You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Membahas kasus sengketa antara Negara Indonesia dan Filipina berkaitan


dengan Pulau Miangas beserta kronologis dan faktor-faktor penyebab terjadinya
sengketa, penyelesaian sengketa oleh Mahkamah Internasional dan solusi dari
kasus sengketa tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Dimanakah letak Pulau Miangas?


1.2.2 Bagaimanakah sejarah Pulau Miangas?
1.2.3 Bagaimanakah kronologis sengketa Pulau Miangas?
1.2.4 Bagaimana cara mengatasinya?

1.3 Tujuan Pembuatan Makalah

Tujuan saya membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh ibu guru Pendidikan Kewarganegaraan, selain itu saya ingin
menyampaikan bahwa kita harus peduli akan pentingnya kedaulatan suatu ngara
dan cara mempertahankannya.

1.4 Metode

Dalam pembuatan malah ini saya mengunakan metode analisis. Saya


memilih metode ini karena saya dapat mencari bahan yang cukup banyak untuk
membuat tugas makalah ini.

1
1.5 Sistematika
1.5.1 BAB I PENDAHULUAN
1.5.1.1 Latar Belakang Masalah
1.5.1.2 Rumusan Masalah
1.5.1.2.1 Dimanakah letak Pulau Miangas?
1.5.1.2.2 Bagaimanakah sejarah Pulau Miangas?
1.5.1.2.3 Bagaimanakah kronologis sengketa Pulau
Miangas?
1.5.1.2.4 Bagaimana cara mengatasinya?
1.5.1.3 Tujuan Pembuatan Makalah
1.5.1.4 Metode
1.5.1.5 Sistematika
1.5.2 BAB II
1.5.2.1 Letak Pulau Miangas
1.5.2.2 Sejarah Pulau Miangas
1.5.2.3 Kronologis sengketa Pulau Miangas
1.5.2.4 Cara Mengatasinya
1.5.2.5 Pertanyaan dan Jawaban
1.5.3 BAB III
1.5.3.1 Tanggapan dan Kesimpulan
Daftar Pustaka

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Letak Pulau Miangas

Pulau Miangas mempunyai luas 3,15 kilometer persegi atau 210 Ha dengan
penduduk 705 jiwa atau 178 KK, terletak dikoordinat 05° 34' 02" U - 126° 34' 54"
T/ 05° 33' 57" U - 126° 35' 29" T sesuai PP No. 38 Tahun 2002 Tentang Koordinat
Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia

Secara administratif terletak di Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud.


Kabupaten Kepulauan Talaud terbentuk setelah memisahkan diri dari kabupaten
induk Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud, sesuai UU No. 8 Tahun 2002
Tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Talaud Di Provinsi Sulawesi Utara.

Pulau Miangas merupakan batas wilayah terluar Indonesia dengan Filipina, dimana
terletak dua Titik Dasar (TD) dan Pilar Pendekat (PD); Titik Dasar No. TD.056,
Pilar Pendekat No. TR.056, Antara TD.056-TD.056A, Garis Pangkal Biasa dan
Titik Dasar No. TD.056A, Pilar Pendekat No. TR.056, Jarak TD.056A-TD.057A =
57.91 nm, Garis Pangkal Lurus Kepulauan. Titik Dasar 057A terletak di Pulau
Marampit koordinat 04° 46' 18" U - 127° 08' 32" T.

Jarak antara Miangas dan Bitung yang sejauh 276 mil ditempuh selama 22 jam
dengan kecepatan kapal 13,5 knot. Sedangkan jarak Miangas ke Melonguane, ibu
kota Kabupaten Kepulauan Talaud, sejauh 117 mil, dengan lama pelayaran 10 jam.
Sebaliknya, jarak dari Miangas ke Santa Agustine atau General Santos di Filipina
hanya 60 mil dan bisa ditempuh selama 4 jam.

Adapun Pulau Miangas memang memiliki banyak potensi ekonomi. Indahnya


pantai, birunya laut serta melimpah ruahnya kekayaan alam dapat kita jumpai di
Pulau Miangas. Oleh karena itu, tak mengherankan jikalau banyak pihak yang

3
menginginkan untuk memiliki pulau tersebut. Salah satu pihak yang dimaksud
adalah Filipina.

2.2 Sejarah Pulau Miangas

Sesungguhnya, sejarah keberadaan Pulau Miangas tidak hanya sampai disitu.


