You are on page 1of 18

www.legalitas.

org
EFEKTIVITAS HUKUM MATI

A. Pendahuluan

Salah satu fungsi hukum, adalah membimbing perilaku manusia.

Sebagai pedoman ia juga bertugas untuk mengendalikan tingkah laku atau

seikap tindak, dan untuk itu ia didukung dengan sanksi negative yang

berupa hukuman agar dapat dipatuhi. Oleh karena itu, hukum juga

merupakan salah satu satana pengendalian sosial. Dalam hal ini, maka

hukum adalah suatu sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat

dari ancaman-ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan

diri sendiri serta harta bendanya. Jadi, barang siapa yang melanggar hukum,

rg
.o
dia akan memperoleh hukuman (pidana). Hukum yang mengatur tentang
as
lit

perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana dan dimana aturan pidana itu
ga
.le

menjelma disebut hukum pidana. Oleh karna itu, hukum pidana disebut
w

sebagai Hukum Sanksi Istimewa.1 Penjatuhan pidana sebagai penderitaan


w
w

kepada pelanggar hanya merupakan obat terakhir (Ultimum Remedium)

yang hanya dijalankan jika usaha-usaha lain seperti pencegahan sudah tidak

berjalan. Salah satu bentuk pidana yang paling berat adalah pidana mati.

Pidana mati merupakan satu jenis pidana dalam usianya, setua usia

kehidupan manusia dan paling kontroversial dari semua system pidana,

baik di negara-negara yang menganut sistem Common Law, maupun di

negara-negara yang menganut Civil Law. Terdapat dua arus pemikiran

1
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, pidana mati Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, hal 11

1
www.legalitas.org
utama mengenai pidana mati ini, yaitu: pertama, adalah mereka yang ingin

tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku,

dan kedua adalah mereka yang menginginkan penghapusan secara

keseluruhan. Kecenderungan masa kini adalah penghapusan pidana mati,

seperti yang dilakukan dibeberapa Negara Amerika serikat dan Negara-

negara Uni Eropa. Indonesia, termasuk Negara yang masih

mempertahankan pidana mati dalam sistem hukum positifnya. Hal ini

terlihat baik dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diluar

KUHP (undang-undang pidana khusus).

Pidana mati sebagai mana tercantum dalam KUHP belaku di

Indonesia sejak januari 1998 dan diatur dalam pasal 10. dalam pasal ini

rg
.o
dimuat dua macam bentuk pidana, yaitu pidana pokok dan pidana
as
lit

tambahan. Pidana mati adalah bagian dari pidana pokok2 adapun ketentuan
ga
.le

diluar KUHP adalah antara lain dalam undang-undang (UU) No. 22 tahun
w
w

1997 tentang Narkotika dan UU No.5 tahun 1997 tentang psikotropika, UU


w

No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU

No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia.

Di Indonesia perdebatan tentang penerapan pidana mati telah

dimulai setidaknya sejak penjahat kelas kakap Kusni Kasdut dieksekusi

pada tanggal 6 februari 1980.3 Ia dijatuhi hukuman mati karena kejahatan

melakukan perampokan dan pembunuhan. Pelaksanaan eksekusi setelah

permintaan grasinya ditolak. Terhadap terpidana Kusni Kasdut perhatian


2
KUHP, Pasal 10
3
Djoko PRakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat MEngenai Efektivitas
Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta : Ghalia Indonesia, hal 9

2
www.legalitas.org
masyarakat pada waktu itu sangat besar. Kepergiannya meninggalkan

keharuan, sekalipun ia adalah bekas perampok dan pembunuh. Secara

kebetulan dalam masyarakat Indonesia sedang ada gerakan yang

mempertanyakan, apakah pidana mati masih sesuai dengan kebudayaan

masyarakat pancasila.4

Pada tahun 2003 ihwal pidana mati ini kembali diperdebatkan. Hal

ini bermula dari adanya penolakan grasi bagi enam terpidana mati oleh

presiden Mengawati Soekarnoputri. Tanggal 3 februari 2003, presiden

mengeluarkan empat keputusan presiden (keppres) No. 20/G; No. 21/G; No.

