You are on page 1of 9

TEORI PEMBANGUNAN MASYARAKAT

TEORI Republik Kapling


Oleh Herlambang
NIM.D2B110013

PARA nasionalis-fanatik Indonesia, khususnya mereka yang mengacu

pada paham state nationalism, cenderung dengan mata mendelik

mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI

sebagai wujud final yang haram untuk ditawar, baik sebagai sekadar

gagasan maupun dalam gerakan separatis secara damai, apalagi

bersenjata.

Sambil menabuh genderang perang terhadap setiap gerakan pemecah


belah, khususnya para separatis dan aktivis LSM yang dinilai tidak
nasionalis-almarhum Munir misalnya-mereka terus berilusi bahwa tubuh
Ibu Pertiwi NKRI itu masih utuh.
Maraknya pengaplingan
Mereka cenderung menutup mata terhadap kenyataan yang telah mulai
mengeras sejak masa Orde Baru bahwa sesungguhnya setiap jengkal dan
petak bumi Nusantara ini telah dipecah-pecah dalam satuan kapling
ekonomi-politik. Ukuran kapling-kapling itu bervariasi sesuai dengan skala
modal yang ditanam dan jumlah upeti yang diselundupkan ke rekening
pejabat negara dan daerah serta para anggota DPR pusat dan daerah.
Bukit-bukit Timika untuk Freeport, Lhok Seumawe untuk Exon Mobil,
beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan untuk Monsanto, Buyat-
Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintun di
Papua Barat untuk British Petroleum, Kalimantan Timur untuk PT Kaltim
Prima Coal, hutan Papua untuk sejumlah jenderal pensiunan. Bahkan,
Pulau Dewata kebanggaan Indonesia di Bali nyaris menjadi negara bagian
ke-9 Australia. Semakin banyak usaha ekonomi-kesenian skala menengah
dan besar di Bali dan Jepara, Jawa Tengah, berpindah tangan ke pemodal
asing. Satu-satunya Taman Burung di Bali pun berada di tangan pemodal
asing.
Teori Pembangunan Masyarakat
Tidak hanya tubuh Ibu Pertiwi yang sudah centang-perenang dikapling,
birokrasi negara-sipil dan militer-baik pada tingkat nasional dan daerah
sudah lama tercabik-cabik dikapling-kapling oleh berbagai satuan mafia
birokrat dengan sistem sel berjenjang yang rumit merata di seluruh
Nusantara tanpa kecuali. Bila Direktorat Jenderal Pajak, Bea dan Cukai,
serta Ditjen Anggaran Depkeu belum telanjur diduduki oleh satuan-satuan
tikus berseragam, kita masih dapat berharap bahwa pajak yang dibayar
oleh perusahaan asing maupun nasional masih dapat diselamatkan dan
digunakan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat.
Bila di departemen yang dulu bernama Pekerjaan Umum (PU) juga sunyi
dari pemalak-pemalak berseragam, maka kita masih dapat berharap
bahwa jalan-jalan tidak berlubang-lubang. Bila di Departemen
Perhubungan tidak terjadi pengaplingan proyek, maka kita tentu saja layak
bermimpi punya pelabuhan-pelabuhan-darat, laut, udara, dan sungai-yang
mampu beroperasi lebih lama dari seumur jagung. Bila Departemen
Pendidikan Nasional mampu menghentikan lagu lama Love Me Tender
tentu saja anak-anak dapat diselamatkan dari kebingungan gonta-ganti
buku pelajaran dan pemaksaan ujian nasional yang beruang 45 miliar
rupiah
Dan yang paling tragis adalah Departemen Sosial dengan seluruh
jajarannya di daerah-daerah di mana dana pengungsi bermiliar rupiah
ludes tanpa dapat dilacak. Di wilayah konflik dan bencana malah danadana
itu dipakai untuk tim sukses meraih suatu jabatan tertentu seperti
yang dilaporkan Sdr Arianto Sangaji dalam tulisannya berjudul "Proyek
Kekerasan di Sulawesi Tengah" (Kompas, 14/12/2004). Begitu haus dan
rakusnya para pejabat sipil adigang-adigung ini melahap semua lahanlahan
finansial ini sampai-sampai lapangan parkir, termasuk di kampuskampus
(sic!) telah dikapling-kapling.
Aparat penegak hukum dan keamanan juga tidak mau ketinggalan dalam
pesta nasional mengkapling-kapling bumi pertiwi dan birokrasi negara
serta daerah. Setiap perempatan jalan dan tempat-tempat hiburan di kotakota
serta pangkalan ojek secara teratur mempersembahkan upeti dalam
jumlah berkali-kali lipat gaji seorang kepala polres. Suatu perkara dapat
ditelantarkan bertahun-tahun tanpa kabar (kasus pembobolan BNI
misalnya) bila ada intervensi kekuasaan uang atau politik-administratif.
Lembaga Kejaksaan, menurut seorang pengamat kepolisian, malah jauh
