You are on page 1of 24

Kebijakan Pendidikan Pemerintahan Abdurrahman Wahid

Oleh Rum Rosyid, Univ Tanjungpura Pontianak


Bagaimanakah visi pemerintah tentang pendidikan di masa depan. Pertanyaan ini
dilontarkan oleh Dr Mudji Sutrisno SJ kepada Presiden Abdurrahman Wahid pada
acara peluncuran buku Gus Dur di Istana Rakyat, 22 Desember 2000 lalu. Jujur
diakui, sejak jatuhnya Orde Baru, perhatian kita lebih banyak dibetot oleh masalah-
masalah politik, ekonomi, dan hukum. Dalam kondisi yang demikian, mungkin benar
ungkapan yang mengatakan “negeri ini dihancurkan oleh kaum intelektualnya sendiri”.
Apa sebab, karena pendidikan nasional selama ini bertekuk lutut kepada kepentingan
penguasa. Pendidik, yaitu guru dan dosen yang tidak mengikuti sistem akan terlibas,
sehingga murid yang kelak akan menjadi pemimpin negeri ini mendapatkan pendidikan
yang tidak bermutu. Pendidikan disequillibrum antara pendidikan moral dan agama
dengan sains. Perilaku yang dibentuk generasi “pendidikan otoriter” demikian banyak
melahirkan pribadi yang terbelah tak seimbang, mengutip Abidin (2000), pendidikan
seperti ini "too much science too little faith", lebih banyak ilmu dengan tipisnya
kepercayaan keyakinan agama.

Idealisme Gus Dur tentang pendidikan Indonesia di masa depan sepadan dengan harapan
yang terangkum dalam buku Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman sebagai
kumpulan tulisan dari sejumlah pakar, pemerhati, dan praktisi pendidikan yang pernah
dimuat di majalah BASIS. "Memang keliru jika pendidikan tidak berguna sama sekali
bagi kepentingan masyarakat. Selain mengakui masih minimnya anggaran APBN untuk
bidang pendidikan, Gus Dur membayangkan bahwa pendidikan nasional di masa depan
bukan lagi pendidikan yang mengandalkan hafalan. Apalagi, jumlah mata pelajaran di
Indonesia jauh lebih banyak ketimbang negara lain. Akibatnya, kita hanya menghasilkan
manusia yang tidak tuntas. Soedjatmoko yang menekankan agar pendidikan agama dapat
dikaitkan dengan kehidupan sosial, bukan lagi sebatas pengetahuan belaka.

Tetapi, sangatlah keliru jika pendidikan memutlakkan kepentingan masyarakat tersebut,


sebab tujuan pendidikan bukanlah pertama-tama melayani masyarakat, melainkan
membantu kelahiran manusia-manusia dewasa dan matang, yang kelak dengan bebas dan
sadar dapat membantu masyarakatnya," tulis Sindhunata, editor buku ini. Kegelisahan
terhadap pendidikan di negeri ini adalah bagian dari kegelisahan tanpa henti selama
berabad-abad di dunia pendidikan. Bukan rahasia lagi bahwa selama ini kita hanya
berkutat pada sistem pendidikan, khususnya kurikulum sekolah.

Soedjati Djiwandono menulis bahwa setiap menteri pendidikan dan kebudayaan


tampaknya lebih berminat mewariskan "cap pribadinya": Daoed Joesoef dengan
NKK-nya, Nugroho dengan PSPB-nya, dan Wardiman dengan link & match yang tidak
jelas perwujudannya (halaman 177). Tak pelak, praktek trial and error semacam itu
akhirnya melahirkan sinisme di masyarakat, khususnya orangtua murid dengan
munculnya pemeo ''ganti menteri ganti kurikulum''; ''ganti kurikulum ganti buku''.
Kegelisahan itu semakin sempurna dengan suburnya praktek ''komersialisasi
pendidikan'' yang dilakukan sekolah-sekolah yang menyajikan pelayanan pendidikan
yang tidak sepadan dengan uang sekolah yang mereka pungut. Oleh Mochtar Buchori,
praktek semacam itu ditengarai sebagai ancaman bagi idealisme pendidikan.
Tergusurnya Masyarakat Miskin : Keprihatinan Presiden
Semasa Gus Dur memegang tampuk kepresidenan, salah satu langkah signifikan yang
dilakukannya adalah mengakomodasi kepentingan kaum buruh yang menuntut
dibatalkannya pelaksanaan UU No 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang akan
berlaku sejak 1 Oktober 2000. Presiden Gus Dur menunda pelaksanaan UU No 25 Tahun
1997 tentang Ketenagakerjaan. UU ini ditentang habis-habisan oleh kaum buruh
Indonesia karena substansinya sangat eksploitatif.
Untuk mengantisipasi adanya kekosongan hukum ketenegakerjaan karena UU pengganti
UU No. 25 Tahun 1997 belum ada, pada 25 September 2000 dibuat Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 3 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No 11
Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang No 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan. Perpu ini kembali menunda berlakunya UU No 25 Tahun 1997 yang
semestinya berlaku pada Oktober 2000 menjadi Oktober 2002 dan pemerintahan Gus Dur
segera mengajukan RUU perburuhan yang baru.
Tak lama setelah dilantik, Presiden Gus Dur mengundang kalangan aktivis serikat buruh
dan NGO advokasi buruh untuk memberikan masukan bagi perbaikan kebijakan
perburuhan. Dalam pertemuan tersebut Presiden Gus Dur mendapat masukan mengenai
buruknya perundang-undangan bidang perburuhan dan nasib buruh migran Indonesia
yang kondisinya masih memprihatinkan. Salah satu kasus yang disampaikan kepada Gus
Dur adalah kasus ancaman hukuman mati terhadap Siti Zaenab, buruh migran perempuan
asal Bangkalan yang bekerja di Saudi Arabia
Hasil konkret pertemuan ini adalah penerbitan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 150
Tahun 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Upah
Pesangon, Uang Penghargaan dan Ganti Rugi oleh Perusahaan. Bagi kaum buruh,
Permenaker No 150/2000 ini merupakan kebijakan yang pro buruh berhadapan dengan
pengusaha. Atas pengaduan kasus Siti Zaenab, Presiden Gus Dur juga langsung bertindak
proaktif dengan mengontak langsung penguasa Arab Saudi Raja Fahd dan meminta
pembatalan pelaksanaan hukuman mati terhadap Siti Zaenab. Berkat diplomasi tingkat
tinggi tersebut, nyawa Siti Zaenab terselamatkan walau hingga kini proses hukum
terhadap Siti Zaenab belum tuntas. Yang patut disayangkan, diplomasi tingkat tinggi
untuk penyelesaian masalah buruh migran Indonesia tak lagi dilakukan presiden
penerusnya. Bahkan, semasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ada dua buruh
migran Indonesia yang dieksekusi mati (Yanti Iriyanti dan Agus), tanpa mendapat
advokasi yang signifikan.

Presiden Gus Dur juga berani mengancam menghentikan penempatan buruh migran
Indonesia ke Arab Saudi jika pemerintah Arab Saudi terus membiarkan terjadinya
penganiayaan dan perkosaan terhadap buruh migran perempuan Indonesia yang bekerja
di sana. Ancaman tersebut sebenarnya akan direalisasikan pada 17 Agustus 2001 melalui
program 100 hari jeda (moratorium) pengiriman buruh migran Indonesia ke Arab Saudi.
Sayang, program tersebut tak sempat dilaksanakan karena Gus Dur dijatuhkan.
Lengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan juga mengakibatkan terhentinya program
pembaruan kebijakan perburuhan yang membela kepentingan kaum buruh (migran)
Indonesia.
Komitmen Gus Dur pada nasib kaum buruh juga ditunjukkan jauh sebelum menjadi
presiden. Yang paling nyata adalah dukungannya menjadi salah satu pendiri Serikat
Buruh Sejahtera Indonesia bersama Muchtar Pakpahan. Dukungan untuk berdirinya
serikat buruh independen di luar serikat buruh resmi (saat itu SPSI) di era Orde Baru
bukannya tanpa risiko. Namun, Gus Dur berani mengambil risiko tersebut.
Komitmen Gus Dur terhadap kaum buruh juga tetap terjaga meskipun tidak lagi menjadi
presiden. Pada saat terjadi pengusiran paksa buruh migran Indonesia yang tidak
berdokumen dari Malaysia pada 2005, Gus Dur merelakan tempat tinggalnya di Ciganjur
untuk menampung ratusan buruh migran Indonesia tidak berdokumen yang terusir dari
Malaysia. Karena statusnya sebagai buruh migran tak berdokumen, mereka tak dilayani
oleh pemerintah Indonesia. Perlakuan diskriminatif terhadap buruh migran Indonesia
yang tidak berdokumen ini yang dikritik Gus Dur sebagai pemerintahan yang tidak
menghargai pengorbanan buruh migran.
Dalam penanganan kasus buruh migran Indonesia tak berdokumen di Malaysia, Gus Dur
juga secara khusus melakukan lobi personal terhadap perdana menteri Malaysia pada
Agustus 2005 dengan biaya pribadi. Berkat lobi ini, Gus Dur mampu membebaskan Adi
bin Asnawi, buruh migran asal Lombok, NTB, yang sudah divonis hukuman mati dan
dipenjara di Penjara Sungai Buloh Selangor. Ada dapat menghirup kebebasan pada 9
Januari 2010, 10 hari setelah kepergian Gus Dur, yang berjasa besar membebaskan Adi
dari jerat gantungan.

