You are on page 1of 24

A.

 PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Istilah korupsi berasal dari kata Bahasa Latin “coruptio” atau“corruptus”, berarti


kerusakan atau kebobrokan. Tindakan korupsi selalu dikaitkan dengan ketidakjujuran
seseorang di bidang keuangan.Pendapat lain mengemukakan, bahwa kata "korupsi"
berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam
bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpereyang berarti pecah atau
jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau
penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian.

Dalam Webster’s New American Dictionary’, istilah ‘corruption’diartikan


sebagai decay berarti lapuk, contamination berarti kemasukan sesuatu yang merusak,
dan impurity berarti tidak murni. Sedangkan istilah ‘corrupt’ diartikan sebagai ”to become rotten
or putrid” yang berarti menjadi busuk, lapuk, amat tidak menyenangkan, juga ”to induce decay
in something originally clean and sound” diartikan, memasukkan sesuatu yang lapuk atau busuk
ke dalam sesuatu yang semula berisi bersih dan bagus. Sedangkan dalam ‘Black’s Law
Dictionary’ istilah‘corrupt’ diartikan “having an unlawful or depraved motive; esp., influenced
by bribery; to change (a person’s morals or principles) from good to bad”. Sedangkan
istilah ‘corruption’ berarti “depravity, perversion, or taint; an impairment of integrity, virtue, or
moral principle; esp., the impairment of a public official’s duties by bribery”. Hal ini
berarti “The act of doing something with an intent to give some advantage inconsistent with
official duty and the rights of others; a fiduciary’s or official’s use of a station or office to
procure some benefit either personally or for someone else, contrary to the rights of
others”.Dalam ‘The Contemporary Inglish-Indonesian Dictionary’, istilah‘corrupt’ diartikan
tidak jujur, busuk, menyuap, menyogok, membusukkan, merusakkan, merusakkan moral.
Sedangkan istilah‘corruption’ diartikan sebagai penyuapan, pembusukan, kerusakan
moral. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah ‘korup’ diartikan buruk, rusak; suka
menerima uang sogok; memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Sedangkan istilah
‘korupsi’ diartikan, penyelenggaraan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan
pribadi. Dalam terminologi Hukum istilah ‘corrupt’ diartikan sebagai berlaku immoral;
memutarbalikkan kebenaran. Istilah ‘corruption’, berarti menyalahgunakan wewenang, untuk
menguntungkan dirinya sendiri.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pengertian


korupsi adalah penyelahgunaan wewenang demi kepentingannya sendiri. Perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam istilah–istilah tersebut tidak mempunyai efek yuridis sama sekali, sebelum
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, karena korupsi merupakan kejahatan dalam
arti yuridis.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas


Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
dimaksud dengan korupsi adalah sebagai berikut.

Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Dalam Penjelasan UU No. 20 Tahun 2001 diuraikan bahwa

yang dimaksud keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan
alasan pemberatan pidana (dana penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan ksrisis ekonomi dan
moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun clan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).

Pasal 4

Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan


dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Berdasarkan ketentuan di atas diketahui bahwa unur-unsur tindak pidana korupsi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah: setiap orang (manusia maupun korporasi), melawan
hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Sedangkan dalam Pasal 3 ditentukan bahwa tindak pidana korupsi
mempunyai unsur-unsur: setiap orang, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi,
menyalahgunakan wewenang, dapat merugikan keuangan atau perekonimian negara.

Sedangkan dalam Pasal 5 mengatur tentang (1) orang yang memberi atau menjanjikan
kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya atau bertentangan dengan kewajiannya; (2) pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima pemberian atau janji.

Erat kaitannya dengan tindak pidana KKN, dalam Pasal 12 B dan C UU No. 31 Tahun
1999 diatur tentang gratifikasi.

Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penye lenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila ber hubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian


bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan ` paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).

Dalam Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) diuraikan bahwa

yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobat an cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut, baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang
dilaku kan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Pasal 12 C

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifi kasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidaria
Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima
gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut
diterima.

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik
penerima atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-
Undang tentang Komisi Pem berantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 B ayat (1), menurut Barda Nawawi Arief, diketahui 6 hal
berikut.

a. Gratifikasi dirumuskan sebagai unsur delik, yang pengertiannya dirumuskan dalam "penjelasan


Pasal 12 B ayat (1)", yaitu suatu "pemberian dalam arti luas" yang meliputi:

1) pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,


fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma cuma, dan fasilitas lainnya;

2) pemberian itu diterima di dalam maupun di luar negeri;

3) pemberian itu dilakukan dengan atau tanpa sarana elektronik.


b. Dilihat dari perumusannya, gratifikasi bukan merupakan jenis maupun kualifikasi delik, yang
dijadikan tindak pidana menurut Pasal 12 B ayat (2), bukan gratifikasi-nya, melainkan
perbuatan menerima gratifikasi.

c. Pasal 12 B ayat (1) tidak merumuskan tindak pidana gratifikasi, tetapi hanya memuat ketentuan
mengenai:

1) batasan pengertian gratifikasi yang dianggap se bagai "pemberian suap"; dan

2) jenis-jenis gratifikasi yang dianggap sebagai "pem berian suap".

Tindakan yang dianggap sebagai "pemberian suap", yaitu apabila gratifikasi (pemberian)
diberikan kepada "pegawai negeri" atau "penyelenggara negara"; dan berhubungan dengan
jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.

Berdasarkan ketentuan tentang gratifikasi diketahui bahwa ada 2 (dua) jenis gratifikasi, yaitu:

a. gratifikasi yang bernilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih; dan

b. gratifikasi yang bernilai kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

d. Pasal 12 B ayat (2) menentukan ancaman pidana bagi penerima gratifikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), yaitu

1) pidana seumur hidup, atau

2) pidana penjara dalam waktu tertentu, paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan

3) pidana denda (minimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) clan maksimal Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)).

e. Dengan perumusan Pasal 12 B ayat (2) itu. maka tidak ada perbedaan ancaman pidana bagi
penerima gratifi kasi jenis pertama (besarnya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih) dan penerima gratifikasi jenis ke dua (besarnya di bawah Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah)). Jadi, tidak ada perbedaan substantif. Yang ada hanya perbedaan prosesual, yaitu
(berdasarkan Pasal 12 B ayat (1)):

1) Untuk gratifikasi pertama, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu bukan suap) pada
penerima;
2) Untuk gratifikasi kedua, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu merupakan suap) pada
penuntut umum (PU).
f. Logika pembuat undang-undang dalam menentukan Pasal 12 B ayat (2) untuk tidak
membedakan ancaman pidana terhadap gratifikasi jenis ke-1 dan ke-2, tidak konsisten
dengan logika yang tertuang daiam Pasal 12 A yang membeda kan ancaman pidana untuk
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 sebagai
berikut:
1) Yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah), diancam pidana penjara
maksimal 3 (tiga) tahun (tidak ada minimalnya) dan denda maksimal Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) (tidak ada minimalnya); lihat Pasal 12 A ayat (2).

2) Yang nilainya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih, berlaku ketentuan pidana
dalam pasal yang bersangkutan (Pasal 5 sampai dengan Pasal 12); lihat Pasal 12 A ayat
(1).Berarti untuk Tindak Pidana Korupsi ke-2 ini dapat dikenakan pidana minimal dalam
pasal yang bersangkutan.

B. ANALISIS PENYEBAB ORANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI


INDONESIA

Masyarakat Transparansi Indonesia, mengemukakan bahwa korupsi di manapun


dan kapanpun akan selalu memiliki ciri khas. Ciri tersebut bisa bermacam-macam,
beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Melibatkan lebih dari satu orang,

2. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi
negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta,

3. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel,
uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun
wanita,

4. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya,

5. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu
berupa uang,

6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik


atau masyarakat umum,

7. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan


pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat,

8. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan
sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja,
mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.

Sarlito Wirawan Sarwono, mengemukakan bahwa tidak ada jawaban yang pasti
tentang penybeb korupsi, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni adanya dorongan dari
dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya), dan rangsangan dari
luar (misalnya dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan
sebagainya). Sedangkan Andi Hamzah menginventarisasikan beberapa penyebab
korupsi, yakni: a. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang
makin meningkat; b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan
sumber atau sebab meluasnya korupsi; c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol
yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi; d.
Modernisasi pengembangbiakan korupsi.
Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa
juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan
korupsi. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya
berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi”. Penyebab tersebut adalah sebagai berikut.

