Professional Documents
Culture Documents
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
yang dimaksud keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan
alasan pemberatan pidana (dana penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan ksrisis ekonomi dan
moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun clan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Pasal 4
Sedangkan dalam Pasal 5 mengatur tentang (1) orang yang memberi atau menjanjikan
kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya atau bertentangan dengan kewajiannya; (2) pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima pemberian atau janji.
Erat kaitannya dengan tindak pidana KKN, dalam Pasal 12 B dan C UU No. 31 Tahun
1999 diatur tentang gratifikasi.
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penye lenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila ber hubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan ` paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobat an cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut, baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang
dilaku kan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifi kasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidaria
Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima
gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut
diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik
penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-
Undang tentang Komisi Pem berantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 B ayat (1), menurut Barda Nawawi Arief, diketahui 6 hal
berikut.
c. Pasal 12 B ayat (1) tidak merumuskan tindak pidana gratifikasi, tetapi hanya memuat ketentuan
mengenai:
Tindakan yang dianggap sebagai "pemberian suap", yaitu apabila gratifikasi (pemberian)
diberikan kepada "pegawai negeri" atau "penyelenggara negara"; dan berhubungan dengan
jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.
Berdasarkan ketentuan tentang gratifikasi diketahui bahwa ada 2 (dua) jenis gratifikasi, yaitu:
d. Pasal 12 B ayat (2) menentukan ancaman pidana bagi penerima gratifikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), yaitu
2) pidana penjara dalam waktu tertentu, paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan
3) pidana denda (minimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) clan maksimal Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)).
e. Dengan perumusan Pasal 12 B ayat (2) itu. maka tidak ada perbedaan ancaman pidana bagi
penerima gratifi kasi jenis pertama (besarnya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih) dan penerima gratifikasi jenis ke dua (besarnya di bawah Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah)). Jadi, tidak ada perbedaan substantif. Yang ada hanya perbedaan prosesual, yaitu
(berdasarkan Pasal 12 B ayat (1)):
1) Untuk gratifikasi pertama, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu bukan suap) pada
penerima;
2) Untuk gratifikasi kedua, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu merupakan suap) pada
penuntut umum (PU).
f. Logika pembuat undang-undang dalam menentukan Pasal 12 B ayat (2) untuk tidak
membedakan ancaman pidana terhadap gratifikasi jenis ke-1 dan ke-2, tidak konsisten
dengan logika yang tertuang daiam Pasal 12 A yang membeda kan ancaman pidana untuk
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 sebagai
berikut:
1) Yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah), diancam pidana penjara
maksimal 3 (tiga) tahun (tidak ada minimalnya) dan denda maksimal Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) (tidak ada minimalnya); lihat Pasal 12 A ayat (2).
2) Yang nilainya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih, berlaku ketentuan pidana
dalam pasal yang bersangkutan (Pasal 5 sampai dengan Pasal 12); lihat Pasal 12 A ayat
(1).Berarti untuk Tindak Pidana Korupsi ke-2 ini dapat dikenakan pidana minimal dalam
pasal yang bersangkutan.
2. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi
negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta,
3. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel,
uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun
wanita,
5. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu
berupa uang,
8. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan
sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja,
mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.
Sarlito Wirawan Sarwono, mengemukakan bahwa tidak ada jawaban yang pasti
tentang penybeb korupsi, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni adanya dorongan dari
dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya), dan rangsangan dari
luar (misalnya dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan
sebagainya). Sedangkan Andi Hamzah menginventarisasikan beberapa penyebab
korupsi, yakni: a. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang
makin meningkat; b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan
sumber atau sebab meluasnya korupsi; c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol
yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi; d.
Modernisasi pengembangbiakan korupsi.
Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa
juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan
korupsi. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya
berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi”. Penyebab tersebut adalah sebagai berikut.
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan
korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau
pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar
keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan
tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan
korupsi.
2. Aspek Organisasi
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan
misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran
yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut.
Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah
instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut
adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang
dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik
korupsi.
c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti
melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri.
Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi
sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas
bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah
korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa
korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
Berdasarkan uraian tentang penyebab tindak pidana korupsi di atas dapat dipahami
bahwa tindak pidana korupsi bukan disebabkan oleh satu penyebab yang berdiri sendiri melaikan
terdiri atas beberapa faktor penyebab yang kompleks. Hal ini sesuai dengan pendapat Edwin H.
