Professional Documents
Culture Documents
“Reformasi 1998” memanglah pas disebut sebagai reformasi. Diakui atau tidak, momen
ini merupakan awal perubahan bentuk kapitalisme di Indonesia. Ditandatanganinya letter
of intents antara pemerintah Indonesia dan IMF menjadi legitimasi formal bagi
kapitalisme untuk mengembangkan neoliberalisme yang berpijak pada tiga program
utama, yakni deregulasi ekonomi, liberalisasi, dan privatisasi. Di bidang pendidikan, pada
tahun 1999, dengan dana dari Bank Dunia, ditandatangani kesepakatan melakukan pilot
project “Otonomi Kampus” pada empat perguruan tinggi negeri utama di Indonesia, yaitu
Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi
Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Beramai-ramai akademisi yang
kabarnya “reformis” dari empat perguruan tinggi ini mendukung program baru ini. Inilah
antitesa dari sistem pendidikan Orde Baru yang mengekang perguruan tinggi melalui
korporatisme birokrasi dan kurikulum. Korporatisasi yang berkedok “otonomi perguruan
tinggi” dipandang sebagai suatu kemajuan, lebih baik, dan tentunya lebih menjamin
prospek yang bagus bagi mereka, misalnya dalam hal fasilitas dan tunjangan sebagai
tenaga pengajar. Padahal, inilah era neoliberalisme.
Di tengah tantangan globalisasi informasi dan perdagangan bebas yang sudah di depan
mata, masihkan paradigma pendidikan malah gagal menjawab tantangan bagi bangsa
kita. Apakah perubahan paradigma dari bangsa yang terus mengekor bangsa lain menjadi
bangsa yang mandiri sudah benar-benar dilakukan, dengan kenyataan bahwa bangsa kita
pun sulit mematuhi aturan sederhana semacam peraturan lalu lintas. Belum lagi masalah
klasik semacam korupsi dan kolusi, rusuhnya politik kita, ruwetnya birokrasi, sulitnya
berbisnis dan mewujudkan kemandirian ekonomi di Indonesia, dan banyaknya intelektual
yang mengkhianati kebenaran ilmiah. Bukti bahwa pada ulang tahun ke-40, IPB didemo
ratusan petani karena dianggap penyebab kegagalan swasembada pangan Indonesia.
ITB pada tanggal 30 April 2007 pun didemo masyarakat perumahan Griya Cempaka
Arum Gedebage karena dianggap membenarkan pembangunan PLTSa Gedebage di
tengah pemukiman masyarakat. Belum lagi kasus narkoba, seks bebas di kalangan pelajar
yang makin memprihatinkan. Kontroversi Ujian Nasional, ribut soal UU BHP, korupsi di
lembaga pendidikan, kesejahteraan guru yang memprihatinkan, dan berbagai problem
lainnya menjadikan masa depan bangsa kita menjadi jelas, yaitu masa depan yang suram
dan tidak jelas.
Dalam era reformasi ada kesan pengembangan kebijakan pendidikan tampak demokratis.
Misalnya, antara lain tampak dengan dikembangkannya Kurikulum 2004 (Kurikukulum
Berbasis Kompetensi), MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Komite Sekolah. Hal ini
merupakan upaya penerapan secara konkrit otonomi pendidikan. Tetapi dalam
pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Kebijakan pelaksanaan UAN (Ujian Akhir
Nasional) sebagai dasar untuk menentukan kelulusan dinilai tidak sinkron dengan
otonomi daerah. Karena berakibat dapat mengurangi otonomi kewenangan akademik
guru dan daerah (Cholisin : 2004b) . Coba bandingkan dengan negara tetangga Vietnam
yang menganut sistem politik otoriter, tetapi dalam hal penentuan kelulusan siswa
diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Sekolah menyelenggarakan ujian berdasarkan
standar nasional. Disamping itu dilihat dari segi cakupan kompetensi yang diuji dalam
UAN dinilai tidak valid , karena hanya mengungkap aspek kognitif. Hal ini dinilai telah
mereduksi tuntutan kompetensi dalam KBK yang mengharuskan ketiga aspek kompetensi
yakni kognitif, afektif dan psikomotorik untuk dievaluasi.
Pendidikan Indonesia tengah mengalami proses involusi dan bergerak tanpa arah yang
jelas. Dari hari ke hari manusia yang terlibat dalam pendidikan bukannya tumbuh kian
cerdas, tetapi mutunya semakin menurun meski input fasilitas fisiknya terus bertambah.
