You are on page 1of 48

LAPORAN AMERIKA SERIKAT TENTANG PELAKSANAAN HAK ASASI MANUSIA DI

INDONESIA TAHUN 1997

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat


Dikeluarkan oleh Biro Demokrasi, Hak Asasi, dan Perburuhan, 30 Januari 1998

INDONESIA

Meskipun pada permukaannya patuh pada bentuk-bentuk demokrasi, sistem politik Indonesia tetap
sangat otoriter. Pemerintah didominasi oleh suatu elit terdiri dari Presiden Soeharto (sekarang dalam
masa jabatan lima tahun keenam), kerabat dekatnya, dan militer. Pemerintah mewajibkan kepatuhan
terhadap ideologi negara Pancasila yang menekankan pada musyawarah dan mufakat, tapi Pancasila
juga dipakai untuk membatasi pembangkang, memaksakan kesatuan sosial dan politik, serta merintangi
perkembangan unsur oposisi. Badan peradilan dengan efektif didudukkan di bawah cabang eksekutif
dan golongan militer, dan korup.

Misi utama ABRI yang beranggotakan 450.000 orang, termasuk 175.000 polisi, adalah menjaga
keamanan dan kestabilan dalam negeri. Meskipun jumlah perwira ABRI maupun purnawirawan yang
menduduki posisi-posisi kunci di pemerintahan sudah berkurang, golongan militer mempertahankan
kekuatan non-militernya di bawah konsep dwifungsi ABRI yang memberinya peranan politik dan sosial
dalam “membangun bangsa”. Militer dan polisi terus melakukan berbagai pelanggaran hak asasi.

Krisis moneter yang menyerang kawasan itu di pertengahan tahun memperlambat pertumbuhan
ekonomi yang sangat kuat dan cepat di tahun-tahun sebelumnya. Manfaat dari pembangunan ekonomi
tersebar luas dan tingkat hidup meningkat cukup tinggi, tetapi sejumlah besar penduduk masih tetap
miskin. Korupsi yang parah tetap menjadi masalah. Berbagai kerusuhan sporadis menuntut
pemerintah agar bertindak lebih efektif dalam menangani ketidakseimbangan ekonomi dan sosial. Di
kawasan pedesaan, ketidakpuasan sering terpusat pada keluhan para pemilik tanah sempit -- terutama
mereka yang tergusur dari tanah mereka oleh kepentingan ekonomi dan militer yang kuat. Di
beberapa daerah, eksploitasi sumber alam menyebabkan kemerosotan lingkungan dengan akibat sosial
yang merugikan.

Pemerintah terus melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Tekanan yang meningkat bagi perubahan
oleh para aktivis dan lawan politik mendapat reaksi keras dari pemerintah sebelum pemilihan umum
bulan Mei. Pemerintah menunjukkan bahwa mereka tidak akan mentolerir tantangan terhadap unsur
dasar sistem politik dengan menahan dan mengadili beberapa pengritiknya. Pemerintah menjaga ketat
kekangan mereka pada proses politik, dan pada pemilihan anggota DPR bulan Mei, sebagaimana di
lima pemilu sebelumnya sejak 1971, mengingkari hak warganegara untuk mengubah pemerintah secara
demokratis. Struktur sistem politik tetap menjamin kemenangan bagi partai yang berkuasa, GOLKAR,
yang berhasil memperoleh kemenangan terbesar selama ini. Pemerintah tidak mengizinkan pemimpin

1
PDI yang tergusur, Megawati Sukarnoputri, dan pendukungnya untuk ikut dalam pemilihan umum
atau berkoalisi dengan PPP yang beraliran Islam. Pemilihan dan kampanye dicemari oleh tuduhan
kecurangan nyata serta bentrok sporadis tapi cukup besar di antara partai-partai termasuk GOLKAR
yang disponsori pemerintah. Petugas keamanan terus melakukan pembunuhan sewenang-wenang,
termasuk terhadap penduduk sipil tak bersenjata, penghilangan orang, penyiksaan dan perlakuan buruk
terhadap tahanan, dan penangkapan serta penahanan secara sewenang-wenang. Dalam praktek,
perlindungan hukum terhadap penyiksaan tidak memadai. Kondisi penjara tetap buruk. Badan
peradilan disusupi oleh korupsi dan tetap tunduk pada cabang eksekutif yang menggunakan pengadilan
untuk menghukum pengritik dan lawan politik pemerintah. Kebanyakan pengadilan menolak untuk
mendengarkan tuntutan hukum di seluruh Indonesia yang diajukan oleh Megawati Sukarnoputri dan
para pendukungnya yang memprotes penggusuran Mega, meskipun beberapa di antara pengadilan
tingkat pertama menerima kasus tersebut dan memenangkannya. Pasukan keamanan secara teratur
melanggar hak pribadi warga negara.

Pemerintah terus menerapkan pembatasan serius terhadap kebebasan berbicara dan kebebasan pers,
meskipun pada akhir tahun pengritik pemerintah lebih berani berbicara. Pemerintah menjalankan
kontrol tidak langsung atas pers dan menggunakan intimidasi untuk menindas komentar pedas dan
mendesakkan pelaksanaan sensor sendiri. Kritik lunak terhadap pemerintah ditolerir, tapi kritik
terhadap presiden, pejabat tinggi, dan kepentingan lokal yang kuat berisiko teror dan penahanan.
Meskipun demikian, media cetak menyajikan liputan luas tentang isu-isu politik dan laporan tentang
pelanggaran hak asasi manusia. Empat belas aktivis muda yang tergabung dalam Partai Rakyat
Demokratik (PRD) dijatuhi hukuman melakukan tindak subversi karena tulisan, pidato dan kegiatan
organisasi mereka. Pemimpin serikat buruh independen Muchtar Pakpahan diancam tuduhan subversi
terutama atas pandangan politiknya tapi juga termasuk kegiatan perburuhannya. Mantan anggota DPR
Sri Bintang Pamungkas diajukan ke pengadilan bulan Desember di bawah Undang-undang
Antisubversi atas pandangan politiknya dan tindakan partainya Partai Uni Demokrasi Indonesia yang
tidak diakui pemerintah. Anggota DPR Aberson Marle Sihaloho divonis sembilan bulan penjara atas
tuduhan menghina presiden dan militer dalam pidatonya di “mimbar bebas” pada bulan Juli 1996 di
bekas markas PDI. Seorang pembantu penulis sebuah buku yang dilarang pemerintah diajukan ke
pengadilan atas perannya dalam penerbitan buku itu.

Pemerintah terus melakukan pembatasan terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul. Pemerintah
menghalangi atau membubarkan pertemuan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau serikat
buruh, serta demonstrasi damai, kadang-kadang dengan kekerasan. Pemerintah mengadili seorang
pendeta Katolik dan saudara laki-lakinya karena melindungi para aktivis politik yang pada 1996 diburu
oleh polisi. Tapi ada juga sejumlah pertemuan, seminar dan sarasehan mengenai masalah-masalah peka
yang diplubikasikan secara luas dan tidak dicekal, serta demonstrasi terbuka yang tidak dibubarkan.
Pasukan keamanan pada umumnya tidak menggunakan kekerasan untuk menghentikan pawai di jalan-
jalan yang sebenarnya dilarang selama masa kampanye pemilihan umum serta tidak menggunakan
senjata dalam menanggapi kerusuhan besar. Kadang-kadang petugas keamanan dikecam karena tidak
bertindak cepat untuk melindungi warga negara dan harta benda dari perusakan besar-besaran yang
terjadi. Kerusuhan muncul karena gabungan antara faktor ekonomi, golongan, ras, agama dan politik.
Ini dimulai pada 1996 dan berlanjut ke 1997, mereda setelah pemilu di bulan Mei dan meletus kembali

2
di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan pada bulan September. Meskipun penggunaan senjata berkurang,
petugas keamanan sering bereaksi secara kasar terhadap demonstrasi damai atau sengketa dengan
warga negara.

Pemerintah secara resmi memberi kebebasan beragama kepada lima agama yang diakui; agama yang
tidak diakui menghadapi pembatasan. Pemerintah tidak sepenuhnya melakukan penyelidikan atau
menyelesaikan banyak kasus perusakan rumah ibadah dan gereja selama kerusuhan, sekalipun
pemerintah secara terbuka mengimbau toleransi beragama kepada masyarakat. Pemerintah terus
membatasi kebebasan berpindah tempat. Diskriminasi terhadap wanita, penyandang cacat, dan
golongan minoritas, serta kekerasan terhadap wanita tetap menjadi masalah endemis.

Pemerintah tetap menentang alternatif bagi gerakan buruh yang disponsori pemerintah dan
pembentukan sebuah gerakan serikat buruh bebas, tetapi mengizinkan pendekatan sangat terbuka
mengenai undang-undang perburuhan baru. Para anggota organisasi buruh yang tidak diakui terus
menyebutkan gangguan terhadap mereka, dan pihak berwenang membubarkan pada hari pertama
kongres organisasi itu yang direncanakan berlangsung selama tiga pada bulan September. Pemerintah
mendesak para majikan untuk membayarkan secara tepat waktu upah minimum dan tunjangan wajib
yang baru, serta menerapkan suatu sistem audit baru bagi keselamatan dan kesehatan pekerja. Tapi
pelaksanaan standar perburuhan tetap lemah. Pemerintah dan Organisasi Buruh Internasional (ILO)
menandatangani sebuah nota saling pengertian tentang pekerja anak-anak untuk memajukan
perlindungan atas pekerja anak-anak dan untuk secara bertahap mengupayakan penghapusan pekerja
anak-anak. Namun jutaan anak-anak tetap bekerja, sering dalam kondisi yang menyedihkan, dan
dengan demikian tidak dapat bersekolah. Beberapa anak yang terpaksa bekerja dalam kondisi kerja
yang buruk dilaporkan mengalami penyiksaan.

Ada juga perkembangan yang berpotensi positif. Misalnya, Komite Independen Pemantau Pemilihan
Umum (KIPP) melakukan kegiatan terbatas namun bermakna selama kampanye dan pemilihan anggota
DPR. Meskipun pemerintah menolak mengakui KIPP dan membatasi kegiatannya, organisasi itu tetap
mengumpulkan informasi mengenai pelanggaran pemilihan dan menyampaikannya kepada masyarakat.
Komnas HAM, meskipun kekurangan sumber daya dan terkadang mendapat tekanan dari pemerintah,
melakukan penyelidikan dan menerbitkan penemuannya yang independen, tapi tidak mempunyai
kekuasaan untuk melaksanakannya. Pemerintah mengabaikan atau lambat menanggapi penemuan
komisi ini. Meningkatnya pemantauan atas hak asasi manusia di Timor Timur merupakan
perkembangan yang positif, dan pemerintah melakukan beberapa tindakan sebagai tanggapan atas
kritik terhadap pelaksanaan hak asasi manusianya; misalnya, sebuah penataran mengenai hak asasi dan
hukum internasional diadakan untuk para militer oleh Palang Merah Internasional (ICRC).

Di Timor Timur, menyusul demonstrasi besar-besaran pada Desember 1996 sebagai dukungan
terhadap penerima Hadiah Nobel Uskup Belo, di mana beberapa petugas keamanan menderita luka-
luka dan seorang petugas polisi berpakaian preman tewas, gelombang kampanye kekerasan dan
penangkapan pada awal 1997 oleh pihak keamanan mengakibatkan situasi tegang. Selama masa
pemilu di bulan Mei dan sesudahnya, berbagai kekacauan ringan di Timor Timur meningkat lewat
serangan-serangan gerilya yang menyebabkan jumlah terbesar orang yang tewas di pihak keamanan

3
maupun sipil. Serangan-serangan ini diikuti oleh penangkapan dan kematian seorang pemimpin gerilya
ternama serta meluasnya penangkapan, disertai dengan laporan mengenai pembunuhan, hilangnya
sejumlah orang, penyiksaan, serta penggunaan kekerasan secara berlebihan oleh pihak keamanan.
Perkembangan ini memperburuk kebencian lama di kalangan penduduk asli. Pada bulan November
paling tidak lima orang mahasiswa menderita luka ketika sejumlah besar pasukan keamanan memasuki
Universitas Timor Timur dan menembakkan senjata. Seorang tahanan politik dilepas ketika ia berhak
mendapatkan pembebasan bersyarat. Tidak ada kemajuan berarti mengenai pencarian orang yang
hilang menyusul peristiwa Dili 1991 atau orang lain yang hilang di tahun-tahun terakhir. Jumlah
tentara di sana masih tetap terlalu tinggi. Pemerintah memberikan akses terbatas ke daerah itu bagi
wartawan asing tapi melarang perjalanan bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) pejuang
hak asasi kecuali Palang Merah Internasional ICRC. Komnas HAM Cabang Dili, yang dibuka pada
1996, masih belum efektif, tapi usaha yang meningkat oleh Gereja Katolik dan lain-lain, serta
pemahaman yang lebih baik tentang norma kemanusiaan internasional oleh para perwira senior,
meningkatkan kualitas pemantauan hak asasi manusia secara keseluruhan di Timor Timur. Tidak ada
laporan mengenai hukuman bagi anggota pasukan keamanan yang melakukan penyiksaan di Timor
Timur. Guna mencari suaka atau mendapatkan publikasi atas cita-cita mereka, sejumlah pemuda
Timor Timur kembali mencoba memasuki sejumlah kedutaan asing di Jakarta.

Di Iran Jaya kebencian di kalangan penduduk asli terhadap kebijakan pemerintah dan perusahaan
swasta yang mereka anggap sangat menindas dan sewenang-wenang tetap menyala. Diskriminasi
nyata terhadap, maupun yang dirasakan, penduduk asli Irian Jaya terus berlangsung. Bentrokan antara
penduduk asli dan pasukan keamanan terjadi di Timika di wilayah Tembagapura, lokasi sebuah
perusahaan penambangan asing, menyebabkan sejumlah kematian. Perusahaan itu lalu memulai
rencana menyisihkan satu persen dari keuntungannya bagi kelompok-kelompok penduduk asli di
kawasan itu sebagai bagian dari upaya pembangunan daerah, tapi menangguhkan pembayaran untuk
proyek-proyek baru yang berdasarkan prakarsa ini pada bulan Augustus karena adanya peselisihan
mengenai bagaimana dana itu harus dialokasikan. Penutupan sejumlah daerah tertentu di pegunungan
di kawasan tengah oleh pemerintah berlanjut selama 1997 karena adanya operasi militer melawan
kelompok separatis penduduk asli yang pada 1996 menyandera orang dan membunuh mereka. Ada
laporan bahwa di kawasan-kawasan terlarang pihak militer telah memaksa orang-orang desa
melakukan kerja paksa, tentang pembakaran gubuk-gubuk di satu desa, dan berita-berita mengenai
pemukulan dan penyiksaan lain. Pihak militer membantah laporan itu dan menyalahkan kelompok
separatis atas penyiksaan itu.

PENGHORMATAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA

Bagian 1 Penghormatan atas Integritas Seseorang, termasuk Bebas dari:

a. Pembunuhan Politis dan Sewenang-wenang

Secara historis, pembunuhan sewenang-wenang yang berkaitan dengan politik paling sering terjadi di
daerah-daerah di mana gerakan separatis aktif, seperti Timor Timur, Aceh dan Irian Jaya. Pasukan

4
keamanan terus mengambil tindakan keras terhadap gerakan separatis di ketiga wilayah itu. Ada juga
sejumlah laporan kejadian tentang pembunuhan sewenang-wenang oleh pasukan keamanan dalam
kasus-kasus yang diduga melibatkan kegiatan kejahatan biasa.

Sumber-sumber yang dapat dipercaya memastikan adanya sejumlah kematian dalam tahanan di Timor
Timur selama tahun itu. Bulan Juni, seseorang yang dikenal sebagai “Januario” ditahan di Baucau,
disiksa berat, dan meninggal ketika dipindahkan ke Dili. Para pemantau hak asasi percaya bahwa
sejumlah pembunuhan lain oleh pasukan keamanan atas penduduk sipil mungkin telah terjadi, terutama
di daerah pelosok, tapi ini mustahil dapat dikonfirmasikan. Ada juga laporan yang layak dipercaya
bahwa para tahanan di Timor Timur ditembak mati ketika mereka diduga mencoba melarikan diri.

Ada juga laporan yang layak dipercaya mengenai kematian dalam tahanan atau berkaitan dengan
penahanan di bagian lain negara itu. Di bulan Maret Teguh Sunarto (Atok) tewas di Jawa Timur tidak
lama setelah pembebasannya dari tahanan polisi. Ia dan dua lainnya ditahan pada 17 Maret karena
tidak memiliki KTP. Dua orang anggota polisi kabarnya melakukan penyiksaan atas ketiga orang itu
termasuk memukul, menendang dan menyulut mereka dengan rokok. Selain itu, polisi kabarnya
memerintahkan tahanan lain untuk memukul Sunarto dan dua tahanan lainnya. Kedua polisi itu
akhirnya ditahan. Di bulan April, seorang petani di Lampung Tengah, Sukirno, mati dalam tahanan
polisi. Menurut sebuah sumber yang layak dipercaya, 10 anggota polisi dan petugas kehutanan
mengambilnya dari rumahnya pada malam tanggal 14 April, menuduhnya memiliki senjata buatan
tangan dan berburu di hutan lindung. Dua hari kemudian keluarga Sukirno dikabari bahwa Sukirno
bunuh diri di tahanan. Tetapi, dilaporkan bahwa banyak luka dan bengkak ditemukan di sekujur tubuh
Sukirno.

Pasukan keamanan menembak dan membunuh dua orang penduduk Irian di Timika pada 22 Agustus
dalam suatu bentrokan di mana penduduk Irian dikabarkan melempari petugas keamanan dengan batu
dan memanah mereka dan melukai dua orang. Pihak keamanan mengatakan bahwa mereka
menggunakan peluru karet. Sejumlah sumber mengatakan bahwa pihak keamanan bertindak dalam
usaha melindungi diri, sedangkan sumber lain mengatakan bahwa pihak keamananlah yang mulai
menembak. Insiden itu disulut oleh kematian dua orang penduduk Irian yang tidak jelas sebabnya di
wilayah konsesi pertambangan di dekat pos keamanan militer.

Polisi sering menggunakan senjata api dalam menahan tersangka atau dalam menangani tertuduh
pelaku kejahatan, padahal banyak di antara tersangka itu tidak bersenjata. Sebagai tanggapan atas
protes bahwa metode yang dipakai terlalu keras dan sama dengan vonis tanpa pengadilan, polisi pada
umumnya menjawab bahwa tersangka mencoba lari, melawan waktu hendak ditangkap atau
mengancam polisi.

Data lengkap mengenai jumlah kasus demikian belum diumumkan. Tetapi laporan pers, termasuk
pernyataan pejabat kepolisian, menunjukkan suatu pola meningkatnya penggunaan senjata api oleh
polisi atas tersangka kejahatan yang kebanyakan tidak bersenjata. Setidaknya tujuh tersangka
kejahatan dilaporkan ditembak mati oleh polisi di Jakarta pada bulan Januari, dan angka itu kabarnya
naik menjadi 32 pada bulan April. Dilaporkan bahwa 28 telah dibunuh dengan cara serupa di Surabaya

5
selama kurun waktu yang sama. Di bulan Mei seorang jurubicara kepolisian mengumumkan bahwa 63
penembakan oleh polisi terjadi antara Januari dan April; kira-kira 85 persennya berakibat fatal.
Kecenderungan penembakan oleh polisi terhadap tersangka kejahatan berlanjut di bulan-bulan
berikutnya, biasanya dengan laporan pers yang layak dipercaya tentang 90 kematian seperti itu di
Jakarta selama tahun itu.

Di masa lalu, pihak berwenang yang lebih tinggi jarang menghukum anggota militer atau polisi yang
menggunakan kekerasan berlebihan. Ada tanda-tanda bahwa keadaan ini mulai membaik, sekalipun
tindakan yang diambil oleh pihak berwenang biasanya tidak sebanding dengan bobot penyalahgunaan
kekuasaan yang mereka lakukan. Sebuah pengadilan militer pada 23 Juli memvonis seorang bekas
kepala satuan intel Bogor sembilan bulan penjara. Reserse tersebut terlibat dalam penyiksaan atas
seorang tersangka, Tjetje Tadjudin, yang tewas dalam tahanan pada bulan Oktober 1996. Mahkamah
mendengarkan kesaksian bahwa Tjetje mengalami siksaan sengatan listrik dan pemukulan selama
diinterogasi polisi. Reserse tersebut bersama dengan dua staf pembantunya dituduh memperlakukan
Tjetje dengan buruk sehingga menyebabkan kematiannya dan menyalahgunakan kekuasaan. Jaksa
menuntut hukuman 17 bulan penjara untuk kejahatan ini, tapi polisi tersebut hanya divonis sembilan
bulan sepuluh hari penjara karena ia hanya dianggap bersalah telah “menyalahgunakan kekuasaan”.
Belum ada yang dianggap bertanggung jawab atas kematian Tjetje dan polisi yang bersalah itu tidak
dipecat dari kepolisian sambil menunggu hasil banding.

Lima kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Irian Jaya yang menyebabkan kematian, yang
dilaporkan oleh Komnas Ham pada bulan September 1995, mulai menghilang dan Komnas HAM telah
menyerukan tindak lanjutnya.

Bulan September, polisi mengumumkan “penundaan sementara” atas penyelidikan terhadap


pembunuhan aktivis perburuhan Marsinah pada 1993. Para pejuang hak asasi manusia menafsirkan
pengumuman ini sebagai upaya untuk menghentikan penyelidikan dan telah menyerukan kelanjutannya.

Pihak militer menderita kerugian paling besar di tahun-tahun belakangan ini di Timor Timur,
kebanyakan dalam gelombang serangan gerilya selama pemilu bulan Mei dan sesudahnya. Delapan
belas anggota keamanan tewas dalam satu serangan dekat Baucau pada bulan Mei. Di samping
berbagai pembunuhan atas tentara dan polisi oleh para gerilyawan, mereka juga membunuh penduduk
sipil Timor Timur yang dianggap bekerja bagi intel militer dan kalangan sipil lain. Seorang guru dan
anggota keluarganya dibunuh oleh gerilya sebelum pemilu. Seorang pejabat pemerintah setempat di
Timor Timur, yang juga kepala kelompok pertahanan sipil “gada paksi”, serta empat penduduk sipil,
tewas pada bulan April ketika mobil mereka diserang di dekat Viqueque, kemungkinan oleh
gerilyawan.

