You are on page 1of 82

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perbankan merupakan salah satu sumber dana diantaranya dalam bentuk
perkreditan bagi masyarakat, perorangan, atau badan usaha untuk memenuhi
kebutuhan konsumsinya atau untuk meningkatkan produksinya.1 Produk jasa
perbankan, sepanjang memerlukan penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, maka produk tersebut menjadi produk perkreditan.2
Kata kredit secara etimologi, berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata
Credere yang berarti kepercayaan. Kepercayaan dilihat dari sisi bank adalah suatu
keyakinan bahwa uang yang akan diberikan akan dapat dikembalikan tepat pada
waktunya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak yang tertuang dalam akta
perjanjian kredit. Keyakinan bank tentu berdasarkan studi kelayakan usaha
masing-masing debitur yang akan dibiayai.3
Sumber dana yang dipinjamkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit
tersebut bukan dana milik bank sendiri karena modal perbankan juga sangat
terbatas, tetapi merupakan dana-dana masyarakat yang disimpan pada bank
tersebut sehingga perbankan berusaha dan berlomba-lomba menarik dan
mengumpulkan dana masyarakat agar bersedia menyimpan dananya pada bank
tersebut dengan berbagai undian, hadiah, dan iming-iming lainnya dengan tujuan
semata-mata agar masyarakat menyimpan dananya dalam bank untuk jangka
waktu yang lama. Dana yang disimpan masyarakat pada bank, pada umumnya
dalam bentuk tabungan, deposito, giro, setipikat deposito dan lain-lain. Dana
masyarakat yang terkumpul dalam jumlah yang sangat besar dengan jangka waktu
cukup lama merupakan sumber utama bagi bank dalam menyalurkan kembali
kepada masyarakat yang memerlukan dalam bentuk pinjaman atau kredit. Inilah
1

Sutarno, S.H., M.M., Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung : CV.
Alfabeta, 2004), hlm. 1.
2
Try Widiyono, S.H., M.H., Sp.N., Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk
Perbankan di Indonesia. ( Bogor : Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 256.
3

Suharno, Analisa Kredit, (Jakarta : Djambatan, 2003), hlm. 1.

Universitas Indonesia
2

yang dinamakan fungsi bank sebagai intermediasi. Karena itu suatu bank yang
tidak memiliki sumber dana dari masyarakat yang memadai akan sangat
mengganggu usaha dan kegiatan bank dan bank juga tidak mampu memperluas
ekspansinya.4
Fungsi utama bagi perbankan di Indonesia adalah sebagai penghimpun dan
5
penyalur dana masyarakat. Fungsi perbankan tersebut dlama penerapannya
disesuaikan dengan jenis banknya dan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 5
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, jenis-jenis bank adalah bank umum dan
bank perkreditan rakyat, yang masing-masing memiliki cakupan bidang usaha
yang berbeda. Terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan
ini, usaha bank umum meliputi :6
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b. memberikan kredit;
c. menerbitkan surat pengakuan hutang;
d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya;
e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah;
f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan
dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana
telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm.2.
5
Indonesia, Undang-Undang Perbankan, UU No.10 Tahun 1998, LN No.182 Tahun
1998, TLN No.3790, ps. 3.
6

Ibid., ps. 6.

Universitas Indonesia
3

i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain


berdasarkan suatu kontrak;
j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya
dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
k. membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian
dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan
ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;
l. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan
wali amanat;
m. menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;
n. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa Perbankan sebagai salah
satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian
suatu negara, dimana kegiatan utamanya sebagai intermediasi pihak-pihak yang
mempunyai kelebihan dana (surplus of fund) dengan pihak-pihak yang
kekurangan dan memerlukan dana (lack of funds). Dalam rangka mencapai
kemanfaatan yang maksimal dari kegiatan perbankan tersebut perlu adanya aturan
dan ketentuan pokok sebagai dasar hukum dalam operasional perbankan yang
kemudian oleh pemeritah diundangkan berupa Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 yang merupakan amandemen dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan definisi bank
sebagai penghimpun dana dan kemudian disalurkan dalam bentuk kredit berbunyi
sebagai berikut :
a. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak. 7
7

Undang-Undang Perbankan, Ibid., ps. 1 angka 2.

Universitas Indonesia
4

b. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.8
Kredit merupakan perjanjian antara debitur dan kreditur di mana hak dan
kewajibannya termuat dalam perjanjian tersebut dan dikenal dengan perjanjian
utang piutang, dimana terdapat unsur-unsur di dalamnya sebagai berikut :9
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut
akan dibayar kembali oleh sipenerima kredit dalam jangka waktu tertentu yang
telah diperjanjikan.
b. Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit dengan pembayaran kembali tidak
dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh tenggang
waktu.
c. Risiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit mempunyai risiko akibat
adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dengan
pembayaran kembali. Semakin panjang jangka waktu pemberian kredit semakin
tinggi resiko kredit tersebut.
d. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,
tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Namun dalam obyek kredit yang
menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam praktek perkreditan.
Kredit dapat dibedakan menurut kriteria lembaga pemberi dan penerima
kredit yang menyangkut struktur pelaksanaan kredit di Indonesia, maka jenis
kredit terdiri dari:10
a. Kredit Perbankan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau konsumsi.
Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta kepada dunia usaha
untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan permodalan, dan atau kredit dari bank

8
Ibid., ps. 1 angka 11.
9

Febby M. Sukatendel, 2006. “Kredit dan Masalah Keuangan, Panduan Bantuan Hukum
di Indonesia”. YLBHI, Jakarta.
10

Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,


1993), hlm.221-224.

Universitas Indonesia
5

kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup yang berupa


barang maupun jasa.
b. Kredit Likuiditas, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada bank-
bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan sebagai dana
untuk membiayai perkreditannya.
c. Kredit Langsung, kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga
pemerintah atau semi pemerintah. Misalnya Bank Indonesia memberikan kredit
langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan program pengadaan barang.
Dalam pemberian kredit perbankan, selain tunduk pada peraturan
perundang-undangan, para pihak juga tunduk kepada perjanjian yang telah
disetujui dan disepakati oleh para pihak yang selanjutnya dituangkan dalam Akta
Perjanjian Kredit. Terjadinya perjanjian tersebut karena adanya pihak-pihak yang
membuat perjanjian sebagaimana hukum yang mengatur perikatan di Indonesia
terdapat dalam Buku III KUHPerdata yang berjudul Perikatan (verbintenissen);
yaitu yang dimaksud perikatan adalah suatu perhubungan hukum (mengenai
kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak kepada yang satu
untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya
ini diwajibkan memenuhi tuntutan.11 Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal
1313 KUHPerdata, yang berbunyi :12
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Buku III KUHPerdata tersebut berisi perikatan-perikatan yang timbul
karena perjanjian, sehingga biasa disebut Hukum Perjanjian yang mengandung
asas Kebebasan dalam Membuat Perjanjian, yang dapat disimpulkan dari pasal
1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara
sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.13

11

Widjanarko, S.H., MBA, “Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan,” Kumpulan


Tulisan, Infobank, (Jakarta, 1998) : 4.
12

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R.


Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 30, (Jakarta : Pradnya Paramita,1999), ps. 1313.
13

Widjanarko, op. cit., hlm. 23.

Universitas Indonesia
6

Perjanjian Kredit adalah perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan


nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan,
atau pembagian hasil keuntungan.14
Lebih lanjut mengenai perjanjian kredit perlu mendapat perhatian khusus
bagi pihak-pihak yang terkait, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang
sangat penting dalam pemberian, pengelolaannya maupun penatalaksanaan kredit
itu sendiri. Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi yaitu diantaranya : 15
a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian
kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian
lain yang mengikutinya misalnya pengikatan jaminan.
b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan
hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur.
c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring
kredit yang menyangkut jangka waktu, cara penarikan kredit dan
pembayaran kembali serta besarnya bunga yang harus dibayar oleh debitur
serta perjanjian ikutan lainnya (accessoir).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mendalami tentang aspek
hukum dalam pemberian kredit yaitu khususnya tentang perjanjian kredit atau
yang dipersamakan dengan itu. Melalui penelitian mengenai “Aspek Hukum
Kerjasama Penyaluran Kredit Antara Bank X dengan PT Y”, diharapkan dapat
diketahui mengenai kedudukan hukum, hak dan kewajiban, hubungan hukum para
pihak, serta penyelesaian kredit berdasarkan kerjasama tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

14

Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm. 158-
160.
15
CH. Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan
Manajemen, Nopember-Desember 1992 hlm.64-69 dikutip dari: Drs. Muhammad Djumhana, S.H.,
Hukum Perbankan di Indonesia, Cet. 3, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 228.

Universitas Indonesia
7

Sesuai dengan judul tesis ini yaitu “Aspek Hukum Kerjasama Penyaluran
Kredit/Pembiayaan Antara Bank X dengan PT. Y” dan berdasarkan uraian latar
belakang tersebut di atas, maka permasalahan-permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Permasalahan hukum apa yang terdapat dalam pelaksanaan kerjasama
penyaluran kredit/pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y dalam rangka
penyaluran kredit kepada Penerima Kredit (end user) ?
2. Bagaimana pelaksanaan penyelesaian kredit berdasarkan perjanjian
restrukturisasi kredit antara Bank X dengan PT. Y?

1.3. Tujuan Penelitian


Sesuai dengan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak dicapai
dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Menguraikan dan menganalisa aspek hukum kerjasama antara Bank X
dengan PT. Y dalam rangka penyaluran kredit ke Penerima Kredit, antara
lain kedudukan hukum, hak dan kewajiban serta hubungan hukum para
pihak dalam perjanjian kerjasama dan perjanjian kredit.
2. Menguraikan dan menganalisa permasalahan dalam penyelesaian kredit
berdasarkan perjanjian restrukturisasi kredit antara Bank X dengan PT. Y.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan akan berguna bagi masyarakat pada umumnya,
serta Bank X pada khususnya, yaitu :
1. Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat mengenai
perjanjian kerjasama antara Bank dengan badan usaha lain dalam
penyaluran kredit ke Penerima Kredit/End User.
2. Memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang timbul dalam
pelaksanaan dan penyelesaian kredit terkait dengan perjanjian kerjasama
antara Bank dengan badan usaha lain.
3. Memberikan masukan bagi Bank X untuk melakukan perbaikan dan
penyempurnaan sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian kerjasama dan
penyelesaian kredit sejenis di masa mendatang.

Universitas Indonesia
8

1.5. Kerangka Teori dan Definisi Operasional


Dalam rangka melaksanakan pembangunan, Bank sebagai salah satu
lembaga keuangan yang paling penting dan besar peranannya dalam kehidupan
masyarakat. Seiring dengan perkembangan masyarakat hukumpun mengalami
perkembangan masyarakat. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain
bergantung pada metodologi juga sangat ditentukan oleh teori.
Teori hukum mempunyai fungsi yaitu menerangkan atau menjelaskan,
menilai dan memprediksi serta mempengaruhi hukum positif, misalnya
menjelaskan ketentuan yang berlaku, menilai suatu peraturan atau perbuatan
hukum dan memprediksi hak dan kewajiban yang akan timbul dari suatu
perjanjian, teori hukum disusun dengan memperhatikan fakta-fakta dan filsafat
hukum, dalam tesis ini dipergunakan teori kepentingan umum (public interest)
dengan menggunakan prinsip kehati-hatian, karena teori ini berkaitan dengan
usaha perbankan dalam menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan
dan deposito yang kemudian ditempatkan/diberikan dalam bentuk kredit kepada
masyarakat yang kekurangan dana (lack of funds) dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang
Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yaitu “Dalam memberikan kredit, Bank Umum
wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk
melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.16
Fungsi dan peran bank sangat krusial bagi perekonomian suatu negara,
keberadaan aset bank dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting dijaga
guna meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi.
Kepercayaan dari masyarakat juga diperlukan karena bank tidak memiliki uang
tunai yang cukup untuk membayar kewajiban kepada seluruh nasabahnya
sekaligus.
Adapun masyarakat menyimpan dananya di bank karena adanya unsur
kepercayaan terhadap bank tersebut, oleh karena itu bank dalam memberikan
kredit kepada debitur haruslah sesuai prinsip atau asas kehati-hatian mengingat

16

Undang-Undang Perbankan, op.cit., ps. 8.

Universitas Indonesia
9

dana yang diberikan oleh bank merupakan simpanan masyarakat yang


dipercayakan kepada bank, yang menyangkut kepentingan umum dalam jasa
keuangan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, sehingga perbankan
dalam menjalankan fungsinya harus mengenyampingkan kepentingan individual
karena terdapat kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan umum. Sehingga
dalam menjalankan peranannya bank bertindak sebagai salah satu bentuk lembaga
keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa keuangan lainnya.
Adapun pemberian kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan
dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga maupun dengan jalan
memperedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral. 17
Sedangkan kredit adalah suatu kepercayaan, dimana kreditur yang
memberikan kredit percaya bahwa debitur (penerima kredit) akan sanggup
memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan, baik menyangkut jangka
waktunya maupun prestasi dan kontra prestasinya. 18
Salah satu obyek yang terpenting dalam hal ini adalah aspek hukum
karena sangat berperan dalam operasional perbankan, terdapat adanya perjanjian
di antara pelaku jasa perbankan yaitu bagi nasabah debitur terhadap bank yang
disebut dengan Perjanjian Kredit. Menurut Hukum Perdata Indonesia, salah satu
bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Buku Ketiga KUHPerdata
pasal 1754 sampai dengan 1789, namun demikian dalam praktek perbankan
modern tidak hanya perjanjian pinjam meminjam melainkan adanya campuran
dengan bentuk perjanjian yang lainnya seperti perjanjian pemberian kuasa dan
perjanjian lainnya. Sehubungan dengan pemberian kredit oleh bank maka setiap
pemberian kredit tersebut haruslah dituangkan dalam perjanjian kredit (akad
kredit) secara tertulis dengan tetap harus dipedomani yaitu bahwa perjanjian
tersebut rumusanya tidak boleh kabur atau tidak jelas dan harus memperhatikan
keabsahan dan persyaratan secara hukum dengan menyebutkan jumlah besarnya
kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran, serta persyaratan lainnya. Untuk

17

Drs. O. P. Simorangkir, Kamus Perbankan, cet. 2, (Jakarta : Bina Aksara, 1989), hlm.33.
18

Drs. Muhammad Djumhana, S.H., op .cit., hlm. 365-366.

