You are on page 1of 7

Geng Motor dari segi sosiologi dan hukum serta Solusi meminimalisir geng-geng

motor.

Sebenarnya geng-geng motor sudah ada dari tahun 1978. Yang namanya
melegenda saat itu adalah geng motor "M2R" atau Moonraker.

Ya, Bandung lautan gangster sudah mendarah daging dikarenakan sudah ada sejak
dari dulu. Disaat geng motor & gangster diseluruh dunia sedang naik daun, seperti di
Jepang tahun 70an geng motor lagi jaman, di Amerika gangster tahun 70an baru-
baru naik, di Korea tahun 70an juga sama kaya di Jepang dan sama halnya dengan
di Bandung tahun 70an ada Moonraker.

Pada saat acara Jambore otomotif yang diadakan oleh IMI kemarin sangat
disayangkan terjadi bentrokan antar geng motor yang menelan korban. Hal ini mesti
dijadikan pelajaran bagi seluruh insan bikers agar tidak mudah terprovokasi oleh
oknum dari anggotanya sendiri. Dan siapa sebenarnya yang patut disalahkan ?

Dalam blog yang saya buat dan saya kutip dari beberapa artikel ini mungkin berguna
bagi anda yang ingin mengetahui latar belakang dari para remaja yang mengikuti
aktivitas daripada geng-geng motor.

1. Geng Motor Dari Segi Sosiologi Dan Hukum

Geng motor merupakan kelompok sosial yang memiliki dasar tujuan yang sama atau
asosiasi yang dapat disebut suatu paguyuban tapi hubungan negatif dengan
paguyuban yang tidak teratur dan cenderung melakukan tindakan anarkis. Salah
satu kontributor dari munculnya tindakan anarkis adalah adanya
keyakinan/anggapan/perasaan bersama (collective belief). Keyakinan bersama itu
bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling (dan
oleh karenanya diyakini “pantas” untuk dipukuli) ; atau situasi apa yang
mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti
dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan).

Dalam pendapatnya Radam diatas, media-massa dalam hal ini amat efektif
menanamkan citra, persepsi, pengetahuan ataupun pengalaman bersama tadi.
Maka, sesuatu yang mulanya kasus individual, setelah disebarluaskan oleh media-
massa lalu menjadi pengetahuan publik dan siap untuk disimpan dalam memori
seseorang. Memori tersebut pada suatu waktu kelak dapat dijadikan referensi oleh
yang bersangkutan dalam memilih model perilaku. Adanya keyakinan bersama
(collective belief) tentang suatu hal tersebut amat sering dibarengi dengan
munculnya geng, simbol, tradisi, graffiti, ungkapan khas dan bahkan mitos serta
fabel yang bisa diasosiasikan dengan kekerasan dan konflik.

Pada dasarnya kemunculan hal-hal seperti simbol geng, tradisi dan lain-lain itu
mengkonfirmasi bahwa masyarakat setempat mendukung perilaku tertentu, bahkan
juga bila diketahui bahwa itu termasuk sebagai perilaku yang menyimpang Adanya
dukungan sosial terhadap suatu penyimpangan, secara relatif, memang menambah
kompleksitas masalah serta, sekaligus kualitas penanganannya.

Secara perilaku, dukungan itu bisa juga diartikan sebagai munculnya kebiasaan
(habit) yang telah mendarah-daging (innate) dikelompok masyarakat itu. Adanya
geng-geng motor seperti “XTC, BRIGEZ, GBR, M2R”. Maka adanya pula
kecenderungan peningkatan anarki di masyarakat, sadarlah kita bahwa kita
berkejaran dengan waktu. Pencegahan anarki perlu dilakukan sebelum tindakan itu
tumbuh sebagai kebiasaan baru di masyarakat mengingat telah cukup banyaknya
kalangan yang merasakan “asyik”-nya merusak, menjarah, menganiaya bahkan
membunuh dan lain-lain tanpa dihujat apalagi ditangkap.

