Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Dengan jumlah migran masuk sebanyak 196.586 jiwa serta migran keluar
sebanyak 19.530 jiwa pada tahun 20001 dan diperkirakan jumlah ini semakin
meningkat setiap tahunnya karena komoditi pendidikan pada daerah – daerah
perkotaan dan pariwisata yang besar. Seiring dengan pertambahan penduduk
imigran maka akan semakin banyak adaptasi kebudayaan kedua belah pihak yang
terjadi. Di sinilah letak permasalahan mengenai kultur adaptasi masyarakat
perkotaan yang ingin saya ketahui. Bagaimana adaptasi pergaulan masyarakat di
Yogyakarta ternyata bercermin pada pergaulan masyarakat perkotaan lainnya.
e. Apa saja bentuk – bentuk adaptasi pergaulan liberal pada khususnya remaja
hingga dewasa (17 – 25 tahun) di masyarakat kota di Yogyakarta ?
f. Sejauh mana institusi sosial meredam adaptasi kultur yang mengarah pada
poros negatif ?
Makalah ini disusun guna memberikan gambaran serta pemahama riil dan
teoritis mengenai permasalahan culture lag, culture shock hingga culture adaptation
yang terjadi dalam permasalahan kebudayaan masyarakat kota dari esensi
keterikatan norma dan nilai serta perkembangan norma dan nilai yang ada dalam
masyarakat kota di Yogyakarta.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Riesman menunjukkan salah satu tipe pokok dari tingkahlaku kepribadian yaitu
kepribadian yang berorientasi ke luar yaitu orang – oran lain (other - directed) sesuai
dengan lingkungannya. Tipe ini menjelaskan bagaimana manusia mengikuti massa,
bagaimana ia mengoper norma tingkah laku dari sesamanya yang sewaktu. Disitu
3
pula ditelaah seberapa jauh suatu lingkungan fisik materiil dari kota dapat
mempengaruhi kepribadian penduduk kota yang bersangkutan.2 Cliffort Geertz
mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleksitas kreatifitas manusia meliputi
pengetahuan, kepercayaan, nilai moral, hukum adat istiadat yang diperoleh manusia
dalam perkembangannya
BAB 3
METODOLOGI PENULISAN
2
Daldjoeni, N., (1978), Seluk beluk masyarakat kota (Pusparagam sosiologi kota), hal.44
4
Makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengantar maupun acuan
literatur sebagai pedoman pemahaman mengenai masalah perkotaan yaitu
perkembangan transisi kebudayaan menuju liberalisasi kebudayaan pada
masyarakat kota di Yogyakarta.
a. Studi literatur :
5
BAB 4
ANALISIS HASIL PENELITIAN
Anonimitas
Heterogenitas
Tergantung spesialisasi
6
Banyak fasilitas lembaga
• Dengan kepercayaan diri kultural semacam itu, bangsa kita akanam berbagai
hal seperti diungkapkan Kevin Lynch dalam bukunya “The Image of City” kota
terbentuk dari lima gambaran fisik yatiu pathways, district, edges, landmarks, dan
nodes.
Besarnya peranan kelomp mampu untuk menerima serta memilah hal-hal baik
dari berbagai kebudayaan luar tanpa harus kehilangan akar budaya nusantaranya
dan tanpa harus menjadi objek pasif dari kebudayaan luar tersebut. Secara harfiah,
civil society itu sendiri adalah terjemahan dari istilah Latin, civilis societas, yang
dipakai oleh Cicero (106-43 S.M), yang pengertiannya mengacu kepada gejala
budaya perorangan dan masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah
masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar
pengaturan hidup. Adanya hukum yang mengatur pergaulan antar individu menandai
keberadaban suatu jenis masyarakat tersendiri. Masyarakat seperti itu, di zaman
dahulu adalah masyarakat yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota
penghuninyatelah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain bentuk hukum sipil
(civil law) sebagai dasar dan yang mengatur kehidupan bersama. Bahkan bisa pula
dikatakan bahwa proses pembentukan masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya
membentuk masyarakat kota.
"Karakter masyarakat Yogyakarta saat ini sangat heterogen, dan ini membawa
konsekuensi semakin lunturnya tradisi itu, sehingga ada sebagian masyarakat yang
bersikap acuh tak acuh terhadap keberadaan keraton," kata dia.
7
"Tidak sedikit masyarakat yang mematuhi perintah atau petunjuk dari keraton
seperti harus memasak sayur tertentu maupun berdoa agar terhindar atau selamat
dari bencana," katanya.