Tergusurnya orang-orang miskin dari proses belajar yang menguntungkan mendorong


seorang ahli pendidikan kelahiran Vienna, Ivan Illich, menuntut adanya proses
deschooling, atau peniadaan radikal sistem sekolah (yang lazim dipraktekkan).
Ia gemas melihat bahwa sistem sekolah hanya memperlebar jurang kesenjangan
sosial. Nyatanya, gugatan Illich yang juga doktor di bidang sejarah itu terus berlangsung
hingga sekarang, tak terkecuali di negeri ini. Tak heran bila ia lantang memopulerkan
pendekatan sekolah nonformal, pendidikan sekolah bebas. Sekolah harus bebas dari
segala birokratisme yang melahirkan sekelompok elite sosial dan profesional yang
menghasilkan pendidikan biaya tinggi.

Menuju Desentralisasi Pendidikan


Desentralisasi pendidikan, merupakan salah satu cara di masa “pendidikan otoriter” tidak
lagi dianut, alias masa pendidikan di era otonomi daerah. Era yang dimulai secara formal
melalui produk kebijakan otonomi pendidikan perguruan tinggi, kebijakan desentralisasi
pendidikan yang mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 yang
direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan No. 33 tahun 2004 dimana dapat ditangkap
prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dimana implikasi
otonomi daerah bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada pembagian
kewewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat dan
pemerintah daerah disisi lain. Lalu sebuah sistem pendidikan nasional yang disahkan
melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini secara tidak
langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan.
Sekolah dan pendidikan adalah dua hal yang bertentangan. Pendidikan tidak bisa
disempitkan pada pendidikan formal semata. Ia mencakup aspek yang begitu luas, yang
oleh Johannes Muller dicatat sebagai ''segala upaya masyarakat serta hasil-hasilnya yang
bertujuan meneruskan dan menyediakan pengetahuan dan keterampilan, sikap dan pola
tingkah laku yang perlu demi kelangsungan ataupun perubahan masyarakat itu, dengan
menawarkan kesempatan yang sebaik mungkin kepada semua orang demi perkembangan
manusia seutuhnya''.

Muller mengatakan bahwa pendidikan menyangkut masyarakat seluas-luasnya:


pendidikan informal (keluarga, tempat kerja, agama), pendidikan formal di sekolah
(termasuk perguruan tinggi), pendidikan luar sekolah yang dilembagakan (pendidikan
orang dewasa), media massa (sebagai ''guru tersamar''), dan segala kebijakan politik yang
menyangkut medan pendidikan. Semakin jelas bahwa menyelenggarakan pendidikan
(yang ideal) belumlah menjadi hal mudah. Kebijakan politik yang menyangkut
pendidikan saja misalnya, Soedrajat Djiwandono masih menyimpan sejumlah catatan
yang dituangkan secara tajam dalam artikel bertajuk "Politik Mandek, Pendidikan Pun
Macet".
Telah disebutkan dimuka bahwa pendidikan, dalam bahasa lain, mereformasi dirinya
sendiri sesuai tuntutan demokratisasi dan dan terutama perbaikan institusi-institusi
pencetak aset-aset masa depan bangsa ini agar tidak seperti pendahulunya. Konsep
desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung berbagai elemen demokrasi di
negeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang memiliki implikasi positif terhadap
pendidikan nasional. Demokratisasi pendidikan terkait dengan beberapa masalah utama,
antara lain desentralisasi pendidikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yaitu
Undang-undang yang mengatut tentang pendidikan di negara kita.
Namun perlu diketahui bahwa menurut Alisjahbana (2000), mengacu pada Burki et.al.
(1999) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan ini secara konseptual dibagi menjadi
dua jenis, pertama desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan. Desentralisasi lebih
kepada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian
kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan
desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah sebagai bagian
demokratisasi. Sedangkan konsep kedua lebih fokus mengenai pemberian kewenangan
yang lebih besar kepada manajemen di tingkat sekolah untuk meningkatkan kualitas
pendidikannya.
Dua hal ini mungkin sekali untuk dilaksanakan tergantung situasi kondisinya. Walaupun
evaluasi mengisyaratkan belum optimalnya pendidikan Indonesia dibawah kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut, yakni masih berkisar pada tataran
desentralisasi pendidikan dengan model pertama, yang merupakan bagian dari
desentralisasi politik dan fiskal (financing terhadap pendidikan regional), akan tetapi
peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar
mengajar tersebut diharapkan juga berlangsung. Untuk itulah partisipasi orangtua,
masyarakat, dan guru sangat penting untuk mereformasi pendidikan ini, selain
memecahkan masalah finansial melalui langkah-langkah yang di-formulasi pemerintah
baik pusat maupun daerah.
Tentang otonomi pendidikan, suatu isu yang sedang mencuat mengiringi bergulirnya
rencana penerapan otonomi daerah. Namun, seperti apa konsep otonomi atau
desentralisasi pendidikan itu sendiri, agaknya belum ada patokan dasar tentang
pelaksanaan pengelolaannya. Kebingungan tersebut barangkali merupakan salah satu
akibat dari pengelolaan pendidikan sentralistis selama ini. Mulai dari jam belajar, metode
pengajaran, hingga target yang harus dicapai, semuanya diatur oleh pusat. Kebiasaan
bekerja berdasarkan petunjuk dari pusat berakibat melemahkan kreativitas pengelola
pendidikan di daerah. Akibatnya, kebingungan itu bukan tidak mungkin membuat
pemahaman ''desentralisasi'' ataupun ''otonomi'' di bidang pendidikan hanya mengganti
wajah ''pusat'' menjadi ''daerah''.

Tentang Pendidikan Moral


Buku yang memuat 18 artikel itu paling tidak dapat mengilhami (inspiring) para
pengambil kebijakan pendidikan dalam merumuskan masa depan pendidikan nasional.
Sebab, kebanyakan penulisnya mengangkat problema pendidikan yang telah dan
tengah berlangsung di negeri ini. Ketika kita mulai bicara (lagi) tentang pendidikan moral
atau budi pekerti misalnya, Budi Hardiman menganjurkan agar pendidikan moral
disampaikan dengan memperhatikan faktor kognitif. Ia mendasarkan analisisnya pada
tesis Lawrence Kohlberg bahwa faktor kognitif, terutama kemampuan berpikir abstrak
dan luas, adalah faktor yang penting dalam perkembangan moral.

Pendidikan moral bagi Kohlberg adalah pendidikan keadilan, sebab moral universal
yang hendak dan bisa diraih oleh struktur kognitif manusia adalah keadilan. Menurut
Kohlberg, pendidikan moral mampu membantu perkembangan kognitif murid untuk
memahami konsep keadilan yang semakin jernih dan matang sesuai perkembangannya
(halaman 86). Paradigma itu menekankan bahwa pendidikan moral tidak hanya menyuapi
murid dengan ''paket-paket nilai'', melainkan merangsang sense of justice. Memang,
paradigma itu agaknya masih ''asing'' di Indonesia, yang selama ini terbiasa dengan
model penyampaian indoktrinasi.