Universitas Indonesia
10

mencegah adanya kebatalan dari perjanjian, sehingga secara yuridis telah


memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.19
Adapun definisi dari beberapa istilah yang sering digunakan penulis
sehingga dapat menunjang dan membantu dalam penulisan tesis ini adalah sebagai
berikut :
1. Bank
Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang
perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara,
bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya.
Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani
kebutuhan pembiyaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi
semua sektor perekonomian.20
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan: 21
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak”.

2. Debitur
Nasabah Debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.22 Selanjutnya
dalam penulisan tesis ini akan disebut debitur.
Debitur adalah One who owes a debt to another who is called the director;
one who may be compelled to pay a claim or demand; anyone lieable on a claim,
whether due or to become due. 23
19

Ibid., hlm. 385.


20

Hermansyah, S.H., M.Hum., Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta : Prenada


Media, 1999), hlm. 7.
21
Undang-Undang Perbankan, op.cit., ps.1 angka 2.
22

Ibid., ps.1 angka 18.


23

Universitas Indonesia
11

3. Kredit
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan : 24
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga”.
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/2/PBI/2009 : 25
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah
yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.”
4. Perjanjian
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.26 Perjanjian dalam
KUHPerdata diatur dalam buku III tentang perikatan, bab kedua, bagian kesatu
sampai dengan bagian keempat.
Pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh Subekti menyebutkan
bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada

Henry Black Campbell, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, (St. Paul Minn: West
Publishing Co, 1990), hlm. 404.
24

Indonesia, Undang-Undang Perbankan, op.cit., ps.1 angka 11.


25

Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum,
PBI No.11/2/PBI/2009 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/2/PBI/2005, ps. 1 angka 5.
26

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], op.cit., ps. 1313.

Universitas Indonesia
12

seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.27
Untuk memperjelas pengertian perjanjian, maka dapat ditemukan di dalam
doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah perbuatan
hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan
menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan
perjanjian, yaitu : 28
“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
Di dalam teori baru tersebut, tidak hanya melihat perjanjian semata-mata
tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya. Ada tiga tahap untuk membuat
perjanjian, yaitu tahap pra-contractual (adanya penawaran dan penerimaan),
tahap contractual (adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak)
dan tahap post-contractual (pelaksanaan perjanjian).29
Sementara M. Yahya Harahap mengartikan perjanjian sebagai hubungan
hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, yang
memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan kepada pihak lain untuk menunaikan prestasi.30
Berdasarkan uraian dari beberapa pengertian perjanjian tersebut, maka
unsur-unsur di dalam perjanjian adalah sebagai berikut : 31
a. Adanya Hubungan Hukum; Hubungan hukum merupakan hubungan yang
menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.
b. Adanya Subyek Hukum; Subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban.

27

Prof. R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 20, (Jakarta : PT. Intermasa, 2004), hlm.1.
28

Salim H.S., Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cet. 4, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2006), hlm. 25-26.
29

Ibid., hlm. 26.


30

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, cet. 2., (Bandung: Alumni, 1986), hlm.
6.
31

Salim H.S., op. cit., hlm. 26.

Universitas Indonesia
13

c. Adanya Prestasi; Prestasi terdiri dari memberikan (menyerahkan) sesuatu,


melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.
d. Di bidang harta kekayaan.
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat sebagai berikut : 32
a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu hal tertentu;
d. suatu sebab yang halal.

5. Perjanjian Kredit
Perjanjian Kredit adalah perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan
nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan,
atau pembagian hasil keuntungan.33
Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara debitur dan kreditur di
mana hak dan kewajibannya termuat dalam perjanjian tersebut dan dikenal dengan
perjanjian utang piutang, dimana terdapat unsur-unsur di dalamnya sebagai
berikut :34
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut
akan dibayar kembali oleh sipenerima kredit dalam jangka waktu tertentu yang
telah diperjanjikan.
b. Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit dengan pembayaran kembali tidak
dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh tenggang
waktu.

32

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], op.cit., ps. 1320.


33

Sutan Remi Sjahdeini, op.cit.


34

Drs. Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan, cet. 4., (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1995), hlm. 12-13.

Universitas Indonesia
14

c. Risiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit mempunyai risiko akibat


adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dengan
pembayaran kembali. Semakin panjang jangka waktu pemberian kredit semakin
tinggi resiko kredit tersebut.
d. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,
tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Namun dalam obyek kredit yang
menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam praktek perkreditan.
Prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan
kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi utangnya tetapi juga
disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
sebelumnya.

6. Kerjasama
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari kerjasama
adalah :35
a. Kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang atau pihak untuk
mencapai tujuan bersama;
b. Interaksi sosial antara individu atau kelompok secara bersama-sama
mewujudkan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Tipe Penelitian


Penelitian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan
pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara
sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu
hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum.36 Sebagai upaya
melakukan penelitian terhadap pokok permasalahan yang ingin ditulis, penulis

35

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 3,
(Jakarta : Balai Pustaka, 2002), hlm. 428.
36

Ibid., hlm. 1163.

Universitas Indonesia
15

dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif yang dikenal juga
dengan istilah penelitian kepustakaan. 37

1.6.2. Jenis Data


Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang
diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar),
sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data
sekunder38. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan
pihak Bank X, sedangkan data sekunder diperoleh dengan melakukan penelusuran
kepustakaan atau dokumentasi atau berupa norma hukum tertulis sehingga alat
pengumpulan data dengan studi kepustakaan berupa bahan-bahan terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat39, antara lain
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan-bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer40, meliputi buku-buku,
makalah-makalah atau karya ilmiah, jurnal-jurnal, serta artikel-artikel
yang berkaitan dengan permasalahan yang akan ditulis.

37
Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum, hlm. 52,
cet.3, yang diterbitkan di Jakarta oleh Penerbit UI-Press pada tahun 1986, Penelitian hukum dapat
dibedakan antara penelitian hukum normatif dengan penelitian hukum sosiologis atau empiris.
Pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang
mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Pada penelitian hukum sosiologis
atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan
dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau masyarakat.
38

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, cet. 3 (Jakarta : Rajawali Pers, 1990), hlm. 14. Lihat juga Rasyid Sartuni, Teknik
Penyusunan Karya Ilmiah Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta : Nina Dinamika, 1986), hlm. 15.
39
Ibid.
40

Ibid.

Universitas Indonesia
16

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun


penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder41 seperti Kamus
Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris.

1.6.3. Metode Pengolahan Data


Data-data sekunder dan data-data primer yang telah diperoleh akan
dikumpulkan, kemudian diseleksi untuk diambil data khusus, yaitu data yang
lebih khusus berkaitan dengan permasalahan yang akan ditulis.

1.6.4. Cara Menganalisa Data


Data yang didapat akan dianalisa sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku dan kemudian akan dikaitkan dengan kaidah-kaidah yang ada dalam
konsep perjanjian kerjasama dalam rangka penyaluran kredit, sehingga
diharapkan dapat memberikan suatu analisis logis.

1.7. Kegunaan Teoritis dan Praktis


Faedah yang diharapkan dari tulisan ini sangat berguna, baik secara teoritis
maupun praktis, yaitu :
a. Kegunaan Teoritis
Memberikan sumbangan penting dan memperluas wawasan dalam
pemahaman konsep hukum perjanjian kerjasama dalam rangka penyaluran
kredit.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pikiran di bidang hukum
mengenai perkreditan untuk menentukan konsep kerjasama antara Bank
dengan badan usaha lain dalam rangka penyaluran kredit ke End User.
Selanjutnya Bank dan pihak-pihak lain yang terkait dapat melakukan
perbaikan dan penyempurnaan sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian
kerjasama dan penyelesaian kredit sejenis di masa mendatang.

1.8. Sistematika Penelitian

41
Ibid.

Universitas Indonesia
17

Dalam sistematika penelitian ini, penulis membagi pokok penulisan tesis


dalam 4 (empat) bab, dan dalam tiap-tiap bab tersebut terdapat pula beberapa sub
bab, dan dibagi lagi dalam pokok-pokok pembahasan, yaitu:
Dalam bab kesatu yaitu Pendahuluan, diuraikan mengenai Latar Belakang,
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka
Konsepsional, Metode Penelitian, Kegunaan Teoritis dan Praktis, serta
Sistematika Penelitian.
Dalam bab kedua membahas mengenai Tinjauan Umum Perkreditan dan
Pelaksanaannya Pada Bank X yang terdiri dari Tinjauan Umum Perkreditan, Buku
Pedoman Perusahaan Perkreditan Bank X, serta Pelaksanaan Kredit dalam
Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y.
Dalam bab ketiga membahas mengenai Aspek Hukum Kerjasama
Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y yang terdiri dari
Analisa Perjanjian Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara Bank X
dengan PT. Y, Analisa Perjanjian Kredit antara PT. Y dengan Penerima Kredit
(End User) dan Analisa Perjanjian Restrukturisasi Kredit antara Bank X dengan
PT. Y.
Bab keempat merupakan bab penutup yang menguraikan Kesimpulan dan
Saran.

BAB II
TINJAUAN UMUM PERKREDITAN
DAN PELAKSANAANNYA PADA BANK X

2.1. Tinjauan Umum Perkreditan


2.1.1. Pengertian Kredit

Universitas Indonesia
18

Bank dalam usahanya adalah menghimpun dana masyarakat dan kemudian


menyalurkan dana-dana tersebut dalam bentuk kredit. Menurut Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan : 42
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga”.
Kata-kata dalam pasal 1 ayat 11 Undang-Undang Perbankan Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan “... penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu...” dalam rumusan kredit tersebut dapat ditafsirkan
sangat luas. Produk jasa perbankan, sepanjang memerlukan penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, maka produk tersebut menjadi
produk perkreditan.43
Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara debitur dan kreditur di
mana hak dan kewajibannya termuat dalam perjanjian tersebut dan dikenal dengan
perjanjian utang piutang, dimana terdapat unsur-unsur di dalamnya sebagai
berikut :44
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut
akan dibayar kembali oleh sipenerima kredit dalam jangka waktu tertentu yang
telah diperjanjikan.
b. Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit dengan pembayaran kembali tidak
dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh tenggang
waktu.
c. Risiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit mempunyai risiko akibat
adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dengan
pembayaran kembali. Semakin panjang jangka waktu pemberian kredit semakin
tinggi resiko kredit tersebut.

42

Undang-Undang Perbankan, op.cit., ps. 1 ayat 11.


43

Try Widiyono, op. cit., hlm 256.


44

Drs. Thomas Suyatno, op. cit., hlm. 12-13.

Universitas Indonesia
19

d. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,
tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Namun dalam obyek kredit yang
menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam praktek perkreditan.
Dapat disimpulkan bahwa prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas
kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi utangnya
tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
sebelumnya dan unsur-unsur yang terdapat dalam kredit yaitu kepercayaan,
waktu, risiko dan prestasi.

2.1.2. Jenis-Jenis Kredit


Perkembangan kredit saat ini memang sudah jauh dari bentuk awalnya,
terutama karena berbagai kebutuhan manusia yang semakin beragam. Salah satu
bukti perkembangan kredit tersebut dapat dilihat melalui jenis-jenis kredit yang
dikenal saat ini. Begitu banyaknya jenis kredit memperlihatkan begitu eratnya
eksistensi kredit dengan usaha pemenuhan kebutuhan manusia. Sebenarnya
perkembangan jenis kredit tersebut tidak dapat dipisahkan dari kebijakan
perkreditan yang ditetapkan sesuai dengan tujuan pembangunan.45 Kredit dapat
dibedakan menurut kriteria lembaga pemberi dan penerima kredit yang
menyangkut struktur pelaksanaan kredit di Indonesia, maka jenis kredit terdiri
dari: 46
a. Kredit Perbankan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau
konsumsi. Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta kepada
dunia usaha untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan permodalan, dan atau
kredit dari bank kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup
yang berupa barang maupun jasa.
b. Kredit Likuiditas, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada
bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan sebagai dana
untuk membiayai perkreditannya.

45

Muhamad Djumhana, op. cit., hlm.233.


46
Ibid., hlm.221-224.

Universitas Indonesia
20

c. Kredit Langsung, kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada


lembaga pemerintah atau semi pemerintah. Misalnya Bank Indonesia memberikan
kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan program pengadaan
barang.
Kredit yang dimaksud dan akan dibahas oleh penulis adalah kredit
perbankan. Untuk lebih mudah memahaminya, jenis-jenis kredit perbankan
digolongkan berdasarkan kriteria yang digunakan, yaitu: 47
1. Penggolongan berdasarkan jangka waktu :
a. Kredit jangka pendek (short term loan).
b. Kredit jangka menengah (medium term loan).
c. Kredit jangka panjang (long term loan).
Jangka waktu untuk masing-masing kredit berbeda-beda, tergantung dari
ketentuan banknya. Misalnya untuk kredit jangka pendek ada bank yang
memberlakukan jangka waktu tidak lebih dari satu tahun, ada juga bank
yang memberlakukan jangka waktu untuk dua tahun.
2. Penggolongan berdasarkan dokumentasi :
a. Kredit dengan perjanjian tertulis.
b. Kredit tanpa surat perjanjian, yang dibagi menjadi :
i. Kredit lisan, yang saat ini sudah sangat jarang
ii. Kredit dengan instrumen surat berharga.
iii. Kredit cerukan, yang timbul karena : Penarikan atau
pembebanan giro yang melampaui saldonya; Penarikan atau
pembebanan R/C yang melampaui plafondnya.
3. Penggolongan berdasarkan bidang ekonomi :
a. Kredit sektor pertanian, perburuhan dan sarana pertanian.
b. Kredit sektor pertambangan.
c. Kredit sektor perindustrian.
d. Kredit sektor listrik, gas dan air.
e. Kredit sektor konstruksi.

47

Munir Fuady (A), Hukum Perkreditan Kontemporer, cet. 1 (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996), hlm.15-21.