Sutherland bahwa penyebab kejahatan seperti adalah faktor yang kompleks (multiple
factor). Sutherland mengemukakan dalam “teori” tersebut sebagai berikut, This ‘theory’ should
be recognized as an admission of defeat, for its means criminological studiest must always be
‘exploratory’. The criminologist can carry his conclusions beyonds multiple factors and reduce
the series of factors to simplicity by the method of logical abstraction.”
Teori pemilihan yang rasional ini mengajarkan, bahwa kejahatan dianggap sebagai
suatu peristiwa yang hanya terjadi manakala seorang pelanggar memutuskan untuk
mengambil risiko untuk melanggar hukum, tentusaja setelah mempertimbangkan
kebutuhannya yaitu untuk memperoleh uang, mempertahankan nilai-nilai pribadi atau
setelah mempelajari beberapa pertimbangan yaitu apa saja suatu target yang dilindungi,
bagaimana kondisi lingkungan sekitar, dan bagaimana efisiensi dan efektivitas kinerja
kepolisian. Sebelum melakukan suatu kejahatan, penjahat menimbang tentang
kesempatan-kesempatan yang memungkinkan melakukan kejahatan agar tidak
tertangkap, memahami kekejaman-kejaman dari pidana yang diancamkan jika pelaku
tertangkap polisi, nilai lebih yang diperoleh seseorang setelah melakukan tingkah laku
yang dipilih, dan kebutuhan-kebutuhan apa saja yang dapat dipenuhi jika melakukan
tingkah laku tersebut.
Teori pemilihan yang rasional ini juga mengutamakan tentang bagimana
seseorang memenuhi kebutuhannya, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan uang,
prestise (gengsi), jenis kelamin (percintaan), dan kegembiraan. Semua elemen tersebut
berpengaruh pada saat seseorang mempertimbangkan dalam memilih keputusan untuk
bertingkah laku. Hal ini diungkapkan dalam pernyataan berikut, "...crime is purposive
behaviour designed to meet the offender’s commonplace needs for such things as
money, status, sex, excitement, and that meeting these needs involves the making of
(sometimes quite rudimentary) decisions and choices, constrained as they are by limits
of time and ability and the availability of relevant information." Ajaran teori ini selaras
dengan fakta tentang penyebab seseorang melakukan tindak pidana korupsi, yaitu
memenuhi kebutuhan hidup, gengsi, dan kemewahan. Para korupstor sebenarnya
sadar bahwa perbuatan tersebut melanggar hujum, tetapi sifat “keserakahan atau
kerakusan” yang dipenuhi. Mungkin pelaku mengetahui dampak korupsi dan hukum
korupsi, namun karena sudah "terbiasa" dan hukuman moral tidak berlaku lagi di sini,
maka justru muncul rasa solidaritas di antara pelaku sebagaimana diungkapkan filsuf
asal Jerman Bertold Brecht, “makan dulu, soal moral nanti saja (Erst kommt das Essen,
denn die Morale).
Alasan “keserakahan” koruptor sebagai penyebab utama tindak pidana korupsi dapat
juga ditelaah dari teori netralisasi. David Matza menegaskan, “Theory neutralization stresses
youth’s learning of behavior rationalizations that enable them to overcome societal values and
norms and engage in illegal bahaviour. Teori netralisasi menekankan tentang pembelajaran kaum
muda untuk merasionalisasi perilaku menyimpang yang dilakukan sehingga diharapkan dapat
memperdaya bekerjanya nilai-nilai kemasyarakatan dan norma-norma dalam masyarakat. Sykes
dan Matza menjabarkan 5 (lima) teknik netralisasi yang dapat dilakukan oleh pelaku kejahatan,
yaitu sebagai berikut.