Hardiman dapat memaklumi hal itu sebab pendidikan moral menjadi faktor yang
turut menentukan integritas atau disintegritas nasional. Sebab itu, negara merasa perlu
menyampaikan nilai-nilai tertentu bagi masyarakat dan generasi muda. Namun, tidak
salah bila di masa depan model ini mulai dilirik dan diujicobakan. ''Menurut hemat saya,
ke-36 butir pengamalan Pancasila dapat dijadikan titik tolak penyusunan dilema-dilema
moral itu,'' tegas Hardiman. Bila demikian halnya, tentu kegelisahan Gus Dur terhadap
praksis penghafalan yang tidak mendidik bakal terjawab. Itulah wacana yang diberikan
buku ini. Satu-satunya catatan atas kumpulan artikel pilihan itu adalah tidak
dicantumkannya biografi singkat penyumbang artikelnya. Meski bukan hal yang terlalu
mengganggu keseluruhan penyajian isi buku, tradisi pembaca di Indonesia agaknya
masih memerlukannya.

Sewaktu masih menjadi aktivis sampai menjabat pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama
(NU) Gus Dur sudah tampak sering tampil beda dengan para pendahulunya. Tindakan
Gus Dur ini tentunya mengundang polemik pro dan kontra. Titik puncak jabatan Gus Dur
menjadi Presiden RI yang keempat, jabatan terhormat ini pun dijalani Gus Dur dengan
enjoy dan banyak melakukan gebrakan yang kebanyakan orang sulit memahaminya.
Fenomena Gus Dur tampak hebat setelah kepergiannya menghadap Sang Pencipta
tanggal 30 Desember yang lalu. Banyak orang mengagumi, menyanjung, dan bahkan ada
yang mengusulkan agar diangkat menjadi pahlawan nasional. Sewaktu masih hidup ada
yang pro dan banyak yang kontra dengan tindakan Gus Dur. Ketidakpahaman sepak
terjang sang kyai inilah yang mengakibatkan orang sinis pada tindakan dan kebijakannya.
Teringat betul pada awal Gus Dur menjabat presiden, gebrakan demi gebrakan dilakukan,
departemen penerangan dibubarkan, reorganisasi birokrasi dilakukan, jelas tindakan ini
mengundang sinis lawan-lawan politiknya. Di sisi lain Gus Dur berpendapat, gaji
pegawai dan aparat masih rendah, maka beliau menetapkan kebijakan gaji pegawai
seluruh negeri dinaikkan.

Selama ini Gus Dur sering dipandang aneh, namun keanehan tokoh ini justru menjadi
pembelajaran yang luar biasa. Menyimak latar belakang Gus Dur yang berasal dari
kalangan pesantren seharusnya tindakan-tindakannya harus selaras dengan budaya santri
yang tetap berpegang teguh pada adat. Di tengah-tengah orang yang kontra kepadanya,
Gus Dur santai dalam menanggapi dan tidak mudah marah. Di negeri demokrasi orang
bebas berbicara, asal tidak memfitnah dan mengadu domba , " begitu aja kok repot"
selorohnya. Gus Dur sangat menjunjung nilainilai kemanusiaan begitu tinggi. Sebagai
tokoh agama dia tidak fanatis buta, justru dalam segala tindakannya senantiasa
menjunjung tinggi toleransi, tasamuh dengan agama-agama lainnya.Jalinan persahabatan
beragama tidak sekadar teori, namun juga ditunjukkan dalam kenyataan.Sungguh luar
biasa tindakan tokoh demokrasi yang juga ulama besar ini.

Menghapus sekat-sekat Demokrasi


Sepak terjang Gus Dur di negeri Indonesia mendominasi pemberitaan pers sejak dulu.
Gus Dur sebagai ketua umum PBNU dalam Muktamar NU tahun 1984. Lantas Gus Dur
terpilih kembali untuk kedua kalinya dalam Muktamar Nu pada 1989 sebagai ketua
umum PBNU 1989-1994. Dan pada Muktamar NU 1994, Gus Dur kembali terpilih
sebagai ketua umum organisasi muslim terbesar di Indonesia hingga 1999.

Pada 1991, sikap kontroversi Gus Dur sempat mengemuka. Dia menolak bergabung ke
dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), organisasi cendekiawan yang
dipimpin BJ Habibie. Soeharto mendukung organisasi ini. Tokoh intelektual muslim
seperti Nurcholish Madjid alias Cak Nur dan Amien Rais dari Muhammadiyah aktif di
organisasi ini. Namun, dalam perkembangannya, Amien Rais juga mundur dari Dewan
Pakar ICMI karena berseberangan dengan penguasa.

Beberapa tokoh mengajak Gus Dur bergabung. Namun, Gus Dur menolak karena ia
mengira ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat. Pada
tahun itu juga, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi
yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Perjalanan
Gus Dur semakin kontroversi setelah itu. Gus Dur pernah digandeng Siti Hardiyanti
Rukmana alias Mbak Tutut untuk berkampanye. Gus Dur pernah mendukung bahwa
Mbak Tutut sebagai calon presiden. Karir Gus Dur di politik semakin mengkilap setelah
Soeharto lengser dari kursi presiden. Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB). Dan dalam Sidang Istimewa MPR pada 2001, Gus Dur terpilih sebagai presiden
RI menggantikan BJ Habibie. Dia berduet dengan Megawati sebagai presiden-wapres RI
periode 1999-2004.

Sewaktu Gus Dur menjabat presiden, lingkungan istana boleh dikunjungi seluruh
rakyat.Kesakralan istana didobrak, hakikat istana tidak sekadar milik pejabat rakyat juga
berhak melihat, mengagumi dan merasa memilikinya.Sekat-sekat demokrasi yang ada
selama ini dihapus oleh Gus Dur, tindakan yang demokratis ini tentunya ada yang senang
dan tidak senang, bagi beliau anggapan demikian sangat wajar. Selama menjadi presiden,
Gus Dur membuat kebijakan-kebijakan penting, yang sebagiannya dianggap kontroversi.
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi
hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf
Tionghoa.

Sebagai pecinta seni, Gus Dur sewaktu dimintai tanggapan tentang dirinya yang
diparodikan dalam acara BBM hanya tertawa dan membolehkan. Tokoh yang satu ini
tidak marah, justru pendukungnya. Perpaduan antara ulama, birokrat, politikus, seniman
melekat pada diri sang kyai. Meskipun dicaci maki oleh banyak orang dia santai dan
tidak mudah marah, maka tepatlah kiranya bila mendapat julukan sebagai Guru Bangsa.
Selaku tokoh agama, dia tidak fanatis dan selalu menjunjung nilai toleransi yang
tinggi.Perilaku ini pantas dicontoh oleh tokoh agama apa pun di negeri tercinta ini.
Sebagai panutan umat sudah seharusnya memberi contoh pentingnya persahabatan,
persaudaraan antarsesama.Umat manusia tercipta di dunia ini tidak untuk berselisih dan
bercerai berani, tetapi untuk menjaga persatuan dan persaudaraan antar sesama, untuk
memayu hayuning bawana.

"Gus Dur memberi pelajaran bagi birokrat, meskipun telah menjadi presiden sekalipun
jangan sombong. Perhatian pada rakyat kecil tidak pudar dan selalu diutamakannya.
Meskipun presiden, mereka tidak lupa sowan dan sungkem pada para kyai sepuh apalagi
para gurunya. Teladan yang bijak ini pantas dicontoh oleh siapapun. Kebanyakan kita
sering lupa pada sejarah, oleh karena itu bercermin pada pendidikan demokrasi dari Gus
Dur meskipun sudah menjadi pimpinan dan memiliki jabatan tertinggi sekalipun kita
harus lembah manah dan mau dikritik.