Situasi keamanan di Aceh sudah membaik pada awal kampanye melawan gerakan separatis Aceh
Merdeka dilancarkan pada awal 1990-an. Meskipun Aceh Merdeka pada umumnya dianggap sudah
dapat dihancurkan sebagai kekuatan yang berarti, Aceh secara resmi masih dianggap sebagai salah satu
dari tiga “daerah bermasalah” (bersama Timor Timur dan Irian Jaya). Karena daerah itu selama
beberapa tahun ini relatif aman, pada Januari diadakan suatu diskusi untuk menyatakan Aceh sebagai

6
daerah aman dan menghapus kategori daerah bermasalah sebagai cermin atas kepercayaan pada situasi
keamanan daerah itu. Diskusi itu ditunda setelah operasi militer menemukan gudang senjata yang
diduga milik Aceh Merdeka pada bulan Februari dan Maret menyusul peristiwa perampokan bank yang
menyebabkan tertembaknya tiga karyawan bank oleh para perampok.

b. Penghilangan Orang

Sumber-sumber yang layak dipercaya di Timor Timur melaporkan banyak orang hilang, terutama di
pelosok-pelosok.

Pemerintah tidak banyak membuat kemajuan dalam mengatasi “peristiwa 27 Juli” 1996. Peristiwa itu
melibatkan pengambilalihan paksa yang didukung pemerintah atas markas PDI, yang menyulut
kerusuhan massal di Jakarta. Pemerintah bergerak sangat lambat dalam menanggapi laporan Komnas
HAM di bulan Oktober 1996 tentang peristiwa itu yang menyebutkan 23 orang hilang, 149 terluka,
dan lima tewas, salah satunya karena ditembak (lihat Bagian 4). Pada bulan September pihak
berwenang kabarnya mengakui bahwa kasus itu belum ditutup dan setuju bahwa mereka akan
melakukan pencarian atas 16 orang yang dilaporkan hilang oleh Komnas HAM tapi hampir tidak
dicapai kemajuan sampai akhir tahun.

Tidak ada usaha yang berarti oleh Pemerintah untuk mempertanggungjawabkan orang yang hilang atau
tewas dalam peristiwa penembakan penduduk sipil di Dili pada 12 November 1991. Kasus lain pun
belum dapat diselesaikan pada tahun itu. Para pengamat tetap percaya bahwa kebanyakan orang yang
hilang itu sudah mati dan bahwa anggota pasukan keamanan mengetahui di mana mayat-mayat
mereka.

c. Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Kejam dan Tidak Manusiawi Lainnya

KUHAP menyatakan bahwa setiap petugas yang menggunakan kekerasan atau paksaan untuk
mendapatkan pengakuan diancam hukuman empat tahun penjara. Tapi dalam prakteknya perlindungan
hukum tidak memadai atau diabaikan secara luas, dan pihak keamanan terus menggunakan penyiksaan
dan bentuk perlakuan buruk lain, terutama di daerah-daerah yang banyak melibatkan masalah
keamanan seperti Irian Jaya dan Timor Timur. Polisi sering menggunakan penyiksaan fisik dan
bahkan pada insiden kecil.

Di Timor Timur, satuan-satuan militer secara teratur menahan penduduk sipil untuk diinterogasi;
sebagian besar disekap di pusat-pusat tahanan militer tidak sah tanpa pemberitahuan kepada keluarga
mereka, diperlakukan dengan buruk selama beberapa hari, lalu dilepas. Anggota keluarga dan
organisasi-organisasi pemantau hak asasi menemui banyak kesulitan dalam mengenali dan mengunjungi
para tahanan di tangsi-tangsi militer itu. Banyak sumber yang dapat dipercaya berpendapat bahwa
orang-orang yang ditahan oleh polisi di Timor Timur secara rutin dipukuli selama proses penahanan
mereka. Ke-32 orang yang ditahan menyusul demonstrasi di Hotel Mahkota di Dili bulan Maret
menderita pemukulan di tangan polisi, demikian sumber-sumber-sumber yang dapat dipercaya.

7
Empat orang penduduk Desa Lavateri di dekat Baucau, Timor Timur yang ditahan tanggal 4 April
oleh satuan intel, kabarnya dipukuli dengan popor senapan, satu orang mengalami patah tulang iga dan
seorang wanita telapak tangannya ditoreh dengan tanda palang. Enam orang Timor Timur yang
ditahan oleh Satuan Gabungan Intelijens di Liquica pada 26 Februari kabarnya disiksa dengan setrum
listrik dan direndam di dalam air es. Lima penduduk sipil Timor Timur yang ditahan oleh pasukan
keamanan di dekat Liquica pada 30 April dilaporkan dipukuli dengan popor senapan dan disetrum.

Dalam operasi militer dan pencarian penjahat sesudahnya, setidaknya dua orang tersangka, yang oleh
pihak militer diduga dari Aceh Merdeka, ditembak mati oleh militer pada serbuan itu. Sebuah sumber
militer menyatakan bahwa para korban bersenjata. Dalam operasi penangkapan terhadap tersangka
separatis Aceh Merdeka, para tersangka dalam jumlah yang tidak diketahui ditangkap selama Februari
dan Maret. Ada laporan-laporan yang layak dipercaya bahwa sejumlah kecil anggota Aceh Merdeka
masih ada di Aceh, dan tetap mendapat simpati di kalangan penduduk setempat, tapi mereka tidak
dianggap sebagai ancaman aktif terhadap keamanan. Sejumlah anggota militer dituduh melakukan
tindakan kriminal dan pelanggaran di wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi daerah operasi Aceh
Merdeka.

Ada kalanya pasukan keamanan bereaksi secara brutal terhadap unjuk rasa secara damai atau sengketa
dengan penduduk, meskipun mereka pada umumnya menghindari penggunaan kekerasan untuk
menghentikan arak-arakan besar yang sebenarnya dilarang selama kampanye pemilu. Pada 2 April,
pasukan keamanan dengan kekerasan membubarkan demonstrasi damai oleh 200 pendukung
Megawati Sukarnoputri di Denpasar, Bali. Pasukan keamanan menggunakan tongkat rotan, dan
belasan demonstran menderita luka-luka ringan. Di Yogyakarta, pasukan keamanan kabarnya
memukuli mahasiswa yang berpawai memperingati Hari Hak Asasi dan membubarkan arak-arakan
mereka. Di Sulawesi Selatan, polisi dilaporkan menahan diri terhadap kerusuhan mahasiswa yang
disulut oleh serbuan polisi terhadap mahasiswa di sebuah asrama.

Pada 28 April, pasukan keamanan berseragam dan yang berpakaian sipil memukuli dengan rotan
sekelompok kecil pengunjuk rasa damai dan menendangi mereka di luar gedung Pengadilan Jakarta
Pusat menyusul vonis terhadap para aktivis PRD dan melukai dua pengunjuk rasa. Pada 23 Juni,
pasukan keamanan bersenjata bayonet dan pentungan memasuki kampus Universitas Kristen Indonesia
Jakarta dan menyerang sekelompok mahasiswa. Paling tidak lima orang mahasiswa terluka dan tiga
diangkut ke rumah sakit karena mengalami luka parah di kepala. Pasukan keamanan melakukan balas
dendam setelah seorang tentara terluka dalam suatu bentrokan dengan mahasiswa. Pada 1 September,
menurut sumber yang layak dipercaya, 27 mahasiswa dan penduduk setempat di Banda Aceh luka-
luka, ada yang parah, ketika polisi sebanyak tiga truk menyerang sekelompok mahasiswa yang baru
saja menyaksikan pertandingan sepakbola di mana seorang mahasiswa berdebat dengan polisi tentang
sebuah poster. Polisi kabarnya memukuli para mahasiswa dan penonton lain dan mengejar mereka
yang berlarian ke rumah-rumah serta memukuli mereka.

Penanganan pemerintah atas gelombang kerusuhan besar yang melanda Indonesia mendapat tanggapan
bermacam-macam. Pada kebanyakan kasus petugas keamanan tidak menggunakan senjata maut dalam
menangani kerusuhan ini dan cukup menunjukkan sikap menahan diri. Dalam banyak hal, ada juga

8
kritik dari masyarakat bahwa petugas keamanan tidak bertindak lebih awal dengan kekuatan cukup
untuk melindungi warga dan harta benda mereka dari perusakan besar-besaran yang terjadi.
Kerusuhan itu merupakan akibat dari gabungan antara faktor ekonomi, sosial, ras, agama dan politik.
Kerusuhan mulai pada 1996, berlanjut ke 1997, reda setelah pemilu bulan Mei, dan meletus lagi di
Ujung Pandang, Sulawesi Selatan pada bulan September.

Pada 30 Januari, pasukan keamanan memulihkan tata tertib di Rengasdengklok, Jawa Barat tanpa
menembakkan peluru atau perlakuan buruk terhadap warga, walaupun sebelumnya terjadi serangan
terhadap toko-toko dan tempat ibadah oleh massa. Kerusuhan yang paling gawat terjadi di
Banjarmasin pada hari terakhir kampanye 23 Mei. Setidaknya 123 orang tewas dalam sebuah
kebakaran yang disebabkan oleh kerusuhan itu dan penjarahan atas sebuah toko serba-ada. Komnas
HAM melakukan penyelidikan dan menyimpulkan tidak adanya bukti penggunaan amunisi untuk
mengatasi perusuh. Komisi juga menemukan bahwa sebagian tersangka perusuh mengalami
pemukulan setelah ditahan dan merekomendasikan langkah-langkah untuk menjamin bahwa
penanganan atas kerusuhan di masa depan tidak melibatkan kekerasan berlebihan.

Pada bulan November, menyusul bentrokan nyata antara pemuda dan satuan intel di dekat Universitas
Timor Timur, sejumlah besar pasukan keamanan memasuki kampus, melepaskan tembakan dan
memukuli mahasiswa. Setidaknya lima mahasiswa luka-luka dan fasilitas kampus rusak berat. Pihak
berwenang mengatakan bahwa anggota keamanan hanya menggunakan peluru karet tetapi beberapa
mahasiswa yang terluka dilaporkan tertembak, dan dua orang menderita luka bayonet, demikian
keterangan organisasi-organisasi hak asasi independen. Seorang dari mahasiswa yang terluka diseret
dari kendaraan Komisi Palang Merah Internasional (ICRC), dipukuli dengan popor senapan oleh polisi,
lalu dibawa ke rumah sakit militer. ICRC diizinkan menjenguk mahasiswa yang terluka. Sejumlah
mahasiswa juga dilaporkan ditahan setelah insiden itu.

Ada sejumlah laporan mengenai pemukulan dan penyiksaan oleh pasukan keamanan terhadap orang-
orang desa di pegunungan Irian Jaya tengah; pihak militer membantah melakukan penyiksaan tersebut
(lihat Bagian 2.d.)

Pemerintah terus mempertahankan kehadiran militer besar-besaran di Timor Timur, berjumlah lebih
dari 16.000 tentara. Pemerintah, sebagaimana di tempat lain, juga mengandalkan gerombolan pemuda,
yang diorganisir dan diarahkan oleh pihak militer, untuk mengintimidasi serta mengganggu lawan-
lawannya. Sebuah kelompok semi-militer, yang dikenal sebagai Gada Paksi, sering dilibatkan dalam
serangan malam hari di kampung-kampung di Dili di awal tahun dan dikecam luas karena menyulut
kekacauan serius di Viqueque pada bulan Februari. Kegiatan Gada Paksi mereda pada paruh kedua
tahun itu.

Satu kasus dugaan perkosaan terhadap wanita-wanita Timor Timur oleh anggota militer mendapat
perhatian masyarakat sewaktu para pengacara hak asasi berusaha membawa kasus itu ke pengadilan.
Tindakan hukum juga tengah diupayakan untuk kasus perkosaan berkali-kali yang dialami oleh
seorang wanita Timor Timur yang diduga dilakukan oleh tentara pada November 1996 selama ia
berada di dalam tahanan militer. Wanita itu melaporkan perkosaan tersebut kepada pemantau hak

9
asasi dan menulis surat kepada unit komando militer setempat, yang meneruskan ke Komnas HAM.
Di akhir tahun, belum jelas apakah para pengacara berhasil membawa kasus itu ke pengadilan militer
atau sipil.

Organisasi-organisasi hak asasi melaporkan bahwa perkosaan oleh anggota militer merupakan masalah
serius, dan tentara jarang dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan ini.

Keempat anggota polisi yang memukuli guru-guru agama di Tasikmalaya, Jawa Barat, dalam sebuah
insiden pada 1996 yang menyulut kerusuhan besar di sana, terbukti bersalah dalam sebuah mahkamah
militer dan dihukum antara 22 dan 28 bulan penjara.

Kondisi penjara buruk dan keributan di kalangan narapidana serta perlakuan buruk dan pemerasan
terhadap narapidana oleh sipir adalah hal biasa. Perlakuan buruk berkurang sangat tajam jika seorang
tahanan sudah dipindahkan dari tahanan militer atau intel (BIA) ke lembaga pemasyarakatan sipil atau
tahanan Kejaksaan Agung. Tahanan politik sering bercampur dengan tahanan biasa. Di penjara
Cipinang dan Salemba, Jakarta, beberapa tahanan politik dipisahkan.

ICRC ditolak menemui tahanan politik sampai Juli, kecuali di Timor Timur di mana mereka biasanya
boleh berkunjung. Kadang-kadang diatur pula kunjungan khusus oleh orang-orang tertentu terhadap
tahanan politik terkenal. Beberapa tahanan non-politik juga telah dikunjungi pemantau hak asasi,
walaupun hal ini tampaknya dilakukan kasus per kasus.

d. Penangkapan, Penahanan Sewenang-wenang, atau Pengucilan

KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) memuat ketentuan-ketentuan yang melarang
penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, tapi petunjuk pelaksanaannya tidak memadai dan
pihak berwenang terus melakukan pelanggaran. Kitab ini menyebutkan bahwa narapidana mempunyai
hak untuk memberitahu keluarga mereka dan penangkapan harus disertai dengan surat perintah
penangkapan kecuali dalam kondisi khusus seperti ketika tersangka tertangkap basah sedang
melakukan kejahatan. Undang-undang juga mewajibkan pemberitahuan segera kepada keluarga orang
yang ditahan. Undang-undang mengizinkan penyelidik untuk mengeluarkan surat perintah guna
membantu dalam penyelidikan mereka atau jika terdapat cukup bukti telah terjadi suatu tindak
kejahatan. Akan tetapi pihak berwenang kadang-kadang melakukan penangkapan tanpa surat
perintah.

Undang-undang menganut praduga tak bersalah terhadap tertuduh dan membolehkan uang jaminan.
Mereka atau keluarga mereka boleh juga menuntut legalitas penangkapan dan penahanan mereka
dalam sidang praperadilan dan menuntut ganti rugi jika mereka terbukti menjadi korban salah tangkap.
Namun, nyaris mustahil bagi tahanan untuk meminta prosedur demikian, atau mendapat ganti rugi,
setelah dilepas tanpa tuntutan hukum. Baik dalam mahkamah militer maupun sipil, banding atas
penangkapan dan penahanan yang tidak layak jarang, kalau ada, dikabulkan. KUHAP juga memuat
batasan khusus mengenai masa penahanan sebelum sidang pengadilan dan menyebutkan kapan
pengadilan harus menyetujui perpanjangan, biasanya setelah 60 hari. Selain itu, tersangka yang

10
didakwa berdasarkan Undang-undang Anti-Subversi 1963 tunduk pada prosedur di luar KUHAP. Hal
ini memberi Jaksa Agung wewenang untuk menahan seorang tersangka sampai 1 tahun sebelum
sidang. Ia mungkin memperpanjang masa 1 tahun ini tanpa batas.

Pihak berwenang terus menyetujui perpanjangan masa penahanan. Di daerah-daerah di mana gerakan
gerilya aktif, seperti Timor Timur dan Irian Jaya, banyak contoh di mana orang ditahan tanpa surat
perintah, tuduhan, atau proses pengadilan. Ini juga terjadi di Aceh. Uang jaminan jarang diizinkan,
terutama dalam kasus politik. Lebih dari 100 orang ditahan menyusul ditemukannya penyimpanan
senjata di sejumlah tempat di Aceh sejak Februari. Mereka diduga disekap dan tidak boleh ditemui di
tangsi-tangsi militer. Pihak berwenang sering menolak kunjungan pengacara ketika sedang menyidik
tersangka dan menjadikannya sulit bahkan mustahil bagi tahanan untuk mendapatkan bantuan hukum
dari lembaga bantuan hukum sukarela. Undang-undang khusus tentang korupsi, kejahatan ekonomi,
dan narkotika tidak termasuk dalam perlindungan KUHAP.

BAKORSTANAS beroperasi di luar KUHAP dan sangat leluasa menahan dan menginterogasi orang
yang dianggap membahayakan keamanan nasional. Meskipun sudah ada lembaga seperti ini, pihak
militer mulai membahas secara terbuka pada 1996 perlunya suatu undang-udang keamanan dalam
negeri yang akan memberi kekuasaan lebih besar kepada pemerintah untuk menindas pembangkang.
Meskipun pada 1997 ada diskusi lebih lanjut mengenai usul ini, usul tersebut belum diajukan kepada
DPR.

Pihak keamanan membubarkan unjuk rasa dan pertemuan serta menahan para pesertanya (lihat Bagian
1.c. dan 2.b.)

Tidak ada data yang dapat dipercaya mengenai jumlah penangkapan atau penahanan sewenang-
wenang tanpa sidang pengadilan, terutama di Timor Timur, Irian Jaya dan Aceh. Di Timor Timur,
sebagian sebagai akibat dari meningkatnya unjuk rasa di akhir 1996 dan pada 1997, serta
meningkatnya kegiatan gerilya, jumlah penahanan selama 1997 lebih tinggi dari tahun-tahun
sebelumnya.

Penahanan sewenang-wenang di Timor Timur merupakan masalah khusus menyusul meningkatnya


serangan gerilya di Baucau dan Los Palos. Menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, banyak
orang yang tidak terlibat dalam gerakan separatis ditahan dan diperlakukan buruk sewaktu pihak
keamanan menggerebeg kampung-kampung mencari pelaku berbagai serangan. Di bagian awal tahun
1997 kelompok paramiliter sipil Gada Paksi juga sering menahan dan menyiksa penduduk sipil.

Pemerintah tidak melakukan pengucilan paksa.

c. Pengingkaran atas Pengadilan Yang Jujur

Undang-undang Dasar menyebutkan independensi cabang yudikatif, tapi dalam prakteknya pengadilan
tunduk pada cabang eksekutif dan militer. Tuntutan pengadilan di sejumlah daerah terhadap rekayasa
kentara oleh pemerintah atas susunan kepemimpinan PDI pada 1996, dengan sedikit kekecualian, terus

11
ditolak selama 1997. Hakim adalah pegawai negeri yang dipekerjakan oleh cabang eksekutif, yang
mengatur tugas, gaji, dan kenaikan pangkat mereka. Gaji yang kecil mendorong merajalelanya
korupsi. Hakim menerima banyak tekanan dari pihak pemerintah yang sering menentukan hasil suatu
sidang pengadilan.

Di bawah Mahkamah Agung terdapat empat sistem peradilan, yakni umum, agama, militer dan
administrasi negara. Hak banding dari pengadilan negeri/tingkat pertama ke pengadilan tinggi sampai
Mahkamah Agung berlaku di keempat sistem itu. Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan fakta
nyata sebuah kasus, melainkan penerapan hukum oleh pengadilan di bawahnya. Menurut teori,
Mahkamah Agung berdiri sejajar dengan cabang eksekutif dan legislatif, tapi lembaga ini tidak
mempunyai hak uji materi atas undang-undang yang disahkan DPR. Mahkamah Agung belum
melaksanakan wewenangnya (yang dimiliki sejak 1985) untuk menguji kembali peraturan dan
keputusan menteri. Pada 1993 Hakim Agung Purwoto Gandasubrata meletakkan prosedur untuk hak
uji materi terbatas.

Sebuah tim hakim melaksanakan sidang pengadilan di pengadilan negeri/tingkat pertama, mengajukan
pertanyaan, mendengar pembuktian, memutuskan bersalah tidaknya terdakwa, dan menentukan
hukuman. Keputusan hakim jarang dibatalkan dalam tingkat banding, meskipun hukuman mungkin
ditambah atau dikurangi. Baik terdakwa maupun jaksa boleh naik banding.

Terdakwa berhak dihadapkan dengan saksi dan menampilkan saksi mereka sendiri. Suatu
pengecualian diperbolehkan dalam kasus-kasus di mana jarak atau biaya dianggap menyulitkan untuk
mendatangkan saksi ke pengadilan. Dalam kasus demikian, boleh dipakai surat pernyataan yang dibuat
di bawah sumpah. Tapi Berita Acara Pidana tidak memberi perlindungan kekebalan kepada saksi atau
kekuasan meminta kehadiran di pengadilan kepada terdakwa. Akibatnya, saksi pada umumnya enggan
bersaksi melawan pihak berwajib. Pengadilan juga sering membiarkan pengakuan paksa dan
membatasi penampilan bukti dari terdakwa. Dalam sebuah sidang pengadilan di bulan Maret, seorang
saksi mengatakan di sebuah pengadilan terbuka bahwa ia telah disiksa dengan sengatan listrik selama
diinterogasi pada 1996 oleh dinas intelijens (BIA). Tidak dilakukan penyelidikan atas tuntutan ini,
kendati di bawah sumpah. Terdakwa tidak berhak diam dan dapat dipaksa untuk bersaksi melawan
diri mereka sendiri. Hukum Acara Pidana memberi hak kepada terdakwa untuk mendapatkan pembela
sejak penangkapannya, tapi tidak selama masa penyelidikan sebelum penangkapan, yang mungkin
mencakup penahanan lama. Orang yang dipanggil sebagai saksi dalam suatu penyelidikan tidak
mempunyai hak untuk didampingi pengacara sekalipun informasi yang diperoleh dari kesaksian yang
diberikannya mungkin bisa menjadi dasar penyelidikan atas dirinya pula. Undang-undang mewajibkan
penyediaan pengacara dalam kasus-kasus dengan ancaman hukuman mati atau hukuman penjara 15
tahun atau lebih. Dalam kasus yang melibatkan hukuman 5 tahun penjara atau lebih, harus disediakan
seorang pengacara jika terdakwa menghendakinya dan tidak mampu menyediakannya sendiri. Dalam
teori, terdakwa miskin boleh mendapatkan bantuan hukum dari luar, seperti yang disediakan oleh
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Namun dalam prakteknya terdakwa sering dibujuk untuk tidak
menyewa pengacara, atau akses untuk mendapatkan pengacara pilihan sendiri dihalangi.

Dalam banyak kasus, perlindungan prosedural termasuk perlindungan terhadap pengakuan paksa,

12
terutama mereka yang dipaksa polisi atau dinas intelijens, tidaklah memadai untuk menjamin
pengadilan yang jujur. Korupsi adalah hal biasa dalam sistem peradilan dan suap dapat mempengaruhi
tuntutan, putusan, dan hukuman dalam kasus perdana dan pidana.