“Kejahatan krah putih” merupakan suatu tindakan tidak sah yang menggunakan
cara penipuan atau penyembunyian, dan tidak banyak menggunakan ancaman atau
kekuatan fisik (kekerasan), dengan tujuan memperoleh uang, hak milik, jasa layanan;
menghindari kewajiban pembayaran tertentu; atau mengamankan suatu bisnis. Pelaku
“kejahatan krah putih” biasanya menduduki posisi dan tanggung jawab serta
kepercayaan pada struktur pemerintahan, industri, organisasi profesi, dan organisasi
kemasyarakatan. Kejahatan tersebut bersifat eksklusif, yaitu sebagai kejahatan yang
dilakukan dengan tanpa menggunakan kekerasan fisik untuk memperoleh keuntungan
atau kekayaan dengan cara penipuan. Hal ini sesuai juga dengan pendapat Sutherland,
bahwa “white collar crime is a crime commited by a person of respectability and high
social and status in the course of his occupation".
C. ANALISIS KEKUATAN, KELEMAHAN, PELUANG, DAN
TANTANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONENSIA
Analisis terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan lazim disebut analisis
SWOT. Dalam ilmu menajemen dikenal istilah analisis SWOT, yang merupakan singkatan dari
kata Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Threats. Analisis ini digunakan untuk mengetahui
potensi organisaisi melalui evaluasi diri (self evaluation) untuk menentukan peluang yang dapat
diraih, kekuatan yang harus dipertahankan, kelemahan yang harus dihapuskan, dan tantangan
yang sedang dan akan dihadapi. Pengertian dari keempat istilah tersebut adalah (a) kekuatan-
kekuatan yang dipunyai oleh kesatuan yang akan melaksanakan rencana (strenghts); (b)
kelemahan-kelamahan yang dimiliki oleh kekuatan yang akan melaksanakan
renacana(weaknesses); (c) peluang-peluang yang dapat dinmanfaatkan(opportunities); dan (d)
ancaman atau tantangan yang akan dihadapi(threats). Analisis SWOT di atas merupakan analisis
dalam bidang ekonomi dan berkaitan dengan penentuan strategi perusahaan untuk meningkatkan
kinerja manejerial. Meskipun dalam analisis SWOT ini penulis tidak membuat gambaran posisi
sebagaimana yang diajarkan pada analisis SWOT. Tujuan analisis ini hanya untuk memudahkan
pehamaman, bukan semata-mata menentukan strategi penanggulangan sebagaimana
diformulasikan dalam ilmu manajemen.
b. Penguatan dan reformasi kelembagaan baik publik maupun privat terus menerus.
d. Pembentukan lingkungan luas yang berbudaya anti korupsi, baik sektor publik
maupun sektor privat.
Berdasarkan pendapat Hoefnagels, dapat diketahui bahwa penerapan hukum pidana untuk
menangulangi kejahatan meliputi ruang lingkup berikut.
a) Administrasi peradilan pidana dalam arti sempit, yaitu pembuatan hukum pidana dan
yurisprudensi, proses peradilan pidana dalam arti luas (meliputi kehakiman, ilmu kejiwaan,
ilmu sosial), dan pemidanaan.
Substansi hukum yang dapat diartikan sebagai sejumlah peraturan, norma dan
perilaku orang-orang di dalam sistem hukum. Legal substance berkaitan erat dengan
apa yang dihasilkan atau dilakukan oleh mesin atau struktur hukum di atas. Meskipun
substansi hukum tentang tindak pidana korupsi, yaitu Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah “memadai” (?). saat ini tidak ada lagi
celah hukum bagi koruptor untuk berlindung di balik kerahasiaan bank sebagai tempat
menyembunyikan dan mencuci uang karena UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No 20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No 15 tahun 2002
juncto UU No 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sudah menutup
celah hukum. Penutupan celah hukum baru berjalan efektif jika otoritas perbankan dan
pimpinan bank memiliki komitmen yang sama dengan aparatur penegak hukum dan
KPK. Apalagi UU No 7 Tahun 1992 juncto UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan
memberi peluang pembukaan keterangan keadaan keuangan tersangka (Pasal 42).
Peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam
pemberantasan korupsi juga tidak kalah penting. Karena itu, kerja sama erat lembaga ini
dan KPK amat strategis dalam menelusuri jejak peredaran uang hasil korupsi. Secara
teknis hukum, hal ini dapat dilaksanakan dengan menyertakan pejabat PPATK sebagai
saksi ahli. Konvensi Menentang Korupsi (Convention Against Corruption, 2003) yang
sudah diadopsi Pemerintah Indonesia, Desember 2003, memuat ketentuan itu. Dengan
bahasa wajib (mandatory language), konvensi itu menuntut agar tiap negara peserta
konvensi sudah memasukkan ketentuan yang dapat membuka kerahasiaan bank untuk
kepentingan penyidikan tindak pidana korupsi (Pasal 31 Ayat 7 juncto Pasal 40 dan
Pasal 55). Perkembangan ini menuntut seluruh pejabat otoritas perbankan dan pimpinan
bank untuk memahami dan melaksanakan ketentuan pembukaan kerahasiaan bank
sepanjang menyangkut status hukum tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi
atau tindak pidana lain. Apalagi KPK sudah dibekali ketentuan khusus untuk
melaksanakan instrumen internasional itu dalam UU No 30/2002 (Pasal 12 Huruf c dan
Huruf d).
