You are on page 1of 7

Ver.

13 Mei 09
BAB II :
PERJANJIAN ANGKUTAN BERDASAR CHARTER PARTY

1. PENGERTIAN .
Setiap orang yang ingin memindahkan barang dalam jumlah yang relatif besar dari satu
tempat ke tempat yang lain, maka ia memerlukan alat angkut. Apabila tempat yang dituju
diseberang laut, tentunya yang diperlukan olehnya adalah Pemilik kapal yang bersedia
mengangkut barangnya tersebut. Perjanjian antara keduanya disebut PERJANJIAN
ANGKUTAN (CONTRACT OF AFREIGHTMENT atau CONTRACT OF CARRIAGE). Pemilik
kapal tersebut dapat seorang yang benar-benar Pemilik (REAL OWNER), namun dapat juga
seorang yang sebenarnya bukan Pemilik tetapi secara hukum dapat bertindak selaku Pemilik
(DISPONENT OWNER).

Apabila Pemilik kapal menyewakan kapalnya, baik untuk seluruh atau sebagian dari
kapasitas angkutannya, kepada seorang Penyewa, maka perjanjian angkutannya berupa
CHARTER PARTY atau Perjanjian Charter. Istilah Charter Party (selanjutnya disingkat C/P)
itu sendiri berasal dari bahasa latin Carta Partita ( dokumen yang terbagi/terpisah ), yang
merujuk pada praktek kuno dimana suatu kontrak dibuat dalam satu lembar kertas yang
terbagi dua bagian. Masing-masing bagian berisi teks perjanjian yang sama dan nantinya
setelah ditanda-tangani, akan dipotong menjadi dua. Masing-masing pihak memegang satu
bagian. Di jaman modern model ini kebiasaan ini sudah diganti dengan membuat 2 ( atau
kadang-kadang 4 ) lembar asli. Namun untuk dunia angkutan laut namanya sudah terlanjur
melekat. Secara sederhana dapat didefinisikan C/P adalah suatu kontrak antara seorang
Pemilik Kapal ( Shipowners ) dengan seorang Pencharter ( Charterers ), dimana si
Pencharter menyewa kapal dari Pemilik Kapal.

Pembagian utama C/P adalah antara DEMISE dan NON-DEMISE C/P. Dalam Demise, atau
sering disebut juga BAREBOAT CHARTER (charter kapal kosong), Pemilik kapal untuk
periode waktu tertentu menyerahkan sepenuhnya penguasaan, manajemen, pelayaran dan
kontrol atas kapal kepada Pencharter. Dengan demikian Pencharter memegang kendali
sepenuhnya atas kapal beserta awak/Nahkodanya (Nahkoda dalam Demise Charter
merupakan pegawainya Pencharter). Dari segi ini nampak bahwa sebenarnya Demise
Charter tidak dapat dikatakan sebagai Perjanjian Angkutan dalam arti sebenarnya. Perjanjian
tersebut lebih layak disebut semacam “BAILMENT” (semacam penyerahan kuasa). Pada
masa ini tidak banyak lagi dipraktekkan pencharteran secara Demise. Disamping peliknya
proses pemeriksaan kapal saat penyerahan, biasanya Pemilik kapal enggan mengalihkan
kuasa yang sedemikian besar kepada orang lain. Itu sebabnya bahasan lebih difokuskan
pada Non-Demise Charter.

Berbeda dengan Demise, dalam Non Demise C/P Pemilik kapal masih memegang
penguasaan, managemen, pelayaran dan kontrol atas kapal. Hal ini dimungkinkan karena
Nahkoda dan ABK adalah buruhnya Pemilik kapal. Hanya ruang muatan kapal yang
diserahkan pemanfaatannya kepada Pencharter. Non-Demise Charter dapat berupa
pencharteran berdasarkan WAKTU tertentu (TIME CHARTER) atau berdasarkan

18
PERJALANAN tertentu (VOYAGE CHARTER). Walaupun keduanya dalam satu rumpun,
namun terdapat beberapa perbedaan sehingga konsekuensi yang timbul-pun berbeda.

