You are on page 1of 17

Problem Pendidikan Moral dalam Dunia Pendidikan Kita

Oleh Rum Rosyid


Menengok pada sejarah bangsa kita yang pernah jaya, tentu akal sehat kita menolak jika
dikatakan bahwa masa depan bangsa ini tidak jelas. Oleh karena itu perlu ada perubahan
paradigma yang mendasar mengenai pendidikan. Perubahan dari apa, bagaimana dan
untuk apa pendidikan itu ada dijalankan untuk mewujudkan peradaban negeri ini. Bangsa
Indonesia butuh narasi baru, yang walaupun harus berbeda dengan kultur lama, tapi tidak
perlu membuat kita melupakan sejarah bangsa sendiri, bahwa bangsa kita pernah mampu
bersaing dengan adil di era globalisasi perdagangan masa lampau. Karena semakin
lampau anda melihat sejarah, semakin jauh anda melihat masa depan, begitulah kata
Winston Churchill, PM Inggris saat perang dunia II. Who control the past, now controls
the future (Ronald Reagan, Presiden AS ke-40).

Kebangkitan nasional di tahun 1908 diawali dengan progresivitas di bidang pendidikan,


Ki Hajar Dewantara, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Dr. D.D. Setyabudi dalam Tiga
Serangkai mengalirkan nasionalisme dan Indonesia yang bersatu melalui ranah
pendidikan dan kebebasan. Pendidikan menjadi amunisi perubahan gerak perjuangan
terhadap kaum penjajah, dari fisik menjadi paradigma.

Conny Semiawan, guru besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta. Menurutnya,


pendidikan di negeri ini masih sangat terpengaruh dan mengikuti arus global sehingga
penyelenggaraannya mengalami kekurangan dalam hal orientasi sasaran dan kesadaran
terhadap potensi yang dimiliki. Conny menginginkan agar masyarakat Indonesia berfikir
ulang tentang orientasi kehidupan, setidaknya mempunyai target hidup yang jelas. Untuk
mencapai pemahaman dan paradigma berfikir seperti ini, perlu dilakukan reorientasi
pendidikan. Upaya yang serius dan komprehensif dalam membenahi sistem pendidikan
nasional. Fenomena ini menjadi bukti otentik urgensi peran serta dan keberhargaan guru
yang tak mungkin terhapus dari catatan sejarah bangsa Indonesia. Namun demikian
dalam perjalanannya, guru dihadapkan pada dua problematika mendasar, yaitu kultural
dan struktural. Esensi tujuan pendidikan menurut Ignas Kleden yaitu hominisasi (proses
menjadi homo sapiens) dan proses humanisasi yaitu proses perwujudan nilai-nilai dan
kemampuan human.

Problem Kultural : marjinalisasi pendidikan moral


Aksiologi (Axiology) Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika
(ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih
akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of
value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk
(good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means
and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku
etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi,
maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-
kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should).
Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-
konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya
beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak
bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind). Dari sini muncul
empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua
berikutnya beraliran subyektivis. Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of
value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk
mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut.
Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan
yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang
bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu
dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada
eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai
tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau
sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya. Kedua, teori nilai rasional (the
rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif
dan murni independen dari manusia, yang bersifat obyektif dan murni independen dari
manusia.
Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan
supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan
nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai
yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan
nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang
seharusnya mengarahkan perilakunya. Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory
of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan
dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang
diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan
membimbing perilaku manusia.

Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak
absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum
hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya
menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa
bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan
ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang
tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian
penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah
axiological tragicomedy.

Problem kultural terkait dengan persepsi masyarakat terhadap moralitas itu sendiri.
Selama ini masyarakat mempersepsikan pendidikan moral sebagai kegiatan sakral,
bersifat spiritual, namun marjinal. Moral menjadi pilihan paling akhir ketika skill dan
pengetahuan sudah terlampaui. Pengajaran yang bermuatan moralitas (secara esensial)
seperti agama, seni, budaya, ataupun sastra; menjadi pilihan akhir fokus dan tolak ukur
keberhasilan kegiatan pendidikan. Guru yang fokus pada pengajaran ini dipandang
sebagai figur ’sok idealis’, menjadi kelompok marginal atau termarginalkan, sehingga
penghargaannya pun berbeda dengan guru di bidang lain.

Budaya (culture) merupakan ranah yang tak tersentuh oleh reformasi, bahkan semenjak
negeri ini berada di atas tungku kekuasaan Orde Baru(Sawali Tuhusetya, 2009).
Kebudayaan agaknya akan terus tertinggal jika tidak ada “kemauan politik” untuk
menyentuhnya ke dalam ranah perubahan. Satu dekade reformasi seharusnya sudah
mampu memberikan kemaslahatan publik dalam menggapai kehidupan yang lebih baik.
Telinga kita sudah demikian jenuh mendengar bahasa politik dan ekonomi yang tak
henti-hentinya mengedepankan “siapa yang menang” dan “apa untungnya”. Sudah
saatnya kita memperluas makna perubahan dengan menyentuh akar-akar kebudayaan
dengan mengedepankan pertanyaan “apa yang benar”.