Ketidakjelasan arah pendidikan itu menyebabkan pendidikan di Indonesia tidak
kompetitif lagi dibandingkan dengan pencapaian negara-negara lain, bahkan di wilayah
Asia Tenggara sekalipun.
Di berbagai daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota masih enggan untuk
melaksanakan ketentuan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD. Oleh karena itu
dewasa ini biaya pendidikan dirasakan oleh masyarakat semakin relatif mahal. Meskipun
pengeluaran penduduk untuk pendidikan di Indonesia (tahun 2001 – 2002) masih rendah
yakni 1,3 % dari total PDB sebesar 662,9 miliar dollar AS. Pada sisi lain banyak fasilitas
pendidikan yang jauh dari layak. Sementara itu rakyat tidak banyak bisa berbuat banyak
untuk mempengaruhi perumusan kebijakan pendidikan. Muchtar Bukhori salah seorang
pakar pendidikan Indonesia menilai” Kebijakan pendidikan kita tak pernah jelas.
Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang elite dengan kurikulum yang elitis
yang hanya bisa ditangkap oleh 30 % anak didik”, sedangkan 70% lainnya tidak bisa
mengikuti. (Kompas, 4 September 2004).
Padahal kondisi daerah di Indonesia dilihat dari sisi SDM-nya sangat kompleks. Maka
tidak mengherankan apabila banyak terjadi kejanggalan, misalnya daerah yang SDA-nya
tinggi tetapi SDM-nya rendah. Papua, Kalimantan Tengah dapat dicontohkan dalam
kasus ini. Kondisi ini semakin mempersulit mewujudkan pendidikan yang egalitarian dan
SDM yang semakin merata di berbagai daerah. Kesenjangan di atas, apabila tidak segera
dilakukan pembuatan kebijakan pendidikan yang jelas orientasinya dapat memicu
disintegrasi. Orientasi kebijakan pendidikan yang diperkirakan dapat memperkuat
integrasi nasional adalah meningkatkan mutu SDM dan pemerataannya di daerah.
Pada sistem pendidikan Orde Baru, ada tiga ciri utama yang dapat dicermati di dalam
pendidikan nasional kita sampai sekarang ini. "Pertama, adalah sistem yang kaku dan
sentralistik; yaitu suatu sistem yang terperangkap di dalam kekuasaan otoritas pasti akan
kaku sifatnya. Karena ciri-ciri sentralisme, birokrasi yang ketat, telah mewarnai
penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Kedua, sistem pendidikan nasional di
dalam pelaksanaanya telah diracuni oleh unsur-unsur korupsi, kolusi, nepotisme dan
konceisme (cronyism). ketiga, sistem pendidikan yang tidak berorientasi pada
pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, tujuan pendidikan untuk mencerdaskan
kehidupan rakyat telah sirna dan diganti dengan praktek-praktek memberatkan rakyat
untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas [Tilaar,1998:26-28]. Di samping itu,
sistem pendidikan kita sekarang ini belum mengantisipasi masa depan [Ahmad Tafsir,
1999:7] dan perubahan masyarakat.
Kita harus menengok kebelakang(Haryono Suyono, 2003) dengan hati yang besar, dan
melihat kedepan dengan penuh percaya diri untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan
bangsa kita, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Kedua, dengan
dicapainya Konsensus Nasional, maka stabilitas nasional akan lebih mudah untuk
diwujudkan, sehingga kita dapat melaksanakan reformasi dengan tertib dan teratur.
Ketiga, reformasi hanya akan dapat berjalan lancar dan membawa hasil yang positif,
apabila dalam pelaksanaannya Hak Asasi Manusia dijunjung tinggi. Hak asasi manusia
hanya mungkin berkembang dengan subur dalam masyarakat yang demokratis.Karena itu
reformasi harus dilakukan secara demokratis. Kenyataan selama ini memang
menunjukkan bahwa dalam Negara dengan system diktator, ataupun bentuk-bentuk
otoriter lainnya Hak Asasi Manusia selalu diabaikan.
