You are on page 1of 55

Kolaborasi Teori dalam Pendidikan Pragmatisme

Oleh Rum Rosyid

Filsafat pendidikan kejuruan(vocational)


Kurikulum pendidikan pragmatisme berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji
serta minat, dan kebutuhan anak. Pendidikan liberal yang menghasilkan pemisahan antara
pendidikan umum dengan pendidikan praktis/vokasional. Dilemma sistem pendidikan di
dunia kontemporer adalah tentang pragmatisme, yang kemudian menjadi aliran filsafat
abad ke-20, menekankan pentingnya ide-ide atau konsep itu pada satu hal saja, yaitu
nilai-guna. Dari tradisi pemikiran ini bisa kita menyebut nama seperti Charles Sanders
Pierce, John Dewey dan akhirnya sampai ke Noam Chomsky, bapak linguistik Amerika.
Dari titik ini pula, pendidikan pun berkembang menjadi trend abad modern yaitu untuk
nilai-pakainya dan bukan pada nilai pembebasannya atau nilai memanusiakannya.

Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu
filsafat pendidikan “progresif” dan filsafat pendidikan “ Konservatif”. Yang pertama
didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari
Roousseau. Yang kedua didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme
(humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat
tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme, dan sebagainya.
Sementara itu, ide-ide dan metode-metode yang bersifat ideal biasanya berasal dari
pemikiran-pemikiran Eropa Klasik, Eropa Pertengahan, abad modern dan berlanjut
sampai konteks pemikiran kontemporer saat ini.
e

Konservatifisme = Idealisme;
Progresifisme = Pragmatisme ;
Realisme humanism;
Romantic naturalism
Realisme religius;

Esensialisme ; Perenialisme; Eksistensialisme dll.

Pengelompokan Brubacher (1950) filsafat Pendidikan

Pendidikan kejuruan/vokasi sebagai education-for-work didasarkan atas philosophy


esensialisme, eksistensialisme, pragmatisme, dan Humanistic: Personal growth (Putu
Sudiro, 2009). Tradisi ini dimulai saat pemikiran-pemikiran Yunani yang berkembang
seperti Sokrates dan Aristoteles, dilanjutkan pada zamannya St.Augustinus dan Thomas
Aquinas ke pemikiran abad Renaissance, abad modern dan post-modernisme. Benang
merah dari evolusi pemikiran Eropa ini tetap stagnan pada konsep ideasional. Ini tetap
berlanjut sampai pada tradisi yang coba dibangun para pemikir raksasa Neo-Marxis
strukturalis, post-strukturalis dan mazhab Frankfurt sekarang.
Aliran Empirisme
Tokoh aliran Empirisme adalah John Lock, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-
1704. Teorinya dikenal dengan Tabulae rasae (meja lilin), yang menyebutkan bahwa
anak yang lahir ke dunia seperti kertas putih yang bersih. Kertas putih akan mempunyai
corak dan tulisan yang digores oleh lingkungan. Faktor bawaan dari orangtua (faktor
keturunan) tidak dipentingkan. Pengalaman diperoleh anak melalui hubungan dengan
lingkungan (sosial, alam, dan budaya). Pengaruh empiris yang diperoleh dari lingkungan
berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Menurut aliran ini, pendidik sebagai
faktor luar memegang peranan sangat penting, sebab pendidik menyediakan lingkungan
pendidikan bagi anak, dan anak akan menerima pendidikan sebagai pengalaman.
Pengalaman tersebut akan membentuk tingkah laku, sikap, serta watak anak sesuai
dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.

Pengalaman = guru, lingkungan


Jiwa anak = kertas putih social, budaya, alam

Tujuan Pendidikan : perubahan sikap dan tingkah laku

Misalnya: Suatu keluarga yang kaya raya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis.
Segala alat diberikan dan pendidik ahli didatangkan. Akan tetapi gagal, karena bakat
melukis pada anak itu tidak ada. Akibatnya dalam diri anak terjadi konflik, pendidikan
mengalami kesukaran dan hasilnya tidak optimal.
Contoh lain, ketika dua anak kembar sejak lahir dipisahkan dan dibesarkan di lingkungan
yang berbeda. Satu dari mereka dididik di desa oleh keluarga petani golongan miskin,
yang satu dididik di lingkungan keluarga kaya yang hidup di kota dan disekolahkan di
sekolah modern. Ternyata pertumbuhannya tidak sama. Kelemahan aliran ini adalah
hanya mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak
lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun
lingkungan tidak mendukung.

Aliran Nativisme
Tokoh aliran Nativisme adalah Schopenhauer. la adalah filosof Jerman yang hidup pada
tahun 1788-1880. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan
oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap
pendidikan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh
bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar
ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat
jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, ia
akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak
akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Factor hereditas :
Kemampuan dasar anak
psikologis dan fisiologis

Keberhasilan individu

Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya
secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan
Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia
lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta
kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang
tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang
hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang
ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi ke-
mampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan
orangtuanya.

Coba simak cerita tentang anak manusia yang hidup di bawah asuhan serigala. la
bernama Robinson Crussoe. Crussoe sejak bayi hidup di tengah hutan rimba belantara
yang ganas. la tetap hidup dan berkembang atas bantuan air susu serigala sebagai
induknya. Serigala itu memberi Crussoe makanan sesuai selera serigala sampai dewasa.
Akhirnya, Crussoe mempunyai gaya hidup, bicara, ungkapan bahasa, dan watak seperti
serigala, padahal dia adalah anak manusia. Kenyataan ini pun membantah teori
Nativisme, sebab gambaran dalam cerita Robinson Crussoe itu telah membuktikan bahwa
lingkungan dan didikan membawa pengaruh besar terhadap perkembangan anak.

Aliran Naturalisme
Tokoh aliran filsafat ini adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Dia dilahirkan di
Switzerland, tetapi sebagian besar hidupnya dihabiskan di Perancis dimana dia
menjadi filsuf terpimpin pada masanya. Rousseau diakui sebagai bapak romantisisme,
yaitu suatu gerakan di mana para seniman dan para penulis menekankan tema-tema yang
sentimentil, kealamiahan/kewajaran, dan kemurnian. Gagasan ini mempengaruhi
konsepsi Rousseau tentang anak. Naturalisme mempunyai pandangan bahwa setiap anak
yang lahir di dunia mempunyai pembawaan baik, namun pembawaan tersebut akan
menjadi rusak karena pengaruh lingkungan, sehingga aliran Naturalisme sering disebut
Negativisme.

Pandangan Rousseau tentang perkembangan anak disajikan dalam novelnya


Emile (1762). Emile adalah teori pendidikan yang ditujukan kepada bangsawan kaya
pada zamannya yang biasanya hidup artifisial dipenuhi dengan segala macam tata
cara hidup ningrat. Dalam karyanya yang tersohor ini, Rousseau
menggambarkan perawatan dan pemantauan seorang anak laki-laki bernama Emile
dari masa bayi hingga dewasa muda.
Strategi Paedosentris : kemampuan Lingkungan
anak dasar pendidikan;= jujur, adil, merusak :
kesadaran; pendidikan naturalistic; negativisme

Keberhasilan anak

Ajaran filsafat naturalisme romantik Rousseau dalam Emile antara lain berisi
gagasan sebagai berikut: “Segala sesuatu yang berasal dari Sang Pencipta adalah baik,
tetapi segala sesuatu menjadi rusak karena tangan manusia. Pendidikan Emile adalah
pendidikan naturalistik atau alami dalam arti: (1) pendidikan yang mengembangkan
kemampuan-kemampuan alami atau bakat/pembawaan anak, (2) pendidikan yang
berlangsung dalam alam, dan (3) pendidikan negatif. Dengan menggunakan sarana
berupa sastra, Rousseau mampu menggambarkan pandangan teoritisnya tentang
perkembangan anak dan memberikan saran-saran mengenai metode yang paling tepat
tentang cara merawat dan mendidik anak.

Yang mendasar bagi teori Rousseau adalah kembalinya kepada pandangan


Descartes bahwa anak-anak dilahirkan dengan membawa pengetahuan dan ide, yang
berkembang secara alamiah dengan usianya. Perkembangan dalam pandangan ini,
dihasilkan melalui suatu rangkaian tahapan yang dibimbing oleh suatu proses sejak
dilahirkan. Pengetahuan itu diperoleh secara bertahap melalui interaksi dengan
lingkungannya yang diarahkan oleh minat dan perkembangannya sendiri. Pengetahuan
bawaan anak meliputi hal-hal seperti prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran, dan yang
berada di atas semuanya yaitu rasa kesadaran. “Rouseau juga memandang bahwa anak
pada dasarnya adalah baik karena Tuhan membuat segala sesuatu baik
(Krogh,1994:15).

Sesuai dengan pandangan di atas, maka pendekatan untuk mendidik anak bukanlah
dengan mengajar anak secara formal atau melalui pengajaran langsung, akan tetapi
dengan memberi kesempatan kepada mereka belajar melalui proses eksplorasi dan
diskoveri. “Anak harus diberi kesempatan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman
positif, diberi kebebasan dan mengikuti minat-minat spontannya. (Krogh, 1994:15).
Rousseau mengkritik pendidikan yang sifatnya artifisial atau dibuat-buat, dan dia
menganjurkan pendidikan itu harus natural.

Dalam biografinya Emile, Rousseau menyarankan bahwa untuk mendidik Emile


paling sedikit harus mengandung tiga gagasan yang saat ini didukung oleh beberapa
ahli pendidikan. Pertama, anak-anak dapat didorong untuk mempelajari disiplin ilmu
(body of knowledge) hanya apabila mereka telah memiliki kesiapan kognitif untuk
mempelajarinya. Kedua, anak-anak belajar sebaik mungkin apabila mereka didorong
secara mudah kepada informasi atau gagasan dan dilibatkan untuk memperoleh suatu
pemahaman tentang dirinya melalui proses penemuan oleh dirinya sendiri. Ketiga,
perawatan dan pendidikan anak harus membantu perkembangan secara permisif dari pada
menggunakan jenis interaksi yang mengandung disiplin kaku, karena disiplin kaku tidak
sesuai dengan pandangan yang lebih romantis tentang anak. Sesuai dengan
pandangannya bahwa anak dilahirkan membawa bakat yang baik, maka pendidikan
adalah pengembangan bakat anak secara maksimal melalui pembiasaan, latihan,
interaksi dengan alam, permainan, partisipasi dalam kehidupan, serta penyediaan
kesempatan belajar dan belajar selaras dengan tahap-tahap perkembangan anak.

Naturalisme memiliki tiga prinsip tentang proses pembelajaran (M. Arifin dan
Aminuddin R., 1992: 9), yaitu:
a. Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi antara
pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan di dalam dirinya
secara alami.
b. Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik
berperan sebagai fasilitator atau narasumber yang menyediakan lingkungan yang mampu
mendorong keberanian anak didik ke arah pandangan yang positif dan tanggap terhadap
kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik. Tanggung jawab
belajar terletak pada diri anak didik sendiri.
c. Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan
menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi kepada pola belajar anak didik. Anak
didik secara bebas diberi kesempatan untuk menciptakan lingkungan belajarnya sendiri
sesuai dengan minat dan perhatiannya.
Dengan demikian, aliran Naturalisme menitikberatkan pada strategi pembelajaran yang
bersifat paedosentris; artinya, faktor kemampuan individu anak didik menjadi pusat
kegiatan proses belajar-mengajar.

Aliran Konvergensi
Tokoh aliran Konvergensi adalah William Stem. la seorang tokoh pendidikan Jerman
yang hidup tahun 1871-1939. Aliran Konvergensi merupakan kompromi atau kombinasi
dari aliran Nativisme dan Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir di dunia
ini telah memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak selanjutnya akan
dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi,faktor pembawaan dan lingkungan sama-sama
berperan penting.
l

Aliran nativisme Aliran empirisme

Aliran konvergensi

Anak yang mempunyai pembawaan baik dan didukung oleh lingkungan pendidikan yang
baik akan menjadi semakin baik. Sedangkan bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan
berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan
bakat itu sendiri. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan
perkembangan anak secara optimal jika tidak didukung oleh bakat baik yang dibawa
anak. Dengan demikian, aliran Konvergensi menganggap bahwa pendidikan sangat
bergantung pada faktor pembawaan atau bakat dan lingkungan. Hanya saja, William
Stem tidak menerangkan seberapa besar perbandingan pengaruh kedua faktor tersebut.
Sampai sekarang pengaruh dari kedua faktor tersebut belum bisa ditetapkan.

Aliran Idealisme
Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik.
Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap.
Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan
baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi.
Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David
Hume, Al Ghazali. Idealisme adalah aliran filsafat yang berpandangan bahwa alam
semesta ini adalah perwujudan intelegensi dan kemauan, hal zat atau substansi yang
kekal dan abadi dalam dunia ini bersifat keijiwaan, spiritual atau rohaniah. Dan hal-hal
yang bersifat materil bersumber kepada hal-hal yang bersifat kejiwaan. Tokoh aliran ini
antara lain Plato, David Hume, dan Hegel.

Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan
menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, pada tarap permulaan seseorang belajar
memahami akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari
mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala pengetahuan
yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsure apriori, yang tidak didahului
oleh pengalaman lebih dahulu. Bila orang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti
semua itu sudah mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan waktu
sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi, apriori
yang terarah bukanlah budi pada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi.
Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu.
Pandangannya tentang hakikat pengetahuan menyatakan bahwa pengetahuan yang benar
diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali. Pengetahuan yang diperoleh melalui
indera tidak pasti, tidak lengkap, karena dunia materi hanyalah tipuan belaka, sifatnya
maya, dan menyimpang dari keadaan lingkungan yang lebih sempurna. Kebenaran hanya
mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran cemerlang, dan
sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat pendapat.

Sehubungan dengan teori pengetahuannya, intelek dan akal memegang peranan yang
sangat penting atau menentukan proses belajar mengajar, karena menurut aliran ini
manusia akan dapat memperoleh pengetahuan dan kebenaran sejati. Dengan demikian
pengetahuan yang diajarkan di sekolah harus bersifat intelektual. Hakikat nilai menurut
pandangan idealisme bersifat absolut. Standar tingkah laku manusia diatur oleh
kewajiban moral yang diturunkan dari kenyataan sebenarnya atau metafisik. Hanya satu
kebenaran, yaitu kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta.

Pendidikan menurut idealisme diartikan sebagai upaya terencana untuk mewujudkan


manusia ideal yaitu manusia yang dapat mencapai keselarasan individual yang terpadu
dalam keselarasan alam semesta. Upaya pendidikan harus ditujukan pada pembentukan
karakter, watak, menusia yang berbudi luhur, pengembangan bakat insani dan
kebajikan social. Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari
oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau
menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu
mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak
senang mengenai nilai tersehut.

Aliran Realisme
Realisme Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis.
Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia
ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dn
mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang
dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme:
Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke,
Galileo, David Hume, John Stuart Mill.

Realisme adalah aliran filsafat yang berpandangan bahwa ada alam semesta yang bersifat
materil yang tidak bergantung kepada hal-hal yang bersifat kejiwaan, dan dapat
diketahui secara langsung melalui pengalaman pendriaan dengan mempergunakan
pikiran. Tokoh aliran ini antara lain Aristoteles (realisme klasik), dan Thomas Aquino
(realisme religius). Teori pengetahuan realisme, menyatakan adanya prinsip
ketidaktergantungan pengetahuan. Kenyataan hadir dengan sendirinya dan bersifat
obyektif, tidak bergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia. Pengetahuan
yang benar diperoleh melalui pengalaman pendriaan. Pengetahuan yang benar adalah
yang sesuai dengan fakta.
Dalam kaitannya dengan hakikat nilai, realisme menyatakan bahwa standar tingkah
laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh
kebijaksanaan yang telah teruji dalam kehidupan. Pendidikan dalam pandangan realisme
adalah proses perkembangan intelegensi, daya kraetif dan sosial individu yang
mendorong pada terciptanya kesejahteraan umum. Pendidikan yang berdasarkan
realisme konsisten dengan teori belajar S-R. Dengan demikian pendidikan juga dapat
diartikan sebagai upaya pembentukan tingkah laku oleh lingkungan.

Aliran Esensialisme
Essensialisme merupakan aliran atau mazab pendidikan yang menerapkan filsafat
idealisme dan realisme secara eklektis. Esesensialisme modern dalam pendidikan adalah
gerakan pendidikan yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari gerakan
Progresisvisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/sosial. Menurut
Esesensialisme, nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/sosial adalah nilai-nilai
kemanusiaan yang terbentuk secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan
susah payah selama beratus tahun, dan di dalamnya telah teruji dalam gagasan-gagasan
dan cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu.

Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang
mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh
idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta
tempat manusia berada. Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang
berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala
sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas
nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek
tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.

Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan
sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat
bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara
kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs,
Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
Aliran idealisme : Aliran Realisme : pengetahuan
pengetahuan hubungan kesatuan stimulus dan
dunia kecil dan dunia besar tanggapan;

Aliran Esensialisme : pendidikan harus bertumpu nilai-nilai teruji sepanjang


masa(liberal arts) spt bahasa, gramatika, sastra, filsafat, ilmu alam,
matematika, sejarah dan seni; kritik terhadap progresivisme

Menurut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan


tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul
karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar.

Ciri-ciri Filsafat Pendidikan Esesensialisme, yang disarikan oleh William C. Bagley


adalah sebagai berikut :
1) Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal
yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam jiwa.
2) Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang belum dewasa adalah melekat
dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spesies
manusia.
3) Oleh karena kemampuan untuk mendisiplinkan diri harus menjadi tujuan pendidikan,
maka menegakkan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Di kalangan individu maupun bangsa, kebebasan yang sesungguhnya selalu
merupakan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan, tidak pernah merupakan pemberian.
4) Esesensialisme menawarkan teori yang kokoh kuat tentang pendidikan, sedangkan
sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.
Apabila terdapat sebuah pertanyaan di masa lampau tentang jenis teori pendidikan yang
diperlukan sejumlah kecil masyarakat demokrasi di dunia, maka pertanyaan tersebut
tidak ada lagi pada hari ini.

Tokoh filsafat ini Bagley (1874-1946), William C. Bagley lahir di Detroit. Ia memasuki
Universitas Negeri Michigan, danUniversitas Wisconsin, dan menerima gelar Doktor dari
Universitas Cornell tahun 1900. setelah mengajar di sekolah umum dan sekolah guru di
Illinois dan mengajar di Universitas Illinois, dalam tahun 1917 ia mengajar di Sekolah
Tinggi Guru (Teachers College) di Universitas Columbia selama lebih dari 20 tahun, dan
pensiun dalam tahun 1940. Dalam perjalanan karirnya, ia menyunting Jurnal Asosiasi
Pendidikan Nasional (Journal of the Nationa Education Assiation), dan penerbitan
berkala serta menjabat sebagai Presiden Dewan Nasional (NEA’s Naitional Council of
Education).

Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang
telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa. Esensialisme
adalah suatu filsafat dalam aliran pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan
sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat
bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara
kaum muda.Aliran pendidikan esensialisme secara umum menekankan pilihan kreatif,
subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas
setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.

Esesensialisme merupakan gerakan pendidikan yang bertumpu pada mazhab filsafat


idealisme dan realisme. Meskipun kaum Idealisme dan kaum Realis berbeda pandangan
filsafatnya, mereka sepaham bahwa:
a. hakikat yang mereka anut memberi makna pendidikan bahwa anak harus
menggunakan kebebasannya, dan ia memerlukan disiplin orang dewasa untuk membantu
dirinya sebelum dia sendiri dapat mendisiplinkan dirinya; dan
b. Manusia dalam memilih suatu kebenaran untuk dirinya sendiri dan lingkungan
hidupnya mengandung makna pendidikan bahwa generasi muda perlu belajar untuk
mengembangkan diri setinggi-tingginya dan kesejahteraan sosial.

Mazab ini mengutamakan gagasan-gagasan yang terpilih, yang pokok-pokok, yang hakiki
( essensial ), yaitu liberal arts. Yang termasuk the liberal arts adalah bahasa, gramatika,
kesusasteraan, filsafat, ilmu kealaman, matematika, sejarah dan seni. Esensialisme
berpandangan pendidikan kejuruan/vokasi harus mengkaitkan dirinya dengan sistem-
sistem lainnya seperti sistem ekonomi, politik, sosial, religi dan moral. Esensialisme
berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia
beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang
mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.

Aliran Esensialisme bersumber dari filsafat idealisme dan realisme. Sumbangan yang
diberikan keduanya bersifat eklektik. Artinya, dua aliran tersebut bertemu sebagai
pendukung Esensialisme yang berpendapat bahwa pendidikan harus bersendikan nilai-
nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Artinya, nilai-nilai itu menjadi sebuah tatanan
yang menjadi pedoman hidup, sehingga dapat mencapai kebahagiaan. Nilai-nilai yang
dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama
empat abad yang lalu, yaitu zaman Renaisans.

Teori Pendidikan
a. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti
pengetahuan yang telah terhimpun, yang telah bertahan sepanjang waktu dan dengan
demikian adalah berharga untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh
keterampilan. Keterampilan-keterampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang tepat,
membentuk unsur-unsur ayng inti (esensial) dari sebuah pendidikan. Pendidikan
bertujuan untuk mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau
kecerdasan.
b. Metode Pendidikan
1) Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered).
2) Umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang
diinginkan, dan mereka haru dipaksa belajar. Oleh karena itu pedagogi yang bersifat
lemah-lembut harus dijauhi, dan memusatkan diri pada penggunaan metode-metode
tradisional yang tepat.
3) Metode utama adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian
tugas; dan penguasan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi dan
membaca.

Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai


kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul
pada zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme. Dasar
pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus
berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).

Kurikulum
1) Kurikulum berpusat pada mata pelajaran yang mencakup mata-mata pelajaran
akademik yang pokok.
2) Kurikulum Sekolah Dasar ditekankan pada pengembangan keterampilan dasar
dalam membaca, menulis, dan matematika.
3) Kurikulum Sekolah Menengah menekankan pada perluasan dalam mata pelajaran
matematika, ilmu kealaman, humaniora, serta bahasa dan sastra. Penguasaan terhadap
mata-mata pelajaran tersebut dipandang sebagai suatu dasar utama bagi pendidikan
umum yang diperlukan untuk dapat hidup sempurna. Studi yang ketat tentang disiplin
tersebut akan dapat mengembangkan kesadaran pelajar, dan pada saat yang sama
membuat mereka menyadari dunia fisik yang mengitari mereka. Penguasaan fakta dan
konsep-konsep pokok dan disiplin-disiplin yang inti adalah wajib.

Pelajar dan Pengajar


Siswa adalah makhluk rasional dalam kekuasaan fakta dan keterampilan-keterampilan
pokok yang siap melakukan latihan-latihan intelektif atau berpikir.
1) Peranan guru kuat dalam mempengaruhi dan mengawasi kegiatan-kegiatan di kelas.
2) Gruru berperanan sebagai sebuah contoh dalam pengawalan nilai-nilai dan
penguasaan pengetahuan atau gagasan-gagasan.

Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai substansi
spiritual yang membina dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna, 1983: 120-
121).Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan filosof , menerangkan tentang hakikat
social dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal
ini berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja Yang telah ditentukan dan
diatur oleh alam social. Jadi, belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-
sungguh nilai-nilai social angkatan baru yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan
diteruskan pada angkatan berikutnya.

Adapun pandangan tentang pendidikan dari tokoh pendidikan Renaisans yang pertama
adalah Johan Amos Cornenius (1592-1670), yaitu agar segala sesuatu diajarkan melalui
indra, karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa. Tokoh kedua adalah Johan Frieddrich
Herbart (1776-1841) yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan
jiwa seseorang dengan kebajikan Tuhan. Artinya, perlu ada penyesuaian dengan hukum
kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart disebut sebagai
pengajaran. Tokoh ketiga adalah William T. Harris (1835-1909) yang berpendapat bahwa
tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas berdasarkan susunan yang tidak
terelakkan dan bersendikan kesatuan spiritual. Sekolah adalah lembaga yang memelihara
nilai-nilai yang telah turun-temurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang pada
masyarakat.

Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam
semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada
dalam arti spiritual. Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari
oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau
menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu
mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak
senang mengenai nilai tersehut. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul
karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme
berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji
keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa aliran Esensialisme menghendaki agar
landasan pendidikan adalah nilai-nilai esensial, yaitu yang telah teruji oleh waktu,
bersifat menuntun, dan telah turun-temurun dari zaman ke zaman sejak zaman Renaisans.
Sebagai mahzab filsafat pendidikan yang menerapkan prinsip idealisme dan realisme
secara eklektis. Mahzab esensialisme mulai lebih dominan di Eropa sejak adanya
semacam pertentangan diantara para pendidik sehingga mulai timbul pemisahan antara
pelajaran–pelajaran teoritik (Liberal Arts) yang memerdekakan akal dengan pelajaran-
pelajaran praktek (Practical Arts).

Menurut mahzab ini, yang termasuk “The Liberal Arts”, yaitu: 1) Penguasaan bahasa
termasuk retorika.2) Gramatika.3) Kesusasteraan.4) Filsafat.5) Ilmu Kealaman.6)
Matematika.7) Sejarah. 8) Seni Keindahan (Fine Arts). Aliran atau mahzab tersebut
dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah formal adalah adanya penetapan berbagai
mata pelajaran yang disajikan dalam kurikulum sekolah. Namun demikian hal tersebut
tidak berarti memisahkan antar mata pelajaran tetapi semuanya merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan. Pembagian dalam berbagai mata pelajaran tersebut dapat
memudahkan dan membantu siswa untuk mempelajari dan memahami tahap demi tahap,
yang pada akhirnya menyeluruh (holistik). Karena semua mata pelajaran tersebut
diperlukan oleh manusia dalam menjalani kehidupannya sebagai makhluk sosial.
Aliran Eksistensialisme
Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum,
eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan
tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat
manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini : Jean Paul Satre, Soren
Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich
Eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu.

Realitas : hakekat manusia subyektif; Kesadaran


Rasionalisme ;
diri : Kreatifitas; subyektifitas pengalaman;
pendidikan vokasi;
tindakan kongkrit;
tindakan bebas;

Tugas Berat : Menjadikan diri eksis yang unik

Eksistensialisme berpandangan pendidikan vokasi/kejuruan mengembangkan eksistensi


manusia, bukan merampasnya. Pragmatisme berpandangan bahwa philosophy pendidikan
kejuruan adalah ”Matching”: what job was need and what was needed to do the job.
Pendidikan kejuruan/vokasi harus Real-word situation, contextual and experience.

Philosophy eksistensialisme menyatakan setiap individu manusia membentuk makna


kehidupannya sendiri-sendiri. Memilih jalan hidupnya sendiri-sendiri. Realitas kehidupan
bersifat subjektif. Manusia selalu akan menemukan dirinya dalam dunia, kontek
utamanya adalah kesadaran diri siapakah aku. Soren Kierkegaard menulis alam manusia
dan identitas manusia berbeda bergantung pada tata nilai dan keyakinan yang mereka
pegang/anut. Tugas paling berat bagi setiap orang menurutnya adalah menjadikan dirinya
eksis sebagai individu yang unik bermakna (personal growth). Jean Paul Sartre meyakini
individu menciptakan hakikat dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan secara bebas.
Profesi dengan segala tindakan dan akibatnya adalah pilihan.

Dalam philosophy jawa perlu tatas, tutus, titis, titi lan wibawa (mendasar, totalitas, satu
visi, ketelitian dalam memandang hidup). Kemudian Friedrich Neitzsche dengan prinsip
fundamentalnya menyatakan bahwa setiap manusia memiliki kehendak untuk berkuasa
(will to power). Menurutnya ada dua jenis nilai dalam kehidupan manusia yaitu nilai
yang diciptakan oleh golongan lemah (“moralitas budak”) dengan menjunjung tinggi
keutamaan-keutamaan semacam belas kasih, cinta altruism, kelemah lembutan, serta nilai
golongan kuat (“moralitas tuan”) dengan keutamaan semacam kekuatan dan keberanian.

Aliran Progresivisme
Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri
sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun
1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin
tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya
memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George
Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff
William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller, dan George Santayana.

Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan saat
ini. Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut
progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang
paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena
adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan
dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang
sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu
kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Progresivisme=instrumentalisme=enviromentalisme=eksperimentalisme

Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar


dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah yang bersifat menekan, ataupun masalah-
masalah yang bersifat mengancam dirinya. Aliran progresivisme mengakui dan berusaha
mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa
survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran
ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan
eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen
untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, Karena aliran
ini menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan
(Muhammad Noor Syam, 1987).
Pendidikan sebagai proses dan
Anak diberi kebaikan fisik sosialisasi, kesatuan sekolah
dan cara berfikir untuk dan masyarakat; learning by
mengembangkan bakat doing; guru sebagai peneliti dan
terpendam. pembimbing;

Manusia memiliki kemampuan menghadapi masalah yang menekan


dan mengancam dirinya.

Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik.
Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna
mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat
oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain (Ali, 1990: 146). Oleh karena itu, filsafat
progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. John Dewey memandang bahwa
pendidikan sebagai proses dan sosialisasi (Suwarno, 1992: 62-63). Maksudnya sebagai
proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman
lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat
perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.Dengan demikian,
sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan
sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus
dapat mengupyakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar
atau daerah di mana sekolah itu berada.

Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang
dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik
atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki sistem
pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing
(Zuhairini, 1991: 24).Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus
dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi
sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi
sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value), sehingga anak menjadi terampil dan
berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan
masyarakat harus dihilangkan.

Aliran ini memandang bahwa peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal itu
ditunjukkan dengan fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan jika dibanding makhluk
lain. Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatifyang didukung oleh ke-cerdasannya
sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan menjadi
tugas utama pendidik, yang secara teori mengerti karakter peserta didiknya.
Peserta didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan rohani, namun juga
termanifestasikan di dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam
pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu dioptimalkan. Artinya,
peserta didik diberi kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian
dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya, sehingga suasana belajar timbul
di dalam maupun di luar sekolah.

Titik tolak Aliran


esensialisme : pewarisan Titik tolak Aliran Perenialisme :
budaya pewarisan budaya

Aliran Progresivisme : Prinsip : kebebasan anak; pengalaman langsung; guru


bukan satu2nya sumber; sekolah progresif pelopor pembaharuan dan
eksperimentasi

Progresivisme mazab filsafat yang menginginkan kemajuan, mengkritik, essensialisme


dan perenialisme karena mengutamakan pewarisan budaya masa lalu, menggunakan
prinsip pendidikan antara lain (1) anak hendaknya diberi kebebasan, (2) gunakan
pengalaman langsung, (3) guru bukan satu-satunya, (4) sekolah hendaknya progresif
menjadi laboratorium untuk melakukan berbagai pembaharuan pendidikan dan
eksperimentasi.

Progresivisme (gerakan pendidikan progresif) mengembangkan teori pendidikan yang


mendasarkan diri pada beberapa prinsip, antara lain : Anak harus bebas untuk dapat
berkembang secara wajar; Pengalaman langsung merupakan cara terbaik untuk
merangsang minat belajar; Guru harus menjadi seorang peneliti dan pembimbing
kegiatan belajar; Sekolah progresif harus merupakan suatu laboratorium untuk
melakukan reformasi pedagosis dan eksperimentasi; Aliran ini pada hakekatnya
mengajarkan kepada pendidik dan penyelenggara pendidikan untuk mendidik bagaimana
berpikir kritis, sistematis, ilmiah dan mampu menguji kebenaran dalam ilmu pengetahuan
dengan metode ilmiah; Karena kebenaran yang ada itu bisa bersifat relatif bahkan bisa
menjadi salah jika ditemukan teori yang baru.

Aliran pendidikan progresivisme melihat manusia sebagai : (a) Pemecah persoalan


(problem-solver) yang baik. (b) Oposisi bagi setiap upaya pencarian kebenaran absolut.
(c) Lebih tertarik kepada perilaku pragmatis yang dapat berfungsi dan berguna dalam
hidup. (d) Pendidikan dipandang sebagai suatu proses. (e) Mencoba menyiapkan orang
untuk mampu menghadapi persoalan aktual atau potensial dengan keterampilan yang
memadai. (f) Mempromosikan pendekatan sinoptik dengan menghasilkan sekolah dan
masyarakat bagi humanisasi. (g) Bercorak student-centered. (h) Pendidik adalah
motivator dalam iklim demoktratis dan menyenangkan. (i) Bergerak sebagai
eksperimentasi alamiah dan promosi perubahan yang berguna untuk pribadi atau
masyarakat.

Aliran Pragmatisme
Aliran filsafat ini disebut juga instrumentalisme atau eksperimentalisme. Disebut
instrumentalisme karena memandang bahwa tujuan pendidikan bukanlah terminal,
akan tetapi alat atau instrumen untuk mencapai tujuan berikutnya. Dan dikatakan
eksperimentalisme karena untuk membuktikan kebenaran digunakan metode
eksperimen. Tokoh aliran filsafat ini antara lain John Dewey dan Williams James.
Pragmatisme adalah salah satu aliran filsafat yang anti metafisika. Kenyataan yang
sebenarnya adalah kenyataan fisik. Segala sesuatu dalam alam dan kehidupan ini
berubah (becoming), hakikat segala sesuatu adalah perubahan itu sendiri. Manusia
adalah hasil evolusi biologis, psikis dan sosial.

Manusia dilahirkan dalam keadaan tidak dewasa dan tak berdaya, tanpa dibekali
dengan bahasa, keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan atau norma-norma sosial. Hal
ini mengandung arti bahwa setiap manusia tumbuh secara berangsur-angsur mencapai
kemampuan-kemampuan biologis, psikologis, dan sosial. Sesuai dengan pandangannya
tentang hakikat realitas, manusia dipandang sebagai mahluk yang dinamis, tumbuh dan
berkembang. Anak dipandang sebagai individu yang aktif.

