You are on page 1of 20

Upaya Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila

Oleh Rum Rosyid


Sejak pertama kali dilaunching oleh Destutt de Tracy di masa kekuasaan Napoleon
Bonaparte (akhir abad ke-18) istilah ini muncul, Ideologi. Bagi de Tracy waktu itu,
ideologi adalah ilmu pengetahuan (baru) tentang ide-ide yang membersihkan prasangka-
prasangka metafisika dan agama. Dengan ideologi-nya, ia berusaha menemulan
”kebenaran” di luar otoritas yang selama ini selalu dimiliki dan dikuasai oleh agamawan
atas nama institusi agama. Ideologi (inggris); berasal dari bahasa Yunani ide
(idea/gagasan) dan logos (studi tentang, ilmu pengetahuan tentang). Secara harfiah,
sebagaimana dalam metafisika klasik, ideologi merupakan ilmu pengetahuan tentang ide-
ide, studi tentang asal-usul ide. Dalam pengertian modern, ideologi mempunyai arti
negatif sebagai teoretisasi atau spekulasi dogmatik dan khayalan kosong yang tidak betul
atau tidak realistis; atau bahkan palsu dan menyembunyikan realitas yang sesungguhnya.
Dalam pengertian yang lebih netral, ideologi adalah setiap sistem gagasan yang
mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis, sosial.

Pertarungan antar Ideologi


Keyakinan-keyakinan yang ideal dalam masyarakat dunia, sampai saat ini tidak
membawa hasil yang memuaskan. Ideology, yang awalnya, diharapkan membawa
secercah pembebasan dan jalan keselamatan, ternyata malah membawa kita menuju
jurang persengketaan yang memakan begitu banyak korban. Revolusi Perancis, civil war
di Amerika, Holocaust oleh Nazi Jerman, rezim Stalin di Rusia, rezim Pol Pot di
Kamboja, tragedi G 30/S/PKI di Indonesia, dan seterusnya adalah selintas hamparan
bukti-bukti yang menggiring pemahaman masyarakat bahwa ideologi adalah kancah
pembantaian antar manusia atas nama idealisme dan gagasan yang agung. Ideologi
sebagai bagian dari peradaban manusia memang menampilkan wajah ganda.

Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla meminta para penegak hukum untuk saling
bekerja sama dalam menyelesaikan masalah keamanan. Ia mengatakan, kerja sama ini
penting misalnya dalam menghadapi terorisme. "Perang fisik dan perang ideologi," kata
Kalla pada pembukaan rapat koordinasi para penegak hukum di Mabes Polri, Selasa
(22/11/05). Kalla mengatakan, perang fisik yang dimaksud adalah penanganan kasus
terorisme oleh polisi di lapangan, misalnya mencari bom hingga menangkap para
pelakunya. Sedangkan perang ideologi, dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman
yang benar mengenai agama, misalnya konteks jihad. "Ini dapat dilakukan oleh kiai,
ustad, dan ulama,". Kalla menegaskan, para ulama telah menyatakan tindakan terorisme
dan 'jihad' yang dilakukan para pelaku teror bertentangan dengan ajaran agama. Jika
langkah pendekatan ideologi ini berhasil, ia berpendapat, beban polisi di lapangan akan
semakin ringan. Untuk itu ia meminta para penegak hukum untuk tidak segan melibatkan
pemuka agama dalam menegakkan hukum. Ia melanjutkan, langkah para penegak hukum
harus seirama dalam menangani masalah keamanan. Jika saling menjegal dan saling
melindungi penjahat, penegakan hukum akan lumpuh.

Sejarah kelam (dalam arti yang sesungguhnya) tersebut semoga saja kini telah
menyadarkan (sebagian besar) umat manusia untuk menggali kembali pentingnya nalar
humanis yang “melampaui” atau “mentransendensi” pemahaman-pemahaman eksklusif
serta “klaim-klaim kebenaran” (truth claim) ideologi yang ada Hingga kini, ideologi,
dianggap sebagai sebuah kesadaran palsu (false consciousnes). Ini seperti yang pernah
dikatakan Karl Marx, kaum elit mendominasi pandangan awam tentang dunia yang
kemudian menghasilkan kesadaran palsu. Tetapi menariknya ia juga seperti candu.
Beberapa kali kita menyaksikan ideologi dipuja bagai sebuah agama sehingga
penganutnya sanggup berjuang hingga meregang nyawa.

Samuel Huntington pernah memprediksi bahwa setelah hancurnya Sosialis Komunis


dengan ditandai hancurnya negara Soviet maka musuh satu-satunya yang berbahaya bagi
Kapitalisme adalah Islam Ideologis.Sejak itu pula kebijkan Amerika sangat agresif
memberangus gerakan-gerakan Islam dengan tuduhan Teroris dan Fundamentalis.
Untuk meredam gerakan Islam ini, Negara-negar Kapitalisme pun telah menyiapkan
anak-anak didikannya yang berasal dari negeri Islam dengan memberikan bantuan
pendidikan dan uang demi menangkal Islam. Maka, tidak bisa ditolak perang ideologi
pun terjadi antara ideologi Islam dan ideologi sekuler kapitalis yang sekarang dikenal
dengan kelompok liberalis.Perang ini pasti akan berlangsung sampai kapan pun selama
ada pengemban ideologi tersebut.

Rois Syuriah PBNU KH Mustofa Bisri (Gus Mus) menyatakan Jepang saat ini sedang
prihatin atas perang ideologi antara Presiden Amerika Serikat, George W Bush, dengan
pemimpin jaringan Al-Qaeda, Osama bin Laden, karena keduanya ekstrim. Jepang
sekarang mencari ideologi alternatif yang berada selalu di tengah-tengah dan mereka
menemukan pada Islam tradisional. keunggulan Islam tradisional yang ada di kalangan
pesantren dan NU antara lain mereka lebih menekankan pada pendidikan (moral) dan
bukan pengajaran. Oleh karena itu, katanya, para kiai saat ini hendaknya memfokuskan
diri pada aspek pendidikan. "Pendidikan itu sendiri bukan sekedar memberi nasehat atau
memberi teladan, tapi juga mendoakan," katanya. Menurut dia, para kiai di masa lalu
tidak hanya mengajar kitab/buku, tapi mereka juga mendoakan para santri saat sholat
tahajud di tengah malam. Bahkan, katanya, ada kiai yang menjalin ikatan batin hingga
santri sudah tamat dari pesantren dengan bersilaturrahmi kepada santri jika kebetulan
menghadiri pengajian di luar kota. "Islam tradisional yang sederhana, menekankan pada
aspek pendidikan atau moralitas, dan mengutamakan kemandirian serta sikap-sikap yang
bijak merupakan ideologi alternatif yang diharapkan Jepang akan dapat menengahi
perang ideologi yang sama-sama ekstrim.

“Saya lebih takut pada media massa dibanding senjata” Demikian ungkap Napoleon
Bonaparte ratusan tahun yang lalu. Memang, sejak dulu media masa memiliki peran
penting dalam peta percaturan politik dunia, sehingga pengaruhnya melebihi kemampuan
pedang dalam membunuh. Media massa telah menjelma menjadi alat propaganda paling
efektif. Media massa mampu menjadi lokomotif perubahan masyarakat. Terlebih saat ini,
dengan kemajuan teknologi, jaringan-jaringan pemberitaan dunia mengalami
perkembangan sangat pesat. Masyarakat dari berbagai penjuru bumi dapat dengan mudah
dipengaruhi arah opini yang di-blow-up media massa dengan sangat cepat.