Hanya ada sedikit tanda-tanda independensi peradilan. Pengadilan terus dipakai untuk melakukan
tindakan terhadap para aktivis politik dan pengritik pemerintah. Pemerintah dengan bersemangat
mengupayakan kasus-kasus subversi sejak akhir 1996, dan memprakarsai atau mengancam kasus-
kasus baru. Banyak peninjau independen mengartikan hal ini sebagai upaya untuk menakut-nakuti para
pembangkang menjelang pemilihan umum bulan Mei. Pemerintah menuntut dan pengadilan memvonis
14 aktivis muda yang tergabung dalam atau berkaitan dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD)
berdasarkan Undang-undang Anti-Subversi bulan April dan Juni, menerapkan hukuman paling keras
atas pembangkang politik damai dalam tahun-tahun terakhir (lihat Bagian 2.a.). Pemerintah juga
mengadili pemimpin gerakan buruh bebas Muchtar Pakpahan serta mantan anggota DPR Sri Bintang
Pamungkas di bawah undang-undang ini. Empat pemuda yang dituduh menyulut kerusuhan di
Tasikmalaya, Jawa Barat pada Desember 1996 diajukan ke pengadilan pada 1997 atas tuduhan
subversi. Pengadilan mereka berakhir pada November dan Desember, dengan vonis hukuman penjara
22 bulan, 24 bulan, 8 tahun dan 10 tahun. Megawati Sukarnoputri mengajukan tuntutan di seluruh
Indonesia atas legalitas kongres PDI di Medan pada Juni 1996 yang disponsori pemerintah yang
menggusurnya dari kepemimpinan PDI. Sebagian besar pengadilan menolak menyidangkan kasus itu.
Tapi ada juga pengadilan yang menerima dan memenangkan gugatannya.

Undang-undang Anti-Subversi, yang mengandung ancaman maksimum hukuman mati (yang belum
dimintakan sampai tahun-tahun terakhir), menetapkan bahwa keterlibatan dalam suatu tindakan yang
dapat mengubah, merusak, atau menyimpang dari ideologi negara atau GBHN, atau yang dapat
menyebarkan kebencian atau menimbulkan permusuhan, gangguan atau kecemasan masyarakat, adalah
suatu bentuk kejahatan. Bahasa undang-undang ini yang begitu kabur menyebabkan orang dapat
dituntut karena mengungkapkan secara damai pandangannya yang bertentangan dengan pandangan
pemerintah.

Banyak tahanan menjalani hukuman karena kasus subversi, termasuk para anggota Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang dilarang, kaum Muslim militan, dan mereka yang dihukum karena subversi di
Irian Jaya, Aceh, dan Timor Timur. Lebih banyak lagi tahanan yang menjalani hukuman berdasarkan
Pasal-pasal Penyebaran Kebencian dan Fitnah. Sebagian dari orang-orang ini mendukung atau
menggunakan kekerasan, tetapi lainnya adalah tahanan politik yang dihukum karena berusaha
menegakkan hak-hak asasi manusia yang diakui secara universal seperti kebebasan berpendapat atau
berserikat, atau yang dihukum dalam pengadilan yang tidak jujur. Juvencio de Jesus Martin, seorang
tahanan dari Timor Timur, dibebaskan berdasarkan prosedur remisi biasa pada peringatan Hari
Kemerdekaan 17 Agustus.

f. Campur Tangan Sewenang-wenang atas Rahasia Pribadi, Keluarga, Rumah Tangga, atau
Surat-Menyurat

Surat perintah pengadilan untuk menggeledah diperlukan kecuali dalam kasus-kasus yang melibatkan

13
dugaan subversi, kejahatan ekonomi, dan korupsi. Namun dinas-dinas keamanan secara teratur masuk
secara paksa atau sembunyi-sembunyi. Pasukan keamanan juga terlibat dalam pengawasan orang dan
penduduk serta melakukan pemantauan selektif atas percakapan telepon lokal dan internasional tanpa
hambatan hukum.

Petugas keamanan pemerintah memantau gerakan dan kegiatan para bekas anggota PKI dan ormas-
ormas onderbouwnya, terutama orang-orang yang oleh pemerintah dipercaya terlibat dalam peristiwa
Gestapu 1965. Mereka dan keluarga mereka kadang-kadang mengalami pengawasan, litsus ulang,
indoktrinasi periodis, dan pembatasan perjalanan ke luar dari kota kediaman mereka. Salah satu cara
yang dipakai pemerintah untuk memantau kegiatan mereka adalah mencantumkan tanda ET (Ex-
Tapol) pada KTP mereka. Ini memungkinkan pemerintah dan calon majikan mereka untuk mengenali
bekas anggota PKI dan memperlakukan mereka secara diskriminatif, resmi maupun tidak. Meskipun
kewajiban mencantumkan tanda ET pada KTP secara resmi sudah dihentikan, dalam praktek ini masih
banyak dilakukan.

Setelah selama beberapa tahun pemerintah mengurangi secara berarti program transmigrasinya,
program itu dihidupkan kembali selama tahun 1997 dengan bantuan pihak swasta. Program ini
memindahkan banyak penduduk dari pulau-pulau yang padat ke pulau yang jarang penduduknya. Ini
juga dipakai untuk memukimkan kembali penduduk setempat di dalam wilayah Timor Timur dan Irian
Jaya. Para pemantau hak asasi mengatakan bahwa program ini melanggar hak penduduk asli dan
mengecoh sebagian transmigran untuk meninggalkan desa mereka tanpa modal untuk kembali lagi.
Kondisi di sejumlah lokasi transmigrasi tidak aman bagi hidup mereka tanpa upaya yang memadai
untuk melindungi mereka dari penyakit endemis. Transmigran atau migran sukarela di luar program
pemerintah mendapat bantuan tidak langsung dari pemerintah dalam bentuk program bantuan
pembangunan dan kontrak dengan ABRI maupun pemerintah setempat. Praktek demikian, terutama
di Timor Timur, Irian Jaya dan Kalimantan, menimbulkan kebencian di kalangan penduduk asli yang
percaya bahwa hak-hak mereka dilanggar.

Ada laporan bahwa pasukan keamanan menduduki desa-desa di pegunungan Irian Jaya tengah dan
menghancurkan rumah-rumah dan tanaman. Pihak militer membantah melakukan pelanggaran ini
(lihat Bagian 2.d.).

Pemerintah melarang impor terbitan dalam Bahasa Cina (lihat Bagian 5).

Bagian 2 Penghormatan atas Kebebasan Sipil, Termasuk:

a. Kebebasan Berbicara dan Pers

Meskipun Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pers 1982 memberi kebebasan pers,
dalam praktek pemerintah terus membatasi kebebasan pers. Pemerintah menggunakan SIUPP
berdasarkan keputusan menteri 1984 untuk mengendalikan pers. Alat kontrol lain meliputi peraturan
tentang porsi iklan yang diizinkan dan jumlah halaman yang diperbolehkan untuk koran. Di daerah-

14
daerah yang rawan pihak berwenang terus memberi pengarahan kepada wartawan dan redaktur
setempat mengenai berita apa yang harus dimuat, meskipun sering pula pengarahan demikian
diabaikan. Sensor diri oleh pers berlanjut, terutama mengenai hal-hal yang peka bagi pemerintah.
Pada akhir tahun, kritik terhadap pemerintah menguat dan pers memuatnya secara lebih terbuka.

Liputan mengenai sejumlah topik yang peka, seperti korupsi, peran keluarga Presiden, dan kurangnya
pertanggungjawaban keuangan pemerintah, muncul, terutama di koran-koran berbahasa Inggris.
Koran-koran besar berbahasa Indonesia lebih berhati-hati. Media siaran, yang menjangkau jauh lebih
banyak penduduk daripada media cetak, jarang sekali atau bahkan tidak pernah membahas masalah
peka.

Liputan media mengenai bentrokan etnis antara suku Dayak yang Kristen dan Madura yang Muslim di
Kalimantan Barat selama bulan Januari dan Februari berkali-kali sangat dibatasi. Pihak militer
mengadakan pertemuan tertutup dengan para redaktur pada awal Februari di tengah-tengah kerusuhan
etnis itu. Hanya sedikit liputan mengenai keadaan di Kalimantan Barat sampai bentrokan itu sudah
parah. Contoh kerusuhan sosial lain, seperti di Rengasdengklok, Jawa Barat pada 30 Januari, dan
kejadian yang berkaitan dengan kampanye pemilu, memperoleh liputan media lebih besar.

Sepanjang tahun, debat terbatas mengenai isu-isu politik dan sosial diperbolehkan dalam pers dan
forum publik, tapi pemerintah terus menerapkan pembatasan pada kebebasan berbicara, terutama
dalam kasus-kasus yang melibatkan oposisi langsung terhadap sistem yang berlaku. Pada akhir tahun,
kritik masyarakat terhadap pemerintah makin menguat dan pers memuatnya secara lebih terbuka.
Setelah peristiwa 27 Juli 1996, dan menjelang pemilu bulan Mei, pemerintah menyatakan bahwa
mereka tidak akan mentolerir tantangan terhadap tiang landasan sistem politik, terutama dengan cara
menangkapi, mengajukan ke pengadilan, dan menghukum keras beberapa pengritiknya.

Empat belas aktivis anggota, atau yang berkaitan dengan, partai oposisi kecil PRD dihukum
berdasarkan Undang-undang Anti-Subversi 1963 yang kontroversial. Pada 28 April, sehari setelah
kampanye pemilu dimulai, pengadilan-pengadilan di Jakarta menjatuhkan vonis bagi sembilan aktivis.
Meskipun para aktivis muda itu mula-mula ditangkap pada bulan Agustus 1996 di tengah-tengah
tuduhan pemerintah sebagai dalang peristiwa 27 Juli, vonis itu ternyata didasarkan pada tulisan, pidato,
dan kegiatan organisasi mereka, yang dianggap sebagai subversi (lihat Bagian 1.e.)

Ketua PRD Budiman Sudjatmiko menerima vonis 13 tahun penjara, yang dinaikkan menjadi 15 tahun
pada waktu banding. Ini merupakan salah satu vonis terberat dalam kasus subversi pada tahun-tahun
terakhir. Rekan-rekannya menerima vonis mulai dari 12 tahun sampai 18 bulan. Dua lagi aktivis PRD
divonis di Jakarta pada 16 Juni dan mendapat hukuman 4 dan 5 tahun penjara. Kasus lain yang
berkaitan dengan PRD termasuk vonis bagi Dita Indah Sari di Surabaya dan dua orang lain dalam
kasus subversi pada 22 dan 23 April berdasarkan pada pandangan politik dan kegiatan organisasi
mereka, yang meliputi seruan diakhirinya doktrin dwifungsi ABRI dan gerakan unjuk rasa buruh.

Pengadilan atas pemimpin buruh independen Muchtar Pakpahan, yang dimulai 12 Desember 1996,
berlanjut pada awal tahun lalu, dan ditunda karena ia menderita sakit parah. Pengadilan itu dilanjutkan

15
bulan September. Sebagaimana dengan kasus para aktivis muda PRD, tuduhan subversi juga
diarahkan pada kritiknya terhadap pemerintah, bukannya atas perannya dalam kekerasan 27 Juli 1996
seperti yang semula dituduhkan kepadanya secara terbuka oleh pemerintah (lihat Bagian 6.a.)

Pengadilan subversi atas Sri Bintang Pamungkas, mantan anggota DPR dari PPP, dimulai 2 Desember.
Menurut ketentuan itu Bintang dituduh berdasarkan Undang-Undang Anti-Subversi 1963 karena
mendirikan Partai Uni Demokratik Indonesia, mengeluarkan manifesto PUDI, mencalonkan diri
sebagai presiden, dan mengirimkan kartu Lebaran berisi agenda PUDI pada Januari. Program PUDI
termasuk penolakan terhadap pemilu 1997, penolakan Soeharto sebagai calon presiden lagi, dan
seruan untuk mempersiapkan diri bagi era pasca-Soeharto. Bintang ditahan pada 6 Maret, bersama-
sama dengan wakil ketua PUDI Julius Usman dan sekjennya Saleh Abdullah, oleh Kejaksaan Agung
berdasarkan Undang-Undang Anti-Subversi. Rekan-rekannya dibebaskan dari tahanan pada 3 April.

Albert Marle Sihaloho, anggota DPR dari PDI dan pendukung ketua PDI tergusur, Megawati
Sukarnoputri, divonis pada 21 Juli atas tuduhan menghina presiden, ABRI, dan lembaga-lembaga
publik lainnya. Ia menerima hukuman 9 bulan penjara. Dasar dari hukuman baginya adalah pidatonya
dalam “mimbar bebas” di markas PDI pada Juli 1996 yang direkam dengan video oleh pemerintah. Ia
menjadi anggota DPR pertama yang diajukan ke pengadilan dan dihukum dalam tahun-tahun terakhir
ini.

Pemerintah juga mengambil tindakan keras terhadap beberapa orang yang menerbitkan majalah atau
buku yang menentang sistem. Andi Syaputra dihukum penjara 30 bulan pada 7 April karena mencetak
dan menyebarkan bahan cetakan yang dituduh menghina Presiden Soeharto. Pada 4 Maret pemerintah
melarang pamflet setebal 22 halaman tulisan Soebadio Sastrosatomo, salah seorang pemimpin Partai
Sosialis Indonesia yang telah lama dilarang. Pemerintah lalu menyeret sekretaris pribadi Soebadio ke
pengadilan pada 5 Agustus atas tuduhan “menghina” presiden. Kejahatan yang dituduhkan adalah ia
membantu memproduksi buku tersebut. Ia dilepas dari tahanan bulan September tapi pengadilannya
tetap berlanjut.

Seorang aktivis dari LSM Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi Demokrasi (PIJAR), Tri
Agus Siswomihardjo, dilepas dari penjara pada 10 Maret setelah menjalani hukuman 24 bulan karena
menyebarkan bahan-bahan bacaan yang dituduh menghina presiden. Eko Maryadi dan Achmad Taufik
dari Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) yang tidak diakui pemerintah dilepas dari penjara pada 18 Juli.
Mereka telah menjalani 2 tahun 4 bulan dari hukuman tiga tahun penjara mereka atas tuduhan
memfitnah presiden dan menyebarkan kebencian terhadap pemerintah. Mereka dihukum berdasarkan
tulisan-tulisan mereka pada majalah bawah tanah “Independen” dan karena menerbitkan majalah itu
tanpa SIUPP.

Pembunuhan seorang wartawan yang menerbitkan laporan kritis pada 1996 dan paling tidak satu kasus
serupa pada 1997, menarik perhatian dalam dan luar negeri. Sebuah sidang pengadilan berlangsung
atas terbunuhnya wartawan surat kabar Bernas di Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin)
pada 1996. Udin diserang di rumahnya, kemungkinan berkaitan dengan tulisan-tulisannya yang kritis
terhadap tindakan pemerintah setempat dalam masalah tanah. Banyak terjadi kontroversi apakah pihak

16
berwenang sudah menangkap tersangka yang sebenarnya, karena istri korban, saksi dalam kejahatan
itu, bersaksi di pengadilan pada 2 September bahwa terdakwa bukanlah orang yang membunuh
suaminya. Terdakwa menyatakan bahwa pengakuannya merupakan hasil paksaan pihak berwenang.
Jaksa akhirnya menuntut bebas dan terdakwa dilepas pada 27 November.

Pada 26 Juli, seorang wartawan koran “Sinar Pagi”, Jakarta, Naimullah, ditemukan tewas di mobilnya
di luar kota Pontianak. Dilaporkan ia mendapat luka di leher, kepala, dan pipi, dada, dan pergelangan
tangannya, dan empat orang terlihat berada di dekat mobilnya. Ia pernah memuat laporan tentang
penyelundupan kayu dan pencurian yang diduga melibatkan pejabat-pejabat pemerintah setempat.
PWI menyerukan penyelidikan yang tidak memihak. Polisi Kalimantan Barat mengumumkan pada
bulan Agustus bahwa kasus itu masih diselidiki. Menjelang akhir tahun, kasus itu belum terpecahkan.

Media elektronik tetap lebih berhati-hati dalam liputan mereka mengenai pemerintah dibanding media
cetak. Pemerintah mengoperasikan jaringan televisi nasional dengan 12 stasiun daerah. Perusahaan
televisi swasta, kebanyakan dimiliki oleh, atau pengurusnya berhubungan dengan, keluarga presiden,
terus berekspansi. Semuanya diwajibkan merelei berita produksi pemerintah, tapi banyak juga yang
menyiarkan acara-acara bergaya masalah umum yang mengandung unsur berita.

Ada lebih dari 600 radio swasta di samping jaringan radio pemerintah. Semuanya diwajibkan menjadi
anggota Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) yang disponsori pemerintah
untuk bisa mendapat izin siaran. Stasiun radio pemerintah (RRI) membuat program “Berita Nasional”
yang merupakan satu-satunya acara warta berita yang diizinkan untuk disiarkan di Indonesia
berdasarkan undang-undang. Acara itu direlei di seluruh negeri oleh radio-radio swasta dan 53 RRI
daerah. Menurut undang-undang, radio swasta hanya boleh menyiarkan berita “ringan”, seperti cerita
tentang minat pribadi (human interest), dan tidak boleh membahas masalah politik. Tapi dalam
praktek banyak radio yang menyiarkan wawancara dan berita asing. Selain itu, acara bincang-bincang
radio melalui telepon makin lama makin menyentuh masalah politik, sosial dan ekonomi.

Televisi dan siaran asing mudah dijangkau. Antene parabola sudah merembes ke seluruh pelosok
tanah air, dan Internet juga dapat diakses. Pemerintah tidak berusaha membatasi akses pada acara ini,
dan telah memproklamasikan kebijakan “langit terbuka”. Terbitan berkala asing mudah diperoleh.
Distribusi kadang-kadang diperlambat oleh pihak berwenang satu hari atau lebih, tapi ini jarang terjadi.
Pemerintah membatasi impor terbitan dalam Bahasa Cina (lihat Bagian 5).

Pemerintah secara ketat mengatur akses ke Indonesia, terutama ke daerah-daerah tertentu, bagi
koresponden asing yang berkunjung atau menetap. Pemerintah kadang-kadang mengingatkan mereka
tentang hak prerogatifnya untuk menolak perpanjangan visa mereka. Izin khusus perlu bagi wartawan
asing untuk mengunjungi Timor Timur, Aceh dan Irian Jaya. Dengan beberapa kekecualian, akses ke
Timor Timur dibatasi. Sejumlah wartawan berkali-kali meminta izin untuk pergi ke Timor Timur
tanpa hasil. Pers daerah di Aceh dikontrol ketat.

Bulan November, seorang wanita pekerja LSM asing ditahan di Dili atas keterlibatannya dalam sebuah
kegiatan berjaga malam di bawah sinar lilin dan memotret. Pihak berwajib menuduhnya melakukan

17
kegiatan jurnalistik tanpa visa yang sesuai. Ia lalu diusir ke Bali setelah ditanyai selama 10 jam oleh
pihak berwajib.
Pemerintah mewajibkan izin untuk mengimpor terbitan atau kaset video asing, yang harus diteliti oleh
sensor pemerintah. Importir kadang-kadang menghindari bahan-bahan asing yang kritis terhadap
pemerintah atau berkaitan dengan masalah-masalah peka seperti hak asasi manusia. Bahan-bahan
asing dalam jumlah yang cukup banyak lolos dari prosedur pabean dan sensor.

Penerbit kadang-kadang menolak untuk menerima naskah yang berkaitan dengan isu-isu kontroversial.
Kebanyakan buku oleh novelis terkenal dan bekas tahanan politik Pramoedya Ananta Toer dilarang,
meskipun ada pula yang beredar. Pemerintah pada bulan Maret melarang sebuah buku kecil tulisan
mantan pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang sudah lama dilarang, Soebadio Sastrosatomo.

Bulan Desember, polisi melarang pementasan sebuah drama di Bandung, Jawa Barat yang berkisah
tentang kehidupan aktivis perburuhan Marsinah yang dibunuh pada 1993. Drama itu sebelumnya
dilarang di Surabaya pada 26 November, dan juga dihentikan di kota-kota lain, namun dipentaskan di
Jakarta dan beberapa tempat lain.

Walaupun undang-undang memberi kebebasan akademis, kegiatan kaum cendikiawan banyak


menghadapi hambatan. Kegiatan politik dan diskusi di universitas, kendati tidak lagi dilarang secara
resmi, tetap dibatasi. Sejumlah cendikiawan memperlihatkan kehati-hatian dalam membuat atau
mencamtumkan dalam kuliah atau diskusi kelas mereka bahan-bahan yang bisa menimbulkan
ketidaksukaan pemerintah.

b. Kebebasan Berserikat dan Berkumpul Secara Damai

Undang-Undang Dasar memberi kebebasan berkumpul; namun pemerintah menerapkan kontrol ketat
atas pelaksanaan hak ini. Pemerintah mengumumkan sejumlah peraturan pada bulan Desember 1995
yang menghapuskan persyaratan izin bagi beberapa jenis pertemuan umum. Syarat untuk memberi
tahu kepada polisi tetap diperlukan bagi kebanyakan jenis pertemuan lainnya, dan dalam praktek
banyak pertemuan umum terus dihalangi atau dibubarkan.

Dalam upaya mengendalikan LSM, kelompok politik yang tak diakui, dan beberapa organisasi
mahasiswa setelah peristiwa 27 Juli 1996 dan selama menjelang dan sesudah pemilu bulan Mei,
pemerintah menghalangi atau membubarkan berbagai pertemuan, seminar, serta sejumlah unjuk rasa
damai dan pertemuan umum meskipun ada juga pertemuan lain yang diizinkan. Pada bulan November
1996, sejumlah pejabat tinggi pemerintah mengeluarkan ancaman terbuka untuk mengambil tindakan
hukum terhadap sejumlah LSM tertentu yang dianggap “menimbulkan masalah”. Sebagian dari
kelompok ini, terutama PRD dan afiliasi-afiliasinya, dilarang oleh pemerintah pada 29 September, dan
pihak berwenang menggunakan pemantauan tertutup untuk mengintimidasi LSM-LSM lain yang
bagaimanapun terus beroperasi.

Pada 13 Maret, polisi Metro Jaya membubarkan sebuah seminar tentang pemilihan umum yang
diselenggarakan bersama oleh sebuah kelompok mahasiswa, beberapa LSM, dan KIPP (Komite

18
Independen Pemantau Pemilu). Mereka menyatakan secara terbuka bahwa mereka telah memberi tahu
polisi sesuai dengan peraturan yang berlaku, tapi pihak berwenang tetap menolak untuk membiarkan
peristiwa itu berlangsung.