1. Aspek Individu Pelaku

a. Sifat Tamak Manusia

Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau


penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi
masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada
pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.

b. Moral yang Kurang Kuat

Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan
korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau
pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.

c. Penghasilan yang Kurang Mencukupi

Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi


kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan
berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya
dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi
peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga,
pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan
yang seharusnya.

d. Kebutuhan Hidup yang Mendesak

Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi


terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang
untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.

e. Gaya Hidup yang Konsumtif

Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseong


konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan
pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan
berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan
itu adalah dengan korupsi.

f. Malas atau Tidak Mau Bekerja

Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar
keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan
tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan
korupsi.

g. Ajaran Agama yang Kurang Diterapkan


Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak
korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi
masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan
bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.

2. Aspek Organisasi

a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan

Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai


pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi
keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka
kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.

b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar

Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila


kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi
tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan
negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.

c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai

Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan
misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran
yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut.
Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah
instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut
adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang
dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik
korupsi.

d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen

Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran


korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian
manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi
anggota atau pegawai di dalamnya.

e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi

Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang


dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini
pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.

3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada

a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa


ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai
seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat
masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu
didapatkan.

b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih


kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat.
Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal
bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran
pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.

c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti
melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri.
Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi
sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.

d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas
bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah
korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa
korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.

e. Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di


dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang
monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang
kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan,
penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi
dan revisi peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan uraian tentang penyebab tindak pidana korupsi di atas dapat dipahami
bahwa tindak pidana korupsi bukan disebabkan oleh satu penyebab yang berdiri sendiri melaikan
terdiri atas beberapa faktor penyebab yang kompleks. Hal ini sesuai dengan pendapat Edwin H.
Sutherland bahwa penyebab kejahatan seperti adalah faktor yang kompleks (multiple
factor). Sutherland mengemukakan dalam “teori” tersebut sebagai berikut, This ‘theory’ should
be recognized as an admission of defeat, for its means criminological studiest must always be
‘exploratory’. The criminologist can carry his conclusions beyonds multiple factors and reduce
the series of factors to simplicity by the method of logical abstraction.”

Selain teori tersebut, Rational Choice Theory dapat digunakan untuk


menganalisis. Menurut Cornish and Clarke.
Through Rational Choice Theory describe crime as an event that occurs when an
offender decides to risk breaking the law after considering his or her own need for
money, personal values or learning experiences and how well a target is
protected, how affluent the neighbourhood is or how efficient the local police are.
Before committing a crime, the reasoning criminal weighs the chances of getting
caught, the severity of the expected penalty, the value to be gained by committing
the act, and his or her immediate need for that value.

Teori pemilihan yang rasional ini mengajarkan, bahwa kejahatan dianggap sebagai
suatu peristiwa yang hanya terjadi manakala seorang pelanggar memutuskan untuk
mengambil risiko untuk melanggar hukum, tentusaja setelah mempertimbangkan
kebutuhannya yaitu untuk memperoleh uang, mempertahankan nilai-nilai pribadi atau
setelah mempelajari beberapa pertimbangan yaitu apa saja suatu target yang dilindungi,
bagaimana kondisi lingkungan sekitar, dan bagaimana efisiensi dan efektivitas kinerja
kepolisian. Sebelum melakukan suatu kejahatan, penjahat menimbang tentang
kesempatan-kesempatan yang memungkinkan melakukan kejahatan agar tidak
tertangkap, memahami kekejaman-kejaman dari pidana yang diancamkan jika pelaku
tertangkap polisi, nilai lebih yang diperoleh seseorang setelah melakukan tingkah laku
yang dipilih, dan kebutuhan-kebutuhan apa saja yang dapat dipenuhi jika melakukan
tingkah laku tersebut.
Teori pemilihan yang rasional ini juga mengutamakan tentang bagimana
seseorang memenuhi kebutuhannya, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan uang,
prestise (gengsi), jenis kelamin (percintaan), dan kegembiraan. Semua elemen tersebut
berpengaruh pada saat seseorang mempertimbangkan dalam memilih keputusan untuk
bertingkah laku. Hal ini diungkapkan dalam pernyataan berikut, "...crime is purposive
behaviour designed to meet the offender’s commonplace needs for such things as
money, status, sex, excitement, and that meeting these needs involves the making of
(sometimes quite rudimentary) decisions and choices, constrained as they are by limits
of time and ability and the availability of relevant information." Ajaran teori ini selaras
dengan fakta tentang penyebab seseorang melakukan tindak pidana korupsi, yaitu
memenuhi kebutuhan hidup, gengsi, dan kemewahan. Para korupstor sebenarnya
sadar bahwa perbuatan tersebut melanggar hujum, tetapi sifat “keserakahan atau
kerakusan” yang dipenuhi. Mungkin pelaku mengetahui dampak korupsi dan hukum
korupsi, namun karena sudah "terbiasa" dan hukuman moral tidak berlaku lagi di sini,
maka justru muncul rasa solidaritas di antara pelaku sebagaimana diungkapkan filsuf
asal Jerman Bertold Brecht, “makan dulu, soal moral nanti saja (Erst kommt das Essen,
denn die Morale).

Alasan “keserakahan” koruptor sebagai penyebab utama tindak pidana korupsi dapat
juga ditelaah dari teori netralisasi. David Matza menegaskan, “Theory neutralization stresses
youth’s learning of behavior rationalizations that enable them to overcome societal values and
norms and engage in illegal bahaviour. Teori netralisasi menekankan tentang pembelajaran kaum
muda untuk merasionalisasi perilaku menyimpang yang dilakukan sehingga diharapkan dapat
memperdaya bekerjanya nilai-nilai kemasyarakatan dan norma-norma dalam masyarakat. Sykes
dan Matza menjabarkan 5 (lima) teknik netralisasi yang dapat dilakukan oleh pelaku kejahatan,
yaitu sebagai berikut.

a. Denial of Responsibility, yaitu pelaku menggambarkan dirinya sendiri sebagai orang-


orang yang tidak berdaya dalam menghadapi tekanan-tekanan masyarakat
(misalnya kurang mendapat kasih sayang dari orang tua, berada pergaulan atau
lingkungan yang kurang baik).
b. Denial of Injury, yaitu pelaku berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan tidak
menyebabkan kerugian yang besar pada masyarakat.
c. Denial of Victim, yaitu pelaku memahami diri mereka sendiri sebagai “sang penuntut
balas”, sedangkan para korban dari perbuatannya dianggap sebagai orang yang
bersalah.
d. Condemnation of the Condemners, yaitu pelaku beranggapan bahwa orang yang
mengutuk perbuatan yang telah dilakukan sebagai orang-orang munafik, hipokrit,
sebagai pelaku kejahatan terselubung, karena dengki, dan sebagainya.
e. Appeal to Higher Loyalities, yaitu pelaku merasa bahwa dirinya terperangkap antara
kemauan masyarakat dan ketentuan hukum yang ada di mayarakat dengan
kebutuhan kelompok yang lebih kecil, yaitu kelompok tempat mereka berada atau
bergabung.
Ditelaah dari pelaku, mayoritas pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia yang sudah
diadili adalah kalangan penguasa dan pengusaha yang mempunyai jabatan terhormat yang
menyalahgunakan kewenangan. Dalam kriminologi, Sutherland menyebut tipe kejahatan tersebut
disebut white-collar crime (kejahatan krah putih) yang merupakan “kebalikan” dari blue-collar
crime (kejahatan orang rendahan/pekerja kasar). Edwin H. Sutherland, sebagai ahli kriminologi
yang pertama kali memperkenalkan istilah white- collar crimemanyatakan bahwa “kejahatan krah
putih” adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang
tinggi dan mempunyai pekerjaan terhormat. Dalam pengertian tersebut mengandung 2 ciri, yaitu
pelaku kejahatan berstatus sebagai orang terhormat, dan mempunyai kedudukan atau jabatan
dalam suatu organisasi. Selanjutnya Sutherland menegaskan bahwa “a crime commited by a
person of respectability and high social and status in the course of his occupation. Kedua tipe
tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga strategi penanggulangannya juga
berbeda.