Eksistensi ideologi kapitalisme-sekular saat ini, tak lepas dari keberhasilan para kapitalis
dalam menggenggam media massa. Ya, para pemilik modal itulah aktor utama di balik
berbagai propaganda pro-sekularisme. Tak ayal jika demokrasi, hak asasi manusia, seks
bebas, gaya hidup hedonis dan berbagai budaya Barat dengan mudah merasuk ke
berbagai penjuru dunia. Semua itu disokong penuh oleh media massa. Iqbal Shadiqi,
pemimpin redaksi majalah terbitan Inggris, Cressent International, mengatakan, “Media-
media AS sangat bergantung kepada para investor dan orang-orang Zionis. Kedua
kelompok inilah yang mengontrol pemerintah dan media AS.”

Saat ini mayoritas media massa internasional dikuasai oleh jaringan Zionis. Sejak awal
terbentuknya Gerakan Zionisme Internasional, para aktivis gerakan ini telah
memanfaatkan media massa untuk mempropagandakan pemikiran mereka kepada dunia.
Dalam Protokol ke-12 Gerakan Zionisme, disebutkan, “Media massa dunia harus berada
di bawah pengaruh kita.” Theodore Hertzl, peletak dasar Gerakan Zionisme Internasional
dalam konferensi di Swiss tahun 1897 mengatakan, “Kita akan berhasil mendirikan
pemerintah Israel dengan memanfaatkan dan menguasai fasilitas propaganda dunia dan
media massa dunia.” Hertzl adalah wartawan internasional yang dengan pengalamannya
berkecimpung di dunia jurnalistik tahu persis bagaimana melakukan lobi-lobi terhadap
media massa. Hasilnya, kantor berita ternama seperti AFP, AP, dan Reuters, berada di
bawah kontrol mereka. Dari sinilah perang ideologi di media massa dimulai. Zionisme
merancang berita-berita dan opini yang menampilkan citra bahwa mereka adalah gerakan
legal dan lahir dari ketertindasan. Diciptakanlah opini bahwa penjajahan Isreal terhadap
Palestina adalah sah.

Sebaliknya, diluncurkan opini dan berita yang kerap menyerang ideologi Islam. Label-
label negatif dilekatkan pada komunitas Muslim, seperti fanatik, fundamentalis, radikal,
teroris, dll. Para pejuang Palestina diposisikan sebagai teroris. Setiap kejadian terorisme,
tanpa menunggu penyelidikan terlebih dahulu, akan langsung diliput media massa dengan
tendensi anti-Islam. Dalam atmosfer propaganda dunia yang teracuni oleh media-media
pro-Zionis, opini dunia menjadi terarahkan pada satu topik: stigmatisasi buruk terhadap
Islam. Kasus paling gres adalah dimuatnya kembali kartun yang menghinakan Nabi
Muhammad saw di 11 media massa dan televisi nasional di Denmark, serta tiga harian di
Eropa, yakni Swedia, Belanda dan Spanyol. Tindakan tersebut merupakan kesengajaan
sebagai sinyal perang terhadap Islam. Betapa tidak, Nabi Muhammad sebagai pengusung
ideologi Islam digambarkan sebagai lelaki bersorban yang menyembunyikan bom di
baliknya. Islam digambarkan sebagai agama yang penuh kekerasan dan darah. Sayang,
umat Islam seolah tak berdaya menghadapi penistaan ini. Para penguasa di negeri-negeri
Muslim diam seribu bahasa.

Media massa kini menjadi medan baru perang antar ideologi. Peperangan dimulai dari
game, film, buku, surat kabar, majalah, dan bahkan internet. Keberadaan internet sebagai
medan perang baru, dalam kaitannya dengan jihad, turut menggelisahkan dunia Barat.
Raymond Kelly, seorang Komisi Polisi New York, mengungkapkan pada Reuters
(15/08/07) bahwa internet merupakan “Afghanistan Baru”. Disejajarkannya internet
dengan perang di Afghanistan menunjukkan betapa dahsyatnya pengaruh internet secara
khusus dan media massa secara umum dalam perang ideologi global dewasa ini. Dalam
bukunya Terror on the Internet, The New Arena, The New Challenges, Gabriel Weimann,
profesor komunikasi Universitas Haifa Israel, juga bertutur bahwa saat ini teroris tidak
hanya berperang di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya.

Peter Berger, penulis buku Holy War, menyebutkan bahwa al-Qaeda telah memanfaatkan
teknologi Barat untuk menyerang Barat sendiri. Usamah bin Ladin dan pengikutnya
merupakan orang-orang cerdas dan sangat mahir menggunakan teknologi yang berkaitan
dengan pembuatan video dan penyebarannya ke seluruh dunia melalui internet. Ratusan
video tentang jihad dirilis dan disebarkan. Selain diproduksi dan didistribusikan dengan
cepat, ‘kado’ tersebut bisa langsung sampai ke sasaran. The Jihad Media Battalion,
misalnya, mengirimkan sebuah video pada pemerintahan AS dengan judul They Are
Coming sebagai peringatan akan adanya operasi jihad masa datang. Video yang dibuka
dengan agitasi Osama bin Ladin dan Abu Hager al-Muqrin ini berisi latihan tempur para
mujahidin di berbagai belahan dunia.

Kehebatan cyber muslim dalam menyerang sebuah situs sudah terbukti. Situs Global War
memberitakan bahwa beberapa hacker muslim berhasil menyerang sekitar 750 situs
internet Israel sebagai protes melawan operasi militer Israel di Gaza. Surat Kabar
Jerusalem Post mengatakan bahwa serangan dilakukan oleh kelompok hacking yang
bernama Tim Setan, dan berbasis di Maroko. Kelompok tersebut dinyatakan juga
bertanggung jawab terhadap serangan kepada situs pemerintah AS di tahun 2004.
Kalangan cyber muslim telah memperkenalkan sosok-sosok lagendaris, seperti Irhaby
007 (Younis Tsouli, 22 tahun, London). Aksinya yang paling dikenal adalah
mempropagandakan video-video dari Abu Musab al-Zarqawi pada awal perang Irak dan
mengirimnya ke hampir seluruh situs dan forum jihad on-line. Irhaby 007 juga membuat
sebuah buku panduan bagi hacker pemula untuk menyerang ke situs-situs yang dianggap
memusuhi Islam. Petualangan penguasa ilmu hacking, programming, serangan executing
on-line dan disain media ini terhenti setelah dia ditangkap kepolisian Scotland Yard.

