You are on page 1of 29

RANGKASBITUNG - Dalam praktiknya, penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat Discussion

masih ditemukan berbagai permasalahan. Salah satu penyebabnya, adanya kekurangtahuan Latest Post
terhadap kaidah bahasa Indonesia itu sendiri. Perasaan puas pada diri seseorang dalam
berbahasa, walaupun sebenarnya masih pas-pasan, dan masih sedikit masyarakat yang Latest Response
menganggap bahwa bahasa merupakan alat berpikir dan berkomunikasi, menjadi contoh E-Paper
nyata salah satu penyebabnya.

Demikian diungkapkan Sry Satriya Tjatur Sasangka M.Pd, editor dan peneliti bahasa Link
Indonesia di Pusat Bahasa Nasional sekaligus ahli bahasa DPR/MPR RI, pada seminar
bahasa Indonesia yang digelar Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah (Diksastrasiada) STKIP Setia Budhi Rangkasbitung, di LPMP Provinsi
Banten, Rangkasbitung, Minggu (23/11).

Menurutnya, melihat kondisi yang terjadi sekarang ini, perlu dilakukan sebuah tindakan agar
bahasa Indonesia menjadi bahasa yang memiliki kedudukan penting sebagai alat berpikir dan
alat komunikasi di masyarakat.

“Untuk meningkatkan kemampuan di masyarakat, harus banyak dilakukan penyuluhan atau


penyediaan buku pelajaran yang sesuai perkembangan bahasa. Bahkan di setiap instansi dan
sekolah, wajib memiliki kamus bahasa Indonesia untuk meningkatkan sikap positif tarhadap
bahasa Indonesia itu sendiri,” ujar Sry kepada peserta seminar.

Untuk mendukung kemampuan masyarakat, baik siswa maupun para pekerja pemerintah
sebagai lembaga pelayanan masyarakat, perlu melakukan kerjasama dengan pusat bahasa.
Sehingga, siswa dan pekerja pemerintah dapat mengetahui dan mengerti kaidah bahasa
Indonesia yang baik dan benar serta untuk meningkatkan kualitas bahasanya.

Lebih jauh lagi, lanjut Sry, para pejabat harus mengikuti training bahasa Indonesia untuk
meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam berbahasa.

“Tahun 2009 nanti, di Banten akan segera dibangun balai bahasa untuk penelitian,
penyuluhan, dan training bahasa Indonesia dan daerah,” katanya.

Sementara itu, Ketua Program Studi Diksastrasiada Mohamad Soleh M.Pd, mengatakan,
kegiatan ini dilaksanakan untuk melihat potensi yang dimiliki oleh mahasiswa agar lebih
meningkatkan mutu di bidang bahasa Indonesia. “Di STKIP terdapat beberapa mahasiswa
yang pernah meraih prestasi di tingkat nasional. Oleh karennya seminar ini dapat memacu
meraka agar kembali berprestasi,” harap Soleh. (day)

Peneliti bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Nasional Sry Satriya Tjatur Sasangka saat
memberikan materi dalam seminar bahasa Indonesia yang digelar STKIP Setia Budhi
Rangkasbitung di Gedung LPMP Provinsi Banten, Rangkasbitung, Minggu (23/11). (hudaya)

Bahasa Gaul Gitu Looh...


Submitted by team e-penulis on Jum, 24/11/2006 - 1:59pm

Oleh : Chairul Saleh/Tim Muda

Bahasa gaul sebenarnya sudah ada sejak 1970-an. Awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu
untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Tapi karena sering juga digunakan di
luar komunitasnya, lama-lama istilah-istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari.

Kita pasti sering mendengar istilah-istilah gaul seperti cupu, jayus, atau jasjus, dan sebagainya.
Bahkan mungkin kita sendiri sering menggunakannya dalam obrolan sehari-hari dengan teman-
teman. Sebagai anak gaul, ya kita sih senang-senang saja menggunakan kosakata barn yang
enggak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Paling- paling guru bahasa Indonesia atau
orangtua kita saja yang agak risi kalau kebetulan mereka mendengarnya.

Seharusnya mereka enggak perlu merasa terganggu mendengar bahasa gaul remaja zaman
sekarang. Toh di saat mereka muda dulu, mereka juga punya bahasa gaulnya sendiri. Iya, bahasa
gaul enggak hanya muncul belakangan ini saja, tapi sudah muncul sejak awal 1970-an. Waktu itu
bahasa khas anak muda itu biasa disebut bahasa prokem atau atau bahasa okem. Salah satu
kosakata bahasa okem yang masih sering dipakai sampai sekarang adalah "bokap".

Bahasa okem awalnya digunakan oleh para preman yang kehidupannya dekat sekali dengan
kekerasan, kejahatan, narkoba, dan minuman keras. Istilah-istilah baru mereka ciptakan agar
orang-orang di luar komunitas mereka enggak mengerti. Dengan begitu, mereka enggak perlu
lagi sembunyi-sembunyi untuk membicarakan hal negatif yang akan maupun yang telah mereka
lakukan.

Karena begitu seringnya mereka menggunakan bahasa sandi mereka itu di berbagai tempat,
lama-lama orang awam pun mengerti yang mereka maksud. Akhirnya mereka yang bukan
preman pun ikut-ikutan menggunakan bahasa ini dalam obrolan sehari-hari sehingga bahasa
okem tidak lagi menjadi bahasa rahasia. Kalau enggak percaya, coba deh tanya bokap atau
nyokap kita, tabu enggak mereka dengan istilah mokal, mokat, atau bokin. Kalau mereka enggak
mengerti artinya, berarti di masa mudanya dulu mereka bukan anak gaul.

Dengan motif yang lebih kurang sama dengan para preman, kaum waria juga menciptakan
sendiri bahasa rahasia mereka. Sampai sekarang kita masih sering kan mendengar istilah
"bencong" untuk menyebut seorang banci? Nah, kata bencong itu sudah ada sejak awal 1970-an
juga, ya... hampir bersamaan deh dengan bahasa prokem. Pada perkembangannya, konon para
waria atau banci inilah yang paling rajin berkreasi menciptakan istilah-istilah baru yang
kemudian memperkaya bahasa gaul.

Kosakata bahasa gaul yang berkembang belakangan ini sering enggak beraturan alias enggak ada
rumusnya. Sehingga kita perlu menghafal setiap kali muncul istilah baru. Misalnya untuk sebuah
lawakan yang enggak lucu, kita biasa menyebutnya garing atau jayus. Ada juga yang
menyebutnya jasjus. Untuk sesuatu yang enggak oke, biasa kita sebut cupu. Jayus dan cupu bisa
dibilang kosakata baru.
Ini berbeda dengan bahasa okem dan bahasa bencong yang populer di tahun 1970-an. Misalnya,
kata bokap dan bencong merupakan kata bentukan dari kata bapak dan banci.

