You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi.
Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, di topang dengan bakteremia tanpa
terlibat struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel
fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch. Sampai saat ini
demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, serta berkaitan dengan sanitasi yang
buruk terutama negara-negara berkembang.
Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid bervariasi dari 10
sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian demam tifoid turun dengan adanya
sanitasi pembuangan di berbagai negara berkembang, diperkirakan setiap tahun masih terdapat
35 juta kasus dengan 500.000 kematian terdapat di dunia. Di Indonesia demam tifoid masih
merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Di antara penyakit yang
tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan kedua setelah gastroenteritis.

BAB II
URAIAN
1. Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik.
2. Patogenesis
Salmonella typhi hanya dapat menyebabkan gejala demam tifoid pada manusia. Salmonella typhi
termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman berspora, motile,
berflagela,berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37ºC (15ºC-41ºC), bersifat
fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada
pemanasan suhu 54,4ºC selama satu jam, dan 60ºC selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan
dalam jangka lama. Salmonella memunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan
manosa, namun tidak terhadap laktosa dan sukrosa.
Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu (1) proses invasi kuman
S.typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan hidup dalam makrofag dan (3) proses
berkembang biaknya kuman dalam makrofag. Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa
mekanisme pertahanan untuk menahan dan membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya
(1) mekanisme pertahanan non spesifik di saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik,
dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan selular.
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan
makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai di lambung maka mula-mula
timbul usaha pertahanan non-spesifik yang bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh
asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah
kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi
asam lambung.
Untuk menimbulkan infeksi diperlukan S.typhi sebanyak 105-109 yang tertelan melalui makanan
atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH
2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami
gastrotektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung.
Pada keadaan tersebut S.typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme
pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman
keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di
samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan
pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman
berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada
permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina
propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun
demikian S.typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya
perlindungan oleh kapsul kuman.
3. Pendekatan Diagnosis Demam Tifoid
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati
dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi
berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-
80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu,
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila
hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid
perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis,
dan serologis. Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu (1) isolasi kuman
penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen penderita, seperti darah, sumsum
tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot, (2) uji serologi untuk mendeteksi antibodi
terhadap antigen S.typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi, dan (3)
pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi.
Patogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih belum jelas,
umumnya ditandai dengan leukopenia, limfositosis realtif dan menghilangnya eosinofil
(aneosinofilia). Dahulu dikatakan bahwa leukopenia mempunyai nilai diagnostik yang penting,
namun hanya sebagian kecil penderita demam tifoid mempunyai gambaran tersebut. Diduga
leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah.
Diagnosis demam tifoid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik namun
identifikasi kuman S.typhi memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah seringkali positif pada awal
penyakit sedangkan biakan urin dan tinja, positif setelah terjadi septikemia sekunder. Biakan
sumsum tulang dan kelenjar limfe atau jaringan retikulo endotelial lainnya sering masih positif
setelah darah steril. Pemeriksaan Widal, meskipun kegunaannya masih banyak diperdebatkan,
jika interpretasi dilakukan dengan hati-hati dan memperdebatkan sensitivitas, spesifitas, serta
perkiraan nilai Widal pada laboratorium dan populasi setempat, maka angka Widal cukup
bermakna.
Diagnosis pasti demam tifoid bila ditemukan kuman S.typhi dari darah, urin, tinja,
sumsum tulang, cairan duodenum atau rose spots. Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman
lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid,
namun hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa
faktor. Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan
media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah. Untuk menetralisir efek bakterisidal oleh
antibodi atau komplemen yang dapat menghambat kuman pertumbuhan kuman, maka darah
harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan darah paling baik adalah pada saat demam tinggi
atau sebelum pemakaian antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar
ditemukan di dalam darah.
Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu pertama sakit,
sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya pada 10% penderita. Setelah
minggu ke-empat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di dalam darah. Bila terjadi relaps,
maka biakan darah akan positif kembali.
Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang
pada fase penyembuhan.
Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah
pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan. Oleh karena itu
pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik.
Walaupun metoda biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun memerlukan
waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan sederhana yang
tidak memiliki sarana laboratorium lengkap.
