You are on page 1of 22

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bersumber pada keresahan golongan orang tua tentang perkembangan


sosial budaya anak cucu mereka tentang pergaulan era globalisasi sekarang ini
ternyata menjadikan berbagai macam kritisasi dalam peranan internal dan eksternal
terhadapa terciptanya kebudayaan liberal di masyarakat Yogyakarta.

Lebih mengacu pada peran teknologi dan kependudukan, menjadikan


Yogyakarta sebagai salah satu kota dengan masyarakat majemuk tertinggi di
Indonesia. Potensi – potensi pariwisata, fasilitas kehidupan meliputi fasilitas
pendidikan yang sangat memadai, kesehatan, transportasi dan hiburan memberikan
impuls tersendiri terhadap masyarakat luar Yogyakarta untuk merasakan kehidupan
di Yogyakarta yang dinamis.

Dengan jumlah migran masuk sebanyak 196.586 jiwa serta migran keluar
sebanyak 19.530 jiwa pada tahun 20001 dan diperkirakan jumlah ini semakin
meningkat setiap tahunnya karena komoditi pendidikan pada daerah – daerah
perkotaan dan pariwisata yang besar. Seiring dengan pertambahan penduduk
imigran maka akan semakin banyak adaptasi kebudayaan kedua belah pihak yang
terjadi. Di sinilah letak permasalahan mengenai kultur adaptasi masyarakat
perkotaan yang ingin saya ketahui. Bagaimana adaptasi pergaulan masyarakat di
Yogyakarta ternyata bercermin pada pergaulan masyarakat perkotaan lainnya.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana keadaan masyarakat kota di Yogyakarta sebelum dan sesudah


adanya akulturasi kebudayaan ?

b. Bagaimana relevansi teori kebudayaan menyikapi perubahan kebudayaan


yang terjadi di Yogyakarta ?

c. Bagaimana relevansi teori perkotaan menyikapi perubahan kebudayaan yang


terjadi di Yogyakarta ?
1
Data BPS Urbanisai dan Migrasi tahun 2000, hal. 99
1
d. Persoalan apa yang timbul setelah adanya perubahan budaya tradisional ke
liberal ?

e. Apa saja bentuk – bentuk adaptasi pergaulan liberal pada khususnya remaja
hingga dewasa (17 – 25 tahun) di masyarakat kota di Yogyakarta ?

f. Sejauh mana institusi sosial meredam adaptasi kultur yang mengarah pada
poros negatif ?

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini disusun guna memberikan gambaran serta pemahama riil dan
teoritis mengenai permasalahan culture lag, culture shock hingga culture adaptation
yang terjadi dalam permasalahan kebudayaan masyarakat kota dari esensi
keterikatan norma dan nilai serta perkembangan norma dan nilai yang ada dalam
masyarakat kota di Yogyakarta.

Selanjutnya bagaimana teori – teori sosiologi kebudayaan, perkotaan hingga


modernisasi menjadikan relevansi terhadap proses perubahan kebudayaan dan
sosial di masyarakat perkotaan.

Disamping itu dengan sudah terjadinya proses – proses perubahan sosial


kebudayaan ini tentunya kita dapat menarik kebijaksanaan dalam kehidupan sosial
terutama bagaimana menyikapi interaksi pergaulan masyarakat kota bagi golongan
remaja hingga dewasa (17 – 25 tahun) di Yogyakarta.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Perspektif struktural memusatkan perhatian pada proses sosialisasi, yaitu


proses di mana perilaku kita dibentuk oleh peran yang beraneka ragam dan selalu
berubah, yang dirancang oleh masyarakat kita. Perspektif interaksionis memusatkan
perhatiannya pada proses interaksi yang mempengaruhi perilaku sosial kita.
Perbedaan utama di antara kedua perspektif adalah pada pihak mana yang
berpengaruh paling besar terhadap pembentukan perilaku. Kaum strukturalis
cenderung meletakan struktur sosial (makro) sebagai determinan perilaku sosial
individu, sedangkan kaum interaksionis lebih memandang individu (mikro)
merupakan agen yang aktif dalam membentuk perilakunya sendiri.

Riesman menunjukkan salah satu tipe pokok dari tingkahlaku kepribadian yaitu
kepribadian yang berorientasi ke luar yaitu orang – oran lain (other - directed) sesuai
dengan lingkungannya. Tipe ini menjelaskan bagaimana manusia mengikuti massa,
bagaimana ia mengoper norma tingkah laku dari sesamanya yang sewaktu. Disitu
3
pula ditelaah seberapa jauh suatu lingkungan fisik materiil dari kota dapat
mempengaruhi kepribadian penduduk kota yang bersangkutan.2 Cliffort Geertz
mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleksitas kreatifitas manusia meliputi
pengetahuan, kepercayaan, nilai moral, hukum adat istiadat yang diperoleh manusia
dalam perkembangannya

Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan


penyebab dari perubahan.

BAB 3
METODOLOGI PENULISAN

3.1 TUJUAN KHUSUS PENULISAN

2
Daldjoeni, N., (1978), Seluk beluk masyarakat kota (Pusparagam sosiologi kota), hal.44
4
Makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengantar maupun acuan
literatur sebagai pedoman pemahaman mengenai masalah perkotaan yaitu
perkembangan transisi kebudayaan menuju liberalisasi kebudayaan pada
masyarakat kota di Yogyakarta.

