You are on page 1of 41

TUGAS KEUANGAN DAN

PERBANKAN SYARIAH

MUDHARABAH

Disusun Oleh:

- Yuanita Levany (123090070)

- Mega Melianti (123090082)

- Tengku Febrianti M (1230900

- Rizky Ria Santi (1230900

- Yana

- Rizky hamid

- Parista

Magister Akuntansi

Trisakti University

Jakarta 2010
Pendahuluan

Bahwa kegiatan-kegiatan investasi bank Islam oleh para

teoritisi Perbanklan Islam membayangkan mesti di dasarkan

pada dua konsep hukum : Mudharabah dan Musyarakah, atau

yang dikenal dengan istilah Profit and Loss Sharing (PLS).

Mereka berpendapat bahwa Bank Islam akan menyediakan

sumber-sumber pembiayaan yang luas kepada para peminjam

dengan prinsip berbagi-risiko, tidak seperti pembiayaan

berbasis bunga dimana peminjamnya menanggung semua risiko.

Namun dalam praktiknya, bank-bank Islam umumnya telah

menyadari bahwa PLS, seperti yang dibayangkan para teoritisi,

tidak dapat digunakan secara luas dalam Perbankan Islam

dikarenakan risiko-risiko yang ditanggungkan kepada Bank.

Apakah konsep teoritisi yang ditawarkan dengan sistem

Mudharabah dalam literatur fiqih dapat diaplikasikan secara

murni pada Perbankan Islam dalam tingkat realitas?. Makalah

ini hendak mencermati bagaimana konsep Mudharabah itu

dikembangkan dalam fiqih dan dapat digunakan dalam

Perbankan Islam.
DEFINISI

Menurut Bahasa: Penduduk Iraq menggunakan istilah

mudharabah untuk menyebut urus niaga pelaburan. Mudharabah

diambil dari kata )‫ ا)ل)ض))))ر)ب) ف)ى) ا)أل))ر)ض‬. Maksudnya, melakukan

perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan mencari rezeki.

Ada juga yang mengatakan diambil dari kata dharb (mengambil)

keuntungan dengan saham yang dimiliki.

D a l a m b a h a s a H i j a z , q i r a d h ()‫ )ق)))ر)ا)ض‬i a i t u k a t a t e r b i t a n

daripada qardh ()‫ )ق)))ر)ض‬y a n g bermaksud potong. Kontrak ini

dinamakan sedemikian kerana pemodal 'memotong' sebahagian

hartanya untuk diberikan kepada pengusaha yang akan

menguruskannya.. Urusniaga ini turut dikenali sebagai

m u q a r a d h a h ()‫ )م)ق)ا)ر)ض)ه‬y a n g b e r m a k s u d s a m a r a t a k e r a n a k e d u a -

dua pihak berkongsi keuntungan.

Menurut syarak: Akad antara pemodal dan pengusaha di

mana pemodal akan menyerahkan sebahahagian hartanya kepada

seseorang sebagai pengusaha untuk diniagakan. Keuntungan

pula akan dikongsi bersama dengan nisbah yang dimaklumi.

Dalam fiqih Islam mudharabah merupakan salah satu

bentuk kerjasama antara rab al-mal (investor) dengan seorang

pihak kedua (mudharib) yang berfungsi sebagai pengelola dalam

berdagang. Istilah mudharabah oleh ulama fiqh Hijaz

menyebutkan dengan Qiradh.


Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau

berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya

adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan

usaha.

Secara terminologi, para Ulama Fiqh mendefinisikan

Mudharabah atau Qiradh dengan :

“Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada

pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan

keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi

menurut kesepakatan”.

Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya dan

mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak.

Salah satu cirri utama dari kontrak ini adalah bahwa

keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudharib

berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya.

Kerugian, jika ada, akan ditanggung sendiri oleh si investor

PENSYARIATAN

Secara eksplisit dalam al-Qur‟an tidak dijelaskan

langsung mengenai hukum mudharabah, meskipun ia

menggunakan akar kata dl-r-b yang darinya kata mudharabah

diambil sebanyak lima puluh delapan kali, namun ayat-ayat

Qur‟an tersebut memiliki kaitan dengan mudharabah, meski


diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti “perjalanan”

atau “perjalanan untuk tujuan dagang”.

Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena

bertujuan untuk saling membantu antara rab al-mal (investor)

dengan pengelola dagang (mudharib). Demikian dikatakan oleh

Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa kebolehan

akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus.

Meskipun mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh al-

Qur‟an atau Sunnah, ia adalah sebuah kebiasaan yang diakui

dan dipraktikkan oleh umat Islam, dan bentuk dagang semacam

ini tampaknya terushidup sepanjang periode awal era Islam

sebagai tulang punggung perdagangan karavan dan perdagangan

jarak jauh.

Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha

tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah firman Allah

dalam Surah al- Muzzammil ayat 20 :

“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang

yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi

mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain


lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang

mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)

Selain itu, Rasulullah s.a.w juga pernah bersabda dalam

sebuah hadith daripada Suhaib r.a :

))‫ث)ال))ث) ف)ي)ه)ن) ا)ل)ب)ر)ك)))ة) ا)ل)))ب)ي)ع) ا)ل)ى) أ)ج)))ل) و)ا)ل)م)ق)ا)ر)ض)))ة) و)أ)خ)ال))ط) ا)ل)))ب)ر) ب)ا)ل)ش)))ع)ي)ر) ل)ل)))ب)ي)ت) ال‬

).))‫ل)ل)ب)ي)ع) (ر)و)ا)ه) ا)ب)ن) م)ا)ج)ه‬

Maksudnya: “Ada tiga perkara yang diberkati iaitu jual

beli secara hutang, muqaradhah (al-mudharabah) dan

mencampurkan gandum dan barli untuk kegunaan rumah bukan

untuk dijual.” (Riwayat Ibn Majah).

