Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang sempurna (komprehensif) yang mengatur se-luruh aspek
kehidupan manusia, baik aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Salah satu ajaran
yang sangat penting adalah bidang muamalah/ iqtishadiyah (Ekonomi Islam). Kitab-kitab
Islam tentang muamalah (ekonomi Islam) sangat banyak dan berlimpah, Jumlahnya lebih
dari seribuan judul buku. Para ulama ti-dak pernah mengabaikan kajian muamalah dalam
kitab-kitab fikih mereka dan dalam halaqah (pengajian-pengajian) keislaman mereka.
Seluruh Kitab Fiqh mem-bahas fiqh ekonomi. Bahkan cukup banyak para ulama yang
secara khusus mem-bahas ekonomi Islam, seperti kitab Al-Amwal oleh Abu Ubaid, Kitab
Al-Kharaj karangan Abu Yusuf, Al-Iktisab fi Rizqi al-Mustathab oleh Hasan Asy-
Syaibani, Al-Hisbah oleh Ibnu Taymiyah, dan banyak lagi yang tersebar di buku-buku
Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Al-Ghazali, dan sebagainya . Namun dalam waktu yang
panjang, materi muamalah (ekonomi Islam) cenderung diabaikan kaum muslimin,
padahal ajaran muamalah bagian penting dari ajaran Islam.
Ajaran muamalah adalah bagian paling penting (dharuriyat) dalam ajaran Islam. Dalam
kitab Al-Mu’amalah fil Islam, Dr. Abdul Sattar Fathullah Sa’id me-ngatakan :
Di antara unsur dharurat (masalah paling penting) dalam masyarakat manusia adalah
“Muamalah”, yang mengatur hubungan antara individu dan masyarakat dalam kegaiatan
ekonomi. Karena itu syariah ilahiyah datang untuk mengatur muamalah di antara manusia
dalam rangka mewujudkan tujuan syariah dan menjelaskan hukumnya kepada mereka.
‘Dan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata,ν kepada penduduk Madyan, Kami utus “Hai
Kaumku sembahlah Allah, sekali-kali Tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan Janganlah
kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan
yang baik. Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan
(kiamat)”.
Dan Syu’aib berkata,”Hai kaumku sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.
Janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu
membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (Hud : 84,85)
Dua ayat di atas mengisahkan perdebatan kaum Nabi Syu’aib dengan umatnya yang
mengingkari agama yang dibawanya. Nabi Syu’aib mengajarkan I’tiqad dan iqtishad
(aqidah dan ekonomi). Nabi Syu’aib mengingatkan mereka tentang kekacauan transaksi
muamalah (ekonomi) yang mereka lakukan selama ini. Al-Quran lebih lanjut
mengisahkan ungkapan umatnya yang merasa keberatan diatur transaksi ekonominya,
Mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kamu
meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyangmu atau melarang kami
memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah
orang-orang yang penyantun lagi cerdas”.
Ayat ini berisi dua peringatan penting, yaitu aqidah dan muamalah. Ayat ini juga
menjelaskan bahwa pencarian dan pengelolaan rezeki (harta) tidak boleh sekehendak
hati, melainkan mesti sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah, yang disebut dengan
syari’ah.
Aturan Allah tentang ekonomi disebut dengan ekonomi syariah. Umat manusia tidak
boleh sekehendak hati mengelola hartanya, tanpa aturan syari’ah. Syariah misalnya
secara tegas mengharamkan bunga bank. Semua ulama dunia yang ahli ekonomi Islam
(para professor dan Doktor) telah ijma’ mengharamkan bunga bank. (Baca tulisan
Prof.Yusuf Qardhawi, Prof Umar Chapra, Prof.Ali Ash-Sjabuni, Prof Muhammad Akram
Khan). Tidak ada perbedaan pendapat pakar ekonomi Islam tentang bunga bank. Untuk
itulah lahir bank-bank Islam dan lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya.
Meski permasalahan ekonomi syari’ah cukup kompleks, namun waktu yang diberikan
kepada Pokja untuk menyusun KHMS hanya setahun. Menurut Rifyal, MA berkeinginan
segera menyusun aturan KHMS, paling tidak agar bisa mengisi kekosongan hukum
perkara-perkara muamalah syariah sejak berlakunya UU No. 3 Tahun 2006. Adanya
aturan yang tegas diharapkan bisa mengatasi per-soalan yurisdiksi, pengadilan mana yang
berwenang menangani sengketa per-bankan syari’ah.
Berbasis Fikih Klasik
KHMS, tetap akan didasarkan pada fiqh muamalah tetapi diadaptasikan dengan
perkembangan hukum ekonomi modern. Fiqh muamalah klasik yang ada tidak
sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang
di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh
berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan
dua kaedah :
Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara
warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah
ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim (Pada
dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang engharamkannya).
Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti, prinsip
bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir
(spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh
dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.
Selain itu juga merujuk pada pe-nerapan ekonomi syari’ah selama 20 tahun terakhir di
Negara-negara Islam. Ada 11 item yang akan dimasukkan dalam KHMS. Ini mengacu
pada ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Per-adilan Agama. Adapun ke-11 item tersebut adalah bank syari'ah; lembaga ke-
uangan mikro syari'ah; asuransi syari'ah; reasuransi syari'ah; reksa dana syari'ah; obligasi
syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; sekuritas syari'ah; pembiayaan
syari'ah; pegadaian syari'ah; dana pensiun lembaga ke-uangan syari'ah; dan bisnis
syari'ah.