You are on page 1of 79

Muhammad Rustamaji

Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa penjatuhan


pidana hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Meski diwarnai dengan
discenting opinion dan lingkup putusan yang terbatas dalam judicial review tindak pidana
narkotika, namun putusan tersebut dipandang memiliki nilai keterwakilan atas pandangan
masyarakat luas. Ya, masyarakat kita masih memandang pidana mati masih layak untuk
dipertahankan. Beberapa tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana luar biasa
(extraordinary crime) seperti tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, maupun illegal
logging agaknya pantas dijatuhi pidana mati. Bukan hanya karena modus operandi tindak
pidana tersebut yang sangat terorganisir, namun ekses negatif yang meluas dan sistematik
bagi halayak, menjadi titik tekan yang paling dirasakan mayarakat. Maka sebagai langkah
yuridis yang menentukan eksistensi keberlakuan pidana hukuman mati di Indonesia,
putusan MK ini mendapat apresiasi yang representatif.

Namun demikian, putusan Mahkamah Konstitusi atas eksistensi pidana hukuman mati di
Indonesia, disadari atau tidak telah membuka kembali ’perang wacana’ mengenai konsep
penghukuman yang berprikemanusiaan dan beradab. Beragam pandangan dan
argumentasi mengenai pidana hukuman mati sebenarnya telah lama diketengahkan di
kalangan akademisi, praktisi, maupun pakar hukum. Bahkan sejak digulirkannya
rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, wacana ini tidak
luput dari banyak sorotan. Perdebatan yang terjadi mencakup sisi filosofis, yuridis
maupun sosiologis mengenai urgensi penerapan pidana hukuman mati. Bermacam
pertanyaan mendasar seperti apakah manusia berhak mencabut nyawa sesamanya,
sedangkan kehidupan adalah karunia Tuhan? siapa yang memberi kewenangan kepada
seorang algojo untuk merenggut hak hidup manusia yang lain? hingga pertanyaan teknis
mengenai bagaimana pelaksanaan pidana hukuman mati yang memenuhi keberadaban itu
dilakukan? terus bergulir mencari rumusan jawaban. Namun semua wacana tersebut
timbul tenggelam dalam forum diskusi dan seminar karena ketiadaan kekuatan yuridis
yang bersifat final dan mengikat. Hal yang tentunya berbeda ketika wacana tersebut
termaktub dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang secara kelembagaan mempunyai
kewenangan dan kekuatan hukum sebagai judge make law dalam pengujian produk
perundangan.

Babak baru yang kemudian muncul dalam putusan MK ini adalah penguatan teori
penjatuhan pidana sebagai konsep pembalasan (vergeldingstheorie) daripada sebagai
konsep memperbaiki (verbeteringstheorie) si pelaku. Dengan pidana hukuman mati,
negara seakan berlepas diri untuk memperbaiki sikap tindak si pelaku atas tindak pidana
yang dilakukannya. Meskipun sisi hukum yang merupakan ranah yudikatif ini dapat pula
diupayakan lebih ringan melalui grasi dan amnesti sebagai hak prerogratif eksekutif,
namun hukuman mati masih dipandang sebagai konsep pembalasan atas tindak pidana
yang dilakukan. Jika demikian, bagaimana dengan ketentuan sila ke-2 Pancasila
”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”? dan ”hak hidup” setiap manusia sebagaimana
termaktub dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945?
Dengan perspektif yang berbeda dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi, mengenai
nilai kemanusian dalam kerangka acuan keadilan dan keberadaban ini, sangat menarik
ketika mengamati beberapa negara lain menyikapinya. Jika di Indonesia saat ini
menghapuskan pelaksanaan hukuman mati melalui tiang gantungan, dan diganti dengan
ditembak sampai mati oleh regu tembak, hal senada ternyata dapat dijumpai pula di
negara lain. Beberapa negara asing misalnya Amerika Serikat, di beberapa negara
bagiannya menggunakan kursi listrik, gas beracun dan ada pula yang menggunakan
tempat penggantungan seperti di Indonesia pada masa silam. Di Perancis pelaksanaan
hukuman mati dilaksanakan dengan alat pemenggal kepala yang disebuat ’quilotine’.
Sedangkan di Negara Timur Tengah menggunakan tiang gantungan atau pedang dalam
pelaksanaan hukuman mati pemenggalan kepala. Dapat dicermati bahwa negara-negara
yang dikenal sebagai pencetus HAM dan demokrasi ternyata memberlakukan pula
eksistensi pidana hukuman mati. Bahkan secara sederhana dapat dikatakan bahwa,
perdebatan panjang mengenai nilai kemanusiaan pada akhirnya berakhir pada pendekatan
teknis yang dipandang lebih manusiawi pada saat pelaksanaan hukuman mati. Terbukti,
saat ini di negara-negara tersebut dikembangkan adanya teknik lethal injection dalam
pelaksanaan hukuman mati. Melalui tiga kali penyuntikan yang terdiri atas obat pembius,
obat penghenti detak jantung dan suntikan terakhir yang barupa racun, teknik ini
dianggap paling manusiawi dan beradab karena menghilangkan penderitaan bagi sang
terpidana mati.

Hukuman Pokok

Fakta hukum yang selanjutnya patut dicermati adalah rumusan hukuman pokok dan
hukuman yang bersifat khusus dan alternatif. Terdapat konsepsi yang berbeda ketika
konteks pidana hukuman mati ini diberlakukan. Ketika mencermati Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat ditemukan bahwa pidana hukuman mati termasuk
sebagai hukuman pokok. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai masa
percobaan dalam paruh waktu tertentu menjelang eksekusi. Dengan demikian ketika
putusan hakim memperoleh kekuatan hukum tetap, maka eksekusi dapat dijalankan.
Sedangkan dibeberapa ketentuan hukum yang bersifat khusus, seperti dalam Undang-
Undang Narkotika, pidana hukuman mati bersifat khusus dan alternatif. Artinya, ketika
pelaku tindak pidana narkotika atau tindak pidana lain yang bersifat extraordinary crime
dijatuhi hukuman mati, maka vonis tersebut dapat dieksekusi ketika telah melalui masa
percobaan dan sang terpidana tidak menunjukkan sikap yang lebih baik. Dalam hal ini
masih terbuka baginya upaya grasi maupun amnesti yang dapat diupayakan selama
hukuman percobaan. Klausul hukuman percobaan penjara sepuluh tahun inilah yang
membedakan ketika pidana hukuman mati tidak digolongkan dalam hukuman pokok.

Kejanggalan segera terlihat ketika memperbandingkan KUHP sebagai peraturan umum


(lex generalis) terhadap ketentuan-ketentuan pidana luar biasa sebagai peraturan khusus
(lex specialis). Dapat dicermati bahwa tindak pidana biasa (ordinary crime) yang diatur
oleh KUHP justru menempatkan pidana hukuman mati sebagai hukuman pokok. Namun
di dalam ketentuan perundangan yang khusus mengatur pidana luar biasa (extraordinary
crime), pidana hukuman mati justru ditempatkan sebagai hukuman alternatif semata.
Tidakkah para perumus perundangan mencermati hal ini? Sedangkan diketahui bahwa
extraordinary crime mempunyai ekses yang lebih luas bagi kehidupan bersama.

Inilah beberapa telaah mengenai eksistensi pidana hukuman mati yang sejatinya masih
diperlukan dalam menjaga kehidupan bernegara dan berbangsa yang beradab. Justru
karena adanya ancaman hukuman mati dalam ketentuan yurudis, diharapkan
menumbuhkan efek jera dan pembelajaran bagi khalayak akan arti penting menjaga hak-
hak sesama dan tidak melanggarnya. Sebuah fenomena simbolistik yang menarik ketika
para pejabat Republik Rakyat Cina (RRC) mendapat suvenir sebuah peti mati berukuran
mini dari presidennya. Langkah ini ditempuh untuk memberikan pengingatan bahwa jika
para pejabat tersebut melakukan korupsi maka hukuman matilah yang pantas untuknya,
tidak terkecuali bagi presiden yang bersangkutan. Mereka menyadari bahwa korupsi akan
merusak sendi kehidupan bernegara, penggunaan narkotika akan merusak generasi
bangsa dan illegal logging akan menghancurkan lingkungan hidup mereka. Semangat
kesadaran seperti inilah yang seharusnya muncul ketika eksistensi pidana hukuman mati
tetap diberlakukan di Indonesia. Akhirnya kesadaran tersebut membawa kepahaman
untuk sesegera mungkin lepas dari kungkungan krisis multidimensi seperti saat ini.
Samoa.
FENOMENA PRO DAN KONTRA TERHADAP EKSISTENSI HUKUMAN MATI
DALAM PERSPEKTIF PEMIDANAAN

Undergraduate Theses from JBPTUNPASPP / 2009-10-20 10:54:24


Oleh : Nano. Rubiyono, Hukum
Dibuat : 2009-10-19, dengan 3 file

Keyword : Hukuman mati


Subjek : Hukum pidana
Kepala Subjek : Hukum pidana
Nomor Panggil (DDC) : 345

Salah satu bentuk sanksi yang paling berat ialah hukuman mati atau pidana. Masalah
hukuman mati ini telah diperdebatkan oleh para sarjana hukum pidana. Penentang
hukuman mati antara lain mengatakan bahwa hukuman mati dapat menyebabkan
ketidakadilan.
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum menjelaskan bahwa hukuman mati masih
diperlukan karena beberapa sebab, antara lain dikarenakan meningkatnya kejahatan yang
bervariasi, sehingga masih diperlukan sebagai bagian dari perlindungan publik. Pro dan
kontra timbul atas putusan hakim menjatuhkan hukuman mati dalam beberapa kasus.
Identifiksai masalah penulis angkat ditinjau dari penerapan hukuman mati kaitannya
dengan perundang-undangan di Indonesia, permasalahan pro dan kontra hukuman mati
serta pelaksanaannya, upaya hukum untuk menjembatani perbedaan pandangan tentang
hukuman mati.
Penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian deskriptif
analistis yaitu berupa penggambaran, penelaahan dan penganalisaan ketentuan-ketentuan
yang berlaku, yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis faktual serta
akurat dari objek penelitian itu sendiri.
Pendekatan Yuridis Normatief, merupakan pendekatan yang digunakan berdasarkan atas
bahan-bahan, kepustakaan, dan lapangan. Kemudian dianalisis secara Yuridis Kualitatief
yaitu menganalisis data yang diperoleh dengan memperhatikan dan menggunakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tujuan yang ingin dicapai dari penerapan hukuman mati adalah untuk mencegah
terjadinya kejahatan disamping juga merupakan sarana bagi seorang terpidana untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dalam skirpsi ini dipaparkan mengenai
alasan-alasan pro dan kontra yang dapat ditarik kesimpulan untuk menjembatani
perbedaan persepsi atas eksistensi penerapan hukuman mati.
Salah satu bentuk sanksi terberat adalah hukuman mati atau kejahatan. Masalah hukuman
mati ini telah diperdebatkan oleh semua pengacara kejahatan. Antagonis pidana mati
misalnya mengatakan bahwa hukuman mati dapat menyebabkan.
hukuman mati masih diperlukan oleh karena menyebabkan, misalnya karena
meningkatnya kejahatan yang bervariasi, sehingga masih diperlukan sebagai bagian dari
perlindungan publik. Pro dan kontra timbul keputusan hakim membawa mati keadilan
dalam beberapa kasus
Identifikasion dari masalah lift penulis akan ditinjau dari penerapan hukuman mati
kaitannya dengan undang-undang di Indonesia, masalah pro dan kontra hukuman mati
dan juga pelaksanaannya, upaya hukum untuk menjembatani perbedaan pandangan
tentang hukuman mati.
Penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini deskriptif analistis yaitu
dalam bentuk penggambaran, observasi dan menganalisa peraturan yang berlaku, dengan
bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis faktual dan juga akurat dari
objek penelitian itu sendiri
Pendekatan Yuridis Normatief, mewakili menggunakan pendekatan berdasarkan bahan,
kepustakaan, dan lapangan. Apakah kemudian dianalisa dengan Kualitatief Yuridis yang
menganalisis diperoleh dengan memperhatikan dan menggunakan hukum dan peraturan
yang berlaku.
Tujuan yang ingin dicapai dari penerapan hukuman mati adalah untuk mencegah
terjadinya kejahatan di samping juga merupakan sarana untuk dihukum untuk respon
perbuatannya. Dalam skirpsi dari alasan dipaparkan mengenai pro dan kontra dapat
ditarik kesimpulan untuk menjembatani perbedaan persepsi penerapan hukuman
Menimbang (Lagi) Hukuman Mati
Ariyanto, Dedi Setiawan, dan Bona Ventura

MAHKAMAH Konstitusi kembali menjadi pelabuhan para terpidana pelaku tindak


pidana. Rabu dua pekan lalu, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan memohon agar
aturan tentang hukuman mati yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Narkotika
dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat. Dua warga Australia yang tersangkut
kasus narkoba dan telah diganjar hukuman mati itu merasa vonis yang diterimanya
melanggar hak asasi manusia.
Sebenarnya, Myuran dan Andrew tak sendirian. Bersama dua orang kelompok ”Bali
Nine” itu juga ada dua warga negara Indonesia, Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani.
Keduanya pun tengah menanti eksekusi mati. Edith, misalnya. Wanita 25 tahun itu
dinyatakan terbukti menyelundupkan 1 kg heroin dari Thailand pada tahun 2001 silam.
Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan vonis mati yang kemudian dikuatkan oleh
Mahkamah Agung.
Menurut Todung Mulya Lubis, kuasa hukum keempat pemohon uji materiil itu, ada tiga
aturan yang dimohonkan pengujiannya, yakni Pasal 80, 81, dan 82 Undang-Undang
tentang Narkotika (UU No. 22 Tahun 1997). Ketiga pasal tersebut mengatur tentang
ancaman pidana mati bagi mereka yang memproduksi, mengimpor, ataupun
mengedarkan obat terlarang alias narkotik.

Artikel Lain
Henry Ditahan, Lalu Pak Jenderal…?
Saat Gugatan Membanjiri Lapindo
Langkah Mundur Penanganan Korupsi
Kepailitan, Ibist yang Menyesatkan
Menimbang (Lagi) Hukuman Mati
Sulitnya Mencari Hakim Agung
Dong Joe, Riwayatmu Kini
Gebrakan dari Pangeran Cendana
Hukuman Ringan buat Jenderal
PLN Tersengat Proyek CIS
Aturan-aturan hukum tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28 A dan 28 I UUD
1945. Konstitusi, demikian Todung, secara tegas menjamin hak hidup setiap warga
negara. ”Hukuman mati tidak mempunyai dasar hukum dalam Undang-Undang Dasar
kita,” tegasnya.
Todung membenarkan bahwa peredaran narkoba termasuk dalam jenis kejahatan yang
berbahaya bagi hajat hidup orang banyak. Undang-undang pun sudah mengatur tentang
ancaman hukuman yang berat buat pelakunya, yakni penjara seumur hidup dan 20 tahun
kurungan. Hukuman mati, demikian Todung, tidak perlu diterapkan karena tidak
memberikan efek jera.
Di mata Henry Yosodiningrat, Ketua Umum Gerakan Anti Narkotika, ancaman hukuman
mati dalam Undang-Undang tentang Narkotik masih sangat diperlukan. Karena itu,
seandainya dianggap bertentangan dengan konstitusi, dia menyarankan agar UUD 1945
diamendemen. ”Ketentuan itu harus tetap ada, mengenai apakah nanti akan divonis mati,
itu kewenangan hakim,” tuturnya.
Henry beralasan dengan adanya ancaman itu, Indonesia tidak akan dijadikan ”surga” oleh
pengedar narkotik. Selama ini, katanya, sindikat obat terlarang itu tidak berani
mengendalikan bisnisnya dari negara-negara ASEAN yang sebagian masih menerapkan
ancaman hukuman mati. ”Masih ada hukuman mati saja Indonesia sudah mulai dijadikan
surga oleh mereka,” ujarnya.
Jika ancaman itu dihapus, imbuh Henry, maka para sindikat narkotik akan berbondong-
bondong datang untuk ”bermain”. Apalagi, mereka merupakan kelompok yang well
organized crime, menggunakan modus operandi yang selalu berubah dan dana yang tidak
terbatas.
Berdasarkan catatan Gerakan Anti Narkotika, akibat dari aksi para pengedar itu, saat ini
ada empat juta anak menjadi pecandu narkoba dan setiap harinya 40 orang meninggal.
Artinya, dalam satu tahun tak kurang dari 12.000 orang meninggal. Itu belum termasuk
dampak yang ditimbulkan, seperti kriminalitas dan membuat anak-anak muda menjadi
idiot.
Jika dilihat dari sisi ekonomi, setiap hari seorang pecandu narkoba bisa menghabiskan
uang Rp 200 ribu. Jika dikalikan dengan empat juta pecandu, maka dalam sehari fulus
yang tersedot bisa mencapai Rp 800 miliar. Sedangkan dalam setahun bisa sampai Rp
292 triliun. Sebuah angka yang luar biasa besar. ”Itulah yang dilakukan oleh para
terpidana mati itu,” cetus Henry.
Jika menggunakan alasan hak asasi manusia, kata Henry, mereka yang menjadi korban
narkoba juga mempunyai hak untuk hidup dan tidak dihancurkan. Menurut Henry, para
terpidana itu sudah mengetahui jika melakukan tindak pidana dimaksud maka ancaman
hukumannya adalah mati. Artinya, ”Mereka sendiri sudah siap melangkah ke sana
(hukuman mati), mengapa hukumannya mesti dihapuskan.”
Apalagi, mengedarkan narkotik ibarat melakukan pembunuhan secara berencana. Tidak
sedikit pecandu yang meninggal dunia atau hidupnya menjadi berantakan. Mereka ini
juga mempunyai hak untuk hidup. Masalahnya, kata Henry, banyak yang tidak sadar
terhadap bahaya peredaran narkotik itu.

76 PERSEN RESPONDEN SETUJU HUKUMAN MATI


Sejatinya, tuntutan untuk menghapus keberadaan hukuman mati bukan kali ini saja
terlontar. Pada awal tahun 2003, sejumlah aktivis hak asasi manusia juga menyuarakan
hal sama. Salah satunya adalah Asmara Nababan, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian
Demokrasi dan Hak Asasi. Ketika itu, dia mempertanyakan apakah negara masih layak
menghukum mati seseorang bila UUD sebagai sumber hukum tertinggi negara
menegaskan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Syahdan, tuntutan itu bahkan akan bergulir pada permohonan uji materiil, yang saat itu
masih berada dalam wewenang Mahkamah Agung. Entah mengapa, pengajuan judicial
review itu urung dilakukan.
Sementara, hingga pertengahan tahun 2006 sejumlah negara di dunia telah menghapus
ancaman hukuman mati. Persisnya, ada 129 negara, 88 di antaranya menghapus hukuman
tersebut untuk semua kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk
kategori kejahatan pidana biasa, dan 30 negara melakukan moratorium hukuman mati.
Saat ini, masih ada 68 negara yang menerapkan praktik hukuman mati, termasuk
Indonesia.
Selain di dalam UU tentang Narkotika, di Indonesia sejumlah undang-undang lain juga
mencantumkan ancaman hukuman yang sama. Sebagai misal Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang tentang Anti Terorisme dan Undang-Undang
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini, tercatat 134 terpidana menunggu
dieksekusi mati. Sebanyak 37 orang adalah warga negara asing dan 97 warga negara
Indonesia. Mereka umumnya terkait dengan kasus narkotik, terorisme, dan pembunuhan
berencana.
Menariknya, berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh sebuah harian nasional tiga
tahun lalu, sebagian besar warga Indonesia tetap setuju dengan pencantuman ancaman
hukuman itu. Persisnya, hasil poling itu menyebutkan 76 persen res-ponden tetap
menyetujui penerapan hukuman mati sebagai tingkat hukuman maksimal yang dijatuhkan
kepada terpidana kasus berat. Hanya 20 persen responden saja yang menolak penerapan
jenis hukuman tersebut.
Sementara, di mata Asmara Nababan, sejak adanya ratifikasi terhadap Kovenan Hak Sipil
dan Politik pada November 2005, mestinya pemerintah terdorong untuk menghapus
pemberlakuan hukuman mati. Pasalnya, di sana ditentukan bahwa hak hidup manusia
tidak bisa dikurangi. ”Tapi nyatanya tidak ada langkah apa pun yang dilakukan oleh
pemerintah,” ujarnya. ”Karena itu pengajuan uji materiil adalah jalan yang tepat,”
imbuhnya.
Asmara juga menepis anggapan bahwa pemberlakuan hukuman mati dalam kasus
narkotik akan bisa meredam tindak pidana tersebut. Di sejumlah negara, penurunan
peredaran bahan terlarang itu tidak disebabkan pemberlakuan hukuman mati. Tapi,
tuturnya, lebih pada penegakan hukum. ”Aparat hukum di negara-negara itu tidak mudah
disuap,” cetusnya.
Pro-Kontra Hukuman Mati Masih Berlanjut PDF Print
22-06-2007
Pendapat pro-kontra tentang hukuman mati di antara para ahli hukum masih berlanjut.
Hal ini mengemuka dalam sidang pleno pengajuan judicial review UU No. 22 Tahun
1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) khususnya tentang ketentuan hukuman mati
terhadap UUD 1945, Rabu (20 /06); di ruang sidang MK yang mengagendakan
mendengarkan keterangan ahli dari perguruan tinggi di Indonesia.

Dr. Didik Endro Purwo Laksono, S.H., MHum. dari Universitas Airlangga, Surabaya,
menjelaskan bahwa secara umum fungsi hukum pidana antara lain untuk melindungi
kepentingan negara, masyarakat, dan individu. Kejahatan narkotika telah melanggar
ketiga kepentingan hukum tersebut.

Jika permohonan dikabulkan, lanjut Didik, konsekuensinya semua peraturan perundang-


undangan tentang pidana mati harus dihapus termasuk untuk pelaku terorisme dan
pelanggaran HAM lainnya. “Bagaimana tanggung jawab seluruh komponen bangsa ini
jika pidana mati dicabut? Terorisme pun tentunya bisa semakin mengancam,” jelas Didik.

Senada dengan Didik, Dr. M. Arief Amrullah, S.H., MHum. dari Universitas Jember
menjelaskan bahwa semua orang boleh membela diri ketika hak hidupnya diancam.
Penjatuhan pidana mati oleh negara, menurut Arief, adalah pelanggaran HAM bila
dilakukan sewenang-wenang atau tanpa dasar yang sah menurut hukum yang berlaku.

Sementara itu, Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. dari Universitas Sumatera Utara
menjelaskan bahwa terkait dengan Pancasila yang memuat nilai-nilai agama, hak hidup
juga diakui sebagai hak setiap orang. “Hanya Allah yang berhak menentukan hidup-
matinya seseorang. Tapi cara hidup dan matinya seseorang itu, hanya dia sendirilah yang
menentukan. Artinya, bagi penjahat narkoba, memilih cara mati dengan hukuman mati,”
urai Mahmud.

Dari segi kefilsafatan, Prof. Dr. Koento Wibisono dari Universitas Gadjah Mada
menguraikan bahwa kadang kala kepastian hukum tidak memberikan keadilan. Namun
bila kita memilih keadilan, keadilan siapa yang kita pilih? Bila memilih keadilan
masyarakat, jelas Koento, maka masyarakat yang akan bahagia. “Bagi yang menolak
diterapkannya hukuman mati, itu hanya mewakili segelintir orang saja yang telah
memiliki keuntungan miliaran rupiah. Padahal tujuan para pendiri bangsa ini adalah
untuk mencerdaskan kehidupan dan memakmurkan rakyat. Narkoba justru mendegradasi
cita-cita tersebut,” tegas Koento.

Mengulang penjelasan Tim Revisi KUHP yang telah didatangkan pada persidangan
sebelumnya, Prof. Dr. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dari Universitas Indonesia
yang juga menjadi salah satu anggota Tim Revisi KUHP menjelaskan bahwa dalam RUU
KUHP, pidana mati diatur dalam pasal tersendiri dengan kebijakan politik
pemidanaannya adalah pidana mati sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu
diancamkan secara alternatif, dengan ketentuan alternatifnya adalah penjara seumur
hidup atau penjara 20 tahun.
Namun, urai Mardjono, jika terpidana mati selama masa percobaan sepuluh tahun
menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati pun dapat diubah
menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan
Menteri Hukum dan HAM.
Sedangkan, Prof. Dr. Bambang Poernomo, S.H. dari Universitas Gadjah Mada lebih
mementingkan adanya program masyarakat anti narkoba secara intensif di seluruh
pelosok tanah air dan tidak hanya sekedar menyelesaikan kasus narkoba lewat pengadilan
yang menjatuhkan pidana mati.

Selanjutnya, Dr. Arif Gosita dari Universitas Indonesia menerangkan bahwa ketika
pemerintah Belanda menghapus hukuman mati, justru pemerintah Hindia Belanda
menerapkan hukuman mati demi ketertiban orang-orang pribumi. “Hukuman mati adalah
viktimisasi manusia ke manusia. Menghapus hukuman mati adalah untuk menciptakan
4K, yaitu, kebenaran, keadilan, kerukunan, dan kesejahteraan rakyat. Bila tak terpenuhi
4K ini, maka lebih baik undang-undang direvisi,” ujar Gosita.

Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu dari Universitas Pattimura menyatakan bahwa tidak ada
kejahatan tanpa hukuman, tapi tidak perlu ada hukuman dalam bentuk hukuman mati
karena, bila dikaitkan dengan hak kemerdekaan dan untuk menciptakan kesejahteraan
umum sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, maka sanksi hukuman mati
ini jelas telah menyalahi konsep di atas. “Setiap orang memiliki hak kemerdekaan untuk
hidup termasuk untuk tidak dibunuh berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan
sistem hukum,” jelas Titahelu.

Serupa dengan Titahelu, Prof. Dr. Arief Sidharta dari Universitas Parahyangan
menerangkan bahwa hukum pidana seharusnya berfungsi sebagai upaya resosialisasi bagi
narapidana supaya bisa mengembalikan ketaatan seseorang ketika telah berada di tengah-
tengah masyarakat. Hukuman mati, lanjut Sidharta, juga tidak terbukti menghasilkan efek
jera daripada ketika menerapkan hukuman seumur hidup tanpa remisi. “Resiko lain dari
pelaksanaan hukuman mati adalah, ketika di kemudian hari ternyata terbukti ada
kesalahan dalam menjatuhkan putusan dan eksekusi mati telah dilakukan, maka
pemerintah hanya bisa meminta maaf tanpa bisa mengembalikan nyawa si terpidana,”
papar Sidharta.