Berkaitan dengan pengertian “kejahatan krah putih”, Muladi berpendapat, bahwa


istilah white-collar crime menunjuk pada kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh
pengusaha dan para pejabat eksekutif yang merugikan kepentingan umum. Senada
dengan pendapat ini, Setiyono mengemukakan, bahwa white-collar crimeadalah
kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial tinggi dan
memiliki pekerjaan yang terhormat dengan cara menyalahgunakan
wewenangnya. Sedangkan Ellen S. Podgor berpendapat sebagai berikut.
White-collar criminal is illegal acts that use deceit, and concealment--rather than the
application or threat of physical force or violence--to obtain money, property, or
service; to avoid the payment or loss of money; or to secure a business or professional
advantage. White collar criminals occupy posi tions of responsibility and trust in
government, industry, the professions and civic organizations. Although it appears that
the Department of Justice continues to adhere to this definition of' white collar crime,
others now concentrate exclusively on the nature of the offense in defining white collar
crime… white collar crime "nonviolent crime for financial gain committed by deception.

“Kejahatan krah putih” merupakan suatu tindakan tidak sah yang menggunakan
cara penipuan atau penyembunyian, dan tidak banyak menggunakan ancaman atau
kekuatan fisik (kekerasan), dengan tujuan memperoleh uang, hak milik, jasa layanan;
menghindari kewajiban pembayaran tertentu; atau mengamankan suatu bisnis. Pelaku
“kejahatan krah putih” biasanya menduduki posisi dan tanggung jawab serta
kepercayaan pada struktur pemerintahan, industri, organisasi profesi, dan organisasi
kemasyarakatan. Kejahatan tersebut bersifat eksklusif, yaitu sebagai kejahatan yang
dilakukan dengan tanpa menggunakan kekerasan fisik untuk memperoleh keuntungan
atau kekayaan dengan cara penipuan. Hal ini sesuai juga dengan pendapat Sutherland,
bahwa “white collar crime is a crime commited by a person of respectability and high
social and status in the course of his occupation".
C. ANALISIS KEKUATAN, KELEMAHAN, PELUANG, DAN
TANTANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONENSIA
Analisis terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan lazim disebut analisis
SWOT. Dalam ilmu menajemen dikenal istilah analisis SWOT, yang merupakan singkatan dari
kata Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Threats. Analisis ini digunakan untuk mengetahui
potensi organisaisi melalui evaluasi diri (self evaluation) untuk menentukan peluang yang dapat
diraih, kekuatan yang harus dipertahankan, kelemahan yang harus dihapuskan, dan tantangan
yang sedang dan akan dihadapi. Pengertian dari keempat istilah tersebut adalah (a) kekuatan-
kekuatan yang dipunyai oleh kesatuan yang akan melaksanakan rencana (strenghts); (b)
kelemahan-kelamahan yang dimiliki oleh kekuatan yang akan melaksanakan
renacana(weaknesses); (c) peluang-peluang yang dapat dinmanfaatkan(opportunities); dan (d)
ancaman atau tantangan yang akan dihadapi(threats). Analisis SWOT di atas merupakan analisis
dalam bidang ekonomi dan berkaitan dengan penentuan strategi perusahaan untuk meningkatkan
kinerja manejerial. Meskipun dalam analisis SWOT ini penulis tidak membuat gambaran posisi
sebagaimana yang diajarkan pada analisis SWOT. Tujuan analisis ini hanya untuk memudahkan
pehamaman, bukan semata-mata menentukan strategi penanggulangan sebagaimana
diformulasikan dalam ilmu manajemen.

Berdasarkan pendapat Muladi, analisis SWOT atas pemberantasan tindak


pidana korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut.

1. Kekuatan (strength), pemberantasan korupsi di Indonesia selama inin adalah secara


struktural dan substantif telah terjadi penyempurnaan, antara lain dalam bentuk
keberadaan KPK dan pelbagai pembaharuan perundang-undangan tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi. Di samping itu, adanya suasana kondusif
berupa strong political will pemerintahan baru yang didukung kehendak masyarakat
untuk memberantas KKN yang luar biasa, dan keberadaan RAN (Rencana Aksi
Nasional) pemberantasan korupsi.

2. Kelemahan (weakness) adalah membentuk semangat profesionalisme (expertise,


social responsibility and corporateness) SDM yang lemah, belum mantapnya
reformasi birokrasi yang menjamin keberadaan nilai-nilai efektivitas, kebersihan dan
demokrasi, sangat lemahnya koordinasi antarlembaga penegak hukum (arogansi
sektoral), kepemimpinan sektoral yang seringkali mendemonstrasikan kemiskinan
moral dan intelektual. Kemudian, mengakibatkan disiplin aparat yang lemah,
kerjasama internasional yang lemah (ekstradisi), Mutual Legal
Assistance (MLA), transfer of proceeding, joint investigation, pelatihan, sosialisasi
hukum tentang tindak pidana korupsi yang kurang, kesadaran yang lemah terhadap
asas-asas (principles) tentang good governance dan general principles of good
administration di lingkungan sektor publik serta asas-asas good corporate
governance di lingkungan sektor privat; lemahnya budaya anti korupsi
(contoh money politics yang merebak) dan budaya malu, dan kurangnya kesadaran
untuk mengembangkan preventive anti corruption strategy dan hanya memfokuskan
diri pada langkah-langkah represif.

3. Peluang (opportunity) pemberantasan korupsi cukup besar berkat kepemimpinan


nasional yang memiliki legitimasi sosial yang kuat karena dipilih langsung rakyat
yang committed pada pemberantasan korupsi. Selain itu, keberadaan
UN ConventionAgainst Corruption 2003 menjanjikan kerjasama internasional yang
lebih baik dan menguntungkan negara-negara berkembang; kesediaan pakar-pakar
hukum pidana perguruan tinggi dan NGO's yang belum dimanfaatkan secara
optimal.

4. Tantangan (threat)antara lain, masih adanya kekuatan-kekuatan yang tidak reformis


dan cenderung bermental KKN, merosotnya citra penegak hukum karena belum
menunjukkan kinerja pemberantasan korupsi yang memuaskan, kekuasaan
kehakiman yang merdeka (independence of judiciary) yang seolah-olah untouchable
namun kurang didukung oleh integritas, profesionalisme dan akuntabilitas yang
memadai; 'fragmentasi' dan citra negatif terhadap sistem rekrutmen, promosi dan
mutasi di lingkungan penegak hukum; kesejahteraan pegawai yang rendah
(underpaid), melibatkan partai politik dalam pemerintahan tanpa konsep yang jelas
antara tugas-tugas political apponitee dan pejabat karir, lemahnya pembenahan di
lingkungan private sector, masih adanya ketentuan perundang-undangan yang
menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi, kepemimpinan penegak hukum
di segala lini yang lemah, dan praktik-praktik selective law enforcement yang masih
terjadi.

Strategi pemberantasan tindak pidana korupsi mencakup dimensi yang luas,


mengingat korupsi di Indonesia sudah dalam taraf yang sangat memprihatinkan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan, di samping beberapa hal yang sudah
dikemukakan di atas adalah:

a. Rekrutmen kepemimpinan di segala lini yang anti KKN.

b. Penguatan dan reformasi kelembagaan baik publik maupun privat terus menerus.

c. Penguatan hukum, praktik hukum dan acaranya.

d. Pembentukan lingkungan luas yang berbudaya anti korupsi, baik sektor publik
maupun sektor privat.

e. Pengembangan strategi yang proporsional antara langkah represif dan langkah


preventif. Harmonisasi hukum terhadap perkembangan internasional
(UN Convention Against Corruption, 2003).

f. Mendorong partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

D. LANGKAH-LANGKAH STATEGIS KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP TINDAK


PIDANA KORUPSI DI INDONESIA TAHUN 2008

Istilah kebijakan kriminal diterjemahkan dari istilah criminal policy (bahasa Inggris).