lebih parah dalam memeras para tersangka. Porsi upeti sebanding dengan
Teori Pembangunan Masyarakat
luasnya kapling otoritas jaksa tertentu. Para hakim juga setali tiga uang
dengan rekan-rekan mereka di Kejaksaan. Beberapa faksi militer menjadi
pelindung dan bahkan pelaku dalam illegal logging, pencurian ikan laut,
perkebunan, dan perdagangan ganja. Keamanan menjadi komoditas yang
dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga para aparat keamanan selalu
tampil sebagai pahlawan pengawal dan pembela NKRI dan penjamin
keamanan rakyat. Dalam kenyataannya, mereka lebih sibuk menjaga
keamanan kapling-kapling satuan kepentingan, baik finansial maupun
promosi kenaikan pangkat mereka sendiri.
Negara semakin impoten
Keadaan NKRI yang sudah sedemikian dikeroposi dan digembosi dari
dalam oleh aparat birokrasinya sendiri nyaris memustahilkan efektifnya
pelaksanaan setiap kebijakan maupun perangkat perundang-undangan
yang ada. Bagaimana bisa suatu kebijakan nasional ditegakkan bila daftar
isi dokumen kebijakan (Propenas misalnya) juga sudah dikapling-kapling.
Bab sekian untuk departemen A. Subbab sekian sampai sekian untuk
Ditjen A1, sedangkan subbab sisanya untuk Ditjen A2 dan A3.
Adalah menarik menyaksikan bagaimana para wakil setiap bagian dari
birokrasi itu berdebat berjam-jam tentang penggunaan istilah tertentu.
Ternyata tiap istilah yang digunakan punya implikasi di bagian mana
sebuah proyek berikut dananya akan dialokasikan. Belum lagi bila bagian
birokrasi tertentu harus berhadapan baik dengan aparat Ditjen Anggaran,
Depkeu, maupun Bappenas dalam suatu dagang sapi proyek yang sangat
merendahkan martabat bangsa.
Pengeroposan negara ini dari dalam tubuh birokrasinya sendiri adalah
sebab utama dan pertama mengapa gonta-ganti presiden lima kali dalam
enam tahun terakhir tidak membawa perubahan apa-apa dibandingkan
dengan Thailand yang satu kali pergantian perdana menteri telah banyak
mengubah nasib rakyat kecilnya (The Economist, 5/2/2005).
Sebab kedua semakin impotennya negara adalah semakin
berjalinkelindannya keterkaitan berbagai masalah nasional dengan
setumpuk faktor-faktor penyebab yang berada di lingkup tataran regional
bahkan global. Masalah-masalah utama dan mendasar, seperti masalah
perdagangan narkoba, perdagangan teknologi radioaktif dan nuklir,
kerusakan lingkungan, perdagangan senjata, perdagangan anak dan
Teori Pembangunan Masyarakat
perempuan, tenaga kerja tak berdokumen, pencucian uang, dan terorisme
semakin mustahil diselesaikan secara sendiri-sendiri oleh tiap negara.
Diperlukan sistem dan mekanisme regional seperti ASEAN dan sejenisnya
untuk menangani hal-hal tersebut di atas. Otoritas dan wewenang bahkan
kedaulatan suatu negara nyaris menjadi klaim-klaim usang yang perlu
ditinjau kembali secara komprehensif.
Faktor ketiga yang semakin membuat kemampuan negara menangani
masalah mendekati titik nadir ini adalah gencarnya proses desentralisasi
sebagai dampak bawaan yang tak terhindarkan dari tuntutan
demokratisasi. Daerah-daerah otonom semakin asertif menarik garis batas
pembagian kekuasaan politik-administratif serta anggaran antara pusat
dan daerah. Hal ini diperparah dengan semakin merajalelanya
keserakahan aparat birokrasi berwatak Orde Baru yang mulai
mengkapling-kapling berbagai lahan dana anggaran potensial. Lebih jauh,
beberapa pemerintah kota besar dan menengah malah mulai merintis kerja
sama regional dan internasional dengan melangkahi pemerintah nasional.
Hasil akhir dari gempuran tiga faktor pelemah negara-bangsa ini adalah
pada satu pihak pemerintah pusat tidak mampu menangani masalahmasalah
yang berdimensi regional-terkini, TKI tak berdokumen di
Malaysia-di lain pihak pemerintah pusat juga tidak berdaya memberikan
pelayanan dasar dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Alhasil, seperti dirumuskan oleh Manuel Castells dalam karyanya The
Power of Identity (1997:273): "…national governments in the Information
Age are too small to handle global forces, yet too big to manage people’s
lives".
Minggu, 07 Maret 2010
MAKALAH DEMOKRASI DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