Sejarah keberadaan Pulau Miangas memang panjang dan penuh perjuangan.
Apalagi mengingat bahwa Pulau Miangas sebagai bagian dari kabupaten kepulauan
Talaud. Maka dalam pembahasan sejarah keberadaan Pulau Miangas pun tidak
dapat dipisahkan dari sejarah keberadaan kabupaten kepulauan Talaud itu sendiri.
Pada tahun 1421, kawasan Sulwesi Utara memiliki pulau besar terkenal yang
bernama Sangihe, Talaud dan Sitaro. Menurut ahli sejarah F. Valentijn, kawasan
Sangihe, Talaud dan Sitaro dikuasai oleh dua kerajaan yakni kerajaan tabukan dan
kerajaan kalongan. Akan tetapi pada tahun 1670, dalam wilayah Sangihe, Talaud
dan Sitaro telah terdapat sembilan kerajaan yaitu kerajaan kendahe, kerajaan
taruna, kerajaan kolongan, kerajaan manganitu, kerajaan sawang (saban), dan
kerajaan tamako.

Selanjutnya, pada tahun 1900-an, di wilayah Sangihe, Talaud dan Sitaro hanya
tersisa empat kerajaan yakni kerajaan tabukan, kerajaan manganitu, kerajaan siau
dan kerajaan kendahe-taruna (gabungan kerajaan kendahe dan taruna). Baik
kerajaan tabukan maupun kerajaan kendahe-taruna ternyata memang menjalin
hubungan yang baik dengan kerajaan sulu mindanau di Filipina. Oleh karena itu,
tidak mengherankan jikalau pada saat itu sudah mulai terjadi perkawinan campuran
antara pihak kerajaan tabukan ataupun kendahe-taruna dengan pihak kerajaan sulu
mindanau, Filipina. Adapun kerajaan kendahe-taruna selanjutnya lebih dikenal
dengan nama kerajaan taruna. Kerajaan taruna merupakan kerajaan yang
menguasai pulau Miangas saat itu.

Pada tahun 1677 sampai dengan 1800an, kawasan Sangihe dan Talaud berada
dalam satu wilayah administrasi yakni berada dibawah kesultanan Ternate. Akan
tetapi dalam praktek pemerintahan sehari-hari, baik kawasan Sangihe maupun

4
Talaud tetap dipimpin oleh raja-raja lokal di daerah masing-masing. Kemudian
pada tahun 1800 an, saat pemerintah Belanda tengah menguasai wilayah Hindia
Belanda termasuk kawasan Sangihe, Talaud dan Sitaro maka sebagai penguasa
wilayah, pemerintah Belanda pada tahun 1825 telah menetapkan wilayah Sangihe,
Talaud dan Sitaro sebagai bagian wilayah keresidenan Manado namun tetap dalam
sistem gubernemen Ternate. Selanjutnya, pada tahun 1859, kawasan Sangihe,
Talaud dan Sitaro mulai terpisah dari sistem gubernemen Ternate.

2.3 Sengketa Pulau Miangas

Sebagai dampak dari belum terselesaikannya status wilayah perbatasan antar


negara yang diwarnai dengan krisis energi dan sumber daya alam yang tengah
melanda. Hingga permasalahan perbatasan dan klaim atas wilayah terutama yang
memiliki kandungan potensi sumber daya alam mineral dan fosil sangat potensial
menjadi pemicu ketegangan antar negara yang saling bertetangga. Krisis energi
dan sumberdaya alam yang tengah melanda dunia, memaksa negara-negara
tetangga yang berbatasan dengan wilayah Indonesia akan mengeksplorasi dan
mengklaim wilayah Indonesia sebagai wilayah mereka.

Hingga kini, wilayah laut Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara yaitu
Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Vietnam, India, Papua Nugini, Palau,
Timor Leste dan Australia, semua perbatasan itu hingga kini belum dapat
diselesaikan. Pulau-pulau terluar merupakan sumber kekayaan sekaligus menjadi
sumber sengketa di beberapa negara kepulauan.

Kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulauan yang dipersatukan oleh


lautan dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa telah melahirkan suatu budaya
politik persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
usaha mencapai kepentingan, tujuan dan cita-cita nasional, bangsa Indonesia
dihadapkan pada tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang harus
ditanggulangi.

5
Sengketa perebutan Pulau Miangas antara Indonesia dengan Filipina telah ada pada
tahun 1979. Akan tetapi sesungguhnya, perebutan wilayah Pulau Miangas sudah
sejak dahulu sebelum adanya Indonesia dan Filipina. Pada tahun 1928, Amerika
sebagai penguasa Filipina dan Belanda sebagai penguasa Indonesia khususnya
Sulawesi Utara tengah memperebutkan pulau Miangas.
Akhirnya pada tanggal 4 April 1928, Pulau Miangas resmi menjadi milik Belanda.
Beruntunglah berkat putusan arbiter internasional yang bernama DR. Max Huber ,
maka Pulau Miangas sah ditetapkan menjadi milik Belanda. Sehingga secara
otomatis pasca kemerdekaan Indonesia atas Belanda maka Pulau Miangas secara
resmi menjadi bagian dari wilayah Indonesia.