3.2 METODE PENGUMPULAN DATA

a. Studi literatur :

• Studi kepustakaan :meninjau beberapa fakta mengenai permasalahan


dengan menggunakan daftar bacaan dalam bentuk buku, makalah,
paper, dan jurnal

• Studi e-learning :meninjau beberapa fakta mengenai permasalahan


dengan menggunakan daftar bacaan dalam informasi yang
ditawarkan dalam situs website dalam bentuk soft copy

b. Wawancara : teknik pengambilan data dengan melakukan


percakapan untuk suatu tujuan.

c.Observasi : teknik pengambilan data yang dilakukan dengan proses


pengamatan secara tertutup atau terbuka dan peneliti tidak pernah
mengungkapkan tujuan penelitian mereka maupun identitasnya

5
BAB 4
ANALISIS HASIL PENELITIAN

4.1 Kota dan Masyarakat kota


Kota adalah “Hippodamus” dalam ‘prinsip empat sudut dan jalan-jalan lebar’
dalam perencanaan kota Yunani menjelaskan bahwa kota adalah kelompok rumah-
rumah di daerah permukiman serta gabungan dari berbagai bagian kota yang
terpusat di sekitar pasar ke dalam suatu rangkaian yang harmonis. Sebuah atau
sekelompok permukiman yang dikatakan menjadi elemen pembentuk kota dapat
juga dipersepsikan sebagai ‘bukan’ kota dari segi morfologis tertentu, melainkan
dilihat dari suatu fungsi khusus yaitu apakah permukiman tersebut merupakan suatu
penyusun suatu wilayah dan menciptakan ruang-ruang efektif melalui
pengorganisasian yang lebih besar. Fungsi utama sebuah kota seperti yang
dituliskan oleh Kamal Saleh, 1979, dalam kertas kerjanya “Urban Development in
Malaysia” menjelaskan kota adalah suatu kawasan yang memiliki enam fasilitas
penting, yaitu fasilitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur dasar (seperti jalan dan
transportasi), jaringau utilitas pokok (seperti air dan listrik), perumahan, perniagaan
dan fasilitas umum (seperti ruang serbaguna dan tempat peribadatan). Faktanya
keenam unsur tersebut sangat jelas ditunjukkan pada area Tugu, yang penuh
dengan berbagai konsentrasi dalam banyak hal baik dalam lingkup permukiman
ataupun aktivitas yang terjadi. Pada dasarnya kota memiliki berbagai kesamaan
dalok sekunder

Anonimitas

Heterogenitas

Mobilitas social tinggi

Tergantung spesialisasi

Lebih pada hubungan kepentingan daripada kedaerahan

6
Banyak fasilitas lembaga

Banyak mengubah lingkungan

• Dengan kepercayaan diri kultural semacam itu, bangsa kita akanam berbagai
hal seperti diungkapkan Kevin Lynch dalam bukunya “The Image of City” kota
terbentuk dari lima gambaran fisik yatiu pathways, district, edges, landmarks, dan
nodes.

Ciri – ciri masyarakat kota menurut Horton & Hunt :

Besarnya peranan kelomp mampu untuk menerima serta memilah hal-hal baik
dari berbagai kebudayaan luar tanpa harus kehilangan akar budaya nusantaranya
dan tanpa harus menjadi objek pasif dari kebudayaan luar tersebut. Secara harfiah,
civil society itu sendiri adalah terjemahan dari istilah Latin, civilis societas, yang
dipakai oleh Cicero (106-43 S.M), yang pengertiannya mengacu kepada gejala
budaya perorangan dan masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah
masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar
pengaturan hidup. Adanya hukum yang mengatur pergaulan antar individu menandai
keberadaban suatu jenis masyarakat tersendiri. Masyarakat seperti itu, di zaman
dahulu adalah masyarakat yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota
penghuninyatelah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain bentuk hukum sipil
(civil law) sebagai dasar dan yang mengatur kehidupan bersama. Bahkan bisa pula
dikatakan bahwa proses pembentukan masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya
membentuk masyarakat kota.

4.1.1 Deskripsi Masyarakat Asli Yogyakarta, menurut

Sri Sultan Hamengku Buwono IX

"Karakter masyarakat Yogyakarta saat ini sangat heterogen, dan ini membawa
konsekuensi semakin lunturnya tradisi itu, sehingga ada sebagian masyarakat yang
bersikap acuh tak acuh terhadap keberadaan keraton," kata dia.

Ia mengatakan masyarakat asli Yogyakarta sampai sekarang masih


mempercayai spiritualitas keraton sebagai pelindung dalam menghadapi berbagai
bencana yang terjadi seperti erupsi Gunung Merapi, banjir, angin topan maupun
gempa bumi seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.

7
"Tidak sedikit masyarakat yang mematuhi perintah atau petunjuk dari keraton
seperti harus memasak sayur tertentu maupun berdoa agar terhindar atau selamat
dari bencana," katanya.

Spiritualitas tersebut juga ditunjukkan masyarakat dengan masih melakukan


ritual `topo bisu mubeng beteng` (berjalan kaki mengelilingi benteng keraton dengan
tidak mengeluarkan sepatah katapun) pada malam menjelang tanggal 1 Suro.

"Tradisi semacam itu masih banyak dilakukan masyarakat termasuk saat


`grebeg sekaten` atau `grebeg` lainnya. Bahkan mereka berebut `gunungan` yang
dipercaya membawa berkah," kata dia.

