You are on page 1of 24

Pendahuluan

Televisi dan Budaya

Saat ini, menonton televisi sudah menjadi gaya hidup masyarakat modern. Bahkan media televisi
menjadi media komunikasi massa yang memiliki jangkauan terluas saat ini. Bahkan George
Gerbner menyebut televisi sebagai sebuah “agama baru” dalam keluarga. Televisi katanya telah
menggeser nilai-nilai yang telah ada sebelumnya .Televisi dalam hal ini tidak hanya menjadi
media komunikasi massa yang memiliki fungsi-fungsi sebagai sarana informasi, hiburan ,
persuasi, pengawasan namun juga sebagai transmisi budaya.

Sebagai transmisi budaya, televisi menjadi sarana bergesernya nilai, norma budaya masyarakat.
Karena sifatnya yang massif maka secara langsung maupun tidak, televisi akan selalu memiliki
pengaruh terhadap pembentukan pola pikir masyarakatnya, serta media yang kuat dalam
penetrasi kebudayaan, bahkan tidak jarang seringkali televisi dianggap sebagai sarang polusi
bagi kebudayaan, sarang penciptaan nilai-nilai konsumerisme, hedonism, romantisme yang
berlebihan, dan sebagainya.

Program televisi juga dapat dilihat sebagai representasi, pembentukan identitas dan cerminan
realitas sosial atau bahkan menciptakan cerminan itu di dalam masyarakat (mitos kebenaran).
Seperti yang diungkapkan Dr. Philip Kitley bahwa, "belakangan ini televisi menyebarkan secara
luas sajian gaya hidup, gaya perilaku, dan representasi diri lebih daripada yang sudah-sudah."

Identitas di sini adalah apa yang menurut Stuart Hall sebagai points of temporary attachment to
the subject positions which discursive practices construct for us. Identitas menjadi sebuah
konstruk sosial yang tidak permanen. Identitas adalah sebuah posisi subyektivitas. Selanjutnya,
posisi di mana kita mengidentifikasikan diri dan diidentifikasi orang lain tidak netral atau setara.
Artinya, kekuasaan bermain dalam menentukan identitas seseorang; masyarakat kontemporer
sering mencari identitas budaya mereka sendiri lewat apa yang disebut Gordon Matthews sebagai
cultural supermarket.
Siaran radio, homepage di internet, film, musik, slogan di t-shirt, makanan, pakaian, karya seni,
dan lain-lain dapat memberikan bahan bagi pembentukan identitas budaya seseorang. Hal ini
menunjukkan bahwa identitas beroperasi lewat kondisi sosial dan material.Begitupun televise
menjadi pasar budaya yang menjual berbagai macam bahan untuk pembentukan identitas
seseorang.

Gender dan Penguatannya.

Perbedaan antara wanita dan laki-laki bukan hanya perbedaan biologis, melainkan juga
perbedaan peran gender yang dibentuk dan disosialisasikan oleh masyarakatnya. Gender adalah
suatu istilah konsep yang tidak sama dengan seks atau jenis kelamin. Gender merupakan
seperangkat peran yang diperuntuk untuk laki-laki dan perempuan yang disosialisikan melalui
proses sosial budaya. Gender adalah atribut yang dilekatkan, dikodifikasi dan dilembagakan
secara sosial maupun kultural kepada perempuan dan laki-laki.

Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional atau
keibuan. Sementara laki-laki dianggap kasar, kuat, perkasa, dan jantan (Fakih, 1999). Gender
adalah seperangkat peran yang menyampaikan pesan kepada orang lain bahwa kita adalah
feminim atau maskulin (Mosse, 1996).

Gender berbeda dengan seks. Seks atau jenis kelamin adalah pensifatan atau pembagian dua jenis
kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.
Misalnya manusia laki-laki adalah manusia yang memiliki penis dan memproduksi sperma.
Perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi seperti rahim alat saluran untuk
melahirkan, memproduksi telur, memiliki payudara, dan memiliki vagina.

Perbedaan anatomi biologis antara laki-laki dan perempuan cukup jelas, akan tetapi efek yang
timbul akibat perbedaan jenis kelamin inilah menimbulkan perdebatan, karena perbedaan jenis
kelamin secara bilogis (Sex) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya
terhadap jenis kelamin inilah yang dinamakan dengan “gender’’.

Laki - laki identik dengan rasionalitas yang mengontrol tubuh bagian kanan, sedang perempuan
identik dengan intuitip dan reseptip yang mengontrol bagian kiri. Oposisi antara rasionalitas
melawan intuitip dan reseptip diterjemahkan menjadi cepat melawan lamban, rasio melawan
intuisi, kanan melawan kiri, gagah melawan cengeng, lemah melawan kuat dan kategorisasi –
kategorisasi lain yang tidak sekedar merendahkan kedudukan perempuan, tetapi juga
mensubordinasi perempuan.

Isu gender selalu ingin menyetarakan perempuan dalam konteks global maupun lokal. Semua
pengetahuan mengenai bagaimana perempuan mengalami penindasan ini dapat kita amati
melalui fenomena kekerasan dalam rumah tangga, pembentukan stereotip akan peran perempuan
dan laki-laki, serta diskriminasi salah satu gender dalam lingkungan .

Gender merupakan produk budaya, di mana konstruksi sosial dan budaya akan peran laki-laki
dan perempuan dibentuk dan diwacananakan. Gender terbentuk dalam jaringan-jaringan
pengetahuan yang pada akhirnya akan merugikan salah satu pihak, sehingga muncullah
ketidaksetaraan gender.

Lingkungan yang paling kecil, seperti keluarga pun menjadi media pembentukan gender.
Seringkali kasus ketidakadilan gender bermula dari keluarga. Seperti pendidikan pada anak,
perlakuan terhadap anak sampai pada peran istri dan suami di dalam keluarga.

Membahas mengenai peran sangat terkait dengan isu gender. Bagaimana peran istri bisa
dikonstruksikan hingga menjadi pengetahuan yang sepertinya alamiah bahwa peran istri adalah
‘’dapur,sumur,kasur’’, menurut istilahnya yang secara tidak langsung menempatkan peran istri
hanya dalam sektor domestik saja.

Semua peran ini pun terus diproduksi dan diperkuat melalui media, seperti televisi dan radio
maupun majalah.

Televisi (TV) sebagai media komunikasi massa merupakan media yang strategis dalam
sosialisasi nilai dan gagasan. TV pun mempunyai pengaruh dalam pembentukan karakter
individu dan mampu mendorong individu untuk meyakini suatu standar kebenaran. "Kebenaran"
yang disosialisasikan TV dapat menjadi frame of references pemirsa.