Realitas fisik; perubahan Pengetahuan hipotetis, tergantung


(becoming); evolusi biologis, kegunaan dalam kehidupan dan
psikis dan social; individu aktif; praktek; kebenaran relative;

Tidak ada nilai absolute; etika pragmatis : empiris, relative, particular, dalam
proses; pendidikan sbg proses reorganisasi dan rekontruksi pengalaman untuk
meningkatkan efisiensi untuk memajukan kehidupan masyarakat;
mengembangkan kehidupan demokratis

Hakikat pengetahuan menurut pragmatisme terus berkembang. Pengetahuan


bersifat hipotetis dan relatif yang kebenarannya tergantung pada kegunaannya dalam
kehidupan dan praktek. Pengetahuan adalah instrumen untuk bertindak sedangkan
dalam membahas hakikat nilai pragmatisme menyatakan bahwa tidak ada nilai yang
berlaku secara universal atau absolut. Etika tidak diturunkan dari hukum tertinggi yang
bersumber dari zat supernatural. Standar tingkah laku perseorangan dan sosial
ditentukan secara eksperimental dalam pengalaman hidup. Etika pragmatisme
memiliki karakteristik: empiris, relatif, partikular (khusus), dan ada dalam proses.
Pendidikan diartikan sebagai proses reorganisasi dan rekonstruksi (penyusunan kembali)
pengalaman sehingga dapat menambah efisiensi individu dalam interaksinya dengan
lingkungan dan dengan demikian mempunyai nilai sosial untuk memajukan kehidupan
masyarakat.

Tokoh aliran Pragmatisme antara lain John Dewey dan Williams James. Dewey dalam
bukunya Democracy and Education menekankan pentingnya pendidikan karena
berdasarkan tiga pokok pemikiran, yaiti (1) pendidikan merupakan kebutuhan untuk
hidup, (2) pendidikan sebagai pertumbuhan, dan (3) pendidikan sebagai fungsi sosial.
Yang menyebabkan pendidikan sebagai kebutuhan untuk hidup, adalah karena adanya
anggapan bahwa selain pendidikan sebagai alat, melainkan juga berfungsi sebagai
pembaharu hidup atau renewal of life. Hidup itu selalu berubah, selalu menuju kepada
pembaharuan. Hidup itu ialah a self renewing process through action upon
environment.

Pendidikan sebagai agen pertumbuhan terjadi bilamana mampu mengembangkan


potensi anak yang tersembunyi yang disebut potensialitas pertumbuhan.
Pendidikan berfungsi membantu anak untuk mengaktualisasikan potensi-potensi
yang tersembunyi tersebut. Pendidikan memiliki fungsi sosial jika mampu
mengembangkan jiwa sosial pada anak karena sebagai individu anak juga sebagai
mahluk sosial yang selalu berinteraksi dengan individu lainnya. Oleh karena itu dalam
hal ini pendidikan harus mampu memfasilitasi anak dalam melakukan proses sosialisasi
sehingga dapat menjadi warga masyarakat yang diharapkan.

Di samping pandangan di atas, sesuai dengan pandangannya tentang hakikat realitas


yang terus mengalir, berubah, berkembang, Dewey mengemukakan bahwa pendidikan
berarti perkembangan sejak lahir hingga menjelang kematian. Jadi pendidikan
itu juga berarti kehidupan, dengan lain perkataan, pendidikan adalah hidup itu sendiri.
Bagi Dewey, education is growth, development, and life. Artinya proses pendidikan
tidak mempunyai tujuan di luar dirinya tetatpi terdapat dalam pendidikan itu sendiri.
Proses pendidikan bersifat kontinu, reorganisasi dan rekonstruksi, dan pengubahan
pengalaman hidup. Pragmatisme tidak mengenal adanya tujuan umum atau tujuan
akhir pendidikan, yang ada hanyalah tujuan instrumental karena tercapainya
tujuan yang satu adalah alat untuk mencapai tujuan berikutnya.

Setiap fase perkembangan kehidupan, masa kanak-kanak. Masa pemuda dan masa
dewasa, semuanya adalah fase pendidikan, semua yang dipelajari pada fase-fase tersebut
mempunyai arti sebagai pengalaman belajar, pengalaman pendidikan. Dalam arti yang
luas pendidikan menurut pragmatisme dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah
segala bentuk pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan hidup dan
sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi
pertumbuhan seseorang.

Menurut Dewey, pendidikan yang benar hanya akan muncul dengan menggali
keunggulan-keunggulan anak yang timbul dari tuntutan situasi sosial di mana dia
menemukan dirinya sendiri. Melalui tuntutan sosial ini anak dirangsang untuk mampu
bertindak sebagai anggota suatu unit sosial tertentu. Beberapa pandangan Dewey
tentang pendidikan dapat dirangkum sebagai berikut.
1) Insting dan potensi-potensi anak menjadi titik tolak untuk semua pendidikan.
2) Pendidikan adalah proses hidup itu sendiri dan bukan persiapan untuk hidup.
3) Sebagai lembaga sosial, sekolah harus menyajikan kehidupan nyata dan penting bagi
anak sebagaimana yang terdapat di dalam rumah, di lingkungan sekitar, atau di
lingkungan masyarakat luas. (Dewey dalam Krogh, 1994).

Tujuan pendidikan diarahkan untuk mencapai suatu kehidupan yang demokratis.


Demokrasi bukan dalam arti politik, melainkan sebagai cara hidup bersama, sebagai way
of life, pengalaman bersama dan komunikasi bersama. Dewey mengemukakan
beberapa karakteristik tujuan pendidikan yang baik sebagai berikut.
1) Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan berdasarkan kegiatan dan kebutuhan
intrinsik peserta didik.
2) Tujuan pendidikan harus mampu menimbulkan suatu metode yang dapat
mempersatukan aktifitas pengajaran yang sedang berlangsung.
3) Pendidik harus tetap menjaga jangan sampai ada tujuan umum dan tujuan akhir.
Untuk mengetahui bagaimanakah proses belajar terjadi pada anak didik, kita lihat
bagaimana syarat-syarat untuk pertumbuhan.

Pendidikan sama dengan pertumbuhan. Syarat pertumbuhan adalah adanya


kebelumdewasaan atau kebelum matangan (immaturity), yang berarti kemampuan
untuk berkembang. Immaturity tidak berarti negatif tetapi positif, yaitu kemampuan,
kecakapan, dan kekuatan untuk tumbuh. Ini menunjukkan bahwa anak didik adalah
hidup, ia memiliki semangat untuk berbuat. Pertumbuhan bukan sesuatu yang harus kita
berikan, akan tetapi sesuatu yang harus mereka lakukan sendiri. Ada dua sifat
immaturity, yakni kebergantungan dan plastisitas. Kebergantungan berarti kemampuan
untuk menyatakan hubungan sosial dan ini akan menyebabkan individu itu matang
dalam hubungan sosial. Sebagai hasilnya, akan tumbuh kemampuan
interdependensi atau saling kebergantungan antara anggota masyarakat yang satu
dengan yang lain. Plastisitas mengandung pengertian kemampuan untuk berubah.
Plastisitas berarti juga habitat yaitu kecakapan menggunakan keadaan lingkungan sebagai
alat untuk mencapai tujuan, bersifat aktif mengubah lingkungan.

Dalam proses belajar, Dewey menekankan pentingnya prinsip learning by doing atau
belajar dengan bekerja, belajar melalui praktek, karena belajar dengan bekerja adalah
dua kegiatan yang tidak dapat dipisahklan seperti halnya pendidikan dengan kehidupan
atau seperti halnya anak dengan masyarakat. Learning by doing ini berlaku bagi semua
tingkatan usia anak. Kapankah proses belajar itu dimulai dan kapankah berakhir.
Sesuai dengan pandangan Dewey, bahwa pendidikan adalah pertumbuhan itu sendiri,
maka proses belajar pun berlangsung terus-menerus sejak lahir dan berakhir pada saat
kematian. Pendidikan adalah pengalaman, yaitu suatu proses yang berlangsung secara
terus- menerus. Terdapat hubungan yang erat antara proses belajar, pengalaman dan
berpikir.
Pengalaman itu bersifat aktif dan pasif. Pengalaman yang bersifat aktif berarti
berusaha, mencoba dan mengubah, sedangkan pengalaman pasif berarti menerima dan
mengikuti saja. Kalau kita mengalami sesuatu maka kita berbuat, sedangkan kalau
mengikuti sesuatu kita memperoleh akibat atau hasil belajar. Belajar dari pengalaman
adalah menghubungkan pengalaman kita dengan pengalaman masa lalu dan yang akan
datang. Belajar dari pengalaman berarti mempergunakan daya pikir reflektif (reflective
thinking) dalam pengalaman kita.

Pengalaman yang efektif adalah pengalaman yang reflektif. Ada lima langkah berpikir
reflektif menurut Dewey (1994), sebagai berikut.
1) merasakan adanya keraguan, kebingungan yang menimbulkan masalah,
2) mengadakan interpretasi tentatif (merumuskan hipotesis),
3) mengadakan penelitian atau pengumpulan data yang cermat,
4) memperoleh hasil dari pengujian hipotesis tentatif, dan
5) hasil pembuktian sebagai sesuatu yang dijadikan dasar untuk berbuat

Metode berpikir reflektif atau problem solving yang dikemukakan di atas


merupakan metode mengajar utama yang disarankan Dewey. Langkah pertama dan
kedua bersumber dari berpikir deduktif, sedangkan langkah ketiga dan keempat
merupakan tahap berpikir induktif. Dengan demikian dari langkah kesatu sampai
dengan langkah keempat terdapat gabungan berpikir deduktif dan induktif
yang kemudian hasil gabungan berpikir itu harus diuji kembali dalam
implementasi. Pengujian terakhir inilah yang paling menentukan karena
kebenaran pragmatis ditentukan dalam realitas hidup manusia yang sebenarnya.

Pragmatisme tidak menolak metode mengajar lain selain problem solving sepanjang
metode tersebut relevan dan dapat menimbulkan aktivitas serta inisiatif anak. Dengan
demikian metode mengajar harus bersifat fleksibel. Dalam penyusunan bahan ajar
menurut Dewey hendaknya memperhatikan syarat- syarat sebagai berikut: (1) bahan
ajar hendaknya kongkrit, dipilih yang betul-betul berguna dan dibutuhkan,
dipersiapkan secara sistematis dan mendetil, (2) pengetahuan yang telah diperoleh
sebagai hasil belajar, hendaknya ditempatkan dalam kedudukan yang berarti yang
memungkinkan dilaksanakannya kegiatan baru dan kegiatan yang lebih menyeluruh.

Bahan ajar harus berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji serta minat- minat
dan kebutuhan-kebutuhan anak. Hal yang terakhir memberikan implikasi bahwa sekolah
perlu membuat kurikulum darurat untuk memenuhi minat dan kebutuhan anak. Bahan-
bahan pelajaran bagi anak didik tidak bisa semata-mata diambil dari buku-buku pelajaran
yang diklasifikasikan dalam bentuk disiplin ilmu yang ketat, akan tetapi harus
bersifat interdisipliner, berisikan kemungkinan-kemungkinan, harus mendorong anak
untuk bergiat dan berbuat, dan memberikan rangsangan kepada anak untuk
bereksperimen. Bahan pelajaran harus merupakan kegiatan yang berkenaan dengan
sesuatu masalah (problem).
Peranan pendidik menurut pragmatisme bukanlah sebagai instruktur yang mendominasi
kegiatan pembelajaran, akan tetapi sebagai fasilitator. Secara rinci peranan pendidik
menurut pragmatisme adalah sebagai berikut.
1) Pendidik tidak boleh memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai
dengan minat dan kebutuhan peserta didik.
2) Pendidik hendaknya menciptakan suatu situasi, sehingga anak merasakan adanya
suatu masalah yang ia hadapi, sehingga timbul minat untukmemecahkan masalah
tersebut,
3) Untuk membangkitkan minat anak, hendaknya guru mengenal kemampuan serta
minat masing-masing atau peserta didik.
4) Pendidik hendaknya dapat menciptakan siatusi yang menimbulkan kerja sama
dalam belajar, antara murid dengan murid begitu pula natara guru dengan murid.

Bertolak dari pernyataan di atas, maka peran guru adalah memberikan dorongan kepada
peserta didik untuk bekerja bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir
dan menarik kesimpulan sendiri sesuai dengan minat yang ada pada dirinya. Melalui cara
ini anak akan belajar dengan bekerja. Lembaga pendidikan merupakan suatu lingkungan
khusus, bagian dari lingkungan manusia yang mempunyai peranan dan fungsi khusus
sebagai berikut. Lembaga pendidikan khususnya sekolah dipandang sebagai sebuah
mikrokosmos dari masyarakat yang lebih luas. Di sini para siswa dapat mengkaji
masalah-masalah sosial yang pada umumnya sering dihadapi masyarakat. Sekolah
harus menjadi laboratorium belajar yang hidup dan suatu model kerja
demokrasi.

Lembaga pendidikan mempunyai fungsi-fungsi khusus sebagai berikut.


1) Menyediakan lingkungan yang disederhanakan. Tidak mungkin kita memasuk-kan
seluruh peradaban manusia yang sangat kompleks ke dalam sekolah. Demikian pula,
anak didik tidak mungkin dapat memahami seluruh masyarakat yang sangat kompleks.
Itulah sebabnya lembaga pendidikan merupakan masyarakat atau lingkungan hidup
manusia yang disederhanakan
2) Membentuk masyarakat yang akan datang yang lebih baik. Anak didik tidak
belajar dari masa lampau tetapi belajar dari masa sekarang untuk memperbaiki masa
yang akan datang.
3) Mencari keseimbangan dari bermacam-macam unsur yang ada di
dalam lingkungan. Lembaga pendidikan memberi kesempatan kepada setiap
individu/ anak didik untuk memperluas lingkungan hidupnya.
Aliran esensialisme Aliran eksistensialisme

Aliran Pragmatisme = eksperimentalisme = instrumentalisme

Strom mengutip pernyataan Miller (1994) bahwa pragmatisme merupakan philosophy


yang paling efektif untuk education-for-work. Karena philosophy pragmatisme
menyeimbangkan philosophy esensialisme dan eksistensialisme. Disamping itu
philosophy lainnya yang mendasari pendidikan kejuruan/vokasi adalah philosophy
humanisme dalam kaitannya dengan personal growth dan philosophy progressive dalam
kaitannya dengan reformasi sosial. Philosophy esensialisme merupakan akar dari
idealisme dan realisme. Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk
corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi
tidak lebur menjadi satu dan tidak

melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing. Dengan demikian


Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut
esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan
sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan
reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah
konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang
memenuhi tuntutan zaman.

Esensialisme bertujuan mendidik manusia bernilai guna dan kompeten. Esensialisme


menekankan peran dan fungsi pendidik atau pelatih dalam proses pembelajaran, ahli dan
menguasai subyek materi, mengembangkan skill dengan berlatih, pengulangan,
pengkondisian, dan pengembangan kebiasaan baik dalam mempengaruhi prilaku peserta
didik. Pembelajaran peserta didik dilakukan secara progresif dari skill yang kurang
komplek ke skill yang lebih komplek. Realisme modern, yang menjadi salah satu
eksponen essensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik,
sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya
bersifat spiritual. John Butler mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam adalah yang
pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat.

Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik. Dan disana terdapat sesuatu
yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat
mental. Dengan demikian disini jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima
gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik, maka anggapan mengenai adanya
kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah, berarti bukan
hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi
gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu
Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang
berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Realisme berpendapat bahwa
kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh
subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut. Menunut realisme,
pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu
kesatuan.

Esensialisme biasanya mengajarkan subyek materi membaca, menulis, mengkaji literatur,


bahasa asing, sejarah, matematika, sains, seni dan musik. Esensialisme adalah pendidikan
yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban
umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama
yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan
dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk
perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme
memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan
dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata
yang jelas.

Pragmatisme atau eksperimentalisme merupakan gerakan philosophy Amerika yang


menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam
kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyaan “what is” harus dieliminir dengan “what for”.
Pragmatisme merupakan philosophy bertindak, mempertanyakan bagaimana konsekuensi
praktisnya dalam hidup manusia. Kaitannya dengan dunia pendidikan, kaum
pragmatisme menghendaki pembagian persoalan teoritis dan praktis. Pengembangan teori
memberi bekal etik dan normatif, sedangkan praktek mempersiapkan tenaga profesional
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi teori dan praktis itu penting agar
pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan pada
hal praktis. Juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau
demikian yang terjadi berarti pendidikan dapat dikatakan disfungsi.

Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang mengemukakan bahwa segala sesuatu harus
dinilai dari segi nilai kegunaan praktis. Penerapan konsep pragmatisme secara
eksperimental melalui 5 tahap, yaitu:
1) Situasi tak tentu.
2) Diagnosis.
3) Hipotesis.
4) Pengujian Hipotesis.
5) Evaluasi.

Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam philosophy instrumentalisme.


Philosophy instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan
berpangkal dari pengalaman-pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-
pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi
dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Humanisme adalah philosophy
yang menegaskan harkat dan martabat manusia ditentukan oleh kemampuannya untuk
menentukan benar salah secara universal. Humanisme mendorong moralitas universal
berdasarkan komunalitas kondisi manusia, menganjurkan solusi sosial kemasyarakatan
dan masalah-masalah budaya secara konprehensip. Manusia sebagai mahluk hidup lebih
penting nilainya dari mahluk hidup lainnya.

Aliran Rekonstruksionisme
Mazab rekonstruksionisame merupakan kelanjutan dari progresivisme. Mazab ini
berpandangan bahwa pendidikan/ sekolah hendaknya memelopori melakukan
pembaharuan kembali atau merekonstruksi kembali masyarakat agar menjadi lebih baik.
Karena itu pendidikan/sekolah harus mengembangkan ideologi kemasyarakatan yang
demokratis. Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme.
Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping
menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme
lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya.
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir
didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan
diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.

Rekonstruksionisme dipelopori oleh Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg. Pada
tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan
melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Pendidikan rekonstruksionisme Merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme.
Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya
memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.

Aliran Progresivisme Aliran Pragmatisme

Aliran Rekonstruksionisme

Fokus dalam aliran pendidikan Rekonstruksionisme adalah berikut ini.


(a) Promosi pemakaian problem solving tetapi tidak harus dirangkaikan dengan
penyelesaian problema sosial yang signifikan.
(b) Mengkritik pola life-adjustment (perbaikan tambal-sulam) para Progresivis.
(c) Pendidikan perlu berfikir tentang tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang.
Untuk itu pendekatan utopia pun menjadi penting guna menstimuli pemikiran tentang
dunia masa depan yang perlu diciptakan.
(d) Pesimis terhadap pendekatan akademis, tetapi lebih fokus pada penciptaan agen
perubahan melalui partisipasi langsung dalam unsur-unsur kehidupan.
(e) Pendidikan berdasar fakta bahwa belajar terbaik bagi manusia adalah terjadi dalam
aktivitas hidup yang nyata bersama sesamanya.
(f) Learn by doing (Belajar sambil bertindak).

Kata Rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris reconstruct, yang berarti menyusun
kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan suatu aliran
yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran
rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal
dari krisis kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua
aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang
mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan
kesimpangsiuran.

Sebagaimana aliran filsafat pendidikan yang lain, rekonstruksianisme mendasarkan


gagasan rekonstruksinya pada para filsuf terdahulu yang dianggap sebagai “filsuf
rekonstruksianis”. Diantaranya adalah Plato yang telah merancang desain negara masa
depan (The Republik), dan secara tandas menegaskan bahwa pendidikan menjadi pilar
utama dari pembangunan masyarakat baru dan masyarakat terbaik yang di dalamnya
terjadi ekualitas seksual, pembinaan pendidikan anak-anak secara komunal, dan
diperintah oleh pemimpin yang memiliki akreditasi filosofis. Selain Plato, filsuf Stoic
seperti Marcus Aurelius, seorang raja sekaligus filsuf dari kerajaan Romawi, yang
mempromosikan “negara dunia” ideal yang terbebaskan dari sekat-sekat nasionalisme
dan chauvinisme. Sementara itu, filsuf era Skolastik seperti St. Augustine juga
menawarkan upaya rekonstruksi melalui negara Kristen ideal, sebagaimana tertuang
dalam karyanya The City of God .

Pada era revolusi industri banyak bermunculan tulisan-tulisan yang bernada sosialistik
dari para pemikir seperti Comte de Saint Simon, Charles Fourier, Robert Owen, Francois
Noel Babeuf, dan Edward Bellamy. Para pemikir ini melihat bahaya dari akibat revolusi
industri yang cenderung menjadikan teknologi semata-mata akan memperkaya segelintir
pemilik modal dan bukan demi kemaslahatan kemanusiaan sedunia. Upaya rekonstruksi
sosial secara sistematik juga digagas oleh Karl Marx, di mana ia melihat penderitaan
kaum proletar yang didehumanisasi oleh sistem industri kapitalis, dan berupaya
merekonstruksi masyarakat dunia, dengan berdasarkan jaringan komunisme
internasional. Kesemua pemikir tersebut merekomendasikan pendidikan sebagai
instrumen utama dalam melakukan perubahan sosial, contohnya Plato yang menegaskan
bahwa pendidikan sebagai sine qua non dari masyarakat terbaik; Marx melihat
pendidikan sebagai jalan untuk membantu kaum proletar dalam mengembangkan
pandangan mengenai “kesadaran sosial”.

Di Amerika Serikat ada pula beberapa pemikir yang melihat pendidikan sebagai alat
perubahan sosial, diantaranya: Horace Mann, Henry Barnard, William Torrey Harris,
Francis Parker dan John Dewey. Dewey melihat pendidikan sebagai instrumen perubahan
individu dan masyarakat . Dari filsafat pragmatisme Dewey inilah landasan filosofi
rekonstruksianisme dibangun. Akan tetapi aliran rekonstruksianisme tidak sekedar
mempromosikan metode saintifik, problem solving, naturalisme dan humanisme
sebagaimana kaum pragmatis. Rekonstruksianis berbeda dari kaum pragmatis tentang
bagaimana penerapan metode pragmatis dalam dunia pendidikan. Berbeda pula dengan
pendekatan yang dilakukan aliran progresifisme, rekonstruksianisme tidak sekedar ingin
“memperbaiki” masyarakat, tetapi juga ingin melakukan perubahan sosial di masyarakat.

Sementara itu aliran rekonstruksianisme dalam satu prinsip sependapat dengan


perennialisme, bahwa ada satu kebutuhan amat mendesak untuk kejelasan dan kepastian
bagi kebudayaan zaman modern saat ini yang sedang berada di tubir kehancuran,
kebingungan, dan kesimpangsiuran. Walaupun demikian, aliran rekonstruksianisme
mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk
mengembalikan kebudayaan yang serasi dengan kehidupan. Aliran perennialisme
memilih untuk kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road
culture sebagai solusi yang paling ideal. Sedangkan aliran rekonstruksianisme
menempuhnya dengan jalan berupaya membina satu konsensus yang paling luas
mengenai tujuan pokok tertinggi dalam kehidupan umat manusia .

Secara fundamental, pemikiran rekonstruksianisme muncul karena terjadi kesenjangan


antara teori dan praktik dalam pendidikan dan kekecewaan terhadap teori-teori umum
(general theory) yang tidak dapat bersikap “kritis”. Sehingga diperlukan teori yang
membumi (grounded theory) yang mampu mengapresiasi aspek sosial, budaya, dan
politik secara maksimal. Serangan terhadap teori umum dimulai oleh C. Wright Mills dan
mengalami puncaknya pada Habermas yang merupakan wakil terkemuka pada
kecenderungan perlawanan terhadap teori-teori besar.

Rekonstruksianisme adalah filsafat sosial yang menuntut diperlukan suatu teori kritis
yang substantif mengenai masyarakat yang dikembangkan ke taraf metateoritis dalam
kaitannya dengan upaya refleksi diri terhadap teori dan metode. Hal ini dimotivasi oleh
kepedulian yang mendalam terhadap nasib umat manusia di mana individu-individu
sebagai insan sosial dikontekstualisasikan dalam totalitas sosial yang berupa kultur
material dan spiritual. Aliran ini juga bertujuan melakukan emansipasi sosial dan
berusaha menemukan teori sosial yang mampu memikul tanggung jawab berupa
perlawanan terhadap status quo. Asumsi utama yang dikedepankan adalah upaya kritik
yang lebih luas terhadap kenyataan bahwa kultur kapitalis yang merupakan suatu bentuk
manipulasi dan penguasaan, yang secara total meresapi struktur psikis dan sosial.
Rekonstruksianisme mendasarkan pada dua premis mayor: (1) masyarakat membutuhkan
rekonstruksi yang konstan atau perubahan, dan (2) perubahan sosial juga adalah
rekonstruksi pendidikan dan menggunakan pendidikan sebagai wahana rekonstruksi
masyarakat .

Cakrawala utopian ini tetap menjadi perhatian utama dan ciri permanen yang menjadi
landasan aliran rekonstruksianisme secara menyeluruh. Pada intinya rekonstruksianisme
bertujuan untuk mengkongkretisasi kehidupan, di mana dibentuk institusi sosial yang
diawasi masyarakat, anak, sekolah dan pendidikan dalam koodinasi sosial budaya dan
cara serta arah pendidikan harus sesuai tuntutan masyarakat. Sekalipun
rekonstruksianisme lebih banyak dipengaruhi oleh pragmatisme John Dewey, tampaknya
teori kritis yang dikembangkan mazhab Frankfurt ikut serta mewarnai variasi perspektif
Marxian yang mendasari ide rekonstruksi dan perubahan sosial aliran
rekonstruksianisme.

Pada awal tahun 1900-an hingga 1930-an teori Marxian terus berkembang, diantaranya
pendirian Institut Riset Sosial di Frankfurt, Jerman, oleh Felix J. Weil pada tanggal 3
Februari 1923. Institut ini dibesarkan oleh pemikir utama seperti Marx Horkheimer,
Theodor Adorno, Erich Fromm, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas. Berkuasanya
rezim Nazi di Jerman membuat Institut ini berpindah ke Universitas Columbia di
Amerika, dan seusai perang, tahun 1949 Horkheimer mengembalikan Institut ini ke
Jerman . Sebagaimana halnya rekonstruksianisme, aliran teori kritis juga merupakan
filsafat sosial yang menurut Horkheimer bertujuan untuk menggariskan tugas-tugas
“filsafat sosial”. Hal ini menunjukkan adanya minat yang sama terhadap suatu teori
mengenai masyarakat yang dikembangkan dari pertemuan dialektis antara problem-
problem filsafat kontemporer dengan riset ilmiah empiris .

Aliran kritis mengecam keras “industri pengetahuan” seperti sekolah, universitas dan
lembaga penelitian yang menjadi struktur otonom di masyarakat, karena struktur ini akan
senantiasa opresif untuk menanamkan kultur dominan di masyarakat. Habermas
membedakan tiga sistem pengetahuan dan kepentingannya yang saling berhubungan.
Tipe pertama adalah ilmu analitik atau sistem saintifik positivik klasik yang kepentingan
dasarnya adalah kontrol teknis dan opresif yang dipaksakan pada lingkungan, masyarakat
dan individu. Tipe kedua adalah pengetahuan humanistik yang kepentingan dasarnya
adalah untuk memahami dunia dengan pandangan aposteriori agar dapat membantu kita
untuk memahami diri dan memahami orang lain. Pengetahuan tipe ini tidak bersifat
opresif dan dan membebaskan. Tipe ketiga adalah pengetahuan kritis yang didukung oleh
Habermas dan pemikir mazhab Frankfurt pada umumnya. Kepentingan dasar yang
melekat pengetahuan jenis ini adalah emansipasi manusia .

Paradigma kritis yang dikembangkan oleh mazhab Frankfurt tidak meninggalkan


pengaruh yang mendalam pada aliran rekonstruksianisme sebagaimana halnya pada
pedagogik kritis. Rekonstruksianisme memandang pendidikan adalah upaya rekonstruksi
masyarakat secara terus menerus, bukan untuk merevolusi secara radikal suatu
masyarakat dan terjadi upaya destruksi terhadap tatanan sosial yang sudah mapan di
masyarakat tersebut.

Pandangan Filosofis Tokoh-tokoh Rekonstruksianisme


Rekonstruksianisme secara terminologis bukan sebuah filosofi dalam maknanya yang
tradisional, karena tidak sampai pada aspek epistemologi dan logika secara mendetail.
Hal ini dapat terlihat bahwa rekonstruksianisme lebih mencurahkan perhatian pada
rekonstruksi sosial dan budaya di mana kita berpijak. Bisa dikatakan bahwa
rekonstruksianisme hampir murni sebuah filsafat sosial, karena membawa penganutnya
tidak menjadi filosof professional, akan tetapi menjadi sarjana dan aktifis pendidikan
yang berkonsentrasi pada perbaikan kondisi sosial dan budaya .
Diantara tokoh rekonstruksianisme yang utama adalah George S. Counts (1889-1974).
Dia merupakan figur penting dalam pendidikan di Amerika selama beberapa tahun dan
menjadi professor pendidikan pada institusi pendidikan utama seperti universitas Yale,
Chicago dan Columbia, serta merupakan penulis lusinan buku yang mengandung banyak
aspek pendidikan, filsafat pendidikan dan sosiologi pendidikan . Pandangan sentral
Counts’ adalah ketika pendidikan dalam sejarah digunakan untuk mengenalkan peserta
didik pada tradisi, budaya, sosial dan kondisi budaya, dalam waktu yang sama telah
direduksi oleh sains modern, teknologi dan industrialisasi. Sehingga pendidikan sekarang
harus diarahkan pada kekuatan positif untuk membangun kultur budaya baru dan
mengeliminasi patologi sosial.

Dia menegaskan bahwa pendidikan harus memiliki visi dan prospek untuk perubahan
sosial secara radikal dan mengimplementasikan proyek tersebut. Counts’ menyeru para
pendidik untuk membebaskan diri dari kebiasaan pendidik yang merasa nyaman menjadi
pendukung status quo dan terjun bebas menjadi aktor perubahan sosial di masyarakat .
Dalam karya monumentalnya “Dare the School Build a New Social Order?” ia menulis:
Jika pendidikan progresif ingin sungguh-sungguh mendidik dan benar-benar progresif. Ia
harus membebaskan diri dulu dari pelukan kelas menengah, lalu menghadapi setiap isu
sosial dengan berani dan langsung, menjumpai kenyataan hidup yang paling jahannam
sekalipun tanpa memicingkan mata, memantapkan hubungan timbal balik yang organik
dengan komunitas, mengembangkan teori yang komprehensif dan realistis tentang
kesejahteraan, mengambil visi tentang takdir manusia secara tegas dan lantang dan
jangan cepat gemetar kalau bertemu dengan hantu yang bernama penanaman dan
indoktrinasi .

Selain Counts’, tokoh yang berpengaruh pada pengembangan pemikiran aliran


rekonstruksianisme adalah Theodore Brameld (1904-1987). Dia adalah penulis banyak
buku, diantaranya: Toward a Reconstructed Philosophy of Education, Education as
Power, dan Patterns of Educational Philosophy. Brameld mengajar filsafat dan filsafat
pendidikan, hidup dan mengajar di Puerto Rico, dan pernah mengajar di universitas
terkemuka di Amerika . Brameld melihat rekonstruksianisme sebagai filsafat kritis yang
tidak hanya mengapresiasi persoalan pendidikan, tetapi juga persoalan budaya. Dia
melihat masalah kemanusiaan sedang berada di simpang jalan dan hampir mengalami
kehancuran, hanya dengan berusaha penuh kita bisa menyelamatkan kemanusiaan
tersebut. Karenanya dia melihat rekonstruksianisme juga sebagai filsafat nilai. Nilai yang
dimaksud adalah nilai yang berdasarkan asas-asas supernatural yang menerima nilai
natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis .

Brameld juga menekankan untuk membangun tujuan-tujuan yang jernih untuk


pembebasan, dalam maksud lain dia menyebut persatuan dunia untuk menghilangkan
bias yang ditimbulkan nasionalisme yang sempit dan menyatukan komunitas ke dalam
pandangan dunia yang lebih luas. Hal tersebut akan menjadikan pemerintahan-
pemerintahan dunia dan peradaban-peradaban dunia di mana orang-orang dari seluruh
ras, negara, warna kulit dan kepercayaan ikut terlibat bersama dalam kedamaian dunia.
Menurutnya satu aktifitas filsafat yang utama adalah penjelajahan makna terhadap
perbedaan konsepsi dari pusat tujuan penyatuan dunia .

Rekonstruksianisme berusaha mencari kesepakatan semua orang tentang tujuan utama


yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tata susunan baru seluruh
lingkungannya. Tujuan ini hanya mungkin diwujudkan melalui usaha kerja sama semua
bangsa-bangsa. Secara ringkas rekonstruksianisme bercita-cita mewujudkan dan
melaksanakan sintesa, perpaduan ajaran Kristen dan demokrasi modern dengan teknologi
modern dan seni modern di dalam satu kebudayaan yang dibina bersama oleh seluruh
kedaulatan bangsa-bangsa sedunia. Rekonstruksianisme mencita-citakan terwujudnya
satu dunia baru, dengan satu kebudayaan baru di bawah satu kedaulatan dunia, dalam
kontrol mayoritas umat manusia.

Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan


tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual
yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina kembali manusia dengan nilai
dan norma yang benar pula demi generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia
baru dalam pengawasan umat manusia.Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa
masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat
secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi
yang sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi kenyataan,
sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta
keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,, keturunan, nasionalisme, agama
(kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.