Selain itu, menurut dia, sampai sekarang pun masyarakat masih banyak
mengabdikan diri dan bekerja sebagai `abdi dalem` Keraton Yogyakarta, meskipun
gaji mereka sangat kecil. "Abdi keraton saat ini masih banyak, meski gaji mereka
sangat kecil, mereka tetap setia dan berharap mendapatkan berkah dari keraton,"
kata Bakdi Sumanto.

Secara terpisah, Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi)


Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Jiono mengatakan,
beberapa waktu lalu masyarakat memang seperti tergiur pengaruh budaya barat,
tetapi sekarang mulai melestarikan kembali budaya luhur dari Keraton Yogyakarta.

"Masyarakat mulai kembali menerapkan nilai luhur Keraton Yogyakarta, baik


dalam kehidupan sehari-hari maupun secara simbolik dalam ritual tertentu," katanya.

Ia menyebutkan seperti di Bantul, tata krama masih sangat dijunjung tinggi


masyarakat, salah satunya dengan `mengejawantahkan` (memakai dengan sepenuh
hati) bahasa Jawa dalam pergaulan atau keseharian mereka.

Begitu pula dengan dunia pendidikan dan kesenian, kata dia di dalamnya
masih tetap berpegang pada budaya adiluhung dari Keraton Yogyakarta.

Kata Jiono, Bantul yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian


sebagai petani, tetap menggunakan ajaran keraton mulai dari proses awal hingga
mendapat hasil dari pertaniannya.

"Seperti yang sudah diajarkan secara turun-temurun, masyarakat masih


menaati penanaman padi dengan memberi `sedekah` (membuat semacam kenduri)
sebagai ungkapan terimakasih kepada Tuhan," kata dia.3

4.1.2 Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial

3
www.antaranews.com dengan fokus Keraton Yogyakarta Tak Pernah Kering dari Nilai
Luhur oleh Masduki Attamami, Senin, 12 Maret 2007
8
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur
sosial. M. Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat
dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang
bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa
keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota
kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi,
kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa
macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti
keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita
juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas,
keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.

Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang
berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan
negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk
organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka
capai sendiri. Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan
melakukan kontak dengan kebudayaan asing.

Termasuk di dalamnya komunitas independent masyarakat perkotaan telah


memberikan ruang tersendiri untuk para anggotanya untuk bebas beraspirasi
menurut gaya-nya sendiri yang terkadang tidak berpatok terhadapa nilai dan norma
yang berlaku di masyarakat tradisonal Jawa pada umumnya.

Contoh saja organisasi antar teman bermain yang saya temui di restoran pizza
“Nanamia”, mereka terdiri dari 4 orang wanita dan 1 orang pria yang saling bertukar
pikiran. Kelimanya merupakan teman bermain sejak beberapa tahun lalu yang
memiliki interest yang sama dalam fashion. Dalam perbincangan mereka saya dapat
menangkap rambu – rambu liberalis, mereka mebicarakan fashion hingga kehidupan
pribadi yang saya anggap masih tabu untuk salaing disharing-kan dengan teman
bermain. Inilah contoh bagaimana bias pergaulan di era globalisasi yang semakin
melunturkan norma dan nilai. Bagaimana dalam masyarakat perkotaan komunitas
semacam ini memberi gambaran baru bahwa sesungguhnya diferensiasi liberalis
mempunyai sarananya sendiri.

4.2 Kebudayaan

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan,


aktivitas, dan artefak.
9
a. Gagasan
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya
yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud
kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran
warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan
mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu
berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga
masyarakat tersebut.
b. Aktivitas

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari


manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan
sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia
yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan
manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan
dapat diamati dan didokumentasikan.

c. Artefak
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-
benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan.
Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

Menurut Cliffort Geertz mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleksitas


kreatifitas manusia meliputi pengetahuan, kepercayaan, nilai moral, hukum adat
istiadat yang diperoleh manusia dalam perkembangannya. Penekanan Geertz disini
adalah kebudayaan masyarakat diperoleh dalam perkembangannya. Dengan
demikian kebudayaan dapat berubah sesuai perkembangan manusia.

4.3 Perubahan Sosial Budaya


Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial
dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan
gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu
terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin
mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia
sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

10
Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa
disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan
dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-
kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras,
etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender.

Proses Perubahan Sosial menurut William F. Ogburn, Alfin Toffler :

1. Discovery / Penemuan adlh persepsi manusia yg dianut secara


bersama,mengenai aspek kenyataan yang semula sdh ada.

2. Invensi / Pengembangan dari pengetahuan yg sdh ada.Terbagi 2 : Invensi


material (teknologi) & sosial (abjad,pemerintahan, perusahaan dsb)

3. Difusi / Penyebaran unsur2 budaya dari suatu klompok keklompok


lainnya.Didalam atau antar masyarakat.Difusi mrpkn proses selektif dan
karenanya setiap unsur budaya memiliki prinsip,bentuk, fungsi, dan makna
tersendiri.