Manifestasi ketidakadilan gender

1. Marginalisasi
Proses terjadinya Marginalisasi bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama,
tradisi dan budaya, dan bahakan asumsi ilmu pengetahuan.
2. Gender Dan Subordinasi
Anggapan bahwa Perempuan itu lemah, irrasional, emosional, dll. Mengakibatkan perempuan itu
tidak bisa tampil dalam ruang publik ataupun menjadi memimpin. Perempuan selalu
tersubordinasi atau nomor dua.
3. Gender Dan Stereotipe
Pelabelan negati dalam masyarakat. Manja, lemah, wanita penghibur, penggoda, perempuan
malam dsb.
4. Gender Dan Kekerasan
Kekerasan (violence) adalah serangan atau invansi terhadap integritas mental, psikologi
seseorang. Kekerasan ini biasanya terjadi karena adanya bias gender.
5. Gender Dan Beban Kerja (double burden)
Karena perempuan di stereotipe-kan berada pada wilayah domestik, maka perempuan lebih
banyak menanggung beban untuk pemeliharaan rumah dan krapaihannny. Terlebih beban kerja
tersebut bisa mendaji dua kalilipat kalau mereka bekerja di luar rumah.

Masalah yang ingin dibahas

Dilatarbelakangi oleh isu gender ini, maka makalah ini disusun dengan semangat emansipatoris
dari penulis untuk memandang kritis wacana gender dalam dunia pertelevisian saat ini.

Masalah yang ditemui adalah ‘’Bagaimana isu gender dimasukkan dalam sebuah program
televisi?’’, terutama dalam hal ini mengenai isu peran suami istri dalam keluarga melalui sebuah
Komedi Situasi Suami-Suami Takut Istri, yang beberapa bulan ini hadir di layar kaca kita.
Komedi Situasi yang selalu mengambil tema mengenai permasalahan rumah tangga ini
menggambarkon kondisi suami yang didominasi oleh istri. Tentu saja tema memiliki banyak
interpretasi. Oleh karena itu penulis ingin menunjukkan adanya isu ketidaksetaraan gender di
dalam Komedi Situasi ini dan bagaimana pembentukan stereotip lahir di dalam tayangan ini.

Sekilas mengenai Komedi Situasi Suami-Suami Takut Istri


Sitkom yang ditayangkan oleh TRANS TV ini berjudul Suami-suami Takut Istri, digarap oleh
Rumah Produksi Multivision Plus di bawah arahan sutradara Sofyan De Surza. Program ini
tayang setiap Senin hingga Jumat, pukul 18.00 WIB, sejak 15 Oktober 2007.

Sitkom yang tujuannya ingin memberikan hiburan yang bermutu dan merakyat ini diperankan
oleh Otis Pamutih sebagai Sarmili (Pak RT), Aty Fathiyah sebagai Sarmila (Bu RT), Marissa
sebagai Sarmilila, Irvan Penyok sebagai Karyo, Putty Noor sebagai Sheila, Yanda Djaitov
sebagai Tigor, Asri Pramawati sebagai Welas, Ramdan Setia sebagai Faisal, Melvy Noviza
sebagai Deswita, Epy Kusnandar sebagai Mang Dadang, Desi Novitasari sebagai Pretty, Ady
Irwandi sebagai Garry.

Suami-suami Takut Istri mengangkat fenomena suami-suami yang tinggal di suatu area
perumahan. Mereka semua memiliki kesamaan yaitu berada di bawah dominasi istri-istri mereka.
Perasaan ‘senasib sepenanggungan’ ini tumbuh makin kuat,sehingga mereka membentuk aliansi
tidak resmi bagi suami-suami yang takut istri ini.

Mereka saling mendukung dan mencela. Saling menguatkan agar tidak lagi mau ditindas,
walaupun seringkali sang pemberi nasihat justru masih takut istri juga. Para istri di komplek
perumahan tersebut juga membentuk perkumpulan yang sama. Mereka saling memberi
dukungan agar tidak kehilangan kendali atas suami-suami mereka.

Kedatangan Garry dan Cynthia, calon suami istri, yang juga akan tinggal di komplek perumahan
tersebut membawa harapan baru. Bagi para suami, Garry adalah harapan untuk melepaskan diri
dari belenggu istri. Karena mereka sendiri sudah terlanjur berada dalam belenggu itu.

Kubu istri juga tidak mau kalah. Mereka sering bertemu untuk bertukar pikiran mengenai trik
terbaik menaklukkan suami-suami. Pertemuan-pertemuan ini seringkali mengharuskan para
suami terusir dari rumah mereka sendiri. Mengalah demi sang istri. Adapula Pretty, seorang
janda kembang yang menjadi bulan-bulanan ibu-ibu perumahan. Stigma sosial atas statusnya
sebagai janda, membuatnya dijauhi ibu-ibu, dan didekati suami-suami.
Pembahasan

Pernikahan dan Gender dalam Realita Sosial

Pernikahanan adalah bersatunya seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami
isteri untuk membentuk keluarga. Pada umumnya masing-masing pihak telah mempunyai pribadi
sendiri yang telah terbentuk. Karena itu untuk dapat menyatukan satu dengan yang lain perlu
adanya saling penyesuaian, saling pengertian dan hal tersebut harus disadari benar-benar oleh
kedua pihak yaitu oleh suami-isteri (Walgito, 1984). Selanjutnya diungkapkan bahwa salah satu
syarat yang penting dalam suatu perkawinan adalah faktor psikologis, yang meliputi kematangan
emosi, pikiran, sikap toleran, sikap saling pengertian antara suami dan isteri, sikap saling
percaya-mempercayai dan sikap saling bantu-membantu dalam meringankan tugas antara suami
dan isteri.

Pentingnya peranan suami dalam kegiatan rumah tangga akan membantu menyelamatkan isteri
dari kelebihan peran yaitu peran dalam keluarga dan peran dalam masyarakat, sehingga dengan
demikian isteri merasa dihargai dan suasana keluarga akan lebih baik. Seperti yang diungkapkan
oleh Sobur dan Septiawan (1999) bahwa bila suami ikut terlibat dalam kegiatan rumah tangga,
minimal isteri akan merasa terbantu karena perhatian suami. Apalagi jika isteri adalah seorang
pekerja, ada nilai kemandirian yang harus diterima oleh suami dalam kehidupan rumah tangga
tersebut.
Pada kenyataannya, dewasa ini masih banyak suami yang melimpahkan tugas-tugas rumah
tangga hanya pada isteri. Selama generasi yang ada perempuanlah yang mengerjakan pekerjaan
rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan mengasuh anak. Pria bertugas melakukan
pekerjaan di luar seperti mencari nafkah, melindungi keluarga, memeriksa dan mengawasi
ternak, dan sebagainya.

Peran Gender

Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat bahwa keterlibatan suami sangat dipengaruhi oleh
pandangan normatif yang berlaku dalam masyarakat yang sesuai dengan peran jenisnya. Menurut
peran jenis yang stereotip bagi laki-laki, mandiri adalah wajar bagi anak laki-laki, sedangkan
sikap tergantung adalah tepat untuk anak perempuan.