Intinya, segala sarana yang terkategori media massa, menjadi senjata paling efektif
melancarkan serangan. Tentu saja, yang dibidik bukan melukai fisik, tapi mengoyak iman
dan akidah. Itu target utamanya. Microsoft Ensemble Studios pernah meluncurkan game
yang menggambarkan perang peradaban lewat trilogi Age of Empire. Sejarah peradaban
manusia di jaman Messopotamia, Babilonia, sampe jamannya Shalahuddin al-Ayubi yang
melakukan penaklukan Yerusalem, Joan of Arc yang biasa dipanggil Maid of Orleans
dan lainnya dengan detil bibliografi yang lengkap. Peradaban yang bisa dimainkan di sini
adalah kapitalisme, sosialisme, dan mungkin Islam diwakili Turki, meski tak nyata
pemerintahan Islam. Simulasi dalam game ini seperti menjalin kerjasama perdagangan
dengan negara lain, hubungan diplomatik, pencapaian teknologi, sampai ekspansi besar-
besaran dengan mengerahkan kekuatan militer untuk menjajah negara lain.

Selain game, bertebaran pula buku-buku, majalah, zine, dan bahkan tulisan di internet
yang nyata-nyata sebagai bentuk benturan peradaban. Islam selalu dihadapkan dengan
Kapitalisme dan Sosialisme. Bahkan saat ini, pertarungan Islam dengan Kapitalisme-
Sekularisme sedang panas-panasnya. Internet bahkan menjadi medan perang ideologi
paling efektif untuk membidik kaum intelektual. Sudah banyak website yang menyerang
Islam, meskipun berlabel Islam. Kita harus waspada. Perang ideologi pun bisa kita
jumpai lewat film. Islam, Kapitalisme, dan Sosialisme juga getol mempropagandakan
ideologinya lewat film. Di film Die Hard 4.0 yang dibintangi Bruce Willis bahkan ada
dialog yang secara implisit menyebut kaum muslimin sebagai teroris. Film “True Lies”
(1994), menggambarkan seorang teroris berkebangsaan Arab yang membawa senjata
nuklir. Film yang dibintangi aktor kekar Arnold Schwarzenegger sedang memerangi
teroris Crimpson Jihad.

Islam juga tak tinggal diam. Film ar-Risalah alias The Message yang dibesut oleh
sutradara Moustapha Akkad pada tahun 1976 telah menjadi film yang sangat bagus dan
cukup detil dalam menyampaikan pesan Islam kepada seluruh dunia. Bahkan konon
kabarnya di Jepang ketika film in diputar di bioskop-bioskop di sana, banyak orang
Jepang yang masuk Islam. Moustapha Akkad pernah mengatakan, “Film-film sejarah
memiliki daya kreativitas yang sangat tinggi. Film-film modern hanya memiliki
kelebihan di bidang dialog dan teknik pembuatannya, akan tetapi ia tidak memiliki
kreativitas tersebut. Kita umat muslimin memiliki masa lalu yang indah, yang sangat
berguna untuk kita jadikan sebagai pelajaran bagi masa depan kita. Kekhawatiran besar
saya ialah terhadap jebakan-jebakan yang dipasang oleh musuh-musuh kita. Jebakan-
jebakan ini mereka tebarkan melalui propaganda lewat media-media massa mereka.
Menurutku media massa dapat dijadikan sebagai senjata yang jauh lebih mematikan
daripada bom dan tank.

Hegemoni pers Barat terhadap arus informasi dunia sangat berperan memicu serangan
balik ini. Barat telah memarginalkan media muslim, terutama informasi terkait dengan
jihad. Umat Islam hanya mendapat informasi dunia dari media Barat melalui Reuters,
AFP, CNN, BBC, ABC dan sebagainya yang tentunya tidak steril dari kepentingan. Barat
berhasil mengontrol informasi dunia serta menghujamkan nilai dan ideologinya dengan
memproduksi sekitar 6 juta kata per hari, sementara Timur (Islam) hanya 500 ribu.
Ketimpangan informasi dan geliat jihad global yang mulai bangkit akhirnya mendorong
umat Islam membuat media massa tandingan. Hal ini juga didorong oleh keyakinan
bahwa menulis dan menyebarkan informasi yang dapat memotivasi jihad merupakan
bagian dari jihad dengan lisan. Dari sinilah lahirnya puluhan bahkan ribuan situs Islam,
milis, forum, video-video jihad yang dikelola oleh kaum Muslim, seperti al-Jazera, al-
Ikhlas, al-Firdaus, Sawtul Islam, Kavkaz Center dan lainnya yang berskala internasional.

Terjadinya Pengetahuan
Vauger menyatakan bahwa titik tolak penyelidikan epistemologi adalah situasi kita, yaitu
kejadian. Kita sadar bahwa kita mempunyai pengetahuan lalu kita berusaha untuk
memahami, menghayati dan pada saatnya kita harus memberikan pengetahuan dengan
menerangkan dan mempertanggung jawabkan apakah pengetahuan kita benar dalam arti
mempunyai isi dan arti. Bertumpu pada situasi kita sendiri itulah sedikitnya kita dapat
memperhatikan perbuatan-perbuatan mengetahui yang menyebabkan pengetahuan itu.
Berdasar pada penghayatan dan pemahaman kita dan situasi kita itulah, kita berusaha
untuk mengungkapkan perbuatan-perbuatan mengenal sehingga terjadi pengetahuan.

Akal sehat dan cara mencoba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha manusia
untuk menemukan penjelasan mengenai berbagi gejala alam. Ilmu dan filsafat dimulai
dengan akal sehat sebab tidak mempunyai landasan lain untuk berpijak. Tiap peradaban
betapapun primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat.
Randall dan Buchlar mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh
lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan. Sedangkan
karakteristik akal sehat, menurut Titus, adalah (1). Karena landasannya yang berakar
pada adat dan tradisi maka akal sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan
pengulangan, (2). Karena landasannya yang berakar kurang kuat maka akal sehat
cenderung untuk bersifat kabur dan samar, dan (3). Karena kesimpulan yang ditariknya
sering berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih lanjut maka akal sehat lebih merupakan
pengetahuan yang tidak teruji.

Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis


mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Menurut Popper, tahapan ini
adalah penting dalam sejarah berpikir manusia yang menyebabkan ditinggalkannya
tradisi yang bersifat dogmatik yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin dan
digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk yang masing-masing mencoba
menemukan kebenaran secara analisis yang bersifat kritis.

Dengan demikian berkembanglah metode eksperimen yang merupakan jembatan antara


penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara
empiris. Metode ini dikembangkan lebih lanjut oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad
keemasan Islam. Semangat untuk mencari kebenaran yang dimulai oleh para pemikir
Yunani dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. Dalam perjalanan sejarah, lewat
orang-orang Muslimlah, dunia modern sekarang ini mendapatkan cahaya dan
kekuatannya. Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini mempunyai
pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia, sebab dengan demikian berbagai
penjelasan teoritis dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.
Dengan demikian berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir
deduktif dan induktif.

Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Metode,
menurut Senn, merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang memiliki
langkah-langkah yang sistematis. Metodologi ilmiah merupakan pengkajian dalam
mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah
merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.

Proses kegiatan ilmiah, menurut Riychia Calder, dimulai ketika manusia mengamati
sesuatu. Secara ontologis ilmu membatasi masalah yang diamati dan dikaji hanya pada
masalah yang terdapat dalam ruang lingkup jangkauan pengetahuan manusia. Jadi ilmu
tidak mempermasalahkan tentang hal-hal di luar jangkauan manusia. Karena yang
dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula.
Einstein menegaskan bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, apapun
juga teori-teori yang menjembatani antara keduanya.
Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam
dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan
secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan
suatu penjelasan rasional yang berkesusaian dengan obyek yang dijelaskannya. Suatu
penjelasan biar bagaimanapun meyakinkannya, harus didukung oleh fakta empiris untuk
dinyatakan benar.

Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-


langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya
secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan
yang sesuai dengan fakta dari yang tidak.

Pertarungan teori-teori
Dari Kamus Wikipedia, ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata tersebut
diciptakan Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan ‘’sains tentang
ide”. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, cara memandang segala
sesuatu, akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau serangkaian ide yang
dikemukakan kelas masyarakat dominan walaupun minoritas kepada seluruh anggota
masyarakat yang mayoritas. Ideologi juga dapat didefinisikan sebagai aqidah ‘aqliyah
(akidah yang sampai melalui proses berpikir) plus aqidah naqliyah yang melahirkan
aturan-aturan dalam kehidupan. Di sini akidah ialah pemikiran menyeluruh tentang alam
semesta, manusia, dan hidup; serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan
di samping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan.

Dari definisi di atas, sesuatu bisa disebut ideologi jika memiliki dua syarat, yakni:
1. Ide yang meliputi aqidah ‘aqliyah dan aqidah naqliyah yang keduanya memberi jalan
dan aturan bagi kehidupan dan masalah kehidupan. Jadi, ideologi harus unik karena harus
bisa memecahkan problematika kehidupan.
2. Metode yang meliputi metode penerapan, penjagaan, dan penyebarluasan ideologi.
Jadi, ideologi harus khas karena harus disebarluaskan ke luar wilayah lahirnya ideologi
itu.
Jadi, suatu ideologi bukan semata berupa pemikiran teoretis seperti filsafat, melainkan
dapat dijelmakan secara operasional dalam kehidupan. Menurut definisi kedua tersebut,
apabila sesuatu tidak memiliki dua hal di atas, maka tidak bisa disebut ideologi,
melainkan sekedar paham. Dalam ilmu sosial, ideologi politik adalah sebuah himpunan
ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan
menawarkan ringkasan order masyarakat tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai
dirinya dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan.

Kaum kapitalis dan sosialis ’menghadirkan’ dialektika dalam keseharian hidup kita.
Mereka berlomba mencipta teori-teori baru untuk meyakinkan masyarakat dunia, bahwa
konsep mereka adalah jalan menuju masa depan yang baik. Para teoretisi kapitalis,
misalnya, melahirkan teori-teori modernisasi, antara lain: teori pembangunan, teori
tabungan dan investasi, dan sebagainya. Teori kaum ini yang mutakhir adalah ide tentang
Neoliberalisme melalui gerakan globalisasi dan pasar bebasnya. Di sisi lain, kaum
sosialis pun, tak kalah menggertaknya. Karl Marx, memelopori untuk menelanjangi
keserakahan kaum kapitalis melalui teori Materialisme dialektika-historisnya, Althusser
dengan teori Strukturalisnya, Antonio Gramsci dengan teori Hegemoninya, hingga teori
"kritis"oleh Max Hokheimer dan (mazhab frankfurtnya) yang mengajukan kembali
konsep dasar Marx, yakni pembebasan manusia dari segala belenggu penindasan dan
penghisapan.

Di luar dua pemain besar ini,muncul juga pemikiran postmodernisme yang keluar dari
tradisi Aufklarung. Ragam pemikiran postmodernisme bersatu dalam sebuah ide
bersama, penolakan atas "narasi-narasi” besar penyelamatan manusia, menolak
obyektifitas ilmu pengetahuan, dan menolak pemikiran dikotomis. Penekanan ideologi ini
kepada hak untuk berbeda (the right of different). Melalui teori dekonstruksi, dengan
Jacques Derrida sebagai motornya, paham ini memutus rantai perdebatan ideologi yang
bertikai beserta seluruh rasionalitas yang membenarkannya. Isme-isme besar itu akan
kehilangan pengikut dan pendukung bersamaan dengan berakhirnya utopia dalam
masyarakat modern. Tidak ada lagi keyakinan sistematis yang dapat menjawab
tantangan-tantangan dunia yang kian kompleks.

The end of History and The last mannya Francis Fukuyama mewartakan kemenangan
kaum kapitalisme."Kita dapat menyaksikan, "demikian katanya…akhir sejarah yang
sedemikian itu: yakni akhir dari evolusi ideologis umat manusia dan universalisasi
demokrasi liberal barat sebagai bentuk final dari sistem pemerintahan manusia.”
Pertarungan ideologi mungkin berakhir, tetapi bagi masyarakat dunia ancaman pertikaian
yang lebih besar akan terjadi. Samuel P. Huntington, menulis sebuah artikel yang
kemudian menjadi buku, The Clash of Civilization and The Remaking of World Order.
Sejak tahun 1993, ia mewarningkan kemungkinan benturan antar peradaban dunia, yang
antara lain meliputi budaya, dan agama akan mewarnai dunia di masa depan. Bom di
WTC 11 September 2001, konflik-konflik etnis, dan agama diseluruh dunia, hingga
tragedi Bom Bali I dan II mungkin bisa menyadarkan betapa kita manusia, makhluk
mulia ciptaan Tuhan menjadi sangat kejam akibat dari kesadaran ideologi.

George Ritzer, dari kubu sosialis, jauh-jauh hari telah mengcounter Fukuyama dengan
mengatakan kemenangan kapitalisme disebabkan karena supporting systemnya lebih
mempunyai kekuatan dan kekuasaan, bukan karena teori ini lebih manusiawi, lebih baik,
apalagi lebih benar. Kemunculan pengetahuan ilmiah yang lebih realistis dalam melihat
gejala-gejala sosial akan mendesakralisasi keberadaan ideologi.

Indonesia dalam Pertarungan Ideologi


Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia, tak terlepas dari pengaruh
ideologi sejak zaman pra kemerdekaannya. Namun, secara umum perbedaan pandangan
akan ideologi dapat dikemas menjadi sebuah alat pemersatu. Sukarno menulis dalam
Suluh Indonesia Muda, tahun 1926 tentang Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme
sebagai faham-faham yang menjadi roh pergerakan di Indonesia, bahkan di Asia. Tetapi
jauh sebelumnya Indische Partij, Sarekat Islam, I.S.D.V (Indische Sociaal Democratische
Vereniging) telah merumuskan ideologinya masing-masing sebagai alat perjuangan.
Setelah kemerdekaan, pemerintah mulai mengalami kesulitan menangani perbedaan
ideologi-ideologi ini, mulai dari pemberontakan kaum komunis tahun 1948 di Madiun,
DI/TII dan Permesta hingga tragedi PKI tahun 1965. Sejak saat itu, seolah-olah bangsa
Indonesia trauma dengan sejarah pertarungan ideologi. Maka mulailah dijalankan sistem
represif oleh rezim penguasa dengan mewajibkan semua ormas dan orpol menggunakan
satu asas sebagai ideologi, Pancasila. Meski dalam prakteknya sangat ambigu bangsa ini
justru terseret jauh dalam pusaran sistem ekonomi kapitalisme, bahkan kapitalisme global
dengan neoliberalismenya.