Pulau Miangas dan Pulau Manoreh berdasarkan peta Spanyol 300 tahun lalu dan
Trakat Paris tahun 1989, merupakan wilayah Philiphina. Pernyataan Konsulat
Jenderal RI untuk Davao City Filipina yang mengejutkan bahwa Pulau Miangas
dan Pulau Manoreh berdasarkan peta Spanyol 300 tahun lalu merupakan wilayah
Philiphina, bahkan masalah ini dengan UU pemerintah Filipina yang baru, kedua
pulau ini telah masuk pada peta pariwisata Filipina. Pemerintah Filipina mengakui
keberadaan pulau Miangas sebagai miliknya berdasarkan Trakat Paris tahun 1989,
Trakat Paris tersebut memuat batas-batas Demarkasi Amerika serikat (AS) setelah
menang perang atas Spanyol yang menjajah Filipina hingga ke Miangas atau La
Palmas. Trakat itu sudah dikomunikasikan Amerika Serikat ke Pemerintah Hindia
Belanda, tetapi tidak ada reservasi formal yang diajukan pemerintah hindia Belanda
terhadap Trakat itu.

Sengketa Indonesia dengan Filipina adalah perairan laut antara P. Miangas


(Indonesia) dengan pantai Mindanao (Filipina) serta dasar laut antara P. Balut
(Filipina) dengan pantai Laut Sulawesi yang jaraknya kurang dari 400 mil.
Disamping itu letak P. Miangas (Indonesia) di dekat perairan Filipina, dimana
kepemilikan P. Miangas oleh Indonesia berdasarkan perundingan antara Amerika
Serikat dan Hindia Belanda di atas kapal Greenphil tanggal 4 April 1928 berkat
putusan arbiter internasional yang bernama DR. Max Huber, memutuskan Pulau

6
Miangas masuk ke wilayah kekuasaan Hindia Belanda karena persamaan budaya
dengan masyarakat Talaud. Semakin dipertegas diresmikannya tugu perbatasan
antara Indonesia dengan Filipina di tahun 1955, dimana Miangas berada di wilayah
Indonesia.
Di Kecamatan Nanusa, Kabupaten Talaud, Pulau Miangas merupakan titik terluar
yang paling jauh dan berbatasan dengan Filipina. Dalam adat Nanusa, Miangas
disebut Tinonda. Konon, pulau ini sering menjadi sasaran bajak laut. Selain
merebut harta benda, perompak ini membawa warga Miangas untuk dijadikan
budak di Filipina. Di masa Filipina dikuasai penjajah Spanyol, Miangas dikenal
dengan sebutan Poilaten yang memiliki arti: Lihat pulau di sana. Karena di
Miangas banyak ditumbuhi palm mulailah disebut Las Palmas. Lambat laun pulau
ini disebut Miangas.

Miangas bukan hanya menjadi sasaran perompakan. Pulau ini memiliki sejarah
panjang karena menjadi rebutan antara Belanda dan Amerika. Amerika mengklaim
Miangas sebagai jajahannya setelah Spanyol yang menduduki Filipina digeser
Amerika. Tapi, Belanda keberatan. Sengketa berkepanjangan terjadi, kasus klaim
Pulau Miangas ini diusung ke Mahkamah Internasional. Secara geografis, penjajah
Amerika Serikat mulai bersentuhan dengan Sulawesi bagian utara sejak akhir abad
ke 19. Di tahun 1898 itu, Amerika baru saja menguasai Filipina, setelah memerangi
Spanyol yang ratusan tahun menduduki negara kepulauan itu. Setelah Spanyol
ditaklukkan, muncul sengketa antara Amerika dengan Hindia Belanda. Sejumlah
warga Karatung mempertahankan pulau itu sebagai bagian dari gugusan Kepulauan
Nanusa. Saat penentuan demarkasi antara Amerika dan Belanda, wakil raja
Sangihe dan Talaud, serta tokoh adat Nanusa dihadirkan di Miangas. Dalam
pertemuan untuk menentukan pulau itu masuk jajahan Belanda atau Spanyol, salah
seorang tokoh adat Petrus Lantaa Liunsanda mengucapkan kata-kata adat bahwa
Miangas merupakan bagian Nanusa. Gugusan Nanusa mulai dari Pulau Malo atau
disebut tanggeng kawawitan (yang pertama terlihat) hingga Miangas.

