You are on page 1of 5

Nasionalisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Kenetralan sebagian atau keseluruhan artikel ini dipertentangkan.
Silakan melihat pembicaraan di halaman diskusi artikel ini.

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah
negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama
untuk sekelompok manusia.

Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik"


(political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat
liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau
gabungan kedua teori itu.

Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan
ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak
dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk
mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal
bakal tubuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak
pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau
menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu
terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini.

Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketentaraan yang
berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan, seperti yang dinyatakan di bawah.
Para ilmuwan politik biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang
ekstrem seperti nasional sosialisme, pengasingan dan sebagainya.

[sunting] Beberapa bentuk dari nasionalisme


Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan
negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan
ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme
mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut.

Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme


dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak
rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau dan
menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudul Du Contract
Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia "Mengenai Kontrak Sosial").

Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme di mana negara memperoleh kebenaran


politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von
Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk "rakyat").
Nasionalisme romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah
lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara
semulajadi ("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme.
Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menepati
idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik.
Misalnya "Grimm Bersaudara" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah
yang berkaitan dengan etnis Jerman.

Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran


politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan
sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah
berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta
ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok. Kesediaan dinasti
Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya Tionghoa.
Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan
budaya mereka tetapi menolak RRC karena pemerintahan RRT berpaham komunisme.

Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan


dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih
keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras
dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah 'national state'
adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan
tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme, serta nasionalisme Turki kontemporer, dan dalam
bentuk yang lebih kecil, Franquisme sayap-kanan di Spanyol, serta sikap 'Jacobin' terhadap
unitaris dan golongan pemusat negeri Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia,
yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih
otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika. Secara sistematis, bila
mana nasionalisme kenegaraan itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan
masyarakat, dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya
terhadap nasionalisme Kurdi, pembangkangan di antara pemerintahan pusat yang kuat di
Spanyol dan Perancis dengan nasionalisme Basque, Catalan, dan Corsica.

Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi


politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah
dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Irlandia semangat
nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India
seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu.

Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis agama hanya merupakan simbol dan
bukannya motivasi utama kelompok tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme
Irlandia dipimpin oleh mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan nasionalis di
Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi semata-mata. Mereka berjuang
untuk menegakkan paham yang bersangkut paut dengan Irlandia sebagai sebuah negara
merdeka terutamanya budaya Irlandia. Justru itu, nasionalisme kerap dikaitkan dengan
kebebasan.
Monday, 17 August 2009 04:09

Oleh Sulfikar Amir, pengajar sosiologi di Nanyang Technological University (NTU) di


Singapura

Indonesia tidak lahir dari tanah. Darahnya tidak mengalir dari mata air di kaki gunung.
Ruhnya tidak ditiup oleh Sang Pencipta di atas sana. Dan seluruh takdirnya di masa lalu, kini,
dan masa depan tidak tertera dalam kitab-kitab suci masa lampau. Indonesia adalah anak
sejarah yang senantiasa mendekap dalam pelukan sang bunda kala yang mengandung dan
membesarkannya. Sebuah ikatan yang membentuk wajah dan watak Indonesia yang penuh
dinamika dan diwarnai oleh ambivalensi.

Partha Chaterjee pernah bilang, bangunan nasionalisme tidak pernah utuh. Didalamnya
mengandung serpihan-serpihan yang tidak pernah bisa menyatu bagai minyak dan air.
Imajinasi yang menjadi materi dasar ideologi nasionalisme seperti yang dilontarkan Ben
Anderson berubah menjadi arena kekerasan ketika ide kebangsaan berbenturan dengan
realitas masyarakat yang penuh dengan fragmen-fragmen sosial budaya yang bersanding
diametrikal. Dalam wujud ekstrim, nasionalisme adalah wacana penuh kekerasan, simbolik
maupun dalam arti sebenarnya, yang memberangus kemerdekaan individu karena di dalamnya
mengandung ikatan kolektif paling primitif yang membentuk identitas. Inilah paradoks
nasionalisme yang paling brutal. Dan paradoks ini bersembunyi dengan nyaman di wacana
nasionalisme Indonesia tanpa pernah digugat secara tuntas.