Berbeda dengan masa Orde Baru yang menggunakan pendekatan represif, hegemonik,
dan proses indoktrinisasi melalui P4 sebagai alat untuk meneguhkan kekuasaan, sejak era
Reformasi bangsa ini mulai kembali diramaikan oleh berbagai ideologi Islam,
Nasionalisme, Sosialisme, Marhaenisme, Kristen, dan sebagainya. Disisi lain,
terperangkapnya Indonesia ke dalam "ideologi" Pancasila yang ditafsirkan secara
monolitik dan hegemonik oleh penguasa orde baru adalah pengalaman masa lalu. Filsuf,
yang juga pakar etika politik Prof. Dr. Franz Magnis Suseno SJ berpendapat, jangan
pernah lagi menyerahkan negara dan bangsa Indonesia ini kepada penafsiran monolitik
dan bias kekuasaan akan ideologi apapun.

Menurutnya, Pancasila ia lebih sepakat menganggapnya sebagai dasar negara lebih tepat
disebut kerangka nilai atau cita-cita luhur bangsa Indonesia secara keseluruhan. Lebih
lanjut ia mengatakan, ideologi manapun termasuk komunisme, selalu punya cacat
metodologik yang serius. Alasannya, karena ia telah menyelundupkan serta menyelipkan
kategori paham benar-salah ke dalam politik praktis. Ragam warna ideologi tanah air kita
belakangan ini, dengan berbagai tuntutan seperti penegakan syariah Islam, Pemilu 2009
yang akan datang bisa saja menjadi ajang deideologisasi dunia pendidikan dan memberi
pertimbangan bagi kita bahwa sebaiknya Pancasila tidak disandingkan dengan Ideologi-
ideologi tersebut. Saya sepakat dengan pemikiran Pancasila sebagai ”kontrak sosial”
yang membingkai dan mengelola pluralitas bangsa Indonesia. Sebagai kontrak sosial, ia
berdiri di atas semua ideologi karena ia merupakan suatu dasar kontrak pembentukan
negara Indonesia. Sehingga berarti, jika Pancasila diubah maka niscaya pembubaran
Negara Kesatuan Repulik Indonesia harus dilakukan terlebih dahulu.
Kalau kategori benar-salah itu sudah menjadi sebuah praksis berpolitik, konsekuensi
logikanya jelas, yakni pemerintahan akan menjadi totaliter. Padahal, dalam politik praktis
sebenarnya hanya dikenal kategori baik-buruk dengan beberapa variannya. Kategori
benar-salah itu hanya ada dalam kerangka sebuah teori atau ajaran dan bukan pada
tataran praktis. Inilah yang menjadi tantangan kita dalam melakukan kontekstualisasi dan
implementasi Pancasila. Memandang baik-buruk sebagai problem etika dengan benar
salah sebagai problem teoritis, bukan berarti keduanya bertentangan. Karena setiap yang
baik adalah benar dan setiap yang buruk adalah tidak benar. Seperti curang dalam
perdagangan adalah tidak baik dari sisi etika, tetapi dapat dibuktikan juga bahwa perilaku
tersebut tidak benar karena dalam jangka panjang akan merugikan pelakunya, seperti
sepinya pembeli, atau bahkan lebih halus dari itu yaitu problem psikologi seperti tekanan
mental.

Reformasi, keterpurukan ekonomi, dan beberapa kali amandemen UUD 45 membuat kita
lupa atau setidaknya sedikit mengabaikan prinsip universal Pancasila yang merupakan
kristalisasi kearifan dan kebijaksanaan (wisdom), nilai dan budaya, serta bentangan
sejarah bangsa. Akibatnya, kehidupan kebangsaan yang kita jalankan nampak carut-
marut. Cara hidup beragama yang dikembangkan pun masih melestarikan kekerasan,
konflik, dan aroma truth claim di masyarakat. Perdamaian dan kesepahaman yang
bergaya militeristik tanpa jiwa Pancasila menempa anak bangsa tumbuh dalam
kebengisan, dendam, dan degradasi moral.

Pancasila Sebagai Ideologi alternatif


Banyak yang meragukan bangunan teoritis Pancasila. Bahkan kredo, bahwa pancasila
semacam ideologi “gado-gado” yang tak jelas orientasi dan dasarnya, telah di jadikan
opini kuat yang terseret arus reformasi. Uforia reformasi tak hanya berdampak positif
pada perkembangan demokratisasi, hak asasi manusia, dan desentralisasi. Tetapi
memiliki aspek negativa, di mana nilai-nilai globalisasi dan kosmopolitanisme terbawa
tanpa saringan yang memadai untuk di konsumsi khalayak masyarakat Indonesia.
Benarkah Pancasila masih bisa dijadikan sebagai ideologi bangsa Indonesia, falsafah atau
bahkan pandangan hidup. Ataukah hanya sekadar mitos an sich yang kini makin atos
(keras) dalam terminologi Dawan Rahardjo untuk mengejawantahkannya dalam
kehidupan sehari-hari.

Dari pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa orang semakin tidak peduli terhadap
Pancasila. Maksudnya ada atau tidak adanya Pancasila bukan menjadi persoalan. Seperti
ungkapan di dunia pesantren wujuduhu ka adamihi. Lihat saja negara yang ideology
liberal, banyak yang maju. Hal ini karena tidak terikat oleh doktrin yang totaliter yang
membatasi kebebasan berpikir. Akhirnya merekapun bisa bebas berkreasi dan
berdialektika dalam ranah pengetahuan sebagai pengganti dari ideologi semacam
Pancasila.

Kalau begitu, seperti apakah Pancasila ala Indoensia itu bisa bermain. Dalam kerangka
dan nilai seperti apa ia bisa membangun masyarakat dan negara. Jawabannya bahwa
Pancasila itu dapat menjadi semacam korelasi nilai di negara yang plural dan majemuk.
Sebab, negara yang plural dan majemuk memerlukan landasan nilai. Tanpa Pancasila
sebagai sistem nilai, dalam negara, seolah tidak ada lagi penjaga gawang, garis demarkasi
dan wasit moral. Guna mengatasi persoalan di atas, salah satu solusi yang bisa
ditawarkan ialah: dunia pendidikan memiliki urgensi untuk melakukan reideologisasi ke
dalam internal organnya masing-masing. Namun, agar tak mengulang kesalahan era Orde
Lama, hendaknya reideologisasi tidak lagi menyoal posisi Pancasila.

