You are on page 1of 7

Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan

pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian
Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa
Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai
Borneo, kaum misionarispun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target
para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang
menjadi pemeluk Protestan.

Umat Katolik Perintis di Indonesia: 645 - 1500


Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh di
Sumatera Barat. Fakta ini ditegaskan kembali oleh (Alm) Prof. Dr. Sucipto Wirjosuprapto. Untuk
mengerti fakta ini perlulah penelitian dan rentetan berita dan kesaksian yang tersebar dalam
jangka waktu dan tempat yang lebih luas. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno
karangan seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku “Daftar berita-
berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya”. yang
memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di Mesir, Nubia,
Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia.

Dengan terus dilakukan penyelidikan berita dari Abu Salih al-Armini kita dapat mengambil
kesimpulan kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam Keuskupan
Sibolga di Sumatera Barat adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus
juga telah berdiri sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria (Gereja
Katolik Indonesia seri 1, diterbitkan oleh KWI)

Awal Mula: abad ke-14 sampai abad ke-18


Dan selanjutnya abad ke-14 dan ke-15 entah sebagai kelanjutan umat di Barus atau bukan
ternyata ada kesaksian bahwa abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan.

Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis yang berdagang rempah-
rempah.

Banyak orang Portugis yang memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Katolik Roma di
Indonesia, dimulai dari kepulauan Maluku pada tahun 1534. Antara tahun 1546 dan 1547,
pelopor misionaris Kristen, Fransiskus Xaverius, mengunjungi pulau itu dan membaptiskan
beberapa ribu penduduk setempat.

Selama masa VOC, banyak praktisi paham Katolik Roma yang jatuh, dalam hal kaitan kebijakan
VOC yang mengutuk agama itu. Yang paling tampak adalah di Flores dan Timor Timur, dimana
VOC berpusat. Lebih dari itu, para imam Katolik Roma telah dikirim ke penjara atau dihukum
dan digantikan oleh para imam Protestan dari Belanda.Seorang imam Katolik Roma telah
dieksekusi karena merayakan misa kudus di suatu penjara semasa Jan Pieterszoon Coen
menjabat sebagai gubernur Hindia Belanda.

Pada tahun 2006, 3% dari penduduk Indonesia adalah Katolik, lebih kecil dibandingkan para
penganut Protestan. Mereka kebanyakan tinggal di Papua dan Flores.

Kristen Protestan

Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada sekitar
abad ke-16. Kebijakan VOC yang mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil
meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan
sangat pesat di abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eopa ke beberapa
wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda. Pada
1965, ketika terjadi perebutan kekuasaan, orang-orang tidak beragama dianggap sebagai orang-
orang yang tidak ber-Tuhan, dan karenanya tidak mendapatkan hak-haknya yang penuh sebagai
warganegara. Sebagai hasilnya, gereja Protestan mengalami suatu pertumbuhan anggota,
sebagian besar dari mereka merasa gelisah atas cita-cita politik partai Islam.

Protestan membentuk suatu perkumpulan minoritas penting di beberapa wilayah. Sebagai


contoh, di pulau Sulawesi, 17% penduduknya adalah Protestan, terutama di Tana Toraja dan
Sulawesi Tengah. Sekitar 65% penduduk di Tana Toraja adalah Protestan. dibeberapa wilayah,
keseluruhan desa atau kampung memiliki sebutan berbeda terhadap aliran Protestan ini, seperti
Adventist atau Bala Keselamatan, tergantung pada keberhasilan aktivitas para misionaris.

Di Indonesia, terdapat dua provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Protestan, yaitu Papua
dan Sulawesi Utara, dengan 60% dan 64% dari jumlah penduduk.Di Papua, ajaran Protestan
telah dipraktikkan secara baik oleh penduduk asli. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa yang
berpusat di sekeliling Manado, berpindah agama ke Protestan pada sekitar abad ke-19. Saat ini,
kebanyakan dari penduduk asli Sulawesi Utara menjalankan beberapa aliran Protestan. Selain
itu, para transmigran dari pulau Jawa dan Madura yang beragama Islam juga mulai berdatangan.
Pada tahun 2006, lima persen dari jumlah penduduk Indonesia adalah penganut Kristen
Protestan.

