You are on page 1of 68

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Trend kesehatan modern memperhatikan tidur sebagai salah satu

pilar penopang kesehatan selain olah raga dan keseimbangan nutrisi. Di

pagi hari kita merasakan manfaat dari tidur yang menyegarkan dan

memberi energi baru untuk menghadapi hari yang akan kita jelang. Ini

disebabkan oleh kortisol yang dihasilkan pada saat tidur. Kortisol

dihasilkan menjelang pagi saat proses tidur mendekati akhir. Dalam tidur

terjadi juga pembaruan dan perbaikan sel-sel yang rusak yang dipicu oleh

Growth Hormone yang dihasilkan tubuh pada tahap tidur malam

(Prasadja,2009).

Kurang tidur atau proses tidur yang terganggu jelas merugikan

kesehatan dan performa kita di siang hari. Mulai dari kurangnya motivasi,

penurunan kemampuan konsentrasi dan daya ingat, hingga buruknya

suasana hati. Kondisi kurang tidur juga menurunkan daya tahan tubuh

seseorang. Efek kurang tidur yang paling nyata terlihat adalah pada kulit

yang tampak kusam dan tak segar (Prasadja,2009).

Ada lebih dari 40 kondisi medis yang telah ditentukan sebagai

penyebab insomnia. Kira-kira separuh dari jumlah ini adalah kondisi

psikologis seperti kekhawatiran, stress, atau depresi. Sisanya adalah

1
2

gangguan tidur yang disebabkan kondisi khusus seperti alergi, radang

sendi, kecanduan alkohol, merokok, diet dan obesitas. Individu yang

mengalami stress atau depresi sangat berpeluang menderita insomnia

(Listiani, 2007).

Merokok adalah salah satu penyeban insomnia. Dalam bidang

kesehatan tidur, nikotin dalam rokok digolongkan dalam kelompok zat

stimulan. Stimulan merupakan zat yang memberikan efek menyegarkan

seperti halnya kafein dan coklat. Namun demikian, ada juga sebagian efek

dari nikotin yang menenangkan sehingga perokok dapat merasa tenang

dan santai saat menghirup asapnya (Prasadja,2009).

Namun efek stimulan dari nikotin ternyata lebih kuat, ini

dibuktikan dengan penelitian Punjabi dan kawan-kawan di tahun 2006

yang meneliti efek nikotin pada pola tidur seseorang. Perokok ternyata

membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur dibanding orang yang tidak

merokok. Mereka jadi sulit tidur (Prasadja,2009).

Pada penelitian selanjutnya yang dipublikasikan pada Februari

2008, Punjabi dan kawan-kawan lebih menyoroti efek kecanduan rokok

pada pola tidur. Secara teoritis, nikotin akan hilang dari otak dalam waktu

30 menit. Tetapi reseptor di otak seorang pecandu seolah ‘menagih’

nikotin lagi, sehingga mengganggu proses tidur (Prasadja,2009).

Pada pecandu akut yang baru mulai kecanduan rokok, selain lebih

sulit tidur, mereka juga dapat terbangun oleh keinginan kuat untuk
3

merokok setelah tidur kira-kira 2 jam. Setelah merokok mereka akan sulit

untuk tidur kembali karena efek stimulan dari nikotin. Saat tidur, proses

ini akan berulang dan ia terbangun lagi untuk merokok (Prasadja,2009).

Sedangkan pada tahap lanjut, perokok mengalami gangguan

kualitas tidur yang dipicu oleh efek ‘menagih’ dari kecanduan nikotin.

Dari perekaman gelombang otak di laboratorium tidur, didapatkan bahwa

perokok lebih banyak tidur ringan dibandingkan tidur dalam; terutama

pada jam-jam awal tidur. Akibatnya, dari penelitian tersebut didapatkan,

jumlah orang yang melaporkan rasa tak segar atau masih mengantuk saat

bangun tidur pada perokok adalah 4 kali lipat dibandingkan orang yang

tidak merokok (Prasadja,2009).

Menurut Departemen Kesehatan melalui pusat promosi kesehatan

menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang

memiliki tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok tertinggi.

Berdasarkan data dari WHO tahun 2008 Indonesia menduduki urutan ke 3

terbanyak dalam konsumsi rokok di dunia dan setiap tahunnya

mengkonsumsi 225 miliar batang rokok (Nusantaraku,2009).

Berdasatkan hasil riset yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa

Barat pada tahun 2007 menunjukan bahwa jumlah perokok aktif di

provinsi itu yang mencapai 26,7 persen Hasil riset yang dilakukan Dinas

Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 juga menyebutkan kebiasaan


4

merokok di Jawa Barat rata-rata didominasi sejak usia remaja 15-19 tahun,

presentasinya mencapai 50,4 persen (Profil Kesehatan Indonesia, 2008).

Disusul kelompok usia 20-24 tahun, sekitar 24,7 persen. Ironisnya

perokok di usia anak-anak kelompok umur 10-14 tahun sebesar 11,9

persen, lebih banyak dibanding kelompok usia 25-29 tahun yang hanya 7,1

persen atau 5,8 persen untuk kelompok usia di atas 30 tahun (Profil

Kesehatan Indonesia,2008).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puskesmas Lurah

Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon pada bulan April 2010 di

beberapa sekolah di wilayah kerjanya, didapatkan hasil bahwa presentasi

terbesar perokok remaja terdapat di STM PGRI Plumbon. Dari 41 siswa

yang dijadikan sampel penelitian didapatkan hasil,33 orang adalah

perokok dan hanya 8 orang saja yang tidak merokok. Dengan kata lain,

80,49% siswa adalah perokok (Data Puskesmas Lurah,2010).

Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk

meneliti hubungan kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun

dengan gangguan pola tidur (insomnia) di STM PGRI Plumbon Kabupaten

Cirebon. Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi gangguan pola

tidur (insomnia) yang akan diteliti adalah kebiasaan merokok berdasarkan

jumlah rata-rata rokok yang dihisap per hari yang meliputi perokok berat,

perokok sedang dan perokok ringan.


5

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka yang

menjadi masalah penelitian adalah :

Tingginya angka perokok aktif pada siswa di STM PGRI Plumbon

Kabupaten Cirebon. Tingginya angka perokok aktif ini dapat

meningkatkan resiko gangguan pola tidur (insomnia) pada siswa di

sekolah tersebut. Gangguan pola tidur (insomnia) ini dapat menyebabkan

kurangnya motivasi, penurunan kemampuan konsentrasi dan daya ingat,

hingga buruknya suasana hati. Penelitian ini akan mengkaji hubungan

antara kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun berdasarkan

jumlah rata-rata rokok yang dihisap per hari dengan gangguan pola tidur

(insomnia) di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia

15-19 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia) di STM PGRI

Plumbon Kabupaten Cirebon.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran kebiasaan merokok pada remaja usia

15-19 tahun di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon.


6

2. Untuk mengetahui gambaran gangguan pola tidur (insomnia) pada

remaja usia 15-19 tahun di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon.

3. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan

pola tidur (insomnia) pada remaja usia 15-19 tahun di STM PGRI

Plumbon Kabupaten Cirebon.

4. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan

pola tidur (insomnia) pada remaja usia 15-19 tahun di STM PGRI

Plumbon Kabupaten Cirebon setelah dikontrol oleh variabel stress

sebagai perancu.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Pembaca

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan

menambah wawasan mengenai hubungan antara kebiasaan merokok

dengan gangguan pola tidur (insomnia).

1.4.2 Bagi Sekolah dan Siswa

Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi sekolah dan

siswa pada khususnya agar meminimalkan konsumsi merokok untuk

menghindari gangguan pola tidur (insomnia) dan memaksimalkan fungsi

tidur itu sendiri.


7

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

1.5.1 Ruang Lingkup Tempat

Lingkup tempat penelitian ini adalah di STM PGRI Plumbon Kabupaten

Cirebon.

1.5.2 Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2010.

1.5.3 Ruang Lingkup Sasaran

Penelitian ini ditujukan kepada seluruh siswa STM PGRI Plumbon Kelas

I, II, dan III pada tahun ajaran 2009/2010.


8

.BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1. KONSEP ISTIRAHAT DAN TIDUR

2.1.1. Pengertian

Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang mutlak

harus dipenuhi oleh semua orang. Dengan istirahat dan tidur yang

cukup,tubuh baru dapat berfungsi secara optimal. Istirahat dan tidur

sendiri memiliki makna yang berbeda pada setiap individu. Secara

umum, istirahat berarti suatu keadaan tenang,relaks, tanpa tekanan

emosional,dan bebas dari perasaan gelisah. Jadi, beristirahat bukan

berarti tidak melakukan aktivitas sama sekali. Terkadang,berjalan-jalan

di taman juga bisa dikatakan sebagai suatu bentuk istirahat (Hidayat,

2006)

Sedangkan tidur adalah status perubahan kesadaran ketika

persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun. Tidur

dikarakteristikkan dengan aktifitas fisik yang minimal, tingkat

kesadaran yang bervariasi, perubahan proses fsiologis tubuh,dan

penurunan respons terhadap stimulus eksternal. Hampir sepertiga dari

waktu kita,kita gunakan untuk tidur. Hal tersebut didasarkan pada

keyakinan bahwa tidur dapat memulihkan atau mengistirahatkan fisik

setelah seharian beraktivitas, mengurangi stress dan kecemasan, serta

8
9

dapat meningkatkan kemampuan dan konsenterasi saat hendak

melakukan aktivitas sehari-hari (Hidayat, 2006).