Pancasila sebagai ideologi negara sudah final, seperti termaktub dalam Pembukaan UUD
1945. Sedangkan Pembukaan UUD 1945 adalah prinsip dasar bernegara yang tak bisa
kita ubah. Mengubah Pembukaan UUD 1945, yang memuat suasana batin proklamasi 17
Agustus 1945, sama saja hendak merobohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Sebagai implikasinya, mestinya juga tidak ada lagi partai yang mempolitisasi
Pancasila, misalnya dengan mengklaim seolah-olah hanya kelompoknya sendiri yang
akan mempertahankan Pancasila, namun dengan maksud tersembunyi hendak menyerang
partai lain sebagai kurang atau tidak Pancasilais. Klaim-klaim demikian tidak relevan lagi
jika diletakkan dalam konteks bahwa Pancasila sebagai ideologi bersama sudah bersifat
final dan diterima oleh semua kelompok.
Karena itu, reideologisasi idealnya hanya bermain pada tataran sejauhmana partai-partai
akan mengimplementasikan tujuan negara sesuai visi dan misi masing-masing. Dalam
posisi ini, ideologi partai hanyalah aksentuasi salah satu atau semua aspek tujuan
bernegara dilihat dari sudut visi dan misi partai. Dengan kata lain, kompetisi antarpartai
adalah dalam level implementasi Pancasila. Pancasila sendiri harus didudukkan sebagai
ideologi negara yang berfungsi sebagai pemersatu atau meminjam istilah Cak Nur
(Nurcholish Madjid) common denominator (titik temu) di antara ideologi partai yang
beragam. Mengklaim Pancasila sebagai hanya milik partai tertentu justru mereduksi
posisi Pancasila sebagai ideologi pemersatu ini. Selayaknya hanya TNI, Polri, aparat
birokrasi, dan lembaga-lembaga negara yang tidak partisan, yang secara etis bisa
mengklaim berideologi Pancasila. Sedangkan jika partai-partai melakukan klaim atas
Pancasila, dikhawatirkan sekadar melakukan politisasi atas Pancasila. Seperti PKI pernah
merebut kata “rakyat” dan Masyumi merebut kata “umat”: dua kata yang sebetulnya
milik bersama seluruh bangsa.

Ideology alternatif
Di tengah telikungan kapitalisme global yang dicirikan kondisi pasar dan kekuatan modal
serta arus sosialisme yang dicirikan intervensi total pemerintah, Pancasila sebenarnya
merupakan sumber ideologi alternatif. Sifat dan karakter alternatif Pancasila terletak pada
beberapa hal. Pertama, Pancasila merupakan ideologi yang bersifat terbuka. Kedua,
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila sifatnya sangat universal. Ketiga, pola
pikir keterkaitan kelima prinsip Pancasila dalam kesatuan, dalam terminologi Prof.
Notonagoro. Ketiganya, secara bersama-sama, menjadi simpul perekat yang
di(ter)manifestasikan sebagai cara hidup (way of life), dasar negara dan pokok pikiran
dalam hukum, kebiasaan (habitus) yang semestinya mewarnai kepribadian bangsa.

Dalam bahasa simbolis kearifan dan kebijaksanaan kultural, kesatuan ketiganya


dilukiskan dengan realitas telur yang selalu ada pada setiap acara ritual selametan atau
kenduri dalam masyarakat Jawa, contohnya. Sebutan telur sebagai akronim tiga yang
berdamai (telu kang akur) atau dalam bahasa Jawa tingkat tinggi (krama inggil) disebut
tigan, menggarisbawahi kesatuan bulat tiga elemen dasar, yaitu kuning telur, putih
telur,dan kulitnya sebagai satu kesatuan utuh. Dalam kearifan dan kebijaksanaan Timur,
satu kesatuan utuh dari realitas telur sekaligus merupakan gambaran signifikansi
keterpaduan sempurna dari cipta, rasa, dan karsa yang menciptakan kedamaian hati dan
kejernihan pikiran.

Demi ”keberlanjutan” NKRI dan kesatuan seluruh warga Indonesia yang aman dan
sejahtera, kembalilah ke sumber ideologi bangsa, yaitu Pancasila, dengan berupaya
menafsirkan, menghayati, dan mengamalkannya secara kultural dalam segenap aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara. Implementasi sumber ideologi Pancasila dalam
tertib hukum yang tegas dan dijalankan dengan profesionalitas, kesungguhan, dan
dedikasi tinggi akan mengembalikan kepercayaan diri bangsa, menjadi simpul perekat
kesatuan, dan semangat kebersamaan sebagai sebuah bangsa.

Redefinisi dan reimplementasi prinsip-prinsip fundamental Pancasila menjadi tolok ukur


normatif yang akan membuat semua pihak berani untuk bertindak adil dengan kepastian
hukum yang tegas. Bahkan seorang Presiden pun tak perlu merasa terkungkung dalam
keraguan karena ada tolok ukur normatif yakni Pancasila guna menentukan kebijakan,
arah, dan tujuan pemerintahannya. Aparat Kepolisian pun tidak perlu takut dan tertegun
tanpa daya menyaksikan perusakan tempat-tempat ibadah oleh sebagian kelompok
masyarakat tanpa alasan yang jelas, sebab ada tolok ukur normatif bersama.

Upaya Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila


Dalam buku The Meaning of The 20th Century, Kenneth E Boulding, seperti dikutip oleh
Siswono Yudohusodo dalam makalahnya didalam sebuah seminar menyatakan,
"Kebenaran yang diakui benar oleh semua orang bukan ideologi yang patut
diperjuangkan. Kebenaran yang diakui benar oleh sebagian orang adalah ideologi yang
patut diperjuangkan". Agar Pancasila sebagai ideologi dan falsafah hidup bangsa tetap
mempunyai semangat untuk diperjuangkan dan dipertahankan oleh rakyat Indonesia, kita
perlu menerima kenyataan belum diterimanya Pancasila oleh semua elemen dalam
masyarakat. Oleh karena itu kita harus terus menggali dan mengkontekstualisaikan nilai-
nilai luhur Pancasila dengan konteks zaman kekinian.

Pada persoalan kegamangan Pancasila secara epistemologi, di ketahui bahwa berbagai


macam ideologi bangsa-negara selalu mengetengahkan pandangan yang memiliki naskah
akademik. Naskah akademik yang di tulis secara serius oleh filosof-filosof yang
berpengaruh. Umpamanya, paham sosialisme-komunis yang di konstruksikan secara
ilmiah oleh Das Capital-nya Karl Marx. Kemudian kapitalis klasik yang disuarakan oleh
filsof moral The Weath of Nation-nya Adam Smith. Terakhir, liberalisme dikemukakan
melalui Essay Concerning Human Understansding. Sedangkan Pancasila, Soekarno-kah
yang bersamaan dengan penerimaan doctor honoris causa dari UGM menolak disebut
pembuat Pancasila. Lalu, bangunan teoritisnya, dari buku yang mana?. Harus diakui
Pancasila belum memiliki sandaran teoretis yang dapat diandalkan.

Inilah kenapa, Pancasila kemudian banyak kritik. Sila pertama ketuhanan di pandang
menyerupai ideologi teokrasi, mirip dengan sistem abad pertengahan di dunia barat, saat
raja-gereja menjadi satu, ataupun sistem khilafah di Timur Tengah, di mana para sahabat
menjadi pemerintah sekaligus badan peradilan. Sila kemanusiaan Pancasilan
mencerminkan bahasa dari paham liberalisme, yang mengagung-agungkan hak asasi
manusia individual ketimbang hak kolektif. Terakhir, kritik pedas pada sila terahir,
keadilan sosial yang mirip konsepsi Marxisme-Leninisme yang hendak menghancurkan
antagonisme kelas. Melihat semuanya, ingin di sama-ratakan.

Pancasila perlu disosialisasikan kembali secara kultural agar dipahami oleh dunia sebagai
landasan filosofis bangsa Indonesia dalam mempertahankan eksistensi dan
mengembangkan dirinya menjadi bangsa yang sejahtera, berkeadilan, serta demokratis.
Pancasila harus menjadi sebuah ideologi yang bertipikal pathfinder (kreatif) dalam
menciptakan dan menemukan dataran-dataran baru bagi upaya memahami realitas
kebangsaan kita secara lebih menyeluruh (baca: utuh). Hanya dengan mencapai kondisi
bangsa yang maju, sejahtera, berkeadilan dan demokratis bangsa Indonesia dapat menjadi
salah satu bangsa yang disegani di dunia. Saat itulah Pancasila berpotensi untuk diterima
oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Indonesia pun akhirnya dapat berperan sentral dalam
kehidupan internasional.