22/G; dan No. 24/G; Tahun 2003. keempat keppres ini menolak semua

permohonan grasi dari enam terpidana, masing-masing Suryadi Swabhuana

rg
.o
(37), Sumiarsih (55), Djais andi Prayitno (69). Jurit bin Abdullah (38), dan
as
lit

Ayodhya Prasad Chaubey (64).5 beragam argumentasi, mengemuka, mulai


ga
.le

dari nilai kemanusiaan dan HAM sampai pelanggaran konstitusi.


w
w

Perdebatan pidana mati kembali lagi mencuat terkait dengan uji


w

materi pasal-pasal dalam undang-undang tentang Narkotika, pada bulan juli

2007. persiden mahkamah Konstitusi (MK) itu memeriksaa dua perkara No.

2/PUU-V/2007 yang diajukan oleh empat orang, yaitu Edith Sianturi dan

Rani Andriani, keduanya sedang menjalani hukuman di lembaga

pemasyarakatan khusus wanita, Tangerang, serta Myuran sukmaran dan

Andrew Chan, keduanya warganegara Australia yang sedang menjalani

hukuman dilembaga pemasyarakatan krobokan, Kuta Bali, yang diwakili

4
Ibid Hal. 10
5
Http://www.komisiyudisial.90.id/ind Nasional

3
www.legalitas.org
Kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis. Para pemohon merupakan

terpidana mati yang telah menjalani proses persidangan mulai dari tingkat

pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana

yang diatur dalam UU Nakotika.6

Sejumlah ahli baik dari kalangan akademisi sampai praktisi dan

aparat penegak hukum dihadirkan dalam sidang pengujian UU Narkotika

tersebut. Berbagai pendapat dilontarkan yang semuanya hampir sama-sama

kuat dan logis. Terdapat dua arus pemikiran, yaitu; pertama, mereka yang

kontra pidana mati menganggap bahwa dalam hal tindak pidana narkotika

pidana penjara atau pidana mati lebih banyak ketidak efesien daripada

tujuan yang ingin dicapai, yakni timbulnya efek jera. Hal ini terlihat bahwa

rg
.o
walaupun sudah banyak yang dijatuhkan pidana mati, tetap saja jumlah
as
lit

kasus narkoba tidak berkurang, bahkan bertambah. Sementara, yang pro


ga
.le

pidana mati, menganggap masih perlu dan harus dipertahankan. Ancaman


w
w

hukuman mati masih diperlukan untuk mmberikan ef Tc (m) Tj0.1123ek jera.


w

4
www.legalitas.org
hukuman mati masih diperlukan tapi bukan pada pidana pokoknya. “Ia

harus menjadi pidana khusus yang diterapkan secara hati-hati, selektif

dikhusus pada kasus-kasus berbahaya dan harus ditetapkan bulat oleh majlis

hakim”7

Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa Indonesia termasuk

Negara yang masih menganut pidana mati dalam hukum positifnya. Terkait

dengan penerapan pidana mati, tulisan ini bertitik tolak pidana mati sebagai

sanksi pidana dengan melihat bahwa yang dituju adalah suatu proyeksi

mengenai efektivitasnya sebagai sarana prevensi maupun represi. Hal ini

perlu disoroti, karena menurut penulis perihal pidana mati mengenai perlu

atau tidaknya diterapkan sebaiknya juga dilihat apakah ia dapat memberikan

rg
.o
pengaruh agar tujuan pemidanaan untuk menganggulangi kejahatan
as
lit

tercapai. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan penjelasan yang
ga
.le

bersifat teoritis mengenai peranan sanksi yang dalam hal ini adalah
w
w

hukuman mati di dalam proses efektivikasi hukum.


