You are on page 1of 27

Gerakan Sosial: Kajian Teoritis

Juli 10, 2006 oleh Moderator

Kata Pengantar
Sebagai bagian dari sebuah gerakan sosial, gerakan
mahasiswa tahun 1998 merupakan sebuah contoh gerakan sosial
yang berhasil dalam misinya. Memang tidak semua slogan yang
diinginkan dalam gerakan mahasiswa bisa terwujud namun
langkah-langkah dan karakteristik yang diambil dalam aksi
unjuk rasa mahasiswa
Indonesia selama tahun 1998 menunjukkan sebuah ciri-ciri gerakan sosial. Saat Presiden
Soeharto mengundurkan diri 21 Mei 1998, gerakan mahasiswa yang marak di hampir
seluruh kampus di Indonesia mencapai klimaksnya. Sesudah itu perlahan-lahan situasi
kampus kembali ke kehidupan perkuliahan.Boleh dikatakan, gerakan sosial seperti itu
seperti sebuah gerakan resi yang turun gunung manakala situasi membahayakan negara
memanggilnya. Begitu persoalan utama selesai yakni mundurnya Presiden Soeharto,
maka mereka kembali ke tempat semula, bekerja seperti biasa. Sebuah gerakan sosial
yang maha besar – meski sesaat -seperti diperlihatkan oleh ratusan ribu mahasiswa adalah
fenomena menarik dalam kehidupan masyarakatIndonesia yang sering dikatakan
paternalistik.

Mahasiswa yang muncul sebgai suatu segmen masyarakat yang terdidik, terpengaruh
budaya pendidikan Barat dan belajar menganalisa masyarakatnya keluar dari tradisi-
tradisi umumnya yang ingin menempatkan “pemerintah” sebagai sebuah institusi yang
serba benar.

Dalam kamus sosial di Indonesia, jarang sekali pemberontakan itu muncul dari sebuah
kalangan tanpa didahului penindasan. Namun dalam kasus kebangkitan mahasiswa yang
berlangsung dalam tempo singkat, peruabahn terwujud karena gerakan sosial mahasiswa
hidup dalam lingkungan yang sudah matang. Lingkungan itu antara lain, pengaruh krisis
moneter yang sudah sangat akut, macetnya mesin-mesin politik dalam perbaikan negara,
ketakutan masyarakat terhadap aparat pemerintah dan trauma masa lalu yang dialami
aktivis memunculkan kekuatan baru dalam segmen masyarakat yang disebut
mahasiswa.Jika dilihat lebih dekat, bahkan dunia mahasiswa sendiri tidak bebas dari
pendangkalan politik.

Sejak NKK/BKK diberlakukan terhadap kampus untuk meredam pengaruh politik dari
ormas-ormas yang ada atau pengaruh dari pesaing politik yang anti atau vokal terhadap
kebijakan pemerintah, mahasiwa disibukkan oleh urusan kuliah. Sistem SKS yang
diberlakukan telah mendorong mereka untuk mencurahkan perhatian semata-mata pada
perkuliahan. Kegiatan ekstrakulikuler dan keorganisasian mahasiswa lainnya dipersulit
untuk dikatakan tidak dilarang sama sekali. Oleh karena itulah generasi NKK/BKK itu
melahirkan mahasiswa yang manut terhadap kekuatan pemerintah atau bahkan mungkin
penakut.
Situasi ini menciptakan iklim dimana mereka alergi terhadap isu-isu dan diskusi politik.
Bahkan diskusi tentang politik di kampuspun menjadi sesuatu yang dicurigai aparat
keamanan karena ditakuti akan menyebarkan benih-benih anti pemerintah.Setelah sekian
lama konsep pelumpuhan daya dobrak dan daya kritik mahasiswa terhadap negaranya,
ternyata karakter alamiah yang melekat pada kampus tidak luntur. Daya kritis masih tetap
ada dan hidup baik dunia akademis. Sebagian pengajar malah masih menyuarakan
pandangan-pandangan kritis dan oposan terhadap sejumlah kebijakan pemerintah.

Sikap-sikap kritis inilah yang meskipun skalanya kecil tetap menghidupkan suatu cita-
cita ideal tentang kampus dan masyarakatnya yang demokratis, maju, makmur dan
modern.Pertanyaan-pertanyaan yang “nakal” pun tentang situasi di seputarnya, terutama
elit politik dan ekonomi di Indonesia, tidak padam begitu saja. Terbukti meski diredam
dengan segala daya – baik peraturan, kultur menakutkan dan sanksi terhadap aktivis
mahasiswa – tidak memudarkan citra kampus sebagai sebuah lembaga agen perubahan.

Di sinilah barangkali analisa terhadap karakter dan daya dobrak gerakam sosial menjadi
menarik.Sebagai bagian dari masyarakat akademis yang senantiasa kritis dan ditantang
untuk berpikir – terutama di kampus-kampus prestisius serta oleh lulusan lua negeri –
para mahasiswa ini tidak bisa begitu saja melihat NKK menjadi sebuah lembaga yang tak
bisa diganggu gugat.

Apalagi dengan krisis moneter yang meledak Juli 1997 makin menjadi-jadi di bawah
Orde Baru. Maka kemudian lahirlah sebuah gerakan sosial yang memiliki ciri-ciri
mengarah pada perbuhahan reformatif.Risalah singkat ini akan berusaha mengungkapkan
apa yang dimaksud dalam gerakan sosial. Bab I akan menguraikan definisi dari sebuah
gerakan sosial. Definisi ini memang melahirkan konsekuensi tentang makna sebuah
gerakan itu.

Dalam Bab II penulis akan menguraikan karakteristik dari sebuah gerakan sosial. Dari
ciri-ciri yang muncul dalam sebuah gerakan sosial diharapkan bisa dipahami apakah
sebuah gerakan itu berlandaskan kelas, etnik atau motif politik.

Bab III akan mengupas kehidupan dalam sebuah gerakan sosial termasuk didalamnya
soal taktik dan strategi, masalah pengorganisasian gerakan sosial dan manajemen
gerakan.

Bab IV meninjau soal perubahan sosial dan gerakan sosial. Sebagai sebuah gerakan yang
menghendaki perubahan kemudian bagaimana perubahan itu bisa berjalan. Dalam bab ini
akan diulas pula mengenai pengaruh lingkungan internasional terhadap gerakan sosial.

Bab V akan berusaha menyimpulkan mengenai ciri dan makna gerakan sosial dalam
masyarakat. Tampaknya karena sifat masyarakat yang terus berubah dan sebagian lagi tak
menginginkan perubahan, maka gerakan sosial akan muncul dalam masyarakat manapun
meski kadarnya berbeda-beda.

BAB I
Definisi Gerakan Sosial

Gerakan sosial termasuk istilah baru dalam kamus ilmu-ilmu sosial. Meskipun demikian
di lingkungan yang sudah modern seperti di Indonesia fenomena munculnya gerakan
sosial bukanlah hal aneh. Misalnya ketika kenaikan tarif listrik sudah terlalu tinggi
kemudian muncul nama seperti Komite Penurunan Tarif Listrik.Model-model aksi sosial
seperti terjadi dalam kasus penggusuran tanah di Kedung Ombo atau lahan yang
dijadikan lapangan golf sehingga melahirkan sejumlah aktivitas masyarakat yang
berusaha menolak “pemaksaan” itu sudah menjadi bagian dari pemberitaan media
massa.Presiden Soeharto saat menjadi presiden bahkan mencap mereka yang bertahan di
Kedung Ombo yang dijadikan bendungan itu sebagai orang-orang PKI. Label ini telah
mematahkan semua aksi perlawanan terhadap aparat pemerintah. Perlawanan atau
desakan untuk mengadakan perubahan seperti itu dapat dikategorikan sebuah gerakan
sosial.Beberapa gerakan sosial dan bahkan individu terlibat dalam usaha mendukung
masyarakat Kedung Ombo yang disuruh transmigrasi tapi tetap ingin tinggal di kampung
halamannya. Sikap gerakan masyarakat dan tokoh lembaga swadaya masyarakat itulah
yang memberi warna pada munculnya gerakan perlawanan terhadap penguasa. Di sini
jelas bahwa gerakan sosial memang lahir dari situasi yang dihadapi masyarakat karena
adanya ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Dengan kata lain
gerakan sosial lahir sebagai reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkannya atau
menginginkan perubahan kebijakan karena dinilai tidak adil. Biasanya gerakan sosial
seperti itu mengambil bentuk dalam aksi protes atau unjuk rasa di tempat kejadian atau di
depan gedung dewan perwakilan rakyat atau gedung pemerintah.Namun demikian label
kepada masyarakat Kedung Ombo yang membangkang terhadap pemerintah karena
sikapnya yang tidak adil itu berakhir manakala era reformasi lahir akibat gerakan sosial
lainnya. Setelah Mei 1998, gerakan sosial semakin marak dan ketidakadilan atau
ketidakpuasan yang muncul jauh sebelum 1998 dibongkar untuk dicari penyelesaiannya.
Situasi itu menunjukkan bahwa dimana sistem politik semakin terbuka dan demokratis
maka peluang lahirnya gerakan sosial sangat terbuka. Berbagai gerakan sosial dalam
bentuk LSM dan Ormas bahkan Parpol yang kemudian menjamur memberikan indikasi
bahwa memang dalam suasana demokratis maka masyarakat memiliki banyak prakarsa
untuk mengadakan perbaikan sistem atau struktur yang cacat.Dari kasus itu dapat kita
ambil semacam kesimpulan sementara bahwa gerakan sosial merupakan sebuah gerakan
yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut perubahan dalam
institusi, kebijakan atau struktur pemerintah. Di sini terlihat tuntutan perubahan itu
biasanya karena kebijakan pemerintah tidak sesuai lagi dengan konteks masyarakat yang
ada atau kebijakan itu bertentangan dengan kehendak sebagian rakyat.Karena gerakan
sosial itu lahir dari masyarakat maka kekurangan apapun di tubuh pemerintah menjadi
sorotannya. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi maka gerakan sosial yang sifatnya menuntut
perubahan insitusi, pejabat atau kebijakan akan berakhir dengan terpenuhinya permintaan
gerakan sosial. Sebaliknya jika gerakan sosial itu bernafaskan ideologi, maka tak terbatas
pada perubahan institusional tapi lebih jauh dari itu yakni perubahan yang mendasar
berupa perbaikan dalam pemikiran dan kebijakan dasar pemerintah. Namun dari literatur
definisi tentang gerakan sosial ada pula yang mengartikan sebagai sebuah gerakan yang
anti pemerintah dan juga pro pemerintah. Ini berarti tidak selalu gerakan sosial itu
muncul dari masyarakat tapi bisa pula hasil rekayasa para pejabat pemerintah atau
penguasa.Jika definisi digunakan maka gerakan sosial tidak terbatas pada sebuah gerakan
yang lahir dari masyarakat yang menginginkan perubahan pemerintah tapi juga gerakan
yang berusaha mempertahankan kemauannya. Jika ini memang ada maka betapa
relatifnya makna gerakan sosial itu sebab tidak selalu mencerminkan sebuah gerakan
murni dari masyarakat.

