Professional Documents
Culture Documents
Namun demikian, putusan Mahkamah Konstitusi atas eksistensi pidana hukuman mati di
Indonesia, disadari atau tidak telah membuka kembali ’perang wacana’ mengenai konsep
penghukuman yang berprikemanusiaan dan beradab. Beragam pandangan dan
argumentasi mengenai pidana hukuman mati sebenarnya telah lama diketengahkan di
kalangan akademisi, praktisi, maupun pakar hukum. Bahkan sejak digulirkannya
rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, wacana ini tidak
luput dari banyak sorotan. Perdebatan yang terjadi mencakup sisi filosofis, yuridis
maupun sosiologis mengenai urgensi penerapan pidana hukuman mati. Bermacam
pertanyaan mendasar seperti apakah manusia berhak mencabut nyawa sesamanya,
sedangkan kehidupan adalah karunia Tuhan? siapa yang memberi kewenangan kepada
seorang algojo untuk merenggut hak hidup manusia yang lain? hingga pertanyaan teknis
mengenai bagaimana pelaksanaan pidana hukuman mati yang memenuhi keberadaban itu
dilakukan? terus bergulir mencari rumusan jawaban. Namun semua wacana tersebut
timbul tenggelam dalam forum diskusi dan seminar karena ketiadaan kekuatan yuridis
yang bersifat final dan mengikat. Hal yang tentunya berbeda ketika wacana tersebut
termaktub dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang secara kelembagaan mempunyai
kewenangan dan kekuatan hukum sebagai judge make law dalam pengujian produk
perundangan.
Babak baru yang kemudian muncul dalam putusan MK ini adalah penguatan teori
penjatuhan pidana sebagai konsep pembalasan (vergeldingstheorie) daripada sebagai
konsep memperbaiki (verbeteringstheorie) si pelaku. Dengan pidana hukuman mati,
negara seakan berlepas diri untuk memperbaiki sikap tindak si pelaku atas tindak pidana
yang dilakukannya. Meskipun sisi hukum yang merupakan ranah yudikatif ini dapat pula
diupayakan lebih ringan melalui grasi dan amnesti sebagai hak prerogratif eksekutif,
namun hukuman mati masih dipandang sebagai konsep pembalasan atas tindak pidana
yang dilakukan. Jika demikian, bagaimana dengan ketentuan sila ke-2 Pancasila
”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”? dan ”hak hidup” setiap manusia sebagaimana
termaktub dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945?
Dengan perspektif yang berbeda dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi, mengenai
nilai kemanusian dalam kerangka acuan keadilan dan keberadaban ini, sangat menarik
ketika mengamati beberapa negara lain menyikapinya. Jika di Indonesia saat ini
menghapuskan pelaksanaan hukuman mati melalui tiang gantungan, dan diganti dengan
ditembak sampai mati oleh regu tembak, hal senada ternyata dapat dijumpai pula di
negara lain. Beberapa negara asing misalnya Amerika Serikat, di beberapa negara
bagiannya menggunakan kursi listrik, gas beracun dan ada pula yang menggunakan
tempat penggantungan seperti di Indonesia pada masa silam. Di Perancis pelaksanaan
hukuman mati dilaksanakan dengan alat pemenggal kepala yang disebuat ’quilotine’.
Sedangkan di Negara Timur Tengah menggunakan tiang gantungan atau pedang dalam
pelaksanaan hukuman mati pemenggalan kepala. Dapat dicermati bahwa negara-negara
yang dikenal sebagai pencetus HAM dan demokrasi ternyata memberlakukan pula
eksistensi pidana hukuman mati. Bahkan secara sederhana dapat dikatakan bahwa,
perdebatan panjang mengenai nilai kemanusiaan pada akhirnya berakhir pada pendekatan
teknis yang dipandang lebih manusiawi pada saat pelaksanaan hukuman mati. Terbukti,
saat ini di negara-negara tersebut dikembangkan adanya teknik lethal injection dalam
pelaksanaan hukuman mati. Melalui tiga kali penyuntikan yang terdiri atas obat pembius,
obat penghenti detak jantung dan suntikan terakhir yang barupa racun, teknik ini
dianggap paling manusiawi dan beradab karena menghilangkan penderitaan bagi sang
terpidana mati.
Hukuman Pokok
Fakta hukum yang selanjutnya patut dicermati adalah rumusan hukuman pokok dan
hukuman yang bersifat khusus dan alternatif. Terdapat konsepsi yang berbeda ketika
konteks pidana hukuman mati ini diberlakukan. Ketika mencermati Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat ditemukan bahwa pidana hukuman mati termasuk
sebagai hukuman pokok. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai masa
percobaan dalam paruh waktu tertentu menjelang eksekusi. Dengan demikian ketika
putusan hakim memperoleh kekuatan hukum tetap, maka eksekusi dapat dijalankan.
Sedangkan dibeberapa ketentuan hukum yang bersifat khusus, seperti dalam Undang-
Undang Narkotika, pidana hukuman mati bersifat khusus dan alternatif. Artinya, ketika
pelaku tindak pidana narkotika atau tindak pidana lain yang bersifat extraordinary crime
dijatuhi hukuman mati, maka vonis tersebut dapat dieksekusi ketika telah melalui masa
percobaan dan sang terpidana tidak menunjukkan sikap yang lebih baik. Dalam hal ini
masih terbuka baginya upaya grasi maupun amnesti yang dapat diupayakan selama
hukuman percobaan. Klausul hukuman percobaan penjara sepuluh tahun inilah yang
membedakan ketika pidana hukuman mati tidak digolongkan dalam hukuman pokok.
Inilah beberapa telaah mengenai eksistensi pidana hukuman mati yang sejatinya masih
diperlukan dalam menjaga kehidupan bernegara dan berbangsa yang beradab. Justru
karena adanya ancaman hukuman mati dalam ketentuan yurudis, diharapkan
menumbuhkan efek jera dan pembelajaran bagi khalayak akan arti penting menjaga hak-
hak sesama dan tidak melanggarnya. Sebuah fenomena simbolistik yang menarik ketika
para pejabat Republik Rakyat Cina (RRC) mendapat suvenir sebuah peti mati berukuran
mini dari presidennya. Langkah ini ditempuh untuk memberikan pengingatan bahwa jika
para pejabat tersebut melakukan korupsi maka hukuman matilah yang pantas untuknya,
tidak terkecuali bagi presiden yang bersangkutan. Mereka menyadari bahwa korupsi akan
merusak sendi kehidupan bernegara, penggunaan narkotika akan merusak generasi
bangsa dan illegal logging akan menghancurkan lingkungan hidup mereka. Semangat
kesadaran seperti inilah yang seharusnya muncul ketika eksistensi pidana hukuman mati
tetap diberlakukan di Indonesia. Akhirnya kesadaran tersebut membawa kepahaman
untuk sesegera mungkin lepas dari kungkungan krisis multidimensi seperti saat ini.
Samoa.
FENOMENA PRO DAN KONTRA TERHADAP EKSISTENSI HUKUMAN MATI
DALAM PERSPEKTIF PEMIDANAAN
Salah satu bentuk sanksi yang paling berat ialah hukuman mati atau pidana. Masalah
hukuman mati ini telah diperdebatkan oleh para sarjana hukum pidana. Penentang
hukuman mati antara lain mengatakan bahwa hukuman mati dapat menyebabkan
ketidakadilan.
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum menjelaskan bahwa hukuman mati masih
diperlukan karena beberapa sebab, antara lain dikarenakan meningkatnya kejahatan yang
bervariasi, sehingga masih diperlukan sebagai bagian dari perlindungan publik. Pro dan
kontra timbul atas putusan hakim menjatuhkan hukuman mati dalam beberapa kasus.
Identifiksai masalah penulis angkat ditinjau dari penerapan hukuman mati kaitannya
dengan perundang-undangan di Indonesia, permasalahan pro dan kontra hukuman mati
serta pelaksanaannya, upaya hukum untuk menjembatani perbedaan pandangan tentang
hukuman mati.
Penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian deskriptif
analistis yaitu berupa penggambaran, penelaahan dan penganalisaan ketentuan-ketentuan
yang berlaku, yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis faktual serta
akurat dari objek penelitian itu sendiri.
Pendekatan Yuridis Normatief, merupakan pendekatan yang digunakan berdasarkan atas
bahan-bahan, kepustakaan, dan lapangan. Kemudian dianalisis secara Yuridis Kualitatief
yaitu menganalisis data yang diperoleh dengan memperhatikan dan menggunakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tujuan yang ingin dicapai dari penerapan hukuman mati adalah untuk mencegah
terjadinya kejahatan disamping juga merupakan sarana bagi seorang terpidana untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dalam skirpsi ini dipaparkan mengenai
alasan-alasan pro dan kontra yang dapat ditarik kesimpulan untuk menjembatani
perbedaan persepsi atas eksistensi penerapan hukuman mati.
Salah satu bentuk sanksi terberat adalah hukuman mati atau kejahatan. Masalah hukuman
mati ini telah diperdebatkan oleh semua pengacara kejahatan. Antagonis pidana mati
misalnya mengatakan bahwa hukuman mati dapat menyebabkan.
hukuman mati masih diperlukan oleh karena menyebabkan, misalnya karena
meningkatnya kejahatan yang bervariasi, sehingga masih diperlukan sebagai bagian dari
perlindungan publik. Pro dan kontra timbul keputusan hakim membawa mati keadilan
dalam beberapa kasus
Identifikasion dari masalah lift penulis akan ditinjau dari penerapan hukuman mati
kaitannya dengan undang-undang di Indonesia, masalah pro dan kontra hukuman mati
dan juga pelaksanaannya, upaya hukum untuk menjembatani perbedaan pandangan
tentang hukuman mati.
Penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini deskriptif analistis yaitu
dalam bentuk penggambaran, observasi dan menganalisa peraturan yang berlaku, dengan
bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis faktual dan juga akurat dari
objek penelitian itu sendiri
Pendekatan Yuridis Normatief, mewakili menggunakan pendekatan berdasarkan bahan,
kepustakaan, dan lapangan. Apakah kemudian dianalisa dengan Kualitatief Yuridis yang
menganalisis diperoleh dengan memperhatikan dan menggunakan hukum dan peraturan
yang berlaku.
Tujuan yang ingin dicapai dari penerapan hukuman mati adalah untuk mencegah
terjadinya kejahatan di samping juga merupakan sarana untuk dihukum untuk respon
perbuatannya. Dalam skirpsi dari alasan dipaparkan mengenai pro dan kontra dapat
ditarik kesimpulan untuk menjembatani perbedaan persepsi penerapan hukuman
Menimbang (Lagi) Hukuman Mati
Ariyanto, Dedi Setiawan, dan Bona Ventura
Artikel Lain
Henry Ditahan, Lalu Pak Jenderal…?
Saat Gugatan Membanjiri Lapindo
Langkah Mundur Penanganan Korupsi
Kepailitan, Ibist yang Menyesatkan
Menimbang (Lagi) Hukuman Mati
Sulitnya Mencari Hakim Agung
Dong Joe, Riwayatmu Kini
Gebrakan dari Pangeran Cendana
Hukuman Ringan buat Jenderal
PLN Tersengat Proyek CIS
Aturan-aturan hukum tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28 A dan 28 I UUD
1945. Konstitusi, demikian Todung, secara tegas menjamin hak hidup setiap warga
negara. ”Hukuman mati tidak mempunyai dasar hukum dalam Undang-Undang Dasar
kita,” tegasnya.
Todung membenarkan bahwa peredaran narkoba termasuk dalam jenis kejahatan yang
berbahaya bagi hajat hidup orang banyak. Undang-undang pun sudah mengatur tentang
ancaman hukuman yang berat buat pelakunya, yakni penjara seumur hidup dan 20 tahun
kurungan. Hukuman mati, demikian Todung, tidak perlu diterapkan karena tidak
memberikan efek jera.
Di mata Henry Yosodiningrat, Ketua Umum Gerakan Anti Narkotika, ancaman hukuman
mati dalam Undang-Undang tentang Narkotik masih sangat diperlukan. Karena itu,
seandainya dianggap bertentangan dengan konstitusi, dia menyarankan agar UUD 1945
diamendemen. ”Ketentuan itu harus tetap ada, mengenai apakah nanti akan divonis mati,
itu kewenangan hakim,” tuturnya.
Henry beralasan dengan adanya ancaman itu, Indonesia tidak akan dijadikan ”surga” oleh
pengedar narkotik. Selama ini, katanya, sindikat obat terlarang itu tidak berani
mengendalikan bisnisnya dari negara-negara ASEAN yang sebagian masih menerapkan
ancaman hukuman mati. ”Masih ada hukuman mati saja Indonesia sudah mulai dijadikan
surga oleh mereka,” ujarnya.
Jika ancaman itu dihapus, imbuh Henry, maka para sindikat narkotik akan berbondong-
bondong datang untuk ”bermain”. Apalagi, mereka merupakan kelompok yang well
organized crime, menggunakan modus operandi yang selalu berubah dan dana yang tidak
terbatas.
Berdasarkan catatan Gerakan Anti Narkotika, akibat dari aksi para pengedar itu, saat ini
ada empat juta anak menjadi pecandu narkoba dan setiap harinya 40 orang meninggal.
Artinya, dalam satu tahun tak kurang dari 12.000 orang meninggal. Itu belum termasuk
dampak yang ditimbulkan, seperti kriminalitas dan membuat anak-anak muda menjadi
idiot.
Jika dilihat dari sisi ekonomi, setiap hari seorang pecandu narkoba bisa menghabiskan
uang Rp 200 ribu. Jika dikalikan dengan empat juta pecandu, maka dalam sehari fulus
yang tersedot bisa mencapai Rp 800 miliar. Sedangkan dalam setahun bisa sampai Rp
292 triliun. Sebuah angka yang luar biasa besar. ”Itulah yang dilakukan oleh para
terpidana mati itu,” cetus Henry.
Jika menggunakan alasan hak asasi manusia, kata Henry, mereka yang menjadi korban
narkoba juga mempunyai hak untuk hidup dan tidak dihancurkan. Menurut Henry, para
terpidana itu sudah mengetahui jika melakukan tindak pidana dimaksud maka ancaman
hukumannya adalah mati. Artinya, ”Mereka sendiri sudah siap melangkah ke sana
(hukuman mati), mengapa hukumannya mesti dihapuskan.”
Apalagi, mengedarkan narkotik ibarat melakukan pembunuhan secara berencana. Tidak
sedikit pecandu yang meninggal dunia atau hidupnya menjadi berantakan. Mereka ini
juga mempunyai hak untuk hidup. Masalahnya, kata Henry, banyak yang tidak sadar
terhadap bahaya peredaran narkotik itu.
Dr. Didik Endro Purwo Laksono, S.H., MHum. dari Universitas Airlangga, Surabaya,
menjelaskan bahwa secara umum fungsi hukum pidana antara lain untuk melindungi
kepentingan negara, masyarakat, dan individu. Kejahatan narkotika telah melanggar
ketiga kepentingan hukum tersebut.
Senada dengan Didik, Dr. M. Arief Amrullah, S.H., MHum. dari Universitas Jember
menjelaskan bahwa semua orang boleh membela diri ketika hak hidupnya diancam.
Penjatuhan pidana mati oleh negara, menurut Arief, adalah pelanggaran HAM bila
dilakukan sewenang-wenang atau tanpa dasar yang sah menurut hukum yang berlaku.
Sementara itu, Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. dari Universitas Sumatera Utara
menjelaskan bahwa terkait dengan Pancasila yang memuat nilai-nilai agama, hak hidup
juga diakui sebagai hak setiap orang. “Hanya Allah yang berhak menentukan hidup-
matinya seseorang. Tapi cara hidup dan matinya seseorang itu, hanya dia sendirilah yang
menentukan. Artinya, bagi penjahat narkoba, memilih cara mati dengan hukuman mati,”
urai Mahmud.
Dari segi kefilsafatan, Prof. Dr. Koento Wibisono dari Universitas Gadjah Mada
menguraikan bahwa kadang kala kepastian hukum tidak memberikan keadilan. Namun
bila kita memilih keadilan, keadilan siapa yang kita pilih? Bila memilih keadilan
masyarakat, jelas Koento, maka masyarakat yang akan bahagia. “Bagi yang menolak
diterapkannya hukuman mati, itu hanya mewakili segelintir orang saja yang telah
memiliki keuntungan miliaran rupiah. Padahal tujuan para pendiri bangsa ini adalah
untuk mencerdaskan kehidupan dan memakmurkan rakyat. Narkoba justru mendegradasi
cita-cita tersebut,” tegas Koento.
Mengulang penjelasan Tim Revisi KUHP yang telah didatangkan pada persidangan
sebelumnya, Prof. Dr. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dari Universitas Indonesia
yang juga menjadi salah satu anggota Tim Revisi KUHP menjelaskan bahwa dalam RUU
KUHP, pidana mati diatur dalam pasal tersendiri dengan kebijakan politik
pemidanaannya adalah pidana mati sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu
diancamkan secara alternatif, dengan ketentuan alternatifnya adalah penjara seumur
hidup atau penjara 20 tahun.
Namun, urai Mardjono, jika terpidana mati selama masa percobaan sepuluh tahun
menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati pun dapat diubah
menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan
Menteri Hukum dan HAM.
Sedangkan, Prof. Dr. Bambang Poernomo, S.H. dari Universitas Gadjah Mada lebih
mementingkan adanya program masyarakat anti narkoba secara intensif di seluruh
pelosok tanah air dan tidak hanya sekedar menyelesaikan kasus narkoba lewat pengadilan
yang menjatuhkan pidana mati.
