You are on page 1of 9

SYARAT SAH PERKAWINAN

Suatu perkawinan dimana wanita itu tidak hamil terlebih dahulu karena sesuatu hal, maka
berlaku ketentuan. Bahwa apabila seorang anak dilahirkan sebelum lewat 180 hari, setelah
hari pernikahan orang tuanya. Maka orang tuanya berhak menyangkal sahnya anak itu, tapi
jika ayahnya mengetahui bahwa istrinya mengandung sebelum pernikahan dilangsungkan
atau jika ia hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran, dan turut ditandai tangani olehnya
maka dalam hal tersebut ayah dianggap telah menerima dan mengakui anak  yang hadir itu
sebagai anaknya sendiri.

Meskipun terhadap anak yang lahir itu telah mendapat pengakuan dari orang tuanya, tapi
status anak itu belum dikatakan anak sah menurut undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 24.
Dengan demikian, agar supaya terhadap anak yang dilahirkan oleh ibunya dan mendapat
pengakuan ayahnya maka peristiwa pengakuan anak itu sangat penting, dari suatu lembaga
yang berwewenang yang merupakan langkah lebih lanjut dari pengakuan orang tuanya tadi,
maka status anak tersebut menjadi sama dengan anak sah dalam segala hal.

Karena secara biologis tidak mungkin seorang anak tidak mempunyai ayah, maka demi
kepentingan hukum yang menyangkut segala akibatnya di bidang pewarisan,
kewarganegaraan, perwalian, dan sebagainya. Maka melalui perwalian dan pengesahan anak
ini ditimbulkan hukum perdata baru.

Peristiwa pengakuan, pengesahan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam tetapi harus
dilakukan di muka pegawai pencatatan, dengan percatatan dalam akta kelahiran, atau dalam
akta perkawinan orang tuanya (yang berakibat pengesahan) atau dalam akta tersendiri dari
pegawai pencatatan sipil (Viktor, M. Situmorang SH. 19991: 42-43)luar nikah yang disahkan
merupakan perbuatan untuk meletakkan hubungan hukum antara anak dan orang tua yang
menyakininya. Pengesahan hanya terjadi  dengan perkawinan orang tuanya yang telah
mengakuinya lebih dulu atau mengakuinya pada saat perkawinan dilangsungkan. Anak luar
kawin ini dapat diakui dan disahkan menurut ketentuan undang-undang yang sudah ada
(Erkening dan Wetting) (Prof. R. Subekti SH. 1993: 19).

Pengakuan terhadap anak luar kawin yang dilakukan oleh seorang anak yang belum dewasa,
adalah tanpa guna, kecuali telah mencapai umur 10 tahun dan pengakuan yang dilakukannya
pun bukan akibat paksa, khilaf, tipu, atau bujuk. Suatu pengakuan selama hidup ibunya, tidak
akan dapat diterima sebelum itu menyetujuinya, jika anak itu dialami setelah ibunya
meninggal maka akibat ada pada bapaknya, dalam hal ini pengakuan akan membuat
keterangan dan kebahagiaan anak untuk masa depannya (KUHP, 2006: 65)

Mengakui seorang anak yang lebih duluan perkawinan atau meminta Curatele terhadap
ayahnya ia dapat lakukan sendiri tanpa suami, begitu pula kalau hanya memangku jabatan ia
harus meminta persetujuan kuasa dahulu dari suaminya, sebab mungkin membawa akibat
bagi kekayaan sendiri.

Anak  yang lahir di luar perkawinan “Naturalijk Kind“ diakui/tidak oleh orang tuanya,
menurut BW dengan adanya keturunan diluar perkawinan saja, belum terjadi hubungan
keluarga antara anak dengan orang tuanya, tapi dengan pengakuan (erkening) lahirlah suatu
pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya (terutama hak mawaris) antara anak dan
keluarga yang mengakuinya, tapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dan keluarga si
ayah/ibu yang mengakuinya belum juga ada. Hubugan itu hanya diletakkan dengan
“pengesahan” sebagai pelengkap dari pada pengakuan tersebut. Maka dilakukan melalui surat
pengesahan (Beriven Van Vetting). Dengan demikian anak di luar kawin tersebut sudah sah
menurut Hukum (Prof. Subekti SH. 1982: 30, 50).