Universitas Indonesia
21

f. Kredit sektor perdagangan, restoran dan hotel.


g. Kredit sektor pengangkutan, perdagangan dan komunikasi.
h. Kredit sektor jasa.
i. Kredit sektor lain-lain.
4. Penggolongan berdasarkan tujuan penggunaannya :
a. Kredit konsumtif, yang diberikan untuk keperluan konsumsi sehari-
hari.
b. Kredit produktif, yang terdiri dari :
i. Kredit investasi, untuk membeli barang modal atau barang yang
tahan lama.
ii. Kredit modal kerja atau kredit eksploitasi, untuk membeli modal
lancar yang habis dalam pemakaiannya.
iii. Kredit Likuiditas, untuk membantu perusahaan yang sedang
kesulitan likuiditas.
5. Penggolongan berdasarkan obyek yang ditransfer :
a. Kredit uang, yang pemberian dan pengembaliannya
dilakukan dalam bentuk uang.
b. Kredit bukan uang, yang pemberiannya dalam bentuk
barang dan jasa, namun pengembaliannya dalam bentuk uang.
6. Penggolongan berdasarkan waktu pencairannya :
a. Kredit tunai, yang pencairannya secara tunai atau dengan
pemindahbukuan ke rekening debitur.
b. Kredit tidak tunai, yang pencairannya tidak dilakukan saat pinjaman
dibuat, seperti :
i. Garansi Bank atau Stand by L/C, yang baru akan dibayar bila
terjadi perbuatan tertentu.
ii. Letter of Credit, yang merupakan jaminan pembayaran dalam
kegiatan ekspor impor.
7. Penggolongan berdasarkan cara penarikannya :
a. Kredit sekali jadi (aflopend), yang pencairannya sekaligus, seperti
tunai atau pemindahbukuan.

Universitas Indonesia
22

b. Kredit rekening koran, yang waktu penarikannya tidak teratur dan


dapat dilakukan berulang kali selama plafond kredit masih tersedia,
misalnya bilyet giro atau cek.
c. Kredit berulang-ulang (revolving loan), yang diberikan sesuai
kebutuhan selama dalam batas maksimum dan masih dalam jangka
waktu yang diperjanjikan.
d. Kredit bertahap, yang pencairannya dalam beberapa termin/bertahap.
e. Kredit tiap transaksi (self-liquidating credit) yang penarikannya
sekaligus untuk satu transaksi tertentu dan pengembaliannya diambil
dari hasil transaksi yang bersangkutan.
8. Penggolongan berdasarkan jumlah kreditur :
a. Kredit dengan kredit tunggal (single loan).
b. Kredit sindikasi (syndicated loan), yang mempunyai lebih dari satu
kreditur dengan satu kreditur sebagai lead creditor/lead bank.
9. Penggolongan berdasarkan pola penyaluran kredit :48
a. Kredit Channeling.
b. Kredit Executing.
c. Kredit Referensi
Selain kriteria yang digunakan di atas, masih banyak lagi kriteria yang
dapat digunakan untuk menggolongkan berbagai jenis kredit. Penjabaran semua
kriteria itu pada dasarnya hendak memperlihatkan perkembangan kredit yang
telah mengisi berbagai segi kegiatan manusia.

2.1.3. Kredit Pola Channeling, Executing dan Referensi


Sehubungan dengan kajian kerjasama penyaluran kredit/pembiayaan pada
penulisan ini, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai kredit pola channeling,
executing dan referensi sebagai berikut : 49
Channeling agent merupakan pola pemberian kredit kepada debitur, tetapi
melalui lembaga/perusahaan (agent) yang berhubungan langsung dengan debitur.

48

Try Widiyono, op. cit., hlm. 293.


49

Try Widiyono, ibid., hlm. 293-297.

Universitas Indonesia
23

Lembaga/perusahaan tersebut harus telah melakukan perjanjian kerja sama


dengan bank/kreditor. Dalam pemberian kredit berpola channeling atau executing
dapat berupa Kredit Investasi atau Kredit Modal Kerja atau kredit-kredit lainnya.
Ada perbedaan utama antara pola channeling dengan executing. Pada pola
channeling, kredit diberikan kepada debitur melalui lembaga/perusahaan lain.
Fungsi lembaga/perusahaan (agent) lain dalam pola channeling ditetapkan dalam
Perjanjian Kerjasama. Hal yang perlu diperhatikan adalah hak dan kewajiban
perusahaan (agent) tersebut, siapakah yang menandatangani perjanjian kredit.
Dalam hal perjanjian kredit ditandatangani antara debitur dengan agen, maka agen
yang bersangkutan wajib mendapatkan kuasa dari kreditur (bank) karena agen
dalam hal ini bertindak dalam kapasitasnya berdasarkan kuasa dan oleh karena itu,
untuk dan atas nama bank/kreditur. Sebagai kuasa, channeling agent tidak dapat
bertindak di luar kuasa yang diberikan. Dalam hal ini perlu diperhatikan,
khususnya dalam hal channeling agent diberikan hak untuk menetapkan secara
bebas suku bunga kredit kepada end user/debitur. Penetapan demikian wajib
didukung oleh kewenangan yang terdapat dalam perjanjian kerjasama. Jika tidak,
maka pemberian fasilitas kredit tersebut bukan merupakan tanggung jawab pihak
pemberi kuasa. Sementara, pola executing bukan demikian.
Pada pola channeling agent terdapat beberapa variasi yang masing-masing
mempunyai aspek hukum yang berbeda-beda dan wajib dimuat dalam perjanjian
kerjasama sebagai berikut :
a. Channeling agent dengan pola adanya kewajiban agen untuk mengambil
alih kredit (take over) jika end user/debitur wanprestasi. Dalam pola ini,
kreditur tidak perlu memberikan kuasa untuk melaksanakan hak-hak
kreditur dalam melakukan tagihan dan atau eksekusi agunan jika end
user/debitur wanprestasi.
b. Channeling agent dengan pola tidak adanya kewajiban agen untuk
mengambil alih kredit (take over) jika end user/debitur wanprestasi.
Dalam pola ini, kreditur wajib memberikan kuasa untuk melaksanakan
hak-hak kreditur dalam melakukan tagihan atau eksekusi agunan jika end
user/debitur melakukan wanprestasi.

Universitas Indonesia
24

c. Channeling agent dengan pola bahwa agen ikut membiayai kredit


tersebut, misalnya kreditur 75% dan agen 25%, yang juga dikenal joint
financing.
d. Channeling agent dengan pola pembelian kredit-kredit existing yang telah
dibiayai oleh lembaga pembiayaan, yang disebut juga dengan pola
purchasing agreement.
Oleh karena itu, hak-hak dan kewajiban agen harus diperinci dalam
perjanjian kerjasama channeling antara bank dengan agen. Hal yang penting
dalam perjanjian kerjasama, antara lain sebagai berikut :
a. Meneliti kapabilitas dari debitur, sesuai dengan syarat dan ketentuan yang
ditetapkan oleh bank. Dalam hal ini bank memberikan kuasa kepada agen untuk
bertindak atas nama bank dalam menandatangani SPPK (surat pemberitahuan
persetujuan kredit), PK (perjanjian kredit), pengikatan agunan, penarikan dan atau
penjualan agunan, mewakili bank di dalam dan di luar pengadilan berkaitan
dengan pelaksanaan pemberian fasilitas kredit secara channeling.
b. Kewajiban-kewajiban agen dalam memberikan kredit kepada end user menurut
prosedur dan tata cara pemberian kredit yang sehat, termasuk persyaratan calon
debitur yang layak untuk diberikan fasilitas serta meyakini dan bertanggung jawab
atas seluruh dokumen kredit yang diserahkan dan atau terkait dengan pemberian
fasilitas kredit kepada end user.
c. Persyaratan tata cara, isi SPPK, PK serta pengikatan agunan dan tingkat suku
bunga harus diketahui atau disetujui oleh bank, termasuk self financing/persentase
pembiayaan sendiri (end user).
d. Kewajiban agen untuk menagih kepada debitur dan menyerahkannya kepada
bank/kreditur.
e. Pernyataan dan tanggung jawab agen mengenai benda/barang yang dibiayai
(dibeli) end user merupakan tanggung jawab agen, baik spesifikasi maupun
kualitasnya.
f. Dibebaskan atau tidak dibebaskan untuk meningkatkan suku bunga kredit dari
bunga yang ditentukan oleh bank. Artinya, terdapat agen yang dibolehkan
menaikkan suku bunga kredit dari yang ditetapkan bank.
g. Menarik dan atau menjual jaminan kredit debitur.

Universitas Indonesia
25

h. Umum diperjanjikan juga bahwa agen harus menempatkan dananya pada


bank/kreditur dalam jumlah tertentu sebagai jaminan apabila debitur ternyata
menunggak/tidak membayar kredit.
i. Mengambil alih (take over) kredit oleh agen apabila debitur (end user)
wanprestasi, berikut sanksi apabila ternyata agen tidak mau atau tidak mampu
mangambil alih (take over).
j. Melaporkan semua kegiatan agen berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh
bank yang termuat dalam surat kuasa.
Hal penting juga untuk dikemukakan, berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan RI No. 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan, dalam
pasal 27 (1) dinyatakan bahwa perusahaan pembiayaan dilarang:
a. Menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito,
tabungan dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b. Menerbitkan surat sanggup bayar (promissory note), kecuali sebagai jaminan atas
utang kepada bank yang menjadi krediturnya; dan
c. Memberikan jaminan dalam segala bentuknya kepada pihak lain.
Dengan demikian, untuk membuat perjanjian kerja sama pemberian kredit
dengan pola channeling agent yang dalam perjanjian kerja samanya memuat
adanya take over atau buy back guarantee atau with recourse atau avalis harus
diperhatikan dan diyakini bahwa perusahaan yang menjadi channeling agent
tersebut bukan perusahaan pembiayaan.
Pengertian pemberian jaminan sebagaimana dimaksud dalam SK Menkeu
tersebut adalah pemberian jaminan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1820
KUHPerdata, yang menyatakan bahwa penanggungan adalah suatu persetujuan
dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan
diri untuk memenuhi pengikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak
memenuhinya. Sedangkan pengertian buy back guarantee dalam pola channeling
agent adalah bahwa apabila debitur (end user) tidak dapat membayar
kewajibannya kepada bank, maka pihak channeling agent akan menjamin
pembayaran kewajiban debitur tersebut. Ini berarti pihak channeling agent
melakukan penjaminan apabila debitur (end user) tidak memenuhinya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian buy back guarantee dalam pola

Universitas Indonesia
26

demikian hakikatnya adalah penjaminan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1820


KUHPerdata.
Dengan demikian, apabila pengertian buy back guarantee adalah termasuk
cakupan dalam pengertian penjaminan sebagaimana dikemukakan dalam pasal
1820 KUHPerdata tersebut, maka hal tersebut termasuk pengertian “penjaminan”
sebagaimana dimaksud dalam SK Menkeu di atas, yang apabila dilakukan oleh
perusahaan pembiayaan penjaminan, maka itu dilarang. Memperhatikan uraian
tersebut, maka kalusula buy back guarantee dalam perjanjian kerja sama dengan
perusahaan pembiayaan seyogianya dihindari karena hal ini bertentangan dengan
ketentuan Menkeu tersebut.
Berbeda dengan channeling, dalam executing debitur adalah agen tersebut
langsung. Hubungan hukum antara agen dengan nasabahnya (nasabah agen/end
user) adalah hubungan hukum yang terpisah dengan hubungan hukum antara bank
dengan agen. Oleh karena agen adalah debitur, maka agen harus memenuhi syarat
dan ketentuan bidang perkreditan sebagaimana mestinya. Namun demikian,
biasanya untuk menetapkan syarat penarikan, antara lain ditentukan adanya
aplikasi nasabah agen yang mengajukan kredit kepada agen dan selanjutnya agen
tersebut meminta kepada bank untuk dapat menarik/mencairkan fasilitas kredit.
Hal terpenting dalam kredit pola executing adalah perjanjian kredit yang
dibuat harus lebih rinci, khususnya berkaitan dengan syarat penarikan, termasuk
pada kewajiban memberikan calon nasabah yang memenuhi syarat yang
ditentukan oleh kreditur, juga agunan yang diperlukan.
Disamping itu, terdapat pola pemberian kredit melalui agen, tetapi fungsi
agen hanyalah untuk memberikan referensi atas calon debitur kepada bank. Dalam
hal ini, fungsi agen semata-mata hanya sebagai sales atau pihak yang mencari
nasabah. Hak dan kewajiban pihak agen harus secara tegas diatur dalam perjanjian
kerja sama antara bank dengan agen karena, sekalipun sebagai referensi, agen
yang dalam perjanjian kerja samanya dapat sebagai penanggung kredit. Jadi, hal
terpenting dalam pola pemberian kredit melalui agen adalah hak, kewajiban, dan
tanggung jawab dari agen yang bersangkutan.

2.1.4. Prinsip-Prinsip dalam Pemberian Kredit

Universitas Indonesia
27

Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan pada siapa saja yang
memiliki kemampuan untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara pemberi
utang (kreditur) di satu pihak dan penerima utang (debitur) di lain pihak. Setelah
perjanjian disepakati dan debitur telah menyerahkan sejumlah jaminan bagi kredit
yang diperolehnya, maka lahirlah kewajiban pada diri kreditur, yaitu untuk
menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada debitur, dengan hak untuk
menerima kembali uang itu dari debitur pada waktunya, disertai dengan bunga
yang disepakati oleh para pihak pada saat perjanjian kredit tersebut disetujui oleh
para pihak.50
Dalam melakukan setiap usahanya, bank wajib memperhatikan prinsip
kehati-hatian (prudent principle).51 Hal tersebut tidak terkecuali dalam usaha
penyaluran kredit. Bank Indonesia menerbitkan ketentuan-ketentuan yang harus
ditaati oleh bank sebagai upaya untuk meminimalisasi risiko akibat kredit dan
berkenaan dengan prinsip kehati-hatian bank. Ketentuan-ketentuan tersebut antara
lain penentuan Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK), rasio kredit terhadap
simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR), Rasio kecukupan modal (Capital
Adequacy Ratio/CAR), alokasi jumlah kredit untuk golongan usaha tertentu dan
batas minimum perolehan bank.52
Disadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko,
sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan
yang sehat. Bank harus memperoleh keyakinan bahwa kredit yang disalurkannya
tersebut dapat dikembalikan kembali oleh debitur tepat pada waktunya. Untuk
memperoleh keyakinan tersebut, maka dalam proses pemberian kredit, bank akan
mengikuti prosedur pemberian kredit (Standard Of Procedure/SOP)53 yang

50

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm.1.
51

Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva
Produktif, SK No. 30/267/KEP/DIR/1998, ps. 2.
52

Rachmat Firdaus dan Maya Ariyani, Manajemen Perkreditan Bank Umum, (Bandung:
Alfabeta, 2004), hlm. 44-50.
53

Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tanggal
31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi
Bank Umum.