2.1.2. Fisiologi Tidur

Aktivitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua system pada batang

otak,yaitu Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing

Region (BSR). RAS di bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-

sel khusus yang dapat mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran;

memberi stimulus visual,pendengaran,nyeri,dan sensori raba;serta emosi

dan proses berfikir. Pada saat sadar, RAS melepaskan katekolamin,

sedangkan pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari BSR

(Qimi, 2009).

2.1.3. Ritme Sirkadian

Setiap makhluk hidup memiliki bioritme (jam biologis) yang

berbeda. Pada manusia,bioritme ini dikontrol oleh tubuh dan

disesuaikan dengan faktor lingkungan (mis; cahaya, kegelapan, gravitasi

dan stimulus elektromagnetik). Bentuk bioritme yang paling umum

adalah ritme sirkadian-yang melengkapi siklus selama 24 jam. Dalam

hal ini, fluktuasi denyut jantung,tekanan darah,temperature,sekresi

hormone, metabolisme dan penampilan serta perasaan individu

bergantung pada ritme sirkadiannya. Tidur adalah salah satu irama

biologis tubuh yang sangat kompleks. Sinkronisasi sirkadian terjadi jika

individu memiliki pola tidur-bangun yang mengikuti jam biologisnya:


10

individu akan bangun pada saat ritme fisiologis paling tinggi atau paling

aktif dan akan tidur pada saat ritme tersebut paling rendah (Qimi, 2009).

2.1.4. Tahapan Tidur

Menurut Hidayat (2006), berdasarkan penelitian yang dilakukan

dengan bantuan alat elektroensefalogram (EEG), elektro-okulogram

(EOG), dan elektrokiogram (EMG), diketahui ada dua tahapan tidur,

yaitu non-rapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement

(REM).

2.1.4.1. Tidur NREM

Tidur NREM disebut juga sebagai tidur gelombang-

pendek karena gelombang otak yang ditunjukkan oleh orang

yang tidur lebih pendek daripada gelombang alfa dan beta yang

ditunjukkan orang yang sadar. Pada tidur NREM terjadi

penurunan sejumlah fungsi fisiologi tubuh. Di samping

itu,semua proses metabolisme termasuk tanda-tanda vital,

metabolisme, dan kerja otot melambat. Tidur NREM sendiri

terbagi atas 4 tahap (I-IV). Tahap I-II disebut sebagai tidur

ringan (light sleep) dan tahap III-IV disebut sebagai tidur dalam

(deep sleep atau delta sleep).

2.1.4.2. Tidur REM

Tidur REM biasanya terjadi setiap 90 menit dan

berlangsung selama 5-30 menit. Tidur REM tidak senyenyak


11

tidur NREM, dan sebagian besar mimpi terjadi pada tahap ini.

Selama tidur REM,otak cenderung aktif dan metabolismenya

meningkat hingga 20%. Pada tahap ini individu menjadi sulit

untuk dibangunkan atau justru dapat bangun dengan tiba-tiba,

tonus otot terdepresi, sekresi lambung meningkat,dan frekuensi

jantung dan pernapasan sering kali tidak teratur.

2.1.5. Siklus Tidur

Selama tidur , individu melewati tahap tidur NREM dan REM.

Siklus tidur yang komplet normalnya berlangsung selama 1,5 jam, dan

setiap orang biasanya melalui empat hingga lima siklus selama 7-8 jam

tidur. Siklus tersebut dimulai dari tahap NREM yang berlanjut ke tahap

REM. Tahap NREM I-III berlangsung selama 30 menit, kemudian

diteruskan ke tahap IV selama ± 20 menit. Setelah itu, individu

kembali melalui tahap III dan II selama 20 menit. Tahap I REM

muncul sesudahnya dan berlangsung selama 10 menit (Hidayat, 2006).

2.1.6. Faktor yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur

Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas maupun kuantitas

tidur. Menurut Qimi (2009) factor-faktor tersebut adalah penyakit,

lingkungan, kelelahan, gaya hidup, stress emosional, stimulan dan

alcohol, diet, merokok,dan motivasi.


12

2.1.6.1. Penyakit

Penyakit dapat menyebabkan nyeri atau distress fisik yang

dapat menyebabkan gangguan tidur. Individu yang sakit

membutuhkan waktu tidur yang lebih banyak daripada

biasanya.Di samping itu, siklus bangun-tidur selama sakit

juga dapat mengalami gangguan.

2.1.6.2. Lingkungan

Faktor lingkungan dapat membantu sekaligus menghambat

proses tidur. Tidak adanya stimulus tertentu atau adanya

stimulus yang asing dapat menghambat upaya tidur. Sebagai

contoh, temperatur yang tidak nyaman atau ventilasi yang

buruk dapat mempengaruhi tidur seseorang. Akan tetapi,

seiring waktu individu bisa beradaptasi dan tidak lagi

terpengaruh dengan kondisi tersebut.

2.1.6.3. Kelelahan

Kondisi tubuh yang lelah dapat mempengaruhi pola tidur

seseorang. Semakin lelah seseorang,semakin pendek siklus

tidur REM yang dilaluinya. Setelah beristirahat biasanya

siklus REM akan kembali memanjang.

2.1.6.4. Gaya hidup

Individu yang sering berganti jam kerja harus mengatur

aktivitasnya agar bisa tidur pada waktu yang tepat.


13

2.1.6.5. Stress emosional

Ansietas dan depresi sering kali mengganggu tidur seseorang.

kondisi ansietas dapat meningkatkan kadar norepinfrin darah

melalui stimulasi sistem saraf simpatis. Kondisi ini

menyebabkan berkurangnya siklus tidur NREM tahap IV dan

tidur REM serta seringnya terjaga saat tidur.

2.1.6.6. Stimulant dan alcohol

Kafein yang terkandung dalam beberapa minuman dapat

merangsang SSP sehingga dapat mengganggu pola tidur.

Sedangkan konsumsi alkohol yang berlebihan dapat

mengganggu siklus tidur REM. Ketika pengaruh alkohol telah

hilang, individu sering kali mengalami mimpi buruk.

2.1.6.7. Diet

Penurunan berat badan dikaitkan dengan penurunan waktu

tidur dan seringnya terjaga di malam hari. Sebaliknya,

penambahan berat badan dikaitkan dengan peningkatan total

tidur dan sedikitnya periode terjaga di malam hari.

2.1.6.8. Merokok

Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek

stimulasi pada tubuh. Akibatnya, perokok sering kali

kesulitan untuk tidur dan mudah terbangun di malam hari.


14

2.1.6.9. Medikasi

Obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi kualitas tidur

seseorang. hipnotik dapat mengganggu tahap III dan IV tidur

NREM, metabloker dapat menyebabkan insomnia dan mimpi

buruk, sedangkan narkotik (mis; meperidin hidroklorida dan

morfin) diketahui dapat menekan tidur REM dan

menyebabkan seringnya terjaga di malam hari.

2.1.6.10. Motivasi

Keinginan untuk tetap terjaga terkadang dapat menutupi

perasaan lelah seseorang. sebaliknya, perasaan bosan atau

tidak adanya motivasi untuk terjaga sering kali dapat

mendatangkan kantuk.

2.1.7. Gangguan tidur yang umum terjadi

Menurut Qimi (2009) ada beberapa gangguan tidur yang umum terjadi

yaitu :

2.1.7.1. Insomnia

Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan

tidur, baik secara kualitas maupun kuantitas. Gangguan tidur

ini umumnya ditemui pada individu dewasa. Penyebabnya

bisa karena gangguan fisik atau karena faktor mental seperti

perasaan gundah atau gelisah. Ada tiga jenis insomnia:

1. Insomnia inisial. Kesulitan untuk memulai tidur.


15

2. Insomnia intermiten. Kesulitan untuk tetap

tertidur karena seringnya terjaga.

3. Insomnia terminal. Bangun terlalu dini dan sulit

untuk tidur kembali.

Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi

insomnia antara lain dengan mengembangkan pola tidur-

istirahat yang efektif melalui olahraga rutin, menghindari

rangsangan tidur di sore hari, melakukan relaksasi sebelum

tidur (misalnya; membaca, mendengarkan music),dan tidur

jika benar-benar mengantuk.

2.1.7.2. Parasomnia

Parasomnia adalah perilaku yang dapat mengganggu

tidur atau muncul saat seseorang tidur. Gangguan ini umum

terjadi pada anak-anak. Beberapa turunan parasomnia antara

lain sering terjaga (mis; tidur berjalan, night terror),

gangguan transisi bangun-tidur (mis; mengigau), parasomnia

yang terkait dengan tidur REM (mis; mimpi buruk),dan

lainnya (misalnya; bruksisme).

2.1.7.3. Hipersomnia

Hipersomnia adalah kebalikan dari insomnia, yaitu tidur

yang berkelebihan terutama pada siang hari. Gangguan ini

dapat disebabkan oleh kondisi tertentu, seperti kerusakan


16

sistem saraf, gangguan pada hati atau ginjal, atau karena

gangguan metabolisme (mis; hipertiroidisme). Pada kondisi

tertentu, hipersomnia dapat digunakan sebagai mekanisme

koping untuk menghindari tanggung jawab pada siang hari.

2.1.7.4. Narkolepsi

Narkolepsi adalah gelombang kantuk yang tak

tertahankan yang muncul secara tiba-tiba pada siang hari.

Gangguan ini disebut juga sebagai “serangan tidur” atau sleep

attack. Penyebab pastinya belum diketahui. Diduga karena

kerusakan genetik system saraf pusat yang menyebabkan

tidak terkendalinya periode tidur REM. Alternatife

pencegahannya adalah dengan obat-obatan, seperti;

amfetamin atau metilpenidase, hidroklorida, atau dengan

antidepresan seperti imipramin hidroklorida.