Para pelaku geng motor memang sudah menjadi kebiasaan untuk melanggar
hukum. “Kalau soal membuka jalan dan memukul spion mobil orang itu biasa dan
sering dilakukan pada saat konvoi.

Setiap geng memang tidak membenarkan tindakan itu, tapi ada tradisi yang tidak
tertulis dan dipahami secara kolektif bahwa tindakan itu adalah bagian dari
kehidupan jalanan. Apalagi jika yang melakukannya anggota baru yang masih
berusia belasan tahun. Mereka mewajarkannya sebagai salah satu upaya mencari
jati diri dengan melanggar kaidah hukum. Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan
dan perlu penyikapan yang bijaksana. Dalam konteks penanganan kejahatan yang
dilakukan anak-anak dan remaja masih diperdebatkan apakah sistem peradilan
pidana harus dikedepankan atau penyelesaian masalah secara musyawarah (out of
court settlement) tanpa bersentuhan dengan sistem peradilan pidana yang lebih
dominan walaupun dalam sistem hukum pidana positif kita, penyelesaian perkara
pidana tidak mengenal musyawarah.

Dalam kutipan dari sebuah artikel pikiran rakyat :

Betapa rentan dan lemahnya anak-anak atau remaja yang melakukan kejahatan
dapat dilihat dari bunyi pasal 45 KUHP.

KUHP kita tidak memberi ruang sedikit pun untuk menyelesaikan kejahatan-
kejahatan yang dilakukan anak selain melalui sistem peradilan pidana yang sering
dikatakan selalu memberikan penderitaan kepada pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya khususnya pelaku kejahatan baik pelaku dewasa maupun pelaku anak-
anak dan remaja.

Peradilan pidana bagi anak-anak pelaku kejahatan mempunyai dua sisi yang
berbeda, di satu sisi sebagaimana diakui konvensi anak-anak, bahwa anak-anak
perlu perlindungan khusus. Di sisi lain, "penjahat anak-anak" ini berhadapan dengan
posisi masyarakat yang merasa terganggu akibat perilaku jahat dari anak-anak dan
remaja tersebut. Kemudian juga anak-anak dan remaja ini akan berhadapan dengan
aparat penegak hukum yang secara sempit hanya bertugas melaksanakan undang-
undang sehingga pelanggaran dan tata cara perlindungan terhadap pelaku anak,
rentan terjadi.

Sebetulnya perhatian kita terhadap perlindungan anak-anak dan remaja pelaku


kejahatan harus semakin meningkat. Dunia internasional pun sejak 1924 dalam
deklarasi hak-hak anak kemudian diperbarui 1948 dalam deklarasi hak asasi
manusia dan mencapai puncaknya dalam Deklarasi Hak anak (Declaration on The
Rights of Child) 1958 menegaskan karena alasan fisik dan mental serta kematangan
anak-anak, maka anak-anak membutuhkan perlindungan serta perawatan khusus
termasuk perlindungan hukum.

Manakala anak-anak dan remaja pelaku kejahatan tersebut bersentuhan dengan


sistem peradilan pidana, masyarakat meyakini bahwa mereka sedang belajar di
akademi penjahat. Hasil yang dikeluarkan oleh sistem peradilan pidana hanya akan
menghasilkan penjahat-penjahat baru.

Kegetiran ataupun masalah-masalah yang dihadapi anak dalam menghadapi sistem


peradilan pidana tentu harus ada perhatian dan penyelesaian yang baik, namun kita
juga tidak perlu mengabaikan terlaksana hukum dan keadilan, sebab peradilan
menunjukkan kepada kita bahwa penyelesaian melalui pengadilan dilakukan secara
benar (due process of law) demi kepentingan pelaku anak-anak dan remaja serta
masyarakat di lain pihak.