Memperjuangkan Multikulturarisme
Penghormatan yang luar biasa dari aneka kelompok, lintas agama, ras, dan golongan
sebagai pertanda Gus Dur diterima oleh semua pihak. Menyadari bangsa ini yang
hiterogen, majemuk beliau terpanggil untuk melindungi semuanya. Sebutan Bapak
Pluralis yang melekat pada dirinya sebagai bukti semua golongan dan lapisan telah
merasa diuntungkan dan dihargai.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Kepala Negara dan Pemerintahan RI ketika
memberi sambutan pada upacara pemakaman jenazah almarhum Kiai Haji Abdurrahman
Wahid menyebutnya sebagai Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme. Predikat demikian
pas apa yang diperjuangkan Presiden keempat RI, yang biasa dipanggil Gus Dur itu,
karena beliau sebagai seseorang yang gigih memperjuangkan pluralisme dan
multikulturalisme.
"Kami tidak sependapat jika Gus Dur disebut sebagai Bapak Pluralisme, seperti
diungkapkan Presiden di Jombang beberapa waktu lalu karena dapat menimbulkan
konflik agama," kata Ketua MUI Jatim K.H. Abdusshomad Buchori di Surabaya, Rabu
(13/1). Ia menilai, pluralisme adalah faham pencampuradukan beberapa ajaran agama
sehingga sangat berbahaya terhadap kehidupan beragama di Indonesia.

"Ada dua hal yang membahayakan hubungan umat beragama di Indonesia, yakni
radikalisme agama dan pluralisme agama," katanya dalam sidang Badan Pembina
Pahlawan Daerah Jatim untuk membahas pengusulan Gus Dur sebagai pahlawan
nasional. Shomad menyatakan, sejak Gus Dur disebut sebagai Bapak Pluralisme, MUI
Jatim kebanjiran surat protes dari berbagai kalangan. "Yang benar adalah pluralitas,
bukan pluralisme. Pluralitas adalah upaya untuk mensejajarkan beberapa agama. Ini harus
dicermati agar tidak memicu konflik karena adanya pelanggaran akidah," katanya
mengingatkan. (hidayatullah/alhikmahonline)
Memang keberatan MUI mengakui Gus Dur sebagai "Bapak Pluralisme" bukan barang
baru. Pasalnya, MUI perhan mengaluarkan surat Keputusan Fatwa Majelis Ulama
Indoneisa Nomor:7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama Konon, kemunculan fatwa dari MUI (Majelis Ulama Indonesia)
yang melarang pluralisme sebagai respons atas pemahaman yang tidak semestinya.

MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi)
dalam arti "Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan
karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama
tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang
lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan
hidup dan berdampingan di surga". (Adian Husaini, 2005;2-3)

Adian Husaini menilai pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI itu, justru tidak jauh
berbeda dengan pemahaman para tokoh pluralis, sebagaimana dirangkum oleh Adian
Husaini berikut ini; Ulil Abshar Abdalla: Semua agama sama. Semuanya menuju jalan
kebenaran. Jadi Islam bukan yang paling benar; Budhy Munawar Rahman: Karenanya,
yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah pluralisme antaragama, yakni
pandangan bahwa siapapun yang beriman--tanpa harus melihat agamanya apa- adalah
sama di hadapan Allah; Abdul Munir Mulkhan: Jika semua agama memang benar sendiri,
penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar.
Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya; Nurcholish
Madjid: Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam
dialog antaragama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan
bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang
sama; Alwi Shihab: Prinsip lain yang digariskan oleh Al-Qur’an, adalah pengakuan
eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan dengan
begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi prinsip ini memperkokoh ide
mengenai pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme.
Setelah beliau wafat 30 Desember 2009, pertanyaan siapa yang akan meneruskan
ketokohannya sebagai seseorang yang terus-menerus mengampanyekan pluralisme dan
multikulturalisme menjadi menarik. Bukan berarti tidak ada seorang pun yang mampu
meneruskan paham plural, melainkan hingga kini masih sedikit produk kebijakan
pemerintah yang mencerminkan nilai keberagaman sosial maupun kultural dimaksud.

Atau pertanyaannya adalah dengan konsep apa dan institusi manakah yang berpeluang
menurunkan nilai keberagaman sosial dan multikultural tersebut ke dalam kebijakan-
kebijakan strategisnya. Pertanyaan tersebut mengingatkan saya pada institusi kepolisian
RI yang pada 4 Januari 2010 lalu sedang melakukan peralihan jabatan sebagai wujud
pelaksanaan Telegram Kapolri Nomor TR/708/XII/2009 tertanggal 31 Desember 2009.

Setelah pelantikan Komjen Yusuf Manggabarani menjadi Wakil Kepala Polri dan pejabat
teras lainnya, menyebutkan bahwa sekarang rencana strategis kedua, yaitu partnership
building, sebuah rangkaian kegiatan alih generasi dan transisi. Mudah-mudahan di
dalamnya tidak sekadar alih generasi transisi tetapi juga pembaruan pendekatan
kepolisian sesuai dengan kondisi sosial yang plural dan budaya bangsa yang multikultural
sebagaimana diperjuangkan Gus Dur.

Dalam pengartian lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al-
Qur’an. Sebab Al-Qur’an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari
lainnya; Sukidi: Dan konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi
dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya ”Kebenaran Tunggal” dan justru
bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan
mendeklarasikan bahwa semua agama entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen,
Islam, Zoroaster, maupun lainnya adalah benar. Dan konsekuensinya, kebenaran ada dan
ditemukan pada semua agama; Sumanto Al-Qurtuby: Jika kelak di akhirat, pertanyaan di
atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan
surga-Nya yang Mahaluas, disana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain;
Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nuwas, Romo Mangun, Bunda
Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir! (Adian Husaini, 2005; 38-40).

Negeri tercinta ini memang membutuhkan tokoh-tokoh yang memiliki jiwa seperti Gus
Dur yang mau menghargai dan melindungi seluruh ras dan golongan. Bangsa yang besar
ini akan hancur bila terkontak-kotak dalam sekat kepentingan dan egoisme. Kita pantas
bersyukur memiliki negeri yang luar biasa luasnya dan aneka budaya di dalamnya.
Negeri yang besar sangat membutuhkan pemimpin yang mampu melindungi sekaligus
menghargai budaya yang beraneka ragam ini. Kehebatan Gus Dur pantas diambil
hikmahnya. Anis Malik Thoha, dalam makalah “Menengarai Implikasi Faham Pluralisme
Agama” menjelaskan bahwa Professor John Hick, seorang teolog dan filosof Kristen
Kontemporer, memberikan definisi pluralisme agama sebagai berikut:
Pluralism is the view that the great world faiths embody different perceptions and
conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate from
within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the
transformation of human existence from self-centredness to Reality centredness is
manifestly taking place ¬ and taking place, so far as human observation can tell, to much
the same extent (John Hick dalam Problems of Religious Pluralism). Pluralisme, menurut
John Hick, adalah pandangan bahwa agama-agama besar memiliki persepsi dan konsepsi
tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Sang Wujud
atau Sang Paripurna dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa
transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi
secara nyata hingga pada batas yang sama.

Gus Dur mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-
Leninisme dicabut. 17 Januari 2000, mencabut Inpres 14/1967 tentang agama,
kepercayaan, dan adat istiadat China. Dalam bukunya Tren Pluralisme Agama, Dr. Anis
Malik Thoha menuliskan, dengan kata lain Hick ingin menegaskan bahwa semua agama
sejatinya merupakan tampilan-tampilan dari realitas yang satu. Semua tradisi atau agama
yang ada di dunia ini adalah sama validnya, karena pada hakekatnya semuanya itu tidak
lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respons manusia yang berbeda terhadap sebuah
realitas transenden yang satu dan sama, dan dengan demikian, semuanya merupakan
“authentic manifestations of the Real.” Ringkasnya, semua agama secara relatif adalah
sama, dan tak ada satu pun agama yang berhak mengklaim diri “uniqueness of truth and
salvation” (sebagai satu-satunya kebenaran atau satu-satunya jalan menuju keselamatan).

Franz Magnis Suseno menuturkan pluralisme: suatu implikasi dari sikap toleran:
kesediaan untuk menerima dengan baik kenyataan pluralitas agama-agama, artinya
kenyataan bahwa dalam satu masyarakat dan negara hidup orang dan kelompok orang
dengan keyakinan agama yang berbeda. Pluralisme sama sekali tidak menuntut agar
semua–keyakinan itu dianggap benar. Pluralisme tidak bicara tentang kebenaran.
Melainkan pluralisme itu sikap keterbukaan. Yasraf Amir Piliang bekometar pluralisme
adalah kecenderungan atau pandangan yang menghargai kemajemukan (pluralitas), serta
penghormatan terhadap sang lain (the others) yang berbeda-beda dan beraneka warna,
yang membuka diri terhadap keyakinan-keyakinan berbeda tersebut, serta yang
melibatkan diri secara aktif di dalam sebuah proses dialog di dalamnya, dalam rangka
mencari persamaan-persamaan (common belief) sambil tetap menghargai perbedaan-
perbedaan yang ada.