7
Setelah Indonesia merdeka, kehidupan di Kepulauan Nanusa ini tidak berubah. Di
masa Soekarno menjadi Presiden, hampir tak ada pembangunan di daerah itu.
Terutama untuk fasilitas umum, seperti sekolah. Sekolah di pulau-pulau ini paling
banyak dijalankan Yayasan Pendidikan Kristen. daerah perbatasan tampaknya
selalu berarti wilayah terisolasi, tertinggal. Ini merupakan dampak kebijakan
pembangunan nasional di masa lalu. Potensi sumber daya laut yang dapat menjadi
sumber kemakmuran masyarakat kepulauan, tidak mendapat perhatian. Sebanyak
16 pulau di Talaud sendiri telah membentuk kabupaten. Dari jumlah itu, sembilan
pulau belum didiami dan tujuh pulau lainnya sudah berpenghuni. Pembentukan
kabupaten ini tidak lepas lantaran rendahnya tingkat pengembangan daerah
perbatasan selama ini.

Apabila kita melihat permasalahan yang telah diuraikan di atas dari segi politik
strategi dan pertahanan. Dengan bergulirnya Reformasi yang dimulai sejak Mei
1998, telah terjadi berbagai perubahan dalam tata kehidupan politik Indonesia.
Arah kebijaksanaan politik negara telah ditetapkan dalam Tap MPR No IV / MPR /
1999 tentang GBHN.

Diera reformasi ini pula telah terjadi berbagai perubahan situasi politik, yang
berskala nasional dan berpengaruh terhadap dunia luar seperti terjadinya pergantian
tampuk pimpinan negara dan suhu politik yang memanas serta berbagai kerawanan
terhadap keutuhan NKRI berupa ancaman disintegrasi bangsa dan lepasnya Timor-
Timur serta Sipadan dan Ligitan. Perubahan ini telah memberikan dampak pada
berbagai kebijaksanaan pemerintah yang diambil dalam upaya menyelamatkan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengaruh kebijaksanaan politik di
era reformasi tersebut telah berdampak pada kebijaksanaan pemerintah dalam
menangani berbagai permasalahan yang menyangkut keselamatan negara terhadap
berbagai ancaman, tantangan, gangguan dan hambatan yang dapat menyebabkan
instabilitas negara dalam mencapai tujuan nasional.

8
Letak Miangas dan juga beberapa pulau lainnya di gugusan kepulauan Sangihe
Talaud memang teramat jauh dari pusat pemerintahan RI, dan lebih dekat dengan
Filipina. Karena tak heran jika penduduknya pun lebih intens bergaul dengan
masyarakat Filipina, ketimbang dengan sesama warga negara RI. Apalagi sebagian
besar kebutuhan dasar masyarakatnya didatangkan dari Filipina.
Pada dekade 1060-an dan 1970-an, hubungan antara Miangas dan Filipina semakin
intens seiring dengan adanya kesepakatan bersama mengenai lintas batas antara
kedua negara. ironisnya, intensitas hubungan tersebut di satu pihak, dan
“keterpencilan” Miangas dari wilayah RI lainnya menyebabkan masyarakat
Miangas lebih mengenal profil figur pejabat Filipina ketimbang pejabat Indonesia.

Hal ini, baru terungkap, ketika pada awal tahun 1970-an sejumlah pejabat pusat
yang menyertai rombongan Wakil Presiden, Sri Sultan Hamengku Buwono IX ke
wilayah perbatasan melihat beberapa potret Presiden Filipina Ferdinand Marcos
menghiasi rumah penduduk. Agaknya, karena itu pemerintah mulai memperhatikan
problema kehidupan masyarakat Sangihe Talaud, antara lain dengan
menyelenggarakan pelayaran reguler perintis ke pulau-pulau terpencil ini.

Demikian pula, berbagai proyek juga diadakan untuk membuka keterisolasian


kawasan perbatasan. Pun demikian, semua itu tentu belum cukup. Artinya, masih
perlu berbagai upaya lain, terutama yang berorientasi pada peningkatan
kemampuan masyarakat agar tidak ketinggalan dengan warga negara tetangga.
Betapa pun keterpencilan selalu membuahkan penderitaan bagi masyarakat pulau-
pulau di perbatasan, namun mereka tetap merasa sebagai bagian dari bangsa
Indonesia. Ini setidaknya tercermin dalam bidang pendidikan yang dengan
konsisten tetap berkiblat ke Indonesia. Fenomena yang tentu positif bagi
kelestarian keutuhan bangsa dan negara RI.

9
Namun sekali lagi, akan sangat ideal jika Pemerintah RI dapat memetik pelajaran
dari berbagai kasus sengketa perbatasan, termasuk dalam sejarah penyelesaian
masalah Miangas, agar tidak ada lagi yang mencoba menggugat status pulau-pulau
yang menjadi milik Indonesia. Untuk itu, Indonesia harus dapat membuktikan,
bahwa pulau Miangas, pulau Marapit dan pulau Marore adalah sah milik kita,
Indonesia telah diakui masyarakat internasional sebagai negara kepulauan.