Satu hal penting dalam peradilan anak adalah segala aktivitas harus dilakukan atau
didasarkan prinsip demi kesejahteraan anak dan demi kepentingan anak itu sendiri
tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat mengingat setiap perkara pidana
yang diputus pengadilan tujuannya adalah demi kepentingan publik. Akan tetapi,
kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi kepentingan masyarakat

Dalam dunia akademis penanganan delik anak selalu terfokus kepada usaha penal
dengan cara menggunakan hukum pidana dan usaha nonpenal yang lebih
mengedepankan usaha-usaha di luar penggunaan hukum pidana (preventif).
Pendekatannya lebih mengedepankan pendekatan khusus dengan alasan pertama
bahwa anak yang melakukan kejahatan jangan dipandang sebagai seorang
penjahat, tetapi harus dipandang sebagai anak yang memerlukan kasih sayang.
Kedua, kalaupun akan dilakukan pendekatan yuridis hendaknya lebih
mengedepankan pendekatan persuasif, edukatif, serta psikologi. Pendekatan
penegakan hukum sejauh mungkin dihindari karena akan menjatuhkan mental dan
semangat anak tersebut untuk kembali ke jalan yang benar. Ketiga, tata cara
peradilan pidana kalaupun akan dilakukan haruslah benar-benar mencerminkan
peradilan yang dapat memberikan kasih sayang kepada anak-anak dan remaja
tersebut.

Perlindungan hukum terhadap anak-anak dan remaja yang melakukan tindak pidana
telah diberikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di
samping instrumen hukum internasional berupa konvensi-konvensi yang dikeluarkan
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti Beijing Rules. akan tetapi,
secara subtansi masih terlihat bahwa UU tentang Pengadilan Anak ini masih
mengedepankan penggunaan sanksi pidana baik pidana badan maupun pidana
lainnya sehingga apa yang diharapkan kepada tindakan persuasif dan edukatif
belum terlihat.

Dalam pengadilan anak semestinya dikembangkan konsep-konsep seperti famili


model dalam sistem peradilan pidana, pelaku kejahatan apalagi anak-anak
diperlakukan sebagai sebuah anggota keluarga yang tersesat dalam mengarungi
kehidupan sehingga penyelesaiannya lebih mengedepankan memberikan
kesempatan dan membimbing pelaku kejahatan supaya kembali lagi kepada
kehidupan yang sejalan dengan norma masyarakat dan norma hukum.

Tidak kalah pentingnya dalam penanganan anak-anak delikuen apabila


menggunakan sarana penal melalui sistem peradilan pidana adalah kesempatan
menggunakan penasihat hukum atau access to legal council. Di samping hak-hak
lain yang harus dibedakan dengan pelaku dewasa. Kesempatan anak-anak pelaku
kejahatan menghubungi keluarganya harus dibuka lebar-lebar oleh polisi, jaksa,
maupun pengadilan mengingat seluruh subsistem peradilan pidana ini pun
mempunyai kewajiban memikirkan nasib anak-anak dan remaja pelaku kejahatan ini
baik ketika menjalani hukuman maupun setelah keluar dari lembaga
pemasyarakatan.

Sebetulnya, ruang pengadilan yang ada sekarang ini tidak kondusif bagi peradilan
pidana terhadap anak-anak delikuen. Harus diciptakan suasana ruang pengadilan
yang betul-betul mencerminkan perlindungan hukum, perlindungan mental, dan
suasana kasih sayang terhadap anak-anak dan remaja pelaku kejahatan sehingga
kejadian terdakwa yang anak-anak menangis di pengadilan tidak terulang lagi.
Pengadilan harus bisa menciptakan atau memutuskan perkara-perkara yang
melibatkan anak-anak dan remaja ke arah putusan yang menjadikan pelaku anak itu
menjadi baik serta menjamin hak-hak masyarakat tidak terabaikan.

2. Solusi Meminimalisir Geng-geng Motor.


Mengapa ada sebagian kalangan remaja yang mudah terbujuk untuk mengikuti geng
motor?

Benarkah seluruh fenomena itu sekadar persoalan psikologis, ataukah justru lebih
bercorak sosiologis?

Apabila problem sosial itu dilihat dari perspektif psikologistis, maka penilaian yang
muncul adalah kaum remaja yang menjadi anggota geng motor tersebut sedang
melampiaskan hasrat tersembunyinya.