Setelah mendengarkan keterangan Pemerintah, Badan Narkotika Nasional, Komnas


HAM, para ahli yang diajukan oleh Pemohon maupun Pemerintah dan MKdalam perkara
ini, para mantan anggota PAH I Badan Pekerja MPR dan keterangan Tim Revisi KUHP,
pada agenda persidangan selanjutnya, MK akan mendengarkan kesimpulan para pihak
sebelum memutus perkara ini. “Kami beri waktu dua minggu bagi Pemohon dan
Pemerintah termasuk Pihak Terkait untuk menyerahkan kesimpulannya. Setelah itu, baru
dijadwalkan lagi sidang pembacaan kesimpulan,” kata Ketua MK Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, S.H. sebelum mengakhiri sidang.
Pandangan Alkitab Tentang Hukuman Mati

A. Pro dan Kontra tentang penerapan hukuman mati.

Sebelum masuk dalam pokok permasalahannya, kita perlu mengerti dan


memahami definisi hukum itu sendiri. Sampai saat ini, belum ada yang dapat
merumuskan suatu definisi hukum yang dapat memuaskan semua pihak. Akan tetapi dari
begitu banyak definisi hukum yang ada, secara umum kita dapat menarik batasan tentang
pengertian hukum yakni suatu ketentuan atau peraturan (norma) yang mengatur tingkah
laku manusia dalam pergaulan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib dan bersifat memaksa serta adanya sanksi yang tegas yang akan disebut
hukuman. Dari batasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri dari hukum yaitu adanya
perintah dan atau larangan yang harus ditaati oleh setiap orang;

Hukuman mati merupakan salah satu hukuman pokok yang berlaku di


Indonesia dan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum
Pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap
kepentingan umum, perbuatan yang mana diancam dengan hukuman berupa penderitaan
atau siksaan. Hukuman mati biasanya dijatuhkan pada setiap orang yang telah
melakukan kejahatan dengan cara menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja.
Selain itu, hukuman mati juga dapat dijatuhkan pada jenis kejahatan narkotika dan
terorisme. Hukuman mati di Indonesia merupakan produk pada zaman penjajahan
Belanda.

Pro dan kontra masalah berlakunya hukuman mati sampai saat ini masih
terus berlanjut, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Beberapa negara seperti
Israel maupun Belanda sendiri saat ini sudah tidak memberlakukan lagi hukuman mati.
Berbagai alasan yang dikemukakan oleh beberapa pihak untuk tidak memberlakukan lagi
hukuman mati antara lain :

1) Bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 pasal 28 (1) yang berkaitan
dengan hak setiap orang untuk hidup atau merupakan pelangggaran hak asasi manusia
“bagi si penjahat”.

2) Berlakunya hukuman mati juga tidak serta merta mengurangi angka kejahatan.

3) Menambah satu pembunuhan lagi yaitu eksekusi atas diri si penjahat.

Akan tetapi apakah benar demikian bahwa hukuman mati merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi si penjahat? Lalu, begaimanakah dengan hak asasi orang atau manusia
yang telah kehilangan nyawanya akibat ulah si penjahat tersebut?. Bagaimanakah
pandangan Alkitab sendiri tentang hukuman mati?. Apakah institusi negara atau
seseorang yang berada dibawah wewenang negara yang melakukan eksekusi terhadap diri
si penjahat itu dapat dikategorikan sedang melakukan pembunuhan?
B. Alkitab sebagai sumber otoritas di dalam memberlakukan hukuman mati.

Allah adalah pencipta sedangkan manusia adalah ciptaan-Nya. Itu sebab, Allah
mempunyai hak untuk menuntut manusia baik secara langsung maupun melalui tangan
pemerintah di dunia ini untuk mentaati kehendak-Nya. Kehendak Allah merupakan
kaidah yang harus dijalankan oleh setiap manusia. Dalam buku Katekismus Singkat
Westminster bagian ke-2 menyatakan bahwa, “Kehendak Allah bagi manusia pertama
kali dinyatakan di dalam hukum moral yang dirangkum secara ringkas dalam sepuluh
perintah Tuhan (Hukum Taurat)“.[1] Salah satu dari sepuluh perintah Tuhan adalah
perintah keenam mengenai “Jangan membunuh”. Oleh karena manusia diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah, maka manusia tidak boleh saling membunuh satu sama
lain.

Dalam sebuah Pengakuan Iman Westminster yang dihasikan oleh para


tokoh Reformasi Kristen di Inggris pada abad ke-17 dikatakan bahwa, “Perintah keenam
ini mengajarkan pada kita untuk menghormati nyawa manusia karena manusia diciptakan
seturut gambar Allah. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa perintah ini melarang
semua bentuk pembunuhan terencana (murder) dan bukan semua bentuk pembunuhan tak
terencana (kill). Membunuh(kill) binatang untuk makanan merupakan tindakan yang
dibenarkan. (Kejadian 9:3). Merupakan keharusan ilahi bahwa pembunuh (murderer)
dieksekusi hukuman mati (Kejadian 9:6). Dan tindakan pembelaan diri baik secara
pribadi maupun secara kelompok misalnya satu bangsa merupakan hal yang dibenarkan
oleh Allah. (Keluaran 22:2; Roma 13:1).”[2]

Pengertian dari perintah keenam ini seringkali disalahtafsirkan, salah


satunya mengenai pelaksanaan hukuman mati yang mengeksekusi atau menghilangkan
nyawa seorang penjahat. Memang sebelum peristiwa air bah pada zaman Nuh, seperti
kita ketahui bahwa pembunuhan pertama kali dilakukan oleh Kain terhadap Habel,
adiknya, dimana darah Habel menuntut pembalasan dendam (Kejadian 4:10). Namun,
karena Kain diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, maka Allah tidak mengijinkan
siapapun untuk membunuh Kain. (Kejadian 4:15). Akan tetapi setelah peristiwa air bah
terjadi, Allah memberikan perintah dalam Kejadian 9:6, “Siapa yang menumpahkan
darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia
itu menurut gambar-Nya sendiri”. Ayat ini menyatakan bahwa setiap manusia yang
membunuh seseorang secara tidak adil adalah suatu pelanggaran yang harus mendapatkan
hukuman. Itu sebab, pelaksanaan hukuman mati itu dibenarkan karena Allah sendiri yang
memerintahkan-Nya dalam Alkitab.

Dalam Surat Roma 13:4 tertulis, “Karena pemerintah adalah hamba


Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena
tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk
membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat”. Dari ayat ini, jelas sekali
bahwa Allah memberikan kuasa atau wewenang kepada negara untuk melaksanakan
kehendak Allah. Itu sebab, hukuman mati yang dilaksanakan oleh negara bukanlah
bentuk pembunuhan. Justru sebaliknya, apabila suatu negara tidak menggunakan kuasa
atau wewenang yang diberikan Allah untuk menegakkan hukum, maka pemerintah dari
negara tersebut telah melanggar perintah dari Allah, artinya negara telah membiarkan
atau “membantu” pembunuhan terhadap orang yang tidak bersalah. Jadi, eksekusi
hukuman mati terhadap penjahat yang telah menghilangkan nyawa orang secara tidak
adil itu dibenarkan dan negara atau orang yang melakukan pengeksekusian di bawah
wewenang pemerintah bukanlah suatu tindakan pembunuhan atau dikategorikan sebagai
pembunuh.

C. Kritik terhadap tiga alasan yang digunakan untuk menolak hukuman mati.

Bagi pihak-pihak yang kontra dan menolak pemberlakuan hukuman mati, penggunaan
tiga alasan yang diungkapkan diatas adalah sangatlah tidak tepat. Pertama, jika hukuman
mati merupakan pelanggaran hak asasi bagi diri si pembunuh, lalu bagaimana dengan hak
asasi mereka atau orang yang dibunuh oleh si pembunuh (murderer)?. Bukankah di sini
juga terjadi pelanggaran hak asasi terhadap orang yang dibunuh oleh si pembunuh
(murderer) tersebut?. Kedua, hukuman mati memang tidak serta merta mengurangi
angka kejahatan, akan tetapi dengan tidak adanya hukuman yang berat (hukuman mati)
bagi mereka yang telah membunuh, mereka akan beranggapan bahwa perbuatan mereka
hanya mendapatkan hukuman penjara maksimal seumur hidup yang tidak menghilangkan
nyawa mereka. Fungsi dari pemberlakuan sebuah hukuman (dalam hal ini hukuman mati)
adalah justru untuk menghambat dosa agar tidak berkembang lebih jauh lagi. Ketiga, jika
hukuman mati hanya akan menambah satu pembunuhan lagi (eksekusi atas diri si
penjahat), penulis mengkritisi pendapat tersebut dengan mengutip kalimat dari
Katekismus Singkat Westminster bagian ke-2 yang menyatakan, “bahwa mereka sedang
mencampuradukkan dua hal yang berbeda. Ketika seseorang mengambil nyawa orang
lain secara tidak adil itu adalah pembunuhan. Tetapi ketika negara menghukum mati
pembunuh yang bersalah itu bukanlah pembunuhan. Apabila negara tidak menghukum
mati si pembunuh, maka negara gagal melindungi orang yang tidak bersalah karena
faktanya sering kali pembunuh yang dibebaskan kembali melakukan pembunuhan.”[3]

Selain itu, bagi yang kontra pada pemberlakuan hukuman mati, mereka
hanya melihat hati nurani mereka secara otonom, tanpa dikaitkan dengan Firman Tuhan.
Mereka tidak melihat bagaimana Allah, Sang Pencipta, telah memberikan suatu
ketentuan atau hukum melalui wakil atau hamba-Nya yakni negara untuk mengatur
kehidupan seluruh umat manusia dimanapun Allah tempatkan. Mereka telah menafikan
suatu ketetapan Firman Tuhan yang seharusnya ditaati dan menjadikan hati nurani
mereka sebagai hamba. Setiap produk hukum yang dihasilkan oleh negara harus sesuai
dengan kaidah hukum yang telah ditentukan oleh Allah, baik yang telah dinyatakan oleh
Allah ke dalam tiap hati nurani manusia maupun yang tercermin di dalam Hukum Taurat.
Dalam Pengakuan Iman Westminster dinyatakan bahwa, “Allah sajalah satu-satunya
Tuhan atas hati nurani, dan Dia telah membebaskan hati nurani dari doktrin-doktrin dan
perintah-perintah manusia yang di dalam segala sesuatunya bertentangan dengan Firman-
Nya atau yang di luar Firman-Nya, dan alasannya adalah bahwa semua kewajiban
manusia telah terkandung dalam Sepuluh Perintah ini. Menempatkan hati nurani sebagai
hamba terhadap kewajiban apapun yang tidak terkandung dalam Hukum Taurat Allah
berarti menjadi hamba dari manusia dan bukan dari Allah”.[4]

D. Kesimpulan

Meskipun Allah telah menempatkan Hukum Taurat dalam hati nurani manusia,
namun Allah tetap memberikan suatu ketentuan atau hukum yang dibentuk oleh wakil
atau hamba-Nya. Hal ini oleh karena sifat keberdosaan manusia yang akan selalu
berusaha keras untuk mengingkari hari nurani mereka. Itu sebab, negara perlu diberikan
kuasa atau wewenang untuk membuat dan menegakkan suatu hukum terhadap setiap
warga negaranya guna menghambat berkembangnya dosa secara lebih besar lagi.
Dengan demikian, saya setuju dengan hukuman mati oleh karena hukuman mati sesuai
dengan Firman Tuhan.

Saudara-saudari yang terkasih, memang saat ini kita tidak lagi berada dibawah
Hukum Taurat karena Hukum Taurat sendiri telah tergenapi di dalam Kristus yang layak
menjadi teladan hidup kita di dalam berwarga negara. Biarlah setiap kita tetap setia dan
taat kepada kehendak-Nya dengan mentaati hukum yang telah Tuhan berikan melalui
negara kita Indonesia. Ketaatan kita pada hukum yang berlaku di negara ini tidak hanya
karena kita taat pada hal-hal yang terkandung di dalamnya saja, tetapi karena ada otoritas
Allah, Sang Pencipta, yang bertahta atas hukum yang berlaku di negara kita.
JAKARTA, KOMPAS.com — Data Migrant Care menunjukkan, sedikitnya terdapat
345 orang warga negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati di negara
tetangga, Malaysia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Minggu (22/8/2010) kemarin,
menyatakan belum mengetahui data Migrant Care tersebut. Padahal, tak sedikit yang
menjalani hukuman di penjara Malaysia sejak awal tahun 1990-an, tanpa ada kejelasan
nasib.

Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan, Indonesia, dalam hal ini Pemerintah, tak bisa
melakukan intervensi atas hukum yang berlaku di negara lain. "Kalau di negara orang
berlaku hukuman mati, apa kita mau intervensi? Hargailah hukum orang (negara) lain,"
kata Marzuki, Senin (23/8/2010) di Gedung DPR, Jakarta.

Lalu, perlindungan apa yang bisa diberikan Pemerintah terhadap warganya di luar negeri?
"Kasusnya apa? Dilihat juga. Kita bicara sistem. Kebanyakan kan kasus TKI. Itu juga
karena mereka tidak perform. Tidak cukup umur, tidak punya keahlian. Salah kita juga.
Sampai di sana enggak bisa kerja, menyetrika baju orang terbakar, gimana majikan
enggak marah? Orang kita juga yang salah, melanggar aturan," ujar politisi Partai
Demokrat ini.

Dari ratusan WNI yang terancam hukuman mati, beberapa di antaranya terjerat kasus
kepemilikan obat-obatan terlarang. Terakhir, Bustamam bin Bukhari dan Tarmizi Yakob
harus menerima hukuman gantung setelah kasasi dua warga Aceh itu ditolak MA
Malaysia. Mereka menjual 3 kg ganja kepada informan Kepolisian Malaysia pada awal
April 1996.

"Sudah tahu di sana hukuman mati, ya jangan coba-coba bawa ganja. Narkoba itu sangat
merugikan," katanya singkat.

Berbeda dengan Marzuki, Wakil Ketua DPR Pramono Anung justru menilai upaya
Pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada warga negara di luar negeri memang
lemah. Dalam sejumlah kasus, Pemerintah tidak melakukan upaya apa pun untuk
menyelamatkan warganya. Pemerintah, kata Pramono, seharusnya lebih pro-aktif.

"Tugas diplomasi internasional itu salah satunya melindungi masyarakat. Yang harus
dilakukan, Menlu pro-aktiflah ketika mengetahui ada masalah yang menimpa warganya
di negara lain," kata Pramono.

Terkait nasib ratusan WNI yang terancam hukuman mati, Pemerintah diminta segera
mengirimkan nota kepada Pemerintah Malaysia. "Kita prihatin selama ini perlindungan
kepada warga negara kita sangat lemah," ujarnya.
KAMIS 7 Desember 2000 lalu, Claude Howard Jones (60), salah satu tersangka kasus
perampokan di Amerika Serikat dihukum mati dengan suntikan racun.

Saat itu, Jones sempat meminta agar dilakukan test DNA terhadap barang bukti rambut
yang ditemukan di lokasi kejadian.namun permintaannya itu tidak dikabulkan oleh
Gubernnur Texas saat ity, Goerge W Bush. Selang 10 tahun kemudian, terungkap bahwa
test DNA pada sehelai rambut dimaksud bukan milik Jones dan ini menunjukkan bahwa
Jones yang telah dieksekusi mati itu sebenarnya tidak bersalah.

Hasil tes DNA pada sehelai rambut itu dilakukan Mitotyping Technologies dan
dipublikasikan majalah Observer Texas, 10 tahun kemudian. Sehelai rambut itu menjadi
bukti penting dalam kasus itu. Seperti dimuat Brisbane Times Jumat 12 November 2010,
Jones memang punya catatan kriminal panjang didakwa membunuh Allen Hilzendager
dalam sebuah perampokan toko minuman keras diluar kota Point Blank.

Namun dalam tuntutan di pengadilan, Jones bersikukuh dia tidak melakukan penembakan
terhadap korban tahun 1989 lalu itu. Dia menunggu di dalam mobil dan rekannya yang
turun, melakukan perampokan dan menembak korban tiga kali.

Polisi lalu menemukan sehelai rambut di TKP dan saat diteliti, dengan ilmu forensik yang
sangat terbatas saat itu, polisi memastikan sehelai rambut itu adalah milik Jones. Padahal
penyelidikan rambut itu hanya dilakukan di bawah mikroskop tidak dilakukan test DNA.

Berikutnya, analisa di bawah mikroskop dikesampingkan berkat perkembangan uji DNA.


Saat menunggu eksekusinya, Jones sempat meminta dilakukan tes DNA. Namun,
permintaannya ditolak Gubernur Texas saat itu, George W Bush.

Dalam dokumen yang diperoleh Observer Texas dan Proyek Innocence menunjukkan
bahwa: pengacara di kantor gubernur gagal untuk memberitahu Bush bahwa bukti DNA
bisa membebaskan Jones. Sebab, Bush adalah pendukung dilakukannya tes DNA dalam
kasus-kasus yang bermuara pada hukuman mati.

Meski ini bukan bukti kuat untuk membuktikan Jones tak bersalah, "Tapi rambut adalah
satu-satunya bukti yang menghubungkan Jones di TKP. Ini menimbulkan keraguan serius
tentang kesalahannya," demikian ditulis Observer.

Seorang hakim Texas saat ini sedang mempertimbangkan apakah Jones memang tidak
bersalah, meski Jones kini telah meninggal di meja eksekusi.

Sebelumnya, Cameron Todd Willingham yang dieksekusi mati pada tahun 2004 karena
dinyatakan terbukti menyeting kebakaran yang membunuh tiga anak perempuannya.
Tetapi beberapa ahli terkenal mengatakan awal tahun ini bahwa ada cacat dalah kasus ini.
Hapus Hukuman Mati Dari Indonesia

Palu; Tidak lama lagi pelaksanaan Hukuman Mati atas Amrozy Cs akan dilaksanakan,
secara tegas kami menentang praktek hukuman mati, dengan alasan apapun, kasus
apapun, kami secara tegas menyatakan menolak praktek hukuman mati.

Termasuk hukuman mati yang dituduhkan kepada Amrozy Cs sebagai pelaku peledakan
Bom Bali pada 2002. Terlepas dari apa yang mereka lakukan, menurut kami tidak ada
landasan apapun yang dapat membenarkan praktek hukuman mati, apakah landasan
agama, sosial, hukum dan bahkan keadilan.

Sikap ini dilandasi atas beberapa pertimbangan; Pertama, hukuman mati tidak relevan
lagi dipraktekkan di Indonesia, karena justru telah melanggar nilai-nilai kemanusiaan
yaitu Hak Untuk Hidup (Right To Life) dan Hak Fundamental (Non Derogable Rights),
karena tidak ada landasan apapun yang dapat dibenarkan untuk mencabut Hak Untuk
Hidup pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa. Hak Untuk Hidup ini harus benar-benar
dihargai;

Kedua, dalam berbagai kasus hukuman mati tidak membawa dampak positif maupun efek
jera seperti yang diharapkan dari praktek hukuman mati. Ini bisa dilihat dalam kasus
Narkoba, tiap tahunnya kejahatan Narkoba

tidak menunjukkan yang menurun, sekalipun banyak pelaku kejahatan Narkoba telah
dikenakan hukuman mati. Ini berkaitan dengan penegakan hukum yang masih
amburadul;

Ketiga, praktek hukuman mati di Indonesia telah mengalami sejarah yang buruk, Kasus
Hukuman Mati Sengkon dan Karta tahun 1980 menjadi pelajaran pahit. Ironisnya,
hukuman mati bersifat final yang tidak dapat ditinjau kembali, sehingga kesalahan dalam
memutuskan hukuman dan mencabut nyawa orang yang tidak bersalah menjadi final,
seperti yang dialami oleh Sengkon dan Karta.

Persoalan di Indonesia adalah persoalan social yang demikian rumit, masih terjadinya
Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), reformasi Hukum di Indonesia masih belum
menunjukkan sistem Peradilan yang independen, imparsial, aparatus yang bersih, hingga
persoalan tindak kejahatan yang terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan. Dalam hal
ini Negara belum sepenuhnya dapat memenuhi hak-hak dasar warga Negara seperti
Lapangan Pekerjaan, Pendidikan, Kesehatan yang memadai.

Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk Pemerintah R.I untuk tetap mempraktekkan
hukuman mati di Indonesia, serta segera menghapuskan Penerapan Hukuman Mati yang
tercantum juga di 11 Undang Undang yang memiliki ancaman mati. (**)
Kejahatan narkotika tak termasuk dalam kejahatan serius yang patut dikenai sanksi
hukuman mati, karena kejahatan narkoba tak secara langsung mengakibatkan kematian
pada manusia.

Demikian keterangan melalui video conference dari Profesor Philip Alston, New York
University School of Law, Amerika Serikat, yang diajukan sebagai Ahli oleh Pemohon
pada perkara judicial review UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika)
terhadap UUD 1945, Rabu 18 April 2007 pukul 10.00 WIB di ruang sidang Mahkamah
Konstitusi (MK), dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon,
Pemerintah, dan Badan Narkotika Nasional (BNN).

Alston juga memaparkan bahwa hukuman mati masih banyak diberlakukan di negara-
negara asia, negara-negara amerika latin sudah mulai menghapus, sedangkan negara-
negara eropa telah sama sekali menghapus hukuman itu. “Namun perlu tidaknya sanksi
hukuman mati pada akhirnya dikembalikan pada kebijakan hukum negara-negara yang
bersangkutan dengan tetap memperhatikan ketentuan hukum internasional yang ada,”
jelasnya.

Keterangan lain, Ahli Pemohon Prof. Dr. J. E. Sahetapy, S.H., M.A. mengatakan bahwa
di Belanda sendiri, hukuman mati sudah dihapus sejak Tahun 1870. Untuk itu, kenapa
Wetboek van Strafrecht atau WvS (KUHP red.) masih harus dipertahankan. “Bila ingin
mempertahankan hukuman mati, ganti saja nama Lembaga Pemasyarakatan itu yang
sebenarnya berfungsi untuk memasyarakatkan kembali para narapidana,” jelas Sahetapy.

Sementara itu, Ahli Pemohon lainnya, Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik
mengatakan bahwa sebetulnya jenis dari apa yang disebut sebagai non derogable rights
(hak yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun) itu berbeda-beda. Di dalam
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) ada tujuh jenis non
derogable rights yang diakui. Di European Convention on Human Rights cuma ada empat
yang sudah dimaktubkan di dalam ICCPR. Sementara di Amerika sendiri itu ada sebelas
jenis hak yang diakui sebagai non derogable rights.

Lanjut Rachland, sebenarnya The core of rights (hak inti) dari non derogable rights itu
ada empat hal, antara lain, pertama, right to life, hak untuk bebas dari penyiksaan dan
perlakuan yang merendahkan martabat. Kedua, hak untuk tidak dianiaya. Ketiga, right to
free from slavery atau hak bebas dari perbudakan atau diperhambakan. Keempat, hak
untuk tidak diadili oleh post facto law atau hukum yang berlaku surut.

Di lain pihak, Ahli dari BNN KRH Henry Yosodiningrat, S.H. menyuguhkan data bahwa
sekitar 40 orang mati setiap hari akibat narkoba. Dalam sehari, nominal transaksi narkoba
yang terjadi mencapai Rp. 800 miliar karena 4 juta orang yang kecanduan setidaknya per
hari rata-rata melakukan transaksi sebesar Rp. 200.000,00 sehingga total setahun bisa
mencapai Rp. 292 triliun.

Tambah Henry, hampir seluruh lembaga pemasyarakatan, 70 persennya dihuni oleh


pelaku kejahatan narkotika, baik itu pelaku maupun pengguna. “Kini, saya berani
menyatakan bahwa tak ada satupun kecamatan yang bebas narkotika. Di Jakarta, masih
adakah satu RT yang bebas narkoba? Masih adakah SMU yang bebas narkoba? Saya
berani jawab, tidak ada!” papar Henry.

Atas alasan itu, menurut Henry keberlakuan Pasal 28I UUD 1945 yang memuat
ketentuan tentang non derogable rights, tidak boleh dipahami secara mandiri, melainkan
dibatasi oleh ketentuan dalam Pasal 28J UUD 1945.

Sedangkan Ahli dari BNN Prof. Dr. Ahmad Ali, S.H., M.H. menyatakan bila dalam
pelanggaran HAM berat dikenal adanya keadilan transisional yang di dalamnya terdapat
restorative justice yang memungkinkan dilakukan rekonsiliasi, maka dalam kejahatan
narkoba, tidak ada satupun negara yang melakukan rekonsiliasi dengan pengedar
narkoba.

Menanggapi pernyataan di atas, Rachland Nashidik mengemukakan bahwa ketentuan


mengenai non derogable rights di tiap-tiap negara memang berbeda. ”Mungkin dalam
amandemen konstitusi berikutnya, diusulkan saja untuk memasukkan hak bebas dari
narkotika supaya negara nanti memiliki kewajiban untuk melindungi hak warga negara
dari kejahatan itu,” jelasnya.
Demi memperoleh putusan yang tepat, pro dan kontra argumentasi hukum mengenai
hukuman mati ini masih akan dilanjutkan pada persidangan berikutnya yang masih akan
mendengarkan keterangan ahli lain yang diajukan oleh para pihak. ”Biarlah forum ini
tidak menghasilkan menang kalah begitu saja, bukan by product, tapi prosesnya ini
menjadi sesuatu yang penting untuk kita sampai kepada putusan yang tepat, di samping
proses ini juga akan mempunyai fungsi pendidikan tersendiri, pendidikan hukum dan
pendidikan HAM bagi kita semua,” jelas Ketua Majelis Hakim Konstitusi Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, S.H. sebelum menutup persidangan.

Posted by BKBH UMM at 6:57 PM


Hari anti Hukuman Mati: Hukuman Mati Tidak Mencegah Kejahatan PDF Cetak
E-mail

[Image Source: www.romokoko.com]

Image Source: www.romokoko.com


Jakarta, Kompas - Hukuman mati terbukti tidak mampu mencegah terjadinya kejahatan.
Oleh karena itu, pandangan bahwa hukuman mati perlu diterapkan guna mencegah
pembunuhan dan kejahatan serius lainnya tidak bisa diterima.

Demikian disampaikan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Martin Hatfull, Jumat (8/10),
saat menyampaikan pidato kunci pada diskusi publik ”Menggugat Hukuman Mati di
Indonesia”. Diskusi digelar Imparsial di Jakarta dalam rangka menyambut Hari
Antihukuman Mati Sedunia pada 10 Oktober.