Kebudayaan benar-benar menjadi sebuah khazanah Indonesia yang tertinggal. Ironisnya,


kebudayaan kita justru diceraikan dari ranah pendidikan. Kebudayaan harus “menikah”
dengan kepariwisataan yang jelas-jelas lebih diorientasikan pada politik pencitraan dan
dunia industri. Sebagaimana dikemukakan oleh Andreas Eppink, kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan
struktur sosial, religius, serta pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas
suatu masyarakat. Dalam pandangan J.J. Hoenigman, kebudayaan bisa berwujud gagasan,
aktivitas (tindakan), dan artefak (karya).

Ketiga wujud ranah kebudayaan inilah yang akan sangat menentukan peradaban sebuah
bangsa. Namun, ketika kebudayaan dipahami sebagai bagian dari politik pencitraan dan
industri, disadari atau tidak, hancurlah basis-basis kebudayaan yang akan menjadi
penyangga peradaban bangsa. Meminjam istilah Slamet Sutrisno (1997) semakin tidak
intensnya seseorang dalam memburu jatidiri yang lebih bermartabat. Perburuan gengsi
yang berkembang dalam kelatahan membuat orang mengejar keberhasilan secara instan,
entah melakukan korupsi atau usaha magis melalui cara mistis dalam memperoleh
kekayaan. Pada hakikatnya mereka gemar menempuh terobosan dan “jalan kelinci”
dengan sukses gaya “Abu Nawas”. Kursi empuk kepejabatan, titel, dan kedudukan
keilmuan pun tak jarang disergap melalui kelancungan dalam ilmu permalingan”.

Agaknya, bangsa kita memang telah “ditakdirkan” untuk menjadi bangsa pelupa. Kita
(nyaris) tak pernah belajar pada pengalaman-pengalaman masa silam. Yang sering kita
ingat, bukan esensinya, melainkan asesorisnya. Kita lupa bahwa pada awal-awal
pergerakan nasional, para pendiri negeri ini dengan amat sadar menyentuh persoalan
kebudayaan sebagai basis perubahan. Kebudayaanlah yang telah menyatukan berbagai
kelompok etnis dan suku ke dalam sebuah wadah, sehingga mampu menorehkan tinta
sejarah melalui Gerakan Budi Utomo (1908) yang dikokohkan kembali melalui Sumpah
Pemuda (1928). Berkat sentuhan kebudayaan, mimpi “Indonesia Baru” yang merdeka
dan berdaulat akhirnya menjadi sebuah kenyataan.

Pemanusian, menurut pandangan aksiologis, selalu menjadi problema pokok manusia,


dan kini persoalan itu harus dipedulikan sungguh-sungguh. Kepedulian terhadap
pemanusian seketika membawa kita pada pengakuan terhadap dehumanisasi
(penghilangan harkat manusia), yang bukan hanya kemungkinan ontologism melainkan
sudah menjadi kenyataan historis. Selagi manusia memahami sejauh manakah
dehumanisasi itu, ia bertanya pada dirinya sendiri apakah pemanusian merupakan
kemungkinan yang akan lestari.

Dalam sejarah, dalam konteks-konteks nyata serta objektif, pemanusian maupun


dehumanisasi merupakan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia sebagai makhluk
yang belum utuh, yang sadar akan ketidak-utuhan dirinya. Meski keduanya merupakan
alternatif, hanya pemanusian yang menjadi fitrah manusia. Fitrah ini selalu diinjak-injak,
namun justru tiap kali diinjak ia makin diteguhkan. Ia dikerdilkan lewat ketidakadilan,
eksploitasi penindasan, dan kekerasan yang dilakukan oleh penindas; Ia diteguhkan
kembali melalui dambaan kaum tertindas akan kebebasan dan keadilan, serta dikuatkan
kembali lewat perjuangan kaum tertindas itu untuk memulihkan kembali kemanusian
mereka yang telah hilang.

Dehumanisasi keadaan kurang dari manusia atau tidak lagi manusia bukan hanya
menandai mereka yang kemanusiannya telah dirampas, malainkan (dalam cara yang
berlainan) menandai pihak yang telah merampas kemanusian itu, dan merupakan
pembengkokan cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh. Distorsi atau
penyimpangan ini terjadi dalam sejarah; namun ia bukanlah fitrah sejarah. Bila kita
menganggap dehumanisasi sebagai fitrah sejarah, kita akan terbawa ke sinisme atau
keputusasaan menyeluruh. Perjuangan untuk meraih pemanusian, perjuangan untuk
emansipasi, demi menaklukan keterasingan, demi peneguhan manusia sebagai pribadi ,
akan kehilangan makna bila dehumanisasi diakui sebagai fitrah sejarah.

Perjuangan menjadi mungkin karena, dehumanisasi meski merupakan fakta sejarah bukan
takdir manusia melainkan produk tatanan yang tidak adil yang melahirkan kekerasan para
penindas, yang pada gilirannya mengubah kaum tertindas menjadi kurang dari manusia.
Karena dehumanisasi adalah pembengkokan cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih
utuh, cepat atau lambat kaum tertindas akan bangkit berjuang melawan mereka yang
telah mendehumanisasikan kaumnya. Agar perjuangan ini bermakna, kaum tertindas
jangan sampai, dalam mengusahakan memperoleh kembali kemanusian mereka, berubah
menjadi penindas kaum penindas, melainkan mereka musti memanusiakan kembali
keduanya.

