Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat bukti yang disebut dalam pa
sal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan “Bersalah” kepadanya akan dijatuhkan oleh
karena itu, hakim harus berhati-hati, cermat, dan matang menilai dan
“kekuatan pembuktian” atau Bewijs Kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam
pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dalam hal pembuktian ini, hakim perlu
terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa sehingga tidak ada
seseorang yang tidak bersalah mendapat hukuman, atau kalau memang ia bersalah
22
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahn dan Penerapan Kuhap, (Jakarta : Sinar Grafika,
2000), hal 252.
1
2
jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat. tetapi hukuman itu harus
boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa dalam mencari
dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan
yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan
hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan. jangan sampai
yang keluar dari garis yang dibenarkan system pembuktian .tidak berbau dan
Disamping itu, ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang
terdakwa.
beralasan, dengan saksi yang meringankan atau saksi a decharge maupun dengan
“alibi”.
c. Pembuktian juga bisa berarti suatu penegasan bahwa ketentuan tindak pidana
lain yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Maksudnya, surat dakwaan penuntut
umum bersifat alternatif, dan dari hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh dal
kenyataan pembuktian. Dalam hal seperti ini, arti dan fungsi pembuktian
a. Conviction – in Time
terdakwa, yakni dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak
menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim
dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil
pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan
dari keterangan atau pengakuan terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka
dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti
yang lengkap, selama hakim tidak yang yakin atas keselahan terdakwa. Jadi, dalam
berdasarkan alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata
Keyakinan hakim yang “dominan” atau yang paling menentukan salah atau
tidaknya terdakwa, keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan
b. Conviction – Raisonee
5
Sistem ini pun dapat dikatakan, “keyakinan hakim” tetap memegang peranan
penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem
pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian
conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem
jelas.”
reasoning itu harus “Reasonable, yakni berdasar alasan yang logis dan benar-benar
dapat diterima akal. tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa
coviction-in time.
ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa, keyakinan hakim dalam
sistem ini, tidak ikut berperanl menentukan salah atau tidaknya terdakwa.
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang
semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Asal sudah dipenuhi
apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.
stelsle )
wettelijk stelsel) merupakan teori antara sistem pembuktian menurut keyakinan atau
merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara
positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang, itu
Bertitik tolak dari uraian diatas, untuk menentukan salah atau tidaknya
2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
Dari uraian latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan atau di
1616/Pid.B/2005/PN-LP.
yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam pasal 184 KUHAP, disertai dengan
Secara praktis diharakan tulisan ini dapat menjadi referensi pemikiran kepada:
b. Masyarakat;
c. Pemerintah; dan
BAB II
9
TINJAUAN PUSTAKA
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang ada kalanya disebut dengan
istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah
normatif murni, maka pembicaraan tentang pidana akan selalu terbentur pada suatu
bahwa pidana disatu pihak diadakan untuk melindungi kepentingan seseorang, akan
tetapi di pihak lain ternyata memperkosa kepentingan seseorang yang lain dengan
bahwa yang dimaksud dengan pidana ialah penderita yang sengaja dibebankan
Roeslan saleh menyatakan pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu
27
R.Soedarto, Hukuman dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal 71-71.
28
Bambang Poernomo, Pelaksanan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,
Yogyakarta : Liberty, 1986), hal 37. 9
29
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
1984), hlm. 2.
30
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm .2.
10
dijatuhkan diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat
hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum
pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak
pidana (strafbaar felt), mengenai wujud jenis penderitaan itu dimuat dalam pasal 10
a. Hukuman-hukuman pokok :
b. Hukuman-hukuman tambahan :
felt: tindak pidana), di samping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka
membatasi kekuasaan negara juga bertujuan untuk mencegah (preventif) bagi orang
Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan buka tujuan dari
hukum pidana yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau
rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Tujuan utama hukum
31
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005)
hal 24.
11
pidana adalah ketertiban, yang secara khusus dapat disebut terhindarnya masyarakat
Maha Esa. Wujud pemidanaan tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama
dapat bertobat dan menjadi manusia yang beriman dan taat. Dengan kata lain,
ciptaan Tuhan. Pemidanaan tidak boleh menciderai hak-hak asasnya yang paling
sesama warga bangsa, pelaku harus diarahkan pada upaya untuk meningkatkan
32
J.E. Sahatapy, Suatu Studi kasus, mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan
Berencana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), hal 284, dan M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam hukum
Pidana, Ide Dasar Double, Track System Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafika Persada, 2003) hal
109.
33
Ibid.