”Sejumlah studi akademis gagal membuktikan bahwa hukuman mati dapat mencegah
kejahatan yang lebih banyak,” ujar Hatfull. Ia mencontohkan Amerika Serikat, salah satu
negara yang masih menerapkan hukuman mati. ”AS merupakan salah satu negara maju
dengan tingkat pembunuhan paling tinggi di dunia dan tingkat pembunuhan paling tinggi
berada di selatan AS, wilayah yang melakukan eksekusi hukuman mati terbanyak,” kata
Hatfull.

Ia menjelaskan, Inggris menentang hukuman mati karena merusak peradaban dan


martabat manusia. Hukuman mati juga bersifat tidak bisa dikoreksi. Padahal, tidak ada
sistem peradilan yang sempurna.

Terakhir tahun 1964

Eksekusi terakhir di Inggris terjadi pada 1964. Setahun kemudian hukuman mati untuk
kasus pembunuhan dihapus. ”Pada 1998, hukuman mati dihapuskan secara menyeluruh
untuk semua bentuk kejahatan,” jelasnya.

Saat berbicara dalam diskusi, pengajar Fakultas Filsafat Universitas Indonesia, Rocky
Gerung, mengungkapkan, pernyataan bahwa hukuman mati bertujuan untuk mencegah
kejahatan memiliki dasar logika yang absurd. Bagaimana mungkin potensi kejahatan
yang akan dilakukan oleh orang lain pada masa mendatang dibebankan pada satu orang
lewat pemberian hukuman mati.
“hukum rajam” ketegori Muslim. Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Ustadz, apakah yang di maksud dengan hukum rajam? Apakah benar hukuman ini hanya
berlaku bagi wanita? Mohon penjelasannya, terima kasih.

Wassalam,

Herlina Melani

Jawaban

‫ وبعد‬، ‫السلم عليكم ورحمة ال وبركاتهبسم ال الرحمن الرحيم الحمد ل والصلة والسلم على رسول ال‬

Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu. Cara menghukum
seperti ini tidak dilakukan kecuali dalam kasus yang sangat tercela dan hanya bila
penerima hukuman benar-benar terbukti dengan teramat meyakinkan melakukan sebuah
larangan yang berat.

Hukuman rajam sebenarnya sudah ada sejak para nabi dan rasul di masa lalu sebelum era
umat nabi Muhammad SAW. Hukuman seperti itu berlaku secara resmi di dalam syariat
Yahudi dan Nasrani . Dan tidak dikutuk umat terdahulu kecuali karena mereka
meninggalkan hukum dan syariat yang telah Allah tetapkan.

ْ‫ظوا ِمن‬ ُ ‫حِف‬ْ ‫سُت‬


ْ ‫حَباُر ِبَما ا‬ ْ‫ل‬َ ‫ن َوا‬ َ ‫ن َهاُدوا َوالّرّباِنّيو‬
َ ‫سَلُموا ِلّلِذي‬
ْ ‫ن َأ‬
َ ‫ن اّلِذي‬
َ ‫حُكُم ِبَها الّنِبّيو‬
ْ ‫ِإّنا َأْنَزْلَنا الّتْوَراَة ِفيَها ُهًدى َوُنوٌر َي‬
َ ‫ل َفُأوَلِئ‬
‫ك‬ ُّ ‫ل ا‬َ ‫حُكْم ِبَما َأْنَز‬
ْ ‫ن َلْم َي‬
ْ ‫شَتُروا ِبآَياِتي َثَمًنا َقِليل َوَم‬
ْ ‫ن َول َت‬ ِ ‫شْو‬َ‫خ‬
ْ ‫س َوا‬ َ ‫شُوا الّنا‬ َ‫خ‬ ْ ‫ل َت‬
َ ‫شَهَداَء َف‬
ُ ‫عَلْيِه‬
َ ‫ل َوَكاُنوا‬ِّ ‫ب ا‬ِ ‫ِكَتا‬
َ ‫ُهُم اْلَكاِفُرو‬
‫ن‬

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya petunjuk dan cahaya ,
yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang
menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka,
disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi
saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, takutlah kepada-Ku.
Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang kafir.

Allah SWT kemudian menghapus berbagai macam syariat yang pernah diturunkan-Nya
kepada sekian banyak kelompok umat kemudian diganti dengan satu syariat saja, yaitu
yang diturunkan kepada umat Muhammad SAW. Namun ternyata Allah SWT masih
memberlakukan hukuman rajam. Walaupun dengan pendekatan yang jauh lebih moderat
dan manusiawi.

Secara nalar aqidah, dengan tetap diberlakukannya hukuman rajam oleh Allah pada
syariat umat Muhammad SAW, kita bisa meyakini bahwa bentuk hukuman seperti ini
memang dalam kasus-kasus tertentu masih diperlukan. Meski umat manusia di abad 20
ini seringkali menginginkan dihapuskannya hukuman mati, namun ternyata hukuman
mati itu masih diperlukan, bahkan di beberapa negara yang maju, masih berlaku dan tetap
terjadi sampai sekarang.

Singapura yang sering dijadikan kiblat kemoderenan di Asia Tenggara, hari ini masih
saja menghukum mati orang-orang yang dianggap melakukan pelanggaran berat.
Demikian juga Amerika yang sekarang mengangkat dirinya sebagai polisi dunia dan
simbol HAM, masih tetap memberlakukan hukuman mati. Maka kalau Allah SWT
memberlakukan hukuman rajam kepada umat Islam, tentu sangat bisa diterima logika.
Jangankan untuk abad ke-7 saat diberlakukan di dalam Al-Quran, bahkan negara-negara
modern pada abad 21 sekarang ini masih memberlakukan hukuman mati.

Dan tentu sangat logis bila umat Islam dengan latar belakang kepatuhan dan ketundukan
kepada originalitas agamanya, pada hari ini masih memberlakukan hukuman rajam buat
pemeluk agamanya. Tidak ada cela dan cacat dalam pelaksanaan hukuman seperti itu,
apalagi kalau dibandingkan dengan tragedi pembantaian massal yang dilakukan oleh
negara maju terhadap dunia ketiga, maka pelaksanaan hukuman rajam buat pelanggar
kesalahan berat menjadi tidak ada artinya.

Bandingkan dengan angka-angka pembantaian rakyat Vietnam, Afghanistan, Kamboja,


Bosnia, Shabra Shatila dan belahan muka bumi lainnya. Sungguh apa yang dilakukan
oleh super power dunia itu jauh lebih kejam dan sadis ketimbang hukuman rajam, yang
hanya menyangkut satu orang saja. Itupun pelanggar sulisa berat, yaitu orang yang
berzina dimana dia pernah menikah sebelumnya.

Dalil Tentang Kewajiban Merajam Pezina

Para ulama sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshan dihukum dengan hukuman
rajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati. Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW
secara umum yaitu :

Dari Masruq dari Abdillah ra. berakta bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tidak halal
darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal : orang yang berzina, orang
yang membunuh dan orang yang murtad dan keluar dari jamaah.

Selain itu, sesungguhnya hukuman rajam ini pun pernah diperintahkan di dalam Al-
Quran, namun lafadznya dihapus tapi perintahnya tetap berlaku. Adalah khalifah Umar
bin Al-Khattab yang menyatakan bahwa dahulu ada ayat Al-Quran yang pernah
diturunkandan isinya adalah :

‫الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة‬

Orang yang sudah menikah laki-laki dan perempuan bila mereka berzina, maka
rajamlah…
Namun lafadznya kemudian dinasakh , tetapi hukumnya tetap berlaku hingga hari kamat.
Sehingga bisa kita katakan bahwa syariat rajam itu dilandasi bukan hanya dengan dalil
sunnah, melainkan dengan dalil Al-Quran juga.

Zina Adalah Kejahatan Berat dan Sangat Berbahaya

Berbeda dengan pandangan para penganut hedonisme dan pelaku pola hidup permisif
sekarang ini, di mana mereka beranggapan bahwa zina merupakan kebutuhan biologis
biasa, sehingga boleh-boleh saja dilakukan asal tidak ketahuan, Allah Tuhan Yang
Menciptakan manusia justru menegaskan bahwa zina adalah kejahatan tingkat tinggi dan
sangat berat ancamannya. Sehingga hukumannya pun harus dibunuh, yaitu bagi mereka
yang pernah menikah sebelumnya, atau dicambuk 100 kali bagi mereka yang belum
pernah menikah sebelumnya.

Dan hak untuk mengatakan suatu tindakan itu adalah kejahatan adalah hak preogratif
Sang Maha Pencipta. Bukan hak para seniman, atau ahli hukum, atau pun manusia
lainnya. Hak itu adalah hak Tuhan sepenuhnya. Persis sebagaimana ketika Tuhan
melarang Adam dan istrinya mendekati pohon. Pelangaran atas larangan itu berakibat
fatal sehingga Adam as. dikeluarkan ke bumi.

Maka meski 6 milyar manusia mengatakan bahwa zina itu bukan pelanggaran berat,
tetapi Tuhan Sang Maha Pencipta justru mengatakan sebaliknya. Bahwa zina adalah
sebuah kekejian yang nyata, terkutuk dan terlaknat. Pelakunya berhak untuk dihukum
seberat-beratnya, yaitu dengan cara dirajam. Berartidiakhiri ajalnya dan harus segera
bertemu kembali kepada Pencipta-Nya, untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya.

Semua itu adalah isi kitab suci buat semua umat manusia, baik Zabur, Taurat, Injil
maupun Al-Quran. Semua kitab suci yang turun dari langit sepakat bulat mengatakan
bahwa zina adalah kejahatan tingkat tinggi dan pelakunya wajib dihukum mati .

Rajam dalam Syariat Islam

Rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempar dengan batu. Karena beratnya
hukuman ini, maka dalam syariat yang Allah turunkan untuk umat Muhammad SAW,
sebelum dilakukan dibutuhkan syarat dan proses yang cukup pelik. Syarat itu adalah
terpenuhinya kriteria ihshah yang terdiri dari rincian sebagai berikut :

 Islam

 Baligh

 Akil

 Merdeka

 Iffah
 Tazwij

Maksudnya adalah orang yang pernah bersetubuh dengan wanita yang halal dari nikah
yang sahih. Meski ketika bersetubuh itu tidak sampai mengeluarkan mani. Ini adalah
yang maksud dengan ihshan oleh Asy-Syafi`iyah. Bila salah satu syarat di atas tidak
terpenuhi, maka pelaku zina itu bukan muhshan sehingga hukumannya bukan rajam.

Penetapan Vonis Zina

Dalam syariat Islam, pelaksanaan rajam bisa dilakukan namun harus ada ketetapan
hukum yang sah dan pasti dari sebuah mahkamah syariah atau pengadilan syariat. Dan
semua itu harus melalui proses hukum yang sesuai pula dengan ketentuan dari langit
yaitu syariat Islam. Allah telah menetapkan bahwa hukuman zina hanya bisa dijatuhkan
hanya melalui salah satu dari dua cara :

a. Ikrar atau pengakuan dari pelaku

Pengakuan sering disebut dengan `sayyidul adillah`, yaitu petunjuk yang paling utama.
Karena pelaku langsung mengakui dan berikrar di muka hakim bahwa dirinya telah
berzina, maka tidak perlu adanya saksi-saksi.

Di zaman Rasulullah SAW, hampir semua kasus perzinahan diputuskan berdasarkan


pengakuan para pelaku langsung. Seperti yang dilakukan kepada Maiz dan wanita
Ghamidiyah.

Teknis pengakuan atau ikrar di depan hakim adalah dengan mengucapkannya sekali saja.
Hal itu seperti yang dikatakan oleh Imam Malik ra., Imam Asy-Syafi`i ra., Daud, At-
Thabarani dan Abu Tsaur dengan berlandaskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
kepada pelaku zina. Beliau memerintahkan kepada Unais untuk mendatangi wanita itu
dan menanyakannya,`Bila wanita itu mengakui perbuatannya, maka rajamlah`. Hadits
menjelaskan kepada kita bahwa bila seorang sudah mengaku, maka rajamlah dan tanpa
memintanya mengulang-ulang pengakuannya.

Namun Imam Abu Hanifah ra. mengatakan bahwa tidak cukup hanya dengan sekali
pengakuan, harus empat kali diucapkan di majelis yang berbeda. Sedangkan pendapat Al-
Hanabilah dan Ishaq seperti pendapat Imam Abu Hanifah ra., kecuali bahwa mereka tidak
mengharuskan diucapkan di empat tempat yang berbeda.

Bila orang yang telah berikrar bahwa dirinya berzina itu lalu mencabut kembali
pengakuannya, maka hukuman hudud bisa dibatalkan. Pendapat ini didukung oleh Al-
Hanafiyah, Asy-Syafi`iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal ra. Dasarnya adalah peristiwa
yang terjadi saat eksekusi Maiz yang saat itu dia lari karena tidak tahan atas lemparan
batu hukuman rajam. Lalu orang-orang mengejarnya beramai-ramai dan akhirnya mati.
Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau menyesali perbuatan orang-
orang itu dan berkata,
`Mengapa tidak kalian biarkan saja dia lari?`
.

Sedangkan bila seseorang tidak mau mengakui perbuatan zinanya, maka tidak bisa
dihukum. Meskipun pasangan zinanya telah mengaku.

Dasarnya adalah sebuah hadits berikut :

Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata bahwa dia telah berzina dengan
seorang wanita. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk memanggilnya dan
menanyakannya, tapi wanita itu tidak mengakuinya. Maka Rasulullah SAW menghukum
laki-laki yang mengaku dan melepaskan wanita yang tidak mengaku.

b. Adanya Saksi yang Bersumpah di Depan Mahkamah

Ketetapan bahwa seseorang telah berzina juga bisa dilakukan berdasarkan adanya saksi-
saksi. Namun persaksian atas tuduhan zina itu sangat berat, karena tuduhan zina sendiri
akan merusak kehormatan dan martabat seseorang, bahkan kehormatan keluarga dan juga
anak keturunannya. Sehingga tidak sembarang tuduhan bisa membawa kepada ketetapan
zina. Dan sebaliknya, tuduhan zina bila tidak lengkap akan menggiring penuduhnya ke
hukuman yang berat.

Syarat yang harus ada dalam persaksian tuduhan zina adalah :

1. Jumlah saksi minimal empat orang. Allah berfirman,`Dan terhadap wanita yang
mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu yang
menyaksikan`..
2. Bila jumlah yang bersaksi itu kurang dari empat, maka mereka yang bersaksi
itulah yang harus dihukum hudud. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Umar
bin Al-Khattab terhadap tiga orang yang bersaksi atas tuduhan zina Al-Mughirah.
Mereka adalah Abu Bakarah, Nafi` dan Syibl bin Ma`bad.
3. Para saksi ini sudah baligh semua. Bila salah satunya belum baligh, maka
persaksian itu tidak syah.
4. Para saksi ini adalah orang-orang yang waras akalnya.
5. Para saksi ini adalah orang-orang yang beragama Islam.
6. Para saksi ini melihat langsung dengan mata mereka peristiwa masuknya
kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang berzina.
7. Para saksi ini bersaksi dengan bahasa yang jelas dan vulgar, bukan dengan bahasa
kiasan.
8. Para saksi melihat peristiwa zina itu bersama-sama dalam satu majelis dna dalam
satu waktu. Dan bila melihatnya bergantian, maka tidak syah persksian mereka.
9. Para saksi ini semuanya laki-laki. Bila ada salah satunya wanita, maka persaksian
mereka tidak syah.
Di luar kedua hal diatas, maka tidak bisa dijadikan dasar hukuman rajam, tetapi bisa
dilakukan hukuman ta`zir karena tidak menuntut proses yang telah ditetapkan dalam
syariat secara baku.

Dan syarat yang paling penting adalah bahwa perbuatan zina itu dilakukan di dalam
wilayah hukum yang secara formal menerapkan hukum Islam. Syarat lainnya adalah
bahwa hukuman zina itu hanya boleh dilakukan oleh pemerintah yang berdaulat secara
resmi. Bukan dilakuakn oleh orang per orang atau lembaga swasta. Ormas, yayasan,
pesantren, pengajian, jamaah majelis taklim, perkumpulan atau pun majelis ulama tidak
berhak melakukannya, kecuali ada mandat resmi dari pemerintahan yang berkuasa.

Sehingga semua kasus zina di Indonesia ini, tidak ada satu pun yang bisa diterapkan
hukum rajam, sebab secara formal pemerintah negara ini tidak memberlakukan hukum
Islam. Tentu saja perbuatan itu tetap harus dipertanggung-jawabkan di mahkamah
tertinggi di alam akhirat nanti. Baik bagi si pelaku zina maupun di penguasa yang tidak
menjalankan hukum Allah.

PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA & DI BERBAGAI


NEGARA SEBAGAI NEGARA HUKUM January 19, 2010

Filed under: artikel,pelaksanaan hukuman mati di berbagai negara — zackyubaid @ 4:43


am
Tags: PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA & DI BERBAGAI
NEGARA SEBAGAI NEGARA HUKUM

Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia.
Dari data tersebut 94% praktek hukuman mati hanya dilakukan di empat negara: Iran,
Tiongkok, Saudi Arabia, dan Amerika Serikat.
Beberapa saat yang lalu pun, beberapa tersangka yang telah terbukti sebagai pelaku
pemboman di Bali dieksekusi mati sebagai hukuman atas tindakannya. Ini merupakan
satu peristiwa yang menjadi salah satu contoh kasus hukuman mati yang menjadi
perbincangan oleh kalangan yang mendukung adanya hukuman mati dan yang menolak
adanya hukuman mati. Orang-orang tersebut, masing-masing memiliki alasan yang
diyakininya kuat.
Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati,
termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan
praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk
seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori
kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak
menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan)
terhadap hukuman mati.
Pro dan kontra tetag hukuman mati ini terus berlanjut hingga sekarang. tidak hanya
terjadi di dunia sekuler, di dalam kekristenan pun hal ini sering menjadi pertanyaan,
khususnya bagi orang-orang awam. Apakah pemerintah memiliki otoritas untuk
melakukannya sedangkan Tuhan yang berhak mencabut nyawa seseorang? Ini adalah
salah satu pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan yang ditujukan pada tindak
hukuman mati. Khususnya penulis teringat akan pertanyaan seorang remaja yang
mengatakan apakah tidak berdosa melakukan hukuman mati bagi mereka yang tersangka
melakukan kejahatan?
Melalui paper ini, penulis berusaha untuk memaparkan tentang hukuman mati di
Indonesia sebagaimana Indonesia adalah negara hukum, dan khususya menyoroti
hukuman mati dalam perspektif kekristenan sendiri. Yang mana juga menjadi pro dan
kontra dalam sebagian kelompok. Apa yang dikatakan Alkitab tentang hukuman mati,
inilah yang juga akan diutarakan penulis dalam paper ini.
HUKUM DAN NEGARA
DEFINISI HUKUMAN MATI
Hukum adalah undang-undang, namun secara tradisional hukum lebih–lebih dipandang
sebagai bersifat idiil atau etis. Karena itu, pada dasarnya pengertian hukum tidak selalu
sama dan terus berubah bersama berjalanya waktu dari zaman ke zaman.
Selama abad pertengahan tolak ukur segala pikiran orang adalah kepercayaan bahwa
aturan semesta alam telah ditetapkan oleh Allah Sang Pencipta. Hukum yang dibentuk
mendapat akarnya dalam agama, atau secara langsung atau secara tidak langsung.
Pengertian hukum yang berbeda ini ada konsekuensinya dalam pandangan terhadap
hukum alam. Para tokoh kristiani cenderung untuk mempertahankan hukum alam sebagai
norma hukum.
Sejak abad pertengahan dalam transisi filsafat hukum lima jenis hukum tersebut:
• Hukum abadi (lex aeterna): rencana Allah tentang aturan semesta alam.
• Hukum ilahi positif (lex divina positiva): hukum Allah yang terkandung dalam wahyu
agama, terutama mengenai prinsip-prinsip keadilan.
• Hukum alam (lex naturalis): hukum Allah sebagaimana nampak dalam aturan semesta
alam melalui akal budi manusia.
• Hukum bangsa-bangsa (ius gentium): hukum yang diterima oleh semua atau
kebanyakan bangsa.
• Hukum positif (lex humana positiva): hukum sebagaimana ditentukan oleh yang
berkuasa; tata hukum negara.
Bilamana pengertian hukum tradisional lebih-lebih bersifat idiil, pengertian hukum pada
zaman modern (dari abad ke-15 sampai abad ke-20) lebih-lebih bersifat empiris. Di mana
telaan tidak lagi diletakkan pada hukum sebagai suatu tatanan ideal (hukum alam),
melainkan pada hukum yang dibentuk manusia sendiri, baik itu raja maupun rakyat yaitu
hukum positif, tata hukum negara dan dalam membentuk tata hukum makin bayak
dipikirkan tentang fakta-fakta empiris, yakni kebudayaan bangsa dan situasi sosio-
ekonomis masyarakat yang bersangkutan..
Pada penerapannya, terjadi ketidak-jelasan akan pemikiran hukum.Pada umumnya
terdapat pendapat bahwa pada penerapa hukum akan sangat ditentukan oleh manusia atau
pada saat ini dikatakan sebagai sumber daya manusia; kedua, terletak pada lembaga yang
melaksanakan sistem hukum; ketiga, menurut hemat saya, terutama bagi para sarjana
hukum, adalah pertimbangan yang dibuat oleh hakim sebagai putusan pengadilan.
Banyak hal yang membuat ketidak-jelasan bahkan ketika suatu negara dikatakan sebagai
negara hukum berarti hukum berlaku terhadap siapapun dan bukan hanya terhadap rakyat
atau penduduk, tetapi juga terhadap mereka yang memiliki kekuasaan dan pejabat tidak
boleh mengatur atau memaksa hukum yang berlaku. Penerapan kepastian hukum oleh
pengadilan berdiri mandiri dan lepas dari kehendak pemerintah untuk menciptakan
disiplin atau stabilitas nasional.
RELASI ANTARA HUKUM DAN NEGARA
Bangsa Indonesia mengambil posisi sebagai negara hukum, namun sering kali tidak ada
kepastian dengan hukum. Dalam keputusan suatu symposium mengenai negara Hukum
pada tahun 1966 terdapat suatu kesimpulan bahwa:
Sifat negara hukum itu ialah di manaalat perlengkapannya hanya dapat bertindak menurut
dan terikat kepada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat
perlengkapan yag dikuasakan utuk mengadakan aturan itu atau singkatnya disebut prinsip
“rule of law”.

Ciri-ciri khas suatu Negara Hukum adalah:


a. pengakuan dan perlindungan hak-hak azasi manusia yang mengandung persamaan
dalam bidag politik, hukum, social, ekonomi dan kebudayaan;
b. peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh semua kekuasaan
atau kekuatan apapun juga.
c. Legalitas dalam arti dalam segala bentuknya.
Sedangkan konsep negara hukum bagi Indonesia adalah berdasarkan pancasila di mana di
dalamnya terdapat hukum Tuhan, dan hukum etika. Dan juga yang mana di dalam
pancasila itu sendiri telah mencakup akan aturan hubungan manusia dengan Tuhan,
manusia dengan sesama baik dalam hak asasi manusia, maupun keadilan.
Paham negara hukum berbasis pada keyakinan banyak orang bahwa kekuasaan suatu
pemerintahan negara harus dijalankan di atas dasar hukum yang baik dan yang adil.
Berbicara tentang kekuasaan pemerintah, Dalam bukunya mengenai negara (Les Six
livers de la Republique, enam kitab prihal Republik, 1576), Jean Bodin mengemukakan
konsepya tentang kedaulatan. Di mana kedaulatan itu diartikannya sebagai kekuasaan
tertinggi dari raja dalam negara, yang merupakan suatu kekuasaan yang tinggal dan tidak
dapat dibagi-bagi serta tidak terbatas lingkungan, tujuan dan waktu. Ajaran Bodin itu
menghasilkan tesis bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara merupakan sumber eksklusif
dan asli daripada hukum positif.