Hal seperti ini secara tradisional sudah ditanamkan dalam benak individu tentang kekhasan
perilaku seorang perempuan (feminin) dan kekhasan perilaku seorang laki-laki (maskulin), yang
oleh Hurlock disebut dengan peran gender dan yang akhirnya akan membentuk suatu pendapat
yang dapat menjadi suatu norma dalam masyarakat. Masyarakat berpendapat bahwa perempuan
secara badaniah berbeda dengan laki-laki, misalnya perempuan melahirkan anak, suaranya
lebih halus, buah dadanya lebih besar dan sebagainya.

Karena keadaan fisik ini,Budiman (1981) menyatakan bahwa perempuan berbeda secara
psikologis dengan laki-laki, dimana perempuan lebih emosional, lebih pasif dan lebih submisif
sedangkan laki-laki lebih rasional, lebih aktif dan lebih agresif. Pendapat yang ada dalam
masyarakat mengenai peran gender tercermin dalam sikap orang tua dan orang dewasa lainnya
yang muncul dalam lingkup rumah tangga. Pendapat mengenai peran gender yang menjadi
norma dalam suatu masyarakat akan membentuk pandangan yang bersifat normatif. Pandangan
normatif mengenai bagaimana seharusnya hubungan peran antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang dikaitkan dengan kultur budaya yang disebut sebagai gender role ideology
(William & Best, 1990).

Selanjutnya dijelaskan bahwa pandangan mengenai peran gender ini bervariasi sepanjang suatu
kontinum, dimulai dari pandangan tradisional sampai dengan pandangan modern yang menolak
norma-norma yang berlaku secara tradisional dan menerima prinsip-prinsip egalitarian atau
kesetaraan.
Berdasarkan pandangan tradisional, peran utama laki-laki adalah sebagai penguasa utama rumah
tangga yang memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga. Dengan demikian
anggota keluarga lain termasuk isteri harus tunduk kepada penguasa utama tersebut. Laki-laki
dalam posisinya sebagai suami dan ayah merupakan figur sentral dalam keluarga. Kewibawaan,
harga diri,dan status ayah atau suami harus dijaga oleh anggota keluarga karena atributatribut
tersebut sangat menentukan status dan kedudukan keluarga dalam masyarakat ( Kusujiarti, dalam
Abdullah, 1997 ).
Keterlibatan Suami dalam Kegiatan Rumah Tangga

Teori yang membahas keterlibatan suami dalam kehidupan rumah tangga


menurut Strong & De Vault ( 1989 ) adalah :
a. Structural Functionalism
Teori ini memandang masyarakat sebagai sistem yang terdiri atas bagian
yang saling berkaitan (Fakih, 1996). Masing-masing struktur dalam masyarakat
seperti agama, pendidikan, struktur politik dan rumah tangga, secara terus menerus
mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni. Adapun interrelasi terjadi karena
adanya konsensus. Pola yang non normatif dianggap akan melahirkan gejolak. Jika
hal itu terjadi maka masing-masing bagian akan cepat menyesuaikan diri untuk
mencapai keseimbangan kembali.
Jika suami terlibat dalam urusan rumah tangga, akan terjadi pola yang non
normatif yaitu suami sesuai dengan sifat instrumental yang mampu bersaing, teguh,
yakin pada kemampuan diri dan rasional, lebih mendukung fungsi suami untuk
sukses di dunia luar rumah (Strong & De Vault, 1989).
b. Conflict theory.
Dalam keluarga, terjadi konflik antara cinta dan kasih sayang dengan
kekuasaan. Hal ini disebabkan karena individu yang terlibat dalam keluarga adalah
individu yang masing-masing memiliki kepribadian, minat dan tujuan yang berbeda.
Suami merasa mendapat legitimasi kekuasaan dan isteri tergantung secara
keuangan dengan suami, sehingga suami mengalami konflik antara melestarikan
kekuasaan dan membantu pekerjaan rumah tangga untuk membuktikan rasa cinta
terhadap isteri.
c. Symbolic Interaction Theory.
Suami dapat menyalahartikan gerakan atau ucapan yang diungkapkan oleh
pasangan. Simbol-simbol yang tampak seringkali tidak dimengerti oleh suami, akibat
komunikasi yang kurang terbuka antar pasangan. Dengan adanya berbagai peran
yang disandang oleh individu, membutuhkan keterbukaan dan penyesuaian baru
yang selaras dengan situasi, harapan dan kebutuhan bersama, sehingga tercipta
kerja sama yang baik dalam menyelesaikan tugas dalam rumah tangga.
d. Family Systems Theory.
Sistem kekeluargaan yang terdapat dalam setiap keluarga tidaklah sama,
seperti dukungan isteri dan masyarakat mengenai setuju atau tidaknya suami ikut
serta dalam kegiatan rumah tangga. Persetujuan ini diberikan tergantung dari latar
belakang budaya yang dianut isteri dan masyarakat. Menurut Abdullah (1997),
dalam masyaraka Jawa dianut paham patriarkis yang memihak kepada kaum lakilaki
dan menekankan peranan perempuan sebagai ibu dan isteri. Hal ini menghalangi
suami untuk turut terlibat dalam urusan rumah tangga, karena rumah tangga
merupakan wilayah isteri.
e. Social Exchange Theory.
Dalam teori ini, segala kegiatan didasarkan atas perhitungan untung-rugi.
Bantuan yang diberikan oleh suami, diperhitungkan merupakan hal yang
menguntungkan atau merugikan suami. Keuntungan yang didapat tidak saja dalam
bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk cinta, persahabatan, kekuasaan, status sosial
dan lain-lain. Kerugian yang mungkin terjadi misalnya dalam bentuk kesepian,
ketakutan dan kurangnya penghargaan. Dengan mengadakan komitmen yang harus
disetujui bersama, rasa persaingan antara suami-isteri dapat diatasi.
Dari beberapa teori tersebut dapat disimpulkan bahwa keterlibatan suami
dalam rumah tangga ditentukan oleh :
a. Pandangan masyarakat yaitu pantas tidaknya seorang suami ikut terlibat dalam
kegiatan rumah tangga sesuai norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut
dan latar belakang budaya.
b. Adanya komitmen yang harus disetujui bersama oleh pasangan suami-isteri
dengan cara kompromi dan saling terbuka antara pasangan tersebut.
c. Adanya sikap saling menghargai antara suami dan isteri sebagai perwujudan atas
rasa cinta.
Perkembangan Pembentukan Identitas Peran Gender