Pendidikan kaum tertindas, dijalankan oleh kemurah-hatian otentik, kedermawanan


humanis, menampilkan diri sebagai pendidikan manusia. Pendidikan yang berawal dari
kepentingan –kepentingan egoistis para penindas (egoisme yang berjubah kedermawanan
palsu, yakni paternalisme), yang membuat kaum tertindas jadi objek-objek
humanitarianisme, melestarikan dan memapankan penindasan. Pendidikan seperti itu
adalah alat mendehumanisasikan manusia. Inilah sebabnya pendidikan kaum tertindas
tidak bisa dikembangkan atau dipraktikan oleh kaum penindas. Akan menjadi
pertentangan maknanya sendiri bila penindas bukan sekedar membela tapi betul-betul
menerapkan pendidikan yang membebaskan yang pada akhirnya memanusiakan kembali
manusia.
Problem Struktural : pengajaran moral bersifat differensial
Sedangkan, problem struktural dilihat dari persoalan pengajaran moral (afektif) juga
terkait dengan sistem pendidikan nasional yang masih bersifat diferensial. Pendidikan
moralitas seringkali dibebankan pada bidang studi Agama semata. Padahal, Departemen
Agama (Depag) sebagai institusi negara yang bertanggung jawab terhadap seluruh proses
pengembangan agama dengan sendirinya terkait dengan pendidikan agama. Di sinilah,
nampak adanya dualisme perspektif negara terhadap pendidikan. Pendidikan pada
dasarnya merupakan upaya merancang masa depan umat manusia yang dalam konsep dan
implementasinya harus memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Konsep pendidikan dapat diibaratkan sebuah pakaian yang tidak dapat diimpor dan
diekspor. Ia harus diciptakan sesuai dengan keinginan, ukuran dan model dari orang yang
memakainya, sehingga tampak pas dan serasi. Demikian pula dengan konsep pendidikan
yang diterapkan di Indonesia. Ia amat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan politik
pemerintahan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan dan
perubahan masyarakat, adat istiadat, kebudayaan dan lain sebagainya.

Buntut dari dualisme ini adalah fakta bahwa adanya perlakuan yang berbeda antara
lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas) dengan lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Departemen Agama
(Depag). Perlakuan yang berbeda tersebut mencakup fasilitas, anggaran dana, hingga
prosentase guru secara kuantitas dan kualitas. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan
paradigma dalam melihat sistem pendidikan. Pendidikan moral masih dilihat sebagai
bagian dari proses pengembangan agama (syiar) dan penanaman nilai-nilai, tidak
menduduki posisi yang sejajar dengan lembaga pendidikan umum (di bawah naungan
Depdiknas) yang mengedepankan pengajaran kognitif dan motorik.

Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai dari pemerintahan kolonial, awal dan pasca


kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan meng “anak tirikan”, mengisolasi
bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan
“Indonesia bukanlah negara Islam”. Namun berkat semangat juang yang tinggi dari
tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam”
untuk sebuah tujuan ideal yang tertuang dalam UU Republik Indonesia No 20 Tahun
2003, yaitu “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”.

Menghadapi dua problematika mendasar di atas dibutuhkan solusi untuk merevitalisasi


kembali pengajaran moral dan guru sebagai pendidik, pengajar dan pelatih. Problematika
struktural sangat mudah diantisipasi melalui political will guna merekonstruksi sistem
pendidikan nasional. Rekonstruksi tersebut bisa diawali dari muatan kurikulum, hingga
mengeliminasi dualisme dalam pendidikan satu atap, tidak terpisah dalam Depag dan
Depdiknas. Karena, sistem yang terpadu akan mempermudah koordinasi dan
menghapuskan diskriminasi. Sedangkan, problematika kultural dapat diselesaikan
melalui penumbuhkembangan kesadaran urgensi moralitas, etika, dan estetika. Indonesia
memiliki potensi besar dalam bidang kesenian, kebudayaan dan keagamaan, sehingga
masyarakat dapat menggeser paradigma pengajaran moralitas dari suplemen menjadi
pengajaran inti sejajar dengan kognitif dan afektif, yang akan merevitalisasi kebangkitan
Indonesia secara nasional.

Satu hal yang perlu dipahami, peradaban adalah kategori ideologis, bukan kategori
geografis (al Jawi, 2006). Maka dari itu, peradaban Barat, tidak hanya dapat ditemukan di
Barat (AS dan Eropa) tapi juga di belahan lain di dunia. Indonesia walaupun
mayoritasnya muslim dan bukan bagian AS atau Eropa, namun secara peradaban
termasuk pada peradaban Barat. Sebab ciri-ciri pokok peradaban Barat yang tiga tadi
(sekularistik, pragmatis, hedonis) terwujud nyata dalam realitas masyarakat Indonesia.
Jika kita dapat menangkap substansi makna "peradaban" tersebut, dan juga kita pahami
realitas sejarah, kita akan dapat menggambarkan apa yang dimaksud "hancurnya
peradaban".

