perusahaan yang meraih penghargaan Most
Admired Knowledge Enterprise (MAKE) sebanyak 3 kali berturut-turut pada 2005-2008.
###
BAGIAN PERTAMA
Alvin Toffler dalam salah tulisannya menyebutkan, “The illiterate of the 21st century will
not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and
relearn.”
Ya, buta huruf di zaman modern bukanlah karena tidak bisa baca tulis, melainkan karena
tidak dapat belajar (learn), membuang apa yang sudah pernah dipelajari (unlearn) dan
mempelajari kembali sesuatu karena mungkin sudah terlupakan atau diabaikan (relearn).
Karena itu semangat belajar dan terlebih lagi budaya belajar, sangat penting dimiliki oleh
individu-individu dalam sebuah organisasi sehingga menjadi organisasi pembelajar
(Learning Organization). Hal ini hanya bisa terjadi ketika individu dalam organiasi
menjadi pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab atas proses belajarnya. Mereka
menjadi orang-orang yang belajar bukan karena diperintahkan atau diatur oleh organisasi,
melainkan belajar karena kebutuhan dan tanggung jawab pribadi untuk mengembangkan
diri.
Setidaknya ada empat alasan penting mengapa organisasi perlu terus belajar meskipun
bisa jadi saat ini telah menjadi organisasi yang relatif lebih baik dibandingkan organisasi
sejenis.
Jika kita perhatikan saat ini, kompetisi yang ada semakin ketat. Sebuah perusahaan atau
organisasi tidak bisa menganggap sebelah mata kompetitornya karena kelengahan sedikit
dapat membuat ketertinggalan. Agar bisa memenangkan kompetisi atau setidaknya tidak
tertinggal dari kompetisi, diperlukan proses belajar yang terus menerus.
Hampir tidak ada pekerjaan yang sama sekali tidak membutuhkan orang lain. Terlebih
dalam organisasi yang baik, maka kekuatan utamanya terletak pada bagaimana
menciptakan sinergi diantara anggota tim yang ada. Masing-masing orang belajar dan
membawa hasil belajarnya untuk saling menyokong dan memperkokoh tim.
Siapa yang menyangka akhirnya ekonomi raksasa seperti Amerika Serikat dapat runtuh
gara-gara kredit perumahan (sub-prime mortgage)? Siapa yang mampu menebak arah
bisnis dan perekonomian 10 tahun mendatang. Ya, manusia harus sadar bahwa hari esok
penuh dengan tantangan dan ketidakpastian. Organisasi yang belajar, meskipun tetap
menghadapi ketidakpastian, namun lebih siap dan terbuka menghadapi apapun yang
terjadi ke depannya.
Peter Senge dalam karyanya yang terkenal memberi definisi Learning Organization
sebagai “…organizations where people continually expand their capacity to create the
results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured,
where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see
the whole together.”
Dari sudut pandang yang lain, Mike Pedler, John Burgoyne, Tom Boydel (1997)
dalam karya mereka The Learning Company menyebutkan Learning Organization adalah:
“…an organization that facilitates the learning of all its members and continuously
transforms itself.”
Peran organisasi adalah memberikan fasilitasi atau dukungan kepada seluruh anggotanya
terkait proses pembelajaran sehingga orang-orang di dalam organisasi tersebut maupun
organisasi itu sendiri dapat terus bertransformasi ke arah yang lebih baik secara kontinyu,
terus menerus.
Lantas, bagaimanakah membentuk sebuah organisasi pembelajar itu? Apa saja ciri-
cirinya atau persyaratan apa yang harus dipenuhi?
Peter Senge dalam “The Fifth Discipline” menyebutkan ada 5 komponen yang harus ada
dalam sebuah Learning Organization yakni:
Perubahan Paragdima
Adapun yang sangat diperlukan dalam menciptakan budaya belajar di organisasi adalah
dengan mengubah paradigma dari belajar gaya lama dengan belajar gaya baru.