Perjanjian Pencharteran kapal adalah hal yang lumayan rumit. Banyak pokok yang harus
diatur di dalam Surat Perjanjiannya (C/P) dan banyak perbedaan kepentingan yang harus
diseimbangkan. Sedangkan waktu yang tersedia sangat sedikit. Oleh sebab itu sudah sejak
dahulu masyarakat bisnis Internasional memberikan jalan pemecahannya, yakni dengan
menerbitkan bentuk-bentuk C/P yang ketentuan, kondisi dan syarat di dalamnya sudah
dibuat standar. Para pihak yang akan memakai tinggal mengisi deskripsi-deskripsi yang
diperlukan (Nama kapal, jangka waktu sewa/perjalanan, nilai uang sewa/uang tambang, dan
sebagainya). Inilah yang disebut STANDARD FORM C/P dan yang menerbitkan adalah
lembaga-lembaga yang berkaitan dengan dunia bisnis perkapalan atau perdagangan. Isinya
juga berbeda-beda, demikian juga peruntukkannya yang seringkali dikhususkan untuk jenis-
jenis barang muatan tertentu.

Untuk Time Charter, yang paling populer adalah Standard Form yang diterbitkan pertama
oleh THE BALTIC AND INTERNATIONAL CONFERENCE pada tahun 1939 , atau lebih
dikenal dengan nama kodenya, yakni BALTIME 1939 atau BALTIME saja. Yang kedua
adalah “Government form” yang sudah di “approved” oleh NEW YORK PRODUCE
EXCHANGE. Kodenya “PRODUCE”, tetapi orang sering menyebut “NYPE”. Keduanya lazim
dipakai untuk pengangkutan barang muatan yang kering (DRY CARGO). Sedangkan untuk
Voyage Charter yang paling populer adalah UNIFORM GENERAL C/P atau lebih dikenal
sebagai GENCON, yang dapat dipakai untuk berbagai jenis muatan. Disamping itu, masih
banyak lagi yang lain, yang biasanya khusus untuk jenis-jenis muatan tertentu, misalnya :
Gula pasir, biji-bijian, biji besi, muatan cair, dan sebagainya. Dua diantaranya yang cukup
populer adalah BALTIMORE BERTH GRAIN C/P (untuk biji-bijian dari Amerika Utara) dan
CENTROCON (dari Amerika Selatan).

2. CHARTER MENURUT WAKTU .

Menurut Pasal 453 ayat 2, Charter menurut waktu adalah perjanjian dimana Pemilik kapal
menyewakan kapalnya kepada Pencharter dengan pembayaran harga sewa yang dihitung
menurut waktu. Kecuali disepakati lain, selama masa charter tersebut Pencharter dapat
mencharterkan kembali kapalnya kepada pihak lain ( KUHD-RI pasal 518 ). Seperti sudah
disinggung di muka, dalam Time Charter Pemilik kapal masih menguasai dan memelihara
sendiri kapalnya. Namun, Pencharter-lah yang selama masa sewa, menentukan akan
dimuati apa dan berlayar kemana. Nahkoda serta awak kapal merupakan buruhnya Pemilik
kapal dan, oleh sebab itu, dia yang membayar gaji/upahnya. Namun sepanjang mengenai
penerimaan, pengangkutan dan pencharteran muatan, Nakhoda tunduk pada perintah
Pencharter ( Pasal 518c ). Sedangkan biaya-biaya bahan bakar (Bunker), pandu (Pilots),
tunda (Tugs), labuh (Wharfage) dan biaya-biaya pelabuhan menjadi beban Pencharter.
Berikut ini adalah beberapa pokok yang biasa ada dalam Time Charter :

19
2.1. Durasi :