Ada rumusnya

Ada banyak ragam bentukan bahasa gaul. Berikut ini penjelasan singkat beberapa metode atau
rumus dalam membentuk atau memodifikasi kata.

- Tambahan awalan ko.

Awalan ko bisa dibilang sebagai dasar pembentukan kata dalam bahasa okem. Caranya, setiap
kata dasar, yang diambil hanya suku kata pertamanya. Tapi suku kata pertama ini huruf
terakhirnya harus konsonan. Misalnya kata preman, yang diambil bukannya pre tapi prem.
Setelah itu tambahi awalan ko, maka jadi koprem. Kata koprem ini kemudian dimodifikasi
dengan menggonta-ganti posisi konsonan sehingga prokem. Dengan gaya bicara anak kecil yang
baru bisa bicara, kata prokem lalu mengalami perubahan bunyi menjadi okem.

Contoh lainnya:
Mati - komat (ko+mat) - mokat
Bini - kobin (ko+bin) - bokin
Beli - kobel (ko+bel) - bokel
Bisa - kobis (ko+bis) - bokis

Dengan metode yang sama, waria di Jawa Timer mengganti awalan ko dengan si

- Kombinasi e + ong

Kata bencong itu bentukan dari kata banci yang disisipi bunyi dan ditambah akhiran ong. Huruf
vokal pada suku kata pertama diganti dengan e. Huruf vokal pada suku kata kedua digani ong.

Contoh lain:

Makan - mekong
Sakit - sekong
Laki - lekong
Lesbi - lesbong
Mana - menong

Ada juga waria yang kemudian nengganti tambahan ong dengan es sehingga bentukan katanya

Banci - bences
Laki - lekes

Tambahan sisipan Pa/pi/pu


Setiap kata dimodifikasi dengan penambahan pa/pi/pu/pe/po pada setiap suku katanya.
Maksudnya bila suku kata itu bervokal a, maka ditambahi pa, bila bervokal i ditambahi pi, begitu
seterusnya.

Contoh:

Mati - ma (+pa) ti(+pi) - mapatipi


Cina - ci (+pi) na (+pa) - cipinapa
Gila - gi (+pi) la(+pa) - gipilapa
Tilang - ti (+pi) la(+pa)ng - tipilapang

Bahasa gaul dengan bentukan kata macam ini rasanya merepotkan. Memang sih sebagai bahasa
sandi atau bahasa rahasia mungkin cukup ampuh. Tapi enggak praktis. Bayangkan saja sebuah
kata yang tadinya terdiri dari dua suku kata jadi empat suku kata. Jadi terlalu panjang
mengucapkannya.

- Sisipan in

Pernah dengar istilah lines? Lines itu artinya 'lesbi'. Rumusnya, setiap suku kata pertama disisipi
in. Kata les-bi disisipi -in jadi 1(in)es b(in)I = linesbini. Biar gampang sering disingkat jadi lines
saja.

Contoh lain:
Banci - b(in)an-c(in)i - binancini
Mandi - M(in)an-d(in)i -- Minandini
Toko - t(in)o-k(in)o - tinokino
Homo - h(in)o-m(in)o - hinomino

Contoh-contoh di atas bisa dibilang pembentukan kata yang beraturan. Ada juga bentukan kata
yang enggak beraturan, jadi enggak bisa dibikin rumusnya. Misalnya kata cabut yang kemudian
jadi bacut. Artinya pergi atau berangkat. Bisa juga diartikan lari atau kabur bila diucapkan
dengan intonasi tinggi dan panjang (Cabuuut...!). Susah kan, menghubung-hubungkan kata pergi,
berangkat, lari, atau kabur dengan kata cabut. Contoh lainnya kata kece untuk cantik. Coba deh
dikutak- katik, siapa tahu bisa dibuatkan rumusnya.

Istilah dalam bahasa gaul sekarang ini kayaknya cenderung ke arah yang enggak beraturan itu
atau dengan menyingkat kata

Misalnya kalau kita mendengar ada orang yang bilang "macan tutul di Gedung MPR, pamer paha
di jalan tol" tentu itu bukan menunjukkan arti sebenarnya. Enggak ada macan tutul di MPR dan
enggak ada cewek-cewek pakai rok mini di jalan tol. Tapi maksud dari kalimat tersebut: "macet
total di depan Gedung MPR dan padat merayap tanpa harapan di jalan tol".

Masuk KBBI
Bahasa gaul rupanya enggak cuma menarik buat para penggunanya, tapi juga menarik untuk
diseminarkan. Buktinya kira-kira setahun yang lalu pernah digelar acara diskusi "Bahasa Slang,
Bahasa Gaul dalam Dinamika Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing" di Perpustakaan Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas). Yang jadi pembicaranya, antara lain, seniman Remy Silado
dan Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Dendy Sugono.

Pak Dendy bilang, bisa saja istilah-istilah gaul dicantumkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) yang akan diterbitkan pada tahun 2008. Di samping itu, Pusat Bahasa
Depdiknas pun akan mengeluarkan KBBI yang hanya memuat istilah-istilah baku. Dengan kata
lain, kalau inisiatif Pak Dendy ini terlaksana, tahun 2008 nanti akan ada dua versi KBBI. Salah
satunya akan mencantumkan istilah-istilah gaul. Kayaknya rencana Pusat Bahasa mencantumkan
istilah gaul dalam KBBI bukan omong kosong. Indikasinya sudah kelihatan kok. Beberapa bulan
lalu lembaga ini pernah merilis tentang asal-usul istilah gaul. Dari istilah nih ye, memble, kece,
bo, nek, jayus, jaim, sampai gitu loh Hebat kan mereka bisa menemukan siapa saja orang
pertama yang menciptakan/menggunakan atau memopulerkan istilah-istilah tersebut. Nah, kita
masih ada waktu setahun lebih untuk menciptakan istilah-istilah baru untuk dicantumkan dalam
KBBI.

Sumber : Kompas, Jumat 15 September 2006, Hal 50

Masih berkenaan dengan tulisan mengenai bibliografi sebelum ini, ternyata ada juga informasi
lain yang bisa memusingkan pencantuman bibliogafi. Kali ini menyangkut masalah nama
penerbit.

