You are on page 1of 11

Xdsew cHUKUM NIKAH

Disunnahkan bagi orang yang memiliki syahwat (keinginan kepada wanita) tetapi tidak
khawatir berzina atau terjatuh dalam hal yang haram jika tidak menikah, sementara dia
mampu untuk menikah.
Karena Allah telah memerintahkan dan Rasulpun telah mengajarkannya. Bahkan di dalam
nkah itu ada banyak kebaikan, berkah dan manfaat yangb tidak mungkin diperoleh tanpa
nikah, sampai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Dalam kemaluanmu ada sedekah.” Mereka bertanya:”Ya Rasulullah , apakah salah


seorang kami melampiaskan syahwatnya lalu di dalamnya ada pahala?” Beliau
bersabda:”Bagaimana menurut kalian, jika ia meletakkannya pada yang haram apakah ia
menanggung dosa? Begitu pula jika ia meletakkannya pada yang halal maka ia
mendapatkan pahala.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban)
Juga sunnah bagi orang yang mampu yang tidak takut zina dan tidak begitu membutuhkan
kepada wanita tetapi menginginkan keturunan. Juga sunnah jika niatnya ingin menolong
wanita atau ingin beribadah dengan infaqnya.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Kamu tidak menafkahkan satu nafkah karena ingin wajah Allah melainkan Allah pasti
memberinya pahala, hingga suapan yang kamu letakkan di mulut isterimu.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
“Dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, dinar yang kamu nafkahkan untuk budak,
dinar yang kamu sedekahkan pada orang miskin, dinar yang kamu nafkahkan pada
isterimu maka yang terbesar pahalanya adalah yang kamu nafkahkan pada isterumu.”
(HR. Muslim)
2. Wajib bagi yang mampu nikah dan khawatir zina atau maksiat jika tidak menikah. Sebab
menghindari yang haram adalah wajib, jika yang haram tidak dapat dihindari kecuali dengan
nikah maka nikah adalah wajib (QS. al Hujurat:6). Ini bagi kaum laki-laki, adapun bagi
perempuan maka ia wajib nikah jika tidak dapat membiayai hidupnya (dan anak-anaknya)
dan menjadi incaran orang-orang yang rusak, sedangkan kehormatan dan perlindungannya
hanya ada pada nikah, maka nikah baginya adalah wajib.
3. Mubah bagi yang mampu dan aman dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya atau tidak
memiliki syahwat sama sekali seperti orang yang impotent atau lanjut usia, atau yang tidak
mampu menafkahi, sedangkan wanitanya rela dengan syarat wanita tersebut harus rasyidah
(berakal).
Juga mubah bagi yang mampu menikah dengan tujuan hanya sekedar untuk memenuhi
hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi diri dari
yang haram.
4. Haram nikah bagi orang yang tidak mampu menikah (nafkah lahir batin) dan ia tidak takut
terjatuh dalam zina atau maksiat lainnya, atau jika yakin bahwa dengan menikah ia akan jatuh
dalam hal-hal yang diharamkan. Juga haram nikah di darul harb (wilayah tempur) tanpa
adanya faktor darurat, jika ia menjadi tawanan maka tidak diperbolehkan nikah sama sekali.
5. Makruh bagi orang yg secara jasmani dan rohani cukup matang namun tidak punya
penghasilan sama sekali untuk menghidupi seorang isteri dan tidak sempurna kemampuan
untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Sebab idealnya bukan wanita
yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi
bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka
tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar

Rukun Nikah
Rukun nikah adalah sebagai berikut:

1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk
menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si
wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya
hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan
selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang
akan dinikahinya seorang muslimah.

2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi
wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau
dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).

3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya,
dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima
pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”

Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang
dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

‫ضى زَ ْي ٌد ِم ْنهَا َوطَرًا زَ َّوجْ نَا َكهَا‬


َ َ‫فَلَ َّما ق‬

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya),


zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-
Ahzab: 37)

Dan firman-Nya:

‫َوالَ تَ ْن ِكحُوا َما نَ َك َح آبَا ُؤ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء‬

“Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah
kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)

Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni
harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat
yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana,
tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa
apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini
merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan
dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan
ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul
Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-
284)

SYARAT-SYRAT NIKAH
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:

Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan
isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak
cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”,
sementara ia memiliki beberapa orang putri.

Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:

َ‫الَ تُ ْن َك ُح ْاألَيِّ ُم َحتَّى تُ ْستَأْ َم َر َوالَ تُ ْن َك ُح ْالبِ ْك ُر َحتَّى تُ ْستَأْ َذن‬

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat,


dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no.
5136 dan Muslim no. 3458)

Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya
tanpa seizinnya.

Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

‫اح إِالَّ بِ َولِ ٍّي‬


َ ‫الَ نِ َك‬

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

‫ فَنِ َكا ُحهَا بَا ِط ٌل‬،ٌ‫ فَنِ َكا ُحهَا بَا ِطل‬،ٌ‫ت بِ َغي ِْر إِ ْذ ِن َم َوالِ ْيهَا فَنِ َكا ُحهَا بَا ِطل‬
ْ ‫أَيُّ َما ا ْم َرأَ ٍة نَ َك َح‬

“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya
batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)

Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil,
tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur
ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud,
Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Demikian pula pendapat yang
dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin
Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari,
Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga
berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat
yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri
ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya
kepada selain walinya.

KHITBAH
Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah sesosok
makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya
pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati.
Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang
diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang
disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-
naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun
tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu). Naluri ini merupakan dorongan yang muncul
pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar. Sebagai contoh, suatu saat seorang
ikhwan pernah merasakan perasaan yang "berbunga-bunga tidak karuan" ketika di suatu
tempat bertemu dengan seorang akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah
sosok yang "special" sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya sekedar
mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan
menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya antara
seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.

Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun
terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya
sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan
yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari"at islam yang dibawa oleh
Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang
satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas
syar"i yang harus dipilih oleh seorang muslim ketika dirinya terdiagnosa telah mengidap
gejala-gejala terserang "virus merah jambu" apalagi jika sudah sampai pada stadium yang
akut (memangnya penyakit kanker.. ?).

Pengertian Khithbah

Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh
seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon
istrinya. Secara syar"i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah
(peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan
disyari"atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon
pendamping hidupnya (Syamsudin Ramdhan, 2004:49).

Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily (dalam MR. Kurnia, 2005:19) menjelaskan
yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang
perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya
(walinya). Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang
sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk
dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma"ruf.

Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan
pernikahan (An-Nabhaniy, 2001:146). Berkaitan dengan anjuran untuk menikah,Allah Swt,
berfirman :

(Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)

Ibnu Mas"ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:

"Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban.
Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga
kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu
dapat menjadi perisai".

Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan
oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin "Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti Qarizh.
Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut:

"Abdurrahman Bin "Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:"Maukah kamu
menyerahkan urusanmu kepadaku?" Ia menjawab "Baiklah!", maka Ia (Abdurrahman Bin
"Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi." (HR.Bukhari)

Abdurrahman Bin "Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw.
Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam medan
jihad fii sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang
kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligus menikahinya.

Menurut Muhammad Thalib (2002:25) kejadian ini menunjukan seorang laki-laki boleh
meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya dan
Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin "Auf atas kejadian ini.
Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi
suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip syari"at (Syamsudin Ramdhan, 2004:56). Kebolehan hal ini
didasarkan pada sebuah riwayat berikut:

"Pernah ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata "Wahai
Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau". Rasulullah Saw lalu
melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya. Ketika melihat bahwa
Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita itupun tertunduk" (HR.Bukhari)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan jalan untuk
mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya terkait dengan
tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara langsung
(kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain.

Proses Khitbah
Dalam beberapa dalil di atas telah diungkapkan tentang bagaimana proses khithbah dapat
berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri oleh seorang ikhwan langsung
kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang
ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat. Selain itu ada beberapa hal yang juga perlu
difahami ketika melakukan khitbah, antara lain:

a. Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah

Syamsudin Ramdhan (2004:54) mengungkapkan bahwa sebagian ulama berpendapat,


diperbolehkan bagi pelamar untuk melihat wanita yang dilamarnya, tetapi ia tidak boleh
melihat auratnya. Sebagaimana Jabir menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:

"Jika salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat
sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah ia
melihatnya. (HR. Abu Dawud dan Hakim).

Dibolehkannya melihat perempuan yang dikhitbah ini sebenarnya membawa banyak hikmah,
diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati untuk menikahinya.
Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat mengkhithbah.