2.1.7.5. Apnea saat tidur

Apnea saat tidur atau sleep apnea adalah kondisi

terhentinya nafas secara periodic pada saat tidur. Kondisi ini

diduga terjadi pada orang yang mengorok dengan keras,

sering terjaga di malam hari, insomnia, mengatup berlebihan

pada siang hari, sakit kepala disiang hari, iritabilitas, atau

mengalami perubahan psikologis seperti hipertensi atau

aritmia jantung.
17

2.2. KONSEP REMAJA

Seringkali dengan gampang orang mendefinisikan remaja sebagai

periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa, atau disebut juga

usia belasan. Hurlock (1999) menyatakan bahwa “Secara psikologis masa

remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat

dewasa”. Remaja merupakan peralihan antara masa kehidupan anak dan

masa kehidupan orang dewasa. Bila ditinjau dari segi tubuhnya, mereka

terlihat sudah dewasa tetapi jika mereka diperlakukan sebagai orang dewasa

ternyata belum dapat menunjukkan sikap dewasa.

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere

(kata bendanya adolescentia yang berarti remaja primitive) yang berarti

tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Anak dianggap sudah dewasa bila

sudah mampu mengadakan reproduksi. Istilah adolescence seperti yang

digunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan

mental, sosial dan fisik (Hurlock, 1999)

Dalam ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu yang terkait (seperti Biologi

dan Ilmu Faal) remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik di

mana alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya (Sarlito, 2002

dalam Soamole, 2006). Dalam pengertian ini remaja dipandang dari sudut

fisik dimana individu disebut remaja apabila individu tersebut secara fisik

telah mampu untuk melakukan reproduksi.


18

Selain itu juga, Sugeng (1995) mengatakan “Bahwa remaja

merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak dan masa kehidupan

dewasa dan remaja sering menunjukkan kegelisahan, pertentangan, dan

keinginan mencoba segala sesuatu.” Dalam hal ini remaja dikatakan sebagai

individu yang masih belum jelas identitas dirinya atau juga disebut dengan

individu yang masih mencari jati dirinya. Misalnya saja remaja mempunyai

rasa keingin tahuan yang tinggi, jarang sekali remaja yang memegang

prinsip atas dirinya.

Pada tahun 1974, WHO memberi definisi tentang remaja yang lebih

bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria yang

biologik, psikologik, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi

tersebut berbunyi sebagai berikut :

1) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda

seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

2) Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari

kanak-kanak menjadi dewasa.

3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh pada

keadaan yang relative lebih mandiri .

(Muangman (1980) dalam Soamole, 2006).

Mendefinisikan remaja untuk masyarakat Indonesia menggunakan

batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah. Untuk definisi remaja di

Indonesia diartikan dengan pertimbangan pertimbangan sebagai berikut :


19

1) Usia 11 tahun adalah usia di mana pada umumnya tanda-tanda seksual

sekunder mulai nampak (kriteria fisik)

2) Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap usia akil

balig, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi

memperlakukan mereka sebagai anak-anak.

3) Mulai ada tanda-tanda menyempurnakan perkembangan jiwa seperti

tercapainya identitas diri, tercapainya fase genital dari perkembangan

psikoseksual dan tercapainya puncak perkembangan kognitif maupun

moral.

4) Orang-orang yang sampai batas usia 24 tahun belum dapat memnuhi

persyaratan kedewasaan secara rasional maupun psikologik, masih dapat

digolongkan remaja.

Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Remaja

tidak termasuk kedalam golongan anak-anak, tetapi juga tidak termasuk

golongan dewasa. Remaja berada di antara masa kanak-kanak dan dewasa.

Biasanya masa remaja dianggap telah mulai ketika anak secara seksual

menjadi matang, dan kemudian berakhir pada saat ia mencapai usia yang

secara hukum disebut usia dewasa yaitu ± 24 tahun.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa remaja

adalah individu yang berusia belasan tahun (12-21 tahun) yang tergolong

dalam masa transisi antara masa anak-anak menuju masa dewasa. Dalam

masa transisi inilah remaja cenderung untuk ingin disebut sebagai orang
20

yang sudah dewasa. Agar terkesan sebagai orang yang sudah dewasa remaja

cenderung melakukan kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang dewasa,

salah satu contohnya adalah bagi remaja laki-laki dengan merokok (Sugeng,

1995).

2.3. KEBIASAAN MEROKOK

Seseorang dikatakan perokok jika telah menghisap minimal 100

batang rokok. Merokok dapat mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak

dapat kita pungkiri, banyak penyakit yang telah terbukti menjadi akibat

buruk merokok baik secara langsung maupun tidak langsung. Tembakau

atau rokok paling berbahaya bagi kesehatan manusia. Rokok secara luas

telah menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di dunia. Menurut

Departemen Kesehatan Dalam Gizi dan Promosi Masyarakat, Indonesia

merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki tingkat konsumsi

rokok dan produksi rokok yang tinggi. Variasi produk dan harga rokok di

Indonesia telah menyebabkan Indonesia menjadi salah satu produsen

sekaligus konsumen rokok terbesar di dunia (Pdpersi, 2003).

Rata- rata merokok yang dilakukan oleh kebanyakan laki-laki

dipengaruhi oleh faktor psikologis meliputi rangsangan sosial melalui

mulut, ritual masyarakat, menunjukkan kejantanan, mengalihkan diri dari

kecemasan, kebanggaan diri. Selain faktor psikologis juga dipengaruhi oleh

faktor fisiologis yaitu adiksi tubuh terhadap bahan yang dikandung rokok
21

seperti nikotin atau juga disebut kecanduan terhadap nikotin (Sitepoe,

1997).

2.3.1. Kategori Perokok

Menurut Bustan (2000) dan Trim (2006), kategori perokok dibagi menjadi

dua yaitu :

2.3.1.1. Perokok Pasif

Perokok pasif adalah asap rokok yang di hirup oleh

seseorang yang tidak merokok (Pasive Smoker). Asap rokok

merupakan polutan bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Asap

rokok lebih berbahaya terhadap perokok pasif daripada perokok

aktif. Asap rokok sigaret kemungkinan besar berbahaya terhadap

mereka yang bukan perokok, terutama di tempat tertutup. Asap

rokok yang dihembusan oleh perokok aktif dan terhirup oleh

perokok pasif, lima kali lebih banyak mengandung karbon

monoksida, empat kali lebih banyak mengandung tar dan nikotin.

2.3.1.2. Perokok Aktif

Perokok aktif adalah asap rokok yang berasal dari isapan

perokok atau asap utama pada rokok yang dihisap (mainstream).

Dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perokok aktif

adalah orang yang merokok dan langsung menghisap rokok serta

bisa mengakibatkan bahaya bagi kesehatan diri sendiri maupun

lingkungan sekitar.
22

2.3.2. Jumlah Rokok Yang Dihisap

Menurut Bustan (2000) dan Bangun (2008), jumlah rokok yang

dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak per hari. Kategori

perokok dapat dibagi atas 3 kelompok yaitu :

2.3.2.1. Perokok Ringan

Disebut perokok ringan apabila merokok kurang dari 10 batang per

hari.

2.3.2.2. Perokok Sedang

Disebut perokok sedang jika menghisap 10 – 20 batang per hari.

2.3.2.3. Perokok Berat

Disebut perokok berat jika menghisap lebih dari 20 batang.

Bila sebatang rokok dihabiskan dalam sepuluh kali hisapan asap

rokok maka dalam tempo setahun bagi perokok sejumlah 20 batang (satu

bungkus) per hari akan mengalami 70.000 hisapan asap rokok. Beberapa

zat kimia dalam rokok yang berbahaya bagi kesehatan bersifat kumulatif

(ditimbun), suatu saat dosis racunnya akan mencapai titik toksis sehingga

akan mulai kelihatan gejala yang ditimbulkan (Sitepoe, 1997).

2.3.3. Lama Menghisap Rokok

Menurut Bustan (2000) merokok dimulai sejak umur < 10 tahun

atau lebih dari 10 tahun. Semakin awal seseorang merokok makin sulit

untuk berhenti merokok. Rokok juga punya dose-response effect, artinya

semakin muda usia merokok, akan semakin besar pengaruhnya. Apabila


23

perilaku merokok dimulai sejak usia remaja, merokok sigaret dapat

berhubungan dengan tingkat arterosclerosis. Risiko kematian bertambah

sehubungan dengan banyaknya merokok dan umur awal merokok yang

lebih dini (Bart, 1994).

2.3.4. Cara Menghisap Rokok

Menurut Bustan (2000), cara manghisap rokok dapat dibedakan menjadi :

2.3.4.1. Begitu menghisap langsung dihembuskan (secara dangkal)

2.3.4.2. Ditelan sampai ke dalam mulut (dimulut saja)

2.3.4.3.Ditelan sampai di kerongkongan (isapan dalam)

2.3.5. Jenis Rokok Yang Dihisap

Rokok tidak dapat dipisahkan dari bahan baku pembuatnya yaitu

tembakau. Di Indonesia tembakau ditambah cengkeh dan bahan–bahan lain

dicampur untuk dibuat rokok. Selain itu juga masih ada beberapa jenis

rokok yang dapat digunakan yaitu rokok linting, rokok putih, rokok cerutu,

rokok pipa, rokok kretek, rokok klobot dan rokok tembakau tanpa asap

(tembakau kunyah) (Sitepoe, 1997).

