You are on page 1of 6

Kisah seorang santri

Ada suatu kisah seorang santri yang menuntut ilmu pada seorang
Kyai. Bertahun-tahun telah ia lewati hingga sampai pada suatu ujian
terakhir. Ia menghadap Kyai untuk ujian tersebut.
“Hai Fulan, kau telah menempuh semua tahapan belajar dan tinggal
satu ujian. Kalau kamu bisa menjawab berarti kamu lulus”, kata
Kyai. “Baik pak Kyai. Apa pertanyaannya?” “Kamu cari orang atau
makhluk yang lebih jelek dari kamu. Kamu aku beri waktu tiga hari”.
Akhirnya santri tersebut meninggalkan pondok untuk melaksanakan
tugas dan mencari jawaban atas pertanyaan Kyainya.
Hari pertama, sang santri bertemu dengan si Polan pemabuk berat
yang dapat dikatakan hampir tiap hari mabuk-mabukan. Santri
berkata dalam hati, “inilah orang yang lebih jelek dari aku. Aku telah
beribadah puluhan tahun sedang dia mabuk-mabukan terus”.
Tetapi sesampai ia di rumah, timbul pikirannya. “Belum tentu,
sekarang Polan mabuk-mabukan siapa tahu pada akhir hayatnya
ALLAH memberi hidayah dan dia husnul khotimah. Dan aku
sekarang baik, banyak ibadah tetapi pada akhir hayat dikehendaki
suul khotimah. Bagaimana??? Dia belum tentu lebih jelek dari aku.
Hari kedua, santri jalan keluar rumah dan bertemu dengan seekor
anjing yang menjijikkan rupanya. Sudah bulunya kusut, kudisan
pula. Santri bergumam, “ketemu sekarang yang lebih jelek dari aku.
Anjing ini sudah haram dimakan, kudisan, jelek lagi”.
Santri gembira karena telah dapat jawaban atas pertanyaan
gurunya. Waktu akan tidur sehabis Isya, dia merenung. “Anjing ini
kalau mati, habis perkara dia. Dia tidak dimintai tanggung jawab
atas perbuatannya oleh ALLAH. Sedangkan aku akan dimintai
pertanggung jawaban yang sangat berat yang kalau aku berbuat
dosa akan masuk neraka aku”. Aku tidak lebih baik dari anjing itu.
Hari ketiga akhirnya santri menghadap Kyai. Kyai bertanya, “sudah
dapat jawabannya muridku?” “Sudah guru”, santri menjawab.
“Ternyata orang yang paling jelek adalah saya guru”. Sang Kyai
tersenyum, “kamu aku nyatakan lulus”.
Oleh: dedepln26 | 3 Maret 2009
Dapurku Surgaku
Penulis: Ummu Rumman Azzahra

Muroja’ah: Ustadz Nurkholis, Lc.

“Ukh, bingung nih mau masak apa buat suami. Ibu saya tadi datang bawa terong, tapi sayang
bingung, terongnya harus diapain. Emang terong bisa dimasak apa aja sih, Ukh? Saya nyesel kenapa
nggak dari dulu belajar masak…”
Kejadian di atas dialami salah seorang sahabat penulis seminggu pasca-menikah. Berangkat dari
kejadian tersebut, penulis merasa perlu berbagi pengalaman bahwa memasak ternyata punya peran
tersendiri dalam sebuah rumah tangga. Mungkin kejadian di atas tidak perlu membuahkan masalah
jika si istri ternyata piawai dalam hal masak-memasak. Namun, bagaimana dengan mereka yang
mengenal bumbu dapur saja tidak bisa?

Pentingkah Memasak?
Memasak merupakan aktivitas yang banyak dilakoni oleh para wanita sejak turun temurun. Meski
sekarang tidak sedikit pula laki-laki yang handal memasak, namun dalam kehidupan rumah tangga,
memasak tetap harus diperani oleh wanita. Sekilas kita lihat aktivitas ini mungkin sangat remeh-
temeh. Tetapi pada prakteknya tidak akan semudah itu. Orang yang mengaku bisa masak pun
terkadang suka dihampiri rasa tak percaya diri ketika masakannya harus dicicipi orang lain. Maka
tidak heran jika para pengamat seni menempatkan masakan sebagai karya seni yang paling berharga
di antara semua karya seni lainnya.