Sebagian ulama lagi membolehkan untuk melihat bukan hanya wajah dan telapak tangan,
melainkan lebih dari itu karena wajah dan telapak tangan merupakan anggota badan
perempuan yang terlihat sehari-hari. Sehingga perintah untuk melihat, dalam hadits tersebut
tentu yang dimaksud bukan hanya wajah dan telapak tangan (MR.Kurnia, 2005:23)

b. Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan

Seorang ikhwan tidak boleh mengkhithbah seorang akhwat yang masih berada dalam
khithbah-an ikhwan lainnya, kecuali setelah khithbah tersebut dilepaskan oleh ikhwan yang
pertama atau karena alasan syar"i lainnya seperti meninggal dunia, dll (Syamsudin Ramdhan,
2004:55). Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw:

Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Tidak halal seorang mukmin
menawar diatas tawaran saudaranya dan meminang (seorang wanita) diatas pinangan
saudaranya hingga nyata (bahwa pinangan itu) sudah ditinggalkannya (HR. Muslim dan
Ahmad)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Saw bersabda:

Tidak boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh saudaranya hingga
ia menikahinya atau meninggalkannya (HR. Abu Hurayrah)
c. Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak Khithbah

An-Nabhaniy (2001:161) mengungkapkan bahwa jika seorang wanita telah dilamar, maka
dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya, bukan hak salah
seorang walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya tanpa seizin wanita yang
bersangkutan, dan dia pun tidak boleh dihalang-halangi untuk menikah.

Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda:


Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus
dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya (HR.Ibnu Abbas)

Adapun Abu Hurayrah menuturkan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut:

Rasulullah Saw bersabda,"Seorang janda tidak dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan
seorang gadis tidak dinikahi kecuali setelah diminta izinnya" Para sahabat lalu bertanya,
"Wahai Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?" Beliau menjawab,"Izinnya adalah diamnya".

Hadits-hadits di atas seluruhnya menunjukan dengan jelas bahwa seorang wanita yang tidak
dimintai izinya ketika hendak dinikahkan (oleh orang tua/walinya) maka pernikahannya
dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya itu atau menikah secara terpaksa,
berarti akad pernikahannya rusak, kecuali jika ia berbalik pikiran atau ridha.

d. Tidak Menandai Khithbah Dengan Tukar Cincin

Aktivitas tukar cincin adalah saling memberikan cincin (untuk dipakai) antara calon suami
dan calon istri sebagai pertanda adanya ikatan pertunangan di antara mereka. Aktivitas ini
biasanya dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat. Menurut Muhammad Thalib
(2002:48) bertukar cincin bukan merupakan cara islam melainkan cara bangsa Roma (eropa)
yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, saling tukar cincin pada mulanya bukan
merupakan cara umat kristiani pula, melainkan warisan kebudayaan bangsa Romawi.
Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah Saw melarang kaum muslimin untuk meniru-niru
kebiasaan kaum kafir. Ia bersabda:

Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (HR. Abu
Dawud)
e. Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan

Kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring


mereka pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan
peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas seperti suami-istri asal tidak
kelewat batas. Misalnya, jalan berduaan, ngobrol berduaan, dll.

Menurut MR Kurnia (2005:25) khitbah bukanlah pernikahan, sehingga akad khitbah


bukanlah akad pernikahan. Khithbah sebenarnya hanya merupakan janji kedua pihak untuk
menikah pada waktu yang disepakati. Dengan demikian setelah akad khithbah dilangsungkan,
maka status bagi keduanya adalah tetap orang asing (bukan mahram) antara satu dengan
lainnya.

Kendati demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling
melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian masing-
masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena, khithbah memang
merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang
ma"ruf.

Berkaitan dengan pemberian hadiah, Rasulullah Saw bersabda:

"Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai" (HR.Abu
Hurayrah)
Selain itu, Allah Swt juga telah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk
senantiasa bertakwa kepada-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan
yang benar (QS. Al-Ahzab [33]:70)
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya,
dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita
yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, (QS. An-Nur
[24]:30-31)

Kurun Waktu Dalam Menempuh Khithbah

Kurun waktu khithbah adalah rentang waktu antara diterimanya khithbah (akad khithbah)
hingga dilangsungkannya pernikahan (akad nikah) (Muhamad Thalib, 2002:69) Bagi seorang
ikhwan yang telah mengkhithbah akhwat, berapa lamakah rentang waktu yang harus ia lewati
hingga ia dapat melangsungkan pernikahan dengannya?