12
dan mengarahkan untuk tidak mengulangi melakukan kejahatan. Dengan kata lain,
bangsa.34
makhluk sosial, yang menjujung keadilan bersama dengan orang lain sebagai sesama
warga masyarakat. Dalam kaitan ini, perlu diingat bahwa pemerintah dan rakyat
harus ikut bertanggung jawab untuk membebaskan orang yang dipidana dari kemelut
Pengertian Pembunuhan
terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan
obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia.37 Menurut Leden Marpaung,
(materiale delict), artinya untuk kesempurnaan tindak pidana ini tidak cukup dengan
dilakukannya perbuatan, akan tetapi menjadi syarat juga adanya akibat dari perbuatan
34
Ibid
35
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum pIdana, Ide Dasar Double Track Sistem
Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafika Persada, 2003), hal 110.
36
Ibid
37
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), hal 55.
38
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh : Pemberantasan dan
Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal 4.
13
itu. Timbulnya akibat yang berupa hilangnya nyawa orang atau matinya orang dalam
nyawa, ialah :
adalah kejahatan yang dimuat dalam Bab XIX KUHP, pasal 338 sampai dengan
350 KUHP.
kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja diobedakan dalam 3 (tiga) macam, yakni :
a. Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam pasal 338,
b. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan,
c. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dal am kandungan ibu (janin)
39
Tongat, Hukum Pidana Materiil Tinjauan Atas Tindak Pidana Terhadap Subyek Hukum
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal 3.
40
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Op.Cit., hal 55-56.
14
Jenis-Jenis Pembunuhan
1. Pembunuhan (Murder)
Hal ini diatur oleh pasal 338 KUHAP yang bunyinya sebagai berikut:
“Barang siapa sedang sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah
b. Dengan sengaja: dalam ilmu hukum pidana, dikenal 3 (tiga) jenis bentuk sengaja
(dolus) yakni:41
Dolus eventualis )
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahuui oleh kejahatan dan
yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, atau
jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya
daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatinya dengan me
lawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman
penjara seumur hidup, atau penjara sementara selama-lamanya dua
puluh tahun”.43
di bawah ini :
a. Unsur pembunuhan dalam pasal 338 KUHP baik unsur yang subyektif
atau
pidana, atau
Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
3. Pembunuhan Berencana
Hal ini diatur oleh pasal 340 KUHP yang beunyinya, sebagai berikut :
44
Tongat , op. cit ., hlm .10 ..
45
16
2) Unsur obyektif
terlebih dahulu
b. Kesengajaan dengan tujuan yang pasti atau yang merupakan keharusan (opzet
bij mogelijkheids bewustzijn) atau dolus eventualis atau disebut juga woor
wardelijk opzet.
Hal ini diatur oleh pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: “Seorang
ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau
tidak berapa lama sesudah dilahirkan karena takut ketahuan bahwa ia sudah
46
Leden Marpaung, Op.Cit., hal 29-30
17
melahirkan anak dihukum karena pembuhnan anak dengan hukuman penjara selama-
Hal ini diatur oleh pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Hal ini diatur pada pasal 3445 KUHP yang bunyinya sebagai berikut : Barang
siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang lain itu sendiri,yang
Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah
orang lain.
hati.50
47
Ibid, hal 43
48
Leden Marpaung, Op.Cit., hal 44.
49
Leden Marpaung. Op.Cit., hal 45.
50
Tongat , Op.cit . hlm . 45 .
18
Hal ini diatur pada pasal 345 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
7. Pengguguran Kandungan
keguguguran”. Pengguguran kandungan diatur dalam KUHP oleh pasal 346, 347,
51
Leden Marpaung, Op.Cit., hal 46.
19
BAB III
METODE PENELITIAN
deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti. Penulis ini dilakukan dengan
research) terdiri dari inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar
normatif yang dipakai dalam penulisan ini adalah hukum in concreto. Dalam
penelitian ini, norma-norma hukum ini abstracto di perlukan mutlak untuk berfungsi
sebagai premisa mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (legal
facts) dipakai sebagai premisa minor melalui proses silogisme akan diperolehlah
(library research) serta penelitian kasus terhadap putusan perkara pidana pembunuhan
52
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal 13.
53
Bambang Sunggono, Metodeologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006), hal 91-92
19
20
(kajian isi sebagai teknik penelitian untuk mendiskripsikan secara objektif, sistematis
dan kuantitatif tentang manifestasi komunikasi). Sedangkan menurut Holsti kajian isi
adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha
menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis .54
diperlukan.
54
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung Remaja Karya, 1989), hal
179. Dalam Soejono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta 2003) hal
13.
21
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
1.........................................................................................Pem
2.........................................................................................Pem
3.........................................................................................pem
4.........................................................................................Pem
5...................................................................................
(Kinder Moord)
.....................................................................................
.....................................................................................
17
6.........................................................................................Pem
8.........................................................................................Peng
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..
iii
23
OLEH :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBINAAN MASYARAKAT INDONESIA
MEDAN
2009
24
OLEH :
RAMASTIKA SIBORO
NIM. 250.200.46
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBINAAN MASYARAKAT INDONESIA
MEDAN
2009
25