Dengan mengadopsi pendekatan baru tersebut, kegiatan belajar gaya lama yang birokratis
digantikan dengan pendekatan baru yang lebih luwes dan merupakan proses
perkembangan setiap individu dalam organisasi. Peran perusahaan atau organisasi dalam
hal ini adalah memberikan dukungan dan fasilitasi sehingga proses transformasi individu
maupun organisasi dapat berjalan sebagaimana mestinya.
(bersambung)
17 Januari 2009
Salah satu kesulitan yang dihadapi guru bahasa Indonesia dalam pengajaran membaca
adalah menemukan bahan pelajaran yang cocok bagi para anak didiknya.. Untuk
mengatasi hal tersebut para guru mencoba suatu pendekatan berdasarkan latar belakang
pengalaman anak dalam menggunakan bahasanya. Pendekatan ini disebut Pendekatan
Pengalaman Berbahasa (PPB). Dalam PBB, guru menggunakan bahan pelajaran yang
dibuat oleh siswa itu secara tertulis. Dengan demikian anak akan berkesimpulan bahwa
segala sesuatu yang dilisankannya itu dapat diubah menjadi tulisan. Kesadaran seperti itu
penting sekali. Dengan kesadaran tersebut anak-anak pun akan berkesimpulan bahwa
tulisan itu bisa bercerita, bahwa dengan tulisan orang biasaberkomunikasi, bahwa dengan
tulisan itu mempunyai persamaan dengan tutur.
PPB dalam bidang membaca dapat dibatasi sebagai pengajaran membaca dengan
menggunakan wacana yang dikembangkan bersama-sama dengan anak-anak. Dalam PBB
guru merangsang anak-anak untuk berpikir tentang pengalaman masing-masing. Guru
memberikan dorongan kepada anak-anak untuk bercerita. Waktu anak bercerita, guru
mendengarkan cerita itu dan merekamnya secermat-cermatnya. Rekaman guru yang
menggunakan huruf-huruf yang jelas itu harus dilakukan di depan anak-anak supaya
anak-anak sadar bahwa bahasa lisan itu bisa diubah menjadi bahasa tulisan. Wacana yang
berbentuk deretan kata, frase, kalimat, atau cerita itulah yang dijadikan bahan pelajaran.
Langkah-Langkah Pendekatan Pengalaman Berbahasa
Belajar konstrultivisme mengisyaratkan bahwa guru tidak memompakan pengetahuan ke
dalam kepala pebelajar, melainkan pengetahuan diperoleh melalui suatu dialog yang
ditandai oleh suasana belajar yang bercirikan pengalaman dua sisi. Ini berarti bahwa
penekanan bukan pada kuantitas materi, melainkan pada upaya agar siswa mampu
menggunakan otaknya secara efektif dan efisien sehingga tidak ditandai oleh segi
kognitif belaka, melainkan oleh keterlibatan emosi dan kemampuan kreatif. Dengan
demikian proses belajar membaca perlu disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan
siswa (Semiawan, 2002:5).
Dalam PPB guru mengembangkan wacana bersama-sama dengan murid-muridnya mulai
dengan memberikan rangsangan pada pikiran murid-muridnya itu. Langkah yang
pertama, ialah pengembangan wacana bersama salah satu murid, guru menyuruhnya
memikirkan hal-hal yang merupakan kesukaannya. Guru memotivasi dengan jalan
berkata bahwa dia ingin tahu kesenangannya. Dalam hal yang kedua, guru mulai dengan
jalan bercerita bahwa hari Minggu merupakan hari libur untuk beristirahat. Dia
melukiskan hal-hal yang suka dikerjakannya pada hari Minggu, kemudian dia
merangsang muridnya untuk bepikir tentang apa yang suka mereka kerjakan pada hari
Minggu.