Berdasarkan peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw yaitu antara
Abdurrahman Bin "Auf terhadap Ummu Hakim Binti Qarizh, dimana Abdurahman Bin "Auf
telah melakukan pengkhitbahan secara langsung kepada Ummu Hakim kemudian
dilangsungkan pula pernikahannya pada waktu itu. Terhadap kejadian ini Rasulullah tidak
menyalahkan perbuatan Abdurahman Bin "Auf, yang berarti pula hal ini menunjukan
persetujuan Beliau Saw. (ibid).

Jadi, sebenarnya tidak ada batasan waktu yang pasti untuk melangsungkan pernikahan pasca
dilakukannya khithbah, apakah 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan satu tahun setelahnya.
Hanya saja berkaitan dengan hal ini, syara" juga menganjurkan untuk menyegerakan suatu
perbuatan kebaikan apabila telah diniatkan. Rasulullah Saw telah mengingatkan:

Bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan malam


yang gelap. (saat itu) di pagi harinya seseorang beriman tetapi di sore harinya ia menjadi
kafir. Di sore hari seseorang beriman tapi di pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamannya
dengan harta dunia (HR.Muslim dan Abu Hurayrah)

Melaksanakan pernikahan dengan segera apabila segala sesuatunya telah disiapkan dan
dimantapkan (terutama niat dan ilmu, selain juga tidak mengabaikan kebutuhan materi)
merupakan hal yang dianjurkan. Firman Allah Swt:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian*] diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur[24]:32)
*] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak
bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.

Rasulullah Saw bersabda:


Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu untuk kawin maka
menikahlah (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah Swt, yaitu Pejuang di jalan Allah, mukatib
(budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang
yang menikah karena hendak menjauhkan diri dari perkara haram. (HR. At-Turmudzi)

Dengan demikian dalam menetapkan rentang waktu antara khithbah hingga pernikahan,
tergantung pada kesiapan dan kesepakatan kedua belah pihak (dan keluarganya) sehingga
kesepakatan diantara keduanyalah yang menjadi acuan untuk menetapkan waktu pelaksanaan
pernikahan setelah mempertimbangkan berbagai hal dan kemampuan yang mendukung
terlaksananya pernikahan tersebut.

Apabila rentang antara khithbah dengan pernikahan ternyata cukup jauh, maka harus tetap
adanya upaya untuk saling menjaga diri dalam keimanan dan ketakawaan kepada Allah Swt.
Karena dalam rentang "masa penantian" tersebut sangat mungkin muncul godaan-godaan
untuk terjerumus pada pelanggaran syari"at ataupun godaan untuk berpaling kepada seorang
calon yang lain, dan sebagainya. Namun bagi seorang mukmin tentu harus mewaspadai hal
ini, sehingga senantiasa diperlukan adanya upaya diantara keduanya untuk saling
berkomunikasi dan mengingatkan pada ketakwaan, yaitu:

Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia shaum karena
sesungguhnya shaum itu merupakan benteng (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak boleh sekali-kali ia menyendiri
dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, sebab nanti yang ketiganya
adalah syetan (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma"ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah [9]:71)

Ataupun, juga perintah-Nya:

dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS.Al-Maidah[5]:2)

Keberlangsungan khitbah pada waktunya akan berakhir pada satu diantara dua pilihan yaitu
berlangsungnya akad pernikahan atau terjadinya pembatalan khitbah. Kedua hal ini
merupakan konsekuensi yang relevan dengan fungsi dan tujuan khithbah itu sendiri, sehingga
jangan sampai dianggap sebagai ending of story yang harus dipaksakan. Karena pernikahan
yang terpaksa hukumnya tidak sah, dan pembatalan khithbah tanpa alasan yang syar"i juga
tidak diperkenankan.

Pembatalan Khithbah
Dalam melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh kedua
belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap, dan sebagainya, satu sama
lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi khithbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju
pernikahan yang di dalamnya terdapat aktifitas saling mengenal (ta"aruf) lebih jauh dengan
cara yang ma"ruf, maka apabila ketika dalam aktifitas ta"aruf tersebut salah satu pihak
menilai dan mempertimbangkan adanya ketidakcocokan antara dirinya terhadap calon
pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khithbah tersebut.