Sebagaimana namanya, Time C/P biasanya menetapkan durasi charter tertentu, misalnya
saja dengan hitungan tahun, bulan atau sering dipertegas dengan tanggal Penyerahan kapal
ke Pencharter ( Delivery ) dan tanggal Penyerahan Kembali ( Re-Delivery ) ke Pemilik
kapal. Kecuali dengan tegas diatur sebaliknya, praktek dibawah Hukum Inggris lajimnya
menganggap bahwa tanggal Penyerahan Kembali tersebut sekedar tanggal perkiraan (
approximate date ). Artinya, Pencharter tidak dapat dianggap wan prestasi apabila
menyerahkan kembali kapalnya lewat dari tanggal tersebut, asalkan masih dalam batas yang
wajar. Kalau itu terjadi, Pencharter hanya wajib membayar uang sewa kapal sesuai tarif C/P
untuk hari-hari kelebihan waktu tersebut ( Lihat: London and Overseas Freigters v. Timber
Shipping Co. [1972] A.C. 1 (H.L.) ). Tentang batas kewajaran waktu harus dilihat kasus demi
kasus. Namun, apabila diputuskan melewati batas kewajaran, maka Pemilik kapal berhak
atas uang sewa dan denda kelambatan. Bahkan, apabila keterlambatan tersebut
berkelanjutan maka Pemilik kapal berhak memutuskan perjanjian dan mengajukan klaim
untuk kerugian yang dideritanya.

2.2. Off-Hire :

Dalam Time Charter, Pencharter berkewajiban membayar uang sewa secara periodik
sepanjang masa sewa, kecuali : (a) Kewajiban bayarnya ditangguhkan berdasar ketentuan
yang jelas tercantum dalam C/P,(b) Pemilik kapal tidak memenuhi kewajibannya sesuai C/P
atau (c) Perjanjian tidak bisa dilanjutkan ( Frustated ). Penangguhan tertulis tersebut
biasanya masuk dalam pasal tentang Off-Hire. Off-Hire adalah istilah untuk waktu tertentu
selama masa sewa dimana karena terjadinya peristiwa tertentu, Pencharter dibebaskan
dari kewajiban membayar uang sewa. Beban untuk membuktikan terjadinya peristiwa
tertentu yang berakibat Off-Hire ada pada Pencharter.

Bunyi pasal tentang Off-Hire bervariasi, namun biasanya mencakup hal-hal sebagai berikut :
Kehilangan waktu karena kekurangan awak kapal atau perbekalan; Kerusakan mesin; dan
Kerusakan atau peristiwa lain yang menyebabkan kapal tidak dapat beroperasi lebih dari 24
jam kerja ( Lihat juga pasal 462 ayat 2 KUHD-RI ). Tetapi apabila peristiwa tersebut
dikarenakan wan prestasi di pihak Pencharter, maka ia tidak berhak atas penangguhan uang
sewa tersebut ( Lihat: Nourse v. Elder Demster (1922) 13 Ll.L.R.197 ). Suatu hal yang perlu
dicatat, situasi Off-Hire tidak menghapuskan kewajiban Pencharter sesuai C/P, misalnya
membayar Bunkers ( pengisian BBM )

2.3. Hak Menarik Kapal :

Suatu Time C/P biasanya memuat ketentuan yang memberikan hak kepada Pemilik kapal
untuk menarik kapal dari pelaksanaan perjanjian apabila Pencharter gagal ( in default )
memenuhi kewajibannya untuk membayar uang sewa secara tepat waktu ( KUHD-RI pasal
463 ) dan rutin ( punctual and regular ). Default dalam hal ini Pencharter harus membuktikan
adanya kesengajaan atau kelalaian ( Lihat: Akt.Tankexpress v. Compagnie Financiere Belge
des Petroles [1949] A.C.76 ). Namun sebaliknya kegagalan bayar tersebut juga harus
diartikan berlanjut dalam waktu lama. Jadi kalau sebelum kapal ditarik Pencharter
melaksanakan atau mengajukan pembayaran, maka hak Pemilik kapal untuk menarik

20
kapalnya menjadi hilang. Dampak logis dari penarikan kapal adalah hilangnya hak Pemilik
kapal untuk meminta pembayaran uang sewa untuk periode setelah penarikan. Tentu saja
sebagai gantinya ia berhak menuntut pembayaran ganti-rugi kepada Pencharter.