Menurut hukum adat apabila isteri melahirkan anak sebagai akibat hubungan gelap dengan
laki-laki bukan suaminya, maka si suami menjadi ayah dari anak yang lahir tadi, kecuali
apabila suami berdasar alasan-alasan yang diterima oleh masyarakat hukum adat. Hukum
adat mempunyai berbagai cara untuk mengatasi hal tersebut. Yaitu; ada lembaga kawin paksa
bagi laki-laki yang menyebabkan kehamilan si wanita, dan terhadapnya dapat dijatuhi hukum
adat, apabila tidak dipatuhinya.

Anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai ikatan kekeluargaan menurut hukum
dengan yang menikahinya, Oleh karena itu, anak hanya mewarisi dari ibunya seperti
dikatakan  S A Hakim SH di dalam hukum adat perorangan, perkawinan dan pewarisan.

Menurut hukum Islam, anak di luar kawin tidak dapat diakui maupun dipisahkan oleh
bapaknya (bapak alamnya). Anak-anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan
ibunya tetapi si anak tetap mempunyai ibu yang melahirkannya, dengan pengertian bahwa
antara anak dan ibu itu ada hubungan hukum  dan sama seperti halnya dengan anak sah yang
mempunyai bapak. Hakikat hukum Islam tersebut anak di luar kawin termasuk anak tidak
sah. Meskipun orang tuanya telah melakukan pengakuan atau pengesahan tapi karena akibat
anak itu lahir di luar perkawinan orang tuanya tetap saja pandangan masyarakat bahwa anak
tersebut tidak sah.

Jika kita dari  hukum perdata yang tercantum dalam BW, kita akan melihat adanya tiga
tingkatan status hukum dari pada anak di luar perkawinan:

1. Anak di luar perkawinan anak itu belum diakui oleh orang tuanya
2. Anak  di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tuanya
3. Anak di luar perkawinan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang tuanya
melangsungkan perkawinan sah.

Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya
terutama hak mawaris, jadi hampir sama dengan status kekeluargaan dengan anak sah, hanya
perbedaannya anak luar kawin tersebut tidak ada hubungannya dengan ayahnya, sebagai yang
membangkitkannya. Sebaliknya, anak sah mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta hubungan perdata dengan ayah/keluarga ayahnya (Sodharyo Saimin,
SH. 2002 : 39-41)

Pentingnya pencatatan perkawinan

1. Dasar hukum pencatatan perkawinan

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-
Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan
menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang
bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor
Catatan Sipil (KCS).

2.pencatatan bagi penganut kepercayaan


Sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas tentang pencatatan perkawinan bagi
penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta (PTUN) dalam putusannya nomor 024/G.TUN/1997. PTUN Jkt,
menyatakan bahwa KCS tidak berwenang menolak pencatatan penganut kepercayaan.
Sampai saat ini ternyata KCS tidak mau melaksanakan putusan-putusan tersebut dan KCS
menyatakan tunduk pada keputusan Menteri Dalam Negeri yang pada pokoknya melarang
KCS mencatat perkawinan penganut kepercayaan.

Perbuatan KCS ini jelas bertentangan dengan keputusan-keputusan yang telah ada dan
bertentangan pula dengan pasal 16 ayat 2 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi dengan UU No. 7 tahun 1984
yang intinya menyatakan kewajiban bagi negara peserta, termasuk Indonesia, menetapkan
usia minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran perkawinan di Kantor
Catatan Sipil yang resmi.

3. akibat hukum tidak di catatnya perkawinan

a. Perkawinan Dianggap tidak Sah

Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara
perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau
Kantor Catatan Sipil.

b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu

Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain
dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau
keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata
dengan ayahnya tidak ada.

c. Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan

Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun
warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha
Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria
Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil
hubungan kedua pasangan tersebut.

4. sahnya perkawinan

Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing


agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Ini berarti bahwa jika
suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah
dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau
ritual lainnya (bagi yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di
mata agama dan kepercayaan masyarakat.

Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa
dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau untuk menghilangkan jejak
dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman adiministrasi dari atasan, terutama untuk
perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak
dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Syiri’).

Mon, 10/08/2009 - 12:33am — godam64

Dalam menikah dalam ajaran agama islam ada aturan yang perlu dipatuhi oleh calon
mempelai serta keluarganya agar perkawinan yang dilakukan sah secara agama sehingga
mendapat ridho dari Allah SWT. Untuk itu mari kita pahami dengan seksama aturan, rukun,
pantangan dan persayaratan dalam suatu perkawinan.