w

B. Peranan Sanksi Didalam Efektivikasi Hukum

a. Sifat hakekat sanksi

Kiranya merupakan suatu kenyataan, baik dalam masyarakat

sederhana maupun modern, bahwa apabila terjadi suatu delik maka

7
Http//www.Hukum online.com.id

5
www.legalitas.org
dikenakan sanksi. Dalam arti yang luas ada berbagai sanksi negatf,

yakni : 8

I. Pemulihan keadaan,

II. Pemenuhan keadaan

III. Hukuman dalam arti luas, yang mencangkup :

A. Hukuman perdata,

B. Hukuman administratif

C. Hukuman pidana yang mencakup; Siksaan riil atau materil

(misalnya hukuman mati) atau siksaan idial atau moral

(misalnya, pengumuman keputusan hakim)

Di dalam tulisan ini akan dibatasi hukuman pidana siksaan riil

rg
.o
atau materil khususnya pidana mati. Mengenai hukuman bagi pelaku,
as
lit

maka terdapat beberapa teori-teori mengenai pembebanan penjatuhan


ga
.le

hukuman tersebut. Ada tiga teori, yakni; teori absolute, teori relative dan
w
w

teori gabungan dan relatif.


w

Dari segi teori absolute, dengan aspek pembalasannya dan unsur

membinasakan dalam pengertian khusus teori absolute, bahwa pidana

mati bukanlah pembalasan, melainkan refleksi dari sikap muak

masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan, maka nestapa yuridis

berupa hukuman mati harus didayagunakan demi menjaga

keseimbangan dalam tertib hukum. Teori relative dengana aspek

menakutkan (menjerakan) bertujuan melindungi masyarakat umum dan

8
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,
Jakarta : Alumni, hal 40

6
www.legalitas.org
menakuti niat jahat calon penjahat yang secara potensial berbuat jahat.

Teori relatif mengandung aspek menakutkan, tetapi lebih cenderung ke

segi proses paksaan psikologis, dengan maksud si penjahat menjadi jera,

atau upaya menakuti bagi mereka yang secara potensial dapat berbuat

jahat.9 Teori gabungan absolute dan relatif, melihat bahwa tujuan

penjatuhan pidana adalah tidak sekedar bertujuan semata-mata hanya

pembalasan tetapi juga untuk menakutkan.

Sehubungan dengan ketiga teori tersebut diatas, menarik untuk

dikemukakan pendapat J.E. Sahetapy, yang menyatakan bahwa

sebaiknya teori-teori tersebut jika ingin dipakai hanya sebagai referensi

saja. Sebab teori-teori tersebut yang didasarkan atas pemikiran secara

rg
.o
transcendental atau secara “Conceptual abstaraction” belum dapat
as
lit

memberi jawaban yang memuaskan. Lebih lanjut dikemukakannya,


ga
.le

bahwa tujuan pidana bukanlah untuk membalas perbuatan jahat dari si


w
w

pelaku. Sebab bagaimanapun perbuatannya itu sudah terjadi dan tidak


w

perlu lagi disesali; korban telah jatuh. Pernyataan ini, ditunjang dengan

asumsi bahwa si pelaku menganggap pidana bagianya bukan suatu

penderitaan, karena bagimanapun juga si pelaku merasa puas dan

senang bahwa lawannya (sikorban) telah memperoleh suatu imbalan

penderitaan. Ini berarti, bahwa kejahatan sebagai tingkah laku bersifat

simptomatik, tidak hanya si pelaku, melainkan juga dalam hubungan

antara si pelaku dan si korban, oleh karena seringkali si korban juga

9
J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhuan Berencana, Jakarta : Almuni,
Hal 146-148

7
www.legalitas.org
memiliki sifat-sifat yang menimbulkan kecenderungan untuk dijadikan