2.4. Kewajiban Pemilik kapal :

Kewajiban utama seorang Pemilik kapal yang umum dianut di hampir semua sistim hukum
adalah menyediakan kapal yang Layak Laut ( Seaworthy ), hanya menyangkut tingkat dan
waktunya saja yang bervariasi. Kalimat yang lajim dipakai dalam Pasal yang ada dalam
Standard Form Time C/P misalnya mewajibkan Pemilik kapal “..maintain the vessel in
throroughly efficient state in hull and machinery during the service.” Bandingkan misalnya
dengan ketentuan dalam Bills of Lading / The Hague Rules 1924, yang membatasi kewajiban
Pengangkut sebatas Due Dilligence dan hanya at the beginning of the voyage . Namun
apakah ketentuan tersebut meletakkan kewajiban mutlak kepada Pemilik kapal atau terbatas
pada melakukan upaya yang selayaknya, sangat tergantung dari susunan kalimat, tidak
hanya pasal tersebut namun juga pasal-pasal lain yang terkait ( misalnya saja Exceptions
Clauses ). Bahkan ada beberapa Time C/P yang memuat pasal yang memberlakukan
ketentuan-ketentuan the Hague Rules 1924 kedalam C/P tersebut. Tentu saja, terkait
masalah Seaworthiness , ini menimbulkan kesulitan penafsiran, mengingat Rules tersebut
berbasis “Perjalanan” ( Voyage ), sedangkan Time Charter berbasis “periode waktu”. Jadi
apakah kewajiban untuk melakukan “due diligence to make the ship seaworthy” itu untuk
setiap Perjalanan ( karena Time Charter biasanya mencakup beberapa voyages ) atau
hanya pada awal masa charter? Karena Nakhoda biasanya diminta menandatangani Bills of
Lading setiap awal Perjalanan, maka logikanya pendapat yang pertama yang lebih cocok.
KUHD-RI sendiri tentang hal ini cenderung sama dengan Standard Form C/P, dimana
Pemilik kapal berkewajiban memelihara kapal dalam keadaan baik selama perjanjian ( Pasal
460 ayat 1 ).

2.5. Re-Delivery, Lay-Can & Cancelling Date :

Delivery atau Penyerahan adalah suatu kegiatan dimana Pemilik kapal sesuai perjanjian
harus menyerahkan kapalnya kepada Pencharter, di tempat, waktu dan kondisi yang
disepakati. Perlu diketahui, biasanya saat C/P ditandatangani kapal masih berada di tempat
lain dan bahkan mungkin masih dalam keadaan dicharter pihak lain. Untuk itu dalam C/P
dicantumkan tempat dan tanggal dimana/kapan kapal tersebut harus diserahkan. Tempatnya
biasanya adalah pelabuhan muat pertama yang akan dijalani oleh kapal tersebut selama
masa sewanya. Sedangkan waktunya biasanya ditetapkan suatu periode tertentu ( disebut
Lay-can ), misalnya dari tanggal 15 sampai dengan 25 September 2007. Kegagalan Pemilik
kapal memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan kapal pada waktu tersebut akan
memberikan hak bagi Pencharter untuk membatalkan perjanjian. Biasanya dalam C/P sekian
hari setelah berakhirnya Lay-can. Inilah yang disebut dalam C/P sebagai Cancelling Date
atau Tanggal Pembatalan.

Setelah masa sewa berakhir, maka Pencharter berkewajiban menyerahkan kembali kapalnya
kepada Pemilik kapal di tempat, waktu dan kondisi yang disepakati. Inilah yang disebut Re-
Delivery. Dalam hal ini yang menonjol adalah tentang kewajiban Pencharter menyerahkan
kembali kapal yang bersangkutan dalam kondisi baik seperti pada saat Delivery, kecuali

21
keausan dan kerusakan yang normal ( Ordinary Wear and Tear ) yang diperkenankan.
Pada saat penyerahan kembali juga diukur sisa bahan bakar yang masih tersisa di tanki dan
setelah dikompensasi dengan jumlah bahan bakar saat penyerahan, akan diperhitungkan
nilainya (ingat : Bahan bakar beban Pencharter).