Nilai terpenting sekaligus yang sangat menonjol yang diperjuangkan oleh KH


Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sejak menjadi Ketua Umum PBNU hingga menjadi
presiden dan menjelang akhir hayatnya adalah nilai pluralisme dan multikulturalisme. Itu
suatu perjuangan yang disertai dengan komitmen yang sangat kuat dan tidak tertandingi
oleh tokoh mana pun sehingga pantas kalau pascawafatnya, Rabu (30/12), serta-merta
beliau mendapat dukungan luas untuk langsung diberi gelar pahlawan nasional. Atau,
lebih khususnya, pada nama KH Abdurrahman Wahid disematkan dengan predikat "guru
bangsa" dan "Bapak Pluralisme" karena beliau benar-benar telah mengajarkan kepada
bangsa ini tentang penghormatan pada kemajemukan ide dan identitas.

Memang, satu hal yang tidak dapat dimungkiri oleh bangsa yang majemuk ini adalah
bahwa dalam matra kehidupan sosial, budaya, dan politik, bahkan hukum dan ekonomi,
masih juga mencuat friksi dan konflik. Belum lagi muncul bibit-bibit perpecahan bangsa
seperti gerakan fundamentalisme serta radikalisme agama dan suku yang membahayakan
persatuan bangsa. Karena itu, kehadiran sosok Gus Dur dengan seluruh pemikiran dan
perjuangannya benar-benar menjadi sangat penting. Dan gelar kepahlawanan, predikat
"guru bangsa" dan Bapak Pluralisme yang diberikan kepada Gus Dur bukan saja pantas,
melainkan sangat dibutuhkan untuk menjadi simbol dan inspirasi perjuangan anak-anak
bangsa generasi yang akan datang. Gus Dur Mengumumkan tahun baru China menjadi
hari libur nasional, Maret 2000.

Terlepas sisi kekurangan Gus Dur, persoalannya bagaimana menghidupkan pemikiran-


pemikiran Gus Dur agar kemajemukan bangsa ini tetap lestari bukan sebagai ancaman
bagi falsafah kemajemukan tetapi sebagai tenda besar yang dapat memayungi
keindonesiaan. Intinya adalah bagaimana membangun dan menata keberbangsaan kita
menuju kearifan perenial. Artinya, dari momentum aneka friksi dan konflik yang kerap
terjadi itulah kita dapat mentransformasikan diri sebagai bangsa. Itulah sebuah upaya titik
balik peradaban lewat penanaman pemikiran transformatif Gus Dur yang dalam esai ini
dianjurkan lewat pengembangan pendidikan yang mencerdaskan. Pendidikan yang perlu
dikembangkan adalah pendidikan multikultural yang tidak mengabaikan pluralitas dan
keunikan.

Ide dan pemikiran Gus Dur yang tajam dan cemerlang soal kebangsaan, khususnya
tentang Bhinneka Tunggal Ika, telah memberikan peranan besar bagi perjalanan bangsa.
Oleh karena itu, ide, gagasan dan pemikiran Gus Dur tentang kebangsaan dan persatuan
harus dilanjutkan, demi kemajuan bangsa Indonesia. Ulama, umaro dan pimpinan
pesantren di sejumlah daerah di Indonesia menilai sosok Gus Dur sebagai inspirasi bagi
ulama dan santri. Cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, itu dinilai telah mengajarkan
pentingnya penghormatan atas perbedaan agama, suku, bangsa, dan nilai-nilai demokrasi.

Anggota Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), KH Mustofa Bisri atau Gus
Mus, mengatakan bahwa keberlangsungan ide dan pemikiran yang ditinggalkan KH
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yaitu gigih memperjuangkan demokrasi dan
pluralisme, menjadi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia. Pemikiran Gus Dur yang
tajam dan cemerlang soal kebangsaan, khususnya tentang Bhinneka Tunggal Ika, telah
memberikan peranan besar bagi perjalanan bangsa. Praktik yang dilakukan Gus Dur
mengenai sikap saling menghormati segala bentuk perbedaan demi tercapainya tatanan
masyarakat yang demokratis harus diteladani. Konsep kebangsaan Gus Dur itu kini
menghadapi banyak tantangan dan hambatan.

Pengasuh Pondok Pesantren Syalafiah As-Syafiiyah, Asembagus, Situbondo, KH Fawaid


As’ad Samsul Arifin, mengatakan, saat ini yang perlu dilakukan sepeninggal Gus Dur
adalah melawan bibit-bibit perpecahan bangsa. Munculnya gerakan fundamentalisme dan
radikalisme agama yang membahayakan persatuan perlu terus diwaspadai. Generasi
muda harus dibentengi dengan pemahaman tentang pemikiran Gus Dur agar terhindar
dari aliran keagamaan yang merusak. Pengasuh Pondok Pesantren Salaf Asrama
Perguruan Islam Tegalrejo, Magelang, M Yusuf Chudlori, menilai Gus Dur adalah
sumber motivasi dan inspirasi bagi pesantren. Gus Dur telah menebarkan nilai-nilai
demokrasi kepada ulama dan santri. Gus Dur mampu membuka mata hati mereka tentang
keterkaitan antara Islam, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Di sini, pendidikan multikultural yang becermin pada perjuangan Gus Dur adalah
pendidikan yang menempatkan diri pada kesadaran akan keunikan diri dalam
keanekaragaman sebagai pengalaman autentik yang menjadi akar kekuatan diri bangsa.
Dalam hal ini, keautentikan perlu ditempatkan sebagai akar pendidikan, pengembangan
kepribadian bangsa, dan kesalehan religius. Keunikan dalam keanekaragaman menjadi
basis kekuatan yang kreatif dan kecerdasan setiap orang dengan kemampuan dan sikap
hidup berbeda. Pendidikan multikulturalisme semestinya mengarah pada pengembangan
kepribadian bangsa dan dengan berbasiskan nilai-nilai luhur bangsa dan kesalehan
religius serta menghargai keunikan sebagai ciri pluralitas. Multikulturalisme yang lahir
dari pendidikan yang mengabaikan nilai-nilai luhur itu adalah multikulturalisme bangsa
yang semu alias formalistik belaka.

Pendidikan yang berbasis penyeragaman identitas sosial budaya ala Orde Baru itu pun
akhirnya terlihat tidak sanggup menyangga multikulturalitas kebangsaan yang autentik,
kuat, dan lestari. Lalu, paradigma multikulturalisme yang meniscayakan pemahaman
bahwa elemen-elemen sosial budaya yang semestinya bersifat inklusif, membuka diri
terhadap elemen-elemen lain dari luar dan cerdas dalam berdialog, menjadi hampa.
Konstruksi kebangsaan yang berbasis multikulturalisme pun akhirnya begitu rapuh.
Akibatnya, tatkala rezim Orde Baru tersungkur di telapak kaki reformasi, serta-merta
tercabiklah multikulturalisme yang ditandai oleh pecahnya aneka macam konflik yang
menyebar di hampir seluruh Nusantara.
Pengajar Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin, Rembang, Bisri Adib Hatani,
menganggap Gus Dur sebagai sosok ideal negarawan produk pendidikan pesantren.
Pemikiran Gus Dur mengajarkan sekaligus mencontohkan bagaimana ber-Islam dalam
konteks keindonesiaan. Gus Dur memandang dan meyakini perbedaan adalah rahmat,
sunnatullah (telah digariskan Allah). Perbedaan itulah yang membentuk warga Indonesia
menjadi bangsa yang terhormat, mandiri, dan merdeka lahir batin.

Wakil Ketua Yayasan Buntet Pesantren, Cirebon, KH Wawan Arwani, mengungkapkan,


salah satu nilai yang ditularkan Gus Dur adalah keterbukaan terhadap penganut agama
atau kepercayaan lain. Cara hidup bersama di negara multikultural itulah yang juga
disebarkan kepada santri Buntet Pesantren. Santri diajarkan untuk tidak menyelesaikan
persoalan dengan kekerasan dan menegaskan terorisme yang mengatasnamakan jihad
adalah haram.