Penolakan dan Penerimaan Perubahan Sosial (Spicer : 1952, hal.18)

Perubahan akan ditolak jika:

1. Perubahan dipaksakan pihak lain

2. Perubahan itu tdk dipahami

3. Perubahan dinilai sebagai ancaman terhadap nilai – nilai penduduk

Perubahan akan diterima tergantung :

1. Sikap dan nilai-nilai khusus

2. Pembuktian Invensi

3. Kesesuaian dengan budaya yang berlaku

4. Resiko perubahan

11
Ideologi dan nilai sebagai pendorong perubahan, perspektif idealis
memandangnya sebagai sumber perubahan. Ideologi mampu menyebabkan
perubahan paling tidak melalui tiga cara yang berbeda, yaitu :

1. Ideologi dapat melegitimasi keinginan untuk melakukan perubahan.

2. Ideologi mampu menjadi dasar solidaritas sosial yang dibutuhkan untuk


melakukan perubahan.

3. Ideologi dapat menyebabkan perubahan melalui menyoroti perbedaan dan


permasalahan yang ada pada masyarakat.

Modernisasi sendiri dapat diartikan sebagai turunan perspektif idealis, yang


memandang pembangunan ekonomi perlu diawali dengan perubahan budaya
tradisional menuju budaya modern.

Dalam perspeksi teoritik dari Gideon Sjoberg saya mengambil 3 teori yang
saya anggap dominan dalam proses perubahan budaya pergaualan dalam
masyarakat perkotaan yakni :

1. paham urbanisme yaitu urbanisme adalah way of life yang diwarnai oleh
sekularisasi ,hubungan-hubungan sekunder, asosiasi sukarela, pembagian
peranan yang semakin meningkat, melemahnya norma – norma social.
2. Paham kompleks ekologis memililki empat komponen: lingkungan
(environment), populasi (population), organisasi social (social organization),
teknologi (technology). Empat komponen saling brkaitan, perubahan yang
satu mengakibatkan terjadinya perubahan pada yang lain.
3. Paham orientasi nilai nilai – nilai sosio – cultural merupakan faktor
determinasi, khususnya yang menyangkut struktur masyarakat kota dan pola
penggunaan lahan.

Dalam perkembangannya kota selalu menjadi destinasi utama individu


sebagai tempat aktualisasi diri. Maka tidak ayal kota merupakan tempat pertemuan
antar masyarakat sebagai kelompok imigran. Namun kebanyakan masyarakat kota
kurang peduli terhadap masalah imigrasi maupun orang yang terkandung
didalamnya. Namun masyarakat kota rasional biasanya melakukan interaksi atau
menjalin hubungan sosial atas dasar profesionalitas semata tergantung pada tingkat
pertukaran yang diharapkan. Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika
berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan
12
asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan
kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang
datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar
budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.

a. Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi


kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi
satu dan saling bekerja sama.
b. Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh
Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat
menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa
bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.
c. Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan
kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.
d. Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan
kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing
dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.

4.4 Pergaulan Liberal pada Masyarakat Perkotaan

4.4.1 Fenomena Pergaulan Generasi Muda pada


Masyarakat Kota

Ward dan Thomas sudah mengajukan pendapat bahwa sumber kepincangan


sosial terletak pada kegagalan manusia dalam mengejar keinginannya, sehingga
memunculkan ketidaktenangan rasa dan kesalahan adaptasi sehingga terjadi social
pathology. Fenomena “pergaulan” dikonotasikan sebagai sebuah model, pola atau
gaya hidup yang cenderung mengarah pada budaya kosmopolitan. Budaya
kosmopolitan merupakan sebuah bentuk budaya yang dikarakterisasikan oleh
mentalitas perkotaan (urban mentality) yakni mentalitas yang memiliki
kecenderungan bergaya hidup mewah, materialistis, konsumtif dan hedonistis. Lebih
jauh pergaulan modern menarik interest individu akan “produk-produk” yang
dihasilkan kemajuan jaman. Segala sesuatu bernuansa baru diminati sementara
yang telah lama ada dianggap kolot, usang dan ketinggalan jaman. Fenomena
pergaulan semacam ini merupakan reaksi terhadap pengaruh perkembangan jaman.
Selanjutnya kita makin larut dalam fenomena kosmopolitan yang kerap kita sebut
globalisasi di mana kehidupan yang kita jalani sebagai warga suatu negara secara

13
bersamaan dijalani pula dengan keterlibatan budaya, material, dan psikologis
dengan masyarakat di negara lain.

Fenomena pergaulan modern memiliki tiga wujud kebudayaan seperti yang


dipaparkan di atas. Gaul merupakan sebuah aktifitas kreatif (habit of doing) yang
berasal dari ide-ide (habit of thinking) demi pe-‘mekar’-an relasi. Pergaulan ini
menciptakan fenomena baru dalam masyarakat yang dapat dipahami sebagai hasil
aktivitas kreatif (artifact) tersebut. Setiap pergaulan memiliki seperangkat “norma”
tertentu yang dipaparkan sebagai karakteristik anggotanya.4

Efek domino dari pentradisian budaya baru dalam diri generasi muda adalah
munculnya berbagai bentuk pola hidup konsumtif, hedonistis materialistis dan
snobistis. Manifestasi keempat pola ini terlihat dari peniruan terhadap mode pakaian
terbaru, pemakaian aksesoris-aksesoris serba mewah dan mencolok, kegemaran
menikmati barang-barang bagus yang serba menggiurkan dan peniruan gaya (lain)
tanpa malu-malu. Acap kali peniruan tersebut dilakukan secara berlebihan dan lebih
merupakan sebuah ajang pamer diri atau ajang demonstratif dari pada pencerminan
ekspresi diri yang sesungguhnya. Orang ikut arus tanpa memahami dan menyadari
alasan pantas untuk melakukannya. Mentalitas ini secara tidak lansung
mendewakan perubahan sosial dan melecehkan eksistensi kebudayaan asli.