Dalam peraturan (PP) Nomor 19 tahun 2003 tentang pengamanan

rokok bagi kesehatan, pemerintah tidak menentukan kandungan kadar

nikotin sebesar 1,5 mg dan kandungan kadar tar serbesar 20 mg pada rokok

kretek. Dan rokok kretek menggunakan tembakau rakyat. Tetapi menurut

Direktur Agro Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag)

Yamin Rahman menyatakan kandungan kadar nikotin pada rokok kretek


24

melebihi 1,5 mg yaitu 2,5 mg dan kandungan kadar tar pada rokok kretek

melebihi 20 mg yaitu 40 mg. Rokok kretek mengandung 60–70%

tembakau, sisanya 30%–40% cengkeh dan ramuan lain.(Pdpersi, 2003).

2.4. KEBIASAAN MEROKOK PADA REMAJA

Pada umumnya remaja itu selalu ingin bertualang, mencoba sesuatu

yang belum pernah dialaminya. Mereka ingin mencoba melakukan apa yang

sering dilakukan oleh orang dewasa. Dengan sembunyi sembunyi remaja

pria mencoba merokok karena seringkali mereka melihat orang dewasa

melakukannya, seolah-olah mereka ingin membuktikan bahwa mereka

mampu berbuat seperti orang dewasa (Sugeng, 1995).

Menurut Hurlock (1999) bahwa “Pada usia remaja rokok dan

minuman alkohol digunakan sebagai lambang kematangan”. Begitu

banyaknya fenomena sekarang ini yang dapat kita lihat bawa para remaja

terlebih lagi remaja laki-laki sudah melakukan aktivitas merokok atau

menjadi perokok.

Harus kita sedihkan bahwa merokok bagi para remaja khususnya

remaja yang masih berusia sekolah menengah sudah menjadi hal biasa dan

dapat dibanggakan bagi mereka, bahkan banyak dari mereka yang sudah

menjadi perokok aktif. Di Indonesia, anak-anak berusia muda mulai

merokok disebabkan beberapa faktor diantaranya yaitu karena kemauan


25

sendiri, melihat teman-temannya, dan diajari atau dipaksa merokok oleh

teman-temannya (Sitepoe, 1997).

Merokok juga merupakan salah satu yang dilakukan oleh para remaja

untuk menyatakan bahwa mereka diterima dan teridentifikasi menjadi suatu

kelompok tertentu. Remaja cenderung merokok jika mereka:

1) Memiliki teman-teman atau keluarga yang merokok.

2) Sukar mengatakan "tidak", terutama kepada teman-teman atau orang

orang yang ingin buat mereka terkesan.

3) Tidak mengetahui resikonya.

(Darvill dan Powell, 2002 dalam Soamole, 2006).

Dewasa ini banyak remaja (laki-laki) melakukan aktivitas merokok.

Seperti yang dikemukakan Abu Al-Ghifari (2003) “Bagi remaja modern

merokok merupakan satu jenis pilihan aktivitas yang populer dilakukan

untuk memanfaatkan waktu senggang”. Bagi mereka merokok bukanlah

suatu hal yang tabu tetapi sudah menjadi suatu hal yang biasa dilakukan di

lingkungan sosial mereka.

Merokok sudah menjadi kebiasaan bagi remaja di Indonesia.

Kebiasaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berulang-ulang. Tidak ada

aspek khusus dalam pembentukan kebiasaan, tetapi Corey (2001)

menggolongkan kedalam dua faktor penentu kebiasaan yaitu paradigma

tentang diri sendiri dan paradigma tentang kehidupan (Corey, 2001 dalam

Soamole, 2006).
26

Untuk kebiasaan merokok pada remaja sendiri akan ditinjau

beberapa hal mengapa remaja memiliki kebiasaan merokok, diantaranya:

2.4.1. Alasan remaja merokok.

Begitu banyak sebab atau alasan yang disampaikan para remaja

mengapa dia melakukan aktivitas merokok. Sebagian besar para remaja

melakukan aktivitas merokok dikarenakan ia ingin terkesan dewasa, gagah

atau “Macho”.

Menurut Trim (2006), faktor pendorong remaja mulai melakukan aktivitas

merokok, antara lain :

1) Rasa ingin tahu sampai menjadi ketergantungan.

2) Untuk meningkatkan kesan "kejagoan".

3) Hasrat berkelompok dengan kawan senasib dan sebaya.

4) Adanya stress atau konflik batin atau masalah yang sulit diselesaikan.

5) Dorongan sosial dari lingkungan yang "mendesak" remaja untuk

merokok atau kalau tidak dianggap tidak solider dengan lingkungan

sosialnya.

6) Ketidak tahuan akibat bahaya merokok

Merokok pada anak-anak karena kemauan sendiri disebabkan ingin

menunjukkan bahwa dirinya dewasa (Sitepoe, 2000). Alasan alasan yang

menyebabkan seseorang merokok dan membuat merokok menjadi sesuatu

yang menggairahkan bisa bermacam-macam dan bersifat pribadi. Seperti

yang dikemukakan oleh Abu Al-Ghifari (2003)


27

“Alasan remaja laki-laki merokok adalah mereka membayangkan

bahwa dengan merokok maka mereka dianggap sudah dewasa, tidak

lagi anak kecil, dan bisa memasuki kelompok teman sebaya sekaligus

kelompok yang mempunyai ciri gaya tertentu yaitu merokok”.

Alasan utama lainnya remaja merokok adalah karena ajakan atau

paksaan teman atau pengaruh lingkungan yang sukar ditolak.Bergabung

dengan suatu kelompok tertentu bagi remaja masa kini mungkin merupakan

hal yang penting. remaja ingin diidentifikasikan sebanyak mungkin dengan

teman-teman sebaya mereka (Al Ghifari, 2003).

2.4.2. Lingkungan remaja yang mempengaruhi remaja merokok.

Merokok pada remaja tidak begitu saja dikarenakan karena faktor

remaja itu sendiri, selain itu juga disebabkan oleh faktor lingkungan yang

mempengaruhi. Menurut Trim (2006) ada tiga lingkungan yang dapat

mempengaruhi remaja merokok di antara :

2.4.2.1. Lingkungan keluarga.

Tidak sedikit remaja yang merokok dikarenakan di dalam

lingkungan keluarganya ada yang merokok. Misalnya saja, seorang

remaja laki-laki merokok dikarenakan melihat ayahnya suka

merokok. Ia sangat kagum dengan ayahnya sehingga ia ingin

seperti ayahnya dan remaja tersebut suka mengimitasikan tingkah

ayahnya sampai pada kebiasaan buruk ayahnya yaitu merokok.


28

Selain hal tersebut, ada juga orang tua yang tidak keberatan anak

remaja laki-lakinya merokok.

2.4.2.2. Lingkungan tempat tinggal.

Selain lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal pun

dapat mempengaruhi remaja merokok. Bila dalam suatu

lingkungan tempat tinggal merokok bukan merupakan suatu hal

yang kurang baik, bahkan sampai anak kecil pun merokok terlebih

lagi para remaja. Dalam lingkungan tempat tinggal di mana

merokok pada remaja masih di anggap suatu hal yang tabu, maka

para remaja akan merasa canggung bila merokok. Tetapi, bila

lingkungan tempat tinggal mendukung remaja untuk merokok

maka perilaku merokok pada remaja ini tidak akan bisa

dikendalikan bahkan akan menciptakan banyak perokok.

2.4.2.3. Lingkungan pergaulan remaja.

Lingkungan yang ketiga ini adalah lingkungan yang sangat

menentukan pada remaja. Remaja cenderung mendengarkan atau

melakukan apa yang dibenarkan dalam kelompoknya, dan remaja

cenderung melawan pada orang dewasa (orang tua). Meskipun

orang tua melarang remaja tersebut merokok, tetapi bila ia bergaul

dengan sekelompok remaja yang merokok, maka kemungkinan

besar remaja itu akan merokok.


29

2.4.2.4. Moment-moment saat merokok.

Tidak semua perokok pada remaja melakukan aktivitas

merokok terus menerus atau dengan seenaknya. Biasanya remaja

mempunyai moment-moment (waktu-waktu) tertentu untuk

melakukan aktivitas merokok. Mereka melakukan aktivitas

merokok mungkin hanya pada saat berkumpul dengan temannya,

atau pada saat suasana tertentu misalnya berkemah atau mendaki

gunung.

Bagi remaja yang bukan benar-benar pecandu rokok, ia

tidak melakukan aktivitas merokok jika tidak ada moment khusus.

Misalnya saja merokok pada saat berkumpul dengan teman,

mungkin dikarenakan ia ingin menghargai teman lainnya yang

merokok atau tidak ingin dikucilkan oleh teman-temannya.


30

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI KONSEPTUAL, DEFINISI

OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1. KERANGKA KONSEP

Berdasarkan tinjauan teoritis diatas maka dibuatlah kerangka konsep

tentang hubungan kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun dengan

gangguan pola tidur (insomnia). Pada penelitian ini peneliti membatasi

variabel – variabel yang diteliti sebagai berikut :

1. Variabel Independen adalah kebiasaan merokok berdasarkan

jumlah rokok yang dihisap per hari. Dengan sub variabel, perokok berat,

perokok sedang,dan perokok ringan.

2. Variabel Dependen adalah gangguan pola tidur yang dikhususkan

pada insomnia.

3. Variabel Perancu adalah stress. Stress dimasukan sebagai variabel

perancu karena dapat berpengaruh terhadap variabel dependen (insomnia)

maupun variabel independen (kebiasaan merokok).