Kesadaran akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran
rakyat Indonesia yang dalam melaksanakan Pemilihan Umum dengan jumlah pemilih yang tidak
menggunakan hak pilihnya yang sedikit. Pemilihan umum ini langsung dilaksanakan secara
langsung pertama kali untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota MPR, DPR,
DPD, DPRD di tahun 2004. Walaupun masih terdapat masalah yang timbul ketika waktu
pelaksanaan. Tetapi masih dapat dikatakan suses.
Setelah suksesnya Pemilu tahun 2004, mulai bulan Juni 2005 lalu di 226 daerah meliputi 11
propinsi serta 215 kabupaten dan kota, diadakan Pilkada untuk memilih para pemimpin
daerahnya. Sehingga warga dapat menentukan peminpin daerahnya menurut hati nuraninya
sendiri.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Landasan Hukum Pilkada


Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang
berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari rakyat dari rakyat,
oleh rakyat, untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya pada rakyat. Semua anggota
masyarakat (yang memenuhi syarat ) diikutsertakan dalam kehidupan kenegaraan dalam aktivitas
pemilu.Demokrasi di negara Indonesia bersumberkan dari Pancasila dan UUD ’45 sehingga
sering disebut dengan demokrasi pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan musyawarah untuk
mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada faham kekeluargaan dan kegotongroyongan
Indonesia pertamakali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh
banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang
secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan sekarang ini
mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada
langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan
penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden
dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur
dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic
education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan
dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih
pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi
daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang
dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan
tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu
memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional.
Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk
Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa.
Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004.
Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.

B. Pelaksanaan dan Penyelewengan Pilkada


Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang tersebar dalam 11
provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala daerah masing masing secara
langsung dan sesuai hati nurani masing masing. Dengan begini diharapkan kepala daerah yang
terpilih merupakan pilihan rakyat daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan
oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah masing masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini
sangat berat yaitu mengatur pelaksanaan pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis.
Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada ini.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian
ijasah palsu oleh bakal calon. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak
iklas ingin memimpin maka tidakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya
uangnya dapat segera kemali atau “balik modal”. Ini sangat berbahaya sekali.
Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak
yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan
mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat
yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini membuktikan
sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan
pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja
timbul masalah masalah tersebut.
Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD
setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu
tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Dari sini dapat
kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian
bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar
puluhan juta.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan
penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
1. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan

memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah
mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis yaitu
desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari
kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal
calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya
tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan
mudah hanya karena uang.
2. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai
pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat
menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.
3. Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku
dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran.
Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan
keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat
berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan
sebagi media kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal
jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
4. Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat.
Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya
informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi
panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat
merusak integritas daerah tersebut.
C. Solusi
Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi bagaimana kita
dapat meminimalkan kendala kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta masyarakat karena ini
tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena
pemilu antara lain :
1. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan
kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat
menjadi souri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya
konflik.
2. Semua warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan
pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai
pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.
3. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat
dapat memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap
calon yang lain.
4. Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati nurani
sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pemilu dapat terlaksana
dengan baik.

BAB III
KESIMPULAN

Bangsa yang belajar adalah bangsa yang setiap waktu berbenah diri. Pemerintah Indonesia telah
berusaha membenahi sistem yang telah dengan landasan untuk mengedepankan kepentingan
rakyat. Walaupun dalam pelaksanaan pilkada ini masih ditemui berbagai macam permasalhan
tetapi ini semua wajar karena indonesia baru menghadapi ini pertama kalinya setelah pemilu
langsung untuk memilih presiden dan wakilnya. Ini semua dapat digunakan untuk pembelajaran
politik masyarakat. Sehingga masyarakat dapat sadar dengan pentingnya berdemokrasi,
menghargai pendapat, kebersamaan dalam menghadapai sesuatu. Manusia yang baik tidak akan
melakukan kesalahan yang pernah dilakukan. Semoga untuk pemilihan umum yang berikutnya
permasalah yang timbul dapat diminimalkan. Sehingga pemilihan umum dapar berjalan dengan
lancar.

REFERENSI :

1. Abraham Panumbangan (mahasiswa fisipol UMY).Masih perlu waktu. www.kr.co.id edisi


Jum’at, 15 Juli 2005
2. Hasan Shadily, dkk.1973. Ensiklopedi Umum . Jakarta: Yayasan Dana Buku Franklin Jakarta.
3. M. Ma’ruf (Mentri Dalam Negeri).Optimisme hadapi pilkada langsung. www.kompas.com
edisi selasa, 22 Februari 2005
4. Redaksi Kompas. APBN-P 2005 Bantu Rp 464,9 Miliar . www.kompas.com edisi Rabu, 30
Maret 2005
5. Suardi Abubakar, dkk. 2000. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2 SMU.Jakarta:
Yudhistira.
6. www.lprasaja.web.ugm.ac.id
Diposkan oleh ari wibowo di 23.35

You might also like