mangsa dan dengan demikian ikut bertanggung jawab juga. Oleh karena

itu, pembalasan dalam bentuk apapun tidak akan membawa suatu

kesimbangan kembali, kecuali memuaskan nafsu bahwa sipelaku telah

memperoleh imbalan penderitaan. Demikian juga, pidana jangan hanya

untuk menakut-nakuti semata-mata. Tidak ada jaminan bahwa si pelaku

akan menjadi takut dan si pelaku tidka akan berbuat lagi. Mengenai hal

ini, disebutkan contohya yaitu kasus Kusni Kasdut yang telah dijatuhi

pidana mati pada tahun 1954, meskipun pengadilan Tinggi di Jakarta

telah mengubah hukuman menjadi hukuman seumur hidup, ia melarikan

diri. Pada tahun 1964 kemudian dituduh melakukan pembunuhan

rg
.o
berencana lagi, sehingga ia kemudian dijatuhi pidana mati. Dalam
as
lit

perjalannya, selama dipenjara, kusni Kasdut bertobat dan tidak lagi


ga
.le

berusaha melarikan diri, namun pada akhirnya ia dieksekusi juga pada


w

tahun 1980.10 Dengan demikian bilamana pidana dijatuhkan dengan


w
w

tujuan hanya semata-mata untuk membalas dan menakut-nakuti belum

pasti tujuan tercapai. Sebab, belum tentu si terpidana merasa bersalah

atau menyesal tetapi mungkin malah sebaliknya, ia merasa dendam.

Dalam prespektif sosiologis, hukuman mempunyai arti sosial

yang tertentu oleh karena kekuatan suatu sanksi tergantung pada

persepsi manusia mengenai sanksi/hukuman tersebut. Durkheim,

10
Op. cit

8
www.legalitas.org
mengkaitkan jenis sanksi dengan jenis solidaritas sosial masyarakat11

Pada solidaritas mekanis yang didasarkan pada kesamaan dan loyalitas

yang total dari individu, maka sanksi yang diterapkan bersifat represif.

Penjatuhan sanksi bertujuan untuk menghukum kejahatan atau

menghukum perbuatan yang melanggar ketentuan sosial yang dianut.

Sehingga sanksi/hukuman dapat dianggap sebagai alat untuk

memuaskan kesadaran bersama. Pada masyarakat dengan solidaritas

organis yang didasarkan pada deferensiasi antara individu, maka

sanksi/hukumannya bersifat restitutif. Oleh karena itu, yang diperlukan

adalah hukuman yang bersifat akomodati, sifatnya adalah menjaga

perbedaan-perbedaan itu agar tidak menjadi disintegratif. Selain dari

rg
.o
persepsi orang terhadap sanksi, manusia juga mempunyai taraf toleransi
as
lit

yang berbeda-beda terhadap penderitaan sebagai akibat pelanggaran.


ga
.le

Kedudukan sosio – ekonomi juga berpengaruh pada penjatuhan


w
w

hukuman mati bagi seseorang. Seperti yang diungkapkan dalam kajian


w

di Amerika, disebutkan bahwa hukuman mati akan mempunyai

pengaruh yang sangat besar terhadap warga masyarakat yang miskin dan

minoritas, apabila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari

golongan kulit putih. Hal ini terkait dengan bantuan hukum bagi

terdakwa. Mereka juga lebih banyak dihukum mati jika dibantu oleh

11
Taufik Abdullah dan A.C.Van der Leeden, Durkheim Dan Pengantar Sosiologi Moralitas,
Jakarta: yayasan obor Indonesia. Hal 15

9
www.legalitas.org
pengacara yang diitunjuk pengadilan dibandingkan dengan jika

didampingi oleh pengacara pribadi.12

b. Kepastian dalam penerapan sanksi

Suatu ancaman hukuman jika hanya tercantum diatas kertas saja,

maka hal itu tidak ada artinya. Efek dari hukuman yang hanya bersifat

formal saja hamper-hampir tak ada. Efek tersebut akan datang dari

kekuatan suatu ancaman yang benar-benar diterapkan, apabila suatu

ketentuan dilanggar. Sudah tentu kemungkinan bahwa warga masyarkat

takut suatu ancaman hukuman, karena tidak tahu bahwa ancaman

hukuman tersebut hanya bersifat formal. Di dalam bahan bacaan di

rg
.o
bidang kriminologi sering kali ditemukan pernyataan bahwa yang
as
lit

penting pada sanksi adalah kepastian. Dengan kata lain, yang terpenting
ga
.le

adalah apakah suatu sanksi sungguh-sungguh ataukah tidak. Pentingnya


w
w

kepastian tersebut antara lain mengakibatkan bahwa pengawasan


w

terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan tertentu dilakukan secara

ketat.