Istilah tersebut merupakan persamaan dari istilah politiek criminal (Bahasa Belanda). G. Peter
Hoefnagels menjelaskan, bahwa (a) criminal policy is the science of science responses; (b)
criminal policy is the science of crime prevention; (c) criminal policy is a designating human
behavior as crime; (d) criminal policy is a rational total of the responses to crime. Kebijakan
kriminal adalah ilmu pengetahuan yang memberi tanggapan. Kebijakan tersebut merupakan ilmu
pengetahuan dalam penanggulangan kejahatan. Kebijakan kriminal juga merupakan penjelmaan
dari ilmu pengetahuan dan bersifat terapan.
Berdasarkan pendapat Hoefnagels, kebijakan kriminal terdiri atas kebijakan penal dan
kebijakan nonpenal. Kebijakan penal atau lazim disebut kebijakan hukum pidana adalah
penanggulangan kejahatan yang dilakukan dengan cara menerapkan hukum pidana di masyarakat,
sedangkan pengertian kebijakan nonpenal adalah menangggulangi kejahatan dengan tanpa
menggunakan hukum pidana, yaitu dengan cara mempengaruhi pendangan masyarakat tentang
kejahatan melalui media massa dan penanggulangan tanpa pemidanaan.

Berdasarkan pendapat Hoefnagels, dapat diketahui bahwa penerapan hukum pidana untuk
menangulangi kejahatan meliputi ruang lingkup berikut.

a) Administrasi peradilan pidana dalam arti sempit, yaitu pembuatan hukum pidana dan
yurisprudensi, proses peradilan pidana dalam arti luas (meliputi kehakiman, ilmu kejiwaan,
ilmu sosial), dan pemidanaan.

b) Psikiatri dan psikologi forensik.

c) Forensik kerja sosial.

d) Kejahatan, pelaksanaan pemidanaan dan kebijakan statistik.

Kebijakan hukum pidana adalah penerapan hukum pidana untuk memberantas


kejahatan. Memang, hukum pidana bukan merupakan posisi yang strategis dalam memberantas
KKN, dan hanya bersifatultimum remidium (obat terakhir), tetapi pada dasarnya pada hukum
pidana terdapat fungsi premium remidium (obat penangkal). Dalam lingkup kebijakan
penanggulangan kejahatan, hukum pidana hanya merupakan salah satu upaya dari beberapa upaya
penanggulangan kejahatan. Selanjutnya Bambang Poernomo mengemukakan bahwa penerapan
hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan, di satu pihak hukum pidana dan pelaksanaannya
dibutuhkan sebagai sarana menuju kedamaian karena hukum pidana memang dalam hal-hal
tertentu ampuh untuk menanggulangi kejahatan, tetapi di pihak lain hukum pidana dan
pelaksanaannya dapat merugikan individu maupun masyarakat luas karena mengandung dimensi
absolutisme dengan kecenderungan menimbulkan overcriminalization dan crime
infection.Hukum pidana dapat tidak berfaedah apabila eksistensi dan aplikasinya tidak terarah
pada prinsip tepat guna dan hasil guna dalam masyarakat.Dalam membahas tindak pidana korupsi
di Indonesia, penulis menggunakan konsepsi sistem hukum sebagaimana dikemukakan Friedman,
yang menyatakan bahwa sistem hukum terdiri atas substansi hukum, struktur hukum dan budaya
hukum.

Jabaran berikut menguraikan langkah-langkah strategis kebijakan hukum pidana


terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.Merujuk pada pendapat Friedman, sistem hukum
terdiri atas 3 komponen, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

a. Substansi Hukum (Legal Substance)

Substansi hukum yang dapat diartikan sebagai sejumlah peraturan, norma dan
perilaku orang-orang di dalam sistem hukum. Legal substance berkaitan erat dengan
apa yang dihasilkan atau dilakukan oleh mesin atau struktur hukum di atas. Meskipun
substansi hukum tentang tindak pidana korupsi, yaitu Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah “memadai” (?). saat ini tidak ada lagi
celah hukum bagi koruptor untuk berlindung di balik kerahasiaan bank sebagai tempat
menyembunyikan dan mencuci uang karena UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No 20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No 15 tahun 2002
juncto UU No 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sudah menutup
celah hukum. Penutupan celah hukum baru berjalan efektif jika otoritas perbankan dan
pimpinan bank memiliki komitmen yang sama dengan aparatur penegak hukum dan
KPK. Apalagi UU No 7 Tahun 1992 juncto UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan
memberi peluang pembukaan keterangan keadaan keuangan tersangka (Pasal 42).
Peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam
pemberantasan korupsi juga tidak kalah penting. Karena itu, kerja sama erat lembaga ini
dan KPK amat strategis dalam menelusuri jejak peredaran uang hasil korupsi. Secara
teknis hukum, hal ini dapat dilaksanakan dengan menyertakan pejabat PPATK sebagai
saksi ahli. Konvensi Menentang Korupsi (Convention Against Corruption, 2003) yang
sudah diadopsi Pemerintah Indonesia, Desember 2003, memuat ketentuan itu. Dengan
bahasa wajib (mandatory language), konvensi itu menuntut agar tiap negara peserta
konvensi sudah memasukkan ketentuan yang dapat membuka kerahasiaan bank untuk
kepentingan penyidikan tindak pidana korupsi (Pasal 31 Ayat 7 juncto Pasal 40 dan
Pasal 55). Perkembangan ini menuntut seluruh pejabat otoritas perbankan dan pimpinan
bank untuk memahami dan melaksanakan ketentuan pembukaan kerahasiaan bank
sepanjang menyangkut status hukum tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi
atau tindak pidana lain. Apalagi KPK sudah dibekali ketentuan khusus untuk
melaksanakan instrumen internasional itu dalam UU No 30/2002 (Pasal 12 Huruf c dan
Huruf d).

Meskipun demikian, masih banyak perangkat hukum yang belum mendukung, misalnya
tentang undang-undang perlindungan saksi yang sulit diterapkan. Perlindungan saksi selalu
berkaitan keamanan dan kenyamanan fisik, psikologis, identitas, dan relokasi bagi saksi sebagai
pelapor, dari orang lain yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah
diberikannya atas suatu perkara pidana.

Dalam rangka meningkatkan penerapan hukum pidana, perlu ditingkatkan penerapan


“Asas Pembuktian Terbalik”. Sistem pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast)
merupakan cara yang jitu untuk menjerat pelaku korupsi. Dalam pembuktian terbalik, orang yang
dituduh melakukan tindak pidana itulah yang harus membuktikan di depan pengadilan, bahwa ia
tidak bersalah. Berbeda dengan pembuktian biasa, jaksa yang harus membuktikan seseorang
bersalah atau tidak dalam pembuktian terjadinya tindak pidana. Pembuktian terbalik sebenarnya
bukanlah hal yang baru di negeri ini. Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 mengenai
Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun UU Nomor 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan
Konsumen, secara tegas mengatur penerapan asas pembuktian terbalik itu walaupun berbeda
alasan yang mendasarinya dan penerapannya pada persidangan. Dalam Pasal 37 Undang-undang
No. 20 Tahun 2001, diatur sebagai berikut.

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Dalam Penjelasan Pasal 37 ayat (1) diatur, bahwa Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas
penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan
hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas
praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-
incrimination). Sedangkan dalam Penjelasan Ayat (2) ditegaskan bahwa ketentuan ini tidak
menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk).

Ketentuan pembuktian ternbalik hanya berlaku pada tindak pidana baru tentang
gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah
satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

a. UU No. 31 Tahun 1999, yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal
16

b. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, dan Pasal 12.

Asas pembuktian terbalik telah diprak tikkan oleh Pengadilan Tinggi Hong kong
dalam kasus ICAC Hong Kong terhadap pe mohon 'judicial review" terhadap proses
pembuktian terbalik yang dilaksanakan oleh pengadilan rendah telah sesuai de
ngan Hong Kong Bribery Ordinance Act. Keputusan Pengadilan Tinggi Hong kong
menganggap bahwa proses pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan peng adilan
rendah telah memberikan keadilan sama bagi kedua belah pihak yaitu kepada pemohon
maupun kepada ICAC Hong Kong dalam menyampaikan pembuktian nya.