A. Syarat-Syarat Sah Perkawinan/Pernikahan

1. Mempelai Laki-Laki / Pria


- Agama Islam
- Tidak dalam paksaan
- Pria / laki-laki normal
- Tidak punya empat atau lebih istri
- Tidak dalam ibadah ihram haji atau umroh
- Bukan mahram calon istri
- Yakin bahwa calon istri halal untuk dinikahi
- Cakap hukum dan layak berumah tangga
- Tidak ada halangan perkawinan

2. Mempelai Perempuan / Wanita


- Beragama Islam
- Wanita / perempuan normal (bukan bencong/lesbian)
- Bukan mahram calon suami
- Mengizinkan wali untuk menikahkannya
- Tidak dalam masa iddah
- Tidak sedang bersuami
- Belum pernah li'an
- Tidak dalam ibadah ihram haji atau umrah

3. Syarat Wali Mempelai Perempuan


- Pria beragama islam
- Tidak ada halangan atas perwaliannya
- Punya hak atas perwaliannya

4. Syarat Bebas Halangan Perkawinan Bagi Kedua Mempelai


- Tidak ada hubungan darah terdekat (nasab)
- Tidak ada hubungan persusuan (radla'ah)
- Tidak ada hubungan persemendaan (mushaharah)
- Tidak Li'an
- Si pria punya istri kurang dari 4 orang dan dapat izin istrinya
- Tidak dalam ihram haji atau umrah
- Tidak berbeda agama
- Tidak talak ba'in kubra
- Tidak permaduan
- Si wanita tidak dalam masa iddah
- Si wanita tidak punya suami

5. Syarat-Syarat Syah Bagi Saksi Pernikahan/Perkawinan


- Pria / Laki-Laki
- Berjumlah dua orang
- Sudah dewasa / baligh
- Mengerti maksud dari akad nikah
- Hadir langsung pada acara akad nikah

6. Syarat-Syarat/Persyaratan Akad Nikah Yang Syah :


- Ada ijab (penyerahan wali)
- Ada qabul (penerimaan calon suami)
- Ijab memakai kata nikah atau sinonim yang setara.
- Ijab dan kabul jelas, saling berkaitan, satu majelis, tidak dalam ihrom haji/umroh.

B. Rukun-Rukun Pernikahan/Perkawinan Sah


- Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita
- Ada wali pengantin perempuan
- Ada dua orang saksi pria dewasa
- Ada ijab (penyerahan wali pengantin wanita) dan ada qabul (penerimaan dari pengantin
pria)

C. Pantangan / Larangan-Larangan Dalam Pernikahan/Perkawinan


- Ada hubungan mahram antara calon mempelai pria dan wanita
- Rukun nikah tidak terpenuhi
- Ada yang murtad keluar dari agama islam

D. Menurut Undang-Undang Perkawinan

-Perkawinan/pernikahan didasari persetujuan kedua calon mempelai


- Bagi calon yang berusia di bawah 21 tahun harus punya izin orang tua atau wali yang masih
ada hubungan darah dalam garis keturunan lurus atau melalui putusan pengadilan
- Umur atau usia minimal untuk menikah untuk pria/laki-laki berusia 19 tahun dan untuk
wanita/perempuan berumur paling tidak 16 tahun.

5. pengesahan perkawinan

Bagi ummat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang belum
tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan Itsbat Nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam
pasal 7 ayat 2 dan 3 dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
Namun sayangnya, salah satu syarat dalam pengajuan permohonan itsbat nikah adalah
harus diikuti dengan gugatan perceraian. Dan syarat lainnya adalah jika perkawinan itu
dilaksanakan sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974. Ini berarti bahwa perkawinan
yang dilaksanakan setelah berlakunya UU tersebut mau tidak mau harus disertai dengan
gugatan perceraian.

Tentu ini sangat sulit bagi pasangan yang tidak menginginkan perceraian. Selain itu proses
yang akan dijalanipun akan memakan waktu yang lama.

KONTROVERSI tentang sah dan pencatatan perkawinan telah menjadi


sangat memprihatinkan, karena makin menjadi melebar, sehingga kepastian
hukum menjadi taruhannya. Perbedaan pendapat yang terjadi, baik pada
birokrat maupun pada penegak hukum menjadi semakin rancu, kasihannya yang
menjadi korban adalah masyarakat umum.