Ini menunjukkan bahawa pelaburan al-mudharabah

diharuskan oleh syarak. Nabi s.a.w juga pernah melakukannya

ketika baginda diminta oleh Saidatina Khadijah r.a untuk

membawa barang dagangannya ke Syam untuk diperniagakan.

Para ulama sepakat bahwa sistem penanaman modal ini

dibolehkan. Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah ijma’

ulama yang membolehkannya. Seperti dinukilkan Ibnul Mundzir,

Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, dan lainnya.

Ibnu Hazm menyatakan: “Semua bab dalam fiqih selalu

memiliki dasar dalam Al Qur’an dan Sunnah yang kita ketahui

-Alhamdulillah- kecuali Al Qiraadh (Al Mudharabah (pen).

Kami tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al Qur’an

dan Sunnah. Namun dasarnya adalah ijma’ yang benar. Yang


dapat kami pastikan bahwa hal ini ada dizaman

shallallahu’alaihi wa sallam, beliau ketahui dan setujui dan

seandainya tidak demikian maka tidak boleh.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari pernyataan Ibnu

Hazm di atas dengan menyatakan: “Ada kritikan atas pernyataan

beliau ini:

1. Bukan termasuk madzhab beliau membenarkan ijma’ tanpa

diketahui sandarannya dari Al Qur’an dan Sunnah dan ia

sendiri mengakui bahwa ia tidak mendapatkan dasar dalil

Mudharabah dalam Al Qur’an dan Sunah.

2. Beliau tidak memandang bahwa tidak adanya yang

menyelisihi adalah ijma’, padahal ia tidak memiliki disini

kecuali ketidak tahuan adanya yang menyelisihinya.

3. Beliau mengakui persetujuan Nabi shallallahu’alaihi wa

sallam setelah mengetahui sistem muamalah ini. Taqrier

(persetujuan) Nabi shallallahu’alaihi wa sallam termasuk

satu jenis sunnah, sehingga (pengakuan beliau) tidak

adanya dasar dari sunnah menentang pernyataan beliau

tentang taqrir ini.

4. Jual beli (perdagangan) dengan keridhaan kedua belah

fihak yang ada dalam Al Qur’an meliputi juga Al Qiradh

dan Mudharabah
5. Madzhab beliau menyatakan harus ada nash dalam Al

Qur’an dan Sunnah atas setiap permasalahan, lalu

bagaimana disini meniadakan dasar dalil Al Qiradh dalam

Al Qur’an dan Sunnah

6. Tidak ditemukannya dalil tidak menunjukkan ketidak

adaannya

7. Atsar yang ada dalam hal ini dari Nabi shallallahu’alaihi

wa sallam tidak sampai pada derajat pasti (Qath’i) dengan

semua kandungannya, padahal penulis (Ibnu Hazm)

memastikan persetujuan Nabi dalam permasalahan ini.

Demikian juga Syaikh Al Albani mengkritik pernyataan Ibnu

Hazm diatas dengan menyatakan: “Ada beberapa bantahan (atas

pernyataan beliau), yang terpenting bahwa asal dalam

Muamalah adalah boleh kecuali ada nas (yang melarang) beda

dengan ibadah, pada asalnya dalam ibadah dilarang kecuali ada

nas, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Al

Qiradh dan Mudharabah jelas termasuk yang pertama. Juga ada

nash dalam Al Qur’an yang membolehkan perdagangan dengan

keridhoan dan ini jelas mencakup Al Qiraadh. Ini semua cukup

sebagai dalil kebolehannya dan dikuatkan dengan ijma’ yang

beliau akui sendiri.”

Dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyah menyatakan:

“Sebagian orang menjelaskan beberapa permasalahan yang ada


ijma’ padanya namun tidak memiliki dasar nas, seperti Al

Mudharabah, hal itu tidak demikian. Mudharabah sudah

masyhur dikalangan bangsa Arab dijahiliyah apalagi pada

bangsa Quraisy, karena umumnya perniagaan jadi pekerjaan

mereka. Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pengelola

(‘umaal). Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam sendiri

pernah berangkat membawa harta orang lain sebelum kenabian

sebagaimana telah berangkat dalam perniagaan harta Khadijah.

Juga kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan kebanyakannya

dengan sistem mudharabah dengan Abu Sufyan dan selainnya.

Ketika datang islam Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam

menyetujuinya dan para sahabatpun berangkat dalam perniagaan

harta orang lain secara Mudharabah dan beliau

shallallahu’alaihi wa sallam tidak melarangnya. Sunnah disini

adalah perkataan, pebuatan dan persetujuan beliau, ketiak

beliau setujui maka mudharabah dibenarkan dengan sunnah.

Juga hukum ini dikuatkan dengan adanya amalan sebagian

sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam diantaranya

yang diriwayatkan dalam Al-Muwattha’ dari Zaid bin Aslam,

dari ayahnya bahwa ia menceritakan: Abdullah dan Ubaidillah

bin Umar bin Al-Khattab pernah keluar dalam satu pasukan ke

negeri Iraaq. Ketika mereka kembali, mereka lewat di hadapan

Abu Musa Al-Asy’ari, yakni gubernur Bashrah. Beliau


menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu

dengan suka cita. Beliau berkata: “Kalau aku bisa melakukan

sesuatu yang berguna buat kalian, pasti akan kulakukan.”