Terkait dengan masalah kepastian penerapan sanksi

dihubungkan dengan masalah pidana mati, berdasarkan data yang

dikumpulkan dari Direktorat Jendral Permasyarakatan Departemen

Hukum dan HAM RI, menunjukkan bahwa pidana mati yang dijatuhi

oleh hami di Indonesia sampai dengan Maret 2007 berjumlah 95 kasus,

12
Steven Vago, Law And Society, Englewood Cliffs, New Yersey: Prentice Hall, hal 145-146

10
www.legalitas.org
dimana sebagian besar jenis perkara tersebut adalah kejahatan narkotika

dan psikotropika, serta kejahatan pembunuhan berencana. Dari mereka

ada yang telah dieksekusi, dalam proses dan juga menunggu eksekusi.

Beberapa orang telah menunggu eksekusi lebih dari lima tahun bahkan

ada yang lebih dari 10 tahun.13 Pertanyaan kemudian muncul,

bagaimana dampaknya bagi si terpidana sendiri? Jelas, bahwa dengan

teggang waktu yang lama menunggu waktu pelaksanaan eksekusi

ditetapkan, bagi terpidana sendiri sesungguhnya dia telah menjalani dua

bentuk hukuman, yaitu penjara dan hukuman mati.

Dengan demikian apakah keadilan sudah ditegakkan ?

jawabannya tentu tidak. Keadilan ada, jika terdapat keserasian antara

rg
.o
nilai kepastian dan kesebandingan. Kepastian, ditunjukan pada
as
lit

masyarakat yang pelaksanaannya diserahkan pada aparat / penguasa,


ga
.le

dalam hal ini bagi siapa yang melakukan pelanggaran pasti akan
w
w

memperoleh sanksi/hukuman. Kepastian jika dilihat dari sudut


w

masyarakat, perlu bahwa masyarakat harus dilindungi jika mengingat

misalkan dalam hal kasus narkoba yang berkilo-kilo dijual oleh

pengedar, berapa korban khsusna generasi muda yang akan jatuh dan

meninggal dunia akibat over dosis, apakah kesebandingan lebih

ditunjukan pada kepentingan si terpidana, apakah yang bersangkutan

telah memperoleh hukuman sesuai dengan perbuatan yang

13
Pensra, Dalam tesisi berjudul, Perdana Mati DItinjau Dari Sudut Pandang HAM, hal 90

11
www.legalitas.org
dilakukannya. Untuk itu, ketidakpastian dalam pelaksanaan eksekusi,

merupakan tambahan penderitaan bagi terpidana.

Bagi masyarakat kepastian akan pelaksanaan hukuman, juga

dapat berdampak pada proses pencegahan timbulnya kejahatan. Perlu

dicacat, bahwa yang mempunyai dorongan untuk melakukan

pelanggaran atau tidak bukan terletak pada resiko itu sendiri, namun

pada anggapan-anggapan yang berasal dari diri sendiri mengenai resiko

tersebut. Dengan demikian yang menjadi titik sentral adalah apakah

suatu sanksi bersifat sungguh-sungguh atau tidak.

c. Kecepatan pelaksanaan sanksi / hukuman

rg
.o
Kecepatan pelaksanan hukuman sama pentingnya dengan
as
lit

kepastian dan kesebandingan (berat hukuman). Suatu hukuman yang


ga
.le

dijatuhkan mempunyai efek yang lebih besar daripada apabila hal itu
w
w

ditunda. Mengapa? Karena, jika ditunda begitu lama masyarakat akan


w

lupa dengan kejahatan yang dilakukan oleh terpidana, sehingga efek

yang diharapkan agar masyarakat dapat dicegah untuk melakukan

pelanggaran tidak terwujud.