30
31

Secara sistematis kerangka konsep dapat di gambarkan sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Kebiasaan Merokok

- Perokok berat
Gangguan Pola tidur
- Perokok sedang
(Insomnia)
- Perokok ringan

Stress

Ket :

Variabel Penelitian

Variabel Perancu

Bagan 3.1. Kerangka Konsep Hubungan Kebiasaan Merokok pada Remaja usia

15-19 tahun dengan Gangguan Pola Tidur ( insomnia )


32

3.2. DEFINISI KONSEPTUAL

1. Insomnia

Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur, baik

secara kualitas maupun kuantitas (Hidayat,2006). Pengukuran

insomnia dengan menggunakan skala insomnia Pittsburgh (2001).

Skala menggunakan 29 pertanyaan yang dapat mengidentifikasi adanya

gangguan insomnia dengan skor 0-3 per item (Saryono, 2010).

2. Kebiasaan Merokok

Adalah kebiasaan merokok berdasarkan pada jumlah rokok yang

dihabiskan perhari.

a. Perokok Berat

Perokok yang menghabiskan rata-rata > 20 batang per hari.

b. Perokok Sedang

Perokok yang menghabiskan rata-rata 10-20 batang per hari.

c. Perokok Ringan

Perokok yang menghabiskan < 10 batang per hari.

( Bustan, 2000 )

3. Stress

Stres menurut Hans Selye dalam Sriati (2008) menyatakan bahwa stres

adalah respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan

beban atasnya. Pengukuran stress dengan menggunakan skala DASS


33

(depression anxiety stress scale) yang berjumlah 7 item dengan skor 0-

3 per item (Saryono, 2010).

3.3. DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.1
Definisi Operasional Penelitian

NO VARIABEL DEFINISI CARA ALAT HASIL UKUR SKALA


OPERASIONAL UKUR UKUR
1 Variabel Insomnia adalah Angket Kuesion Insomnia=1 Ordinal
Dependen ketidakmampuan er Jika skor pada alat
Gangguan memenuhi ukur > 29
Pola Tidur kebutuhan tidur,
(insomnia) baik secara Tidak insomnia=2
kualitas maupun Jika skor pada alat
kuantitas. ukur ≤ 29

(Saryono, 2010)
2 Variabel Adalah kebiasaan Angket Kuesion Perokok berat=1 Ordinal
Independen merokok er Bila menghisap
Kebiasaan berdasarkan >20 batang per hari
merokok banyaknya rokok
pada remaja yang dihisap per Perokok sedang=2
hari Bila menghisap 10-
20 batang per hari

Perokok ringan=3
Bila menghisap
<10 batang per hari

(Bustan, 1997)

3 Variabel Adalah respon Angket Kuesion Sangat berat=1 Ordinal


Perancu tubuh yang er Jika skor > 20
Stress sifatnya DASS
nonspesifik Berat=2
terhadap setiap Jika skor 15-19
tuntutan beban
atasnya. Sedang=3
Jika skor 10-14

Ringan=4
Jika skor 7-9

Normal atau Tidak


stress=5
Jika skor 0-6
(Saryono, 2010)
34

3.4. HIPOTESIS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Hα : Ada hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19

tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia) di STM PGRI

Plumbon Kabupaten Cirebon.

Ho : Tidak Ada hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia 15-

19 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia) di STM PGRI

Plumbon Kabupaten Cirebon.

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dengan menggunakan

metode penelitian observasional atau survei dengan pendekatan cross

sectional, yaitu penelitian pada objek penelitian yang bersifat sesaat.

Penelitian dan pengamatan pada variabel bebas dan variabel terikat dari
35

objek penelitian dilakukan secara bersamaan dalam waktu yang terbatas,

artinya objek tidak diteliti atau diamati secara terus menerus dalam kurun

waktu tertentu.

4.2. VARIABEL PENELITIAN

Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel independen, variabel

dependen dan variabel perancu.

4.2.1. Variabel Independen

Variabel Independen merupakan variabel yang menjadi sebab

perubahan atau timbulnya variabel dependen (Sastroasmoro dan

Ismael, 1995). Dalam penelitian ini variabel independennya adalah

kebiasaan merokok pada remaja.

4.2.2. Variabel Dependen


35
Variabel Dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau

menjadi akibat karena variabel bebas (Sastroasmoro dan Ismael,

1995). Dalam penelitian ini variabel dependennya adalah gangguan

pola tidur (insomnia).

4.2.3. Variabel Perancu

Variabel perancu adalah jenis variabel yang berhubungan (asosiasi)

dengan variabel independen dan berhubungan dengan variabel


36

dependen. Variabel ini dapat mempengaruhi variabel independen

maupun dependen sehingga variabel ini dapat membawa kita pada

kesimpulan yang salah. Dalam penelitian ini variabel perancu akan

dieliminasi dengan teknik restriksi sehingga kesimpulan yang

dihasilkan terbebas dari pengaruh variabel perancu (Sastroasmoro

dan Ismael, 1995). Variabel perancu dalam penelitian ini adalah

stress.

4.3. POPULASI DAN SAMPEL

4.3.1. Populasi

Berdasarkan lokasi penelitian yaitu di STM PGRI Plumbon

Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat, maka yang menjadi

populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas I, II dan

III di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa

Barat. Keseluruhan subjek yang menjadi populasi dalam penelitian

ini adalah seluruh siswa yang pada tahun pelajaran 2009/2010

berstatus sebagai siswa di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon

Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan data yang diperoleh maka,

perincian jumlah populasi penelitian adalah 119 siswa.

4.3.2. Sampel

4.3.2.1. Teknik Sampel


37

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian

ini adalah total sampling. Dalam penelitian ini semua

anggota populasi dijadikan sebagai sampel penelitian.

Alasan penelitian menggunakan penelitian populasi

dikarenakan jumlah populasi yang diteliti dianggap tidak

terlalu banyak dan dapat dijangkau peneliti.

4.3.2.2. Kriteria Sampel

4.3.2.2.1. Kriteria Inklusi

1. Siswa perokok aktif

2. Siswa yang bersedia menjadi

responden

4.3.2.2.2. Kriteria Ekslusi

1. Siswa yang tidak hadir saat

penelitian

2. Siswa yang tidak bersedia menjadi

responden.

4.3.2.3. Jumlah Sampel

Jumlah sampel awal dalam penelitian ini adalah 119

siswa. Pada saat penelitian siswa yang hadir berjumlah 85

siswa. Dari 85 siswa tersebur siswa yang perokok aktif

berjumlah 63 siswa. Setelah dibagikan angket, ternyata


38

data yang valid dan dapat diolah sejumlah 51. Dengan

metode restriksi untuk menghilangkan pengaruh variabel

perancu didapatkan sampel akhir dalam penelitian ini

adalah 42 siswa.

4.4. PENGUMPULAN DATA

4.4.1. Cara pengumpulan data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara

memberikan angket yang berisi daftar pertanyaan kepada responden

penelitian.

4.4.2. Alat pengumpulan data

Alat pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner.

Kuesioner yang diberikan kepada reponsen adalah untuk mendapatkan

gambaran tentang variabel kebiasaan merokok berdasarkan jumlah rokok

yang dihisap per hari. Kuesioner juga digunakan untuk mengidentifikasi

variabel adanya gangguan pola tidur (insomnia) dan adanya stress sebagai

variabel perancu. Kuesioner yang digunakan bersumber dari Saryono

(2010) adalah kuesioner yang telah berstandar dan telah diuji validitas dan

reliabilitas sehingga dalam penelitian ini tidak dilakukan uji validitas dan

reliabilitas.

4.5. PENGOLAHAN DATA


39

Pengolahan data adalah suatu hal yang sangat penting mengingat

data yang terkumpul di lapangan masih merupakan data yang masih

mentah yang berguna sebagai bahan informasi untuk menjawab tujuan

penelitian. Menurut Budiarto (2001), kegiatan dalam proses pengolahan

data meliputi editing, coding, entry, dan tabulating data.

1. Editing

Yaitu memeriksa kelengkapan, kejelasan makna jawaban, konsistensi

maupun kesalahan antar jawaban pada kuesioner.

2. Coding

Yaitu memberikan kode-kode untuk memudahkan proses pengolahan

data.

3. Entry

Yaitu memasukkan data untuk diolah menggunakan komputer.

4. Tabulating

Yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang akan diteliti guna

memudahkan analisis data

4.6. ANALISA DATA

4.6.1. Analisa Univariat

Merupakan analisa yang dilakukan terhadap tiap variabel dalam

hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan

distribusi dan persentase dari tiap variabel (Soekidjo Notoatmodjo, 2005).


40

Hasil analisis univariat akan disajikan dalam bentuk table, grafik dan

narasi.

Rumus : F
P= x100 %
N

Keterangan : P = Presentase

F = Frekuensi

N = Jumlah responden

(Nursalam, 2000)

Analisa univariat dalam penelitian ini meliputi gambaran distribusi

dan presentasi siswa yang merokok, siswa yang insomnia, dan siswa yang

mengalami stress.

4.6.2. Analisa Bivariate

Analisis bivariate dimaksudkan untuk mengetahui hubungan atau

korelasi antara variabel bebas dan variabel terikat (Soekidjo Notoatmodjo,

2002:188). Dalam penelitian ini kebiasaan merokok merupakan variabel

bebas dan gangguan pola tidur (insomnia) merupakan variabel terikat.

Analisi bivariate dilakukan dengan menggunakan uji chi square (X2)

dengan menggunakan α =0,05 dan 95% Confidence Interval (CI).