Selanjutnya, Dr. Arif Gosita dari Universitas Indonesia menerangkan bahwa ketika
pemerintah Belanda menghapus hukuman mati, justru pemerintah Hindia Belanda
menerapkan hukuman mati demi ketertiban orang-orang pribumi. “Hukuman mati adalah
viktimisasi manusia ke manusia. Menghapus hukuman mati adalah untuk menciptakan
4K, yaitu, kebenaran, keadilan, kerukunan, dan kesejahteraan rakyat. Bila tak terpenuhi
4K ini, maka lebih baik undang-undang direvisi,” ujar Gosita.
Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu dari Universitas Pattimura menyatakan bahwa tidak ada
kejahatan tanpa hukuman, tapi tidak perlu ada hukuman dalam bentuk hukuman mati
karena, bila dikaitkan dengan hak kemerdekaan dan untuk menciptakan kesejahteraan
umum sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, maka sanksi hukuman mati
ini jelas telah menyalahi konsep di atas. “Setiap orang memiliki hak kemerdekaan untuk
hidup termasuk untuk tidak dibunuh berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan
sistem hukum,” jelas Titahelu.
Serupa dengan Titahelu, Prof. Dr. Arief Sidharta dari Universitas Parahyangan
menerangkan bahwa hukum pidana seharusnya berfungsi sebagai upaya resosialisasi bagi
narapidana supaya bisa mengembalikan ketaatan seseorang ketika telah berada di tengah-
tengah masyarakat. Hukuman mati, lanjut Sidharta, juga tidak terbukti menghasilkan efek
jera daripada ketika menerapkan hukuman seumur hidup tanpa remisi. “Resiko lain dari
pelaksanaan hukuman mati adalah, ketika di kemudian hari ternyata terbukti ada
kesalahan dalam menjatuhkan putusan dan eksekusi mati telah dilakukan, maka
pemerintah hanya bisa meminta maaf tanpa bisa mengembalikan nyawa si terpidana,”
papar Sidharta.
Pro dan kontra masalah berlakunya hukuman mati sampai saat ini masih
terus berlanjut, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Beberapa negara seperti
Israel maupun Belanda sendiri saat ini sudah tidak memberlakukan lagi hukuman mati.
Berbagai alasan yang dikemukakan oleh beberapa pihak untuk tidak memberlakukan lagi
hukuman mati antara lain :
1) Bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 pasal 28 (1) yang berkaitan
dengan hak setiap orang untuk hidup atau merupakan pelangggaran hak asasi manusia
“bagi si penjahat”.
2) Berlakunya hukuman mati juga tidak serta merta mengurangi angka kejahatan.
Akan tetapi apakah benar demikian bahwa hukuman mati merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi si penjahat? Lalu, begaimanakah dengan hak asasi orang atau manusia
yang telah kehilangan nyawanya akibat ulah si penjahat tersebut?. Bagaimanakah
pandangan Alkitab sendiri tentang hukuman mati?. Apakah institusi negara atau
seseorang yang berada dibawah wewenang negara yang melakukan eksekusi terhadap diri
si penjahat itu dapat dikategorikan sedang melakukan pembunuhan?
B. Alkitab sebagai sumber otoritas di dalam memberlakukan hukuman mati.
Allah adalah pencipta sedangkan manusia adalah ciptaan-Nya. Itu sebab, Allah
mempunyai hak untuk menuntut manusia baik secara langsung maupun melalui tangan
pemerintah di dunia ini untuk mentaati kehendak-Nya. Kehendak Allah merupakan
kaidah yang harus dijalankan oleh setiap manusia. Dalam buku Katekismus Singkat
Westminster bagian ke-2 menyatakan bahwa, “Kehendak Allah bagi manusia pertama
kali dinyatakan di dalam hukum moral yang dirangkum secara ringkas dalam sepuluh
perintah Tuhan (Hukum Taurat)“.[1] Salah satu dari sepuluh perintah Tuhan adalah
perintah keenam mengenai “Jangan membunuh”. Oleh karena manusia diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah, maka manusia tidak boleh saling membunuh satu sama
lain.
C. Kritik terhadap tiga alasan yang digunakan untuk menolak hukuman mati.
Bagi pihak-pihak yang kontra dan menolak pemberlakuan hukuman mati, penggunaan
tiga alasan yang diungkapkan diatas adalah sangatlah tidak tepat. Pertama, jika hukuman
mati merupakan pelanggaran hak asasi bagi diri si pembunuh, lalu bagaimana dengan hak
asasi mereka atau orang yang dibunuh oleh si pembunuh (murderer)?. Bukankah di sini
juga terjadi pelanggaran hak asasi terhadap orang yang dibunuh oleh si pembunuh
(murderer) tersebut?. Kedua, hukuman mati memang tidak serta merta mengurangi
angka kejahatan, akan tetapi dengan tidak adanya hukuman yang berat (hukuman mati)
bagi mereka yang telah membunuh, mereka akan beranggapan bahwa perbuatan mereka
hanya mendapatkan hukuman penjara maksimal seumur hidup yang tidak menghilangkan
nyawa mereka. Fungsi dari pemberlakuan sebuah hukuman (dalam hal ini hukuman mati)
adalah justru untuk menghambat dosa agar tidak berkembang lebih jauh lagi. Ketiga, jika
hukuman mati hanya akan menambah satu pembunuhan lagi (eksekusi atas diri si
penjahat), penulis mengkritisi pendapat tersebut dengan mengutip kalimat dari
Katekismus Singkat Westminster bagian ke-2 yang menyatakan, “bahwa mereka sedang
mencampuradukkan dua hal yang berbeda. Ketika seseorang mengambil nyawa orang
lain secara tidak adil itu adalah pembunuhan. Tetapi ketika negara menghukum mati
pembunuh yang bersalah itu bukanlah pembunuhan. Apabila negara tidak menghukum
mati si pembunuh, maka negara gagal melindungi orang yang tidak bersalah karena
faktanya sering kali pembunuh yang dibebaskan kembali melakukan pembunuhan.”[3]
Selain itu, bagi yang kontra pada pemberlakuan hukuman mati, mereka
hanya melihat hati nurani mereka secara otonom, tanpa dikaitkan dengan Firman Tuhan.
Mereka tidak melihat bagaimana Allah, Sang Pencipta, telah memberikan suatu
ketentuan atau hukum melalui wakil atau hamba-Nya yakni negara untuk mengatur
kehidupan seluruh umat manusia dimanapun Allah tempatkan. Mereka telah menafikan
suatu ketetapan Firman Tuhan yang seharusnya ditaati dan menjadikan hati nurani
mereka sebagai hamba. Setiap produk hukum yang dihasilkan oleh negara harus sesuai
dengan kaidah hukum yang telah ditentukan oleh Allah, baik yang telah dinyatakan oleh
Allah ke dalam tiap hati nurani manusia maupun yang tercermin di dalam Hukum Taurat.
Dalam Pengakuan Iman Westminster dinyatakan bahwa, “Allah sajalah satu-satunya
Tuhan atas hati nurani, dan Dia telah membebaskan hati nurani dari doktrin-doktrin dan
perintah-perintah manusia yang di dalam segala sesuatunya bertentangan dengan Firman-
Nya atau yang di luar Firman-Nya, dan alasannya adalah bahwa semua kewajiban
manusia telah terkandung dalam Sepuluh Perintah ini. Menempatkan hati nurani sebagai
hamba terhadap kewajiban apapun yang tidak terkandung dalam Hukum Taurat Allah
berarti menjadi hamba dari manusia dan bukan dari Allah”.[4]
D. Kesimpulan
Meskipun Allah telah menempatkan Hukum Taurat dalam hati nurani manusia,
namun Allah tetap memberikan suatu ketentuan atau hukum yang dibentuk oleh wakil
atau hamba-Nya. Hal ini oleh karena sifat keberdosaan manusia yang akan selalu
berusaha keras untuk mengingkari hari nurani mereka. Itu sebab, negara perlu diberikan
kuasa atau wewenang untuk membuat dan menegakkan suatu hukum terhadap setiap
warga negaranya guna menghambat berkembangnya dosa secara lebih besar lagi.
Dengan demikian, saya setuju dengan hukuman mati oleh karena hukuman mati sesuai
dengan Firman Tuhan.
Saudara-saudari yang terkasih, memang saat ini kita tidak lagi berada dibawah
Hukum Taurat karena Hukum Taurat sendiri telah tergenapi di dalam Kristus yang layak
menjadi teladan hidup kita di dalam berwarga negara. Biarlah setiap kita tetap setia dan
taat kepada kehendak-Nya dengan mentaati hukum yang telah Tuhan berikan melalui
negara kita Indonesia. Ketaatan kita pada hukum yang berlaku di negara ini tidak hanya
karena kita taat pada hal-hal yang terkandung di dalamnya saja, tetapi karena ada otoritas
Allah, Sang Pencipta, yang bertahta atas hukum yang berlaku di negara kita.
JAKARTA, KOMPAS.com — Data Migrant Care menunjukkan, sedikitnya terdapat
345 orang warga negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati di negara
tetangga, Malaysia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Minggu (22/8/2010) kemarin,
menyatakan belum mengetahui data Migrant Care tersebut. Padahal, tak sedikit yang
menjalani hukuman di penjara Malaysia sejak awal tahun 1990-an, tanpa ada kejelasan
nasib.
Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan, Indonesia, dalam hal ini Pemerintah, tak bisa
melakukan intervensi atas hukum yang berlaku di negara lain. "Kalau di negara orang
berlaku hukuman mati, apa kita mau intervensi? Hargailah hukum orang (negara) lain,"
kata Marzuki, Senin (23/8/2010) di Gedung DPR, Jakarta.
Lalu, perlindungan apa yang bisa diberikan Pemerintah terhadap warganya di luar negeri?
"Kasusnya apa? Dilihat juga. Kita bicara sistem. Kebanyakan kan kasus TKI. Itu juga
karena mereka tidak perform. Tidak cukup umur, tidak punya keahlian. Salah kita juga.
Sampai di sana enggak bisa kerja, menyetrika baju orang terbakar, gimana majikan
enggak marah? Orang kita juga yang salah, melanggar aturan," ujar politisi Partai
Demokrat ini.
Dari ratusan WNI yang terancam hukuman mati, beberapa di antaranya terjerat kasus
kepemilikan obat-obatan terlarang. Terakhir, Bustamam bin Bukhari dan Tarmizi Yakob
harus menerima hukuman gantung setelah kasasi dua warga Aceh itu ditolak MA
Malaysia. Mereka menjual 3 kg ganja kepada informan Kepolisian Malaysia pada awal
April 1996.
"Sudah tahu di sana hukuman mati, ya jangan coba-coba bawa ganja. Narkoba itu sangat
merugikan," katanya singkat.
Berbeda dengan Marzuki, Wakil Ketua DPR Pramono Anung justru menilai upaya
Pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada warga negara di luar negeri memang
lemah. Dalam sejumlah kasus, Pemerintah tidak melakukan upaya apa pun untuk
menyelamatkan warganya. Pemerintah, kata Pramono, seharusnya lebih pro-aktif.
"Tugas diplomasi internasional itu salah satunya melindungi masyarakat. Yang harus
dilakukan, Menlu pro-aktiflah ketika mengetahui ada masalah yang menimpa warganya
di negara lain," kata Pramono.
Terkait nasib ratusan WNI yang terancam hukuman mati, Pemerintah diminta segera
mengirimkan nota kepada Pemerintah Malaysia. "Kita prihatin selama ini perlindungan
kepada warga negara kita sangat lemah," ujarnya.
KAMIS 7 Desember 2000 lalu, Claude Howard Jones (60), salah satu tersangka kasus
perampokan di Amerika Serikat dihukum mati dengan suntikan racun.
Saat itu, Jones sempat meminta agar dilakukan test DNA terhadap barang bukti rambut
yang ditemukan di lokasi kejadian.namun permintaannya itu tidak dikabulkan oleh
Gubernnur Texas saat ity, Goerge W Bush. Selang 10 tahun kemudian, terungkap bahwa
test DNA pada sehelai rambut dimaksud bukan milik Jones dan ini menunjukkan bahwa
Jones yang telah dieksekusi mati itu sebenarnya tidak bersalah.
Hasil tes DNA pada sehelai rambut itu dilakukan Mitotyping Technologies dan
dipublikasikan majalah Observer Texas, 10 tahun kemudian. Sehelai rambut itu menjadi
bukti penting dalam kasus itu. Seperti dimuat Brisbane Times Jumat 12 November 2010,
Jones memang punya catatan kriminal panjang didakwa membunuh Allen Hilzendager
dalam sebuah perampokan toko minuman keras diluar kota Point Blank.
Namun dalam tuntutan di pengadilan, Jones bersikukuh dia tidak melakukan penembakan
terhadap korban tahun 1989 lalu itu. Dia menunggu di dalam mobil dan rekannya yang
turun, melakukan perampokan dan menembak korban tiga kali.
Polisi lalu menemukan sehelai rambut di TKP dan saat diteliti, dengan ilmu forensik yang
sangat terbatas saat itu, polisi memastikan sehelai rambut itu adalah milik Jones. Padahal
penyelidikan rambut itu hanya dilakukan di bawah mikroskop tidak dilakukan test DNA.
Dalam dokumen yang diperoleh Observer Texas dan Proyek Innocence menunjukkan
bahwa: pengacara di kantor gubernur gagal untuk memberitahu Bush bahwa bukti DNA
bisa membebaskan Jones. Sebab, Bush adalah pendukung dilakukannya tes DNA dalam
kasus-kasus yang bermuara pada hukuman mati.
Meski ini bukan bukti kuat untuk membuktikan Jones tak bersalah, "Tapi rambut adalah
satu-satunya bukti yang menghubungkan Jones di TKP. Ini menimbulkan keraguan serius
tentang kesalahannya," demikian ditulis Observer.
Seorang hakim Texas saat ini sedang mempertimbangkan apakah Jones memang tidak
bersalah, meski Jones kini telah meninggal di meja eksekusi.
Sebelumnya, Cameron Todd Willingham yang dieksekusi mati pada tahun 2004 karena
dinyatakan terbukti menyeting kebakaran yang membunuh tiga anak perempuannya.
Tetapi beberapa ahli terkenal mengatakan awal tahun ini bahwa ada cacat dalah kasus ini.
Hapus Hukuman Mati Dari Indonesia
Palu; Tidak lama lagi pelaksanaan Hukuman Mati atas Amrozy Cs akan dilaksanakan,
secara tegas kami menentang praktek hukuman mati, dengan alasan apapun, kasus
apapun, kami secara tegas menyatakan menolak praktek hukuman mati.
Termasuk hukuman mati yang dituduhkan kepada Amrozy Cs sebagai pelaku peledakan
Bom Bali pada 2002. Terlepas dari apa yang mereka lakukan, menurut kami tidak ada
landasan apapun yang dapat membenarkan praktek hukuman mati, apakah landasan
agama, sosial, hukum dan bahkan keadilan.
Sikap ini dilandasi atas beberapa pertimbangan; Pertama, hukuman mati tidak relevan
lagi dipraktekkan di Indonesia, karena justru telah melanggar nilai-nilai kemanusiaan
yaitu Hak Untuk Hidup (Right To Life) dan Hak Fundamental (Non Derogable Rights),
karena tidak ada landasan apapun yang dapat dibenarkan untuk mencabut Hak Untuk
Hidup pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa. Hak Untuk Hidup ini harus benar-benar
dihargai;
Kedua, dalam berbagai kasus hukuman mati tidak membawa dampak positif maupun efek
jera seperti yang diharapkan dari praktek hukuman mati. Ini bisa dilihat dalam kasus
Narkoba, tiap tahunnya kejahatan Narkoba
tidak menunjukkan yang menurun, sekalipun banyak pelaku kejahatan Narkoba telah
dikenakan hukuman mati. Ini berkaitan dengan penegakan hukum yang masih
amburadul;
Ketiga, praktek hukuman mati di Indonesia telah mengalami sejarah yang buruk, Kasus
Hukuman Mati Sengkon dan Karta tahun 1980 menjadi pelajaran pahit. Ironisnya,
hukuman mati bersifat final yang tidak dapat ditinjau kembali, sehingga kesalahan dalam
memutuskan hukuman dan mencabut nyawa orang yang tidak bersalah menjadi final,
seperti yang dialami oleh Sengkon dan Karta.
Persoalan di Indonesia adalah persoalan social yang demikian rumit, masih terjadinya
Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), reformasi Hukum di Indonesia masih belum
menunjukkan sistem Peradilan yang independen, imparsial, aparatus yang bersih, hingga
persoalan tindak kejahatan yang terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan. Dalam hal
ini Negara belum sepenuhnya dapat memenuhi hak-hak dasar warga Negara seperti
Lapangan Pekerjaan, Pendidikan, Kesehatan yang memadai.
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk Pemerintah R.I untuk tetap mempraktekkan
hukuman mati di Indonesia, serta segera menghapuskan Penerapan Hukuman Mati yang
tercantum juga di 11 Undang Undang yang memiliki ancaman mati. (**)
Kejahatan narkotika tak termasuk dalam kejahatan serius yang patut dikenai sanksi
hukuman mati, karena kejahatan narkoba tak secara langsung mengakibatkan kematian
pada manusia.
Demikian keterangan melalui video conference dari Profesor Philip Alston, New York
University School of Law, Amerika Serikat, yang diajukan sebagai Ahli oleh Pemohon
pada perkara judicial review UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika)
terhadap UUD 1945, Rabu 18 April 2007 pukul 10.00 WIB di ruang sidang Mahkamah
Konstitusi (MK), dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon,
Pemerintah, dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
Alston juga memaparkan bahwa hukuman mati masih banyak diberlakukan di negara-
negara asia, negara-negara amerika latin sudah mulai menghapus, sedangkan negara-
negara eropa telah sama sekali menghapus hukuman itu. “Namun perlu tidaknya sanksi
hukuman mati pada akhirnya dikembalikan pada kebijakan hukum negara-negara yang
bersangkutan dengan tetap memperhatikan ketentuan hukum internasional yang ada,”
jelasnya.