Adapun penyebab lamanya pelaksanaan pidana mati adalah

sebagai berikut : secara substansi, bedasarkan pasal 24, 25, 26, 27, 28,

29 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menyatakan

bahwa masa penahanan untuk terdakwa dengan pidana diatas 9 tahun

dari mulai proses penyidikan sampai dengan keluarnya putusan kasasi

12
www.legalitas.org
dari MAhkamah Agung adalah 700 hari. Belum ditambah dengan masa

pemeriksaan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung yang tidak

dibatasi jangka waktunya, serta lamanya waktu yang dibutuhkan

presiden untuk mempertimbangkan keputusan grasi. Berbeda dengan

peninjauan kembali yang tidak mempunyai jangka waktu, maka grasi

berdasarkan UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, pasal 8, 9, 10, 11,

12, waktu maksimal yang dibutuhkan adalah 7 bulan 11 hari, jika grasi

diajukan melalui Kepala LP. Jika diajukan langsung sendiri, maka

jangka waktu yang ditempuh adalah 7 bulan 4 hari. Berdasarkan pasal 2

ayat (3) UU ini, terpidana dapat mengajukan grasi kedua setelah

permohonan grasi pertama ditolak, dan telah lewat waktu 2 tahun.

rg
.o
Dalam praktek, biasanya setelah terpidana kasasinya ditolak dia
as
lit

mengajukan grasi. Kemudian, setelah grasi ditolak, ia mengajukan


ga
.le

peninjauan kembali. Seperti disebutkan diatas jangka waktu peninjauan


w
w

kembali tidak diatur, sehingga diharapkan peninjauan kembali akan


w

memakan waktu lama, yaitu dua tahun atau lebih.

13
www.legalitas.org
Friedman, bahwa hukuman dengan ancaman hukuman mati dapat

bekerja secara efisien di beberapa masyarakat “yang menggunakan

hukuman tersebut secara cepat, tanpa ampun dan frekuensinya baik.

Hukuman mati tidak dapat bekerja dengan baik di Amerika Serikat

dimana pelaksanaannya berlangsung lamban dan bersifat kontoversi”14

Dari uraian diatas, maka dengan adanya ketidak pastian dan

lamanya pelaksanaan eksekusi, tentunya hukuan mati sebagai sarana

untuk menimbulkan efek jera dan usaha pencegahan timbulnya

kejahatan tidak terwujud. Sebab, masyarakat sudah lupa dengan

kejahatan yang dilakukan oleh terpidana itu sendiri. Jikapun masih

ingat, mungkin mereka menjadi berfikir belum tentu hukuman akan

rg
.o
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, dapat saja
as
lit

mereka mencoba-coba melakukan pelanggaran, dengan harapan apabila


ga
.le

tertangkap hukuman tidak dilaksanakan.


w
w

Namun demikian, pernyataan diatas perlu dibuktikan bahwa


w

apakah pidana mati membawa pengaruh pada efektivitas hukum. Hal ini

harus dilakukan dengan mempelajari secara empiris dan faktual. Seperti

yang dikatakan oleh Marjono Reksodiputro, bahwa hubungan ancaman

hukuman mati dengan mengurangi kejahatan atau tindak kejahatan

sangat hipotetical. Kurang bisa dibuktikan, tetapi bukan berarti bahwa

14
Steven Vago, The Debate Over The Death Penalty, dalam Law And Society, Englewood
Cliffs, New Yersey: Prentice Hall, hal 145

14
www.legalitas.org
tidak dapat mengurangi. Orang yang mengatakan hapuskan hukuman

matipun tidak dapat membuktikan bahwa pidana mati itu tidak efektif.15

C. Penutup

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa :

1. Hukum positif kita masih mengadopsi pidana mati.

2. Perdebatan panjang antara yang pro dan kontra pidana mati sampai saat

ini terus berlangsung. Perdebatan berkisar perlu atau tidaknya pidana

mati diterapkan di Indonesia. Mereka yang menganggap perlu,

menyakinkan bahwa pidana mati dapat memberikan efek jera, sehingga

rg
.o
satu-satunya cara khusus untuk narkoba dengan penjatuhan pidana mati
as
lit

bagi pelaku. Mereka yang kontra pidana mati, berargumen bahwa


ga
.le

pidana mati tidak menimbulkan efek jera terlihat dari banyaknya kasus
w
w

narkoba saat ini, walaupun sudah ada ancaman pidana mati. Mereka
w

berpendapat bahwa untuk melihat antara hukuman mati dengan

mengurangi kejahatan itu perlu dibuktikan lebih lanjut. Hal ini bersifat

hipotetical.