HUKUMAN MATI
Dalam keberadaan Indonesia sebagai negara hukum, Indonesia berdiri berdasarkan
hukum yang ada. Dalam pelaksanaannya sebagai negara hukum, banyak pro dan kontra
ketika negara hukum ini berusaha menegakkan hukum dan menjatuhkan hukuman mati
bagi terdakwa.
Hukuman mati bukanlah sebuah hukuman yang diberikan kepada tersangka di mana
tersangka pelaku kejahatan tersebut dihukum dengan dipenjara seumur hidupnya hingga
mati. Batas hukuman mati adalah penghilangan nyawa seseorang yang telah melakukan
kesalahan yang telah terbukti bersalah dengan keputusan pengadilan akan hukuman
tersebut. Karena tidak semua kejahatan mendapat hukuman mati. Namun syarat dan
kententuan seperti apa yang menyatakan seseorang harus dihukum mati.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memberlakukan hukuman mati sebagai
salah satu hukuman dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun
amandemen kedua konstitusi UUD ’45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: “Hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya
tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Dan di Indonesia sudah puluhan orang
dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama
Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.
Beberapa contoh kasus hukuman mati yang telah dilakukan di Indonesia:
1. Sementara itu pada tanggal 20 Maret 2005 pukul 01.15 WIB dini hari di suatu tempat
rahasia di Jawa Timur, Astini (perempuan berusia 50 tahun) –terpidana hukuman mati
karena kasus pembunuhan- dieksekusi dalam posisi duduk oleh 12 anggota regu tembak
-6 di antaranya diisi peluru tajam- Brimob Polda Jatim dari jarak 5 meter Eksekusi ini
mengakhiri masa penantian Astini yang sia-sia setelah seluruh proses hukum untuk
membatalkan hukuman mati telah tertutup ketika Presiden Megawati menolak
memberikan grasi pada tanggal 9 Juli 2004 Astini merupakan orang pertama yang
dieksekusi di Indonesia pada tahun 2005.
2. Orang kedua adalah Turmudi bin Kasturi (pria, 32 tahun) di Jambi pada tanggal 13
Mei 2005 Turmudi dihukum mati karena melakukan pembunuhan terhadap 4 orang
sekaligus di Jambi pada tanggal 12 Maret 1997. Sama dengan Astini, Turmudi
mengakhiri hidupnya di hadapan 12 personel Brimob Polda Jambi.
3. Praktek eksekusi mati terjadi lagi di tahun 2006 dan kali ini efeknya jauh lebih buruk.
Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi
Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso
1998-2000. Kasus ini sangat controversial mengingat proses peradilan terhadap mereka
yang bertentangan dengan prinsip fair trial. Eksekusi mereka bisa menjadi pintu masuk
kepada 16 tersangka lain yang mungkin ‘lebih dalang’ dari mereka, reaksi publik yang
begitu intens (baik itu yang pro maupun kontra), hingga hasil pasca eksekusi yang juga
penuh dengan aksi kekerasan.
4. Di tahun 2007 ini juga masih terjadi eksekusi mati terhadap terpidana Ayub Bulubili di
Kalimantan Tengah.
Di atas hanyalah sebagian dari sekian banyak kasus hukuman mati yang masih terdaftar
bahkan sudah dilaksanakan. Jadi, hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang
dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Yang menjadi alasan atas dilakukannya hukuman mati adalah pencegahan pembunuhan
banyak orang di mana hukuman mati ini memberi efek jera bagi orang-orang lain yang
mengetahuinya dan khususnya hal ini tidak lagi terulang oleh orang yang sama. Efek jera
bukanlah cara yang paling bagus tetapi hukuman paling buruk yang mengarah kepada
balas dendam di mana terdapat motif preventif, yakni agar tidak terulang lagi karena
takut akan hukuman. Namun cara ini pun tidak terlalu efektif dalam masyarakat yang
miskin. Bahkan studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang
meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis
hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan
antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek
hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera
pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas yang terjadi tidak dapat dihentikan hanya
sekedar dengan memfokuskan pada efek jera namun perlu dipertimbagkan hubungan erat
kriminalitas dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat serta
berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Selain itu dalam vonis hukuman mati, dapat terjadi kemungkinan kemungkinan kesalahan
dalam menjatuhkan keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Di mana orang yang
telah dieksekusi bukanlah yang bersalah atau menjadi kambing hitam dari pelaku
sesungguhnya. Kesalahan inilah yag harus dihindari dan menjadi kelemahan dalam vonis
hukuman mati. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap
terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah
aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya
manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan
dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata
lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak ada unsur politik
yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud. Namun pada
kenyataanya banyak hal yang dari luar yang mempengaruhi keputusan-keputusan
pengadilan di mana bukan karena tidak adanya kejujuran melainkan karena campur
tangan dari orang-orang berpengaruh di dalamnya.
Dalam sejarah terdapat beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
* pancung kepala: Saudi Arabia dan Iran,

* sengatan listrik: Amerika Serikat

* digantung: Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura

* suntik mati: Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS

* ditembak dibalik tirai: Thailand, Vietnam

* tembak: Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain

* rajam: Arab, Afganistan, Iran (khusus pelaku zina yang sudah bersuami/beristri)

PANDANGAN-PANDANGAN TENTANG KASUS HUKUMAN MATI


Kelompok yang mendukung diadakannya hukuman mati beranggapan bahwa bukan
hanya pembunuh saja yang memiliki hak untuk hidup dan tidak disiksa, maupun
dianiaya. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga
hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Iskandar Susanto dalam artikelnya yang berjudul “Hukuman Mati: Suatu Tinjuaunan dari
Perpektif Alkitab” mengatakan bahwa hukuman mati adalah retribusi yang mana sering
dikacaukan dengan ide “pembalasan seseorang”. Pembalasan adalah keiginan yang kuat
dari seseorag untuk melukai dan menyengsarahkan orang lain sebagai pukulan balik pada
orang yang melukai dia. Yang mana biasanya dilandasi dengan kekejaman dan
kemarahan.
Bagi umat islam, mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut
pandangan syariat. Di mana hukuman mati tidak haya dijatuhkan kepada terdakwa yang
melakukan kasus pembunuhan namun kepada homoseksual, pezina muhshan, hukum
syara, serta orang yang murtad.
Ada dua fungsi hukuman dalam Islam. Yaitu jawazir: mencegah kejahatan yang lebih
besar. Penerapan hukuman akan membawa, bahkan orang-orang yang lemah iman dan
ketaqwaannya pun takut untuk melakukan kejahatan. Dengan demikian, ketentraman
masyarakat akan terjaga. Kedua jawabir, penebus bagi pelaku. Artinya, dosa-dosa pelaku
akan terampuni dan ia tidak akan dituntut lagi di akhirat.
Yang menjadi pangkal persoalan bagi kaum muslimin saat ini bukan dari sisi kepentingan
hukuman mati namun bahwa mereka wajib menegakkan hukum-hukum Allah SWT
dalam naungan khilafah Islamiyah, agar seluruh kewajiban umat Islam dapat
terealisasikan.hukuman Mati.
Kontra, di berbagai kesempatan selalu menyatakan penolakkan atas hukuman mati
sebagai ekspresi hukuman paling kejam dan tidak manusiawi. Bagi mereka, hukuman
mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak
untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non-derogable rights) ini merupakan jenis
hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu
dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana.

PERSPEKTIF KEKRISTENAN TENTANG HUKUMAN MATI


Berbeda dengan umat islam, banyak orang Kristen yang melihat kasus hukuman mati dari
perpektif humanistik di mana mereka hanya melihat dari sisi kemanusiaannya saja.
Namun ini bukan berarti kekristenan memandang hukuman mati secara humanistik.
Mengingat Alkitab memiliki otoritas dalam kehidupan kekristenan, Alkitab pun patut
berbicara tentang hukuman mati. Di dalam perjanjian lama dan perjanjian baru mencatat
beberapa kasus hukuman mati.

Dalam Perajanjian Lama


Hukum Perjanjian Lama memerintahkan hukuman mati untuk berbagai perbuatan:
pembunuhan (Keluaran 21:12), penculikan (Keluaran 21:16), hubungan seks dengan
binatang (Keluaran 22:19), perzinahan (Imamat 20:10), homoseksualitas (Imamat 20:13),
menjadi nabi palsu (Ulangan 13:5, pelacuran dan pemerkosaan (Ulangan 22:4) dan
berbagai kejahatan lainnya.
Eka Darmaputra mengungkapkan paling sedikit ada sembilan kategori ”kejahatan besar”
yang pelakunya dipandang patut dihukum mati dalam Perjanjian Lama, yaitu:

(a) membunuh dengan sengaja;


(b) mengorbankan anak-anak untuk ritual keagamaan;
(c) bertindak sembrono sehingga mengakibatkan kematian orang lain;
(d) melindungi hewan yang pernah menimbulkan korban jiwa manusia;
(e) menjadi saksi palsu dalam perkara penting;
(f) menculik;
(g) mencaci atau melukai orang tua sendiri;
(h) melakukan perbuatan amoral di bidang seksual; serta
(i) melanggar akidah atau aturan agama.

Pada akhirnya semua dosa yang kita perbuat sepantasnyalah diganjar dengan hukuman
mati (Roma 6:23). Meskipun hal-hal diatas merupakan perbuatan yang harus mendapat
sangsi hukuman mati, Allah seringkali menyatakan kemurahan ketika harus menjatuhkan
hukuman mati. Contohnya ketika Daud melakukan perzinahan dan pembunuhan, namun
Allah tidak menuntut untuk nyawanya diambil (2 Samuel 11:1-5; 14-17; 2 Samuel
12:13).
Beberapa peristiwa yang menunjukan hukuman mati dalam perjanjian lama:
(a) Kejadian 9:6, yakni tenang Perjanjian Nuh.
Ini merupakan pernyataan yang paling sederhana mengenai mandat untuk melaksankan
hukuman mati untuk tidak kejahatan pembunuhan manusia. Di mana setiap orang harus
mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya. Dalam peristiwa ini, Allah
menghukum manusia dengan memunahkannya dengan air bah.
(b) Hukum Musa (Keluaran 21:12)
Hukuman mati adalah bagian dari hukuman musa. Keluaran 21:12 mengatakan “Siapa
yang memukul seseorag hingga mati, pastilah ia dihukum mati.” Namun hukuman mati
dalam hukum Musa ini tidak dibatasi akibat dari kejahatan pembunuhan tetapi juga hal-
hal yang telah Eka Darmaputra jelaskan dalam bagian paper ini sebelumnya.
(c) Dosa dan Hukuman Akhan (Yosua 7)
Hukuman mati yang dialami oleh Akhan atas dosanya. Hukuman mati yang dijatuhkan
langsung dari Allah ini tidak langsung Allah berikan karena sebelumnya Allah telah
memberi kesempatan untuk mengakui kesalahanya, namun Akhan tidak
mengindahkannya dan disaat itu juga Allah menggambil nyawanya. Ini merupakan salah
satu peristiwa hukuman mati yang secara langsung Allah berikan kepada umat-Nya yang
melakukan dosa.

Dalam Perjanjian Baru


Ketika orang-orang Farisi membawa kepada Yesus seorang wanita yang tertangkap basah
sementara berzinah dan bertanya kepadaNya apakah wanita itu perlu dirajam, Yesus
menjawab “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama
melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yohanes 8:7). Hal ini tidak dapat diartikan
bahwa Yesus menolak hukuman mati dalam segala hal. Karena dalam bagian ini Yesus
hanya bermaksud untuk mengungkapkan kemunafikan orang-orang Farisi. Di mana
Orang-orang Farisi ingin menjebak Yesus untuk melanggar Hukum Perjanjian Lama.
Hukuman mati telah ditetapkan oleh Allah seperti yang tercantum pada kejadia 9:6:
“Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab
Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”. Dan Yesus akan mendukung
hukuman mati dalam kasus-kasus lain. Di mana Yesus juga menunjukkan anugerah
ketika hukuman mati seharusnya dijatuhkan (Yohanes 8:1-11).
Salah satu contoh peristiwa hukuman mati yang Allah berikan secara langsung adalah
peristiwa Annanias dan Safira istrinya. Mereka yang bersepakat untuk menjual tanah
mereka dan hasilnya dipersembahkan kepada Tuhan, namun mereka hanya memberikan
sebagian. Dosa yang mereka lakukan bukan pemberian yang sebagian dari keseluruhan
hasil yang didapatnya melainkan ketidak-jujurannya di mana ia mengatakan seluruh dari
hasil penjualan tanahnya dan bukan sebagian, padahal sesungguhnya yang diberikannya
hanyalah sebagian. Dalam kasus ini Allah memberi hukuman mati secara langsung
kepada mereka dihadapan jemaat mula-mula (Kis 5).
Jadi, pada dasarnya Allah mengijinkan adanya hukuman mati dan bahkan Allah sendiri
yang menetapkan hukuman mati. Namun pada saat yang sama Allah tidak selalu
menuntut hukuman mati itu diadakan.
Pandangan orang Kristen yang seharusnya terhadap hukuman mati:
1. Allah telah menetapkan hukuman mati dalam firmanNya. Allah memiliki standar yang
paling tinggi dari semua makhluk karena Dia adalah sempurna adanya. Manusia tidak
dapat menentukan standar penilaian akan perbuatan seseorang dan hanya Allah yang
dapat memberlakukannya. Karena itu Dia mengasihi secara tak terbatas, dan Dia
memiliki belas kasihan yang tak terbatas. Namun Allah juga memiliki murka yang tanpa
batas, dan semua ini terjaga dengan seimbang.

2. Allah telah memberi pemerintah otortias untuk menentukan kapan hukuman mati
pantas dijatuhkan (Kejadian 9:6, Roma 13:1-7). Tidak dapat dikatakan bahwa Allah
menentang hukuman mati dalam segala hal. Karena Allah telah memberikan hak kepada
pemerintah. Jika hukuman mati itu seseorang terima, itu adalah kehendak Allah. Allah
tidak pernah membiarkan segala sesuatu lepas dari kontrol Allah.

KESIMPULAN
Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan pancasila namun dalam
pelaksanaannya seringkali bukan hukum yang ditegakkan melainkan lebih kepada
otoritas dari orang yang berpengaruh dalam negara.
Indonesia memiliki hak untuk mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman
dalam KUHP, namun taggungjawab sebagai negara hukumlah yang penting untuk
diperhatikan.
Dalam kekristenan hukuman mati telah ada dan ditetapkan oleh Allah sendiri (Kejadian
9:6). Sehingga tidak ada alasan untuk meolak diadakannya hukuman mati. Dalam
sepanjang jalannya hukuman baik itu untuk orang yang bersalah maupun sesungguhnya
tidak melakukan kesalahan namun menerima hukuman tersebut, segala sesuatunya tidak
lepas dari ijin Allah.
Allah telah memberi wewenang bagi pemerintah untuk melakukan kewajibannya dan
menegakkan keadilan dalam negara, namun kehendak Allah akan terus berjalan. Rasul
Paulus jelas mengakui kuasa dari pemerintah untuk menjatuhkan hukuman mati ketika
dibutuhkan (Roma 13:1-5).
Allah tidak pernah lepas kontrol dalam segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Jika
bagi orang sekuler, hukuman mati adalah efek jera, namun dalam kekristenan itu
merupakan perintah Allah dalam usaha-Nya menunjukkan keadilan-Nya namun juga
menunjukkan kasih-Nya.

Kedatangan Kristus dan pengorbanan-Nya menggenapi hukum Taurat namun bukan


berarti meniadakan hukum Taurat maupun hukuman mati yang telah ditetapkan-Nya.
Verkuyl mengatakan: “sebagimana hukuman mati adalah tanda keadilan Allah yang
menghukum, demikian pula kemungkinan grasi dan amnesty adalah tanda kasih karunia
atau rahmat Tuhan.”

DAFTAR PUSTAKA
Galus, Ben S. Mencari Hubungan Antara Kekuasaan Negara dan Hukum. Ilmu dan
Budaya, No. 2, Th. 14, 1992.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. .Yogjakarta: Kanisius.
Kameo, Jefferson. Ideologi di Balik Negara Hukum. Jurnal: Bina Darma “Negara
Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.
Kompas, 15 Mei 2005. Turmudi Dieksekusi di Depan Regu Tembak.
KontraS, Jakarta, 2006. Laporan HAM 2005 KontraS; Penegakkan Hukum dan HAM
Masih Gelap,
Kusnadi, dkk. Pengantar Hukum Tata Negara. Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI,
Jakarta, 1976.
Limahelu, Frans. Penerapan Kepastian Hukum di Indonesia Menghadapi Dunia
Interasional. Jurnal: Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.
Media Indonesia, 21 Maret 2005. Dalam Posisi Duduk, Astini Dieksekusi 12 Penembak.
Republika, 21 Maret 2005. Astini Dieksekusi 12 Penembak Brimob Polda Jatim
Siburian, Togardo. Classnote Etika Sosial dan Politik. Bandung: STTB, 2009.
Soeropati, Djoko Oentoeng. Negara Hukum Indonesia dalam Teori dan Praktek. Jurnal:
Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.
Suara Pembaruan, 3 April 2005. Tolak Hukuman Mati.
Sutanto, Iskandar. Hukuman Mati: Suatu Tinjauan Dari Perspektif ALkitab. Jurnal: JT
Aletheia, Vol. 1, No. 1, September 1995.
Verkuyl, J. Etika Kristen, Ras, Bangsa, Gereja da Negara. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1992.

Home Opini Mendesak, Hukuman Mati bagi Koruptor

Mendesak, Hukuman Mati bagi Koruptor


Written by benz Monday, 19 April 2010 06:46

Wacana pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor oleh sejumlah kalangan belakangan
ini mengundang pro dan kontra dengan argumen masing-masing. Para pegiat HAM (hak
asasi manusia) menilai pemberlakuan hukuman mati melanggar HAM. Alasannya,
jaminan atas hak hidup merupakan hak fundamental yang tidak bisa dikurangi dalam
kondisi apa pun dan tidak bisa ditunda pemenuhannya.
Sebaliknya, pihak pendukung pemberlakuan hukuman mati menyatakan hal itu lebih
dikarenakan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan tindak pidana korupsi lebih
dahsyat ketimbang perbuatan yang dilakukan teroris.

Lebih dahsyat lagi dampaknya, ketika rakyat yang terbelit kondisi perekonomian akan
lebih dimiskinkan oleh tindakan para pejabat yang mengeruk keuangan negara. Sebab,
negara tidak lagi dapat menjamin kesejahteraan rakyatnya karena uang negara yang
seharusnya dialokasikan bagi kepentingan rakyat, habis digerogoti para koruptor.

Yang lebih mengerikan, ketika para koruptor berurusan dengan aparat penegak hukum
akibat perbuatannya, justru dijadikan ajang tawar-menawar oleh oknum aparat penegak
hukum. Problem ini mengemuka menyusul terbongkarnya praktik mafia hukum dan
makelar kasus (markus) yang kini tengah ditangani kepolisian, kejaksaan, dan Komisi
Pemberantaan Korupsi (KPK).

Terkait pro-kontra hukuman mati, wartawan Suara Karya Sugandi dan fotografer Hedi
Suryono mewawancarai Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM) Ismed Hasan
Putro di Jakarta. Berikut petikan wawancaranya.

Menurut Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM) Ismed Hasan Putro di Jakarta
bahwa soal wacana pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi
bahwa substansi pemberlakuan hukuman mati terhadap para koruptor akan menjadi
kontekstual apabila pemerintah memberlakukan darurat korupsi. Sebab, pemberlakuan
hukuman mati merupakan salah satu upaya untuk memberikan efek jera terhadap pelaku
perbuatan tindak pidana korupsi. Apalagi, Indonesia sudah terkontaminasi oleh praktik
korupsi yang sangat menggurita, sistemik, dan masif.

Coba Anda perhatikan dalam kasus Gayus Tambunan! Semua level terlibat, bahkan
bukan hanya orang pajak, kepolisian, kejaksaan, melainkan hakim pun terlibat. Kalau
pemerintah betul-betul serius, harus ada hukuman yang maksimal, yaitu hukuman mati
seperti halnya di Cina.

Anda bisa bayangkan, yang namanya Arthalyta atau Ayin, seorang pengusaha yang
tertangkap tangan menyuap jaksa, dihukum ringan, kemudian diberi remisi, dan terakhir
hukumannya didiskon oleh Mahkamah Agung. Itu kan lucu sekali.

Jadi, yang saya lihat, bukannya pelaku korupsi itu dibuat jera, tapi justru diberi
kenikmatan fasilitas mewah. Ini jelas sangat melukai rasa keadilan bagi masyarakat.

Ia juga menilai bahwa penegakan hukum kasus-kasus korupsi besar cenderung tidak
memenuhi rasa keadilan masyarakat. Buktinya Kejaksaan Agung sampai hari ini banyak
mengobral SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Sebaliknya, ketika lembaga itu
membentuk Tim Pemburu Koruptor, sampai saat ini tidak ada hasil apa pun. Artinya,
banyak hal yang kontraproduktif yang dilakukan pemerintah, khususnya kejaksaan dan
kepolisian dengan hasil tidak maksimal untuk kepentingan mayarakat. Kejahatan korupsi
tidak membuat orang menjadi takut, bahkan justru dijadikan ajang transaksi.

Sehingga menurutnya tindak pidana korupsi di Indonesia sudah diibaratkan sebagai


dagangan. Misalnya, mereka melakukan korupsi Rp10 miliar, sebagian di antaranya
untuk membayar jaksa, polisi, dan hakim. Sisanya sebagai keuntungan dan dia tabung
untuk dinikmati keluarganya. Selesai. Kecenderungan seperti itu yang terjadi sekarang
ini. Dan, para koruptor tidak merasa kehilangan sesuatu.

Seharusnya, dengan uang yang dikorupsi Rp10 miliar itu, negara menyita semua aset
yang mereka miliki, dengan tujuan untuk me-recovery aset. Kalau itu diberlakukan,
mereka akan mengalami ketakutan. Mereka tidak akan merasa jera kalau kejahatan
korupsi tidak diungkap berdasarkan pembuktian terbalik.

Adanya argumen lain bahwa pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor justru akan
menimbulkan kian maraknya praktik transaksional. Namun menurut Ismed Hasan Putro:
"Justru saya akan bertanya, apakah pantas kalau seseorang melakukan korupsi bernilai
ratusan miliar tidak dihukum mati? Padahal, akibat yang ditimbulkan berdampak
merugikan keuangan negara, akan berdampak pula pada kehidupan berbangsa dan
bernegara. Apakah Anda setuju orang semacam itu kemudian hanya dihukum lima tahun,
misalnya? Saya sebagai warga negara, jelas tidak setuju. Saya juga merasa tidak adil
kalau seorang teroris dianggap sebagai kejahatan yang sangat biadab, sementara koruptor
masih bisa menikmati hasil korupsinya.

Jadi, pandangan seperti itu tidak adil. Padahal, kalau melihat dampaknya, koruptor lebih
jahat dari teroris. Teroris hanya mematikan sekian orang, tapi kalau koruptor, bisa
membuat sekian banyak masyarakat menjadi menderita.

Misalnya, kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang merugikan negara
hingga Rp1.200 triliun termasuk bunganya. Dampaknya terhadap masyarakat sangat luar
biasa. Coba jika uang itu dikembalikan ke negara! Kemudian digunakan untuk
kepentingan rakyat, seperti membangun sarana pendidikan dan kegiatan lainnya.
Indonesia tidak akan mencari pinjaman dari luar negeri. Bahkan, Indonesia akan terbebas
dari utang yang selama ini menjerat dan membebani rakyat.

Ia tidak sependapat jika pemberlakuan hukuman mati melanggar HAM.


Kalau negara mau memberlakukan situasi darurat terhadap praktik korupsi, maka langkah
darurat itu saya yakin bisa dimaklumi. Sebab, korupsi sangat mengganggu HAM dari
sekian banyak rakyat di Indonesia. Jadi, HAM mana yang dipilih? Apakah HAM hanya
satu orang? Padahal, di lain pihak ada hak banyak orang yang terlanggar.

Jadi, perdebatan soal pemberlakuan hukuman mati ini punya argumentasi yang mendasar.
Sebab, banyak rakyat yang tidak bisa menikmati fasilitas negara, tidak sekolah, dan tidak
sedikit pula orang menjadi miskin akibat tindakan korupsi. Itu terjadi karena pemerintah
tidak lagi mampu menyejahterakan rakyat.

Ismed berpendapat mekanisme pemberlakuan hukuman mati itujelas dengan


UU Korupsi Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi harus direvisi,
khususnya menyangkut tiga pasal. Pertama, harus dilengkapi dengan pembuktian
terbalik. Kedua, harus dilengkapi dengan penyitaan aset dan pemiskinan, dalam hal ini
sebagai recovery kerugian negara. Ketiga, penerapan hukuman pada tingkat
implementasi.

Sementara a pemberlakuan hukuman mati harus dapat menimbulkan efek jera? Sebab,
studi PBB membuktikan tidak menjamin berhentinya angka korupsi dan tindak pidana
lainnya.

Pertama, di negara Cina pada 1980-an praktik korupsinya sangat ganas sama dengan
Indonesia. Tetapi, sekarang jauh lebih menurun. Memang tidak hilang, tapi bisa
diminimalkan. Kedua, para investor merasa nyaman karena ada kepastian tidak adanya
risiko yang terlalu tinggi dengan pengeluaran yang bisa dikalkulasi. Sebaliknya di
Indonesia, dengan penerapan hukuman yang hanya lima tahun, misalnya, bukannya
berkurang, tapi justru lebih mengganas. Bahkan, kekuasaan itu dijadikan alat untuk
memperkaya diri.
Ia juga mengatakan bahwa jika Komnas HAM dan LSM HAM mencatat, sebagian besar
negara yang memberlakukan hukuman mati kini mencabutnya, sementara Indonesia
justru mewacanakan hal tersebut menurut Isemd debat soal hal tersebut, pemberlakuan
hukuman mati harus dilihat dari konteksnya. Kalau kita memandang hanya diberlakukan
kepada teroris yang hanya mematikan sedikit orang, itu tidak adil. Padahal, dalam kasus
korupsi, terutama yang jumlahnya besar, jelas akan berdampak lebih dahsyat terhadap
rakyat. Tindakan korupsi itu dampaknya melebihi dari tindakan yang dilakukan teroris.
Jadi, mana yang mau dipilih? Saya lebih mementingkan perlindungan HAM bagi
kebanyakan warga negara secara kolegial sebagai korban tindak pidana korupsi.

Untuk tegasnya menurut Ismed pemberlakukan hukuman mati bagi para koruptor sudah
demikian mendesak. Dalam perkembangannya, banyak pihak menyatakan bahwa korupsi
sudah terjadi di semua sektor. Bahkan yang melakukannya tidak hanya di level
pengambil kebijakan, tapi sudah menjalar ke tingkat bawah. Mafia hukum dan praktik
markus yang bermunculan belakangan ini makin menguatkan wacana pemberlakuan
hukuman mati. Itu terjadi karena tidak jalannya sistem pengawasan, seperti Komisi
Kejaksaan, Komisi Kepolisian, maupun Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

Kalau dulu, yang menjadi musuh bersama adalah korupsi, kini justru berbalik, yang
menjadi musuh bersama adalah pemberantas korupsinya. Mengapa demikian? Sebab,
upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga penegak hukum tidak memenuhi
rasa keadilan masyarakat. Penegakan hukum terkait kasus korupsi lebih banyak dijadikan
alat untuk melakukan transaksi, tawar-menawar antara pelaku korupsi dan penegak
hukum, baik kejaksaan, kepolisian, maupun hakim. Problem seperti ini yang harus
diperbaiki ke depan.
Hukuman Mati Terpidana Narkoba

Oleh : Heru Susetyo

Akhirnya saat tersebut tiba juga. Setelah dua tahun terakhir dunia hukum Indonesia
disibukkan dengan pertanyaan apakah hukuman mati masih dapat terjadi di Indonesia di
tengah gencarnya penegakkan HAM, Ayodya Prasad Chaubey (66) terpidana mati kasus
narkoba, dieksekusi oleh aparat Brimob pada dinihari Kamis, 5 Agustus 2004 (Republika,
6 Agustus 2004). Sebelumnya, dalam jumpa pers di Puskominfo-Lembaga Informasi
Nasional Senin (24 Mei 2004), Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional
Togar M Sianipar mengatakan bahwa pemerintah hendaknya membuktikan keseriusan
dalam memberantas narkoba dengan mengeksekusi satu terpidana mati pada 26 Juni
2004.

Kenyataannya, eksekusi tersebut baru terjadi lima pekan kemudian, dengan Ayodya
Prasad selaku 'pemecah telur'-nya. Ayodya ditangkap pada 21 Februari 1994 atas tuduhan
menyelundupkan 12,29 kilogram heroin di Medan. Ia tertangkap bersama-sama dua
warga negara Thailand, masing-masing Sealow Preaseant (62) dan Namsong Sirilak (32).
Kini keduanya juga sedang menanti saat-saat eksekusi (death row) karena grasi mereka
berdua juga telah ditolak presiden. Eksekusi Ayodya nyaris luput dari perhatian publik.
Apalagi waktu pelaksanaannya mundur lima pekan dan dilakukan dengan amat sangat
rahasia di tengah kegelapan malam. Tujuh permintaan Ayodya sebelum eksekusi, nyaris
semua dipenuhi, kecuali menghadirkan keluarganya pada saat eksekusi.