Hingga saat ini kita menyadari bahwa secara umum kondisi lembaga pendidikan Islam di
Indonesia masih ditandai oleh berbagai kelemahan (Fikri Ardiansyah dan Muh. Fathoni,
2009), antara lain :
Pertama, kelemahan sumber daya manusia (SDM), manajemen maupun dana. Sementara
itu kita mengetahui bahwa jika suatu lembaga pendidikan ingin tetap eksis secara
fungsional di tengah-tengah arus kehidupan yang semakin kompetitif seperti sekarang ini
harus didukung oleh ketiga hal tersebut, yaitu sumber daya manusia, manajemen dan
dana.
Kedua, kita menyadari bahwa saat ini lembaga pendidikan tinggi Islam masih belum
mampu mengupayakan secara optimal mewujudkan Islam sesuai dengan cita-cita
idealnya. Di sisi lain masyarakat masih memposisikan lembaga pendidikan Islam sebagai
pilar utama yang menyangga kelangsungan Islam dalam mewujudkan cita-citanya, yaitu
memberi rahmat bagi seluruh alam.
Ketiga, kita masih melihat lembaga pendidikan tinggi Islam belum mampu mewujudkan
Islam secara transformatif. Kita masih melihat bahwa masyarakat Islam dalam
mengamalkan ajaran agamanya telah berhenti pada dataran simbol dan formalistik.
Keempat, pada saat ini kita hidup dalam era reformasi. Pada era ini kecenderungan
masyarakat untuk mewujudkan masyarakat madani demikian kuat, yaitu masyarakat yang
menunjang tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti nilai-nilai keadilan, kebersamaan,
kesederajatan, kemitraan, kejujuran dan sebagainya.
Kelima, hingga saat ini posisi lembaga pendidikan tinggi Islam, bahkan juga pada
lembaga pendidikan Islam yang ada di bawahnya masih kurang diminati oleh masyarakat.
Masyarakat pada umumnya lebih memilih sekolah pada lembaga pendidikan yang tidak
menggunakan label Islam.

Berbagai kelemahan di atas paling tidak merupakan persoalan yang harus dijawab oleh
sistem dan kebijakan pendidikan di Indonesia saat ini. Hal ini disebabkan karena
pendidikan memegang amanat tertinggi bangsa ini sebagai sarana untuk membina dan
membangun manusia seutuhnya, sebagaimana tercermin dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945, “untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa”.

Hancurnya peradaban, tiada lain adalah suatu kondisi sebuah peradaban dimana padanya
telah terjadi : Pertama, hilangnya keyakinan masyarakat terhadap konsep-konsep
(mafahim) kehidupan yang semula diyakininya; Kedua, hapusnya praktik (penerapan)
konkret suatu peradaban, seperti lenyapnya sistem politik, ekonomi, dan sosial; Ketiga,
lenyapnya segala bentuk fisik dan segala pengaruhnya yang mencerminkan nilai-nilai
kehidupan yang khusus (unik) pada peradaban itu. Kehancuran peradaban, dengan
demikian, dapat terjadi secara total atau tidak total bergantung sejauh mana unsur-unsur
yang hilang pada peradaban tersebut. Hancurnya Uni Soviet, misalkan, adalah
kehancuran total (atau nyaris total) pada ideologi sosialisme. Sebab masyarakat telah
kehilangan kepercayaan terhadap ideologi gagal itu. Praktiknya pun telah lenyap,
khususnya sistem politik dan ekonominya. Bentuk-bentuk fisiknya pun ada yang turut
hancur, seperti robohnya patung Lenin, dan simbol-simbol sosialisme lainnya.

Pragmatisme dan apatisme Mahasiswa


Pragmatisme dan apatisme sudah mulai banyak menghinggapi sikap dan tindakan kaum-
kaum muda intelektual bangsa dalam menilai suatu permasalahan baik yang terjadi di
dalam ruang lingkup terdekat mereka di dalam dunia pendidikan seperti kampus dan
secara bersamaan mampu memaksa kampus sebagai wadah pendidikan profesional untuk
memenuhi berbagai macam tuntutan mahasiswa yang ada. Kaum-kaum tersebut
beranggapan bahwa hal tersebut sebagai sesuatu hal yang lumrah di dalam era tuntutan
ini. Mengapa? Karena percepatan arus teknologi yang tanpa batas dan arus informasi
yang men”dewa”kan kebebasan berekspresi; tidak membatasi setiap orang untuk
menuntut haknya mendapatkan akses informasi yang tersedia. Dengan adanya
globalisasi, dan tersedianya banyak layanan untuk menerima unsur-unsur globalisasi;
seringkali menjadikan kampus memperketat birokrasi yang ada untuk menahan lajur arus
globalisasi tersebut.