Begitu pentingnya memasak hingga tak jarang kita jumpai banyak orang yang terkagum-kagum
dengan seseorang yang menguasai bidang ini. Pun seorang istri yang pintar masak. Dengan
keahliannya tersebut akan membuat suaminya betah di rumah dan malas membeli makan di luar.
Masakan yang enak bisa menjadi salah satu perekat cinta seorang suami kepada istrinya. Bahkan
memasak untuk menyenangkan suami bisa menjadi ladang pahala jika diniatkan untuk ibadah kepada
Allah. Karena salah satu ciri istri shalihah adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memenuhi
semua hal yang disukai suaminya selama tidak dalam bermaksiat kepada Allah.

Memasak Sebagai Ladang Pahala


Saudariku –yang semoga senantiasa dirahmati Allah- apakah kalian menyadari bahwa kegiatan
memasak ini ternyata bisa sekaligus menjadi kegiatan ibadah? Sebagai seorang muslimah kita
diamanahkan untuk bertanggung jawab atas rumah kita dan menyiapkan makanan kepada semua
orang yang ada di dalamnya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Penguasa
adalah pemimpin, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, wanita adalah pemimpin atas
rumah suaminya dan anak-anaknya. Jadi, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan
ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)

Untuk itu tidak ada salahnya bagi seorang muslimah untuk menyiapkan santapan bagi keluarganya
sebaik mungkin, demi melayani hamba-hamba Allah yang shalih, semisal suami, anak-anak, orang
tua, dan semua orang yang ikut menikmati masakan yang kita masak. Dengan begitu, seorang
muslimah akan ikut mengecap pahala yang Allah berikan kepada mereka, di mana sebenarnya kita
sudah ikut membantu amal perbuatan mereka.

Memasak tidak hanya sekedar kegiatan meramu bumbu dan bahan makanan hingga terciptalah
masakan lezat yang siap santap. Namun memasak juga bisa menjadi media kita untuk memikirkan
dan mensyukuri semua nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Jika kita cermati, semuanya
adalah rezeki yang telah Allah tentukan kepada kita. Karunia tersebut terlimpah dengan begitu mudah
kepada kita setelah melalui proses campur tangan banyak orang.

Kita perhatikan saja sayur-sayuran yang kita santap. Akan kita dapati bahwa di sana ada yang
menanaminya, ada yang mengumpulkan panennya, ada penjualnya, serta masih banyak lagi manusia
yang berperan di dalamnya. Mereka dijadikan oleh Allah untuk melayani kita dan anggota keluarga
kita. Padahal pada hakikatnya Allah-lah yang menanam dan menghidupkan sayuran tersebut
sebagaimana firman-Nya, yang artinya,

“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah
Kami yang menumbuhkan?” (Qs. Al Waqi’ah: 63-64)

Begitupun dengan nikmat yang lain yang banyak kita jumpai di meja makan kita. Allah berfirman
mengenai hal ini, yang artinya,

“Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu
pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen. Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang
mempunyai mayang yang tersusun-susun, (sebagai) rezeki bagi hamba-hamba Kami……” (Qs. Qaf: 9-
11)

Adapun dalam memasak, hendaklah kita usahakan memasak berdasarkan apa yang menjadi kesukaan
suami dan anak-anak serta keluarga kita. Ini semua dilakukan dengan harapan dapat membuat suami
dan keluarga bahagia, demi wujud ketaatan kita kepada Allah. Cobalah tanyakan kepada mereka
makanan apa saja yang mereka sukai, jika cara tersebut bisa menyenangkan mereka.
Kadang kita dapati seorang suami ternyata lebih pintar memasak daripada istrinya. Jika hal ini yang
kita alami, janganlah merasa malu untuk belajar dari suami kita. Kita juga bisa menggunakan momen
memasak bersama sebagai kesempatan untuk bercengkrama dengan suami sehingga terciptalah
suasana kemesraan yang akan menambah rasa cinta di hati masing-masing.

Mari Memulainya dari Dapur


Saudariku, sebagai seorang muslimah yang ingin selalu meraih ridha Allah di setiap kesempatan,
maka kita bisa memanfaatkan waktu-waktu kita di dapur untuk menjadi sarana mendekatkan diri kita
kepada-Nya.