Berlainan dengan model Hong Kong (dalam pembuktian terbalik) yang dapat
digunakan dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara pidana, maka model
pembuktian terbalik dalam Kon vensi Anti Korupsi 2003 (Pasal 31 ayat 8), dan banyak
memperoleh pengakuan dari negara-negara maju baik yang mengguna kan sistem
hukum "Common Law" dan "Civil Law", yaitu mendukung penggu naan prosedur
keperdataan dalam mene rapkan teori pembuktian terbalik dengan keseimbangan
kemungkinan tersebut, artinya, sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut
ditujukan untuk meng gugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang
berasal dari tindak pidana korupsi. Konvensi Anti-Korupsi 2003 yang telah diratifikasi
telah memuat ketentuan me ngenai pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks
proses pembekuan (freez ing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation) di
bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab III). Pascara tifikasi Konvensi
Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pem buktian yang masih
dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan
ketentuan me ngenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan
pengadilan di dalam UU nomor 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun
2001. Berdasarkan fakta tersebut, Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa masih
diperlukan perubahan mendasar, antara lain pembentukan hukum acara khusus
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dalam UU yang baru
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sebagai perbandingan, Pemberantasan korupsi dan sistem akuntabilitas publik di


Thailand sudah menjadi kebijakan publik sejak diberlakukannya UUD 1997 yang dirancang dan
didesakan oleh gerakan rakyat sejak awal tahun 1990-an. Korupsi yang menjadi ciri sistem
pemerintahan Otoriter selama 60 tahun, tidak lagi ditangani secara konvensional, tapi mulai
ditangani oleh lembaga baru dengan pendekatan luar biasa (extra ordinary) yang lebih modern
dan komprehensif. Sesuai dengan mandat konstitusi, selain dibentuk NCCC(National Counter
Corruption Commission) yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan kasus korupsi,
juga perubahan dalam sistem peradilan satu tahap untuk kasus korupsi yang melibatkan pejabat
tinggi dan politisi. Bagian lainnya dari sistem antikorupsi danpublic accountability yang penting
adalah Lembaga Money Laundering(AMLO), Ombudsman, dan Mahkamah Konstitusi, Sistem
Peradilan Satu Atap untuk Korupsi Politik, Kebebasan memperoleh Informasi, dan Perlindungan
Saksi. Semua langkah tersebut perlu dilakukan secara terpadu (terintegrasi).

Di Thailand terdapat ketentuan sebagaimana di Indonesia, yaitu kewajiban pejabat


negara untuk melaporkan kekayaan. Jika pajabat tersebut tidak memenuhi kewajiban, maka akan
dicopot dan dilarang menduduki jabatan publik selama lima tahun ke depan. Bahkan
Konstitusi Thailand yang baru memberikan legal framework yang memberikan kemudahan
pemberantasan korupsi, khususnya bagai pejabat tingggi dan politisi yang sulit dijerat oleh
pendekatan hukum konvensional. Selain itu, Pasal 291 UUD 1997 mewajibkan kepada pejabat
tinggi atau birokrat senior dan mereka yang menduduki jabatan-jabatan politik untuk
menyampaikan laporan kekayaan kepada NCCC. Yaitu meliputi Perdana Menteri, anggota
parlemen, Senator, gubernur dan anggota eksekutif pemerintahan lokal. Selain politisi , pejabat
negara seperti Ketua MA dan wakilnya, Ketua Pengadilan Administrasi Negara dan wakilnya,
Jaksa Agung, Ombudsman dan direktur jenderal dan yang selevelnya, juga terkena ketentuan
yang sama. Laporan kekayaan tersebut, tidak saja menyangkut dirinya, juga istri dan anaknya,
dan harus dikirimkan 30 hari setelah menduduki jabatannya dan setelah meninggalkan
jabatannya, dan setiap tiga tahun bagi pejabat yang masih menduduki jabatannya.

Menghadapi fakta tersebut di atas, maka salah satu strategi untuk mencegah korupsi di
kalangan pejabat negara, legislator perlu menerbitkan undang-undang tentang konflik
kepentingan. Materi di dalamnya mengatur sejumlah kepentingan yang harus dihindari pejabat,
karena dapat menyebabkan korupsi. Berkaitan dengan ide tersebut, Predisen Yudhoyono saat
membuka Seminar Konflik Kepentingan di Istana Negara, Jakarta menyatakan, "Saya
menyambut baik upaya pencegahan konflik kepentingan dengan mencantumkan hal itu dalam
berbagai jenis hukum dan peraturan di Indonesia, antara lain dalam Undang-Undang Anti
Korupsi" . Selain melindungi aset negara dan umum dari tindak pidana korupsi, pengaturan
konflik kepentingan juga upaya mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat. Pengaturan
konflik kepentingan tidak hanya semata-mata untuk melindungi aset umum, namun juga
merupakan syarat dari suatu negara atau pemerintahan untuk memperoleh kepercayaan dari
warga negaranya.Bajkan saat ini Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Taufiqurahman Ruki,
menyatakan, pihaknya mendesak pemerintah mengeluarkan UU tentang konflik kepentingan
pejabat negara. Undang-undang tersebut berguna untuk melindungi aset negara dari
penyalahgunaan wewenang oleh pejabat terkait.

Selain itu, kendala subtantif lainnya adalah ketentuan tentang perlunya izin dari presiden
untuk memeriksa pejabat negara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Yohanes
Usfunan, menyatakan bahwa ketentuan tentang izin Presiden untuk memeriksa pejabat negara
yang terlibat korupsi selama ini menghambat efektivitas penanganan perkara korupsi dan
pencegahannya. Pasal 106 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD serta Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sama-sama
mengatur izin pemeriksaan pejabat negara. Dari perspektif hukum pemerintahan, hakikat izin
sebagai salah satu bentuk pengawasan preventif guna mencegah pelanggaran hukum. Oleh karena
itu, izin pemeriksaan pejabat negara yang diduga korup sama dengan melindungi koruptor secara
normatif. Izin Presiden atas permintaan penyidik, sesuai Pasal 36 Ayat (1) UU No 32 Tahun
2004, dalam kasus tertentu berpeluang disalahgunakan penyidik "melindungi" koruptor dengan
dalih masih menunggu izin Presiden. Padahal mungkin saja permohonan ke Presiden tidak pernah
dikirim. Diskriminasi Izin pemeriksaan pejabat negara membuktikan perlakuan diskriminatif dan
mengabaikan asas persamaan di depan hukum antara pejabat negara dan pegawai negeri lain yang
terlibat korupsi. Persamaan merupakan salah satu HAM sipil yang berkarakter absolut sehingga
tidak boleh dilanggar oleh siapa pun sesuai dengan Pasal 28 D UUD 1945 jo. Pasal 4 UU No 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Karena itu, dalam politik legislasi, guna menciptakan
hukum responsif sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat, ketentuan tentang izin Presiden
dalam hukum positif perlu dicabut. Izin Presiden dapat diganti pemberitahuan tertulis penyidik ke
pejabat terkait secara hierarkis sampai Presiden sebagai laporan. Laporan itu guna mengawasi
pemeriksaan pejabat negara yang diduga korup. Maka, pengawasan pemerintah perlu
ditingkatkan kendati masyarakat masih meragukan obyektivitas pengawasan badan pengawas
daerah mengingat pejabatnya diangkat kepala daerah.

b. Struktur Hukum (Legal Structure)

Soko guru utama penegakan hukum (law enforcement) adalah penegak hukum/struktur
hukum (legal culture), meskipun peranan subtansi hukum dan budaya hukum tidak dapat di-
sepele-kan. Legal structure .. a kind of cross section of the legal system- a kind of still
photograph, which freezes the action. Dengan demikian, elemen struktur hukum merupakan
semacam mesin. Elemen struktur hukum yang terdiri atas misalnya jenis-jenis peradilan,
yurisdiksi peradilan, proses banding, kasasi, peninjauan kembali, pengorganisasian penegak
hukum, mekanisme hubungan polisi kejaksaan, pengadilan, petugas pemasyarakatan, dan
sebagainya.