Kaum muda adalah pionir yang menghadirkan gaya hidup gaul dalam kancah
kultural negeri ini. Mengapa? Hal tersebut dapat dilihat dari faktor-faktor berikut:
Pertama, secara psikologis kaum muda masih sangat labil. Kaum muda berciri
dinamik, penuh emosi dan sangat meluap-luap. Jiwa muda berada dalam situasi
strum und drang yakni situasi ‘topan dan nafsu’. Sigmund Freud sebagai mana
dikutip Errickson mengomentari bahwa pada masa ini kaum muda sedang
mengalami krisis identitas; Situasi krisis dalam mencari identitas dirinya. Mereka
tengah bergulat untuk mencapai sebuah identitas diri ideal; yang mampu
mendongkrak popularitasnya. Oleh karena itu gaya gaul dianggap sebagai opsi yang
tepat. Kedua, orang muda bertumbuh dalam kondisi jurang pembedaan generasi
(generation gap) dalam hubungan relasionalnya dengan orang tua. Penilaian dan
harapan generasi terdahulu yang diembankan ke atas pundak mereka dirasakan
sebagai sebuah hal yang membebankan. Kecenderungan umum di kalangan muda
bahwa di balik pandangan ideal orang tua tersebut bercokol tuntutan yang tak kalah
kuatnya yaitu rasa kesebayaan. Oleh karena itu kaum muda gemar mencari suaka
perlindungan dari teman-teman sebayanya.

• Pergaulan Ke-bebas-an

4
GAUL MELANDA GENERASI MUDA: POTRET SEBUAH ALIENASI BUDAYA? oleh: Johanes B.
K. Soro, STFK Ledalero
14
Perkembangan peradaban dunia pada era globalisasi dan teknologi informasi
mengantarkan semua manusia untuk memahami budaya berbagai bangsa. Benturan
antarbudaya, persamaan dan penyatuan di antara mereka tidak bisa lagi dihindari.
Itulah wajah masyarakat multikultural. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang
istimewa dibandingkan makhluk yang lain karena ia memiliki akal. Dengan akal ini
manusia bisa berbudaya dan mengembangkan potensinya sebagai suatu individu
yang memiliki ciri khas untuk berinteraksi dengan individu lain dalam lingkungan
sosial. Dengan kata lain manusia adalah makhluk individu, sosial, dan sekaligus
makhluk budaya yang dapat hidup dan berkembang di masyarakat. Mungkin tema
pergaulan yang kini marak diperbincangkan menjadi hal yang biasa untuk beberapa
kalangan di masyarakat.

Pergaulan apa yang sedang terjadi di masyarakat kota saat ini merupakan
cerminan dari adopsi – adopsi gaya berpikir liberal (free thinker), remaja merasa
punya hak untuk berpikir tanpa dibatasi oleh norma-norma agama. Ketika pornoaksi
dan pornografi yang mudah ditemui ,masyarakat mulai mengkonsumsinya tanpa
peduli dengan nilai dan norma yang sudah mereka simpangkan asalkan terpuaskan.
Saat ini, pergaulan bebas antar lawan jenis yang banyak digandrungi remaja sangat
mudah terkontaminasi unsur cinta dan seks. Kurangnya kontrol dari orangtua,
sekolah, atau masyarakat bikin mereka enjoy berpetualang menikmati kepuasan
sesaat, menurut data dari BKKBN, sekitar 40 hingga 45% remaja Indonesia sudah
melakukan seks pranikah (Sumber: Gatra Online).

Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang monodualisme alias


dwitunggal. Secara kodrati manusia mempunyai kemampuan berkehendak sebagai
diri sendiri yang pada akhirnya manusia menjadi makhluk yang individual. Tetapi
pada saat yang bersamaan pemenuhan berbagai macam tuntutan manusia sebagai
individu tidak dapat lepas dari faktor eksternal yng berup individu-individu lain. Hal
inilah yang mendorong berpadu dan bekerjasamanya manusia-manusia individualis
dalam suatu komunitas, yaitu komunitas sosial. Pergaulan bebas di kampus
dianggap sebuah hal yang biasa yang menjadi trend masa kini. Tentu saja hal ini
tidak dapat dibenarkan sama sekali. Di sini lingkungan turut berperan serta dalam
membentuk individu yang melakukan pergaulan bebas. Jadi, bisa dikatakan bahwa
segala kehidupan di masyarakat adalah realisasi dari hasrat manusia. Manusia
bermasyarakat, karena ia telah biasa mendapat bantuan yang berfaedah yang
diterimanya sejak kecil dari lingkungannya. Tegasnya, manusia telah merasakan
manisnya hidup bermasyarakat, sehingga ia tidak mau keluar lagi dari lingkungan
masyarakat yang telah memberikan bantuan yang bermanfaat baginya.