Selain itu, menurut dia, sampai sekarang pun masyarakat masih banyak
mengabdikan diri dan bekerja sebagai `abdi dalem` Keraton Yogyakarta, meskipun
gaji mereka sangat kecil. "Abdi keraton saat ini masih banyak, meski gaji mereka
sangat kecil, mereka tetap setia dan berharap mendapatkan berkah dari keraton,"
kata Bakdi Sumanto.
Begitu pula dengan dunia pendidikan dan kesenian, kata dia di dalamnya
masih tetap berpegang pada budaya adiluhung dari Keraton Yogyakarta.
3
www.antaranews.com dengan fokus Keraton Yogyakarta Tak Pernah Kering dari Nilai
Luhur oleh Masduki Attamami, Senin, 12 Maret 2007
8
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur
sosial. M. Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat
dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang
bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa
keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota
kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi,
kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa
macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti
keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita
juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas,
keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.
Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang
berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan
negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk
organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka
capai sendiri. Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan
melakukan kontak dengan kebudayaan asing.
Contoh saja organisasi antar teman bermain yang saya temui di restoran pizza
“Nanamia”, mereka terdiri dari 4 orang wanita dan 1 orang pria yang saling bertukar
pikiran. Kelimanya merupakan teman bermain sejak beberapa tahun lalu yang
memiliki interest yang sama dalam fashion. Dalam perbincangan mereka saya dapat
menangkap rambu – rambu liberalis, mereka mebicarakan fashion hingga kehidupan
pribadi yang saya anggap masih tabu untuk salaing disharing-kan dengan teman
bermain. Inilah contoh bagaimana bias pergaulan di era globalisasi yang semakin
melunturkan norma dan nilai. Bagaimana dalam masyarakat perkotaan komunitas
semacam ini memberi gambaran baru bahwa sesungguhnya diferensiasi liberalis
mempunyai sarananya sendiri.
4.2 Kebudayaan
c. Artefak
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-
benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan.
Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
10
Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa
disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan
dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-
kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras,
etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender.
2. Pembuktian Invensi
4. Resiko perubahan
11
Ideologi dan nilai sebagai pendorong perubahan, perspektif idealis
memandangnya sebagai sumber perubahan. Ideologi mampu menyebabkan
perubahan paling tidak melalui tiga cara yang berbeda, yaitu :
Dalam perspeksi teoritik dari Gideon Sjoberg saya mengambil 3 teori yang
saya anggap dominan dalam proses perubahan budaya pergaualan dalam
masyarakat perkotaan yakni :
1. paham urbanisme yaitu urbanisme adalah way of life yang diwarnai oleh
sekularisasi ,hubungan-hubungan sekunder, asosiasi sukarela, pembagian
peranan yang semakin meningkat, melemahnya norma – norma social.
2. Paham kompleks ekologis memililki empat komponen: lingkungan
(environment), populasi (population), organisasi social (social organization),
teknologi (technology). Empat komponen saling brkaitan, perubahan yang
satu mengakibatkan terjadinya perubahan pada yang lain.
3. Paham orientasi nilai nilai – nilai sosio – cultural merupakan faktor
determinasi, khususnya yang menyangkut struktur masyarakat kota dan pola
penggunaan lahan.
13
bersamaan dijalani pula dengan keterlibatan budaya, material, dan psikologis
dengan masyarakat di negara lain.
Efek domino dari pentradisian budaya baru dalam diri generasi muda adalah
munculnya berbagai bentuk pola hidup konsumtif, hedonistis materialistis dan
snobistis. Manifestasi keempat pola ini terlihat dari peniruan terhadap mode pakaian
terbaru, pemakaian aksesoris-aksesoris serba mewah dan mencolok, kegemaran
menikmati barang-barang bagus yang serba menggiurkan dan peniruan gaya (lain)
tanpa malu-malu. Acap kali peniruan tersebut dilakukan secara berlebihan dan lebih
merupakan sebuah ajang pamer diri atau ajang demonstratif dari pada pencerminan
ekspresi diri yang sesungguhnya. Orang ikut arus tanpa memahami dan menyadari
alasan pantas untuk melakukannya. Mentalitas ini secara tidak lansung
mendewakan perubahan sosial dan melecehkan eksistensi kebudayaan asli.