Pokok-pokok Pemikiran Pendidikan Rekonstruksianisme


Diantara beberapa prinsip-prinsip pokok pemikiran yang dikembangkan
rekonstruksianisme dapat diuraikan sebagai berikut antara lain:
1. Dunia sedang dilanda krisis kemanusiaan, jika praktik-praktik pendidikan yang ada
tidak segera direkonstruksi, maka peradaban dunia yang ada akan mengalami
kehancuran. Krisis yang dimaksud adalah problem-problem sosial budaya yang timbul
akibat semrawutnya persoalan pendudukan, sumber daya alam yang kian menipis,
berakibat pada melonjaknya harga minyak dunia, kesenjangan global antara negara kaya
dan miskin, kapitalisme global, proliferasi nuklir, rasisme, nasionalisme sempit dan
penyalahgunaan teknologi. Seperti diketahui, teknologi saintifik adalah penyumbang
terbesar terjadinya peperangan dan bisa membunuh manusia secara efisien lebih dari
sebelumnya, tingginya tingkat kematian dari kecelakaan lalu-lintas dan industri menjadi
harga yang sangat mahal dari kehidupan yang serba mekanistik saat ini. Teknologi
saintifik juga menciptakan budaya rokok dan alkohol serta meningkatkan bahaya kimiawi
yang terkandung pada makanan dan lahan pertanian .

2. Perlunya sebuah tatanan sosial semesta. Maksudnya untuk mengatasi persoalan-


persoalan global tersebut, perlu kolaborasi menyeluruh dari seluruh antar elemen bangsa-
bangsa dunia untuk bersatu menciptakan tata sosial baru yang berasaskan keadilan dan
kepentingan kemanusiaan seluruh umat manusia sedunia, dan mengabaikan batasan-
batasan primordial seperti ras, warna kulit, suku, bangsa dan agama.
3. Pendidikan formal adalah agen utama dalam upaya rekonstruksi tatanan sosial. Aliran
rekonstruksianisme menilai sekolah-sekolah formal yang ada merefleksikan nilai-nilai
sosial dominan yang hanya akan mengalihkan patologi sosial, politik, ekonomi dan
budaya yang saat ini mendera umat manusia. Karena nya sekolah-sekolah formal harus
merekonstruksi secara mendasar peran tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi sosial.
Bagi mereka pendidikan dapat menjadi instrumen penting untuk membentuk keyakinan
masyarakat dan mengarahkan peralihannya ke masa depan .

4. Metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu


pada kecerdasan “asali” jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi
yang valid bagi persoalan-persoalan umat manusia. Dalam perspektif rekonstruksianis,
adalah sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di
ruangan kelas setelah para peserta didik diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk
memilih diantara keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, sosial. Di sisi lain
menyembunyikan pendirian-pendiriannya. Ia harus mau mengungkapkan dan
mempertahankan pemihakannya secara publik. Lebih dari itu rekonstruksianisme
mempunyai kepercayaan besar terhadap kecerdasan dan kemauan baik manusia .

5. Pendidikan formal adalah bagian tak terpisahkan dari solusi sosial dalam krisis dunia
global, dan terlibat aktif dalam mengajarkan perubahan sosial. Pendidikan harus
memantikkan kesadaran peserta didik akan problematika sosial dan mendorong mereka
untuk secara aktif memberikan solusi. Kesadaran sosial (social consciousness) dapat
ditumbuhkan dengan menanamkan sikap dan daya kritis terhadap isu-isu kontroversial
dalam agama, masyarakat, ekonomi, politik dan pendidikan. Kajian dan diskusi kritis
akan membantu para peserta didik melihat ketidakadilan dan ketidakfungsian beberapa
aspek sistem sekarang ini dan akan membantu mereka mengembangkan alternatif-
alternatif bagi kebijaksanaan konvensional.

Tujuan, Metode dan Kurikulum Pendidikan Rekonstruksianisme


Rekonstruksianisme menekankan pada kebutuhan akan perubahan, ini adalah cita-cita
dan tujuan utopis yang dihubungkan dengan kebudayaan dunia dan peradaban. Baginya
tujuan spesifik dari proses pendidikan adalah untuk mengakomodir perubahan sosial dan
aksi sosial. Tujuan pendidikan ini adalah sejenis perkembangan evolusioner dari
paradigma Hegelianisme yang dihubungkan dengan pragmatisme Dewey. Di mana
rekonstruksianis ingin melibatkan orang-orang untuk menjadi agen perubahan, dan
menolak untuk mengabstraksi filosofi pendidikan yang lebih menekankan pengetahuan
(knowing) daripada praktik (doing). Rekonstruksianis ingin memberangus mentalitas
“intelektual menara gading”, dengan melibatkan setiap orang pada partisipasi sosial yang
aktif, dan tidak memisahkan sekolah dari bagian masyarakat dan individu, karenanya
lebih menekankan penyatuan dari pada pola pikir fragmentaris. Komunitas dunia,
persaudaraan, dan demokrasi adalah tiga tujuan ideal yang dipercaya dan ingin
diimplementasikan oleh rekonstruksianis di sekolah dan di masyarakat. Sekolah-sekolah
seharusnya menerapkan ketiga tujuan ideal tersebut melalui kurikulum, administrasi
sekolah, dan praktik pengajaran .
Dalam hal metode, rekonstruksianisme ingin merubah metode pendidikan tradisional
yang memiliki kecenderungan mengikat diri pada status quo dan menolak untuk berubah.
Diantaranya para guru harus berperan aktif mengapresiasi nilai-nilai ideal di atas dan
tidak mengajarkan teks buku secara doktriner, karena hal itu akan membunuh kesadaran
kritis peserta didik, karena tidak jarang buku teks ajar yang ada mengandung banyak
distorsi dan membawa nilai-nilai dominan yang menghegemoni sebuah masyarakat dan
negara tertentu.

Pendidikan harus dihubungkan pada kepentingan aktif dalam aktifitas publik, contohnya
dengan menghadirkan seorang pakar dan ahli dalam bidang politik, sosial, budaya dan
sebagainya, di mana para peserta didik akan belajar melalui partisipasi aktif dalam
diskusi tanpa harus membuat para siswa kelelahan dengan kewajiban membaca dan
menghapal buku teks ajar. Selain itu para guru mulai memfokuskan pada kritik isu-isu
sosial kontemporer yang biasanya tidak tersentuh pada buku teks ajar yang ada. Sehingga
para guru harus menjadi lebih kritis, analitis dan tidak diskriminatif dalam menjustifikasi
suatu permasalahan.

Dalam metode pengajaran, para guru mengaktifkan para siswa pada proses belajar
kelompok, dimana para peserta didik melakukan pendeteksian suatu masalah dan
kemudian diajarkan bagaimana caranya memecahkan permasalahan tersebut. Dalam
upaya pemecahan masalah tersebut, para siwa dibimbing untuk berfikir kritis dan kreatif,
sehingga melahirkan pembuatan keputusan yang brilian. Selain itu peserta didik diajarkan
simulasi komputer, kemagangan, pengenalan studi kerja, bermain peran, pembelajaran
kooperatif, dan penelitian tindakan metafor. Adapun manajemen kelas yang dipakai
adalah model resolusi konflik, eksperimentasi, optimisme, fleksibilitas dan
pengembangan komunitas.

Mengenai kurikulum, rekonstruksianisme mengorganisir kurikulum yang oleh Brameld


disebut “the wheel” (roda) kurikulum, di mana inti (core) tujuan pendidikan versi
rekonstruksianisme menjadi inti dari kurikulum “roda” tersebut dan menjadi tema sentral
pendidikan. Kurikulum ini bersifat sentripetal sekaligus sentrifugal, sentripetal karena
akan membawa masyarakat atau komunitas bersama kepada studi yang bersifat umum.
Sentrifugal karena akan meningkatkan proyeksi pendidikan di sekolah-sekolah formal ke
dalam komunitas yang lebih luas. Hal tersebut secara tidak langsung akan menciptakan
transformasi kultural di dalam hubungan yang dinamis antara sekolah dan masyarakat .

Implikasi pemikiran filosofis rekonstruksianisme dalam kurikulum diarahkan kepada


penumbuhan kesadaran kritis peserta didik dengan model keaksaraan kritis pada materi
yang diajarkan. Selain itu kurikulum ditekankan pada upaya membangun kesadaran
polyculture dengan mengapresiasi keragaman budaya, adat istiadat suatu suku tertentu
untuk menanamkan nilai-nilai pluralisme kultural. Demikian pula proyeksi hubungan
kemanusiaan dan aspek politik harus ditekankan baik secara eksplisit maupun implisit
dalam upaya menumbuhkan kesadaran politik para peserta didik sehingga “nalar kritis”
terhadap berbagai macam ketimpangan sosial dan politik yang diakibatkan oleh
kesewenang-wenangan status quo, dapat menjadi modal dasar untuk melahirkan agen-
agen perubahan sosial dimasa selanjutnya.

Persoalan perubahan ekonomi dan kehidupan nyata juga menjadi titik tekan utama aliran
rekonstruksianisme, dalam rangka melacak peranan perubahan ekonomi, kebijakan
ekonomi status quo yang menimbulkan akibat-akibat baik positif maupun negatif pada
kehidupan bermasyarakat suatu negara. Pada puncaknya, kurikulum diatur sedemikian
rupa untuk merespon perlunya sebuah tatanan sosial yang mendunia, di mana para
peserta didik tidak memiliki pemahaman yang fragmentaris, agar persoalan-persoalan
primordial seperti keyakinan, ras, warna kulit, suku dan bangsa tidak menjadi alasan
terjadinya krisis kemanusiaan, seperti permusuhan, kebencian dan perang.

Rekonstruksianisme mengajukan kurikulum semesta yang menekankan pada kebenaran,


persaudaraan dan keadilan. Mereka menolak kurikulum parokial yang sempit dan hanya
membawa kepentingan ideal komunitas lokal tertentu . Contohnya, pengajaran sejarah
dunia semestinya juga diarahkan pada kerja-kerja kontemporer lembaga-lembaga
internasional seperti PBB, ASEAN, OKI dan lain-lain. Kurikulum juga diorientasikan
pada aksi peserta didik, seperti gerakan mengumpulkan dana amal, terlibat dalam petisi,
protes atau demo bersama masyarakat untuk merespons kebijakan negara yang
menimbulkan problematika sosial.

Peserta didik tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga belajar pada fenomena sosial yang
ada seperti kemiskinan, perusakan alam, polusi udara, pemanasan global, pornografi dan
lain-lain. Oleh karena itu rekonstruksianisme menjadikan aspek-aspek sosial, budaya dan
isu-isu kontemporer menjadi muatan inti kurikulum, agar peserta didik memiliki
kepekaan dan empati sosial. Kurikulum tersebut harus mulai diimplementasikan sejak
Taman Kanak-Kanak, yaitu pada usia yang paling peka. Dengan demikian, peserta didik
dapat menjadi penggerak utama pencerahan problem-problem sosial dan menjadi agitator
utama perubahan sosial.

Kritik Terhadap Rekonstruksianisme


Filosofi pendidikan rekonstruksianisme merupakan respon terhadap fenomena
pendidikan di Amerika, sehingga secara tidak langsung gagasan ini muncul sesuai dengan
kondisi demografis-sosiologis Amerika yang sangat multikultur dan multietnik. Apabila
ingin diterapkan di Indonesia maka harus ditinjau kembali apakah gagasan tersebut layak
atau tidak untuk diterapkan pada dunia pendidikan di Indonesia.

Paradigma utopian yang sangat kental dari filosofi pendidikan rekonstruksianisme


membuat gagasan-gagasan yang ada di dalamnya justru menjadi sangat teoritik dan
cenderung tidak realistik. Karena gagasan seperti pembentukan tatanan sosial baru yang
sangat ideal sebagai solusi atas bencana kemanusiaan yang terjadi, ibarat “mimpi disiang
bolong”, sebab upaya utopis tersebut seolah mengabaikan kondisi rill umat manusia saat
ini.

Selain itu, tawaran pemikiran yang direkomendasikan oleh rekonstruksianisme, seperti


keterlibatan aktif dunia pendidikan pada dunia politik, akan berdampak buruk pada
aktifitas pendidikan yang secara akademik terlalu sakral untuk kemudian dicemari oleh
intrik-intrik politik yang kotor dan menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsu
kekuasaan sebuah kelompok politik tertentu. Selain itu tidak bisa digeneralisir bahwa
semua peserta didik harus melek politik, budaya, sosial dan ekonomi, karena pendidikan
itu mencakup segala bidang perhatian.

Filosofi rekonstruksianisme bersifat makro, dan kurang menitikberatkan pada individu,


padahal pendidikan seharusnya bertujuan untuk membangun kepribadian yang di
dalamnya terdapat kebagusan akal budi dan moralitas individu (ahlak). Pendidikan tidak
hanya ingin melahirkan para aktivis sosial, akan tetapi juga manusia yang bermoral,
berkarakter, dan memiliki spiritualitas cukup. Apabila kesemua hal ini terpenuhi, maka
otomatis kepedulian sosial sang anak akan muncul dengan sendirinya.

Aliran Perennialisme
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang
pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Perennialisme adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap gerakan Pendidikan
Prigresivisme yang mengingkari supernatural. Perennialisme adalahgerakan pendidikan
yang mempertahankan bahwa nilai-nilai universal itu ada, dan bahwa pendidikan
hendaknya merupakan suatu pencarian dan penanaman kebenaran-kebenaran dan nilai-
nilai tersebut. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan
sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan
tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum
yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh
pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler .

Robert M. Hutchins merangkum tugas pendidikan sebagai berikut : Pendidikan


mengandung mengajar. Mengajar mengandung pengetahuan. Penegtahuan
adalah kebenaran. Kebenaran, di mana pun adalah saqma. Karena itu pendidikan di mana
pun seharusnya sama.
Hutchins adalah juru bicara utama bagi filsafat kaum Perennialisme di Amerika dan
sebuah semua kritik yang penting tentang praktek pendidikan, khususnya pendidikan di
perguruan tinggi, selama paruh pertama abad 20. Ia merasakan kekacauan dalam
pendidikan tinggi disebabkan oleh tiga kelompok utama dalam masyarakat, yaitu:
1.) kecintaan pada uang.
2.) Suatu konsep yang keliru tentang demokrasi, dan
3.) Suatu gagasan yang keliru tentang kemajuan.
Ia terutama menentang kecenderungan mengidentifikasi kemajuan dengan akumulasi
yang tepat tentang informasi. Dalam pendekatan semacam ini, pengahargaan terhadap
fakta secara logis mendorong pada pengajaran tentang fakta–tetapi ia beragumentasi
bahwa fakta tidak selamanya berlaku, dan berdasarkan generasi geometris tentang fakta
baru yang berkembang cepat, bagaimanakah usul kita menangani hal tersebut? Ia
berpendapat bahwa akan jauh lebih berarti apabila mengutamakan belajar di sekolah
dengan belajar pemikiran klasik dan intelektual, yang merupakan kekuatan dan hal yang
penting dari akal pikiran manusia.
Ketika menjadi Presiden Universitas Chicago (1929-1945), sebuah posisi yang diraihnya
pada usia 30 tahun, Hutchins berbuat banyak hal untuk memajukan gerekan pendidikan
liberal. Ia menghapuskan kelompok-kelompok persaudaraan, sepak bola, wajib hadir, dan
sistem kredit. Ia merasa bahwa belajar untuk belajar itu sendiri dirusak oleh konsep
universitas yang hanya mempersipakan mahasiswanya untuk bekerja. Penekanan pada
kemajuan ini membuatnya sangat merendahkan pendidikan “Melatih” seorang anak muda
hanya untuk melakukan suatu tugas yang rendahan seperti: konsmetologogi, montir
mobil, atau perbaikan TV, dan ini atas biaya suatu pendidikan, jumlah seluruhnya, hanya
untuk merendahkan sifat manusia. Ia meyakini yang sebaliknya, bahwa universitas harus
menyediakan suatu pendidikan liberal dan pelatihan praktis tersebut hendaknya terjadi di
lembaga-lembaga teknis. Dalam masa menjadi presiden di Universitas Columbia, ia
menulis dan memberikan kuliah. Ia mengunggulkan prestasi intelektual dan menegakkan
perlunya melestarikan tradisi pemikiran Barat secara akademis.

Tokoh aliran Perenialisme adalah Plato, Aris-toteles, dan Thomas Aquino. Perenialisme
memandang bahwa kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu
dijadikan dasar pendidikan sekarang. Pandangan aliran ini tentang pendidikan adalah
belajar untuk berpikir. Oleh sebab itu, peserta didik harus dibiasakan untuk berlatih
berpikir sejak dini. Pada awalnya, peserta didik diberi kecakapan-kecakapan dasar seperti
membaca, menulis, dan berhitung. Selanjutnya perlu dilatih pula kemampuan yang lebih
tinggi seperti berlogika, retorika, dan bahasa.

Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti


sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum
yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan
segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan
spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah
dapat dipandang baik. Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan
kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada
prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita
hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan bahwa persoalan
nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu
dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.