2.6. Indemnity Clause :

Sebagaimana dijelaskan diatas, dalam suatu Non Demise Charter, pengelolaan dan
pengoperasian kapal tetap ada dibawah kendali Pemilik kapal, melalui para pegawainya (
Nakhoda dan Anak Buah Kapal ). Namun perintah untuk memuat, mengangkut dan
menyerahkan muatan adalah kewenangan Pencharter. Oleh karenanya, dalam
implementasinya banyak hal yang akan dikerjakan oleh pihak Pemilik / pegawainya atas
perintah Pencharter. Pertanyaan yang timbul: Apabila dalam melaksanakan perintah
Pencharter tersebut timbul kerugian yang berakibat klaim dari Pihak Ketiga, siapa yang harus
bertanggungjawab? Untuk menjawab ini kemudian diperkenalkan suatu pasal dalam C/P
yang disebut Indemnity Clause, misalnya berbunyi: “the captain ( although appointed by the
owners ) shall be under the orders and direction of the charterer as regards employment,
agency, or other arrangements, and the charterer hereby agrees to indemnify the owners for
all consequences or liabilities that may arise from the captain signing bills of lading by the
orders of the charterer or their agents or otherwise complying with such orders or direction.”
Walaupun sudah sedemikian rupa proteksi bagi Pemilik kapal, namun tetap saja dalam
aplikasinya harus dilihat bunyi pasal sejelasnya, disesuaikan dengan kasusnya serta
dihubungkan dengan pasal lain dalam perjanjian yang sama. Dari beberapa jurisprudensi
nampak kecenderungan penafsiran Indemnity Clause sebagai berikut : (a) Tidak mencakup
peristiwa yang terkait dengan pengendalian / navigasi kapal, yang tetap menjadi tanggung-
jawab Pemilik kapal (Lihat: Weir v. Union S.S. Co. [1900] A.C. 525, per Lord Davey at p.533
); (b) Kata “employment” diartikan “employment of the ship and not employment of the
persons” (Lihat: Larrinaga S.S. Co. v. R. [1945] A.C. 246, per Lord Wright at p.256 ); (c)
Perintah Pencharter tidak hanya terbatas pada perintah penandatanganan B/L atau dokumen
lain ( Lihat: Royal Greek Government v. Minister of Transport (Ann Stathatos) (1950) 83
Ll.L.R. 228 at p.233 ); (d) Perintah untuk memuat barang tertentu termasuk pengertian
“employment” sehingga termasuk dalam lingkup indemnitas pasal tersebut ( Lihat: Royal
Greek Government – supra ). Dalam sejarahnya kemudian nampaknya penerapan pasal ini
akan semakin dibatasi oleh Undang-Undang generasi lebih baru atau peristiwa yang
memutus rantai hubungan kausalistis antara perintah dan kerugian yang timbul.

3. CHARTER MENURUT PERJALANAN .

Kalau Time Charter didasarkan waktu tertentu, Voyage Charter didasarkan pada perjalanan
(Voyage) tertentu, atau dari pelabuhan mana ke pelabuhan mana. Perjalanan tersebut tidak
selalu hanya satu kali perjalanan saja. Voyage Charter dapat mencakup beberapa
perjalanan, baik berkesinambungan (CONSECUTIVE VOYAGES) maupun terputus-putus
(NON-CONSECUTIVE VOYAGE). Sebenarnya, Voyage Charter inilah yang “murni”
merupakan perjanjian angkutan. Pencharter lebih berkedudukan sebagai pengirim barang
dan hanya sedikit sekali terlibat dalam operasi kapal. Kewajiban utamanya adalah membayar
utang Tambang (FREIGHT) kepada pemilik kapal. Sedangkan biaya-biaya bahan bakar,

22
pandu, tunda dan biaya-biaya pelabuhan menjadi beban Pemilik kapal. Demikian juga
gaji/upah Nahkoda dan resiko-resiko atau bahaya-bahaya selama perjalanan. Berikut ini
beberapa pokok pengaturan yang lajim dalam Voyage C/P :

3.1. Tentang Kapal :

Dalam Voyage C/P Pemilik kapal berjanji untuk menyediakan kapal dengan spesifikasi
tertentu yang disebutkan secara rinci dalam C/P, antara lain: Posisi saat itu; Kapasitas
muat,jumlah palka,derek dan; Kelasnya dalam Register Kapal ( Catatan: Lajimnya kapal
niaga di-klasifikasi – diperiksa dan diberikan sertipikat yang menetapkan Kelas kapal – oleh
suatu Badan atau Biro Klasifikasi. Klasifikasi ini sangat penting untuk pemasaran maupun
penetapan premi asuransi ). Disamping itu, Pemilik kapal juga wajib membuat pernyataan
tentang fakta-fakta penting terkait kondisi kapal ( Representation of Certain Facts ). Contoh
kalimatnya:” …that she is tight, staunch, and in every way fitted for the voyage.” Selanjutnya,
apabila saat ditandatangani C/P kapal berada di tempat lain, maka C/P mewajibkan Pemilik
kapal memerintahkan kapal untuk menuju pelabuhan dimana pemuatan barang akan
dilakukan ( Lihat: Bab IV Butir 1.: Pelayaran Pendahuluan. ). Namun berbeda dengan Time
Charter, dalam Voyage Charter Pemilik kapal lebih bebas dalam melakukan deviasi selama
perjalanan.