Universitas Indonesia
28

berlaku di internal bank untuk melakukan penilaian yang seksama atas


kemampuan debitur yang lazim menggunakan ukuran 5’Cs yaitu Watak
(Character), Kemampuan (Capacity), Modal (Capital), Agunan (Collateral) dan
prospek usaha (Condition of economy), sehingga bank dapat mengetahui bahwa
usaha proyek yang dibiayainya layak (feasible) dan bankable.54
Karakter tidak diragukan lagi adalah faktor yang sangat penting untuk
dipertimbangkan jika ingin memberikan kredit. Apabila debitur tidak jujur,
curang, ataupun incompetence, maka kredit tidak akan berhasil tanpa perlu
memperhatikan faktor-faktor lainnya. Orang yang tidak jujur ataupun curang akan
selalu mencari jalan untuk mengambil keuntungan. Seseorang yang incompetence
menjalankan bisnis tidak diragukan lagi akan menjalankan bisnisnya dengan
buruk, dan hasilnya kredit akan mengandung resiko tinggi. Jika seseorang tidak
ingin membayar kembali kreditnya, kemungkinan ia akan mencari jalan untuk
menghindari membayar kembali. Untuk itu, penilaian karakter debitur harus
ditentukan sejak ia memulai langkah pertama untuk mendapatkan pinjaman.55
Sedangkan modal (capital) berhubungan dengan kekuatan keuangan dari
sipeminjam. Ada beberapa cara untuk menentukan apakah modal seseorang itu
memuaskan. Langkah pertama adalah mendapatkan laporan aset dan pasiva dari
sipeminjam dan harus dipastikan data tersebut akurat. Beberapa lembaga
pinjaman mempunyai aturan-aturan pinjaman yang memuat batas rasio maksimal
aset dan pasiva.56
Conditions, dapat dilihat melalui dua kategori, yaitu kondisi internal dan
kondisi eksternal yang akan mempengaruhi peminjam dan kemampuan debitur
untuk mengembalikan. Kedua belah pihak baik bank maupun debitur menyusun
kontrak yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan kredit, biaya dan bunga.
Bank berhak mengetahui tujuan dari pinjaman. Hal ini membantu bank menilai
54

Agus Santoso. “Kredit Macet : Antara Kerugian Negara atau Kerugian Korporasi,”
(Makalah disampaikan pada Pelatihan Kriminalisasi Kredit Macet Perbankan sebagai Tindak
Pidana Korupsi), Jakarta, 25-26 Januari 2010, hlm.1.
55

Zulkarnain Sitompul. “Kendala dan Masalah,” (Makalah disampaikan pada Pelatihan


Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk), Jakarta, 16 September 2004, hlm.1.
56
Ibid., hlm.2.

Universitas Indonesia
29

resiko dari pinjaman, tipe dari produk pinjaman dan keamanan apa yang
diperlukan. Bank tidak memberikan kredit untuk tujuan yang illegal misalnya
memberikan kredit untuk tujuan yang dapat membahayakan lingkungan.57
Collateral (agunan) diperlukan untuk menanggung pembayaran kredit
macet. Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa
agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau
pembiayaan yang diterimanya. Agunan berfungsi sebagai jaminan tambahan.
Kesulitan bank dalam melakukan analisis dengan menggunakan prinsip 5 C
sebagaimana dikemukakan di atas dapat diatasi dengan adanya skim penjaminan
atau skim asuransi kredit. Dengan adanya skim tersebut maka bank lebih mudah
menilai risiko kredit yang diberikannya.58
Kredit dari sisi bank merupakan sumber pendapatan yang memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan bank itu sendiri. Sedangkan bagi
debitur, kredit bagaikan suatu obat yang dapat menyembuhkan atau atau bahkan
dapat mematikan. Kenapa, karena bila kredit yang diberikan tidak sesuai dengan
kebutuhan debitur, maka kredit tersebut tidak bermanfaat karena tidak cukup
untuk membiayai usaha debitur, sehingga usaha debitur juga tidak jalan.
Akibatnya pada saat jangka waktu berakhir kredit tidak dapat diselesaikan
sebagaimana seharusnya. Demikian juga apabila berlebih diberikan akan
mematikan debitur, karena keuntungan atas obyek yang dibiayai tidak mencukupi
untuk membayar kewajibannya kepada bank sehingga memberi peluang dana
yang diberikan tidak digunakan sebagaimana seharusnya.59
Kegiatan perkreditan merupakan proses pembentukan aset bank. Kredit
merupakan risk asset bagi bank karena aset bank itu dikuasai oleh pihak luar bank
yaitu debitur. Setiap bank menginginkan dan berusaha keras agar kualitas risk
asset ini sehat, produktif dan collectable. Namun kredit yang diberikan kepada
debitur selalu ada resiko berupa kredit tidak dapat kembali tepat pada waktunya

57

Ibid. dikutip dari PM Weaver & CD Kingsley, Banking & Lending Practice, (Sydney:
Lawbook Co., 2001), hlm. 97-104.
58
Ibid.
59

Ibid.

Universitas Indonesia
30

yang dinamakan kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL). Kredit
bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan bank, karena bank tidak
mungkin menghindari adanya kredit bermasalah. Bank hanya dapat berusaha
menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah agar tidak melebihi
ketentuan Bank Indonesia sebagai Pengawas Perbankan.60

2.1.5. Pedoman Kebijakan Perkreditan Bank


Setelah memperhatikan prinsip-prinsip perkreditan yang umum dikenal,
suatu bank juga mempunyai Pedoman Kebijakan Perkreditan Bank sebagaimana
yang diamanatkan oleh Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/162/KEP/Dir.31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan
Perkreditan Bank (PPKPB). PPKPB tersebut mengatur mengenai bagaimana cara
memberikan kredit (prosedur), bagaimana memonitori kredit dan bagaimana
menyelematkan kredit bermasalah. Suatu kebijakan perkreditan bank minimal
memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 61
a. Portofolio kredit yang sehat.
b. Organisasi dan manajemen perkreditan.
c. Kebijakan persetujuan kredit.
d. Administrasi dan dokumentasi kredit.
e. Monitoring dan pengawasan kredit.
f. Penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah.
Kebijakan ini dilakukan untuk menghindari dampak dari risiko kredit yang
mungkin terjadi antara lain adalah risiko usaha, risiko geografis, risiko
keramaian/keamanan/tawuran/perkelahian, risiko politik/kebijakan pemerintah,
risiko ketidakpastian dan risiko lainnya.62
Dengan memperhatikan prinsip dan pedoman kebijakan dalam perkreditan
bank di atas, tiap-tiap bank mempunyai kebebasan untuk mekanisme penyaluran

60

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Cet. II, (Bandung: Alfabeta,
2004), hlm. 263.
61

Rachmat Firdaus dan Maya Ariyani, op.cit., hlm. 41-52.


62

Ibid., hlm. 36.

Universitas Indonesia
31

kredit. Mekanisme pemberian kredit adalah tahap-tahap yang harus dilalui


sebelum suatu kredit diputuskan untuk diberikan.63 Mekanisme pemberian kredit
tersebut meliputi persiapan kredit, analisis atau penilaian kredit, keputusan kredit,
pelaksanaan dan administrasi kredit, supervisi kredit dan pembinaan debitur. 64
Adapun tahap-tahap ini merupakan tahap umum dari suatu pemberian
kredit yang berupa tindakan yang harus dilakukan sejak diajukannya permohonan
kredit sampai dengan lunasnya kredit yang diberikan oleh bank tersebut : 65
1. Permohonan Kredit
Setiap nasabah yang ingin mendapatkan fasilitas kredit harus melampirkan
berkas permohonan kredit yang terdiri dari surat permohonan yang ditandatangani
secara lengkap dan sah, daftar isian yang disediakan oleh bank dan diisi dengan
benar dan lengkap oleh nasabah serta daftar lampiran lainnya. Surat permohonan
yang diterima harus dalam register khusus yang disediakan dan akan dinyatakan
lengkap jika telah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Berkas permohonan
harus dipelihara dalam selama dalam proses dan bank biasanya menggunakan
Daftar Isian Permohonan Kredit untuk memudahkan bank memperoleh data yang
diperlukan.
2. Analisis Kredit
Dalam menganalisis kredit, hal-hal yang dilakukan meliputi wawancara
dengan pemohon kredit, pengumpulan data yang berhubungan dengan
permohonan kredit yang diiajukan nasabah, pemeriksaan atau penyidikan atas
kebenaran dan kewajiban mengenai hal yang dikemukakan nasabah dan
penyusunan laporan mengenai hasil penyidikan.
Selain itu, kegiatan analisis yang harus dilakukan dalam pemberian kredit
antara lain :
a. Mempersiapkan pekerjaan penguraian dari segala aspek untuk
mempertimbangkan apakah permohonan kredit dapat diterima.

63

Ibid., hlm. 35.


64

Ibid., hlm. 91.


65

Thomas Suyatno, op. cit., hlm. 69.

Universitas Indonesia
32

b. Menyusun laporan analisis yang diperlukan, berisi penguraian dan


kesimpulan serta penyajian alternatif sebagai bahan pertimbangan
untuk pengambilan keputusan dari permohonan kredit nasabah.
Setelah memperoleh data pokoknya maka yang harus dikerjakan adalah :
a. Penelitian data;
b. Penelitian atas realisasi-realisasi usaha;
c. Penelitian atas rencana-rencana usaha;
d. Penelitian dan penilaian barang jaminan tambahan;
e. Penelitian pendahuluan atas laporan keuangan (financial statement);
f. Analisis kebutuhan modal kerja;
g. Analisis kebutuhan investasi.
3. Keputusan atas Permohonan Kredit
Pihak yang berhak mengambil keputusan untuk meyetujui permohonan
kredit adalah Kepala Bagian Kredit/Cabang tanpa mengusulkan terlebih dahulu
kepada kantor pusat karena sudah sesuai dengan jenis yang telah dilakukan, tapi
jika permohonan diluar batas wewenangnya maka harus diusulkan terlebih dahulu
kepada kantor pusat melalui surat dan Bank Indonesia juga dapat memberikan
keputusan sesuai dengan wewenang yang ditentukan.
Setiap keputusan permohonan kredit harus memperhatikan penilaian
syarat-syarat umum yang pada dasarnya tercantum dalam laporan pemeriksaan
kredit dan analisis kredit serta bahan pertimbangan yang diperoleh harus
dibubuhkan secara tertulis (disposisi).
4. Penolakan Permohonan Kredit
Bagian Kredit/Cabang dapat menolak permohonan kredit yang secara jelas
dianggap oleh bank secara teknis tidak memenuhi persyaratan dan harus
disampaikan kepada nasabah secara tertulis dengan disertai alasan penolakannya
atau setelah mendapat keputusan penolakan dari Direksi.
5. Persetujuan Permohonan Kredit
Bank akan memberikan persetujuan baik sebagian maupun seluruhnya
permohonan kredit dari calon nasabah debitur tetapi akan ditegaskan lebih dulu
mengenai syarat-syarat fasilitas kredit dan prosedur yang harus ditempuh oleh

Universitas Indonesia
33

nasabah dalam rangka melindungi kepentingan bank. Adapun langkah-langkah


yang harus dijalani adalah :
a. Surat penegasan persetujuan permohonan kredit kepada pemohon
dibuat secara tertulis dan dalam lima rangkap. Surat ini merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari surat perjanjian kredit
karena dengan tegas telah disebutkan nomor dan tanggalnya.
b. Pengikatan jaminan.
c. Penandatanganan perjanjian kredit.
d. Penandatanganan surat aksep.
e. Membuat informasi untuk bagian lain, misalnya bagian kas dan bagian
ekspor/impor.
f. Pembayaran bea materai kredit.
g. Pembayaran provisi kredit atau commitment fee.
h. Mengasuransikan barang jaminan.
i. Membuat asuransi kredit.

6. Pencairan Fasilitas Kredit


Bank hanya menyetujui pencairan kredit oleh nasabah bila syarat-syarat
yang harus dipenuhi nasabah telah dilaksanakan. Pengikatan jaminan secara
sempurna dan penandatanganan warkat-warkat kredit (perjanjian kredit atau surat
aksep borgtocht) mutlak harus mendahului pencairan kredit. Dalam prakteknya,
pencairan kredit berupa pembayaran dan/atau pemindahbukuan atas beban
rekening pinjaman atau fasilitas lainnya, dengan cara antara lain menarik cek atau
giro bilyet, kuitansi maupun dengan dokumen lainnya. Setelah itu harus dilakukan
verifikasi yang meliputi pencocokan dan keabsahan pencairan, jumlah dan syarat
lainnya.
7. Pelunasan Fasilitas Kredit
Dengan dipenuhinya semua kewajiban nasabah terhadap bank berarti
kredit tersebut telah lunas dan berakibat hapusnya ikatan perjanjian kredit.

2.1.6. Penyelamatan dan Penyelesaian Kredit Bermasalah

Universitas Indonesia
34

Bank Indonesia memberikan penggolongan mengenai kualitas kredit


apakah kredit yang diberikan bank termasuk Performing Loan (kredit tidak
bermasalah) atau Non Performing Loan (kredit bermasalah). Kualitas dapat
digolongkan sebagai berikut : 66
a. Lancar
b. Dalam Perhatian Khusus
c. Kurang Lancar
d. Diragukan
e. Macet
Kualitas kredit yang termasuk dalam Non Performing Loan (kredit
bermasalah) adalah Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
Tindakan bank dalam usaha menyelamatkan atau menyelesaikan kredit
bermasalah akan beraneka ragam tergantung pada kondisi kredit bermasalah
tersebut. Misalnya apakah debitur kooperatif dalam menyelesaikan kredit
bermasalah atau tidak. Apabila debitur kooperatif dalam mencari solusi
penyelesaian kredit bermasalah dan usaha debitur masih memiliki prospek, maka
dilakukan restrukturisasi kredit. Sebaliknya bagi debitur yang memiliki itikad
tidak baik (tidak kooperatif) untuk penyelesaian kredit tergantung dari kuat
tidaknya dari aspek hukum perjanjian kredit, pengikatan barang jaminan, kondisi
fisik jaminan dan nilai jaminan karena jaminan inilah satu-satunya sumber
pengembalian kredit. Bagi debitur yang beritikad tidak baik namun dari aspek
hukum kuat maka tindakan hukum merupakan pilihan yang tidak dapat
dihindarkan, yaitu eksekusi barang jaminan oleh bank baik melalui pelelangan
umum maupun penjualan barang jaminan secara sukarela.
Mengingat bahwa kredit bermasalah tersebut membawa pengaruh pada
kelangsungan hidup bank, kepercayaan masyarakat, terganggunya kelancaran dan
laju pembangunan nasional secara keseluruhan, maka dilakukan langkah-langkah
penanganan yang bersifat antisipatif, yaitu dengan melakukan Restrukturisasi
Kredit apabila prospek usahanya masih memungkinkan atau dilakukan tindakan
eksekusi jaminan untuk melunasi hutang/kewajibannya kepada bank.
66

Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, op. cit., ps.12
ayat (3).