Sering kali penerbit yang sudah maju, seperti Gramedia, harus dipecah ke dalam berbagai divisi
penerbitan. Seperti kita tahu, selain Gramedia Pustaka Utama, ada Elexmedia Komputindo,
Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), juga Bhuana Ilmu Populer (BIP). Penerbit ANDI
Yogyakarta juga sudah mulai mengikuti jejak Gramedia. Ada Penerbit Buku dan Majalah Rohani
ANDI (PBMR ANDI), ada juga Penerbit ANDI untuk buku-buku umum dan populer. Kalau
menilik ke luar negeri, kondisi demikian tentu bukan hal asing lagi. Semakin maju sebuah
penerbit, semakin besar kemungkinan dan kebutuhan untuk membuka divisi penerbitan yang
lain.

Namun sekali lagi, hal ini, bagi sebagian orang, tampaknya memang memusingkan, yang mana
yang mau dicantumkan dalam bibliografi?

Sebut saja contohnya, buku From Jerusalem To Irian Jaya: A Biographical History of Christian
Missions yang ditulis dengan sangat baik oleh Ruth A. Tucker. Buku yang memaparkan sejarah
misi dari abad pertama kekristenan ini merupakan referensi yang sangat baik dalam dunia misi.

Pada halaman tiga, tercantum:

FROM JERUSALEM

TO
IRIAN JAYA

A BIOGRAPHICAL
HISTORY OF
CHRISTIAN MISSIONS

RUTH A. TUCKER

Academie Books
1415 Lake Drive, S.E., Grand Rapid Michigan 49506
from Zondervan Publishing House

Sebagai salah satu penerbit besar dari Amerika Serikat, nama Zondervan Publishing House
ternyata bisa memancing kita untuk mencantumkannya sebagai penerbit buku misi tersebut.
Benarkah demikian?

Kalau mencermati informasi di atas, seharusnya tidak. Karena pada seksi penerbit, yang
tercantum paling atas adalah Academie Books, bukan Zondervan Publishing House. Lihat pula
kata from di baris akhir itu. Hal ini cukup menunjukkan bahwa Zondervan Publishing House
hanya merupakan induk perusahaan daripada penerbit yang mencetak buku ini.

Kalau kita mencermati buku-buku lain, katakanlah itu dari Gramedia, kita bisa juga menemukan
informasi bahwa buku Bhuana Ilmu Populer, misalnya, merupakan anak perusahaan penerbit
Gramedia. Informasi itu berbunyi "Kelompok Gramedia".

Maka, dalam bibliografi buku Ruth A. Tucker tersebut, kita harus menuliskan

Tucker, Ruth A. 1988. From Jerusalem To Irian Jaya: A Biographical History of Christian
Missions. Grand Rapid, Michigan: Academie Books.

daripada

Tucker, Ruth A. 1988. From Jerusalem To Irian Jaya: A Biographical History of Christian
Missions. Amerika: The Zondervan Publishing House.

Diambil dari:

Nama blog : Corat-Coret Bahasa

Penulis : indonesiasaram

Alamat URL : http://indonesiasaram.wordpress.com/2007/04/30/

Topik: Kaidah dan Pemakaian Bahasa

Translasi Berdimensi Budaya


Submitted by team e-penulis on Sen, 19/11/2007 - 1:08pm

Oleh: Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum.

Pernahkah Anda merasa sangat geli dan kemudian tertawa sendiri di dalam hati ketika
mendengar seseorang menerjemahkan bentuk kebahasaan tertentu dalam bahasa Inggris ke
bahasa Indonesia?

Demikian sebaliknya, terjemahan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Kemudian,
translasi frasa, translasi kata, translasi ungkapan, dan translasi idiom dalam bahasa-bahasa daerah
yang ada di bumi Nusantara.

Misalnya bila ada bentuk bahasa Inggris, "It's raining cats and dogs", yang diterjemahkan secara
statis menjadi 'hujan anjing dan kucing'. Padahal, seharusnya kita cukup mentranslasikan bentuk
asing menjadi "Hujan amat deras" atau "Hujan deras sekali".

Demikian pula, untuk menyebut hujan rintik-rintik saat matahari belum terbenam, bahasa Jawa
menggunakan istilah udan tekek, bahasa Bali memakai ujan raja, dan bahasa Manggarai
menggunakan usang rewe. Namun, bahasa Indonesia cukup mengatakan 'hujan rintik-rintik'.

Beberapa contoh di atas sebenarnya jelas menunjukkan bahwa translasi bentuk kebahasaan tidak
selamanya dapat dilakukan kata per kata, serba harafiah, senantiasa setia wujudnya, dan serba
semantis.

Translasi bentuk-bentuk kebahasaan umumnya tidak bisa tidak harus menautkan pertimbangan
konteks sosial budayanya, konteks situasi dan lingkungannya, serta tujuan dan maksud
komunikasinya.

Tanpa mempertimbangan semuanya, niscaya terjemahan hanyalah hasil pencarian ekuivalensi


yang sifatnya statis (static equivalence), bukan ekuivalensi bersifat dinamis (dynamic
equivalence).

Kata 'enak' dalam metafora sinestetia bahasa Indonesia seperti pada "badanku sedang tidak
enak." tentu lucu bila serta-merta dialihbahasakan menjadi "my body is not delicious".

Bentuk idiomatis 'sambil menyelam minum air' akan menjadi lucu pula bila diterjemahkan 'while
diving, drinking water'. Dalam budaya bangsa Inggris, bentuk idiomatik demikian pasti akan
menjadi 'killing two birds with one stone'.

Akhir-akhir ini, banyak pemakaian bentuk yang menurut penulis cenderung tidak tepat dan lucu,
kendatipun mungkin pihak-pihak berotoritas telah melegitimasinya.

Ambillah contoh bentuk translasi 'hadiah lawang' atau 'hadiah pintu' sebagai penerjemahan
bentuk dalam bahasa Inggris "door prize". Menurut penulis, bentuk asing akan lebih tepat dan
masuk akal bila diterjemahkan 'hadiah kedatangan' atau 'hadiah kehadiran'.
Kemudian, bentuk 'rumah terbuka' sebagai translasi "open house". Dalam konteks Idul Fitri,
bolehlah kita menyebutnya 'silaturahmi terbuka'. Namun, dalam konteks pameran di kampus-
kampus perguruan tinggi, kiranya menjadi lebih tepat bila bentuk diterjemahkan 'kampus
terbuka'.

Jadi, persis sama dengan yang disampaikan di atas, "it's raining cats and dogs" tidak bisa serta-
merta diterjemahkan secara statis menjadi 'hujan kucing dan anjing'. Kita harus menerjemahkan
bentuk secara dinamis dan berdimensi budaya menjadi 'hujan deras sekali' atau 'hujan amat
deras'.