Pada 11 April, pasukan keamanan di Medan menghentikan sebuah penataran tentang masalah
pertanian oleh sebuah LSM di hari kedua. Penataran itu direncanakan berjalan 5 hari. Pada bulan
Juni, sebuah seminar oleh sejumlah LSM di Banda Aceh dibatalkan oleh pihak berwenang pada hari
seminar itu akan dimulai.

Sebuah diskusi malam hari oleh kelompok-kelompok mahasiswa yang diselenggarakan sehari
menjelang peringatan peristiwa 27 Juli 1996 dibubarkan dan lima mahasiswa diinterogasi.

Pada 29 Juli, polisi di Provinsi Lampung membubarkan sebuah penataran yang diselenggarakan oleh
federasi buruh yang tidak diakui, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Program itu baru berjalan
3 hari dari rencana 10 hari ketika polisi menghentikannya. Dua puluh tiga anggota SBSI ditangkap,
dan ada sejumlah laporan yang dapat dipercaya bahwa beberapa di antara mereka dipukuli selama
dalam tahanan.

Meskipun pemerintah menolak memberikan pengakuan resmi kepada KIPP, LSM ini diizinkan
melakukan kegiatan terbatas namun penting selama kampanye dan pemilu. Pemerintah juga
mengizinkan KIPP untuk menyelenggarakan jumpa pers di Jakarta guna mengevaluasi pemilu, dan
mengeluarkan sebuah laporan umum tentang penemuan-penemuannya yang menjabarkan beberapa
kekurangan pemilu.

Namun ada juga beberapa kasus di mana KIPP mengalami hambatan serius. Misalnya, pada 7 April
polisi Sulawesi Selatan membatalkan sebuah program oleh KIPP setempat untuk melatih sukarelawan
pemantau pemilu meskipun penyelenggara program itu sudah memberi tahu polisi. KIPP tidak bisa
berfungsi di Aceh karena tekanan terhadapnya. Sebuah diskusi di sana bulan April yang disponsori
oleh KIPP dibatalkan pihak berwenang.

Pasukan keamanan menahan 24 mahasiswa pengunjuk rasa di UGM Yogyakarta pada 1 April. Polisi
menuduh mahasiswa menyerukan boikot terhadap pemilu. Pada 2 April, delapan mahasiswa ditahan
secara kasar dalam demonstrasi kedua yang menuntut pembebasan kelompok pertama. Ke-32
mahasiswa itu dilepas pada 3 April. Pada 11 Maret, tiga aktivis mahasiswa kabarnya ditangkap di
Jakarta atas tuduhan mencoba menyerukan boikot terhadap pemilu dengan memasang poster dan
melakukan aksi corat-coret.

Pasukan keamanan membubarkan dengan kekerasan sebuah pertemuan damai para pendukung
Megawati Sukarnoputri di Bali pada April, menyerang sekelompok pengunjuk rasa menyusul vonis
terhadap aktivis PRD pada April, dan menyerang sekelompok mahasiswa di Universitas Kristen
Indonesia di Jakarta pada bulan Juni (lihat Bagian 1.c.). Pada 19 September, pasukan keamanan
menghentikan kongres SBSI di Jakarta. Itu adalah hari pertama dari rencana kongres selama tiga hari.
Delapan anggota panitia penyelenggara, dua tokoh serikat buruh Australia, dan dua wartawan

19
Belanda ditahan satu malam. Pasukan keamanan membubarkan sebuah pertemuan akhir tahun di
markas SBSI pada 23 Desember. Mereka menyatakan bahwa SBSI belum memperoleh izin yang
diperlukan, dan 27 orang ditahan. Alat musik, rekaman lagu-lagu buruh, arsip SBSI, spanduk, foto,
dan benda-benda milik peserta disita.

Pasukan keamanan disiagakan di Jakarta pada 27 Juli untuk mencegah pendukung Megawati
Sukarnoputri melaksanakan apa yang diduga akan menjadi sebuah peringatan atas “peristiwa 27 Juli”
1996 di bekas markas PDI. Beberapa kelompok kecil berhasil mendekati markas tersebut di mana
mereka melakukan doa damai dikelilingi oleh pasukan keamanan. Beberapa ribu pendukung Megawati
diizinkan berpawai di depan Gedung MPR pada 15 April. Ratusan polisi menghalangi mereka masuk
ke halaman gedung, tapi tidak mengambil tindakan untuk menghentikan pertemuan mereka.

Sebuah seminar tentang Timor Timur yang disponsori LSM diselenggarakan di Jakarta pada 12
September tanpa campur tangan pemerintah. Sebuah dialog umum antara pihak militer dan
pemerintah dengan LSM diselenggarakan pada 8 September.

Romo Ignatius Sandyawan Sumardi dan saudara laki-lakinya diajukan ke pengadilan di Bekasi, Jawa
Barat pada Oktober. Ia dituduh menyembunyikan tiga pembangkang politik termasuk ketua PRD
Budiman Sudjatmiko dan dua pembantunya selama pencarian terhadap mereka bulan Agustus 1996.
Pihak berwenang mengatakan bahwa mereka menghalangi Romo Sandyawan untuk berobat di luar
negeri karena ia harus menjalani pemeriksaan pada Agustus 1996.

Pada 10 Desember terjadi sejumlah demonstrasi mahasiswa yang direncanakan untuk memperingati
Hari Hak Asasi. Pihak militer menghalangi beberapa unjuk rasa itu tapi membiarkan yang lain.

Undang-Undang Dasar menjamin kebebasan berserikat; tapi pemerintah menerapkan kontrol ketat
pada pelaksanaan hak ini. Undang-undang Keormasan 1985 mewajibkan kepatuhan pada Pancasila
oleh semua organisasi, termasuk organisasi agama yang diakui dan perserikatan. Ketentuan ini, yang
membatasi kegiatan politik, dipahami secara luas dirancang untuk melarang kegiatan kelompok-
kelompok yang mengupayakan ikut dalam persaingan politik yang demokratis, menjadikan Indonesia
negara Islam, menghidupkan kembali komunisme, atau mengembalikan negara ke sistem banyak partai
dengan ideologi berbeda-beda. Undang-undang ini memberi kekuasaan kepada pemerintah untuk
membubarkan setiap organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan mewajibkan
organisasi yang menerima dana dari luar negeri untuk mendapatkan persetujuan lebih dahulu dari
pemerintah. Akan tetapi, banyak organisasi, termasuk SBSI dan KIPP, tetap aktif tanpa pengakuan
resmi berdasarkan undang-undang ini.

c. Kebebasan Beragama

Undang-undang Dasar memberi kebebasan beragama bagi pemeluk lima agama yang diakui dan
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pemerintah mengakui agama Islam, Katolik, Protestan,
Budha dan Hindu, serta mengizinkan peribadatan Aliran Kepercayaan. Meskipun pemeluk Islam lebih
dari 85 persen penduduk, pelaksanaan dan ajaran agama lain yang diakui pada umumnya dihormati,

20
dan pemerintah secara aktif menganjurkan toleransi dan harmoni antar-agama. Namun ada sejumlah
pembatasan terhadap jenis-jenis tertentu kegiatan agama, termasuk agama yang tidak diakui.

Karena sila pertama Pancasila adalah KetuhananYang Maha Esa, maka ateisme dilarang. Meskipun
orang tidak dipaksa untuk melaksanakan satu kepercayaan tertentu, semua warga negara harus
memilih salah satu dari kelima agama yang diakui. Karena pilihan ini akan dicantumkan dalam
dokumen-dokumen resmi, seperti KTP, maka keengganan untuk menyebutkan salah satu agama itu
akan menyebabkan orang tidak mungkin memperoleh dokumen seperti itu. Persyaratan hukum untuk
patuh pada Pancasila meluas ke semua organisasi agama dan sekuler. Pemerintah dengan tegas
menentang kelompok-kelompok Muslim yang mendukung berdirinya negara Islam atau yang hanya
mengakui syariat Islam. Pemerintah melarang beberapa agama, termasuk Kesaksian Jehovah, Baha’i,
Kong Hu Cu dan, di beberapa provinsi, aliran Darul Arqam. Pemerintah dengan ketat mengawasi
aliran-aliran Islam yang dianggap berbahaya akan menyimpang dari ajaran-ajaran ortodoks, dan di
masa lalu kadang-kadang membubarkan kelompok sempalan seperti itu.

Para pejabat tinggi pemerintah terus membuat pernyataan publik dan menekankan melalui contoh
pentingnya penghormatan pada keanekaragaman agama. Namun para pejabat rendahan sering diduga
enggan mempermudah dan melindungi agama minoritas.

Sebuah peraturan tahun 1969 menetapkan bahwa sebelum sebuah rumah ibadah dapat dibangun, harus
diperoleh persetujuan dari penduduk yang tinggal di sekitar lokasi dan diperlukan izin dari kantor
departemen agama setempat. Beberapa orang Kristen mengatakan bahwa peraturan ini dipakai untuk
melakukan diskriminasi terhadap mereka dan menghalangi mereka untuk membangun gereja.
Meskipun demikian pembangunan gereja berjalan terus.

Undang-undang membolehkan alih agama, dan alih agama memang terjadi. Para pengamat independen
mencatat bahwa perkawinan antara Muslim dan non-Muslim telah menjadi makin sulit. Orang yang
beragama selain dari kelima agama yang diakui mengalami kesulitan untuk mendapatkan pengesahan
atas perkawinan mereka. Ada satu kasus menonjol di mana sepasang penganut Kong Hu Cu dilarang
menikah.

Pemerintah menganggap bahwa penyebaran agama oleh sebuah agama yang diakui di wilayah-wilayah
yang didominasi oleh agama lain berpotensi mengganggu dan pemerintah tidak mendorong hal itu.
Kegiatan misi asing pada umumnya tidak dihalangi, meskipun di Timor Timur, Irian Jaya dan kadang-
kadang di tempat lain para misionaris mengalami kesulitan dan kelambatan dalam memperpanjang izin
tinggal, dan visa bagi penyebar agama asing baru sulit diperoleh. Undang-undang dan peraturan dari
tahun 1970-an membatasi lama masa tinggal misionaris asing di Indonesia. Perpanjangan izin tinggal
diberikan di daerah-daerah pelosok seperti di Irian Jaya. Kegiatan misionaris asing tunduk pada
ketentuan dalam Undang-undang Keormasan. Warga negara pemeluk agama yang diakui membangun
hubungan aktif dengan sesama penganut di dalam maupun di luar negeri dan melakukan ziarah agama
ke luar negeri.

d. Kebebasan Bergerak di Dalam Negeri, Perjalanan ke Luar Negeri, Emigrasi dan Repatriasi

21
Meskipun pada 1993 pemerintah secara drastis mengurangi jumlah orang yang dicegah dan ditangkal
keluar atau masuk Indonesia dari jumlah 8.897 orang yang masuk dalam daftar “cekal” secara terbuka
menjadi hanya beberapa ratus orang saja, pembatasan masih tetap ada. Pemerintah juga membatasi
gerak warga negara dan orang asing ke dan di tempat-tempat tertentu di dalam negeri. Selain itu,
pemerintah juga mewajibkan adanya izin untuk mencari pekerjaan di tempat-tempat tertentu, terutama
untuk mengendalikan urbanisasi ke kota-kota yang sudah padat. Izin khusus diperlukan untuk
mengunjungi tempat-tempat tertentu di Irian Jaya. Pemerintah mewajibkan bekas tahanan, termasuk
mereka yang terkait dengan percobaan kudeta 1965, untuk memberi tahu gerak mereka dan untuk
mendapatkan izin resmi bagi kepindahan tempat tinggal mereka. (Lihat Bagian 1.f.)

Pihak berwajib melakukan operasi untuk memeriksa KTP, termasuk dengan cara menghentikan
kendaraan dan menggerebeg tempat-tempat hiburan. Pada 15 Juli, di Jakarta Barat polisi kabarnya
memeriksa dokumen 3.000 orang dan mendenda banyak di antara mereka yang tidak memiliki izin
untuk tinggal di Jakarta. Teguh Sunarto ditahan dalam operasi serupa di Surabaya karena tidak
mempunyai KTP. Ia diperlakukan kasar dan meninggal selepas dari tahanan (lihat Bagian 1.a.)

Pemerintah mencegah perjalanan ke luar negeri bagi sejumlah aktivis politik, sebagian di antaranya
untuk berobat. Pihak Imigrasi di bandara Jakarta pada 10 April mencegah aktivis hak asasi manusia
Romo Sandyawan Soemardi meninggalkan Indonesia untuk menjalani operasi mata di Perth, Australia.
Ia diperiksa pada Agustus 1996 dalam kaitannya dengan kasus PRD. PTUN Jakarta pada 28 Januari
menguatkan keputusan Kejaksaan Agung untuk menerapkan larangan keluar negeri selama satu tahun
bagi Sri Bintang Pamungkas pada 18 April 1996. Itu merupakan larangan satu tahun kedua baginya.
Pemerintah mula-mula menolak permohonan ketua serikat buruh independen SBSI Muchtar Pakpahan
untuk mendapatkan pemeriksaan dan perawatan kesehatan di luar negeri. Bulan Desember pemerintah
mengizinkan tim dokter Kanada untuk memeriksa Pakpahan. Pakpahan yang sedang menjalani
hukuman penjara karena vonis tahun 1994 masih harus menghadapi pengadilan lain atas tuduhan
subversi. Sidang itu tertunda karena kesehatan Pakpahan perlu perawatan, dan pada saat itulah ketika
masih di rumah sakit ia meminta izin untuk berobat di luar negeri.

Penutupan beberapa wilayah tertentu di pegunungan tengah di Irian Jaya pada 1996 oleh pemerintah
bagi pendatang berlanjut pada 1997. Daerah-daerah itu ditutup karena adanya operasi khusus militer
terhadap Gerakan Papua Merdeka, kelompok yang melakukan pembunuhan dan penyanderaan pada
1996. Ada juga kekecualian selama masa penutupan ini di tempat-tempat itu, termasuk bagi petugas
agama. Sulit untuk memperoleh keterangan karena pembatasan ini. Namun sumber-sumber yang
dapat dipercaya menyatakan bahwa pasukan keamanan menduduki desa-desa di pegunungan,
memberlakukan kontrol ketat terhadap pergerakan orang-orang desa itu, dan memaksa mereka
melakukan kerja paksa selama masa pembatasan itu. Ada laporan yang dapat dipercaya bahwa pada
akhir 1996 pasukan keamanan memperlakukan penduduk di kawasan operasi dengan buruk, termasuk
pemukulan dan interogasi kasar, perusakan rumah dan tanaman, serta gangguan seksual, dan bahwa
pada Januari pasukan keamanan membakar gubuk-gubuk di satu desa. Menurut laporan-laporan yang
dapat dipercaya, pihak militer melakukan pemindahan paksa dan gangguan terhadap penduduk desa
pada akhir 1997 sehingga memperparah kelangkaan pangan di beberapa tempat. Pihak militer

22
membantah bahwa mereka membatasi gerak penduduk atau melakukan penyiksaan, serta menyatakan
bahwa GPM-lah yang mengintimidasi penduduk.

Di tahun-tahun yang lewat, pemerintah menawarkan suaka bagi lebih dari 125.000 orang perahu dari
Indocina. Kamp Pulau Galang di Indonesia ditutup pada 1996 sewaktu pencari suaka terakhir
dipulangkan. Namun masih ada 14 orang yang menunggu pemukiman kembali di negara lain.
Pemerintah belum merumuskan kebijakan mengenai pencari suaka dari negara lain, tapi dalam
prakteknya menghormati prinsip untuk tidak mengembalikan pencari suaka ke negara asal mereka.
Tidak ada laporan mengenai pemulangan paksa terhadap orang ke negara di mana mereka takut
menghadapi hukuman.

Bagian 3 Penghormatan Terhadap Hak-hak Politik: Hak Warga Negara Mengubah


Pemerintah Mereka

Warga negara tidak kuasa mengubah pemerintah mereka melalui cara-cara demokratis. Belum pernah
ada tantangan pemilihan terhadap Presiden Soeharto. Ke-1.000 anggota MPR secara konstitusional
adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas Negara. Mereka bersidang setiap lima tahun untuk memilih
presiden dan wakil presiden dan menyusun GBHN. MPR secara efektif dikendalikan oleh Presiden
Soeharto dan pemerintahannya. Lima ratus anggota MPR berasal dari DPR, 425 di antaranya dipilih
pada pemilu bulan Mei (naik dari 400 pada 1992). Sisanya yang 75 orang diangkat dari kalangan
militer. Pada 1993 MPR memilih Soeharto untuk masa bakti lima tahun yang keenam sebagai
Presiden. Secara hukum presiden berada di bawah MPR, tapi kenyataannya ia dan sekelompok kecil
pendukungnya menjalankan wewenang pemerintahan.

Di bawah doktrin dwi-fungsi, pihak militer memegang peran penting di bidang sosio-politik serta
keamanan. Militer mendapat jatah 75 kursi di DPR, sebagain sebagai kompensasi seimbang karena
tidak boleh ikut memilih. Pihak militer menguasai 20 persen kursi di DPR tingkat provinsi dan
kabupaten, dan menduduki banyak posisi kunci di pemerintahan. Sisanya yang 85 persen di tingkat
nasional dan 80 persen di tingkat daerah diisi melalui pemilihan yang dilaksanakan setiap lima tahun
sekali. Semua warga negara dewasa, kecuali anggota ABRI aktif, mereka yang sedang menjalani
hukuman penjara, serta sekitar 36.000 bekas anggota PKI, berhak memilih. Pemilih memilih melalui
kartu suara satu di antara tiga organisasi politik yang disetujui pemerintah, yang mencantumkan daftar
calon pada setiap daerah pemilihan. Daftar itu harus disaring oleh BASKORSTANAS, yang
menentukan apakah seorang calon terlibat atau tidak dalam peristiwa percobaan kudeta 1965 atau
menimbulkan jenis-jenis bahaya lain terhadap keamanan yang definisinya sangat luas. Para pengritik
menuduh penyaringan demikian tidak konstitusional karena tidak ada cara untuk menggugat hasil litsus
(penelitian khusus) tersebut, dan mencatat bahwa hasil litsus dapat dipakai untuk menggusur pengritik
pemerintah dari DPR. Peraturan ketat menetapkan lama masa kampanye, akses ke media elektronik,
jadwal tampil di muka umum, dan lambang politik yang boleh dipakai.

Pemerintah secara resmi mengizinkan hanya tiga organisasi politik untuk ikut dalam pemilu. Yang
paling besar dan terpenting adalah GOLKAR, sebuah organisasi yang dikendalikan pemerintah terdiri

23
dari berbagai kelompok fungsional. Presiden secara kuat mempengaruhi seleksi pemimpin GOLKAR,
dan ia sendiri merupakan pemimpin seniornya. GOLKAR membina hubungan erat dengan ABRI dan
KORPRI, organisasi di mana semua pegawai negeri otomatis menjadi anggotanya. Pegawai negeri
boleh ikut dalam partai politik dengan izin resmi, tapi dalam praktek mereka dipaksa untuk
mendukung GOLKAR. Bekas anggota PKI dan partai terlarang lain tidak boleh mencari kedudukan
politik atau aktif dalam politik.

Kedua organisasi politik lainnya yang kecil dan sah, PPP dan PDI, tidak dianggap sebagai partai
oposisi, dan, bersama-sama dengan GOLKAR, menurut undang-undang wajib menganut ideologi
Pancasila. Kedua partai kecil ini tidak boleh membuka kantor di tingkat kecamatan sehingga mereka
sangat dirugikan berhadapan dengan GOLKAR yang didukung pemerintah dan mempunyai kantor di
tingkat kecamatan dan pemerintah yang lebih rendah lagi. Pemerintah dengan ketat mengawasi dan
sering membina kegiatan ketiga organisasi politik ini. Misalnya, banyak anggota DPR aktif serta calon
anggota potensial dari PDI tidak boleh mencalonkan diri pada pemilihan anggota DPR bulan Mei
setelah pemerintah pada Juni 1996 merekayasa penggusuran Megawati Sukarnoputri yang populer. Ia
sebelumnya diramalkan akan menjadi calon presiden 1998. Anggota DPR dan DPRD bisa ditarik/di-
”recall” dari dewan oleh pimpinan partai. Seorang anggota DPR yang vokal dari fraksi ABRI, Majen
Theo Syafei, ditarik dari dewan sebelum pemilu bulan Mei. Kendati anggota DPR dari ABRI dapat
diganti kapan saja atas permintaan Pangab, sehingga secara teknis tidak di-”recall”, waktu penarikan
Syafei dianggap tidak lazim. Itu terjadi tak lama setelah ia secara terbuka menekankan bahwa pemilih
mempunyai hak untuk tidak memilih dengan menusuk ketiga gambar kontestan.

Pemilu bulan Mei, begitu pula kelima pemilu sebelumnya sejak 1971, mengingkari hak warga negara
untuk mengubah pemerintah mereka sendiri secara demokratis. GOLKAR yang berkuasa memperoleh
kemenangan terbesar sepanjang sejarah dengan 74 persen suara; PPP memperoleh sekitar 22 persen,
dan PDI hanya memperoleh sedikit di atas 3 persen. Pemimpin PDI Megawati Sukarnoputri dan
pendukungnya tidak diizinkan ikut pemilu, suatu faktor yang menurut para pengamat menyebabkan
anjloknya perolehan suara PDI dari 17 persen pada pemilu sebelumnya.
Kekerasan sporadis tapi bermakna meruyak selama masa kampanye pemilu yang berlangsung 27 hari
sebelum pemilu, termasuk bentrokan antara ketiga kontestan, antara kontestan dan pihak keamanan,
dan kerusuhan umum. Sebagian besar di antara ratusan kematian selama masa kampanye terjadi
sebagai akibat kecelakaan selama pawai di jalan-jalan. Menurut data pemerintah, 123 orang tewas di
Banjarmasin pada 23 Mei, hari terakhir masa kampanye, dalam suatu kebakaran yang menimpa sebuah
toko serba-ada di tengah-tengah kerusuhan dan penjarahan. Selain itu, banyak yang terluka akibat dari
bentrokan sebelum dan sesudah pemilu. Banyak pengamat melihat kampanye tersebut sebagai yang
terburuk. Pemerintah berhasil membatasi materi dan format kampanye dan pemilu, mungkin lebih
hebat daripada tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, meskipun sudah ada peraturan baru untuk
mencegah arak-arakan di jalan yang sudah sering terjadi di kampanye sebelumnya, serta berbagai
peringatan terbuka dari pejabat tinggi agar menaati peraturan itu, pawai besar terus dilakukan oleh
GOLKAR, PPP, dan sesekali oleh PDI.