Kehati-hatian aparat dalam pelaksanaan eksekusi ini sedikit bisa dipahami. Dalam kurun
waktu hampir 10 tahun terakhir, baru dua terpidana kasus narkoba yang dieksekusi
hukuman mati (termasuk Ayodya). Selebihnya masih ada 30 terpidana yang belum
dieksekusi. Bahkan ada seorang terpidana yang mengajukan dua kali permohonan
peninjauan kembali (PK), melebihi ketentuan PK yang seharusnya, yang akhirnya tidak
jadi dieksekusi. Saat ini, ada empat terpidana mati narkoba WNA yang telah ditolak
grasinya dan tiga lagi yang tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK), termasuk dua
wanita muda asal Jawa Barat, yaitu Meirika Franola dan Rani Andriani.

Di luar terpidana mati narkoba, ada puluhan lagi terpidana mati akibat kasus pembunuhan
dan kekerasan seksual yang tengah menanti eksekusi, tengah mengajukan PK, ataupun
memohon grasi kepada presiden. Kehati-hatian aparat juga boleh jadi karena iklim
penegakkan hukum Indonesia saat ini amat lekat dengan semangat menegakkan HAM.
Apalagi setelah diintrodusirnya Tap MPR No 17 tahun 1998 dan UU No 39 tahun 1999
yang sama-sama bicara tentang HAM. Di sisi lain, undang-undang tentang narkotika dan
psikotropika tahun 1997 memang memungkinkan jatuhnya pidana mati bagi para
pelanggarnya. Dalam kenyataan sosial pun, banyak pihak di Indonesia yang bersepakat
dengan hukuman mati karena amarah yang memuncak terhadap dampak keji narkoba
yang menghancurkan masa depan anak-anak bangsa. Masalahnya adalah, haruskah para
terpidana mati kasus narkoba betul-betul dieksekusi? Bagaimanakah hukum HAM
internasional mengatur masalah ini?
Perspektif hukum internasional
Kalangan yang tidak setuju dengan pidana mati beralasan bahwa hukuman tersebut
adalah di luar perikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Juga, sebagai
salah satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif
terhadap masyarakat. Lalu, apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan dalam
penjatuhan vonis, hukuman tersebut tak dapat dikoreksi karena sang terpidana telanjur
dieksekusi. Terlepas dari silang pendapat tentang absah tidaknya hukuman mati, berikut
akan dipaparkan perspektif hukum HAM internasional tentang hukuman mati.

Amnesty International (2003) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 111 negara yang
telah menghapuskan hukuman mati (death penalty). Dari jumlah tersebut, 76 negara
menghapus hukuman mati secara total, 15 negara memberlakukannya secara sangat
spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang (war time), dan 20 negara masih
mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya
dalam praktik.
Sementara itu, 84 negara sampai kini masih memberlakukan hukuman mati dalam hukum
nasionalnya. Di antaranya adalah Amerika Serikat (pada 38 negara bagiannya), Jepang,
Korea (utara dan selatan), India, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.

Uniknya, tak ada satu pun negara Eropa yang masih memberlakukan hukuman mati
kecuali Armenia, Turki (hanya untuk kejahatan di waktu perang/war time), dan Rusia
(data Amnesty dan UNHCR, 2003). Kendati demikian, pemberlakuan hukuman mati
tidak otomatis berdampak pada tingginya angka eksekusi. Amnesty (2003) mencatat
bahwa para terpidana yang akhirnya benar-benar dieksekusi mati tidak sebanyak angka
penjatuhan hukuman matinya. Pada tahun 2001, 3.048 terpidana telah dieksekusi di 31
negara. Sementara itu 5.265 dijatuhi hukuman mati di 69 negara. Sembilan puluh persen
dari eksekusi mati yang terjadi di tahun 2001 berlangsung hanya di empat negara yaitu
Cina (2.468), Iran (139), Arab Saudi (79), dan Amerika Serikat (66).

Amerika Serikat adalah fenomena menarik. Dari 84 negara yang masih memberlakukan
hukuman mati, hanya Amerika bersama Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang
tergolong negara 'maju', di samping beberapa negara petrodolar di Timur Tengah.
Karena, selebihnya adalah negara-negara 'dunia ketiga.' Sejak 1977, saat hukuman mati
dihidupkan kembali di AS, tak kurang dari 820 jiwa telah dieksekusi. Pada 2002, 71 jiwa
telah dieksekusi. Kemudian, per 1 Januari 2002, 3.700 jiwa telah dijatuhi hukuman mati
(belum dieksekusi). Hukuman mati masih berlaku di 38 negara bagian di AS.

Instrumen penghapus hukuman mati


Ada beberapa instrumen HAM internasional yang menghapus hukuman mati. Antara
lain: (1) Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political
Rights, (2) protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death
Penalty, (3) protocol No 6 to the European Convention for the Protection of Human
Rights and Fundamental Freedoms 1982 (European Convention on Human Rights, dan
(4) protocol No 13 to the European Convention for the Protection of Human Rights and
Fundamental Freedoms 2002 (European Conventon on Human Rights).
Dari empat instrumen di atas, hanya instrumen pertama yang bersifat internasional,
sedangkan ketiga instrumen berikutnya bersifat regional. Second Optional Protocol to the
International Covenant on Civil and Political Rights (SOP) yang memiliki kekuatan
secara hukum (entry into force) sejak 11 Juli 1991 hingga kini telah diratifikasi oleh 49
negara dan ditandatangani oleh 7 negara lainnya. Protokol ini mewajibkan bagi negara-
negara yang telah meratifikasinya (state parties) untuk menghapuskan eksekusi dan
hukuman mati dalam legislasi maupun dalam praktiknya.

Second Optional Protocol mendalilkan perlunya hukuman mati dihapus, dengan merujuk
pada pasal 3 Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) yang
berbunyi: "Setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas
keamanan (life, liberty, and security of person), juga pada pasal 6 Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights
ICCPR) yang berbunyi: "Setiap orang mempunyai hak yang tak terpisahkan dan
dilindungi oleh hukum, yaitu hak untuk hidup.

Tak seorang pun boleh diambil nyawanya secara semena-mena. Deklarasi Universal
HAM (HAM) memang bukanlah dokumen hukum yang mengikat (legally binding).
Namun demikian, ia merupakan pedoman standar penyelenggaraan hak asasi manusia
bagi warga dunia. Akan halnya ICCPR dan SOP adalah dua instrumen hukum yang
mengikat bagi para pihak yang telah meratifikasinya (state parties). Sampai saat ini,
sudah 144 negara yang meratifikasi ICCPR dan 60 negara telah menandatanganinya
(signatory). Sedangkan untuk SOP, baru 49 negara yang meratifikasinya dan 7 negara
yang menandatanganinya. Protocol to the American Convention on Human Rights to
Abolish the Death Penalty sampai saat ini baru diratifikasi oleh 8 negara di benua
Amerika, dan ditandatangani oleh 1 negara (Cile). Amerika Serikat sendiri belum
menjadi pihak baik dalam American Convention on Human Rights maupun dalam
protokolnya yang menghapus hukuman mati ini.

Sementara itu, protocol No 6 to the European Convention for the Protection of Human
Rights and Fundamental Freedoms tahun 1982 dan protocol No 13 to the European
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms tahun 2003,
keduanya sama-sama menghapuskan hukuman mati. Perbedaannya, protocol No 6 masih
membolehkan hukuman mati secara sangat terbatas yaitu untuk pelaku kejahatan di
waktu perang (war time), sedangkan protocol No 13 menghapuskan hukuman mati secara
total. Hampir semua negara Eropa meratifikasi protocol No 6 tahun 1982 kecuali Rusia,
Armenia, dan Turki yang telah menandatangani (signatory) namun belum
meratifikasinya. Sedangkan, protocol No 13 tahun 2002 telah diratifikasi 5 negara dan
ditandatangani 34 negara.

Indonesia dan hukum HAM internasional


Legalitas hukuman mati di Indonesia paling tidak berasal dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan utamanya dari Undang-Undang tentang Narkotika dan
Psikotropika tahun 1997, yang berlaku untuk pelaku kejahatan narkoba. Undang-Undang
HAM No 39 tahun 1999 tidak mengatur tegas tentang penghapusan hukuman mati,
kendati semangat instrumen HAM di tingkat internasional adalah penghapusan hukuman
mati.

Kemudian, Indonesia sampai saat ini belum merupakan pihak (party) pada Konvensi
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 (ICCPR) maupun Second Optional Protocol
ICCPR 1989 yang menghapuskan hukuman mati. Karena sampai saat Ini Indonesia
belum menandatangani maupun meratifikasi kedua instrumen tersebut. Dengan demikian,
Indonesia belum terikat secara hukum internasional untuk menghapus hukuman mati
sesuai mandat kedua instrumen tersebut.

Kendati demikian, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (Convention


Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) pada
28 Oktober 1998. Tunduknya Indonesia pada Konvensi ini mewajibkan Indonesia untuk
mengambil semua langkah baik di bidang administratif, legislatif, dan yudikatif untuk
mencegah terjadinya penyiksaan di dalam wilayah Indonesia (sesuai pasal 1 konvensi
ini). Juga untuk menyelenggarakan due process of law dalam penyelenggaraan sistem
peradilan pidana. Dalam arti menciptakan peradilan yang fair, independen, imparsial, dan
berkomitmen pada perlindungan hak-hak korban maupun tersangka sejak proses
penangkapan hingga penahanan (Pasal 9- 6 Konvensi Anti Penyiksaan).

Penutup
Semangat yang berkembang dalam hukum HAM Internasional dewasa ini memang
adalah semangat menghapus hukuman mati. Akankah Indonesia menghapus hukuman
mati? Jawabannya memang terpulang pada para pengambil keputusan dan para pembuat
hukum. Juga, kepada masyarakat Indonesia. Karena, harus diakui bahwa hukuman mati
adalah hukuman yang hidup dan diakui di sebagian masyarakat Indonesia.

Kejahatan narkoba sudah terbukti termasuk kejahatan berat terhadap umat manusia
utamanya bagi bangsa Indonesia. Banyak pihak bersepakat dengan hukuman mati bagi
para pelakunya. Pasalnya adalah, sejauh mana pertimbangan kesalahan penerapan
hukum/pemidanaan dalam peradilan dipertimbangkan? Apalagi citra pengadilan sebagai
adil, jujur, bersih, independen, dan imparsial, masih jauh panggang dari api?

Kemudian, sejauh mana perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) turut dipertimbangkan
dalam eksekusi terpidana mati kasus narkoba tersebut (apabila jadi)? Memang, pelaku
kejahatan narkoba telah melanggar bahkan merusak HAM orang lain, utamanya para
korban-korban mereka. Mungkin seorang Ayodya ataupun calon-calon tereksekusi mati
terpidana narkoba lainnya adalah penjahat HAM kelas wahid. Namun, bukankah mereka
(para pelaku) adalah juga 'korban' dari kekerasan struktur yang lain?

Hukuman Mati dan HAM


oleh: Romo Dr. Paul Budi Kleden, SVD
Pada tahun 1998, dalam rangka memperingati HUT ke-50 pendeklarasian
Hak-Hak Asasi oleh PBB, ada diskusi tentang perlunya sebuah kodeks
yang menetapkan Kewajilban-Kewajiban Asasi Manusia sebagai imbangan
terhadap Hak-Hak Asasi Manusia. Argumentasi dasarnya adalah bahwa
manusia tidak hanya mempunyai hak yang melekat pada kemanusiaannya,
tetapi juga sejumlah kewajiban yang mesti dilaksanakannya. Keluhuran
martabat manusia tidak hanya ditunjukkan oleh kesadaran akan hak-
haknya, tetapi juga oleh kesanggupan untuk menerima sejumlah kewajiban
sebagai tugas yang mesti dilaksanakan.

Salah satu pemikiran dominan yang disampaikan menanggapi keinginan


pendeklarasian kewajiban-kewajiban asasi itu adalah kecemasan bahwa
orang akan merangkaikan tuntutan akan hak dengan pelaksanaan
kewajiban. Apabila ada kewajiban-kewajiban asasi, maka tidak mustahil
akan diambil kesimpulan, bahwa hak asasi seseorang ada dan dijamin
selama dia memenuhi kewajiban-kewajiban asasinya. Kegagalan
melaksanakan kewajiban-kewajiban asasi dilihat sebagai pengkhianatan
terhadap kemanusiaan diri sendiri. Dengan demikian orang tersebut
kehilangan pijakan untuk menuntut perlindungan terhadap hak-hak
asasinya. Apabila ada kewajiban asasi, maka pelaksanaan kewajiban itu
dilihat sebagai ungkapan kemanusiaan seseorang. Tidak melaksanakan
kewajiban asasi berarti tidak ada lagi kesadaran diri sebagai manusia.
Pelaku kejahatan itu sendiri sudah tidak menghargai dirinya sebagai
manusia. Tanpa adanya penghargaan terhadap kemanusiaan di dalam diri
sendiri dan tanpa kesadaran akan martabat diri sendiri sebagai manusia,
seseorang ketiadaan basis rasional untuk menuntut penghormatan
terhadap hak-hak dasarnya.

Dengan pola pikir seperti ini hak-hak asasi manusia dibahayakan, karena
hak-hak itu ditentukan oleh kualifikasi dan prestasi dirinya sebagai
manusia yang ditunjukkan di dalam kesanggupan memenuhi kewajiban-
kewajiban asasinya. Gagal memenuhi kewajiban asasi berarti gagal
menjadi manusia, gagal menjadi manusia adalah alasan untuk tidak
diperlakukan sebagai manusia.

Pola pikir di atas tampaknya bercokol cukup mendalam pada pikiran


banyak orang yang merestui hukuman mati bagi para pelaku kejahatan
berat. Disadari atau tidak, konsep pemikiran seperti ini sering melatari
sikap orang yang membenarkan tuntutan hukuman mati bagi para pelaku
kejahatan berat. Karena itu, kita perlu menanggapi secara serius
pandangan seperti ini, sebab pemikiran seperti ini mengharuskan kita
untuk mempertajam pemahaman kita tentang hak-hak asasi manusia.

Memang ada banyak alasan yang disampaikan oleh kelompok yang


mendukung adanya hukuman mati. Misalnya: untuk memenuhi rasa
keadilan masyarakat yang berpedoman pada prinsip ius talionis (mata
ganti mata, hidup ganti hidup); untuk melindungi masyarakat secara
keseluruhan dari seorang warga yang telah menunjukkan dirinya sebagai
bahaya besar bagi keamanan seluruh warga melalui tindak kejahatan
besarnya; untuk memberikan shock therapy kepada masyarakat yang
diperkirakan akan merasa takut untuk melakukan pelanggaran yang sama.
Dan satu lagi yang dominan adalah apa yang dikatakan di atas: seorang
pelaku kejahatan berat sudah menunjukkan diri bahwa dia bukan manusia.
Dia melakukan di luar batas kewajaran sebagai seorang manusia. Sebab
itu, dia tidak layak diperlakukan sebagai manusia. “Dia kejam, dia jahat. Dia
sudah bukan manusia lagi. Untuk apa kamu masih memperjuangkan hak-
haknya?” Betapa sering pertanyaan yang mengungkapkan penolakan atas
perlakuan manusiawi terhadap pelaku kejahatan berat ini dialamatkan
kepada mereka yang terus memperjuangkan hak-hak asasi orang seperti
ini.

Pandangan seperti ini sudah bermula ketika orang melukiskan tindak


kejahatan seseorang sebagai tindakan yang bestialis, tindakan yang cuma
ditemukan dalam gerombolan binatang-binatang buas. Logika berpikirnya
mengatakan: kalau tindakan itu bestialis, maka berdasarkan prinsip:
tindakan adalah ekspresi jati diri, orang lalu berkesimpulan, bahwa subjek
yang melakukan tindakan itu adalah juga binatang. Dia direndahkan
menjadi binatang, dan karena binatang buas yang membahayakan
dibenarkan pembasmiannya, maka ada legitimasi pula untuk
mengeliminasi subjek seperti ini melalui penjatuhan dan pelaksanaan
hukuman mati atas dirinya.

Menanggapi pola pikir seperti ini perlu diuraikan prinsip pertama dan
utama yang menjadi pedoman penting setiap perjuangan membela HAM:
bahwa hak-hak ini melekat pada kemanusiaan seseorang, sebelum ada
kualifikasi moral dan rasional apa pun. Kemanusiaan seseorang tidak
ditentukan oleh kualitas moralnya. Seseorang tetap merupakan seorang
manusia, juga ketika moralitasnya patut diragukan karena pelanggaran-
pelanggaran yang terbukti. Kenapa demikian?

Adalah benar bahwa manusia merupakan insan moral. Namun moralitas


bukanlah sebuah status yang sudah baku dan terberi. Dengan kelahiran
sebagai manusia tidak diberikan kepada manusia satu kualitas moral yang
sempurna. Sebaliknya, dengan kelahiran sebagai manusia ia mendapat
sebuah tugas untuk terus mengkualifikasikan dirinya sebagai makhluk
moral. Moralitas adalah sebuah tugas, bukan sebuah pemberian. Yang
terberi adalah kemanusiaan, sementara moralitas merupakan sebuah cita-
cita yang perlu diwujudkan manusia. Kemanusiaan ada sebagai basis
untuk menjadi makhluk yang bermoral.
Apabila kita mengatakan bahwa moralitas adalah sebuah tugas, maka
pernyataan ini sebenarnya lahir dari kesadaran bahwa manusia selalu
berada dalam bahaya untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak
bermoral. Justru karena itu, moralitas adalah sebuah upaya
pengkualifikasian diri, sebuah perjuangan yang terus-menerus. Moralitas
seseorang ditunjukkan oleh kesungguhannya untuk menguasai diri sekian
sehingga ia bertindak seturut kaidah moral. Namun perjuangan seperti ini
tidak pernah dapat meniadakan kemungkinan melakukan kejahatan. Kita
dapat mengatakan bahwa termasuk dalam kemanusiaan seseorang adalah
bahwa dia dapat juga melakukan kejahatan. Melakukan kejahatan bukanlah
sesuatu yang terlepas dari kemanusiaan seseorang. Sebab itu, seseorang
yang melakukan kejahatan, apa pun dan betapa pun besarnya kejahatan
itu, tidak pernah kehilangan kemanusiaannya.

Berpikir seperti di atas bukan berarti bahwa kita membenarkan tindak


kejahatan dan menyepelekan kejahatan seseorang dengan alasan
kemanusiaan. Juga dengan pemikiran seperti ini kita tidak menolak setiap
bentuk hukuman terhadap penjahat. Kejahatan adalah sebuah pelanggaran
dan harus dilihat dan dinilai sebagai pelanggaran. Melalui tindak
kejahatannya manusia melanggar apa yang seharusnya menjadi cita-
citanya. Namun karena pelanggaran adalah penyimpangan dari apa yang
seharusnya menjadi cita-cita, maka hukuman atas pelanggaran itu tidak
boleh menghilangkan basis untuk perealisasian cita-cita itu. Menghukum
mati seseorang berarti meniadakan kemungkinan utama orang itu untuk
kembali berjuang merealisasikan apa yang menjadi tugasnya. Kita memang
patut menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang melakukan
pelanggaran. Tetapi hukuman itu diberikan selalu dengan tujuan agar
orang itu disadarkan dan dimampukan untuk mengenal dan melaksanakan
apa yang seharusnya dilakukannya. Hukuman yang dijatuhkan tidak akan
pernah sanggup membayar atau memperbaiki kesalahan yang sudah
dibuat. Hukuman hanya mempunyai makna apabila dijalankan untuk
menyadarkan orang akan kewajibannya.

Dalam alur argumentasi ini kita menempatkan perlunya apa yang disebut
sebagai kodeks kewajiban-kewajiban asasi manusia. Adanya tuntutan akan
pemenuhan kewajiban-kewajiban dasar bersumber dari kesadaran dan
pengalaman bahwa manusia memang sering tidak melakukan apa yang
seharusnya dilakukannya. Karena ada kemungkinan untuk tidak
melakukannya, maka kita perlukan sebuah rumusan yang mewajibkan dan
kita perlu membentuk instansi-instansi yang memperhatikan pelaksanaan
kewajiban-kewajiban itu. Kita tidak akan mewajibkan orang untuk
melakukan sesuatu, apabila manusia dari kodratnya hanya memiliki
kemungkinan untuk melakukan sesuatu itu, jika tidak ada alternatif untuk
melakukan sesuatu yang lain. Sesuatu kita sampaikan sebagai kewajiban,
agar di tengah situasi konkrit yang memungkinkan seseorang untuk tidak
melakukan kewajiban itu, dia tetap memilih melaksanakan kewajibannya.
Namun pelaksanaan kewajiban itu hanya mungkin selama kemanusiaan
seseorang diakui dan dipertahankan. Sebab itu, pelanggaran dalam
menjalankan kewajiban asasi tidak pernah dapat menjadi alasan untuk
meniadakan kemanusiaan itu melalui hukuman mati yang dijatuhkan dan
dilaksanakan terhadap seorang pelaku kejahatan.

Juga dalam gerak pemikiran yang sama kita tempatkan tanggung jawab
moral masyarakat. Sebagai perwujudan sebuah ideal moral, masyarakat
harus tetap mempertahankan penghargaan yang tak tergoyahkan pada
keluhuran martabat manusia. Kewajiban masyarakat adalah menciptakan
kondisi untuk menyadarkan seseorang akan tanggung jawabnya dan
dengan demikian akan hakikat dirinya sebagai makhluk yang bermoral.
Masyarakat melaksanakan peran ini apabila dia tetap berpegang teguh
pada keluhuran martabat kemanusiaan seorang penjahat dan tidak
melepaskannya bersama dengan kejahatan yang dilakukannya. Dengan
tetap berpegang pada martabat manusia seorang penjahat, masyarakat
menyodorkan kepada orang tersebut apa yang seharusnya dia lakukan.
Untuk mempertahankan manusia sebagai makhluk bermoral, mayarakat
tidak boleh mendegradasikan seorang penjahat ke tingkat binatang buas.

Dengan pendegradasian semacam ini masyarakat membatalkan dasar


tuntutan tanggungjawab si penjahat itu sendiri. Apabila dia sudah
disamakan dengan binatang, maka dia tidak mempunyai lagi kewajiban
yang sama seperti kewajiban seorang manusia. Kalau demikian,
sebenarnya tidak ada alasan untuk menuntut orang seperti ini melakukan
kewajiban seorang manusia dan menghukumnya dengan alasan
kegagalannya memenuhi kewajiban seorang manusia. Sebaliknya, dengan
tetap mempertahankan dan menghormati kemanusiaannya, masyarakat
tetap menghidupkan ideal kemanusiaan di hadapan orang seperti ini dan
mendorongnya untuk memenuhi tuntutan moralnya. Konsistensi
penghargaan masyarakat terhadap martabat manusia sepatutnya
ditunjukkan dengan sikap tetap menghargai martabat manusia yang sudah
melakukan banyak pelanggaran.

Penghormatan terhadap HAM pada umumnya hanya dapat ditegakkan


apabila masyarakat konsisten dengan sikap ini, juga ketika berhadapan
dengan para pelaku kejahatan. HAM didasarkan pada prinsip bahwa hak-
hak ini tidak diberikan oleh negara, dan karena itu tidak dapat juga dicabut
oleh negara. Di samping karena negara dan masyarakat tidak mempunyai
hak untuk mencabut hak hidup seseorang, termasuk di dalamnya seorang
pelanggar HAM, sikap menolak hukuman mati justru dapat mendorong
budaya kehidupan yang menanamkan dan meneguhkan sikap
menghormati keluhuran martabat manusia secara keseluruhan. Masyarakat
dan negara menjadi promotor penegakan HAM, apabila negara dan
masyarakat berani menghapus hukuman mati. Menolak hukuman mati
adalah bukti kesadaran akan keluhuran martabat manusia, dan akan
mendorong perluasan kesadaran ini.

Hukuman Mati Melanggar HAM..??

Posted on 16 Juli 2008 by baguscokie

1 Votes

Quantcast

Hukuman mati mulai marak di perdebatkan menyusul eksekusi mati narapidana narkoba,
ujung ujungnya hukum Islam jadi kambing hitam dan dianggap tidak manusiawi serta
melanggar HAM. Benarkah Hukuman Mati Melanggar HAM..??

Di dalam syariah Islam yang menyebabkan hukuman atau vonis mati, diantaranya
adalah :

1. Hukuman mati buat pezina yang sudah pernah menikah.

2. Hukum qishah, yaitu hukuman mati buat orang yang menghilangkan nyawa orang lain
dengan sengaja.

3. Hukuman mati buat para begal (hirabah) yang salah satu jenis vonisnya adalah
hukuman mati.

4. Hukuman mati buat mereka yang murtad dan keluar dari agama Allah SWT

5. Makar ( pemberontakan )

Dan lain-lain.
Hukuman Mati dalam Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, hukuman mati atas pelaku pembunuhan disengaja merupakan
ketentuan dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian hukuman qishâsh berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh. (QS al-Baqarah [2]: 178).

Karena itu, penolakan atas hukuman mati, termasuk hukuman mati atas pelaku
pembunuhan disengaja, jelas-jelas bertentangan dengan ayat ini. Ide penolakan itu tidak
bertolak dari akidah Islam. Ide itu tidak lain bertolak dari ide, sekularisme, kebebasan dan
HAM. Tentu saja, ide penolakan semacam itu tidak layak dimiliki oleh seorang yang
masih mangaku Muslim.

Lebih dari itu, sanksi pidana Islam, termasuk qishâsh, berfungsi sebagai jawâbir (penebus
dosa di akhirat) bagi pelakunya sekaligus sebagai zawâjir (pencegah) karena memiliki
efek jera yang menghalangi orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama. Sistem
pidana Islam juga berpihak kepada pelaku, korban dan atau keluarganya, serta
masyarakat secara umum. Semua itu terlihat jelas dalam hukuman atas pembunuhan.

Sanksi pidana Islam yang diberlakukan di dunia-tentu saja jika memenuhi ketentuan
syariah-akan berfungsi sebagai jawâbir (penebus dosa). Dengan begitu, pelakunya tidak
akan disiksa di akhriat karena dosa kejahatan tersebut. Di sinilah keberpihakan hukum
Islam kepada pelaku tampak. Bagi orang yang mengimani kehidupan akhirat berikut
pahala dan siksanya, sifat ini memberikan dorongan besar baginya untuk mengakui
kejahatan yang ia perbuat sekaligus menjalani hukuman dengan penuh kerelaan bahkan
dengan kegembiraan. Hal itulah yang terjadi atas diri Maiz al-Aslami dan al-Ghamidiyah
yang pernah datang kepada Rasulullah saw. untuk memberikan pengakuan atas zina yang
mereka lakukan. Mereka pun mendesak Rasulullah saw. untuk segera menghukum rajam
mereka agar dengan itu mereka menjadi suci kembali dan di akhirat kelak mereka tidak
khawatir akan mendapatkan azab dari Allah yang pasti lebih berat lagi.
Adapun fungsi hukum pidana Islam sebagai zawâjir (pencegah) digambarkan dalam
firman Allah:

Dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, wahai orang-orang
yang berakal, supaya kalian bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 179).