Penerjemahan bentuk-bentuk kebahasaan dalam bahasa apa pun, entah yang berupa ungkapan,
idiom, peribahasa, seloka, maupun frasa-frasa lain yang bermuatan sosial budaya, niscaya tidak
bisa dilakukan hanya secara biner dan dengan ekuivalensi yang statis semata.

Diambil dari:

Judul buku : Bahasa Kaya Bahasa Berwibawa:

    Bahasa Indonesia dalam Konteks Ekstrabahasa

Penerbit : Penerbit ANDI, Yogyakarta 2006

Halaman : 125 -- 127

Topik: Kaidah dan Pemakaian Bahasa


‹ Penerbit dan Anak Perusahaannya ke atas "Non" sebagai Awalan? Nanti Dulu! ›

 Login or register to post comments


 2357 reads

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia[1] dan bahasa persatuan bangsa
Indonesia[2]. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor
Leste, Bahasa Indonesia berposisi sebagai bahasa kerja.

Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa
Melayu[3]. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau[4]dari abad ke-19. Dalam
perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di
lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20.
Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928,
untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.[5]
Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang
digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan
bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun
penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia
bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia
menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu.[6] Penutur
Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau
mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian,
Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra,
perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,[7] sehingga dapatlah
dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.[8] Dasar-dasar yang penting
untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.[9]

Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Sejarah
o 1.1 Masa lalu sebagai bahasa Melayu
o 1.2 Bahasa Indonesia
 2 Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia
 3 Penyempurnaan ejaan
o 3.1 Ejaan van Ophuijsen
o 3.2 Ejaan Republik
o 3.3 Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)
o 3.4 Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
 4 Daftar kata serapan dalam bahasa Indonesia
 5 Daftar bahasa daerah di Indonesia
 6 Penggolongan
 7 Distribusi geografis
o 7.1 Kedudukan resmi
 8 Bunyi
 9 Tata bahasa
 10 Awalan, akhiran, dan sisipan
 11 Dialek dan ragam bahasa
 12 Lihat pula
 13 Referensi
 14 Pranala luar
o 14.1 Pembelajaran bahasa Indonesia
o 14.2 Kamus Indonesia - asing
[sunting] Sejarah
Lihat pula Sejarah bahasa Melayu.

[sunting] Masa lalu sebagai bahasa Melayu

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-
bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak
abad-abad awal penanggalan modern.

Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa
Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera
bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata
pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan
penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari
abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11] Kata-kata seperti samudra, istri, raja,
putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.

Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical
Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang
perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di
kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[rujukan?] Laporan
Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua
pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara
yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah
mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari
penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti
masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk,
dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa
Arab terus berlangsung hingga sekarang.

Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan
informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis
banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti
gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi
pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan
teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel
adalah pinjaman dari bahasa ini.

Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu,
akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat
diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan
sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.

Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19
menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting
di "dunia timur".[12] Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal
dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan
Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat.
Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di
Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga
menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia.
Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar
pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).[13] Varian-varian lokal ini secara umum
dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.

Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-
Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat
itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan
bahasa-bahasa internasional di masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang
terdefinisi dengan jelas.

Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu
yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta
bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat
dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
Kata-kata pinjaman

[sunting] Bahasa Indonesia

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk
membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para
pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena
telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi
bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan
penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa
Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.

Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di
tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada
tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris
mengadopsi ejaan Wilkinson.[12] Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat
Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim.

Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur


("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka.
Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman
Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa
instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah
terbentuk sekitar 700 perpustakaan.[14] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa
persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa
Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan,
dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,

"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya,
hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan
Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa
pergaulan atau bahasa persatuan."[15]

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh


sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir
Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak
mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.[16]

[sunting] Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan


perkembangan bahasa Indonesia
Gaya penulisan artikel atau bagian ini tidak atau kurang cocok untuk Wikipedia.
Silakan lihat halaman pembicaraan. Lihat juga panduan menulis artikel yang lebih baik.

Perinciannya sebagai berikut:

1. Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang
diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada
tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti
Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara
kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat
luas.
2. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini
untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa
Indonesia.[17]
3. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu
menjadi bahasa persatuan Indonesia.
4. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai
Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
5. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
6. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu
dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah
dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
7. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu
pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
8. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van
Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
9. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di
Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus
menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan
sebagai bahasa negara.
10. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan
sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
11. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi
berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
12. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di
Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini
selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak
tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
13. Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres
ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam
putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih
ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang
mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
14. Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di
Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh
Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia,
Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan
dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta
bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia.
15. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di
Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari
mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang,
Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa
Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
16. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia,
Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.

[sunting] Penyempurnaan ejaan


Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:

[sunting] Ejaan van Ophuijsen

Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang
dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan
baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van
Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan
tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y
seperti dalam Soerabaïa.
2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
4. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal,
ta’, pa’, dsb.

[sunting] Ejaan Republik

Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini
juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:

1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.


2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang
mendampinginya.

[sunting] Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)

Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-
tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.

[sunting] Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)

Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik
Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan
dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.

Perubahan:

Indonesi
Malaysia
a Sejak 1972
(pra-1972)
(pra-1972)

tj ch c

dj j j

ch kh kh
nj ny ny

sj sh sy

j y y

oe* u u

Catatan: Tahun 1947 "oe" sudah digantikan dengan "u".

[sunting] Daftar kata serapan dalam bahasa Indonesia


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kata serapan dalam bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terbuka. Maksudnya ialah bahwa bahasa ini banyak
menyerap kata-kata dari bahasa lain.

Asal Bahasa Jumlah Kata

Belanda 3.280 kata

Inggris 1.610 kata

Arab 1.495 kata

Sanskerta-Jawa Kuno 677 kata

Tionghoa 290 kata

Portugis 131 kata

Tamil 83 kata

Parsi 63 kata

Hindi 7 kata

Bahasa daerah: Jawa, Sunda, dll. ...


Sumber: Daftar Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia (1996) yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Pusat Bahasa).

[sunting] Daftar bahasa daerah di Indonesia


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar bahasa di Indonesia

Bagian ini membutuhkan pengembangan.

[sunting] Penggolongan
Indonesia termasuk anggota dari Bahasa Melayu-Polinesia Barat subkelompok dari bahasa
Melayu-Polinesia yang pada gilirannya merupakan cabang dari bahasa Austronesia. Menurut
situs Ethnologue, bahasa Indonesia didasarkan pada bahasa Melayu dialek Riau yang dituturkan
di timur laut Sumatra

[sunting] Distribusi geografis


Bahasa Indonesia dituturkan di seluruh Indonesia, walaupun lebih banyak digunakan di area
perkotaan (seperti di Jakarta dengan dialek Betawi serta logat Betawi).