Kemudian beliau berkata: “Sepertinya aku bisa melakukannya.

Ini ada uang dari Allah yang akan kukirimkan kepada Amirul

Mukminin. Beliau meminjamkannya kepada kalian untuk kalian

belikan sesuau di Iraaq ini, kemudian kalian jugal di kota Al-

Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul

Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil.” Mereka berkata:

“Kami suka itu.” Maka beliau menyerahkan uang itu kepada

mereka dan menulis surat untuk disampaikan kepada Umar bin

Al-Khattab agar Amirul Mukminin itu mengambil dari mereka

uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota Al-Madinah,

mereka menjual barang itu dan mendapatkan keuntungan. Ketika

mereka membayarkan uang itu kepada Umar. Umar lantas

bertanya: “Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh

Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian berdua?”

Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau berkata: “Apakah karena

kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin sehingga ia memberi

kalian pinjaman?” Kembalikan uang itu beserta

keuntungannya.” Adapun Abdullah, hanya membungkam saja.

Sementara Ubaidillah langsung angkat bicara: “Tidak

sepantasnya engkau berbuat demikian wahai Amirul Mukminin!


Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami akan

bertanggungjawab.” Umar tetap berkata: “Berikan uang itu

semaunya.” Abdullah tetap diam, sementara Ubaidillah tetap

membantah. Tiba-tiba salah seorang di antara penggawa Umar

berkata: “Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai

investasi modal wahai Umar?” Umar menjawab: “Ya. Aku

jadikan itu sebagai investasi modal.” Umar segera mengambil

modal beserta setengah keuntungannya, sementara Abdullah dan

Ubaidillah mengambil setengah keuntungan sisanya.

Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama

semacam itu hingga jaman kiwari ini di berbagai masa dan

tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan

konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan

bangsa Quraisy secara turun temurun dari jaman jahiliyah

hingga zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, kemudian

beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.

Tentulah sangat bijak, bila pengembangan modal dan

peningkatan nilainya merupakan salah satu tujuan yang

disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa dikembangkan

dengan dikelola dan diperniagakan. Sementara tidak setiap

orang yang mempunyai harta mampu berniaga, juga tidak setiap

yang berkeahlian dagang mempunyai modal. Maka masing-

masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu
Mudharabah ini disyariatkan oleh Allah demi kepentingan kedua

belah pihak.

HIKMAT

1. Memberi keringanan dan kemudahan kepada manusia yang

mempunyai kemahiran, tenaga dan berkeinginan untuk

menjalankan perniagaan tetapi tiada harta yang banyak

supaya dapat berusaha dengan modal orang lain.

2. Ada pula sesetengah manusia yang mempunyai harta yang

banyak tetapi tidak tahu cara untuk mengurus dan

mengembangkan hartanya. Jadi mereka boleh melabur

dengan cara mudharabah.

3. Dapat membina sifat kerjasama atas perkara yang baik di

mana harta dan tenaga dapat disatukan untuk menghasilkan

wang yang lebih banyak dengan mencari keuntungan yang

berganda.

4. Kedua-dua pihak mendapat bahagian keuntungan masing-

masing. Pemodal dan manfaat daripada modal yang

dilaburkannya sementara pengusaha daripada kerjanya.

RUKUN MUDHARABAH DAN SYARAT-SYARATNYA

Dalam hal rukun akad mudharabah terdapat beberapa perbedaan

pendapat antara Ulama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama.


Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad

mudharabah adalah Ijab dan Qabul.

Dalam hal rukun akad mudharabah terdapat beberapa perbedaan

pendapat antara Ulama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad

mudharabah adalah Ijab dan Qabul.

Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang

dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah :

1. Orang yang berakal harus cakap bertindak hukum dan

cakapdiangkat sebagai wakil.

2. Mengenai modal disyaratkan :

a) berbentuk uang,

b) jelas jumlahnya,

c) tunai, dan

d) diserahkan sepenuhya kepada mudharib (pengelola).

Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut

Ulama Fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk

menentukan keuntungannya.

3. Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa

pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-

masing diambil dari keuntungan dagang itu.


Rukun- Syarat-syaratnya

rukun

Mudharabah
1. Lafaz ijab dan qabul menunjukkan penawaran

Sighah dan penerimaan akad mudharabah atau yang

membawa maksud tersebut.

2. Tidak diselangi dengan diam yang lama atau

perkataan lain antara ijab dan qabul .


A’qidani 3. Pemodal ahli tasarruf dalam menguruskan harta

Pemodal (tidak terlarang dan berhak ke atas hartanya

untuk mewakilkannya)

4. Kedua-dua pihak mempunyai kelayakan sebagai

wakil (pengusaha) dan pewakil (pemodal).

5. Cukup umur iaitu telah baligh (bukan kanak-

kanak) dan berakal.


Pengusaha 6. Pengusaha berkemampuan menguruskan harta

(tidak safih dan tidak buta)


7. Modal mestilah berbentuk mata wang seperti

dinar, emas atau matawang sekarang.

Modal 8. Modal tidak boleh berbentuk barang dagangan

kerana menimbulkan gharar pada harga atau

nilainya .

9. Modal juga mestilah dalam bentuk tunai (tidak

berada dalam tanggungan orang lain).

10. Modal mestilah diserahkan kepada pengusaha


dan berada dalam tanggungan dia untuk

diusahakan.
11. Perniagaan atau perusahaan yang diharuskan

Pekerjaan oleh syarak. Oleh itu, tidak sah pelaburan pada

perniagaan arak, perjudian dan sebagainya.


12. Mesti dikongsi bersama oleh pemodal dan

pengusaha. (Tidak sah akad jika keuntungan

tersebut hanya dibayar pada satu pihak).