Terpusatnya dosen-dosen dengan banyak gelar di satu tempat, dan lengkapnya akses atau
peralatan pendidikan yang di terima di dalam suatu kampus, juga menjadikan sikap instan
dan tanpa berfikir panjang menghinggapi kaum-kaum muda intelektual. Akibatnya,
keinginan untuk mendapatkan kekuasaan terhadap suatu jabatan, dilakukan tanpa adanya
persaingan yang bersih. Salah kaum elitkah? Mengingat rakyat bawah yang
berkecenderungan untuk selalu mengikuti sikap dan tindakan kaum elitnya; atau mungkin
salah rakyat bawah yang melakukan tindakan kaum elit tanpa memfilter terlebih dahulu
apakah tindakan tersebut patut untuk ditiru atau tidak? Salah siapa dan mengapa,
merupakan pertanyaan yang akan coba penulis jawab di dalam paparan karya tulis ini,
terlebih dengan semakin besarnya sikap pragmatisme dan apatisme mahasiswa di dalam
kehidupan kampus.

Tiga Kebijakan Kehidupan Kampus Masa Kini


Kampus, identik dengan kehidupan akademik. Kehidupan mahasiswa yang beragam dan
unik, serta dalam setiap langkahnya pasti membawa cerita yang berbeda. Ada beragam
sisi yang bisa kita lihat, sisi yang mampu membawa setiap insan mahasiswa yang terlibat
di dalamnya untuk bercengkrama, berdiskusi, berpolitik kampus, ataupun hanya sekedar
datang dan pulang tanpa membawa kesan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh
kampus, seringkali dijadikan sebagai ajang perdebatan mengenai seberapa besar
kepentingan mahasiswa terpenuhi dan seberapa tersalurkannya aspirasi mereka atas
kebijakan itu sendiri.

Kampus, memiliki dunianya sendiri. Dunia dewasa yang penuh tantangan dan pilihan
untuk memilih (being a winner or a looser). Dunia bagi mahasiswa untuk mencari dan
membentuk jati dirinya. Suka ataupun tidak, hal tersebut memang terjadi di dalam
kampus, dan memaksa banyak orang untuk mulai berfikir apa yang ada di dalam
kehidupan kampus dewasa ini.

Pesta, buku dan cinta. Tiga paket kebijakan yang tidak pernah lepas dalam kehidupan
kampus, dan identik dengan kehidupan mahasiswanya. Pesta bisa di artikan secara
harafiah ataupun secara occasionally disesuaikan dengan keadaan yang terjadi. Tetapi,
pesta sudah diidentikkan dengan keadaan bersenang-senang untuk menghabiskan uang
dan mendapatkan kepuasan sesaat untuk kemudian ‘menagih’ pada hari-hari berikutnya.
‘Menagih?’ Well, itu kata-kata bagus yang penulis rasa bisa dimasukkan juga untuk
membahas tiga paket kebijakan tersebut secara lebih detail.

Bersenang-senang atau pesta bisa dilakukan dengan banyak cara. Dengan didukung oleh
jiwa muda mahasiswa yang menginginkan kebebasan dan penuh dengan sikap
pemberontakan, pesta merupakan kegiatan menunjang yang mampu membawa aura
orang dewasa untuk menjadi lebih muda dan bergairah. Adanya banyak kategori pesta
yang bisa diartikan disini. Misalnya saja, pesta dugem. Dengan alunan musik, suasana
malam yang dingin dan minuman beralkohol yang menghangatkan; pesta memiliki
keistimewaan tersendiri. Dengan didukung oleh faktor masalah kehidupan yang berat dan
keinginan untuk melepaskan beban permasalahan menumpuk, memaksa banyak orang
untuk memilih pesta dugem sebagai salah satu alternatif yang dirasa mampu memenuhi
sisi kesenangan yang hilang.

Musik memang tidak pernah lepas dari pesta, karena dengan musik, pesta yang diadakan
menjadi lebih meriah dan tentunya saja menjadi lebih menyenangkan. Mahasiswa terus
terang sangat menggandrungi musik dan mencari aliran musik yang sudah tentu sesuai
dengan kepribadiannya. Munafik jika ada orang yang menyatakan dirinya tidak suka
musik. Di dunia dugem, musik dialunkan untuk membawa pecinta dugem berbaur dengan
komunitasnya. Selain itu, dinginnya malam dan minuman alkohol, merupakan pelengkap
yang direfleksikan sebagai kekuatan dunia dugem yang dicari. Jenuhnya keseharian di
dalam kampus, deadline tugas yang menumpuk, masalah organisasi dan percintaan yang
tidak kunjung usai, merupakan faktor-faktor meningkatnya kecenderungan mahasiswa
untuk menyukai pesta dugem. Dan kehidupan kampus, akan terasa sepi tanpa mengenal
dugem.

Tetapi pertanyaan selanjutnya yang akan muncul adalah apakah harus menyelesaikan
semua beban dan jenuhnya keseharian di dunia kampus dengan pesta dugem? Maka
pengertian pesta yang lainnya muncul kemudian. Tidak banyak yang setuju bahwa dugem
merupakan cara untuk menghilangkan penat yang ada, karena yang justru terjadi adalah
pelarian sementara yang pada akhirnya justru akan mengarah kepada ‘ketagihan’.
Sehingga pesta kemudian diartikan sebagai kegiatan bersenang-senang tanpa alkohol.
Bagi sebagian mahasiswa, hanya dengan berjalan santai bersama-sama, menikmati pesta
diskon di mal-mal, makan di banyak tempat dan diakhiri dengan ngobrol bareng, sudah
merupakan pesta dan telah mampu menghilangkan penat mereka terhadap kehidupan
kampus. Sehingga terlepas dari pesta apapun, kegiatan bersenang-senang merupakan
kegiatan yang mampu melengkapi kebutuhan mahasiswa dewasa ini.