Universitas Indonesia
35

Kredit bermasalah dapat disebabkan oleh dua macam sumber, yaitu faktor
intern dan faktor ekstern sebagai berikut :
1. Faktor Intern Penyebab kredit Bermasalah :67
a. Kebijaksanaan pemberian kredit yang terlalu ekspansif.
Peningkatan penghimpunan dana pihak ketiga yang cukup cepat
menyebabkan beberapa bank melakukan kebijakan pertumbuhan kredit
yang melebihi tingkat wajar, yang dilakukan untuk menghindari
terjadinya penumpukan dana yang ideal akibat penghimpunan dana
yang cukup besar. Bank seharusnya tetap melakukan kebijakan
pemberian kredit dengan prosedur yang berhati-hati untuk
menghindari terjadinya risiko kredit bermasalah. Kebijakan pemberian
kredit yang hanya didasarkan pada pencapaian target jumlah tertentu
tanpa memperhatikan aspek-aspek lainnya hanya akan menimbulkan
masalah yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tingkat kesehatan
bank di kemudian hari.
b. Penyimpangan pemberian kredit.
Penyimpangan pemberian kredit terhadap prosedur atau kebijakan
yang ada pada umumnya disebabkan oleh kurangnya kuantitas maupun
kualitas pejabat-pejabat pemberi kredit selain disebabkan oleh adanya
dominasi pemutusan kredit oleh pejabat tertentu kepada bank yang
bersangkutan.
c. Itikad kurang baik pemilik/pengurus dan pegawai bank .
Praktek-praktek yang terjadi adalah pihak-pihak tersebut memberikan
kredit pada debitur yang sebenarnya tidak “bankable”. Kegiatan usaha
tersebut misalnya kegiatan-kegiatan yang kurang jelas tujuannya,
selain juga tidak jelas debiturnya (debitur fiktif), yaitu misalnya
penggunaan dana yang sebenarnya berbeda dengan yang tercantum
pada bukti-bukti yang ada.
d. Lemahnya sistem informasi kredit serta system pengawasan dan
administrasi kredit.
67

Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah : Konsep, Teknik dan Kasus. Cet.1.
(Jakarta: Pustaka Binawan Pressindo, 1997), hlm.20-21.

Universitas Indonesia
36

Oleh karena lemahnya sistem pengawasan dan administrasi kredit,


pimpinan bank tidak dapat memantau penggunaan kredit serta
perkembangan kegiatan usaha maupun kondisi keuangan debitur
secara cermat. Sebagai kelanjutannya, mereka tidak dapat segera
melakukan tindakan koreksi apabila terjadi penurunan kondisi bisnis
dan keuangan debitur atau terjadi penyimpangan dari perjanjian kredit.
Selain itu bank cenderung melakukan gambaran perkreditan yang lebih
baik dari keadaan yang sebenarnya kepada Bank Indonesia dengan
tujuan mendapatkan penilaian tingkat kesehatan yang lebih baik.
Padahal hal ini justru menyulitkan bank karena tidak memiliki
informasi yang akurat mengenai kredit bermasalah yang sebenarnya
sehingga bank tidak dapat mengambil langkah-langkah pencegahan
kredit bermasalah secara lebih dini.
2. Faktor Ekstern Penyebab Kredit Bermasalah :68
a. Kegagalan usaha debitur.
Kegagalan usaha debitur dapat dipengaruhi oleh beberapa factor yang
terdapat dalam lingkungan debitur. Faktor tersebu dapat berupa
kegagalan produksi, distribusi, pemasaran maupun adanya regulasi
terhadap suatu industri. Namun demikian, seharusnya bank dapat
mengantisipasi risiko-risiko tersebut pada saat melakukan penilaian
terhadap kelayakan usaha debitur. Pemberian kredit oleh bank dapat
dilakukan setelah pihak bank mendapatkan keyakinan yang tinggi
bahwa usaha debitur akan berjalan dengan aman dan tidak bersifat
spekulatif. Pengamatan yang cermat terhadap kecenderungan suatu
industry juga merupakan factor kunci terhadap keberhasilan suatu
usaha. Kejenuhan yang terjadi pada suatu industry dapat menyebabkan
runtunhnya industry tersebut yang selanjutnya akan menimbulkan pula
dampak yang serius terhadap industry perbankan yang ikut membiayai
proyek-proyek pada industri tersebut.

68

Ibid., hlm. 22, dikutip dari seminar Penghapusan Kredit Macet: Problematika dan
Pemecahannya yang diselenggarakan di Jakarta, 30 Agustus 1996, disampaikan oleh DR. Erman
Munzir, Deputi Direktur Bank Indonesia.

Universitas Indonesia
37

b. Menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga.


Tingginya suku bunga kredit dan menurunnya kegiatan ekonomi
terutama pada sector-sektor usaha tertentu akibat adanya kebijakan
pemerintah untuk melakukan penyejukan perekonomian karena
kegiatan ekonomi yang overheated telah menjadi salah satu penyebab
kesulitan debitur untuk memenuhi kewajibannya kepada bank.
c. Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur
Adanya iklim persaingan perbankan yang ketat sering dimanfaatkan
oleh calon debitur dengan cara tertentu yang mendorong bank
menawarkan persyaratan kredit yang lebih ringan dan jumlah kredit
yang lebih besar. Pada akhirnya pemberian kredit yang berlebihan
kepada debitur dari jumlah yang diperlukan dapat mendorong debitur
yang bersangkutan menggunakan kelebihan dana tersebut untuk tujuan
spekulatif.
d. Musibah yang terjadi pada usaha debitur atau kegiatan usahanya.
Beberapa kredit bermasalah yang sering terjadi memang karena adanya
musibah yang dialami oleh debitur, yaitu debitur meninggal dunia atau
sarana usahanya mengalami kebakaran sementara debitur dan atau
bank tidak melakukan pengamanan melalui penutupan asuransi. Selain
itu bencana alam seperti gempa bumi, banjir, badai, musim kemarau
yang berkepanjangan seringkali merusak atau menurunkan kapasitas
produksi, peralatan produksi yang dioperasikan oleh debitur.
Akibatnya jumlah produksi, hasil penjualan produk dan keuntungan
menurun yang mempunyai akibat lebih lanjut memburuknya likuiditas
keuangan debitur.
Tindakan penyelamatan kredit dilakukan oleh bank apabila debitur telah
menunjukkan gejala tidak mampu lagi untuk menyelesaikan kewajibannya kepada
pihak bank tepat pada waktunya.69 Dalam prakteknya penyelesaian kredit
bermasalah yang oleh bank-bank dilakukan dengan dua alternatif, yaitu negosiasi
dan litigasi. Namun tetap diakui bahwa kedua alternatif tersebut terlepas dari

69

Suharno, op.cit., hlm. 174.

Universitas Indonesia
38

adanya bank-bank yang melakukan penagihan kredit macet dengan menggunakan


jasa “debt collector”.
Penyelesaian kredit bermasalah dengan negosiasi ini dilakukan terhadap
debitur yang usahanya masih berjalan meskipun tersendat-sendat, dapat
membayar bunga meskipun kemampuannya tetap melemah dan tidak dapat
membayar angsurannya. Bahkan terhadap debitur yang usahanya sudah tidak
berjalanpun dapat dilakukan penyelesaiannya dengan negosiasi sebagai contoh
yaitu apabila ratio agunan atau jaminan kredit masih mencukupi dan ada usaha
lain yang dianggap lebih layak dan dapat menghasilkan maka kepada debitur yang
bersangkutan dimungkinkan untuk diberikan suntikan baru yang hasilnua dapat
dipergunakan untuk membayar seluruh kewajibannya.
Semua upaya tersebut dapat disebut dengan kredit yang diselamatkan,
yaitu kredit yang semula tergolong bermasalah atau macet kemudian terjadi
kesepakatan antara debitur dan bank untuk diperbaiki, yang tentunya diikuti
dengan suatu perjanjian kredit yang baru, baik berupa novasi, subrogasi,
kompensasi atau hanya berupa addendum atas perjanjian kredit yang telah ada.
Adapun bentuk penyelamatan kredit tersebut secara umum berupa : 70
1. Restrukturisasi Kredit
Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam
kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi
kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui : 71
a. penurunan suku bunga Kredit;
b. perpanjangan jangka waktu Kredit;
c. pengurangan tunggakan bunga Kredit;
d. pengurangan tunggakan pokok Kredit;
e. penambahan fasilitas Kredit; dan atau
f. konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara.

70

Ibid., hlm. 174-175.


71

Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, op. cit., Ps.1
angka 25

Universitas Indonesia
39

Kredit dapat direstruktur apabila usaha debitur masih memiliki prospek


yang baik, telah atau mempunyai potensi kesulitan pembayaran pokok/bunga
kredit.
2. Novasi Kredit
Novasi kredit adalah tindakan penyelamatan dengan cara pengambilalihan
kredit oleh pihak ke III. Untuk itu bank harus melakukan analisa kredit
sebagaimana analisa debitur baru. Bila dari hasil analisa usaha debitur tersebut
layak maka permohonan novasi dapat disetujui dan sebaliknya.
Pada saat dilakukan novasi, secara otomatis fasilitas debitur lama (yang
diambil alih) dianggap telah lunas dan pihak yang mengambil alih pinjaman
merupakan debitur baru. Untuk itu semua perikatan dan perjanjian asesoris harus
diperbaharui.
Novasi (Pembaharuan Utang) diatur dalam Pasal 1413 KUHPerdata
sebagai berikut : 72
“ Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang :
(1) Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru
guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang
yang lama, yang dihapuskan karenanya;
(2) Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang
berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya;
(3) Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang berpiutang baru
ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si
berutang dibebaskan dari perikatannya.”

Bentuk Novasi dapat dibedakan menjadi dua sebagai berikut :73


a. Novasi Objektif, yaitu suatu novasi dimana perikatan yang lama diganti dengan
perikatan yang baru, yang didalamnya mengandung suatu objek perikatan yang
lain berupa novasi objektif benda/zaaknya diganti, contoh jual beli kendaraan
diganti dengan jual beli rumah; novasi objektif causanya diganti, contoh
perjanjian jual beli diganti menjadi perjanjian utang piutang.
b. Novasi Subjektif, yaitu suatu novasi dimana perikatan yang lama diganti
dengan perikatan yang baru, yang didalamnya mengandung suatu subjek
72

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], op. cit., ps. 1413.
73

J. Satrio, S.H., Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie dan Percampuran Hutang,


cet.2., (Bandung : Alumni, 1999), hlm. 106-133.

Universitas Indonesia
40

perikatan yang lain yaitu novasi subjektif aktif - kreditur lama digantikan
oleh kreditur yang baru; novasi subjektif pasif - debitur lama digantikan
oleh debitur yang baru, novasi ganda, novasi dan janji-janji untuk pihak
ketiga, exprommissio.
3. Likuidasi Agunan
Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa
agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau
pembiayaan yang diterimanya. Berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor
10 tahun 1998 Pasal 8 ayat (1) yaitu :
“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah
Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan
dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Dalam upaya penyelamatan kredit, likuidasi agunan merupakan alternatif
terakhir yang diambil oleh pihak bank. Hal ini biasanya akan memakan waktu
yang cukup lama, karena tidak seluruh debitur merelakan barang yang dijamnkan
disita oleh bank. Hambatan terbut dilakukan dengan melalui pengadilan. Setelah
berhasil dimenangkan bank, sering kali pihak bank masih harus mengeluarkan
sejumlah biaya khususnya untuk biaya perawatan. Akhirnya harga jual setelah
dikurangi biaya pengadilan dan perawatan lebih kecil dengan kerugian yang
diderita pihak bank (bunga plus pokok).
Beberapa alternatif penyelesaian kredit yang dapat dilakukan oleh bank
tergantung parah tidaknya usaha dan niat baik dari debitur itu sendiri untuk
menyelesaikan kewajibannya.
Pada saat kredit direstrukturisasi atau dinovasi sebagai tindakan preventif
bagi bank hal yang sangat penting penting mendapat perhatian adalah dari aspek
hukumnya, yaitu menyangkut :
1. Addendum perjanjian kredit
Maksudnya apakah dalam addendum telah tercantum dengan baik syarat-
syarat perubahan perjanjian kredit dengan adanya restrukturisasi yaitu antara lain
menyangkut, jangka waktu, besarnya suku bunga kredit, besarnya angsuran dan
jadwal angsuran kredit serta kemungkinan adanya tambahan kredit yang harus

Universitas Indonesia
41

diikuti dengan pertambahan penyerahan jaminan/ agunan oleh debitur yang nilai
ekonomisnya harus mengcover besarnya limit kredit.
2. Pengikatan terhadap barang jaminan
Maksudnya apakah barang jaminan/ agunan tersebut tidak cacat hukum
untuk dilakukan pengikatan sesuai dengan jenis pengikatannya, dan mutlak bahwa
pengikatan terhadap barang jaminan harus secara notarial, yaitu antara lain dalam
bentuk pengikatan secara Fiducia dan pengikatan dengan Hak Tanggungan yang
dibuat dihadapkan Notaris yang berwenang.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam pemberian kredit/
pelepasan kredit atau restrukturisasi kredit akan terlahirlah suatu perjanjian antara
dua pihak yaitu peminjam (debitur) dan yang meminjamkan (kreditur). Sebagai
pengaman terhadap kemungkinan terjadinya wansprestasi oleh debitur (tidak
memenuhi kesepakatan yang diperjanjikan) atas fasilitas kredit yang
dinikmatinya, maka sangat perlu untuk perjanjian pokok berikut perjanjian ikutan
(accesoir) dibuat secara notarial dihadapan notaris yang berwenang. Sedangkan
pengikatan atas barang-barang agunan akan dilakukan setelah perjanjian kredit
ditandatangani dan sebelum pencairan kredit.

2.2. Pelaksanaan Kredit pada Bank X

2.2.1. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan


Produk kredit yang dimiliki Bank X terdiri dari beberapa jenis kredit,
dibedakan berdasarkan kebutuhan dan persyaratan yang diberikan Bank, yaitu
sebagai berikut : 74
a. Kredit Modal Kerja;
b. Kredit Investasi;
c. Kredit Sindikasi (Joint Financing);
d. Kredit Bagi Komisaris dan Direksi;
e. Kredit Bagi Pegawai Tetap Bank X;
f. Kredit Bagi Pegawai Honor Tetap Bank X;

74

Keputusan Direksi Bank X tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan, SK


Dir No.163 tahun 2010 tanggal 14 April 2010.