Langkah yang kedua, guru berupaya untuk mendengarkan sebaik-baiknya dan
mengarahkan percakapan yang langsung antara murid-muridnya. Sepintas lalu, upaya
yang harus dilakukan guru itu mudah; namun, dalam suatu kelompok yang terdiri atas
banyak murid, pekerjaan mengarahkan pembicaraan mereka supaya setiap anak mendapat
giliran untuk mengemukakan pendapatnya itu, bukanlah hal yang sederhana. Guru
menyuruh murid-murid yang berkelompok itu mendengarkan baik-baik temannya yang
sedang berbicara. Masalah yang dihadapi dalam hal ini sudah tentu berbeda dengan yang
dihadapi pada waktu menggunakan PPB dengan seorang anak.
Langkah yang ketiga ialah menuliskan hal-hal yang ceritakan oleh murid. Bisaanya guru
memberikan petunjuk kepada muridnya supaya yang dikemukakannya itu berupa sebuah
cerita. Guru memberi contoh cara memulai sebuah cerita, atau yang lebih baik ialah
meminta saran murid tentang cara yang mereka sukai. Semua saran haris diperhatikan
dan murid disuruh memilih cara yang terbaik. Kalimat-kalimat yang mendukung kalimat
yang pertama yang merupakan awal cerita itu, akan diajukan oleh murid. Guru mencatat
kalimat-kalimat yang mereka buat itu tepat sebagaimana yang diucapkan murid.
Langkah yang keempat, guru mendengarkan bacaan muridnya. Guru menyuruh
muridnya. Guru menyuruh meuridnya membaca wacana yang merupakan hasil
rekamannya itu. Jika dia bekerja dengan seorang siswa, maka dia harus memperhatikan
kata-kata yang dikenal muridnya dan kata-kata mana yang tidak dikenalnya. Jika guru
bekerja dengan sekelompok murid, dia bisa menyuruh murid-muridnya membaca secara
bergiliran. Guru mencatat kata-kata yang diucapkan oleh murid-muridnya itu tidak ada
dalam wacana
Langkah yang kelima merupakan penggunaan wacana dalam pengajaran membaca. Guru
harus memanfaatkan pengetahuan yang diperolehnya dari bacaan murid-muridnya itu.
Kalau guru tahu bahwa siswanya tidak dapat membaca kata tertentu yang ada dalam
wacana yang digunakannya itu, dia harus mengajarkannya dengan cara memisahkan kata
tertentu itu dari wacana (Muchlisoh, 1994: 202).
Keunggulan PPB
Salah satu manfaat PPB yang sangat penting adalah sifat PPB yang mulai dengan soal
perkembangan bahasa anak. Tugas untuk memilih bahan yang cocok menjadi ringan
karena wacana yang digunakan sudah dengan sendirinya sesuai dengan tingkat
penguasaan bahasa anak. Selain itu kelebihan yang lain ialah sifatnya yang
mengintegrasikan semua kegiatan kebahasaan. Anak-anak mendengarkan, berbicara,
membaca, dan kadang-kadang menuliskan wacana yang tengah dikembangkan.
Kelebihan lain dari PPB adalah sifatnya yang bisa meningkatkan minat baca siswa,
karena PPB berpusat pada anak. Orang pada umumnya senang membaca pengalaman
pribadinya. Anak-anak pun sama, terutama terhadap wacana yang memerikan komentar
yang positif tentang dirinya. Tugas untuk memotivasi anak memmbaca wacana tidak
diperlukan pada PPB.
Kelebihan yang terakhir yang dimiliki PPB ialah kehematannya. PPB tidak memerlukan
biaya banyak. PPB cukup dengan kertas, papan tulis, pensil, dan kapur yang ada.
Pendekatan lain kerap kali tidak bisa berjalan karena tuntutan pembiayaan yang terlalu
tinggi.
Kelemahan PPB
Disamping memiliki kelebihan, PPB mempunyai beberapa kelemahan, yang pertama
ialah sifat PPB yang hanya digunakan pada pelajaran membaca tingkat awal. Setelah
anak menguasai kosakata dasar, dia akan memerlukan bahan bacaan yang berisi
pengalaman dan kosakata baru. Kalau guru hanya menggunakan PPB, anak-anak akan
terbatas ruang geraknya di sekitar pola bahasa dan pengalamannya saja. Salah satu tujuan
utama membaca ialah untuk memperkaya kosakata dan berbagai tipe pola bahasa
haruslah digunakan dalam upaya meluaskan pengembangan bahasa.