Berikut ini hikmah-hikmah yang bisa kita gali dari aktivitas memasak kita sehari-hari:

1. Saat masakan kita telah matang, maka hadirkanlah dalam benak kita betapa Allah telah
menganugerahkan kepada kita nikmat untuk bisa menyelesaikan pekerjaan kita.
2.Saat memasak, cobalah untuk mengingat bahwa di luar sana masih banyak dapur-dapur yang
tidak mengepul. Alangkah indahnya jika kita biasakan untuk selalu mengingat nasib fakir miskin, anak
yatim, dan orang-orang yang membutuhkan yang ada di lingkungan tempat tinggal kita. Jika
memungkinkan, kita bisa menyisakan sedikit dari jatah makan kita untuk mereka sebagai bentuk
kepedulian kita terhadap mereka.
3. Ketika mencium aroma sedap masakan kita, saat itu ingatlah tetangga kita. Sebab bisa jadi
tetangga kita juga turut mencium aroma masakan tersebut. Akan lebih baik lagi jika kita
menghadiahkan sebagian masakan tersebut kepada mereka, khususnya untuk masakan-masakan
spesial yang kita masak. Dengan hal ini akan mengakibatkan tumbuhnya rasa cinta, saling
menghargai dan memperbaiki hubungan tetangga.
4. Dampak yang bisa kita peroleh dari sini adalah tetangga kita akan menghormati dakwah ini. Inilah
di antara sarana yang paling sukses dan paling sederhana untuk memperkuat tali hubungan sosial dan
menyuburkan sensitivitas perasaan hati kita. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR.
Bukhari)

5. Bagi yang sudah memiliki anak, mulailah untuk membiasakan mereka untuk ikut serta
membantu kita memasak. Misalnya bisa dengan mempersiapkan bahan-bahan memasak, sehingga
mereka benar-benar terampil. Di samping untuk mengenalkan apa-apa yang ada di dapur, hal ini juga
untuk membuat mereka turut merasakan beban berat yang kita pikul. Sehingga mereka akan
memberi penghormatan dan akan mudah memahami diri kita.
6. Ketika mengunjungi kerabat dan teman-teman dekat, kita bisa memilih masakan karya kita sendiri
sebagai oleh-oleh untuk mereka.
Terakhir, sebelum melakukan kegiatan memasak, ada aktivitas lain yang biasa sering kita lakukan
yakni berbelanja di pasar. Bila kita cermati, kegiatan belanja ini bisa kita gunakan sebagai perkenalan
dengan para penjual langganan kita. Ini juga sebagai sarana untuk menjalin tali persaudaraan dengan
mereka, atau sebagai bentuk interaksi kita dengan masyarakat, dengan catatan kita tetap harus
memperhatikan adab-adab berinteraksi dengan penjual. Kesempatan ini bisa pula menjadi sarana
dakwah kita kepada mereka. Di sela-sela interaksi dengan mereka, kita dapat mengenalkan hal-hal
yang halal dan haram dalam masalah jual beli, dan hal-hal lain yang mungkin sering dipertanyakan
banyak orang.

Mulailah Belajar
Bagi sebagian yang lain, memasak mungkin menjadi masalah bagi mereka. Ada beberapa faktor yang
membuat seorang muslimah enggan untuk memasak. Salah satunya adalah rasa malas untuk belajar,
di samping juga faktor kesibukan di luar rumah serta banyaknya warung makan yang menawarkan
jasa catering untuk mereka yang tidak sempat memasak.

Jika hal tersebut berlangsung terus menerus apakah tidak boros? Bagaimana jika suami atau anak-
anak berkeinginan mencoba hasil masakan kita. Apa kita masih akan memilih makanan dari luar
terus? Tentu kita tidak ingin seperti itu. Untuk itu, bagi yang belum pintar masak, buanglah rasa
malas dan teruslah berlatih. Setelah terbiasa, nanti akan terbukti bahwa memasak itu bukanlah hal
yang sulit, apalagi jika diniatkan untuk ibadah.

Untuk memasak kita memang akan sedikit repot. Mempersiapkan segala sesuatunya, dari perapian,
peralatan sampai bahan, belum nanti jika sudah selesai harus membersihkan atau membereskan
semuanya. Agak melelahkan memang. Namun kelelahan itu akan segera berganti kebanggaan dan
kebahagiaan ketika suami dan anak-anak kita menyantap masakannya dengan lahap.

Nah, bagaimana saudariku? Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama bagi
penulis sendiri. Kita memohon pertolongan Allah agar selalu memberi kita kemudahan dalam
menunaikan tugas-tugas kita sebagai muslimah. Allahu Ta’ala a’lam.

Maroji’:

Inilah Kriteria Muslimah Dambaan Pria (terj.), Abu Maryam Majdi bin Fathi As-Sayyid,Pustaka
Salafiyyah. Manajemen Istri Shalihah (terj.), Muhammad Husain Isa, Ziyad Books Surakarta.Majalah
Nikah vol. 5, No. 11 Edisi Muharram 1428 H.

You might also like