Rumus chi kuadrat tersebut adalah sebagai berikut :

∑(O-E)
X2=
E
41

Keterangan:

X2 = Chi Kuadrat

O = Nilai Hasil Pengamatan (Observed)

E = Ekspetasi (Expected)

(Nursalam,2000).

Kriteria uji, apabila p < α maka H0 ditolak, berarti ada hubungan

antara dua variabel tersebut. Apabila p ≥ α maka H0 gagal ditolak atau Ho

diterima, berarti tidak ada hubungan antara dua variabel tersebut.

4.7. Lokasi Dan Waktu Penelitian

4.7.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon.

4.7.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010.

4.8. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah dalam prosedur penelitian adalah :

4.8.1. Tahap Persiapan

1. Menentukan judul penelitian

2. Memilih lahan penelitian

3. Bekerjasama dengan lahan penelitian untuk studi

pendahuluan
42

4. Studi kepustakaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan

masalah penelitian

5. Menyusun proposal penelitian serta instrumen

6. Pelaksanaan seminar proposal

7. Perbaikan hasil seminar proposal

8. Menyusun instrumen dan perbaikan instrumen

9. Mengurus perizinan untuk pelaksanaan penelitian

4.8.2. Tahap Pelaksanaan

1. Mendapat izin melakukan penelitian dari institusi terkait.

2. Melakukan observasi responden dan menyebarkan

kuesioner atau angket.

3. Mengumpulkan hasil kuesioner atau angket yang telah diisi

oleh responden dan dilakukan tahap selanjutnya;

4. Melakukan analisa data

4.8.3. Tahap Akhir

1. Menyusun laporan hasil penelitian

2. Sidang atau presentasi hasil penelitian

4.9. Etika Penelitian

Untuk mencegah timbulnya masalah etik, maka dilakukan

hal sebagai berikut:


43

1. Informed consent kepada responden tentang

perlunya penelitian, jika responden setuju maka diminta untuk

mengisi kuesioner yang telah disediakan oleh peneliti.

2. Anonimity yang berarti bahwa kuesioner yang

diisikan oleh responden tanpa memberikan data diri secara

khusus (tidak mencantumkan nama responden).

3. Privacy yang berarti identitas responden tidak akan

diketahui oleh orang lain dan bahkan oleh peneliti itu sendiri.

4. Bebas dari bahaya dimana penelitian ini tidak akan

berdampak secara langsung terhadap diri responden atau tidak

membahayakan.

BAB V

HASIL PENELITIAN
44

5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

5.1.1. Identitas Sekolah

Nama Sekolah : SMK PGRI Plumbon

Status Sekolah : Swasta

NSS : 322021714001

Akreditasi : Program Teknik Otomotif Akreditasi A

(Sangat Baik)

Berlaku mulai Tahun ajaran 2009 sampai

dengan 2014

Alamat Sekolah : Jl. Pangeran Antasari Plumbon Cirebon.

Telp. (0231) 320 890

5.1.2. Rekapitulasi Siswa Tahun Pelajaran 2009/2010

Tabel 5.1
Rekapitulasi Siswa Tahun Pelajaran 2009/2010
Jumlah Siswa
Kelas Program Keahlian
L P JML
Teknik Otomotif / Teknik
I Kendaraan Ringan 34 - 34

Teknik Otomotif / Teknik


II Kendaraan Ringan 47 1 48

III Teknik Mekanik Otomotif 37 - 37


Jumlah 118 1 119
Sumber : Profil SMK PGRI Plumbon Tahun Ajaran 2009/2010

5.2. Hasil Penelitian

5.2.1. Gambaran Responden Penelitian


44
45

Responden dalam penelitian ini adalah seluruh siswa perokok aktif

di STM PGRI Plumbon. Siswa yang hadir saat penelitian berjumlah 85

siswa dari 119 siswa secara keseluruhan. Dari 85 siswa tersebut, siswa

yang perokok aktif berjumlah 63 dan yang tidak merokok berjumlah

22 siswa. Adapun distribusi siswa perokok dan bukan perokok adalah

sebagai berikut:

Tabel 5.2
Distribusi Jumlah Siswa Perokok dan Bukan Perokok

No. Status Siswa Jumlah Persentase (%)

1. Perokok 63 74,12
2. Bukan Perokok 22 25,88

Total 85 100,0

Sumber : Data Penelitian, 2010.

Berdasarkan data penelitian setelah dilakukan cleaning data

dengan mengeliminasi data yang tidak valid maka dari 63 siswa

perokok yang mengisi angket diperoleh jumlah data valid sebanyak 51

dan tidak valid sebanyak 12. Data yang tidak valid tersebut disebabkan

oleh instrumen yang cacat dan adanya beberapa item yang tidak di

jawab oleh siswa yang dapat menyamarkan analisa data. Selanjutnya

berdasarkan jumlah data valid diatas dilakukan analisa data penelitian.

5.2.2. Analisa Univariat

5.2.2.1. Gambaran Kebiasaan Merokok Pada Remaja


46

Berdasarkan data penelitian dapat

diketahui bahwa sebagian besar responden pada

penelitian ini adalah perokok ringan yang

menghisap kurang dari 10 batang setiap harinya

sedangkan. Lebih jelasnya distribusi perokok

berdasarkan jumlah rokok yang dihisap

responden per hari dalam penelitian ini dapat

dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.3
Gambaran Kebiasaan Merokok Pada Remaja

No. Kebiasaan Merokok Jumlah Persentase (%)

1. Perokok Ringan 41 80,4


(<10 batang/hari)
2. Perokok Sedang 6 11,8
(10-20 batang/hari)
3. Perokok Berat 4 7,8
(> 10 batang/hari)
Total 51 100,0

Sumber : Data Penelitian, 2010.

Berdasarkan data diatas didapatkan hasil bahwa siswa di STM

PGRI Plumbon sangat didominasi oleh perokok ringan yang

menghisap kurang dari 10 batang per hari sebanyak 41 siswa

dengan persentase mencapai 80,4%. Jumlah perokok sedang

pada siswa di STM PGRI Plumbon sebanyak 6 siswa (11,8%)


47

dan perokok berat hanya 4 orang (7,8 %). Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada diagram berikut :

Grafik 5.1
Kebiasaan Merokok Pada Remaja

50

40
Frequency

30

20

10

0
Perokok Beratt Perokok Sedang Perokok Ringan

Kebiasaan Merokok Pada Remaja

5.2.2.2. Gambaran Gangguan Pola Tidur (insomnia)

Berdasarkan data penelitian, sebagian besar siswa tidak

mengalami insomnia yaitu sebanyak 40 siswa (78,4%) dan

hanya 11 siswa yang mengalami insomnia (21,6%). Distribusi

frekuensi gangguan pola tidur (insomnia) dapat dilihat pada

table berikut :
48

Tabel 5.4
Gambaran Gangguan Pola Tidur (insomnia)

No. Gangguan Pola Jumlah Persentase (%)


Tidur

1. Insomnia 11 21,6
2. Tidak Insomnia 40 78,4

Total 51 100,0

Sumber : Data Penelitian, 2010.

Tabel tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar siswa

yang diteliti tidak mengalami insomnia (78,4%) dan hanya

21,4% saja yang mengalami insomnia. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada diagram berikut :

Grafik 5.2
Gangguan Pola Tidur (insomnia)

40

30

Frequency
20

10

0
insomnia tidak insomnia

Gangguan Pola Tidur (insomnia)

5.2.2.3. Gambaran Stress Pada Remaja


49

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar siswa tidak

mengalami stress. Secara keseluruhan siswa yang tidak

mengalami stress sebanyak 42 siswa (82,4%), yang mengalami

stress ringan 5 siswa (9,8%), stress sedang 2 siswa (3,9%), stress

berat 2 siswa (3,9%), dan tidak ada seorangpun yang mengalami

stress sangat berat (0%). Distribusi frekuensi stress pada remaja

dapat dilihat pada table berikut :

Tabel 5.5
Gambaran Stress Pada Remaja

No. Tingkatan Stress Jumlah Persentase (%)

1. Stress Sangat Berat 0 0


2. Stress Berat 2 3,9
3 Stress Sedang 2 3,9
4 Stress Ringan 5 9,8
5 Normal 42 82,4

Total 51 100,0

Sumber : Data Penelitian, 2010.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut :

Grafik 5.3
Stress Pada Remaja
50

50

Frequency 40

30

20

10

0
Berat Sedang Ringan Normal

Stress Pada Remaja

5.2.3. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dalam penelitian ini hanya satu, yaitu

mengkaji hubungan kebiasaan merokok pada remaja dengan

gangguan pola tidur (insomnia). Tetapi, analisa bivariat dalam

penelitian ini melalui dua tahap analisa. Hal ini dikarenakan

adanya variabel perancu yaitu stress pada remaja. Analisa bivariat

dalam penelitian ini meliputi analisa sebelum eliminasi variabel

perancu dan setelah eliminasi variabel perancu. Analisa setelah

mengeliminasi variabel perancu adalah analisa akhir yang lebih

valid sehingga digunakan dalam menetapkan kesimpulan akhir.