Berkaitan dengan ayat di atas, Ibn Katsir menyatakan bahwa di dalam qishâsh itu terdapat
hikmah yang agung, yaitu terpelihara dan terjaganya darah (kehidupan) manusia. Sebab,
jika seorang yang akan membunuh manusia mengetahui bahwa ia akan dihukum mati jika
dia melakukan pembunuhan, tentu ia akan berpikir seribu kali untuk membunuh. Dengan
begitu, akan banyak manusia yang terselamatkan dari kasus-kasus pembunuhan dan
kelangsungan hidup manusia pun akan terpelihara. Karena itulah, agar fungsi zawâjir itu
berjalan, pelaksanaan hukuman mati (qishâsh) harus dilakukan secara terbuka. Dengan
begitu, masyarakat tahu siapa yang dihukum, kapan, dimana, dan dengan cara apa
eksekusi dilakukan; penguburan jenazahnya juga disaksikan oleh masyarakat luas.

Di samping itu, yang harus di-qishâsh adalah semua orang yang terlibat langsung dalam
pembunuhan yang disengaja itu, meskipun jumlahnya banyak. Umar bin al-Khaththab
dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa jika sekelompok orang bersekutu-baik dua
orang atau lebih; baik orang yang menjadi otaknya maupun eksekutor lapangan; baik
yang membunuh langsung maupun yang sekadar memegangi korban; dst.-untuk
membunuh seseorang, maka semuanya dikenai sanksi qishâsh, meskipun korbannya satu
orang. Karena itu, dalam kasus Tibo dkk, jika terbukti ia melakukan pembunuhan, ia
harus di-qishâsh (dihukum mati). Begitu juga ke-16 orang yang dikatakan sebagai
otaknya, jika terbukti, semuanya harus di hukum mati.

Semua itu menjamin penjagaan darah masyarakat dan kelangsungan kehidupan


masyarakat. Di sinilah kejelasan keberpihakan hukum Islam kepada masyarakat.

Adapun keberpihakan hukum Islam kepada korban adalah dengan adanya hak keluarga
korban untuk menuntut hukuman qishâsh. Rasulullah saw. Bersabda:

Siapa saja yang membunuh dengan sengaja, maka ia dihadapkan kepada wali-wali pihak
korban yang terbunuh. Jika mereka menghendaki, mereka dapat membunuhnya. Jika
mereka menghendaki, mereka bias mengambil diyat-yaitu 30 unta dewasa, 30 unta muda,
dan 40 unta yang sedang bunting. Jika mereka memaafkannya maka pahalanya bagi
mereka. (HR at-Tirmidzi).

Wahai kaum Muslim:

Sanksi pidana Islam bisa diibaratkan sebagai palang pintu terakhir dalam melindungi
masyarakat dari kejahatan. Tentu saja upaya mencegah dan mengikis kejahatan sampai
batas paling minimal harus disinergikan dengan sistem-sistem yang lain. Dorongan
kemiskinan dan kelaparan hanya bisa dihapus melalui penerapan sistem ekonomi Islam
yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok serta kemungkinan pemenuhan kebutuhan
sekunder dan tersier. Untuk menjaga akidah dan akhlak harus dilakukan melalui sistem
pendidikan Islam. Untuk jaminan keamanan, keadilan, dan pelayanan harus diterapkan
sistem pemerintahan Islam. Untuk memelihara pergaulan pria-wanita yang sehat dan
bersih harus diterapkan sistem pergaulan Islam.

Karena itu, untuk mencegah dan mengikis kejahatan sampai paling minimal, atau bahkan
menghilangkannya sama sekali, harus dilakukan melalui penerapan sistem-sistem Islam
dalam segenap aspek kehidupan, yakni dengan menerapkan syariah Islam secara kaffâh.

Hukuman mati (the death penalty), telah memicu perdebatan sejak ratusan tahun lalu, ada
yang pro dan kontra.

Tanggal 10 Oktober kemarin adalah Hari Anti Hukuman Mati Sedunia. Berbagai alasan
dikeluarkan untuk menentang hukuman mati. Alasan utamanya adalah melanggar hak
hidup dan tidak memberi kesempatan bagi sang terpidana untuk memperbaiki diri.
Mereka mungkin akan bersuara lain bila berada pada pihak yang dirugikan oleh
terpidana. Jamak terdengar pihak keluarga seorang korban pembunuhan dengan keras
menuntut pelaku dihukum mati. Orang-orang yang menderita secara langsung atau tidak
dengan narkoba, menuntut pengedar narkoba dihukum mati. Tak sedikit pula yang
menuntut para koruptor dihukum mati. Dan juga soal hukuman mati kepada para
‘teroris’. Lalu, kenapa pihak-pihak yang kontra hukuman mati tidak berkata apa-apa
terhadap mereka? Menjelaskan pada pihak korban agar mereka menarik permintaan
mereka agar sang pelaku dihukum mati. IMO, kalau mereka melakukan hal tersebut,
maka pamor mereka akan hancur :p.
Layak atau tidaknya hukuman mati seharusnya ditilik dari kejahatan yang dilakukan.
Ambil contoh ekstrim: Seseorang yang melakukan atau memerintahkan pembantaian, apa
pantas untuk diberi hak hidup? Lalu kemudian ia dapat hidup, dibiayai oleh negara
bahkan mungkin mendapatkan ‘fasilitas’ tambahan entah dari mana, karena ia cukup
mendapat hukuman penjara. Entahlah, kupikir terkadang istilah eye for an eye pada
kondisi tertentu bisa diberlakukan.
Huff … menurutku jalan pikiran para aktifis itu aneh. Efek yang diharapkan dari
hukuman mati bukankah tidak sekedar untuk ‘membayar’ kejahatannya saja, melainkan
juga untuk memberikan semacam peringatan agar orang lain tidak melakukan kejahatan
yang sama?
Beberapa renungan untuk para aktivis HAM dan orang-orang yang kontra :
1. Mereka2 yang menentang hukuman mati, begitu memperhatikan hak si terhukum. Hak
hidupnya, hak tobatnya, dsb. Lalu bagaimana dengan hak korban? Dia juga terampas
haknya kan? Hidupnya, masa depannya, hak keluarganya. Apalagi jika korban dibunuh
dengan cara yang keji, atau dibunuh karena hal sepele.
Bagaimana jika yang dibunuh adalah kepala keluarga? Dia punya anak, punya istri. Siapa
yang akan menafkahinya? Sementara sang kepala keluarga dibunuh oleh perampok. Dan
mereka2 yang anti-hukuman-mati ternyata malah begitu peduli pada si perampok? Gak
masuk akal kan…
2. Di semua agama, hukuman mati DIPERBOLEHKAN. Dalam Islam, Kristen, ada.
Dalam Islam, jika pihak keluarga mengampuni, selesai urusannya. Tapi jika tidak, maka
hukuman mati dijalankan.
3. Kalau pembunuh “hanya” dipenjara seumur hidup, pertama, itu jadi beban pemerintah.
Kedua, enak bener dia. Udah menghabisi nyawa orang lain, eh dia punya kesempatan
hidup.
Kadang2 saya berdoa, semoga di antara para aktifis anti-hukuman-mati itu, ada satu atau
dua, atau kalau perlu semua, yang anggota keluarganya dibantai. Secara keji. Dan dengan
alasan yang sepele. Mungkin dengan begini, mereka baru bisa memahami apa yang
sebenarnya dirasakan oleh keluarga korban.
Bagaimanapun, saya mendukung hukuman mati yang total, dalam artian memang jelas-
jelas terbukti kejahatannya. Bahkan kalau perlu, hukuman mati ini disiarkan ke mana-
mana saat eksekusi. Apakah kejahatan lantas akan hilang? Gak mungkin. Selama ada
iblis, kejahatan akan tetap ada.

Seharusnya apabila seseorang ingin melakukan kejahatan, baik itu yang disengaja
ataupun tidak, terlebih dahulu memikirkan konsekuensinya. Jika perbuatan jahat dapat
dihindari maka hukuman mati atau death penalty otomatis tidak menanti, dan para aktivis
HAM tak perlu repot-repot ber-demo. Di samping itu ada persoalan yang lebih penting,
yakni memberantas kemiskinan dan mencegah global warming. Sebab takut-takutnya
death penalty bukan hanya untuk si terpidana melainkan untuk seluruh umat manusia.
Pro dan Kontra Hukuman Mati
OPINI
Djawara Putra Petir
| 20 June 2009 | 18:00

1699
6
Nihil.

Pidana mati atau hukuman mati merupakan pemidanaan terberat, karena berhubungan
dengan hak hidup seseorang. Pencabutan hak hidup si terhukum mati jika telah
dieksekusi dan dikemudian hari ditemukan bukti baru yang membuktikan bahwa si
tereksekusi bukan pelakunya, maka tidak mungkin untuk dikembalikan dalam keadaan
semula (dihidupkan kembali), untuk itu perlu kehati-hatian untuk menjatuhkan hukuman
mati, terutama bagi para Hakim.

Praktek peradilan dan khususnya sistem pembuktian hukum pidana Indonesia, terutama
Penyidik/Kepolisian masih belum dapat sepenuhnya melepaskan cara-cara lama mengejar
pengakuan tersangka dalam melakukan penyidikan, yakni masih adanya penekanan dan
penyiksaan pada orang yang dianggap pelaku perbuatan pidana (jngat kasus pembunuhan
di Jombang dan di Sulawesi).

Kejaksaan dalam hal ini Penuntut Umum, yang semestinya mempelajari perkara yang
diajukan kepadanya sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan pasal-pasal hukum
yang akan dibuktikan dalam persidangan, seringkali secara serampangan karena mungkin
ada muatan dari pihak-pihak tertentu yang menyebabkan berbuat serampangan, demikian
juga pada waktu penuntutan acap kali sangat tidak memperhatikan rasa prikemanusiaan
lagi, memang bukan kuwajiban penuntut umum, tetapi hatinurani sebagai manusia atau
bisikan hati sanubari itupun seharusnya tidak diabaikan begitu saja.

Banyak nada minus atas putusan lembaga Pengadilan ini, dan pengadilan seringkali
diberi gelar sebagai lembaga stempel atau lembaga yang melegalisasi Berita Acara
Pemeriksaan Penyidik dan tuntutan Penuntut Umum, seringkali seharusnya tidak terbukti,
tetapi karena tuntutan Penuntut Umum Tinggi yang mestinya dibebaskan dalam
prakteknya selalu dihukum paling rendah separo dari tuntutan Penuntut Umum yang
seharusnya bebas, kecuali perkara-perkara yang telah menjadi perhatian public (contoh
kasus seperti Prita, kasus pembunuhan di Jombang dlsb). Andaikan kasus Prita dan kasus
Jombang tidak memperoleh perhatian masyarakat atau para Capres yang lagi getol-
getolnya kampanye, dalam hal ini dapat dipastikan bahwa Prita akan dihukum dan tidak
mungkin dibebaskan seperti saat ini.

Karena keadaan praktisi-praktisi peradilan demikian, maka tidak dapat disalahkan jika di
masyarakat akhirnya timbul pro dan kontra pada hukuman mati.
BAGI YANG KONTRA HUKUMAN MATI, selalu mengaitkan dengan Hak Asasi
Manusia, Panca Sila dan hak pencabutan nyawa seseorang, karena hukuman mati
dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang terdalam yakni hak untuk hidup
dan tidak ada satupun manusia di dunia ini mempunyai hak untuk mengakhiri hidup
manusia lain meskipun dengan atas nama hukum atau negara, apalagi Indonesia
menganut dasar Falsafah Panca Sila yang menghormati harkat dan martabat manusia
serta berke-Tuhanan, karena yang paling berhak mencabut nyawa mahluk hidup hanya
Tuhan.

BAGI YANG PRO HUKUMAN MATI, demi ketentraman dan kenyamanan hidup
masyarakat serta keadilan, maka sudah wajar dan pantas jika pelaku kejahatan yang sadis
atau perbuatan yang dapat menimbulkan kekacauan dan kerugian orang banyak atau
masyarakat disingkirkan dari muka bumi ini.

Hukum Hak Asasi Manusia dan Panca Sila bukan untuk melindungi penjahat atau orang
yang berbuat merugikan orang banyak, karena Hukum Hak Asasi Manusia dan Panca
Sila untuk melindungi kepentingan orang banyak atau masyarakat, sedangkan hak
mencabut nyawa seseorang memang benar hak Tuhan tetapi dalam hal ini dapat juga
diartikan bahwa Tuhan telah mengutus hakim dan regu tembak untuk mencabut nyawa
siterpidana, jika Tuhan tidak mengutus dan/atau mengijinkan maka tidak mungkin
siterpidana akan berhadapan dengan regu tembak eksekutor dan mati.

BAGI YANG PRO DENGAN SYARAT-SYARAT TERTENTU, hukuman mati tiu


tidak menjadi persoalan jika saat penyidikan kepada tersangka diberi hak-haknya secara
wajar tanpa adanya unsur paksaan dalam arti dihormati Hak Asasi Manusia-nya dan hak
hukumnya untuk didampingi seorang Advokat atau lebih dan tidak ada pemaksaan atau
provokasi dengan motif tertentu sepeninggal Advokatnya, serta diyakini dengan benar
bukan karena keterpaksaan bahwa memang benar sitersangka adalah pelakunya.

Penjahat atau perbuatan yang sangat merugikan orang banyak dan merusak generasi
bangsa serta menimbulkan rasa ketakutan atau kecemasan masyarakat memang
seharusnya disingkirkan dari muka bumi.

“Hukuman mati merefleksikan bahwa insting hewan masih ada pada manusia.”

(Nelson Mandela)

Kontroversi hukuman mati sudah sejak lama ada di hampir seluruh masyarakat dan
negara di dunia. Dan hukuman mati mencuat di Indonesia akhir-akhir ini dalam merespon
isu korupsi yang silih berganti. Wacana hukuman mati bagi para koruptor memberikan
banyak argumentasi pro dan kontra. Apakah dibutuhkan untuk dijadikan senjata baru
pemberantasan korupsi? Atau justru berbahaya, karena bertentangan dengan hak hidup
manusia yang merupakan hak asasi manusia?

Seperti kita ketahui, bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham),
Patrialis Akbar, setuju dengan penerapan hukuman mati untuk para pelaku tindak pidana
korupsi. DPR juga sedang menyusun pembahasan agenda hukuman mati bagi koruptor.
Pendukung hukuman mati lainnya datang dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD.
Mahfud menilai hukuman ini tidak melanggar undang-undang. Dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati ini diatur dalam 2 pasal, yakni
Pasal 2 ayat (2). Pasal itu berbunyi, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang
diatur dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan
pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut
dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya,
bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Namun, bagaimana pandangan hak asasi manusia dalam persoalan hukuman mati ini?
Asmara Nababan menilai hukuman mati inkonstitusional. Menurut pendapat mantan
Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini, hukuman mati adalah
pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal
dalam konstitusi tertinggi kita itu mengamanatkan bahwa hak hidup setiap orang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Pelaksanaan hukuman mati menunjukkan
inkonsistensi dalam sistem hukum kita. Benarkah? Mari kita telusuri bersama.

Hak Asasi Manusia dan Hukuman Mati

Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.
Bersama 150 negara, Indonesia pada tahun 2005 juga sudah meratifikasi International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang dalam Pasal 6 (1) berbunyi: “Every
human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one
shall be arbitrarily deprived of his life.” Dalam pasal itu menyatakan, setiap manusia
memiliki hak atas hidup yang bersifat melekat.
Maka, hak atas hidup ini tidak perlu diragukan lagi karena yang paling penting dari
semua hak asasi manusia. Masyarakat yang beradab tidak dapat eksis tanpa ada
perlindungan hukum terhadap hidup manusia. Jika tidak ada hak atas hidup maka tidak
akan ada pokok persoalan dalam hak asasi manusia lain.

Selain itu, pasal 6 kovenan ini mengharuskan hak atas hidup dilindungi oleh hukum.
Keharusan ini berarti setiap negara wajib memiliki hukum yang melindungi hak atas
hidup dalam sistem hukum. Perlu kita telaah kembali, dalam perubahan UUD 1945, isu
hukuman mati tercantum dalam perubahan Bab XA. Pasal 28A yang dengan eksplisit
mengatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.” Jadi, hak untuk hidup atau the right to life adalah hak yang paling
mendasar dalam UUD 1945.

Hak untuk hidup (penentangan hukuman mati) kembali ditegaskan dalam Pasal 28I (1)
dalam rumusan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Maka, pasal 28A dan pasal 28I ini adalah payung hak asasi manusia sebagai “non-
derogable human rights” atau “hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.” Jadi, hak untuk hidup ini adalah hak yang tak bisa dikompromikan
dengan hak-hak lain. Hak untuk hidup ini adalah puncak hak asasi manusia yang
merupakan induk dari semua hak asasi lain. Sehingga, hubungan antara hak asasi
manusia dan hukuman mati tidak dapat dipisahkan. Maka, hak asasi manusia yang
meliputi hak untuk hidup bertentangan dengan hukuman mati itu sendiri.

Indonesia dan Hukuman Mati

Hukuman mati dalam peraturan perundang-undangan kita diatur dalam 10 produk


hukum. Lima di antaranya dibuat dalam era Soekarno dan kemudian dalam era Soeharto
mengesahkan revisian salah satu peraturan perundang-undangan tersebut. Menariknya,
sejak 1997 tercatat ada lima undang-undang baru yang mencantumkan hukuman mati
sebagai ancaman pidananya yaitu: a). UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; b). UU
No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; c). UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Korupsi; d). UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; dan e). UU No. 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jadi, ada 10 peraturan perundang-
undangan yang memuat ancaman pidana hukuman mati, 5 di antaranya dibuat oleh
Indonesia dalam masa kurun waktu sepuluh tahun terakhir.

Maka, jika kita lihat dari sisi jumlah undang-undang dan kurun tahun pengesahan terlihat
bahwa Indonesia justru memperbanyak hukuman mati dan tidak mempunyai
kecenderungan untuk menghapus hukuman mati. Selain itu, Indonesia justru
memperbanyak jenis kejahatan yang diancam hukuman mati. Lima peraturan perundang-
undangan tersebut kesemuanya memuat tindak kejahatan dengan jenis baru yang diancam
hukuman mati. Pidana-pidana yang diancam pun justru yang tidak masuk dalam
kelompok kejahatan yang paling serius (the most serious crimes) menurut Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik.

Maka, dapat dinyatakan bahwa, tidak ada kecenderungan Pemerintah Indonesia


menghapus hukuman mati atau pun melakukan upaya pembatasan jenis kejahatan yang
diancam hukuman mati. Kecenderungan ini juga tidak memperlihatkan adanya indikasi
Indonesia akan memberlakukan moratorium pelaksanaaan hukuman mati seperti
diserukan oleh PBB. Dan jika, upaya pemeritah dan DPR dalam menyikapi isu korupsi
itu dengan mengandalkan hukuman mati sebagai salah satu strateginya, maka hak hidup
sebagai salah satu hak asasi manusia semakin jauh saja dari realitas kehidupan bernegara
kita. Hukuman mati belum bisa diakhiri, karena insting hewan masih mendominasi kita.
Benar juga kata-kata Nelson Mandela.

* Penulis adalah Direktur PUNDEN Nganjuk Jawa Timur, sekaligus anggota Forum
Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang.
Koruptor Bisa Dihukum Mati!

Senin, 5 April 2010 - 16:57 wib

Insaf Albert Tarigan - Okezone

JAKARTA - Maraknya kasus korupsi dan makelar kasus yang terekspose ke media
membuat Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar angkat bicara. Patrialis menganggap
perlu dijatuhkan hukuman mati bagi koruptor.

"Saya kira saya setuju," kata Patrialis saat dikonfirmasi wartawan di Istana Negara,
Jakarta, Senin (5/4/2010).

Menurut Patrialis hukuman mati bagi koruptor bisa dilakukan karena dalam UU Pidana
Korupsi disebutkan aturan tersebut.

"Penerapannya itu di luar pemerintah. Itu sudah yudikatif. Undang-undangnya sudah


boleh, masa kita masih berdebat soal itu. Tergantung penafsiran dari hakim," kata
Patrialis.

Patrialis menganggap hukuman mati itu merupakan cara yang tegas dan keras untuk
mengatasi kasus korupsi yang masih menjamur.

Berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi No31/1999 sebagaimana telah diubah dengan


UU NO 20/2001 pasal 2 ayat 2 disebutkan, "Dalam Hal tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati
dapat dijatuhkan..."
Sementara di Pasal 2 ayat 1 disebutkan, "Setiap orang yang sengaja melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20
tahun dan denda paling sedikit 200 juta atau paling banyak Rp1 milia
Mahasiswa (001) bicara tentang Hukuman Mati dan HAM
In dEmokrasi on Friday , 19 March 2010 at 10:41 am

Disusun oleh Endang Nur Wachidah, 07/253163/PA/11551, Program Studi Matematika,


Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Memulai membicarakan topik Hukuman Mati vs Hak Asasi Manusia akan lebih baik kita
menelaah terlebih dahulu tentang pengertian dan definisi Hak Asasi Manusia. Pengertian
hak asasi manusia menurut UU no. 39 tahun 1999 :
“Hak assasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”

Dari beberapa sumber lainnya saya menyimpulkan pengertian dan definisi hak asasi
manusia sebagai berikut :
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak di dalam
kandungan yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugrah Tuhan yang berlaku
seumur hidup dan tidak dapat digugat siapa pun dan harus dihormati, dijaga, dan
dilindungi oleh setiap individu, masyarakat maupun negara.

Supaya kita lebih mengenal tentang apa saja yang terkandung dalam hak asasi manusia,
berikut ini yang termasuk dalam hak asasi manusia menurut UUD 1945 RI yang telah
diamandemen Pasal 28 tentang hak asasi manusia secara singkat. Hak asasi manusia
meliputi:

Pasal – Pokok bahasan


28A – Hak hidup
28B – Hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, hak anak untuk hidup dan
mendapat perlindungan
28C- Hak pengembangan diri, pendidikan, mendapat manfaat dari iptek
28D – Hak mendapat keadilan dalam bekerja dan hukum serta status kewarganegaraan
28E – Hak dalam memilih agama, kepercayaan, pendidikan, pekerjaan,
kewaraganegaraan, tempat tinggal , menyatakan pendapat dan berserikat
28F – Hak berkomunikasi dan informasi
28G – Hak mendapat perlindungan, bebas dari penyiksaan, dan suaka politik dari negara
lain
28H – Hak hidup sejahtera, pelayanan kesehatan, jaminan social, dan hak milik
28I – Hak hidup, merdeka, bebas dari diskriminatif, identitas budaya, perlindungan HAM
28J – Wajib menghormati Ham orang lain, tunduk pada UU

Di Indonesia telah dikeluarkan UU yang membahas hak asasi manusia dan juga
pengadilan hak asasi manusia. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat Indonesia
memahami tentang pentingnya hak asasi manusia sehingga dapat menjalankan kehidupan
dengan segala hak dan kewajibannya tanpa melanggar hak asasi orang lain. Dalam UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dijabarkan mengenai jenis
dan tingkatan pelanggaran hak asasi manusia. Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah
pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Apa sajakah yang termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia berat?

Menurut UU No.26 Tahun 2000 BAB III Pasal 7, pelanggaran hak asasi manusia yang
berat meliputi :
1. Kejahatan Genosida
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan

Apakah yang dimaksud dengan Kejahatan Genosida ?


UU No.26 Tahun 2000 BAB III Pasal 8 :
Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama.

Apakah yang dimaksud dengan Kejahatan terhadap kemanusiaan ?


UU No.26 Tahun 2000 BAB III Pasal 9 :
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa : pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pengusiran secara paksa, perampasan kemerdekaan,
penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, penghilangan
orang secara paksa, kejahatan apartheid, dan masih banyak lagi.

Apa yang dimaksud kejahatan apartheid ?


Kejahatan Apartheid adalah perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan
sifat-sifat yang disebutkan dalam pasal 8 yang dilakukan dalam konteks suatu rezim
kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu
kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud
mempertahankan rezim itu.

Apa sajakah yang termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia ringan ?
Dalam UU No.26 Tahun 2000 tidak disebutkan mengenai penggolongan pelanggaran
HAM ringan. Sehingga dapat disimpulkan pelanggaran HAM ringan adalah komplemen
dari pelanggaran HAM berat.

Setelah kita mengetahui definisi hak asasi manusia dan telah mengenal jenis pelanggaran
HAM, marilah kita mengamati fenomena hukuman mati yang dijatuhkan pada para
penjahat yang melakukan tindak kejahatan tertentu di negara kita. Sebut saja hukuman
mati yang dijatuhkan pada para teroris pelaku peledakan Bom Bali I.

Masih pantaskah ada negara yang menjatuhkan hukuman mati dan di sisi lain terjadi
berbagai upaya memperjuangkan perlindungan HAM ?
Kenyataannya masih banyak negara yang undang-undangnya menjatuhkan hukuman mati
sebagai ganjaran atas suatu perbuatan kejahatan luar biasa seperti kejahatan di bawah
hukum militer atau kejahatan yang dilakukan dalam keadaan luar biasa. Diantaranya
adalah Bolivia, Brazil, Chile, El Savador, Israel, Fiji, Kazakstan, Latvia, dan Peru.

Bagaimana di Indonesia? Tentu kita mengingat hukuman mati yang telah dijatuhkan
kepada teroris pelaku pengeboman Bom Bali, Amrozi cs. Ternyata di negara kita juga
masih melakukan hukuman mati. Apakah semua masyarakat Indonesia setuju dengan
adanya hukuman mati yang diberlakukan Indonesia? Tidak. Terjadi banyak pro kontra
seputar hukuman mati di Indonesia. Terdapat beberapa pakar hukum yang berpendapat
mengenai hukuman mati di Indonesia. Di bawah ini petikannya.
1. Sudi Prayitno, S.H., LL.M. [Penulis adalah Direktur Kantor Hukum Justitia Padang
dan Advokat pada LBH Padang]

Hukuman mati (the death penalty), sekalipun sudah memicu perdebatan sejak ratusan
tahun lalu, namun tetap menjadi sorotan publik bahkan memicu kerusuhan yang berujung
pada tindakan perusakan terhadap sejumlah kantor pemerintah. Setidak-tidaknya, reaksi
itulah yang terjadi pada hari-hari pasca eksekusi terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da
Silva, dan Marinus Riwu, terpidana mati dalam kasus kerusuhan Poso, yang “diakhiri’
nyawanya oleh regu tembak dua tahun lalu atau tepatnya pada tanggal 22 September
2006. Tibo Cs., bukanlah terpidana terakhir yang harus menghadapi hukuman mati, tetapi
masih ada ratusan terpidana mati lain yang kini sedang menunggu pelaksanaan hukuman
mati. Angka ini jelas bukan merupakan jumlah yang kecil, bila mengingat Indonesia –
menurut catatan Amnesty International- tergolong sebagai salah satu negara yang paling
minim menerapkan hukuman mati sampai tahun 2001, dikaitkan pula dengan jumlah
negara penganut hukuman mati (retentionist countries) yang terus-menerus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Bisa jadi, kini Indonesia menjadi salah satu negara yang
paling banyak menjatuhkan hukuman mati dibanding negara lain di dunia.