Buku, memang bagian penting dari mahasiswa; karena dengan buku mahasiswa akan
menjadi lebih intelektual dan berbobot. Pengetahuan yang luas, prestasi yang
memuaskan, merupakan hal yang didapatkan dari buku. Kampus sangat mendukung
banyaknya referensi bacaan yang diharapkan mampu menjadikan mahasiswa merasa puas
untuk memilih unversitas yang mereka masuki, serta sangat membantu mahasiswa untuk
menyelesaikan tugas-tugas akademiknya. Tetapi di sisi lain, buku ternyata merubah
kepribadian seorang mahasiswa. Misalnya, seorang mahasiswa dulunya sangat bijaksana
dan memandang segala sesuatunya dengan netral, tetapi setelah dia mengenal buku dan
mempelajari buku tertentu dan akhirnya ‘ketagihan’, yang terjadi selanjutnya adalah
mahasiswa tersebut menjadi condong dan beraliran kiri ataupun kanan.

Ada banyak hal yang bisa kita dapatkan melalui buku, karena buku merupakan jendela
dunia. Dan mahasiswa adalah kaum muda intelektual yang harusnya memahami
pentingnya membaca buku. Cinta anak kampus, merupakan kosakata yang paling banyak
mendapatkan perhatian dari banyak kalangan. Banyak pengamat film misalnya,
mengatakan bahwa cinta anak kampus merupakan tema yang paling banyak memikat hati
penonton karena realita anak muda menuntut hal tersebut. Atau pemerhati musik
beranggapan bahwa cinta merupakan bagian lirik yang paling banyak diminati oleh kaum
muda.

Begitu pula yang terjadi dalam relita kehidupan kampus. Mahasiswa yang dalam masa
pubertas, sudah mulai mencari cinta untuk melengkapi sisi kehidupannya. Ingin ada yang
memperhatikan, ingin ada yang menyayangi dan berbagi, merupakan keinginan lumrah
dari setiap mahasiswa saat ini. Namun seringkali tuntutan lingkungan anak muda untuk
berbagi cinta justru menjerumuskan mahasiswa itu sendiri ke dalam jeratan cinta. Jeratan
cinta? Kosakata apalagi ini? Ya, jeratan cinta seringkali memaksa mahasiswa untuk tidak
berfikir rasional dan menganggap bahwa menjomblo (tanpa pacar) adalah hal yang tabu;
sehingga seringkali mahasiswa menjadi salah kaprah dalam mencari cinta yang
sesungguhnya. Salah kaprah yang dimaksud adalah mahasiswa seringkali memaksakan
diri mereka untuk memiliki pacar tanpa mempunyai perasaan, pada akhirnya juga hal ini
yang menjadikan mereka ‘ketagihan’. Yang terjadi kemudian adalah, prestasi mereka
terganggu, kehidupan sosial mereka terganggu dan tentunya jiwa mereka juga terganggu.
“Jangan pernah bermain cinta, karena mungkin cinta yang akan mempermainkan anda”,
mungkin itu kalimat yang bisa dijadikan bahan renungan oleh mahasiswa di dalam
kehidupan kampus.
Tiga kebijakan kehidupan kampus masa kini, dirasakan telah mampu melengkapi
kehidupan mahasiswanya. Namun, hal mana dari kebijakan tersebut yang menjadi
prioritas, kembali diberikan kepada masing-masing mahasiswa. Karena pilihan untuk
mendahulukan pesta, buku ataupun cinta, pastilah memiliki konsekuensi masing-masing
yang mungkin kadar dari konsekuensi tersebut juga ditentukan oleh mahasiswa itu sendiri
melalui besar atau kecilnya intensitas dan keinginan mereka untuk ikut terlibat di
dalamnya.

Dalam dunia pendidikan dan kehidupan kampus, pesta, buku dan cinta, menjadi
sedemikian digemari oleh mahasiswa. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh adanya
perkembangan globalisasi informasi yang tanpa batas. Dengan pesatnya globalisasi
informasi, akses untuk mendapatkan berbagai kemudahan, memanjakan semua
penggunanya; terlebih untuk kaum muda yang haus akan rasa ingin tahu. Budaya
intelektual yang menumbuhkan ide – ide kritis baik itu dalam diskusi, tulisan ataupun
organisasi semakin tidak menarik minat mahasiswa. Hal ini terbukti dengan semakin
sedikitnya jumlah mahasiswa yang mengikuti berbagai diskusi yang diadakan oleh
kampus, ataupun jumlah mahasiswa yang berminat untuk menulis di dalam jurnal
mahasiswa yang sudah tersedia.