Universitas Indonesia
42

g. Kredit Multiguna;
h. Kredit Multiguna Kembang;
i. Cash Collateral Credit;
j. Kredit Pemilikan Rumah;
k. Kredit Dana Talangan;
l. Kredit Laris;
m. Kredit Paket Lebaran;
n. Kredit Tenaga Kerja dan Wira Usaha Baru;
o. Kredit Bagi Golongan Usaha Skala Kecil (GUSK);
p. Kredit Dana Bergulir;
q. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana;
r. Garansi Bank;
s. Letter of Credit;
t. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN); dan
u. Kerjasama Penyaluran Pembiayaan.
Disadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko,
sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan
yang sehat. Bank harus memperoleh keyakinan bahwa kredit yang disalurkannya
tersebut dapat dikembalikan kembali oleh debitur tepat pada waktunya. Untuk
memperoleh keyakinan tersebut, maka dalam proses pemberian kredit, bank akan
mengikuti prosedur pemberian kredit (Standard Of Procedure/SOP). Pada Bank
X, SOP diatur dalam Buku Pedoman Perusahaan (BPP). Terkait dengan
operasional kredit, BPP terdiri dari :
a. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan, diklasifikasikan ke dalam empat
buku pedoman yaitu Buku I Kebijakan Umum, Buku II Jenis-Jenis Produk, Buku
III Kebijakan dan Prosedur dan Buku IV Formulir dan Petunjuk Pengisian;
b. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit, Non Restrukturisasi
Kredit, Penyisihan Penghapusan Aktiva, Hapus Buku dan Hapus Tagih,
diklasifikasikan ke dalam dua buku pedoman yaitu Buku I Kebijakan Umun dan
Buku II Sistem dan Prosedur.

Universitas Indonesia
43

Sehubungan dengan kajian yang akan dibahas, penulis akan memaparkan


mengenai SOP Bank X terkait dengan sistem dan prosedur dalam Kerjasama
Penyaluran Pembiayaan.

2.2.2. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Kerjasama Penyaluran


Pembiayaan
Pedoman kebijakan dan prosedur kerjasama penyaluran pembiayaan di
Bank X saat ini diatur dalam Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan Buku
II Bab U. Kerjasama penyaluran pembiayaan adalah pemberian pembiayaan
kepada nasabah atau end user melalui lembaga penyaluran pembiayaan dengan
pola executing, channeling dan joint financing. 75
Executing adalah pinjaman yang diberikan kepada bank perkreditan rakyat
dalam rangka pembiayaan (untuk diterus pinjamkan) kepada nasabah mikro dan
kecil, Channeling adalah pinjaman yang diberikan oleh bank kepada nasabah
melalui “agent” yang tidak mempunyai kewenangan memutus pembiayaan
kecuali mendapat surat kuasa dari bank, sedangkan Joint financing adalah
pembiayaan bersama terhadap nasabah/end user yang dilakukan oleh bank
bersama dengan Bank Perkreditan Rakyat dan atau Multifinance.76
Sasaran pemberian pembiayaan nasabah/end user untuk kebutuhan
77
produktif maupun konsumtif melalui kerjasama dengan agen. Pemberian
Pembiayaan melalui kerjasama dengan agen sebagai upaya untuk : 78
a. Meningkatkan pendapatan
b. Difersifikasi produk pembiayaan
c. Mengurangi resiko konsentrasi
d. Memberi nilai tambah bagi nasabah/end user

75

Keputusan Direksi Bank X No.163 tahun 2010, op.cit. Sub Bab 01, angka (1).
76

Ibid.
77

Ibid.
78

Ibid.

Universitas Indonesia
44

Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan Buku II Bab U terdiri dalam


3 (tiga) Sub Bab, yaitu: 79
a. Sub bab 01: Ketentuan Umum
Ketentuan umum mengatur mengenai pengertian, tujuan, sasaran,
persyaratan administrasi agent (Lembaga Pembiayaan (multifinance),
Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Koperasi dan Bank Umum)
b. Sub bab 02 : Kebijakan Penyaluran Pembiayaan
Kebijakan Penyaluran Pembiayaan meliputi pola pembiayaan (executing,
channeling dan Joint Financing), persetujuan pembiayaan (kewenangan
proses, kewenangan memutus, penandatanganan), jenis penyaluran
pembiayaan (pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumtif),
maksimum pembiayaan, jangka waktu, sifat penyaluran pembiayaan,
bunga, provisi, biaya administrasi, agunan dan pengikatan, asuransi, cara
pembayaran kembali, denda dan keterlambatan.
c. Sub bab 03 : Prosedur Pembiayaan
Prosedur pembiayaan meliputi permohonan formulir pembiayaan, analisa
pembiayaan (analisa aspek usaha, analisa keuangan perusahaan), usulan
pembiayaan perusahaan, persetujuan pemberian pembiayaan, administrasi
kerjasama penyaluran pembiayaan (perjanjian kerjasama pembiayaan,
pengelolaan rekening).

2.2.3. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit


Pedoman Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit di Bank X diatur
dalam Buku Pedoman Perusahaan Restrukturisasi Kredit, Non Restrukturisasi
Kredit, Penyisihan Penghapusan Aktiva, Hapus Buku dan Hapus Tagih yaitu pada
Buku II Sistem dan Prosedur, Bab I, terdiri dari :80
a. Latar Belakang

79

Ibid.
80

Surat Keputusan Direksi Bank X tentang Restrukturisasi, Non Restrukturisasi, PPA,


Hapus Buku dan Hapus Tagih, SK Dir No. 91 Tahun 2008 Tanggal 27 Juni 2008.

Universitas Indonesia
45

Restrukturisasi kredit mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia tentang


Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Nomor 11/9/PBI/2009 tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005.
b. Prosedur Restrukturisasi Kredit
Prosedur Penanganan Kredit meliputi Prosedur Penanganan (Kredit ritel
dan konsumtif, kredit menengah dan korporasi), Dokumen pelengkap
(surat permohonan debitur, relas kredit, memorandum pengusulan).
c. Analisis Restrukturisasi Kredit
Analisis Restrukturisasi Kredit meliputi analisa dan rekomendasi usulan
(perpanjangan jangka waktu kredit, penurunan suku bunga kredit,
pengurangan tunggakan bunga kredit, penangguhan pembayaran
tunggakan bunga kredit (interest balloning payment), penambahan fasilitas
kredit, konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara, pengurangan
tunggakan pokok kredit, perlakuan untuk kredit konsumsi).
d. Keputusan Restrukturisasi Kredit
Keputusan Restrukturisasi kredit meliputi pembagian kewenangan
memutus hasil analisa.
e. Pemantauan
Pemantauan meliputi kegiatan-kegiatan pemantauan dan unit kerja yang
melakukan pemantauan.
f. Penggolongan Kualitas Kredit
Penggolongan Kualitas kredit terdiri dari kredit bermasalah dan kredit
hapus buku.
g. Pelaporan
Pelaporan meliputi proses laporan selama berjalannya restrukturisasi
kepada pihak internal Bank dan Bank Indonesia oleh Unit Kerja yang
bertanggung jawab.
h. Perlakuan Akuntansi
Perlakuan akuntansi mengatur mengenai penerapan perlakuan akuntansi
terhadap kredit-kredit yang telah direstrukturisasi.

Universitas Indonesia
46

2.3. Pelaksanaan Kredit dalam Kerjasama Penyaluran Kredit/


Pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y
2.3.1. Pemberian Kredit
Bank X dalam salah satu kegiatan usahanya adalah memberi kredit atau
pembiayaan kepada masyarakat dengan berbagai jenis kredit diantaranya yaitu
Kerjasama Penyaluran Pembiayaan (kredit channeling). Untuk itu dalam rangka
mengembangkan bisnis ritel, Bank X melakukan kerjasama dengan PT. Y yang
merupakan perusahaan multifinance yang bergerak di bidang kredit/pembiayaan
untuk pembelian kendaraan bermotor.

Kerjasama kedua belah pihak tersebut dilakukan dengan beberapa tahapan


sebagai berikut :
a. Permohonan kerjasama
PT. Y dengan suratnya tertanggal 11 Oktober 2006 mengajukan
Permohonan Kerjasama Fasilitas Channeling kepada Bank X sejumlah Rp.
25.000.000.000,- (dua puluh lima milyar rupiah).
b. Analisa
Berdasarkan permohonan kerjasama PT. Y, Bank X melakukan analisa
kredit dengan mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu aspek umum dan
manajemen, aspek hubungan dengan bank, aspek pemasaran, aspek teknis
dan produksi/pembelian, aspek keuangan.
Bank X juga melakukan mitigasi risiko atas risiko kredit, risiko pasar,
risiko likuiditas dan risiko operasional serta melakukan kunjungan ke
salah satu cabang PT. Y di Pekanbaru.
c. Keputusan
Hasil analisa kemudian ditindaklanjuti dengan menyampaikan
Memorandum Pengusulan Kredit ke Komite Pemutus Kredit yang terdiri
dari direktur utama, direktur keuangan, direktur pemasaran dan direktur
kepatuhan. Selanjutnya, permohonan PT. Y disetujui oleh seluruh anggota
Komite Pemutus Kredit sejumlah Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima

Universitas Indonesia
47

milyar rupiah) dengan masing-masing direktur memberikan pertimbangan


dan pendapat.
Berdasarkan keputusan Komite Pemutus Kredit, Bank X menerbitkan
Surat Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK) Kerjasama Penyaluran
Pembiayaan atas nama PT. Y pada tanggal 4 April 2007, berisi mengenai
persetujuan kredit disertai penjelasan mengenai ketentuan dan persyaratan
yang sifatnya belum mengikat.
d. Penandatanganan Perjanjian Kerjasama
Setelah ketentuan dan persyaratan yang diberikan oleh Bank X telah
disepakati oleh PT. Y, dibuatlah Perjanjian Kerjasama Penyaluran
Pembiayaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 20
April 2007.
Pelaksanaan kredit berdasarkan Kerjasama Penyaluran Pembiayaan tersebut
dilakukan dengan cara Bank X memberikan kuasa kepada PT. Y baik dalam
pelaksanaan pemberian kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan bermotor
kepada masyarakat, pengadministrasian pemberian kredit/pembiayaan, maupun
dalam pelaksanaan segala hak-hak Bank X yang timbul sehubungan dengan
pemberian kredit/pembiayaan tersebut.81
Pihak/nasabah yang menerima fasilitas kredit/pembiayaan untuk pembelian
kendaraan bermotor dari Bank X dilakukan melalui kantor cabang PT.Y di
seluruh Indonesia berdasarkan Perjanjian Kredit antara nasabah dengan PT.Y
sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada PT.Y.82 Selanjutnya, nasabah wajib
membayar secara berkala dalam jumlah tertentu sebagai angsuran kepada Bank X
melalui PT.Y.83 Perlu diketahui bahwa kredit untuk pembelian kendaraan
bermotor tersebut disalurkan kepada masyarakat yang mayoritas pekerjaannya
adalah petani kelapa sawit.

81

Perjanjian Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara Bank X dengan PT Y untuk


Pembelian Kendaraan Bermotor tanggal 20 April Tahun 2007, ps. 1.
82

Ibid.
83

Ibid.

Universitas Indonesia
48

Plafond kredit/pembiayaan yang disalurkan oleh Bank X kepada nasabah


melalui PT. Y bersifat nonrevolving sampai dengan sejumlah 25 milyar rupiah.84
Penyaluran dan atau pencairan kredit/pembiayaan oleh Bank X kepada PT. Y
dilaksanakan secara bertahap, berdasarkan permintaan PT. Y, setelah PT. Y
menyampaikan kepada Bank X berupa: 85
a. Surat permohonan pencairan kredit/pembiayaan;
b. Daftar alokasi penyaluran kredit/pembiayaan dan jadwal pembayaran angsuran
nasabah;
c. Tembusan perjanjian kredit/pembiayaan, perjanjian fidusia dan surat kuasa
pembebanan jaminan fidusia;
Jaminan atas kredit/pembiayaan yang disalurkan oleh Bank X melalui
PT.Y kepada nasabah berupa Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB)
kendaraan yang dibiayai Bank X dan Corporate Guarantee dari Holding
Company yang dibuat secara notariil.86

2.3.2. Restrukturisasi Kredit


Setelah kerjasama penyaluran kredit/pembiayaan berjalan selama satu
tahun, terjadi kesulitan pembayaran dari para end user (penerima kredit) yang
disebabkan adanya penurunan harga kelapa sawit dunia yang drastis. Hal ini
mengakibatkan angsuran atau pembayaran kembali kredit ke Bank X menjadi
terhambat dan kualitas kredit menjadi memburuk. Sehubungan dengan
permasalahan tersebut PT. Y mengajukan proposal penyelasaian kredit dengan
restrukturisasi kredit tertanggal 30 Desember 2008.
Bank X segera mengambil upaya penyelamatan kredit, berdasarkan
permohonan debitur tersebut, dengan suratnya (surat pemberitahuan persetujuan
restrukturisasi kredit/ SPPRK) tertanggal 27 April 2009 berisi persetujuan untuk
melakukan restrukturisasi tersebut. Kemudian akta perjanjian restrukturisasi kredit
ditandatangani antara Bank X dengan PT. Y pada tanggal 29 Juni 2009.
84

Ibid., ps.2.
85

Ibid., ps.4.
86

Ibid., ps. 6.

Universitas Indonesia
49

Tindakan penyelamatan kredit dilakukan oleh bank apabila debitur telah


menunjukkan gejala tidak mampu lagi untuk menyelesaikan kewajibannya kepada
pihak bank tepat pada waktunya.87
Semua upaya tersebut dapat disebut dengan kredit yang diselamatkan,
yaitu kredit yang semula tergolong bermasalah atau macet kemudian terjadi
kesepakatan antara debitur dan bank untuk diperbaiki, yang tentunya diikuti
dengan suatu perjanjian kredit yang baru, baik berupa novasi, subrogasi,
kompensasi atau hanya berupa addendum atas perjanjian kredit yang telah ada.
88
Adapun bentuk penyelamatan kredit tersebut secara umum berupa :
Restrukturisasi Kredit; Novasi Kredit dan Likuidasi Agunan.
Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam
kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi
kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui : 89
a. penurunan suku bunga Kredit;
b. perpanjangan jangka waktu Kredit;
c. pengurangan tunggakan bunga Kredit;
d. pengurangan tunggakan pokok Kredit;
e. penambahan fasilitas Kredit; dan atau
f. konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara.
Berdasarkan Pedoman Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit
Bank X, pelaksanaan restrukturisasi kredit harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut : 90
a. Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan terhadap debitur-debitur yang
mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit, memiliki
prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah kredit
direstrukturisasi.