Keuntungan 13. keuntungan setiap pihak mestilah ditetapkan

pada kadar atau nisbah yang tertentu seperti

dibahagikan kepada 30:70 atau 1/3 dan 2/3. (Tidak

sah akad jika ditetapkan keuntungan mengikut

nilai tertentu atau kadar/peratusan yang

dinisbahkan pada modal ).

14. keuntungan hanya dibahagikan kepada pelabur

dan pengusaha sahaja.

Modal

Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang

harus dipenuhi:
1. Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang ( Al Naqd)

dasarnya adalah ijma’ atau barang yang ditetapkan

nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih.

2. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.

3. Modal yang diserahkan harus tertentu.

4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan

pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas

dengannya.

Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan

harus diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada Mudharib

(pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak

dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa

barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan

nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai barang

tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya seorang

memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada

Mudharib (pengelola modal), maka ketika akad kerja sama

tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut

dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal

Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.

Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena

menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut

berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa


jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring

berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi

ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.

Dari sekian empat Madzhab Fiqh tak satupun yang

mengizinkan suatu kontrak dimana kreditur meminta debitur

untuk menjalankan mudharabah berdasarkan pengertian bahwa

modal kongsi adalah hutang calon mudharib kepada investor.

Rab al-mal (investor) harus menyerahkan modal mudharabah

kepada mudharib agar kontrak ini menjadi sah. Mudharib bebas

menginvestasikan dan menggunakan modal tersebut dalam

batas-batas klausul kontrak mudharabah yang secara umum

menetapkan jenis usaha yang dipilih, jangka waktu kongsi, dan

lokasi-lokasi tempat mudharib boleh menjalankan usahanya

Manajemen

Sebagai mudharib yang menjalankan mudharabah untuk

kongsi, hendaknya harus memiliki kebebasan yang diperlukan

dalam pengelolaan kongsi dan dalam pembuatan semua

keputusan terkait. Ia bebas menentukan sendiri bentuk barang-

barang untuk dikelola, memberikan modal kepada pihak ketiga,

melibatkan diri dalam suatu kerjasama (musyarakah) dengan

pihak-pihak lain tanpa ditentukan oleh investor. Sehingga

mempeoleh hasil dan keuntungan yang maksimal.


Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan antara investor

dengan mudharib, Ulama Fiqh membagi mudharabah kepada dua

jenis : Mudharabah muthlaqah (tak terbatas untuk menyerahkan

modal secara mutlak, tanpa syarat dan pembatasan) dan

Mudharabah muqayyadah (terbatas untuk menyerahkan modal

dengan syarat dan batasan tertetu).

Dalam mudharabah muthlaqah, mudharib boleh dan bebas

menggunakan modal untuk membeli barang apapun dari

siapapun dan kapanpun ia boleh menjual barang-barang

mudharabah dengan cara tunai atau kredit bahkan ketika si

mudharib dibatasi pun, ia bebas berdagang sesuai dengan

praktik umumnya para pedagang.

Akan tetapi dalam mudharabah muqayyadah, mudharib

harus mengikuti syarat-syarat dan batasan-batasan yang

dikemukakan oleh investor. Misalnya, mudharib harus

berdagang barang tertentu, pada tempat tertentu, dan membeli

barang pada orang tertentu.

Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, jika investor

menentukan bahwa mudharib tidak boleh membeli kecuali dari

orang tertentu, maka mudharabah itu batal14. Abu Saud, penulis

kontemporer tentang Bank Islam, mengatakan :

(mudharib) harus memiliki kebebasan muthlak dalam

berdagang dengan uang yang diberikan kepadanya dan


mengambil segala langkah/keputusan yang ia anggap tepat

untuk memperoleh keuntungan maksimal. Segala syarat yang

membatasi kebebasan semacam ini merusak keabsahan

perjanjian mudharabah

Jangka Waktu

Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i bahwa, kontrak

mudharabah tidak boleh menentukan syarat adanya jangka waktu

tertentu bagi kongsi. Menurutnya hal demikian dapat membuat

kontrak menjadi batal. Namun kalangan madzhab Hanafi dan

Hambali membolehkan klausul demikian.

Ulama yang berpendapat pertama memberikan argumen

bahwa pembatasan waktu semacam ini bisa membuat peluang

yang baik lepas dari tangan mudharib atau mengacaukan

rencana-rencananya, sehingga mengakibatkan tidak dapat

memperoleh keuntungan dari usaha yang telah dilakukan.

Mengenai penghentian kontrak mudharabah, masing-

masing dari pihak berhak untuk mengentikan kontrak tersebut

dengan memberitahukan keputusan itu kepada pihak lain.

Karena bagi mayoritas fuqaha mudharabah bukanlah suatu

kontrak yang mengikat. Tak ada perbedaan pendapat ketika

penghentian ini dilakukan sebelum mudharib mulai menjalankan

mudharabah.
Imam Syafi’i dan Hanafi mengungkapkan bahwa bahkan

setelah mudharib menjalankan mudharabah, siapapun diantara

kedua belah pihak bias menghentikannya. Namun Imam Malik

tidak mengizinkannya dalam penghentian kontrak semacam

tersebut. Ketika kontrak mudharabah menjadi batal untuk alasan

apapun, si mudharib harus diberi upah yang layak sebagai

imbalan dari pekerjaan yang telah ia lakukan, meskipun dalam

ketentuan mudharabah tidak demikian, namun dilakukan sebagai

sebagai suatu kontrak upahan (ijarah). Hal tersebut berdasarkan

klausul suatu kontrak upahan, dimana seorang pekerja harus

diberi upah atas pekerjaannya.