2.4 Cara Mengatasinya

Sesungguhnya, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, secara resmi Pulau Miangas


telah menjadi bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia. Ada pun alasan
yang mendasarinya adalah :

Pertama, status kepemilikan Pulau Miangas memang pernah menjadi sengketa


antara Indonesia dan Filipina hingga ke Mahkamah Internasional. Bahkan
keputusan Mahkamah Internasional tentang Pulau Miangas menjadi salah satu
jurisprudensi dalam penyelesaian sengketa kepemilikan pulau-pulau di perbatasan.
Namun sengketa tersebut dimenangkan Indonesia (dalam hal ini “Kerajaan
Kepulauan Talaud”), dan karenanya status Miangas sebagai bagian dari wilayah RI
telah final diakui masyarakat internasional berdasarkan Konvensi Hukum Laut
Internasional 1982 yang secara formal.

Kedua, pengetahuan masyarakat Indonesia tentang Miangas memang minim dan


terbatas. Ini akibat letak pulau tersebut jauh dari pusat, sehingga kurang mendapat
perhatian media massa.

Dalam konteks yang pertama, dasar pertimbangan Mahkamah Internasional dalam


memutuskan sengketa Miangas, sesungguhnya tak berbeda dengan pertimbangan
yang mendasari keputusannya dalam sengketa Sipadan dan Ligitan, yakni
penguasaan de facto oleh suatu negara. Miangas memang hanya sebuah pulau kecil
di tepian Samudera Pasifik, dan merupakan salah satu pulau yang langsung

10
berhadapan dengan negara tetangga Filipina. Secara geografis Miangas memang
lebih dekat ke Filipina, ketimbang dengan pulau-pulau milik Indonesia lainnya.
Karena letak geografis tersebut, maka hubungan perekonomian masyarakatnya
lebih dekat ke Filipina daripada ke Indonesia. Barang-barang kebutuhan konsumsi
umumnya berasal dari negeri tetangga itu. Sebaliknya, masyarakat Miangas juga
menjual hasil bumi mereka ke Filipina. Namun dalam aspek kultural, penduduk
Miangas lebih dekat dengan Indonesia, karena faktor sejarah kerajaan masa
lampau.

Setelah Indonesia merdeka dan sistem pemerintahan kerajaan dihapus secara


administratif, Pulau Miangas menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Sangihe
Talaud dan setelah pemekaran masuk wilayah Kabupaten Talaud-Provinsi
Sulawesi Utara. Pun demikian, status pemerintahan di Pulau Miangas sungguh
unik. Karena di sini, terdapat Pemerintah Wilayah Kecamatan yang hanya
membawahi satu Pemerintahan Desa. Dengan penduduknya terbilang amat sedikit,
yang unik di pulau ini terdapat anggota militer berpangkat perwira dari negara yang
berbeda, yakni dari TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan dari Angkatan
Bersenjata Filipina, lengkap dengan anak buah masing-masing.

Adanya, pasukan tentara dari dua negara yang berbeda di pulau ini bukan karena
terlibat sengketa, melainkan dalam rangka kerjasama pengamanan lintas batas di
wilayah perbatasan. Namun dengan penempatan pasukan Filipina di Miangas telah
memberikan suasana khas, setidaknya pada setiap peringatan HUT RI, karena
mungkin hanya di Miangas upacara pengibaran bendera Merah Putih yang
menyertakan tentara asing-pasukan Filipina, ikut berbaris sebagai peserta upacara.
Realitas yang cukup menggambarkan semangat persahabatan antara kedua negara
kini.

11
2.5 Pertanyaan dan Jawaban

1. Negara apa yang bersengketa?


Negara Indonesia dan Filipina

2. Apa yang disengketakan?


Sengketa Indonesia dengan Filipina adalah perairan laut antara P. Miangas
(Indonesia) dengan pantai Mindanao (Filipina) serta dasar laut antara P.
Balut (Filipina) dengan pantai Laut Sulawesi yang jaraknya kurang dari
400 mil.

3. Bagaimana Kronologis sengketa tersebut?


Sengketa perebutan Pulau Miangas antara Indonesia dengan Filipina telah
ada pada tahun 1979. Akan tetapi, perebutan wilayah Pulau Miangas sudah
sejak dahulu sebelum adanya Indonesia dan Filipina. Kepemilikan P.
Miangas oleh Indonesia berdasarkan perundingan antara Amerika Serikat
dan Hindia Belanda di atas kapal Greenphil tanggal 4 April 1928 berkat
putusan arbiter internasional yang bernama DR. Max Huber, memutuskan
Pulau Miangas masuk ke wilayah kekuasaan Hindia Belanda karena
persamaan budaya dengan masyarakat Talaud. Semakin dipertegas
diresmikannya tugu perbatasan antara Indonesia dengan Filipina di tahun
1955, dimana Miangas berada di wilayah Indonesia.