Sejak kanak-kanak individu diperlakukan berbeda, untuk menjamin individu


dapat menjalankan tugas peran sosialnya pada masa dewasa. Teori yang membahas
mengenai perkembangan pembentukan identitas peran gender, diantaranya adalah :
a. Teori Psikoanalisa
Tokoh utama dari aliran psikoanalisa adalah Sigmund Freud, yang berpendapat bahwa
perkembangan peran gender pada anak terjadi karena adanya proses identifikasi anak pada orang
tua yang berjenis kelamin sama. Proses terjadi pada tahap perkembangan phalic, yaitu antara dua
setengah tahun sampai enam tahun, pada waktu itu anak mengalami konflik yang kemudian
mempengaruhi perkembangan peran gendernya. Proses identifikasi ini merupakan ikatan yang
didasarkan pada kebutuhan anak untuk dicintai dan ketakutan anak terhadap orang tua.
b. Teori Belajar Sosial ( Social Learning Theory )
Berasal dari aliran behaviorist yang menerangkan tingkah laku lebih ditekankan pada hal-hal
yang dapat diamati dan konsekuensi yang menyertai, dibandingkan hal-hal yang merupakan
perasaan-perasaan atau dorongan dari dalam. Anak belajar melalui proses imitasi dan melalui
ganjaran terhadap tingkah laku yang konsisten dengan jenis kelamin.
Teori ini berpendapat bahwa anak belajar mengabstraksikan informasi dan perilaku orang lain,
mengambil keputusan mengenai perilaku mana yang akan ditiru (imitasi), kemudian melakukan
perilaku yang telah dipilih. Hubungan antara pribadi anak dengan orang dewasa, menyebabkan
anak meniru atau menyerap perilaku social misalnya anak laki-laki boleh berbuat kasar, boleh
lebih aktif, lebih rebut daripada anak perempuan; sedangkan anak perempuan diharapkan lebih
berperasaan halus dan bersikap tidak kasar. Dengan demikian modeling atau mengamati perilaku
orang lain membuat anak belajar membentuk peran gender.
c. Teori Perkembangan Kognitif ( Cognitive Developmental Theory )
Teori ini memusatkan perhatian pada aktivitas anak dalam menginterpretasikan pesan yang
diterima dari lingkungan. Lawrence Kohlberg (dalam Berk, 1989) berdasarkan rumusan Piaget,
berpendapat bahwa perkembangan identitas peran gender dimulai dengan gender constancy.
Seseorang lebih dulu menjalani kategorisasi diri sendiri yang kognitif, yaitu mengenal diri
sendiri sebagai laki-laki atau perempuan, baru sesudahnya pengaruh lingkungan mulai tampak.
Pada saat anak berusia dua tahun, anak dapat mengidentifikasi diri dengan orang lain dengan
benar sebagai laki-laki atau perempuan, tetapi anak cenderung mendasarkan pada hal-hal yang
tampak saja seperti panjang rambutnya atau pakainnya, tidak dapat dengan ciri-ciri biologis
berdasarkan jenis kelamin.
Reinforcement tidak dapat membuat pengertian tersebut, sebab kemampuan anakterbatas sesuai
dengan tahap perkembangan kognitif individu. Pada usia enam atau tujuh tahun, anak mulai
paham bahwa jenis kelamin
bersifat tetap, tidak dapat berubah seperti contoh mengganti baju. Anak dapat mengerti bahwa
karakter dasar tidak dapat berubah, sebab anak memiliki kemampuan untuk mencapai ide
tersebut. Anak belajar secara mandiri berusaha untuk menampilkan tingkah laku sebagai anak
laki-laki atau anak perempuan yang diharapkan. Anak melakukan ini sendiri sebab adanya
kebutuhan dari dalam untuk keseimbangan antara apa yang anak tahu dan bagaimana anak
menampilkannya. Model dan reinforcement menolong agar anak mengetahui sejauh mana yang
dilakukan sesuai dengan orang lain, tetapi motivasi dasar adalah bersifat internal.
d. Teori Skema Gender ( Gender Schema Theory )
Bem (dalam Berk, 1989) mengemukakan bahwa pengenalan jenis kelamin didasarkan pada
proses penyerapan informasi dari lingkungan oleh anak, yang didasarkan pada skema gender.
Skema peran gender mengandung dimensi sosial dan intelektual, merupakan suatu jaringan yang
saling berhubungan dan membentuk bagain dasar dari kerangka konseptual seseorang individu
mengenai peran gender.

Menurut Bem, setiap individu berbeda dalam derajat penggunaan skema peran gender untuk
memproses informasi mengenai diri mereka sendiri dan orang lain. Konsep diri seseorang pada
akhirnya berasimilasi dengan skema gender. Evaluasi diri disusun disekitar penilaian seberapa
jauh diri sendiri dipersepsikan serupa dengan skema gender. Lebih lanjut dijelaskan bahwa anak-
anak yang mempunyai kepercayaan stereotip dan persepsi diri kuat, skema gender tampil
ekstrim. Jika lingkungan tidak melebih-lebihkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, anak
akan menggunakan skema peran gender dengan derajat yang ringan. Hal ini memungkinkan
seseorang tidak langsung digolongkan sebagai maskulin dan feminin, sehingga timbul
kemungkinan baru yaitu androgini yang menggunakan skema dengan ruang lingkup lebih
terbatas dan pada hal-hal yang relevan saja.

Sebagai kesimpulan dari teori-teori di atas, faktor-faktor biologis merupakan dasar bagi
perkembangan tingkah laku spesifik laki-laki atau perempuan; sedangkan proses belajar sosial
sejak awal telah menyumbang pada pembentukan identitas kelamin melalui norma-norma sosial
yaitu penilaian apa yang baik atau tidak baik bagi anak laki-laki atau perempuan, baik melalui
imitasi maupun secara kognitif.

Analisis Umum

Di dalam Sitkom Suami Suami Takut Istri ini kita dapat melihat adanya suatu stereotip tentang
tipikal istri-istri yang ditakuti oleh suaminya, dan juga gambaran sebaliknya, yakni tentang suami
yang takut kepada istrinya. Tipikal istri yang ditakuti oleh suaminya dideskripsikan sebagai istri
yang bersifat judes, galak, bersifat mengatur dan memiliki raut wajah yang keras, dan
perilakunya cenderung mendominasi sang suami dalam kehidupan kesehariannya, caci maki
yang sering dilontarkan oleh sang istri kepada suami juga menguatkan kesan ini.

Sedangkan jika kita melihat pada tokoh suami, kita dapat tipikal melihat tokoh suami yang takut
kepada sang istri yang digambarkan sebagai lelaki yang pembawaan wataknya cenderung lunak,
takut, dan penurut kepada para istri. Namun keadaan mereka yang selalu berada dibawah tekanan
sang istri (hal ini muncul sebagai konflik pada diri masing-masing suami) menimbulkan suatu
keinginan untuk berusaha bangkit dan membalikkan keadaan. Namun, gambaran stereotip
tentang suami-suami yang takut istri ini benar-benar menggambarkan ketidakberanian secara
penuh dari para suami untuk membalikkan keadaan karena rasa takut yang mereka miliki lebih
besar daripada keinginan mereka untuk bertindak.