Jaminan

Mengingat hubungan antara investor dengan mudharib

adalah hubungan yang bersifat „gadai‟ dan mudharib adalah

orang yang dipercaya, maka tidak ada jaminan oleh mudharib

kepada investor. Investor tidak dapat menuntut jaminan apapun

dari mudharib untuk mengembalikan modal dengan keuntungan.

Jika investor mempersyaratkan pemberian jaminan dari

mudharib dan menyatakan hal ini dalam syarat kontrak, maka

kontrak mudharabah mereka tidak sah, demikian menurut Malik

dan Syafi’i.
HUKUM KONTRAK

Kontrak mudharabah atau pelaburan perkongsian adalah

kontrak yang jaiz dan tidak lazim. Maknanya, kedua-dua pihak

iaitu pemodal dan pengusaha berhak membatalkan kontrak,

tidak kira sama ada pengusaha telah mengusahakan modal

seperti berjual beli dan sebagainya ataupun belum lagi.

JENIS-JENIS MUDHARABAH

1 Mudharabah Mutlaqah

Satu pelaburan di mana pelabur menyerahkan modal

kepada pengusaha tanpa menetapkan apa-apa syarat dan batasan

tertentu kepada pengusaha dalam menguruskannya. Mudharabah

seperti ini diharuskan dalam keempat-empat mazhab.

2 Mudharabah Muqayyadah

Pelaburan dalam bentuk pemilik harta menyerahkan modal

kepada pengusaha dengam menetapkan sesuatu syarat dan

batasan tertentu kepada pengusaha di dalam menguruskannnya

sama ada dari segi tempat, jenis barang atau waktu tertentu.

Mudharabah jenis ini diharuskan oleh Imam Abu Hanifah dan

Imam Ahmad iaitu dalam

Mazhab Hanafi dan Hanbali mengharuskannya. Sebaliknya Imam

Maliki dan Syafei tidak mengharuskannya.


Pembatasan Waktu Penanaman Modal

Diperbolehkan membatasi waktu usaha dengan penanaman

modal menurut pendapat madzhab Hambaliyyah. Dengan dasar

dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu

sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada

sisi yang lainnya.

Keuntungan

Mudharabah pada dasarnya adalah suatu serikat laba, dan

komponen dasarnya adalah penggabungan kerja dan modal. Laba

bagi masing-masing pihak dibenarkan berdasarkan kedua

komponen tersebut. Risiko yang terkandung juga menjadi

pembenar laba dalam mudharabah. Dalam kasus yang kongsinya

tidak menghasilkan laba sama sekali, risiko investor adalah

kehilangan sebagian atau seluruh modal, sementara risiko

mudharib adalah tidak mendapatkan atas kerja dan usahanya.

Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan,

demikian juga Mudharabah. Namun dalam Mudharabah

disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:

1. Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama

yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal.

Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak

ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan


pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3

lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali

disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut,

sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang.[ Seandainya

dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan separuhnya

untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’,

maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.

2. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya

untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya

bekerja sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan

sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i

tidak sah.

3. Keuntungan harus diketahui secara jelas.

4. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu

bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga

keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata

seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila

ditentuan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama

Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu

juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah.

Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti

sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.


Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal

berikut:

1. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak,

namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal Ibnu

Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan: “Keuntungan

sesuai dengan kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan

dengan pernyataan: “Maksudnya dalam seluruh jenis

syarikat dan hal itu tidak ada perselisihannya dalam Al

Mudharabah murni.” Ibnul Mundzir menyatakan: “Para

ulama bersepakat bahwa pengelola berhak memberikan

syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½ atau

sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan

jelas dalam bentuk persentase.”

2. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari

keuntungan. Apabila keduanya tidak menentukan hal

tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang umum dan

seluruh keuntungan milik pemilik modal (investor). Ibnu

Qudamah menyatakan: “Diantara syarat sah Mudharabah

adalah penentuan bagian (bagian) pengelola modal karena

ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga

tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan:

Ambil harta ini secara mudharabah dan tidak disebutkan

(ketika akad) bagian pengelola sedikitpun dari


keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik

modal dan kerugian ditanggung pemilik modal sedangkan

pengelola modal mendapat gaji umumnya. Inilah pendapat

Al Tsauri, Al Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al

Ra’i (Hanafiyah).” Beliaupun merajihkan pendapat ini.

3. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan

sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna.

Berarti tidak seorangpun berhak mengambil bagian

keuntungan sampai modal doserahkan kepada pemilik

modal, apabila ada kerugian dan keuntungan maka

kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik baik

kerugian dan keuntungannya dalam satu kali atau kerugian

dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan

yang lainnya atau yang satu dalam satu perjalanan niaga

dan yang lainnya dalam perjalanan lain. Karena makna

keuntungan adalah kelebihan dari modal dan yang tidak

ada kelebihannya maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu

ada perselisihan dalam hal ini.

4. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan

kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat. Ibnu

Qudamah menyatakan: “Keuntungan jika tampak dalam

mudharabah, maka pengelola tidak boleh mengambil

sedikitpun darinya tanpa izin pemilik modal. Kami tidak


mengetahui dalam hal ini ada perbedaan diantara para

ulama.

Tidak dapat melakukannya karena tiga hal:

1. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa

dipastikan tidak ada kerugian yang dapat ditutupi dengan

keuntungan tersebut.sehingga berakhir hal itu tidak

menjadi keuntungan

2. Pemilik modal adalah mitrra usaha pengelola sehingga ia

tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk

dirinya.

