Professional Documents
Culture Documents
Suatu perkawinan dimana wanita itu tidak hamil terlebih dahulu karena sesuatu hal, maka
berlaku ketentuan. Bahwa apabila seorang anak dilahirkan sebelum lewat 180 hari, setelah
hari pernikahan orang tuanya. Maka orang tuanya berhak menyangkal sahnya anak itu, tapi
jika ayahnya mengetahui bahwa istrinya mengandung sebelum pernikahan dilangsungkan
atau jika ia hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran, dan turut ditandai tangani olehnya
maka dalam hal tersebut ayah dianggap telah menerima dan mengakui anak yang hadir itu
sebagai anaknya sendiri.
Meskipun terhadap anak yang lahir itu telah mendapat pengakuan dari orang tuanya, tapi
status anak itu belum dikatakan anak sah menurut undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 24.
Dengan demikian, agar supaya terhadap anak yang dilahirkan oleh ibunya dan mendapat
pengakuan ayahnya maka peristiwa pengakuan anak itu sangat penting, dari suatu lembaga
yang berwewenang yang merupakan langkah lebih lanjut dari pengakuan orang tuanya tadi,
maka status anak tersebut menjadi sama dengan anak sah dalam segala hal.
Karena secara biologis tidak mungkin seorang anak tidak mempunyai ayah, maka demi
kepentingan hukum yang menyangkut segala akibatnya di bidang pewarisan,
kewarganegaraan, perwalian, dan sebagainya. Maka melalui perwalian dan pengesahan anak
ini ditimbulkan hukum perdata baru.
Peristiwa pengakuan, pengesahan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam tetapi harus
dilakukan di muka pegawai pencatatan, dengan percatatan dalam akta kelahiran, atau dalam
akta perkawinan orang tuanya (yang berakibat pengesahan) atau dalam akta tersendiri dari
pegawai pencatatan sipil (Viktor, M. Situmorang SH. 19991: 42-43)luar nikah yang disahkan
merupakan perbuatan untuk meletakkan hubungan hukum antara anak dan orang tua yang
menyakininya. Pengesahan hanya terjadi dengan perkawinan orang tuanya yang telah
mengakuinya lebih dulu atau mengakuinya pada saat perkawinan dilangsungkan. Anak luar
kawin ini dapat diakui dan disahkan menurut ketentuan undang-undang yang sudah ada
(Erkening dan Wetting) (Prof. R. Subekti SH. 1993: 19).
Pengakuan terhadap anak luar kawin yang dilakukan oleh seorang anak yang belum dewasa,
adalah tanpa guna, kecuali telah mencapai umur 10 tahun dan pengakuan yang dilakukannya
pun bukan akibat paksa, khilaf, tipu, atau bujuk. Suatu pengakuan selama hidup ibunya, tidak
akan dapat diterima sebelum itu menyetujuinya, jika anak itu dialami setelah ibunya
meninggal maka akibat ada pada bapaknya, dalam hal ini pengakuan akan membuat
keterangan dan kebahagiaan anak untuk masa depannya (KUHP, 2006: 65)
Mengakui seorang anak yang lebih duluan perkawinan atau meminta Curatele terhadap
ayahnya ia dapat lakukan sendiri tanpa suami, begitu pula kalau hanya memangku jabatan ia
harus meminta persetujuan kuasa dahulu dari suaminya, sebab mungkin membawa akibat
bagi kekayaan sendiri.
Anak yang lahir di luar perkawinan “Naturalijk Kind“ diakui/tidak oleh orang tuanya,
menurut BW dengan adanya keturunan diluar perkawinan saja, belum terjadi hubungan
keluarga antara anak dengan orang tuanya, tapi dengan pengakuan (erkening) lahirlah suatu
pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya (terutama hak mawaris) antara anak dan
keluarga yang mengakuinya, tapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dan keluarga si
ayah/ibu yang mengakuinya belum juga ada. Hubugan itu hanya diletakkan dengan
“pengesahan” sebagai pelengkap dari pada pengakuan tersebut. Maka dilakukan melalui surat
pengesahan (Beriven Van Vetting). Dengan demikian anak di luar kawin tersebut sudah sah
menurut Hukum (Prof. Subekti SH. 1982: 30, 50).
Menurut hukum adat apabila isteri melahirkan anak sebagai akibat hubungan gelap dengan
laki-laki bukan suaminya, maka si suami menjadi ayah dari anak yang lahir tadi, kecuali
apabila suami berdasar alasan-alasan yang diterima oleh masyarakat hukum adat. Hukum
adat mempunyai berbagai cara untuk mengatasi hal tersebut. Yaitu; ada lembaga kawin paksa
bagi laki-laki yang menyebabkan kehamilan si wanita, dan terhadapnya dapat dijatuhi hukum
adat, apabila tidak dipatuhinya.
Anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai ikatan kekeluargaan menurut hukum
dengan yang menikahinya, Oleh karena itu, anak hanya mewarisi dari ibunya seperti
dikatakan S A Hakim SH di dalam hukum adat perorangan, perkawinan dan pewarisan.
Menurut hukum Islam, anak di luar kawin tidak dapat diakui maupun dipisahkan oleh
bapaknya (bapak alamnya). Anak-anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan
ibunya tetapi si anak tetap mempunyai ibu yang melahirkannya, dengan pengertian bahwa
antara anak dan ibu itu ada hubungan hukum dan sama seperti halnya dengan anak sah yang
mempunyai bapak. Hakikat hukum Islam tersebut anak di luar kawin termasuk anak tidak
sah. Meskipun orang tuanya telah melakukan pengakuan atau pengesahan tapi karena akibat
anak itu lahir di luar perkawinan orang tuanya tetap saja pandangan masyarakat bahwa anak
tersebut tidak sah.
Jika kita dari hukum perdata yang tercantum dalam BW, kita akan melihat adanya tiga
tingkatan status hukum dari pada anak di luar perkawinan:
1. Anak di luar perkawinan anak itu belum diakui oleh orang tuanya
2. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tuanya
3. Anak di luar perkawinan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang tuanya
melangsungkan perkawinan sah.
Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya
terutama hak mawaris, jadi hampir sama dengan status kekeluargaan dengan anak sah, hanya
perbedaannya anak luar kawin tersebut tidak ada hubungannya dengan ayahnya, sebagai yang
membangkitkannya. Sebaliknya, anak sah mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta hubungan perdata dengan ayah/keluarga ayahnya (Sodharyo Saimin,
SH. 2002 : 39-41)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-
Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan
menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang
bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor
Catatan Sipil (KCS).
Perbuatan KCS ini jelas bertentangan dengan keputusan-keputusan yang telah ada dan
bertentangan pula dengan pasal 16 ayat 2 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi dengan UU No. 7 tahun 1984
yang intinya menyatakan kewajiban bagi negara peserta, termasuk Indonesia, menetapkan
usia minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran perkawinan di Kantor
Catatan Sipil yang resmi.
Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara
perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau
Kantor Catatan Sipil.
b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain
dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau
keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata
dengan ayahnya tidak ada.
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun
warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha
Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria
Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil
hubungan kedua pasangan tersebut.
4. sahnya perkawinan
Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa
dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau untuk menghilangkan jejak
dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman adiministrasi dari atasan, terutama untuk
perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak
dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Syiri’).
Dalam menikah dalam ajaran agama islam ada aturan yang perlu dipatuhi oleh calon
mempelai serta keluarganya agar perkawinan yang dilakukan sah secara agama sehingga
mendapat ridho dari Allah SWT. Untuk itu mari kita pahami dengan seksama aturan, rukun,
pantangan dan persayaratan dalam suatu perkawinan.
5. pengesahan perkawinan
Bagi ummat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang belum
tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan Itsbat Nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam
pasal 7 ayat 2 dan 3 dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
Namun sayangnya, salah satu syarat dalam pengajuan permohonan itsbat nikah adalah
harus diikuti dengan gugatan perceraian. Dan syarat lainnya adalah jika perkawinan itu
dilaksanakan sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974. Ini berarti bahwa perkawinan
yang dilaksanakan setelah berlakunya UU tersebut mau tidak mau harus disertai dengan
gugatan perceraian.
Tentu ini sangat sulit bagi pasangan yang tidak menginginkan perceraian. Selain itu proses
yang akan dijalanipun akan memakan waktu yang lama.
**
Analisis
Ada kalanya ibu yang tidak kawin melahirkan anak kalau itu terjadi, maka dalam hubungan
hukum seorang anak itu hanya mempunyai ibu, sebagai penerus orang tuanya. Sebagai
konsekuensi dari kelahiran anak tersebut. Maka kedua orang tuanya wajib memelihara dan
pendidikan anak-anak mereka sebaik-baiknya. Dan begitu juga wajib menghormati dan
mentaati kehendak mereka.
Meskipun orang tua tidak sempat melakukan pengakuan atau pengesahan terhadap anak
tersebut karena mereka meninggal di dunia sebelum melakukan hal tersebut. Maka tetap akan
tampil sebagai ahli waris dari kedua orang tuanya, yang telah meninggal dunia. Namun dalam
hal kewarisan acapkali terjadi hal-hal yang menyulitkan ahli waris yang sebenarnya, tapi
karena adanya pihak ketiga atau pihak hukum yang dapat menemukan titik terang dari
masalah ini.
Kemudian untuk status anak tidak sah akan dipersamakan dengan kedudukan anak sah
apabila pengakuan/pengesahan dan akan telah dilangsungkan perkawinan oleh kedua orang
tuanya, untuk lebih mempermudah akibat-akibat yang akan ditimpalkan oleh anak di luar
kawin tersebut. Baik dari segi kewarisan atau karena sebab lain (hubungan keluarga).