Penegakan hukum yang baik akan menyokong masyarakat untuk mencapai


kesejahteraannya. Hal ini selaras dengan isi kesepakan dunia internasional yang dituangkan
dalam Code of Conduct for Law Enforcement Officials (CCLEO) yang diterima oleh Majelis
Umum PBB dalam Resolusi 34/169, 17 Desember 1979. Resolusi ini menekankan bahwa hakikat
dari fungsi penegakan hukum dalam pemeliharaan ketertiban umum dan cara melaksanakan
fungsi tersebut memiliki dampak langsung terhadap mutu kehidupan manusia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui bahwa upaya memberantas


korupsi merupakan suatu tugas yang rumit dan acapkali berbahaya. Meskipun demikian,
bukan berarti kelemahan dalam penegakan hukum dapat ditolerasnsi dengan ambang
batas yang sangat minim. Polri sangat lemah dalam memberantas korupsi, padahal Polri
seharusnya menjadi garda terdepan dibandingkan dengan aparat lain," kata Ketua
Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S. Pane di Jakarta. Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Polri) masih dinilai sebagai institusi paling korup di Indonesia
dibandingkan dengan 14 instansi yang diteliti Gallup International, lembaga riset yang
meneliti atas nama Transparency International Indonesia (TII) dan dipublikasikan pada 6
Desember 2007. Polisi mendapatkan skor 4,2; sedangkan peringkat berikutnya adalah
pengadilan dengan skor 4,1, parlemen dengan skor 4,1, dan disusul partai politik
dengan skor 4,0. Sejak tahun 2006 hingga 2007 menurut survei tersebut, institusi
kepolisian dan pengadilan menempati urutan teratas sebagai lembaga terkorup di
Indonesia. Memang sangat ironis, namun itulah kenyataan dilapangan. Kedua lembaga
tersebut merupakan ujung tombak penegakan hukum di Indonesia yang seharusnya
menjadi teladan, ternyata menjadi sarang korupsi. Oleh karena itu, diharapkan tahun
2008 nanti kepolisian dan pengadilan harus mengembalikan citranya sebagai lembaga
terdepan dalam penegakan hukum. Kapolri menyepakati untuk memublikasikan kepada
masyarakat oknum polisi yang berperilaku negatif dan merugikan rakyat. Menurut
Kapolri, dalam reformasi Polri, yang paling sulit adalah perubahan kultural. Hal itu
menyusul maraknya keluhan sehubungan dengan perilaku negatif polisi yang
mengganggu dan merugikan publik di berbagai daerah. Karena itu, Komisi Kepolisian
Nasional perlu ditingkatkan peran dan fungsinya.

Penyebab lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama di daerah, selain


masih kurang penyidik yang berwawasan hukum luas, penyidik yang berani berbenturan dengan
kekuasaan juga masih kurang. Penyidik hanya berani pada pelaku yang sudah lemah
kekuasaannya, mantan pejabat, atau pengusaha yang di belakangnya tidak ada back up kekuasaan
yang kuat. Menurut Sahetapy, kejaksaan merupakan salah satu institusi penegak hukum yang
paling ramai disuarakan untuk melakukan perubahan. Akan tetapi, dari hasil penelitian yang
diselenggarakan Komisi Hukum Nasional (KHN), tampak masih ada kendala yang dihadapi oleh
Kejaksaan dalam memenuhi tuntutan masyarakat itu. Kendala-kendala yang terjadi meliputi;
faktor (sub) budaya dalam struktur organisasi, juga masalah aturan-aturan lama Kejaksaan yang
hingga saat ini masih berlaku. Untuk itu, program-program pembaruan kejaksaan yang
dilaksanakan KHN adalah dalam rangka membantu institusi penegak hukum itu untuk
melaksanakan perintah Undang-undang Kejaksaan yang baru, khususnya untuk lebih
meningkatkan profesionalisme para jaksa serta mewujudkan Kejaksaan sebagai professional
legal organization yang modern. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengakui bahwa lembaga
yang dipimpinnya banyak mengalami kelemahan dan kekurangan, sehingga sorotan tajam dan
tudingan miring yang ditujukan kepada Kejaksaan menjadi suatu yang wajar dan tidak perlu
membuatnya berkecil hati. Hal ini menjadi kendala tersendiri, karena dalam tindak pidana
korupsi, jaksa merupakan “gate keeper” dalam sistem peradilan pidana.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kemas Yahya Rahman,
mengungkapkan dari 358 kejaksaan negeri yang ada di Indonesia, 37 diantaranya
memiliki “kinerja nol” dalam kasus pidana khusus atau pemberantasan korupsi.
Beberapa kejaksaan adalah Kejaksaan Negeri Sigli (Nangroe Aceh Darussalam),
Wonosari (Yogyakarta), Tebing Tinggi (Sumatera Selatan), Teluk Kuantan (Riau), dan
Kejaksaan Negeri Menado, Sulawesi Utara. Rendahnya kinerja kejaksaan ini, karena
lemahnya kepemimpinan para kepala kejaksaan negeri dan kurangnya sumber daya
manusia. Sehingga kemampuan manajerialnya perlu diperbaiki. Anggota Komisi
kejaksaan perlu segera melakukan langkah strategis untu meningkatkan kinerja
kejaksaan.

Secara normatif, kejaksaan telah meresposisi jati dirinya dengan terbitnya UU No 16


tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menyebutkan dengan tegas, bahwa dalam melaksanakan
kekuasaan negara dalam bidang penuntutan dan tugas lainnya dalam UU, maka seorang jaksa
harus bersifat merdeka dan lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan
lainnya. Untuk melaksanakan ketentuan UU No 16 tersebut, telah ditetapkan Peraturan Presiden
No 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan RI untuk mengawasi tingkah laku para jaksa serta
memikirkan kesejahteraan dan pembangunan kejaksaan pada umumnya. Kejaksaan perlu
meningkatkan kerjasamanya dengan Kepolisian termasuk dengan Badan Pemeriksa Keuangan
dan Pembangunan (BPKP), Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan institusi negara terkait
dengan penegakan hukum guna mengembalikan keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

Sampai dengan tahun 2007 total laporan masyarakat menginjak angka 16.521. Namun
tidak semua laporan dapat ditindak-lanjuti oleh KPK dengan alasan sebagian laporan tidak
berindikasi korupsi atau tidak disertai dengan bukti yang cukup. KPK hanya menindak-lanjuti
laporan berindikasi korupsi sebanyak 241 perkara atau 1,46% dari total laporan

Sukses penanganan perkara KPK juga ditentukan oleh fokus kasus (korupsi),
sumber daya penyidik, dan pembatasan jumlah kasus. Soal jumlah kasus yang dibatasi
bisa dilihat dari laporan yang diterima per 30 September 2007 sebanyak 21.687 kasus.
Hasil telaah kasus diteruskan ke lembaga berwenang (3.475 kasus), internal KPK (447
kasus), sedangkan selebihnya tidak ditindaklanjuti dan dikembalikan ke pelapor. Dari
semua laporan yang terindikasi korupsi ada 3.437 kasus yang diteruskan ke kepolisian,
kejaksaan, BPKP, BPK, MA, Bawasda. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan
jumlah laporan publik, kasus korupsi yang ditangani sendiri oleh KPK, sangat terbatas.
Sisi positif dari KPK terletak pada aspek transparansi. Setiap perkara yang diputus oleh
pengadilan, kontrol terhadap setiap denda dan ganti rugi cukup tertib. Begitu pula yang
disetorkan ke kas negara. Dari 59 kasus yang ditangani sampai pengadilan, KPK telah
memublikasikan jumlah uang negara yang diselamatkan mencapai Rp 11,4 miliar pada
tahun 2005, Rp 30,3 miliar pada tahun 2006, Rp 117,4 miliar pada tahun 2007.
Sedangkan uang yang sudah disetor ke kas negara sebesar Rp 6,9 miliar pada tahun
2005, Rp 12,9 miliar tahun 2006, dan Rp 15,3 miliar hingga Agustus 2007. Dengan
demikian, uang pengganti yang belum ditagih sebesar Rp 103,8 miliar, sebagaimana
dikatakan Wakil Ketua Bidang Penindakan KPK Tumpak Hatorangan Panggabean.