Di tengah-tengah kampanye, pemerintah melarang semua hal yang mendukung kelahiran aliansi
Megawati Sukarnoputri dan PPP. Menjelang pemilu, presiden dan para pejabat tinggi lain melalui

24
serangkaian peringatan terbuka meminta warga agar mengabaikan sejumlah seruan, kebanyakan tidak
langsung, untuk memboikot pemilu. Pemerintah secara terbuka berulang-ulang menegaskan bahwa
seruan demikian itu ilegal dan melakukan penangkapan terhadap mereka yang menyerukan boikot
termasuk Sri Bintang dan para mahasiswa yang diduga menyebarkan selebaran seruan boikot.
Beberapa mahasiswa dan kelompok gereja yang secara tidak langsung juga menyerukan boikot tidak
diambil tindakan.

Pemilu dan kampanye dicemari oleh berbagai tuntutan yang layak atas kecurangan dan pelanggaran
lain, kebanyakan oleh pemerintah dan GOLKAR, meskipun ada pula beberapa pelanggaran kampanye
oleh PPP dan PDI. Laporan kecurangan dan pelanggaran lain termasuk surat suara ganda oleh
anggota GOLKAR, intimidasi pemerintah terhadap saksi di TPS dari PPP dan PDI, dan pengawasan
yang buruk atas penghitungan suara. Di beberapa kecamatan di Jawa Timur, keluhan atas kecurangan
besar-besaran menimbulkan kerusuhan, memaksa pihak berwenang melakukan pemungutan suara
ulang karena, menurut para pejabat, kotak suara hancur. Setelah pemilu usai, pemerintah mengklaim
bahwa 64.000 suara terlewat tidak dihitung dan memberi satu tambahan kursi kepada PDI.

Komnas HAM mengimbau pemerintah, DPR, kontestan pemilu, dan tokoh masyarakat untuk
melakukan evaluasi atas pemilu. Diskusi terbuka oleh pemerintah terutama membahas cara
meningkatkan teknik kampanye bukannya faktor-faktor mendasar yang menyebabkan masalah dalam
pemilu. Pemerintah mengatakan bahwa mereka akan menyelidiki laporan pelanggaran pemilu yang
diajukan oleh ketiga kontestan, tapi janji itu tidak ada hasilnya sampai 1998.

DPR mempertimbangkan RUU yang diajukan kepadanya oleh departemen dan instansi pemerintah tapi
tidak menyusun RUU sendiri meskipun DPR mempunyai hak untuk itu secara konstitusional. Selama
masa lima tahun yang berakhir Oktober, DPR mempertimbangkan dan mensahkan 70 perundang-
undangan, termasuk satu RUU dua kali. Dalam suatu tindakan yang belum pernah terjadi dan
mungkin tidak konstitusional, presiden mengembalikan sebuah RUU penyiaran yang sudah disetujui
oleh DPR agar dipertimbangkan kembali dan direvisi. DPR memang secara teknis, dan kadang-kadang
secara mendasar, melakukan perubahan atas RUU yang dipertimbangkannya. Ada juga tanda-tanda
bahwa DPR sampai tahap tertentu dapat melakukan perubahan mendasar pada RUU yang
mencerminkan kepentingan kelompok luar. Ini terutama kentara dalam hal RUU Ketenagakerjaan
(lihat Bagian 6). Namun muncul kritik umum setelah ada laporan bahwa Menteri Tenaga Kerja
menggunakan dana JAMSOSTEK sebesar $1,3 miliar untuk mempermudah lolosnya RUU tersebut
dari DPR.

Meskipun jelas tetap tunduk pada cabang eksekutif, DPR sudah menjadi makin aktif dalam
mengawasi kebijakan pemerintah, dan dalam mengoreksi kesalahan pengeluaran anggaran pemerintah
serta pelaksanaan program melalui dengar-pendapat dengan anggota kabinet, pejabat militer, dan
pejabat-pejabat tinggi lain. DPR juga sudah makin menjadi tempat penting untuk mengajukan tuntutan
dan petisi oleh mahasiswa, buruh, petani tergusur, dan lain-lain yang mengeluhkan pelanggaran hak
asasi manusia dan menyuarakan keprihatinan lain. DPR jarang menjadi sumber pertolongan bagi
mereka kecuali hanya menyediakan saluran untuk menerima keluhan mereka.

25
Meskipun tidak ada pembatasan secara hukum terhadap peran wanita dalam politik, mereka masih
kurang terwakili di pemerintahan. Pemilu bulan Mei memperlihatkan suatu langkah mundur dalam hal
wakil mereka di DPR, dengan persentase jumlah kursi yang mereka duduki turun dari 12 menjadi 9
persen. Di kabinet, hanya 2 dari 41 menteri adalah wanita.

Bagian 4 Sikap Pemerintah Terhadap Penyelidikan Internasional dan Lembaga


Swadaya Masyarakat atas Tuduhan Pelanggaran Hak Asasi

Tekanan pemerintah terhadap organisasi hak asasi manusia di dalam negeri dan LSM lainnya muncul
setelah kekerasan 27 Juli 1996 berlanjut sampai menjelang pemilu bulan Mei (lihat Bagian 2.a.).

LSM menghadapi ganggungan dari pemerintah, termasuk penggerebegan kantor mereka oleh polisi,
pengawasan oleh polisi dan intel militer, interogasi di kantor polisi, atau pembatalan pertemuan intern
mereka. Pejabat pemerintah, seperti pada 1996, secara terbuka mengancam akan mengambil tindakan
hukum terhadap beberapa LSM.

Pemerintah menegaskan kembali penolakannya terhadap usul Komisi Hak Asasi PBB untuk membuka
kantor di Jakarta yang akan dapat memantau perkembangan hak asasi manusia. Pemerintah
sebelumnya mengisyaratkan akan mengizinkan pembukaan kantor tersebut di Jakarta jika kantor itu
hanya terbatas pada kegiatan teknis, seperti mengadakan seminar tanpa fungsi pemantauan.

Pemerintah menganggap penyelidikan oleh pihak luar atau kritik asing atas pelanggaran hak asasi
manusia sebagai campur tangan terhadap urusan dalam negerinya. Pemerintah menekankan
keyakinannya bahwa mengaitkan bantuan asing atau sanksi lain dengan pelaksanan hak asasi manusia
adalah campur tangan terhadap urusan dalam negeri dan dengan demikian tidak dapat diterima.
Meskipun pemerintah tidak mengumumkan suatu kebijakan publik yang jelas apakah mereka akan
mengundang atau memperbolehkan orang asing memantau pemilu di bulan Mei, dua kelompok
internasional melakukan pengamatan secara terbatas.

Komisi Palang Merah Internasional ICRC terus beroperasi di Timor Timur. Mereka juga mengunjungi
tahanan yang dihukum karena keterlibatan dalam percobaan kudeta 1965, ekstremis Islam, tahanan
Timor Timur dan tahanan politik lain di luar Timor Timur. Namun sepanjang tahun mereka
menghadapi hambatan dan ketidaksediaan untuk mengizinkan kunjungan, termasuk penundaan
berlarut-larut untuk mengunjungi beberapa tahanan atau narapidana baru yang dituduh dengan tindak
subversi di Jakarta atau tempat lain setelah peristiwa 27 Juli 1996. Setelah kunjungan pertama pada
Agustus 1996, ICRC tidak diizinkan melakukan kunjungan lagi ke tahanan PRD di Jakarta sampai Juli
tahun berikutnya.

Walaupun pada dasarnya pemerintah memberi dukungan bagi kegiatannya, ICRC secara berkala
mendapat kesulitan dalam melaksanakan program kemanusiaannya di Timor Timur. Kerjasama
dengan komandan militer setempat membaik menyusul sebuah seminar ICRC di Jakarta bagi para
perwira militer. Peserta dalam seminar itu memperlihatkan pemahaman yang lebih baik dan

26
keterbukaan terhadap misi ICRC dan sering mempermudah akses terhadap tahanan di Timor Timur.
Meskipun ICRC dapat mengunjungi sebagian besar mereka yang sudah ditahan di Timor Timur,
masalah tetap muncul dalam mengunjungi mereka yang ditahan oleh pihak militer di Aceh dan Sumatra
Utara. ICRC belum dapat memperoleh akses ke Aceh sejak Maret, saat militer mengadakan operasi di
sana.

Perjalanan ke Timor Timur oleh LSM hak asasi manusia dari negara asing selain ICRC belum
mendapat izin. Tapi organisasi-organisasi hak asasi dalam negeri boleh berkunjung. Seorang wanita
pekerja LSM asing ditahan di Timor Timur bulan November ketika ia ikut dan memotret dalam sebuah
upacara memperingati peristiwa pembantaian Dili 1991 di bawah cahaya lilin. Selama ditahan,
katanya, ia tidak boleh menghubungi kedubes negaranya. Ia diusir ke Bali setelah ditanyai selama 10
jam.

Komnas HAM bentukan pemerintah dalam tahun keempat operasinya terus aktif dalam mengamati
laporan pelanggaran hak asasi dan terus menunjukkan independensinya. Karena tidak mempunyai
kekuasaan untuk menindaklanjuti temuannya, komisi tersebut berusaha bekerja di dalam sistem,
mengirim tim ke mana pun diperlukan untuk menyelidiki kemungkinan adanya masalah hak asasi dan
menggunakan bujukan, publisitas, dan kekuatan moral untuk menyoroti pelanggaran, memberi
rekomendasi bagi perubahan hukum dan peraturan, dan mendorong tindakan koreksi.

Pemerintah cenderung mengabaikan temuan komisi tersebut atau, dalam beberapa kasus, bergerak
ogah-ogahan sebagai reaksi terhadap temuan tersebut. Diberitakan secara terbuka bahwa komisi
meminta pemerintah agar lebih responsif. Pada September 1995 komisi menemukan enam kasus
pelanggaran ABRI terhadap penduduk asli di Irian Jaya yang mengakibatkan beberapa kematian; hanya
satu kasus yang diajukan ke pengadilan, dan komisi meminta tindak lanjutnya pada 1997. Pemerintah
melakukan kemajuan kecil dalam menangani peristiwa 27 Juli 1996. Pemerintah bergerak sangat
lambat dalam menanggapi laporan Komnas HAM bulan Oktober 1996 mengenai peristiwa itu yang
melaporkan hilangnya 23 orang, 149 terluka, dan 5 tewas, salah satunya karena tembakan. Dua orang
menteri secara terbuka mengumumkan penutupan kasus itu dan mengatakan tidak boleh lagi ada
diskusi umum mengenai kasus tersebut. Para pendukung pemimpin PDI Megawati Sukarnoputri yang
tergusur mengumumkan pada Juni bahwa 6 dari ke-23 orang yang hilang sudah ditemukan, dan komisi
mengatakan pada 4 September bahwa jumlah orang yang hilang tinggal 16. Komisi bertemu dengan
pejabat-pejabat senior pemerintah pada September yang kabarnya sependapat bahwa kasus itu belum
selesai dan setuju untuk meneruskan penyelidikan atas ke-16 orang itu. Tidak ada janji untuk
melakukan tindakan hukum sebagaimana direkomendasikan komisi atas mereka yang mengambil alih
markas PDI.

Komnas HAM membuka kantor di Timor Timur pada Juni 1996, yang secara luas dianggap sebagai
langkah positif dalam upaya menangani dan menyelesaikan pelanggaran hak asasi di sana. Tapi banyak
pengamat juga meragukan efektivitas kantor itu karena lokasinya berdekatan dengan markas militer,
stafnya disediakan oleh pemerintah, dan karena kantor itu hanya dapat menerima keluhan dan
mengirimkannya ke Jakarta tanpa dapat mengambil tindakan sendiri. Orang-orang yang pertama
mendatangi kantor itu biasanya mereka yang tidak mengeluhkan pemerintah, militer atau pemerintah

27
setempat, dan ini memberi kesan bahwa penduduk setempat segan mendatangi kantor tersebut.
Kantor itu sendiri juga membatasi diri pada kasus-kasus non-politik; jadi memberi dampak kecil pada
masalah hak asasi yang lebih serius di Timor Timur. Komisi sudah berusaha menangani masalah ini
tapi sampai akhir tahun kantor itu tetap tidak efektif.

Pemerintah pertama kali menunjuk ketua komisi, yang lalu menunjuk ke-24 anggota lainnya. Komisi
mengisi kekosongan pada jajarannya secara bebas melalui pemilihan intern. Seorang ketua baru dan
empat angggota baru, menggantikan mereka yang meninggal dalam jabatan, dipilih pada September
1996. Komisi pindah ke kantornya sendiri yang permanen pada 1996 dan telah memakai beberapa staf
profesional untuk mendukung ke-25 anggotanya dalam kegiatan penyelidikan dan kegiatan mendasar
lain.

Bagian 5 Diskriminasi Berdasarkan Ras, Jenis Kelamin, Agama, Cacat Tubuh,


Bahasa, atau Status Sosial

Undang-undang Dasar tidak secara eksplisit melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, ras,
cacat tubuh, bahasa atau status sosial. Tetapi UUD menyebutkan hak dan kewajiban yang sederajat
bagi warga negara, baik pribumi maupun keturunan. GBHN 1993 secara tegas menyatakan bahwa
wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria. Tapi GBHN 1978, 1983,
1988 dan 1993 ini juga menyatakan bahwa peran serta wanita dalam proses pembangunan harus tidak
bertentangan dengan peran mereka untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan pendidikan anak-
anak. Undang-udang perkawinan menyatakan bahwa pria adalah kepala keluarga. UUD memberi
warganya hak untuk menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing tapi pemerintah hanya
mengakui lima agama dan menerapkan pembatasan pada kegiatan agama lain.

Wanita

Kekerasan terhadap wanita tetap tidak tercatat dengan baik. Namun pemerintah mengakui adanya
masalah keluarga di masyarakat yang makin gawat karena adanya perubahan sosial akibat urbanisasi
yang cepat. Perkosaan oleh suami atas istri tidak dianggap sebagai kejahatan menurut undang-undang.
Meskipun kelompok-kelompok wanita berusaha mengubah undang-undang itu, mereka belum
memperoleh kemajuan berarti.

Norma-norma budaya menetapkan bahwa masalah antara suami dan istri adalah urusan pribadi, dan
kekerasan di rumah terhadap wanita jarang dilaporkan. Meskipun polisi dapat menuntut suami karena
memukuli istrinya, sikap masyarakat pada umumnya membuat polisi cenderung tidak melakukan hal
itu. Akan tetapi, menurut sumber yang dapat dipercaya, polisi sudah menjadi agak lebih responsif
terhadap keluhan kekerasan di dalam rumah tangga.

Perkosaan adalah tindak pidana. Banyak pria yang sudah ditangkap dan dihukum karena memperkosa
dan mencoba memperkosa meskipun data yang dapat dipercaya tidak tersedia. Hukuman penjara
maksimum untuk perkosaan adalah 12 tahun, tapi para pengamat mengatakan bahwa hukuman itu

28
biasanya jauh lebih ringan. Kekerasan massa terhadap tersangka pemerkosa sering dilaporkan. Aktivis
hak wanita percaya bahwa perkosaan banyak tidak dilaporkan karena adanya aib sosial yang terkait
dengan si korban. Beberapa ahli hukum melaporkan bahwa jika seorang wanita tidak segera pergi ke
rumah sakit untuk pemeriksaan fisik guna mendapatkan bukti perkosaan, maka ia tidak dapat
mengajukan tuntutan. Seorang saksi juga diperlukan untuk mengajukan tuntutan, dan hanya dalam
kasus yang jarang saja saksi tersedia, demikian menurut para ahli hukum. Beberapa wanita kabarnya
gagal melaporkan perkosaan kepada polisi karena polisi tidak menganggap serius tuduhan mereka.

Pemerintah menyediakan bimbingan konsultasi kepada wanita korban aniaya, dan beberapa organisasi
swasta muncul untuk membantu wanita. Banyak dari organisasi ini lebih memusatkan perhatian pada
keutuhan keluarga daripada menyediakan perlindungan kepada wanita yang terlibat. Banyak wanita
mengandalkan pada sistem keluarga besar untuk mendapatkan bantuan dalam kasus kekerasan dalam
rumah tangga. Hanya ada sedikit pusat krisis bagi wanita di Indonesia, termasuk yang didirikan oleh
KOWANI di Jakarta atas sponsor pemerintah pada 1996 dan sebuah pusat krisis bagi wanita di
Yogyakarta yang dikelola oleh sebuah LSM. Sebuah pusat krisis baru bagi wanita, “Mitra
Perempuan”, yang dibuka di Jakarta bulan April, mengoperasikan sambungan telepon langsung 24 jam
sehari dan penampungan sementara bagi wanita yang dianiaya. Latihan bagi para pembimbing untuk
sebuah pusat krisis lain di Jakarta, “Bicaralah”, sedang dilakukan.

Pelecehan seks bukanlah kejahatan menurut undang-undang, hanya merupakan tindakan tidak pantas.
Namun tuntutan pelecehan seks dapat merusak karir seorang pegawai negeri. Undang-undang yang
berlaku kabarnya hanya menyangkut penganiayaan fisik saja dan memerlukan dua orang saksi. Para
wanita pekerja dan pencari kerja mengeluh sering diganggu oleh mandor dan pemilik pabrik.

Ada sejumlah laporan yang dapat dipercaya tentang pengiriman wanita dan tentang “kawin kontrak”
dengan orang asing di daerah-daerah tertentu, seperti Kalimantan dan Sumatra, meskipun luasnya
praktek demikian kurang jelas. Perkawinan demikian tidak dianggap sah, dan anak-anak yang terlahir
tidak dianggap lahir dari perkawinan. Pelacuran meluas. Angka resmi 1994 melaporkan bahwa di
Indonesia ada 70.684 pelacur, 9.000 di antaranya di Jakarta.

Menurut UUD, wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria, namun
dalam prakteknya wanita menghadapi sejumlah diskriminasi hukum. Undang-undang perkawinan
menyatakan bahwa pria adalah kepala keluarga. Undang-undang perkawinan bagi Muslim,
berdasarkan pada syariat Islam, mengizinkan pria beristri empat jika istri pertama tidak mampu
“memenuhi kewajibannya sebagai istri”. Izin dari istri pertama diperlukan, tapi konon kebanyakan
wanita tidak kuasa menolak. Pegawai negeri dan anggota ABRI yang ingin mempunyai istri lagi harus
mendapat persetujuan dari atasan mereka. Sebagai teladan, Presiden melarang anggota kabinet dan
anggota militer mempunyai istri kedua. Dalam kasus perceraian wanita sering menanggung beban
pembuktian yang lebih berat daripada pria, terutama dalam pengadilan agama Islam. Tunjangan cerai
jarang diterima oleh wanita, dan tidak ada pemaksaan pembayaran tunjangan ini.

Undang-Udang kewarganegaraan 1958 menyatakan bahwa kewarganegaraan anak didasarkan hanya


pada kewarganegaraan sang ayah. Anak-anak dari ibu warga negara Indonesia dan ayah

29
berkewarganegaraan asing diangap sebagai orang asing, dan memerlukan visa untuk tinggal di
Indonesia sampai umur 18 tahun saat mereka boleh mengajukan permohonan kewarganegaraan.
Mereka dilarang bersekolah di sekolah Indonesia, dan harus belajar di sekolah internasional yang
mahal. Kasus seorang anak laki-laki berumur lima tahun dari seorang ibu WNI dan seorang pria
Jepang menarik perhatian media pada 1996 setelah si anak diperintahkan meninggalkan Indonesia
menyusul perceraian kedua orang tuanya dan setelah visa tinggal si anak berakhir. Pada 1997 si anak
kembali dengan visa lain, tapi karena sang ibu tidak mampu membiayainya belajar di sekolah
internasional, ia akhirnya dikirim ke Jepang untuk hidup dengan ayahnya.

Wanita asing yang menikah dengan pria Indonesia juga menghadapi kesulitan. Anak-anak mereka
adalah warga negara Indonesia dan dengan demikian tidak boleh bersekolah di sekolah internasional di
Indonesia. Wanita demikian biasanya dipajaki sebagai kepala rumah tangga tapi tidak mempunyai hak
atas harta benda, usaha dan warisan. Sudah banyak dilakukan pembahasan mengenai masalah
Undang-undang Kewarganegaraan ini. LSM dan pemerintah tampaknya sepakat bahwa undang-
undang ini perlu direvisi.

Meskipun sebagian wanita menikmati tingkat kebebasan ekonomi dan sosial yang tinggi, serta
menduduki posisi di sektor publik maupun swasta, mayoritas wanita tidak menikmati kebebasan sosial
dan ekonomi seperti itu serta terwakili secara tidak proporsional (terlalu banyak) di ujung bawah skala
ekonomi. Profil nasional tentang posisi dan peran wanita tahun 1995 memperlihatkan bahwa 37,4
persen pegawai negeri adalah wanita tapi hanya 5,5 persen menduduki jabatan struktural.

Kesenjangan penghasilan antara pria dan wanita berkurang secara berarti dengan makin tingginya
jenjang pendidikan. Wanita pekerja di bidang manufaktur pada umumnya menerima upah lebih rendah
daripada pria. Banyak wanita pekerja pabrik dipekerjakan sebagai buruh harian bukannya pegawai
tetap, dan perusahaan tidak wajib menyediakan tunjangan, seperti cuti melahirkan, kepada buruh
harian. Para aktivis hak-hak wanita melaporkan bahwa ada kecenderungan yang meningkat di sektor
manufaktur untuk mempekerjakan wanita di rumah-rumah dengan upah di bawah minimum. Tingkat
pengangguran wanita sebesar 50 persen lebih tinggi daripada pria. Wanita sering tidak mendapat
tunjangan atau bonus yang menjadi hak mereka jika mereka adalah kepala keluarga, dan dalam
beberapa kasus tidak menerima tunjangan untuk suami dan anak-anak mereka seperti tunjangan
kesehatan dan pengurangan pajak pendapatan.

Meskipun ada undang-undang yang menetapkan cuti 3 bulan untuk wanita melahirkan, pemerintah
mengakui bahwa wanita hamil sering dipecat atau diganti dengan orang lain ketika sedang cuti.
Beberapa perusahaan mewajibkan wanita menandatangani pernyataan bahwa mereka tidak akan hamil.
Undang-undang Ketenagakerjaan mewajibkan pemberian cuti dua hari untuk wanita haid per bulan
tapi ini tidak selalu diberikan. Banyak kelompok mengeluh bahwa RUU Ketenagakerjaan masih kabur
dan tidak merinci lama masa cuti melahirkan dan cuti haid yang menjadi hak wanita. Undang-undang
ini juga tidak mewajibkan majikan memberi waktu kepada wanita untuk menyusui bayinya selama jam
kerja. Undang-undang baru yang disahkan oleh DPR pada 12 September direvisi untuk sekali lagi
mencakup hak-hak ini. Banyak kelompok mengritik undang-undang ini karena tidak menyebut tentang
pelecehan seks dan kekerasan terhadap wanita di tempat kerja, dan hanya menyediakan perlindungan

30
yang tidak memadai di bidang-bidang kerja di mana wanita secara teratur menderita pelecehan seperti
kerja di luar negeri dan pelayanan rumah tangga. Undang-undang itu diharapkan berlaku mulai
Oktober 1998.