BAB II

Gerakan Kelas dan Etnik

Dalam sejarah modern dikenal ada ada dua jenis gerakan sosial yakni gerakan kelas dan
gerakan kelompok etnik. Contoh gerakan sosial adalah antara kelas menengah lawan
kelas dan kaum bangsawan, kelas petani lawan tuan tanah, kelas pekerja lawan majikan,
petani lawan tengkulak dan petty bourgeoisie (borjuis kecil) lawan pengusaha besar.
Mungkin lebih luas lagi kelas miskin lawan kelas kaya.
Para pendukung gerakan kelas ini adalah mereka yang mendapatkan keuntungan ekonomi
dan kemajuan sosio-ekonomi, merasa tereksploitasi dan secara politis tertekan. Beberapa
gerakan, khususnya gerakan tandingan dan gerakan protes berasal dari kelas yang secara
sosioekonomis mundur. Oleh sebab itulah, gerakan buruh Eropa mulai dari para
pengrajin yang kehilangan kemerdekaan ekonomi dan pekerja terampil yang terwakili
dalam ekonomi dan elit intelektual protelariat. Perbedaan harus dibuat antara gerakan
petani dan gerakan petani besar (farmer). Yang pertama terjadi di masyarakat dimana
tanah adalah properti kelas penguasa yang tidak selalu terlibat dalam pertanian namun
menyewakan atau mendapatkan pendapatan uang tunai atau sejenisnya atau jasa dari
petani. Tipe gerakan petani bertujuan menghapuskan kewajiban-kewajiban ini dan
mengembalikan tanah ke pemilik sebenarnya. Ketika petani dan tuan tanah berasal dari
kelas berbeda seperti terjadi di beberapa negara Amerika Latin dan negara jajahan, maka
konflik itu menjadi tajam. Sebaliknya, gerakan petani modern khususnya terjadi
dikalangan petani komersial di satu kawasan panen dimana kerawanan ekonomi hadir.
Kecuali adanya petani garapan yang luas, masalah tanah tidak muncul. Isu yang muncul
biasanya tentang harga, tingkat bunga dan pajak. Target utama juga adalah pedagang,
kreditor dan pemerintah. Gerakan petani modern sebagai penguasa tidak
mengembangkan ideologi yang rinci namun mengangkat tuntutan-tuntutan konkret
sehingga lebih dekat dengan gerakan protes. Namun jika penderitaan mereka tidak bisa
dihindari, bahkan petani modern menjadi terbuka terhadap gerakan ideologis radikal.
Misalnya terjadi pada gerakan petani selama kebangkitan Nazisme. Gerakan petani
mungkin melahirkan kekerasan. Ideologi mereka jika ada mungkin pada saat sama
menganut tradisionalisme dan restoratif. Namun biasanya dalam wilayah tradisional
kerusuhan petani , komunisme kontemporer mendapatkan dukungan luas khususnya di
Eropa selatan dan Amerika Latin. Bisa mengatakan bahwa sebuah gerakan didukung
kelas tertentu tidak berarti setiap anggota gerakan milik kelas tertentu atau setiap anggota
kelas milik gerakan. Korelasi ini tak pernah sempurna. Beberapa gerakan direkrut
terutama dari anggota yang tercabut akarnya atau anggota kelas tertentu yang teralienasi.
(Misalnya, banyak dari anggota Nazi awalnya, termasuk Hitler, berasal dari kelas
menengah-rendah). Sistem kepercayaan para pemimpin pendiri kelas dan petani modern
sering merupakan anggota teralineasi kelas lainnya. Dalam hal ini tak bisa dilupakan
pentingnya peran kaum intelektual dalam melahirkan para pemimpin gerakan
revolusioner. Karena tidak memiliki akar dalam masyarakat, mereka gampang menerima
keyakinan ideologis yang menjanjikan mereka sebuah masyarakat dimana mereka dapat
menemukan status memuaskan. Istilah “gerakan kelompok etnik” digunakan untuk
menjelaskan berbagai fenomena. Sejumlah gerakan etnik yang paling penting antara lain :

1. Gerakan kemerdekaan politik minoritas nasional dalam kekaisaran negara di Eropa.

2. Gerakan kemerdekaan pribumi di negara kolonial Asia-Afrika.

3. Gerakan persatuan nasional – misalnya, di Jerman dan Italia pada abad ke-19 dan
gerakan Pan Arab dalam abad ke-20.

4. Gerakan nasionalitas untuk kesederajatan sipil dan kultural dalam negara yang
etniknya heterogen. Misalnya Fleming di Belgia)dan untuk superioritas (seperti Finns di
Finlandia).Sebagai penguasa gerakan-gerakan ini dipimpin dan didukung terutama oleh
elit budaya dan ekonomi dan dalam sejmlah kasus elit militer yang memiliki kepentingan
vital dalam meraih sasaran mereka.
Para pemimpin gerakan kemerdekaan saat ini di negara kolonial, dengan beberapa
kekecualian kaum intelektual dan profesional, adalah “orang-orang marginal” yang
tersentuh budaya dan pendidikan Barat.
Para pengikut mereka datang hanya dan bahkan yang pertama dari strata sosial rendah.
Namun pada saat ini ebih luas lagi datang dari kelas berkembang pekerja kerah putih,
pegawai negeri, perwira militer serta pengusaha kelas menengah dan besar yang lemah
kaerna dominasi kekuasaan dan ekonomi Barat. Dukungan tambahan datang dari
berbagai lapisan masyarakat seperti penambang, petani, buruh perkebunan dan pekerja
lainnya yang bersentuhan dengan sistem ekonimi dan pemerintahan Barat serta mereka
yang tercerabut akarnya pedesaan atau suku. Bahkan diantara masyarakat primitif di
Pasifik selatan, gerakan berkembang yang sebagian diarahkan menuju kemerdekaan dari
dominasi kulit putih. Gerakan negro di Amerika tidak memiliki hubungan pola khusus
dengan gerakan kelompok entik kaerna kebanyakan orang Negro tidak beraspirasi
kemerdekaan politik atau otonomi budaya namun integrasi kedalam masyarakat dan
budaya Amerika. Karena Negro Amerika bukan minoritas nasional atau kelas sosial,
gerakan mereka tak bertujuan untuk mengubah secara fundamental tatanan sosial namun
realisasi hak-hak konstitusional. Namun tercapainya tujuan Negro tak hanya mengubah
kebiasaan lokal dan regional namun juga sebagian dari tatanan hukum yang ada.