Berkaitan dengan upaya peningkatkan peranan Polisi, Jaksa dan Hakim maka
perlu forusm diskusi dengan praktisi dan akademisi. Untuk melihat unsur korupsi dari
sebuah peristiwa hukum harus dianalisa secara komprehensif. Peranan Polisi dan Jaksa
dalam tahapan ini sangat berat. Kadang kala, Jaksa dan Polisi dalam menganalisa
peristiwa hukum tersebut, dalam rangka case building, tidak komprehensif. Pendekatan
yang dilakukan seringkali hanya menggunakan hukum pidana terutama Undang-undang
Pemberantasan Korupsi. Sementara undang-undang lain seperti UU Perbankan, UU
Perseroan Terbatas, UU Persaingan Usaha, UU Pasar Modal, UU Keuangan Negara
dan Hukum Tata Usaha Negara kurang dilirik. Padahal, tindak pidana korupsi yang
modus operandinya saat ini semakin canggih saja kadang terbukti menabrak undang-
undang itu. Karena itu, jangan segan-segan mengajak diskusi pihak lain yang lebih
pakar atau praktisi hukum dalam membahas undang-undang tersebut.

c. Budaya Hukum (Legal Culture)

Elemen budaya hukum (legal culture) yang harus diartikan sebagai people’s attitudes
toward law and the legal system – their beliefs, values, ideas, and expectations. Dengan kata lain,
hal ini merupakan bagian dari general culture yang berkaitan dengan sistem hukum, antara
lain tentang pernyataan bahwa masyarakat kalangan bawah tidak percaya kepada pengadilan;
masyarakat lebih memilih menyelesaikan perkara di luar pengadilan dari pada di
pengadilan;cybercrime di lingkungan perbankan banyak yang tidak dilaporkan untuk menjaga
kredibilitas perusahaan. Dengan demikian, legal culture merupakan whatever or whoever decides
to turn the machine (the legal structure) on and off, and determines how it will be used.

Korupsi yang terjadi di tingkat masyarakat seoalah telah menjadi budaya alami, sehingg
sangat susah untuk diberantas, namun hanya bisa dikurangi. H. Abdul Djamil (Rektor IAIN
Walisongo Semarang) mengemukakan, bahwa peran agama untuk pemberantasan korupsi
sebenarnya bagus yakni mengajarkan, berlomba-lomba meraih kebajikan dan menjahui segala
kemungkaran atau kejahatan.Sayangnya hidup manusia yang beragama, tidak pernah konsisten.
Manusia beragama masih bergantung pada situasi dan kondisi. Jika di lingkungan tempat ibadah,
patuh pada hukum agama, namun sebaliknya jika kondisi memungkinkan, jauh pada aturan
agama. Karena itu, korupsi yang juga terjadi di tingkat masyarakat bawah sangat mungkin
terinspirasi dari korupsi di tingkat atas. Sistem pemerintahan yang ada belum mampu
menciptakan masyarakat bersih karena dalam diri pribadi tersimpan watak korup. Merajalelanya
korupsi terekam dalam survei yang dilakukan Transparency International Indonesia awal tahun
2007, yang mewawancarai para pelaku usaha diIndonesia dan terungkap bahwa inisiatif
permintaan suap kerap kali datang dari para pelayan publik. Tiga besar lembaga yang paling
sering meminta “uang pelicin” adalah pengadilan, bea-cukai, dan imigrasi.

Di Thailand partisipasi masyarakat dalam mekanisme akuntabilitas publik mendapat


jaminan yang jelas di dalam konstitusi, dan dalam prakteknya didorong juga oleh program
perlindungan saksi, yang dalam hal-hal tertentu digunakan oleh NCCC untuk menjaring kasus-
kasus korupsi untuk diinvestigasi. Meskipun di Indonesia ada ketentuan yang mengatur
tentang peranserta masyarakat, misalnya Pasal 41 Bab V UU No. 31 Tahun 1999 yang dijabarkan
dalam PP No. 71 Tahun 2001, Berapa banyak anggota masyarakat Indonesia yang berperan dan
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.Dari tinjauan hukum pidana, banyaknya
demonstrasi dan berita di media massa tidak selalu menunjukkan adanya tindak pidana korupsi,
kolusi dan nepotisme.

Pemerintah saat ini telah menciptakan, suatu situasi yang dapat memaksa para pelaku
tindak pidana korupsi berpikir ulang sebelum mengulangi tindakannya. Presiden Yudhoyono juga
menjelaskan kepedulian untuk membasmi korupsi telah meningkat di antara masyarakat. Hal itu
terbukti lebih dari 20 ribu aduan atau dugaan korupsi yang dilaporkan masyarakat kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluhkan kualitas
laporan dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang masuk ke lembaga itu yang sebagian besar
tidak memenuhi syarat sehingga sulit ditindaklanjuti. Dari sekitar 21 ribu laporan yang masuk ke
KPK hingga kini, yang dapat ditindaklanjuti dua persen lebih. Dalam hubungannya dengan
pemberantasan korupsi diperlukan juga syarat tingginya kesadaran hukum masyarakat, yang
kesadaran hukum itu juga sekaligus merupakan tujuan dari penegakan hukum pidana korupsi.
Terbentuknya kesadaran hukum masyarakat yang menunjang keberhasilan dari upaya penegakan
hukum pidana korupsi, sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya pemahaman hukum oleh
masyarakat tentang hukum itu sendiri.

Jabaran berikut menguraikan langkah-langkah strategis kebijakan non-hukum pidana


terhadap pemberantasan korupsi diIndonesia. Berdasarkan teori yang dikemukakan Hoefnagels di
atas, diketahui bahwa kebijakan nonpenal dilakukan dengan cara mempengaruhi pandangan
masyarakat tentang kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society
on crime and punishment/mass media), dan pencegahan tanpa menggunakan pidana (prevention
without punishment). Kebijakan ini mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Beberapa bentuk
kebijakan nonpenal adalah (1) kebijakan sosial, (2) perencanaan dan pengembangan kesehatan
mental masyarakat, (3) perbaikan kesehatan mental secara nasional, dapat meliputi upaya
menciptakan kesejahteraan sosial dan kesejahteraan anak-anak, dan (4) penerapan hukum
administrasi dan hukum perdata. Tujuan utama dari usaha-usaha dalam ruang lingkup kebijakan
nonpenal adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, yang secara langsung atau tidak
langsung mempunyai pengaruh terhadap pencegahan kejahatan. Hal ini selaras dengan hasil
Kongres PBB ke-6 tahun 1980 yang merekomendasikan bahwa “crime prevention strategies
should be based upon the elimination of causes and conditions giving rises to crime. Strategi
pencegahan kejahatan hendaknya didasarkan pada upaya menghilangkan sebab-sebab dan
kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.

Saat ini pemberantasan korupsi sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan pendekatan
hukum. Karena itu, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah dan Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) se-Indonesia mulai memberikan pendidikan antikorupsi bagi mahasiswa. Menteri
Agama, M. Maftuh Basyuni menyambut positif program pendidikan antikorupsi yang digagas
UIN Syarif Hidayatullah. Ia berharap UIN bisa segera melakukan duplikasi untuk diterapkan di
perguruan tinggi lain. Pendidikan antikorupsi dapat dikembangkan di perguruan tinggi lain
dengan analisis berbeda.

Gerakan moral pemberantasan korupsi di Indonesia juga dilakukan Pengurus


Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) dengan Muhamadiyah. Hasyim Muzadi
mengemukakan, bahwa gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia memang sudah
ada. Namun, ia melihat masih banyak kelemahan karena belum mampu mengatasi
masalah korupsi yang telah menjadi penyakit bangsa. Moralitas menjadi bidikan utama
langkah preventif pemberantasan korupsi karena moralitas akan menentukan tingkah
laku. Secara kriminologis, penyebab utama korupsi adalah moralitas yang bobrok yang
mengakibatkan keserakahan. Karena itu, wajar jika moralitas perlu diperbaiki dengan
berbagai cara, misalnya melalui pendidikan dan penyehatan mental masyarakat.
Kesehatan mental (mental health higine) masyarakat juga terus ditingkatkan melalui
pendidikan formal, informal dan nonformal, termasuk melalui pendidikan budipekerti,
wawasan kebangsanaan, dan pendidikan agama. Anak-anak juga perlu ditingkatkan
kesadaran moralnya, termasuk meningkatkan kesejahteraannya.