Dalam bahasa psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939), kaum remaja itu lebih
mengikuti kekuatan id (dorongan-dorongan agresif) ketimbang superego (hati
nurani). Keberadaan ego (keakuan) mereka gagal untuk memediasi agresivitas
menjadi aktivitas sosial yang dapat diterima dengan baik dalam kehidupan sosial
(sublimasi).

Namun, pendekatan psikologis itu sekadar mampu mengungkap persoalan dalam


lingkup individual. Itu berarti nilai-nilai etis yang berdimensi sosial cenderung untuk
dihilangkan. Padahal, kehadiran geng motor lebih banyak berkaitan dengan problem
sosiologis.

Definisi tentang geng itu sendiri sangat jelas identik dengan kehidupan berkelompok.
Hanya saja geng memang memiliki makna yang sedemikian negatif. Geng bukan
sekadar kumpulan remaja yang bersifat informal. Geng dalam bahasa Inggris adalah
sebuah kelompok penjahat yang terorganisasi secara rapi. Dalam konsep yang lebih
moderat, geng merupakan sebuah kelompok kaum muda yang pergi secara
bersama-sama dan seringkali menyebabkan keributan. Tentunya sangat banyak
faktor penyebab remaja terjerumus ke dalam kawanan geng motor. Namun, salah
satu penyebab utama mengapa remaja memilih bergabung dengan geng motor
adalah KURANGNYA PERHATIAN DAN KASIH SAYANG ORANGTUA. Hal ini bisa
jadi disebabkan oleh terlalu sibuknya kedua orang tua mereka dengan pekerjaan,
sehingga perhatian dan kasih sayang kepada anaknya hanya diekspresikan dalam
bentuk materi saja. Padahal materi tidak dapat mengganti dahaga mereka akan
kasih sayang dan perhatian orang tua.

Pada dasarnya setiap orang menginginkan pengakuan, perhatian, pujian, dan kasih
sayang dari lingkungannya, khususnya dari orang tua atau keluarganya, karena
secara alamiah orang tua dan keluarga memiliki ikatan emosi yang sangat kuat.
Pada saat pengakuan, perhatian, dan kasih sayang tersebut tidak mereka dapatkan
di rumah, maka mereka akan mencarinya di tempat lain. Salah satu tempat yang
paling mudah mereka temukan untuk mendapatkan pengakuan tersebut adalah di
lingkungan teman sebayanya. Sayangnya, kegiatan-kegiatan negatif kerap menjadi
pilihan anak-anak broken home tersebut sebagai cara untuk mendapatkan
pengakuan eksistensinya.
Faktor lain yang juga ikut berperan menjadi alasan mengapa remaja saat ini memilih
bergabung dengan geng motor adalah kurangnya sarana atau media bagi mereka
untuk mengaktualisasikan dirinya secara positif.

Remaja pada umumnya, lebih suka memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi.
Namun, ajang-ajang lomba balap yang legal sangat jarang digelar. Padahal, ajang-
ajang seperti ini sangat besar manfaatnya, selain dapat memotivasi untuk
berprestasi, juga sebagai ajang aktualisasi diri. Karena sarana aktualisasi diri yang
positif ini sulit mereka dapatkan, akhirnya mereka melampiaskannya dengan aksi
ugal-ugalan di jalan umum yang berpotensi mencelakakan dirinya dan oranglain.

Kutipan dari Pikiran Rakyat : "Solusi Alternatif Kepala Dinas Pendidikan Kota
Bandung, Oji Mahroji, menginstruksikan kepada seluruh Kepala Sekolah agar tidak
segan-segan menindak siswanya yang terbukti terlibat dalam organisasi geng motor,
kalau perlu dikeluarkan dari sekolah. Diharapkan, tindakan tersebut dapat menekan
jumlah anggota geng motor dan aksi brutal mereka."

Sebenarnya tindakan tersebut tidak sepenuhnya efektif. Butuh keberanian yang


besar dan beresiko tinggi untuk melakukannya. Salah satu solusi yang bisa
memperbaiki keadaan mereka secara efektif adalah peran; kepedulian; dan kasih
sayang orang tua mereka sendiri.