Orientasi pendidikan dari Perennialisme adalah Scholastisisme atau Neo-Thomisme,


yang pada dasarnya memandang kenyataan sebagai sebuah dunia akal pikiran dan Tuhan,
pengetahuan yang benar diperoleh melalui berpikir dan keimanan, dan kebaikan
berdasarkan perbuatan rasional. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan
kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan
sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan
zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Dari pendapat ini diketahui bahwa
perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi sseorang
untukk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari
dan menemukan arah arsah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat,
khususnya filsafat pendidikan.Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan
filsafat yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir
secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan.

Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang


untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan
yang cukup, orang akan mampu mengenal dan memahami factor-faktor dan problema
yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya.Diharapkan
anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan
pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa
lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol seperti
bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam,
dan lain-lainnya, yang telah banyak memberikan sumbangan kepadaperkembangan
zaman dulu.

Tugas utama pendidiakn adalah mempersiapkan anak didik kea rah kematangan. Matang
dalam arti hiodup akalnya. Jadi, akl inilah yang perlu mendapat tuntunan kea rah
kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba
dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis, dan berhitung,
anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.Sekolah,
sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempesiapkan anak didik ke arah kematangan
akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan
pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain,
keberhasilan anak dalam nidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang
yang telah mendidik dan mengajarkan.

Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:Program pendidikan yang


ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato).
Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai
alat untuk mencapainya (Aristoteles)Pendidikan adalah menuntun kemampuan-
kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas) Beberapa
tokoh lain pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer
Adler.Adapun norma fundamental pendidikan menurut J. Maritain adalah cinta
kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap
eksistensi serta cinta kerjasama.

Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua
puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang
baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan
sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan
tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum
yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji.

Aliran perennialisme meliputi:


a) seni dan sains dengan dimensi perennial yang bersifat integral dengan sejarah manusia,
b) Pertama yang harus diajarkan adalah tentang manusia, bukan mesin atau teknik.
Sehingga tegas aspek manusiawinya dalam sains dan nalar dalam setiap tindakan.
c) mengajarkan prinsip-prinsip dan penalaran ilmiah, bukan fakta,
d) mencari hukum atau ide yang terbukti bernilai bagi dunia yang kita diami,
e) Fungsi pendidikan adalah untuk belajar hal-hal tersebut dan mencari kebenaran baru
yang mungkin,
f) Orientasi bersifat philosophically-minded (fokus pada perkembangan personal),
memiliki dua corak, yaitu:
(1) Perennial Religius. Membimbing individu kepada kebenaran utama (doktrin, etika
dan penyelamatan religius). Memakai metode trial and error untuk memperoleh
pengetahuan proposisional.
(2) Perennial Sekuler. Promosikan pendekatan literari dalam belajar serta pemakaian
seminar dan diskusi sebagai cara yang tepat untuk mengkaji hal-hal yang terbaik bagi
dunia (Socratic method). Disini, individu dibimbing untuk membaca materi pengetahuan
secara langsung dari buku-buku sumber yang asli sekaligus teks modern.

Teori Pendidikan
a) Tujuan pendidikan
Membantu anak menyingkap dan menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki. Oleh karena
kebenaran-kebenaran tersebut universal dan konstan, maka kebenaran-kebenaran tersebut
hendaknya menjadi tujuan-tujuan pendidikan yang murni. Kebenaran-kebenaran hakiki
dapat dicapai dengan sebaik-baiknya melalui:
1) Latihan intelektual secara cermat untuk melatih pikiran, dan
2) Latihan karakter sebagai suatu cara mengembangkan manusia spritual.
b) Metode Pendidikan
Latihan mental dalam bentuk diskusi, analisis buku melalui pembcaan buku-buku
tergolonmg karya-karya besar, buku-buku besar tentang peradaban Barat.
c) Kurikulum
Kurikulum berpusat pada mata pelajaran, dan cenderung menitikberatkan pada: sastra,
matematika, bahasa, dan humaniora, termasuk sejarah. Kurikulum adalah pendidikan
liberal.
d) Pelajar
Makhluk rasional yang dibimbing oleh prinsip-prinsip pertama, kebenaran-kebenaran
abadi, pikiran mengangkat dunia dunia biologis.
e) Pengajar
1) Guru mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaraan kegitan belajar-
mengajar di kelas.
2) Guru hendaknya orang yang telah menguasai suatu cabang, seorang guru yang ahli
(a master teacher) bertugas membimbing diskusi yang akan memudahkan siswa
menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang tepat, dan wataknya tanpa cela. Guru
dipandang sebagai orang yang memiliki otoritas dalam suatu bidang pengetahuan dan
keahliannya tidak diragukan.

Pembimbing berfungsi memformulasikan masalah yang kemudian didiskusikan dan


disimpulkan oleh kelas. Sehingga, dengan iklim kritis dan demokratis yang dibangun
dalam kultur ini, individu dapat mengetahui pendapatnya sendiri sekaligus menghargai
perbedaan pemikiran yang ada.

Perenialisme hampir sama dengan essensialisme, tetapi lebih menekankan pada


keabadian atau ketetapan atau kehikmatan ( perennial = konstan ). Yang abadi adalah (1)
pengetahuan yang benar, (2) keindahan, dan (3) kecintaan kepada kebaikan. Prinsip-
prinsip pendidikannya: (1) pendidikan yang abadi, (2) inti pendidikan mengembangkan
keunikan manusia yaitu kemampuan berfikir, (3) tujuan belajar mengenalkan kebenaran
abadi dan universal, (4) pendidikan merupakan persiapan bagi hidup yang sebenarnya,
(5) kebenaran abadi diajarkan melalui pelajaran dasar, yang mencakup bahasa,
matematika, logika, IPA dan sejarah. Ada persamaan antara perenialisme dan
esensialisme, yakni keduanya membela kurikulum tradisional yang berpusat pada mata
pelajaran yang pokok-pokok (subject centered).

Perbedaannya ialah pernialisme menekankan keabadian teori kehikmatan, yaitu:


1) Pengetahuan yang benar (truth).
2) Keindahan (beauty).
3) Kecintaan kepada kebaikan (goodness).
Juga sebaliknya kurikulum bersifat wajib dan berlaku umum, yang harus mencakup:
1) Bahasa.
2) Matematika.
3) Logika.
4) Ilmu Pengetahuan Alam.
5) Sejarah.
Dalam mahzab atau aliran ini menggambarkan pendidikan yang menekankan pentingnya
penanaman nilai kebenaran, keindahan, kebaikan. Hal ini juga sesuai dengan realitas
kehidupan manusia yang di dalam dirinya selalu condong kepada kebaikan dan
kebenaran yang bisa diterima oleh masyarakat umum. Jika hal tersebut tidak tampak
dalam penyelenggaraan pendidikan maka akan tidak bisa diterima dan menimbulkan pro
dan kontra.

Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog Italia. la
dipandang sebagai cikal-bakal lahirnya Konstruksionisme. la mengatakan bahwa Tuhan
adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan (Paul Suparno, 1997:
24). Mengerti berarti mengetahui sesuatu jika ia mengetahui. Hanya Tuhan yang dapat
mengetahui segala sesuatu karena dia pencipta segala sesuatu itu. Manusia hanya dapat
mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi Vico, pengetahuan dapat
menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas dari subjek
yang mengetahui.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean Piaget. Melalui teori perkembangan kognitif, Piaget
mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu
dengan lingkungannya. Artinya, pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu
barang. Menurut Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman
dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat terbentuk
pengertian baru (Paul Supamo, 1997: 33).
Piaget juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses
dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru
dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur
kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang secara
terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Suwardi, 2004: 24).
Kesimpulannya, aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil
konstruksi kognitif dalam diri seseorang; melalui pengalaman yang diterima lewat
pancaindra, yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa.
Dengan demikian, aliran ini menolak adanya transfer pengetahuan yang dilakukan dari
seseorang ke-pada orang lain, dengan alasan pengetahuan bukan barang yang bisa
dipindahkan, sehingga jika pembelajaran ditujukan untuk mentransfer ilmu, perbuatan itu
akan sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi ini akan berbeda jika pembelajaran ini ditujukan
untuk menggali pengalaman.

Implikasi Kebijakan
Dialektika pemikiran pragmatisme, sebenarnya, tidak saja berimplikasi pada konstruksi
teori-teori dan praktik ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga berdampak pada
aplikasi sistem, struktur dan tujuan(Yudhis M. Burhanuddin, google 2010). Di sinilah
sebenarnya relevansi dari wacana yang mengatakan bahwa realitas dunia ini terdiri atas
struktur-struktur atau bangunan-bangunan yang tidak nyata, tetapi ia bisa menemukan
konvergensinya dalam praktik hidup sehari-hari. Dari sana pula, sistem pendidikan
mengalami tahap-tahap evolusi yang terus berkembang sampai hari ini, baik pada
substansi ataupun pragmatisnya. Singkatnya lagi, pendidikan manusia itu (untuk apa) jika
bukan untuk mengaplikasi.

Maka di saat yang bersamaan itu pragmatisme unggul di atas idealisme karena berbagai
faktor, tetapi yang terutama karena ada semacam Being by the biggest design. Idealisme
pendidikan pun dibalikkan logikanya sekaligus rontok, bukan lagi pada tataran ideal,
Being for the biggest design. Maksudnya, pendidikan pun sebagai salah satu aspek hidup
dan kehidupam manusia mengalami degradasi yang hebat karena tekanan dari
pertarungan dua konsep pemikiran besar itu. Kondisi ini semakin memburuk ketika
kapitalisme global memihak pada salah satu dari kedua pemikiran itu yaitu, pragmatisme
pemikiran.

Intinya adalah, sistem dan materi pendidikan harus didasarkan pada nilai pakainya. Untuk
apa konsep nilai pakai ini dan siapa yang menginginkan nilai pakai itu. Tentu sangat
mudah menjawabnya; bahwa hal itu mengingat kebutuhan global sekarang bukan pada
penciptaan kembali ide-ide, tetapi mengaplikasi ide-ide untuk realitas dalam hal ini
menguatkan kemapanan kapitalisme global. Sekali lagi, kita dididik untuk memapankan
sistem kapitalisme global. Di saat bersamaan, Ivan Illich menyebut fenomena ini sebagai
''Industrialisasi Manusia'' dan ''Monopoli Radikal'' yang menciptakan kemiskinan modern.

Kolaborasi berbagai konsep teori tentang pendidikan itu oleh pemerintah dituangkan
dalam berbagai regulasi baik berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan,
Instruksi. Reformasi pendidikan menengah kejuruan telah digulirkan sejak tahun 1993
yang ditandai dengan visi bahwa SMK harus secara kuat menunjang perkembangan
ekonomi nasional, maka salah satu strategi operasional diberlakukannya Pendidikan
Sistem Ganda sebagai pola umum penyelenggaraan Kurikulum SMK yang merupakan
bentuk implementasi dari kebijakan Link and Match dalam rangka mendekatkan relevans
antar kualifikasi ketrampilan tamatan SMK dengan kualifikai ketrampilan jabatan kerja.
Dimensi Reformasi (Paradigma Baru) sebagai Strategi implementasi pendidikan
menengah kejuruan sebagaimana yang telah digariskan pada Program Pembangunan
Nasional (Propenas), ditandai dengan VISI 2006 “Pendidikan menengah kejuruan sebagai
pusat layanan penyiapan tenaga kerja tingkat menengah yang trampil, terdidik,
professional dan berdaya saing sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional”.

Era reformasi, Era Otonomi Daerah dan persiapan Era Global, diantisipasi dengan arah
kebijakan Menteri Pendidikan Nasional dengan pendidikan berorientasi Kecakapan
Hidup ( Life Skill Education ) yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk dapat
memiliki kecakapan dan keberanian untuk mengatasi permasalahan dalam kehidupan,
melalui pendekatan pendidikan yang berbasis luas dan mendasar (Broad Based Education
) yang diberlakukan untuk pendidikan yang bersifat regular maupun non-regular.
Arah kebijakan Direktorak Pendidikan Menengah Kejuruan melalui Reposisi Pendidikan
kejuruan menjelang 2020 melalui pendekatan pendidikan yang berbasis luas dalam
rangka peningkatan dan pengembangan pengelolaan SMK melalui (1) Re-engineering
SMK dalam rangka manata ulang program keahlian di SMK dan meningkatkan peran
SMK menjadi Pusat Pelatihan Kejuruan Terpadu dan (2) Re-engineering pendidikan
kejuruan untuk mendorong terciptanya system pendidikan yang permeable dan fleksibel.

Berlandaskan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No. 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan,dll. Perubahan kebijakan proporsi pendidikan untuk menciptakan lebih
banyak sekolah menengah kejuruan (SMK) dibandingkan dengan sekolah menengah atas
(SMA) dengan rasio 70-30. Kebijakan ini amat reaksioner, tidak memerhatikan
kepentingan jangka panjang kebutuhan nasional bangsa akan lahirnya generasi peneliti
dan tenaga-tenaga terdidik secara akademis.

Di banyak tempat, perubahan rasio ini telah mematikan SMK-SMK swasta yang sudah
mengalami krisis siswa sejak beberapa tahun. Partisipasi masyarakat dalam dunia
pendidikan berkurang karena matinya sekolah-sekolah kejuruan swasta akibat kebijakan
pemerintah dalam mendirikan SMK hingga ke pelosok. Perlu diingat, banyaknya
pengangguran terdidik dari perguruan tinggi ataupun lulusan SMA tak akan serta-merta
diatasi dengan mendirikan SMK. Masalah pengangguran bukan soal utama dunia
pendidikan, tetapi persoalan politik ekonomi yang kurang mampu memberikan keadilan
bagi terciptanya lapangan pekerjaan. Sekolah tidak memiliki tanggung jawab
menciptakan lapangan pekerjaan. Tugas mereka adalah mendidik dan membentuk mereka
menjadi individu yang cerdas sehingga mereka menjadi lebih bermartabat dan dapat
berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.

Selain itu, perubahan proporsi ini akan memperkecil kesempatan siswa masuk perguruan
tinggi (PT). Pada masa depan, PT memiliki posisi strategis dalam menjaga
keberlangsungan hidup masyarakat melalui kinerja penelitian dan keilmuan yang
dimiliki. Kita akan kehilangan banyak dokter, peneliti, ilmuwan, dan lainnya karena
kebijakan pendidikan kita lebih mengarahkan siswa pada akuisisi kemampuan dan
keterampilan teknik, sedangkan refleksi filosofis intelektual yang memiliki rigoritas
akademis kian berkurang.

Efektivitas kebijakan Pendidikan : tanpa evaluasi


Efektivitas kebijakan pendidikan selama ini berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring
yang memadai. Sulitnya mengontrol perilaku birokrasi pengelola kebijakan pendidikan
hanya salah satu bukti yang menunjukkan bahwa reformasi birokrasi yang kita inginkan
tak pernah berjalan. Penyebabnya antara lain ketiadaan unsur masyarakat ketika sebuah
kebijakan hendak diakuisisi ke dalam bentuk program. Padahal sejatinya kesempatan
masyarakat untuk terlibat dan memberikan masukan terhadap suatu kebijakan haruslah
dibuka peluangnya.

Hasil riset di beberapa negara menunjukkan bahwa persoalan pendidikan lebih sering
dikemas dalam balutan politik secara serampangan. Maka hasilnya adalah tumbuhnya
situasi yang tidak seimbang dan tidak konsisten menyangkut relasi antara sesama
birokrat, politisi, dan masyarakat. Meskipun dalam lima tahun terakhir ini kita banyak
menghasilkan peraturan dan perundangan mengenai pendidikan, dalam praktiknya terjadi
banyak overlaping dan kesalahan dalam implementasi program-program pendidikan
(Gary K Clabaugh dan Edward G Rozyki: 2006). Inefektivitas akan terjadi lagi di
Indonesia dalam lima tahun ke depan jika dari sekarang baik para politisi, birokrat, dan
masyarakat tidak memiliki konsensus ke mana tujuan pendidikan akan diarahkan.

