You are on page 1of 9

HUBUNGAN ANTARA OBJEK, PROSES DAN SASARAN

PADA DOMESTIKASI SATWA LIAR

I. PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayatinya.


Diperkirakan terdapat 38.000 spesies tumbuhan (55% endemik) di Indonesia, sedangkan untuk
keanekaragaman hewannya, diantaranya 515 spesies hewan menyusui (39% endemik), 511
spesies reptilia (30% endemik), 1531 spesies burung (20% endemik), dan 270 spesies amphibi
(40% endemik) (Indrawan Mochamad, dkk, 2007). Tingginya keanekaragaman hayati dan tingkat
endemisitasnya menempatkan Indonesia sebagai negara kedua terkaya keanekaragaman hayatinya
setelah Brasil.
Kekayaan tersebut ternyata belum memberikan dampak yang positif terhadap
kesejahteraan masyarakatnya. Jumlah tumbuhan, hewan maupun mikroba yang sudah diketahui
potensi dan kegunaannya serta dimanfaatkan oleh masyarakat masih sedikit. Pemanfaatan
sumberdaya hayati tersebut sebagian besar masih mengandalkan pasokan dari alam secara
langsung (misal: perburuan satwa, dan penebangan liar.) tanpa melalui proses budidaya, sehingga
mengancam kelestarian sumberdaya hayati di habitat alaminya. Satwa liar mempunyai potensi
yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi komoditi domestik. Upaya ini mempunyai alasan
yang kuat khususnya bagi Indonesia, pertama domestikasi akan dapat menjamin kelestarian
sumber genetic spesies bersangkutan, kedua, dalam upaya pelestarian, kita juga bisa
memanfaatkanya baik secara langsung maupun tidak langsung, ketiga, telah ada banyak upaya
yang merintis usaha budidaya satwa liar, meskipun dengan hasil yang belum memuaskan
misalnya burung (ayam hutan, merak, puyuh,dll), reptile (ular dan buaya), ungulata ( anoa, rusa,
banteng) dan ikan (arwana dan berbagai jenis ikan hias) (Alikodra, 2010).
Ironisnya, banyak penelitian untuk mengembangkan sumberdaya hayati khususnya sumber
pangan di daerah tropika justru dilakukan di negara-negara maju di daerah subtropis. Hal tersebut
merupakan tantangan bagi kita untuk secara terus menerus melakukan upaya domestikasi
tumbuhan dan hewan Indonesia untuk dijadikan tanaman dan ternak budidaya yang bernilai
ekonomis. Keberhasilan program domestikasi sangat menguntungkan karena sumber daya genetik
satwa liar akan lebih terjamin kelestariannya, keanekaragaman satwa liar dapat tetap
dipertahankan, menambah keanekaragaman hewan domestik sebagai sumber protein hewani,
membuka peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan peternakan satwa liar dan
meningkatkan pendapatan asli daerah. Sejarah membuktikan bahwa hewan domestik seperti
kambing, domba, sapi dan kerbau jauh lebih besar manfaatnya dan lebih lestari di alam dibanding
ketika hewan-hewan tersebut masih liar.

II. TUJUAN

Tujuan penulisan makalah ini adalah:


- Mengetahui hubungan antara objek, proses dan sasaran dalam domestikasi satwa liar