3. Kepemilikannya tas hal itu tidak tetap, karena mungkin

sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.

Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil

sebagiannya, maka diperbolehkan; karena hak tersebut milik

mereka berdua.”

Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu

pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha

tersebut. Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak

terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan

tidak akan bersikap permanen sebelum diberakhirkannya

perjanjian dan disaring seluruh bentuk usaha bersama yang ada.

Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih

bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian


yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan

akhir.

Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan

keuntungan, aplikasinya bisa dua macam:

Pertama: perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara

itu pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan

menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.

Kedua: Finish cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni

dengan cara penguangan aset dan menghadirkannya lalu

menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila pemilik

modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar

kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan

meneruskan usaha yang lalu.

Syarat Dalam Mudharabah

Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-

syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan

kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat dalam Al

Mudharabah ini ada dua:

1. Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak

menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta

memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik


modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi

harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri

atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau

jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini

dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi,

karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan

maksud akad perjanjian mudharabah.

2. Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:

 Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad,

seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak

menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga

modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati

ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan

maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.

 Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah,

seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan

Mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.

 Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti

mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang

tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua

usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik

modal dan yang satunya untuk pengelola atau menentukan

nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini


disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan

yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak

dapat keuntungan sama sekali. Sehingga akadnya batal.

Mudharabah dalam Perbankan Islam

Pembahasan mudharabah dalam Perbankan Islam lebih

cenderung bersifat aplikatif dan praktis, jika dibandingkan

dengan literatur fiqh yang bersifat teoritis. Kontrak

mudharabah bank-bank Islam saat ini sudah menjamur diseluruh

dunia, terutama di Timur Tengah. Perbankan Islam telah

menjadi istilah yang sudah tidak asing baik didunia Muslim

maupun di dunia Barat. Istilah tersebut mewakili suatu bentuk

perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan layanan-

layanan bebas „bunga‟ kepada para nasabah.

Umumnya, kontrak mudharabah digunakan dalam

perbankan Islam untuk tujuan dagang jangka pendek dan untuk

suatu kongsi khusus. Kontrak-kontrak tersebut yang ada

seringkali berarti jual-beli barang, yang menunjukkan sifat

dagang dari kontrak ini.

Para nasabah bank Islam mengikuti kontrak-kontrak

mudharabah dengan bank Islam. Mudharib (nasabah) setelah

menerima dukungan pendanaan dari bank, membeli sejumlah

atau senilai tertentu dari barang yang sangat spesifik dari


seorang penjual dan menjualnyakepada pihak ketiga dengan

suatu laba. Sebelum disetujuinya pendanaan, mudharib

memberikan kepada bank segala perincian mendetail yang

terkait dengan barang, sumber dimana barang dapat dibeli serta

semua biaya yang terkait dengan pembelian barang tersebut.

Kepada bank mudharib menyajikan pernyataan-pernyataan

finansial yang disyaratkan menyangkut harga jual yang

diharapkan, arus kas (cash flow) dan batas laba (profit

margin), yang akan dikaji oleh bank sebelum diambil keputusan

apapun tentang pendanaan.

Biasanya bank akan memberi dana yang diperlukan jika ia

telah cukup puas dengan batas laba yang diharapkan atas dana

yangdiberikan.

Modal

Kontrak-kontrak mudharabah bank Islam menentukan

jumlah modal yang digunakan dalam kongsi. Ringkasnya, tidak

ada dana tunai yang diberikan kepada mudharib. Jumlah modal

diangsur ke dalam rekening mudharabah yang oleh bank dibuka

untuk tujuan pengelolaan mudharabah. Karena umumnya

mudharabah untuk tujuan pembelian barang-barang tertentu,

maka bank sendirilah yang melakukan pembayaran kepada

penjual. Dana-dana yang diberikan oleh bank sebagai modal


tidak dalam penanganan mudharib dan ia tidak dapat

menggunakannya untuk tujuan lain.

Bagaimanapun juga, bank Islam, misalnya, menyatakan

dalam kontrak mudharabah mereka bahwa mudharib tidak boleh

menggunakan dana yang diberikan kepadanya untuk tujuan

apapun selain yang telah ditetapkan dalam kontrak, sebuah

klausul yang tampaknya agak kurang berarti dalam praktik.

Manajemen

Mudharib menjalankan mudharabah dan mengatur

pembelian, penyimpanan, pemasaran, dan penjualan barang.

Kontrak menetapkan secara detail bagaimana ia harus mengelola

mudharabah. Mudharib harus memastikan bahwa deskripsi yang

benar tentang barang telah tersedia pada saat pengajuan

pendanaan. Ia pribadi bertanggung jawab atas segala kerugian

atau biaya yang diakibatkan oleh suatu kesalahan atas

spesifikasi karena

bank tidak akan menanggung segala kerugian semacam ini. Ia

harus menyimpannya baik-baik. Ringkasnya, mudharib harus

mematuhi syarat-syarat terinci dari kontrak dalam kaitannya


dengan manajemen kongsi, syarat-syarat yang mana umumnya

ditentukan oleh bank.

Jangka Waktu

Jangka waktu yang digunakan dalam kontrak mudharabah

umumnya ditetapkan oleh bank Islam, karena kontrak

mudharabah juga umumnya digunakan untuk tujuan dagang

jangka pendek. Kontrak mudharabah dalam bank Islam

hendaknya mengklirkan (liquidated) dan modal bank beserta

keuntungannya diserahkan pada waktu yang telah ditentukan

dalam kontrak, karena ada batas laba dari dana bank dihitung

dengan mempertimbangkan jatuh tempo kontrak.