BAB III

Strategi dan Taktik Gerakan Sosial

Dalam politik, perbedaan antara strategi dan taktik tak dapat dipisahkan dengan tajam
seperti halnya dalam perang. Dalam masyarakat dimana kebebasan berpendapat hadir,
adalah hal biasa gerakan sosial mengalami konflik dengan pemerintah mengenai taktik
dan bukannya strategi. Khususnya terjadi manakala gerakan sosial itu terlibat “aksi
langsung” seperti sabotase, pemogokan umum, boikot, aksi “duduk”, teror dan aksi
kekerasan. Atau bahkan dalam persiapan serius kudeta. Perselisihan dalam sebuah
gerakan sosial biasanya muncul dalam hal taktik. Misalnya masalah reformasi dan
revolusi. Mereka bertikai bukan dalam soal strategi. Meskipun demikian ada perpecahan
serius misalnya dalam strategi jangka panjang. Contoh, kontroversi Stalinist -Trotksyite.
Bagi orang luar, sering sulit memutuskan apakah perubahan dalam kebijakan sebuah
gerakan karena perubahan dalam tujuan akhir atau semata-mata manuver taktik. Aksi
langsung biasanya tidak demokratik karena menyangkal kalangan oposisi peluang untuk
berdiskusi sebuah isu, sering dilakukan saat aksi politik yang sah gagal. Dalam situasi
ekstrim, gerakan akan berpuncak pada revolusi keras. Taktik dan strategi dalam gerakan
soaial adalah saling tergantung dengan ideologi dan bentuk organisasi. Misalya, sebuah
gerakan yang bertujuan revolusi perlu organisasi lebih otoritarian daripada organisasi
yang percaya reformasi bertahap. Pilihan akan taktik serta bentuk organisasi sebagian
tergantung terhadap sistem politik dimana gerakan sosial itu beroperasi. Sebagian lagi
tergantung besarnya gerakan sosial dan pengaruhnya terhadap sistem politik. Oleh karena
itulah, taktik sebuah gerakan sosial mungkin berubah sejalan dengan pertumbuhan.
Mungkin mereka kurang revolusioner saat gerakan itu mendapatkan banyak pengaruh
atau mungkin menjadi lebih agresif manakala peluang untuk berhasil membesar.
Sebagian besar gerakan sosial beroperasi di masyarakat karena publisitas memberikan
pengaruh dan menaikkan pendukung. Namun, kerahasiaan dilakukan saat situasi dimana
hak-hak berkumpul, berdiskusi dan kebebasan beropini ditolak atau dimana anggota
gerakan tertentu dilarang secara hukum dan diadili. Gerakan buruh pada tahap awalnya
dipaksa untuk rahasia. Konsekuensinya, perpecahan gerakan yang besar menjadi banyak
kelompok atau kelompok yang kurang agresif. Dalam dunia politik seperti halnya dalam
militer dan bisnis, sukses muncul karena langkah inovator. Berkuasanya dan prestasi
politik luar negeri kekuatan Fasis dan Nazi sebagian karena fakta bahwa mereka tidak
bermain bukan dalam kerangka aturan sedangkan lawannya baik di dalam maupun di luar
negeri memperkirakan akan mentaati aturan. Hal yang sama dapat dikatakan dengan
sedikit modifikasi, mengenai gerakan komunis: seringnya perubahan taktik cenderung
membingungkan musuhnya. Mao Zedong berhasil karena ia menyimpang dari strategi
ortodoks Leninis. Revolusi radikal dan gerakan kontrarevolusi mampu melanggar “aturan
main” karena anggotanya tiak dianggap pesaingnya sebagai bagian dari komunitas
politik. Mereka mengkonsepkan semua hal berbau politik dalam pengertian hubungan
sahabat-musuh., dimana tak ada aturan yang melarang. Hal ini bisa menjelaskan
penggunaan teror sebelum dan sesudah perebutan kekuasaan dan pradoks bahwa orang-
orang yang berniat menciptakan dunia yang lebih baik mampu mengorbankan jutaan
manusia dalam prosesnya.

BAB IV

Perubahan Sosial dan Basis Sosial

Hipotesis besar dalam bidang ini adalah gerakan sosial merupakan produk dari perubahan
sosial . Situasi muncul dimana hubungan yang sudah lama terjalin tidak lagi memadai.
Hasilnya dari hubungan terhambat dari situasi lama dan baru ini menimbulkan
ketidakpuasan. Salah satu tugas sosiolog adalah menganalisa sebuah gerakan untuk
mengidentifikasi ketidakpuasan dan melihat hubungannya dengan gerakan. Misalnya,
sebuah gerakan yang bertujuan menegakkan bahasan resmi Norwegia di pedesaan
sebagai bahasa resmi Norwegia diperlihatkan sebagai produk chauvinisme budaya
dengan petani merespon terhadap aliran lembaga dan pribadi urban di propinsi.

Basis-basis sosial gerakan

Seperti halnya perubahan yang jarang sama di sebuah masyarakat, demikian pula geraka
sosial biasanya mengajak beberapa segmen masyarakat. Dengan kata lain, geraan
memiliki lokasi dalam struktur sosial. Misalnya, gerakan kemerdekaan India memiliki
daya tarik khusus untuk kaum profesional India yang saat itu menjadi sebuah kelas terdiri
dari kaum profesional meskipun mereka diberi pendidikan Inggris. Gerakan Poujadist di
Perancis menarik pengusaha kecil dan petani. Kaum Metodis dalam tahap-tahap awalnya
memiliki daya tarik bagi pekerja kelas Inggris. Gerakan spesifik tentu saja mengajak
lebih dari satu segmen sosial dan budaya. Analisa gerakan biasanya melibatkan
pertimbangan masalah-masalah yang ada dalam usaha menyatukan kelompok sosial yang
berbeda-berbeda dalam satu asosiasi. Dengan demikian, seperti diperlihatkan gerakan
sosial Amerika biasanya terlibat dalam pertikaian yang muncul karena kenaekaragaman
radikalisme pedesaan Amerika dengan radkilamisme perkotaan seperti imigran dan
pekerja. Radikalisme Amerika pribumi adalah populis dan anti industri sedakan
radikalisme urban adalah kelas pekerja yang mengusahakan industrialisasi.

Deprivasi relatif dan perubahan sosial

Tidak ada hubungan garis tunggal antara pengalaman sebuah kelompok dan
perkembangan gerakan terhadap perubahan. Prinsip relative deprivation dapat
menjelaskan hubungan persepsi perampasan (deprivation) atau (persepsi ancaman) dan
ekspresi dan organisasi ketidakpuasan. Riset menunjukkan situasi absolut
sebuahkelompok bukanlah instrumen yang membentuk dan memfokuskan ketidakpuasan
persepsi apa yang adil, diharapkan dan mungkin. Revolusi mungkin dan sering muncul
setelah revolusi segmen masyarakat telah memperbaiki posisi ekonomir mereka. Karena
harapan kelompok meningkat, situasi baru mungkin dialami lebih menekan daripada
sebelumnya. Dalam beberapa kasus, kecemasan akan kehilangan keuntungan baru
meningkatkan kerusuhan. Lebih jauh lagi, kehilangan status mungkin berpengaruh dalam
membentuk gerakan yang bertujuan pemulihan. Ini adalah salah satu faktor dalam
perkembangan serikat buruh Inggris. Awal industrialisasi mengancam menghapus garis
antara pengrajin dan pekerja terampil sehingga mengancam posisi pekerja terampil.

Aspek struktural

Pendukung potensial gerakan sosial harus dikaji dari berbagai pandangan keterampilan
dan peluang mereka untuk pengembanga aksi kolektif. Perubahan sosial mungkin
membentuk gerakan melalui perubahan kultural seperti peningkatan kapasitas kelompok
untuk tugas-tugas komunikasi, kepemimpinan dan organisasi. Misalnya, pendidikan
kolonial bertindak sebagai dasar pelatihan serta bibit ketidakpuasan untuk gerakan
nasionalis antikolonial.
Isi ideologi

Keyakinan gerakan sosial manapun mencerminkan situasi unik segmen sosial yang
membuat gerakan itu. Keyakinan-keyakinan ini menjadi paradigma pengalaman dimana
ideologi dan program gerakan mungkin benar, adil dan memadai untuk segmen terentu.
Hal itu disebabkan telah melalui pengalaman yang dapat membuatnya ideologi tampak
relevan dan valid. Ini benar meskipun ideologi mungkin tersusun dalam pernyataan
umum. Sebagai contoh, gerakan amandemen konstitusi AS yang melarang diskriminasi
seks telah dinyatakan retorika hak-hak sederajat untuk semua wanita. Amandemen
disponsori oleh kelas atas wanita yang akan mendapat keuntungan dari kesejajaran
dengan suaminya dalam hak-hak properti dan ditentang kelas pekerja wanita yang
mencapai perlindungan tertentu dan keuntungan dalam tunjangan berdasarkan UU yang
membatasi jam kerjanya. Dalam kasus ini retorika “hak-hak sederajat” memiliki arti
berbeda bagi wanita kelas pekerja daripada wanita kelas atas.

BAB V Fungsi Gerakan Sosial

Perubahan-perubahan besar dalam tatanan sosial di dunia yang muncul dalam dua abad
terakhir sebagian besar secara langsung atau tak langsung hasil dari gerakan-gerakan
sosial. Meskipun misalnya gerakan sosial itu tidak mencapai tujuannya, sebagian dari
programnya diterima dan digabungkan kedalam tatanan sosial yang sudah berubah. Inilah
fungsi utama atau yang manifest dari gerakan-gerakan sosial. Saat gerakan sosial tumbuh,
fungsi-fungsi sekunder atau “laten” dapat dilihat sebagai berikut:

1. Gerakan Sosial memberikan sumbangsih kedalam pembentukan opini publik dengan


memberikan diskusi-diskusi masalah sosial dan politik dan melalui penggabungan
sejumlah gagasan-gagasan gerakan kedalam opini publik yang dominan.