Keterangan lain, Ahli Pemohon Prof. Dr. J. E. Sahetapy, S.H., M.A. mengatakan bahwa
di Belanda sendiri, hukuman mati sudah dihapus sejak Tahun 1870. Untuk itu, kenapa
Wetboek van Strafrecht atau WvS (KUHP red.) masih harus dipertahankan. “Bila ingin
mempertahankan hukuman mati, ganti saja nama Lembaga Pemasyarakatan itu yang
sebenarnya berfungsi untuk memasyarakatkan kembali para narapidana,” jelas Sahetapy.
Sementara itu, Ahli Pemohon lainnya, Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik
mengatakan bahwa sebetulnya jenis dari apa yang disebut sebagai non derogable rights
(hak yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun) itu berbeda-beda. Di dalam
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) ada tujuh jenis non
derogable rights yang diakui. Di European Convention on Human Rights cuma ada empat
yang sudah dimaktubkan di dalam ICCPR. Sementara di Amerika sendiri itu ada sebelas
jenis hak yang diakui sebagai non derogable rights.
Lanjut Rachland, sebenarnya The core of rights (hak inti) dari non derogable rights itu
ada empat hal, antara lain, pertama, right to life, hak untuk bebas dari penyiksaan dan
perlakuan yang merendahkan martabat. Kedua, hak untuk tidak dianiaya. Ketiga, right to
free from slavery atau hak bebas dari perbudakan atau diperhambakan. Keempat, hak
untuk tidak diadili oleh post facto law atau hukum yang berlaku surut.
Di lain pihak, Ahli dari BNN KRH Henry Yosodiningrat, S.H. menyuguhkan data bahwa
sekitar 40 orang mati setiap hari akibat narkoba. Dalam sehari, nominal transaksi narkoba
yang terjadi mencapai Rp. 800 miliar karena 4 juta orang yang kecanduan setidaknya per
hari rata-rata melakukan transaksi sebesar Rp. 200.000,00 sehingga total setahun bisa
mencapai Rp. 292 triliun.
Atas alasan itu, menurut Henry keberlakuan Pasal 28I UUD 1945 yang memuat
ketentuan tentang non derogable rights, tidak boleh dipahami secara mandiri, melainkan
dibatasi oleh ketentuan dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sedangkan Ahli dari BNN Prof. Dr. Ahmad Ali, S.H., M.H. menyatakan bila dalam
pelanggaran HAM berat dikenal adanya keadilan transisional yang di dalamnya terdapat
restorative justice yang memungkinkan dilakukan rekonsiliasi, maka dalam kejahatan
narkoba, tidak ada satupun negara yang melakukan rekonsiliasi dengan pengedar
narkoba.
Demikian disampaikan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Martin Hatfull, Jumat (8/10),
saat menyampaikan pidato kunci pada diskusi publik ”Menggugat Hukuman Mati di
Indonesia”. Diskusi digelar Imparsial di Jakarta dalam rangka menyambut Hari
Antihukuman Mati Sedunia pada 10 Oktober.
”Sejumlah studi akademis gagal membuktikan bahwa hukuman mati dapat mencegah
kejahatan yang lebih banyak,” ujar Hatfull. Ia mencontohkan Amerika Serikat, salah satu
negara yang masih menerapkan hukuman mati. ”AS merupakan salah satu negara maju
dengan tingkat pembunuhan paling tinggi di dunia dan tingkat pembunuhan paling tinggi
berada di selatan AS, wilayah yang melakukan eksekusi hukuman mati terbanyak,” kata
Hatfull.
Eksekusi terakhir di Inggris terjadi pada 1964. Setahun kemudian hukuman mati untuk
kasus pembunuhan dihapus. ”Pada 1998, hukuman mati dihapuskan secara menyeluruh
untuk semua bentuk kejahatan,” jelasnya.
Saat berbicara dalam diskusi, pengajar Fakultas Filsafat Universitas Indonesia, Rocky
Gerung, mengungkapkan, pernyataan bahwa hukuman mati bertujuan untuk mencegah
kejahatan memiliki dasar logika yang absurd. Bagaimana mungkin potensi kejahatan
yang akan dilakukan oleh orang lain pada masa mendatang dibebankan pada satu orang
lewat pemberian hukuman mati.
“hukum rajam” ketegori Muslim. Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Ustadz, apakah yang di maksud dengan hukum rajam? Apakah benar hukuman ini hanya
berlaku bagi wanita? Mohon penjelasannya, terima kasih.
Wassalam,
Herlina Melani
Jawaban
وبعد، السلم عليكم ورحمة ال وبركاتهبسم ال الرحمن الرحيم الحمد ل والصلة والسلم على رسول ال
Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu. Cara menghukum
seperti ini tidak dilakukan kecuali dalam kasus yang sangat tercela dan hanya bila
penerima hukuman benar-benar terbukti dengan teramat meyakinkan melakukan sebuah
larangan yang berat.
Hukuman rajam sebenarnya sudah ada sejak para nabi dan rasul di masa lalu sebelum era
umat nabi Muhammad SAW. Hukuman seperti itu berlaku secara resmi di dalam syariat
Yahudi dan Nasrani . Dan tidak dikutuk umat terdahulu kecuali karena mereka
meninggalkan hukum dan syariat yang telah Allah tetapkan.
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya petunjuk dan cahaya ,
yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang
menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka,
disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi
saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, takutlah kepada-Ku.
Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang kafir.
Allah SWT kemudian menghapus berbagai macam syariat yang pernah diturunkan-Nya
kepada sekian banyak kelompok umat kemudian diganti dengan satu syariat saja, yaitu
yang diturunkan kepada umat Muhammad SAW. Namun ternyata Allah SWT masih
memberlakukan hukuman rajam. Walaupun dengan pendekatan yang jauh lebih moderat
dan manusiawi.
Secara nalar aqidah, dengan tetap diberlakukannya hukuman rajam oleh Allah pada
syariat umat Muhammad SAW, kita bisa meyakini bahwa bentuk hukuman seperti ini
memang dalam kasus-kasus tertentu masih diperlukan. Meski umat manusia di abad 20
ini seringkali menginginkan dihapuskannya hukuman mati, namun ternyata hukuman
mati itu masih diperlukan, bahkan di beberapa negara yang maju, masih berlaku dan tetap
terjadi sampai sekarang.
Singapura yang sering dijadikan kiblat kemoderenan di Asia Tenggara, hari ini masih
saja menghukum mati orang-orang yang dianggap melakukan pelanggaran berat.
Demikian juga Amerika yang sekarang mengangkat dirinya sebagai polisi dunia dan
simbol HAM, masih tetap memberlakukan hukuman mati. Maka kalau Allah SWT
memberlakukan hukuman rajam kepada umat Islam, tentu sangat bisa diterima logika.
Jangankan untuk abad ke-7 saat diberlakukan di dalam Al-Quran, bahkan negara-negara
modern pada abad 21 sekarang ini masih memberlakukan hukuman mati.
Dan tentu sangat logis bila umat Islam dengan latar belakang kepatuhan dan ketundukan
kepada originalitas agamanya, pada hari ini masih memberlakukan hukuman rajam buat
pemeluk agamanya. Tidak ada cela dan cacat dalam pelaksanaan hukuman seperti itu,
apalagi kalau dibandingkan dengan tragedi pembantaian massal yang dilakukan oleh
negara maju terhadap dunia ketiga, maka pelaksanaan hukuman rajam buat pelanggar
kesalahan berat menjadi tidak ada artinya.
Para ulama sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshan dihukum dengan hukuman
rajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati. Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW
secara umum yaitu :
Dari Masruq dari Abdillah ra. berakta bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tidak halal
darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal : orang yang berzina, orang
yang membunuh dan orang yang murtad dan keluar dari jamaah.
Selain itu, sesungguhnya hukuman rajam ini pun pernah diperintahkan di dalam Al-
Quran, namun lafadznya dihapus tapi perintahnya tetap berlaku. Adalah khalifah Umar
bin Al-Khattab yang menyatakan bahwa dahulu ada ayat Al-Quran yang pernah
diturunkandan isinya adalah :
Orang yang sudah menikah laki-laki dan perempuan bila mereka berzina, maka
rajamlah…
Namun lafadznya kemudian dinasakh , tetapi hukumnya tetap berlaku hingga hari kamat.
Sehingga bisa kita katakan bahwa syariat rajam itu dilandasi bukan hanya dengan dalil
sunnah, melainkan dengan dalil Al-Quran juga.
Berbeda dengan pandangan para penganut hedonisme dan pelaku pola hidup permisif
sekarang ini, di mana mereka beranggapan bahwa zina merupakan kebutuhan biologis
biasa, sehingga boleh-boleh saja dilakukan asal tidak ketahuan, Allah Tuhan Yang
Menciptakan manusia justru menegaskan bahwa zina adalah kejahatan tingkat tinggi dan
sangat berat ancamannya. Sehingga hukumannya pun harus dibunuh, yaitu bagi mereka
yang pernah menikah sebelumnya, atau dicambuk 100 kali bagi mereka yang belum
pernah menikah sebelumnya.
Dan hak untuk mengatakan suatu tindakan itu adalah kejahatan adalah hak preogratif
Sang Maha Pencipta. Bukan hak para seniman, atau ahli hukum, atau pun manusia
lainnya. Hak itu adalah hak Tuhan sepenuhnya. Persis sebagaimana ketika Tuhan
melarang Adam dan istrinya mendekati pohon. Pelangaran atas larangan itu berakibat
fatal sehingga Adam as. dikeluarkan ke bumi.
Maka meski 6 milyar manusia mengatakan bahwa zina itu bukan pelanggaran berat,
tetapi Tuhan Sang Maha Pencipta justru mengatakan sebaliknya. Bahwa zina adalah
sebuah kekejian yang nyata, terkutuk dan terlaknat. Pelakunya berhak untuk dihukum
seberat-beratnya, yaitu dengan cara dirajam. Berartidiakhiri ajalnya dan harus segera
bertemu kembali kepada Pencipta-Nya, untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya.
Semua itu adalah isi kitab suci buat semua umat manusia, baik Zabur, Taurat, Injil
maupun Al-Quran. Semua kitab suci yang turun dari langit sepakat bulat mengatakan
bahwa zina adalah kejahatan tingkat tinggi dan pelakunya wajib dihukum mati .
Rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempar dengan batu. Karena beratnya
hukuman ini, maka dalam syariat yang Allah turunkan untuk umat Muhammad SAW,
sebelum dilakukan dibutuhkan syarat dan proses yang cukup pelik. Syarat itu adalah
terpenuhinya kriteria ihshah yang terdiri dari rincian sebagai berikut :
Islam
Baligh
Akil
Merdeka
Iffah
Tazwij
Maksudnya adalah orang yang pernah bersetubuh dengan wanita yang halal dari nikah
yang sahih. Meski ketika bersetubuh itu tidak sampai mengeluarkan mani. Ini adalah
yang maksud dengan ihshan oleh Asy-Syafi`iyah. Bila salah satu syarat di atas tidak
terpenuhi, maka pelaku zina itu bukan muhshan sehingga hukumannya bukan rajam.
Dalam syariat Islam, pelaksanaan rajam bisa dilakukan namun harus ada ketetapan
hukum yang sah dan pasti dari sebuah mahkamah syariah atau pengadilan syariat. Dan
semua itu harus melalui proses hukum yang sesuai pula dengan ketentuan dari langit
yaitu syariat Islam. Allah telah menetapkan bahwa hukuman zina hanya bisa dijatuhkan
hanya melalui salah satu dari dua cara :
Pengakuan sering disebut dengan `sayyidul adillah`, yaitu petunjuk yang paling utama.
Karena pelaku langsung mengakui dan berikrar di muka hakim bahwa dirinya telah
berzina, maka tidak perlu adanya saksi-saksi.
Teknis pengakuan atau ikrar di depan hakim adalah dengan mengucapkannya sekali saja.
Hal itu seperti yang dikatakan oleh Imam Malik ra., Imam Asy-Syafi`i ra., Daud, At-
Thabarani dan Abu Tsaur dengan berlandaskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
kepada pelaku zina. Beliau memerintahkan kepada Unais untuk mendatangi wanita itu
dan menanyakannya,`Bila wanita itu mengakui perbuatannya, maka rajamlah`. Hadits
menjelaskan kepada kita bahwa bila seorang sudah mengaku, maka rajamlah dan tanpa
memintanya mengulang-ulang pengakuannya.
Namun Imam Abu Hanifah ra. mengatakan bahwa tidak cukup hanya dengan sekali
pengakuan, harus empat kali diucapkan di majelis yang berbeda. Sedangkan pendapat Al-
Hanabilah dan Ishaq seperti pendapat Imam Abu Hanifah ra., kecuali bahwa mereka tidak
mengharuskan diucapkan di empat tempat yang berbeda.
Bila orang yang telah berikrar bahwa dirinya berzina itu lalu mencabut kembali
pengakuannya, maka hukuman hudud bisa dibatalkan. Pendapat ini didukung oleh Al-
Hanafiyah, Asy-Syafi`iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal ra. Dasarnya adalah peristiwa
yang terjadi saat eksekusi Maiz yang saat itu dia lari karena tidak tahan atas lemparan
batu hukuman rajam. Lalu orang-orang mengejarnya beramai-ramai dan akhirnya mati.
Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau menyesali perbuatan orang-
orang itu dan berkata,
`Mengapa tidak kalian biarkan saja dia lari?`
.
Sedangkan bila seseorang tidak mau mengakui perbuatan zinanya, maka tidak bisa
dihukum. Meskipun pasangan zinanya telah mengaku.
Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata bahwa dia telah berzina dengan
seorang wanita. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk memanggilnya dan
menanyakannya, tapi wanita itu tidak mengakuinya. Maka Rasulullah SAW menghukum
laki-laki yang mengaku dan melepaskan wanita yang tidak mengaku.
Ketetapan bahwa seseorang telah berzina juga bisa dilakukan berdasarkan adanya saksi-
saksi. Namun persaksian atas tuduhan zina itu sangat berat, karena tuduhan zina sendiri
akan merusak kehormatan dan martabat seseorang, bahkan kehormatan keluarga dan juga
anak keturunannya. Sehingga tidak sembarang tuduhan bisa membawa kepada ketetapan
zina. Dan sebaliknya, tuduhan zina bila tidak lengkap akan menggiring penuduhnya ke
hukuman yang berat.
1. Jumlah saksi minimal empat orang. Allah berfirman,`Dan terhadap wanita yang
mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu yang
menyaksikan`..
2. Bila jumlah yang bersaksi itu kurang dari empat, maka mereka yang bersaksi
itulah yang harus dihukum hudud. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Umar
bin Al-Khattab terhadap tiga orang yang bersaksi atas tuduhan zina Al-Mughirah.
Mereka adalah Abu Bakarah, Nafi` dan Syibl bin Ma`bad.
3. Para saksi ini sudah baligh semua. Bila salah satunya belum baligh, maka
persaksian itu tidak syah.
4. Para saksi ini adalah orang-orang yang waras akalnya.
5. Para saksi ini adalah orang-orang yang beragama Islam.
6. Para saksi ini melihat langsung dengan mata mereka peristiwa masuknya
kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang berzina.
7. Para saksi ini bersaksi dengan bahasa yang jelas dan vulgar, bukan dengan bahasa
kiasan.
8. Para saksi melihat peristiwa zina itu bersama-sama dalam satu majelis dna dalam
satu waktu. Dan bila melihatnya bergantian, maka tidak syah persksian mereka.
9. Para saksi ini semuanya laki-laki. Bila ada salah satunya wanita, maka persaksian
mereka tidak syah.
Di luar kedua hal diatas, maka tidak bisa dijadikan dasar hukuman rajam, tetapi bisa
dilakukan hukuman ta`zir karena tidak menuntut proses yang telah ditetapkan dalam
syariat secara baku.
Dan syarat yang paling penting adalah bahwa perbuatan zina itu dilakukan di dalam
wilayah hukum yang secara formal menerapkan hukum Islam. Syarat lainnya adalah
bahwa hukuman zina itu hanya boleh dilakukan oleh pemerintah yang berdaulat secara
resmi. Bukan dilakuakn oleh orang per orang atau lembaga swasta. Ormas, yayasan,
pesantren, pengajian, jamaah majelis taklim, perkumpulan atau pun majelis ulama tidak
berhak melakukannya, kecuali ada mandat resmi dari pemerintahan yang berkuasa.
Sehingga semua kasus zina di Indonesia ini, tidak ada satu pun yang bisa diterapkan
hukum rajam, sebab secara formal pemerintah negara ini tidak memberlakukan hukum
Islam. Tentu saja perbuatan itu tetap harus dipertanggung-jawabkan di mahkamah
tertinggi di alam akhirat nanti. Baik bagi si pelaku zina maupun di penguasa yang tidak
menjalankan hukum Allah.
Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia.
Dari data tersebut 94% praktek hukuman mati hanya dilakukan di empat negara: Iran,
Tiongkok, Saudi Arabia, dan Amerika Serikat.
Beberapa saat yang lalu pun, beberapa tersangka yang telah terbukti sebagai pelaku
pemboman di Bali dieksekusi mati sebagai hukuman atas tindakannya. Ini merupakan
satu peristiwa yang menjadi salah satu contoh kasus hukuman mati yang menjadi
perbincangan oleh kalangan yang mendukung adanya hukuman mati dan yang menolak
adanya hukuman mati. Orang-orang tersebut, masing-masing memiliki alasan yang
diyakininya kuat.
Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati,
termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan
praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk
seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori
kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak
menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan)
terhadap hukuman mati.