Di kampus telah diketahui bahwa manusia selalu memerlukan orang lain untuk
berinteraksi dan membina hubungan. Namun, hubungan yang dibina haruslah
sesuai dengan kaidah dan aturan-aturan yang ada, agar hasrat manusia untuk
bergaul tidak kebablasan, apalagi sampai melakukan hubungan seks diluar nikah.
Menurut Dr.Soares pergaulan bebas adalah salah satu kebutuhan hidup dari
makhluk manusia sebab manusia adalah makhluk sosial yang dalam kesehariannya
15
membutuhkan orang lain, dan hubungan antar manusia dibina melalui suatu
pergaulan (interpersonal relationship).

“Dalam mengikuti perkembangan jaman ini, gue lebih suka bersikap liberal aja,
toh hidup di negara demokratis. Lingkungan disekeliling gue telah banyak memberi
angin segar untuk menikmati hidup. Dan tentunya gue bisa menyusun sendiri cara
kehidupan gue khususnya dalam pergaulan gue. Karena dasarnya pergaulan adalah
salah satu wujud dari demokratisasi. Lagian gue sadar, gue ada disekeliling
peradaban kota jadi gue yakin orang-orang sekarang udah nyantai dengan
kenakalan remaja, walaupun tetap harus dicegah. Jadi, ngga ada salahnya gue
melakukan cara pergaulan gue sendiri, yang penting gue ngga ngerugiin orang lain,
karena gue masih sadar hukum.”5 Dalam pernyataan ini jelas bahwa dalam
masyarakat perkotaan memang terkandung unsur individual dengan kontrol
sekunder.

Pergaulan juga adalah HAM setiap individu dan itu harus dibebaskan, sehingga
setiap manusia tidak tidak boleh dibatasi dalam pergaulan, apalagi dengan
melakukan diskriminasi, sebab hal itu melanggar HAM. Jadi pergaulan antar
manusia harusnya bebas, tetapi tetap mematuhi norma hukum, norma agama,
norma budaya, serta norma bermasyarakat. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1978
tentang dilarangnya menjajakan diri di jalan, bercumbu, berciuman. Perda ini telah
menggambarkan bagaimana pemerintah mengupayakan suatu order social disela
merebaknya budaya western.

4.4.2 Penyebab Munculnya Trend Pergaulan Liberal


dalam Masyarakat Perkotaan

a. Globalisasi

Globalisasi membuat ketidakpastian semua hal. Budaya dipengaruhi oleh


segi ekonomi. Globalisasi juga akan mengakibatkan perubahan dalam aspek sosial
budaya. Pergaulan antarbangsa dalam era globalisasi ini menyebabkan terjadinya
interaksi dan persentuhan nilainilai budaya di antara berbagai bangsa yang
beraneka ragam yang tidak bisa dihindari. Melalui interaksi tersebut akan terbuka
peluang untuk saling menyerap nilai-nilai budaya asing antara satu dengan yang
lainnya, sehingga terjadi proses adaptasi nilai-nilai budaya yang dibawa oleh
masing-masing bangsa. Adaptasi budaya asing tersebut bisa bermakna negatif dan
positif sekaligus. Ia akan bermakna negatif bilamana masyarakat Indonesia hanya
menyerap nilai-nilai budaya asing yang tidak selaras dengan nilai-nilai budaya
bangsa sendiri. Kecenderungan sikap materialistik, konsumeristik, hedonistik,
5
Pernyataan dari seorang mahasiswa FEB UGM yang menjadi narasumber wawancara
saya dalam menyikapi pola pergaulan liberal di perkotaan, 13 Juni 2009
16
individualistik, atau sekularistik adalah contoh yang negatif. Untuk menghadapinya,
kita perlu memperkuat jati diri sebagai bangsa dan memperkukuh etika dan
landasan moralitas masyarakat. Di pihak lain, adaptasi juga bisa bermakna positif
bila mendorong masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mengejar kemajuan.
Misalnya etos kerja, semangat berkompetisi, sikap kemandirian, disiplin,
penghargaan terhadap waktu dan sebagainya.

b. Kemajuan IPTEK di bidang Telekomunikasi

Factum ad miranda est, sebuah kenyataan yang patut dibanggakan bahwa


dunia kini sedang mengalami kemajuan yang teramat pesat. Kemajuan dan
kemutakhiran IPTEK mendominasi pangsa peradaban dunia memungkinkan
terciptanya situasi kondusif dalam berkomunikasi lintas batas. Jarak bukan lagi
kendala berkomunikasi. Di pelosok manapun dan situasi apapun komunikasi
dapat tercipta. Pengaruh kemajuan di bidang telekomunikasi memacu minat
masyarakat untuk menjalin relasi komunikatif. Fenomena gaul dapat dilihat dari
konteks ini. Situasi serba mudah ini membuat anak muda yang menggauli sarana
telekomunikasi berpeluang menjajaki dunia ‘gaul’.

c. Pengaruh media masa

Pesan-pesan yang ditawarkan media masa sangat mempengaruhi


mentalitas dan pola hidup masyarakat Muncul gejala snobisme masyarakat yang
condong mengikuti gaya tertentu tanpa malu-malu. Kaum muda rentan terhadap
gejala snobisme ini agar diterima dalam lingkup pergaulan yang luas. Tak segan
kaum muda meniru gaya yang sedang trend dan yang disajikan media massa.