Meskipun demikian, masih banyak perangkat hukum yang belum mendukung, misalnya
tentang undang-undang perlindungan saksi yang sulit diterapkan. Perlindungan saksi selalu
berkaitan keamanan dan kenyamanan fisik, psikologis, identitas, dan relokasi bagi saksi sebagai
pelapor, dari orang lain yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah
diberikannya atas suatu perkara pidana.
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Dalam Penjelasan Pasal 37 ayat (1) diatur, bahwa Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas
penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan
hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas
praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-
incrimination). Sedangkan dalam Penjelasan Ayat (2) ditegaskan bahwa ketentuan ini tidak
menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk).
Ketentuan pembuktian ternbalik hanya berlaku pada tindak pidana baru tentang
gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah
satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
a. UU No. 31 Tahun 1999, yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal
16
b. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, dan Pasal 12.
Asas pembuktian terbalik telah diprak tikkan oleh Pengadilan Tinggi Hong kong
dalam kasus ICAC Hong Kong terhadap pe mohon 'judicial review" terhadap proses
pembuktian terbalik yang dilaksanakan oleh pengadilan rendah telah sesuai de
ngan Hong Kong Bribery Ordinance Act. Keputusan Pengadilan Tinggi Hong kong
menganggap bahwa proses pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan peng adilan
rendah telah memberikan keadilan sama bagi kedua belah pihak yaitu kepada pemohon
maupun kepada ICAC Hong Kong dalam menyampaikan pembuktian nya.
Berlainan dengan model Hong Kong (dalam pembuktian terbalik) yang dapat
digunakan dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara pidana, maka model
pembuktian terbalik dalam Kon vensi Anti Korupsi 2003 (Pasal 31 ayat 8), dan banyak
memperoleh pengakuan dari negara-negara maju baik yang mengguna kan sistem
hukum "Common Law" dan "Civil Law", yaitu mendukung penggu naan prosedur
keperdataan dalam mene rapkan teori pembuktian terbalik dengan keseimbangan
kemungkinan tersebut, artinya, sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut
ditujukan untuk meng gugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang
berasal dari tindak pidana korupsi. Konvensi Anti-Korupsi 2003 yang telah diratifikasi
telah memuat ketentuan me ngenai pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks
proses pembekuan (freez ing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation) di
bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab III). Pascara tifikasi Konvensi
Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pem buktian yang masih
dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan
ketentuan me ngenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan
pengadilan di dalam UU nomor 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun
2001. Berdasarkan fakta tersebut, Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa masih
diperlukan perubahan mendasar, antara lain pembentukan hukum acara khusus
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dalam UU yang baru
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menghadapi fakta tersebut di atas, maka salah satu strategi untuk mencegah korupsi di
kalangan pejabat negara, legislator perlu menerbitkan undang-undang tentang konflik
kepentingan. Materi di dalamnya mengatur sejumlah kepentingan yang harus dihindari pejabat,
karena dapat menyebabkan korupsi. Berkaitan dengan ide tersebut, Predisen Yudhoyono saat
membuka Seminar Konflik Kepentingan di Istana Negara, Jakarta menyatakan, "Saya
menyambut baik upaya pencegahan konflik kepentingan dengan mencantumkan hal itu dalam
berbagai jenis hukum dan peraturan di Indonesia, antara lain dalam Undang-Undang Anti
Korupsi" . Selain melindungi aset negara dan umum dari tindak pidana korupsi, pengaturan
konflik kepentingan juga upaya mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat. Pengaturan
konflik kepentingan tidak hanya semata-mata untuk melindungi aset umum, namun juga
merupakan syarat dari suatu negara atau pemerintahan untuk memperoleh kepercayaan dari
warga negaranya.Bajkan saat ini Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Taufiqurahman Ruki,
menyatakan, pihaknya mendesak pemerintah mengeluarkan UU tentang konflik kepentingan
pejabat negara. Undang-undang tersebut berguna untuk melindungi aset negara dari
penyalahgunaan wewenang oleh pejabat terkait.