Dari sudut pandang bank, sedikit saja penguluran dari

waktu yang telah ditetapkan akan menempatkan bank dalam

risiko, karena hal ini tidak akan memungkinkan dengan bank

untuk mengubah rasio keuntungan yang sejak awal telah

disepakati. Karena rasio keuntungan masih tetap konstan selama

jangka waktu mudharabah, suatu penguluran dapat berarti

pengurangan keuntungan atas modal yang diberikan.

Beberapa bank Islam bahkan melangkah lebih jauh lagi

dengan mengusulkan bahwa jika mudharib tidak dapat

sepenuhnya memanfaatkan dana selama jangka waktu yang telah

ditentukan, maka ia harus memberikan ganti rugi kepada bank.


IIBD (International Islamic Bank for Investment and

Development) misalnya, menyataka : “Kontrak secara otomatis

akan dibatalkan pada saat jatuh tempo. Mudharib harus

mengembalikan dana mudharabah kepada investor dengan

sedikit konpensasi atas penyimpanan dana selama waktu kontrak

tanpa membuatnya produktif”.

Jaminan

Meskipun dalam fiqih tidak diperbolehkan investor untuk

menuntut jaminan dari mudharib, bank-bank Islam umumnya

benar-benar meminta beragam bentuk jaminan. Hal ini mereka

lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan

keuntungan yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada

bank pada saat yang ditetapkan dalam kontrak. Jaminan dapat

diberikan dari mudharib sendiri maupun dari pihak ketiga.

Jaminan yang diminta oleh bankbank Islam tersebut tidak dibuat

untuk memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan

bahwa kinerja mudharib sesuai

dengan syarat-syarat kontrak.

Salah satu klausul dalam kontrak mudharabah pada Faisal

Islamic Bank of Egypt adalah “Jika terbukti bahwa mudharib

menyalahgunakan atau tidak sungguh-sungguh dalam melindungi

barang-barang atau dana-dana, atau bertindak bertentangan


dengan syarat-syarat investor, maka mudharib harus

menanggung kerugian, dan harus memberikan jaminan sebagai

pengganti kerugian semacam ini”. Dalam kejadian yang

maudharib bertanggung jawab atas kerugian seperti ini,

penjamin diharuskan untuk memberikan ganti rugi kepada bank.

Jika yang diberikan oleh penjamin belum mencukupi, maka

mudharib harus memberikan jaminan tambahan dalam jangka

waktu tertentu.

Disampig jaminan tersebut, mudharib diharuskan untuk

menyerahkan laporan-laporan perkembangan berkala tentang

kinerja umum mudharabah maupun tentang arus kas. Ia juga

diwajibkan untuk selalu melakukan pencatatan atas keuangan

yang terkait dengan kontrak, dan mengizinkan perwakilan bank

untuk memeriksa catatan tersebut dan mengeditnya dan untuk

menginvestarisasi di toko dan gudangnya kapanpun tanpa boleh

ada keberatan darinya. Jika terjadi keterlambatan dalam

menyerahkan pernyataan neraca atau laporan perkembangan

berkala, maka akan berakibat pada pengurangan bagian laba

mudharib sebanding dengan jangka waktu keterlambatannya.

Bank mempunyai wewenang untuk mengambil alih

manajemen proyek tersebut jika mudharib tidak dapat mencapai

arus kas yang diproyeksikan atau pendapatan yang dibagikan.

Bank juga dapat menuntut pembekuan mudharabah jika dilihat


oleh bank bahwa tidak ada untungnya melanjutkan kontrak atau

jika mudharib telah melanggar kalusul kontrak. Hal ini dapat

dilakukan tanpa terlebih dahulu ada peringatan atau proses

hukum.

Pembagian Laba dan Rugi

Dalam pembagian laba dan rugi, secara teori, bank

menanggung secara risiko,

tetapi dalam praktik, dikarenakan sifat mudharabah bank Islam

dan syarat-syarat yang ada di dalamnya, kerugian semacam ini

mungkin akan jarang sekali terjadi. Bank Islam sepakat dengan

nasabah mudharabahnya tentang rasio laba yang ditetapkan

dalam kontrak. Rasio akan tergantung antara lain pada daya

tawar si nasabah, prakiraan laba, suku bunga pasar, karakter

pribadi nasabah dan daya jual barang, maupun jangka

waktu kontrak.

Jika mudharabah tidak menghasilkan suatu keuntungan, si

mudharib tidak akan mendapatkan sedikitpun upah atas

kerjanya. Dalam hal ini mengalami kerugian sepanjang tidak

ditemukan bukti salah guna dan salah urus mudharib atas dana

mudharabah atau sepanjang tidak ditentukan pelanggaran atas

syarat-syarat yang ditetapkan oleh bank.


Jika terbukti demikian, maka mudharib sendiri yang akan

menanggung kerugian, dalam kasus mana jaminan yang terkait

dengan tanggung jawab nasabah harus diberikan kepada bank.

Pihak bank untuk mengambil alih dalam risiko dari setiap

kerugian tidak begitu saja terjadi. Ia melewati bermacam-

macam cara untuk menghilangkan ketidakpastian yang mungkin

terjadi dalam kongsi mudharabah murni. Risiko aktuarial dalam

kongsi mudharabah seperti yang digunakan dalam perbankan

Islam dapat diukur dan dapat dipastikan. Untuk alasan inilah,

dapat dikatakan bahwa mudharabah bank Islam sedikit berbeda

dengan penyelenggaraan investasi berisiko rendah maupun

investasi bebas risiko manapun.

Berakhirnya Usaha Mudharabah

Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan.

Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak.

Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam

transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa

membatalkan transaksi kapan saja dia menghendaki. Transaksi

Mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah

satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.

Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: “ Al

Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia


berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah

pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena

idiot; hal itu karena ia beraktivitas pada harta orang lain

dengan sezinnya, maka ia seperti wakiel dan tidak ada bedanya

antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya. Sedangkan Imam

Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh boleh, karena ia

diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat.

Apabila terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah

pihak boleh memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh

kehadiran dan keridoan mitranya. Apabila meninggal atau gila

atau hilang akal maka berakhir usaha terbut.”

Imam Syafi’i menyatakan: “Kapan pemilik modal ingin

mengambil modalnya sebelum diusahakan dan sesudahnya dan

kapan pengelola ingin keluar dari qiraadh maka ia keluar

darinya.”

Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun

tidak memiliki keuntungan maka harta tersebut diambil pemilik

modal. Apabila terdapat keuntungan maka keduanya membagi

keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila

berhenti dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat

menjualnya atau membaginya maka diperbolehkan, karena hak

milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta menjualnya

sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut


ada keuntungan, maka penilik modal dipaksa menjualnya;

karena hak pengelola ada pada keuntungan dan tidak tampak

decuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak keuntungannya

maka pemilik modal tidak dipaksa.

Tampak sekali dari sini keadilan syariat islam yang sangat

memperhatikan keadaan dua belah pihak yang bertransaksi

mudharabah. Sehingga seharusnya kembali memotivasi diri kita

untuk belajar dan mengetahu tata aturan syariat dalam

muamalah sehari-hari.

1. Berlaku pembubaran terhadap kontrak oleh satu atau

kedua-pihak atau larangan dari pihak pemodal dari

menguruskan modal (wang pelaburan).

2. Modal yang menjadi subjek kontrak telah musnah atas

apa-apa sebab. Tidak kira sama ada kemusnahan

disebabkan oleh bencana alam atau disebabkan oleh

perbuatan pelabur ataupun pengusaha.

3. Salah seorang antara pemodal atau pengusaha gila yang

berterusan. Ini kerana gila boleh membatalkan keahlian

wakalah.

4. Mati salah seorang pelaku kontrak, sama ada pemodal

atau pengusaha. Ini merupakan pendapat jumhur.

Sebaliknya ulama’ Maliki tidak menganggapnya batal


tetapi waris yang bertanggungjawab mengambil tempat

sekiranya dia dari orang yang amanah.

5. Pemodal telah murtad. Jika pengusaha yang murtad,

mudharabah tetap berjalan.

APLIKASI MUDHARABAH DALAM PASARAN KEUANGAN

SEMASA

1. Kontrak mudharabah yang disertakan dalam Deposit

Akun Semasa Wadia’h di bank. Bank memberi komitmen

untuk menjamin keselamatan wang yang disimpan tetapi

tidak memberikan hibah kepada pelanggan. Pelanggan

diberikan kemudahan buku cek Kombinasi Wadiah dan

Mudharabah (akaun hibrid). Bank akan memegang dua

peranan iaitu sebagai pemegang amanah dan pengusaha

manakala pelanggan bertindak sebagai penyimpan

(Mudi`) dan pelabur. Keuntungan yang diperolehi

dibahagikan berdasarkan nisbah keuntungan yang telah

dipersetujui diawal kontrak.

2. Akaun Pelaburan Mudharabah. Pelanggan sebagai

pemilik modal (rabb mal) menempatkan wang di

bank.Bank bertindak sebagai pengusaha (mudharib) akan

menggunakan wang tersebut untuk menjana pendapatan.

Keuntungan yang diperolehi dibahagikan berdasarkan


nisbah keuntungan yang telah dipersetujui diawal

kontrak. Sebarang kerugian daripada pelaburan

ditanggung oleh pelanggan sebagai rabb mal. Bank akan

menanggung kerugian jika kerugian disebabkan oleh

kecuaian bank selaku mudharib. Pelanggan boleh

berunding dengan bank untuk menentukan nisbah

pembahagian untung sebelum memeterai kontrak.

3. Pelaburan seumpama membeli saham dengan

menggunakan akad mudharabah dengan menepati syarat-

syarat mudharabah. Pelabur akan bertindak sebagai (rabb

mal) manakala syarikat atau koperasi yang terlibat

bertindak sebagai pengusaha (mudharib). Antara

syaratnya, perlu ada nisbah keuntungan yang dipersetujui

di awal kontrak, tiada jaminan terpelihara modal dan

modal tidak dilaburkan pada yang haram atau dana

bercampur dengan sesuatu yang haram.

4. Pembiayaan modal perniagaan atau perusahaan oleh bank

atau institusi kewangan tertentu menggunakan prinsip

mudharabah. Bank yang bertindak sebagai pemodal akan

memberi modal kepada peniaga sebagai pengusahanya.

Keuntungan yang akan diperoleh akan dikongsi bersama

antara dua pihak ini berdasarkan nisbah yang

dipersetujui pada awal kontrak.


5. Deposit simpanan di bank dengan ada pihak ketiga yang

mengusahakannya. Terdapat dua akad persetujuan. Pertama

antara pendeposit dengan bank. Seterusnya, dalam masa

yang singkat ada akad persetujuan antara bank dengan

pengusaha di mana pihak bank akan menyerahkan wang

deposit tersebut kepadanya untuk diniagakan. keuntungan

akan dibahagikan antara pendeposit dan bank mengikut

nisbah yang dipersetujui. Pihak pengusaha pula mendapat

keuntungan daripada sebahagian nisbah keuntungan bank.

You might also like