Namun Pulau Miangas dan Pulau Manoreh berdasarkan peta Spanyol 300
tahun lalu dan Trakat Paris tahun 1989, merupakan wilayah Philiphina.
Pernyataan Konsulat Jenderal RI untuk Davao City Filipina yang
mengejutkan bahwa Pulau Miangas dan Pulau Manoreh berdasarkan peta
Spanyol 300 tahun lalu merupakan wilayah Philiphina, bahkan masalah ini
dengan UU pemerintah Filipina yang baru, kedua pulau ini telah masuk
pada peta pariwisata Filipina. Pemerintah Filipina mengakui keberadaan
pulau Miangas sebagai miliknya berdasarkan Trakat Paris tahun 1989,

12
Trakat Paris tersebut memuat batas-batas Demarkasi Amerika serikat (AS)
setelah menang perang atas Spanyol yang menjajah Filipina hingga ke
Miangas atau La Palmas. Trakat itu sudah dikomunikasikan Amerika
Serikat ke Pemerintah Hindia Belanda, tetapi tidak ada reservasi formal
yang diajukan pemerintah hindia Belanda terhadap Trakat itu. Sehingga
kasus ini kembali mencuat pada tahun 2002.

4. Apa latar belakang terjadinya sengketa?


Latar belakang terjadinya sengketa adalah klaim Negara Filipina atas pulau
Miangas yang diindikasikan memiliki keinginan memperluas wilayah juga
memanfaatkan kekayaan pulau tersebut karena Sebelum menjadi daerah
perbatasan, dahulu kawasan pulau ini dikenal sebagai lintasan niaga.
Pertama, dengan rute pelayaran dari daratan Cina lewat Filipina dan Sulu,
menuju pulau penghasil rempah-rempah di Maluku Utara akan melalui
Nusa Utara. Kedua, untuk ke Maluku, jalur pelayaran pelaut dan pedagang
melayu dari Malaka, melalui Borneo Utara, Kepulauan Sulu dan melintas
di laut Sulawesi (strategis).

Pelaut Eropa, paling banyak berlayar melalui jalur kedua tersebut. Apalagi,
setelah Portugis menguasai Pulau Siau dan Spanyol menduduki Filipina. Di
kawasan ini bahan mentah berupa kacang-kacangan, kopra, minyak kelapa,
pala dan cengkeh, serta hasil laut menjadi komoditi utama untuk dibawa ke
Eropa.

Kepuluauan Sangihe dan Talaud secara bergantian dikuasai Portugis dan


Spanyol. Spanyol cukup kuat karena telah menduduki Filipina. Fokus
rebutan Portugis, Spanyol, dan VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie) adalah Maluku Utara.

13
Serta adanya perbedaan pendapat tentang batas Negara Indonesia dan
Filipina berkaitan dengan Pulau Miangas yang secara posisi geografis
kedudukannya lebih dekat dengan Negara Filipina.

5. Bagaimana penyelesaian sengketa tersebut? Apakah di ajukan ke MI atau


tidak? Jika diajukan ke MI bagamana putusan MI terhadap sengketa?
Ya. Keputusan Mahkamah Internasional tentang Pulau Miangas menjadi
salah satu jurisprudensi dalam penyelesaian sengketa kepemilikan pulau-
pulau di perbatasan. Namun sengketa tersebut dimenangkan Indonesia
(dalam hal ini “Kerajaan Kepulauan Talaud”), dan karenanya status
Miangas sebagai bagian dari wilayah RI telah final diakui masyarakat
internasional berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982.
Kedua, pengetahuan masyarakat Indonesia tentang Miangas memang
minim dan terbatas. Ini akibat letak pulau tersebut jauh dari pusat, sehingga
kurang mendapat perhatian media massa.

Dalam konteks yang pertama, dasar pertimbangan Mahkamah Internasional


dalam memutuskan sengketa Miangas, sesungguhnya tak berbeda dengan
pertimbangan yang mendasari keputusannya dalam sengketa Sipadan dan
Ligitan, yakni penguasaan de facto oleh suatu negara. Miangas memang
hanya sebuah pulau kecil di tepian Samudera Pasifik, dan merupakan salah
satu pulau yang langsung berhadapan dengan negara tetangga Filipina.

Secara geografis Miangas lebih dekat ke Filipina. Karena letak geografis


tersebut, maka hubungan perekonomian masyarakatnya lebih dekat ke
Filipina daripada ke Indonesia. Barang-barang kebutuhan konsumsi
umumnya berasal dari negeri tetangga itu. Sebaliknya, masyarakat Miangas
juga menjual hasil bumi mereka ke Filipina. Namun dalam aspek kultural,
penduduk Miangas lebih dekat dengan Indonesia, karena faktor sejarah
kerajaan masa lampau.