Dibandingkan dengan pria banyak wanita yang buta huruf, kurang sehat dan kurang gizi. Presiden
mengimbau perluasan upaya untuk mengurangi tingginya tingkat kematian ibu, yang 425 orang per
100.000 kelahiran, demikian angka resmi, sampai 650 menurut perkiraan sumber lain. Pemerintah
meluncurkan “gerakan sayang ibu” pada Desember 1996 untuk mengatasi tingkat kematian ibu, dan
sekarang memperluas jangkauannya ke wilayah-wilayah lain. Menurut data PBB sekarang, dua pertiga
wanita Indonesia menderita kurang darah dan 24 persen dari wanita dalam umur reproduksi menderita
kekurangan tenaga yang kronis. Indikator pendidikan wanita telah membaik selama sepuluh tahun
terakhir. Jumlah gadis yang lulus dari SMU berlipat tiga dari 1980 ke 1990.

Makin banyak LSM yang kini bekerja untuk memajukan hak-hak hukum, ekonomi, sosial dan politik
wanita. Mereka sudah ada yang berhasil memperoleh pengakuan resmi atas perhatian mereka pada
masalah wanita. Jumlah konferensi, seminar, dan lokakarya mengenai masalah wanita pun meningkat.
Kebanyakan disponsori oleh LSM meskipun ada juga yang oleh lembaga-lembaga akademis dan
pemerintah. Kebanyakan acara itu berusaha meningkatkan kesadaran atau memajukan pembelaan bagi
wanita.

Anak-anak

Pemerintah wajib menyediakan hak dan kesejahteraan anak-anak tapi terhambat oleh kurangnya
sumber daya sehingga pemerintah sulit menerjemahkan kewajiban ini ke dalam praktek. Pemerintah
hanya mengalokasikan 2,2 persen dari produk kotor nasionalnya untuk pendidikan. Sebuah undang-
undang 1979 tentang kesejahteraan anak-anak mendefinisikan tanggung jawab negara dan orang tua
untuk mengurus dan melindungi anak-anak. Namun ketentuan dalam undang-undang itu tentang
perlindungan anak-anak masih belum dilaksanakan karena peraturan pelaksanaannya masih dalam
tahan pembahasan. Pemerintah telah melakukan upaya khusus untuk meningkatkan pendidikan dasar
dan pelayanan ibu.

Perawatan kesehatan yang murah tersedia walaupun di daerah pedesaan pelayanan itu kadang-kadang
susah dijangkau dan hanya sporadis. Lagi pula pemerintah hanya menyisihkan 0,7 persen dari GNP-
nya untuk sektor kesehatan. Menurut data PBB, 36 persen dari anak-anak balita menderita kurang
gizi yang mengandung energi dan protein dan 35 persen menderita kekurangan zat besi.

Meskipun pendidikan dasar pada prinsipnya universal, UNICEF memperkirakan bahwa lebih dari satu
juta anak-anak putus sekolah dasar tiap tahun terutama karena biaya dan karena perlu membantu
menambah pendapatan keluarga. Sebuah undang-undang tahun 1994 menaikkan pendidikan wajib dari
6 tahun menjadi 9 tahun, tapi undang-undang itu belum sepenuhnya dilaksanakan karena fasilitas
sekolah tidak memadai dan kurangnya sumber keuangan keluarga untuk menunjang anak-anak tetap
bersekolah. Biaya resmi dan tidak resmi untuk pendidikan umum, termasuk uang pendaftaran, buku,
makan, transportasi, dan baju seragam telah naik terlalu tinggi bagi kebanyakan keluarga.

31
Menurut data pemerintah, 8 persen dari anak berusia antara 10 dan 14 tahun bekerja. Setengahnya
bersekolah dan juga bekerja, dan setengahnya lagi bekerja saja. Perkiraan tidak resmi tentang pekerja
anak-anak malah lebih tinggi. Menurut menteri sosial, 20.000 anak jalanan tinggal di Jakarta. Ribuan
lainnya lagi tinggal di kota-kota lain. Mereka menjual koran, menjadi tukang semir, tukang parkir,
atau cara lain untuk memperoleh uang. Banyak anak-anak bekerja dalam lingkungan yang berbahaya
sebagai pemulung, atau di bagan-bagan ikan dan kapal nelayan. Menurut sumber yang dapat
dipercaya, ribuan anak-anak bekerja di lingkungan berbahaya di bagan-bagan ikan di lepas pantai
timur Sumatra Utara (lihat Bagian 6.c.). Beribu-ribu anak bekerja di pabrik-pabrik dan sawah (lihat
Bagian 6.d.).

Anak-anak jalanan dan buruh anak di beberapa kota telah membentuk organisasi dan ingin melindungi
hak-hak mereka. Paling tidak 30 LSM bekerja dengan anak-anak jalanan. LSM-LSM itu mengecam
pemerintah karena kurang memadainya upaya untuk membantu anak-anak jalanan dan buruh anak-
anak. Pemerintah tengah bekerja sama dengan Program Pembangunan PBB (UNDP), UNICEF,
Lembaga Buruh Internasional ILO, serta dengan sejumlah LSM untuk menciptakan program-program
bagi anak jalanan dan buruh anak-anak. Sebuah proyek menyatukan banyak gagasan dari masyarakat
LSM, termasuk mendirikan “rumah terbuka” di daerah-daerah target yang menyediakan latihan
ketrampilan dan pendidikan dasar bagi anak-anak jalanan. Prakarsa untuk memulai rumah terbuka
bagi anak-anak jalanan di tujuh provinsi telah dilakukan.

Satu pendekatan lain terhadap masalah anak jalanan menggunakan Program Gerakan Disiplin Nasional
dan Kota Bersih. Anak-anak jalanan secara harfiah diangkut dari kota-kota dengan bus. Biasanya
mereka dibawa ke luar kota dan di lepas di sana. Kadang-kadang mereka dibawa ke “rumah tahanan”
di mana mereka mula-mula diinterogasi, lalu dilepas. Berbeda dengan di tahun-tahun yang lewat,
tidak ada laporan bahwa LSM-LSM yang bekerja bagi hak anak-anak mengalami gangguan dari pihak
berwajib.

Pelacuran anak-anak dan gangguan seks lain terjadi, tapi data yang pasti tidak ada. Meskipun banyak
undang-undang melindungi anak-anak dari tindakan tidak pantas, pelacuran, dan inses, pemerintah
belum melakukan upaya pelaksanaan undang-undang demikian di bidang-bidang tersebut.

Sistem peradilan pidana terpisah bagi anak-anak tidak ada. Polisi mengakui bahwa remaja sering
ditahan bersama penjahat dewasa. Kejahatan remaja sekarang ditangani oleh pengadilan biasa.
Sebuah undang-undang peradilan remaja disahkan oleh DPR pada Desember 1996 dan ditandatangani
oleh presiden pada bulan Januari. Tapi undang-undang itu baru berlaku mulai Januari 1998. Menurut
undang-undang ini, remaja adalah mereka yang berumur antara 8 dan 18 tahun, dan sebuah sistem
peradilan dan KUHAP khusus bagi mereka dibentuk.

Sunat bagi wanita, yang secara luas dikecam oleh para ahli kesehatan internasional karena merusak
badan dan jiwa, dilakukan di beberapa bagian Indonesia. Metodenya bervariasi berdasarkan adat-
istiadat suku, budaya dan agama masing-masing. Tapi praktek yang paling umum adalah sebuah
upacara yang mencakup penusukan, penorehan atau penyentuhan pada kelentit (clitoris) bayi

32
perempuan atau gadis kecil, sering dengan tujuan mengambil beberapa tetes darah. Kadang-kadang
dipakai akar tanaman sebagai lambang dan si gadis tidak disentuh sama sekali. Sunat wanita yang
lebih serius adalah pemotongan ujung kelentit. Praktek ini tampak berkurang, dan tidak ada
kesepakatan mengenai luasnya praktek demikian. Kabarnya sunat demikian masih dipraktekkan di
Madura, Sulawesi Selatan dan daerah-daerah lain. Karena sunat wanita tidak diatur, dan para
pemimpin agama belum menentukan sikap, metode yang dipakai biasanya diserahkan kepada adat
masing-masing. Sunat wanita biasanya dilakukan pada tahun pertama kelahiran, biasanya pada hari ke-
40, meskipun di beberapa daerah ini bisa sampai umur 10 tahun. Ini bisa dilakukan di rumah sakit
atau, di pedesaan terutama, oleh dukun setempat. Data tentang sunat wanita tidak tersedia.

Penyandang Cacat

Menurut perkiraan PBB, ada 10 juta penyandang cacat di Indonesia, sedangkan Departemen Sosial
memperkirakan hanya 3 persen dari jumlah penduduk, atau 6 juta orang, adalah penyandang cacat.
Tapi data yang tepat tidak ada. Keluarga sering menyembunyikan anggotanya yang cacat untuk
menghindari aib masyarakat. Penyandang cacat menghadapi banyak diskriminasi di tempat kerja,
meskipun beberapa pabrik telah melakukan upaya khusus untuk mempekerjakan mereka. Beberapa
provinsi telah mendirikan “pusat-pusat rehabilitasi” bagi penyandang cacat. Penyandang cacat
biasanya diambil dari jalan-jalan oleh pihak berwajib dan dibawa ke pusat-pusat seperti ini untuk
latihan kerja.

LSM merupakan penyedia utama pendidikan bagi kaum cacat. Sekarang ini ada 1.084 sekolah luar
biasa bagi kaum cacat; 680 swasta dan 404 dikelola oleh pemerintah. Sebanyak 165 sekolah
pemerintah itu “diintegrasi”, artinya menyediakan pendidikan reguler dan khusus kepada siswa. Di
Jakarta ada 98 sekolah bagi kaum cacat, 2 di antaranya dikelola pemerintah, dan sisanya swasta.
Pemerintah juga mengelola tiga sekolah nasional bagi kaum tuna netra, tuna rungu dan tuna grahita.
Sekolah-sekolah ini menerima siswa dari seluruh negeri.

Undang-undang Penyandang Cacat disahkan pada bulan Januari tapi peraturan pelaksanaannya belum
ada sehingga dampak dari undang-undang ini belum jelas. Undang-undang itu berusaha menyediakan
akses ke pendidikan, pekerjaan dan bantuan bagi kaum cacat. Undang-undang mewajibkan
perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100 orang untuk menyediakan 1 persen dari pekerjaannya
bagi kaum cacat. Undang-undang ini juga mewajibkan kemudahan masuk bagi kaum cacat ke tempat-
tempat umum. Boleh dikata tidak ada gedung atau alat angkutan umum yang dirancang dengan
konsep untuk memudahkan kaum cacat masuk ke dalamnya.

Undang-undang Dasar mewajibkan pemerintah untuk menyediakan pemeliharaan bagi yatim piatu dan
penderita cacat, tapi tidak merinci bagaimana definisi “pemeliharaan” itu, dan ketentuan mengenai
pendidikan bagi seluruh anak-anak cacat mental dan fisik belum ditetapkan. Peraturan menyebutkan
bahwa pemerintah harus menetapkan dan mengatur kurikulum bagi pendidikan khusus dengan
menyatakan bahwa “masyarakat” harus menyediakan pelayanan pendidikan khusus bagi anak-anaknya.

Penduduk Asli

33
Pemerintah menganggap bahwa istilah “penduduk asli” tidak cocok karena semua orang Indonesia
dianggap sebagai penduduk asli. Akan tetapi pemerintah secara terbuka mengakui adanya beberapa
“suku terasing” dan bahwa mereka mempunyai hak untuk berperan serta penuh dalam kehidupan
politik dan sosial. Pemerintah memperkirakan bahwa jumlah warga suku terasing sebesar 1,5 juta
orang. Ini termasuk, tapi tidak terbatas pada, suku-suku Dayak di Kalimantan yang tinggal di tempat-
tempat terpencil, masyarakat-masyarakat penduduk asli di Irian Jaya, dan keluarga-keluarga Orang
Laut yang kurang beruntung ekonominya yang hidup di atas perahu mereka di perairan dekat Riau dan
dekat Ujung Pandang. Para pengritik mengatakan bahwa pendekatan pemerintah pada dasarnya
paternalistik dan lebih dirancang untuk mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat bukannya
melindungi tradisi kehidupan mereka. Pemantau hak asasi mengritik program transmigrasi pemerintah
karena dianggap melanggar hak-hak penduduk asli.

Enam puluh persen dari 200 juta penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, yang luasnya hanya 7
persen dari wilayah Indonesia. Program transmigrasi yang disponsori pemerintah berusaha
memukimkan kembali penduduk dari daerah padat ke daerah yang jarang penduduknya di luar Jawa.
Sebagian besar mereka adalah transmigran spontan yang bukan bagian dari program resmi.
Pembangunan Lima Tahun yang sekarang berusaha memukimkan kembali 600.000 jiwa, dengan
80.000 direncanakan untuk tahun fiskal 1997-98.

Para pengecam program transmigrasi mengatakan bahwa program itu mengancam budaya penduduk
asli dan menyulut kecemburuan sosial. Beberapa pengritik menyatakan bahwa program itu sudah
dipakai sebagai alat politik untuk memasukkan penduduk luar ke dalam daerah-daerah tertentu untuk
“mengindonesiakan” wilayah-wilayah tersebut, sebagian untuk menghalangi gerakan pemisahan. Di
beberapa daerah, seperti di bagian tertentu Kalimantan, Timor Timur dan Irian Jaya, hubungan antara
transmigran dan penduduk asli kurang baik. Keluhan tentang transmigrasi datang dari penduduk asli
yang menerima dukungan dan dana pemerintah yang lebih sedikit dibanding transmigran. Keluhan
juga datang dari transmigran yang dalam beberapa kasus dibawa ke tempat-tempat yang kekurangan
prasarana untuk mendukung mereka dan ke tanah yang kurang dikehendaki.

Rentetan kerusuhan etnik yang berlarut-larut pecah di Kalimantan Barat pada akhir Desember 1996,
dan pada bulan Januari dan Februari tahun berikutnya ketika ribuan anggota suku Dayak yang Kristen
menyerang migran Madura yang Muslim. Ratusan, mungkin lebih dari 1.000 orang, terutama Madura,
tewas dalam perkelahian itu, dan sekitar 15 ribu orang Madura mengungsi menghindari kekerasan.
Ledakan kekerasan itu, yang keenam antara Dayak dan Madura selama 30 tahun terakhir, muncul
sebagian karena anggapan suku Dayak bahwa mereka dipinggirkan di tanah sendiri. Komunitas
Madura di Kalimantan Barat tumbuh dari kantung-kantung transmigran awal, meskipun mayoritas
suku Madura di sana adalah transmigran spontan.
Penekanan pemerintah pada strategi pembangunan dan pertumbuhan yang relatif cepat, ledakan
urbanisasi, dan eksploitasi komersial yang agresif, dukungan pemerintah atas sumber daya alam
menyebabkan ketegangan terus-menerus atas isu hak atas tanah. Ketegangan itu sering terwujud
dalam isu ras karena pengembang pada umumnya keturunan Cina. Sengketa tanah merupakan keluhan
terbesar yang masuk ke Komnas HAM dan banyak juga dikeluhkan kepada lembaga-lembaga dan

34
organisasi bantuan hukum lainnya.

Menurut sebuah undang-undang peninggalan Belanda, semua sumber daya tambang di permukaan
tanah dikuasai negara. Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa hak-hak atas tanah tidak
boleh “bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara” dan memberi pemerintah dasar hukum
yang luas atas penyitaan tanah. Jika sengketa tidak dapat diselesaikan, pemerintah mempunyai
wewenang untuk menetapkan ganti rugi yang adil atas tanah.

Banyak contoh penggunaan intimidasi, kadang-kadang oleh pihak militer, dan sering oleh para
“preman” sewaan untuk memperoleh tanah bagi proyek-proyek pembangunan, terutama di kawasan
yang diklaim sebagai milik penduduk asli. Intimidasi demikian dipakai di Jakarta, dan beberapa
wilayah lain di Jawa, Sumatra Utara, Aceh, dan lain-lain. Ganti rugi yang dibayarkan atas tanah sering
sangat kecil atau bahkan tidak ada. Dalam satu kasus, menurut sumber yang layak dipercaya, para
penghuni di atas tanah yang diperlukan bagi sebuah pabrik semen di Aceh dibayar dengan rupiah yang
setara dengan 20 sen dollar per meter persegi, yang menurut mereka sangat tidak memadai. Pada
bulan Juli penduduk Magelang, Jawa Tengah mengeluh kepada DPR setempat tentang
pengambilalihan tanah mereka oleh pihak militer untuk keperluan militer. Mereka, penduduk
setempat, mengeluh dipaksa, dikunjungi malam hari oleh pihak militer dan pejabat setempat, dan
diminta untuk menerima sekitar 5 ribu rupiah per meter untuk tanah mereka, yang bagi mereka sangat
tidak memadai.

Pihak LSM menyatakan bahwa pelanggaran hak penduduk asli sering terjadi di lokasi pertambangan
dan hak pengusahaan hutan dan bahwa pelanggaran itu berpangkal pada penolakan pemerintah atas
pemilikan tanah adat oleh penduduk asli, pengingkaran atas struktur sosial, dan pengambilalihan tanah
secara paksa. Masalah demikian paling sering terjadi di Irian Jaya dan Kalimantan.

Pihak LSM juga melaporkan bahwa penduduk asli menderita sebagai akibat dari sebuah proyek lahan
gambut seluas sejuta hektar di Kalimantan Tengah untuk dijadikan sawah. Lokasi itu dirancang
sebagai sebuah daerah transmigrasi yang besar. Menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, sekitar
100.000 penduduk asli terkena dampak proyek itu. Dipaksa untuk meninggalkan pertanian tradisional
dan mata pencaharian hutan mereka, banyak penduduk asli yang tinggal di wilayah itu telah menjadi
buruh berupah rendah di proyek tersebut.

Penduduk asli di Pulau Tanimbar, Maluku Selatan melancarkan protes yang sia-sia atas perusakan
hutan, fauna, dan kebudayaan penduduk setempat terutama karena penebangan hutan.

Di mana penduduk asli bentrok dengan proyek pengembang, pihak pengembang hampir selalu menang.
Keputusan mengenai proyek pembangunan, hak pengusahaan sumber daya, dan kegiatan
perekonomian lain biasanya dilakukan tanpa keikutsertaan atau persetujuan dari penduduk yang
terkena dampaknya. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun lalu tidak ada laporan bahwa
LSM-LSM lingkungan yang berusaha membantu penduduk asli itu mengalami gangguan verbal,
serangan atau bentuk intimidasi lain oleh pihak keamanan pemerintah.

35
Ketegangan dengan penduduk asli di Irian Jaya, termasuk di sekitar wilayah konsesi pertambangan
asing dekat Timika, terus berlanjut. Penduduk asli Irian Jaya mengeluhkan rasialisme, paternalisme,
dan penghinaan sebagai kendala terus-menerus atas perbaikan hubungan dengan penduduk non-Irian,
termasuk pegawai pemerintah, pihak militer dan komunitas bisnis non-Irian. Mereka juga
mengeluhkan sikap personil militer yang kasar. Banyak penduduk Irian sekarang adalah migran yang
menguasai kehidupan ekonomi dan politik. Kebanyakan pegawai negeri di pemerintah daerah di Irian
Jaya dan daerah-daerah lain yang terisolir terus berdatangan dari daerah lain di Indonesia, bukannya
dari kalangan penduduk setempat.

Rencana pembagian dana dari sebuah perusahaan pertambangan menyebabkan terjadinya ketegangan
yang ikut menyulut bentrokan antara suku-suku setempat dengan pasukan keamanan pada bulan
Agustus di kawasan Tembagapura, Timika, dan yang mengakibatkan tertembaknya dua orang Irian
serta melukai pasukan keamanan (lihat Bagian 1.a.). Dalam waktu yang hampir bersamaan, dua
kelompok pendukung pemimpin suku Moni saingan mereka melakukan unjuk rasa mengklaim jatah
atas dana dari perusahaan penambangan asing itu, lalu bersama-sama bergerak menuju ke kantor
pemda setempat untuk mendesakkan tuntutan mereka. Sumber-sumber LSM yang dapat dipercaya
melaporkan bahwa penonton kejadian ini diserang oleh pihak keamanan. Karena protes setempat atas
rencana cara pembagian dana itu, perusahaan tersebut akhirnya menunda pencairan dana bagi proyek-
proyek baru berdasarkan prakarsa ini.

Minoritas Agama

Ada sejumlah insiden serangan terhadap gereja, kuil dan fasilitas keagamaan lain, banyak di antaranya
terjadi di tengah-tengah kerusuhan yang lebih besar. Ada juga khotbah-khotbah dan penerbitan
menentang golongan Kristen, yang menimbulkan keprihatinan bahwa dukungan masyarakat terhadap
toleransi beragama mendapat tekanan. Ketegangan yang didasari pada masalah sosial, ekonomi dan
politik, dalam banyak kejadian antara Muslim yang miskin dan Kristen Cina yang berkecukupan,
merupakan faktor kunci dalam kejadian-kejadian seperti itu. Pemerintah belum berhasil menyelesaikan
banyak kasus penyerangan terhadap tempat ibadah dan gereja yang terjadi selama kerusuhan, dan
dalam kasus lain bahkan tidak melakukan penyelidikan sama sekali.

Selama bulan Februari, bertepatan dengan bulan suci Ramadan, banyak gereja di seluruh negeri
kabarnya mendapat ancaman lewat telepon dan fax tentang akan adanya penghancuran di tanggal-
tanggal tertentu. Meskipun terjadi pembakaran dan penyerangan gereja selama bulan itu, ancaman
serangan luas itu tidak menjadi kenyataan. Akan tetapi ancaman itu menimbulkan rasa takut di
kalangan umat Kristen. Sumber-sumber di Medan melaporkan bahwa penduduk setempat, dalam salah
satu kasus dengan bantuan tentara, menjaga gereja-gereja dalam masa-masa itu. Sebuah gereja
Katolik di Bandung, sebuah gereja Mormon di Semarang, dan beberapa gereja di Jakarta, mendapat
ancaman. Sumber-sumber yang dapat dipercaya melaporkan bahwa masyarakat Katolik diancam
dengan kekerasan di sebuah kota di Jawa Tengah, tapi sebuah pertemuan antar-agama setempat
berhasil meredam ketegangan itu. Menurut laporan-laporan yang dapat dipercaya, ada pula ancaman
terhadap umat Kristen dan etnik Cina di Purwokerto dan Purworejo, Jawa Tengah selama masa
tersebut. Sumber-sumber yang dapat dipercaya melaporkan bahwa banyak gereja yang mendapat

36
ancaman dijaga oleh kelompok-kelompok gereja dan persekutuan setempat antara pemuda Islam dan
Kristen.