Secara yuridis, pelaksanaan hukuman mati terhadap Tibo Cs. dan ratusan terpidana mati
lain, didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht
van gewssdje). Putusan mana didasarkan pada ketentuan hukum positif yang berlaku,
seperti KUHP, UU No 7/Drt/1955, UU No 22 Tahun 1997, UU No 5 Tahun 1997, UU
No 31 Tahun 1999, UU No 26 Tahun 2000, dan lain sebagainya. Dari kenyataan ini,
terlihat bahwa penerapan hukuman mati di Indonesia semakin menunjukkan
kecederungan yang meningkat dilihat dari peningkatan jumlah peraturan perundang-
undangan yang mengatur hukuman mati. Persoalannya, apakah penerapan hukuman mati
seperti yang diberlakukan terhadap Tibo Cs. dan ratusan terpidana mati lain, memang
masih layak dipertahankan? Sejalankah praktek penghukuman seperti itu dilihat dari
perspektif hak asasi manusia dan tujuan penghukuman itu sendiri?.
Beberapa filsafat memandang tujuan penghukuman atau pidana sebagai bentuk
pembalasan dan pemberi rasa takut atau efek pencegah (deterrent effect) bagi orang lain
agar tidak melakukan kejahatan serupa di kemudian hari. Di sisi lain, ada pula yang
memandang hukuman sebagai cara untuk memperbaiki dan memberi efek jera bagi si
pelaku sehingga tidak mau lagi melakukan perbuatan serupa di kemudian hari.
Menurut pandangan pertama, tujuan hukuman baru akan terwujud apabila pelaku
kejahatan diganjar dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya dan semakin
berat hukuman akan semakin membuat orang takut melakukan kejahatan. Masalahnya,
apakah filosofi deterrent effect itu berjalan efektif? Melihat praktek pelaksanaan pidana
mati yang ada di Inggris, dimana pada saat orang ramai berkerumun untuk menyaksikan
penggantungan sang pencopet, para pencopet lain justeru menggunakan kesempatan itu
untuk menggerayangi saku para penonton (J.E. Sahetapy: 2006), melahirkan keraguan
apakah penerapan hukuman mati akan membuat orang takut atau justeru semakin berani
untuk melakukan kejahatan. Bila penerapan hukuman mati itu dimaksudkan sebagai
ketentuan hukum tertulis yang berfungsi untuk menakut-nakuti (sock therapy law),
justeru semakin banyak orang yang tidak takut melakukan korupsi, membunuh secara
berencana, melakukan kejahatan terorisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan
sebagainya.

Hukuman mati, mungkin akan membuat kejahatan si pelaku terbalaskan setidaknya bagi
keluarga korban dan akan membuat orang lain takut melakukan kejahatan karena akan
diancam dengan hukuman serupa. Namun hal itu jelas tidak akan dapat memperbaiki diri
si pelaku dan membuat dirinya jera untuk kemudian hidup menjadi orang baik-baik,
karena kesempatan itu sudah tidak ada lagi disebabkan dirinya sudah dimatikan sebelum
sempat memperbaiki diri. Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun, seorang pelaku kejahatan
dapat merasakan pembalasan atas tindakannya dengan bentuk hukuman lain, misalnya
dihukum seumur hidup dengan atau tanpa pencabutan beberapa hak tertentu atau penjara
di tempat yang jauh dan terpencil. Begitu juga bagi masyarakat, penjatuhan hukuman
penjara untuk waktu tertentu di suatu tempat tertentu atau perampasan beberapa barang
tertentu, dapat memberi rasa takut bagi seseorang untuk melakukan kejahatan.

Dari perspektif hak asasi manusia, penerapan hukuman mati dapat digolongkan sebagai
bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang
berbunyi, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai
individu”. Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 5 DUHAM dan Pasal 7 Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights-ICCPR) yang berbunyi, “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan
secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina“ dan
dikuatkan dengan Protokol Opsional Kedua atas Perjanjian Internasional mengenai Hak-
hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati. Sekalipun
instrumen hukum internasional yang mengatur persoalan hak asasi manusia tersebut tidak
dapat memaksa suatu negara untuk mematuhinya kecuali negara yang bersangkutan telah
menandatangani rumusan hukum yang tertuang dalam perjanjian internasional yang
dibuat untuk itu, namun sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa yang
berkomitmen memajukan hak asasi manusia, Indonesia wajib menghormati dan
melindungi hak asasi manusia setiap warga negaranya tanpa pandang bulu.

Sayangnya, meskipun ICCPR sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang berarti kewajiban untuk melaksanakan
ketentuan didalam kovenan tersebut telah secara otomatis melekat pada Pemerintah
Indonesia, belum terlihat adanya political will dari pemerintah untuk menghapuskan
pidana mati di Indonesia. Agaknya, problematika penerapan hukuman mati di Indonesia
tampaknya sudah mendesak untuk dicarikan jalan keluarnya. Lahirnya berbagai peraturan
perundang-undangan yang memungkinkan diterapkannya pidana mati di satu sisi dan
adanya jaminan dalam Konstitusi RI UUD 1945 (Amandemen Kedua) Pasal 28I Ayat (1)
yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya” yang diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM yang menegaskan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, ….
dst, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun” (Pasal 4), jelas menunjukkan kesimpangsiuran peraturan perundang-undangan
yang ada di Indonesia. Sulit kiranya menerima, peraturan perundang-undangan yang
seharusnya dibuat untuk melindungi HAM setiap orang justeru menjadi alat legitimasi
untuk melakukan pelanggaran HAM itu sendiri. Agaknya, fakta itulah yang saat ini
sedang terjadi di negeri ini.

2. Mardjono Reksodiputro, Pakar Hukum Universitas Indonesia

Delapan pakar hukum dari tujuh perguruan tinggi ternama di Indonesia setuju
pemberlakuan hukuman mati tanpa syarat bagi produsen dan pengedar narkotika. Atas
nama keadilan, hakim berhak mencabut nyawa seseorang.
Hal itu terungkap dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi, Rabu (20/6).

Dari sembilan pakar hukum pidana yang dimintai keterangan di Mahkamah Konstitusi,
hanya Mardjono Reksodiputro dari Universitas Indonesia yang menyatakan
pemberlakuan hukuman mati harus disertai syarat. Menurut dia, penjelasan hukuman
mati dalam UU tentang narkotika harus dibarengi dengan beberapa syarat, karena
termasuk kategori pidana khusus.

“Bisa digunakan pidana mati percobaan. Artinya, terpidana mati dihukum dulu 10 tahun
penjara. Kalau dapat memperbaiki diri, diubah menjadi hukuman seumur hidup atau
penjara 20 tahun,” ujarnya.
Mardjono mengatakan, apabila terpidana mati tidak dieksekusi selama 10 tahun, hak
negara untuk melakukan eksekusi menjadi kedaluwarsa dan pidana mati harus diubah
menjadi pidana seumur hidup. Syarat lain, keputusan hakim ketika menjatuhkan vonis
juga harus bulat. “Kalau ada descending opinion (pendapat berbeda), maka tidak bisa
dijatuhi pidana mati.”

Anggota Komisi Hukum Nasional itu berpendapat pemerintah saat ini masih ragu-ragu
melakukan eksekusi mati. Banyak kasus yang membuktikan terpidana mati mendapatkan
status yang tidak jelas ketika menunggu waktu eksekusi. Menurut dia, kalau pemerintah
masih ingin memberlakukan hukuman mati, harus ada syarat pidana khusus atau
penghapusan total.

Salah satu pakar hukum yang mendukung hukuman mati tanpa syarat adalah Didik Endro
Purnomo, ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga Surabaya. Menurut dia,
ketentuan hukuman mati tidak melanggar UUD 1945 karena hak hidup tidak berlaku bagi
seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Apalagi kehidupan bernegara akan
terancam jika generasi muda dirusak oleh narkotika. “Undang-undang narkotika
merupakan upaya untuk melindungi masyarakat.”

Sidang uji materi Undang-Undang tentang Narkotika yang mengundang pakar hukum
dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sumatera Utara,
Universitas Airlangga, Universitas Jember, Universitas Parahiyangan, dan Universitas
Pattimura juga menyatakan setuju dengan pemberlakukan hukuman mati bagi produsen
dan pengedar narkotika.
Pengujian undang-undang tersebut diajukan oleh Scott Anthony Rush, salah satu dari 9
warga Australia (kasus Bali 9) yang dijatuhi hukuman mati karena menyelundupkan
5.121 gram heroin ke Bali

3. Romli Atmasasmita, Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Bandung

Tiga puluh sembilan abad berlalu setelah hukuman mati pertama kali yang dicatat dalam
sejarah terjadi di Kerajaan Babilonia. Di bawah kepemimpinan Raja Hamurabi, kerajaan
itu membolehkan menghukum seseorang dengan jalan pencabutan nyawa.

Terentang jarak waktu yang panjang tidak juga mengikis aturan hukum yang
membolehkan pembunuhan terhadap orang lain atas nama penegakan keadilan. Meski
tidak bisa dikatakan mayoritas, nyatanya masih banyak negara memberlakukan hukuman
keji tersebut, termasuk Indonesia.

Setelah sempat memanas ketika terpidana pelaku kerusuhan Poso, Tibo dan kawan-
kawan, divonis mati di hadapan regu tembak, wacana penghapusan hukuman mati tidak
lagi ramai dibicarakan. Perdebatan kembali merebak ketika Amrozi dan kawan-kawan,
terpidana mati pelaku Bom Bali I, menolak menghadapi ajal dengan cara ditembak dan
memilih mati syahid dipancung. Mereka juga menolak meminta ampun kepada presiden
yang dinilai bukan sebagai representasi hukum Allah.

Pendapat pro-kontra kian meruncing. Kubu yang sepakat pemberlakuan hukuman mati
berpendapat negara perlu menerapkan hukum yang memberikan efek jera bagi para
pelaku lainnya. Sedangkan di seberang, kubu yang menolak hukuman mati berargumen
bahwa jenis hukuman ini terbukti tidak efektif membuat efek jera. Untuk kejahatan yang
berlatar belakang keyakinan, hukuman mati justru memotivasi pelaku lain untuk
melakukan kejahatan serupa demi membela keyakinan.

Mengurai kontroversi pemberlakuan hukuman mati, reporter VHRmedia.com Kurniawan


Tri Yunanto mewawancarai Romli Atmasasmita, mantan Koordinator Tim Perancangan
Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Terorisme. Pakar hukum pidana Universitas
Padjajaran Bandung ini berbagi pendapat soal pemberlakuan hukuman mati dan usaha
jalan tengah yang kini sedang ditempuh memecah kontroversi hukuman keji ini.
………….
Dalam uji UU Narkotika beberapa hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda. Lalu
keterangan JE Sahetapy menyatakan hukuman mati bertentangan dengan Pancasila dan
harus dihapus. Idealnya, menurut Anda seperti apa?
Ini kan berkaitan dengan pilihan. Kalau secara penegakan hukum, secara undang-undang
menghendaki dihapus. Tapi harus dikembalikan lagi, mengenai kejahatan yang sangat
serius, korbannya banyak, lalu ancaman pidana mati tidak boleh. Makanya saya setuju
dengan RUU yang kita buat. Dalam hukuman pidana yang baru nanti, saya menyarankan
hukuman pidana mati tetap ada, tapi termasuk pengecualian. Dalam hukum pokoknya
tidak diperbolehkan, tapi dalam pasal tertentu hukuman mati diperbolehkan untuk hal
tertentu.

Tapi implementasi pidana mati tidak harus digantung, diberi kesempatan 10 tahun untuk
menunjukkan bahwa dia patut diabolisi. Jadi di antara pro dan kontra, kita berdiri di
tengah. Kalau pidana mati dihapus keseluruhan, mungkin ada pemikiran yang
berkembang apakah kita harus seperti itu.
Apakah itu juga berlaku untuk kejahatan terorisme?

Kenapa untuk terpidana mati kasus terorisme seperti Bom Bali I tidak ada yang protes
dan diem saja? Australia, kalau ada pidana mati untuk terorisme langsung bersorak. Tapi
kalau warga negaranya ada yang dipidana mati, langsung berteriak. Kita di tengah
pergolakan kehidupan internasional yang berstandar ganda. Lalu kita masuk dalam
pergolakan itu dan dipaksa untuk mengambil sikap mendukung mana. Hukuman mati
soal terorisme itu kan juga masuk human right, tapi mereka tidak protes. Sekarang,
kenapa untuk kasus narkotika mereka protes? Ini harus betul-betul fair. Tapi masalahnya
di UU Narkotika kan dibedakan antara pecandu dan pengedar

Pengedar memang mati, tapi untuk pecandu ya diobati, tidak ada yang dihukum mati.
Terrorism, narcotic crime, dan perdagangan senjata itu termasuk international crime. Itu
sudah diakui dan satu paket.
Sekarang kita pilihannya apa? Kita hidupkan orang yang nyata-nyata bikin orang teler?
Makanya saya setuju KUHP ambil jalan tengah seperti itu. Itu lebih fair.

Pro – kontra ini pasti tidak selesai dalam satu zaman. Dulu saya masih ingat, Eropa
menolak hukuman mati. Sekarang beberapa negara justru menerima lagi.

Jadi, MK mungkin melihat untuk kasus Indonesia dengan melihat maraknya peredaran
narkotika. Mungkin ini jalan keluar yang terbaik. Lihat saja Singapura. Meski diprotes
seperti apa pun, tetap saja memberlakukan hukuman mati. Tapi dampaknya sekarang,
orang mikir-mikir melakukan tindak kejahatan di negeri itu. Rakyatnya senang. Di sini?
Kita lebih milih mana? Kalau saya sih mending kenceng sekalian seperti Singapura.
Siapa pun yang masuk ke situ pasti mati, tapi penduduknya aman. Sekarang mau milih
efisiensi, HAM, atau efektif untuk perlindungan republik ini? Kalau saya untuk
perlindungan yang lebih besar. Kalau secara akademis memang bisa diperdebatkan.
Kalau politis tergantung perpolitikan di negeri ini. Secara agamis dipertentangkan.

Sejak tadi kita bicara mengenai kontroversi hukuman mati. Sekarang bagaimana
menjembatani antara kepentingan politis ini?
Cepat saja RUU KUHP itu diundangkan, atau minimal bikin perpu (peraturan pemerintah
pengganti undang-undang) pengaturan ketentuan hukuman mati atau gimanalah biar bisa
mengurangi kontroversi.
Apa pertimbangan menerbitkan perpu berkaitan hukuman mati?
Pertimbangannya keadaan mendesak. Bahwa sebenarnya kita memerlukan pidana mati,
tapi dengan bersyarat.

Setelah putusan MK, Gubernur Lemhannas Muladi menyatakan hukuman mati tidak bisa
diberlakukan terhadap koruptor.

Tanggapan Anda?

Memang di luar negeri tidak ada koruptor yang dipidana mati. Paling tinggi 15 tahun.
Seumur hidup itu tidak ada. Hanya kita yang ada. Tidak ada masalah. Toh koruptor itu
kan hanya dirinya sendiri. Dengan hukuman 20 tahun saja sudah cukup bagi para
koruptor. Derajatnya itu narkotika lebih berat daripada koruptor. China saja sekarang
main tembak koruptor kewalahan sendiri, kok masih banyak yang bandel. Akhirnya
mereka lebih pada pencegahan dan berguru pada Korea Selatan dan Hong Kong. Kalau
korupsi itu harus difokuskan ke akar masalahnya.

Ada usulan mengganti hukuman mati dengan hukuman seumur hidup. Tanggapan Anda?
Hukuman hidup itu sebenarnya lebih payah. Pertama, benar-benar hidup dalam penjara
selamanya. Kedua, negara akan keluar biaya besar untuk mengongkosi. Sanggup tidak
negara? Sebenarnya arahnya kita sekarang ini pada penghapusan hukuman mati. Cuma
jika hapus total, akan memunculkan reaksi politis, khususnya dari partai-partai Islam.

Setelah kita sama-sama mengetahui sebagian tentang hak asasi manusia dan pendapat
para pakar hukum mengenai hukuman mati, seyogyanya kita telah mempunyai pendapat
tentang kontroversi hukuman mati di Indonesia. Telah dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal
28 tentang hak asasi manusia yang melindungi hak setiap orang untuk hidup, namun
ironisnya pemerintah membentuk Perpu No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana

Terorisme yang kemudian telah disahkan menjadi undang-undang. Dalam salah satu
pasalnya berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun.
Menurut saya, Perpu No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
yang menjatuhkan hukuman mati melanggar UUD 1945 Pasal 28. Tak seharusnya
pemerintah menjatuhkan hukuman mati untuk pelaku terorisme karena merebut hak
hidup pelaku terorisme. Perampasan hak hidup mengakibatkan perampasan HAM yang
lainnya seperti hak meneruskan keturunan, mengembangkan diri, dan sebagainya. Dalam
UUD 1945 tentang HAM tidak disebutkan adanya pengecualian tentang perlindungan
HAM, artinya perlindungan terhadap HAM adalah hak seluruh penduduk Indonesia.
Akan lebih baik jika hukuman tertinggi untuk tindak pidana terorisme adalah hukuman
seumur hidup. Diharapkan pelaku dapat bertaubat dari kejahatannya serta dapat
melanjutkan hidupnya dalam penjara. Walaupun telah banyak korban yang berjatuhan
karena kejahatannya, namun ia sebagai manusia tetap memiliki HAM yang dilindungi
UUD 1945.

Telah dijelaskan oleh salah satu pakar hukum di Indonesia bahwa jika hukuman mati
digantikan dengan hukuman seumur hidup akan menyebabkan semakin beratnya beban
keuangan pemerintah. Bagaimanakah solusinya? Jika pemerintah punya niat yang baik
untuk benar-benar melindungi HAM para pelaku kejahatan, pasti ada jalan keluar untuk
masalah tersebut. Pemerintah dapat memulai melatih ketrampilan pada narapidana agar
mereka dapat hidup mandiri walaupun mereka berada dalam penjara.

Seperti yang telah dilakukan di beberapa rumah tahanan di Indonesia dengan melatih para
tahanan untuk membuat benda-benda yang bernilai ekonomis misalnya membuat perabot
rumah tangga dari kayu, membuat hiasan, bahkan tidak mungkin tenaga narapidana bisa
dimanfaatkan untuk mendirikan sebuah perusahaan kecil-kecilan. Hasil kerja keras
mereka dapat ditabung untuk membiayai kehidupan mereka. Tentu saja pemberdayaan
sumber daya manusia di dalam penjara dapat dilakukan secara maksimal setelah para
tahanan bertaubat dan kembali menjadi manusia yang baik akhlak dan perbuatannya.
Pemerintah dapat meminta bantuan dari tokoh agama atau pihak lain yang kompeten
mengembalikan para tahanan ke jalan yang benar demik
UPAYA PENCEGAHAN AKSI TERORISME MELALUI
PENDEKATAN HUKUM

I. Latar Belakang Masalah


Aksi Terorisme di Indonesia sepanjang tahun 2000-2009 di Indonesia tercatat telah
terjadi 22 pengeboman, baik dalam skala kecil maupun skala besar dan yang baru-baru
ini para teroris melakukan peledakan Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton di Mega
Kuningan pada jum’at pagi, tanggal 17 Juli 2009 dengan Jumlah korban tewas 9 orang
dan luka-luka 55 orang, Aksi terorisme di Indonesia sebenarnya dimulai dengan ledakan
bom yang terjadi di kompleks Perguruan Cikini dalam upaya pembunuhan Presiden
Pertama RI, Ir Soekarno, pada tahun 1962 dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya
sampai pada bulan Agustus 2001 yaitu Peledakan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. Ledakan
melukai enam orang, semua aksi pemboman di Indonesia sepanjang tahun 1962 sampai
dengan Agustus 2001 hanya menjadi isu dalam Negri, namun sejak terjadinya peristiwa
World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September
2001, yang memakan 3.000 korban..
Peristiwa 11 September mengawali babak baru isu terorisme menjadi isu global yang
mempengaruhi kebijakan politik seluruh Negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik
tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan
massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional . Pasca
tragedi 11 september 2001 Indonesia sendiri belum menganggap aksi pemboman yang
terjadi di dalam negri sebagai aksi terorisme tapi aksi separatis/para pengacau keamanan
seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan sebagainya, Pemerintah Indonesia baru
menganggap adanya aksi Terorisme di Indonesia, setelah terjadinya Tragedi Bom Bali I,
tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil
terbesar di dunia , yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Hal ini
terbukti pasca tragedy Bom Bali I, Pemerintah megeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada 2 tanggal 4 April
2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang ini dikeluarkan mengingat
peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) belum
mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana
Terorisme.
Maka obyek kajian ini di focuskan pada pendekatan-pendekatan Hukum yang di titik
beratkan pada pengertian terorisme atau teroris, latar belakang terjadinya aksi terorisme,
kajian akademis yang berbasis hukum nasional dan internasional terhadap pasal-pasal
yang ada pada UU anti teroris Indonesia yaitu Perpu No. 1 tahun 2002 dan revisi UU No.
15 tahun 2003 dan apakah terdapat kelemahan pendekatan legal formal yang diterapkan
melalui UU anti terorisme dalam menindak para pelaku Terorisme

II. Landasan Teori


Menurut Konvensi PBB Tahun 1937 , Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan
yang ditunjukan langsung kepada Nrgara dengan maksud menciptakan bentuk terror
terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme , Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat (1), Tindak pidana terorisme adalah
segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
dalam undang-undang ini Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam
Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana
Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana
Terorisme, jika:
1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban
yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa
dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional (Pasal 6) .
2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk
menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7) .
Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan
ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh
banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
3. Menggunakan kekerasan.
4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat
berupa motif sosial, politik ataupun agama
Menurut A.C Manulang , Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari
kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis
serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah,
atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme
Menurut Muhammad Mustofa . Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung
dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan
keputusasaan massal.