Juru bicara Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Abdul Chobir, menilai pemikiran
dan terobosan Gus Dur yang bisa menerima nilai-nilai baru dari sebuah perubahan akan
tetap hidup dan dilanjutkan oleh warga NU. Gus Dur menekankan perbedaan bukan
menjadi sumber perpecahan, tetapi justru menjadi modal persatuan.

Mengantarkan kepergian Gus Dur, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan,


mendiang sebagai bapak pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Gus Dur
merupakan pejuang reformasi yang melembagakan penghormatan pada kemajemukan ide
dan identitas. Gus Dur menyadarkan sekaligus melembagakan penghormatan kita pada
kemajemukan ide dan identitas yang bersumber dari perbedaan agama, kepercayaan,
etnik, dan kedaerahan. Disadari atau tidak oleh kita, sesungguhnya beliau adalah bapak
pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Almarhum Gus Dur, adalah salah satu
pemimpin dan pemikir Islam yang sangat dihormati, baik di Indonesia maupun di dunia.
Gus Dur meyakini Islam sebagai sumber universal bagi kemanusiaan, keselamatan,
perdamaian, keadilan, dan toleransi. Gus Dur menetapkan berbagai kebijakan untuk
mengakhiri diskriminasi dan untuk menegaskan bahwa negara memuliakan berbagai
bentuk kemajemukan.

Pendidikan memang bukanlah satu-satunya "terdakwa" yang menjadi sumber kegagalan


yang menggiring pada tercabiknya multikulturalisme di Indonesia. Tetapi, pendidikan
adalah faktor penentu bagi perkembangan peradaban manusia, pembentukan karakter,
pengembangan watak dan kepribadian, serta pencerdasan intelektual dan spiritual bangsa.
Dengan demikian, pendidikan memiliki tanggung jawab moral dan sosial terhadap upaya
membangun pilar-pilar multikulturalisme negeri ini.
Untuk membangun dan menata pendidikan multikulturalisme demi mengembangkan
pemikiran dan sikap Gus Dur, maka yang dibutuhkan sesungguhnya adalah dukungan
politik dengan roda demokrasi yang terus digerakkan. Politik, khususnya demokrasi,
sejatinya bukan saja berarti kedaulatan di tangan rakyat dengan segala kepentingannya,
melainkan terutama menempatkan martabat bangsa pada keunikan diri dan komunitas-
komunitas sosial budaya dan politik dengan tradisi-tradisinya. Maka, sepak terjang politik
baik partai maupun politikus sedianya harus membangun ruang-ruang kehidupan politik
warga lewat pendidikan multikulturalisme demi pencerdasan masyarakat menuju
peradaban yang lebih baik.
Hal ini dilakukan dengan cara, pertama, menggalang kebijakan-kebijakan politik
kebangsaan dalam matra-matra kehidupan sosial budaya, ekonomi, dan agama yang
dikemas berdasarkan ide-ide multikultural. Kedua, kebijakan politik diarahkan pula pada
praksis pendidikan riil warga yang terjelma dalam praksis kurikulum multikultural, agar
pengembangan manusia Indonesia lebih cerdas, lebih memahami kemajemukan bangsa
secara lebih terarah. Manusia Indonesia yang cerdas hati dan pikiran tidak hanya
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga bermoral, bersikap demokratis,
dan berempati terhadap orang lain. Manusia cerdas akan menghargai perbedaan dan tahu
bahwa perbedaan-perbedaan itulah yang membuat dirinya bertambah kaya jasmani dan
rohani. Jadi, pendidikan multikulturalisme yang dibarengi kurikulum pendidikan politik
dengan materi pemahaman terhadap hakikat-hakikat multikulturalisme akan membuat
pluralitas bangsa lebih mudah diterima dan dihargai. Segala persoalan keberbangsaan
yang bertalian dengan pluralisme bangsa akan lebih mudah terpecahkan. Semua ini yang
sesungguhnya sudah diperjuangkan oleh Gus Dur.

Romo Franz Magnis-Suseno, Rohaniwan Katolik dan Guru Besar di Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara sangat mengagumi Gus Dur. Di koran Kompas, Senin, (4/1/ 2010),
Franz memuji Gus Dur sebagai nasionalis Indonesia tulen, pluralis pelindung minoritas
dan kiyai penikmat lagu Bethoven. Romo Franz Magnis-Suseno memuji Gus Dur sebagai
nasionalis Indonesia tulen, pluralis pelindung minoritas dan kiyai penikmat lagu
Bethoven…“Betapa luar biasa Abdurrahman Wahid, Gus Dur kita ini! Seorang nasionalis
Indonesia seratus persen, dengan wawasan kemanusiaan universal. Seorang tokoh
Muslim yang sekaligus pluralis dan melindungi umat- umat beragama lain. Enteng-
enteng saja dalam segala situasi, tetapi selalu berbobot; acuh-tak acuh, tetapi tak habis
peduli dengan nasib bangsanya. Orang pesantren yang suka mendengarkan simfoni-
simfoni Beethoven,” kata Franz dalam tulisannya. ”Kita menyertai arwahnya dengan doa-
doa kita agar ia dengan aman, gembira, dan pasti terheran-heran dapat sampai ke asal-
usulnya,” lanjutnya.
Di dunia internasional, berita kematian membuat Paus, pimpinan tertinggi Gereja Katolik
bersedih hati. Begitu mendengar kabar kematian Gus Dur, Paus Benediktus XVI
mengirimkan doa belasungkawa atas wafatnya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Surat
belasungkawa yang dikirimkan khusus dari Vatikan. “All loving God, we have lost a
great statesman who taught about plurality. You have called our father Abdurrahman
Wahid who had always taught about peace. This nation needs him,” demikian doa Paus
dalam surat belasungkawanya.
Pada acara tahlilan hari ketujuh wafatnya Gus Dur Selasa (5/1/2010), doa Paus
Benediktus XVI itu dibacakan oleh Romo Benny Susetyo dalam bahasa Indonesia.
“Ya Allah yang Mahakasih, kami telah kehilangan negarawan yang sangat besar, yang
mengajarkan perbedaan. Kau panggil bapak kami Abdurrahman Wahid yang selalu
mengajarkan perdamaian. Bangsa ini membutuhkan beliau,” ujar Romo Benny
membacakan surat Paus Benediktus ke XVI.

Bagi Syafii Anwar, Direktur Eksekutif International Center for Islam and Pluralism
(ICIP) menulis: ”Karenanya, saya berpendapat bahwa pluralisme agama bukan
sinkretisme agama yang punya tendensi ke arah relativisme yang mengarah pada
penyamaan dan pembenaran semua agama.” Juga dikatakannya, “Mereka yang concern
dengan pluralisme yang benar tidak pernah merelatifkan ajaran agama masing-masing.
Mereka tentu mempercayai kebenaran agamanya sendiri.” (Majalah AL-
WASATHIYYAH Edisi No 11/2008)

Karen Armstrong menilai pluralisme bisa menjadi jawaban atas agama di abad ke-21.
Pluralisme mengimplikasikan pembentukan iman secara kuat pada seseorang sementara
pada saat yang sama mempelajari dan menghargai jalan orang yang memiliki keyakinan
lain, dan memahami bagaimana mereka ingin dipahami. (Nadi, vol. 03, th. 2007)

Menurut Amin Abdullah, Rektor UIN Sunan Kali Jaga berpendapat Pluralisme agama
adalah kenyataan otentik kehidupan dan tiap orang selalu munyikapi kenyataan ini
menurut pandanganya sendiri-sendiri, sesuai dengan konfogurasi budaya, agama dan
tradisi yang melatarbelakanginya. Di indonesia, keanekaragaman (pluralitas) agama,
termasuk keanekaragaman paham keagamaan dalam tubuh internal umat beragama
adalah kenyataan historis yang tidak dapat disangkal siapapun. (Aba Du Wahid,
2004:VIII)

Dimata Bejo. SE, Pluralisme (agama) bisa dipahami dalam minimum tiga kategori.
Pertama, kategori sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ”semua agama
berhak untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan bahkan
menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya. Kedua, kategori etika
atau moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa ”semua pandangan moral dari
masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita menganut pluralisme agama
dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain yang
memiliki pandangan moral berbeda, misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman
gantung, eutanasia, dll. Ketiga, kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti
”agama-agama pada hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama
menyelamatkan”. Mungkin kalimat yang lebih umum adalah ”banyak jalan menuju
Roma”. Semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda.
Selanjutnya, dalam tulisan ini, setiap kali kita menyebut pluralisme agama, yang
dimaksudkan adalah pluralisme agama dalam kategori teologi-filosofi ini.