Solusi ini akan lebih efektif, mengingat penyebab utama mereka memilih geng motor
sebagai bagian kehidupannya adalah karena mereka merasa jauh dari kasih sayang
orang tua. Dalam menterapi anaknya yang sudah terlanjur terlibat anggota geng
motor, orang tua bisa bekerja sama dengan psikolog yang mereka percayai.
Sehingga secara pasikologis sedikit demi sedikit anak akan mendapatkan kembali
kenyamanan berada dalam kasih sayang orang tua serta Penanaman Nilai-nilai
Agama sebagai upaya preventif terhadap peningkatan jumlah anggota geng motor di
kemudian hari, perlu dilakukan penanaman nilai-nilai agama sejak dini. terutama
tentang akhlaq (moral dan etika). Dengan begitu anak akan mengetahui mana yang
layak dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Sehingga pada saat mereka
sudah mulai berinteraksi dengan masyarakat mereka tahu batasan-batasan dan
aturan yang harus dipatuhi.

Selain itu bagaimana melakukan pengendalian atau kontrol sosial atas merebaknya
geng motor itu?

Dalam literatur sosiologi (Paul B Horton dan Chester L Hunt, 1964: 140-146, dan
Alex Thio, 1989: 176-182), ada cara yang dapat dikerahkan untuk mengatasi deviasi
sosial. Yaitu:
Internalisasi atau penanaman nilai-nilai sosial melalui kelompok informal atau formal.
Lembaga-lembaga sosial, seperti keluarga dan sekolah, adalah kekuatan yang
dapat membatasi meluasnya geng motor. Mekanisme pengendalian itu lazim disebut
sebagai sosialisasi. Dalam proses sosialisasi itu, setiap unit keluarga dan sekolah
memiliki tanggung jawab membentuk, menanamkan, dan mengorientasikan
harapan-harapan, kebiasaan-kebiasaan, serta tradisi-tradisi yang berisi norma-
norma sosial kepada remaja. Bahkan, hal yang harus ditegaskan adalah sosialisasi
yang bersifat informal dalam lingkup keluarga jauh lebih efektif. Sebab, dalam
domain sosial terkecil itu terdapat jalinan yang akrab antara orang tua dengan
remaja.

Kedua, penerapan hukum pidana yang dilakukan secara formal oleh pihak negara.
Dalam kaitan itu, aparat penegak hukum, seperti kepolisian, pengadilan, dan
lembaga pemenjaraan, digunakan untuk mengatasi geng motor.

Keuntungannya adalah penangkapan dan pemberian hukuman kepada anggota-


anggota geng motor yang melakukan tindakan kriminal mampu memberikan efek
jera bagi anggota-anggota atau remaja lain.

Kerugiannya, aplikasi hukum pidana membatasi kebebasan pihak lain yang tidak
berbuat serupa. Bukankah dalam masyarakat ada kelompok-kelompok pengendara
sepeda motor yang memiliki tujuan-tujuan baik, misalnya untuk menyalurkan hobi
automotif

Ketiga, deskriminalisasi yang berarti bahwa eksistensi geng-geng motor justru diakui
secara hukum oleh negara. Tentu saja, deskriminalisasi bukan bermaksud untuk
melegalisasi kejahatan, kekerasan, dan berbagai pelanggaran norma-norma sosial
yang dilakukan remaja. Deskriminalisasi memiliki pengertian sebagai "kejahatan
yang tidak memiliki korban". Prosedur yang dapat ditempuh adalah pihak pemerintah
dan masyarakat membuka berbagai jenis ruang publik yang dapat digunakan kaum
remaja untuk mengekspresikan keinginannya, terutama dalam menggunakan
kendaraan bermotor. Lapangan terbuka atau arena balap bisa jadi merupakan jalan
keluar terbaik.

Kehadiran geng motor merupakan fenomena sosial yang harus direspons secara
proporsional oleh para sosiolog dan ahli hukum dalam mengatasi merebaknya geng-
geng motor di Indonesia.

You might also like