Pertanyaan yang timbul adalah: kapankah perkawinan itu diakui


sebagai perkawinan yang sah? Apakah pada waktu pelangsungan perkawinan yang
dilangsungkan menurut tatacara masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaannya itu? Ataukah pada waktu Pencatatan Perkawinan dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan?

Undang-undang secara eksplisit melalui Pasal 2 Ayat (1)


menentukan: "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Ketentuan yang sudah jelas
ini bahkan diperjelas oleh ketentuan di dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal
yang bunyinya: "dengan perumusan pada Pasal 2 Ayat (1) ini, tidak ada
perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kecercayaannya itu,
sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945; yang dimaksud dengan hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya
itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-undang ini".

Kemudian Ayat (2) Pasal 2 UU No. 1/74, menentukan: "tiap-tiap


perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku", namun di dalam
penjelasan Pasal Demi Pasal tidak dijelaskan lebih lanjut tentang
perdaftaran ini. Selanjutnya setahun kemudian yaitu pada tahun 1975,
diundangkan peraturan pelaksanaan dari UU No. 1/74 itu, yang dikenal dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP No. 9/75).

Pasal 2 PP No. 9/75, menentukan tentang lembaga Pencatatan


Perkawinan yang berbeda bagi yang beragama Islam dan non-Islam.

Bagi yang beragama Islam pencatatan perkawinannya dilakukan oleh


Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32
tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan
Agama. Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Percatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam
berbagai perundang-undangan mengenai percatatan perkawinan.

Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 2 PP No. 9/75 ini,


menentukan: "dengan adanya ketentuan tersebut dalam Pasal ini, maka "
pencatatan" perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai
Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan Kantor Catatan Sipil atau
Instansi/Pejabat yang membantunya".

Jadi kedua lembaga itu, berfungsi "hanya mencatatkan" perkawinan


yang telah dilangsungkan secara sah.

Harus diakui ketentuan yang mengatur tentang sah dan pencatatan


perkawinan kurang jelas, sehingga dalam praktik seringkali menimbulkan
berbagai interpretasi, yang menyebabkan kepastian hukum menjadi taruhannya.

Terdapat beberapa masalah tentang penentuan sahnya perkawinan


yang membawa implikasi pada pencatatannya, dalam tulisan ini hanya akan
dibahas tentang kapan waktu sahnya perkawinan itu diakui. Apakah waktu
perkawinan itu dilangsungkan secara sah menurut masing-masing hukum agamanya
dan kepercayaannya itu? Ataukah pada waktu pencatatan? Masalah ini tentunya
tidak ada, apabila waktu pelangsungan perkawinan dan waktu pencatatan
perkawinan dilakukan pada hari yang sama. Menjadi masalah apabila terdapat
perbedaan waktu antara pelangsungan perkawinan yang dilakukan dengan
tatacara masing-masing hukum agamanya dan kepercataannya itu, dengan waktu
pencatatan perkawinan.

**

MEREKA yang melangsungkan perkawinan menurut tatacara Agama


Islam, hampir semuanya dilakukan oleh Kadi yang juga Pegawai dari Kantor
Urusan Agama (KUA), yang kemudian akan mencatatkan perkawinan yang
dilangsungkannya di Buku Daftar Pencatatan Perkawinan dan selanjutnya
dikeluarkanlah "buku nikah" dan tercantum hari, tanggal dan tahun waktu
perkawinan dilangsungkan, dalam arti tidak ada perbedaan antara waktu
pelangsungan perkawinan dan waktu pencatatan.

Namun, bagi mereka yang bukan pemeluk Agama Islam, tentunya


dapat saja terjadi perbedaan waktu antara pelangsungan perkawinan dan
pecatatan perkawinan, karena dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda, meski
pun banyak yang dilakukan berbarengan, tetapi tidak kurang banyaknya yang
dilakukan pada waktu yang berbeda. Justru karena dilakukan di dua lembaga
yang berbeda, cenderung terdapat perbedaan waktu antara pelangsungan
perkawinan di lembaga agama dan kepercayaan dengan lembaga pencatatan
perkawinan.

Apabila perbedaan waktu antara pelangsungan dan pencatatan hanya


beberapa hari saja, tentunya pun tidak menimbulkan perbedaan yang besar,
namun apabila perbedaannya sangat besar, bahkan ada yang bertahun-tahun,
maka akan menimbulkan masalah.
Terhadap anak-anak yang lahir dari pasangan yang telah
melangsungkan perkawinan secara sah menurut masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaannya itu tetapi belum dicatatkan, tidak menjadi masalah, sebab
begitu bapak dan ibu dari anak-anak itu mencatatkan perkawinan, maka
anak-anak yang dilahirkan menjadi anak yang disahkan dan mempunyai kedudukan
yang sama dengan anak sah.