Pro dan kontra tetag hukuman mati ini terus berlanjut hingga sekarang. tidak hanya
terjadi di dunia sekuler, di dalam kekristenan pun hal ini sering menjadi pertanyaan,
khususnya bagi orang-orang awam. Apakah pemerintah memiliki otoritas untuk
melakukannya sedangkan Tuhan yang berhak mencabut nyawa seseorang? Ini adalah
salah satu pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan yang ditujukan pada tindak
hukuman mati. Khususnya penulis teringat akan pertanyaan seorang remaja yang
mengatakan apakah tidak berdosa melakukan hukuman mati bagi mereka yang tersangka
melakukan kejahatan?
Melalui paper ini, penulis berusaha untuk memaparkan tentang hukuman mati di
Indonesia sebagaimana Indonesia adalah negara hukum, dan khususya menyoroti
hukuman mati dalam perspektif kekristenan sendiri. Yang mana juga menjadi pro dan
kontra dalam sebagian kelompok. Apa yang dikatakan Alkitab tentang hukuman mati,
inilah yang juga akan diutarakan penulis dalam paper ini.
HUKUM DAN NEGARA
DEFINISI HUKUMAN MATI
Hukum adalah undang-undang, namun secara tradisional hukum lebih–lebih dipandang
sebagai bersifat idiil atau etis. Karena itu, pada dasarnya pengertian hukum tidak selalu
sama dan terus berubah bersama berjalanya waktu dari zaman ke zaman.
Selama abad pertengahan tolak ukur segala pikiran orang adalah kepercayaan bahwa
aturan semesta alam telah ditetapkan oleh Allah Sang Pencipta. Hukum yang dibentuk
mendapat akarnya dalam agama, atau secara langsung atau secara tidak langsung.
Pengertian hukum yang berbeda ini ada konsekuensinya dalam pandangan terhadap
hukum alam. Para tokoh kristiani cenderung untuk mempertahankan hukum alam sebagai
norma hukum.
Sejak abad pertengahan dalam transisi filsafat hukum lima jenis hukum tersebut:
• Hukum abadi (lex aeterna): rencana Allah tentang aturan semesta alam.
• Hukum ilahi positif (lex divina positiva): hukum Allah yang terkandung dalam wahyu
agama, terutama mengenai prinsip-prinsip keadilan.
• Hukum alam (lex naturalis): hukum Allah sebagaimana nampak dalam aturan semesta
alam melalui akal budi manusia.
• Hukum bangsa-bangsa (ius gentium): hukum yang diterima oleh semua atau
kebanyakan bangsa.
• Hukum positif (lex humana positiva): hukum sebagaimana ditentukan oleh yang
berkuasa; tata hukum negara.
Bilamana pengertian hukum tradisional lebih-lebih bersifat idiil, pengertian hukum pada
zaman modern (dari abad ke-15 sampai abad ke-20) lebih-lebih bersifat empiris. Di mana
telaan tidak lagi diletakkan pada hukum sebagai suatu tatanan ideal (hukum alam),
melainkan pada hukum yang dibentuk manusia sendiri, baik itu raja maupun rakyat yaitu
hukum positif, tata hukum negara dan dalam membentuk tata hukum makin bayak
dipikirkan tentang fakta-fakta empiris, yakni kebudayaan bangsa dan situasi sosio-
ekonomis masyarakat yang bersangkutan..
Pada penerapannya, terjadi ketidak-jelasan akan pemikiran hukum.Pada umumnya
terdapat pendapat bahwa pada penerapa hukum akan sangat ditentukan oleh manusia atau
pada saat ini dikatakan sebagai sumber daya manusia; kedua, terletak pada lembaga yang
melaksanakan sistem hukum; ketiga, menurut hemat saya, terutama bagi para sarjana
hukum, adalah pertimbangan yang dibuat oleh hakim sebagai putusan pengadilan.
Banyak hal yang membuat ketidak-jelasan bahkan ketika suatu negara dikatakan sebagai
negara hukum berarti hukum berlaku terhadap siapapun dan bukan hanya terhadap rakyat
atau penduduk, tetapi juga terhadap mereka yang memiliki kekuasaan dan pejabat tidak
boleh mengatur atau memaksa hukum yang berlaku. Penerapan kepastian hukum oleh
pengadilan berdiri mandiri dan lepas dari kehendak pemerintah untuk menciptakan
disiplin atau stabilitas nasional.
RELASI ANTARA HUKUM DAN NEGARA
Bangsa Indonesia mengambil posisi sebagai negara hukum, namun sering kali tidak ada
kepastian dengan hukum. Dalam keputusan suatu symposium mengenai negara Hukum
pada tahun 1966 terdapat suatu kesimpulan bahwa:
Sifat negara hukum itu ialah di manaalat perlengkapannya hanya dapat bertindak menurut
dan terikat kepada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat
perlengkapan yag dikuasakan utuk mengadakan aturan itu atau singkatnya disebut prinsip
“rule of law”.
HUKUMAN MATI
Dalam keberadaan Indonesia sebagai negara hukum, Indonesia berdiri berdasarkan
hukum yang ada. Dalam pelaksanaannya sebagai negara hukum, banyak pro dan kontra
ketika negara hukum ini berusaha menegakkan hukum dan menjatuhkan hukuman mati
bagi terdakwa.
Hukuman mati bukanlah sebuah hukuman yang diberikan kepada tersangka di mana
tersangka pelaku kejahatan tersebut dihukum dengan dipenjara seumur hidupnya hingga
mati. Batas hukuman mati adalah penghilangan nyawa seseorang yang telah melakukan
kesalahan yang telah terbukti bersalah dengan keputusan pengadilan akan hukuman
tersebut. Karena tidak semua kejahatan mendapat hukuman mati. Namun syarat dan
kententuan seperti apa yang menyatakan seseorang harus dihukum mati.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memberlakukan hukuman mati sebagai
salah satu hukuman dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun
amandemen kedua konstitusi UUD ’45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: “Hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya
tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Dan di Indonesia sudah puluhan orang
dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama
Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.
Beberapa contoh kasus hukuman mati yang telah dilakukan di Indonesia:
1. Sementara itu pada tanggal 20 Maret 2005 pukul 01.15 WIB dini hari di suatu tempat
rahasia di Jawa Timur, Astini (perempuan berusia 50 tahun) –terpidana hukuman mati
karena kasus pembunuhan- dieksekusi dalam posisi duduk oleh 12 anggota regu tembak
-6 di antaranya diisi peluru tajam- Brimob Polda Jatim dari jarak 5 meter Eksekusi ini
mengakhiri masa penantian Astini yang sia-sia setelah seluruh proses hukum untuk
membatalkan hukuman mati telah tertutup ketika Presiden Megawati menolak
memberikan grasi pada tanggal 9 Juli 2004 Astini merupakan orang pertama yang
dieksekusi di Indonesia pada tahun 2005.
2. Orang kedua adalah Turmudi bin Kasturi (pria, 32 tahun) di Jambi pada tanggal 13
Mei 2005 Turmudi dihukum mati karena melakukan pembunuhan terhadap 4 orang
sekaligus di Jambi pada tanggal 12 Maret 1997. Sama dengan Astini, Turmudi
mengakhiri hidupnya di hadapan 12 personel Brimob Polda Jambi.
3. Praktek eksekusi mati terjadi lagi di tahun 2006 dan kali ini efeknya jauh lebih buruk.
Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi
Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso
1998-2000. Kasus ini sangat controversial mengingat proses peradilan terhadap mereka
yang bertentangan dengan prinsip fair trial. Eksekusi mereka bisa menjadi pintu masuk
kepada 16 tersangka lain yang mungkin ‘lebih dalang’ dari mereka, reaksi publik yang
begitu intens (baik itu yang pro maupun kontra), hingga hasil pasca eksekusi yang juga
penuh dengan aksi kekerasan.
4. Di tahun 2007 ini juga masih terjadi eksekusi mati terhadap terpidana Ayub Bulubili di
Kalimantan Tengah.
Di atas hanyalah sebagian dari sekian banyak kasus hukuman mati yang masih terdaftar
bahkan sudah dilaksanakan. Jadi, hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang
dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Yang menjadi alasan atas dilakukannya hukuman mati adalah pencegahan pembunuhan
banyak orang di mana hukuman mati ini memberi efek jera bagi orang-orang lain yang
mengetahuinya dan khususnya hal ini tidak lagi terulang oleh orang yang sama. Efek jera
bukanlah cara yang paling bagus tetapi hukuman paling buruk yang mengarah kepada
balas dendam di mana terdapat motif preventif, yakni agar tidak terulang lagi karena
takut akan hukuman. Namun cara ini pun tidak terlalu efektif dalam masyarakat yang
miskin. Bahkan studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang
meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis
hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan
antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek
hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera
pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas yang terjadi tidak dapat dihentikan hanya
sekedar dengan memfokuskan pada efek jera namun perlu dipertimbagkan hubungan erat
kriminalitas dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat serta
berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Selain itu dalam vonis hukuman mati, dapat terjadi kemungkinan kemungkinan kesalahan
dalam menjatuhkan keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Di mana orang yang
telah dieksekusi bukanlah yang bersalah atau menjadi kambing hitam dari pelaku
sesungguhnya. Kesalahan inilah yag harus dihindari dan menjadi kelemahan dalam vonis
hukuman mati. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap
terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah
aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya
manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan
dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata
lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak ada unsur politik
yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud. Namun pada
kenyataanya banyak hal yang dari luar yang mempengaruhi keputusan-keputusan
pengadilan di mana bukan karena tidak adanya kejujuran melainkan karena campur
tangan dari orang-orang berpengaruh di dalamnya.
Dalam sejarah terdapat beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
* pancung kepala: Saudi Arabia dan Iran,
* rajam: Arab, Afganistan, Iran (khusus pelaku zina yang sudah bersuami/beristri)
Pada akhirnya semua dosa yang kita perbuat sepantasnyalah diganjar dengan hukuman
mati (Roma 6:23). Meskipun hal-hal diatas merupakan perbuatan yang harus mendapat
sangsi hukuman mati, Allah seringkali menyatakan kemurahan ketika harus menjatuhkan
hukuman mati. Contohnya ketika Daud melakukan perzinahan dan pembunuhan, namun
Allah tidak menuntut untuk nyawanya diambil (2 Samuel 11:1-5; 14-17; 2 Samuel
12:13).
Beberapa peristiwa yang menunjukan hukuman mati dalam perjanjian lama:
(a) Kejadian 9:6, yakni tenang Perjanjian Nuh.
Ini merupakan pernyataan yang paling sederhana mengenai mandat untuk melaksankan
hukuman mati untuk tidak kejahatan pembunuhan manusia. Di mana setiap orang harus
mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya. Dalam peristiwa ini, Allah
menghukum manusia dengan memunahkannya dengan air bah.
(b) Hukum Musa (Keluaran 21:12)
Hukuman mati adalah bagian dari hukuman musa. Keluaran 21:12 mengatakan “Siapa
yang memukul seseorag hingga mati, pastilah ia dihukum mati.” Namun hukuman mati
dalam hukum Musa ini tidak dibatasi akibat dari kejahatan pembunuhan tetapi juga hal-
hal yang telah Eka Darmaputra jelaskan dalam bagian paper ini sebelumnya.
(c) Dosa dan Hukuman Akhan (Yosua 7)
Hukuman mati yang dialami oleh Akhan atas dosanya. Hukuman mati yang dijatuhkan
langsung dari Allah ini tidak langsung Allah berikan karena sebelumnya Allah telah
memberi kesempatan untuk mengakui kesalahanya, namun Akhan tidak
mengindahkannya dan disaat itu juga Allah menggambil nyawanya. Ini merupakan salah
satu peristiwa hukuman mati yang secara langsung Allah berikan kepada umat-Nya yang
melakukan dosa.
2. Allah telah memberi pemerintah otortias untuk menentukan kapan hukuman mati
pantas dijatuhkan (Kejadian 9:6, Roma 13:1-7). Tidak dapat dikatakan bahwa Allah
menentang hukuman mati dalam segala hal. Karena Allah telah memberikan hak kepada
pemerintah. Jika hukuman mati itu seseorang terima, itu adalah kehendak Allah. Allah
tidak pernah membiarkan segala sesuatu lepas dari kontrol Allah.
KESIMPULAN
Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan pancasila namun dalam
pelaksanaannya seringkali bukan hukum yang ditegakkan melainkan lebih kepada
otoritas dari orang yang berpengaruh dalam negara.
Indonesia memiliki hak untuk mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman
dalam KUHP, namun taggungjawab sebagai negara hukumlah yang penting untuk
diperhatikan.
Dalam kekristenan hukuman mati telah ada dan ditetapkan oleh Allah sendiri (Kejadian
9:6). Sehingga tidak ada alasan untuk meolak diadakannya hukuman mati. Dalam
sepanjang jalannya hukuman baik itu untuk orang yang bersalah maupun sesungguhnya
tidak melakukan kesalahan namun menerima hukuman tersebut, segala sesuatunya tidak
lepas dari ijin Allah.
Allah telah memberi wewenang bagi pemerintah untuk melakukan kewajibannya dan
menegakkan keadilan dalam negara, namun kehendak Allah akan terus berjalan. Rasul
Paulus jelas mengakui kuasa dari pemerintah untuk menjatuhkan hukuman mati ketika
dibutuhkan (Roma 13:1-5).
Allah tidak pernah lepas kontrol dalam segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Jika
bagi orang sekuler, hukuman mati adalah efek jera, namun dalam kekristenan itu
merupakan perintah Allah dalam usaha-Nya menunjukkan keadilan-Nya namun juga
menunjukkan kasih-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Galus, Ben S. Mencari Hubungan Antara Kekuasaan Negara dan Hukum. Ilmu dan
Budaya, No. 2, Th. 14, 1992.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. .Yogjakarta: Kanisius.
Kameo, Jefferson. Ideologi di Balik Negara Hukum. Jurnal: Bina Darma “Negara
Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.
Kompas, 15 Mei 2005. Turmudi Dieksekusi di Depan Regu Tembak.
KontraS, Jakarta, 2006. Laporan HAM 2005 KontraS; Penegakkan Hukum dan HAM
Masih Gelap,
Kusnadi, dkk. Pengantar Hukum Tata Negara. Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI,
Jakarta, 1976.
Limahelu, Frans. Penerapan Kepastian Hukum di Indonesia Menghadapi Dunia
Interasional. Jurnal: Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.
Media Indonesia, 21 Maret 2005. Dalam Posisi Duduk, Astini Dieksekusi 12 Penembak.
Republika, 21 Maret 2005. Astini Dieksekusi 12 Penembak Brimob Polda Jatim
Siburian, Togardo. Classnote Etika Sosial dan Politik. Bandung: STTB, 2009.
Soeropati, Djoko Oentoeng. Negara Hukum Indonesia dalam Teori dan Praktek. Jurnal:
Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.
Suara Pembaruan, 3 April 2005. Tolak Hukuman Mati.
Sutanto, Iskandar. Hukuman Mati: Suatu Tinjauan Dari Perspektif ALkitab. Jurnal: JT
Aletheia, Vol. 1, No. 1, September 1995.
Verkuyl, J. Etika Kristen, Ras, Bangsa, Gereja da Negara. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1992.
Wacana pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor oleh sejumlah kalangan belakangan
ini mengundang pro dan kontra dengan argumen masing-masing. Para pegiat HAM (hak
asasi manusia) menilai pemberlakuan hukuman mati melanggar HAM. Alasannya,
jaminan atas hak hidup merupakan hak fundamental yang tidak bisa dikurangi dalam
kondisi apa pun dan tidak bisa ditunda pemenuhannya.
Sebaliknya, pihak pendukung pemberlakuan hukuman mati menyatakan hal itu lebih
dikarenakan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan tindak pidana korupsi lebih
dahsyat ketimbang perbuatan yang dilakukan teroris.
Lebih dahsyat lagi dampaknya, ketika rakyat yang terbelit kondisi perekonomian akan
lebih dimiskinkan oleh tindakan para pejabat yang mengeruk keuangan negara. Sebab,
negara tidak lagi dapat menjamin kesejahteraan rakyatnya karena uang negara yang
seharusnya dialokasikan bagi kepentingan rakyat, habis digerogoti para koruptor.
Yang lebih mengerikan, ketika para koruptor berurusan dengan aparat penegak hukum
akibat perbuatannya, justru dijadikan ajang tawar-menawar oleh oknum aparat penegak
hukum. Problem ini mengemuka menyusul terbongkarnya praktik mafia hukum dan
makelar kasus (markus) yang kini tengah ditangani kepolisian, kejaksaan, dan Komisi
Pemberantaan Korupsi (KPK).
Terkait pro-kontra hukuman mati, wartawan Suara Karya Sugandi dan fotografer Hedi
Suryono mewawancarai Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM) Ismed Hasan
Putro di Jakarta. Berikut petikan wawancaranya.
Menurut Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM) Ismed Hasan Putro di Jakarta
bahwa soal wacana pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi
bahwa substansi pemberlakuan hukuman mati terhadap para koruptor akan menjadi
kontekstual apabila pemerintah memberlakukan darurat korupsi. Sebab, pemberlakuan
hukuman mati merupakan salah satu upaya untuk memberikan efek jera terhadap pelaku
perbuatan tindak pidana korupsi. Apalagi, Indonesia sudah terkontaminasi oleh praktik
korupsi yang sangat menggurita, sistemik, dan masif.
Coba Anda perhatikan dalam kasus Gayus Tambunan! Semua level terlibat, bahkan
bukan hanya orang pajak, kepolisian, kejaksaan, melainkan hakim pun terlibat. Kalau
pemerintah betul-betul serius, harus ada hukuman yang maksimal, yaitu hukuman mati
seperti halnya di Cina.
Anda bisa bayangkan, yang namanya Arthalyta atau Ayin, seorang pengusaha yang
tertangkap tangan menyuap jaksa, dihukum ringan, kemudian diberi remisi, dan terakhir
hukumannya didiskon oleh Mahkamah Agung. Itu kan lucu sekali.