ISLAM

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah
SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan
Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini,
para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian,
tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat
Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut
dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari
negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran.
Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima
agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita
dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M,
telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah,
pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M
menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum
Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam
Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti
Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan
Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para
pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara
besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal.
Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-
besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik
yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan
Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini
berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya
Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan
pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda.
Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah
sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara
dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk
ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-
pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari
pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin
banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh
Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut.
Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai
daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama
di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan
oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh
kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di
Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut
berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan
ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-
ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan
akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab
dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur
makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka
mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru
mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka
menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-
kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur
pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin
kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda
Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang
pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran
besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu
Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi
orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah
sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin
Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan
pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab
Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi
pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup
Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-
ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak
diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang
sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil
ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang
gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam
di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa,
Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus
rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku
Umar).

Banyak orang menduga bahwa awal masuknya agama Buddha ke Indonesia adalah pada
kedatangan Aji Saka ke tanah Jawa pada awal abad kesatu. Dugaan ini berawal dari etimologis
terhadap Aji Saka itu sendiri, serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Kata 'Aji' dalam bahasa
Kawi bisa berarti ilmu yang ada hubungannya dengan kitab suci, sedangkan 'Saka' ditafsirkan
sebagai kata Sakya yang mengalami transformasi. Dengan demikian mungkin kata Aji Saka
ditafsirkan sebagai gelar raja Tritustha yang ahli mengenai kitab suci Sakya, dalam hal ini ahli
tentang Buddha Dhamma, selain dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap
pembuatan aksara Jawa. Bila hal ini benar, tarikh Saka yang permulaanya dinyatakan sebagai
'Nir Wuk Tanpa Jalu' (Nir berarti kosong (0), Wuk berarti tidak jadi (0), Tanpa berarti 0 dan Jalu
sama dengan 1) yang sekaligus dimaksudkan untuk mengabadikan pendaratan pertama beliau di
Jepara.
 
      Sumber pengetahuan kita tentang Agama Buddha diambil dari prasasti yang ditemukan dan
dari berita-berita luar negri, yaitu dari orang China yang mengunjungi Indonesia. Prasasti yang
berasal dari abad kelima hingga ketujuh tidak terlalu banyak memberikan informasi. Prasasti itu
berasal dari Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Dari prasasti itu kita hanya mengetahui bahwa pada
waktu itu ada raja-raja yang memiliki nama yang berbau India, seperti Mulawarman di Kutei dan
Purnawarman di Jawa-barat. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa raja tersebut berasal dari India.
Yang paling mungkin adalah raja-raja tersebut adalah orang Indonesia asli yang sudah masuk
agama yang datang dari India. Selanjutnya prasasti tersebut menunjukan bahwa agama yang
dipeluk adalah agama Hindu. tapi dari penemuan patung-patung Buddha, dapat disimpulkan
bahwa agama Buddha juga sudah ada, walaupun jumlahnya masih sedikit.
 
     Informasi paling tua tentang keberadaan Agama Buddha di Jawa dan Sumatra didapat dari
pengelana China bernama Fah-Hien, yang sekembalinya dari Ceylon ke China pada tahun 414
terpaksa mendarat di negri yang bernama Ye-Po-Ti karena kapalnya rusak. Sekarang tidak
terlalu jelas apakah Ye-Po-Ti itu Jawa atau Sumatra. Beberapa ahli mengatakan bahwa Ye-Po-Ti
adalah Jawa (Javadvipa). Fah-Hien menyebutkan ada umat Buddha di Ye-Po-Ti, walaupun cuma
sedikit. Sekalipun demikian agaknya sesudah abad kelima keadaan berubah.
 
      Tidak sampai tiga ratus tahun kemudian, pada akhir abad ketujuh, Biksu China I-tsing
mencatat dengan lengkap agama Buddha dan aplikasinya di India dan Melayu. Ketertarikan
utamanya adalah pada 'rumah agama Buddha' India utara dimana I-tsing tinggal dan belajar
disana selama lebih dari sepuluh tahun. Dari catatannya dapat dikatakan bahwa agama Buddha di
India dan Sumatra mempunyai banyak kesamaan, dimana I-tsing juga menemukan perbedaan
antara agama Buddha di China dan di India.
 