PPB juga menuntut waktu yang jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan pendekatan-
pendekatan lain karena sesungguhnya guru selalu berupaya mengembangkan bahan yang
diperlukan oleh PPB tidak melihat hal-hal di atas itu sebagai keterbatasan , tetapi sebagai
kesempatan yang bekerja lebih banyak lagi dengan anak secara perorangan.
PPB menuntut guru agar selalu menyadari adanya sejumlah keterampilan
membaca dan sejumlah kata-kata sehngga mereka tahu apa yang harus diajarkan dan
kapan mengajarkannya. Pedoman guru yang menyertai pendekatan lainnya memberikan
kemudahan bagi guru. Di dalamnya dijelaskan kata-kata yang mana yang harus
diperkenalkan kepada murid dan keterampilan apa yang harus diajarkan. PPB tidak
menyajikan hal-hal yang memudahkan seperti itu.
Penutup
Setiap kegiatan pembelajaran diharapkan dapat mencapai target hasil belajar
tertentu. Salah satu target hasil belajar yang ingin dicapai dalam kegiatan pembelajaran
membaca permulaan adalah siswa memiliki kelancaran dalam membaca. Pembelajaran
membaca permulaan dilaksanakan dengan berbagai metode. Setiap metode pembelajaran
membaca permulaan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Metode
yang satu akan melengkapi metode yang lain. Guru dapat memilih salah satu atau
menggabungkan berbagai metode sesuai dengan kondisi siswa dan tersedianya sarana
pendukung lainnya. Selain itu, guru juga boleh menciptakan model baru dalam
pelaksanaan pembelajaran membaca permulaan.
Pendekatan pengalaman berbahasa merupakan salah satu metode yang dapat digunakan
oleh guru untuk meningkatkan kelancaran dalam membaca di kelas permulaan, karena
dalam pendekatan pengalaman berbahasa wacana dikembangkan oleh guru bersama-sama
dengan muridnya secara tatap muka. Dalam kegiatan pengembangan wacana itu dapat
dikembangkan semua keterampilan berbahasa; menyimak atau mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis. Dengan berbaurnya semua keterampilan dalam suatu kegiatan itu
guru dituntut untuk lebih kratif.
Daftar Rujukan
Badudu. J. S. 1993. Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah:Tinjauan dari
Masa ke Masa, Bambang Kaswanti Purwo (ed), Pelba 6. Yogyakarta: Kanasius.
Muchlisoh. 1992. Materi Pokok Bahasa Indonesia 3. Jakarta: Depdikbud.
Semiawan, Conny, dkk. 1986. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: PT Gramedia
Sri Nuryati. 2007. Pembelajaran Membaca Permulaan Melalui Permainan Bahasa Di
Kelas Awal Sekolah Dasar. Jurnal Sekolah Dasar, (Online), (http://www.
Google.com, diakses 7 Desember 2007)
Winiasih, 2005. Diagnosis Kesulitan Membaca Permulaan Siswa Sd/Mi Melalui analisis
Reading Readiness. Jurnal Sekolah Dasar, (Online), Tahun 14, Nomor 1, Mei
2005 1, (http://www. Google.com, diakses 19 Desember 2007)
Zuchdi, D dan Budiasih. 1996/1997. Pendidikan Bahasa Indonesia di Kelas Rendah.
Jakarta:Proyek Pengembangan PGSD Dirjen Dikti Depdikbud.
*) Penulis adalah guru Bahasa Indonesia DPK Depag di MTs Sunan Giri Prigen Kabupaten Pasuruan
masih menempuh S2 Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Islam Malang
Diposkan oleh Akhmad Huda, M. Pd. di Sabtu, Januari 17, 2009
Reaksi: