You are on page 1of 13

TAWASSUL

Pengertian

Sebagian besar orang salah dalam memahami hakikat Tawassul. Karena itu akan
menjelaskan pengertian Tawassul, dan sebelum itu akan menerangkan hakikat-hakikat
tawassul di bawah ini:
1. Tawassul adalah salah satu cara berdoa dan salah satu pintu menghadap Allah SWT.
Pokok yang dituju pada hakikatnya adalah Allah SWT. Sesuatu yang dijadikan
Tawassul tidak lain adalah perantara untuk mendekatkan kepada Allah dan
barangsiapa yang meyakini selain itu, maka sungguh dia telah musyrik.
2. Orang yang bertawassul tidaklah menggunakan perantara ini, kecuali karena
kecintaannya terhadap perantara itu dan keyakinannya bahwa Allah mencintai
perantara itu. Sekiranya yang terjadi tidak sesuai dengan itu, maka orang yang
bertawassul itu adalah orang yang paling jauh dari perantara itu dan orang yang
paling dibenci.
3. Sekiranya orang yang bertawassul berkeyakinan bahwa orang yang dijadikan
perantara kepada Allah bisa memberi manfaat dan menolak kemudharatan dengan
sendirinya seperti Allah, maka sungguh dia telah musyrik.
4. Tawassul bukan suatu keharusan. Tidak dikabulkannya doa bukan karena Tawassul
itu, tetapi yang menjadi pangkalnya adalah doa kepada Allah itu sendiri, sebagaimana
firman Allah, “Apabila hamba-hambaKU bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(katakanlah) sesungguhnya Aku adalah dekat.” (QS 2:186). Firman Allah yang lain,
“Serulah Allah atau serulah Aar Rohman. Dengan nama mana saja kamu seru. Dia
mempunyai Asma’ul Husna (nama-nama yang terbaik).” (QS. 17:110)

Pemahaman tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat islam selama ini adalah
bahwa Tawassul adalah berdoa kepada Allah melalui suatu perantara, baik perantara
tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai
posisi lebih dekat kepada Allah. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk
menuju Allah SWT.

a) Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah menjadikan perantaraan berupa
sesuatu yang dicintainya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai
perantaraan tersebut.
b) Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah
bisa memberi manfaat dan madlorot kepadanya da. Jika ia berkeyakinan bahwa
sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan
madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi
manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.
c) Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa. Banyak sekali cara untuk berdo'a
agar dikabulkan Allah, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam
Multazam, berdoa dengan mendahuluinya dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat
dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu
usaha agar do'a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah s.w.t. Dengan
demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan.

1. Tawassul dengan amal sholeh kita

Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul terhadap Allah SWT dengan


perantaraan perbuatan amal sholeh, sebagaimana orang yang sholat, puasa, membaca al-
Qur’an, kemudian mereka bertawassul terhadap amalannya tadi. Seperti hadis yang sangat
populer diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang
terperangkap di dalam goa, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal
baiknya terhadap kedua orang tuanya, yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas
perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk
melakukannya dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang
mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh,
maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.. (Ibnu Taimiyah mengupas
masalah ini secara mendetail dalam kitabnya Qoidah Jalilah Fii Attawasul Wal wasilah hal
160)

2. Tawassul dengan orang sholeh

Adapun yang menjadi perbedaan dikalangan ulama’ adalah bagaimana hukumnya


tawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh
dan mempunyai amrtabat dan derajat tinggi dei depan Allah. sebagaimana ketika seseorang
mengatakan : ya Allah aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad atau
Abu bakar atau Umar dll.
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Pendapat mayoritas ulama
mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau
dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan
lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat
(entitas seseorang), pada intinya adalah tawassul pada amal perbuatannnya, sehingga masuk
dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’.

3. Ayat – Ayat al-Quran tentang Legalitas Tawassul

Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut sekte Wahhaby adalah;
Jikalau istighotsah adalah syirik, lantas apakah mungkin para nabi-nabi Allah tadi
membiarkan umat mereka melakukan syirik padahal mereka di utus untuk menumpas
segala macam bentuk syirik? Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin
mereka mengiyakan permintaan kaum musyrik yang justru akan menyebabkan mereka
berlebihan dalam melakukan kesyirikan, berarti para nabi itu telah melakukan tolong
menolong terhadap dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)? Naudzubillah
min dzalik. Jika istighotsah dan tawassul adalah perbuatan sia-sia maka, apakah mungkin
para nabi membiarkan bahkan meridhoi dan mengajarkan umat mereka melakukan
perbuatan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia adalah perbuatan yang tercela
bagi makhluk yang berakal? Apakah para nabi tidak tahu bahwa Allah Maha mendengar
dan lagi Maha mengetahui sehingga membiarkan, meridhoi dan bahkan mengajarkan
umatnya ajaran tawassul dan istighotsah?

Setelah kita melihat secara ringkas pembagian pendapat beberapa kelompok berkaitan
dengan legalitas Tawassul/ istighotsah, pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji secara
global ayat-ayat al-Quran yang menjadi pedoman utama kaum muslimin yang menjelaskan
tentang konsep tersebut.
Dalam pandangan al-Quran akan kita dapati bahwa hakekat Istighotsah/ Tawassul
adalah merupakan salah satu pewujudan dari peribadatan yang legal dalam syariat Allah
SWT. Ini merupakan hal yang jelas dalam ajaran al-Quran sehingga tidak mungkin dapat
dipungkiri oleh muslim manapun, hatta kalompok Wahhaby, jika mereka masih
mempercayai kebenaran al-Quran. Dalam al-Quran akan kita dapati beberapa contoh dari
permohonan pertolongan (istighotsah) dan pengambilan sarana (tawassul) para pengikut
setia para nabi dan kekasih Ilahi yang berguna untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Hal itu agar supaya Allah SWT mengabulkan doa dan hajatnya dengan segera. Di sini kita
akan memberi beberapa contoh yang ada:

a) Dalam surat Aali Imran ayat 49, Allah SWT berfirman: “Dan (sebagai) Rasul kepada
Bani Israil (yang Berkata kepada mereka): “Sesungguhnya Aku Telah datang
kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu Aku
membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; Kemudian Aku meniupnya, Maka
ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan Aku menyembuhkan orang yang
buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan Aku menghidupkan
orang mati dengan seizin Allah; dan Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan
dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu
adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh
beriman”. Dalam ayat di atas disebutkan bahwa para pengkut Isa al-Masih
bertawassul kepadanya untuk memenuhi hajat mereka, termasuk menghidupkan orang
mati, menyembuhkan yang berpenyakit sopak dan buta. Tentu, mereka bertawassul
kepada nabi Allah tadi bukan karena mereka meyakini bahwa Isa al-Masih memiliki
kekuatan dan kemampuan secara independent dari kekuatan dan kemampuan Maha
Sempurna Allah SWT, sehingga tanpa bantuan Allah-pun Isa mampu melakukan
semua hal tadi. Mereka meyakini bahwa Isa al-Masih dapat melakukan semua itu
(memenuhi berbagai hajat mereka) karena Isa memiliki ‘kedudukan khusus’ (jah /
wajih) di sisi Allah, sebagai kekasih Allah, sehingga apa yang diinginkan olehnya
niscaya akan dikabulkan oleh Allah SWT. Ini bukanlah tergolong syirik, karena syirik
adalah; “meyakini kekuatan dan kemampuan Isa al-Masih (makhluk Allah) secara
independent dari kekuatan dan kemampuan Allah”. Dan tentu, muslimin sejati tidak
akan meyakini hal tersebut. Namun aneh jika kelompok Wahhaby langsung menvonis
musyrik bagi pelaku istighotsah kepada para kekasih Ilahi semacam itu.

b) Dalam surat Yusuf ayat 97, Allah SWT berfirman: “Mereka berkata: “Wahai ayah
kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, Sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)””. Jika kita teliti dari ayat di atas maka
akan dapat diambil pelajaran bahwa, para anak-anak Yakqub mereka tidak meminta
pengampunan dari Yakqub sendiri secara independent tanpa melihat kemampuan dan
otoritas mutlak Ilahi dalam hal pengampunan dosa. Namun mereka jadikan ayah
mereka yang tergolong kekasih Ilahi (nabi) yang memiliki kedudukan khusus di mata
Allah sebagai wasilah (sarana penghubung) permohonan pengampunan dosa dari
Allah SWT. Dan ternyata, nabi Yakqub pun tidak menyatakan hal itu sebagai
perbuatan syirik, atau memerintahkan anak-anaknya agar langsung memohon kepada
Allah SWT karena Allah Maha mendengarkan segala permohonan dan doa, malahan
Yakqub menjawab permohonan anak-anaknya tadi dengan ungkapan: “Ya’qub
berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya
Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang””(QS Yusuf: 98).

c) Dalam surat an-Nisa’ ayat 64, Allah SWT berfirman: “Dan kami tidak mengutus
seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau
mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati
Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.

Dari ayat di atas juga dapat diambil pelajaran yang esensial yaitu bahwa, Rasululah
SAW sebagai makhluk Allah yang terkasih dan memiliki kedudukan (jah / maqom / wajih)
yang sangat tinggi di sisi Allah sehingga diberi otoritas oleh Allah untuk menjadi perantara
(wasilah) dan tempat meminta pertolongan (istighotsah) kepada Allah SWT. Dan terbukti
(nanti kita akan perjelas dalam kajian mendatang) bahwa banyak dari para sahabat mulia
Rasul yang tergolong Salaf Saleh menggunakan kesempatan emas tersebut untuk memohon
ampun kepada Allah SWT melalui perantara Rasulullah SAW. Hal ini yang menjadi kajian
para penulis Ahlusunnah wal Jamaah dalam mengkritisi ajaran Wahhabisme, termasuk
orang seperti Umar Abdus Salam dalam karyanya “Mukhalafatul Wahhabiyah”.

Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut sekte Wahhaby adalah;
Jikalau istighotsah adalah syirik, lantas apakah mungkin para nabi-nabi Allah tadi
membiarkan umat mereka melakukan syirik padahal mereka di utus untuk menumpas
segala macam bentuk syirik? Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin
mereka mengiyakan permintaan kaum musyrik yang justru akan menyebabkan mereka
berlebihan dalam melakukan kesyirikan, berarti para nabi itu telah melakukan tolong
menolong terhadap dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)? Naudzubillah
min dzalik. Jika istighotsah dan tawassul adalah perbuatan sia-sia maka, apakah mungkin
para nabi membiarkan –bahkan meridhoi dan mengajarkan- umat mereka melakukan
perbuatan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia adalah perbuatan yang tercela
bagi makhluk yang berakal? Apakah para nabi tidak tahu bahwa Allah Maha mendengar
dan lagi Maha mengetahui sehingga membiarkan, meridhoi dan bahkan mengajarkan
umatnya ajaran tawassul dan istighotsah?

Jikalau benar bahwa ajaran Istighotsah / tawassul adalah perbuatan syirik, bid’ah, sia-
sia, khurafat, akibat tidak mengenal Allah yang Maha mendengar doa, dst….maka Oh
betapa bodohnya –naudzuillah min dzalik- para nabi Allah itu tentang konsep ajaran
Allah…dan Oh betapa cardasnya –naudzubillah min dzalik- Muhammad bin Abdul
Wahhab an-Najdi beserta para pengikut sektenya terhadap ajaran murni Ilahi.
Oleh karena itu wahai saudara-saudaraku muslimin, marilah kita simak kebodohan-
kebodohan Wahhaby tentang berbagai ajaran Ilahi berdasarkan ayat-ayat al-Quran, as-
Sunnah Rasulillah, prilaku Salaf Saleh dan fatwa para pemuka mazhab Ahlusunnah,
walaupun para pengikut Wahhaby tetap merasa benar sendiri dengan bekal kecongkakan
dan kebodohannya.
Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan ‘doa’ manusia saleh
sebagai sarana (wasilah) menuju ridho Allah maka menjadikan sarana (wasilah)
kepribadian (dzat / syakhsyiyah) dan kedudukan (jah / maqom / manzilah / karamah /
fadhilah) manusia saleh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan. Karena antara ‘sarana
pengkabulan doa’ dan ‘sarana kedudukan/kepribadian agung manusia saleh’ terdapat relasi
erat dan menjadio konsekuensi logis, riil dan legal (syar’i). Memisahkan antara keduanya
sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat
hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan doa manusia saleh oleh Allah disebabkan
karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan
kedudukan mereka diangkat oleh Allah SWT.
Dalam al-Quran, Allah SWT telah menekankan kepada umat Muhammad SAW untuk
melaksanakan tawassul, dan Ia telah mengizinkan mereka untuk melakukan tawassul
dengan berbagai jenis dan bentuknya. Ini semua menjadi bukti bahwa tawassul sama sekali
tidak bertentangan dengan konsep kesempurnaan Ilahi, termasuk dengan ke-Maha
Mendengar-an dan ke-Maha Mengetahui-an Allah terhadap doa hamba-hamba-Nya, apalagi
dengan kesia-siaan perbuatan tawassul. Di sini, kita akan sebutkan secara ringkas beberapa
bentuk tawassul yang dilegalkan menurut al-Quran.
Tawassul jenis ini juga memiliki sandaran hadis yang diriwayatkan oleh para imam
perawi hadis dari Ahlusunnah melalui jalur yang sahih. Untuk menyingkat waktu, bagi
yang ingin menelaah lebih lanjut hadis-hadis tersebut, silahkan merujuknya dalam kitab-
kitab hadis seperti;
1) Musnad Imam Ahmad bin Hambal; jilid: 4 halaman: 138 hadis ke-16789
2) Sunan Ibnu Majah; jilid: 1 halaman: 441 hadis ke-1385
3) Sunan at-Turmudzi; jilid: 5 halaman: 531 dalam kitab ad-Da’awaat, bab 119 hadis ke-
3578

Hukum Membaca Tawassul

Perlu di ketahui bahwa selama ini banyak kalangan masyarakat Islam yang
meragukan, bahkan menganggap bid’ah membaca tawassul kepada nabi Muhammad saw
atau kepada para auliya’ dan ahli sholah. Makna tawassul sesungguhnya adalah do’a dan
memohon kepada Allah swt, dengan perantara tingginya derajat mereka (nabi, auliya’, ahlu
sholah) dan kemuliaan mereka di sisi Allah swt. Imam As - Subky rahmatullah alaih
mengatakan :

Artinya : “Tawassul kepada nabi Muhammad saw, untuk memohon kepada Tuhan beliau
(Allah) itu termasuk amal yang hasan.” Amal hasan yang dimaksud adalah amal ja’iz
(yang di perbolehkan menurut syara’) yang mendekati amal mandub (sunnah).
Sesungguhnya dari kalangan ulama’ salaf maupun kholaf terdahulu tidak pernah
mempermasalahkan atau mengingkari hukum membaca tawassul, kecuali Ibnu Taimiyah.

Sebuah dasar hadits yang menerangkan bahwa tawassul termasuk sunnah rasul adalah
hadits yang di riwayatkan oleh Al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya yang bernama Al-
Mustadrok, menceritakan sebuah hadits yang di ceritakan oleh sahabat Umar bin Khottob
r.a berkata :

Artinya : ”Rasulullah saw bersabda : “Ketika nabi Adam melakukan sebuah kesalahan
beliau berdo’a : “Ya rabbi, aku memohon ampunan kepadamu dengan perantara haknya
Muhammad saw, semoga Engkau berkenan mengampuniku.” Kemudian Allah swt bertanya
: ”Wahai Adam, bagaimana kamu kenal dengan Muhammad saw, padahal aku belum
menciptanya.” hingga lanjutan hadits Apabila kamu memohon dengan perantara haknya
Muhammad, niscaya aku mengampunimu, dan jika bukan karena Muhammad, niscaya aku
tidak akan menciptamu.” Hadits Shahihul Isnad.

Hadits tersebut adalah salah satu dasar bahwa hukum membaca tawassul itu di sunnahkan,
yang telah memberikan titik terang bahwa sebelum beliau di ciptakan ke dunia, nama beliau
telah di buat tawasul oleh nabi Adam as untuk memohon ampunan Allah swt, dan nabi
Adam-pun mendapatkan ampunan Allah karena telah bertawassul.

Adapun dasar bertawassul kepada selain nabi Muhammad saw yakni, bertawassul kepada
para sahabat nabi, auliya’, dan sholihin adalah hadits Imam Bukhori dalam kitab shahihnya
menerangkan riwayat hadits dari Anas ra — dari Umar bin Khottob ra yang dulunya beliau
(Umar ra) jika mengalami kesulitan mendapatkan air untuk ladangnya, beliau selalu
berdo’a dan memohon kepada Allah agar ladangnya mendapatkan air dengan perantara
(tawassul kepada) nabi dan paman nabi Abbas bin Abdul Mutholib, inilah do’a beliau :

Artinya : ” Ya Allah sesungguhnya dulu saya bertawassul kepada-Mu dengan perantara


nabi-Mu untuk memohon hujan, maka Engkau memberikan hujan sebab beliau. Saat ini
sesungguhnya saya bertawassul kepada-Mu dengan perantara paman nabi, aku mohon
berikanlah kami hujan.”

4. Perbedaan Pendapat

Tidak ada satu dalilpun yang menunjukan bahwa tawassul dengan para nabi dan para
wali Allah baik saat tidak hadirnya mereka maupun setelah mereka meninggal tidak
diperbolehkan dengan alasan bahwa hal itu merupakan bentuk ibadah kepada selain Allah.
Seseorang yang bertawassul dengan para nabi atau para wali, memanggil nama mereka,
mencari berkah mereka dan meminta tolong pada mereka akan hal-hal yang wajar yang
dapat dipenuhi oleh manusia lainnya tidak berarti bahwa ia beribadah pada selain Allah,
dan hal itu bukanlah perbuatan syirik. Karena definisi ibadah menurut ahli bahasa tidak
berlaku bagi masalah-masalah di atas, sebab ibadah secara definitif ialah ketaatan tertinggi
yang disertai dengan ketundukan.
Al Azhari, salah seorang pakar bahasa terkemuka mengutip perkataan al-Farra’ yang
merupakan ahli bahasa paling mashur mengatakan: “Ibadah dalam bahasa Arab ialah
ketaatan yang disertai dengan ketundukan. (lihat Lisan al ‘Arab, pada huruf ‘ain, ba’, dal).
Sebagian ahli bahasa lainnya mengatakan: “Ibadah ialah puncak tertinggi kekhusu’an dan
ketundukan”. Sebagian lainnya mengatakan:
“Ibadah ialah puncak kehinaan”.

Pendapat-pendapat inilah yang benar secara bahasa dan kebiasaan. Merendahkan diri saja
--tidak sampai puncaknya-- bukan merupakan ibadah kepada selain Allah, karena bila
demikian maka mereka yang merendahkan diri di hadapan para raja dan pembesar telah
menjadi kafir. Padahal telah sahih adanya sebuah hadis yang menyatakan bahwa Mu’adz
Ibn Jabal ketika datang dari negeri Syam, ia bersujud di hadapan Rasulullah. Rasulullah
lalu bersabda: “Apa yang engkau lakukan

ini!”. Mu’adz menjawab: “Wahai Rasulullah, saya melihat penduduk Syam bersujud pada
para betrik dan uskup mereka, padahal engkau jauh lebih mulia daripada mereka”.
Rasulullah bersabda: “Jangan kamu lakukan ini, bila aku hendak memerintahkan seorang
manusia bersujud kepada manusia lainnya, maka akan aku perintahkan seorang wanita
untuk sujud bagi suaminya”. (H.R. Ibn Hibban, Ibn Majah dan lainnya)

5. Macam macam Tawassul

Pertama: Tawassul Masyru'

Tawassul Masyru' adalah : bertawassul kepada Allah Ta’ala Dengan wasilah yang benar
dan disyariatkan.
Cara yang terbaik untuk mengetahui apakah tawassul tersebut disyariatkan atau tidak yaitu
dengan kembali/merujuk pada Al-quran dan Sunnah Sahihah. Maka apabila Kitab dan
Sunnah mengatakan bahwa istilah tersebut wasilah masyru'ah maka wasilah tersebut adalah
wasilah yang disyari'atkan, sebaliknya jika al-quran dan sunnah tidak menunjukannya maka
berarti wasilah tersebut adalah tawassul mamnu' (Goiru Masyru').

Macam-macam Tawassul Masyru'


1) Tawassul kepada Allah Ta’ala Dengan Nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala
Seorang yang berdo'a menyebutkan nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala. Seperti: Wahai
Yang Maha Pengampun ampunilah kami, Wahai Yang Maha Penyayang sayangilah
kami. atau seperti : Ya Allah Engkau Maha Pengasih dan Penyayang maka ampunilah
aku, atau : Aku memohon kepada-Mu dengan ramhat-Mu yang sangat luas, maka
ampunilah aku. Dan lain sebagainya.

Adapun diantara do'a yang dibaca oleh Rasulullah saw shalallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagai berikut ini: "Wahai Dzat yang Maha Hidup dan Maha Mengurus mahluk-Nya,
Wahai Yang Maha Mulia, Wahai Pencipta langit dan bumi dengan rahmat-Mu aku
memohon pertolonganmu".

Adapun dalil disyari'atkannya bentuk tawassul ini adalah firman Allah Ta’ala.. :

"Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang Telah
mereka kerjakan".( Q.S. Al-'Araaf: 180 ).

Diantara dalil-dalilnya yang lain adalah sabda Nabi Muhammad dalam suatu do'anya yang
diriwayatkan secara shahih bahwa beliau membacanya sebelum salam pada waktu shalat:
"Ya Allah dengan ilmu-Mu yang ghaib dan kekuasaan-Mu dalam menciptakan,
panjangkanlah usiaku apabila engkau mengetahui hidup lebih baik bagiku, dan matikanlah
aku apabila mati lebih baik bagiku….". (H.R. Nasai dan Hakim dan dishahihkan olehnya
serta disepakati oleh adz-Dzahabi).

Hadits diatas dan beberapa hadits lain yang semisal menganjurkan kita untuk bertawassul
kepada Allah dengan nama dan sifat-Nya, dan itu merupakan perbuatan yang dicintai dan
diridhai oleh Allah, oleh karena itu Rasulullah telah melaksanakan dalam do'a-do'anya; dan
Allah Ta'ala telah berfirman:

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya ". ( Q.S. Al-Hasyr: 7 )

Adalah sesuatu yang telah disyari'atkan kepada kita agar kita berdo'a kepada Allah dengan
apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam berdo'a.

2) Tawassul dengan keimanan dan amal shaleh baik amal wajib atau pun yang sunnah
yang telah dilakukan oleh orang yang bertawassul.

Seperti seorang membaca do'a: Ya Allah dengan keimanan kepada-Mu, kecintaanku pada-
Mu dan Kecintaaku pada Rasul-Mu maka ampunilah aku. Atau membaca do'a: “Ya Allah
dengan kecintaaku kepada Nabi-Mu Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam Dan
keimananku kepadanya, lapangkanlah urusanku. Atau seseorang berdo'a dengan
menyebutkan amal shaleh yang telah dilakukannya dan dijadikan wasilah, sebagaimana
kisah tiga orang yang terjebak didalam goa. Dalil yang menunjukan disyari'atkannya
macam tawassul yang ini adalah : Firman Allah Ta’ala.: "(Yaitu) orang-orang yang
berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa
kami dan peliharalah kami dari siksa neraka," ( Q.S. Ali Imran: 16 )

"Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah
kami ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang
menjadi saksi (tentang keesaan Allah)." ( Q.S. Ali Imran: 53. )
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman,
(yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami,
ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan
kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. * Ya Tuhan kami,
berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul
Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak
menyalahi janji."( Q.S. Ali-Imran:193-194 ).

"Sesungguhnya, ada segolongan dari hamba-hamba-Ku berdoa (di dunia): "Ya Tuhan
kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau
adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik. " ( Q.S. Al-Mu`minuun: 109 )

"Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal
saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan
hamba-hamba-Mu yang saleh." (Q.S.An-Naml:19)

Dan hadits yang menceritakan tiga orang laki-laki yang terjebak di dalam goa karena mulut
goanya tertutup sebuah batu yang berukuran besar, mereka tidak dapat keluar dari goa
tersebut, kemudian mereka berdo'a kepada Allah Ta’ala.. Dan bertawassul dengan amal
shaleh yang telah mereka lakukan, maka Allah Ta’ala pun membukakan mulut goa tersebut
dan akhirnya mereka pun bisa keluar.

3) Tawassul dengan meminta do'a kepada orang shaleh yang masih hidup.
Seperti seorang muslim yang sedang tertimpa sesuatu kesempitan atau musibah besar,
sedang dia mengetahui bahwa dirinya sedang jauh dari Allah Ta'ala, maka dia harus
mencari sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah, maka dia meminta
kepada orang yang dianggapnya shaleh dan bertaqwa dan memintanya agar berdo'a
kepada Allah agar melapangkan permasalahannya dan mengangkat musibahnya. Ini
merupakan tawassul yang disyariatkan.

Sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat pada zaman dahulu, apabila mereka
mendapatkan kesusahan mereka meminta agar Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa
sallam. Mendo'akan mereka, ketika Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam meninggal,
mereka meminta kepada pamannya Al-'Abbas r.a. , maka Al-'Abbas pun mendo'akan
mereka.
Dalil yang menunjukan disyari'atkannya tawassul semacam ini adalah bahwa para sahabat
meminta Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Untuk mendo'akan mereka dengan do'a yang
khusus dan do'a umum.
Adapun sepeninggal mereka maka itu tidak boleh dilakukan, karena orang yang telah
meninggal tidak dapat melakukannya.

4) Tawassul dengan ketauhidan kepada Allah.


Sebagaimana tawassul yang dilakukan oleh Nabi Yunus didalam Al-quran Allah Ta’ala..
Berfirman :
"Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia
menyangka bahwa kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), Maka ia menyeru
dalam keadaan yang sangat gelap : "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci
Engkau, Sesungguhnya Aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." ( Q.S. Al-Anbiyaa:
87 ).

5) Tawassul dengan menampakan kelemahan dan kebutuhan kita kepada Allah.


Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ayyub alaihissalam.
"Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku),
Sesungguhnya Aku Telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha
Penyayang di antara semua penyayang". (Q.S. Al-Anbiyaa: 83).

6) Tawassul dengan mengakui perbuatan dosa.


Sebagaimana do'a Nabi Musa ‘alaihissalam yang tertera dalam Al-quran
"Musa mendoa: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku Telah menganiaya diriku sendiri
Karena itu ampunilah aku". Maka Allah mengampuninya, Sesungguhnya Allah dialah
yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." ( Q.S. Al-Qhashash: 16 ).

Kedua : Tawassul Ghairu Masyru'

Yaitu Tawassul kepada Allah Ta’ala. Dengan sesuatu yang tidak disyariatkan atau bisa
dikatakan berwasilah dengan sesuatu yang tidak bersumber dari dalil yang shahih dan
pemahamanan yang benar yang sesuai dengan al-quran dan sunnah.

Contohnya, bertawassul dengan dzat orang, atau kedudukan dan pangkatnya, tawassul
semacam ini tidak masyru', oleh kerana itu para sahabat r.a ketika Rasulullah saw. Telah
meninggal mereka tidak lagi bertawassul kepadanya, akan tetapi betawassul kepada
pamannya Al-'Abbas r.a. dan Umar bin Khattab r.a., dengan demikian jelaslah bahwa
tawassul pada awalnya dengan do'a Raslullah saw. Pada saat beliau hidup, kemudian
kepada pamannya ketika beliau saw. Telah meninggal dunia. Seandainya mereka
bertawassul dengan kedudukan Nabi saw. Niscaya mereka tidak akan bertawassul kepada
pamannya, karena kedudukan Nabi lebih mulia dari pada kedudukan pamannya Al-'Abbas,
padahal kedudukan Nabi saw. Tidak sirna dengan wafatnya.

Adapun perkataan orang yang berdo'a : "Ya Allah aku meminta kepadamu dengan
kedudukan si fulan",