Ada enam pilar pendidikan yang direkomendasikan UNESCO yang dapat digunakan
sebagai prinsip pembelajaran yang bisa diterapkan di dunia pendidikan.
1. Learning to Know
Learning to know bukan sebatas mengetahui dan memiliki materi informasi sebanyak-
banyaknya, menyimpan dan mengingat selama-lamanya dengan setepat-tepatnya, sesuai
dengan petunjuk'petunjuk yang telah diberikan, namun juga kemampuan dalam
memahami makna di balik materi ajar yang telah diterimanya. Dengan learning to know,
kemampuan menangkap peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah diharapkan bisa
berkembang yang tidak hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga secara
transendental, yaitu kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual.
2. Learning to Do
Learning to do merupakan konsekuensi dari learning to know. Kelemahan model
pendidikan dan pengajaran yang selama ini berjalan adalah mengajarkan "omong" (baca:
teori), dan kurang menuntun orang untuk "berbuat" (praktek). Semangat retorika lebih
besar dari action. Yang dimaksud learn¬ing to do bukanlah kemampuan berbuat mekanis
dan pertukangan tanpa pemikiran. Dengan demikian, peserta didik akan terus belajar
bagaimana memperbaiki dan menumbuhkembangkan kerja, juga bagai¬mana
mengembangkan teori atau konsep intelektualitasnya.
3. Learning to Be
Melengkapi learning to know dan learning to do, Robinson Crussoe berpendapat bahwa
manusia itu hidup sendiri tanpa kerja sama atau saling tergantung dengan manusia lain.
Manusia di era sekarang ini bisa hanyut ditelan masa jika tidak berpegang teguh pada jati
dirinya. Learning to be akan menuntun peserta didik menjadi ilmuwan sehingga mampu
menggali dan menentukan nilai kehidupannya sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai
hasil belajarnya.
4. Learning to Live Together
Learning to live together ini merupakan kelanjutan yang tidak dapat dielakkan dari ketiga
poin di atas. Oleh karena itu, premis ini menuntut seseorang untuk hidup bermasyarakat
dan menjadi educated person yang bermanfaat baik bagi diri dan masyarakatnya maupun
bagi seluruh umat manusia.
5. Learning How to Learn
Sekolah boleh saja selesai, tetapi belajar tidak boleh berhenti. Pepatah, "Satu masalah
terjawab, seribu masalah menunggu untuk dijawab", seakan sudab menjadi hal yang tidak
bisa dihindarkan dalam kehidupan yang serba modern ini. Oleh karena itu, Learning How
to Leam akan membawa peserta didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan
strategi dan kiat belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif, efisien, dan
penuh percaya diri, karena masyarakat baru adalah learning society atau knowledge
society. Orang-orang yang mampu menduduki posisi sosial yang tinggi dan penting
adalah mereka yang mampu belajar lebih lanjut.
Learning How to Learn memerlukan model pembelajaran baru, yaitu pergeseran dari
model belajar "memilih" (menghafal) menjadi model belajar "menjadi"
(mencari/meneliti). Asumsi yang digunakan dalam model belajar "memiliki" adalah
"pendidik tahu", peserta didik tidak tahu. Oleh karena itu, pendidik memberi pelajaran,
peserta didik menerima. Yang dipentingkan dalam model belajar "memiliki" ini adalah
penerima pelajaran, yang akan menerima sebanyak-banyaknya, menyimpan selama-
lamanya, dan menggunakannya sesuai dengan aslinya serta menurut instruksi yang telah
diberikan. Sebaliknya, pada proses belajar "menjadi", peserta didik sendiri yang mencari
dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidik
dituntut membimbing, memotivasi, memfasilitasi, memprovokasi, dan memersuasi.
6. Learning Throughout Learn
Perubahan dan perkembangan kehidupan berjalan terus menerus yang semakin keras dan
rumit. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali harus belajar terus menerus sepanjang
hayat. Learning Throughout Life ini menuntun dan memberi pencerahan pada peserta
didik bahwa ilmu bukanlah hasil buatan manusia, tetapi merupakan hasil temuan atau
hasil pencarian manusia. Karena ilmu adalah ilmu Tuhan yang tidak terbatas dan harus
dicari, maka upaya mencarinya juga tidak mengenal kata berhenti.

Bertolak dari butir-butir tersebut, gagasan paradigma baru pendidikan Indonesia dalam
abad mendatang adalah: pertama, mengubah dan mengembangkan paradigma lama
menjadi paradigma baru. Tinggalkan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan kondisi
terkini. Kembangkan nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan, dan
ciptakan pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan atau tantangan zaman. Termasuk
di sini adalah perubahan pendekatan dalam pendidikan yang sentralistik dan segregatif,
serta mewujudkan pendidikan masa depan dan nasional menuju terwujudnya suatu
masyarakat dunia yang damai. Pendidikan untuk perdamaian dunia hanya mungkin
terwujud di dalam suatu pendidikan yang dimulai di dalam masyarakat lokal yang
berbudaya.
Kedua, perlunya perubahan metode penyampaian materi pendidikan. Metode yang kita
gunakan selama ini rasanya terlampau banyak menekankan penguasaan informasi untuk
menyelesaikan masalah. Akibatnya, kita hanya mengutamakan manusia yang patuh dan
kurang memikirkan terbinanya manusia kreatif. Ketiga, paradigma pendidikan agama
yang eksklusif, dikotomis, dan parsial harus diubah menjadi pendidikan yang inklusif,
integralistik, dan holistis.

Pembaharuan kebijakan pendidikan melalui konsensus antara birokrat dan komunitas


masyarakat sekolah tampaknya harus dijadikan prioritas Mendiknas saat ini. Dan itu
harus dijadikan bingkai dialog secara terbuka antarbirokrasi di tingkat pusat dan daerah
dalam mencermati dan membuat rancangan program pembaharuan pendidikan ke depan.
Melacak isu dan mengembangkan pendekatan adalah bagian penting dari sebuah
konsensus. Konsensus dalam bidang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka
mengetahui harapan (expectations) masyarakat terhadap suatu isu dan menyepakati
(consensus) bagaimana melakukannya, dengan tidak lupa memberi peran (tasks) mereka
untuk terlibat secara langsung dalam memecahkan masalah tersebut. Apa yang menjadi
janji-janji birokrat dalam menangani isu tersebut dapat dievaluasi dan dimonitoring
secara bersama. Tinggal lagi tugas dan peran para politikus dan birokrat untuk
menunjukkan sumber daya (resources) yang memungkinkan sebuah isu dapat
diselesaikan secara bersama-sama (Charles Perrow, 1979).

Cara lain untuk mengukur tingkat efektivitas kebijakan juga bisa dilihat dari tingkat
sekolah. Kelas dan sekolah harus dijadikan cermin oleh birokrasi pendidikan bagaimana
sebenarnya sistem pendidikan kita ditegakkan dan dijalankan. Karena itu kebebasan
akademis dari para guru, kepala sekolah, siswa, dan masyarakat harus tecermin kuat
dalam program penguatan kapasitas guru dan sekaligus kapasitas peran serta masyarakat
yang berkesinambungan. The primacy of teachers harus menjadi prioritas bukan hanya
aspek kesejahteraannya, tetapi juga kapasitasnya. Karena tanpa kapasitas yang mumpuni
para guru akan semakin terjebak pada rutinitas mengajar yang formal, di mana guru
selalu ingin memaksakan prakonsepsi tertentu kepada pikiran para siswa tinimbang
sebagai fasilitator yang akan membuat para siswa lebih kreatif dan terbuka (Hatch,
White, & Faigenbaum, 2005).

Relasi kebijakan dan politik pendidikan


Isu lain yang selalu erat kaitannya dengan kebijakan pendidikan adalah politik
pendidikan. Sebagai salah satu skema dalam menangani dan mendiskusikan sekaligus
menganalisis proses penetapan kebijakan pendidikan dan menempatkannya di dalam
wilayah publik (public space) yang sangat terbuka untuk didebat dan dipersoalkan, politik
pendidikan biasanya sangat peka terhadap isu-isu yang bersifat normatif dan teknis
pendidikan, serta menangani persoalan tersebut pada semua level; sekolah, masyarakat,
eksekutif, dan legislatif.

Politik pendidikan, dengan demikian, selalu berhubungan dengan kebijakan publik


(public policy) yang disusun dan dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan publik.
Dalam kesimpulan Norton (1996) dan Sergiovanni (1992), dalam politik pendidikan
terdapat paling tidak empat sumber nilai yang dianggap sangat fundamental dan
berhubungan dalam pengambilan kebijakan di bidang pendidikan, yaitu soal pilihan
(choice), kualitas (quality), efisiensi (efficiency), dan kesetaraan (equity).

Dengan menggunakan definisi perilaku yang dibuat oleh Marshall (1989) dalam Culture
and Education Policy in the American State, pilihan adalah sebuah nilai yang
mengandung opsi untuk seperangkat aksi seperti mandat negara untuk menentukan jenis
dan sistem pendidikan yang ingin diselenggarakan. Dalam kasus Indonesia, pilihan
tentang sekolah umum dan sekolah agama (madrasah), pilihan tentang ujian nasional
sebagai standar kelulusan siswa atau bukan, misalnya, adalah persoalan yang seharusnya
didiskusikan secara publik.

Nilai kedua, yaitu kualitas adalah sesuatu yang terbaik (the best) dalam konteks kebijakan
publik dan sesuai dengan pandangan dan harapan publik itu sendiri. Dalam kasus
Indonesia, jika kualitas pendidikan berarti meningkatkan taraf hidup masyarakat,
misalnya, maka proficiency dari kualitas harus sepenuhnya difasilitasi oleh negara
dengan cara bagaimana negara menyediakan sumber daya yang bisa mendukung ke arah
kualitas tersebut.

Menyangkut efisiensi, nilai ini dapat didefinisikan baik dari sudut pandang ilmu ekonomi
maupun akuntabilitas. Dari segi ekonomis, efisiensi berarti bahwa pendidikan harus
bernilai efisien dari segi pembiayaan. Dalam kerangka akuntabilitas, efisiensi berarti
membutuhkan struktur organisasi birokrasi yang bersih (good governance) dan fleksibel,
baik pada tingkat sekolah ataupun masyarakat. Sistem kontrol yang bertanggung jawab
harus dibuat sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan pendidikan dapat berjalan secara
efisien.

Adapun nilai terakhir yang biasanya terkait dengan isu tentang kebijakan publik di bidang
pendidikan adalah kesetaraan, yang berarti bahwa penggunaan sumber daya publik
didistribusi berdasarkan perbedaan kebutuhan manusia. Di samping itu, kesetaraan juga
biasanya menuntut distribusi program yang didesain untuk kebutuhan pendidikan untuk
dan dalam rangka menekan kesenjangan (gap) antara norma-norma kehidupan sosial dan
ketersediaan sarana publik yang memadai atau antara norma dan kebutuhan.

Konflik di antara keempat nilai di atas dalam kerangka kebijakan publik di bidang
pendidikan memang akan dan selalu terjadi. Karena itu politik pendidikan diharapkan
mampu melakukan rekonstruksi dan desain teknis penyelenggaraan pendidikan dalam
hubungannya dengan kebijakan publik. Jika selama ini kita melihat bahwa kekuatan
pengambilan kebijakan publik lebih banyak ada pada level eksekutif dan legislatif, sudah
saatnya kita membuat lembaga-lembaga nonpemerintah yang kuat sebagai pressure group
terhadap masalah pendidikan. Dari perspektif politik pendidikan, semakin banyak
lembaga dan perorangan terlibat dalam urusan kebijakan publik bidang pendidikan, maka
akan semakin baik kualitas pendidikan di Indonesia.
Teori Humanistik
Arthur Combs, Abraham H. Maslow, dan Carl R. Rogers adalah tiga tokoh utama dalam
teori bela¬jar humanistik. Berikut uraian pandangan mereka. Arthur Combs, seorang
humanis, berpendapat bahwa perilaku batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan
maksud, menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang
lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang dirinya.
Pendidik dapat memahami perilaku peserta didik jika ia mengetahui bagaimana peserta
didik memersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa yang kelihatannya aneh bagi
kita, mungkin saja tidak aneh bagi orang lain.

Dalam proses pembelajaran, menurut para ahli psikologi humanistis, jika peserta didik
memperoleh informasi baru, informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah
keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan
ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik, karena peserta didik sendirilah yang
menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah
bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik
memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik
dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati karena
misinya telah berhasil.

Abraham H. Maslow dikenal sebagai salah satu tokoh psikologi humanistik. Karyanya di
bidang ini berpengaruh dalam upaya memahami motivasi manusia. la menyatakan bahwa
dalam diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh sekaligus ke-kuatan yang
menghambat. Suwardi (2005: 54), mengutip pendapat Maslow, mengatakan bahwa ada
beberapa kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh setiap manusia yang siratnya hierarkis.
Pemenuhan kebutuhan dimulai dari kebutuhan terendah, selanjutnya meningkat pada
kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan tersebut adalah.
a. Kebutuhan jasmaniah b. Kebutuhan keamanan c. Kebutuhan kasih saying d.
Kebutuhan harga diri e. Kebutuhan aktualisasi diri

Menurut ahli teori ini, hierarki kebutuhan manusia tersebut mempunyai implikasi penting
bagi individu peserta didik. Oleh karenanya, pendidik harus memerhatikan kebutuhan
peserta didik sewaktu beraktivitas di dalam kelas. Seorang pendidik dituntut memahami
kondisi tertentu, misalnya, ada peserta didik tertentu yang sering tidak mengerjakan
pekerjaan rumahnya, atau ada yang berbuat gaduh, atau ada yang tidak minat belajar.
Menurut Maslow, minat atau motivasi untuk belajar tidak dapat berkembang jika
kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi. Peserta didik yang datang ke sekolah tanpa
persiapan, atau tidak dapat tidur nyenyak, atau membawa persoalan pribadi, cemas atau
takut, akan memiliki daya motivasi yang tidak optimal, sebab persoalan-persoalan yang
dibawanya akan mengganggu kondisi ideal yang dia butuhkan.

Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanis yang gagasan-gagasannya


berpengaruh terhadap pikiran dan praktek pendidikan. la menyarankan adanya suatu
pendekatan yang berupaya menjadikan belajar dan mengajar lebih manusiawi. Menurut
Sri Rumini (1993: 110-112), gagasan itu adalah:
a. Hasrat untuk belajar
Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat untuk belajar. Hal itu mudah dibuktikan.
Perhatikan saja, betapa ingin tahunya anak kalau sedang mengeksplorasi lingkungannya.
Dorongan ingin tahu dan belajar merupakan asumsi dasar pendidikan humanistis. Di
dalam kelas yang humanistis, peserta didik diberi kebebasan dan kesempatan untuk
memuaskan dorongan ingin tahu dan minatnya terhadap sesuatu yang menurutnya bisa
memuaskan kebutuhannya. Orientasi ini bertentangan dengan gaya lama, di mana
seorang pendidik atau kurikulum mendominasi peta proses pembelajaran.
b. Belajar yang berarti
Prinsip ini menuntut adanya relevansi antara bahan ajar dengan kebutuhan yang
diinginkan peserta didik. Anak akan belajar jika ada hal yang berarti baginya. Misalnya,
anak cepat belajar menghitung uang receh karena uang tersebut dapat digunakan untuk
membeli barang kesukaannya.
c. Belajar tanpa ancaman
Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung
dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses pembelajaran dapat berjalan dengan
lancar ketika peserta didik dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-
pengalaman baru, atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang
menyinggung perasaannya. Jika kenyamanan sudah dia dapatkan, pembelajaran pun akan
menjadi kondusif. Anak tidak merasa tertekan dan pendidik dianggapnya sebagai
fasilitator yang menyenangkan.
d. Belajar atas inisiatif sendiri
Bagi para humanis, belajar akan sangat bermakna ketika dilakukan atas inisiatif sendiri.
Peserta didik akan mampu memilih arah belajarnya sendiri, sehingga memiliki
kesempatan untuk menimbang dan membuat keputusan serta menentukan pilihan dan
introspeksi diri. Dia akan bergantung pada dirinya sendiri, sehingga kepercayaan dirinya
menjadi lebih baik.
e. Belajar dan perubahan
Prinsip terakhir yang dikemukakan Rogers adalah bahwa belajar paling bermanfaat
adalah belajar tentang proses belajar. Menurutnya, di waktu lampau peserta didik belajar
mengenal fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis, dan apa yang didapat di sekolah
dirasa sudah cukup untuk kebutuhan saat itu. Tetapi sekarang, tuntutan mengubah pola
pikir yang datang setiap waktu. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat mudah
dijadikan pegangan untuk mencapai sukses di masa sekarang ini. Apa yang dibutuhkan
sekarang adalah orang-orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah
dan terus akan berubah. Aliran dan teori pendidikan ini menjadi warna yang dominan di
dunia pendidikan. Meski tidak dianut seluruhnya, minimal ada aliran yang diikuti dan
teori yang digunakan sebagai upaya pengembangan pendidikan.