     I-tsing menghabiskan waktunya hidup sendirian sebagai Biksu di India dan Sumatra. Seluruh
bukunya merupakan catatan lengkap tentang kehidupan biarawan. Ia tinggal di India seluruhnya
berdasarkan peraturan vinnaya.
 
     Bila dibandingkan catatan Fah-Hien tahun 414 dengan catatan I-tsing, dapat diambil
kesimpulan bahwa agama Buddha dipulau Jawa dan Sumatra telah dibangun dengan sangat
cepat. Pekerjaan I-tsing selain menulis catatan seperti dikemukakan diatas, ia juga menulis buku
tentang perjalanan seorang guru agama terkenal yang pergi ke negri disebelah barat
(Sriwijaya ?). Diceritakannya pada catatannya itu, kehidupan biarawan yang pada intinya hampir
sama dengan yang ada di India. Dalam bukunya dikatakan bahwa Biksu asli Jawa dan Sumatra
adalah sarjana sanskrit yang sangat bagus. Salah saatunya adalah Jnanabhadra yang merupakan
orang Jawa Asli yang tinggal di Sumatra dan bertindak sebagai guru bagi biksu China dan
membantu menterjemahkan sutra kedalam bahasa China. Bahasa yang digunakan oleh biksu
Buddha adalah bahasa sanskrit. Bahasa pali tidak digunakan. Bagaimanapun hal ini tidak boleh
dijadikan patokan bahwa agama Buddha yang berkembang disini adalah Mahayana. I-tsing
menjelaskan dalam bukunya:
 
"Agama Buddha dipeluk diseluruh negri ini dan kebanyakan sistem yang diadopsi adalah
Hinayana, kecuali di Melayu dimana ada sedikit yang mengadopsi Mahayana".
 
     Sudah banyak diketahui umum bahwa literatur agama Buddha berbahasa sanskrit tidak
melulu berarti Mahayana. Inilah bentuk agama Buddha yang mencapai kepulauan di laut selatan.
I-tsing mengatakan di kepulauan di laut selatan, Mulasarvastivadanikayo hampir secara universal
di adaptasi. I-tsing tampaknya tidak mempermasalahkan perbedaan antara penganut Hinayana
dan Mahayana. Dikatakannya :
 
      "Mereka yang menyembah Bodhisatta dan membaca sutra mahayana disebut penganut
Mahayana. Sementara yang tidak disebut penganut Hinayana. Kedua sistem ini sesuai dengan
ajaran Dhamma. Dapatkah kita katakan mana yang benar? Keduanya mengajarkan kebajikan
dan membimbing kita ke Nirvana. Keduanya menuju kepada pemusnahan nafsu dan
penyelamatan semua mahluk hidup. Kita tidak boleh mempersoalkan perbedaan ini. membuat
keraguan yang malah akan membuat kebingungan."
 
      Dari karya-karyanya dapat dikatakan bahwa I-tsing tidaklah terlalu dalam bergelut dalam
masalah filosofi buddhis tetapi hanya tertarik pada kehidupan biarawan dan tugas-tugas yang
diemban oleh mereka. Dengan kata lain, ia memberikan seluruh waktunya untuk belajar vinnaya
dan kehidupan biarawan.
 
     Seperti dikemukakan diatas, di Sumatra dan Jawa lebih berkembang Hinayana. I-tsing
menceritakan bahwa di Melayu, ditengah-tengah pesisir timur Sumatra ada pula yang menganut
Mahayana. Dari sumber lain dijelaskan bahwa sebelum kedatangan I-tsing, telah datang biksu
dari India Dharmapala, ke Melayu dan menyebarkan aliran Mahayana. Awal abad ke-20, dua
prasasti ditemukan di dekat Palembang yang bercorak Mahayana. Prasasti lain yang dibuat tahun
775, ditemukan di Viengsa, semenanjung Melayu mengemukakan bahwa salah satu raja
Sriwijaya dari keturunan Syailendra - yang tidak cuma memerintah di selatan Sumatra tapi juga
dibagian selatan semenanjung Melayu - memerintahkan pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa
tersebut dipersembahkan kepada Buddha, Bodhisatwa Avalokitesvara dan Vajrapani. Dan
ditempat lain ditemukan plat emas yang bertuliskan beberapa nama Dyani Buddha ; yang jelas-
jelas merupakan aliran Mahayana.
 