3. Secara sosiologis, pidana mati dapat menimbulkan efek jera atau dapat

mengurangi timbulnya kejahatan dipengaruhi sifat oleh hakekat sanksi,

kepastian dan persepsi terhadap sanksi, maupun kecepatan-kecepatan

penindakan/penerapan sanksi. Sanksi dapat bersifat positif dan negatif.

15
Rayon Ali, dalam tesis berjudul Pidana Mati Analisis Terhadap Aturan Pidana, Penerapan
dan Pelaksanaan (Eksekusi) Serta Prospeknya dalam Pembaharuan Hukum Hal 168-169

15
www.legalitas.org
Sanksi positif berwujud imbalan dan negatif berwujud hukuman.

Hukuman mempunyai arti sosial tertentu oleh karenanya kekuatan

sanksi tergantung pada persepsi manusia terhadap sanksi itu sendiri,

kepastian penerapannya dan juga kecepatan penindakan/penerapannya.

Dalam praktek, terdapat kendala dalam substansi peraturan terkait

masalah permohonan peninjauan kembali dan grasi, sehingga tenggang

waktu antara penjatuhan vonis sampai dengan eksekusi memakan waktu

relatif lama. Hal ini akan berpengaruh pada efektivitas pidana mati

dalam mengurangi atau memberantas kejahatan. Namun demikian,

seperti yang telah disebutkan diatas bahwa ulasan ini bersifat teoritis,

sehingga perlu kajian secara empiris.

rg
.o
as
lit
ga
.le
w
w
w

16
www.legalitas.org
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdullah, Taufik dan A.C.Leeden, Durkheim Dan Pengantar Sosiologi

Moralitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1986

Hamzah dan Siti Rahayu. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di

Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo. 1983

Hamzah, Andi dan Sumangelipu. Pidana Mati Di Indonesia Di Masa lalu, Kini

Dan Di Masa Depan. Jakarta : Ghalia Indonesia. 1984

Poernomo, Bambang. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di

Indonesia. Yogyakarta. yogyakarta : Liberty. 1982

rg
.o
Prakoso, Djoko dan Nurwachid. Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai
as
lit

fektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini. Jakarta : Ghalia


ga
.le

Indonesia. 1983
w
w

Sahetapy, J.E. Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap
w

Pembunuhan Berencana. Jakarta : Rajawali Pers 1978

.Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. Jakarta

Alumni. 1979

Saleh, Roeslan. Masalah Pidana Mati. Jakarta : Aksara Baru. 1978

Soekanto, Soerjono. Efektivifikasi Hukum Dan Peranan Sanksi. Bandung :

Remadja Karya. 1985

17
www.legalitas.org
.Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah

Sosial. Bandung : Citra Adiya Bakti. 1989

Vago, Steven. Law And Society. New Yersey: Prentice Hall, Englewood

Cliffs.1991

B. Karya tak diterbitkan / tesis

Ali Raymond. Analisis Terhadap Aturan Pidana, Penerapan, Dan Pelaksanaan

(Eksekusi) Serta Prospeknya dalam Pembaharuan Hukum

Pidana. Tesis telah diuji pada Program Pascasarjana FHUI. 2005

Pensra. Dalam tesis berjuduk. Pidana Mati Ditinjau Dari Sudut Pandang HAM,

tesis telah diuji pada Program Pascasarjana FHUI. 2007

rg
.o
C. Peraturan
as
lit

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia


ga
.le

Republik Indonesia, Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika.


w
w

__________ No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.


w

__________ No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

__________ No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia.

__________ No.22 Tahun 2002 tentang Grasi.

__________ No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

18

You might also like