Bentuk lain dari tawassul ini adalah bertawassul dengan meminta do'a dan syafaat dari
orang-orang yang sudah meninggal, tawassul dengan dzat/diri para mahluk atau kedudukan
mereka. Bentuk-bentuk tawassul tadi sangat berbahaya, berikut ini adalah penjelasannya:
1) Tawassul dengan meminta do'a dari orang yang telah meninggal dunia.
Tawassul semacam ini tidak diperbolehkan karena orang yang telah meninggal tidak
dapat melakukan sesuatu termasuk berdo'a, layaknya ketika dia masih hidup; begitu
pula meminta syafaat dari orang yang telah meningal tidak boleh, karena umar bin
Khattab r.a. dan Muawiyah bin Abu Shafyan r.a. dan para sahabat yang lainnya serta
para tabi'in ketika mereka menghadapi kesusahan/kemarau mereka beristisqa,
bertawasal dan meminta syafaat dari orang-orang yang masih hidup, seperti Al-
Abbas, Yazid bin Al-ASwad dan mereka tidak bertawassul, meminta syafaat dan
meminta do'a dari Nabi Muhammad saw., tidak di kuburannya tidak pula dengan yang
lainnya, akan tetapi sebagai gantinya mereka betawassul kepada Abbas r.a. dan Yazid
r.a., Umar bin Khattab r.a. berkata dalam do'anya:
"Ya Allah dahulu kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, lalu Engkau
meturunkan hujan kepada kami, kemudian kami sekarang bertawassul kepada-Mu
dengan pamannya, maka turunkanlah hujan kepada kami".
Umar telah menjadikan Abbas sebagai ganti dari Nabi, karena dia tidak dapat lagi
bertawassul dengan apa yang telah dilakukannya dahulu.
Padahal sangat memungkinkan bagi Umar dan para sahabat yang lainnya untuk
datang ke kuburan Nabi dan bertawassul dengannya kalau memang itu diperbolehkan.
Sikap mereka meninggalkan tawassul dengan kuburan Nabi saw. Merupakan dalil dan
bukti bahwa tawassul dengan orang yang telah meninggal adalah terlarang, baik
meminta do'a atau pun syafaat darinya, kalau seandainya meminta do'a dan syafaat
darinya pada masa beliau hidup dan sepeninggalnya sama-sama diperbolehkan,
niscaya mereka tidak akan meninggalkannya dan mencari orang lain.

2) Tawassul dengan kedudukan Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam atau


kedudukan orang lain.
Adapun hadits :
"Apabila engkau meminta atau memohon kepada Allah, maka memintalah dengan
kedudukanku, karena kedudukanku disisi Allah sangat mulia".
Hadits ini palsu, tidak terdapat dalam sebuah kitab yang bisa dijadikan sandaran Bagi
kaum muslimin, dan tidak pernah disebutkan oleh seorang ahli hadits pun, maka
selama tidak ada dalil yang shahih dalam hal ini, maka ini tidak boleh dilakukan,
karena ibadah tidak boleh dilakukan kecuali dengan bersumber dari dalil yang shahih.

3) Tawassul dengan dzat para mahluk .


Karena dalam bertawassul dengan dzat mahluk terdapat sumpah dengan selain Allah,
Seperti Ya Allah Aku memohon kepada-Mu dengan Diri Atau Dzat Sifulan Dan
Sebagainya, sedangkan sumpah dengan selain Allah adalah syirik, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits, jika seandainya dzat tersebut hanya dijadikan sebab,
ketahuilah bahwa Allah Ta’ala. Tidak menjadikan tawassul dengan dzat mahluk
sebagai sebab diijabahnya doa', dan tidak pernah mensyari'atkannya.
4) Bertawassul dengan hak-hak seorang hamba.
Ini tidak boleh dengan ditinjau dari dua segi:
Pertama: Tidak ada kewajiban bagi- Allah Ta’ala.. Atas seorang hamba, akan tetapi
Allah Ta’ala. Memberikan rezeki kepada hamba-Nya karena amalan yang telah
dilakukannya. Allah swt. Berfirman: "Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus
sebelum kamu beberapa orang Rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya
dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu kami melakukan
pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. dan kami selalu berkewajiban
menolong orang-orang yang beriman". ( Q.S. Ar-Ruum: 47 ).

Orang yang telah berbuat taat berhak atas pahala dan balasan, hak tersebut hak untuk
diberi rezeki dan balasan, bukan hak pasti yang bisa dituntut, layaknya hak seorang
hamba dengan hamba lainnya.

Kedua: Hak yang akan diberikan oleh Allah tersebut, adalah hak khusus bagi dirinya
yang tidak ada kaitannya dengan orang lain, apabila dijadikan wasilah oleh orang lain
yang tidak berhak, maka dia telah bertawassul dengan hak orang lain, yang sama
sekali dia tidak berhak atas hak tersebut, ini sama sekali tidak dibenarkan.
Adapun dalil yang mengatakan: "Aku meminta kepada-Mu dengan hak-hak orang
yang meminta", hadits tersebut dhaif, karena pada sanadnya terdapat Athiyah
Al-'Aufa, dia dhaif dan telah disepakati oleh para ahli hadits atas kedhaifannya, kalau
sudah demikian, maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah ini
yang sangat berkaitan dengan prinsip, disamping itu pada hadits tersebut juga tidak
disebutkan bertawassul dengan hak orang tertentu, akan tetapi hanya disebutkan
bertawassul dengan hak orang-orang yang berdoa secara umum, dan haknya orang
yang berdo'a adalah diijabah sebagaimana telah dijanjikan Allah, ini adalah hak yang
telah diwajibkan Allah atas diri-Nya bagi mereka, dan tidak ada seorang pun yang
mewajibkan-Nya. Maka tawassul tersebut adalah tawassul degna janji Allah bukan
dengan hak seorang hamba.