Bahwa Pancasila bukanlah, sebuah paham asal-asalan, melainkan paham yang sudah
lama terpendam dalam sanubari dan akar kultur masyarakat indonesia sejak 350 tahun
lamanya. Pancasila adalah ”sistem filsafat”. Pancasila memiliki metode holistik,
komprehensif, intregal, dan sistemik. Bukannya, filsafat berisikan nilai-nilai universal
yang terdapat dari Sabang hingga Merouke saja, melainkan memiliki basis epistemik
yang bisa di perdebatkan. Pancasila merupakan kristalisasi Indonesia. Pancasila
memandang Indonesia secara luas, dalam, filosofis, dan menyeluruh. Singkat kata,
Pancasila memandang Indonesia secara keseluruhan, bahkan memandang kepentingan
dunia internasional sekaligus.

Metode holistis yang di gunakan Pancasilan ternyata sejalan dengan perkembangan sains
modern. Di mana pendekatan keilmuan yang dipakai di dalam sains pascamodern telah
mengalami banyak perubahan. Diferensiasi tekno-sains yang telah terfragmentasi begitu
banyaknya luluh lantah dewasa ini. Pendekatan holistis, yang mengedepankan
penyelidikan interdisipliner dalam menanggulangi permasalahan kehidupan manusia
telah berlangsung lama. Persoalan kehidupan manusia tidak bisa diselesaikan dengan satu
disiplin ilmu saja, melainkan dari berbagai ilmu yang terpadu, eksakuantitaif-sosiologis,
filosofis, dan teknologis. Sebagaimana yang dimaksud dengan kesatuan pengetahuan (the
unity of knowledge) oleh Wilson. Ataupun pendekatan holistik dan sistemik yang
diungkapkan oleh Fritjof Capra.

Pancasila menyediakan pendekatan keilmuan melampui modern dan positivisme. Bahkan


boleh di katakan, pendekatan holitis lebih dulu terkandung oleh Pancasila ketimbang di
kampanyekan oleh ilmuwan sains terbaru saat ini. Kita patut bersyukur, bahwa kita
sebenarnya memiliki paham kerangka epistemologi (pancasila) yang melampaui modern
dan positivisme itu. Pemikiran Pancasila tak sebatas yang tertulis dalam teks tanpa
makna. Tetapi Pancasila jelas lima pilar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Pernah menjadi sebuah perdebatan yang menarik, khususnya yang di motori oleh Prof.
Driyarkara yang memandang belum tepatnya jika Pancasila itu masuk ke ranah filsafat.
Masih perlu falsifikasi, verifikasi, dan apalah namanya, yang intinya adalah skema
pendukung Pancasila sebagai sebuah filsafat. Pancasila lebih tepatnya, sebagai jiwa
bangsa.

Pemikiran barat yang mengedepankan rasionalitas, melembagakan budaya berpikir


logosentrisme. Paham yang mementingkan unsur logis saja. Tipikal pemikiran seperti ini
pada umumnya identik dengan pola berpikir para filsof modern. Filsof modern yang di
mulai semenjak renaissance, mengunggul-unggulkan rasionalitas di atas segala-galanya.
Entah itu aliran pemikiran rasionalisme Prancis Rene Descates, Spninoza, Pascal, dst,
maupun empirisme Inggris Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, Berkeley. Hingga
pencerahan (aufklarung) di Jerman yang menciptakan aliran besar filsafat idealisme
Immanuel Kant, Hegel, Ficthe, Scelling. Semuanya itu lebih mengedepankan rasionalitas.
Namun, pada akhirnya pemikiran modern pun banyak di gugat oleh rumpun pemikiran
post-modern. Logosentrisme di nilai gagal menjalankan misinya untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan manusia yang sesuai dengan kebutuhan manusia-nya. Tekno-sains
berkembang berdasarkan disensus bukan konsensus yang menitik beratkan pada post-
humanisme. Ilmu pengetahuan telah kehilangan kepercayaannya (delegitimasi).

Belakangan ini posisi Neo-Apollonian, pendukung etika ilmiah tradisional dari


rasionalisme dan positivisme, telah diserang habis-habisan karesna telah
menyengsarakan manusia seperti saat ini. Masalah-masalah sekarang ini, kehancuran
lingkungan, terasingnya manusia dari alam dan krisis ideology didalam tubuh sains itu
sendiri, dituduhkan kepada etika rasionalis konvensional. Serangan ini dilancarkan oleh
kalangan Neo-Dionysian atau mistikus-mistikus ilmiah. Serangan kalangan Neo-
Dionysian ini bertolak dari anggapan bahwa rasionalitas ilmiah itu sangat merendahkan
kedudukan manusia didalam masyarakat kontemporer. Jadi tidak dipermasalahkan bahwa
sains memberikan sebuah basis yang baru dan rasional bagi tingkah laku manusia.
Menurut kaum Neo-Dionysian, rasionalitas ilmiah harus diganti dengan sebuah “etika
baru”, etika yang akan mengabsahkan politik ekologi yang sehat dan yang akan
meluaskan sebuah pandangan moral pribadi yang luhur (Sardar, 1989).

Everet Mendelsohn misalnya mengungkapkan : “Bisakah kita menciptakan sebuah ‘cara


mengetahui’ yang baru sebuah epistemology baru yang cocok untuk menangani masalah-
masalah yang ditumbulkan sains didalam sebuah budaya industri dan teknologi tinggi dan
untuk menangani krisis-krisis yang berkaitan, yaitu krisis-krisis yang telah timbul bagi
sesmua ilmu-ilmu kemanusiaan?. Bagaimanakah bentuk ‘cara mengetahui’ yang baru
itu:Bahwa sains sebagai sebuah cara mengetahui dan berbuata perlu diubah hingga
keakara-akarnya adalah suatu yang saya angap sebagai keharusan. Tanda-tanda kini telah
nampak disekeliling kita dan kita masih berpretensi bahwa yang harus kita lakukan
hanyalah bersembunyi kedalam lobang perlindungan untuk menghindari sebuah badai,
hanyalah menunjukkan kebutaan diri kita sendiri.

Lihatlah apakah hubungan sains dan perang. Sudah jelas bahwa salah satu akibat yang
paling merugikan dan paling tragis karena hubungan antara sains dengan otoritas secular
adalah kesediaan sains untuk mengabdi otoritas itu dengan segala kenetralan
yangdikumandakannya. Sains, baik yang merupakan ilmu pengestahuan alam maupun
social, telah menjadi bagian integral dai ssebuah system kekejaman, yaitu sebuah istem
yang menciptakan perang. Berulangkali, sains baik yang merupakan ilmu pengetahuamn
alam maupun social , telah menyatakan bahwa pengetahuan-pengetahuannya adalah
netral dan dapat digunakan untuk maksud baik ataupun jahat. Namun pengetahuan-
pengetahuan itu sendiri didalam perkembangannya tidak pernah mengecam kekejaman.
Karena tidak ada kecaman terhadap kekejaman itu dapatlah kita katakana bahwa
pengetahuan dan teknik itu bisa dibeli untuk melakukan kekejaman. Berbuat kejam
karena lalai tidak kurang celakanya ketimbang berbuat kejam dengan sengaja; ketidak
sengajaan itupun ternyata mempunyai beban normative juga (Mendelsohn, 1973 dalam
Sardar, 1989).