5.2.3.1. Analisa Sebelum Eliminasi Variabel Perancu


51

Analisa ini untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan

merokok pada remaja dengan gangguan pola tidur tanpa

memperhitungkan variabel perancu. Analisa yang

diperoleh tergambar dalam tabel berikut :

Tabel 5.5
Hubungan Kebiasaan Merokok Pada Remaja dengan
Gangguan Pola Tidur (insomnia) di STM PGRI Plumbon Tahun 2010

Gangguan Pola
Kebiasaan Tidur (insomnia)
No Merokok Pada Total P value
Remaja Insomni Tidak
a Insomnia

0 4 4
1. Perokok Berat
(0%) (100%) (100%)

1 5 6
2. Perokok Sedang
(16,7%) (83,3%) (100%) 0,502

10 31 41
3. Perokok Ringan
(24,4%) (75,6%) (100%)

11 40 51
Total
(21,6%) (78,4%) (100%)

Sumber : Data Penelitian, 2010.

Dari data tersebut, didapatkan hasil bahwa pada

perokok berat, dari empat siswa perokok berat tidak ada

seorangpun yang mengalami insomnia. Jadi 100% perokok

berat tidak mengalami insomnia. Pada perokok sedang, 1


52

diantara 6 mengalami insomnia (16,7%), dan lima lainnya

tidak mengalami insomnia (83,3%). Pada perokok ringan

10 diantara 41 siswa mengalami insomnia (24,4%) dan 31

siswa lainnya tidak mengalami insomnia (75,6%).

Berdasarkan data diatas didapatkan hasil p

value=0,502. P value >0,05 artinya Ho gagal ditolak atau

Ho diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada

hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja dengan

gangguan pola tidur (insomnia).

5.2.3.1. Analisa Setelah Eliminasi Variabel Perancu

Analisa ini penting dilakukan untuk hasil penelitian

yang lebih akurat mengingat adanya variable perancu yaitu

stress pada remaja. Stress pada remaja dapat mempengaruhi

kebiasaan merokok maupun gangguan pola tidur

(insomnia). Teknik yang digunakan dalam mengeliminasi

variabel perancu dalam penelitian adalah teknik restriksi.

Teknik restriksi adalah teknik mengeliminasi

variabel perancu dengan cara menghilangkannya dalam

desain. Jika stress adalah perancu dalam hubungan antara

kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia)

maka dengan cara restriksi, sampel dengan stress positif

akan dieliminasi dalam penelitian. Jadi sampel yang


53

dianalisa adalah sampel yang tidak mengalami stress atau

normal. Dari distribusi frekuensi stress pada remaja jumlah

siswa yang tidak mengalami stress atau normal adalah

sejumlah 42 siswa (82,4%). Selanjutnya 42 siswa itulah

yang akan dianalisa dengan menggunakan metode chi

square dengan batas kemaknaan α=0,05.

Berikut adalah tabel hubungan kebiasaan merokok

dengan gangguan pola tidur (insomnia) setelah variabel

perancu dieliminasi.

Tabel 5.6
Hubungan Kebiasaan Merokok Pada Remaja dengan
54

Gangguan Pola Tidur (insomnia) di STM PGRI Plumbon Tahun 2010


Setelah dikontrol stress sebagai variabel perancu

Gangguan Pola
Kebiasaan Tidur (insomnia)
No Merokok Pada Total P value
Remaja Insomni Tidak
a Insomnia

0 3 3
1. Perokok Berat
(0%) (100%) (100%)

0 5 5
2. Perokok Sedang
(0%) (100%) (100%) 0,439

6 28 34
3. Perokok Ringan
(17,6%) (82,4%) (100%)

6 36 42
Total
(14,3%) (85,7%) (100%)

Sumber : Data Penelitian, 2010.

Berdasarkan data diatas didapatkan bahwa pada perokok

berat dan perokok sedang tidak ada seeorangpun yang mengalami

insomnia. Jadi 100% perokok berat dan perokok sedang tidak

mengalami insomnia. Pada perokok ringan 6 dari 34 siswa

mengalami insomnia (17,6%) dan 28 siswa lainnya tidak

mengalami insomnia (82,4%).

Pada analisa diatas didapatkan hasil p value=0,439. Artinya

p value > α (0,05) maka Ho gagal ditolak atau Ho diterima jadi

kesimpulannya tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok pada

remaja dengan gangguan pola tidur (insomnia).


55

BAB VI

PEMBAHASAN
56

6.1. Keterbatasan Penelitian

Rancangan yang dipakai dalam penelitian ini bersifat cross sectional

(potong lintang), dimana rancangan ini mempunyai kelemahan yaitu

pengambilan data variabel independen dan dependen dilakukan pada satu

waktu sehingga data yang didapat bisa jadi akan berbeda jika diambil pada

waktu yang lain tergantung kepada kondisi responden saat penelitian.

Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini berupa kuesioner.

Kelemahan kuesioner, karena sudah disediakan alternatif jawabannya

(bersifat tertutup) sehingga jawaban yang diberikan responden terpaku pada

jawaban yang sudah ada dan tidak bisa mengembangkan jawaban yang lebih

luas dan lengkap. Jumlah responden dalam penelitian ini sangat terbatas

dikarenakan kondisi tempat penelitian yang bersifat dinamis dan tidak dapat

diprediksi dalam arti jumlah responden dapat berbeda setiap harinya

dikarenakan kondisi siswa yang kompleks.

Instrumen untuk penilaian insomnia yang digunakan dalam penelitian

ini menggunakan skala insomnia pittsburg yang telah berstandar. Namun

pada kenyataannya instrumen ini hanya menilai insomnia secara umum tanpa

memperhitungkan gangguan baik pada fase tidur NREM maupun REM. Jika

instrumen yang digunakan mampu menilai gangguan tidur lebih spesifik pada

fase NREM dan REM dimungkinkan akan didapatkan hasil yang berbeda

dalam penelitian ini.


56
57

Dalam penelitian ini mencantumkan variabel perancu. Variabel

perancu dalam penelitian ini dieliminasi dengan menggunakan teknik

restriksi. Dengan teknik restriksi analisa yang dihasilkan akan terbebas dari

pengaruh variabel perancu. Kelemahan dari teknik ini hanya menghilangkan

variabel tersebut dalam disain penelitian dan tidak dapat mengetahui sejauh

mana pengaruh variabel perancu baik terhadap variabel dependen maupun

variabel independen. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh variabel

perancu terhadap variabel dependen maupun independen membutuhkan

analisa lanjutan dengan teknik regresi logistik yang tidak dibahas dalam

penelitian ini.

6.2. Pembahasan Hasil Penelitian

6.2.1. Univariat

6.2.1.1. Kebiasaan Merokok

Berdasatkan hasil riset yang dilakukan Dinas Kesehatan

Jawa Barat pada tahun 2007 menunjukan bahwa jumlah

perokok aktif di Jawa Barat mencapai 26,7 persen. Hasil riset

yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007

juga menyebutkan kebiasaan merokok di Jawa Barat rata-rata

didominasi sejak usia remaja 15-19 tahun, presentasinya

mencapai 50,4 persen (Depkes RI,2008).


58

Merokok bagi para remaja khususnya remaja yang masih

berusia sekolah menengah sudah menjadi hal biasa dan dapat

dibanggakan bagi mereka, bahkan banyak dari mereka yang

sudah menjadi perokok aktif. Di Indonesia, anak-anak berusia

muda mulai merokok disebabkan beberapa faktor diantaranya

yaitu karena kemauan sendiri, melihat teman-temannya, dan

diajari atau dipaksa merokok oleh teman-temannya (Sitepoe,

2000: 17).

`Pada umumnya remaja itu selalu ingin bertualang,

mencoba sesuatu yang belum pernah dialaminya. Mereka

ingin mencoba melakukan apa yang sering dilakukan oleh

orang dewasa. Dengan sembunyi sembunyi remaja pria

mencoba merokok karena seringkali mereka melihat orang

dewasa melakukannya, seolah-olah mereka ingin

membuktikan bahwa mereka mampu berbuat seperti orang

dewasa (Sugeng, 1995: 12).

Hasil penelitian yang dilakukan pada siswa di STM PGRI

Plumbon menggambarkan tingginya angka perokok remaja

yaitu sebesar 74,12%. Dari jumlah perokok tersebut, 41 siswa

adalah perokok ringan (80,4%), 6 siswa perokok sedang

(11,8%), dan 4 siswa perokok berat (7,8%). Hal ini

menggambarkan bahwa merokok adalah suatu yang tidak


59

asing bagi remaja terutama siswa sekolah menengah. Hal ini

di buktikan dengan tingginya angka perokok di STM PGRI

Plumbon mencapai 74,12%. Hal ini sejalan dengan pendapat

Sitepoe (2000) yang menyatakan bahwa remaja merokok

adalah hal yang biasa. Kebanyakan dari mereka juga adalah

perokok ringan (80,4%) yang artinya mereka hanya merokok

kurang dari 10 batang per hari yang artinya sebagian besar

dari mereka hanya mencoba dan belum sampai tingkat

perokok sedang maupun berat. Hal ini sejalan dengan

pernyataan Sugeng (1995), yang menyatakan bahwa remaja

merokok karena ingin mencoba hal-hal baru yang belum

pernah dilakukannya.

6.2.1.2. Gangguan Pola Tidur (insomnia)

Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan

tidur, baik secara kualitas maupun kuantitas. Gangguan tidur

ini umumnya ditemui pada individu dewasa. Salah satu

penyebab yang dibahas dalam penelitian ini adalah kebiasaan

merokok.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil 11 siswa

mengalami insomnia (21,6%) dan 40 siswa tidak mengalami

insomnia (78,4%). Angka tersebut menggambarkan bahwa

sebagian besar siswa tidak mengalami insomnia. Angka


60

insomnia tersebut belum menggambarkan kejadian insomnia

akibat kebiasaan merokok. Angka tersebut menggambarkan

kondisi siswa yang insomnia dengan berbagai sebab yang

bervariasi, termasuk akibat stress yang berperan sebagai

variable perancu dalam penelitian ini.