14
BAB III
Penutup

3.1 Tanggapan dan Kesimpulan

Menurut saya sengketa Pulau Miangas menunjukkan adanya kelemahan Indonesia


dalam mengelola daerah batas-batas maritim sehingga negara tetangga
memanfaatkan kelemahan tersebut untuk merebut wilayah Indonesia dan
mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari kelalaian Indonesia. Indonesia
sebagai Negara kepualaun yang berciri Nusantara, mempunyai luas wilayah kurang
lebih 7.8 juta km2, dimana luas laut 5.8 juta km2 sedangkan luas daratan 2.03 juta
km2 dengan jumlah pulau 17504 dimana 92 pulau merupakan pulau-pulau terluar.
Indonesia di darat berbatasan dengan 3 negara, yaitu Malaysia, papua new guinea,
dan timor leste sedangkan di laut Indonesia mempunyai perbatasan dengan 10
negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua
New Guinea, Australia, dan Timor Leste.

Perhatian pemerintah dan warga Indonesia akan masalah ini masih minim buktinya
banyak pulau terluar Indonesia yang terancam dan tidak dikelola dengan baik
contohnya seperti yang dinyatakan Peta Titik Dasar serta Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia yang dikeluarkan Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL menunjukkan
sedikitnya 10 pulau yang berpotensi hilang atau lepas dari wilayah Indonesia.
Pulau-pulau tersebut adalah Pulau Rondo (utara Pulau Sabang, berbatasan dengan
India), Pulau Berhala (berbatasan dengan Malaysia, di Selat Malaka), Pulau Nipa
(dekat Pulau Batam, berbatasan dengan Singapura), Pulau Sekatung (berbatasan
dengan Vietnam, di Laut Cina Selatan), Pulau Marore dan Pulau Miangas
(berbatasan dengan Filipina), Pulau Fani (berbatasan dengan Palau, di Samudera
Pasifik), Pulau Fanildo dan Pulau Bras (utara Papua, di Samudera Pasifik), serta
Pulau Batek (berbatasan dengan Timor Timur).

15
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan pulau-pulau terluar selama ini
adalah pengelolaan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar serta laut di
sekitarnya beserta sumber daya yang ada. Selain itu merupakan daerah rawan
konflik antar Negara maupun dunia internasional, sehingga kebijakan
pembangunan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar harus direncanakan
secara terpadu antara kepentingan kesejahteraan dan kepentingan pertahanan
keamanan dengan tidak meninggalkan kepentingan kelestarian lingkungan hidup

Pada kasus sengketa Pulau Miangas yang penduduknya pun lebih intens bergaul
dengan masyarakat Filipina, ketimbang dengan sesama warga negara RI. terlebih
sebagian besar kebutuhan dasar masyarakatnya didatangkan dari Filipina adalah
salah satu contoh kurangya perhatian pemerintah dan warga negara.

Pada dekade 1060-an dan 1970-an, hubungan antara Miangas dan Filipina semakin
intens seiring dengan adanya kesepakatan bersama mengenai lintas batas antara
kedua negara. ironisnya, intensitas hubungan tersebut di satu pihak, dan
terpencilnya Miangas dari wilayah RI lainnya menyebabkan masyarakat Miangas
lebih mengenal profil figur pejabat Filipina ketimbang pejabat Indonesia.

Hal ini terungkap, ketika pada awal tahun 1970-an sejumlah pejabat pusat yang
menyertai rombongan Wakil Presiden, Sri Sultan Hamengku Buwono IX ke
wilayah perbatasan melihat beberapa potret Presiden Filipina Ferdinand Marcos
menghiasi rumah penduduk. Mungkin karena fenomena itu pemerintah mulai
memperhatikan problema kehidupan masyarakat Sangihe Talaud, antara lain
dengan menyelenggarakan pelayaran reguler perintis ke pulau-pulau terpencil ini.

Demikian pula, berbagai proyek juga diadakan untuk membuka keterisolasian


kawasan perbatasan. Namun semua itu tentu belum cukup. Artinya, masih perlu
berbagai upaya lain, terutama yang berorientasi pada peningkatan kemampuan
masyarakat agar tidak ketinggalan dengan warga negara tetangga.
Karena keterpencilan selalu mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat pulau-
pulau di perbatasan, tetapi mereka tetap merasa sebagai bagian dari bangsa

16
Indonesia. Hal ini mencerminkan betapa bangganya mereka menjadi bagian dari
bangsa Indonesia walaupun mereka tinggal di pulau yang menjadi pagar dan
kurang mendapat perhatian. Yang harus kita lakukan dalam menjaga dan
mempertahankan setiap jengkal wilayah kedaulatan Republik Indonesia dengan
aktif, bukan reaktif disaat pihak ketiga mencoba merebutnya.