III.TINJAUAN PUSTAKA

Pada umunnya alasan utama manusia melakukan budidaya satwa liar ialah karena alasan
ekonomi. Nilai ekonomi satwa liar ini berasal dari bermacam-macam produk, misalnya: daging,
minyak, gading, tanduk, kulit ataupun bulunya, dan nilai keindahan, kekhasan atau kelangkaanya.
Pengembangan domestikasi satwa liar diharapkan mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas
komoditi, dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya dialam. Dari segi peningkatan
kuantitas, dapat segera dipakai secara langsung karena keberhasilan domestikasi satwa liar akan
meningkatkan keanekaragaman jenis-jenis hewan domestic. Sedangkan dari segi kualitas,
diharapkan mampu menyediakan bahan untuk perbaikan bahan yang langsung dikonsumsi.
Potensi ini dimiliki oleh satwa liar, karena keanekaragaman yang dimilikinya, sehingga
mempunyai potensi yang besar untuk mendapatkan bibit yang unggul.
Sesuai dengan kondisi geografis kepulauan Indonesia yang terletak diantara dua benua
besar Asia dan Australia, maka keadaan fauna Indonesia sangat dipengaruhi oleh fauna Asia dan
fauna Australia. Sejarah geologi, evolusi, sejarah fauna, dan keadaan letak geografis Indonesia
termasuk terbentuknya paparan Sunda dan paparan Sahul dimasa silam, telah menyebabkan
potensi kekayaan satwa liar Indonesia cukup beraneka ragam. Beberapa diantaranya termasuk
khas dan langka, sehingga perlu untuk dilindungi, dan beberapa diantaranya dapat dikembangkan
sebagai komoditi domestic. Garis Wallace yang ditarik dari sebelah timur Filipina melalui selat
Makasar dan selat Lombok, merupakan garis pembatas penyebaran fauna Asia dan fauna
Australia dikepulauan Indonesia.
Banyak diantara satwa liar Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk dikembangakan
menjadi komoditi domestik. Masalahnya adalah sampai sejauh mana persiapan kita menuju
kearah pengembangan tersebut. Ada beberapa persyaratan yang perlu dipersiapkan, diantaranya:
(1) peraturan perundangan, (2) pengetahuan ekologi satwaliar target, (3) teknologi domestikasi,
(4) tenaga terampil, dan (5) kesiapan masyarakat.
Program domestikasi satwa liar mempunyai tujuan ganda, yang disamping untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat (orientasi social, ekonomi, budaya, rekreasi) juga bertujuan
untuk menjamin kelestarian spesies bersangkutan. Kaidah-kaidah ekologi seperti biogeografi
fauna perlu dipertahankan dalam mengembangkan domestikasi satwa liar. Disamping itu
pandangan kebanyakan manusia yang sangat sempit terhadap satwa liar perlu diperluas, yaitu
disamping melihat segi manfaatnya secara langsung juga harus dipahami, bahwa satwa liar
mempunyai manfaat yang sangat penting bagi keseimbangan lingkungan (Alikodra, 2010).
Salah satu alasan yang sangat penting agar peternakan satwa liar dapat dikembangkan
adalah karena satwa liar mempunyai daya adaptasi yang lebih tinggi dari pada ternak. Proses
pengelolaannya jauh lebih mudah dan hasilnya sangat memuaskan. Satwa liar lebih efisien dalam
penggunaan lingkungannya, sehingga konversi vegetasi menjadi daging akan lebih evisien jika
dibandingan dengan ternak. (Alikodra, 2010)

Definisi

Domestikasi satwa liar adalah urutan proses pembentukan jenis (Speciation) dalam suatu
populasi yang semakin lama semakin disesuaikan dengan keadaan tidak liar, melalui mekanisme-
mekanisme genetika populasi, untuk mendekati/mencapai tuntutan kebutuhan manusia (Helvoort,
1986 dalam Alikodra, 2010).
Domestikasi sebagai proses perkembangan organisme yang dikontrol manusia, oleh Evans
(1996) dinyatakan mencakup perubahan genetik (tumbuhan) yang berlangsung berkesinambungan
semenjak dibudidayakan. Dengan demikian, domestikasi berkaitan dengan seleksi dan manajemen
oleh manusia, dan tidak hanya sekedar pemeliharaan saja. Spesies eksotik – organisme yang
dipindahkan dari habitat aslinya ke wadah budidaya, karakteristik genetiknya terubah dengan
maksud tertentu, atau sebaliknya, melalui pemeliharaan, seleksi dan manajemen genetik (Pullin,
1994). Dalam hal ini, mendomestikasi adalah menaturalisasikan biota ke kondisi manusia dengan
segala kebutuhan dan kapasitasnya.
Domestikasi hewan adalah sebuah proses panjang, yang memerlukan waktu lama serta
dana dan daya yang besar. Di dalamnya terlibat berbagai kegiatan penelitian yaitu : inventarisasi,
karakterisasi, kajian potensi, seleksi, penangkaran, dan pemuliaan untuk pemanfaatan
berkelanjutan.
Sejarah Domestikasi