Selain itu, kendala subtantif lainnya adalah ketentuan tentang perlunya izin dari presiden
untuk memeriksa pejabat negara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Yohanes
Usfunan, menyatakan bahwa ketentuan tentang izin Presiden untuk memeriksa pejabat negara
yang terlibat korupsi selama ini menghambat efektivitas penanganan perkara korupsi dan
pencegahannya. Pasal 106 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD serta Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sama-sama
mengatur izin pemeriksaan pejabat negara. Dari perspektif hukum pemerintahan, hakikat izin
sebagai salah satu bentuk pengawasan preventif guna mencegah pelanggaran hukum. Oleh karena
itu, izin pemeriksaan pejabat negara yang diduga korup sama dengan melindungi koruptor secara
normatif. Izin Presiden atas permintaan penyidik, sesuai Pasal 36 Ayat (1) UU No 32 Tahun
2004, dalam kasus tertentu berpeluang disalahgunakan penyidik "melindungi" koruptor dengan
dalih masih menunggu izin Presiden. Padahal mungkin saja permohonan ke Presiden tidak pernah
dikirim. Diskriminasi Izin pemeriksaan pejabat negara membuktikan perlakuan diskriminatif dan
mengabaikan asas persamaan di depan hukum antara pejabat negara dan pegawai negeri lain yang
terlibat korupsi. Persamaan merupakan salah satu HAM sipil yang berkarakter absolut sehingga
tidak boleh dilanggar oleh siapa pun sesuai dengan Pasal 28 D UUD 1945 jo. Pasal 4 UU No 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Karena itu, dalam politik legislasi, guna menciptakan
hukum responsif sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat, ketentuan tentang izin Presiden
dalam hukum positif perlu dicabut. Izin Presiden dapat diganti pemberitahuan tertulis penyidik ke
pejabat terkait secara hierarkis sampai Presiden sebagai laporan. Laporan itu guna mengawasi
pemeriksaan pejabat negara yang diduga korup. Maka, pengawasan pemerintah perlu
ditingkatkan kendati masyarakat masih meragukan obyektivitas pengawasan badan pengawas
daerah mengingat pejabatnya diangkat kepala daerah.
Soko guru utama penegakan hukum (law enforcement) adalah penegak hukum/struktur
hukum (legal culture), meskipun peranan subtansi hukum dan budaya hukum tidak dapat di-
sepele-kan. Legal structure .. a kind of cross section of the legal system- a kind of still
photograph, which freezes the action. Dengan demikian, elemen struktur hukum merupakan
semacam mesin. Elemen struktur hukum yang terdiri atas misalnya jenis-jenis peradilan,
yurisdiksi peradilan, proses banding, kasasi, peninjauan kembali, pengorganisasian penegak
hukum, mekanisme hubungan polisi kejaksaan, pengadilan, petugas pemasyarakatan, dan
sebagainya.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kemas Yahya Rahman,
mengungkapkan dari 358 kejaksaan negeri yang ada di Indonesia, 37 diantaranya
memiliki “kinerja nol” dalam kasus pidana khusus atau pemberantasan korupsi.
Beberapa kejaksaan adalah Kejaksaan Negeri Sigli (Nangroe Aceh Darussalam),
Wonosari (Yogyakarta), Tebing Tinggi (Sumatera Selatan), Teluk Kuantan (Riau), dan
Kejaksaan Negeri Menado, Sulawesi Utara. Rendahnya kinerja kejaksaan ini, karena
lemahnya kepemimpinan para kepala kejaksaan negeri dan kurangnya sumber daya
manusia. Sehingga kemampuan manajerialnya perlu diperbaiki. Anggota Komisi
kejaksaan perlu segera melakukan langkah strategis untu meningkatkan kinerja
kejaksaan.