Stereotip-stereotip tentang hubungan suami istri ini merupakan potongan gambaran fenomena
sosial yang memang ada dan terjadi di masyarakat. Namun, gambaran-gambaran yang
ditampilkan di layar televisi tersebut cenderung melebih-lebihkan jika dibandingkan dengan apa
yang terjadi pada realitas kita. Penampilan dan tingkah laku para istri yang memang memiliki
sifat galak dan judes tidaklah selalu merupakan tipikal istri yang menindas dan mendominasi
suami, tipikal tersebut sebenarnya bermacam-macam, tidak terpaku pada kualitas-kualitas sifat
tersebut saja. Dan suami yang cenderung penurut dan dan berkesan sedikit penakut, tidak selalu
merupakan pihak yang ditindas istri dan selalu menurut apa kata istri.

Gambaran “realitas sosial” yang diangkat oleh Trans TV mengatakan bahwa wanita memiliki
kapasitas yang sama dalam kehidupan. Dalam sebuah keluarga, laki-laki memiliki peran sebagai
kepala keluarga. Namun dibalik itu semua, perempuan juga memegang peran yang penting
dalam mengatur jalannya rumah tangga. Keadaan yang lumrah tersebut digambarkan terbalik di
dalam komedi situasi “Suami-Suami Takut Istri”.

Gambaran istri di dalam komedi situasi ini, dinilai terlalu berlebihan. Dalam hal ini media terlalu
menayangkan suatu program yang sangat frontal dalam pembentukan stereotip seorang istri.
Walaupun penindasan yang terjadi bukanlah seperti pada tayangan yang biasanya, namun prinsip
ketidakadilan gender tetap saja dirasakan di dalam komedi situasi ini. Perempuan dicitrakan
sebagai seseorang yang penuh emosional, tidak ramah kepada suami dan cenderung posesif.
Sementara itu, laki-laki cenderung sibuk dengan urusan perempuan. Seperti yang diungkapkan
dalam buku “why women cannot read maps and man dont listen” dalam sebuah penelitiannya
bahwa 90 % isi otak laki-laki adalah seks. Para tokoh suami pada komedi situasi tersebut,
diceritakan tergoda oleh seorang janda cantik dan saling menyusun rencana untuk bisa
mendekatkan diri dan mendapatkan perhatian dari sang janda cantik. Karena dorongan seksual
tersebut, para suami terlihat bodoh dan terlihat bahwa perilaku laki-laki terdorong oleh motif
seks. Sementara para istri, seperti kodratnya mencoba untuk menjaga dan mempertahankan
stabilitas rumah tangga karena adanya ancaman—yaitu sang janda. Pada situasi ini,
tergambarkan bahwa wanita memiliki peran yang sama pentingnya dalam keluarga. Namun tetap
saja hal ini bukanlah sesuatu yang banyak terjadi di dalam realita sosial. Kalaupun ada, tetapi hal
itu tidak akan berlangsung setiap hari. Ada kalanya suami memegang kendali dan ada kalnya
istri yang memegang kendali.

Kami akan mecoba menganalisis secara umum komedi situasi ini menggunakan teori strukturasi
gender, struktur dominasi gender terjadi melalui penundukan agen wanita oleh agen pria dan
agen pemilik modal (biasanya juga agen pria) dengan menggunakan struktur signifikasi dan
strukturlegitimasi.

Struktur dominasi gender terjadi dalam interaksi kekuasaan dengan menggunakan komunikasi,
sanksi, dan kekerasan berdasarkan modalitas fasilitas (alokatif dan otoritatif), skema interpretasi,
norma, dan seksualitas. Dalam teori strukturasi gender, proses ideologis untuk menyembunyikan
wajah dominasi gender agen pria terjadi melalui proses naturalisasi kekerasan terhadap agen
wanita sebagai bagian dari praktek sosial yang wajar dan normal.
Proses naturalisasi untuk "menormalkan" struktur dominatif-represif itu dilakukan melalui
politisasi relasi gender dan purifikasi kognisi gender. Politisasi relasi gender mewujud dalam
bentuk pembagian kerja (division of labour) secara seksual dan justifikasi terhadap relasi
heteroseksual. Purifikasi kognisi gender dilakukan dengan peneguhan stereotipe peran gender
melalui media massa, eksklusi dan marjinalisasi wanita dari narasi publik, serta dikotomisasi
domain publik-privat.

Kekerasan fisik jelas terlihat sekali di dalam komedi situasi ini, kekerasan verbal pun kentara.
Semua ini terstrukturasi di dalam komunikasi suami- istri yang dipertontonkan di dalam
tayangan ini. Sanksi-sanksi dari istri kepada suami perlahan menimbulkan peneguhan akan
dominasi istri.

Analisis Pembentukan stereotip yang terjadi pada stikom Suami – suami takut istri

Dari judulnya saja komedi situasi ini, sepintas memperlihatkan kekuatan wanita di
banding laki – laki di dalam berumah tangga, tapi bila ingin melihat lebih dalam komedi situasi
ini lebih mengarah kepada pembentukan mengenai cara – cara untuk menjadi istri – istri yang di
takuti suami. Kalau kita melihat dari judul seperti kelihatannya ada perbedaan pandangan yang
selama ini laki –laki yang mendominasi wanita tapi di komedi situasi ini malah terbalik
wanitalah yang menguasai lelaki. Awalnya seperti ada pembaruan tapi bila melihat dari jinggel
lagunya, watak istri yang di seragamkan, dan kenapa watak suami yang juga di seragamkan
stikom ini malah terkesan menjelekan citra wanita yang sudah menikah. Dan membuat penonton
menjadi terinspirasi untuk mengikuti watak – watak istri yang sepeti apa yang akan di takuti
suami.Pemilihan kata- kata di dalam judul juga terlihat bukan kesetraan yang di junjung tapi
jelas bahwa ada pihak yang tertekan dan satu pihak lagi menekan.

Jinggle lagu dalam komedi situasi Suami-Suami Takut Istri

Takut sama istri sendiri kok malah takut

Ciut sama istri sendiri kok malah ciut

Emank enak, rasain lo...

Makanya jangan macam – macam sama perempuan.


Jinggle lagu ini terkesan mengejek suami – suami ini yang takut sama istri. Dalam jinggle ini
pun sebenarnya masih ada terkesan bahwa harusnya laki – laki yang memegang kendali terhadap
perempuan, dan betapa di film ini benar –benar membentuk watak seorang istri yang akan di
takuti oleh suami tapi dengan membentuk watak – watak yang menyeramkan sehingga keluarnya
bukan segan dan menghargai istri tapi malah ketakutan sama istri.