Sebuah sekolah Katolik di Ambon dibakar bulan Februari, tapi penduduk setempat
menggambarkannya sebagai kejadian tidak lazim di Ambon di mana hubungan antar-agama dan
kelompok etnik konon pada umumnya baik. Sebuah gereja di Garut, Jawa Barat dibakar pada 22
Februari, dan satu lagi dihancurkan pada 6 Maret.

Ada beberapa kejadian kekerasan massal yang mencakup serangan terhadap gereja, dan fasilitas agama
lainnya, serta toko-toko milik keturunan Cina. Kerusuhan dan pembakaran gereja terjadi di
Rengasdengklok, Jawa Barat pada Januari di mana lima gereja dihancurkan oleh massa. Kejadian itu
disulut oleh pertengkaran antara seorang wanita Cina dan pemuda Muslim setempat. Kerusuhan yang
menyusulnya menyebabkan perusakan gereja secara meluas. Dua kuil Budha juga dihancurkan atau
dibakar.

Ada laporan yang dapat dipercaya tentang pembakaran dan perusakan gereja dan sekolah Kristen
selama tahun itu. Misalnya, ada dua kejadian di Garut, Jawa Barat; yang pertama adalah pembakaran
gereja di bulan Februari dan satu lagi perusakan gereja di bulan Maret. Pelemparan dengan batu
terjadi terhadap dua gereja di Wonosobo, Jawa Tengah dan empat gereja di Surabaya bulan Maret dan
April. Sebuah gereja di Ngawi, Jawa Timur dibakar bulan Maret; sebuah gereja Pantekosta di Tuban,
Jawa timur dibakar bulan Mei; sebuah gereja Pantekosta di Manado dirusak bulan Mei; dan sebuah
gereja di Bogor dihancurkan pada bulan Mei pula.

Ada juga laporan yang dapat dipercaya tentang pembakaran dan penghancuran gereja di banyak kota
pada 23 Mei, hari terakhir masa kampanye pemilu, termasuk: 13 gereja dibakar atau dirusak di
Banjarmasin; 5 gereja dirusak di Pasuruan, Jawa Timur; 1 gereja dirusak di Kudus, Jawa Tengah; 7
gereja dirusak di sekitar Jakarta; dan 1 gereja dirusak di Madura. Sebuah gereja Protestan di Jakarta,
yang dua kali dilempari batu selama minggu terakhir kampanye, dibakar pada 23 Mei.

Setelah kampanye pemilu usai, ketegangan mereda tapi masih ada penyerangan terhadap gereja: 1
gereja di Madura dibakar pada Juni; 1 gereja dibakar di Bogor bulan Juli; 1 gereja dibakar di Kediri
bulan Juli; 1 gereja di Kalimantan Selatan dibakar bulan Agustus; 1 gereja dirusak di Gorontalo,
Sulawesi Utara pada September; sejumlah gereja dan sekolah Katolik di Ujung Pandang diserang
selama kerusuhan bulan September; 1 gereja di Jember diserang pada Oktober; 1 gereja diserang di
Blitar, jawa timur bulan Oktober dan 2 gereja lain dibakar bulan November; di Yogyakarta 1 gereja
dibakar dan satu lagi dirusak pada bulan November.

Banyak di antara gereja yang dibakar atau dirusak selama kerusuhan di Situbondo bulan Oktober 1996
berhasil dibangun kembali melalui kerja sama antara masyarakat Kristen dan Muslim.

Sebuah aliansi kelompok-kelompok mahasiswa dan pemuda antar-agama, Forum Nasional untuk
Pemuda Indonesia, dibentuk bulan Februari, sebagian sebagai reaksi terhadap meningkatnya
ketegangan menyusul kerusuhan dan pembakaran gereja di Situbondo pada Oktober 1996, sebagai

37
sarana bagi kerjasama antar-kelompok agama dan komunikasi dengan rakyat jelata untuk mencegah
kerusuhan lebih lanjut. Kelompok itu mewakili pemuda NU, Protestan, Katolik dan Hindu.

Bangsa/Ras/Suku-Suku Minoritas

Pemerintah secara resmi menganjurkan toleransi ras dan suku. Etnik Cina, dengan sekitar 3 persen
dari penduduk tetap menjadi kelompok minoritas terbesar, yang secara historis selalu memainkan
peran besar dalam perekonomian. Mereka menjadi sasaran diskriminasi. Perasaan anti-Cina menyulut
serangan terhadap toko-toko Cina selama masa kerusuhan seperti yang terjadi di Rengasdengklok
bulan Januari dan di Ujung Pandang bulan September. Kerusuhan luas anti-Cina besar-besaran di
Ujung Pandang disulut oleh pembunuhan terhadap seorang gadis berusia sembilan tahun di tengah
jalan oleh seorang warga Indonesia keturunan Cina yang sakit jiwa. Kejadian itu menyulut terjadinya
kerusuhan yang menewaskan enam orang, dan lebih dari 1.000 toko dikabarkan rusak, begitu pula
sejumlah bank dan sebuah hotel milik keturunan Cina. Sebagian besar harta benda yang hancur itu
menjadi sasaran karena hubungannya dengan Cina. Kelenteng Cina juga diserang, dan kelenteng
setempat yang paling bersejarah dirusak.

Sejak 1959 WNA keturunan Cina dilarang melakukan usaha di pedesaan Indonesia. Peraturan
melarang adanya sekolah Cina, pembentukan kelompok kebudayaan atau ikatan usaha khusus Cina,
serta pajangan berhuruf Cina meskipun huruf Cina ada dalam produk yang dipajang. Pemerintah
mengizinkan penerbitan sebuah koran harian berbahasa Cina milik pemerintah, namun undang-undang
melarang impor, penjualan atau distribusi bahan-bahan bacaan berbahasa Cina. Namun bahan-bahan
berbahasa Cina sudah mula tampak di daerah Pecinan Jakarta dan mungkin pula di kota-kota lain.
Sejak 1994 pemerintah mengizinkan pengajaran Bahasa Cina bagi karyawan di sektor pariwisata, dan
distribusi brosur-brosur, acara, dan lain-lain berbahasa Cina yang dicetak di dalam negeri bagi
wisatawan berbahasa Cina.

Pengajaran dalam Bahasa Cina pada umumnya dilarang kecuali dalam lingkungan terbatas. Universitas
Indonesia mempunyai Jurusan Sastra Cina. Univesitas negeri menerapkan kuota tidak resmi bagi
mahasiswa keturunan Cina. Undang-undang melarang peringatan Tahun Baru Cina di kelenteng atau
tempat umum, tapi pelaksanaannya terbatas. Hiasan Tahun Baru Cina dipajang dan dijual secara
mencolok di pertokoan beberapa kota. Bulan Juni seorang pejabat senior yang mengurusi integrasi
etnik mengatakan di media bahwa larangan atas penerbitan berbahasa Cina hendaknya tidak
dikendorkan dengan terburu-buru karena masalah SARA.

Orang Timor Timur dan berbagai kelompok hak asasi menuduh bahwa Timor Timur kurang diwakili
dalam pemerintahan di Timor Timur. Pemerintah sudah melakukan upaya untuk merekrut lebih
banyak pegawai negeri di Timor Timur dan Irian Jaya, dan sudah ada peningkatan jumlah pegawai
negeri magang di kedua provinsi ini meskipun ada kebijakan pertumbuhan “nol” bagi jumlah pegawai
negeri secara keseluruhan. Orang Timor Timur menyatakan keprihatinan bahwa program transmigrasi
(lihat Bagian 1.f.) bisa menyebabkan menyempitnya kesempatan kerja dan pada akhirnya
menghancurkan jatidiri budaya Timor Timur. Pemerintah mengatakan bahwa program transmigrasi di
Timor Timur pada umumnya menekankan pemukiman kembali orang Timor Timur, dengan tambahan

38
kecil orang Kristen dan Hindu non-Timor Timur dari luar. Dalam beberapa tahun terakhir, migran
informal yang umumnya Muslim ke provinsi itu telah menyulut ketegangan sosial ekonomi di kawasan
kota dan menimbulkan keprihatinan yang lebih besar daripada program transmigrasi resmi.

Bagian 6 Hak-hak Pekerja

a. Hak Berserikat

Para pekerja sektor swasta menurut undang-undang bebas membentuk serikat pekerja tanpa izin lebih
dulu. Namun kebijakan pemerintah dan persyaratan tentang jumlah anggota untuk diakui sebagai
serikat pekerja merupakan hambatan besar terhadap kebebasan berserikat dan hak untuk ikut dalam
tawar-menawar kolektif. Departemen Tenaga Kerja menggunakan sebuah peraturan yang menentukan
bahwa sebuah serikat pekerja harus dibentuk “oleh dan untuk pekerja” guna menolak pengakuan atas
kelompok yang mencakup orang-orang yang oleh pemerintah dianggap bukan pekerja, seperti
pengacara atau aktivis hak asasi, yang terlibat sebagai penggalang pekerja. Di bawah Undang-undang
Ketenagakerjaan yang baru diresmikan oleh DPR bulan September, pekerja boleh membentuk serikat
pekerja berdasarkan pada “konsultasi demokratis” dengan pekerja-pekerja lain dari perusahaan yang
sama, dan boleh bersama-sama dengan serikat pekerja lain membentuk sebuah federasi sektoral dan
lintas sektoral. Undang-undang ini baru akan berlaku pada 1 Oktober 1998 dan masih memerlukan
peraturan pelaksanaannya.

Secara de facto hanya ada satu sistem serikat pekerja, yakni Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI),
dengan 13 federasi serikat pekerja sektoralnya. Pada 1995 struktur SPSI berubah dari kesatuan
(sentralisasi) menjadi federasi (desentralisasi). Ke-13 sektor industrinya didaftar sebagai serikat
pekerja nasional yang terpisah; SPSI merupakan satu-satunya federasi serikat pekerja yang diakui oleh
Departemen Tenaga Kerja. Menteri Tenaga Kerja menyatakan bahwa serikat pekerja yang dibentuk
harus berafiliasi dengan SPSI, dan bahwa pemerintah tidak akan mengakui setiap serikat pekerja di
luar federasi. Kebijaksanaan pemerintah itu untuk menaikkan daya guna serikat-serikat pekerja SPSI
ketimbang mengizinkan pembentukan organisasi alternatif.

Pemerintah bisa membubarkan sebuah serikat pekerja yang dipercaya bertentangan dengan Pancasila
meskipun serikat itu tidak pernah bersikap demikian, dan tidak ada peraturan atau undang-undang
yang merinci prosedur untuk membubarkan sebuah serikat pekerja.

Pada 1994 hanya SPSI yang dapat secara hukum melakukan tawar-menawar atas nama pekerja atau
mewakili pekerja dalam penyelesaian sengketa perburuhan di Departemen Tenaga Kerja. Sebuah
peraturan 1994 menyatakan bahwa pekerja sebuah perusahaan dengan jumlah pekerja lebih dari 25
orang dapat membentuk sebuah “serikat pekerja tingkat pabrik” dan merundingkan sebuah persetujuan
yang mengikat secara hukum dengan majikan mereka di luar kerangka SPSI meskipun pemerintah
menganjurkan kepada serikat pekerja tingkat pabrik agar bergabung dengan SPSI. Menjelang akhir
tahun, sebanyak 1.234 serikat pekerja tingkat pabrik sudah berdiri, hanya meningkat sedikit selama
setahun. Namun pihak LSM menuduh bahwa banyak di antara serikat ini adalah “serikat pekerja

39
kuning” yang dibentuk oleh pengurus perusahaan dengan sedikit atau tanpa partisipasi pekerja. Ada
juga beberapa laporan yang dapat dipercaya bahwa para pejabat Departemen Tenaga Kerja lokal
menerima suap dari para majikan pekerja untuk membentuk serikat pekerja tingkat pabrik yang mereka
anggap lebih lemah daripada SPSI
Ada dua kelompok pekerja selain SPSI yang aktif tapi tidak diakui oleh pemerintah, yakni Serikat
Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). SBSI, dibentuk 1992,
menyatakan bahwa mereka sudah membentuk jumlah unit-unit di tingkat pabrik yang diperlukan guna
memenuhi persyaratan hukum untuk didaftar sebagai serikat pekerja, tapi permohonannya yang paling
akhir (November 1994) untuk didaftar sebagai serikat pekerja ditolak. Departemen Tenaga Kerja juga
menghalangi niat SBSI untuk mendaftar pada Departemen Dalam Negeri sebagai organisasi sosial di
bawah Undang-undang Keormasan. Pemerintah menganggap SBSI tidak sah. Meskipun pemerintah
tidak membubarkannya, pemerintah terus mengganggu SBSI dengan membubarkan rapat-rapat dan
penatarannya serta menekan perusahaan agar memecat para anggota SBSI. Tindakan khusus
pemerintah terhadap SBSI selama tahun lalu mencakup penahanan dan interogasi terhadap dua
anggotanya di Binjai, Sumatra Utara bulan Mei dan pembubaran sebuah penataran SBSI di Lampung
bulan Juli. Sebanyak 26 anggota SBSI ditahan selama dua hari kala itu. Bulan September polisi
membubarkan kongres nasional kedua SBSI sewaktu para anggotanya menutup hari pertama kongres
yang dijadwalkan berlangsung tiga hari.

Pengadilan Pemimpin SBSI, Mucktar Pakpahan, atas tuduhan subversi dan menyebarkan kebencian
terhadap pemerintah, yang dimulai Desember 1996, dilanjutkan bulan September setelah ditunda
selama lima bulan karena kesehatan Pakpahan yang buruk. Selama penundaan, Pakpahan mengajukan
permohonan sampai dua kali untuk mendapatkan pengobatan atas kanker paru-parunya di luar negeri.
Setelah beberapa tim dokter Indonesia memeriksanya, Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung
memutuskan bahwa kondisi kesehatannya dapat dirawat di Indonesia. Bulan Desember pemerintah
mengizinkan tim dokter Kanada untuk memeriksanya. Bulan Januari Pakpahan meminta Mahkamah
Agung meninjau kembali keputusannya bulan Oktober 1996 yang memvonisnya empat tahun penjara
karena dianggap telah menggerakkan kerusuhan buruh, keputusan yang sebelumnya pernah dibatalkan
oleh mahkamah tersebut. Pada Agustus Pakpahan mengajukan argumentasi baru kepada pengadilan
negeri bahwa ia tidak bersalah atas tuduhan itu; kasus itu masih menggantung sampai akhir tahun (lihat
Bagian 2.a.).
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) adalah satu-satunya organisasi wartawan yang diakui
pemerintah. Meskipun Undang-Undang Pers mengatakan bahwa semua wartawan harus menjadi
anggota PWI, beberapa wartawan memilih tidak ikut. Menyusul penutupan tiga penerbitan pada 1994,
sekitar 80 wartawan membentuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai alternatif terhadap serikat
milik pemerintah itu. Sebuah tindakan keras pemerintah pada Maret 1995 menyeret tiga anggota AJI
ke penjara dengan tuduhan “menyebarkan kebencian”. Mereka dibebaskan tahun lalu (lihat Bagian
2.a.). Meskipun ada tekanan terhadap penerbit yang mempekerjakan anggota AJI, pemerintah
membiarkan AJI tetap ada secara tidak resmi.

Karena peraturan Departemen Tenaga Kerja yang lama, banyak unit SPSI unit pabrik dipimpin oleh
orang yang kredibilitasnya rendah di mata para anggotanya karena mereka dipilih oleh majikan.
Sebuah peraturan tahun 1995 menyatakan bahwa pekerja harus memberi tahu majikan mereka jika

40
mereka ingin membentuk serikat pekerja dan bahwa mereka boleh melaksanakannya jika dalam waktu
dua minggu majikan tidak memberi tanggapan. Meskipun ada ketentuan demikian, selalu terjadi
pemogokan jika majikan berusaha menghalangi pembentukan cabang serikat pekerja. Pemogokan ini
biasanya membawa hasil dan pembentukan sebuah unit SPSI terjadi tak lama kemudian. Tetapi
pekerja yang aktif dalam pembentukan serikat pekerja biasanya dipecat dan tidak mendapat
perlindungan baik dari hukum maupun kebiasaan pemerintah

Pegawai negeri dilarang menjadi anggota serikat pekerja dan harus menjadi anggota KORPRI, sebuah
organisasi non-serikat pekerja yang dewan pimpinan pusatnya diketuai Menteri Dalam Negeri. Semua
karyawan BUMN, siapa saja yang bekerja dalam badan usaha yang 5 persen sahamnya atau lebih
dikuasai pemerintah, biasanya wajib menjadi anggota KORPRI, tapi hanya sejumlah kecil BUMN
mempunyai unit SPSI. Guru harus menjadi anggota PGRI. Walaupun secara teknis PGRI adalah
serikat pekerja, PGRI terus berfungsi hanya sebagai organisasi kesejahteraan dan tidak terlibat dalam
kegiatan serikat pekerja seperti dalam tawar-menawar kolektif. Iuran wajib bagi KORPRI dan PGRI
dipotongkan langsung dari gaji guru.

Serikat pekerja boleh menyusun AD/ART sendiri dan memilih wakil mereka. Tapi pemerintah
mempunyai pengaruh terhadap SPSI dan federasi serikat pekerjanya. Ketua SPSI dan banyak anggota
Dewan Pimpinannya juga menjadi anggota GOLKAR dan organisasi-organisasi anaknya. Orang-orang
ini diberi kedudukan dalam federasi serikat pekerja industri. Menteri Tenaga Kerja adalah anggota
Dewan Pembina SPSI.

Pemerintah mengumumkan pada akhir 1995 keinginanya untuk melunakkan peraturan tentang
kewajiban mendapatkan persetujuan polisi untuk mengadakan pertemuan bagi lima orang atau lebih
oleh semua jenis organisasi di luar kantor atau tempat kerja (lihat Bagian 2.b.). Tapi dalam praktek
peraturan ini terus diterapkan pada pertemuan serikat pekerja. Izin terus diberikan kepada SPSI, tapi
tidak pernah kepada organisasi saingannya seperti SBSI.

Pada 1994 Konfederasi Serikat Pekerja Bebas Internasional mengajukan pengduan resmi terhadap
Indonesia ke Organisasai Buruh Internasional, ILO. Mereka menuduh pemerintah menolak hak
pekerja untuk membentuk serikat pekerja atas pilihan mereka sendiri, mengganggu organisasi pekerja
independen, dan melakukan tindakan yang bertentangan dengan standar ILO mengenai kebebasan
berserikat dan hak untuk tawar-menawar kolektif. Pada bulan November Komisi ILO mengaku
menerima balasan dari pemerintah Indonesia atas permintaan mereka, tapi tetap mengatakan bahwa
mereka “sangat prihatin” atas “berbagai pelanggaran serius dan makin buruk pada hak asasi manusia
dan hak berserikat”. Komisi itu mendesak pemerintah Indonesia agar menghapus hambatan pada
pendaftaran serikat pekerja, termasuk SBSI, melakukan suatu penyelidikan hukum yang bebas atas
pembunuhan Marsinah, membatalkan tuntutan pidana terhadap Pakpahan dan membebaskannya, serta
menyediakan informasi tentang kasus-kasus lain.”

Meskipun Pancasila menganjurkan penyelesaian masalah pekerja-majikan melalui mufakat, semua


pekerja terorganisir, kecuali pegawai negeri, mempunyai hak untuk mogok. Para pekerja BUMN dan
guru jarang menggunakan hak ini, tapi pemogokan di sektor swasta sering terjadi. Sebelum

41
pemogokan dilakukan secara sah di sektor swasta, undang-undang mewajibkan dilakukannya
penengahan intensif oleh Departemen Tenaga Kerja dan pemberitahuan terlebih dulu tentang niat
untuk mogok. Tapi persetujuan tidak diperlukan. Undang-undang Ketenagakerjaan yang disahkan
bulan September tapi belum diberlakukan memperbolehkan pemogokan hanya jika suatu sengketa
industri tidak dapat diselesaikan oleh pihak-pihak yang terlibat atau melalui proses penyelesaian
sengketa industri. Undang-undang menyatakan bahwa buruh yang mogok wajib dibayar hanya kalau
mereka mogok untuk menuntut tunjangan yang ditentukan oleh undang-undang, peraturan,
persetujuan tawar-menawar kolektif, atau peraturan perusahaan.

Dalam praktek, prosedur penyelesaian sengketa jarang diikuti, dan pemberitahuan resmi mengenai niat
untuk mogok jarang diberikan karena prosedur Departemen Tenaga Kerja sangat lambat dan
kredibilitas mereka di mata pekerja rendah. Maka, pemogokan tiba-tiba cenderung muncul karena
keluhan berkepanjangan atau karena tunjangan atau hak yang diatur menurut undang-undang tidak
dipenuhi. Menurut data Departemen Tenaga Kerja, selama 11 bulan pertama tahun lalu terjadi 226
kali pemogokan yang melibatkan 141.968 pekerja, suatu penurunan besar dibanding tahun 1996. Tapi
pada 1997 pemerintah hanya menganggap sebagai pemogokan kalau pekerja mogok kerja setidaknya
selama satu hari, sedangkan unjuk rasa yang lebih pendek, yang lebih sering terjadi, tidak dicatat
secara resmi oleh pemerintah selama 1997. Dalam informasi yang diberikan kepada Komisi Penerapan
Konvensi dan Rekomendasi ILO, pemerintah melaporkan bahwa selama 1996 terjadi 890 pemogokan
yang melibatkan 500.000 pekerja. LSM percaya bahwa jumlah pemogokan dan pekerja yang ikut lebih
tinggi dari itu. Pemusatan pemogok terbesar terjadi menyusul pelaksanaan upah pekerja minimum
bulan April dan melibatkan puluhan ribu pekerja. Sebuah pemogokan terbesar yang melibatkan 40.000
pekerja terjadi di sebuah pabrik rokok di Jawa Timur di bulan November. Empat buah pemogokan
selama tahun itu kabarnya mengakibatkan kerusakan pabrik-pabrik.