2. Gerakan Sosial memberikan pelatihan para pemimpin yang aka menjadi bagian dari
elit politik dan mungkin meningkatkan posisinya menjadi negarawan penting.Gerakan-
gerakan burush sosialis dan kemerdekaan nasional menghasilkan banyakpemimpin yang
sekarang memimpin negaranya. Para pemimpin buruh dan gerakan lainnya bahkan
sekalipun mereka tidak memegang jabatan pemerintah juga menjadi elit politik di banyak
negara. Kenyataan ini banyak diakui oleh sejumlah kepala pemerintahan yang
memberikan penghargaan kepada para pemimpin gerakan sosial dan berkonsultasi
dengan mereka dalam isu-isu politik. Saat dua fungsi ini mencapai titik dimana gerakan
sesudah mengubah atau memodifikasi tatanan sosial, menjadi bagian dari tatanan itu
maka siklus hidup gerakan sosial akan berakhir karena melembaga. Ini adalah benar jika
gerakan revolusioner meraih kemenangan seperti terlihat di Uni Soviet dan Cina.
Gerakan komunisme tak lagi disebut sebuah gerakan namun mengalami transformasi
menjadi sebuah rejim. Hal itu juga terjadi seperti pada gerakan buruh sosialis dan gerakan
petani di negara maju Eropa utara dan barat dan di AS serta di daerah jajahan Inggris.
Sementara itu negara dimana reformasi sosial dan ekonomi mendesak telah tertunda-
tunda atau dicegah maka menjadi bibit tumbuhnya gerakan-gerakan sosialis dan komunis
revolusioner.
BAB VI

Penutup

Gerakan jelas seperi dipaparkan lalu ternyata memiliki akar-akar sejarah yang panjang
dalam berbagai masyarakat di berbagai negara. Di Inggris misalnya, gerakan buruh yang
bertujuan untuk memperbaiki nasib para pekerja ini dalam menghadapi majikan akhirnya
berbentuk partai politik. Di bawah Tony Blair, Partai Buruh mengalahkan dominasi
Partai Konservatif pada tahun 1997. Kemenangan dicapai setelah ia membawakan arus
reformasi yang mengubah tatanan dan pemikiran Buruh lama menjadi Buruh baru. Jika
diamati secara seksama jelas bahwa gerakan sosial akan senantiasa muncul dalam
masyarakat apakah bentuknya kecil atau besar, lama atau sebentar. Namun yang jelas
sebagai sebuah aktivitas kemasyarakatan gerakan sosial tidak berhenti pada suatu titik,
akan selalu datang susul menyusul dari satu gerakan ke gerakan lain. Semua itu bisa
terjadi karena, sifat masyarakat sendiri yang terus berubah. Perubahan itu terjadi karena
arus baru dalam diri masyarakat itu sendiri yang menginginkan perubahan. Tingginya
harga-harga sembilan bahan pokok seperti di Indonesia mendorong berbagai aksi sosial
yang mendesak turunnya harga sembako itu. Perubahan itu juga terjadi kalau ada tekanan
internasional. Faktor eksternal dari sistem masyarakat itu sendiri melahirkan masukan
yang kemudian mempengaruhi pola pikir dan budaya masyarakat. Semakin terbuka suatu
masyarakat maka semakin besar peluang tumbuhnya gerakan-gerakan sosial yang
memperjuangkan kepentingan masyarakat. Barangkali pandangan mirip dengan apa yang
ditulis Ali A Mazrui (1983) bahwa gerakan sosial tak hanya disandera oleh sistem
negara-negara berdaulat tapi juga mesin kapitalis dunia. Oleh sebab itulah, masa depan
gerakan-gerakan sosial di dunia tunduk pada dua hegemoni yakni hegemoni kapitalisme
dan di sisi lain sistem negara.[1]

Daftar Pustaka

Amos, John, W., Palestinian resistance organization of a


nationalist movement New York: Pergamon, 1980.

Touraine, Alain, Solidarity: The Analysis of a Social


Movement ,Cambridge: Cambridge University Press, 1982.

Jen, Yu-wen, The Taiping revolutionary movement. London:


Yale University Press, 1973.

Useem, Michael, Conscription, protest, and social conflict:


the life and death of a draft resistance movement , New
York: John Wiley of Sons, 1973.

Schoenhals, Kaip and Richard A. Melanson, Revolution and


intervention in Grenada: the jewel movement, the United
States, and the Caribbean London: Westview Press, 1985.
Rude, George, Paris and London in the eighteenth century:
studies in popular protest. London: Collins, 1970.

Ingleson, John, Road to exile the Indonesian Nationalist


Movement, 1927-1934. Singapore: Heinemann Educational Books
(Asia) Ltd., 1979.

The Indonesia women’s movement: a cronological survey of


the women’s movement in Indonesia –
Jakarta: Departement of Information RI, 1968.

Page, William (ed), The Future of Politics,


London: Frances Pinter, 1983.

Sudarsono, Juwono (ed), Pembangunan Politik dan Perubahan


Politik.
Jakarta, Gramedia, 1976.
Gerakan 9 Desember Termasuk Gerakan Sosial Baru
Andi Saputra - detikNews

<p>Your browser does not support iframes.</p>

<a href='http://openx.detik.com/delivery/ck.php?
n=a59ecd1b&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img
src='http://openx.detik.com/delivery/avw.php?
zoneid=24&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a59ecd1b'
border='0' alt='' /></a>

Jakarta - Gerakan aksi massa yang akan berlangsung besok, Rabu 9


Desember 2009 merupakan gerakan sosial baru. Berbeda dengan gerakan sosial lama,
gerakan memperingati Hari Antikorupsi sedunia tersebut lahir karena lintas ideologi.

"Jika gerakan sosial lama kan berbasis pada ideologi atau pekerjaan serta satu tujuan
seperti Hari Buruh. Mereka berjuang untuk nasib sendiri dengan kenaikan upah. Tapi
yang terjadi esok, adalah gerakan yang digerakan oleh berbagai lintas kepentingan dan
ideologi. Karena korupsi memicu setiap elemen untuk bergerak dan memberantasnya,"
kata pengamat politik UI, Bonie Hargens dalam diskusi politik di Sekretariat GMNI,
Jalan Cikini Raya, Jakarta, Selasa, (8/12/2009).

Sebagai sebuah gerakan sosial baru, maka wajar beberapa pihak merasa terancam.
Mereka akan berusaha menunggangi aksi yang bertepatan dengan Hari Antikorupsi
sedunia untuk kepentingan sepihak.

"Kalau kelompoknya, saya sudah mendata. Tapi tidak etis saya ungkap," bebernya.

Menurut pengamat berkepala pelontos ini, korupsi politisi telah bermain lebih cerdas.
Korupsi dilakukan dengan cara memerintahkan dan menekan pihak birokrasi sehingga
tindakan mereka menjadi legal.

"Setiap negara mempunyai tipikal korupsi masing-masing. Di Indonesia, para politisi


menekan birokrat untuk korup lewat makelar kasus atau uang. Tapi ini susah dibuktikan
secara hukum," ungkapnya.
Menyikapi aksi besok, Gerakan Anak Bangsa (Gerbang) siap menurunkan seluruh
kekuatan massanya guna mendesak Pansus Century hingga tak berujung pada tukar
guling kasus politik. Selain itu, mereka juga memperingatkan pemerintah untuk tidak
mengintervensi kerja Pansus Century.

"Melihat pengalaman pansus sebelumnya, yaitu Pansus BBM dan Pansus BLBI, maka
kami melihat kasus Century susah terungkap," ujar Koordinator Gerbang, Eggy pada
kesempatan yang sama.

(asp/ape)

Tetap update informasi di manapun dengan h


Seri 2 Gerakan Sosial Baru, Menuju Ke Mana?
Kamis, 27 November 2008 00:00

SIMPUL – Gerakan sosial (social movement) dalam berbagai


bentuknya telah memberikan kontribusi bagi pengembangan
demokrasi di berbagai belahan negara. Di dalam sebuah gerakan
sosial tergantung misi untuk melawan sebuah ketidakadilan yang
ditimbulkan, baik oleh penguasa politik maupun ekonomi. Karena
itulah membicarakan demokrasi, naif jika tidak memperbincangkan
gerakan sosial.

Gerakan sosial memiliki kekuatan ampuh untuk memberikan


alternatif lain bagaimana mengelola masyarakat secara berkeadilan.
Di dalamnya terkandung kesadaran mendalam bahwa realitas yang
sedang terjadi adalah realitas tentang penindasan dan ketidakadilan. Atas nama itu
pulalah sebuah gerakan sosial memiliki arti.