Penggunaan bahasa di daerah biasanya lebih resmi, dan seringkali terselip dialek dan logat di
daerah bahasa Indonesia itu dituturkan. Untuk berkomunikasi dengan sesama orang sedaerah
kadang bahasa daerahlah yang digunakan sebagai pengganti untuk bahasa Indonesia.

[sunting] Kedudukan resmi

Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam:

1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
2. Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.

Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:

1. Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.


2. Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)

[sunting] Bunyi
Berikut adalah fonem dari bahasa indonesia mutakhir

Vokal

Depan Madya Belakang

Tertutup iː uː

Tengah e ə o

Hampir Terbuka (ɛ) (ɔ)

Terbuka a

Bahasa Indonesia juga mempunyai diftong /ai/, /au/, dan /oi/. Namun, di dalam suku kata tertutup
seperti air kedua vokal tidak diucapkan sebagai diftong

Konsonan

Langit2 Langit2 Celah


Bibir Gigi
keras lunak suara

Sengau m n ɲ ŋ  

Letup pb td cɟ kg ʔ

Desis (f) s (z) (ç) (x) h

Getar/Sisi   lr      

Hampiran w   j    

 Vokal di dalam tanda kurung adalah alofon sedangkan konsonan di dalam tanda kurung adalah
fonem pinjaman dan hanya muncul di dalam kata serapan.
 /k/, /p/, dan /t/ tidak diaspirasikan
 /t/ dan /d/ adalah konsonan gigi bukan konsonan rongga gigi seperti di dalam bahasa Inggris.
 /k/ pada akhir suku kata menjadi konsonan letup celah suara
 Penekanan ditempatkan pada suku kata kedua dari terakhir dari kata akar. Namun apabila suku
kata ini mengandung pepet maka penekanan pindah ke suku kata terakhir.

[sunting] Tata bahasa


Dibandingkan dengan bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak menggunakan kata
bergender. Sebagai contoh kata ganti seperti "dia" tidak secara spesifik menunjukkan apakah
orang yang disebut itu lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga ditemukan pada kata seperti
"adik" dan "pacar" sebagai contohnya. Untuk memerinci sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat
harus ditambahkan, "adik laki-laki" sebagai contohnya.

Ada juga kata yang berjenis kelamin, seperti contohnya "putri" dan "putra". Kata-kata seperti ini
biasanya diserap dari bahasa lain. Pada kasus di atas, kedua kata itu diserap dari bahasa
Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno.

Untuk mengubah sebuah kata benda menjadi bentuk jamak digunakanlah reduplikasi (perulangan
kata), tapi hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh "seribu orang"
dipakai, bukan "seribu orang-orang". Perulangan kata juga mempunyai banyak kegunaan lain,
tidak terbatas pada kata benda.

Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu "kami" dan
"kita". "Kami" adalah kata ganti eksklusif yang berarti tidak termasuk sang lawan bicara,
sedangkan "kita" adalah kata ganti inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk
lawan bicaranya.

Susunan kata dasar yaitu Subyek - Predikat - Obyek (SPO), walaupun susunan kata lain juga
mungkin. Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan objek.
Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense). Waktu dinyatakan dengan menambahkan
kata keterangan waktu (seperti, "kemarin" atau "esok"), atau petunjuk lain seperti "sudah" atau
"belum".

Dengan tata bahasa yang cukup sederhana bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri,
yaitu pada penggunaan imbuhan yang mungkin akan cukup membingungkan bagi orang yang
pertama kali belajar bahasa Indonesia.

[sunting] Awalan, akhiran, dan sisipan


Bahasa Indonesia mempunyai banyak awalan, akhiran, maupun sisipan, baik yang asli dari
bahasa-bahasa Nusantara maupun dipinjam dari bahasa-bahasa asing.

Untuk daftar awalan, akhiran, maupun sisipan dapat dilihat di halaman masing-masing.

[sunting] Dialek dan ragam bahasa


Pada keadaannya bahasa Indonesia menumbuhkan banyak varian yaitu varian menurut pemakai
yang disebut sebagai dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut sebagai ragam bahasa.

Dialek dibedakan atas hal ihwal berikut:

1. Dialek regional, yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga ia
membedakan bahasa yang digunakan di suatu daerah dengan bahasa yang digunakan di daerah
yang lain meski mereka berasal dari eka bahasa. Oleh karena itu, dikenallah bahasa Melayu
dialek Ambon, dialek Jakarta (Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan.
2. Dialek sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu atau yang
menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya dialek wanita dan dialek remaja.
3. Dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu. Contohnya dialek
Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.
4. Idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita
masing-masing memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan
kekayaan kata.

Ragam bahasa dalam bahasa Indonesia berjumlah sangat banyak dan tidak terhad. Maka itu, ia
dibagi atas dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan hubungan antarpembicara.

Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan meliputi:

1. ragam undang-undang
2. ragam jurnalistik
3. ragam ilmiah
4. ragam sastra

Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibagi atas:

1. ragam lisan, terdiri dari:


1. ragam percakapan
2. ragam pidato
3. ragam kuliah
4. ragam panggung
2. ragam tulis, terdiri dari:
1. ragam teknis
2. ragam undang-undang
3. ragam catatan
4. ragam surat-menyurat

Dalam kenyataannya, bahasa baku tidak dapat digunakan untuk segala keperluan, tetapi hanya
untuk:

1. komunikasi resmi
2. wacana teknis
3. pembicaraan di depan khalayak ramai
4. pembicaraan dengan orang yang dihormati

Selain keempat penggunaan tersebut, dipakailah ragam bukan baku.

[sunting] Lihat pula


 Peribahasa Indonesia
 Bahasa Melayu
 Kata serapan dalam bahasa Indonesia
 Daftar kata serapan dalam bahasa Indonesia
 Bahasa Belanda di Indonesia
 Perbedaan antara bahasa Melayu dan bahasa Indonesia
 Perbedaan antara sebutan bahasa Melayu basahan dan bahasa Indonesia