Pembatalan khithbah merupakan hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Menganggap
hal ini secara berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa
pembatalan khithbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi calon yang
lainnya memiliki banyak kekurangan kemudian ia pun menganggap sebagai pihak yang tidak
akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya (setelah diputuskan cintanya) karena
saat ini pun kekurangan-kekurangan tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan
khithbahnya dengan seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya
karena lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.

Seperti halnya dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri khithbah dengan
pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma"ruf dan tidak menyalahi ketentuan
syara". Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya alasan-
alasan syar"i yang membolehkan pembatalan tersebut terjadi. Misalnya salah satu ataupun
kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai
kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhlak yang rusak (gemar
bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari mabda islam, memiliki kelainan
seksual, berpenyakit menular yang membahayakan, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat
menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila berbagai
kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah. Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut,
pembatalan khithbah juga berlaku apabila adanya qada dari Allah Swt semisal kematian yang
menimpa salah satu calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkan akad pernikahan. Selain
atas dasar alasan-alasan yang syar"i, maka pembatalan khithbah tidak boleh dilakukan,
karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan merupakan ciri dari orang-orang yang
munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang dikhithbahnya.

Rasulullah saw bersabda:

Sifat orang munafik itu ada tiga; apabila berkata ia berdusta, bila berjanji, ia menyalahi, dan
bila dipercaya ia berkhianat. (HR. Bukhari)

Adapun berkaitan dengan sesuatu benda yang pernah diberikan sebagai hadiah/ hibah dan
dilakukan sebelum pembatalan khithbah, maka sesuatu/benda tersebut tetap menjadi hak
milik pihak penerima. Pihak pemberi, juga tidak boleh meminta kembali sesuatu/ benda yang
pernah diberikannya tersebut. Rasulullah Saw pernah bersabda:

Tidak halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu, meminta
kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah,
Tirmizi, dan Nasa"i dari Ibnu Abbas)

Muhammad Thalib (2002:76) mengungkapkan sebagai berikut, membatalkan pinangan


adalah menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat perjanjian. Terhadap orang
yang menyalahi janji dalam pinangan, islam tidak menjatuhkan hukuman materiil, sekalipun
perbuatan tersebut dipandang cela oleh sebagian orang.

Mahar yang telah diberikan oleh peminang (untuk pernikahan nantinya) kepada pinangannya
berhak diminta kembali bila akad pernikahannya tidak jadi (karena mahar itu hanya diberikan
sebagai ganti dan imbalan dalam pernikahan). Selama akad pernikahan belum terjadi, maka
pihak perempuan belum mempunyai hak untuk memanfaatkan mahar tersebut sekalipun telah
ia dapatkan.

Adapun berbagai pemberian dan hadiah (selain mahar) maka hukumnya berbeda dengan
hukum mahar, yaitu sebagai hibah. Secara syar"i, hibah tidak boleh diminta kembali, karena
merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian atas sesuatu. Bila
barang yang dihibahkan telah diterima dari si pemberi, maka bagi pihak penerima barang
tersebut sudah menjadi kepemilikan bagi dirinya dan ia berhak untuk memanfaatkannya.

Iwan Januar (2005:4) mengungkapkan bahwa sikap terbaik ketika seorang mukmin
menghadapi kenyataan ini (pembatalan khithbah) adalah berserah diri kepada Allah Swt serta
hanya memohon kebaikan kepada-Nya. Rasulullah Saw, bersabda:

Menakjubkan keadaan seorang mukmin! Sebab, segala keadaannya untuknya adalah baik,
dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin: Jika ia mendapat nikmat
maka ia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan jika ia menderita kesusahan ia
bersabar, maka itupun baik baginya. (HR. Muslim)

Demikianlah sekilas pandangan tentang proses khitbah serta beberapa hal yang terkait di
dalamnya, semoga dapat memberikan pencerahan dan motivasi kepada sahabat-sahabat untuk
segera merealisasikan keinginan yang selama ini telah menggebu-deru, namun masih
terpendam dalam seolah enggan untuk nampak kepermukaan karena terkekang oleh perasaan
malu-malu dan unselfconffident. Padahal, sesungguhnya ia merupakan sesuatu yang wajar
dan boleh kita lakukan dengan disertai adanya kesiapan untuk memikul apapun resikonya.

You might also like