Jadi, yang saya lihat, bukannya pelaku korupsi itu dibuat jera, tapi justru diberi
kenikmatan fasilitas mewah. Ini jelas sangat melukai rasa keadilan bagi masyarakat.
Ia juga menilai bahwa penegakan hukum kasus-kasus korupsi besar cenderung tidak
memenuhi rasa keadilan masyarakat. Buktinya Kejaksaan Agung sampai hari ini banyak
mengobral SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Sebaliknya, ketika lembaga itu
membentuk Tim Pemburu Koruptor, sampai saat ini tidak ada hasil apa pun. Artinya,
banyak hal yang kontraproduktif yang dilakukan pemerintah, khususnya kejaksaan dan
kepolisian dengan hasil tidak maksimal untuk kepentingan mayarakat. Kejahatan korupsi
tidak membuat orang menjadi takut, bahkan justru dijadikan ajang transaksi.
Seharusnya, dengan uang yang dikorupsi Rp10 miliar itu, negara menyita semua aset
yang mereka miliki, dengan tujuan untuk me-recovery aset. Kalau itu diberlakukan,
mereka akan mengalami ketakutan. Mereka tidak akan merasa jera kalau kejahatan
korupsi tidak diungkap berdasarkan pembuktian terbalik.
Adanya argumen lain bahwa pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor justru akan
menimbulkan kian maraknya praktik transaksional. Namun menurut Ismed Hasan Putro:
"Justru saya akan bertanya, apakah pantas kalau seseorang melakukan korupsi bernilai
ratusan miliar tidak dihukum mati? Padahal, akibat yang ditimbulkan berdampak
merugikan keuangan negara, akan berdampak pula pada kehidupan berbangsa dan
bernegara. Apakah Anda setuju orang semacam itu kemudian hanya dihukum lima tahun,
misalnya? Saya sebagai warga negara, jelas tidak setuju. Saya juga merasa tidak adil
kalau seorang teroris dianggap sebagai kejahatan yang sangat biadab, sementara koruptor
masih bisa menikmati hasil korupsinya.
Jadi, pandangan seperti itu tidak adil. Padahal, kalau melihat dampaknya, koruptor lebih
jahat dari teroris. Teroris hanya mematikan sekian orang, tapi kalau koruptor, bisa
membuat sekian banyak masyarakat menjadi menderita.
Misalnya, kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang merugikan negara
hingga Rp1.200 triliun termasuk bunganya. Dampaknya terhadap masyarakat sangat luar
biasa. Coba jika uang itu dikembalikan ke negara! Kemudian digunakan untuk
kepentingan rakyat, seperti membangun sarana pendidikan dan kegiatan lainnya.
Indonesia tidak akan mencari pinjaman dari luar negeri. Bahkan, Indonesia akan terbebas
dari utang yang selama ini menjerat dan membebani rakyat.
Jadi, perdebatan soal pemberlakuan hukuman mati ini punya argumentasi yang mendasar.
Sebab, banyak rakyat yang tidak bisa menikmati fasilitas negara, tidak sekolah, dan tidak
sedikit pula orang menjadi miskin akibat tindakan korupsi. Itu terjadi karena pemerintah
tidak lagi mampu menyejahterakan rakyat.
Sementara a pemberlakuan hukuman mati harus dapat menimbulkan efek jera? Sebab,
studi PBB membuktikan tidak menjamin berhentinya angka korupsi dan tindak pidana
lainnya.
Pertama, di negara Cina pada 1980-an praktik korupsinya sangat ganas sama dengan
Indonesia. Tetapi, sekarang jauh lebih menurun. Memang tidak hilang, tapi bisa
diminimalkan. Kedua, para investor merasa nyaman karena ada kepastian tidak adanya
risiko yang terlalu tinggi dengan pengeluaran yang bisa dikalkulasi. Sebaliknya di
Indonesia, dengan penerapan hukuman yang hanya lima tahun, misalnya, bukannya
berkurang, tapi justru lebih mengganas. Bahkan, kekuasaan itu dijadikan alat untuk
memperkaya diri.
Ia juga mengatakan bahwa jika Komnas HAM dan LSM HAM mencatat, sebagian besar
negara yang memberlakukan hukuman mati kini mencabutnya, sementara Indonesia
justru mewacanakan hal tersebut menurut Isemd debat soal hal tersebut, pemberlakuan
hukuman mati harus dilihat dari konteksnya. Kalau kita memandang hanya diberlakukan
kepada teroris yang hanya mematikan sedikit orang, itu tidak adil. Padahal, dalam kasus
korupsi, terutama yang jumlahnya besar, jelas akan berdampak lebih dahsyat terhadap
rakyat. Tindakan korupsi itu dampaknya melebihi dari tindakan yang dilakukan teroris.
Jadi, mana yang mau dipilih? Saya lebih mementingkan perlindungan HAM bagi
kebanyakan warga negara secara kolegial sebagai korban tindak pidana korupsi.
Untuk tegasnya menurut Ismed pemberlakukan hukuman mati bagi para koruptor sudah
demikian mendesak. Dalam perkembangannya, banyak pihak menyatakan bahwa korupsi
sudah terjadi di semua sektor. Bahkan yang melakukannya tidak hanya di level
pengambil kebijakan, tapi sudah menjalar ke tingkat bawah. Mafia hukum dan praktik
markus yang bermunculan belakangan ini makin menguatkan wacana pemberlakuan
hukuman mati. Itu terjadi karena tidak jalannya sistem pengawasan, seperti Komisi
Kejaksaan, Komisi Kepolisian, maupun Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Kalau dulu, yang menjadi musuh bersama adalah korupsi, kini justru berbalik, yang
menjadi musuh bersama adalah pemberantas korupsinya. Mengapa demikian? Sebab,
upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga penegak hukum tidak memenuhi
rasa keadilan masyarakat. Penegakan hukum terkait kasus korupsi lebih banyak dijadikan
alat untuk melakukan transaksi, tawar-menawar antara pelaku korupsi dan penegak
hukum, baik kejaksaan, kepolisian, maupun hakim. Problem seperti ini yang harus
diperbaiki ke depan.
Hukuman Mati Terpidana Narkoba
Akhirnya saat tersebut tiba juga. Setelah dua tahun terakhir dunia hukum Indonesia
disibukkan dengan pertanyaan apakah hukuman mati masih dapat terjadi di Indonesia di
tengah gencarnya penegakkan HAM, Ayodya Prasad Chaubey (66) terpidana mati kasus
narkoba, dieksekusi oleh aparat Brimob pada dinihari Kamis, 5 Agustus 2004 (Republika,
6 Agustus 2004). Sebelumnya, dalam jumpa pers di Puskominfo-Lembaga Informasi
Nasional Senin (24 Mei 2004), Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional
Togar M Sianipar mengatakan bahwa pemerintah hendaknya membuktikan keseriusan
dalam memberantas narkoba dengan mengeksekusi satu terpidana mati pada 26 Juni
2004.
Kenyataannya, eksekusi tersebut baru terjadi lima pekan kemudian, dengan Ayodya
Prasad selaku 'pemecah telur'-nya. Ayodya ditangkap pada 21 Februari 1994 atas tuduhan
menyelundupkan 12,29 kilogram heroin di Medan. Ia tertangkap bersama-sama dua
warga negara Thailand, masing-masing Sealow Preaseant (62) dan Namsong Sirilak (32).
Kini keduanya juga sedang menanti saat-saat eksekusi (death row) karena grasi mereka
berdua juga telah ditolak presiden. Eksekusi Ayodya nyaris luput dari perhatian publik.
Apalagi waktu pelaksanaannya mundur lima pekan dan dilakukan dengan amat sangat
rahasia di tengah kegelapan malam. Tujuh permintaan Ayodya sebelum eksekusi, nyaris
semua dipenuhi, kecuali menghadirkan keluarganya pada saat eksekusi.
Kehati-hatian aparat dalam pelaksanaan eksekusi ini sedikit bisa dipahami. Dalam kurun
waktu hampir 10 tahun terakhir, baru dua terpidana kasus narkoba yang dieksekusi
hukuman mati (termasuk Ayodya). Selebihnya masih ada 30 terpidana yang belum
dieksekusi. Bahkan ada seorang terpidana yang mengajukan dua kali permohonan
peninjauan kembali (PK), melebihi ketentuan PK yang seharusnya, yang akhirnya tidak
jadi dieksekusi. Saat ini, ada empat terpidana mati narkoba WNA yang telah ditolak
grasinya dan tiga lagi yang tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK), termasuk dua
wanita muda asal Jawa Barat, yaitu Meirika Franola dan Rani Andriani.
Di luar terpidana mati narkoba, ada puluhan lagi terpidana mati akibat kasus pembunuhan
dan kekerasan seksual yang tengah menanti eksekusi, tengah mengajukan PK, ataupun
memohon grasi kepada presiden. Kehati-hatian aparat juga boleh jadi karena iklim
penegakkan hukum Indonesia saat ini amat lekat dengan semangat menegakkan HAM.
Apalagi setelah diintrodusirnya Tap MPR No 17 tahun 1998 dan UU No 39 tahun 1999
yang sama-sama bicara tentang HAM. Di sisi lain, undang-undang tentang narkotika dan
psikotropika tahun 1997 memang memungkinkan jatuhnya pidana mati bagi para
pelanggarnya. Dalam kenyataan sosial pun, banyak pihak di Indonesia yang bersepakat
dengan hukuman mati karena amarah yang memuncak terhadap dampak keji narkoba
yang menghancurkan masa depan anak-anak bangsa. Masalahnya adalah, haruskah para
terpidana mati kasus narkoba betul-betul dieksekusi? Bagaimanakah hukum HAM
internasional mengatur masalah ini?
Perspektif hukum internasional
Kalangan yang tidak setuju dengan pidana mati beralasan bahwa hukuman tersebut
adalah di luar perikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Juga, sebagai
salah satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif
terhadap masyarakat. Lalu, apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan dalam
penjatuhan vonis, hukuman tersebut tak dapat dikoreksi karena sang terpidana telanjur
dieksekusi. Terlepas dari silang pendapat tentang absah tidaknya hukuman mati, berikut
akan dipaparkan perspektif hukum HAM internasional tentang hukuman mati.
Amnesty International (2003) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 111 negara yang
telah menghapuskan hukuman mati (death penalty). Dari jumlah tersebut, 76 negara
menghapus hukuman mati secara total, 15 negara memberlakukannya secara sangat
spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang (war time), dan 20 negara masih
mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya
dalam praktik.
Sementara itu, 84 negara sampai kini masih memberlakukan hukuman mati dalam hukum
nasionalnya. Di antaranya adalah Amerika Serikat (pada 38 negara bagiannya), Jepang,
Korea (utara dan selatan), India, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.
Uniknya, tak ada satu pun negara Eropa yang masih memberlakukan hukuman mati
kecuali Armenia, Turki (hanya untuk kejahatan di waktu perang/war time), dan Rusia
(data Amnesty dan UNHCR, 2003). Kendati demikian, pemberlakuan hukuman mati
tidak otomatis berdampak pada tingginya angka eksekusi. Amnesty (2003) mencatat
bahwa para terpidana yang akhirnya benar-benar dieksekusi mati tidak sebanyak angka
penjatuhan hukuman matinya. Pada tahun 2001, 3.048 terpidana telah dieksekusi di 31
negara. Sementara itu 5.265 dijatuhi hukuman mati di 69 negara. Sembilan puluh persen
dari eksekusi mati yang terjadi di tahun 2001 berlangsung hanya di empat negara yaitu
Cina (2.468), Iran (139), Arab Saudi (79), dan Amerika Serikat (66).
Amerika Serikat adalah fenomena menarik. Dari 84 negara yang masih memberlakukan
hukuman mati, hanya Amerika bersama Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang
tergolong negara 'maju', di samping beberapa negara petrodolar di Timur Tengah.
Karena, selebihnya adalah negara-negara 'dunia ketiga.' Sejak 1977, saat hukuman mati
dihidupkan kembali di AS, tak kurang dari 820 jiwa telah dieksekusi. Pada 2002, 71 jiwa
telah dieksekusi. Kemudian, per 1 Januari 2002, 3.700 jiwa telah dijatuhi hukuman mati
(belum dieksekusi). Hukuman mati masih berlaku di 38 negara bagian di AS.
Second Optional Protocol mendalilkan perlunya hukuman mati dihapus, dengan merujuk
pada pasal 3 Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) yang
berbunyi: "Setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas
keamanan (life, liberty, and security of person), juga pada pasal 6 Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights
ICCPR) yang berbunyi: "Setiap orang mempunyai hak yang tak terpisahkan dan
dilindungi oleh hukum, yaitu hak untuk hidup.
Tak seorang pun boleh diambil nyawanya secara semena-mena. Deklarasi Universal
HAM (HAM) memang bukanlah dokumen hukum yang mengikat (legally binding).
Namun demikian, ia merupakan pedoman standar penyelenggaraan hak asasi manusia
bagi warga dunia. Akan halnya ICCPR dan SOP adalah dua instrumen hukum yang
mengikat bagi para pihak yang telah meratifikasinya (state parties). Sampai saat ini,
sudah 144 negara yang meratifikasi ICCPR dan 60 negara telah menandatanganinya
(signatory). Sedangkan untuk SOP, baru 49 negara yang meratifikasinya dan 7 negara
yang menandatanganinya. Protocol to the American Convention on Human Rights to
Abolish the Death Penalty sampai saat ini baru diratifikasi oleh 8 negara di benua
Amerika, dan ditandatangani oleh 1 negara (Cile). Amerika Serikat sendiri belum
menjadi pihak baik dalam American Convention on Human Rights maupun dalam
protokolnya yang menghapus hukuman mati ini.
Sementara itu, protocol No 6 to the European Convention for the Protection of Human
Rights and Fundamental Freedoms tahun 1982 dan protocol No 13 to the European
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms tahun 2003,
keduanya sama-sama menghapuskan hukuman mati. Perbedaannya, protocol No 6 masih
membolehkan hukuman mati secara sangat terbatas yaitu untuk pelaku kejahatan di
waktu perang (war time), sedangkan protocol No 13 menghapuskan hukuman mati secara
total. Hampir semua negara Eropa meratifikasi protocol No 6 tahun 1982 kecuali Rusia,
Armenia, dan Turki yang telah menandatangani (signatory) namun belum
meratifikasinya. Sedangkan, protocol No 13 tahun 2002 telah diratifikasi 5 negara dan
ditandatangani 34 negara.
Kemudian, Indonesia sampai saat ini belum merupakan pihak (party) pada Konvensi
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 (ICCPR) maupun Second Optional Protocol
ICCPR 1989 yang menghapuskan hukuman mati. Karena sampai saat Ini Indonesia
belum menandatangani maupun meratifikasi kedua instrumen tersebut. Dengan demikian,
Indonesia belum terikat secara hukum internasional untuk menghapus hukuman mati
sesuai mandat kedua instrumen tersebut.
Penutup
Semangat yang berkembang dalam hukum HAM Internasional dewasa ini memang
adalah semangat menghapus hukuman mati. Akankah Indonesia menghapus hukuman
mati? Jawabannya memang terpulang pada para pengambil keputusan dan para pembuat
hukum. Juga, kepada masyarakat Indonesia. Karena, harus diakui bahwa hukuman mati
adalah hukuman yang hidup dan diakui di sebagian masyarakat Indonesia.
Kejahatan narkoba sudah terbukti termasuk kejahatan berat terhadap umat manusia
utamanya bagi bangsa Indonesia. Banyak pihak bersepakat dengan hukuman mati bagi
para pelakunya. Pasalnya adalah, sejauh mana pertimbangan kesalahan penerapan
hukum/pemidanaan dalam peradilan dipertimbangkan? Apalagi citra pengadilan sebagai
adil, jujur, bersih, independen, dan imparsial, masih jauh panggang dari api?
Kemudian, sejauh mana perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) turut dipertimbangkan
dalam eksekusi terpidana mati kasus narkoba tersebut (apabila jadi)? Memang, pelaku
kejahatan narkoba telah melanggar bahkan merusak HAM orang lain, utamanya para
korban-korban mereka. Mungkin seorang Ayodya ataupun calon-calon tereksekusi mati
terpidana narkoba lainnya adalah penjahat HAM kelas wahid. Namun, bukankah mereka
(para pelaku) adalah juga 'korban' dari kekerasan struktur yang lain?
Dengan pola pikir seperti ini hak-hak asasi manusia dibahayakan, karena
hak-hak itu ditentukan oleh kualifikasi dan prestasi dirinya sebagai
manusia yang ditunjukkan di dalam kesanggupan memenuhi kewajiban-
kewajiban asasinya. Gagal memenuhi kewajiban asasi berarti gagal
menjadi manusia, gagal menjadi manusia adalah alasan untuk tidak
diperlakukan sebagai manusia.
Menanggapi pola pikir seperti ini perlu diuraikan prinsip pertama dan
utama yang menjadi pedoman penting setiap perjuangan membela HAM:
bahwa hak-hak ini melekat pada kemanusiaan seseorang, sebelum ada
kualifikasi moral dan rasional apa pun. Kemanusiaan seseorang tidak
ditentukan oleh kualitas moralnya. Seseorang tetap merupakan seorang
manusia, juga ketika moralitasnya patut diragukan karena pelanggaran-
pelanggaran yang terbukti. Kenapa demikian?