Kaum muda adalah pionir yang menghadirkan gaya hidup gaul dalam kancah
kultural negeri ini. Mengapa? Hal tersebut dapat dilihat dari faktor-faktor berikut:
Pertama, secara psikologis kaum muda masih sangat labil. Kaum muda berciri
dinamik, penuh emosi dan sangat meluap-luap. Jiwa muda berada dalam situasi
strum und drang yakni situasi ‘topan dan nafsu’. Sigmund Freud sebagai mana
dikutip Errickson mengomentari bahwa pada masa ini kaum muda sedang
mengalami krisis identitas; Situasi krisis dalam mencari identitas dirinya. Mereka
tengah bergulat untuk mencapai sebuah identitas diri ideal; yang mampu
mendongkrak popularitasnya. Oleh karena itu gaya gaul dianggap sebagai opsi yang
tepat. Kedua, orang muda bertumbuh dalam kondisi jurang pembedaan generasi
(generation gap) dalam hubungan relasionalnya dengan orang tua. Penilaian dan
harapan generasi terdahulu yang diembankan ke atas pundak mereka dirasakan
sebagai sebuah hal yang membebankan. Kecenderungan umum di kalangan muda
bahwa di balik pandangan ideal orang tua tersebut bercokol tuntutan yang tak kalah
kuatnya yaitu rasa kesebayaan. Oleh karena itu kaum muda gemar mencari suaka
perlindungan dari teman-teman sebayanya.
• Pergaulan Ke-bebas-an
4
GAUL MELANDA GENERASI MUDA: POTRET SEBUAH ALIENASI BUDAYA? oleh: Johanes B.
K. Soro, STFK Ledalero
14
Perkembangan peradaban dunia pada era globalisasi dan teknologi informasi
mengantarkan semua manusia untuk memahami budaya berbagai bangsa. Benturan
antarbudaya, persamaan dan penyatuan di antara mereka tidak bisa lagi dihindari.
Itulah wajah masyarakat multikultural. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang
istimewa dibandingkan makhluk yang lain karena ia memiliki akal. Dengan akal ini
manusia bisa berbudaya dan mengembangkan potensinya sebagai suatu individu
yang memiliki ciri khas untuk berinteraksi dengan individu lain dalam lingkungan
sosial. Dengan kata lain manusia adalah makhluk individu, sosial, dan sekaligus
makhluk budaya yang dapat hidup dan berkembang di masyarakat. Mungkin tema
pergaulan yang kini marak diperbincangkan menjadi hal yang biasa untuk beberapa
kalangan di masyarakat.
Pergaulan apa yang sedang terjadi di masyarakat kota saat ini merupakan
cerminan dari adopsi – adopsi gaya berpikir liberal (free thinker), remaja merasa
punya hak untuk berpikir tanpa dibatasi oleh norma-norma agama. Ketika pornoaksi
dan pornografi yang mudah ditemui ,masyarakat mulai mengkonsumsinya tanpa
peduli dengan nilai dan norma yang sudah mereka simpangkan asalkan terpuaskan.
Saat ini, pergaulan bebas antar lawan jenis yang banyak digandrungi remaja sangat
mudah terkontaminasi unsur cinta dan seks. Kurangnya kontrol dari orangtua,
sekolah, atau masyarakat bikin mereka enjoy berpetualang menikmati kepuasan
sesaat, menurut data dari BKKBN, sekitar 40 hingga 45% remaja Indonesia sudah
melakukan seks pranikah (Sumber: Gatra Online).
Di kampus telah diketahui bahwa manusia selalu memerlukan orang lain untuk
berinteraksi dan membina hubungan. Namun, hubungan yang dibina haruslah
sesuai dengan kaidah dan aturan-aturan yang ada, agar hasrat manusia untuk
bergaul tidak kebablasan, apalagi sampai melakukan hubungan seks diluar nikah.
Menurut Dr.Soares pergaulan bebas adalah salah satu kebutuhan hidup dari
makhluk manusia sebab manusia adalah makhluk sosial yang dalam kesehariannya
15
membutuhkan orang lain, dan hubungan antar manusia dibina melalui suatu
pergaulan (interpersonal relationship).
“Dalam mengikuti perkembangan jaman ini, gue lebih suka bersikap liberal aja,
toh hidup di negara demokratis. Lingkungan disekeliling gue telah banyak memberi
angin segar untuk menikmati hidup. Dan tentunya gue bisa menyusun sendiri cara
kehidupan gue khususnya dalam pergaulan gue. Karena dasarnya pergaulan adalah
salah satu wujud dari demokratisasi. Lagian gue sadar, gue ada disekeliling
peradaban kota jadi gue yakin orang-orang sekarang udah nyantai dengan
kenakalan remaja, walaupun tetap harus dicegah. Jadi, ngga ada salahnya gue
melakukan cara pergaulan gue sendiri, yang penting gue ngga ngerugiin orang lain,
karena gue masih sadar hukum.”5 Dalam pernyataan ini jelas bahwa dalam
masyarakat perkotaan memang terkandung unsur individual dengan kontrol
sekunder.