Seratus tahun kebangkitan nasional mungkin terdengar gagah. Setidaknya untuk menakut-
nakuti negara tetangga yang masih belia (namun berlari kencang). Tetapi Indonesia bukanlah
anak kandung bumi pertiwi. “Indonesia” adalah imposisi identitas kaum intelektual Eropa
yang kebingungan harus memanggil apa bangsa di kepulauan ini. Dari “kebingungan” itulah
Indonesia mungkin terjadi yang kemudian mengalir melalui gagasan modernitas kaum elit
Jawa yang ingin mengecap apa rasanya menjadi orang moderen. Inilah awal paradoks
nasionalisme Indonesia. Paradoks karena dia tidak pernah ada tetapi ada. Sebuah wujud tanpa
bayangan masa lalu. Sebuah diskontinuitas.

Tetapi bukankah bangsa Indonesia telah ada sejak 5000 tahun yang lalu seperti Muhammad
Yamin pernah bercerita? Ideologi selalu berdiri diatas mitos dan mitos seperti kita pahami
tidak segaris dengan realitas. Setiap masyarakat yang memiliki identitas memiliki mitos.
Karena identitas adalah mitos yang terinstitusionalisasi. Nasionalisme dimanapun selalu
berpijak pada mitos. Dia dapat merujuk pada ancaman, utopia, atau superioritas ras. Adolf
Hitler, Sukarno, Deng Xiao Ping, Lee Kuan Yew, Fidel Castro, hingga George W. Bush
adalah aktor-aktor yang sangat lihai mengeksploitasi mitos demi tujuan-tujuan politik
kebangsaan. Mitos-mitos nasionalisme dilengketkan pada seremoni kenegaraan dan
diidentikkan dengan patriotisme dan heroisme.

Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme dengan cetakan masa lalu. Eksitensi bangsa
kepulauan ini dibingkai oleh mitos tentang kerajaan-kerajaan masa silam seperti yang
diajarkan oleh guru-guru sejarah di sekolah. Dalam wacana ini, “Indonesia” adalah sebuah
kerumuman orang-orang yang sama tuanya dengan tanah dan air di negeri ini. Pada titik ini,
diskontinuitas sejarah seakan-akan sirna oleh sebuah mitos yang dihidupkan untuk
menghubungkan Indonesia moderen dengan “Indonesia” masa lalu yang jaya, gemah ripah
nan sejahtera seperti dalam penggambaran Majapahit yang begitu kental dengan aroma
romantisisme.

Kenyataannya, nasionalisme seperti ini membuat Indonesia masa kini terbelenggu oleh
keterbatasan imajinasi ke depan. Nasionalisme bukanlah wacana yang mencari sebuah
harmoni melainkan hegemoni. Karenanya tidak heran jika nasionalisme menjadi alat institusi
negara yang efektif untuk memobilisasi dukungan massa sekaligus menjadi alat legitimasi
untuk memberangus musuh-musuh negara yang dianggap tidak nasionalis. Dalam wacana
nasionalisme ala negara, kekuasaan menjadi tujuan utama di mana gagasan-gagasan alternatif
tentang makna kebangsaan dikungkung dalam ruangan sempit dan gelap. Itulah nasionalisme
Indonesia hasil konstruksi sejarah Orde Baru yang hingga sekarang masih kuat
mencengkeram dalam kepala-kepala kita. Sebuah nasionalisme yang berpusat pada praktek
terorisme negara, begitu kata Ariel Heryanto.

Nasionalisme Orde Baru yang hegemonik tentu saja tidak muncul dari Cendana tetapi berakar
pada sejarah Indonesia sebagai suatu politi moderen yang penuh kontestasi. Kontestasi antara
nasionalis-sekuler vis-à-vis nasionalis-relijius, sosialisme vis-à-vis kapitalisme, elit vis-à-vis
rakyat jelata, Jawa vis-à-vis non-Jawa, pribumi vis-à-vis non-pribumi, individualisme vis-à-
vis kolektivisme. Konflik multi dimensi ini menghasilkan ambivalensi yang menunjukkan
bahwa nasionalisme Indonesia sebenarnya belum, dan mungkin tidak akan pernah utuh
sempurna.