Akan timbul masalah apabila di dalam perkawinan yang telah


dilangsungkan secara sah itu tetapi belum dicatatkan, telah terbentuk harta
bersama, ketentuan dari Pasal 35 UU No. 1/74 menentukan: harta yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

Kalau perkawinan itu diakui sah pada waktu pencatatan, maka


perkawinan yang belum dicatat itu dianggap tidak sah secara hukum, ini lucu
jadinya. Sebab jelas UU No. 1/74 melalui Pasal 2 Ayat (1), menentukan sahnya
perkawinan pada waktu dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaannya itu.

Ketentuan ini membawa implikasi bahwa sahnya perkawinan pada


waktu dilangsungkan menurut tatacara masing-masing hukum agama dan
kepercayaannya itu. Memang Ayat (2) Pasal 2 UU No. 1/74 menentukan:
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pertanyaannya apa fungsi dari pencatatan perkawinan? Kalau


ditelusuri Penjelasan Umum dari UU No. 1/74, poin 4 (b) Ayat (2),
ditentukan: "Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte
resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan".

Menafsirkan ketentuan di atas, maka perkawinan adalah suatu


peristiwa penting dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran dan kematian,
dalam arti waktu perkawinan yang sah itulah waktu yang penting untuk
dicatatkan, bukan waktu kapan dicatatkan itu menjadi penting untuk diakui
sebagai waktu dilangsungkannya perkawinan, sebab waktu pencatatan adalah
hanya bersifat adminstratif.

Penafsiran di atas adalah analog dengan pencatatan kelahiran dan


kematian, bukan waktu pencatatan kelahiran dan kematian yang dipakai sebagai
waktu terjadinya kelahiran dan kematian, tetapi waktu kapan dilahirkan dan
kapan waktu kematian berlangsung, yang dipakai sebagai "waktu lahir" dan "
waktu mati".

Jadi berdasarkan dengan persamaan dengan kelahiran dan kematian,


demikian pula dengan perkawinan, kapan waktu sahnya perkawinan dilangsungkan
menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itulah yang harus
diakui sebagai "waktu kawin", bukan kapan waktu prerkawinan yang sah itu
dicatatkan.

6. Catatkan perkawinan anda

Pencatatan perkawinan amatlah penting, terutama untuk mendapatkan hak-hak Anda,


seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak Anda. Jadi sebaiknya, sebelum Anda
memutuskan menjalani sebuah perkawinan di bawah tangan (nikah syiri’), pikirkanlah
terlebih dahulu. Jika masih ada kesempatan untuk menjalani perkawinan secara resmi,
artinya perkawinan menurut negara yang dicatatkan di KUA atau KCS, pilihan ini jauh
lebih baik. Karena jika tidak, ini akan membuat Anda kesulitan ketika menuntut hak-hak
Anda.

Analisis

Ada kalanya ibu yang tidak kawin melahirkan anak kalau itu terjadi, maka dalam hubungan
hukum seorang anak itu hanya mempunyai ibu, sebagai penerus orang tuanya. Sebagai
konsekuensi dari kelahiran anak tersebut. Maka kedua orang tuanya wajib memelihara dan
pendidikan anak-anak mereka sebaik-baiknya. Dan begitu juga wajib menghormati dan
mentaati kehendak mereka.

Meskipun orang tua tidak sempat melakukan pengakuan atau pengesahan terhadap anak
tersebut karena mereka meninggal di dunia sebelum melakukan hal tersebut. Maka tetap akan
tampil sebagai ahli waris dari kedua orang tuanya, yang telah meninggal dunia. Namun dalam
hal kewarisan acapkali terjadi hal-hal yang menyulitkan ahli waris yang sebenarnya, tapi
karena adanya pihak ketiga atau pihak hukum yang dapat menemukan titik terang dari
masalah ini.

Kemudian untuk status anak tidak sah akan dipersamakan dengan kedudukan anak sah
apabila pengakuan/pengesahan dan akan telah dilangsungkan perkawinan oleh kedua orang
tuanya, untuk lebih mempermudah akibat-akibat yang akan ditimpalkan oleh anak di luar
kawin tersebut. Baik dari segi kewarisan atau karena sebab lain (hubungan keluarga).

You might also like