87

Suharno, op.cit., hlm. 174.


88

Ibid., hlm. 174-175.


89

Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, op. cit.
90

Surat Keputusan Direksi Bank X tentang Restrukturisasi, op. cit.

Universitas Indonesia
50

b. Restrukturisasi kredit dilarang dilakukan oleh Bank, jika bertujuan hanya


untuk menghindari : penurunan penggolongan kualitas kredit, peningkatan
pembentukan PPA91, atau penghentian pengakuan pendapatan bunga
secara akrual.
c. Restrukturisasi kredit harus dilakukan berdasarkan analisis yang cermat,
memperhatikan praktek-praktek perbankan yang sehat (good corporate
governance) dan penerapan manajemen risiko secara memadai. Selain itu
untuk menjaga obyektivitas, maka restrukturisasi kredit wajib dilakukan
oleh pejabat yang lebih tinggi dari pejabat yang memutus pemberian
kredit.
d. Restrukturisasi Kredit diharapkan dapat memperbaiki kualitas kredit,
sebagai upaya untuk menurunkan rasio Non Performing Loan (NPL)
terhadap eksposur kredit secara keseluruhan.
e. Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis sebagain dasar
pelaksanaan Restrukturisasi Kredit yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko sebagaimana diatur oleh
ketentuan Bank Indonesia.
Pola-pola restrukturisasi kredit di Bank X adalah sebagai berikut : 92
a. Perpanjangan jangka waktu kredit;
b. Penurunan suku bunga kredit;
c. Pengurangan tunggakan bunga kredit;
d. Penangguhan pembayaran tunggakan bunga kredit;
e. Penambahan fasilitas kredit;
f. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara;
g. Pengurangan tunggakan pokok kredit;
Pelaksanaan dengan pola ini belum dapat diaplikasikan pada Bank X.
h. Perlakuan untuk kredit konsumtif;

91

Berdasarkan PBI No.11/9/2009 tentang Penilaian Kualitas Aktiva, ps.1 angka 19,
Penyisihan Penghapusan Aktiva yang untuk selanjutnya disebut PPA adalah cadangan yang harus
dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas Aktiva.
92

Surat Keputusan Direksi Bank X tentang Restrukturisasi, op. cit., Bab 1 huruf (C) angka
(5).

Universitas Indonesia
51

Pada kredit konsumtif, penyelesaian fasilitas kredit lama dan memberikan


fasilitas kredit baru dengan jumlah angsuran dan jangka waktu yang telah
disepakati oleh debitur dan bank.
Semua upaya tersebut diharapkan dapat memperbaiki kualitas kredit di
Bank X yang semula tergolong kredit bermasalah atau macet menjadi kredit
lancar.

BAB III
ASPEK HUKUM KERJASAMA PENYALURAN
KREDIT/PEMBIAYAAN ANTARA BANK X DENGAN PT. Y

Menjawab permasalahan dalam penulisan ini, perlu dilakukan beberapa


analisa antara lain Analisa Perjanjian Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan
antara Bank X dengan PT.Y, Analisa Perjanjian Kredit antara PT.Y dengan End
User (penerima kredit) dan Analisa Penyelesaian Kredit.

Analisa terhadap perjanjian kerjasama dan perjanjian kredit dilakukan


dengan menitikberatkan pada kedudukan hukum perjanjian, ruang lingkup
perjanjian serta hak dan kewajiban para pihak. Sedangkan analisa penyelesaian
kredit dititik beratkan pada pembayaran kembali kredit dan perjanjian
restrukturisasi kredit.
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yang
berbunyi:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Untuk memperjelas pengertian perjanjian, maka dapat ditemukan di dalam
doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah perbuatan
hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan

Universitas Indonesia
52

menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan
perjanjian, yaitu : 93
“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
Di dalam teori baru tersebut, tidak hanya melihat perjanjian semata-mata
tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya. Ada tiga tahap untuk membuat
perjanjian, yaitu tahap pra-contractual (adanya penawaran dan penerimaan),
tahap contractual (adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak)
dan tahap post-contractual (pelaksanaan perjanjian).94
Sementara M. Yahya Harahap mengartikan perjanjian sebagai hubungan
hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, yang
memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan kepada pihak lain untuk menunaikan prestasi.95
Berdasarkan uraian dari beberapa pengertian perjanjian tersebut, maka
unsur-unsur di dalam perjanjian adalah sebagai berikut : 96
a. Adanya Hubungan Hukum
Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.
b. Adanya Subyek Hukum
Subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban.
c. Adanya Prestasi
Prestasi terdiri dari memberikan (menyerahkan) sesuatu, melakukan
sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.
d. Di bidang harta kekayaan.
Selanjutnya, mengenai asas-asas dalam suatu perjanjian, Pasal 1338
KUHPerdata menyebutkan : 97

93

Salim H.S., op. cit., hlm. 25-26.


94

Ibid., hlm. 26.


95

M. Yahya Harahap, op. cit, hlm. 6.


96

Salim H.S., op. cit., hlm. 26.


97

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], op. cit., ps.1338.

Universitas Indonesia
53

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-


undang bagi mereka yang membuatnya”.
Pasal ini berisikan asas hukum yang biasa disebut asas “kebebasan
berkontrak”, yang berarti setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian
dengan siapa saja, isinya apa saja, namanya apa saja. Kata “semua” menunjukan
perjanjian yang dimaksud tidak hanya perjanjian bernama, tetapi juga perjanjian
tak bernama. Dalam kata “semua” terkandung azas partij autonomie.98
Selain asas kebebasan berkontrak, Pasal 1338 KUHPerdata ini juga
memuat asas “Pacta Sunt Servanda”, yaitu asas yang menyatakan bahwa
perjanjian yang dibuat secara sah mengikat bagi para pembuatnya. Berdasarkan
Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sah perjanjian adalah : kesepakatan; kecakapan
para pihak; obyek tertentu dan kausa yang halal.
Disamping kedua asas tersebut, Pasal 1338 KUHPerdata juga mengandung
asas “Konsensualisme”, yaitu asas yang menyatakan bahwa perjanjian itu
mengikat setelah adanya kata sepakat atau kesepakatan. Keterikatan para pihak
pada perjanjian adalah keterikatan pada isi perjanjian yang ditentukan oleh
mereka sendiri. Karena isinya mereka tentukan sendiri, maka sebenarnya orang
terikat pada janjinya sendiri, janji yang diberikan kepada pihak lain dalam
perjanjian.99
Setelah tercapai kesepakatan oleh kedua belah pihak, maka lahirlah
perjanjian yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak tersebut. Pelaksanaan
yang dimaksud di sini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang
telah diperjanjikan oleh pihak-pihak agar perjanjian tersebut mencapai tujuannya.
Masing-masing pihak harus melaksanakan perjanjian dengan sempurna dan tepat
sesuai dengan apa yang telah disetujui untuk dilakukan.100

98

Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H.Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan


Penjelasan, (Bandung : Alumni, 1996), hlm. 107.
99

J. Satrio, Hukum Perikatan : Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku II, (Bandung :
Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 145.
100

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung : Alumni, 1982), hlm. 102.

Universitas Indonesia
54

3.1. Analisa Perjanjian Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara


Bank X dengan PT.Y
3.1.1 Hak dan Kewajiban Para Pihak
Perjanjian kerjasama antara Bank X dengan PT. Y, dibuat dengan judul
perjanjian “Perjanjian Kerjasama Perjanjian Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara
Bank X deangan PT. Y untuk Pembelian Kendaraan Bermotor”, ditandatangani
oleh para pihak di hadapan notaris di Jakarta pada tanggal 20 April 2007. Secara
hukum, perjanjian kerjasama antara Bank X dengan PT. Y bukanlah merupakan
perjanjian kredit, namun pada kenyataannya perjanjian kerjasama dimaksud
mencantumkan klausul-klausul sebagaimana diatur dalam suatu perjanjian kredit
seperti ketentuan mengenai Plafond, Bunga, Denda, Jaminan dan lain sebagainya.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari kerjasama
adalah : 101
a. Kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang atau pihak untuk
mencapai tujuan bersama;
b. Interaksi sosial antara individu atau kelompok secara bersama-sama mewujudkan
kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara Bank X dengan
PT.Y, tiga tahap dalam pembuatan perjanjian kerjasama tersebut adalah :
a. Pra-contractual
Perjanjian bermula dari Surat Permohonan dari PT. Y kepada Bank X
untuk melakukan kerjasama penyaluran kredit/pembiayaan, kemudian
ditanggapi dengan persetujuan Bank X dalam Surat Pemberitahuan
Persetujuan Kredit (SPPK).
b. Contractual
Persesuaian pernyataan kehendak (kesepakatan) antara Bank X dan PT. Y
dituangkan dalam akta “Perjanjian Kerjasama Perjanjian Penyaluran
Kredit/Pembiayaan antara Bank X deangan PT. Y untuk Pembelian
Kendaraan Bermotor”.
c. Post Contractual
101

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 3,
(Jakarta : Balai Pustaka, 2002), hlm. 428.

Universitas Indonesia
55

Pelaksanaan perjanjian berupa pemenuhan hak-hak dan kewajiban-


kewajiban sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati antara
Bank X dan PT. Y.
Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kerjasama antara Bank X dengan
PT. Y disusun dalam beberapa pasal sebagai berikut :
a. Pasal 1 : Ruang Lingkup dan Pengertian
b. Pasal 2 : Plafond dan Jangka Waktu Kredit/Pembiayaan
c. Pasal 3, 4 : Tujuan Kredit/Pembiayaan
d. Pasal 5 : Pelunasan dipercepat
e. Pasal 6 : Jaminan Kredit dan Asuransi
f. Pasal 7 : Tarif Bunga Kredit/Pembiayaan dan Provisi
g. Pasal 8 : Hak dan Kewajiban
h. Pasal 9 : Laporan dan Pemeriksaan
i. Pasal 10 : Pembukaan Rekening
j. Pasal 11 : Jangka Waktu
k. Pasal 12 : Pengakhiran Perjanjian
l. Pasal 13 : Force Majeur
m. Pasal 14 : Larangan Pengalihan Hak
n. Pasal 15 : Pemberitahuan
o. Pasal 16 : Penyelesaian Perselisihan dan Domisili Hukum
p. Pasal 17 : Addendum
q. Pasal 18 : Lain-lain
Pada Perjanjian Kerjasama tersebut, Bank X sebagai Pihak Pertama dan
PT.Y sebagai Pihak Kedua. Ruang lingkup perjanjian kerjasama ini seperti
tersebut di atas telah diatur pada pasal 1 ayat (1), berbunyi :
“Ruang lingkup kerjasama ini adalah penyaluran kredit/pembiayaan oleh
Pihak Pertama kepada masyarakat untuk pembelian kendaraan bermotor
roda dua merk Kanzen, Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki melalui Pihak
Kedua.”
Disamping itu dijelaskan pula pada pasal 1 ayat (2) bahwa :
“Pihak Kedua bertindak sebagai kuasa Pihak Pertama, baik dalam
pelaksanaan pemberian kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan
bermotor roda dua kepada masyarakat, pengadministrasian pemberian
kredit/pembiayaan tersebut, maupun dalam pelaksanaan segala hak-hak

Universitas Indonesia
56

Pihak Pertama yang timbul sehubungan dengan pemberian


kredit/pembiayaan tersebut pada ayat 1 pasal ini, kuasa mana apabila
diperlukan akan dibuat secara tersendiri yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari akta ini.”
Hak dan Kewajiban Bank X dan PT Y dalam Perjanjian Kerjasama akan
dijelaskan sebagai berikut.
Hak Bank X diatur pada Pasal 8 ayat (1) yaitu :
a. Menerima data dan dokumen Nasabah dari PT. Y;
b. Melakukan analisa dan evaluasi terhadap permohonan dan dokumen calon
Nasabah sesuai dengan persyaratan dan ketentuan Bank X;
c. Menerima pembayaran angsuran hutang pokok dan bunga atas kredit/pembiayaan
yang diberikan oleh Bank X kepada Nasabah setelah diperhitungkan dengan hak
PT. Y berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (4) Perjanjian ini;
d. Menerima pembayaran dari PT. Y dalam hal nasabah wanprestasi guna pelunasan
kredit/pembiayaannya sesuai dengan yang ditetapkan dalam huruf l ayat (2) pasal
ini mengenai Hak-Hak PT. Y.
e. Meninjau kembali kerjasama kredit/pembiayaan ini apabila terdapat
penyimpangan-penyimpangan dalam penyaluran kredit/pembiayaan kepada
Nasabah.
Kewajiban Bank X yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) adalah menyediakan
plafond kredit/pembiayaan sejumlah Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima
milyar rupiah).
Hak PT. Y dalam Pasal 8 ayat (2) adalah menerima selisih bunga
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (4) Perjanjian ini serta pendapatan-
pendapatan lain yang merupakan hak atau keuntungan PT. Y berdasarkan
Perjanjian ini. Pasal 7 ayat (4) berbunyi :
“Tarif bunga yang dibebankan oleh Pihak Kedua kepada Nasabah adalah
sebesar tarif bunga yang ditetapkan oleh Pihak Pertama pada ayat (1) Pasal
ini ditambah dengan tarif bunga (spread) untuk keuntungan Pihak Kedua
yang ditentukan oleh Pihak Kedua.”