Bertaburannya media – media informasi yang lebih banyak membawa unsur hiburannya
dari pada wacana – wacana politik semakin menyingkirkan pula sikap kritis mahasiswa
terhadap isu yang sedang terjadi. Diskusi – diskusi ataupun seminar – seminar yang
selalu mengangkat isu – isu serta wacana yang sedang terjadi hanya ditanggapi oleh
sebagian kecil mahasiswa sedangkan sebagian besarnya lagi lebih asik nongkrong di mall
atau cafe – cafe menceritakan gosip selebritis terbaru<6> ataupun gosip seputar kampus.
Lebih peduli dengan infotainment yang gencar di tayangkan di televisi ketimbang dialog-
dialog permasalahan dalam dan luar negeri, telah berkembang menjadi sesuatu yang sulit
untuk diatasi.

Salahkah globalisasi informasi dengan keadaan yang demikian? Tidak ada yang bisa
menyalahkan keadaan yang demikian. Perkembangan informasi dan lainnya, tidak bisa
dipungkiri akan selalu membawa dampak yang positif dan negatif, karena kutub positif
dan negatif akan selalu berada di sana untuk saling melengkapi. Namun, yang harus
dilakukan kemudian adalah bagaimana meminimalisir dampak negatif tersebut dan
menjadikan kembali mahasiswa sebagai kaum intelektual yang bukan hanya peduli
terhadap diri sendiri, tetapi juga terhadap permasalahan bangsanya. Atau mungkin saja,
keenganan mereka untuk mengurusi permasalahan bangsanya adalah sudah terlalu
banyaknya masalah yang terjadi tanpa penyelesaian yang berarti. Akibatnya, mereka
lebih cenderung untuk menikmati globalisasi informasi yang semakin mendekatkan
mereka pada pesta, buku dan cinta.

Pragmatisme dan Apatisme Kaum Intelektual Muda


Seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa pragmatisme dan apatisme muncul
karena banyak faktor, baik karena semakin pesatnya akses kemudahan dari globalisasi
informasi yang berkembang saat ini; atau bahkan sebagai bentuk reaksi lanjutan dari
kekecewaan kaum muda intelektual terhadap permasalahan di dalam negeri ini.
Pragmatisme dan apatisme, entah apapun pengertian terminologinya, pastilah seringkali
diidentikkan dengan politik. Sedangkan politik sendiri, tidak akan pernah lepas dengan
kekuasaan (power).

Terdapat banyak aktor yang turut andil dalam mengatur pergerakan di dalamnya. Salah
satunya adalah mahasiswa sebagai penyokong perubahan politik itu sendiri. Keberadaan
mahasiswa, baik di dalam dan di luar layar pergerakan perpolitikan, tidak pernah
dianggap sebagai sebuah hal yang maya belaka. Walaupun kita semua tahu, tidak semua
mahasiswa mengetahui politik dalam arti yang sebenarnya. Dari tuturan klasik dosen,
ataupun kisah faktual ketatanegaraan; setiap mahasiswa memiliki definisi yang berbeda-
beda dalam menafsirkan politik itu sendiri. Pengetahuan dan ilmu yang dimiliki oleh
mahasiswa merupakan sebuah parameter tersendiri yang dapat dijadikan sebagai sebuah
tolok ukur dalam menilai realita perpolitikan di dalam kampus atau bahkan untuk ruang
lingkup yang lebih luas, yaitu pada tingkat ketatanegaraannya.

Ada banyak hal juga yang melatarbelakangi munculnya sikap pragmatisme dan apatisme
kaum muda intelektual dewasa ini. Misalnya saja jika penulis kaitkan sedikit dengan
keadaan perpolitikan Indonesia saat ini, budaya amplop untuk memenangkan proyek,
budaya melakukan rapat tanpa maksud yang jelas demi hanya untuk menghabiskan
anggaran yang diberikan, dan hal-hal lainnya yang dilakukan oleh aktor politik di
Indonesia; jika ditarik sedikit kebelakang, pastilah juga berkaitan dengan kehidupan
aktor-aktor pollitik tersebut pada jaman mahasiswa. Akibatnya, budaya tersebut menjadi
mengakar dan sulit untuk di lepaskan. Salah elit yang dulunya juga bertindak demikian,
atau justru salah kaum intelektual muda yang awalnya mengkritik mereka tetapi begitu
mereka dihadapkan pada kekuasaan juga malah bertindak hal yang sama? Penulis pribadi
pun takut untuk menjawabnya. Kenapa? Karena ketakutan untuk mengkritik akan
berbalik arah pada penulis nantinya.

Tetapi itu dulu, ketika Soe Hok Gie dan teman-temannya masih berjuang untuk
menjadikan perpolitikan di negeri ini menjadi lebih baik. Bahkan melalui tulisan kritisnya
mengenai “Mahasiswa UI bopeng sebelah” karena ada pertarungan dua kubu kepentingan
yang ingin menonjolkan back ground gerakannnya untuk menguasai politik kampus. Lalu
apa yang akan dia katakan kemudian melihat realita yang terjadi saat ini, dimana sudah
sangat jarang ditemui mahasiswa kritis yang mengkritik tanpa ingin mendapatkan reward
atasnya?