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H
timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji widal slide
aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96%. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer
O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau
infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella
typhi (karier). Meskipun uji serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam tifoid telah luas
digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Sampai saat ini uji
serologi Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar
aglutinasi (cut off point). Interpretasi pemeriksaan Widal harus hati-hati karena banyak faktor
yang mempengaruhi antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium,
gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis), riwayat
mendapat imunisasi sebelumnya, dan reaksi silang.
4. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid adalah komplikasi intestinal berupa perdarahan
sampai perforasi usus. Perforasi terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan usus yang berat ditemukan
pada 1-10% anak dengan demam tifoid. Komplikasi ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit.
Komplikasi ini umumnya didahului dengan suhu tubuh dan tekanan darah menurun, disertai
dengan peningkatan denyut nadi. Perforasi jarang terjadi tanpa adanya perdarahan sebelumnya
dan sering terjadi di ileum bagian bawah. Perforasi biasanya ditandai dengan peningkatan nyeri
abdomen, kaku abdomen, muntah-muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defence muskular,
hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain.
Adanya komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran,
diorientasi, delirium, obtudansi, stupor bahkan koma. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat
dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak
mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase maupun kolesistitis
akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah
mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa
kuman (karies).
Sistitis dan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering
dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun
sindrom nefrotik mempunyai prognosis buruk. Pneumonia sebagai komplikasi sering dijumpai
pada demam tifoid, seringkali akibat infeksi sekunder oleh kuman lain.
Komplikasi lain yang juga dapat terjadi adalah enselopati, trombosis serebral, ataksia, dan afasia,
trombositopenia, koagulasi intrvaskular diseminata, Hemolytic Uremic Syndrome, fokal infeksi
di beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot,
kelenjar ludah dan persendian. Dilaporkan pula komplikasi berupa orkitis, endokarditis,
osteomielitis, artritis, parotitis, pankreatitis, dan meningitis.
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih
jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah penghentian
antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya.
5. Gambaran Darah Tepi
Anemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum
tulang jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3000 /µl³. Apabila terjadi abses piogenik
maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000 /µl³. Trombositopenia sering
dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.
6. Penatalaksananaan
Pengobatan terhadap demam tifoid merupakan gabungan antara pemberian antibiotik
yang sesuai, perawatan penunjang termasuk pemantauan, manajemen cairan, serta pengenalan
dini dan tata laksana terhadap adanya komplikasi (perdarahan usus, perforasi dan gangguan
hemodinamik).
Pengobatan akan berhasil dengan baik bila penegakan diagnosis dilakukan dengan tepat.
Demam lebih dari 7 hari disertai gejala gastointestinal, pada anak usia di atas 5 tahun, tanpa
gejala penyerta lain, dapat dicurigai menderita demam tifoid.
Pemilihan antibiotik sebelum dibuktikan adanya infeksi Samonella dapat dilakukan
secara empiris dengan memenuhi kriteria berikut (1) spektrum sempit, (2) penetrasi ke jaringan
cukup, (3) cara pemberian mudah untuk anak, (4) tidak mudah resisten, (5) efek samping
minimal, dan (6) adanya bukti efikasi klinis.
Saat redanya demam (time of fever defervescence) merupakan parameter keberhasilan
pengobatan, dan saat tersebut menentukan efektifitas antibiotik. Bila suhu turun, berarti
membaik, sedang bila menetap mungkin ada infeksi lain, komplikasi, atau kuman penyebab
adalah MDRST (multidrug resistant S.typhi)
Penggunaan antibiotik yang dianjurkan selama ini adalah sebagai berikut :
Lini pertama
Kloramfenikol, masih merupakan pilihan pertama dalam urutan antibiotik, diberikan
dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari secara intravena dalam 4 dosis selama 10-14
hari. Banyak penelitian membuktikan bahwa obat ini masih cukup sensitif untuk
Salmonella typhi namun perhatian khusus harus diberikan pada kasus dengan
leukopenia (tidak dianjurkan pada leukosit <2000/ul)>
Ampisilin dengan dosis 150-200 mg/kgBB/hari diberikan peroral/iv selama 14 hari,
atau
Kotrimoksazol dengan dosis 10 mg/kgBB/hari trimetoprim, dibagi 2 dosis, selama 14
hari.
Lini ke dua, diberikan pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan S.typhi yang resisten
terhadap berbagai obat (MDR=multidrug resistance), yang terdiri atas :
Seftriakson dengan dosis 50-80 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 10 hari .