6. Kesimpulan

Tawassul dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan menurut
kesepakatan ulama’. Demikian juga tawassul kepada Rasulullah s.a.w. juga diperboleh
sesuai dalil-dalil di atas. Tidak diragukan lagi bahwa nabi Muhammad SAW mempunyai
kedudukan yang mulia disisi Allah SWT, maka tidak ada salahnya jika kita bertawassul
terhadap kekasih Allah SWT yang paling dicintai, dan begitu juga dengan orang-orang
yang sholeh.
Selama ini para ulama yang memperbolehkan tawassul dan melakukannya tidak ada
yang berkeyakinan sedikitpun bahwa mereka (yang dijadikan sebagai perantara) adalah
yang yang mengabulkan permintaan ataupun yang memberi madlorot. Mereka
berkeyakinan bahwa hanya Allah lah yang berhak memberi dan menolak doa hambaNya.
Lagi pula berdasarkan hadis-hadis yang telah dipaparkan diatas menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut bukan merupakan suatu yang baru dikalangan umat islam dan sudah
dilakukan para ulama terdahulu. Jadi jikalau ada umat islam yang melakukan tawassul
sebaiknya kita hormati mereka karena mereka tentu mempunyai dalil dan landasan yang
cukup kuat dari Quran dan hadist.
Tawassul adalah masalah khilafiyah di antara para ulama Islam, ada yang
memperbolehkan dan ada yang melarangnya, ada yang menganggapnya sunnah dan ada
juga yang menganggapnya makruh. Kita umat Islam harus saling menghormati dalam
masalah khilafiyah dan jangan sampai saling bermusuhan. Dalam menyikapi masalah
tawassul kita juga jangan mudah terjebak oleh isu bid'ah yang telah mencabik-cabik
persatuan dan ukhuwah kita. Kita jangan dengan mudah menuduh umat Islam yang
bertawassul telah melakukan bid'ah dan sesat, apalagi sampai menganggap mereka
menyekutukan Allah, karena mereka mempunyai landasan dan dalil yang kuat. Tidak hanya
dalam masalah tawassul, sebelum kita mengangkat isu bid'ah pada permasalahan yang
sifatnya khilafiyah, sebaiknya kita membaca dan meneliti secara baik dan komprehensif
masalah tersebut sehingga kita tidak mudah terjebak oleh hembusan teologi permusuhan
yang sekarang sedang gencar mengancam umat Islam secara umum.
Memang masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh orang muslim awam dalam
melakukan tawassul, seperti menganggap yang dijadikan tawassul mempunyai kekuatan,
atau bahkan meminta-minta kepada orang yang dijadikan perantara tawassul, bertawassul
dengan orang yang bukan sholeh tapi tokoh-tokoh masyarakat yang telah meninggal dunia
dan belum tentu beragama Islam, atau bertawassul dengan kuburan orang-orang terdahulu,
meminta-minta ke makam wali-wali Allah, bukan bertawassul kepada para para ulama dan
kekasih Allah. Itu semua tantangan dakwah kita semua untuk kita luruskan sesuai dengan
konsep tawassul yang dijelaskan dalil-dalil di atas.
Dengan demikian jelaslah bahwa tawassul adalah salah satu senjata ampuh untuk
terkabulnya sebuah do'a, namun tawassul tersebut tidak seluruhnya dibenarkan oleh ajaran
Islam, karena tawassul ada yang masyru' dan ghair masyru'. Sebagai khatimah penulis
sampaikan hadits Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Yang diriwiyatkan oleh Ummul
mu`minin Aisyah r.a. :

"Barang Siapa yang mengerjakan sebuah amalan yang tidak pernah kami contohkan,
maka amalannya tertolak".

Mudah-mudahan makalah singkat ini bermanfaat bagi kita semua.

Daftar pustaka

Al-quran Al Karim dan Terjemahanya, Departemen Agama RI.


Riyadhussalikhin, Al Imam Yahya Bin Syaraf An Nawawi, Dar Al Hadist Cairo, 1423 H.-
2003 M.
Al Masyru' Wa Al Mamnu' Min Attawassul, Abdussalam Bin Barjas Aali Abdul Karim,
Cairo 1427 H.-2006 M.
Attawassul Anwaauhu Wa Ahkaamuhu, Muhammad Nasiruddin Al Albani, Al Maktabah
Al Islami, 1406 h.-1986 M.
Kitab Attauhid, Shaleh Bin Fauzan Bin Abdullah Al Fauzan, Wezarah As Su'un Al
Islamiyah Wa Auqaf Wa Da'wah Wa Irsyad, Saudi Arabiya, 1423 H.
Jaami' Ar Rasail, Ibn Taimiyah
Risalah Attauhid, Syeikh Ismail Bin Abdel Ghani Ad Dahlawi, Wezarah As Su'un Al
Islamiyah Wa Auqaf Wa Da'wah Wa Irsyad, Saudi Arabiya, 1417 H.
Risalah Fi Asas Al Aqidah, Muhammad Bin Audah As Sa'wi, Wezarah As Su'un Al
Islamiyah Wa Auqaf Wa Da'wah Wa Irsyad, Saudi Arabiya, 1425 H.
Majmu'ah Al Fatawa Li Ibn Taimiyah, Ibn At Taimiyah, Dar Al Wafa' Manshurah, 1421
H.-2001 M.

You might also like