Seperti yang telah terjadi kemudian bahwa akibat dari arus globalisasi informasi tanpa
batas, menjadikan mahasiswa untuk apatis, lebih bersikap cuek dan semau gue. Sehingga
mungkin lebih tepat apabila dikatakan bahwa sebagian besar mahasiswa Indonesia
bopeng. Lihatlah bagaimana sering terjadi rebutan masa dunia kampus yang sudah
melibatkan politisi, tetapi usaha untuk kembali membawa dunia intelektual yang kondusif
belum kelihatan. Dan kemudian dibarengi oleh sikap pragmatis dari mahasiswa itu
sendiri yang lebih mementingkan tujuan praktisnya tanpa berfikir lebih panjang sebab-
akibat yang akan terjadi di belakangnya.

Tetapi, tidak pernah tidak, mahasiswa yang sudah berpedoman pada tiga kebijakan
kehidupan kampus, dan pengaruh globalisasi ekonomi bagi kehidupan pribadi mereka,
tetap akan memegang dan memainkan peranan yang sangat penting sebagai agen of
chance dan agen of modernization dinamika kehidupan masyarakat saat ini.

Contoh lainnya adalah dewasa ini, demonstrasi mahasiswa semakin meluas. Tak jarang
aksi tersebut diikuti dengan tindak kekerasan. Yang dapat terlihat dari kasat mata
masyarakat perkotaan adalah sudah tidak murninya lagi aksi tersebut, sebagai akibat dari
adanya pihak-pihak di luar mahasiswa yang kadang kala ikut menungganginya sebagai
tindakan atas kepentingan pribadi atau kelompok. Orasi-orasi yang dikumandangkan ada
kalanya tidak relevan, terlalu hiperbolis, terlalu memaksa, dan bersifat subyektif (tidak
berdasarkan data); sehingga tak jarang pemerintah ataupun pihak yang berkuasa
cenderung melecehkan mereka.

Dalam ruang lingkup tertentu, sebagian mahasiswa Indonesia mulai menganggap


demonstrasi ataupun penyaluran orasi sebagai sesuatu yang membosankan, membuang-
buang waktu, dan tidak bermanfaat. Hal ini terlihat dari banyaknya opini mahasiswa
terhadap rekan-rekannya yang berdemonstrasi di luar kampus. Mereka berkecenderungan
untuk berfikir bahwa belajar di kampus, mendapat indeks prestasi yang tinggi agar cepat
lulus, sehingga dapat secepatnya merasakan dunia kerja; adalah sesuatu yang utama dan
sangat dinanti-nantikan. Tapi ketika mereka memimpikan hal tersebut, mereka lupa
bahwa idealisme dan daya kritis –hal yang sangat melekat dengan jiwa mahasiswa-
menjadi terpendam atau boleh jadi hilang. Jika semua hal ini terjadi, maka pesta, buku
dan cinta sebagai tiga kebijakan kehidupan kampus bisa dianggap menjadi tidak
seimbang.

Mulai tumbuhnya gejala pragmatisme dan apatisme dalam pergerakan mahasiswa


tersebut, juga terlihat dari kecenderungan untuk tidak perduli dengan masalah-masalah
sosial kemasyarakatan. Berkembangnya sikap individualistik yang berkembang ke arah
hedonistik mengakibatkan pasifnya keinginan untuk ikut terlibat dalam gerakan
mahasiswa. Sehingga tidak jarang kemudian, ketika mereka mencoba untuk berpolitik,
aktivitas politiknya lebih didasari pada anggapan bahwa politik itu kotor dan tidak
manusiawi. Hal tersebut secara tidak langsung tercermin pada orasi-orasi yang
diutarakan. Jika hal tersebut dibiarkan begitu saja, akan timbul rasa tidak percaya dan
curiga terhadap siapa saja yang menjalankan roda pemerintahan ini.

Kita semua tidak bisa memungkiri, seseorang yang pada dasarnya mempunyai prinsip
untuk menjalankan politik dengan jujur, transparan, dan mengenali aspirasi rakyatnya;
jika berhadapan langsung dengan kekuasaan yang mengekangnya dan sistem perpolitikan
itu sendiri –yang mana dalam pengambilan kebijakan harus mengorbankan satu pihak
demi pihak lain- pasti akan terdesak dan pada gilirannya akan mengamininya.

Mewabahnya pragmatisme dan apatisme mahasiswa Indonesia sekarang ini, secara tidak
langsung bisa berdampak menekan tingkat kreativitas dan objektivitas -yang
melatarbelakangi munculnya sikap kritis terhadap masyarakat dan Pemerintah-
mahasiswa itu sendiri.
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and


practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching:


research, policy, and practice for democratic education. Educational
Researcher, 25, 6:5-Dewantara,
Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge &
Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub


Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO
Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of


Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada
Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Ki Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud
Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki


Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited


by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_content
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com
Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.
http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down
load pada tanggal 16 November 2005
http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal
16 November 2005
http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November
2005
http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan Indonesia


Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi
Oleh : Rum Rosyid
Dosen FKIP Universitas Tanjungpura
Direktur Global Equivalency for Education

You might also like