3.2. Tentang Muatan :

Selain disebutkan jenis dan jumlah barang, Pencharter juga harus menjanjikan bahwa ia
akan memuat seluruh jumlah barang tersebut ke kapal ( istilahnya Full Cargo – Lihat Bab IV
Butir 3: Pemuatan ) . Hal ini penting bagi Pemilik kapal karena, berbeda dengan Charter
Menurut Waktu, disini Uang Tambang ( Freight ) dibayar berdasarkan jumlah barang yang
dimuat. Dengan kewajiban Full Cargo tersebut maka apabila Pencharter memuat barang
kurang dari jumlah yang diperjanjikan maka Pemilik kapal berhak mengklaim Deadfreight (
Lihat: Bab VII: Uang Tambang ). Sebaliknya Pemilik kapal menjanjikan untuk mengangkut
barang muatan tersebut ke tempat tujuannya.

3.3. Tanggung-jawab Pemilik kapal :

Seperti telah disinggung dalam Bab Pendahuluan, Hukum Angkutan Laut sangat dipengaruhi
oleh praktek bisnis angkutan laut serta jurisprudensi kasus-kasus yang timbul darinya (
dalam sistim Hukum Inggris disebut Common Law ). Tidak terkecuali isi pasal-pasal dalam
Charter Party ( dan juga Hukum yang mengatur Undang-undang atau Konvensi yang
mengatur B/L ). Salah satunya adalah pengaturan tentang tanggung-jawab Pemilik kapal
dalam hal terjadinya kekurangan atau kerusakan atas barang muatan. Walaupun antara
standar C/P satu dengan yang lain terdapat perbedaan-perbedaan, namun contoh dari
Standard Form Gencon C/P ( yang paling banyak dipakai ) dapat dijadikan referensi.

Menurut Pasal 2 Gencon C/P, Pemilik kapal hanya bertanggungjawab atas kekurangan dan
kerusakan ( dan keterlambatan ) apabila disebabkan oleh (a) Improper or negligent stowage
of the goods; (b) Personal want of due diligence to make the vessel seaworthy, properly
manned, equipped and supplied dan (c) Personal act or default . Paragraph kedua memuat
penegasan bahwa diluar ketiga sebab diatas Pemilik kapal tidak dapat

23
dipertanggungjawabkan, walaupun oleh sebab-sebab tertentu yang apabila diluar pengaturan
pasal ini seharusnya Pemilik kapal bertanggungjawab. Contohnya: Kelalaian ( Neglect ) atau
Ketidakmampuan ( Default ) dari Nakhoda, ABK atau orang lain yang dipekerjakan Pemilik
kapal. Juga dipertegas tentang Kelayakan-laut, diluar karena “want of due diligence” seperti
diatur dalam Paragraph sebelumnya. Terakhir, “improper or negligent stowage pun dibatasi,
dimana kalau hal itu disebabkan persinggungan, kebocoran, bau, uap dari barang lain,
barang yang mudah terbakar / meledak, maka Pengangkut tidak dapat
dipertanggungjawabkan.

3.4. Pasal-pasal Khusus :

Voyage C/P juga memuat beberapa ketentuan yang mengatur hal-hal yang khas terjadi
dalam angkutan laut, antara lain: Demurrage ( Lihat Bab VI: Despatch & Demurrage );
General Average ( Lihat Bab V : General Average ), General Strike, War Risks dan General
Ice. Apabila General Average Clause jelas merujuk pada the York Antwerp Rules, untuk
General Strike, War Risks dan General Ice tidak secara eksplisit merujuk ketentuan tertentu.

24

You might also like