Hanya dalam Negara yang menganut sistim demokrasi Hak Asasi Manusia dijunjung
tinggi. Keempat, menempatkan manusia sebagai titik sentral reformasi. Reformasi harus
secara konsisten diarahkan pada pembangunan manusia dan pemberdayaan masyarakat,
agar mampu menjadi kekuatan yang mandiri. Manusia Indonesia diberi dukungan
pemberdayaan yang diperlukan agar menjadi kekuatan pembangunan yang mampu
mengembangkan prakarsa, memiliki vitalitas yang tinggi, dan siap bekerja. Kelima, agar
reformasi berjalan dengan tertib dan teratur, masyarakat Indonesia harus didorong untuk
menjadi masyarakat yang tertib, teratur, dinamis, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi
dan hak asasi manusia. Untuk itu, supremasi hukum perlu ditegakkan. Hal ini juga perlu
guna menghindari terjadinya penindasan dan pengabaian atas hak asasi manusia yang
membuat manusia Indonesia tidak bisa menjadi perhatian utama dalam proses
pembangunan.
Keenam, kewibawaan hukum dan lembaga-lembaga penegak hukum yang cenderung
merosot dewasa ini, perlu segera dibenahi dan ditingkatkan perannya sebagai institusi
yang dapat benar-benar dapat menjamin kelangsungan pembangunan yang akan
dijalankan. Apabila hukum dan lembaga-lembaga penegak hukum dapat berperan secara
baik dengan menjunjung tinggi keadilan, maka diharapkan akan dapat mendorong
timbulnya rasa kepercayaan dan keamanan masyarakat.
Sebagai ideologi Negara, Pancasila bisa mempunyai arti yang negatif. Sebab ideologi
dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang menentukan seluruh segi kehidupan manusia
secara total, serta secara mutlak menuntut manusia hidup dan bertindak sesuai dengan
apa yang digariskan oleh ideologi. Akibatnya, tidak ada kebebasan pribadi dan ruang
gerak manusia sangat dibatasi. Disamping itu ideologi dapat dijadikan alat legitimasi oleh
penguasa untuk melakukan tindakan pembenaran. Sebagai nilai dasar yang normatif
terhadap penyelenggaraan Negara, Pancasila mempunyai fungsi penting dalam
menggambarkan tujuan Negara Republik Indonesia. Pancasila memberikan perlindungan
kepada segenap bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pada hakekatnya nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila dan kenyataan hidup masyarakat Indonesia memang
terjadi hubungan dialektis, sehingga berlangsung pengaruh timbal balik dalam interaksi.
Kebijakan di bidang sosial budaya, yang pertama terkait dengan pemberdayaan Sumber
Daya Manusia. Program kebijakan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya
manusia akan diwujudkan sebagai program prioritas. Tujuan program ini adalah agar
setiap penduduk Indonesia mendapat dukungan pemberdayaan yang sesuai dengan
aspriasi dan ketersediaan lapangan kerja. Diharapkan program ini dapat memberikan
peluang kesempatan kerja secara adil, yang pada gilirannya bisa mengentaskan
kemiskinan. Segala upaya tersebut akan didukung dengan memberikan kesempatan
pendidikan dan pelayanan kesehatan dasar yang memadai. Pertumbuhan penduduk yang
rendah memungkinkan penduduk untuk menikmati hasil-hasil pembangunan.
Disamping itu yang kedua, perlu dibarengi oleh pemberian kesempatan yang lebih luas
pada masyarakat dan peningkatan mutu pendidikan. Program “wajib Belajar Sembilan
Tahun” dituntaskan menjadi program “Wajib Belajar Dua Belas Tahun”. Untuk mencapai
itu, maka diperlukan kebijakan pendidikan yang memberikan kesempatan bagi setiap
lapisan masyarakat untuk dapat menikmati pendidikan hingga tingkat sekolah menengah
atas. Lebih lanjut, kebijakan pendidikan juga harus memperhatikan pada kemampuan
masyarakat luas untuk menikmati pendidikan. Biaya pendidikan yang terlalu tinggi dan
tidak sesuai dengan situasi ekonomi yang ada justru dapat menyebabkan ketimpangan
sosial yang tajam, antara masyarakat yang mampu dan tidak mampu.
Mutu pendidikan akan lebih diarahkan pada pendidikan siap kerja dan mandiri (Broad
Based Education System). Anak-anak dan remaja putus sekolah akan diberdayakan
melalui pendidikan luar sekolah sehingga mereka memiliki bekal untuk bekerja.