Pluralis sendiri menurut wikipedia dapat diartikan Suatu kerangka interaksi yg mana
setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa
konflik atau asimilasi (pembauran/ pembiasan). Kalangan Protestan juga tak kalah
sedihnya mendengar berita kematian Gus Dur. Misalnya, umat Kristen Sulawesi Utara
yang sangat kehilangan atas wafatnya Gus Dur, karena menurut mereka, Gus Dur adalah
pahlawan minoritas (Kristen). Umat Kristen Sulawesi Utara yang sangat kehilangan atas
wafatnya Gus Dur, karena menurut mereka, Gus Dur adalah pahlawan minoritas
(Kristen). ”Ia adalah tokoh perdamaian dan ’pahlawan’ minoritas. Kami benar-benar
kehilangan. Belum ada tokoh setara Gus Dur. Ia pergi meninggalkan semerbak melati,”
kata Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa Pendeta AO Supit, Rabu (30/12) di
Manado. Apa yang membuat kalangan Kristen sangat sedih kehilangan Gud Dur? Ketua
Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta AA Yewangoe
mengungkapkan bahwa ia bertemu langsung dengan Gus Dur tiga bulan lalu ketika ada
sebuah gereja yang izinnya dicabut wali kota.
”Beliau datang ke Kantor PGI untuk memberikan dukungan. Itu adalah salah satu bukti,
beliau menginginkan semua orang di Indonesia memperoleh haknya, hak beribadah,”
katanya. Dia melanjutkan, Gus Dur adalah tokoh bangsa yang tidak tergantikan. ”Beliau
sangat memerhatikan kerukunan umat beragama di Indonesia,” ujarnya. Anehnya, sikap
Gus Dur bak malaikat baik dalam membela gereja itu justru membingungkan umat baik
Muslim maupun Kristen. Karena mereka merasa aneh, ada apa dengan Gus Dur, sehingga
lebih membela minoritas sembari menyakiti umat mayoritas. Sikap Gus Dur yang pro
minoritas Kristen dan kerap menyakiti mayoritas Muslim, disadari juga oleh Romo Franz
Magnis-Suseno, di koran Kompas, Senin, (4/1/ 2010), Franz mengungkapkan sbb:
”Gus Dur berhati terbuka bagi semua minoritas, para tertindas, para korban pelanggaran
hak-hak asasi manusia. Umat-umat minoritas merasa aman padanya. Gus Dur membuat
mereka merasa terhormat, ia mengakui martabat mereka para minoritas, para tertindas,
para korban.

Ada yang tidak mengerti mengapa Gus Dur begitu ramah terhadap agama-agama
minoritas, tetapi sering keras terhadap agamanya sendiri. Namun, Gus Dur demikian
karena ia begitu mantap dalam agamanya. Karena itu, ia tidak perlu defensif dan tidak
takut bahwa agamanya dirugikan kalau ia terbuka terhadap mereka yang berbeda.”
Diakui atau tidak Indonesia merupakan negara majamuk. Saat John Rawls melihat
kemajemukan sebatas fakta, Gus Dur memahaminya sebagai keharusan seperti ditulis
Benyamin F Intan, Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion and Society
Bagi Gus Dur, keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak
kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat
manusia. Gus Dur cenderung memandang perbedaan dalam perspektif, meminjam istilah
Wolfgang Huber, ethic of dignity daripada ethic of interest. Ethic of dignity melihat
perbedaan sebagai pemberian. Ethic of interest memandangnya sebatas pilihan.

Ihwal keragaman agama, pluralisme normatif mengharuskan Gus Dur menolak


pluralisme indifferent, paham relativisme yang menganggap semua agama sama. Pola
pikir yang mengarah pada sinkretisme agama ini tidak menghargai keunikan beragama.
Hans Kung menyebutnya pluralisme ”murahan” tanpa diferensiasi dan tanpa identitas.
Gus Dur menghargai pluralisme nonindifferent yang mengakui dan menghormati
keberagaman agama. Pola pikir ini menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama,
apalagi meleburkan satu agama dengan agama lainnya. Karena perbedaan adalah rahmat,
Gus Dur optimistis keberagaman akan membawa kemaslahatan bangsa, bukan memecah
bangsa. Ia menegaskan saat diwawancarai untuk penyusunan disertasi penulis di Boston
College, Gus Dur menandaskan perlunya tiga nilai universal—kebebasan, keadilan, dan
musyawarah untuk menghadirkan pluralisme sebagai agen pemaslahatan bangsa.
(Kompas, 7/1). Ingat, pemahaman yang didasarkan kesadaran kemajemukan secara
sosial-budaya-religi yang tidak mungkin ditolak inilah yang oleh Cak Nur disebut sebagai
pluralisme. Yaitu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis dan menerimanya
sebagai pangkal tolak untk melakukan upaya konstruktif dalam bingkai karya-karya
kemanusiaan yang membawa kebaikan dan kemaslahatan. (Nurcholis Madjid, 1995;52-
67)

Dengan demikian, Pluralisme merupakan kesadaran tentang koeksistensi yang absah dari
sistem keagamaan, pemikiran, kehidupan sosial dan tindakan-tindakan yang dihakimi
tidak kompatibel. Pluralisme keagamaan mengandung pandangan bahwa bentuk-bentuk
yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan keyakinan maupun perilaku keagaman,
harus dapat hidup berdampingan. Persoalan pluralisme muncul ketika suatu tradisi
tertentu mendominasi masyarakat, menafikan legitimasi aliran yang lain dan
menganggapnya sebagai fenomena sektarian. Kiranya, melestarikan sekaligus
memperjuangkan kebebasan beragama merupakan penghargaan terbesar baginya,
daripada hanya penganugerahan gelar pahlawan nasional semata. Pasalnya, Gus Dur
berpesan sebelum meninggal ”Saya ingin di kuburan saya ada tulisan: Di sinilah dikubur
seorang pluralis” (Kompas, 3/1).