Teori Koneksionisme
Edward Lee Thorndike adalah tokoh psikologi yang mampu memberikan pengaruh besar
terhadap berlangsungnya proses pembelajaran. Teorinya dikenal dengan teori Stimulus-
Respons. Menurutnya, dasar belajar adalah asosiasi antara stimulus (S) de¬ngan respons
(R). Stimulus akan memberi kesan ke-pada pancaindra, sedangkan respons akan
mendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Asosiasi seperti itu disebut Connection.
Prinsip itulah yang kemudian disebut sebagai teori Connectionism.
Pendidikan yang dilakukan Thorndike adalah menghadapkan subjek pada situasi yang
mengandung problem. Model eksperimen yang ditempuhnya sangat sederhana, yaitu
dengan menggunakan kucing sebagai objek penelitiannya. Kucing dalam keadaan lapar
dimasukkan ke dalam kandang yang dibuat sedemikian rupa, dengan model pintu yang
dihubungkan dengan tali. Pintu tersebut akan terbuka jika tali tersentuh/tertarik. Di luar
kandang diletakkan makanan untuk merangsang kucing agar bergerak ke-luar. Pada
awalnya, reaksi kucing menunjukkan sikap yang tidak terarah, seperti meloncat yang
tidak menentu, hingga akhirnya suatu saat gerakan kucing menyentuh tali yang
menyebabkan pintu terbuka.
Setelah percobaan itu diulang-ulang, ternyata tingkah laku kucing untuk keluar dari
kandang menjadi semakin efisien. Itu berarti, kucing dapat memilih atau menyeleksi
antara respons yang berguna dan yang tidak. Respons yang berhasil untuk membuka
pintu, yaitu menyentuh tali akan dibuat pembiasaan, sedangkan respons lainnya
dilupakan. Eksperimen itu menunjukkan adanya hubungan kuat antara stimulus dan
respons.
Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke dalam tiga hukum dasar (Suwardi, 2005:
34-36), sebagai berikut:
a. Hukum Kesiapan (The Law of Readiness)
Hukum ini memberikan keterangan mengenai kesiapan seseorang merespons (menerima
atau menolak) terhadap suatu stimulan. Pertama, bila sese¬orang sudah siap melakukan
suatu tingkah laku, pelaksanaannya akan memberi kepuasan baginya sehingga tidak akan
melakukan tingkah laku lain. Contoh, peserta didik yang sudah benar-benar siap
menempuh ujian, dia akan puas bila ujian itu benar-benar dilaksanakan.
Kedua, bila seseorang siap melakukan suatu tingkah laku tetapi tidak dilaksanakan, maka
akan timbul kekecewaan. Akibatnya, ia akan melakukan ting¬kah laku lain untuk
mengurangi kekecewaan. Contoh peserta didik yang sudah belajar tekun untuk ujian,
tetapi ujian dibatalkan, ia cenderung melakukan hal lain (misalnya: berbuat gaduh,
protes) untuk melampiaskan kekecewaannya.
Ketiga, bila seseorang belum siap melakukan suatu perbuatan tetapi dia harus
melakukannya, maka ia akan merasa tidak puas. Akibatnya, orang tersebut akan
melakukan tingkah laku lain untuk menghalangi terlaksananya tingkah laku tersebut.
Contoh, peserta didik tiba-tiba diberi tes tanpa diberi tahu lebih dahulu, mereka pun akan
bertingkah untuk menggagalkan tes.
Keempat, bila seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku dan tetap tidak
melakukannya, maka ia akan puas. Contoh, peserta didik akan merasa lega bila ulangan
ditunda, karena dia belum belajar.
b. Hukum Latihan (The Law of Exercise)
Hukum ini dibagi menjadi dua, yaitu hukum penggunaan (the law of use), dan hukum
bukan penggunaan (the law of disuse). Hukum penggunaan menyatakan bahwa dengan
latihan berulang-ulang, hubungan stimulus dan respons akan makin kuat. Sedangkan
hukum bukan penggunaan menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respons
akan semakin melemah jika latihan dihentikan.
Contoh: Bila peserta didik dalam belajar bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan
kata, maka saat ada stimulus berupa pertanyaan "apa bahasa Inggrisnya kata yang
berbahasa Indonesia...." maka peserta didik langsung bisa merespons pertanyaan itu
dengan mengingat atau mencari kata yang benar. Sebaliknya, jika tidak pernah menghafal
atau mencari, ia tidak akan memberikan respons dengan benar.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan.
Makin sering suatu pelajaran diulang, akan semakin banyak yang dikuasainya.
Sebaliknya, semakin tidak pernah diulang, pelajaran semakin sulit untuk dikuasai.
c. Hukum Akibat (The Law of Effect)
Hubungan stimulus-respons akan semakin kuat, jika akibat yang ditimbulkan
memuaskan. Sebaliknya, hubungan itu akan semakin lemah, jika yang dihasilkan tidak
memuaskan. Maksudnya, suatu perbuatan yang diikuti dengan akibat yang
menyenangkan akan cenderung untuk diulang. Tetapi jika akibatnya tidak
menyenangkan, akan cenderung ditinggalkan atau dihentikan. Hubungan ini erat
kaitannya dengan pemberian hadiah (reward) dan sanksi (pun¬ishment).
Contoh: Peserta didik yang biasa menyontek lalu dibiarkan saja atau justru diberi nilai
baik, anak didik itu akan cenderung mengulangnya, sebab ia merasa diuntungkan dengan
kondisi seperti itu. Tetapi, bila ia ditegur atau dipindahkan sehingga temannya tahu kalau
ia menyontek, ia akan merasa malu (merasa tidak diuntungkan oleh kondisi). Pada
kesempatan lain, ia akan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu, sebab ia
merasakan ada hal yang tidak menyenangkan baginya.

Teori Classical Conditioning


Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Ivan Petrovich Pavlov, warga Rusia yang
hidup pada tahun 1849-1936. Teorinya adalah tentang condi¬tioned reflects. Pavlov
mengadakan penelitian secara intensif mengenai kelenjar ludah. Penelitian yang
dilakukan Pavlov menggunakan anjing sebagai objeknya. Anjing diberi stimulus dengan
makanan dan isyarat bunyi, dengan asumsi bahwa suatu ketika anjing akan merespons
stimulan berdasarkan kebiasaan.
Ketika akan makan, anjing mengeluarkan liur sebagai isyarat dia siap makan. Percobaan
itu diulang berkali-kali, dan pada akhirnya percobaan dilakukan dengan memberi bunyi
saja tanpa diberi makanan. Hasilnya, anjing tetap mengeluarkan liur dengan anggapan
bahwa di balik bunyi itu ada makanan. Lewat penemuannya, Pavlov meletakkan dasar
behaviorisme sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi berbagai penelitian mengenai proses
belajar dan pengembangan teori-teori belajar.
Prinsip belajar menurut Pavlov adalah sebagai berikut:
a. Belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan/ mempertautkan
antara perangsang (stimulus) yang lebih kurang dengan perangsang yang lebih lemah.
b. Proses belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan.
c. Belajar adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme/individu.
d. Setiap perangsang akan menimbulkan aktivitas otak.
e. Semua aktivitas susunan saraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibitasi.

Teori Operant Conditionins


Teori ini dikemukakan oleh Burhus Frederic Skinner. la membedakan tingkah laku
responden, yaitu tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus yang jelas. Misalnya,
kucing lari ke sana kemari karena melihat daging. Operant Behavior adalah tingkah laku
yang ditimbulkan oleh stimulus yang belum diketahui, namun semata-mata ditimbulkan
oleh organisme itu sendiri, dan belum tentu dikehendaki oleh stimulus dari luar.
Misalnya, kucing lari ke sana kemari karena kucing itu lapar, bukan karena melihat
daging (Sri Rumini, 1993: 75-76). Sesuai dengan dua tingkah laku tersebut, ada dua
macam kondisi, yaitu: Pertama, Respont Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai tipe S,
karena menitikberatkan pada stimulus. Hal ini sama dengan kondisi yang dikemukakan
oleh Pavlov.
Kedua, Operant Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai tipe R, karena menitikberatkan
pada pentingnya respons. Menurut Skinner, ada dua prinsip umum dalam kondisi ini,
yaitu:
• Setiap respons yang diikuti stimulus yang memperkuat reward (ganjaran), akan
cenderung diulangi.
• Stimulus yang memperkuat reward akan meningkatkan kecepatan terjadinya respons
operant. Dengan kata lain, reward akan mengakibatkan diulanginya suatu respons.
Setelah melakukan eksperimen berulang-ulang, Skinner berkesimpulan bahwa mula-mula
dalam jangka pendek, baik hukuman maupun hadiah, mempunyai efek mengubah dan
menaikkan tingkah laku yang dikehendaki. Namun dalam jangka panjang, hadiah tetap
berefek menaikkan, sedangkan hukuman justru tidak berfungsi. Artinya, antara hadiah
dan hukuman tidak simetris.

Teori Gestalt
Max Wertheimer adalah psikolog Jerman yang menjadi tokoh teori ini. Penemuan teori
gestalt bermula ketika Wertheimer melihat cahaya lampu yang berkedap-kedip saat naik
kereta api pada jarak tertentu. Sinar itu memberinya kesan sebagai sinar yang bergerak
datang-pergi dan tidak terputus.
Gestalt berasumsi, bila suatu organisasi dihadapkan pada suatu problem, kedudukan
kognisi tidak seimbang sampai problem itu terpecahkan. Kognisi yang tidak seimbang
mendorong organisme untuk mencari keseimbangan sistem mental. Menurut gestalt,
problem merupakan stimulus sampai didapat suatu pemecahannya. Organisme atau
individu akan selalu berpikir tentang suatu bahan agar dapat memecahkan masalah yang
dihadapinya sebagai bentuk respons dari stimulus yang berupa masalah tadi.
Penerapan teori gestalt tampak pada kurikulum yang sekarang digunakan di dunia
pendidikan. Kurikulum mempunyai pusat yang sama. Dalam tingkatan rendah, disusun
kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Hal pokok diajarkan secara garis besar. Di
tingkat yang lebih lanjut, kesatuan itu diberikan lagi dengan muatan yang lebih detail
yang mengarah ke bagian-bagian yang telah diberikan di tingkat dasar. Begitu secara
berkelanjutan di setiap jenjangnya.
Teori Gestalt dengan metode globalnya juga sangat berpengaruh dalam metode membaca
dan menulis. Metode yang resmi digunakan dengan mengacu teori ini dikenal dengan
istilah S.A.S (Struktural, Analitis, dan Sintesis). Metode ini dirintis oleh Dr. Ovide De
Croly. Proses mengajarnya adalah sebagai berikut:
a. Pada permulaan sekali, anak dihadapkan pada cerita pendek yang telah dikenal anak
dalam kehidupan keluarga. Cerita ini jelas merupakan satu kesatuan yang telah dikenal
anak. Karena itu, dengan mudah anak akan segera dapat membaca seluruhnya dengan
menghafal. Biarkan murid membaca sambil menunjuk kalimat yang tidak cocok dengan
yang diucapkan.
b. Menguraikan cerita pendek tersebut menjadi kalimat-kalimat. Pendidik secara alamiah
menunjukkan bahwa cerita pendek itu terdiri dari kalimat-kalimat. Antarkalimat diberi
warna yang berbeda, dan antarkalimat diberi jarak yang cukup renggang.
c. Memisahkan kalimat-kalimat menjadi kata-kata. Tiap kata ditulis dengan warna yang
berbeda, terpisah, dan ditulis agak berjauhan. Susunan tiap kata ditulis semakin menurun
dan dibaca pelan-pelan sambil menunjuk tiap kata.
d. Memisahkan kata menjadi suku kata.
e. Memisahkan suku kata menjadi huruf, dan tiap hurufnya ditulis dengan warna yang
berbeda.
f. Setelah mengenal huruf, peserta didik diajarkan menyusun suku kata; suku kata
menjadi; dan kata menjadi kalimat.
Kebaikan metode ini adalah peserta didik bisa belajar secara alamiah, sesuai dengan
prinsip persepsi gestalt. Pelajaran itu menarik, tidak menjemukan, karena dimulai dengan
cerita dan kalimat-kalimat yang mengandung arti. Metode ini sesuai dengan tingkat
perkembangan anak, tidak mengganggu, serta tergantung pada proses persepsinya
masing-masing. Peserta didik membaca dengan memahami isinya dan akhirnya murid
lebih cepat menguasai pembacaan yang sebenarnya.

Teori Medan (Field Theory)


Lingkungan dipandang sebagai gejala yang saling memengaruhi. Teori medan
memandang bahwa tingkah laku dan atau proses kognitif adalah suatu fungsi dari banyak
variabel yang muncul secara simultan (serempak). Perubahan pada diri seseorang bisa
mengubah basil keseluruhan.
Kurt Lewin (1890-1947) menjelaskan bahwa tingkah laku manusia dalam suatu waktu
ditentukan oleh keseluruhan jumlah fakta psikologis yang dialami dalam waktu tersebut.
Menurutnya, fakta psikologis itu merupakan sesuatu yang berpengaruh pada tingkah laku,
termasuk marah, ingatan kejadian masa lampau, dan lain-lain. Semua fakta itu menjadi
ruang lingkup kehidupan seseorang. Beberapa fakta psikologis akan memberi pengaruh
positif atau negatif pada tingkah laku seseorang. Keseluruhan gejala itulah yang akan
menentukan tingkah laku seseorang dalam suatu waktu. Tetapi, hanya pengalaman yang
disadarinya yang akan memberi pengaruh. Perubahan pada fakta psikologis akan
menyusun kembali seluruh ruang kehidupan. Jadi, tingkah laku merupakan perubahan-
perubahan kontinu dan dinamis. Manusia berada dan berkembang dalam suatu pengaruh
perubahan-perubahan medan yang kontinu. Itulah yang dimaksud dengan teori medan
dalam psikologi (Sri Rumini, 1993: 100-101).
Teori medan merupakan perkembangan dari teori gestalt. Berikut penerapan teori medan
dalam proses belajar-mengajar.
a. Belajar adalah perubahan struktur kognitif (pengetahuan)
Orang belajar akan bertambah pengetahuannya, yang berarti tahu lebih banyak daripada
sebelum belajar. Tahu lebih banyak berarti ruang lingkupnya bertambah luas dan semakin
terdiferensikan. Itu semua berarti seseorang akan banyak memiliki fakta yang saling
berhubungan.
b. Peranan hadiah dan hukuman
Hadiah dan hukuman merupakan sarana motivasi yang efektif. Tetapi dalam
penggunaannya memerlukan pengawasan. Nilai yang baik bagi peserta didik pada
umumnya merupakan sesuatu hal yang diinginkan (hadiah). Tetapi, tugas-tugas dalam
belajar untuk mencapai nilai tersebut pada umumnya dianggap sebagai hukuman yang
membebani dan kurang menarik.
c. Masalah sukses dan gagal
Kurt Lewin lebih setuju penggunaan istilah sukses dan gagal dibanding hadiah dan
hukuman. Karena, apabila tujuan yang akan dicapai bersifat intrinsik, kita akan lebih
tepat mengatakan bahwa suatu tujuan berhasil atau gagal dicapai daripada mengatakan
bahwa suatu tujuan mengandung hadiah dan hukuman. Pengalaman sukses dapat
diperoleh melalui beberapa hal:
1) Pengalaman sukses dialami bila seseorang benar-benar mendapatkan apa yang
diinginkannya. Misalnya, seseorang yang ingin lulus dalam suatu program tertentu,
kemudian ternyata memang lulus.
2) Pengalaman sukses juga dialami bila sese¬orang sudah berada di dalam daerah tujuan
yang ingin dicapai. Misalnya, orang dikatakan lulus dalam suatu program bila tinggal
mengulang beberapa mata kuliah saja.
3) Pengalaman sukses juga dialami kalau orang telah membuat suatu kemajuan ke arah
tujuan yang akan dicapai. Misalnya, orang merasa berhasil kalau telah mempersiapkan
diri dengan baik dalam menghadapi ujian.
4) Pengalaman sukses juga dialami kalau orang telah berbuat dengan cara yang oleh
masyarakat dianggap sebagai cara untuk mencapai tujuan. Misalnya, seseorang merasa
suk¬ses bila pada waktu ujian keluar paling awal.
Pengalaman sukses atau gagal bersifat individual. Kejadian yang sama mungkin dialami
sebagai sukses bagi seseorang, tetapi mungkin tidak demikian bagi orang lain. Contoh,
anak yang duduk di kelas I SD tidak bisa menghitung 25 X 25 adalah wajar. Tetapi jika
peserta didik tidak bisa, ia akan dianggap gagal.
d. Taraf Aspirasi
Pengalaman sukses dan gagal bersangkutan dengan taraf aspirasi seseorang. Untuk itu,
dalam mencapai sesuatu, setiap orang perlu merumuskan tujuan meskipun masih bersifat
sementara, sehingga ketika ia berada di daerah tujuan sementara tersebut, ia akan merasa
berhasil.
e. Pengulangan dapat menimbulkan kejenuhan psikologis.
Sebagai penerus dan penyempurna aliran gestalt, Kurt Lewin berpendapat bahwa yang
diperoleh pertama pada saat belajar adalah pencerahan (insight), sedangkan pengulangan
memiliki kedudukan sekunder. Memang untuk mencapai pencerahan memerlukan
pengulangan, tetapi kuantitas pengulangan bukan yang menentukan insight. Justru
ulangan yang terlalu banyak akan menimbulkan kejenuhan psikologis, yang
mengakibatkan terjadinya diferensiasi (kekaburan). Itu berarti menambah jauhnya belajar
dari pemecahan masalah.

Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and


practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching:


research, policy, and practice for democratic education. Educational
Researcher, 25, 6:5-Dewantara,
Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge &
Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub


Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO
Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of


Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada
Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Ki Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian


Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki


Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars


Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited


by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_content
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com
Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.
http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down
load pada tanggal 16 November 2005
http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal
16 November 2005
http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November
2005
http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005
Dari Buku Pragmatisme Pendidikan Indonesia
Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi
Oleh : Rum Rosyid
Dosen FKIP Universitas Tanjungpura
Direktur Global Equivalency for Education

You might also like