Pendidikan sekolah menengah atas akan dikembangkan menjadi sekolah-sekolah yang
memberikan komponen praktek lapangan sehingga mereka juga dibekali untuk siap
bekerja seandainya tidak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Untuk itu perlu
diberikan perhatian yang tinggi terhadap upaya peningkatan mutu dan kesejahteraan
guru. Sedangkan pada tingkat perguruan tinggi, akan dikembangkan sebagai lembaga
yang akrab dengan masyarat sekelilingnya. Diharapkan mahasiswa dan dosen bisa
menjadi motivasi pendorong bagi masyarakat sekitar, sehingga dapat memacu
peningkatan kualitas sumber daya manusia yang saling perduli dan sekaligus tinggi
mutunya.
Satu hal yang patut disyukuri pada era reformasi adalah imbas positif terhadap dunia
pendidikan. Otonomi daerah yang dilegalisasi lewat Undang-undang Nomor 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian disempurnakan menjadi UU Nomor 32
tahunn 2004, menjadi rahim yang telah melahirkan desentralisasi pendidikan. Paradigma
lama yang menempatkan pemerintah pusat sebagai pemegang kebijakan utama
(sentralisasi) dikikis sedemikian rupa menjadi paradigma baru yang lebih populis.
Ciri utama desentralisasi pendidikan yaitu pelibatan orangtua siswa dan masyarakat
dalam menentukan kebijakan pendidikan. Dua komponen ini bekerjasama dengan
sekolah, duduk dalam satu meja, merencanakan dan mendiskusikan bagaimana
menyelesaikan masalah pemerataan pendidikan sekaligus juga meningkatkan mutu
pendidikan.
Dulu, sebelum orde reformasi, antara orangtua dan pihak sekolah diwadahi dalam
lembaga Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG). Kemudian, sejak 1993, POMG
berubah menjadi Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP3). Badan inilah yang
secara fungsional membantu sekolah menyelesaikan persoalan pendidikan di sekolah
yang bersangkutan. Namun dalam perjalanannya badan ini sekadar berperan dalam aspek
finansial. Secara hirarkis pun dikontrol oleh kepala sekolah dan menjadi alat legalnya
untuk menarik berbagai pungutan kepada orangtua siswa.
Memasuki era desentralisasi pendidikan, upaya pelibatan orangtua dan sekolah dalam
satu wadah diperkaya lagi dengan memasukkan unsur masyarakat. Ketiga komponen ini
disatukan dalam wadah Komite Sekolah sesuai Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite sekolah.
Komite Sekolah merupakan badan mandiri yang dibentuk dalam rangka meningkatkan
mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan. Ia menjadi
ruang bagi orangtua, masyarakat, dan pihak sekolah menyampaikan aspirasi dan
merumuskan kebijakan bagi peningkatan pendidikan di sekolah. Ia merupakan badan
independen yang tidak memiliki hubungan hirarkis dengan Kepala Sekolah. Ia menjadi
mitra kepala sekolah dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam memajukan sekolah.
Namun begitu, ada baiknya khususnya dalam konteks pendidikan, kita juga meninjau
kembali apa yang melandasi era reformasi ini sehingga jelas apa yang akan menjadi
landasan kebijakan tersebut. Meskipun kita semua sadar bahwa harus terjadi perubahan,
sehingga apa yang dikatakan intellectual mindshift benar terjadi, secara fair kita harus
menoleh pada apa yang sudah dan apa yang tidak terjadi di masa lalu, artinya, apa yang
menjadi landasan kebijakan pendidikan kita, khususnya dan terutama pada tingkat
pendidikan dasar (yaitu yang mencakup sekolah dasar dan menengah). Di dalam suasana
hiruk pikuk ini sektor pendidikan harus tetap berperan. Perannya adalah seperti tadi
dinyatakan, co-creating new values dengan memperhatikan pola pemukiman peserta
didik, pola distribusi sumber strategi, pola prasangka dalam masyarakat, kontrol efektif
terhadap kekuasaan serta penerapan prinsip meritokrasi dalam pendidikan yang bersifat
multikultur.