Konsekuensi dan tanggung jawab dari suatu gerakan sosial melahirkan suatu hubungan
yang adil dan disepakati bersama antara mereka yang memberi kewajiban dan yang diberi
kewajiban, mereka yang penguasa dan yang dikuasai, antara masyarakat dan negara,
sampai antara mereka yang memiliki akses ekonomi berlimpah yang berjumlah sedikit
kepada mereka yang berkekurangan yang berjumlah mayoritas.

Gerakan sosial sendiri di masa kini sudah tidak lagi berfokus pada masalah politik
semata, melainkan melebar pada berbagai dimensi kehidupan manusia. Gerakan sosial
merambah pada isu-isu lingkungan, perempuan, studi sosial-agama, ekonomi, hak-hak
sipil, sampai sosial budaya. Advokasi lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
berusaha untuk memberikan penyadaran atas kekuatan budaya yang dipinggirkan,
merupakan salah satu bentuknya. Kesadaran ini diberangkatkan dari kenyataan bahwa
budaya mainstream seringkali merasa berkuasa atas budaya pinggiran dan boleh
memaksakan kehendak apapun. Akibatnya para penjaga budaya yang marjinal semakin
tidak beroleh tempat untuk berekpresi. Begitu pula dengan gerakan-gerakan kaum
perempuan untuk menentang marjinalisasi kaum perempuan, gerakan untuk menjaga
keserasian lingkungan dari ancaman eksploitasi atas nama ekonomi dan seterusnya.

Demokrasi memperoleh dukungan dan kekuatan yang luar biasa dari aktivitas masyarakat
sipil (civil society) yang menggalang kekuatan untuk memprotes, bahkan membangkang.
Efektivitasnya tidak hanya pada skala lokal ataupun nasional, transnasional bahkan pada
skala internasional. Wibowo (2006) melukiskan gambaran salah satu gerakan sosial
internasional yang cukup mencengangkan yang terjadi pada November 1999 dalam
sebuah peristiwa yang disebutnya sebagai The Battle of Seattle. Tak diduga sebuah
gerakan protes internasional yang dimotori kelompok LSM berhasil menggagalkan
sebuah pertemuan internasional yang disponsori oleh negara adidaya. Mereka sendiri tak
menyadari bahwa gerakan itu ”membawa hasil” di mana pertemuan tingkat tinggi World
Trade Organization (WTO) gagal mengambil kesepakatan. Protes itu sendiri didasari
kritik keras, betapa WTO telah menciptakan ketidakdilan yang serius antara negara
miskin dan negara kaya.

Di Indonesia, masih terngiang di telinga kita teriakan dan yel yel mahasiswa yang
menyerbu gedung parlemen dan memaksa Soeharto turun dari kekuasaannya hampir
genap setelah 32 tahun berkuasa. Pada 21 Mei 1998 menjadi tonggak gerakan sosial
terbesar sepanjang sejarah Orde Baru berkuasa, dan hingga kini masih diperingati sebagai
momentum yang dinamakan sebagai ’reformasi’.

Tak terhitung banyaknya gerakan sosial yang berskala lokal yang menuntut penguasa
lokal untuk memberikan keadilan atas masyarakat setempat. Di antara gerakan itu ada
yang berhasil mencapai misi, ada yang separuh (hanya menggelindingkan wacana), atau
ada yang gagal total. Bahkan baru-baru ini, raksasa perusahaan seperti PT Freeport
sekalipun perlu memikirkan ulang untuk menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat
sekitar, setelah sebelumnya masyarakat bergerak melakukan demonstrasi berhari-hari.
Begitu pula dengan gerakan buruh yang menuntut pembatalan revisi UU
Ketenagakerjaan, ribuan Kepala Desa yang tumpah ruah di gedung senayan untuk
menuntut apa yang mereka anggap adil, ataupun para guru yang menuntu agar gajinya
dinaikkan secara layak.

Alam demokrasi telah membuka peluang seluasnya untuk menyampaikan pandangan,


pilihan dan alternatif-alternatif lain. Pandangan mainstream kini sedikit demi sedikit
mulai diabaikan. Masyarakat mulai terdidik untuk memprotes segala sesuatu yang
dianggapnya tidak adil. Dengan alasan-alasan yang logis, disusun sebuah rencana untuk
melawan, bahwa sebuah kebijakan tertentu merupakan sumber ketidakadilan.

Sampai dengan perkembangan masa kini teori gerakan sosial makin beraneka ragam, dan
dengan demikian tidak ada definisi tunggal mengenai konsep gerakan sosial sebagai
suatu gejala sosial. Giddens (1993) mendefinisikan gerakan sosial sebagai suatu upaya
kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau mencapai tujuan bersama
melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang
mapan. Lalu Tarrow (1998: 4), menyatakan gerakan sosial adalahtantangan-tantangan
kolektif yang didasarkan pada tujuan-tujuan bersama dan solidaritas sosial, dalam
interaksi yang berkelanjutan dengan para elit, penentang dan pemegang wewenang
(Suharko, 2006).

Sebagai sebuah gerakan untuk mencapai cita-cita yang telah terumuskan atau dirumuskan
bersama dalam pikiran masing-masing, dan para pelakunya merasa memiliki kesamaan
hak dan tanggungjawab atas sebuah isu yang terangkat atau diangkat, sebuah gerakan
sosia bisa memiliki partisipan yang jumlahnya kecil hingga jutaan. Bahkan Suharko
(2006) menjelaskan bahwa sebuah gerakan sosial bisa beroperasi dalam batas-batas
legalitas suatu masyarakat, dan bisa juga bergerak secara ilegal atau sebagai kelompok
’bawah tanah’ (underground groups). Tetapi jelasnya mereka lebih banyak merupakan
kelompok yang menekan suatu yang dianggap sebagai kemapanan.
Bagaimana sebuah cita-cita, kepentingan ataupun misi bersama bisa dilahirkan secara
cepat dan menjelma menjadi suatu gerakan merupakan tema cukup penting dalam
membahas gerakan sosial. Yang jelas, sebuah isu atau permasalahan yang terjadi tentu
bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba. Suatu perlawanan selalu didasarkan pada fakta
sosial yang terjadi. Perlawanan terhadap rezim Orde Baru didasarkan pada fakta semakin
tergusurnya hak-hak sipil oleh negara dalam berbagai bentuk, dan semakin kerasnya
rezim negara mengeksplotasi masyarakat serta membendung kebebasan dan aspirasi.
Semua fakta ini mengkristal menjadi kesadaran bersama dan menjadi penentu dari mana
sebuah gerakan dimulai.

Tak ada suatu tiranipun di dunia ini yang tidak ambruk. Ini artinya tirani dalam
kepemimpinan adalah sesuatu yang hampir pasti menciptakan ketidakadilan. Mereka
ambruk tidak saja melalui tekanan sosial, tetapi juga karena tekanan situasi yang tidak
memungkinkan seorang tiran memperpanjang masa kekuasaannya.

Di sinilah demokrasi berkuasa. Demokrasi mempersyaratkan masyarakat sebagai pemilik


wewenang. Tatkala wewenang yang dimandatkan kepada penguasa diselewengkan atau
digunakan justru untuk menindas si pemberi wewenang, potensi gerakan sosial semakin
kuat untuk mengusir tiran bersangkutan. Ini tidak hanya terjadi dalam skala nasional
sebagaimana banyak dicontohkan. Di era reformasi, gerakan sosial terjadi justru semakin
intensif untuk menentang para penguasa lokal yang dituding sebagai sumber
ketidakadilan.

Peristiwa yang terjadi di Tuban Jawa Timur (kerusuhan saat Pilkada 2006) diyakini tidak
saja terjadi karena intrik politik dan ekonomi di antara para kandidat, melainkan juga
karena kentalnya ketidakpuasan atas suatu kepemimpinan. Masyarakat merasa ada
polarisasi yang sangat dalam antara elit politik lokalnya dan masyarakat. Ketidakadilan,
dengan demikia, adalah sumber yang paling potensial melahirkan suatu gerakan sosial,
baik yang tersusun rapi maupun hanya sebagai sebuah letupan sesaat dan bersifat
insidental.

***

TELAH cukup banyak dan bervariasi studi-studi tentang gerakan sosial maupun
keterlibatan aktor-aktor gerakan sosial seperti LSM dalam menganalisis perkembangan
demokrasi di Indonesia. Bisa dicatat beberapa yang diingat seperti yang dilakukan Bob S
Hadiwinata dalam The Politics of NGOs in Indonesia: Developing Democracy and
Managing a Movement (New York: Routledge Curzon, 2003); Meuthia Ganie-Rochman
dalam An Uphill Struggle: Advocacy NGOs Under Soeharto’s New Order (Jakarta: Lab
Sosio FISIP UI, 2002). Sebelumnya, studi dari almarhum Mansor Fakih tentang
Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia
tahun 1996, atau terdapat pula studi dari Kastorius Sinaga, NGOs in Indonesia: A Study
of the Role of Non-Governmental Organizations in the Development Process tahun 1994;
juga karya Philip J Eldridge, yang menulis Non-Government Organizations and
Democratic Participation in Indonesia di tahun 1995. Tak lupa tulisan terkenal dari
Anders Uhlin tentang Indonesia and the Third Wave of Democratization: The Indonesia
Pro-Democracy Movement in a Changing World di tahun 1997.