     Dari berita I-tsing itu selanjutnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pada waktu itu
Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha. Disana terdapat sebuah perguruan tinggi Buddha yang
tidak kalah dengan perguruan yang ada di Nalanda India. Ada lebih dari 1000 biksu yang ajaran
serta tata upacaranya sama dengan yang ada di India. Kecuali pengikut Hinayana, di Sriwijaya
juga terdapat pengikut Mahayana. Bahkan ada guru Mahayana yang mengajar disitu. Dari berita
ini jelas bahwa Sriwijaya adalah pusat agama Buddha Mahayana, yang terbuka bagi gagasan
baru dan yang juga senang mengadakan pekerjaan ilmiah. Oleh karena itu musafir China yang
ingin belajar di India pasti singgah di Sriwijaya untuk mengadakan persiapan. Hal itu juga
dilakukan oleh I-tsing sendiri.
 
       Agaknya kemudian Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh besar. Hal ini terbukti
dari beberapa prasasti yang didapat disekitar Palembang yang menyebutkan bahwa daputa hyang
- barangkali perdana menteri - berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib guna meneguhkan
kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya. Dari ungkapan yang digunakan,
dapat diambil kesimpulan bahwa upacara ini adalah upacara indonesia kuno yang sesuai dengan
ajaran Mahayana. Dari berita-berita yang lain jelaslah bahwa Mahayanalah yang berkuasa pada
masa itu. Bahkan bukan cuma itu saja, mungkin pengaruh tantra, yang di India mempengaruhi
agama Buddha sejak pertengahan abad ketujuh, juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari
uraian bahwa salah satu tingkat untuk mendapatkan hikmah tertinggi adalah wajrasarira, tubuh
baja (intan) yang mengingatkan kepada ajaran wajrayana.  Semua ini menunjukan bahwa pada
tahap permulaan masih ada hubungan yang erat antara Indonesia dan India. Hubungan ini
agaknya makin lama makin berkurang.

HINDU

Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh Hindu.
Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya
kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari
India itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan tertulis yang
memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang
ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno
meliputi kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan datangnya
ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah
merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa
prasasti, di antaranya dari prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun
913 Masehi yang menyebutkan kata "Walidwipa". Demikian pula dari prasasti-prasasti RajaJayapangus,
seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.
Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung
gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan
Anak Wungsu.
Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat. Dalam prasasti
tertua 882 Masehi–-914 Masehi badan ini disebut dengan istilah "panglapuan". Sejak zaman Udayana,
Badan Penasihat Pusat disebut dengan istilah "pakiran-kiran i jro makabaihan". Badan ini beranggotakan
beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.
Di dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada
waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi
dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak
berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada
masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.
Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat.
Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan
dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-
kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek
moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan
berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman
sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya
agama Hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak
diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu
yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu
Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama
Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang
dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-
prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (Siwa-Budha) sebagai pembantu raja.

Masa 1343--1846

Masa ini dimulai dengan kedatangan ekspedisi Gajah Mada pada tahun 1343. Secara detail masa ini
dapat diuraikan sebagai berikut : Kedatangan Ekspedisi Gajah Mada Ekspedisi Gajah Mada ke Bali
dilakukan pada saat Bali diperintah oleh kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten
dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi
bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang Arya. Penyerangan ini
mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan kerajaan Bedahulu.
Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah
terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk
memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan
darah dengan penduduk Bali Aga.
Zaman Gelgel Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan
digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke
Gelgel. Pada saat inilah dimulai zaman Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama.
Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460--1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana
dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga beliau dapat mengembangkan kecakapan dan
kewibawaannya untuk memakmurkan kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali
(Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat beliau digantikan oleh
Dalem Bekung (1550--1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605--
1686).
Zaman Kerajaan Klungkung Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel.
Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri periode Gelgel. Hal itu terjadi karena
setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak
dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak
mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat
persembunyiannya, yaitu Semarapura. Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (1710--1775) merupakan
raja pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung
yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah
menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi Swapraja (berjumlah
delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.

You might also like