Berbeda dari masa lalu, masyarakat baru yang sedang belajar menjadi masyarakat
demokratis harus juga tidak terlalu “menguasai” kebijakan pendidikan itu menyimpang
dari kebijakan nasional yang sudah ada secara legal. Guru harus memiliki taraf kebebasan
tertentu untuk memberikan peluang pada peserta didiknya untuk belajar aktif, berbeda
dari jawaban yang tersedia di pedoman kunci jawaban guru, apabila suatu persoalan
memiliki kemungkinan lebih dari suatu jawaban. Ini berarti bahwa filsafat yang telah
dilancarkan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo
Mangun Karso, Tut Wuri Handayani paling mendekati visi pendidikan yang
kecenderungannya adalah menyulut aktualisasi potensi seseorang menuju pada the spirit
to create and innovate. Seharusnya filosofi ini menjadi pedoman serta acuan kita karena
setiap anak yang berbeda bakatnya itu menghidupi berbagai budaya, yang berbeda-beda
pula, artinya, manusia adalah seorang individu yang unik sekaligus juga mahluk sosial
yan majemuk . inilah paradoks perkembangan manusia.
UUD 1945 dikatakan sebagai konstitusi terpendek di dunia, karena isinya hanya memuat
37 pasal. Memang ada beberapa alasan mengapa disusun secara ringkas. Pertama,
dimaksudkan agar ia tetap bertahan, mengikuti perkembangan zaman. Fleksibelitas ini
dimungkinkan karena yang dianut hanyalah masalah-masalah pokok saja, sementara
aturan-aturan operasional ditetapkan melalui undang-undang biasa dan peraturan yang
lebih rendah. Kedua, mungkin saja singkatnya UUD 1945 disebabkan terbatasnya waktu
yang digunakan untuk menyusun UUD tersebut.
Amandemen UUD 1945 ini menjadi peluang bagi perjuangan partai-partai politik Islam
untuk memunculkan kembali wacana memasukkan Piagam Jakarta. FPP dan FBB di
MPR secara tegas memperjuangkan masalah ini. Isu amandemen pasal 29 UUD 1945 dan
Piagam jakarta ini menjadi bagian yang dan untuk beribadat menurut agamanya itu. Pada
ayat (2) ini kata “kepercayaan” dihilangkan karena di masa lalu, kata-kata itu
disalahtafsirkan dan disalahgunakan untuk menumbuhsuburkan aliran kepercayaan, dan
dianggap bertentangan dengan maksud rumusan semula. (3) Negara melindungi
penduduk dari penyebaran paham-paham kontroversial.
Praksi PP mengusulkan redaksi pasal 29 UUD 1945 sebagai berikut : (1) negara
berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa dengan berkewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya; (2) negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap pendduk untuk
memeluk agamanya masing-masing yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha
Esa. FPP menegaskan bahwa dengan usulan seperti ini, maka larangan terhadap
komunisme dalam TAP Nomor XXV/MPRS/1966 yang semula di dalam UUD bersifat
implisit, menjadi eksplisit. Dengan demikian di masa depan tidak ada lagi kontroversial
TAP MPRS itu dengan UUD.
Dalam sidang PAH I, pembahasan pasal 29 berjalan sangat seru dan cukup a lot, sehingga
melahirkan empat alternatif. Alternatif pertama adalah tetap seperti rumusan lama.
Kedua, berbunyi : negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Ketiga, berbunyi : negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama
bagi masing-masing pemeluknya. Keempat, berbunyi: negara berdasarkan atas
Ketuhanan Yang maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terhadap alternatif ini F-
PPP dan F-PBB memilih alternatif kedua. F-Reformasi dan F-PKB memilih alternatif
ketiga, sisanya termasuk F-PDIP memilih alternatif pertama.
Di luar saluran institusi-institusi politik isu Piagam Jakarta dalam amandemen pasal 29
UUD 1945, juga terdapat pro kontra antar beberapa kelompok masyarakat. Seperti FPI,
Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah, Majlis Mujahidin, PPMI, Ikatan Remaja
dan Mahasiswa Jawa Barat dan lain-lain, mereka datang ke DPR untuk menyampaikan
aspirasinya. Dari berkobarnya semangat amandemen, yang jelas bahwa amandemen
terhadap pasal 29 UUD 1945 bisa dikatakan gagal. Gagal dalam kacamata golongan yang
mengusulkan perubahan. Dengan kata lain pasal 29 UUD 1945 tetap pada rumusan
semula.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti
agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk
berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa
kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk
miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada
bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran
kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan
dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi.
Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya
realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di
satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak,
kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall
Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and
practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.
Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.
Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.
Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.