Umumnya mereka menganalisis proses demokratisasi di Indonesia yang digerakkan oleh


kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Karena itulah studi-studi tersebut cukup
banyak membantu kita untuk memberikan pemetaan yang baik atas peran LSM dalam
suatu gerakan sosial. Dari penjelasan Salamon dan Anheier (Hadiwinata, 2003) memberi
penjelasan tentang karakteristik LSM yang berciri-ciri sebagai berikut:

1. Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai kantor dengan


seperangkat aturan dan prosedur
2. Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah
3. Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit) kepada
direktur atau pengurusnya
4. Menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh
pihak luar
5. Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu
6. Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama
7. Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu

Dapat diketahui pula istilah LSM sendiri bersejarah panjang. Istilah itu muncul pada
lokakarya kerja sama terpadu pengembangan pedesaan yang diselenggarakan Sekretariat
Bina Desa (SBD), 13-15 April 1978 di Ungaran, Jawa Tengah. Dalam seminar SBD dan
WALHI di Jakarta 1981, disepakati satu istilah LSM, sekaligus memberi masukan bagi
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sedang untuk membahas UU Lingkungan Hidup
(Mujiran, 2004).

Mengutip pendapat Bonnie Setiawan --seorang aktivis LSM yang kerap menyuarakan
kepentingan negara dunia ketiga di dunia internasional—atas dua studi yang disebut
pertama di atas, kebanyakan studi ilmu politik memfokuskan pada peranan dari badan
dan kelembagaan formal di dalam sistem politik. Dikatakan bahwa hubungan yang
dinamis antara negara dan masyarakat lebih banyak diwakili oleh lembaga kepresidenan,
parlemen, dan kehakiman di satu pihak, dan di pihak lain institusi politik yang mapan,
seperti partai politik (parpol), organisasi kemasyarakatan (ormas) dan kelompok-
kelompok kepentingan lainnya, baik dari kalangan bisnis, profesi, dan lainnya. Begitulah,
LSM merupakan fenomena baru dalam sistem politik, dan belum banyak dimengerti
orang meskipun sudah hadir sejak tahun 1960-an. Ini juga terjadi di dalam khasanah
sistem politik Barat, di mana NGO (Non-Governmental Organizations) juga merupakan
fenomena baru yang belum banyak dibahas. Ganie-Rochman memusatkan pada peran
LSM di tengah otoriterisme Orde Baru (Orba) serta peran dari LSM bidang advokasi.
Untuk itu, ia mengetengahkan studi kasus Kedung Ombo (konflik tanah dan bendungan),
Marsinah (perburuhan), dan Jelmu Sibak (lingkungan dan kehutanan).

Di luar pendapat yang dinyatakan di atas, di masa kini LSM sedikit banyak sudah bisa
memosisikan dirinya di tengah masyarakat. Mereka sudah bisa menjelaskan apa peran
dan apa yang bisa dilakukan. Di tengah masyarakat secara umum, peran LSM sebagai
kekuatan sosial yang memiliki tingkat pengetahuan dan kesadaran bermasyarakat di atas
rata-rata, sudah sedikit banyak dipahami. Tetapi di pihak lain, ternyata aspek
ketidakpercayaan terhadap LSM juga tumbuh cukup pesat di tengah masyarakat yang
lain. Hal ini terjadi karena kenyataan bahwa beberapa LSM yang dikenalnya justru
terbukti melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan masyarakat. Dua sisi
mata uang, antara pandangan positif dan negatif ini sendiri sejujurnya sudah dirasakan
oleh pihak LSM sendiri. Mereka menyadari perannya di tengah masyarakat dituntut
ekstra hati-hati, atau kalau tidak, sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak akan
percaya.

Di luar perkiraan-perkiraan negatif maupun positif yang dinyatakan di atas, tidak bisa
tidak, bahwa LSM/NGO, lokal maupun nasional, adalah pilar demokrasi yang berfungsi
untuk menjadi motor penggerak utama dalam memperjuangkan basis kepentingan yang
dipilihnya. Dengan kata lain, LSM berbasis isu lingkungan akan dimonitor oleh
masyarakat suaranya ketika terjadi sebuah kasus perusakan lingkungan. LSM yang
bergerak dalam kebudayaan merupakan andalan bagi masyarakat yang didera
ketidakberdayaan atas penindasan oleh kebijakan mainstream. LSM yang bergerak dalam
pengawasan parlemen akan dicaci masyarakat ketika tidak bisa bersuara atas korupsi
yang terjadi, dan seterusnya.

Itulah mengapa terjadi hubungan simbiosis tak terputus atas pemerintah sebagai
penyelenggara negara, wakil rakyat dalam parlemen, LSM sebagai kumpulan kaum
terpelajar, mahasiswa, pengusaha, dan masyarakat umum sendiri. Semua elemen tersebut
merasa saling diawasi dan mengawasi, melakukan tugasnya masing-masing sambil
membebankan kepentingannya kepada pihak lain. Di antara elemen-elemen tersebut
saling berusaha untuk menjaga keseimbangan masing-masing. Sekali ketidakadilan
dilahirkan, upaya untuk melahirkan keadilan versi baru akan segera digerakkan.
Kendatipun seperti itu, jika dibandingkan dengan ketidakadilan yang terjadi dan rasa
keadilan yang ingin diciptakan, di negeri ini jelas masih yang pertama yang selalu dan
sampai kini terjadi.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), LSM di Indonesia telah tumbuh dari semulah
berjumlah sekitar 10.000 di tahun 1996 menjadi sekitar 70.000 di tahun 2000. Ini juga
terjadi di berbagai negara lainnya, di mana jumlah LSM telah meningkat secara tajam.
Ituah mengapa Hadiwinata (2003), menyatakan LSM telah menjadi "Sektor Ketiga",
yaitu sektor publik yang mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Jika sektor
pertama adalah sektor negara atau pemerintah yang berkewajiban menjamin pelayanan
bagi warga negaranya dan menyediakan kebutuhan sosial dasar, sektor kedua adalah
sektor swasta yang terdiri dari kalangan bisnis dan industrial yang bertujuan mencari
penghidupan dan menciptakan kekayaan, maka sektor ketiga adalah LSM yang bergerak
di luar keduanya.

Sejarah mencatat di masa rezim Soeharto, adalah hubungan terburuk antara LSM dengan
pemerintah. Pada 1990-an bertumbuhan LSM yang bergerak melawan pemerintah. Kita
bahkan masih mengingat bagaimana peristiwa yang dikenal sebagai ”insiden Brussel”
ketika LSM dianggap menghina presiden, saat Soeharto mengadakan lawatan ke Brussel,
Belgia. Ini pula yang menyebabkan pengejaran dan penangkapan atas aktivis-aktivis
LSM.

Problemnya kini, di era reformasi adalah sejauh mana LSM bisa semakin memperkuat
proses demokratisasi yang sedang berlangsung. DI tengah tanggungjawab dan
konsekuensi yang sudah secara otomatis tertanggung, proses demokrastisasi di era
reformasi memang bukan semata-mata tanggungjawab LSM, tetapi betapa naifnya jika
LSM justru terjebak makin melemahkan proses demokrasi yang sedang berlangsung.
Betapa naif pula jika LSM, justru tercebur dalam kepentingan yang semata-mata
personal, partisan dan bukan lagi menjadi milik publik. Dengan semakin intensnya
konflik dan ketidakteraturan publik di berbagai kawasan di Indonesia selama masa
reformasi makin membuat peran LSM dipertanyakan untuk melahirkan gerakan sosial
baru yang relevan dengan zamannya.

Di pihak lain, faktor lapangan yang dinamis, perubahan kondisi masyarakat sasaran dan
lain-lain sering kurang mendapat perhatian. Aspek formal pengawasan menjadi kinerja
sering kurang berjalan efektif, walaupun formalitas tentu tetap diperlukan gunan
mengukur sejauhmana akuntabilitas bisa diberikan.

Tetapi tidak hanya itu saja masalah LSM di masa kini. Agenda gerakan sosial yang sering
bertabrakan melahirkan ketegangan lain dan sering mengganggu proses stabilitas dari
demokrasi itu sendiri. Semakin mengerucutnya level dan cakupan kerja sebuah LSM
seharusnya menjadikan kinerja semakin efektif, namun demikian justru tantangan dan
hambatan terkait dengan hal itu masih sering nampak. Di antarannya adalah kelemaahan
dari segi sumberdaya LSM bersangkutan serta rendahnya aspek finansial sebuah LSM
manakalah sudah tidak lagi mendapatkan bantuan dari lembaga donor. Hubungan-
hubungan ini sering tidak melahirkan kinerja dan gerakan sosial macet di tengah jalan.
Keberlanjutannya dipertanyakan. Ini pulalah yang sering menjadi bahan cibiran
masyarakat, bahwa LSM berkerja hanya ketika mendapatkan dukungan finansial. Dan
begitulah rumitnya hubungan yang terjadi.