Dalam alur argumentasi ini kita menempatkan perlunya apa yang disebut
sebagai kodeks kewajiban-kewajiban asasi manusia. Adanya tuntutan akan
pemenuhan kewajiban-kewajiban dasar bersumber dari kesadaran dan
pengalaman bahwa manusia memang sering tidak melakukan apa yang
seharusnya dilakukannya. Karena ada kemungkinan untuk tidak
melakukannya, maka kita perlukan sebuah rumusan yang mewajibkan dan
kita perlu membentuk instansi-instansi yang memperhatikan pelaksanaan
kewajiban-kewajiban itu. Kita tidak akan mewajibkan orang untuk
melakukan sesuatu, apabila manusia dari kodratnya hanya memiliki
kemungkinan untuk melakukan sesuatu itu, jika tidak ada alternatif untuk
melakukan sesuatu yang lain. Sesuatu kita sampaikan sebagai kewajiban,
agar di tengah situasi konkrit yang memungkinkan seseorang untuk tidak
melakukan kewajiban itu, dia tetap memilih melaksanakan kewajibannya.
Namun pelaksanaan kewajiban itu hanya mungkin selama kemanusiaan
seseorang diakui dan dipertahankan. Sebab itu, pelanggaran dalam
menjalankan kewajiban asasi tidak pernah dapat menjadi alasan untuk
meniadakan kemanusiaan itu melalui hukuman mati yang dijatuhkan dan
dilaksanakan terhadap seorang pelaku kejahatan.
Juga dalam gerak pemikiran yang sama kita tempatkan tanggung jawab
moral masyarakat. Sebagai perwujudan sebuah ideal moral, masyarakat
harus tetap mempertahankan penghargaan yang tak tergoyahkan pada
keluhuran martabat manusia. Kewajiban masyarakat adalah menciptakan
kondisi untuk menyadarkan seseorang akan tanggung jawabnya dan
dengan demikian akan hakikat dirinya sebagai makhluk yang bermoral.
Masyarakat melaksanakan peran ini apabila dia tetap berpegang teguh
pada keluhuran martabat kemanusiaan seorang penjahat dan tidak
melepaskannya bersama dengan kejahatan yang dilakukannya. Dengan
tetap berpegang pada martabat manusia seorang penjahat, masyarakat
menyodorkan kepada orang tersebut apa yang seharusnya dia lakukan.
Untuk mempertahankan manusia sebagai makhluk bermoral, mayarakat
tidak boleh mendegradasikan seorang penjahat ke tingkat binatang buas.
1 Votes
Quantcast
Hukuman mati mulai marak di perdebatkan menyusul eksekusi mati narapidana narkoba,
ujung ujungnya hukum Islam jadi kambing hitam dan dianggap tidak manusiawi serta
melanggar HAM. Benarkah Hukuman Mati Melanggar HAM..??
Di dalam syariah Islam yang menyebabkan hukuman atau vonis mati, diantaranya
adalah :
2. Hukum qishah, yaitu hukuman mati buat orang yang menghilangkan nyawa orang lain
dengan sengaja.
3. Hukuman mati buat para begal (hirabah) yang salah satu jenis vonisnya adalah
hukuman mati.
4. Hukuman mati buat mereka yang murtad dan keluar dari agama Allah SWT
5. Makar ( pemberontakan )
Dan lain-lain.
Hukuman Mati dalam Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam, hukuman mati atas pelaku pembunuhan disengaja merupakan
ketentuan dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian hukuman qishâsh berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh. (QS al-Baqarah [2]: 178).
Karena itu, penolakan atas hukuman mati, termasuk hukuman mati atas pelaku
pembunuhan disengaja, jelas-jelas bertentangan dengan ayat ini. Ide penolakan itu tidak
bertolak dari akidah Islam. Ide itu tidak lain bertolak dari ide, sekularisme, kebebasan dan
HAM. Tentu saja, ide penolakan semacam itu tidak layak dimiliki oleh seorang yang
masih mangaku Muslim.
Lebih dari itu, sanksi pidana Islam, termasuk qishâsh, berfungsi sebagai jawâbir (penebus
dosa di akhirat) bagi pelakunya sekaligus sebagai zawâjir (pencegah) karena memiliki
efek jera yang menghalangi orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama. Sistem
pidana Islam juga berpihak kepada pelaku, korban dan atau keluarganya, serta
masyarakat secara umum. Semua itu terlihat jelas dalam hukuman atas pembunuhan.
Sanksi pidana Islam yang diberlakukan di dunia-tentu saja jika memenuhi ketentuan
syariah-akan berfungsi sebagai jawâbir (penebus dosa). Dengan begitu, pelakunya tidak
akan disiksa di akhriat karena dosa kejahatan tersebut. Di sinilah keberpihakan hukum
Islam kepada pelaku tampak. Bagi orang yang mengimani kehidupan akhirat berikut
pahala dan siksanya, sifat ini memberikan dorongan besar baginya untuk mengakui
kejahatan yang ia perbuat sekaligus menjalani hukuman dengan penuh kerelaan bahkan
dengan kegembiraan. Hal itulah yang terjadi atas diri Maiz al-Aslami dan al-Ghamidiyah
yang pernah datang kepada Rasulullah saw. untuk memberikan pengakuan atas zina yang
mereka lakukan. Mereka pun mendesak Rasulullah saw. untuk segera menghukum rajam
mereka agar dengan itu mereka menjadi suci kembali dan di akhirat kelak mereka tidak
khawatir akan mendapatkan azab dari Allah yang pasti lebih berat lagi.
Adapun fungsi hukum pidana Islam sebagai zawâjir (pencegah) digambarkan dalam
firman Allah:
Dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, wahai orang-orang
yang berakal, supaya kalian bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 179).
Berkaitan dengan ayat di atas, Ibn Katsir menyatakan bahwa di dalam qishâsh itu terdapat
hikmah yang agung, yaitu terpelihara dan terjaganya darah (kehidupan) manusia. Sebab,
jika seorang yang akan membunuh manusia mengetahui bahwa ia akan dihukum mati jika
dia melakukan pembunuhan, tentu ia akan berpikir seribu kali untuk membunuh. Dengan
begitu, akan banyak manusia yang terselamatkan dari kasus-kasus pembunuhan dan
kelangsungan hidup manusia pun akan terpelihara. Karena itulah, agar fungsi zawâjir itu
berjalan, pelaksanaan hukuman mati (qishâsh) harus dilakukan secara terbuka. Dengan
begitu, masyarakat tahu siapa yang dihukum, kapan, dimana, dan dengan cara apa
eksekusi dilakukan; penguburan jenazahnya juga disaksikan oleh masyarakat luas.
Di samping itu, yang harus di-qishâsh adalah semua orang yang terlibat langsung dalam
pembunuhan yang disengaja itu, meskipun jumlahnya banyak. Umar bin al-Khaththab
dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa jika sekelompok orang bersekutu-baik dua
orang atau lebih; baik orang yang menjadi otaknya maupun eksekutor lapangan; baik
yang membunuh langsung maupun yang sekadar memegangi korban; dst.-untuk
membunuh seseorang, maka semuanya dikenai sanksi qishâsh, meskipun korbannya satu
orang. Karena itu, dalam kasus Tibo dkk, jika terbukti ia melakukan pembunuhan, ia
harus di-qishâsh (dihukum mati). Begitu juga ke-16 orang yang dikatakan sebagai
otaknya, jika terbukti, semuanya harus di hukum mati.
Adapun keberpihakan hukum Islam kepada korban adalah dengan adanya hak keluarga
korban untuk menuntut hukuman qishâsh. Rasulullah saw. Bersabda:
Siapa saja yang membunuh dengan sengaja, maka ia dihadapkan kepada wali-wali pihak
korban yang terbunuh. Jika mereka menghendaki, mereka dapat membunuhnya. Jika
mereka menghendaki, mereka bias mengambil diyat-yaitu 30 unta dewasa, 30 unta muda,
dan 40 unta yang sedang bunting. Jika mereka memaafkannya maka pahalanya bagi
mereka. (HR at-Tirmidzi).
Sanksi pidana Islam bisa diibaratkan sebagai palang pintu terakhir dalam melindungi
masyarakat dari kejahatan. Tentu saja upaya mencegah dan mengikis kejahatan sampai
batas paling minimal harus disinergikan dengan sistem-sistem yang lain. Dorongan
kemiskinan dan kelaparan hanya bisa dihapus melalui penerapan sistem ekonomi Islam
yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok serta kemungkinan pemenuhan kebutuhan
sekunder dan tersier. Untuk menjaga akidah dan akhlak harus dilakukan melalui sistem
pendidikan Islam. Untuk jaminan keamanan, keadilan, dan pelayanan harus diterapkan
sistem pemerintahan Islam. Untuk memelihara pergaulan pria-wanita yang sehat dan
bersih harus diterapkan sistem pergaulan Islam.
Karena itu, untuk mencegah dan mengikis kejahatan sampai paling minimal, atau bahkan
menghilangkannya sama sekali, harus dilakukan melalui penerapan sistem-sistem Islam
dalam segenap aspek kehidupan, yakni dengan menerapkan syariah Islam secara kaffâh.
Hukuman mati (the death penalty), telah memicu perdebatan sejak ratusan tahun lalu, ada
yang pro dan kontra.
Tanggal 10 Oktober kemarin adalah Hari Anti Hukuman Mati Sedunia. Berbagai alasan
dikeluarkan untuk menentang hukuman mati. Alasan utamanya adalah melanggar hak
hidup dan tidak memberi kesempatan bagi sang terpidana untuk memperbaiki diri.
Mereka mungkin akan bersuara lain bila berada pada pihak yang dirugikan oleh
terpidana. Jamak terdengar pihak keluarga seorang korban pembunuhan dengan keras
menuntut pelaku dihukum mati. Orang-orang yang menderita secara langsung atau tidak
dengan narkoba, menuntut pengedar narkoba dihukum mati. Tak sedikit pula yang
menuntut para koruptor dihukum mati. Dan juga soal hukuman mati kepada para
‘teroris’. Lalu, kenapa pihak-pihak yang kontra hukuman mati tidak berkata apa-apa
terhadap mereka? Menjelaskan pada pihak korban agar mereka menarik permintaan
mereka agar sang pelaku dihukum mati. IMO, kalau mereka melakukan hal tersebut,
maka pamor mereka akan hancur :p.
Layak atau tidaknya hukuman mati seharusnya ditilik dari kejahatan yang dilakukan.
Ambil contoh ekstrim: Seseorang yang melakukan atau memerintahkan pembantaian, apa
pantas untuk diberi hak hidup? Lalu kemudian ia dapat hidup, dibiayai oleh negara
bahkan mungkin mendapatkan ‘fasilitas’ tambahan entah dari mana, karena ia cukup
mendapat hukuman penjara. Entahlah, kupikir terkadang istilah eye for an eye pada
kondisi tertentu bisa diberlakukan.
Huff … menurutku jalan pikiran para aktifis itu aneh. Efek yang diharapkan dari
hukuman mati bukankah tidak sekedar untuk ‘membayar’ kejahatannya saja, melainkan
juga untuk memberikan semacam peringatan agar orang lain tidak melakukan kejahatan
yang sama?
Beberapa renungan untuk para aktivis HAM dan orang-orang yang kontra :
1. Mereka2 yang menentang hukuman mati, begitu memperhatikan hak si terhukum. Hak
hidupnya, hak tobatnya, dsb. Lalu bagaimana dengan hak korban? Dia juga terampas
haknya kan? Hidupnya, masa depannya, hak keluarganya. Apalagi jika korban dibunuh
dengan cara yang keji, atau dibunuh karena hal sepele.
Bagaimana jika yang dibunuh adalah kepala keluarga? Dia punya anak, punya istri. Siapa
yang akan menafkahinya? Sementara sang kepala keluarga dibunuh oleh perampok. Dan
mereka2 yang anti-hukuman-mati ternyata malah begitu peduli pada si perampok? Gak
masuk akal kan…
2. Di semua agama, hukuman mati DIPERBOLEHKAN. Dalam Islam, Kristen, ada.
Dalam Islam, jika pihak keluarga mengampuni, selesai urusannya. Tapi jika tidak, maka
hukuman mati dijalankan.
3. Kalau pembunuh “hanya” dipenjara seumur hidup, pertama, itu jadi beban pemerintah.
Kedua, enak bener dia. Udah menghabisi nyawa orang lain, eh dia punya kesempatan
hidup.
Kadang2 saya berdoa, semoga di antara para aktifis anti-hukuman-mati itu, ada satu atau
dua, atau kalau perlu semua, yang anggota keluarganya dibantai. Secara keji. Dan dengan
alasan yang sepele. Mungkin dengan begini, mereka baru bisa memahami apa yang
sebenarnya dirasakan oleh keluarga korban.
Bagaimanapun, saya mendukung hukuman mati yang total, dalam artian memang jelas-
jelas terbukti kejahatannya. Bahkan kalau perlu, hukuman mati ini disiarkan ke mana-
mana saat eksekusi. Apakah kejahatan lantas akan hilang? Gak mungkin. Selama ada
iblis, kejahatan akan tetap ada.
Seharusnya apabila seseorang ingin melakukan kejahatan, baik itu yang disengaja
ataupun tidak, terlebih dahulu memikirkan konsekuensinya. Jika perbuatan jahat dapat
dihindari maka hukuman mati atau death penalty otomatis tidak menanti, dan para aktivis
HAM tak perlu repot-repot ber-demo. Di samping itu ada persoalan yang lebih penting,
yakni memberantas kemiskinan dan mencegah global warming. Sebab takut-takutnya
death penalty bukan hanya untuk si terpidana melainkan untuk seluruh umat manusia.
Pro dan Kontra Hukuman Mati
OPINI
Djawara Putra Petir
| 20 June 2009 | 18:00
1699
6
Nihil.
Pidana mati atau hukuman mati merupakan pemidanaan terberat, karena berhubungan
dengan hak hidup seseorang. Pencabutan hak hidup si terhukum mati jika telah
dieksekusi dan dikemudian hari ditemukan bukti baru yang membuktikan bahwa si
tereksekusi bukan pelakunya, maka tidak mungkin untuk dikembalikan dalam keadaan
semula (dihidupkan kembali), untuk itu perlu kehati-hatian untuk menjatuhkan hukuman
mati, terutama bagi para Hakim.
Praktek peradilan dan khususnya sistem pembuktian hukum pidana Indonesia, terutama
Penyidik/Kepolisian masih belum dapat sepenuhnya melepaskan cara-cara lama mengejar
pengakuan tersangka dalam melakukan penyidikan, yakni masih adanya penekanan dan
penyiksaan pada orang yang dianggap pelaku perbuatan pidana (jngat kasus pembunuhan
di Jombang dan di Sulawesi).
Kejaksaan dalam hal ini Penuntut Umum, yang semestinya mempelajari perkara yang
diajukan kepadanya sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan pasal-pasal hukum
yang akan dibuktikan dalam persidangan, seringkali secara serampangan karena mungkin
ada muatan dari pihak-pihak tertentu yang menyebabkan berbuat serampangan, demikian
juga pada waktu penuntutan acap kali sangat tidak memperhatikan rasa prikemanusiaan
lagi, memang bukan kuwajiban penuntut umum, tetapi hatinurani sebagai manusia atau
bisikan hati sanubari itupun seharusnya tidak diabaikan begitu saja.
Banyak nada minus atas putusan lembaga Pengadilan ini, dan pengadilan seringkali
diberi gelar sebagai lembaga stempel atau lembaga yang melegalisasi Berita Acara
Pemeriksaan Penyidik dan tuntutan Penuntut Umum, seringkali seharusnya tidak terbukti,
tetapi karena tuntutan Penuntut Umum Tinggi yang mestinya dibebaskan dalam
prakteknya selalu dihukum paling rendah separo dari tuntutan Penuntut Umum yang
seharusnya bebas, kecuali perkara-perkara yang telah menjadi perhatian public (contoh
kasus seperti Prita, kasus pembunuhan di Jombang dlsb). Andaikan kasus Prita dan kasus
Jombang tidak memperoleh perhatian masyarakat atau para Capres yang lagi getol-
getolnya kampanye, dalam hal ini dapat dipastikan bahwa Prita akan dihukum dan tidak
mungkin dibebaskan seperti saat ini.
Karena keadaan praktisi-praktisi peradilan demikian, maka tidak dapat disalahkan jika di
masyarakat akhirnya timbul pro dan kontra pada hukuman mati.
BAGI YANG KONTRA HUKUMAN MATI, selalu mengaitkan dengan Hak Asasi
Manusia, Panca Sila dan hak pencabutan nyawa seseorang, karena hukuman mati
dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang terdalam yakni hak untuk hidup
dan tidak ada satupun manusia di dunia ini mempunyai hak untuk mengakhiri hidup
manusia lain meskipun dengan atas nama hukum atau negara, apalagi Indonesia
menganut dasar Falsafah Panca Sila yang menghormati harkat dan martabat manusia
serta berke-Tuhanan, karena yang paling berhak mencabut nyawa mahluk hidup hanya
Tuhan.
BAGI YANG PRO HUKUMAN MATI, demi ketentraman dan kenyamanan hidup
masyarakat serta keadilan, maka sudah wajar dan pantas jika pelaku kejahatan yang sadis
atau perbuatan yang dapat menimbulkan kekacauan dan kerugian orang banyak atau
masyarakat disingkirkan dari muka bumi ini.
Hukum Hak Asasi Manusia dan Panca Sila bukan untuk melindungi penjahat atau orang
yang berbuat merugikan orang banyak, karena Hukum Hak Asasi Manusia dan Panca
Sila untuk melindungi kepentingan orang banyak atau masyarakat, sedangkan hak
mencabut nyawa seseorang memang benar hak Tuhan tetapi dalam hal ini dapat juga
diartikan bahwa Tuhan telah mengutus hakim dan regu tembak untuk mencabut nyawa
siterpidana, jika Tuhan tidak mengutus dan/atau mengijinkan maka tidak mungkin
siterpidana akan berhadapan dengan regu tembak eksekutor dan mati.
Penjahat atau perbuatan yang sangat merugikan orang banyak dan merusak generasi
bangsa serta menimbulkan rasa ketakutan atau kecemasan masyarakat memang
seharusnya disingkirkan dari muka bumi.
“Hukuman mati merefleksikan bahwa insting hewan masih ada pada manusia.”