Sampai dengan tahun 2007 total laporan masyarakat menginjak angka 16.521. Namun
tidak semua laporan dapat ditindak-lanjuti oleh KPK dengan alasan sebagian laporan tidak
berindikasi korupsi atau tidak disertai dengan bukti yang cukup. KPK hanya menindak-lanjuti
laporan berindikasi korupsi sebanyak 241 perkara atau 1,46% dari total laporan
Sukses penanganan perkara KPK juga ditentukan oleh fokus kasus (korupsi),
sumber daya penyidik, dan pembatasan jumlah kasus. Soal jumlah kasus yang dibatasi
bisa dilihat dari laporan yang diterima per 30 September 2007 sebanyak 21.687 kasus.
Hasil telaah kasus diteruskan ke lembaga berwenang (3.475 kasus), internal KPK (447
kasus), sedangkan selebihnya tidak ditindaklanjuti dan dikembalikan ke pelapor. Dari
semua laporan yang terindikasi korupsi ada 3.437 kasus yang diteruskan ke kepolisian,
kejaksaan, BPKP, BPK, MA, Bawasda. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan
jumlah laporan publik, kasus korupsi yang ditangani sendiri oleh KPK, sangat terbatas.
Sisi positif dari KPK terletak pada aspek transparansi. Setiap perkara yang diputus oleh
pengadilan, kontrol terhadap setiap denda dan ganti rugi cukup tertib. Begitu pula yang
disetorkan ke kas negara. Dari 59 kasus yang ditangani sampai pengadilan, KPK telah
memublikasikan jumlah uang negara yang diselamatkan mencapai Rp 11,4 miliar pada
tahun 2005, Rp 30,3 miliar pada tahun 2006, Rp 117,4 miliar pada tahun 2007.
Sedangkan uang yang sudah disetor ke kas negara sebesar Rp 6,9 miliar pada tahun
2005, Rp 12,9 miliar tahun 2006, dan Rp 15,3 miliar hingga Agustus 2007. Dengan
demikian, uang pengganti yang belum ditagih sebesar Rp 103,8 miliar, sebagaimana
dikatakan Wakil Ketua Bidang Penindakan KPK Tumpak Hatorangan Panggabean.
Berkaitan dengan upaya peningkatkan peranan Polisi, Jaksa dan Hakim maka
perlu forusm diskusi dengan praktisi dan akademisi. Untuk melihat unsur korupsi dari
sebuah peristiwa hukum harus dianalisa secara komprehensif. Peranan Polisi dan Jaksa
dalam tahapan ini sangat berat. Kadang kala, Jaksa dan Polisi dalam menganalisa
peristiwa hukum tersebut, dalam rangka case building, tidak komprehensif. Pendekatan
yang dilakukan seringkali hanya menggunakan hukum pidana terutama Undang-undang
Pemberantasan Korupsi. Sementara undang-undang lain seperti UU Perbankan, UU
Perseroan Terbatas, UU Persaingan Usaha, UU Pasar Modal, UU Keuangan Negara
dan Hukum Tata Usaha Negara kurang dilirik. Padahal, tindak pidana korupsi yang
modus operandinya saat ini semakin canggih saja kadang terbukti menabrak undang-
undang itu. Karena itu, jangan segan-segan mengajak diskusi pihak lain yang lebih
pakar atau praktisi hukum dalam membahas undang-undang tersebut.
Elemen budaya hukum (legal culture) yang harus diartikan sebagai people’s attitudes
toward law and the legal system – their beliefs, values, ideas, and expectations. Dengan kata lain,
hal ini merupakan bagian dari general culture yang berkaitan dengan sistem hukum, antara
lain tentang pernyataan bahwa masyarakat kalangan bawah tidak percaya kepada pengadilan;
masyarakat lebih memilih menyelesaikan perkara di luar pengadilan dari pada di
pengadilan;cybercrime di lingkungan perbankan banyak yang tidak dilaporkan untuk menjaga
kredibilitas perusahaan. Dengan demikian, legal culture merupakan whatever or whoever decides
to turn the machine (the legal structure) on and off, and determines how it will be used.
Korupsi yang terjadi di tingkat masyarakat seoalah telah menjadi budaya alami, sehingg
sangat susah untuk diberantas, namun hanya bisa dikurangi. H. Abdul Djamil (Rektor IAIN
Walisongo Semarang) mengemukakan, bahwa peran agama untuk pemberantasan korupsi
sebenarnya bagus yakni mengajarkan, berlomba-lomba meraih kebajikan dan menjahui segala
kemungkaran atau kejahatan.Sayangnya hidup manusia yang beragama, tidak pernah konsisten.