Aliran pemikiran kontemporer, post-modern dan post-strukturalis menolak sebuah narasi


besar. Menolak sebuah hal yang universal. Termasuk penggunaan rasionalitas yang
berlebih-lebihan yang ditentang keras oleh tradisi pemikiran Post-modern. Pembelaan
yang paling akhir terhadap sains sebagai kebenaran obyektif, yakni etika Neo Apollonian
Wineberg mengemukkan bahwa begitu seorang ilmuwan bertekad untuk mengikat
kontrak dengan alam dengan tujuansatu-satunya untuk menemukan hokum-hukum alam,
maka iapun akan menjadi murid alam (Wineberg, dalam Sardar, 1989). Tekad itu sendiri
adalah sebuah petimbangan nilai. Tetapi setelah mengikat kontrak tersebut ilmuwan tidak
dapat menyangkal bukti-bukti yang diberikan alam, bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa hukum-hukumnya adalah impersonal dan bebas nilai. Kesimpulan Wineberg tentu
saja bersifat implicit didalam epistemology etika rasional Neo Apollonian dan
sokongannya terhadap sains sebagai aktivitas manusia yang bebas nilai dan berguna
secara hirarki menjadi semacam keyakinan.

Banyak orang menilai, bahwa pemikiran post-modern bukanlah semacam kerangka


epitemologi baru yang memiliki metodologi yang dapat digunakan secara praksis. Tujuan
post-modern itu adalah membidik kesadaran manusia. Hingga rumpun pemikiran ini juga
disebut, modern yang sadar diri, atau ultramodernisme, atau hipermodernisme. Pemikiran
barat telah banyak mengalami pergeseran. Orang yang semula belajar mengasah otaknya
dengan filsafat dan tekno-sains, tidak hanya di tuntut untuk menguasai ilmunya,
melainkan di pinta untuk memiliki kesadaran dan tanggung jawab akan keilmuannya.
Keilmuannya yang bermanfaat untuk kepentingan kemanusiaan.

Di era modern, orang belajar fisafat, tetapi tidak menjalankan atau mengamalkan apa
yang dipelajarinya. Bahkan tidak memiliki kesadaran dalam mempelajarinya. Tetapi,
kembali ke konsepsi pemikiran Pancasila, melampui tradisi pemikiran modern dan post-
modern. Yakni menyakini bahwa Pancasila itu bukanlah otak-atik nalar semata,
melainkan juga panduan hidup yang perlu di amalkan dan di implementasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Prinsip hikmah berasal dari sila keempat, dengan prinsip hikmah
berarti bangsa Indonesia dalam sikap mental dan tingkah lakunya senantiasa mencintai
hikmah atau mencintai kebenaran terhadap hokum-hukum yang mengatur alam semesta.
Persoalan hikmah adalah persoalan kebenaran atau merupakan persoalan filsafat, ilmu
pengetahuan dan tasawuf. Jika ilmu melihat kebenaran dari luar (berfikir obyektif),
filsafat melihat kebenaran dari dalam (berfikir radikal), tasawuf adalah mengalami
kebenaran itu sendiri untuk mencapai kebenaran. Dengan demikian antara ilmu, filsafat
dan tasawuf adalah sebagai satu kesatuan. Singkat kata, Pancasila melampaui rasio yang
diunggulkan oleh pemikiran modern, kesadaran oleh pemikiran post-modern, melainkan
sampai pada tahap bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan nyata. Pancasila tidak
hanya untuk dipikirkan, tidak pula di sadari, tetapi juga telah tercermin dalam perilaku
dan interaksi sosial masyarakat Indonesia. hikmah merupakan karunia yang berasal dari
Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu bangunan filsafat dan ilmu pengetahuannya
berlandaskan kepada keyakinan kepada adanyaTuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian
prinsip ilmu untuk ilmu sejauh mungkin dihindari oleh bangsa Indonesia. Karena
kemungkinan besar akan dapat menjerumuskan ilmuwan kesdalam pemikiran netralits
etik. Dengan demikian bertentangan dengan Ideologi Pancasila dan hati nurani bansa
Indonesia. Demikian pula berarti terdapat kaitan yang sangat erat atara metafisika- etika-
ilmu pengetahuan (hikmah) dan estetika.

Penutup
Sebagaimana tradisi pemikiran timur, yang tidak hanya mengedapankan rasio, tetapi juga
menekankan rasio yang diskursif dan perasaan yang intuitif. Harus ada kesejajaran antara
apa yang dipikirkan, apa yang diucapkan dengan apa yang dikerjakan. Peradaban timur
telah menghasilkan kekayaan yang cukup bermakna bagi kehidupan manusia dunia.
Peradaban yang sarat pemikiran filsafat timur memiliki gayanya sendiri. Beck
menunjukan kebutuhan falsafati timur yang dapat diukur dengan : pengetahuan tentang
kebaikan tertinggi (knowledge of the highest good) dan tindakan untuk mencapai
kebaikan tertinggi (action for the highest good). Ataupun Blanshard yang menilai bahwa
filsafat timur sebagai kebijaksanaan yang di dasari oleh perasaan (feelings) dan
keinginan/ nafsu/ birahi (desires) ketimbang pengetahuan. Kedua, penilaian itu di dasari
oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.

Kebenaran obyektif didalam sains sudah tentu ditarik dari apa yang disebut sebagai
metode ilmiah, yang mencakup pengamatan, eksperimen deduksi, validasi dan usaha-
usaha penyanggahan semuanya menyebabkan akumulasi fakta-fakta obyektif sebagai
tubuh pengetahuan (Sardar, 1989). Pandangan yang sekarang ini diterima mengenai
obyektivitas ilmiah menganggap pengamatan sebagai sebuah pengalaman indera yang
langsung rabaan, penicuman, warna, rasa dan lain-lain. Masalah positivisme ilmiah
memandang pengalaman-pengalaman ini sebagai dasar bagi metode ilmiah. Didalam
situasi-situasi tertentu emosi bisa menjadi senjata terampuh yang dimiliki seorang
ilmuwan. Mengharapkan seorang ilmuwan untuk mengabaikan perasaaan, emosi dan
simpati didalam dirinya adalah sama dengan mengharapkannya untuk menyangkal
kodratnya sendiri. Pengharapan seperti ini sama sekali tidak mungkin dan tak
dikehendaki.
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and


practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching:


research, policy, and practice for democratic education. Educational
Researcher, 25, 6:5-Dewantara,
Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge &
Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub


Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO
Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of


Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada
Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Ki Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian


Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki


Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited


by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_content
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com
Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.
http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down
load pada tanggal 16 November 2005
http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal
16 November 2005
http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November
2005
http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan Indonesia


Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi
Oleh : Rum Rosyid
Dosen FKIP Universitas Tanjungpura
Direktur Global Equivalency for Education

You might also like