[sunting] Referensi
1. ^ Pasal 36 Undang-Undang Dasar RI 1945
2. ^ Butir ketiga Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928
3. ^ Kridalaksana H. 1991. Pendekatan tentang Pendekatan Historis dalam Kajian Bahasa Melayu
dan Bahasa Indonesia. Dalam Kridalaksana H. (penyunting). Masa Lampau bahasa Indonesia:
Sebuah Bunga Rampai. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
4. ^ Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I 1939 di Solo: "jang dinamakan 'Bahasa
Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe'
akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan
alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat diseloeroeh Indonesia itoe
haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia",
dikutip di Pendahuluan KBBI cetakan ketiga.
5. ^ Asmadi T.D. Arti Tanggal 2 Mei bagi Bahasa Indonesia. Laman Lembaga Pers Dr. Sutomo. Edisi
08 Februari 2010. diakses 5 Maret 2010.
6. ^ Depdiknas Terbitkan Peta Bahasa Blog BahasaKita 4 Maret 2009, mirror dari berita
AntaraOnline edisi 22 Oktober 2008.
7. ^ http://www.ohio.edu/LINGUISTICS/indonesian/index.html Why Indonesian is important to
learn. Situs pengajaran bahasa Indonesia di Ohio State University.
8. ^ Farber, Barry. J. How to learn any language quickly, enjoyably and on your own. Citadel Press.
1991.
9. ^ Eliot, J., Bickersteth, J. Sumatra Handbook. Footprint. 2000.
10. ^ Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di
dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10 menunjukkan adanya penyebaran penggunaan
bahasa ini di Pulau Jawa
11. ^ Keping Tembaga Laguna (900 M) yang ditemukan di dekat Manila, Pulau Luzon, berbahasa
Melayu Kuna, menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
12. ^ a b (en)Best of The Best (Crème de la Crème)
13. ^ Hal ini tidak mengherankan karena banyak dari pengusaha penerbitan di kala itu berasal dari
etnis Tionghoa.
14. ^ Balai Pustaka, Berbenah Setelah Satu Abad. Kompas daring, 25 November 2009.
15. ^ [1]
16. ^ Teeuw, A (1986). Modern Indonesian Literature I.
17. ^ Etek, Azizah (2008). Kelah Sang Demang, Jahja Datoek Kajo, Pidato Otokritik di Volksraad 1927
- 1939.

[sunting] Pranala luar


Bahasa ABG dalam Cerpen Remaja: Implikasi Pengajarannya bagi Siswa/i Sekolah Menegah di
Australia
NYOMAN RIASA
 IALF BALI
Latar Belakang

Bahasa Indonesia yang digunakan di kalangan anak remaja (yang lebih dikenal
dengan istilah ABG alias Anak Baru Gede) Indonesia saat ini sangat berbeda
dengan bahasa Indonesia yang 'baik dan benar'. Salah satu syarat bahasa yang
baik dan benar adalah "pemakaian bahasa yang yang mengikuti kaidah yang
dibakukan atau dianggap baku" atau "pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi
menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa "(Moeliono ed., 1991: 19;
Badudu, 1989). Bahasa ABG cenderung memilih ragam santai (Lumintaintang,
2000: 249) sehingga tidak terlalu baku (kaku). Ketidakbakuan tersebut tercermin
dalam kosa kata, struktur kalimat dan intonasi. Dalam pilihan kata kita melihat
bahwa 'bilang' digunakan untuk mengganti kata 'berkata', 'dengerin' untuk
'mendengarkan' serta banyak penggunaan kata dasar seperti 'baca', 'belanja',
'beli', dan 'bawa'. Untuk menghindari pembentukan kata dengan afiksasi, bahasa
ABG menggunakan proses nasalisasi yang diiringi dengan penambahan akhiran
-in seperti 'memperpanjang' menjadi 'manjangin' (panjang manjang + in
manjangin). 

Ranah bahasa Indonesia semacam ini merupakan bahasa sehari-hari penduduk


Jakarta yang sangat kosmopolitan. Oleh karena itu banyak kalangan yang
menyebutnya ragam santai dialek Jakarta (Badudu, 1996: 118). Penggunaan ranah
bahasa ABG di Daerah (luar DKI Jakarta) ini banyak dijumpai di kalangan anak
sekolah di tingkat SLTP, SMU, dan perguruan tinggi semester bawah. Kalangan
remaja di pedesaan pun tampaknya semakin banyak yang menggunakan kosa kata
yang diambil dari ranah bahasa ini akibat gencarnya siaran televisi yang sebagian
besar tema dan latarnya berkiblat ke Jakarta. 

Ragam Bahasa Remaja

Ragam bahasa ABG memiliki ciri khusus, singkat, lincah dan kreatif. Kata-kata
yang digunakan cenderung pendek, sementara kata yang agak panjang akan
diperpendek melalui proses morfologi atau menggantinya dengan kata yang lebih
pendek seperti 'permainan  mainan, pekerjaan  kerjaan.

Kalimat-kalimat yang digunakan kebanyakan berstruktur kalimat tunggal.


Bentuk-bentuk elip juga banyak digunakan untuk membuat susunan kalimat
menjadi lebih pendek sehingga seringkali dijumpai kalimat-kalimat yang tidak
lengkap. Dengan menggunakan struktur yang pendek, pengungkapan makna
menjadi lebih cepat yang sering membuat pendengar yang bukan penutur asli
bahasa Indonesia mengalami kesulitan untuk memahaminya. Dalam contoh
percakapan berikut antara tokoh Vira dan Alda dalam 'Atas Nama Cinta'
(Kawanku, 08.XXX 14-20 Agustus 2000) kita melihat bagaimana bahasa ABG ini
dibuat begitu singkat tetapi sangat komunikatif. Dalam percakapan ini hanya
kalimat pertama yang menggunakan pokok kalimat (subjek) sedangkan sisanya
bahkan tidak menggunakan kata ganti orang (pronomina) sama sekali.

"Kamu anak baru, ya?"


'Iya."
"Jurusan apa?"
"Komunikasi."
"Pantesan cantik."
"Makasih."
"Eh, mau ini?"
"Apa tuh? Obat, ya?"
"Iya, kalau mau ambil aja."
Dari contoh di atas jelas sekali bahwa susunan kalimat yang digunakan sangat
berbeda dengan kaidah bahasa Indonesia baku atau bahasa yang baik dan benar
(Moeliono ed., 1988: 19-20). Kosa kata bahasa remaja banyak diwarnai oleh
bahasa prokem, bahasa gaul, dan istilah yang pada tahun 1970-an banyak
digunakan oleh para pemakai narkoba (narkotika, obat-obatan dan zat adiktif).
Hampir semua istilah yang digunakan bahasa rahasia di antara mereka yang
bertujuan untuk menghindari campur tangan orang lain. Dengan semakin
maraknya pemakaian narkoba kata-kata seperti 'sakaw' atau sakit (withdrawal
symptoms), 'putaw' atau putih (serbuk heroin berwarna putih) kini semakin
dikenal. 

Jika di Jakarta ranah bahasa ABG menjadi bahasa sehari-sehari hampir seluruh
penduduk ibukota, di luar Jakarta bahasa remaja ini banyak digunakan dan
dimengerti oleh kalangan remaja di perkotaan. Di Bali, misalnya, bahasa remaja
banyak digunakan di Denpasar dan kota-kota lain terutama di sekolah-sekolah
favorit. Hal ini disebabkan anak-anak di perkotaan memiliki akses yang lebih
besar terhadap acara televisi (remaja) yang hampir seluruhnya berbasis Jakarta.
Di daerah perkotaan juga terdapat kafe, mal, dan pasar swalayan. 