Pergaulan juga adalah HAM setiap individu dan itu harus dibebaskan, sehingga
setiap manusia tidak tidak boleh dibatasi dalam pergaulan, apalagi dengan
melakukan diskriminasi, sebab hal itu melanggar HAM. Jadi pergaulan antar
manusia harusnya bebas, tetapi tetap mematuhi norma hukum, norma agama,
norma budaya, serta norma bermasyarakat. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1978
tentang dilarangnya menjajakan diri di jalan, bercumbu, berciuman. Perda ini telah
menggambarkan bagaimana pemerintah mengupayakan suatu order social disela
merebaknya budaya western.
a. Globalisasi
Perlu dilihat secara bertimbal balik. Untuk itu ada 2 pandangan yaitu apakah
media massa membentuk (moulder) atau mempengaruhi masyarakat, ataukah
sebaliknya sebagai cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh realitas masyarakat.
Dua landasan ini menjadi titik tolak dari bangunan epistemogis dalam kajian
media massa, yang mencakup ranah pengetahuan mengenai hubungan antara
masyarakat nyata (real) dengan media, antara media dengan masyarakat cyber,
dan antara masyarakat real dengan masyarakat cyber secara bertimbal-balik.
17
Pandangan pertama, bahwa media membentuk masyarakat bertolak dari
landasan bersifat pragmatis sosial dengan teori stimulus – respons dalam
behaviorisme. Teori media dalam landasan positivisme ini pun tidak bersifat
mutlak, konsep mengenai pengaruh media massa terdiri atas 3 varian, pertama:
menimbulkan peniruan langsung (copy-cut), kedua: menyebabkan ketumpulan
terhadap norma (desensitisation), dan ketiga: terbebas dari tekanan psikis
(catharsis) bagi khalayak media massa.
Situasi global saat ini tidak saja ditandai oleh krisis cadangan energi tapi
krisis dalam keseluruhan tata kehidupan. Suatu krisis ekosferis. Profil krisis
tersebut terimplisit dalam sinyalemen krisis nilai, krisis konseptual atau
ketidaksepakatan tentang hidup yang baik dan erosi kredibilitas. Kaum muda
terjebak dalam situasi penuh krisis ini. Generasi muda tumbuh di saat merosotnya
dasar-dasar kepercayaan lama. Suatu gambaran yang meresahkan. Keresahan
lainnya muncul karena kecenderungan instingtuil untuk bergaya hidup hedon alias
asal nikmat. Konsekuensi lanjutnya mereka terperangkap dalam gaya hidup
materialistis yang mengutamakan materi di atas segala-galanya, akibat arus
sekulerisasi yang mana dalam proses – proses bidang hidup dan berpikir tercabut
dari pengawasan agama dan filsafat. Dalam sekulerisasi budaya tergabunglah
desakralisasi dan rasionalisasi ningga di situ pandangan dunia religius tak lagi
mewujudkan sumber berpikir pada manusia.
7
(info@dibudpar-diy.go.id)
8
Perspektif dalam Psikologi Sosial, Hasan Mustafa
19
4.4.3 Solusi Memberantas Pergaulan Liberal
BAB 5
PENUTUP
9
http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2006/8/11/f1.htm
20
tentang pembentukan mental kompetitor yang dibutuhkan kota. Secara garis besar
lingkungan mengubah individu (teori durkheim). Norma yang dibutuhkan manusia
saat ini adalah norma yang pro terhadap kepuasaan individu, norma sosial yang
ditanamkan pada diri individu sesaat akan punah saat doktrinisasi eksternal
berkembang.
Trend pergaulan liberal menggiring masuk kaum muda dan dewasa dalam
peng-’acuh’-an nilai-nilai yang sudah terstruktur dalam masyarakat. Dalam konteks
pergaulan liberal tidak mengherankan jika anak muda tidak lagi mengenal tradisi
atau adat-istiadatnya. Bawaan lama membesar-besarkan nama leluhur dan adat
tradisional terkubur gengsi yang meremehkan setiap modul warisan leluhur
21
DAFTAR LITERATUR
Daldjoeni, N., (1978), Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota),
Bandung : Alumni
Lubus, Mochtar, (1985), Transformasi Budaya untuk Masa Depan, Jakarta :Inti Idayu
Press
Taufik, A., (ed.), (1982) Pemuda dan Perubahan Sosial, Jakarta: LP3S
22