Jika memang harus tetap ada, nasionalisme Indonesia harus didekonstruksi. Tantangan
generasi saat ini adalah menciptakan nasionalisme dengan cetakan yang menghadap ke depan,
tidak kebelakang. Imajinasi-imajinasi tentang masa lampau yang masih erat menempel pada
materi nasionalisme Indonesia seharusnya dipasang pada tempat yang sepantasnya yang
memungkinkan terjadinya interpretasi dan reinterpretasi akan makna nasionalisme, sebuah
nasionalisme pasca Majapahit. Sebagai bangsa moderen, bangunan nasionalisme Indonesia
seharusnya dibangun di atas tanah yang masih segar, bukan diatas kuburan masa lampau yang
kering dan gelap.

Nasionalisme Indonesia masa depan melihat Indonesia bukan sebagai tanah warisan tetapi
tanah harapan (the land of promise). Artinya, semua orang adalah pendatang yang terikat pada
satu komitmen membangun tanah air ini tidak dengan identitas hegemonik tetapi dengan
identitas multikultural. Dalam wacana demikian, tidak ada satupun yang memegang otoritas
sebagai penterjemah tunggal nasionalisme. Pada saat yang bersamaan, semangat globalisasi
harus diakomodasi ke dalam jiwa nasionalisme Indonesia tanpa harus terjebak ke dalam
agenda-agenda globalisme. Bagaimanapun, sejarah Indonesia ke depan dibentuk arus global
yang diwarnai oleh nilai-nilai lokal. Dipersimpangan inilah nasionalisme Indonesia yang
moderen dan beradab dapat berdiri menatap jaman.
http://www.jakartabeat.net/artikel/227-paradoks-nasionalisme-indonesia.html

Bangkitkan Rasa Nasionalisme


Banjarmasinpost.co.id - Jumat, 5 November 2010 | Dibaca 372 kali | Komentar (0)

Oleh: Nanok Triyono


Guru YPPSB KPC Kaltim

SUMPAH Pemuda yang diperingati tiap 28 Oktober sudah melekat dalam diri bangsa
Indonesia. Peristiwa tersebut memang membawa banyak kemajuan bagi bangsa ini. Isi ikrar
sumpah pemuda yang mengobarkan semangat kebangsaan, kenegaraan, dan kebahasaan
menjadi pemersatu bangsa dan negara Indonesia.

Generasi muda terutama para pelajar selalu menyambut dan memperingati sumpah pemuda
dengan kegiatan nasionalis, sehingga bulan Oktober selalu identik dengan bulan bahasa.

Generasi muda sebagai penerus perlu menekankan makna Sumpah Pemuda, di mana
kebangsaan, kenegaraan, dan kebahasaan dijunjung tinggi. Pendidikan berperan sebagai
penggerak agar generasi muda terutama siswa selalu menghargai dan memaknai Sumpah
Pemuda secara optimal.

Kegiatan untuk menghargai Sumpah Pemuda perlu diadakan, mengingat Oktober juga
dijadikan sebagai bulan bahasa secara nasional. Di antaranya meningkatkan minat untuk
menulis yang baik, membaca naskah Sumpah Pemuda, dan melatih kecakapan berbahasa
Indonesia yang sesuai. Kegiatan itu diharapkan dapat meningkatkan kualitas kebangsaan
terutama dengan berbahasa dan berperilaku Indonesia.

Pendidikan sebagai media penyambung generasi muda mengarahkan siswa untuk terus
menghormati sejarah masa lalu. Dengan menghormati dan menjunjung tinggi, maka makna
dan tujuan yang terkandung dalam Sumpah Pemuda tidak luntur karena waktu dan usia.

Mengoptimalkan kegiatan kebahasaan Indonesia sangat berarti mengingat sekarang ini


banyak terjadi percampuran budaya dan dampak globalisasi yang mengancam rasa
nasionalisme.

Dengan beberapa kegiatan tersebut, tujuan utama yang tersirat adalah tetap menghargai,
menghormati, dan memaknai Sumpah Pemuda yang sudah dicetuskan para pendahulu bangsa
agar timbul rasa Nasionalisme yang kokoh dan selalu menghormati sejarah bangsa Indonesia.
(*)

http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/2010/11/5/62074/bangkitkan-rasa-
nasionalisme

You might also like