Memotong Subsidi Pendidikan


Keputusan pemerintahan Gus Dur untuk memotong subsidi pendidikan secara bertahap
(berarti juga akan dicabut) merupakan keputusan yang tidak bersandar kepada
kepentingan rakyat. Pemotongan subsidi pendidikan ini akan berlanjut dengan
pemberlakuan kebijakan otonomi kampus, yang dalam hal ini bisa diartikan sebagai
pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pihak pengelola perguruan tinggi untuk
menentukan biaya pendidikan sesuka hati dan meletakkan dunia pendidikan di bawah
cengkeraman para pemilik modal.
Yang lebih tragis lagi adalah bahwa pemberian otonomi kampus itu tidak menyertakan
adanya jaminan bagi setiap perguruan tinggi untuk menentukan kurikulumnya sendiri
tanpa intervensi para pengusaha yang menanamkan investasinya di sana (dalam bentuk
kerja sama dengan birokrat kampus), sehingga dapat dipastikan bahwa pola pendidikan
yang akan diterapkan nanti masih saja sama, berorientasi kepada bagaimana
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya (profit oriented). Sehingga tujuan pendidikan
yang sebenarnya, sebagai sarana untuk membebaskan rakyat dari ketertindasannya,
semakin jauh dari harapan.
Pengantar tulisan di atas mengingatkan kita kepada praktek-praktek kaum kapitalis
bahwa pendidikan sangat dipengaruhi oleh ideologi kelas dominan dalam masyarakat.
Sehingga dalam sistem kapitalis pendidikan tak lebih sebagai sarana untuk mereproduksi
ideologi kapitalis tersebut. Sistem pendidikan dalam masyarakat kapitalis tidak akan
pernah berpihak pada kelas pekerja maupun kelas tertindas lainnya. Lebih jauh, bahwa
musuh utama dari pendidikan --seperti juga musuh dalam dari sistem ekonomi dan
politik-- adalah kapitalisme.
Pengkritisan terhadap pola pendidikan dalam masyarakat kapitalis tentunya harus kita
bandingkan dengan pola pendidikan kerakyatan yang pernah ada sebelumnya. Hal ini
diperlukan untuk memberikan gambaran kepada kita bagaimana sistem pendidikan itu
seharusnya diselenggarakan.
Ketika Komune Paris terbentuk pada tahun 1871, muncul program-program untuk
memperbaharui sistem pendidikan dan penyelenggaraannya secara mendasar. Dalam
sebuah tulisan disebutkan bahwa "segala bentuk institusi pendidikan harus terbuka bagi
seluruh rakyat dan dalam waktu yang bersamaan intervensi negara harus dihilangkan".
Selanjutnya Komune itu juga mengajukan beberapa tuntutan, seperti: a. Pendidikan gratis
untuk rakyat; b. Penghentian campur tangan pihak negara; c. Pendidikan yang berpihak
kepada kelas pekerja; dan d. Kebebasan akademis dan kebebasan untuk mempelajari
apapun. Program-program dan tuntutan Komune tersebut sepenuhnya mendapat
dukungan dari rakyat sebab rejim yang berkuasa saat itu sama sekali menjauhkan kelas
pekerja dari pendidikan yang kerakyatan.
Semangat untuk menciptakan pola pendidikan yang berpihak kepada pembebasan rakyat
pekerja seperti yang diawali oleh Komune Paris di atas kemudian diteruskan di Rusia.
Pada bulan Mei 1917, diterapkan suatu Program Pendidikan, antara lain disebutkan
bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan yang harus disediakan oleh
negara dalam bentuk sekolah-sekolah, selain itu setiap orang juga memiliki kebebasan
untuk mengemukakan pendapat maupun pikirannya di muka umum.

Penolakan campur tangan negara dalam pendidikan juga diterapkan. Selain itu
pendidikan gratis bagi setiap anak sampai pada usia 16 tahun harus dilakukan secara
profesional dan dijamin oleh negara. Negara juga harus menyediakan makanan, pakaian,
dan segala macam peralatan sekolah kepada seluruh peserta didik dengan biaya negara.
Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah pusat tidak berhak untuk melakukan intervensi
terhadap pembentukan kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah. Pemerintah bahkan
tidak berhak untuk melakukan seleksi terhadap para pengajar. Seleksi hanya bisa
dilakukan oleh rakyat di sekitar sekolah itu diselenggarakan secara langsung dan rakyat
berhak untuk memberhentikan pengajar yang dianggap tidak layak.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa peranan negara dalam pendidikan adalah
memberikan jaminan bagi tersedianya sistem pendidikan yang ilmiah dan demokratis
yang penyelenggaraannya diserahkan sepenuhnya kepada rakyat dalam hal ini kepada
organisasi-organisasi rakyat yang independen dan demokratis di tingkat bawah.
Program Pendidikan di Rusia tersebut juga diimplementasikan dalam praktek-praktek
pendidikan yang terprogram dan sistematis. Sebab pendidikan merupakan proses
penggabungan antara teori dan praktek (revolusi), keduanya sangat tipis garis
pembatasnya.
Kerja untuk merubah secara mendasar cara-cara pendidikan tua sangat diperlukan,
revolusi tidak akan tercipta dengan sendirinya ketika kondisi objektif untuk itu datang,
pendidikan harus menjadi satu kesatuan dalam revolusi. Menurut Paolo Freire,
masyarakat baru tidak bisa datang begitu saja, ia harus diciptakan dan kelahirannya itu
ada pada pendidikan revolusioner dan kerakyatan. Sehingga untuk itu kita harus
melakukan perlawanan untuk membelejeti sistem kapitalis. "Jika dalam sistem kapitalis
tugas utama pendidikan adalah reproduksi ideologi kapitalis, maka ketika revolusi
berkuasa tugas pendidikan adalah menciptakan suatu ideologi baru, pondasi yang sama
sekali baru", begitu penegasan Freire.

Sistem pendidikan di Indonesia sangat terang dipengaruhi tidak saja oleh sistem
perpolitikan yang ada tetapi juga oleh ideologi kelas dominan, borjuasi. Sehingga segala
kebijakan yang diambil menyangkut pendidikan pastilah akan menguntungkan borjuasi,
begitu juga dengan kebijakan pengurangan subsidi yang diambil oleh Gus Dur. Rakyat
sama sekali tidak memperoleh keuntungan dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
borjuasi, dan memang tidak sepantasnya kita mempercayai mereka. Sejarah selalu
membuktikan hal ini.

Ahir pemerintahan Abdurrahman Wahid


Sepanjang tahun 2000, Gus Dur banyak melakukan kunjungan kenegaraan ke sejumlah
Negara dan forum ekonomi Dunia, Pertemuan G-77. Gus Dur dianggap terlibat skandal
BULOGATE dan BRUINEIGATE. Pada akhir 2000, banyak elite politik kecewa dengan
Gus Dur. Pada akhir November, 151 anggota DPR menandatangani petisi yang meminta
pemakzulan Gus Dur. Februari, Gus Dur meminta Jendral Wiranto mengundurkan diri
dari jabatannya Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan. Karena Wiranto
dinilai sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer, termasuk tuduhan
pelanggaran HAM di Timor timor.

Maret, dalam upaya mereformasi militer, Gus Dur mengangkat Agus Wirahadikusuma
sebagai Panglima KOSTRAD. April, Gus Dur memecat Menteri Negara Perindustrian
dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi.
Alasannya, keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah
memberikan bukti yang kuat. Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan GAM. Dua
bulan kemudian, Pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga
awal 2001.

Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur
menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu mengusulkan
pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi. Gerakan anti Gus Dur pun muncul. Pada 1
Februari 2001, DPR bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut
berisi diadakannya Sidang Khusus MPR yang memungkinkan pelengseran terhadap Gus
Dur. Terhadap ancaman ini, pendukung Gus Dur pun berontak. Pendukung Gus Dur di
Pasuruan, misalnya, terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada
bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai
presiden hingga mati.

Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melakukan reshuffle
kabinet. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari
kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan
Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden,
berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai
Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur.
Kondisi politik yang makin memanas, membuat Gus Dur mulai putus asa. Dia meminta
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) untuk menyatakan keadaan darurat. Namun, SBY menolak perintah
itu. Gus Dur pun memberhentikan SBY dari jabatannya beserta empat menteri lainnya
dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001. Gus Dur mencopot Menteri kehakiman
dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra karena mengumumkan permintaan agar
Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan
berbeda visi dengan pemerintahan. Juni, melakukan kunjungan terakhir ke Australia
sebagai Presiden.

Pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan sidang istimewa MPR dimajukan pada 23 Juli.
TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke
arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian
mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1). Pembubaran MPR/DPR. (2).
Mengembalikan kedaulatan ke tangan Rakyat dengan mempercepat Pemilu dalam waktu
satu tahun. (3). Membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang
MPR. Sebelum siding khusus MPR, anggota PKB setuju untuk tidak hadir sebagai
lambang solidaritas. Namun, Matori Abdul Djalil, ketua PKB bersikeras hadir karena ia
adalah wakil ketua MPR. Dengan posisinya sebagai kepala dewan penasehat, Gus Dur
menjatuhkan posisi Matori sebagai ketua PKB pada tanggal 15 Agustus 2001 dan
melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai, sebelum mencabut keanggotaan Matori
pada bulan November. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan. Pada 23 Juli,
MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dengan menggantinya dengan Megawati
Sukarno Putri.
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and


practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.
Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching:
research, policy, and practice for democratic education. Educational
Researcher, 25, 6:5-Dewantara,
Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge &
Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub


Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO
Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of


Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada
Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Ki Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian


Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki


Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited


by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_content
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com
Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.
http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down
load pada tanggal 16 November 2005
http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal
16 November 2005
http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November
2005
http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan Indonesia


Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi
Oleh : Rum Rosyid
Dosen FKIP Universitas Tanjungpura
Direktur Global Equivalency for Education

You might also like