Belakangan ini telah diperkenalkan bahasa gaul dengan diterbitkannya Kamus


Bahasa Gaul (Sahertian, 1999). Bahasa ini banyak digunakan oleh kalangan waria
di Jakarta. Secara perlahan bahasa ini juga merambah kalangan remaja di daerah
terutama di kota-kota besar. Kata 'ember' (emang benar) kini sudah berterima di
antara kelompok masyarakat nonwaria. Dari segi struktur, bahasa gaul tidak jauh
berbeda dengan bahasa ABG. Perbedaan utamanya terletak pada kosa  kata.
Aturan pembentukan kata bahasa gaul cenderung tidak konsisten sehingga untuk
mempelajarinya kita harus banyak menghafal. Berikut adalah contoh percakapan
dalam bahasa gaul.

Jali-jali di Mal
A: Akika mawar belalang spartakus nih.
B: Emang spartakus yang lambreta napose?
A: Sutra Rusia!
B: Akika mawar belalang Tasmania.
A: Tasmania kawanua yang lambada jugra sutra Rusia?
B: Tinta . pingin gaya atitah!
A: Sihombing loe!
B: Tinta . soraya kayangan anjas! He . he . 
(Sahertian, 1999: 23-25)

Cerpen Remaja

Yang dimaksud  dengan cerpen ramaja dalam tulisan ini adalah cerita pendek
yang diperuntukkan bagi kaum remaja. Hal ini bisa dilihat dari tokoh yang ada di
dalam cerpen. Mereka biasanya anak sekolah menengah umum atau mahasiswa
bawah. 

Panjang cerpen rata-rata 1½ - 2 halaman atau 1500 kata yang mungkin juga
dipengaruhi juga oleh kebijakan Redaktur dalam menyediakan ruang. Di
Indonesia kini terdapat lima buah majalah remaja yang cukup terkenal tetapi
untuk penulisan ini saya hanya menampilkan empat saja. Tabel di bawah ini
merupakan rangkuman data keempat cerpen tersebut.
 
 

Judul Cerpen Majalah Latar


Atas Nama Cinta Kawanku Kampus di Jakarta
Kala Cinta Berpaling Anita Tempat kerja di Jakarta
Song 2 Hai Jakarta, Mataram
Sang Tokoh Gadis Sekolah di Jakarta
Bahasa dalam Cerpen

Dalam setiap cerpen, penulis cerita menggunakan bahasa Indonesia baku dalam
memberikan penjelasan kepada pembaca. Mereka sama sekali tidak menggunakan
bahasa ABG. Namun ketika tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita itu berbicara,
penulis selalu menggunakan bahasa ABG seperti contoh berikut.
.

Di kafe Irit Legit, nama kantin yang letaknya di belakang gedung sekolah Riskie
dan teman-temannnya membahas perubahan sikap Rico yang cukup signifikan ini.

"Nggak salah denger tuh? Gile si Rico!" kata Udin terheran-heran.


"Lagi mabok kali tu anak," timpal Amin.

('Sang Tokoh', oleh Ardian Airlangga dalam Majalah Gadis Remaja 12-21
Desember 2000)

a. Kosa Kata 

Untuk membentuk kata kerja transitif bahasa remaja cenderung menggunakan


proses nasalisasi. Mereka menghindari penggunaan awalan 'meN-' yang cukup
rumit. Dengan demikian, pemakai bisa menghindarkan diri dari kesulitan
menentukan kombinasi 'menN - kan' atau 'meN - i". Kesulitan ini diatasi dengan
proses 'N - in'. 

Tabel berikut menunjukkan proses morfologi bahasa ABG.


 

Proses nasalisasi Kata Kerja Aktif + in untuk membentuk KK transitif aktif


pikir  mikirin
ambil  ngambilin
cari  nyariin
tanya  nanyain
les  ngelesin
bawa   ngebawain

Bentuk pasif 1: 'di + Kata Dasar + in'


Bentuk pasif ini dibentuk dengan menambahkan awalan 'di- dan akhiran 'in pada
kata dasar, 
dua   diduain
jalan   dijalanin
tunggu   ditungguin
ajar   diajarin
batal   dibatalin

Bentuk pasif 2: 'ke + Kata Dasar'


Bentuk pasif ini yang merupakan padanan bentuk pasif 'ter' dalam bahasa
Indonesia baku. 
Contoh:
tangkep   ketangkep
timbang   ketimbang
peleset   kepeleset
timpa   ketimpa
gaet   kegaet

Penghilangan huruf (fonem) awal


Contoh:
habis   abis
memang   emang
sudah   udah
saja   aja
sama   ama

Penghilangan huruf 'h' pada awal suku kata bentuk baku. 


Contoh:
tahu   tau
habis   abis
lihat   liat
hati   ati

Pemendekan kata atau kontraksi dari dua kata yang berbeda.


Contoh:
terima kasih   makasih
bagaimana   gimana
kayak lembu   kalem
kurang pergaulan   kuper

Penggunaan istilah lain.


Contoh:
cantik   kece
dia   doski
sahabat   sohib
mati   koit

Penggantian huruf 'a' dengan 'e'.


Contoh:
benar   bener
cepat   cepet
pintar   pinter
balas   bales

Penggantian diftong 'au' dengan 'o' dan 'ai' dengan 'e'


Contoh:
kalau   kalo
sampai  sampe
pakai   pake

Pengindonesiaan bahasa asing (Inggris). 


Contoh:
sorry   sori
comment   komen
top   ngetop
swear   suer
gang   geng

Penggunaan bahasa Inggris secara utuh.

Pengenalan Bahasa ABG di dalam Kelas

Bahasa ABG yang cenderung tidak formal atau tidak baku menurut kaidah yang
ditetapkan oleh Pusat Bahasa masih menimbulkan kontroversi termasuk di
kalangan pendidik di Indonesia ketika hendak diperkenalkan di dalam kelas.
Masih banyak kalangan guru yang berpendapat bahwa bahasa ABG tidak
beraturan dan tidak menunjukkan citra bahasa Indonesia yang 'baik dan benar'.
Oleh karena itu para guru di Indonesia tidak memperkenalkan bahasa ini di
dalam kelas. 

Walaupun ranah bahasa ini tidak diperkenalkan di dalam kelas secara formal,
para ABG di Indonesia dengan mudah memahaminya karena bahasa ini
merupakan bahasa sehari-hari mereka. Hampir sebagian besar orang Indonesia
dapat dengan mudah mempelajari bahasa ini lewat acara televisi yang lebih
banyak bernuansa ABG. 