SPSI melakukan kontak internasional tapi satu-satunya afiliasi serikat pekerja internasional SPSI
sebagai suatu federasi hanyalah dalam Dewan Serikat Pekerja ASEAN. Beberapa serikat pekerja
sektoral dalam SPSI menjadi anggota sejumlah sekretariat serikat pekerja internasional.

b. Hak Untuk Berserikat dan Tawar-Menawar Kolektif

Tawar-menawar kolektif dilindungi undang-undang, dan Departemen Tenaga Kerja mendorongnya


dalam konteks ideologi negara, Pancasila. Sampai 1994 hanya serikat pekerja yang diakui saja -- SPSI
dan unsur-unsurnya -- yang boleh terlibat secara hukum dalam tawar-menawar kolektif. Sejak awal
1994, peraturan pemerintah juga mengizinkan serikat pekerja tingkat pabrik untuk menandatangani
perjanjian yang mengikat secara hukum dengan majikan, dan sampai akhir tahun 1996 sebanyak 732
sudah melakukan hal itu. Persetujuan yang ditandatangani oleh kelompok lain tidak dianggap
mengikat secara hukum dan tidak didaftarkan pada Departemen Tenaga Kerja. Begitu diberitahu
bahwa 25 pekerjanya telah mendaftar di SPSI atau serikat pekerja tingkat pabrik, majikan wajib
berunding dengan mereka.

Di perusahaan yang tidak ada serikat pekerjanya, pemerintah tidak mendorong pekerja untuk mencari
bantuan dari luar pemerintah, misalnya dalam konsultasi dengan majikan mengenai peraturan

42
perusahaan. Sebaliknya, Departemen Tenaga Kerja lebih suka jika pekerja meminta bantuan darinya
dan percaya bahwa peranan departemen itu adalah untuk melindungi pekerja. Ada laporan yang dapat
dipercaya bahwa bagi banyak perusahaan, konsultasi hanya bersifat asal-asalan saja dan biasanya
dilakukan dengan pekerja yang dipilih oleh pihak manajemen; ada juga laporan yang dapat dipercaya
tentang hal yang sebaliknya di perusahaan asing. Menurut angka pemerintah, kira-kira 80 persen unit
SPSI tingkat pabrik mempunyai persetujuan tawar-menawar kolektif . Setinggi apa tingkat kebebasan
persetujuan ini dirundingkan antara serikat pekerja dengan pengurus tanpa campur tangan pemerintah
bervariasi. Menurut peraturan, perundingan harus diselesaikan dalam waktu 30 hari atau diserahkan
kepada Departemen Tenaga Kerja untuk ditengahi, dirujukkan atau diputuskan. Sebagian besar
perundingan itu diselesaikan dalam kurun waktu 30 hari. Persetujuan itu berlaku selama dua tahun dan
dapat diperpanjang satu tahun lagi. Undang-Undang Ketenagakerjaan baru, yang diharapkan berlaku
pada akhir 1998, tidak merinci batas waktu perundingan tapi mewajibkan serikat buruh yang
merundingkan kontrak mendapat dukungan mayoritas pekerja dalam perusahaan bersangkutan.

Menurut sejumlah LSM yang terlibat dalam isu perburuhan, dalam praktek sekarang ketentuan
mengenai persetujuan tawar-menawar kolektif jarang berkaitan dengan isu di luar standar minimum
sah yang ditetapkan pemerintah, dan persetujuan itu sering hanya disodorkan kepada wakil pekerja
untuk ditandatangani ketimbang untuk dirundingkan. SPSI menyatakan pada bulan September bahwa
dari 23.525 persetujuan tawar-menawar kolektif yang ditandatangani antara majikan dan pekerja,
10.776 di antaranya adalah persetujuan “imitasi” belaka karena dibuat di perusahaan-perusahaan yang
tidak mempunyai serikat pekerja. Meskipun peraturan pemerintah melarang majikan untuk
mendiskriminasikan atau mengganggu pekerja yang menjadi anggota perserikatan, ada laporan yang
dapat dipercaya dari para pejabat serikat pekerja tentang hukuman oleh majikan terhadap pekerja yang
membentuk serikat pekerja, termasuk pemecatan, yang dalam prakteknya tidak dicegah atau diatasi
dengan efektif. Beberapa majikan konon sudah memperingatkan pekerja mereka agar tidak
berhubungan dengan pengorganisir serikat pekerja dari SBSI yang tidak diakui itu. Tuduhan
diskriminasi anti-serikat pekerja ditangani oleh komisi penyelesaian sengketa majikan-pekerja tingkat
regional atau nasional, dan keputusan mereka dapat dimintakan banding ke PTUN. Bulan September
PTUN mencabut keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Perburuan nasional yang memerintahkan
Hong Kong Bank agar mempekerjakan kembali ke-166 karyawannya yang melakukan pemogokan,
meskipun peraturan pemerintah melarang pemecatan pekerja hanya karena mereka mogok atau
melakukan jenis lain kegiatan serikat pekerja. Keputusan demikian membuat banyak anggota serikat
pekerja menyimpulkan bahwa komisi penyelesaian sengketa pada umumnya berpihak pada majikan.
Akibatnya, pekerja sering menyampaikan keluhan mereka langsung kepada Komnas HAM, DPR, dan
LSM. Keputusan administrasi yang memihak pada buruh yang dipecat cenderung berupa pembayaran
uang saja; mereka jarang dipekerjakan kembali. Undang-undang mewajibkan majikan untuk
mendapatkan persetujuan dari komisi penyelesaian sengketa perburuhan sebelum memecat pekerja,
tapi undang-undang ini dalam prakteknya sering diabaikan. Undang-undang Ketenagakerjaan yang
baru, yang akan berlaku pada akhir 1998, hanya mewajiban majikan untuk berkonsultasi dengan
pekerja dan serikat pekerja mereka tentang maksud untuk melakukan pemutusan hubungan kerja.

Dalam komentarnya terhadap diskriminasi anti-serikat pekerja dan pembatasan atas hak untuk
berserikat dan tawar-menawar kolektif, laporan Komisi Penerapan Konvensi dan Rekomendasi ILO

43
bulan Juni “mengamati dengan keprihatinan mendalam bahwa perbedaan antara Konvensi di satu pihak
dan perundang-undangan serta praktek nasional di pihak lain telah berjalan selama bertahun-tahun.”
Komisi juga mengamati bahwa “pemerintah tidak memberi cukup bukti tentang kesediaan untuk taat”
pada ketentuan dalam Konvensi 98 ILO, “karena pemerintah belum pernah meminta bantuan teknis
dalam kaitan ini.” Komisi menyatakan keprihatinan yang mendalam atas situasi ini dan meminta
pemerintah agar segera mengubah perundang-undangan dan melaporkan upaya-upaya yang diambil
atau dipertimbangkan dalam kaitan ini. Komisi mendesak pemerintah untuk menjamin penghormatan
penuh atas kebebasan sipil yang sangat penting bagi pelaksanaan Konvensi itu secara penuh.

Pada 1 Juni 1996, Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan sebuah peraturan baru yang mengizinkan
serikat pekerja berafiliasi dengan SPSI untuk menarik iuran serikat pekerja langsung melalui sistem
checkoff (pemotongan), ketimbang Departemen Tenaga Kerja yang menarik iuran itu dan
mengirimkannya ke SPSI. Pelaksanaan sistem ini selama tahun lalu tidak merata. Beberapa unit
serikat SPSI di tempat kerja melaporkan bahwa mereka menerima iuran yang ditarik lewat sistem
checkoff itu dari para majikan mereka. Unit-unit tempat kerja lain melaporkan bahwa perusahaan
mereka menolak untuk memberikan iuran itu kepada serikat pekerja dan terus mendepositkan iuran itu
di rekening Departemen Tenaga Kerja. Para pejabat departemen mengatakan bahwa departemen
menginstrusikan kantor-kantor wilayahnya agar menutup rekening yang semula dipakai untuk iuran
serikat sekerja, tapi menurut laporan dari berbagai wilayah, tidak semua kanwil melaksanakan instruksi
tersebut. Para pejabat serikat pekerja di markas SPSI mengatakan bahwa tidak semua cabang serikat
pekerja itu mengirimkan sebagian dari iuran yang sudah ditarik ke kantor wilayah maupun kantor pusat
sebagaimana diatur dalam peraturan SPSI.

Polisi, begitu pula pihak militer, terus terlibat dalam masalah ketenagakerjaan, meskipun Menteri
Tenaga Kerja pada 1994 sudah mencabut sebuah peraturan tahun 1986 yang mengizinkan militer
campur tangan dalam pemogokan dan aksi buruh lainnya. Sebuah keputusan tahun 1990 yang
memberi BAKORSTANAS wewenang untuk campur tangan dalam pemogokan demi stabilitas politik
dan sosial masih tetap berlaku. Para pengamat serikat buruh dan LSM mencatat adanya suatu
pergeseran selama 2 atau 3 tahun terakhir dari campur tangan dan unjuk kekuatan terbuka oleh tentara
berseragam ke tindakan-tindakan yang kurang mencolok. Para aktivis serikat pekerja mengeluh bahwa
baik polisi maupun militer setempat mengganggu dan kadang-kadang menahan pemimpin serikat buruh
serta menyita bahan-bahan dari kantor mereka tanpa surat perintah. Selain itu, polisi sering
menghalangi atau membubarkan pertemuan antara tokoh serikat buruh dengan wakil dan pekerja
LSM, terutama pertemuan yang diadakan oleh SBSI. Akan tetapi, bentuk yang paling umum
keterlibatan militer dalam masalah buruh, menurut para wakil serikat pekerja dan LSM, adalah pola
lama kolusi antara polisi/militer dan majikan, yang biasanya berbentuk intimidasi terhadap pekerja oleh
personil keamanan berpakaian preman. Majikan dan wakil serikat pekerja pun mengeluhkan tentang
“biaya siluman”, korupsi, yang menurut perkiraan mereka dan orang lain mencapai 30 persen dari
pengeluaran perusahaan.

Undang-undang dan praktek perburuhan sama saja di kawasan proses ekspor (pelabuhan) sebagaimana
di bagian lain negara ini.

44
c. Larangan Kerja Paksa atau Kerja Wajib

Undang-undang melarang kerja paksa dan pemerintah biasanya menjalankannya. Pemerintah melarang
kerja paksa dan terikat pada anak-anak, tapi tidak selalu menjalankannya dengan efektif. Ada sejumlah
laporan yang dapat dipercaya bahwa beberapa ribu anak-anak dipaksa untuk bekerja di bagan-bagan
ikan di lepas pantai timur Sumatra Utara dalam kondisi kerja seperti budak. Sebagian besar mereka
diambil dari masyarakat petani, dan begitu mereka tiba di lokasi kerja beberapa kilometer di lepas
pantai, mereka benar-benar seperti tahanan dan tidak boleh pergi selama setidaknya tiga bulan sampai
pengganti mereka dapat diperoleh. Anak-anak itu mendapatkan upah sekitar $17 sampai $32 sebulan,
jauh di bawah upah minimum regional. Mereka hidup terasing di laut, bekerja 12 sampai 20 jam
sehari, sering dalam kondisi yang berbahaya, dan tidur di tempat kerja tanpa fasilitas kebersihan. Ada
laporan mengenai gangguan fisik, verbal, dan seksual terhadap anak-anak.

Ada sejumlah laporan bahwa militer memaksa penduduk desa melakukan kerja tanpa bayar di Irian
Jaya; pihak militer membantah laporan itu (lihat Bagian 2.d.).

d. Status Praktek Pekerja Anak-Anak dan Upah Pekerja Minimum

Buruh anak-anak ada baik di kota maupun di desa, dan di sektor formal maupun non-formal. Menurut
laporan 1995 dari Biro Pusat Statistik Indonesia, 4 persen dari anak-anak berumur 10 sampai 14 tahun
bekerja penuh waktu, dan 4 persen lagi bekerja paruh waktu sambil bersekolah. Survei angkatan kerja
pemerintah tahun 1994 melaporkan bahwa 2,08 juta anak-anak berumur 10 sampai 14 masuk dalam
angkatan kerja, tapi banyak pengamat percaya bahwa angka itu jauh lebih kecil karena dokumen yang
menunjukkan usia mereka mudah dipalsukan, dan karena anak di bawah 10 tidak disertakan.

Indonesia adalah salah satu negara pertama yang dipilih untuk ikut dalam Program Penghapusan
Pekerja Anak-anak Internasional (IPEC) di bawah ILO, dan negara itu menandatangani nota
kesepakatan dengan ILO pada 1992 untuk memimpin kerja sama di bawah program ini. Pemerintah
dan ILO menandatangani sebuah nota kesepakatan lain tentang pekerja anak-anak bulan Maret tahun
lalu untuk “memajukan persyaratan yang akan memungkinkan pemerintah melindungi pekerja anak-
anak dan secara progresif melarang, membatasi, dan mengatur pekerja anak-anak dengan tujuan akhir
menghapuskannya.” Meskipun ILO telah mensponsori program latihan bagi para pemeriksa bidang
masalah pekerja anak-anak di bawah program IPEC, pelaksanaannya tetap lemah.

Pemerintah mengakui adanya golongan anak-anak yang harus bekerja karena alasan sosial- ekonomi,
dan pada 1987 Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan sebuah peraturan, “Perlindungan bagi Anak-anak
Yang Terpaksa Bekerja”. Peraturan ini mengizinkan pengerjaan anak-anak di bawah 14 tahun yang
harus bekerja untuk membantu pendapatan keluarga mereka. Peraturan ini juga mewajibkan adanya
izin orang tua, melarang pekerjaan yang berbahaya dan berat, membatasi lama kerja 4 jam sehari, dan
mewajibkan majikan melaporkan jumlah anak-anak yang bekerja di bawah ketentuan ini. Namun
peraturan ini tidak menetapkan usia minimum untuk anak-anak dalam kategori ini, yang secara efektif
menggantikan ordinansi pemerintah kolonial 17 Desember 1925 tentang “Upaya Membatasi Buruh
Anak-anak dan Kerja Malam bagi Wanita” yang masih berlaku sebagai undang-undang sampai

45
sekarang tentang buruh anak-anak dan yang menetapkan batas usia minimum kerja 12 tahun.
Peraturan tahun 1987 tidak diberlakukan. Belum ada majikan yang diajukan ke pengadilan karena
melanggar peraturan itu tentang sifat pekerjaan anak-anak, dan belum ada laporan yang dikumpulkan
dari perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan anak-anak.

Undang-Undang No. 1 tahun 1951 dimaksudkan untuk melaksanakan upaya perburuhan tertentu,
termasuk ketentuan mengenai pekerja anak-anak yang akan menggantikan perundang-undangan tahun
1925 itu. Namun peraturan pelaksanaan untuk ketentuan pekerja anak-anak belum pernah
dikeluarkan. Maka ketentuan pekerja anak-anak tahun 1951 itu masih belum sah. Pemerintah
melarang kerja paksa dan terikat bagi anak-anak, tapi tidak melaksanakan larangan ini secara efektif
(lihat Bagian 6.c.)

Undang-undang Ketenagakerjaan yang baru, yang akan berlaku pada 1 Oktober 1998, melarang
majikan menyewa anak-anak di bawah umur 15 tahun, namun mereka boleh mempekerjakan anak-
anak yang terpaksa bekerja karena alasan ekonomi. Undang-undang yang baru ini menggantikan
larangan serupa dalam peraturan tahun 1987 mengenai mempekerjakan anak-anak Undang-undang ini
juga menyatakan bahwa remaja (usia antara 15 dan 17) tidak boleh bekerja pada jam-jam tertentu di
malam hari, di bawah tanah, di pertambangan, atau di tempat kerja yang bisa memberi dampak negatif
terhadap moral, misalnya tempat hiburan.

Menurut data ketenagakerjaan pemerintah, kebanyakan pekerja anak-anak bekerja di sektor pertanian,
meskipun jumlah pekerja anak-anak di kota-kota telah meningkat secara berarti sebagai akibat
urbanisasi. Anak-anak lebih banyak bekerja di sektor informal daripada di sektor formal. Di sektor
formal pekerjaan anak-anak cenderung ada di garis batas antara ekonomi formal dan informal, seperti
bersama-sama dengan orang tua mereka di industri rumah tangga dan di perkebunan, di toko milik
keluarga atau pabrik kecil, terutama pabrik yang merupakan “satelit” dari industri besar. Ada juga
anak-anak yang bekerja di industri besar meskipun jumlahnya tidak diketahui, terutama karena
dokumen yang membuktikan usia mereka mudah dipalsukan. Di sektor informal, mereka menjadi
tukang koran, tukang semir, tukang parkir, atau cara lain untuk mendapatkan uang. Banyak anak-
anak bekerja di lingkungan yang berbahaya seperti menjadi pemulung dan tukang sampah, atau di
bagan-bagan ikan dan kapal nelayan. Banyak pembantu rumah tangga adalah wanita di bawah usia 15
tahun. Meskipun angka yang tepat tidak tersedia, diperkirakan jumlah pembantu rumah tangga anak-
anak mencapai 1,5 juta. Sebuah survei yang dilakukan pada 1995 mengungkapkan bahwa jam kerja
anak-anak ini panjang, gaji mereka kecil dan mereka sering tidak sadar akan hak mereka dan sering
jauh dari keluarga.

Sebuah undang-undang 1994 menaikkan lama wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun, tapi undang-
undang itu belum sepenuhnya dilaksanakan karena tidak memadainya fasilitas sekolah serta karena
kurangnya sumber daya keuangan keluarga untuk menunjang anak-anak tetap bersekolah.

Sejumlah majikan mempekerjakan anak-anak karena mereka lebih mudah diatur daripada orang
dewasa, dan cenderung tidak membentuk serikat pekerja atau mengajukan tuntutan kepada majikan.
Anak-anak yang bekerja di pabrik biasanya bekerja sama lamanya dengan orang dewasa. Anak-anak

46
bekerja antara lain di industri rotan dan perabotan rumah tangga, industri pakaian, industri sepatu,
pengolahan makanan, dan pabrik mainan anak-anak.

e. Kondisi Kerja Yang Dapat Diterima

Tidak ada upah minimum nasional. Sebaliknya, dewan penetap upah wilayah yang bekerja di bawah
arahan Dewan Upah Nasional menetapkan upah minimum per wilayah dan angka kebutuhan dasar
untuk setiap provinsi -- jumlah uang yang dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sandang,
pangan dan perumahan seorang pekerja. Pemerintah sudah menaikkan upah minimum rata-rata sampai
70 persen (disesuaikan dengan inflasi) selama lebih dari 5 tahun terakhir. Setelah kenaikan terakhir
pada bulan April, yang rata-rata 10 persen secara nasional, upah minimum menjadi setara dengan 95
persen dari “kebutuhan hidup minimum” yang ditentukan pemerintah. Di Jakarta, upah minimum yang
sekitar 70 dolar (Rp 175.000) sebulan pada waktu diberlakukan karena jatuhnya nilai rupiah telah
turun menjadi hanya sekitar 30 dollar pada akhir tahun. Kenaikan tambahan diharapkan pada awal
1998.

Tidak ada data yang dapat dipercaya mengenai jumlah majikan yang membayarkan paling tidak upah
minimum. Para pengamat independen memperkirakan antara 30 dan 60 persen. Pelaksanaan upah
minimum dan peraturan ketenagakerjaan lainnya tetap kurang, dan sanksi sangat ringan, meskipun
undang-undang ketenagakerjaan yang baru, yang akan mulai berlaku Oktober 1998, menaikkan denda
karena tidak membayar upah minimum dari Rp 100.000 (sekitar 30 dollar pada waktu disahkan dan 18
dollar pada akhir tahun) menjadi Rp 200.000.000 (60.000 dollar pada waktu disahkan dan 36.000
dollar pada akhir tahun). Selama setahun, menurut angka pemerintah, 464 perusahaan mengajukan
permohonan pembekuan dari kenaikan itu dengan alasan bahwa mereka bisa bangkrut, dan 276 dari
pemohon itu mendapat persetujuan untuk tidak membayarkan atau menunda upah baru tersebut.

Undang-undang dan peraturan Menteri Tenaga Kerja menyebutkan berbagai tunjangan lain untuk para
pekerja, misalnya tunjangan sosial, dan pekeja di fasilitas yang lebih modern sering menerima
tunjangan kesehatan, makan gratis, serta transportasi. Undang-undang menetapkan 7 atau 8 jam kerja
sehari, 40 jam seminggu dengan waktu istirahat 30 menit untuk setiap empat jam kerja. Undang-
undang itu juga mewajibkan satu hari libur seminggu. Upah lembur harian adalah 1 ½ kali upah satu
jam yang normal untuk satu jam pertama, dan 2 kali upah per jam untuk jam berikutnya. Peraturan itu
memungkinkan majikan menyimpang dari jam kerja yang normal setelah mengajukan permohonan
kepada Menteri Tenaga Kerja dan atas persetujuan pekerja. Pekerja di industri yang membuat barang
eceran untuk eskpor sering bekerja lembur untuk memenuhi kuota kontrak. Pelaksanaan tunjangan
dan standar kerja yang ditentukan undang-undang bervariasi dari sektor satu ke yang lain dan menurut
daerah. Pelanggaran oleh majikan atas kewajiban yang legal itu biasa dan sering mengakibatkan
pemogokan dan protes pekerja. Departemen Tenaga Kerja terus secara terbuka mendesak majikan
untuk mematuhi undang-undang. Selama tahun lalu, pemerintah menyelidiki 31 perusahaan atas
pelanggaran undang-undang perburuhan, 13 di antaranya diajukan ke pengadilan, dan 6 dari kasus ini
berakhir dengan hukuman penjara bagi manajenen perusahaan dan 6 lagi dengan denda. Akan tetapi
pada umumnya pelaksanaan dan pengawasan atas standar perburuhan oleh pemerintah tetap lemah.

47
Baik undang-undang maupun peraturan menyediakan standar minimum atas kesehatan dan
keselamatan kerja. Bulan Januari pemerintah mengumumkan sebuah sistem manajemen keselamatan
dan kesehatan kerja di mana sebuah perusahaan dengan 100 pekerja dapat memperoleh pengakuan
publik atas kepatuhan mereka pada standar kesehatan dan keselamatan dengan mengikuti prosedur
audit keselamatan kerja. Di sektor minyak yang umumnya dikelola dengan model Barat, program
keselamatan dan kesehatan kerja berjalan cukup baik. Tetapi di 100.000 perusahaan besar yang
terdaftar di negara ini di luar sektor minyak, kualitas program kesehatan dan keselamatan kerjanya
sangat bervariasi. Pelaksanaan standar keselamatan dan kesehatan kerja sangat terhambat oleh
kurangnya pemeriksa yang berkualitas dari Departemen Tenaga Kerja serta oleh rendahnya perhatian
pekerja pada praktek keselamatan dan kesehatan kerja. Tuduhan korupsi yang dilakukan oleh para
pemeriksa adalah biasa. Pekerja wajib melaporkan kondisi kerja yang berbahaya. Majikan dilarang
oleh undang-undang melakukan pembalasan terhadap mereka yang melaporkannya, tapi undang-
undang itu tidak dilaksanakan secara efektif.

48

You might also like