Perlu dilihat secara bertimbal balik. Untuk itu ada 2 pandangan yaitu apakah
media massa membentuk (moulder) atau mempengaruhi masyarakat, ataukah
sebaliknya sebagai cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh realitas masyarakat.
Dua landasan ini menjadi titik tolak dari bangunan epistemogis dalam kajian
media massa, yang mencakup ranah pengetahuan mengenai hubungan antara
masyarakat nyata (real) dengan media, antara media dengan masyarakat cyber,
dan antara masyarakat real dengan masyarakat cyber secara bertimbal-balik.

17
Pandangan pertama, bahwa media membentuk masyarakat bertolak dari
landasan bersifat pragmatis sosial dengan teori stimulus – respons dalam
behaviorisme. Teori media dalam landasan positivisme ini pun tidak bersifat
mutlak, konsep mengenai pengaruh media massa terdiri atas 3 varian, pertama:
menimbulkan peniruan langsung (copy-cut), kedua: menyebabkan ketumpulan
terhadap norma (desensitisation), dan ketiga: terbebas dari tekanan psikis
(catharsis) bagi khalayak media massa.

Pandangan kedua menempatkan media sebagai teks yang


merepresentasikan makna, baik makna yang berasal dari realitas empiris maupun
yang diciptakan oleh media. Dengan demikian realitas media dipandang sebagai
bentukan makna yang berasal dari masyarakat, baik karena bersifat imperatif dari
faktor-faktor yang berasal dari masyarakat, maupun berasal dari orientasi kultural
pelaku media. Dari sini media dilihat pada satu sisi sebagai instrumen dari
kekuasaan (ekonomi dan/atau politik) dengan memproduksi kultur dominan untuk
pengendalian (dominasi dan hegemoni) masyarakat, dan pada sisi lain dilihat
sebagai institusi yang memiliki otonomi dan independensi dalam memproduksi
budaya dalam masyarakat.6

d. Aneka krisis yang melanda

Situasi global saat ini tidak saja ditandai oleh krisis cadangan energi tapi
krisis dalam keseluruhan tata kehidupan. Suatu krisis ekosferis. Profil krisis
tersebut terimplisit dalam sinyalemen krisis nilai, krisis konseptual atau
ketidaksepakatan tentang hidup yang baik dan erosi kredibilitas. Kaum muda
terjebak dalam situasi penuh krisis ini. Generasi muda tumbuh di saat merosotnya
dasar-dasar kepercayaan lama. Suatu gambaran yang meresahkan. Keresahan
lainnya muncul karena kecenderungan instingtuil untuk bergaya hidup hedon alias
asal nikmat. Konsekuensi lanjutnya mereka terperangkap dalam gaya hidup
materialistis yang mengutamakan materi di atas segala-galanya, akibat arus
sekulerisasi yang mana dalam proses – proses bidang hidup dan berpikir tercabut
dari pengawasan agama dan filsafat. Dalam sekulerisasi budaya tergabunglah
desakralisasi dan rasionalisasi ningga di situ pandangan dunia religius tak lagi
mewujudkan sumber berpikir pada manusia.

Pergaulan yang sedang melanda peradaban akhirnya menjumpai kenyataan


ini. Peragaulan liberal menceburkan kaum muda dalam euforia pembudidayaaan
budaya kosmopolitan. Sebuah budaya yang mengagung-agungkan kemutakhiran
dan modernisasi. Sebuah trend yang berpijak pada penggunaan produk-produk
6
Strategi Media Dalam Membangun Masyarakat Multikultur oleh Tatang Muttaqien, 17
Juni 2006
18
non-lokal. Trend ini menciptakan sebuah alienasi budaya. Orang merasa asing
dengan budayanya sendiri. Pertemuan nilai-nilai budaya atau kontak budaya
dapat menghasilkan dua kemungkinan yaitu : pertemuan dengan tanpa
menghasilkan nilai-nilai baru (asimiliasi) serta pertemuan dengan menghasilkan
nilai-nilai baru yang bermakna (akulturasi).

Agar bisa mengambil manfaat dalam proses pertemuan budaya tersebut


maka setiap bangsa harus berusaha untuk meningkatkan ketahanan budaya
masyarakatnya. Hal tersebut sangatlah mendasar, karena tanpa adanya usaha
untuk meningkatkan ketahanan budaya secara memadai maka kebudayaan lokal
atau nasional bukan saja tidak akan mampu memberi kontribusi dalam
pembentukan kebudayaan global, akan tetapi lebih daripada itu akan sangat
mudah larut dalam pertemuan antar budaya sehingga tidak memiliki suatu
identitas yang dapat dibanggakan. Oleh karena itu dalam lingkungan yang
semakin menuju kepada kecenderungan homogenitas nilai, maka aspek-aspek
keunikan lokal, nilai-nilai budaya lokal akan menjadi suatu unsur yang sangat
signifikan dalam peta hubungan antarbangsa. Unsur-unsur keunikan dan kearifan
lokal yang tercermin melalui komponen-komponen warisan budaya, mempertegas
peran dan arti penting warisan budaya dalam kancah interaksi lintas bangsa.
Pembangunan kebudayaan di era global justru harus semakin memperkuat
aspek-aspek kelokalan, dengan tetap menempatkan diri untuk berpikir secara
global.7

Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang,


difokuskan pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam
bentuk instink-instink biologis - lalu dikenal dengan penjelasan "nature" - dan (2)
perilaku bukan diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama
kehidupan mereka - dikenal dengan penjelasan "nurture". Penjelasan "nature"
dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di
mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan
serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai
seorang psikolog cenderung percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia
didasarkan pada pandangan ini (instinktif). Mead percaya bahwa keanggotaan
kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan perilaku bersama yang kita kenal
dengan nama budaya. Dalam waktu yang bersamaan, dia juga mengakui bahwa
individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu kelompok,
mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang juga
berbeda. Mead percaya bahwa kita sebagai bagian dari lingkungan sosial
tersebut juga telah membantu menciptakan lingkungan tersebut.8

7
(info@dibudpar-diy.go.id)
8
Perspektif dalam Psikologi Sosial, Hasan Mustafa
19
4.4.3 Solusi Memberantas Pergaulan Liberal

Beberapa aspek penting dari manajemen kebudayaan adalah (a)


pengadopsian metode perencanaan baru, sebuah perencanaan yang memiliki
pendekatan multidimensi yang dapat mengakomodasi sifat-sifat multidimensi,
pertentangan, dan ketidaksepadanan; (b) dari partisipasi menjadi kemitraan, sebuah
manajemen yang menjadikan masyarakat tidak hanya memenuhi kewajiban
administrasi, tetapi melibatkan mereka lewat berbagi informasi, konsultasi,
pembuatan keputusan dan pelaksanaan aksi; (c) mensistemasi informasi dari bawah
ke atas atau sebaliknya ; dan (d) memberi pelatihan bagi pembuat keputusan (agen)
terhadap pendekatan budaya yang sensitif bagi pembinaan dan pengembangan
kebudayaan.9

Namun, agar kebudayaan Indonesia mampu memberikan peran maksimal


dalam memasuki pasar kultural dunia, sudah tentu dibutuhkan presenter, organiser
atau impresario dalam bingkai pola manajemen seni budaya yang profesional. Di
mana pemecahan masalah-masalah manajemen ini erat kaitannya dengan
paradigma bidang budaya yang dapat diurai ke dalam tiga hal penting, yaitu:
pembangunan yang berwawasan visi kebudayaan; menggali, memelihara,
mengembangkan, menerapkan nilai-nilai budaya dalam seluruh aspek kehidupan
dan pembangunan (misi); dan memberdayakan potensi budaya masyarakat dan
sosialisasi budaya kerja, disiplin, budaya malu, patriotik, jujur dan sebagainya, serta
menyediakan kelembagaan/institusi, sumber daya dan teknologi untuk
mengembangkan budaya nasional (strategi). Menyikapi hal itu masyarakat dapat
mengantisipasinya dengan berbagai cara, seperti mempertahankan budaya
kelompoknya sendiri dan anti budaya masyarakat lain; masyarakat yang tetap
menjaga budayanya, tapi juga memahami dan mengakomodasi budaya lain yang
dianggap baik dan bermanfaat; serta masyarakat yang mengubah budaya sendiri
dan mengambil budaya orang lain.

BAB 5
PENUTUP

Kerancuan budaya yang ada lebih disebabkan pada kebutuhan dan


keperluan individu. Bagaimana individu melakukan koordinasi personal mandiri

9
http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2006/8/11/f1.htm
20
tentang pembentukan mental kompetitor yang dibutuhkan kota. Secara garis besar
lingkungan mengubah individu (teori durkheim). Norma yang dibutuhkan manusia
saat ini adalah norma yang pro terhadap kepuasaan individu, norma sosial yang
ditanamkan pada diri individu sesaat akan punah saat doktrinisasi eksternal
berkembang.

Trend pergaulan liberal menggiring masuk kaum muda dan dewasa dalam
peng-’acuh’-an nilai-nilai yang sudah terstruktur dalam masyarakat. Dalam konteks
pergaulan liberal tidak mengherankan jika anak muda tidak lagi mengenal tradisi
atau adat-istiadatnya. Bawaan lama membesar-besarkan nama leluhur dan adat
tradisional terkubur gengsi yang meremehkan setiap modul warisan leluhur

Dalam kacamata kebudayaan, masyarakat Indonesia termasuk dalam


kategori masyarakat masyarakat transisi. Masyarakat transisi ini selalu
menampakkan dualisme budaya. Ibarat orang yang sedang berjalan, kaki kanannya
sudah melangkah kealam modern, sementara kaki kiri masih menginjak alam
tradisional.

Namun, tidaklah berarti bahwa masyarakat yang masih hidup didalam


tradisonal ini harus teralienasi dalam kebudayaannya. Dengan kata lain, modernitas
zaman tidaklah harus mengabaikan nilai-nilai lama yang sudah mengkristal menjadi
sebuah produk budaya yang lokal genius. Sebab modernitas zaman pada
hakekatnya adalah nilai-nilai dasar yang penerapannya harus disesuaikan dengan
latar belakang budaya dan pandangan suatu bangsa.

21
DAFTAR LITERATUR

Alfian (ed.), (1985), Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan, Jakarta :


PT.Gramedia

Daldjoeni, N., (1978), Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota),
Bandung : Alumni

Geertz, C., (1992), Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius.

Lubus, Mochtar, (1985), Transformasi Budaya untuk Masa Depan, Jakarta :Inti Idayu
Press

Salim, Agus. (2002), Perubahan Sosial, Yogyakarta : Tiara Wacana

Soekanto, Soerjono.(1990), Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali Pers

Taufik, A., (ed.), (1982) Pemuda dan Perubahan Sosial, Jakarta: LP3S

22

You might also like