Jinggle ini dapat dianalisis lebih lanjut. ’’perkataan ’’jangan macam-macam sama perempuan’’,
menunjukkan adanya ancaman dari perempuan kepada suami, di dalam realitanya kita sering
melihat adanya penindasan terhadap perempuan bahkan kekerasan dalam rumah tangga
seringkali terjadi pada perempuan. Namun mungkin kali ini media ingin menayangkan sesuatu
yang tidak biasanya, dan ingin menunjukkan bahwa tidak hanya laki-laki yang bisa
mendominasi. Sebenarnya apa yang lebih menarik untuk dianalisis adalah mengapa pembalikan
ini tidak disertai dengan kepekaan terhadap isu gender. Masih saja ada penggambaran-
penggambaran terhadap stereotip perempuan dan laki-laki.

Bukankah konsep kritis dari isu gender adalah ingin menuju pada kesetaraan gender. Kesetaraan
terhadap konstruk sosial mengenai perempuan dan laki-laki yang ada dalam budaya masyarakat
kita saat ini. Tetapi yang terjadi dalam komedi situasi ini justru pembentukan kembali gender
tersebut. Media mulai mengonstruksikan kembali stereotip streotip mengenai istri dan suami.
Peran laki-laki dan perempuan digambarkan kembali. Media justru terjebak pada nilai-nilai dan
tujuan sosial yang ingin diperolehnya atau bahkan media tidak menyadari akan hal ini. Isu
gender menjadi komoditi yang menguntungkan bagi pebisnis media.

Konsep – konsep yang terbentuk di dalam komedi situasi ini

Konsep istri yang akan di takuti suami

Dalam film ini ada 4 keluarga yang semua istrinya memiliki watak yang sama di dalam
memperlakukan suami, walaupun istri – istri ini berasal dari suku yang berbeda – beda yaitu dari
suku jawa keraton yang identik dengan watak wanita yang lembut bahkan cendrung lambat, dari
suku betawi dimana mengambarkan wanita yang cerewet dan ceplas ceplos, dari suku padang
yang menggambarkan wanita yang pelit, dan dari suku jawa tapi dia lebih tegas di banding
dengan jawa keraton.
Walaupun istri – istri ini dari latar belakang yang berbeda tapi semua wataknya sama dalam
memperlakukan suami, seperti:

1. Menghukum mereka kalau buat kesalahan ( istri yang betawi suka mengurung suami di
kamar mandi bila suami berbuat salah), istri yang dari suku pada cendrung mengusir
suami dari rumah bila suami berbuat salah), (istri yang suku jawa dua – duanya
mengunakan cara yang sama dalam menghukum suami yaitu tidak di beri “jatah” dan
tidur di luar kamar bila suami berbuat salah).
2. Perbuatan Nonverbal. Keempat istri ini memiliki kesamaan seperti melotot kepada suami
agar suami mengikuti keinginan istri,
3. Melakukan kekerasan fisik seperti melempar suami dengan bantal , selimut, dan benda –
benda ringan lainnya, menjewer dan memukul suami bila suami berbuat salah.
4. Ciri khas yang menjadi andalan istri yang betawi kepada suaminya adalah dengan
mengancam indin memotong “anunya” dengan memperaktekkan memotong wortel
dengan pisau menjadi gua bagian sambil melihat suaminya.
5. Dari perkataan verbal. Keempat istri ini semuanya cerewet, dan melakukan ancaman –
ancaman dan pembentakan juga memanggil suami dengan teriak – teriak bila suami
berbuat salah.

Jadi secara tidak langsung komedi situasi ini membentuk konsep istri yang akan di takuti
suami. Bila ia berbuat seperti itu kepada suami, bahwa isri yang judeslah yang akan di takuti
suami, dan ada terkesan semua wanita akan menjadi judes bila sudah berkeluarga. Bisa jadi itu
yang akan ditangkap oleh penonton.

Hal ini jelas sekali menggambarkan perempuan secara negatif. Perempuan selalu didekatkan
dengan gossip, emosional dan tidak ramah. Gambaran terhadap perempuan di sini jelas sekali
dalam setiap adegan. Konsep perempuan sebagai istri menjadi negatif. Tayangan ini jelas sekali
akan terus memberikan peneguhan akan ketidakrasionalan perempuan.

Kami melihat hal ini tidak sewajarnya. Pengonstruksian terhadap perempuan lambat laun
akan menghegemoni masyarakat kita. Secara tidak disadari, media sebenarnya telah
memasukkan pengetahuan-pengetahuan baru akan konsep perempuan. Wacana akan perempuan
akan semakin ramai dan tentu saja tetap dengan pelabelan yang negatif. Perempuan yang
seharusnya menjadi subjek, justru menjadi objek di dalam komedi situasi ini. Walaupun mereka
aktif namun tetap saja media telah menjadikan konsep perempuan yang baru ini sebagai isu yang
menjadi komoditas media.

Dominasi ini memang tidak jelas terlihat dalam tayangan ini, namun pengonstruksian yang
negatif terhadap perempuan maupun laki-laki jelas merupakan dominasi media terhadap
masyarakat. Lebih jauh lagi ini akan terus merasuk di dalam masyarakat sehingga muncullah
stereotip-stereotip baru tadi. Yang jelas-jelas dalam kenyataannya, tidaklah seekstrim itu.

Konsep tentang watak suami

Di dalam komedi situasi ini digambarkan bahwa keempat suami ini takut dan bertekuk
lutut pada istri, tapi takut hanya bila didepan para istri bila istri – istrinya tidak ada mereka malah
berani macam – macam. Para suami itu pun memiliki karakter yang sama bahwa mereka
terobsesi dengan janda seksi yang tinggal di daerah tempat tinggal mereka. Semua para suami ini
selalu bersaing untuk mendapatkan simpati si janda seksi tersebut. Di atas menggambarkan
bahwa sebenarnya laki – laki akan cenderung tidak setia pada istri. Dan suka main rahasia di
belakang istri

Konsep takut muncul sebagai reaksi suami atas perlakuan istri yang terlalu emosional.
Pada dasarnya naluri laki-laki sebagai petualang cinta jelas tergambar di dalam komedi situasi
ini. Seandainya istri tidak emosional dan ramah pada suami maka suami tidak akan mencari
pelarian. Kata-kata ’’pelarian’’ merupakan usaha suami dalam mencari kedamaian di tempat
lain. Istri menjadi momok yang menakutkan, istri bukannya menjadi seseorang yang diidamkan
melainkan sosok yang tidak lagi mampu memberikan rasa aman. Jatuhnya adalah pelarian
terhadap perempuan lain. Peran istri dinilai tidak bisa menjaga suami, walaupun dalam beberapa
adegan suami pada akhirnya akan takut pada istri tapi tetap saja hal ini karena paksaan istri.