III. Analisis dan Pembahasan


1. Istilah Terorisme
Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang
artinya dalam keadaan teror (under the terror), berasal dari bahasa latin ”terrere” yang
berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut. Istilah terorisme pada awalnya
digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan
ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Istilah terorisme
dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi
efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh
pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang . Polarisasi tersebut terbentuk
dikarenakan ada relativitas makna terorisme yang mana menurut Wiliam D Purdue
(1989) , the use word terorism is one method of delegitimation often use by side that has
the military advantage..
Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme.
Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau Negara sebagai
alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan
terhadap penduduk sipil menggunakn istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya
antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh
kombatan Negara, bagaimanapun lebih diterima dari pada yang dilakukan oleh ” teroris ”
yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan
melakukan kekerasan. Negara yang terlibat dalam peperangan juga sering melakukan
kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian
muncul istilah State Terorism, namun mayoritas membedakan antara kekerasan yang
dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme
dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi , korban bisa saja militer atau sipil ,
pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang.
Kebanyakan dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara
lain target, tujuan, motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Dapat dikatakan
secara sederhana bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh motif – motif tertentu
seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif
berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Namun patut disadari bahwa terorisme bukan
suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar strategi , instrumen
atau alat untuk mencapai tujuan . Dengan kata lain tidak ada terorisme untuk terorisme,
kecuali mungkin karena motif-motif kegilaan.
2. Kajian Akademis terhadap UU Anti Terorisme Indonesia
Terdapat kesan yang kuat bahwa pemerintah lebih mengedepankan pendekatan legal
formal dan represif dalam menangani masalah terorisme di tanah air. Indikasi ini
diperkuat dengan bersemangatnya pemerintah mengeluarkan undang-undang untuk
mengatasi masalah terorisme ini , termasuk usulan untuk mengeluarkan Internal Security
Act yang diyakini oleh banyak pihak pasti akan bersifat represif. Pada saat akan disahkan
Perpu 1 tahun 2002 menjadi UU No. 15 tahun 2003 banyak kecaman yang menyulut
pertentangan dan kritik terhadap seputar hak-hak asasi manusia berkenaan dari berbagai
hal antara lain Asas Retroakif, waktu penangkapan yang 7 X 24 jam , laporan intelejen
dan sebagainya Dalam Revisi UU No. 15 tahun 2003 ada pencantuman beberapa tindak
pidana dimana beberapa pasal bukan hanya dirumuskan terlalu luas, tetapi berpotensi
melanggar HAM . Hal tersebut terlihat dengan adanya kriminalisasi atau menjadikan
perbuatan sebagai tindak pidana pada aktivitas – aktivitas untuk perbuatan sebelum
terjadinya tindak pidana terorisme seperti pada Pasal 9 A , yang berbunyi : a. Dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, setiap orang dengan sengaja dan melawan
hukum memperdagangkan bahan-bahan utama yang berpotensial untuk digunakan
sebagai bahan peledak b. Apabila bahan-bahan utama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terbukti digunakan dala tindak pidana terorisme , pelaku dipidana paling lama 15
Tahun.
Diakui untuk peledak adalah Kewenangan Intelejen tidak menjelaskan jenis bahan-bahan
menambah yang dimaksud, padahal produsen pupuk , nelayan kecil-kecilan dan pekerja
tambang pun membutuhkan bahan-bahan yag jika dicampur dengan bahan-bahan tertentu
dapat menjadi peledak. Bahkan bensin, kain dan botol kosong pun dapat menjadi bahan
peledak. Jika ketentuan pasal tersebut disahkan akan terjadi ketidak adilan dan kerancuan
dalam penerapannya di lapangan. Untuk itu ada baiknya diperlukan peraturan distribusi
bahan-bahan kimia serta badan pengawas yang bertugas mengawasi peredaran bahan
kimia yang berpotensi sebagai bahan peledak di pasaran. Dimana hal tersebut tentunya
membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam pelaksanaannya dan diragukan terealisasi
dengan baik. Selain itu menimbulkan kerancuan siapa dapat digolongkan sebagai pembeli
yang legal atau illegal berdasarkan dari itikad pembeliannya. . Pada pasal 26 RUU
dinyatakan bahwa laporan intelejen dapat dijadikan sebagai bukti permulaan . Laporan
intelejen pada ayat (1a) jika berasal dari instansi lain selain dari Kepolisian RI wajib
diautentifikasi oleh Kapolri atau pejabat yang ditunjuk . Namun tidak disebutkan siapa
pejabat lain yang ditunjuk itu. Selain itu diakui oleh Direktur Jenderal Strategi
Pertahanan Departemen Pertahanan Mayor Jenderal Sudradjat bahwa memang pasal ini
ditambahkan untuk memberikan perluasan kewenangan intelejen untuk memburu dan
menangkap pihak-pihak yang berencana melakukan aksi terorisme. Laporan intelejen
tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti sebagai alat bukti sebagaimana revisi pasal 27
UU Anti Terorisme . Sebelumnya dalam UU No. 15 Tahun 2003, Laporan Intelejen tidak
dijadikan sebagai alat bukti ( Primary Evidence ) melainkan sebagai bukti permulaan
yang merupakan bukti pendukung ( Supporting Evidence ). Dalam hukum pidana
terdapat perbedaan mendasar antara pengertian intelegence evidence dan crime evidence.
Crime evidence dapat mencakup intellegence evidence . Tetapi intelegence evidence
tidak dapat dianggap sebagai crime evidence karena intelegnce evidence tidak
memerlukan sebagai fakta hukum untuk merumuskan perbuatan-perbuatan sebagai
indkasi atau dasar adanya tindak pidana . Hal ini dikarenakan intelegence
evidencemerupakan abstraksi data yang seringkali tidak memerlukan pembuktian.
Misalnya korban tewas yang dikarenakan bom mobil atau keterlibatan Noordin M Top
dan Dr Azhari dalam peledakan Bom Kuningan adalah intelegence evidence. Sedangkan
crime evidence merupakan fakta hukum yang konkret sebagai ciri rule of law, dalam
perspektif hukum pidana menggunakan laporan intelejen sebagai alat bukti jelas
mengabaikan azas praduga tak bersalah ( presumption of innocent ) dan tidak dapat
diabaikan kemungkinan dilakukannya inkriminasi terhadap para tersangka terorisme.
Pasal 31 RUU juga memasukkan hak-hak penyidik untuk membuka, memeriksa dan
menyita surat dan kiriman melalui pos serta melakukan penyadapan pembicaraan9. Pasal
itu bahkan tidak memberikan batasan terhadap tindakan penyadapan apa saja yang boleh
dilakukan oleh penyidik. Penyidik cukup memiliki bukti permulaan yang cukup untuk
bisa melakukan itu semua. Pada Pasal 34 RUU dicantumkan bahwa pemeriksaan dapat
dilakukan secara jarak jauh tanpa melakukan tatap muka dengan tersangka dengan
menggunakan layar monitor . RUU ini mengijinkan penggunaan teleconferenci sebagai
alternatif kehadiran saksi di muka sidang pengadilan. Namun RUU tidak menjelaskan apa
prasyarat tehnis untuk membuat suatu kesaksian di pengadilan dengan menggunakan
teleconferenci seperti sertifikasi sistem komunikasi dan keamanan ruangan saksi yang
diperiksa melaui teleconferenci sehigga keterangan saksi terlepas dari intervensi yang
dilakukan oleh penyidik di belakang layar teleconference tersebut. Terorisme memiliki
kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga pandangan mengenai terorisme
seringkali bersifat subjektif . Dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 sebenarnya terdapat pasal-
pasal yang sangat riskan melanggar HAM yaitu Pasal 46 tentang Asas Retroaktif.
Kemudian pada Bulan Juli 2004 MK menyatakan bahwa UU No. 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme
pada peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 tidak memiliki kekuatan yang
mengikat. Mahkamah Konstitusi ( MK ) mempertimbangkan Asas Retroaktif adalah asas
hukum yang bersifat universal yang hanya dapat diberlakukan ada jenis kejahatan
tertentu yang berupa Kejahatan Genosida ( crimes of genocide ), kejahatan terhadap
kemanusiaan ( crimes of humaninity). kejahatan perang ( war crimes ) dan kejahatan
agresi (agression). Menurut MK, terorisme merupakan kejahatan biasa yang sangat
kejam, maka kejahatan terorisme untuk Bom Bali tidak dapat diberlakukan asas
retroaktif. Ini artinya, terorisme bukanlah kejahatan terhadap genosida , kejahatan
kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. UU No. 15 Tahun 2003 tidak dapat
diberlakukan Asas Retroaktif karena hal tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat (3)
dan pasal 28 i ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 . Hal ini tentunya menimbulkan
kontroversi para praktisi hukum di Indonesia karena keputusan MK tersebut hanya
memperhatikan Hak Asasi para pelaku Terorisme saja tidak mempertimbangkan akibat
dari terorisme itu sendiri termasuk para korban, keluarga korban, masyarakat pada
umumnya bahkan akibat terorisme itu akan menyebabkan persepsi negatif bangsa-bangsa
dunia terhadap indonesia bahwa indonesia merupakan sarang terorisme dan beranggapan
bahwa situasi keamanan indonesia tidak aman. Di lingkup internasional penertian
terorisme masih terdapat perdebatan alot. Perdebatan tersebut berputar pada apakah
terorisme dapat dimasukkan sebagai kejahatan terhadap kemanusian ( crimes againts
humanity ) atau kejahatan luar biasa ( extra ordinary crimes ), tetapi bukan sebagai
kejahatan kemanusian. Dan ternyata terdapat desakan yang sangat kuat untuk
memasukkan kejahatan treaty based crimes related to terorism and drug trafficking
sebagai kejahatan kemanusiaan sehingga banyak ahli hukum yang mendukung
International Criminal Court ( ICC ) untuk memasukkan kejahatan-kejahatan tersebut
dalam yurisdiksinya. International Criminal Court ( ICC ) adalah lembaga prospektif
yang seharusnya tidak hanya menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan
yang ditentukan oleh Statuta Roma Tahun 1998 . Dalam hal ini , asas legalitas tetap
dipandang sebagai asas fundamental. Namun berkaitan dengan yurisdiksi ICC , asas ini
dapat disimpangi bila negara yang bersangkutan telah membuat pernyataan bahwa negara
tersebut dapat menerima pelaksanaan yurisdiksi oleh pengadilan yang berkaitan dengan
kejahatan masa lalu. Bertitik tolak dari pembahasan mengenai yurisdiksi ICC diatas,
maka sewajarnyalah bahwa kejahatan terorisme termasuk kejahatan terhadap
kemanusiaan karena korbannya massal dan menghancurkan kemanusiaan dan peradaban.
3. Sisi Negatif Pendekatan Legal Formal
Kebijakan yang terlalu bertumpu kepada pendekatan legal formal dan bersifat represif,
perlu ditinjau ulang karena bukan saja tidak mampu mengatasi masalah terorisme tetapi
justeru dapat meningkatkan tindakan kekerasan semacam itu di masa depan . Pemerintah
perlu memikirkan alternatif pendekatan dalam menyelesaikan masalah terorisme di tanah
air diluar pendekatan legal formal / represif. Ada beberapa hal efek negatif dapat
menyebabkan cara penyelesaian berbasis legal formal/represif itu kurang mampu
menyelesaikan masalah terorisme yaitu : pertama Logika dibelakang pendekatan melalui
pendekatan melalui mekanisme hukum itu berlawanan dengan logika yang dianut para
teroris itu sendiri. Sanksi pidana pada dasarnya untuk mencegah agar sesorang tidak
melakukan tindakan tersebut dan atau menghukum mereka yang melakukan tindakan
yang dilarang dengan harapan pelaku dan orang lain tidak melakukan hal yang sama
kelak dengan cara menerapkan sanksi fisik bagi para pelanggar, mulai yang teringan
sampai dengan yang terberat seperti hukuman mati. Tetapi, logika itu berlawanan dengan
logika para pelaku teroris yang bertindak melampaui rasa takut untuk melakukannya
bahkan mereka rela mati untuk mewujudkan tujuan mereka. Kedua Cara memerangi
terorisme yang bersifat legal formal dan represif seperti ini dapat menimbulkan efek balik
yang berlawanan dengan tujuan semula untuk memerangi terorisme. Tindakan semacam
itu tidak mustahil justeru dapat memicu perlawanan dan radikalisme baru yang lebih
hebat , bukan hanya dari kelompok masyarakat yang dituding sebagai pelaku terorisme
tetapi menimbulkan reaksi negatif dari kelompokkelompok lainnya. Apalagi tiap
penerapan cara penanganan semacam itu seringkali bukannya mengobati dan
menyembuhkan luka dan rasa frustasi suatu kelompok dalam masyarakat tetapi
cenderung berakibat pada kian mendiskreditkan dan memojokkan mereka . Kolompok
masyarakat lain akan memberikan stigma negatif pada kelompok masyarakat Terorisme
itu Kejahatan kelompok yang menerima stigma tersebut sehingga kepada pemerintah dan
kelompok tersebut akan berdampak melakukan perlawanan c. Penerapan UU yag represif
seperti UU anti terorisme dan internal security act dapat membawa implikasi negatif bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya kehidupan masyarakat demokrasi. Jika
UU tersebut diberlakukan wewenang aparat Negara akan lebih besar sehingga terbuka
peluang untuk disalahgunakan . Ada kemungkinan orang yang dicuriagai sebagai teroris
dapat diperiksa dan ditangkap tanpa prosedur hukum yang sah dan benar. Tiap-tiap lawan
politik yang berseberangan misalnya dapat dikenakan dengan pasal-pasal ini sehingga
memunculkan state terorism yang tentunya akan menimbulkan masalah panjang yang
tidak berkesudahan.
Keberhasilan membuat perangkat hukum yang baik belum tentu memberikan dampak
positif dalam mewujudkan maksud dan tujuan hukum. Sebagus apappun produk hukum
formal yang ada tidak akan ada artinya tanpa disertai penerapan yang baik. Ironisnya,
Indonesia dipandang sebagai negara yang pandai membuat perangkat hukum namun
masih lemah penerapannya. Hal ini jika dibiarkan akan mempengaruhi tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.

IV. Kesimpulan dan Saran


1. Kesimpulan
a. Terorisme timbul dengan dilatar belakangi berbagai sebab dan motif. Naun patut kita
sadari bahwa terorisme bukan merupakan ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran
agama .
b. Terorisme merupakan strategi , instrumen dan atau alat mencapai tujuan.
c. Penerapan UU anti terorisme di dalam No 15 Tahun 2003 sangat berpotensi
mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para tersangka terorisme dan tidak
memberikan efektifitas untuk mengurangi orang untuk bertindak sebagai teroris.
d. Pemberian wewenang yang terlalu luas bagi aparat untuk memberantas terorisme tanpa
disertai tanggungjawab dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan suatu terorisme baru
yang dilakukan terhadap negara terhadap warga negaranya atau State Terorism.
2. Saran
Untuk memerangi tindakan terorisme pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang
tidak legalis represif terhadap terorisme salah satunya antara lain memikirkan
kemungkinan rekonsialisasi dan terbukanya komunikasi intensif antara pemerintah-
masyarakat dan unsur-unsur di dalam masyarakat itu sendiri baik melalui pendekatan
Agama maupun Budaya. Karma Patut disadari bahwa terorisme merupakan rangkaian
tindakan yang kompleks, maka pada dasarnya penanganan tindak pidana terorisme tidak
akan memadai jika hanya mengandalakan undang-undang saja. Tampa di dukung oleh
kinerja aparat penegak hukum yang professional dalam menegakan peraturan yg ada dan
perlu dilakukanya Revisi UU anti terorisme yang harus di sesuai dengan kerangka hukum
yang harus mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan pengawasan perbatasan,
keamanan transportasi, bea cukai, keimigrasian, money loundring, basis rekruitmen dan
pelatihan ( milisi atau pelatihan militer illegal ), keuangan, bahan peledak, bahan kimia
dan persenjataan serta perlindungan terhadap masyarakat sipil. Serta mewajibkan setiap
prosedur dan tindakan hukum dilakukan secara nondiskriminatif , melindungi dan
menghormati HAM.
Negara-negara Tirani, Monarki, dan Diktator di Timur Tengah
Saudi Arabia
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB

Kampung halaman gembong teroris Osama bin Laden dan sebagian besar teroris
9/11. Tempat berlindung pembunuh masal, Idi Amin. Negara teokrasi tipe abad
pertengahan. Apartheid terhadap non-Muslim. Hukuman mati bagi pezina dan
orang yang murtad dari Islam. Dua kota besarnya (Mekah dan Madinah) adalah
terlarang bagi non-Muslim. Film dilarang di negara ini. Wanita dilarang menyetir
mobil.

Wanita dilarang bepergian, mendapat pendidikan atau bekerja tanpa izin tertulis
dari laki-laki yang menjadi muhrimnya. Wanita dilarang bergaul dengan kaum pria
di ruang publik dan harus mengenakan “jubah hitam” jika keluar rumah.

Ada hukum potong tangan, hukum cambuk, dan penggal kepala yang
dipertontonkan ke publik.

Libya
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB

Negara Sponsor Teroris – Tidak Ada Partai Politik – Tidak Ada Pengadilan
Independen.
Praktek Hukum Swasta dilarang – Tidak ada hak-hak pekerja.
Pemerintah mendominasi ekonomi – Senjata pemusnah massal.
Menjatuhkan pesawat penumpang Prancis di atas Nigeria, tewas 170 orang.
Menjatuhkan pesawat Pan Am di atas Lockerbie, Skotlandia, tewas 270 orang.

Mesir
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB
Mesir menginvasi Israel pada 1948, dengan maksud menghancurkan negara itu, dan
akhirnya menduduki Betlehem, daerah dekat Yerusalem. Arab Mesir menduduki
wilayah Arab Palestina sejak 1948 sampai 1967.

60,000 tentara Mesir menginvasi Arab Yaman dari 1962 sampai 1967, melawan
tentara Arab Yaman dan Saudi Arabia. Penggunaan senjata pemusnah massal oleh
Mesir saat melawan Yaman, adalah penggunaan senjata pemusnah massal pertama
di timur-tengah. Kampung halaman pemimpin teroris 9/11, Muhammad Atta dan
teroris 9/11 lainnya.

Penyiksaan terhadap orang-orang Kristen – Hasutan untuk melawan Yahudi.


Penyalahgunaan anak-anak – Hasutan kebencian – Senjata pemusnah massal –
Penyiksaan terhadap kaum homoseksual.

Tahun 2001, lagu “I Hate Israel” menjadi hit di Mesir.

Bahrain
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB

Otokrasi Turun-temurun – Tidak Ada Partai Politik – Tidak Ada Kebebasan


Berbicara – Penghakiman Sesuka Pemerintah – Tidak Ada Hak Pekerja –
Diskriminasi Wanita

Oman
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB

- Idem -

Qatar
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB

- Idem -

Irak
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB

Negara Sponsor Terorisme – Genosida – Penyiksaan Keagamaan.


Menggunakan senjata pemusnah massal untuk melawan rakyatnya sendiri.
Menduduki dan merampas Kuwait dari 1990-1991.
Menginvasi Muslim Iran yang mengakibatkan perang antara 1980 – 1988, 1 juta
orang telah tewas.

Iran
DIKTATOR, ORG. OF THE ISLAMIC CONFERENCE MEMBER

Negara Sponsor Terorisme – Ambisi Nuklir – Ideologi Penguasaan Dunia.


Menggunakan senjata pemusnah massal selama perang melawan Muslim Irak.
Perang Irak-Iran 1980-1988 menewaskan lebih dari 1 juta orang.
Presiden Iran menyerukan penghancuran Israel.
Negara mensponsori anti-semitisme.
Negara mensponsori pemujaan terhadap para syuhada dan darah.
Penghukuman keagamaan – Hukum rajam hingga mati dan eksekusi brutal lainnya.
Diskriminasi wanita.

Suriah
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB

Negara sponsor terorisme – Tirani – Diskriminasi wanita.


Transit obat-obat terlarang untuk pasar negara barat.
Memalsukan peta resmi kenegaraan, dengan memasukkan propinsi Hatay (Turki) ke
dalam Suriah.
Menginvasi Israel tahun 1948.
Menginvasi Yordan (Black September 1970).

Lebanon
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB

Organisasi teroris Hizbullah adalah bagian dari pemerintah.


Pelabuhan bagi kaum teroris.
150.000 orang meninggal dalam 15 tahun karena perang sipil.
Pemuja darah dan kematian.
Produsen besar obat-obat terlarang untuk pasar negara barat.

Otonomi Palestina
DIPERINTAH OLEH ORGANISASI TERORIS HAMAS, ANGGOTA LIGA ARAB

Partai politik Palestina, --Hamas, Fatah, dan PFLP— mengoperasikan “tentara” yang
masuk dalam daftar teroris di Amerika Serikat dan Uni Eropa. “Pemilu demokratis”
2006, menunjukkan bagaimana masyarakat Palestina sesungguhnya. Hamas
mendapatkan suara terbanyak (74) dari 132 kursi dewan legislatif Palestina, disusul
Fatah 45, dan PFLP 3.
Antara HAM, Privasi, dan Extraordinary Crime
21 Dec 2009

• Politik
• Republika

Pernah menonton film Enemy of The State? Film yang dibintangi Will Smith itu
memperlihatkan bagaimana negara memata-matai warganya. Sesuatu yang tentu saja tak
nyaman. Tapi, untuk kasus Indonesia, soalnya memang bisa menjadi lain.

Urusan mematai-matai warga negara, seperti menyadap, yang di negara lain telah diatur
secara ketat oleh pemerintah atas dasar hak asasi dan privasi, di Indonesia justru
menemui kendala lain. Pasalnya, penyadapan yang leluasa justru diperlukan untuk
memberantas penyakit kronis bernama korupsi.

Menyadari korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), pemerintah dan
DPR membekali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan senjata sepadan
penyadapan. Benar saja, penyadapan itu membuat KPK bergerak bak hantu.

Sepak terjang KPK pun menyuguhkan cerita berkualitas novel detektif. Lembaga tersebut
mengintai, menguntit, dan mencokok koruptor dari kamarkamar. hotel hingga ruang
parkir. Dari jalan protokol hingga gang perumahan mewah. KPK seperti ada di mana-
mana.

Korban KPK pun berjatuhan. Mulai dari pengusaha sampai jaksa. Dari pejabat
pemerintah hingga anggota DPR-yang lama mengidam mitos the untouchable.

Tapi, taring itulah yang sejak awal hendak dipatahkan oleh orang-orang yang menjadi
korbannya. Baik lewat proses hukum maupun lewat proses legislasi.

Anggota KPU, Mulyana W Kusumah, yang menjadi korban dramatis pertama


penyadapan, men-judicial review kewenangan menyadap di Pasal 12 ayat (1) UU KPK.
Dia berdalil, ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin hak
setiap warga negara untuk berkomunikasi. Mulyana hanya salah satu yang menyoal pasal
itu ke MK.

Akhir 2006, MK mengeluarkan putusan yang, antara lain, menyatakan tata cara
penyadapan KPK akan diatur dalam UU tersendiri, untuk menjaga independensi dalam
memberantas korupsi. Tapi sudah tiga tahun, UU khusus itu tak kunjung muncul.

Medio 2009. anggota DPR periode 2004-2009 yang hampir berakhir masa baktinya,
berusaha keras menggusur kewenangan menyadap KPK, lewat RUU Pengadilan Tipikor.
Antara

lain, lewat usulan klausul bahwa hasil penyadapan tanpa izin tak bisa dijadikan alat bukti.
Karena kuatnya tekanan publik, dan adanya putusan MK-bahwa penyadapan akan diatur
UU tersendin-DPR tak berhasil. Tapi, UU Pengadilan Tipikor berhasil membatasi ruang
gerak penyadapan, lewat klausul bahwa hakim-lah yang menentukan sah-ti-daknya hasil
sadapan sebagai alat bukti.

Persoalan sadap-menya-dap ini pula yang sempat membuat hubungan Polri-KPK


memanas, setelah KPK secara tak sengaja menyadap Kabareskrim Komjen Susno Duadji
sedang melakukan pembicaraan mencurigakan. Tapi, kriminalisasi pimpinan KPK urung
terjadi dan KPK tak berhasil dibubarkan, lagi-lagi karena perlawanan publik.

Tapi, badai belum berlalu. Kewenangan penyadapan yang merupakan taring KPK, masih
tetap dibidik. Kali ini lewat RPP Tata Cara Inter-sepsi. Penyadapan yang semula sejak
tahap penyelidikan, hendak ditelikung ke tahap penyidikan. KPK juga hendak
disubordinasi oleh lembaga bernama Pusat Intersepsi Nasional (PIN).

Siasat pengaturan baru

jni. lagi-lagi berdalih HAM dan privacy. Itu. antara lain, terlihat dari poin menimbang di
RPP tersebut yang me-mampang UU No 39/1999 tentang HAM. "Berkomunikasi adalah
hak asasi, tidak boleh disadap. Hasil penyadapan tidak boleh sembarangan dibuka karena
tidak semuanya merupakan informasi publik," kata Menkominfo, Tifatul Sembiring,
dalam rapat kerja dengan DPR, akhir November.

Tifatul mencontohkan, di negara seperti Australia. Je- . pang, dan Korea Selatan,
penyadapan itu diatur di bawah departemen seperti Depkominfo. Dia mengidam-kan
kewenangan serupa di Indonesia.

Anggota Komisi I DPR, Ahmad Muzani, mengatakan, pengaturan penyadapan memang


perlu. Tapi, untuk saat ini, pengaturan malah bisa kontraproduktif terhadap
pemberantasan korupsi. "Belum saatnya." kata dia.

Sebenarnya, tanpa diatur-atur pun, dalam UU Telekomunikasi dan UU ITE, menyadap


merupakan kegiatan terlarang, kecuali untuk kepentingan penegakan hukum. Tapi, RPP
malah justru datang dengan sejumlah klausul yang membuat resah. bachrul. l harun

Dasar dasddddAntara HAM, Privasi, dan Extraordinary


Crime
21 Dec 2009

• Politik
• Republika

Pernah menonton film Enemy of The State? Film yang dibintangi Will Smith itu
memperlihatkan bagaimana negara memata-matai warganya. Sesuatu yang tentu saja tak
nyaman. Tapi, untuk kasus Indonesia, soalnya memang bisa menjadi lain.
Urusan mematai-matai warga negara, seperti menyadap, yang di negara lain telah diatur
secara ketat oleh pemerintah atas dasar hak asasi dan privasi, di Indonesia justru
menemui kendala lain. Pasalnya, penyadapan yang leluasa justru diperlukan untuk
memberantas penyakit kronis bernama korupsi.

Menyadari korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), pemerintah dan
DPR membekali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan senjata sepadan
penyadapan. Benar saja, penyadapan itu membuat KPK bergerak bak hantu.

Sepak terjang KPK pun menyuguhkan cerita berkualitas novel detektif. Lembaga tersebut
mengintai, menguntit, dan mencokok koruptor dari kamarkamar. hotel hingga ruang
parkir. Dari jalan protokol hingga gang perumahan mewah. KPK seperti ada di mana-
mana.

Korban KPK pun berjatuhan. Mulai dari pengusaha sampai jaksa. Dari pejabat
pemerintah hingga anggota DPR-yang lama mengidam mitos the untouchable.

Tapi, taring itulah yang sejak awal hendak dipatahkan oleh orang-orang yang menjadi
korbannya. Baik lewat proses hukum maupun lewat proses legislasi.

Anggota KPU, Mulyana W Kusumah, yang menjadi korban dramatis pertama


penyadapan, men-judicial review kewenangan menyadap di Pasal 12 ayat (1) UU KPK.
Dia berdalil, ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin hak
setiap warga negara untuk berkomunikasi. Mulyana hanya salah satu yang menyoal pasal
itu ke MK.

Akhir 2006, MK mengeluarkan putusan yang, antara lain, menyatakan tata cara
penyadapan KPK akan diatur dalam UU tersendiri, untuk menjaga independensi dalam
memberantas korupsi. Tapi sudah tiga tahun, UU khusus itu tak kunjung muncul.

Medio 2009. anggota DPR periode 2004-2009 yang hampir berakhir masa baktinya,
berusaha keras menggusur kewenangan menyadap KPK, lewat RUU Pengadilan Tipikor.
Antara

lain, lewat usulan klausul bahwa hasil penyadapan tanpa izin tak bisa dijadikan alat bukti.

Karena kuatnya tekanan publik, dan adanya putusan MK-bahwa penyadapan akan diatur
UU tersendin-DPR tak berhasil. Tapi, UU Pengadilan Tipikor berhasil membatasi ruang
gerak penyadapan, lewat klausul bahwa hakim-lah yang menentukan sah-ti-daknya hasil
sadapan sebagai alat bukti.

Persoalan sadap-menya-dap ini pula yang sempat membuat hubungan Polri-KPK


memanas, setelah KPK secara tak sengaja menyadap Kabareskrim Komjen Susno Duadji
sedang melakukan pembicaraan mencurigakan. Tapi, kriminalisasi pimpinan KPK urung
terjadi dan KPK tak berhasil dibubarkan, lagi-lagi karena perlawanan publik.
Tapi, badai belum berlalu. Kewenangan penyadapan yang merupakan taring KPK, masih
tetap dibidik. Kali ini lewat RPP Tata Cara Inter-sepsi. Penyadapan yang semula sejak
tahap penyelidikan, hendak ditelikung ke tahap penyidikan. KPK juga hendak
disubordinasi oleh lembaga bernama Pusat Intersepsi Nasional (PIN).

Siasat pengaturan baru

jni. lagi-lagi berdalih HAM dan privacy. Itu. antara lain, terlihat dari poin menimbang di
RPP tersebut yang me-mampang UU No 39/1999 tentang HAM. "Berkomunikasi adalah
hak asasi, tidak boleh disadap. Hasil penyadapan tidak boleh sembarangan dibuka karena
tidak semuanya merupakan informasi publik," kata Menkominfo, Tifatul Sembiring,
dalam rapat kerja dengan DPR, akhir November.

Tifatul mencontohkan, di negara seperti Australia. Je- . pang, dan Korea Selatan,
penyadapan itu diatur di bawah departemen seperti Depkominfo. Dia mengidam-kan
kewenangan serupa di Indonesia.

Anggota Komisi I DPR, Ahmad Muzani, mengatakan, pengaturan penyadapan memang


perlu. Tapi, untuk saat ini, pengaturan malah bisa kontraproduktif terhadap
pemberantasan korupsi. "Belum saatnya." kata dia.

Sebenarnya, tanpa diatur-atur pun, dalam UU Telekomunikasi dan UU ITE, menyadap


merupakan kegiatan terlarang, kecuali untuk kepentingan penegakan hukum. Tapi, RPP
malah justru datang dengan sejumlah klausul yang membuat resah. bachrul. l harun

You might also like