Asal usul domestikasi sekurang kurangnya berlangsung sejak akhir abad Es (lebih kurang
12000 tahun yang lalu). Perkembangan domestikasi bertepatan saatnya dengan perubahan kondisi
ekonomi masyarakat dari kehidupan sebagai pemburu pengumpul menjadi cara-cara kehidupan
pertanian yang lebih menetap (maden) (Alikodra, 2010).
Perkembangan domestikasi yang begitu cepat dipengaruhi oleh pertambahan populasi
manusia yang dengan sendirinya mengakibatkan permintaan pemenuhan pangan menjadi lebih
meningkat. Selain domestikasi tumbuhan, manusia mulai mendomestikasi satwa untuk berbagai
keperluan seperti sumber daging, kulit, minyak tanduk dan juga untuk teman berburu serta ternak
pekerja. Sebagai contohnya, anjing adalah mamalia yang telah mengalami domestikasi dari
serigala sejak 15.000 tahun yang lalu atau mungkin sudah sejak 100.000 tahun yang lalu
berdasarkan bukti genetik berupa penemuan fosil dan tes DNA.
Menurut sejarahnya, ada tiga wilayah utama didunia yang berkaitan dengan domestikasi
yaitu:
1. Daerah Timur Tengah; terutama lembah Tigris/Eufrat di Mesopotamia
2. Timur Jauh
3. Daerah Amerika Tengah dan Selatan: pusatnya dimeksiko dan peru, yang menjadi pusat
kebudayaan besar dunia ketiga.

Tingkatan Domestikasi
Menurut Zairin (2003), ada beberapa tingkatan yang dapat dicapai manusia dalam upaya
penjinakan hewan ke dalam suatu sistem budidaya. Tingkatan dimaksud, sebagaimana
berlangsung contohnya pada ikan, adalah sebagai berikut.
1. Domestikasi sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidup ikan sudah dapat berlangsung
dalam sistem budidaya. Ikan asli Indonesia yang demikian dicontohkan oleh gurami
(Osphroneus gouramy), tawes (Puntius javanicus), kerapu, bandeng, dan kakap putih.
2. Domestikasi hampir sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidupnya dapat berlangsung
dalam sistem budidaya, tapi keberhasilannya masih rendah. Ikan asli Indonesia yang terjinakkan
sedemikian dicontohkan oleh betutu, balashark, dan arowana.
3. Domestikasi belum sempurna, yaitu apabila baru sebagian daur hidupnya dapat
berlangsung dalam sistem budidaya. Contohnya antara lain : ikan Napoleon (Cheilinus
undulatus), dan tuna.
Tingkatan kesempurnaan domestikasi hewan umumnya, sangat ditentukan oleh
pemahaman tentang keseluruhan aspek biologi dan ekologi hewan tersebut. Perilaku satwa liar
di habitat alaminya, daur hidup dan dinamika pertumbuhannya merupakan aspek biologi yang
antara lain menunjang keberhasilan domestikasi.

IV. METODE

Metode yang digunakan dalam pembahasan makalah ini adalah secara deskriptif dengan
melakukan studi leteratur.

V. PEMBAHASAN

Dalam ruang lingkup domestikasi, dapat dibedakaan adanya tiga unsure pokok yang saling
berkaitan yaitu obejek, proses dan sasaran. Satwa liar merupakan suberdaya alam, sebagai objek
yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai sasaran pengembangan yaitu meningkatkan kualitas dan
kuantitas komoditi domestic. Agar objek satwa liar dapat dimanfaatkan sebagai komoditi
domestic, diperlukan suatu proses domestikasi (Alikodra, 2010).

a. Objek
Objek dalam kegiatan domestikasi ini adalah satwa liar yang merupakan salah satu
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui.
Menurut Alikodra (2010), terdapat beberapa persyaratan suatu satwa liar layak dijadikan
komoditi domestikasi diantaranya adalah:
1. Spesies yang hidup dengan kawanan yang besar yang terdiri atas betina dan jantan dari
segala umur, yang hidup bersama dalam system hirarki.
2. Memiliki daya cerna makanan yang baik dan evisien.
3. Memiliki kemampuan adaptasi yang baik dengan lingkungan sekitar.
4. Memiliki tingakat reproduksi yang tinggi, dengan perbandingan dialam, angka natalitas
lebih tinggi dari mortalitas. Ukuran untuk tingkat reproduksi juga sangat diperhatikan
dalam domestikasi satwa liar.
5. Memiliki struktur morfologi dan fisiologi yang baik, dalam artian untuk produksi daging,
kulit dan minyak misalnya, suatu satwa liar yang menjadi sasaran domestikasi harus
dipastikan memiliki struktur morfologi yang menguntungkan, seperti memiliki bobot
badan yang besar.

Terdapat empat criteria yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan komoditi satwa
liar, (Alikodra, 2010) yaitu:
1. Objek (satwa liar): populasinya di alam masih mencukupi; keadaan spesies (ukuran badan,
prilaku) dan proses pemeliharaan serta pemanfaatannya tidak berbeda dengan ternak-
ternak yang ada; diperlukan untuk mencukupi kebutuhan eksport (kulit, tanduk, dan
sebagainya), dan mencukupi kebutuhan untuk kegemaran/hobi (berburu, binatang
kesayangan dan lain sebagainya).
2. Penguasaan ilmu dan teknologi: meliputi pengetahuan tentang ekologi satwa liar serta
teknologi yang dikuasai sesuai dengan perkembangan dunia.
3. Tenaga terampil: terutama untuk menggali data dasar ekologi, ataupun cara pengelolaan
pada proses domestikasi.
4. Masyarakat: social, budaya masyarakat untuk menerima produk/komoditi yang baru.

b. Proses

Game
Farming

Komoditi
Satwa liar
Domestik

Game
Ranching

Gambar 1. Diagram hubungan antara objek, proses, dan sasaran dalam rangka domestikasi satwa
liar (Alikodra, 2010).

Game ranching
Game ranching mempunyai dua arti yang berbeda (Robinson dan Bolen, 1984 dalam
Alokodra 2010). Pertama, suatu kegiatan penangkaran yang menghasilkan satwa liar (pada
umumnya jenis-jenis eksotik) untuk kepentingan olah raga berburu. Pengertian kedua adalah
kegiatan penangkaran satwa liar terutama untuk menghasilkan daging, kulit, atau pun binatang
kesayangan. Pola ini telah berkembang di Afrika, Amerika serikat, dan Australia.
Game ranching juga merupakan pengelolaan satwa liar secara ex situ. Hewan dilepas
dalam suatu habitat yang telah ditentukan. Tempat tersebut biasanya daerah yang tidak dapat
digunakan untuk pertanian tanaman pangan ataupun untuk peternakan (misalnya di daerah yang
curah hujannya rendah, berbukuit-bukit dsb). Dapat diusahakan oleh Pemerintah maupun swasta
(Israil, I dkk, 1998).