Terlepas dari semua soal yang dikemukakan di atas, kalau boleh dikatakan memang
gerakan sosial menuju penguatan demokrasi untuk melahirkan protes dan melahirkan
keadilan yang lebih nyata dan memihak publik, bukanlah semata-mata merupakan
tanggungjawab LSM. Tentu terlalu berat dan riskan membebankan semua proses
demokrasi di pundak LSM. Tetapi LSM tentu saja tetap berkewajiban untuk mengisi dan
mengarahkan demokrasi lebih baik, berkeadilan dan terutama demokrasi yang memihak
kepada kepentingan publik.

Di sini pulalah relevansi membahas kembali konsep dan properti-properti gerakan sosial,
mempelajari kembali sejarah perkembangannya, strateginya serta pemahaman atas
karakter utama gerakannya serta yang terpenting adalah kontekstualisasi analisis gerakan
sosial untuk gerakan demokrasi di Indonesia.

Keterangan Buku Seri Demokrasi II


Judul: Gerakan Sosial Baru, Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan
Gerakan Sosial di Indonesia
Penerbit: Program Sekolah Demokrasi dan Averroes Press
Penulis : Didik, Eko Prasetyo, Hesti Armiwulan, Pietra Widiadi, Heri Setiono, Rafael,
Wahyudi Winarjo, Wilopo
Tim Penyusun : Saiful Arif, Fadillah Putra, Heri Setyono, Sutomo
Penyunting: Saiful Arif
Tahun: Cetakan I, Juli 2006
Kata Pengantar : Suharko
Gerakan sosial
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel atau bagian dari artikel ini diterjemahkan dari Social movement di
en.wikipedia.org. Isinya mungkin memiliki ketidakakuratan. Selain itu
beberapa bagian yang diterjemahkan kemungkinan masih memerlukan
penyempurnaan. Pengguna yang mahir dengan bahasa yang bersangkutan
dipersilakan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini.
(Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat)

Gerakan sosial (bahasa Inggris:social movement) adalah aktivitas sosial berupa gerakan
sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbetuk
organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu
sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah
perubahan sosial.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Jenis
• 2 Dinamika gerakan sosial
• 3 Referensi
• 4 Lihat pula
• 5 Pranala luar

• 6 Pustaka

[sunting] Jenis
Jenis gerakan sosial.[1]

Para Sosiolog membedakan gerakan sosial kedalam beberapa jenis:

• Lingkup
o Gerakan reformasi - gerakan yang didedikasikan untuk mengubah
beberapa norma, biasanya hukum. Contoh gerakan semacam ini akan
mencakup seperti, serikat buruh dengan tujuan untuk meningkatkan hak-
hak pekerja, gerakan hijau yang menganjurkan serangkaian hukum
ekologi, atau sebuah gerakan pengenalan baik yang mendukung atau yang
menolak adanya, hukuman mati atau hak untuk dapat melakukan aborsi.
Dalam beberapa gerakan reformasi memungkinkan adanya penganjuran
perubahan tehadap norma-norma moral misalkan, mengutuk pornografi
atau proliferasi dari beberapa agama. Sifat gerakan semacam itu tidak
hanya terkait dengan masalah tetapi juga dengan metode yang
dipergunakan, dari kemungkinan ada penggunaan metode yang sikap
reformis non-radikal yang akan digunakan untuk pencapaian akhir tujuan,
seperti dalam kasus aborsi agar dapat tercipta adanya pembuatan hukum
perundangan-undangan.
o Gerakan radikal - gerakan yang didedikasikan untuk adanya perubahan
segera terhadap sistem nilai dengan melakukan perubahan-perubahan
secara substansi dan mendasar, tidak seperti gerakan reformasi, Contohnya
termasuk Gerakan Hak Sipil Amerika yang penuh menuntut hak-hak sipil
dan persamaan di bawah hukum untuk semua orang Amerika (gerakan ini
luas dan mencakup hampir seluruh unsur-unsur radikal dan reformis),
terlepas dari ras, yang di Polandia dikenal dengan nama Solidaritas /
(Solidarność) gerakan yang menuntut transformasi dari sebuah tata nilai
politik Stalinisme menuju kepada tata nilai sistim poltik sistem ekonomi
atau ke dalam tata nilai sistim poltik demokrasi atau di Afrika Selatan
disebut gerakan penhuni gubuk Abahlali baseMjondolo yang menuntut
dimasukkannya para penghuni gubuk secara penuh ke dalam penghunian
kehidupan kota.
• Jenis perubahan
o Gerakan Inovasi - gerakan yang ingin mengaktifkan norma-norma
tertentu, nilai-nilai, dan lain-lain gerakan advokasi yang tak umum
kesengajaan untuk efek dan menjamin keamanan teknologi yang tak
umum adalah contoh dari gerakan inovasi.
o Gerakan Konservatif - gerakan yang ingin menjaga norma-norma yang
ada, nilai, dan sebagainya Sebagai contoh, anti-abad ke-19, gerakan
modern menentang penyebaran makanan transgenik dapat dilihat sebagai
gerakan konservatif dalam bahwa mereka bertujuan untuk melawan
perubahan teknologi secara spesifik, namun mereka dengan cara yang
progresif gerakan yang hanya bersikap anti-perubahan (misalnya menjadi
anti-imigrasi) sedang untuk hasil tujuan kepentingan tidak pernah didapat
hanya merupakan bersifat bertahan.
• Target
o Gerakan fokus berkelompok - bertujuan mempengaruhi atau terfokus pada
kelompok atau masyarakat pada umumnya, misalnya, menganjurkan
perubahan sistem politik. Beberapa kelompok ini akan berubah atau
menjadi atau akan bergabung dengan partai politik, tetapi banyak tetap
berada di luar sistem partai politik partai.
o Gerakan fokus Individu - fokus pada yang mempengaruhi secara personal
atau individu. Sebagian besar dari gerakan-gerakan keagamaan akan
termasuk dalam kategori ini.
• Metode kerja
o Gerakan damai yang memperlihatkan untuk berdiri kontras dengan
gerakan 'kekerasan'. gerakan Hak-Hak Sipil Amerika, gerakan Solidaritas
Polandia yang tanpa penggunaan kekerasan, selalu berorientasi sipil dan
sayap gerakan kemerdekaan India boleh dimasukan ke dalam kategori ini.
o Gerakan kekerasan umumnya merupakan gerakan bersenjata misalkan
berbagai Tentara Pembebasan Nasional seperti, Tentara Pembebasan
Nasional Zapatista dan gerakan pemberontakan bersenjata lainnya.
• Lama dan baru
o Gerakan lama - gerakan untuk perubahan yang telah ada sejak awal
masyarakat, sebagian besar merupakan gerakan-gerakan abad ke-19
berjuang untuk kelompok-kelompok sosial tertentu, seperti kelas pekerja,
petani, orang kulit putih, kaum bangsawan, keagamaan, laki-laki. Mereka
biasanya berpusat di sekitar beberapa tujuan materialistik seperti
meningkatkan standar hidup atau, misalnya, otonomi politik kelas pekerja.
o Gerakan baru - gerakan yang menjadi dominan mulai dari paruh kedua
abad ke-20 - seperti gerakan feminis, gerakan pro-choice, gerakan hak-hak
sipil, gerakan lingkungan, gerakan perangkat lunak bebas, gerakan hak-
hak gay, gerakan perdamaian, gerakan anti-nuklir, gerakan alter-
globalisasi dan lain lain, Kadang-kadang gerakan ini dikenal sebagai
gerakan sosial baru. Mereka biasanya berpusat di sekitar isu-isu yang
sama yang tidak terpisahkan dari masalah sosial.
• Jangkauan
o Gerakan secara internasional - gerakan sosial yang mempunyai tujuan
serta sasaran secara global. Gerakan-gerakan seperti yang pertama kali
dilakukan aliran Marx kemudian seperti Forum Sosial Dunia, Gerakan
atiglobalisasi dan gerakan anarkis berusaha untuk mengubah masyarakat
secara global.
o Gerakan lokal - sebagian besar dari gerakan sosial memiliki lingkup
lokal.gerakan yang didasarkan pada tujuan lokal atau regional, seperti
melindungi daerah alam tertentu, melobi untuk penurunan tarif tol di jalan
tol tertentu, atau mempertahankan bangunan yang akan dihancurkan untuk
gentrifikasi agar dapat mengubahnya menjadi pusat-pusat sosial.
o Gerakan semua tingkatan - gerakan sosial yang berkaitan dengan
kompleksitas pemerintahan di abad ke-21 dan bertujuan untuk memiliki
pengaruh di tingkat lokal, regional, nasional dan internasional.

[sunting] Dinamika gerakan sosial

Tahapan gerakan sosial.[2]

Gerakan sosial tidak bersifat terus-menerus karena memiliki siklus hidup kurang-lebih
sebagai berikut: diciptakan, tumbuh, pencapaian sasaran akhir atau berikut
kegagalannya , terkooptasi dan kehilangan semangat.