Kemudahan seperti yang diuraikan di atas tidak akan bisa diperoleh oleh siswa
atau guru yang belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing terutama mereka
yang tinggal di luar negeri (termasuk Australia). Hal ini disebabkan karena
kurangnya pajanan terhadap bahasa ini. Penyebab lain adalah tidak ada materi
yang khusus membahas ranah bahasa ABG  ini karena berbagai pertimbangan
seperti yang telah diuraikan sebelumnya. 

Karena bahasa ABG tidak dimasukkan ke dalam kurikulum, guru bisa


memperkenalkan ranah ini secara proporsional sesuai dengan alokasi waktu dan
minat para siswa. Yang perlu disampaikan kepada siswa adalah bahasa ABG
sangat mudah untuk dipelajari karena struktur morfologi dan kalimatnya jauh
lebih sederhana dibandingkan dengan bahasa Indonesia baku.

Akan tetapi perlu diingat bahwa setiap ranah bahasa memiliki sejumlah aturan
yang membatasi pemakaiannya. Karena bahasa ini merupakan bahasa remaja
yang cenderung santai, bahasa ini tentu tidak patut jika digunakan dalam situasi
resmi yang melanggar ketentuan mengenai kepatutan ujaran (lihat Gunarwan,
1996: 358-363; Hymes, 1971: 278). Perlu disadari pula bahwa ranah bahasa
memiliki keterbatasan yang tidak saja terkait dengan pemakaian ranah tersebut
tetapi juga dengan individu pemakaiannya. 

Kesimpulan

Sebagai ranah bahasa Indonesia, bahasa ABG perlu diajarkan terutama kepada
siswa remaja yang telah menguasai bahasa Indonesia baku. Untuk itu, guru perlu
menguasai bahasa ini agar bisa memilih seberapa banyak komponen ini perlu
diperkenalkan kepada siswa sehingga tidak bertentangan dengan tujuan belajar
bahasa Indonesia menurut kurikulum. Jika pengajaran ranah bahasa ini tidak
mendapatkan restu dari kurikulum, guru perlu menemukan kiat tersendiri untuk
memperkenalkannya kepada murid, terutama jika mereka akan melakukan
kunjungan ke sekolah setara di Indonesia. 

Kita perlu ingat bahwa siswa harus dilatih untuk memahami bahwa suatu ranah
tertentu (termasuk ranah bahasa remaja) memiliki keterbatasan dan jika kita
berbicara tentang suatu ragam bahasa kita juga sebenarnya telah mulai
memberikan pengakuan terhadap norma individu dan kelompok pemakainya
(Wardhaugh, 1989: 6).
 

Daftar Pustaka

Alwasilah, A. Chaedar, MA, Ph.D. 2000. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di


Indonesia. Bandung, Andira.

Azis, E. Aminuddin. 2000. 'Usia, Jenis Kelamin, dan Masalah Kesantunan dalam
Berbahasa Indonesia' dalam A. Chaedar Alwasilah, MA, Ph.D. dan Drs.  Kholid A.
(ed.) Prosiding Konperensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi
Penutur Asing. Bandung, Andira.

Badudu, J.S. 1989. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta, PT. Gramedia.

Badudu, J.S. 1996. 'Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Penutur Asing' dalam
Ida Sundari Husen dkk. Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing.
Depok Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Gunarwan, Asim. 1996. 'Kepatutan Ujaran di dalam Pengajaran Bahasa Indonesia


sebagai Bahasa Asing: Implikasinya bagi Pengajar' dalam Ida Sundari Husen dkk.
Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing. Depok Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.

Hymes, Dell. 1971. 'On Communicative Competence' dalam Pride J.B dan Janet
Holmes (ed.), Sociolinguistics. Middlesex, Penguin Books.

Lumintaintang, Yayah B. Mugnisjah. 2000. 'Pemilihan Ragam Bahasa bagi


Pengajaran BIPA' dalam A. Chaedar Alwasilah, MA, Ph.D. dan Drs.  Kholid A.
(ed.) Prosiding Konperensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi
Penutur Asing. Bandung, Andira.

Moeliono, Anton M. ed. 1988. Tata Bahasa Baku Indonesia, Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan, Perum Balai Pustaka, Jakarta.

Moeliono, Anton M., 1991. Santun Bahasa, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sahertian, Debby. 1999. Kamus Bahasa Gaul. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.

Wardhaugh, Ronald. 1989. An Introduction to Sociolinguitics. Oxford, B

PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA


YANG BAIK DAN BENAR
A. Pengertian Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar

Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah Bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan situasi
pembicaraan (yakni, sesuai dengan lawan bicara, tempat pembicaraan, dan ragam pembicaraan) dan sesuai dengan
kaidah yang berlaku dalam Bahasa Indonesia (seperti: sesuai dengan kaidah ejaan, pungtuasi, istilah, dan tata
bahasa).

B. Pemakaian Kata dan Kalimat

Kata yang dipakai dalam Bahasa Indonesia adalah kata yang tepat dan serasi serta baku. Kata yang tepat dan
serasi merupakan kata yang sesuai dengan gagasan atau maksud penutur atau sesuai dengan arti sesungguhnya dan
sesuai dengan situasi pembicaraan (sepert: sesuai dengan lawan bicara, topik pembicaraan, ragam pembicaraan,
dsb.). Kata yang baku merupakan kata yang sesuai dengan ejaan (yakni: EYD).

Kalimat yang dipakai dalam Bahasa Indonesia adalah kalimat yang efektif.
Kalimat efektif harus:
i.
mudah dipahami oleh orang lain,
ii.
memenuhi unsur penting kalimat (minimal ada subjek dan predikat,
terutama untuk ragam tulis),
iii.
menggunakan kata yang tepat dan serasi,
iv.
gramatikal (seperti: menggunakan pungtuasi dan kata yang baku, menggunakan struktur yang benar, frasa selalu D-
M, menggunakan kata yang morfologis, menggunakan kata yang sesuai dengan fungsinya/kedudukannya),

v.
rasional (yakni, menggunakan gagasan yang dapat dicerna oleh
akal sehat),
vi.
efisien (menggunakan unsur sesuai kebutuhan, tidak boleh
berlebihan),
vii.
tidak ambigu (tidak menimbulkan dua arti yang membingungkan).

i.
mempunyai satu pikiran utama,
ii.
mempunyai koherensi yang baik (hubungan antar unsurnya sangat
erat) dan semua unsurnya tersusun secara sistematis, serta
iii.
menggunakan kalimat yang efektif

You might also like