Manusia beragama masih bergantung pada situasi dan kondisi. Jika di lingkungan tempat ibadah,
patuh pada hukum agama, namun sebaliknya jika kondisi memungkinkan, jauh pada aturan
agama. Karena itu, korupsi yang juga terjadi di tingkat masyarakat bawah sangat mungkin
terinspirasi dari korupsi di tingkat atas. Sistem pemerintahan yang ada belum mampu
menciptakan masyarakat bersih karena dalam diri pribadi tersimpan watak korup. Merajalelanya
korupsi terekam dalam survei yang dilakukan Transparency International Indonesia awal tahun
2007, yang mewawancarai para pelaku usaha diIndonesia dan terungkap bahwa inisiatif
permintaan suap kerap kali datang dari para pelayan publik. Tiga besar lembaga yang paling
sering meminta “uang pelicin” adalah pengadilan, bea-cukai, dan imigrasi.
Pemerintah saat ini telah menciptakan, suatu situasi yang dapat memaksa para pelaku
tindak pidana korupsi berpikir ulang sebelum mengulangi tindakannya. Presiden Yudhoyono juga
menjelaskan kepedulian untuk membasmi korupsi telah meningkat di antara masyarakat. Hal itu
terbukti lebih dari 20 ribu aduan atau dugaan korupsi yang dilaporkan masyarakat kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluhkan kualitas
laporan dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang masuk ke lembaga itu yang sebagian besar
tidak memenuhi syarat sehingga sulit ditindaklanjuti. Dari sekitar 21 ribu laporan yang masuk ke
KPK hingga kini, yang dapat ditindaklanjuti dua persen lebih. Dalam hubungannya dengan
pemberantasan korupsi diperlukan juga syarat tingginya kesadaran hukum masyarakat, yang
kesadaran hukum itu juga sekaligus merupakan tujuan dari penegakan hukum pidana korupsi.
Terbentuknya kesadaran hukum masyarakat yang menunjang keberhasilan dari upaya penegakan
hukum pidana korupsi, sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya pemahaman hukum oleh
masyarakat tentang hukum itu sendiri.
Saat ini pemberantasan korupsi sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan pendekatan
hukum. Karena itu, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah dan Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) se-Indonesia mulai memberikan pendidikan antikorupsi bagi mahasiswa. Menteri
Agama, M. Maftuh Basyuni menyambut positif program pendidikan antikorupsi yang digagas
UIN Syarif Hidayatullah. Ia berharap UIN bisa segera melakukan duplikasi untuk diterapkan di
perguruan tinggi lain. Pendidikan antikorupsi dapat dikembangkan di perguruan tinggi lain
dengan analisis berbeda.
E. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan dalam subbab di atas dapat dipahami bahwa meskipun tidak
secepat yang diharapkan banyak pihak, pemberantasan korupsi di Indonesia melalui penerapan
hukum pidana pada era reformasi sudah menunjukkan hasil yang positif.Sayang, pemberantasan
korupsi di Indonesia masih mengedepankan tindakan represif belum banyak memanfaatkan
kebijakan sosial (social policy) sebagai langkah preventif. Langkah pencegahan perlu dilakukan
karena secara kriminologis, tindak pidana korupsi mempunyai karakteristik yang cukup
kompleks, dapat dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Pemerintah Indonesia dan seluruh
komponen bangsa perlu terus mengembangkan kebijakan kriminal secara padu. Langkah-langkah
strategis pemberantasan korupsi di Indonesia meliputi peningkatan eksistensi substansi hukum,
peningkatan struktur hukum, dan perbaikan kultur hukum. Mentalitas penegak hukum dan
masyarakat menjadi kunci utama pemberantasan korupsi pada masa akan datang.
*) Dr. Drs. Widodo, S.H., M.H. adalah Dosen Tetap Dipekerjakan (DPK) Fakultas Hukum
Universitas Wisnuwardhana Malang.
DAFTAR PUSTAKA
Makalah
Muladi, 1992. Tindak Pidana Money Laoundring dan Permasalahannya.Makalah dalam
Seminar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, tanggal 8 Januari 1992. p. 1-
2.
Koran
Muladi, “Tinjauan Juridis Pemberantasan Korupsi”, Suara Karya, Senin tanggal 21 Maret
2005.