Penyembuhan sampai 90% juga dilaporkan pada pengobatan 3-5 hari.
Sefiksim dengan dosis 10-12 mg/kgBB/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama 14
hari, adalah alternatif pengganti seftriakson yang cukup handal.
Florokinolon dilaporkan lebih superior daripada derivat sefalosporin diatas, dengan
angka penyembuhan mendekati 100% dalam kesembuhan kinis dan bakteriologis,
di samping kemudahan pemberian secara oral. Namun pemberian obat ini masih
kontroversial dalam pemberian untuk anak mengingat adanya pengaruh buruk
terhadap pertumbuhan kartilago.
Siprofloksasin, 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis, sudah dipakai untuk pengobatan.
Demam biasanya turun dalam 5 hari. Lama pemberian obat dianjurkan 2-10 hari.
Penggunaan obat-obat ini dianjurkan pada kasus demam tifoid dengan MDR.
Asitromisin dengan pemberian 5-7 hari juga telah dicoba dalam beberapa penelitian
dengan hasil baik, berupa penurunan demam sebelum hari ke 4. Aztreonam juga
diuji pada beberapa kasus demam tifoid pada anak dengan hasil baik, namun tidak
dianjurkan sebagai pengobatan lini pertama.
Pengobatan suportif akan sangat sangat menentukan keberhasilan pengobatan demam
tifoid dengan antibiotik. Pemberian cairan dan kalori yang adekuat sangat penting. Penderita
demam tifoid sering menderita demam tinggi, anoreksia dan diare, sehingga keseimbangan
cairan sangat penting diperhatikan. Pemberian antipiretik masih kontroversial, di satu pihak
demam diperlukan untuk efektifitas respons imun dan pemantauan keberhasilan pengobatan,
namun di pihak lain ketakutan akan terjadinya kejang dan kenyamanan anak terganggu, sering
membutuhkan pemberian antipiretik. Dianjurkan pemberian antipiretik bila suhu di atas 38,5ºC.
Terapi dietetik pada anak dengan demam tifoid tidak seketat penderita dewasa. Makanan
bebas serat dan mudah dicerna dapat diberikan. Setelah demam turun, dapat diberikan makanan
lebih padat dengan kalori yang adekuat.
Pengobatan terhadap demam tifoid dengan antibiotik memerlukan acuan data adanya
angka kejadian demam tifoid yang bersifat MDR. Pemberian kortikosteroid juga dianjurkan pada
demam tifoid berat, misalnya bila ditemukan status kesadaran delir, stupor, koma, ataupun syok.
Deksametason diberikan dengan dosis awal 3 mg/kbBB, diikuti dengan 1 mg/kgBB setiap 6 jam
selama 2 hari.
Pencegahan terhadap demam tifoid dilakukan dengan memperbaiki sanitasi lingkungan
dan perilaku sehari-hari, serta imunisasi secara aktif dengan vaksin terhadap demam tifoid.
Beberapa jenis vaksin telah beredar di Indonesia saat ini.
7. Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus
memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di
dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57ºC untuk beberapa menit atau dengan proses
iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57ºC beberapa menit dan secara merata juga dapat
mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung
pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat
kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka
kejadian demam tifoid.
8. Vaksin Demam Tifoid
Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman
yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi
kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan
interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin ini diberikan pada
anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan
secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.
9. Prognosis
Penyembuhan sempurna adalah peran pada anak sehat yang berkembang gastroenteritis
Salmonella. Bayi muda dan penderita dengan gangguan imun sering mempunyai keterlibatan
sistemik, dalam perjalanan penyakit yang lama, dan komplikasi. Prognosis jelek pada anak
dengan meningitis Salmonella (angka mortalitas 50%) atau endokarditis.

KESIMPULAN
Tatalaksana kasus demam tifoid pada anak harus didasari strategi yang sesuai dengan
patogenesis penyakti tersebut. Kegagalan pengobatan tidak selalu berarti antibiotik yang
diberikan sudah resisten, dapat juga merupakan kesalahan strategi sejak awal tata laksana dalam
diagnosis sampai pemantauan

DAFTAR PUSTAKA
1. Widodo Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi
dan Penyakit Tropis. Edisi pertama. 2002. Jakarta ;Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI:
367-375
2. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama. 2003. Jakarta ;Ikatan Dokter Anak Indonesia: 37-46

You might also like