Penanggulangan korupsi tidak dapat dilakukan secara cepat dan terburu-


buru. Karena itu, diperlukan penyediaan generasi baru (anak-anak), di antaranya
dengan cara mengimplementasikan muatan materi antikorupsi dalam kurikulum
pendidikan formal. Dalam materi tersebut harus diuraikan tentang pentingnya
pemberantasan korupsi karena tindakan tersebut merugikan masyarakat secara umum
dan melanggar hukum. Kurikulum mulai dimasukkan dalam pendidikan dasar hingga
perguruan tinggi. Namun demikian, untuk mencapai proses menjadi kurikulum tetap,
langkah awal bisa dimasukkan dalam kegiatan ko-kurikuler atau ekstrakurikuler.

Pemanfaatan hukum perdata dan hukum administrasi negara untuk melakukan


upaya preventif tindak pidana korupsi merupakan langkah yang sangat tepat. Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa terjadinya korupsi juga karena buruknya tata administrasi
dan lemahnya pengontrolan kegiatan adminsitrasi di kalangan birokrat. Melalui
penerapan hukum administrasi yang konsisiten, kolusi (sebagai salah satu langkah awal
menuju korupsi) dapat diminimalisasi.
Secara kriminologis, sampai saat ini belum ada indikasi bahwa tindak pidana
korupsi di Indonesia merupakan kejahatan terorganisasi (organized crime) dan
merupakan kejahatan lintas negara (trans-national crime). Meskipun demikian, banyak
pelaku kejahatan yang akhirnya melarikan diri ke negara asing. Karena
itu, Indonesia perlu melakukan kerja sama internasional untuk menenggulangi kejahatan
tersebut. Kerjasama internasional sebagai salah satu amanat dari konvensi anti-korupsi
juga perlu dilakukan oleh Indoensia. Pemerintah Amerika Serikat, melalui The Millenium
Challence Corporation yang dibentuk Presiden George Bush tahun 2002, telah
menyetujui proposal Pemerintah Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi secara
berkelanjutan dengan memberikan hibah atau grant senilai 35 juta dollar AS atau setara
dengan Rp 322 miliar-dengan kurs Rp 9.200 per dollar AS. Persetujuan Pemerintah AS
dilakukan pada 25 Oktober 2006. Upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara
terintegrasi dan berkelanjutan. Selain untuk reformasi peradilan dan Mahkamah Agung
(MA) senilai 14,4 juta dollar AS, pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
senilai 12,3 juta dollar AS atau sekitar Rp 113 miliar, juga untuk penguatan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) senilai 1,7 juta dollar AS, dan
penerapan pengadaan barang dan jasa pemerintah senilai 6,5 juta dollar AS.

Saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah


mewakiliIndonesia menjadi anggota Asosiasi Internasional Otoritas Pemberantasan
Korupsi (International Association of Anti Corruption Authorities (IAACA)). Keputusan itu
dilakukan dalam pertemuan tahunan perdana IAACA yang digelar di Beijing, China, 22
sampai dengan 26 Oktober 2006. IAACA merupakan asosiasi lembaga-lembaga
pemberantas korupsi di dunia. Lebih dari 120 negara yang mempunyai lembaga/institusi
pemberantas korupsi terdaftar sebagai anggota IAACA. Pembentukan wadah ini salah
satu tujuannya adalah agar negara-negara anggota bisa saling membantu untuk
mengimplementasikan pelaksanaan Konvensi PBB Melawan Korupsi
(UNCAC). Indonesia sendiri telah menjadi anggota IAACA sejak Oktober 2006.

Agenda internasional yang akan dilakukan Indonesia dalam tahun ini. Di


antaranya adalah Conflict of Interest International Seminarpada 8-9 Agustus, Asset
Recovery International Seminar dan ADB-OECD SG Meeting pada 3-7
September, Procurement & Bribery International Seminar pada 4-6 November, dan
puncaknya adalah Konferensi II IAACA pada 20-23 November di
Bali. Pakistan melaluiNational Accountability Bureau akan bekerjasama dengan KPK
Indonesia.

Dalam mensinergikan kebijakan nonpenal dan kebijakan penal, perlu adanya


pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Permasalahan
utama dalam mengintegrasikan dan mengharmonisasikan kebijakan nonpenal dengan
penal adalah ke arah penekanan dan pengurangan faktor-faktor potensial yang
menumbuhsuburkan kejahatan. Melalui pendekatan integral tersebut diharapkan
pelaksanaan rencana perlindungan masyarakat (social defence
planning) berhasil. Keberhasilan tersebut, dapat menopang keberhasilan pencapaian
tujuan kebijakan sosial yang tertuang dalam rencana pembangunan nasional.

E. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan dalam subbab di atas dapat dipahami bahwa meskipun tidak
secepat yang diharapkan banyak pihak, pemberantasan korupsi di Indonesia melalui penerapan
hukum pidana pada era reformasi sudah menunjukkan hasil yang positif.Sayang, pemberantasan
korupsi di Indonesia masih mengedepankan tindakan represif belum banyak memanfaatkan
kebijakan sosial (social policy) sebagai langkah preventif. Langkah pencegahan perlu dilakukan
karena secara kriminologis, tindak pidana korupsi mempunyai karakteristik yang cukup
kompleks, dapat dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Pemerintah Indonesia dan seluruh
komponen bangsa perlu terus mengembangkan kebijakan kriminal secara padu. Langkah-langkah
strategis pemberantasan korupsi di Indonesia meliputi peningkatan eksistensi substansi hukum,
peningkatan struktur hukum, dan perbaikan kultur hukum. Mentalitas penegak hukum dan
masyarakat menjadi kunci utama pemberantasan korupsi pada masa akan datang.

*) Dr. Drs. Widodo, S.H., M.H. adalah Dosen Tetap Dipekerjakan (DPK) Fakultas Hukum
Universitas Wisnuwardhana Malang.

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan


Hukum. CV. Mandar Maju, Bandung.
Chazawi, Adami, 2003. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayu
Media, Malang.

Clarke, Ronald R. (ed.), 1997, Situational Crime Prevention: Successful Case Studies.


Second Edition. New York: Harrow and Heston.

Lawrence M. Friedman, Legal System, 1979.

Ganner, Bryan A., 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St.


Paul, Minn.

Hamzah, Andi, 1986. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Erlangga, Jakarta.

Handoko, I.P.M. Ranu, 1996, Terminologi Hukum, Sinar Grafika,Jakarta.

Hoefnagels, G. Peter, 1969, The others Side of Criminology, Kluwer-Deventer, Holand


Podgor, Ellen S., 1994, White Collar Crime In A Notshell. West Publishing Co., St.
Paul Minn.
Prodjohamidjojo, Martiman, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi
UU No. 31 Tahun 1999). Bandung: CV Mandar Maju.
Salim, Peter, 1989, The Contemporary Inglish-Indonesian Dictionary,Modern English
Press, Jakarta.

Setiyono, 2002, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologis dan Pertanggung-jawaban


Korporasi dalam Hukum PidanaIndonesia.

Sutherland, Edwin H. dan Donald R.Cressey, 1960, Principles of Crimonology, J.B.


Lippincott Company, Chicago, Philadelphia,New York.

Yandianto, 2000, Kamus Umum Bahasa Indonesia, M--2S, Bandung.


Webster’s New American Dictionary, 1985.

Makalah
Muladi, 1992. Tindak Pidana Money Laoundring dan Permasalahannya.Makalah dalam
Seminar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, tanggal 8 Januari 1992. p. 1-
2.

Koran
Muladi, “Tinjauan Juridis Pemberantasan Korupsi”, Suara Karya, Senin tanggal 21 Maret
2005.

Harian Investor Daily Indonesia, 7 Agustus 2007.

Harian Kompas, 25 Juli 2007

Harian Kompas, 3 November 2006.

Harian Pelita, tanggal 8 Agustus 2007.

Harian Pelita, 7 Agustus 2007.

Harian Republika, 30 Oktober 2006

Harian Seputar Indonesia, Edisi Sore - Jumat, 6 Juli 2007

Kantor Berita Antara, 1 Agustus 2007.

Koran Tempo, 9 Agustus 2007.

You might also like