Game farming
Game farming adalah kegiatan penangkaran satwa liar untuk menghasilkan produk-
produk tertentu seperti tanduk, kulit bulu minyak, ataupun taring. Dalam proses ini, satwa liar
juga dijinakan sebagai ternak kerja seperti gajah di Burma yang digunakan tenaganya untuk
pengangkutan kayu dari hutan. Game farming telah diterapkan dibeberapa Negara seperti Ethopia
dan Taiwan (Alikodra, 2010).
Cara pengelolaan inilah yang menedekati ataupun menyerupai apa yang disebut
“peternakan”. Kalau kata “game” diganti dengan salah satu komoditi hewan (misalnya kancil)
maka pengelolaan tersebut akan menjadi “ Mouse deer Farming” atau “Peternakan kancil”.
Hewan dengan cara pengelolaan ini, dipelihara relatif lebih intensif. Produksinya diperjual
belikan dalam keadaan hidup atau dalam bentuk karkas (sudah dipotong) (Israil, I dkk, 1998)
Selain kegiatan penangkaran, proses domestikasi dapat dilakukan dengan rekayasa
genetika dan pemuliaan satwa liar (persilangan genetik). Ternak-ternak dengan variasi genetik
besar dapat diarahkan untuk tujuan tertentu dengan seleksi genetik yang didukung bioteknologi.
Studi genom ternak menggunakan genetika molekuler meningkatkan pemahaman variasi genetik
pada tingkat gen-gen individual.

c. Sasaran
Sasaran utama dalam proses domestikasi adalah memperoleh sumberdaya alternative bagi
pemenuhan kebutuhan manusia yang tersedia dari satwa liar sebagai salah satu sumberdaya alam
yang belum dikelola dengan maksimal.
Sasaran domestikasi ini ditujukan terhadap jenis-jenis satwa liar yang memenuhi syarat-
syarat dan criteria dalam proses domestikasi hewan.
Beberapa tujuan yang diharapkan dari proses domestikasi adalah:
1. Domestikasi akan dapat menjamin kelestarian sumber genetic spesies bersangkutan,
2. Keanekaragaman satwa liar dapat tetap dipertahankan
3. Membuka peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan peternakan satwa liar dan
meningkatkan pendapatan asli daerah
4. Menambah keanekaragaman hewan domestik sebagai sumber protein hewani
5. Mendorong usaha-usaha budidaya satwa liar yang telah ada agar lebih maju dan dapat
menghasilkan produk satwa harapan yang lebih evisien.
6. Menghasilkan satwa liar yang lebih evisien dalam penggunaan lingkungannya.

Tujuan tersebut diatas dapat tercapai jika hubungan antara objek, proses dan sasaran
domestikasi satwa liar dapat berjalan secara terintegrasi dan sinergis. Karena keberhasilan
domestikasi satwa liar di tentukan dari awal memilih objeknya kemudian proses yang akan
ditempuh serta sasaran yang diharapkan.
VI. DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 2010. Tehnik Pengelolaan Satwa Liar; Dalam Rangka Mempertahankan
Keanekaragaman Hayati Indonesia. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

Andersson, L., A.L. Archibald, M. Ashbuner, S. Audum, S. Bancodse, J. Bitguard dan J.


Warwick. 1996. Comparative genome organisation of vertebate. The First International
Workshop on Comparative Genome Organization. Mammalian Genome 7: 717-734.

Evans, L.T. 1996. Crops Evolution, Adaptation, and Yield. Combridge Univ. Press.

Hammond, W. 1993. Why conserve genetic resources. Diversity 9: 30-33.

Israil, I; Rosyidi, D. dan Kusmartono, 1998. Upaya Penangkaran Kancil (Tragulus javanicus)
dengan Cara Pendayagunaan sebagai Hewan Ternak Penghasil Daging dan Kemungkinan
Pelestariannya dengan Metode Nucleus Flock dan Multiplier Flock. Laporan dan Kertas
Kerja Riset Unggulan Terpadu. Universitas Brawijaya Malang.

Pullin, R.S.V. 1994. Exotic Species and Genetically Modified Organisms in Aquaculture and
Enchanced Fisheries : ICLARM’s Position. NAGA, the ICLARM Quarterly. 17(4): 19 –
24.

Zairin, M.Jr. 2003. Endokrinologi dan Perannya Bagi Masa Depan Perikanan Indonesia. Orasi
Ilmiah Gurubesar FPIK IPB.

You might also like