(Nelson Mandela)
Kontroversi hukuman mati sudah sejak lama ada di hampir seluruh masyarakat dan
negara di dunia. Dan hukuman mati mencuat di Indonesia akhir-akhir ini dalam merespon
isu korupsi yang silih berganti. Wacana hukuman mati bagi para koruptor memberikan
banyak argumentasi pro dan kontra. Apakah dibutuhkan untuk dijadikan senjata baru
pemberantasan korupsi? Atau justru berbahaya, karena bertentangan dengan hak hidup
manusia yang merupakan hak asasi manusia?
Seperti kita ketahui, bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham),
Patrialis Akbar, setuju dengan penerapan hukuman mati untuk para pelaku tindak pidana
korupsi. DPR juga sedang menyusun pembahasan agenda hukuman mati bagi koruptor.
Pendukung hukuman mati lainnya datang dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD.
Mahfud menilai hukuman ini tidak melanggar undang-undang. Dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati ini diatur dalam 2 pasal, yakni
Pasal 2 ayat (2). Pasal itu berbunyi, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang
diatur dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan
pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut
dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya,
bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Namun, bagaimana pandangan hak asasi manusia dalam persoalan hukuman mati ini?
Asmara Nababan menilai hukuman mati inkonstitusional. Menurut pendapat mantan
Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini, hukuman mati adalah
pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal
dalam konstitusi tertinggi kita itu mengamanatkan bahwa hak hidup setiap orang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Pelaksanaan hukuman mati menunjukkan
inkonsistensi dalam sistem hukum kita. Benarkah? Mari kita telusuri bersama.
Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.
Bersama 150 negara, Indonesia pada tahun 2005 juga sudah meratifikasi International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang dalam Pasal 6 (1) berbunyi: “Every
human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one
shall be arbitrarily deprived of his life.” Dalam pasal itu menyatakan, setiap manusia
memiliki hak atas hidup yang bersifat melekat.
Maka, hak atas hidup ini tidak perlu diragukan lagi karena yang paling penting dari
semua hak asasi manusia. Masyarakat yang beradab tidak dapat eksis tanpa ada
perlindungan hukum terhadap hidup manusia. Jika tidak ada hak atas hidup maka tidak
akan ada pokok persoalan dalam hak asasi manusia lain.
Selain itu, pasal 6 kovenan ini mengharuskan hak atas hidup dilindungi oleh hukum.
Keharusan ini berarti setiap negara wajib memiliki hukum yang melindungi hak atas
hidup dalam sistem hukum. Perlu kita telaah kembali, dalam perubahan UUD 1945, isu
hukuman mati tercantum dalam perubahan Bab XA. Pasal 28A yang dengan eksplisit
mengatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.” Jadi, hak untuk hidup atau the right to life adalah hak yang paling
mendasar dalam UUD 1945.
Hak untuk hidup (penentangan hukuman mati) kembali ditegaskan dalam Pasal 28I (1)
dalam rumusan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Maka, pasal 28A dan pasal 28I ini adalah payung hak asasi manusia sebagai “non-
derogable human rights” atau “hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.” Jadi, hak untuk hidup ini adalah hak yang tak bisa dikompromikan
dengan hak-hak lain. Hak untuk hidup ini adalah puncak hak asasi manusia yang
merupakan induk dari semua hak asasi lain. Sehingga, hubungan antara hak asasi
manusia dan hukuman mati tidak dapat dipisahkan. Maka, hak asasi manusia yang
meliputi hak untuk hidup bertentangan dengan hukuman mati itu sendiri.
Maka, jika kita lihat dari sisi jumlah undang-undang dan kurun tahun pengesahan terlihat
bahwa Indonesia justru memperbanyak hukuman mati dan tidak mempunyai
kecenderungan untuk menghapus hukuman mati. Selain itu, Indonesia justru
memperbanyak jenis kejahatan yang diancam hukuman mati. Lima peraturan perundang-
undangan tersebut kesemuanya memuat tindak kejahatan dengan jenis baru yang diancam
hukuman mati. Pidana-pidana yang diancam pun justru yang tidak masuk dalam
kelompok kejahatan yang paling serius (the most serious crimes) menurut Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik.
* Penulis adalah Direktur PUNDEN Nganjuk Jawa Timur, sekaligus anggota Forum
Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang.
Koruptor Bisa Dihukum Mati!
JAKARTA - Maraknya kasus korupsi dan makelar kasus yang terekspose ke media
membuat Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar angkat bicara. Patrialis menganggap
perlu dijatuhkan hukuman mati bagi koruptor.
"Saya kira saya setuju," kata Patrialis saat dikonfirmasi wartawan di Istana Negara,
Jakarta, Senin (5/4/2010).
Menurut Patrialis hukuman mati bagi koruptor bisa dilakukan karena dalam UU Pidana
Korupsi disebutkan aturan tersebut.
Patrialis menganggap hukuman mati itu merupakan cara yang tegas dan keras untuk
mengatasi kasus korupsi yang masih menjamur.
Memulai membicarakan topik Hukuman Mati vs Hak Asasi Manusia akan lebih baik kita
menelaah terlebih dahulu tentang pengertian dan definisi Hak Asasi Manusia. Pengertian
hak asasi manusia menurut UU no. 39 tahun 1999 :
“Hak assasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”
Dari beberapa sumber lainnya saya menyimpulkan pengertian dan definisi hak asasi
manusia sebagai berikut :
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak di dalam
kandungan yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugrah Tuhan yang berlaku
seumur hidup dan tidak dapat digugat siapa pun dan harus dihormati, dijaga, dan
dilindungi oleh setiap individu, masyarakat maupun negara.
Supaya kita lebih mengenal tentang apa saja yang terkandung dalam hak asasi manusia,
berikut ini yang termasuk dalam hak asasi manusia menurut UUD 1945 RI yang telah
diamandemen Pasal 28 tentang hak asasi manusia secara singkat. Hak asasi manusia
meliputi:
Di Indonesia telah dikeluarkan UU yang membahas hak asasi manusia dan juga
pengadilan hak asasi manusia. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat Indonesia
memahami tentang pentingnya hak asasi manusia sehingga dapat menjalankan kehidupan
dengan segala hak dan kewajibannya tanpa melanggar hak asasi orang lain. Dalam UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dijabarkan mengenai jenis
dan tingkatan pelanggaran hak asasi manusia. Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah
pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Apa sajakah yang termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia berat?
Menurut UU No.26 Tahun 2000 BAB III Pasal 7, pelanggaran hak asasi manusia yang
berat meliputi :
1. Kejahatan Genosida
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan
Apa sajakah yang termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia ringan ?
Dalam UU No.26 Tahun 2000 tidak disebutkan mengenai penggolongan pelanggaran
HAM ringan. Sehingga dapat disimpulkan pelanggaran HAM ringan adalah komplemen
dari pelanggaran HAM berat.
Setelah kita mengetahui definisi hak asasi manusia dan telah mengenal jenis pelanggaran
HAM, marilah kita mengamati fenomena hukuman mati yang dijatuhkan pada para
penjahat yang melakukan tindak kejahatan tertentu di negara kita. Sebut saja hukuman
mati yang dijatuhkan pada para teroris pelaku peledakan Bom Bali I.
Masih pantaskah ada negara yang menjatuhkan hukuman mati dan di sisi lain terjadi
berbagai upaya memperjuangkan perlindungan HAM ?
Kenyataannya masih banyak negara yang undang-undangnya menjatuhkan hukuman mati
sebagai ganjaran atas suatu perbuatan kejahatan luar biasa seperti kejahatan di bawah
hukum militer atau kejahatan yang dilakukan dalam keadaan luar biasa. Diantaranya
adalah Bolivia, Brazil, Chile, El Savador, Israel, Fiji, Kazakstan, Latvia, dan Peru.
Bagaimana di Indonesia? Tentu kita mengingat hukuman mati yang telah dijatuhkan
kepada teroris pelaku pengeboman Bom Bali, Amrozi cs. Ternyata di negara kita juga
masih melakukan hukuman mati. Apakah semua masyarakat Indonesia setuju dengan
adanya hukuman mati yang diberlakukan Indonesia? Tidak. Terjadi banyak pro kontra
seputar hukuman mati di Indonesia. Terdapat beberapa pakar hukum yang berpendapat
mengenai hukuman mati di Indonesia. Di bawah ini petikannya.
1. Sudi Prayitno, S.H., LL.M. [Penulis adalah Direktur Kantor Hukum Justitia Padang
dan Advokat pada LBH Padang]
Hukuman mati (the death penalty), sekalipun sudah memicu perdebatan sejak ratusan
tahun lalu, namun tetap menjadi sorotan publik bahkan memicu kerusuhan yang berujung
pada tindakan perusakan terhadap sejumlah kantor pemerintah. Setidak-tidaknya, reaksi
itulah yang terjadi pada hari-hari pasca eksekusi terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da
Silva, dan Marinus Riwu, terpidana mati dalam kasus kerusuhan Poso, yang “diakhiri’
nyawanya oleh regu tembak dua tahun lalu atau tepatnya pada tanggal 22 September
2006. Tibo Cs., bukanlah terpidana terakhir yang harus menghadapi hukuman mati, tetapi
masih ada ratusan terpidana mati lain yang kini sedang menunggu pelaksanaan hukuman
mati. Angka ini jelas bukan merupakan jumlah yang kecil, bila mengingat Indonesia –
menurut catatan Amnesty International- tergolong sebagai salah satu negara yang paling
minim menerapkan hukuman mati sampai tahun 2001, dikaitkan pula dengan jumlah
negara penganut hukuman mati (retentionist countries) yang terus-menerus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Bisa jadi, kini Indonesia menjadi salah satu negara yang
paling banyak menjatuhkan hukuman mati dibanding negara lain di dunia.
Secara yuridis, pelaksanaan hukuman mati terhadap Tibo Cs. dan ratusan terpidana mati
lain, didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht
van gewssdje). Putusan mana didasarkan pada ketentuan hukum positif yang berlaku,
seperti KUHP, UU No 7/Drt/1955, UU No 22 Tahun 1997, UU No 5 Tahun 1997, UU
No 31 Tahun 1999, UU No 26 Tahun 2000, dan lain sebagainya. Dari kenyataan ini,
terlihat bahwa penerapan hukuman mati di Indonesia semakin menunjukkan
kecederungan yang meningkat dilihat dari peningkatan jumlah peraturan perundang-
undangan yang mengatur hukuman mati. Persoalannya, apakah penerapan hukuman mati
seperti yang diberlakukan terhadap Tibo Cs. dan ratusan terpidana mati lain, memang
masih layak dipertahankan? Sejalankah praktek penghukuman seperti itu dilihat dari
perspektif hak asasi manusia dan tujuan penghukuman itu sendiri?.
Beberapa filsafat memandang tujuan penghukuman atau pidana sebagai bentuk
pembalasan dan pemberi rasa takut atau efek pencegah (deterrent effect) bagi orang lain
agar tidak melakukan kejahatan serupa di kemudian hari. Di sisi lain, ada pula yang
memandang hukuman sebagai cara untuk memperbaiki dan memberi efek jera bagi si
pelaku sehingga tidak mau lagi melakukan perbuatan serupa di kemudian hari.
Menurut pandangan pertama, tujuan hukuman baru akan terwujud apabila pelaku
kejahatan diganjar dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya dan semakin
berat hukuman akan semakin membuat orang takut melakukan kejahatan. Masalahnya,
apakah filosofi deterrent effect itu berjalan efektif? Melihat praktek pelaksanaan pidana
mati yang ada di Inggris, dimana pada saat orang ramai berkerumun untuk menyaksikan
penggantungan sang pencopet, para pencopet lain justeru menggunakan kesempatan itu
untuk menggerayangi saku para penonton (J.E. Sahetapy: 2006), melahirkan keraguan
apakah penerapan hukuman mati akan membuat orang takut atau justeru semakin berani
untuk melakukan kejahatan. Bila penerapan hukuman mati itu dimaksudkan sebagai
ketentuan hukum tertulis yang berfungsi untuk menakut-nakuti (sock therapy law),
justeru semakin banyak orang yang tidak takut melakukan korupsi, membunuh secara
berencana, melakukan kejahatan terorisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan
sebagainya.
Hukuman mati, mungkin akan membuat kejahatan si pelaku terbalaskan setidaknya bagi
keluarga korban dan akan membuat orang lain takut melakukan kejahatan karena akan
diancam dengan hukuman serupa. Namun hal itu jelas tidak akan dapat memperbaiki diri
si pelaku dan membuat dirinya jera untuk kemudian hidup menjadi orang baik-baik,
karena kesempatan itu sudah tidak ada lagi disebabkan dirinya sudah dimatikan sebelum
sempat memperbaiki diri. Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun, seorang pelaku kejahatan
dapat merasakan pembalasan atas tindakannya dengan bentuk hukuman lain, misalnya
dihukum seumur hidup dengan atau tanpa pencabutan beberapa hak tertentu atau penjara
di tempat yang jauh dan terpencil. Begitu juga bagi masyarakat, penjatuhan hukuman
penjara untuk waktu tertentu di suatu tempat tertentu atau perampasan beberapa barang
tertentu, dapat memberi rasa takut bagi seseorang untuk melakukan kejahatan.
Dari perspektif hak asasi manusia, penerapan hukuman mati dapat digolongkan sebagai
bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang
berbunyi, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai
individu”. Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 5 DUHAM dan Pasal 7 Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights-ICCPR) yang berbunyi, “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan
secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina“ dan
dikuatkan dengan Protokol Opsional Kedua atas Perjanjian Internasional mengenai Hak-
hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati. Sekalipun
instrumen hukum internasional yang mengatur persoalan hak asasi manusia tersebut tidak
dapat memaksa suatu negara untuk mematuhinya kecuali negara yang bersangkutan telah
menandatangani rumusan hukum yang tertuang dalam perjanjian internasional yang
dibuat untuk itu, namun sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa yang
berkomitmen memajukan hak asasi manusia, Indonesia wajib menghormati dan
melindungi hak asasi manusia setiap warga negaranya tanpa pandang bulu.
Delapan pakar hukum dari tujuh perguruan tinggi ternama di Indonesia setuju
pemberlakuan hukuman mati tanpa syarat bagi produsen dan pengedar narkotika. Atas
nama keadilan, hakim berhak mencabut nyawa seseorang.
Hal itu terungkap dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi, Rabu (20/6).
Dari sembilan pakar hukum pidana yang dimintai keterangan di Mahkamah Konstitusi,
hanya Mardjono Reksodiputro dari Universitas Indonesia yang menyatakan
pemberlakuan hukuman mati harus disertai syarat. Menurut dia, penjelasan hukuman
mati dalam UU tentang narkotika harus dibarengi dengan beberapa syarat, karena
termasuk kategori pidana khusus.
“Bisa digunakan pidana mati percobaan. Artinya, terpidana mati dihukum dulu 10 tahun
penjara. Kalau dapat memperbaiki diri, diubah menjadi hukuman seumur hidup atau
penjara 20 tahun,” ujarnya.
Mardjono mengatakan, apabila terpidana mati tidak dieksekusi selama 10 tahun, hak
negara untuk melakukan eksekusi menjadi kedaluwarsa dan pidana mati harus diubah
menjadi pidana seumur hidup. Syarat lain, keputusan hakim ketika menjatuhkan vonis
juga harus bulat. “Kalau ada descending opinion (pendapat berbeda), maka tidak bisa
dijatuhi pidana mati.”
Anggota Komisi Hukum Nasional itu berpendapat pemerintah saat ini masih ragu-ragu
melakukan eksekusi mati. Banyak kasus yang membuktikan terpidana mati mendapatkan
status yang tidak jelas ketika menunggu waktu eksekusi. Menurut dia, kalau pemerintah
masih ingin memberlakukan hukuman mati, harus ada syarat pidana khusus atau
penghapusan total.
Salah satu pakar hukum yang mendukung hukuman mati tanpa syarat adalah Didik Endro
Purnomo, ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga Surabaya. Menurut dia,
ketentuan hukuman mati tidak melanggar UUD 1945 karena hak hidup tidak berlaku bagi
seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Apalagi kehidupan bernegara akan
terancam jika generasi muda dirusak oleh narkotika. “Undang-undang narkotika
merupakan upaya untuk melindungi masyarakat.”
Sidang uji materi Undang-Undang tentang Narkotika yang mengundang pakar hukum
dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sumatera Utara,
Universitas Airlangga, Universitas Jember, Universitas Parahiyangan, dan Universitas
Pattimura juga menyatakan setuju dengan pemberlakukan hukuman mati bagi produsen
dan pengedar narkotika.
Pengujian undang-undang tersebut diajukan oleh Scott Anthony Rush, salah satu dari 9
warga Australia (kasus Bali 9) yang dijatuhi hukuman mati karena menyelundupkan
5.121 gram heroin ke Bali
Tiga puluh sembilan abad berlalu setelah hukuman mati pertama kali yang dicatat dalam
sejarah terjadi di Kerajaan Babilonia. Di bawah kepemimpinan Raja Hamurabi, kerajaan
itu membolehkan menghukum seseorang dengan jalan pencabutan nyawa.
Terentang jarak waktu yang panjang tidak juga mengikis aturan hukum yang
membolehkan pembunuhan terhadap orang lain atas nama penegakan keadilan. Meski
tidak bisa dikatakan mayoritas, nyatanya masih banyak negara memberlakukan hukuman
keji tersebut, termasuk Indonesia.
Setelah sempat memanas ketika terpidana pelaku kerusuhan Poso, Tibo dan kawan-
kawan, divonis mati di hadapan regu tembak, wacana penghapusan hukuman mati tidak
lagi ramai dibicarakan. Perdebatan kembali merebak ketika Amrozi dan kawan-kawan,
terpidana mati pelaku Bom Bali I, menolak menghadapi ajal dengan cara ditembak dan
memilih mati syahid dipancung. Mereka juga menolak meminta ampun kepada presiden
yang dinilai bukan sebagai representasi hukum Allah.