Sejatinya, suami tetap akan mengidamkan janda seksi tetangga mereka tersebut. Suami
pun jadi semakin terlihat tidak mampu memegang kendali di dalam keluarga. Bukannya memang
seharusnya yang memegang kendali adalah keduanya. Apa yang bisa dilihat di sini adalah,
bahwa dalam hubungan suami istri tetap saja seharusnya ada yang memegang kendali entah itu
perempuan maupun laki-laki. Inilah yang kami rasa ingin disampaikan oleh media, atau ini
merupakan interpretasi kami terhadap pesan yang terkandung di dalam komedi situasi ini. Media
tetap merasa bahwa keluarga akan baik-baik saja bila ada dominasi dari salah satu pihak.
Dominasi ini yang jelas sekali digambarkan, hanya saja bedanya seolah-olah dominasi ini
muncul dari pihak perempuan.

Tetap saja kesetaraan belum ada di dalam komedi situasi ini. Sekali lagi, tetap saja ada
pengonstruksian sosial akan laki-laki. Gender sangat kental bermain di dalam area ini. Belum
ada kepekaan gender dari pihak media.

Konsep perempuan idaman dimata laki – laki

Di sini juga menceritakan bahwa ada janda yang di perebutkan oleh semua laki – laki di
perumahan tersebut. Dan janda di komedi situasi ini di perlihatkan seksi, tinggi, badan mulus
dan putih, make up yang tebal, dan baju – baju yang dipakai mini – mini. Ini memperlihatkan
bahwa perempuan yang akan menjadi idaman semua laki –laki adalah perempuan yang seperti
digambarkan di atas. Masih fisik yang di nilai pada laki – laki terhadap perempuan.

Tubuh menjadi komoditas lagi. Perempuan dan seksualitas menjadi isu penting juga yang ingin
disampaikan oleh media. Perempuan digambarkan seperti objek laki-laki. Perempuan yang
bertubuh indah akan menjadi incaran kaum laki-laki.

Konsep wanita yang mudah untuk dipoligami

Di sini juga menceritakan bahwa ada satpam yang menjaga perumahan tersebut namanya
dadang, ia memiliki 3 istri dan ketiga istrinya akur dan menuruti apa yang di katakan dadang. Di
sini di gambarkan bahwa istri – istrinya walaupun dari suku yang berbeda –beda (ada dari warga
turunan cina, ada dari betawi dan ada yang dari sunda). Mereka digambarkan dari wanita yang
tidak terpelajar, dan kelas ekonomi C. Sehingga terbentuklah konsep bahwa wanita – wanita
yang bisa di poligami adalah wanita yang tidak terpelajar dan dari golongan C.

Konsep laki – laki yang ideal dimata wanita

Di sini juga memperlihatkan bahwa para suami –suami ini sering memperunjukkan kekuatan
fisiknya, staminanya untuk dapat menggaet di janda seksi. Di sini terlihat stamina di hubungkan
dengan kekuatan mereka untuk bisa berlaga di ranjang.
Dari penjabaran di atas stikom ini sebenarnya lebih banyak kecendrungan menjelekkan
citra wanita, walupun yang diceritakan istri – istri yang di takuti suami tapi dengan citra yang
negatif, dan tidak ada perubahan apa – apa dari persamaan gender, seperti masih saja
menggambarkan konsep wanita ideal yang dilihat dari fisik, masih aja terlihat unsur dominasi
lelaki terlihat dari konsep poligami yang dilakukan a dadang dengan dimana ia memperlakukan
ketiga istrinya dengan mudah bahwa dengan di beri kepuasan sex saja istri – istrinya bisa akur
dan menurut. Dan begitu juga para istri – istrinya sebenarnya mereka memperlakukan suaminya
seperti itu karena takut suami main api dan meninggalkannya. Sehingga sebelum suami terlanjur
berkeinginan kuat untuk mendapatkan janda tersebut selalu saja di cegah dengan perlakuan
mereka ke suaminya, sebenarnya hal itu adalah bentuk ketidakmampuan istri – istri itu takut
untuk kehilangan suami dan bentuk ketidakmandirian wanita untuk bisa melaju tanpa suami. Di
sini pun gambaran istri juga masih berkisar dapur, kasur, sumur.

Analisis Gender Komedi Situasi Suami-Suami Takut Istri dalam Teori Komunikasi

Komedi situasi “Suami-Suami Takut Istri” pada umumnya menggambarkan sebuah siatuasi
keluarga—yang rata-rata belum memiliki anak. Seperti judulnya, komedi situasi ini
menceritakan tentang kehidupan seorang suami yang takut pada istri. Istri-istri digambarkan
sebagai sosok yang ditakuti oleh suami dan memegang kendali atas keluarga. Dalam lingkungan
keluarga, komunikasi merupakan sebuah media yang digunakan untuk berinteraksi sesama
anggota, dan di dalam komedi situasi “Suami-Suami Takut Istri” di perlihatkan pola interaksi
antara suami Istri dalam sebuah keluarga.

Teori Interaksi yang dipelopori oleh Paul Watzlawick dan rekannya mengatakan bahwa dalam
lingkungan keluarga ada yang disebut dengan sistem komunikasi. Dalam berinteraksi, suami,
istri, dan anak menggunakan komunikasi sebagai medianya. Jika kita melihat komunikasi
sebagai sebuah sistem, maka kita tidak bisa memisahkan dan membahas konteks-konteks yang
terlibat di dalamnya secara terpisah. Sebagai sebuah sistem, semua bagian-bagian yang
mempengaruhi interaksi saling berhubungan satu sama lain dan teroganisasikan sebagai sebuah
kesatuan.

Pola interaksi yang digambarkan dalam komedi situasi “Suami-Suami Takut Istri” melibatkan
interaksi antara suami-istri dan lingkungan sekitarnya. Dalam Sitkom tersebut, suami-suami di
komplek digambarkan sebagai pihak yang tertindas dan dikendalikan oleh istri. Di dalam
komplek perumahan tersebut ada sebuah “subsistem” baru yang mempengaruhi “system” yang
ada, yaitu kedatangan si janda cantik. Kedatangan janda cantiklah yang mempengaruhi pola
interaksi di setiap keluarga di komplek perumahan tersebut.

Di dalam teori interaksi ada yang disebut dengan komunikasi dan kekuatan (power). Komunikasi
verbal yang digunakan dalam interaksi yang terjadi di sitkom tersebut jelas memperlihatkan
women power over men. Jika dikaitkan dengan teori interaksi yang memandang komunikasi
sebagai sebuah system (Wood), terdapat konteks yang mempengaruhi pola interaksi yang dimana
menggambarkan kekuatan perempuan di atas laki-laki.

Kedatangan janda cantik jelas mempengaruhi pola interaksi yang terjadi. Laki-laki, sebagai
mahluk yang menurut penelitian 90 % isi otaknya adalah seks, jelas tidak mampu untuk tidak
tertarik dengan janda cantik dan bertubuh seksi tersebut. Melihat tingkah suami-suami di
komplek perumahan tersebut yang tergoda dengan kedatangan si janda cantik tersebut, para istri
tentu saja tidak bisa tinggal diam. Maka para istri pun langsung engaged to defense mode.
Defense di sini berarti protecting the family from external invasion—which is the pretty and sexy
widow. Maka jika di tilik lebih dalam, istri-istri dalam sitkom tersebut berperilaku seperti itu
karena motif mempertahankan keluarga.