Tidak adanya dana pembelian alutsista hanyalah alasan buruk. Indonesia


membutuhkan pertahanan yang besar, kuat, modern dan professional yang akan
memperkokoh kedaulatan wilayah RI. Hakekat pertahanan Negara adalah integrasi
usaha segenap bangsa Indonesia dalam menegakkan kedaulatan Negara melindungi
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta keselamatan bangsa
dari segala bentuk dan jenis ancaman baik yang datang dari luar maupun yang
timbul di dalam negeri.

Adapun kebijakan pemerintah dalam menjaga kedaulatan yang dikeluarkan oleh


Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 15 Januari 2003 yaitu

1. Pengamanan dan peningkatan kehadiran Pemerintah RI sebagai bentuk :


pengejawantahan kedaulatannya terhadap pulau-pulau terluar di perbatasan
antar-negara guna mewujudkan itikad sebagai pemilik kedaulatan yang sah;
dan
untuk meningkatkan pembangunan sosial-ekonomi penduduk di daerah
perbatasan.
2. Pada tanggal 28 Juni 2002, Pemerintah mengeluarkan 3 (tiga) Peraturan
pemerintah yaitu : PP No.36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban
Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Damai
(PP LINDA);
PP No.37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat
Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Alur Laut Kepulauan yang
ditetapkan (PP ALKI);

17
PP No.38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia.
3. Ketiga PP tersebut memberi dasar dan kewenangan bagi aparat guna
menegakkan hukum dalam rangka perwujudan kedaulatan nyata di laut. PP
No.38 Tahun 2002 berfungsi menegaskan keutuhan wilayah NKRI sesuai
dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
4. PP No.38 Tahun 2002 sekaligus mengisi kekosongan hukum, karena UU
No.6 Tahun 1996 tentang Perairan yang menggantikan UU/Prp No.4 Tahun
1960 tidak melampirkan daftar titik koordinat garis pangkal sebagaimana
UU No.4/Prp/1960.
5. Diterbitkannya PP No.38 Tahun 2002 tersebut juga memberikan dasar
hukum yang kuat bagi upaya penegakan hukum bagi pelanggaran
kewilayahan di NKRI.

Adapun kebijakan yang dilakukan oleh Dephan di wilayah perbatasan dan PPKT
(Perbatasan dan Pulau-pulau Kecil Terluar) adalah:
1. Penanganan terhadap permasalahan perbatasan RI dengan memprioritaskan
pada daerah-daerah yang mempunyai kerawanan yang menonjol
2. Menempatkan penyelenggaraan pertahanan Negara di wilayah perbatasan
dan pulau-pulau kecil terluar sebagai lini depan pertahanan Negara.
3. Mendukung program pengembangan wilayah perbatasan dan pulau-pulau
kecil terluar sebagai pusat pertumbuhan berbasis sumber daya alam local
melalui pengembangan berbasis sosio-ekonomi yang diintegrasikan secara
lintas instansi
4. Mendukung penetapan pembangunan dan pemberdayaan wilayah
perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar

5. Mendukung terwujudnya wilayah perbatasan sebagai sabuk pengamanan


yang memiliki daya tangkal tinggi terhadap setiap bentuk dan jenis
ancaman

18
6. Mendukung pembangunan dan peningkatan infrastruktur dasar dan
penunjang di wilayah perbatasan antara lain sarana dan prasarana t
ransportasi, pelayanan kesehatan, pendidikan, pasar, air bersih, listrik, pos
pamtas, dan pos lintas batas
7. Mendukung kelanjutan pengelolaan di 12 pulau kecil terluar yang
berbatasan langsung dengan Negara tetangga untuk mejaga ketuhan
wilayah NKRI
8. Menyelesaikan Rencana Umum Tata Ruang pertahanan khususnya untuk
wilayah perbatasan

Kelemahan Indonesia sudah diketahui oleh negara tetangga sehingga banyak upaya
coba-coba dari mereka untuk merenggut kedaulatan Indonesia ini. Jika Indonesia
tidak ingin kejadian seperti kasus Pulau Miangas ini terjadi lagi Indonesia harus
berubah.

19
Daftar Pustaka

1. Media Indonesia

2. KabarIndonesia

3. http://www.korantempo.com/news/2004/8/22/Perjalanan/52.html

4. http://www.beritahankam.blogspot.com
5. http://www.thesatasconnection.org/2008/07/kawasan-sangihe-talaud-sitaro.html
6. http://beta.tnial.mil.id/cakrad_cetak.php?id=447

20

You might also like