[sunting] Referensi
1. ^ Aberle, David F. 1966. The Peyote Religion among the Navaho. Chicago:
Aldine. ISBN 0-8061-2382-6
2. ^ Graph based on Blumer, Herbert G. 1969. "Collective Behavior." In Alfred
McClung Lee, ed., Principles of Sociology. Third Edition. New York: Barnes and
Noble Books, pp. 65-121; Mauss, Armand L. 1975. Social Problems as Social
Movements. Philadelphia: Lippincott; and Tilly, Charles. 1978. From
Mobilization to Revolution. Reading, Massachusetts: Addison-Wesley, 1978.
[sunting] Lihat pula
• Gerakan kontra
• Gerakan masyarakat dunia
• Daftar gerakan sosial
• Gerakan politik
• Gerakan revolusioner
• Kesetaraan sosial
• Organisasi buruh

[sunting] Pranala luar


• Social Movements: A Summary of What Works (pdf)
• Wiki on Social Movements across Europe

[sunting] Pustaka
• Marco G. Giugni, How Social Movements Matter, University of Minnesota Press,
1999, ISBN 0-8166-2914-5
• Rod Bantjes, Social Movements in a Global Context, CSPI, 2007, ISBN 978-1-
55130-324-6
• Michael Barker, Conform or Reform? Social Movements and the Mass Media,
Fifth-Estate-Online - International Journal of Radical Mass Media Criticism.
February 2007. [1]
Aksi di Jejaring Sosial Baru Sebatas "Klik*
24 Dec 2009

• Headline
• Pikiran Rakyat

Aksi di Jejaring Sosial Baru Sebatas "Klik*

Pengantar

Tahun 2009 ditandai dengan munculnya fenomena media sosial ikut memainkan peranan
dalam kehidupan berbangsa. Gerakan-gerakan yang digalang lewat jejaring sosial ter-
nyata ikut menentukan dalam perkembangan kasus Prita versus RS Omni serta Chandra-
Bibit versus Polri. Untuk itu, redaksi menyajikan tulisan tentang kemunculan jejaring
sosial ini di halaman 1 dan halaman 26. Semoga bermanfaat.

SETIDAKNYA, ada dua peristiwa di tahun 2009 yang menjadi penanda di bidang media
dan gerakan sosial. Pertama, kasus Prita versus Rumah Sakit Omni Tangerang. Kedua,
kasus Bibit-Chandra versus Polri.

Dua kasus itu tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Kasus pertama merupakan kasus
pencemaran nama baik, sedangkan kasus kedua

merupakan kasus korupsi yang melibatkan petinggi negara. Akan tetapi, ada benang

merah yang mengaitkan keduanya, yaitu media massa dan jejaring sosial di internet.

Kasus Prita versus RS Omni, yang dipicu oleh "curhat" Prita di salah satu mailing list
tentang pelayanan di rumah sakit itu, bisa menjadi penanda bahwa gerakan sosial bisa
dipicu secara online. Prita, yang kemudian dikalahkan oleh pengadilan secara perdata
-dan kemudian harus membayar ganti rugi kepada RS Omni sebesar Rp 204 juta, ternyata
mendapat dukungan yang luar biasa besar dari masyarakat.

Gerakan mendukung Prita yang digulirkan pertama kali oleh para bloggers Indonesia,
mendapat respons yang cepat dari para pengguna situs jejaring sosial. Dukungan pun
disalurkan melalui bentuk yang unik, yaitu memberikan koin rupiah kepada Prita untuk
diberikan kepada RS Omni.

"Sampai hari ini, jumlah koin yang berhasil kami kumpulkan sudah sekitar Rp 500 juta,"
kata Enda Nasution, salah seorang blogger yang menjadi pelopor gerakan mendukung
Prita, saat berdiskusi dengan Redaksi "PR", Rabu (16/12).

Informasi terakhir hingga penghitungan Minggu (20/12), koin yang terkumpul lebih dari
Rp 650 juta. Mereka yang memberikan koin, mulai dari murid taman kanak-kanak,
tukang ojek, tu-
kang becak, pelajar, mahasiswa, wartawan, buruh, ibu rumah tangga, sampai anggota
DPR RI.

Gerakan pengumpulan koin rupiah diakui telah menghilangkan batas kelas sosial dan
mereduksi keengganan publik untuk melakukan aksi nyata. Cukup dengan memberikan
koin rupiah, masyarakat kecil tidak merasa malu untuk ikut terlibat dalam gerakan itu.

Begitu besar respons masyarakat terhadap kasus Prita, sampai RS Omni pun mencabut
gugatannya. Dan kalau kita menelusuri awal gerakan itu, semuanya berawal dari rasa
kepedulian yang diterjemahkan melalui gerakan yang sederhana kampanye melalui
internet oleh segelintir orang yang peduli.

Hal serupa juga terjadi saat publik menyikapi penangkapan dua pimpinan KPK, Bibit S.
Rianto dan Chandra Hamzah oleh Mabes Polri. Siapa yang menyangka jika penangkapan
itu akan membuat 1,3 juta pengguna Facebook di Indonesia berang dan mem-
buat gerakan di internet untuk mendukung KPK?

Begitu luar biasa peran media dan jejaring sosial di internet dalam mewarnai demokrasi
Indonesia. Namun, muncul pertanyaan, apakah media internet sebagai alat bagi publik
telah digunakan secara benar?

IWAN Pilliang, blogger yang juga seorang citizen journalist, menganggap gerakan sosial
melalui media internet belum cukup hebat disebut sebagai gerakan yang
memperjuangkan perubahan, jika gerakan itu tidak diterjemahkan ke dalam aksi nyata.

Iwan mengambil contoh, dalam kasus Prita, banyak orang memberikan dukungan melalui
situs jejaring sosial dan memberikan koin, tetapi faktanya hanya sedikit sekali yang
bersedia mengikuti persidangan Prita. "Setiap sidang, jumlah pendukung yang datang
tidak pernah mencapai sepuluh orang," kata Iwan.

Apa yang diungkapkan Iwan menunjukkan dua sisi. Di satu sisi ruang bagi publik telah
tersedia, dan dalam level tertentu telah digunakan secara masif. Namun di sisi

lain, ruang di dunia maya itu telah membuat publik "terlalu mudah" untuk menyatakan
bahwa mereka telah berkontribusi, padahal kontribusi itu tidak diwujudkan secara nyata.
Dengan kata lain, hanya cukup satu klik, kemudian publik merasa tanggungjawab sosial
mereka telah terpenuhi.

"Apakah dengan ikut dalam gerakan mendukung Prita di internet, atau memberikan koin,
atau ikut mendukung Bibit dan Chandra kemudian persoalan selesai? Tidak. Persoalan
mendasar yang membuat kasus-kasus seperti itu muncul tidak tersentuh sama sekali.
Tidak ada gerakan yang mengarah pada Undang-Undang ITE, yang menjadi akar kasus
Prita bisa terjadi," kata Iwan.

Kehadiran situs jejaring sosial, dan juga blog, seharusnya bisa dijadikan alat bagi publik
untuk membuat demokrasi di negara ini menjadi lebih baik. Namun, media baru tersebut
lebih banyak digunakan sebagai ajang "curhat" pribadi atau menjalin hubungan personal,
dan hanya sesekali digunakan untuk menekan kekuasaan. (Zaky Yamani/"PR")#*#

Entitas terkaitAksi | Apakah | Bibit | Chandra | DPR | Dukungan | Enda | Facebook |


Gerakan | Indonesia | Informasi | IWAN | Kasus | Kehadiran | Mabes | Pengantar |
Persoalan | Prita | Redaksi | Rianto | RS | Semoga | Zaky | Chandra Hamzah | Kasus
Prita | RS Omni | Rumah Sakit Omni | Jejaring Sosial Baru Sebatas | Ringkasan
Artikel Ini
Kasus Prita versus RS Omni, yang dipicu oleh "curhat" Prita di salah satu mailing
list tentang pelayanan di rumah sakit itu, bisa menjadi penanda bahwa gerakan
sosial bisa dipicu secara online. Gerakan mendukung Prita yang digulirkan
pertama kali oleh para bloggers Indonesia, mendapat respons yang cepat dari para
pengguna situs jejaring sosial. "Sampai hari ini, jumlah koin yang berhasil kami
kumpulkan sudah sekitar Rp 500 juta," kata Enda Nasution, salah seorang blogger
yang menjadi pelopor gerakan mendukung Prita, saat berdiskusi dengan Redaksi
"PR", Rabu (16/12). Dan kalau kita menelusuri awal gerakan itu, semuanya
berawal dari rasa kepedulian yang diterjemahkan melalui gerakan yang sederhana
kampanye melalui internet oleh segelintir orang yang peduli. IWAN Pilliang,
blogger yang juga seorang citizen journalist, menganggap gerakan sosial melalui
media internet belum cukup hebat disebut sebagai gerakan yang memperjuangkan
perubahan, jika gerakan itu tidak diterjemahkan ke dalam aksi nyata.

Jumlah kata di Artikel : 737


Jumlah kata di Summary : 144
Ratio : 0,195

*Ringkasan berita ini dibuat otomatis dengan bantuan mesin. Saran atau masukan
dibutuhkan untuk keperluan pengembangan perangkat ini dan dapat dialamatkan ke tech
at mediatrac net.

You might also like