Deborah Tannen mengatakan bahwa terdapat perbadaan dalam pola komunikasi antara pria dan
wanita. Perbedaan pola komunikasi tersebut digambarkan dalam table berikut :

MEN WOMEN

Striving for status in a hierarchical social


order where they are either one-up or one- Striving for intimacy
down

Trying to protect themselves from others Trying to protect themselves from being pushed
influence and from getting pushed down away

Goal to get and keep the upper hand Goal is to establish connection by having intimate
knowledge

Asymmetry is an element of status We are separate and different We are close and
Symmetry creates equality and community the same

Rapport talk gets at the connection and the


Report talk preserves independence
relationship

Public speaking Private speaking

Mistake laments for requests for advice Laments are part of rapport talk

Conversations are a competition Conversations are negotiations for closeness

Conflict is a threat to connection and is to be


Conflict is accepted, sought out, enjoyed
settled without direct confrontation

Struggle to be strong Struggle to keep the community strong

Jockey for position and compete for floor Accommodate their conversation style and yield
time the floor

See interruptions as part of rapport talk because it


See interruptions as a struggle for control
shows participation and support

Comfortable giving information and Comfortable supporting others and cautious about
speaking authoritatively stating information

Home is a sanctuary where you don’t have to Home is a sanctuary where you can say what you
talk want

Practiced his whole life dismissing his Practiced her whole life verbalizing her thoughts
thoughts and keeping them to himself in private conversations with people she is close
to

Become the protected which is the subordinate


role

Masculine talk is associated with leadership Talking with leadership and authority is being a
and authority bitch

Powerless speech hedges, hesitates, and


Powerful speech is confident
apologizes

Jika kita melihat perbedaan pola komunikasi pada genderlect theory dari Deborah Tannen, maka
sebagian pola komunikasi yang digambarkan dalam sitkom “Suami-Suami Takut Istri” adalah
sebaliknya. Wanita diperlihatkan sebagai sosok yang mendominasi, percaya diri, memiliki
wewenang, dsb. Namun perlu diingat bahwa kemunculan sosok istri-istri yang ditakuti oleh
suami dalam sitkom tersebut tidak lepas dari konteks komunikasi yang mempengaruhinya.

Kesimpulan dan Saran

Dari penjabaran di atas komedi situasi ini sebenarnya cenderung memperburuk citra
perempuan, walaupun yang diceritakan adalah kehebatan istri-istri sehingga ditakuti para suami.
Para istri direpresentasikan dengan citra yang negatif. Komedi situasi ini masih tidak
menunjukkan adanya perubahan dari konsep ketidakadilan gender, seperti perempuan yang ideal
adalah perempuan yang berwajah cantik dan bepenampilan seksi (masih dinilai dari unsur fisik),
para istri menjadi lebih ”garang” karena mereka tidak ingin kehilangan suami-suaminya yang
suka bermain api, dominasi lelaki yang digambarkan dengan konsep poligami yang dilakukan
Dadang di mana ia memperlakukan ketiga istrinya dengan ”seadanya” yaitu bahwa dengan diberi
kepuasan seks saja maka istri-istrinya bisa akur dan menurut.

Namun, inti pesan yang ditunjukkan dalam komedi situasi ini adalah kelemahan istri
yang tidak ingin ditinggalkan oleh para suaminya. Mereka cenderung bersikap kasar dan otoriter
karena mereka tidak ingin suami-suaminya terpikat oleh perempuan lain. Komedi situasi ini pun
menampilkan sosok istri (perempuan) dengan batasan dapur, sumur, kasur.

Tentu saja, komedi situasi ini belumlah menjadi cara yang tepat dalam penyetaraan
gender. Dan sayangnya, acara-acara di televisi pun masih menunjukkan permarginalan
perempuan sebagai kaum yang tertindas dan sebatas dapur, sumur, kasur. Padahal isu gender
sangat erat kaitannya dengan komunikasi. Dan televisi sebagai media komunikasi dan elektronik
yang paling mudah diakses masyarakat seharusnya menyampaikan pesan-pesan yang bernilai
positif, seperti kesetaraan gender, bukan justru semakin mengaburkan isu kesetaraan gender.

Adapun berdasarkan beberapa kajian perempuan menyebutkan mengapa perempuan


selalu dimarginalkan adalah karena Pertama, adalah kurang adanya pemahaman masyarakat
terhadap terhadap rela si – laki-laki dan perempuan-, baik rela si yang berakaitan dengan sex,
gender, maupun kodrat. Kurangnya pemahaman terhdap hakekat sex, gender, dan kodrat ini bisa
diidentifikasikan melalui stigma-stigma yang dilabelkan pada perempuan. Sehingga keberadaan
perempuan menjadi bulan-bulanan.Dalam ranah sosial, politik, budaya, maupun agama,
perempuan selalu mendapatkan tempat nomor dua, dan kekerasan demi kekerasan, perlakuakn
tidak senonoh/pelecehan sexual selalu berobjek pada perempuan. Kedua, adalah mengenai
kuranganya akses informasi yang berkaitan dengan bukti-bukti sejarah tentang jasa perempuan
bersama gerakan massa yang pernah mewaranai sejarah panggung dunia. Minimnya pengetahuan
ini berimbas pada ketidakpercayaan masyarakat secara umum bahwa perempuan secara personal
maupun secara organisasi mampu melakukan sesuatu yang luar biasa pada setiap lini sosial
kehidupan.

Sehingga dengan semangat emansipatoris maka selayaknya media memberikan


penguatan yang positif akan kesetaraan gender bukannya malah memberikan citra yang negatif
terhadap perempuan. Media diharapkan lebih peka dalam menayangkan program-programnya
sehingga sebagai media pun akan menransmisikan budaya secara positif dan perlahan akan
mampu merubah ketimpangan gender yang selama ini banyak terjadi. Masyarkat dan media
sebaiknya saling bekerja sama dalam meyetarakan ketimpangan gender. Tentu saja itu dapat
dilakukan dalam fungsinya sosialnya dan kapasitas masing-masing pihak dalam perubahan
sosial.
Daftar Pustaka

http://www.transtv.co.id/200706/hotbox.asp?id=90
Abdullah, I. ed. 1997. Sangkan Peran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Atkinson, R.L., Atkinson, R.C. dan Hilgard, E.R. 1994. Pengantar Psikologi. Jilid I.
Jakarta: Erlangga.
Lindzey and Aronson. 1969. The Handbook of Social Psychology. Vol. I. New York:
John Wiley and Sons.
Rowatt Jr, G. Wade dan Rowatt Mary Jo. 1990. Bila Suami Istri Bekerja. Yogyakarta:
Kanisius
www.usu.com

http://www.asppuk.or.id/berita.php?id=77

You might also like