Pendapat pro-kontra kian meruncing. Kubu yang sepakat pemberlakuan hukuman mati
berpendapat negara perlu menerapkan hukum yang memberikan efek jera bagi para
pelaku lainnya. Sedangkan di seberang, kubu yang menolak hukuman mati berargumen
bahwa jenis hukuman ini terbukti tidak efektif membuat efek jera. Untuk kejahatan yang
berlatar belakang keyakinan, hukuman mati justru memotivasi pelaku lain untuk
melakukan kejahatan serupa demi membela keyakinan.
Tapi implementasi pidana mati tidak harus digantung, diberi kesempatan 10 tahun untuk
menunjukkan bahwa dia patut diabolisi. Jadi di antara pro dan kontra, kita berdiri di
tengah. Kalau pidana mati dihapus keseluruhan, mungkin ada pemikiran yang
berkembang apakah kita harus seperti itu.
Apakah itu juga berlaku untuk kejahatan terorisme?
Kenapa untuk terpidana mati kasus terorisme seperti Bom Bali I tidak ada yang protes
dan diem saja? Australia, kalau ada pidana mati untuk terorisme langsung bersorak. Tapi
kalau warga negaranya ada yang dipidana mati, langsung berteriak. Kita di tengah
pergolakan kehidupan internasional yang berstandar ganda. Lalu kita masuk dalam
pergolakan itu dan dipaksa untuk mengambil sikap mendukung mana. Hukuman mati
soal terorisme itu kan juga masuk human right, tapi mereka tidak protes. Sekarang,
kenapa untuk kasus narkotika mereka protes? Ini harus betul-betul fair. Tapi masalahnya
di UU Narkotika kan dibedakan antara pecandu dan pengedar
Pengedar memang mati, tapi untuk pecandu ya diobati, tidak ada yang dihukum mati.
Terrorism, narcotic crime, dan perdagangan senjata itu termasuk international crime. Itu
sudah diakui dan satu paket.
Sekarang kita pilihannya apa? Kita hidupkan orang yang nyata-nyata bikin orang teler?
Makanya saya setuju KUHP ambil jalan tengah seperti itu. Itu lebih fair.
Pro – kontra ini pasti tidak selesai dalam satu zaman. Dulu saya masih ingat, Eropa
menolak hukuman mati. Sekarang beberapa negara justru menerima lagi.
Jadi, MK mungkin melihat untuk kasus Indonesia dengan melihat maraknya peredaran
narkotika. Mungkin ini jalan keluar yang terbaik. Lihat saja Singapura. Meski diprotes
seperti apa pun, tetap saja memberlakukan hukuman mati. Tapi dampaknya sekarang,
orang mikir-mikir melakukan tindak kejahatan di negeri itu. Rakyatnya senang. Di sini?
Kita lebih milih mana? Kalau saya sih mending kenceng sekalian seperti Singapura.
Siapa pun yang masuk ke situ pasti mati, tapi penduduknya aman. Sekarang mau milih
efisiensi, HAM, atau efektif untuk perlindungan republik ini? Kalau saya untuk
perlindungan yang lebih besar. Kalau secara akademis memang bisa diperdebatkan.
Kalau politis tergantung perpolitikan di negeri ini. Secara agamis dipertentangkan.
…
Sejak tadi kita bicara mengenai kontroversi hukuman mati. Sekarang bagaimana
menjembatani antara kepentingan politis ini?
Cepat saja RUU KUHP itu diundangkan, atau minimal bikin perpu (peraturan pemerintah
pengganti undang-undang) pengaturan ketentuan hukuman mati atau gimanalah biar bisa
mengurangi kontroversi.
Apa pertimbangan menerbitkan perpu berkaitan hukuman mati?
Pertimbangannya keadaan mendesak. Bahwa sebenarnya kita memerlukan pidana mati,
tapi dengan bersyarat.
…
Setelah putusan MK, Gubernur Lemhannas Muladi menyatakan hukuman mati tidak bisa
diberlakukan terhadap koruptor.
Tanggapan Anda?
Memang di luar negeri tidak ada koruptor yang dipidana mati. Paling tinggi 15 tahun.
Seumur hidup itu tidak ada. Hanya kita yang ada. Tidak ada masalah. Toh koruptor itu
kan hanya dirinya sendiri. Dengan hukuman 20 tahun saja sudah cukup bagi para
koruptor. Derajatnya itu narkotika lebih berat daripada koruptor. China saja sekarang
main tembak koruptor kewalahan sendiri, kok masih banyak yang bandel. Akhirnya
mereka lebih pada pencegahan dan berguru pada Korea Selatan dan Hong Kong. Kalau
korupsi itu harus difokuskan ke akar masalahnya.
Ada usulan mengganti hukuman mati dengan hukuman seumur hidup. Tanggapan Anda?
Hukuman hidup itu sebenarnya lebih payah. Pertama, benar-benar hidup dalam penjara
selamanya. Kedua, negara akan keluar biaya besar untuk mengongkosi. Sanggup tidak
negara? Sebenarnya arahnya kita sekarang ini pada penghapusan hukuman mati. Cuma
jika hapus total, akan memunculkan reaksi politis, khususnya dari partai-partai Islam.
Setelah kita sama-sama mengetahui sebagian tentang hak asasi manusia dan pendapat
para pakar hukum mengenai hukuman mati, seyogyanya kita telah mempunyai pendapat
tentang kontroversi hukuman mati di Indonesia. Telah dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal
28 tentang hak asasi manusia yang melindungi hak setiap orang untuk hidup, namun
ironisnya pemerintah membentuk Perpu No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana
Terorisme yang kemudian telah disahkan menjadi undang-undang. Dalam salah satu
pasalnya berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun.
Menurut saya, Perpu No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
yang menjatuhkan hukuman mati melanggar UUD 1945 Pasal 28. Tak seharusnya
pemerintah menjatuhkan hukuman mati untuk pelaku terorisme karena merebut hak
hidup pelaku terorisme. Perampasan hak hidup mengakibatkan perampasan HAM yang
lainnya seperti hak meneruskan keturunan, mengembangkan diri, dan sebagainya. Dalam
UUD 1945 tentang HAM tidak disebutkan adanya pengecualian tentang perlindungan
HAM, artinya perlindungan terhadap HAM adalah hak seluruh penduduk Indonesia.
Akan lebih baik jika hukuman tertinggi untuk tindak pidana terorisme adalah hukuman
seumur hidup. Diharapkan pelaku dapat bertaubat dari kejahatannya serta dapat
melanjutkan hidupnya dalam penjara. Walaupun telah banyak korban yang berjatuhan
karena kejahatannya, namun ia sebagai manusia tetap memiliki HAM yang dilindungi
UUD 1945.
Telah dijelaskan oleh salah satu pakar hukum di Indonesia bahwa jika hukuman mati
digantikan dengan hukuman seumur hidup akan menyebabkan semakin beratnya beban
keuangan pemerintah. Bagaimanakah solusinya? Jika pemerintah punya niat yang baik
untuk benar-benar melindungi HAM para pelaku kejahatan, pasti ada jalan keluar untuk
masalah tersebut. Pemerintah dapat memulai melatih ketrampilan pada narapidana agar
mereka dapat hidup mandiri walaupun mereka berada dalam penjara.
Seperti yang telah dilakukan di beberapa rumah tahanan di Indonesia dengan melatih para
tahanan untuk membuat benda-benda yang bernilai ekonomis misalnya membuat perabot
rumah tangga dari kayu, membuat hiasan, bahkan tidak mungkin tenaga narapidana bisa
dimanfaatkan untuk mendirikan sebuah perusahaan kecil-kecilan. Hasil kerja keras
mereka dapat ditabung untuk membiayai kehidupan mereka. Tentu saja pemberdayaan
sumber daya manusia di dalam penjara dapat dilakukan secara maksimal setelah para
tahanan bertaubat dan kembali menjadi manusia yang baik akhlak dan perbuatannya.
Pemerintah dapat meminta bantuan dari tokoh agama atau pihak lain yang kompeten
mengembalikan para tahanan ke jalan yang benar demik
UPAYA PENCEGAHAN AKSI TERORISME MELALUI
PENDEKATAN HUKUM
Kampung halaman gembong teroris Osama bin Laden dan sebagian besar teroris
9/11. Tempat berlindung pembunuh masal, Idi Amin. Negara teokrasi tipe abad
pertengahan. Apartheid terhadap non-Muslim. Hukuman mati bagi pezina dan
orang yang murtad dari Islam. Dua kota besarnya (Mekah dan Madinah) adalah
terlarang bagi non-Muslim. Film dilarang di negara ini. Wanita dilarang menyetir
mobil.
Wanita dilarang bepergian, mendapat pendidikan atau bekerja tanpa izin tertulis
dari laki-laki yang menjadi muhrimnya. Wanita dilarang bergaul dengan kaum pria
di ruang publik dan harus mengenakan “jubah hitam” jika keluar rumah.
Ada hukum potong tangan, hukum cambuk, dan penggal kepala yang
dipertontonkan ke publik.
Libya
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB
Negara Sponsor Teroris – Tidak Ada Partai Politik – Tidak Ada Pengadilan
Independen.
Praktek Hukum Swasta dilarang – Tidak ada hak-hak pekerja.
Pemerintah mendominasi ekonomi – Senjata pemusnah massal.
Menjatuhkan pesawat penumpang Prancis di atas Nigeria, tewas 170 orang.
Menjatuhkan pesawat Pan Am di atas Lockerbie, Skotlandia, tewas 270 orang.
Mesir
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB
Mesir menginvasi Israel pada 1948, dengan maksud menghancurkan negara itu, dan
akhirnya menduduki Betlehem, daerah dekat Yerusalem. Arab Mesir menduduki
wilayah Arab Palestina sejak 1948 sampai 1967.
60,000 tentara Mesir menginvasi Arab Yaman dari 1962 sampai 1967, melawan
tentara Arab Yaman dan Saudi Arabia. Penggunaan senjata pemusnah massal oleh
Mesir saat melawan Yaman, adalah penggunaan senjata pemusnah massal pertama
di timur-tengah. Kampung halaman pemimpin teroris 9/11, Muhammad Atta dan
teroris 9/11 lainnya.
Bahrain
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB
Oman
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB
- Idem -
Qatar
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB
- Idem -
Irak
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB
Iran
DIKTATOR, ORG. OF THE ISLAMIC CONFERENCE MEMBER
Suriah
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB
Lebanon
DIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB
Otonomi Palestina
DIPERINTAH OLEH ORGANISASI TERORIS HAMAS, ANGGOTA LIGA ARAB
Partai politik Palestina, --Hamas, Fatah, dan PFLP— mengoperasikan “tentara” yang
masuk dalam daftar teroris di Amerika Serikat dan Uni Eropa. “Pemilu demokratis”
2006, menunjukkan bagaimana masyarakat Palestina sesungguhnya. Hamas
mendapatkan suara terbanyak (74) dari 132 kursi dewan legislatif Palestina, disusul
Fatah 45, dan PFLP 3.
Antara HAM, Privasi, dan Extraordinary Crime
21 Dec 2009
• Politik
• Republika
Pernah menonton film Enemy of The State? Film yang dibintangi Will Smith itu
memperlihatkan bagaimana negara memata-matai warganya. Sesuatu yang tentu saja tak
nyaman. Tapi, untuk kasus Indonesia, soalnya memang bisa menjadi lain.
Urusan mematai-matai warga negara, seperti menyadap, yang di negara lain telah diatur
secara ketat oleh pemerintah atas dasar hak asasi dan privasi, di Indonesia justru
menemui kendala lain. Pasalnya, penyadapan yang leluasa justru diperlukan untuk
memberantas penyakit kronis bernama korupsi.
Menyadari korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), pemerintah dan
DPR membekali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan senjata sepadan
penyadapan. Benar saja, penyadapan itu membuat KPK bergerak bak hantu.
Sepak terjang KPK pun menyuguhkan cerita berkualitas novel detektif. Lembaga tersebut
mengintai, menguntit, dan mencokok koruptor dari kamarkamar. hotel hingga ruang
parkir. Dari jalan protokol hingga gang perumahan mewah. KPK seperti ada di mana-
mana.
Korban KPK pun berjatuhan. Mulai dari pengusaha sampai jaksa. Dari pejabat
pemerintah hingga anggota DPR-yang lama mengidam mitos the untouchable.
Tapi, taring itulah yang sejak awal hendak dipatahkan oleh orang-orang yang menjadi
korbannya. Baik lewat proses hukum maupun lewat proses legislasi.
Akhir 2006, MK mengeluarkan putusan yang, antara lain, menyatakan tata cara
penyadapan KPK akan diatur dalam UU tersendiri, untuk menjaga independensi dalam
memberantas korupsi. Tapi sudah tiga tahun, UU khusus itu tak kunjung muncul.
Medio 2009. anggota DPR periode 2004-2009 yang hampir berakhir masa baktinya,
berusaha keras menggusur kewenangan menyadap KPK, lewat RUU Pengadilan Tipikor.
Antara
lain, lewat usulan klausul bahwa hasil penyadapan tanpa izin tak bisa dijadikan alat bukti.
Karena kuatnya tekanan publik, dan adanya putusan MK-bahwa penyadapan akan diatur
UU tersendin-DPR tak berhasil. Tapi, UU Pengadilan Tipikor berhasil membatasi ruang
gerak penyadapan, lewat klausul bahwa hakim-lah yang menentukan sah-ti-daknya hasil
sadapan sebagai alat bukti.
Tapi, badai belum berlalu. Kewenangan penyadapan yang merupakan taring KPK, masih
tetap dibidik. Kali ini lewat RPP Tata Cara Inter-sepsi. Penyadapan yang semula sejak
tahap penyelidikan, hendak ditelikung ke tahap penyidikan. KPK juga hendak
disubordinasi oleh lembaga bernama Pusat Intersepsi Nasional (PIN).
jni. lagi-lagi berdalih HAM dan privacy. Itu. antara lain, terlihat dari poin menimbang di
RPP tersebut yang me-mampang UU No 39/1999 tentang HAM. "Berkomunikasi adalah
hak asasi, tidak boleh disadap. Hasil penyadapan tidak boleh sembarangan dibuka karena
tidak semuanya merupakan informasi publik," kata Menkominfo, Tifatul Sembiring,
dalam rapat kerja dengan DPR, akhir November.
Tifatul mencontohkan, di negara seperti Australia. Je- . pang, dan Korea Selatan,
penyadapan itu diatur di bawah departemen seperti Depkominfo. Dia mengidam-kan
kewenangan serupa di Indonesia.
• Politik
• Republika
Pernah menonton film Enemy of The State? Film yang dibintangi Will Smith itu
memperlihatkan bagaimana negara memata-matai warganya. Sesuatu yang tentu saja tak
nyaman. Tapi, untuk kasus Indonesia, soalnya memang bisa menjadi lain.
Urusan mematai-matai warga negara, seperti menyadap, yang di negara lain telah diatur
secara ketat oleh pemerintah atas dasar hak asasi dan privasi, di Indonesia justru
menemui kendala lain. Pasalnya, penyadapan yang leluasa justru diperlukan untuk
memberantas penyakit kronis bernama korupsi.
Menyadari korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), pemerintah dan
DPR membekali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan senjata sepadan
penyadapan. Benar saja, penyadapan itu membuat KPK bergerak bak hantu.
Sepak terjang KPK pun menyuguhkan cerita berkualitas novel detektif. Lembaga tersebut
mengintai, menguntit, dan mencokok koruptor dari kamarkamar. hotel hingga ruang
parkir. Dari jalan protokol hingga gang perumahan mewah. KPK seperti ada di mana-
mana.
Korban KPK pun berjatuhan. Mulai dari pengusaha sampai jaksa. Dari pejabat
pemerintah hingga anggota DPR-yang lama mengidam mitos the untouchable.
Tapi, taring itulah yang sejak awal hendak dipatahkan oleh orang-orang yang menjadi
korbannya. Baik lewat proses hukum maupun lewat proses legislasi.
Akhir 2006, MK mengeluarkan putusan yang, antara lain, menyatakan tata cara
penyadapan KPK akan diatur dalam UU tersendiri, untuk menjaga independensi dalam
memberantas korupsi. Tapi sudah tiga tahun, UU khusus itu tak kunjung muncul.
Medio 2009. anggota DPR periode 2004-2009 yang hampir berakhir masa baktinya,
berusaha keras menggusur kewenangan menyadap KPK, lewat RUU Pengadilan Tipikor.
Antara
lain, lewat usulan klausul bahwa hasil penyadapan tanpa izin tak bisa dijadikan alat bukti.
Karena kuatnya tekanan publik, dan adanya putusan MK-bahwa penyadapan akan diatur
UU tersendin-DPR tak berhasil. Tapi, UU Pengadilan Tipikor berhasil membatasi ruang
gerak penyadapan, lewat klausul bahwa hakim-lah yang menentukan sah-ti-daknya hasil
sadapan sebagai alat bukti.
jni. lagi-lagi berdalih HAM dan privacy. Itu. antara lain, terlihat dari poin menimbang di
RPP tersebut yang me-mampang UU No 39/1999 tentang HAM. "Berkomunikasi adalah
hak asasi, tidak boleh disadap. Hasil penyadapan tidak boleh sembarangan dibuka karena
tidak semuanya merupakan informasi publik," kata Menkominfo, Tifatul Sembiring,
dalam rapat kerja dengan DPR, akhir November.
Tifatul mencontohkan, di negara seperti Australia. Je- . pang, dan Korea Selatan,
penyadapan itu diatur di bawah departemen seperti Depkominfo. Dia mengidam-kan
kewenangan serupa di Indonesia.