6.2.2.3. Stress

Berdasarkan hasil penelitian, 42 siswa (82,4%) dalam

keadaan normal atau tidak mengalami stress, 5 siswa (9,8%)

mengalami stress ringan, 2 siswa (3,9%) mengalami stress

sedang dan 2 siswa (3,9%) mengalami stress berat. Stress

adalah variable perancu dalam penelitian ini. Stress dapat

mempengaruhi kebiasaan merokok maupun insomnia. Pada

saat seseorang mengalami stress, maka ia cenderung

melakukan hal yang tidak biasa dilakukannya contohnya

merokok, disamping itu pada saat seseorang stress maka ia

cenderung akan mengalami insomnia. Dengan teknik restriksi,

pada analisa bivariat, responden yang mengalami stress baik

stress ringan, sedang, maupun berat akan dieliminasi sehingga

responden yang diperhitungkan pada analisa akhir hanya

responden yang normal atau tidak mengalami stress.

6.2.2. Bivariat
61

6.2.2.1. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pola Tidur

(insomnia)

Punjabi dan kawan-kawan di tahun 2006 yang meneliti efek

nikotin pada pola tidur seseorang. Perokok ternyata

membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur dibanding orang

yang tidak merokok. Mereka jadi sulit tidur. Pada penelitian

selanjutnya yang dipublikasikan pada Februari 2008, Punjabi

dan kawan-kawan lebih menyoroti efek kecanduan rokok pada

pola tidur. Secara teoritis, nikotin akan hilang dari otak dalam

waktu 30 menit. Tetapi reseptor di otak seorang pecandu seolah

‘menagih’ nikotin lagi, sehingga mengganggu proses tidur.

Dari penelitian tersebut didapatkan, jumlah orang yang

melaporkan rasa tak segar atau masih mengantuk saat bangun

tidur pada perokok adalah 4 kali lipat dibandingkan orang yang

tidak merokok (Prasadja,2009).

Berdasarkan hasil penelitian sebelum mengeliminasi

variable perancu, didapatkan hasil bahwa 11 siswa perokok

mengalami insomnia (21,6%) dan 40 siswa perokok tidak

mengalami insomnia (78,4%). Berdasarkan hasil analisa

dengan menggunakan metode chi square didapatkan hasil

bahwa p value=0,502 yang artinya p value > 0,05 dan Ho gagal

ditolak atau Ho diterima sehingga ditarik kesimpulan bahwa


62

tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan

gangguan pola tidur (insomnia).

Berdasarkan hasil analisa setelah mengeliminasi variable

perancu didapatkan hasil bahwa 6 siswa perokok mengalami

insomnia (14,3%) dan 36 siswa tidak mengalami insomnia

(85,7%). Berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan

metode chi square didapatkan hasil p value = 0,439 yang

artinya p value > 0,05 dan Ho gagal ditolak atau Ho diterima

sehingga ditarik kesimpulan akhir bahwa tidak ada hubungan

antara kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur

(insomnia).

Hasil penelitian ini menunjukan tidak ada hubungan antara

kebiasaan merokok baik dengan atau tanpa memperhitungkan

stress sebagai variable perancu dengan gangguan pola tidur

(insomnia). Hal ini berlawanan dengan penelitian Punjabi dkk

(2002) seperti yang diungkapkan Prasadja (2009) bahwa pada

perokok usia muda atau perokok pemula cenderung mengalami

insomnia akibat efek menagih dari rokok yang tak tertahankan.

Prasadja juga mengungkapkan bahwa pecandu akut yang

baru mulai kecanduan rokok, selain lebih sulit tidur, mereka

juga dapat terbangun oleh keinginan kuat untuk merokok

setelah tidur kira-kira 2 jam. Setelah merokok mereka akan


63

sulit untuk tidur kembali karena efek stimulan dari nikotin. Saat

tidur, proses ini akan berulang dan ia terbangun lagi untuk

merokok (Prasadja,2009). Hal inipun berlawanan dengan hasil

penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara

kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia).

BAB VII
64

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Setelah dianalisa dan dilakukan pembahasan terhadap data yang telah

diperoleh, maka dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Jumlah perokok aktif di STM PGRI Plumbon terbagi menjadi perokok ringan 41

siswa (80,4%), perokok sedang 6 siswa (11.8%), dan perokok berat 4 siswa

(7,8%).

2. Siswa yang mengalami insomnia sejumlah 11 siswa (21,6%) dan 40 siswa

(78,4%) tidak mengalami insomnia.

3. Sebelum mengeliminasi variabel perancu diambil kesimpulan tidak ada hubungan

antara kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia).

4. Setelah mengeliminasi variabel perancu, diambil kesimpulan akhir bahwa tidak

ada hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun dengan

gangguan pola tidur (insomnia) di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon.

7.2. Saran

7.2.1. Bagi Siswa 64


65

Dalam penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara

kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia), tetapi

tidak dapat dipungkiri bahwa secara medis rokok memilik efek

negative terhadap semua system tubuh. Jadi kepada siswa diharapkan

untuk menghentikan kebiasaan merokok dan bagi yang tidak merokok

agar jangan mencoba untuk merokok. Salah satu cara yang dapat

digunakan untuk menghentikan kebiasaan merokok yaitu dengan

minum air sekurang-kurangnya 8 gelas perhari, mengkonsumsi buah

dan sayuran segar serta rutin berolahraga dan sedapat mungkin

menghindari pergaulan dengan para perokok selama beberapa minggu.

7.2.2. Bagi Sekolah

Sekolah adalah sarana pendidikan yang efektif bagi siswa dan remaja

khususnya. Oleh karena itu diharapkan adanya sosialisasi dari pihak

sekolah dengan bekerjasama dengan institusi kesehatan yang ada

tentang bahaya merokok agar sedini mungkin diminimalkan kebiasaan

merokok pada siswanya.

7.2.3. Bagi Institusi Kesehatan

Rokok adalah masalah yang sulit teratasi karena jumlah populasinya

yang semakin bertambah terutama pada usia remaja. Institusi

kesehatan yang ada diharapkan lebih meningkatkan promosi kesehatan

terutama tentang bahaya merokok. Karena sebagian besar perokok

adalah usia remaja dan usia remaja sangat potensial untuk menjadi
66

perokok maka diharapkan promosi kesehatan lebih digencarkan di

sekolah-sekolah terutama sekolah menengah.

7.2.4. Bagi Peneliti Lain

Dalam penelitian ini membahas tentang hubungan antara kebiasaan

merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia). Diharapkan bagi

peneliti lain agar dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk

mengadakan penelitian terkait kebiasaan merokok dengan efek

negative lain yang mungkin ditimbulkan. Penelitian yang mengkaji

efek-efek negative tentang merokok dapat memberikan keyakinan

masyarakat akan bahaya rokok dan merupakan sarana promosi

kesehatan yang efektif.

DAFTAR PUSTAKA
67

Alghifari, Abu. 2003. Remaja Korban Mode. Bandung : Mujahid.

Anonim. 31 Mei 2009. 10 Negara dengan Jumlah Perokok Terbesar di Dunia


http://nusantaranews.wordpress.com. Diakses 6 April 2010. Diakses 6
April 2010.

Bangun, A.P. 2008. Sikap Bijak Bagi Perokok. Jakarta : Indocamp.

Budiarto. 2001. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat.


Jakarta: EGC.

Bustan, M.N. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta: Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta:


Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta :


Salemba Medika.

Hurlock, Elizabeth. 1999. Psikologi Perkembangan. Jakarta. PT Gramedia.

Listiani, Amelia S.S. 2007. Rahasia Tidur Malam yang Nyenyak. Jakarta :
Interaksara.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.


Rineka Cipta.

Nursalam. 2000. Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Infomedika.

Pdpersi. 2003. Ada Apa Dengan Rokok. http.// www.red-bondowoso.or.id.


Diakses 6 April 2010.

Prasadja, Andreas. 29 Agustus 2009. Kesehatan Tidur dan Kebiasaan Merokok.


http://sleepclinicjakarta.tblog.com/. Diakses 6 April 2010.

Prasadja, Andreas. 2008. Cermin Dunia Kedokteran. Obstructive Sleep Apnea, 35,
331-333.

Qimi. 20 Juni 2009. Gangguan Pola Tidur. http://www.kaltimpost.co.id. Diakses


6 April 2010.

Riyanto, Agus. 2009. Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Bantul : Nulia
Medika.
68

Saryono. 2010. Kumpulan Instrumen Penelitian Kesehatan. Bantul : Nulia


Medika.

Sastroasmoro, Sudigdo dan Sofyan Ismael. 1995. Dasar-Dasar Metode Penelitian


Klinis. Jakarta. FKUI.

Sitepoe, Mangku. 1997. Usaha Mencegah Bahaya Merokok. Jakarta:Gramedia.

Smet, Bart.1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana


Indonesia.

Soamole, Iqbal. 2006. HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP MEROKOK


DENGAN KEBIASAAN MEROKOK PADA REMAJA . Skripsi S1.
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2006.

Sriati, Aat. 2008. Tinjauan Tentang Stress. Fakultas Ilmu Keperawatan


Universitas Padjajaran Bandung.

Sugeng, Hariyadi. 1997. Perkembangan Peserta Didik. Semarang. IKIP


Semarang.

Trim, Bambang. 2006. Merokok itu Konyol. Jakarta : Ganesha Exact.

You might also like