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (6), Pihak Pertama (Bank X) menetapkan
bunga pinjaman sebesar 16% (enam belas persen) efektif pertahun dihitung dari

Universitas Indonesia
57

pencairan kredit dan setiap pencairan kredit dikenakan provisi sebesar 1% (satu
persen) yang langsung dipotong dari pencairan kredit.
Kewajiban PT. Y diatur dalam Pasal 8 ayat (2) sebagai berikut:
a. Menjamin dan bertanggung jawab atas kelancaran pembayaran Angsuran Nasabah
kepada Bank X sesuai jadwal yang ditetapkan;
b. Mencari, menyeleksi dan memutuskan calon Nasabah yang akan memperoleh
kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan bermotor dengan memenuhi
kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 perjanjian ini dan
tidak terdapat kredit/pembiayaan ganda atas nama Nasabah yang sama.
c. Menerapkan prinsip-prinsip pemberian kredit/pembiayaan dan manajemen
kredit/pembiayaan yang sehat dan berlaku umum di Indonesia, untuk mengurangi
timbulnya risiko sehubungan dengan pemberian kredit/pembiayaan.
d. Mengadakan evaluasi atas permohonan kredit/pembiayaan yang diajukan oleh
calon Nasabah berikut dokumen penununjangnya, kelayakan usaha serta
kemampuan pembayarannya.
e. Menyetujui atau menolak permohonan kredit/pembiayaan yang diajukan oleh
calon Nasabah, termasuk untuk jenis kendaraan yang akan dibiayai.
f. Menandatangani perjanjian dengan Nasabah antara lain Perjanjian Fidusia, Surat
Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia dan Surat Kuasa Menjual.
g. Menetapkan besarnya jumlah kredit/pembiayaan yang akan diberikan berikut tarif
bunga sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat (4) Perjanjian ini, denda serta
biaya-biaya lain yang dikenakan kepada Nasabah dengan tetap berpedoman pada
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
h. Melakukan pemotongan pajak, bea atau iuran sebagaimana ditetapkan oleh
ketentuan perpajakan yang berlaku.
i. Meneliti keabsahan semua dokumen yang berkaitan dengan Perjanjian
Kredit/Pembiayaan.
j. Menyimpan asli dokumen Perjanjian Kredit/Pembiayaan dan surat-surat lainnya
yang berkaitan dengan pemberian kredit/pembiayaan.
k. Membukukan kredit/pembiayaan, melakukan perhitungan jumlah
kredit/pembiayaan yang diberikan, jumlah hutang pokok dan bunga serta biaya
yang terhutang oleh setiap Nasabah.

Universitas Indonesia
58

l. Menerima pembayaran angsuran kredit/pembiayaan baik berupa angsuran pokok,


bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan pemberian
kredit/pembiayaan serta mengeluarkan kuitansi atau tanda bukti pembayaran yang
sah.
m. Menyetorkan semua dan setiap pembayaran yang diterima berdasarkan huruf (k)
di atas setelah diperhitungkan dengan hak atau keuntungan PT. Y sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) Perjanjian ini kepada Bank X.
n. Dalam hal Nasabah wanprestasi maka :
i) Sebagai kuasa dari Bank X, melakukan setiap tindakan hukum yang
diperlukan guna melindungi kepentingan Bank X, diantaranya tetapi
tidak terbatas pada mengeluarkan surat peringatan, somasi, penagihan
kepada Nasabah dan pihak-pihak lainnya sehubungan dengan
administrasi penyelesaian kredit/pembiayaan;
ii) Melaporkan kepada Bank X mengenai hasil dari langkah-langkah
penyelesaian yang telah diambil terhadap Nasabah yang wanprestasi
yang meliputi : Melakukan penguasaan dan penarikan barang jaminan
kredit/pembiayaan; Melakukan penjualan atau dengan cara lain
mengalihkan hak atas kendaraan bermotor yang dibiayai kepada pihak
manapun menurut harga pasar yang wajar dengan memperhitungkan
hasil penjualan barang jaminan dengan jumlah yang terhutang oleh
Nasabah; Mengajukan gugatan, klaim, penyitaan, pengaduan dan
tindakan hukum lainnya tanpa ada yang dikecualikan di hadapan badan
peradilan, arbitrase, kepolisian atau pihak-pihak lain yang berwenang
sehubungan dengan pelaksanaan hak-hak Bank X.
o. Apabila terdapat Nasabah menunggak pembayaran angsuran lebih dari 3
(tiga) kali angsuran, maka PT. Y wajib mengupayakan untuk mendapatkan
kembali dana atau porsi kredit/pembiayaan Bank X yang telah disalurkan
oleh Bank X melalui PT. Y kepada Nasabah tersebut dengan menyetorkan
seluruh dana atau porsi kredit/pembiayaan yang disalurkan dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender sejak Nasabah
menunggak.

Universitas Indonesia
59

p. Apabila PT. Y tidak melakukan penyetoran pada tanggal yang ditentukan


sebagaimana dimaksud dalam butir 2.2. huruf k Pasal ini, maka PT. Y
wajib membayar denda keterlambatan sebesar 150% (seratus lima puluh
persen) dari tarif bunga yang berlaku pertahun untuk per hari
keterlambatan dihitung dari jumlah tertunggak.
Ketentuan mengenai jaminan kredit diatur dalam Perjanjian Kerjasama
pasal 6 ayat (1) sampai dengan ayat (4) dimana Bank X sebagai Pihak Pertama
dan PT. Y sebagai Pihak Kedua sebagai berikut :
“(1) Sebagai jaminan atas kredit/pembiayaan yang disalurkan/dicairkan
oleh Pihak Pertama melalui Pihak Kedua kepada Nasabah, maka Nasabah
tersebut wajib menyerahkan jaminan tersebut berupa, asli Bukti Pemilikan
Kendaraan Bermotor (BPKB) kendaraan yang dibiayai.
(2) Asli Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) sebagaimana
dimaksud ayat (1) pasal ini dismpan oleh Pihak Kedua sampai kredit
dinyatakan lunas oleh Pihak Pertama.
(3) Pihak Kedua wajib menyampaikan secara tertulis kepada Pihak
Pertama setiap akhir bulan, jumlah Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor
(BPKB) yang telah diserahkan oleh Nasabah kepada Pihak Kedua dan
Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) yang sedang dalam proses
pengurusan.
(4) Corporate Guarantee dari Holding Company yang dibuat secara
notariil.”

Ketentuan-ketentuan tersebut baik dari segi bahasa maupun materi yang


dikandung banyak memiliki hal-hal yang inkonsistensi sehingga perlu dikaji dari
Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1988 dan Buku Pedoman
Perusahaan Bank X.
Dari sisi bahasa antara lain istilah “Penyaluran Pembiayaan”, yang
digunakan dalam perjanjian kerjasama antara Bank X dengan PT. Y, lebih tepat
digunakan pada produk perbankan syariah, sedangkan Bank X adalah termasuk
perbankan konvensional. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1
angka 12 dijelaskan bahwa :
“Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”

Universitas Indonesia
60

Dalam perbankan konvensional, istilah yang lebih tepat digunakan untuk


penyaluran dana ke masyarakat adalah “Kredit” sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka 11 :
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga”.
Kemudian, penggunaan istilah “Nasabah/end user” untuk menyebut
penerima/pengguna kredit pada perjanjian kerjasama antara Bank X dan PT. Y
juga kurang tepat. Namun demikian, hal ini diatur dalam Buku Pedoman
Perusahaan Bank X mengenai Kerjasama Penyaluran Pembiayaan yang
berbunyi:102
“Nasabah/end user adalah pihak yang memperoleh pembiayaan melalui
Lembaga Penyaluran Perkreditan, baik pembiayaan produktif maupun
pembiayaan konsumtif”.

Dalam Perjanjian Kerjasama Pasal 1 ayat (3) huruf (c) dijelaskan pengertian dari
Nasabah sebagai berikut :
“Nasabah adalah pihak yang menerima fasilitas kredit/pembiayaan untuk
pembelian kendaraan dari Pihak Pertama melalui Kantor Cabang Pihak
Kedua di seluruh Indonesia yang tidak termasuk dalam daftar orang-orang
yang mempunyai kredit bermasalah di Pihak Pertama, Pihak Kedua
maupun Bank Indonesia dan tidak terdapat kredit/pembiayaan ganda atas
nama calon end user yang sama”.
Sedangkan istilah end user, walaupun seringkali disebutkan pada perjanjian
kerjasama dimaksud, tidak dijelaskan pengertiannya. Pada praktek perbankan,
istilah ini sering digunakan dalam kerjasama penyaluran kredit103 walaupun tidak
dikenal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, sedangkan istilah
“Nasabah” dalam Pasal 1 angka 16 sampai dengan angka 18 berturut-turut
dijelaskan sebagai berikut :

102

Keputusan Direksi Bank X tentang Kerjasama Penyaluran Pembiayaan, op. cit., Sub Bab
01 angka (1) huruf (f).
103

Penulis melihat penggunaan istilah “end user” pada suatu akta “Perjanjian Kerjasama
Dalam Rangka Pemberian Fasilitas Pembiayaan (Joint Financing)” tanggal 24 Juli 2007 yang
dilaksanakan oleh PT. Bank Mandiri, Tbk.

Universitas Indonesia
61

“Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank; Nasabah Penyimpan


adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk
simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan;
Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan
itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.”
Dengan demikian, istilah “Nasabah” yang digunakan dalam perjanjian kerjasama
antara Bank X dan PT. Y masih bersifat luas, karena dalam undang-undang
pengertian Nasabah sendiri dibedakan lagi menjadi dua yaitu Nasabah Penyimpan
dan Nasabah Debitur. Penulis berpendapat istilah yang lebih tepat digunakan
untuk menyebut penerima kredit adalah Nasabah Debitur, Debitur ataupun End
User.

3.1.2 Kedudukan Hukum Para Pihak


Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai penyaluran kredit dengan
pola channeling. Pada pola channeling seperti pada kajian penulisan ini, kredit
diberikan kepada end user (penerima kredit) melalui PT. Y (lembaga/perusahaan
lain). Fungsi lembaga/perusahaan lain dalam pola channeling ditetapkan dalam
Perjanjian Kerjasama. Berdasarkan Perjanjian Kerjasama Pasal 1 ayat (2), PT. Y
sebagai channeling agent bertindak sebagai kuasa dari Bank X dalam rangka
penyaluran kredit/pembiayaan kepada masyarakat.
Sekalipun secara etimologi, surat kuasa dapat diartikan sebagai surat yang
berisi pemberian sebagian kekuasaan atau hak yang dimiliki oleh subyek hukum
kepada subyek hukum lainnya untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, tetapi
undang-undang telah memberikan batasan yang diatur dalam pasal 1792
KUHPerdata, yang menyatakan bahwa pemberian kuasa adalah suatu persetujuan
dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain, yang
menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.104
Batasan tersebut mempunyai 4 (empat) unsur penting :105
a. Adanya Persetujuan

104

Try Widiyono, Op. Cit., hlm. 47.


105

Ibid., hlm. 47-50.

Universitas Indonesia
62

Unsur ini merupakan unsur dalam suatu perikatan yang lahir oleh karena
adanya persetujuan (vide Pasal 1233 jo Pasal 1313 KUHPerdata). Pasal
1313 KUHPerdata menyatakan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Hal lain yang penting berkaitan dengan persetujuan
ini adalah Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur mengenai syarat-syarat
sahnya suatu persetujuan, yaitu : sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan
suatu sebab yang halal.
b. Antara Pemberi kepada Penerima Kuasa
Surat kuasa diberikan oleh oleh pemberi kuasa kepada pihak lain.
Ketentuan ini maksudnya adalah surat kuasa tersebut diberikan dari dan
untuk subjek hukum, baik orang atau badan. Dimaksud dengan subjek
hukum tersebut harus memenuhi unsur kecakapan dan punya kewenangan
bertindak. Berkaitan dengan badan ini perlu diperhatikan aspek hukum
korporasi, yakni hukum yang mengatur mengenai berbagai badan, baik
badan hukum maupun bukan badan hukum.
c. Bertindak atas Nama Pemberi Kuasa
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa pemberi kuasa dalam surat
kuasa tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri, oleh karena itu
diwakili oleh pihak lain. Perwakilan itu memberi konsekuensi bahwa
seakan-akan pemberi kuasa tersebut hadir dalam melakukan perbuatan
hukum tersebut. Kehadiran penerima kuasa tersebut mewakili pemberi
kuasa, sebatas dengan kuasa atau kewenangan yang diberikan oleh pihak
pemberi kuasa. Di luar kuasa atau kewenangan yang diberikan oleh
pemberi kuasa, maka pihak penerima kuasa harus bertanggung jawab
sendiri.
Jadi, harus diperhatikan dasar bertindak atau dasar pemberian kuasa
tersebut (kewenangan bertindak). Dalam hal tertentu, kewenangan tersebut
perlu kita minta buktinya untuk meyakini kewenangan itu. Kewenangan
itu harus dilihat, baik pihak pemberi kuasa maupun kuasanya, apakah
pemberi kuasa bertindak atas dirinya sendiri atau dalam suatu jabatan

Universitas Indonesia
63

tertentu. Jika dalam kapasitas tertentu, wajib disebutkan dasarnya juga.


Apabila telah memenuhi syarat-syarat tersebut berarti perbuatan tersebut
seakan-akan dilakukan sendiri oleh pemberi kuasa. Penerima kuasa hanya
bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa. Semua akibat hukum yang
ditimbulkan merupakan tanggung jawab dari pemberi kuasa. Oleh karena
itu, berdasarkan pasal 1799 KUHPerdata, pemberi kuasa dapat menggugat
secara langsung orang dengan siapa si kuasa telah bertindak dalam
kedudukannya dan menuntut daripadanya pemenuhan persetujuannya.
d. Untuk Menyelenggarakan Suatu Urusan
Suatu pemberian kuasa dimaksudkan untuk mewakili pihak pemberi kuasa
kepada penerima kuasa dalam suatu urusan. Oleh karena itu, suatu urusan
tersebut wajib dicantumkan dalam suatu surat kuasa. Jadi, yang
dikuasakan tersebut harus jelas serta rinci dan sedapat mungkin tidak dapat
diinterpretasikan lain sehingga tidak mudah menimbulkan dispute.
Sehubungan dengan kajian mengenai kerjasama penyaluran
kredit/pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y, hal yang perlu diperhatikan
adalah hak dan kewajiban PT. Y, siapakah yang menandatangani perjanjian
kredit. Dalam hal perjanjian kredit ditandatangani antara end user sebagai
penerima kredit dengan PT. Y sebagai agen, maka PT. Y wajib mendapatkan
kuasa dari Bank X sebagai kreditur karena PT. Y dalam hal ini bertindak dalam
kapasitasnya berdasarkan kuasa dan oleh karena itu, untuk dan atas nama Bank X.
Sebagai kuasa, PT. Y sebagai channeling agent tidak dapat bertindak di luar
kuasa yang diberikan. Dalam hal ini perlu diperhatikan, khususnya dalam hal
channeling agent diberikan hak untuk menetapkan secara bebas suku bunga kredit
kepada end user. Penetapan demikian wajib didukung oleh kewenangan yang
terdapat dalam perjanjian kerjasama. Jika tidak, maka pemberian fasilitas kredit
tersebut bukan merupakan tanggung jawab pihak pemberi kuasa.
Kedudukan PT. Y dalam perjanjian kerjasama adalah sebagai kuasa bank
dalam melakukan penyaluran kredit dengan mewakili bank dalam
penandatanganan perjanjian kredit, hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (2) sebagai
berikut :

Universitas Indonesia
64

“Pihak Kedua bertindak sebagai kuasa Pihak Pertama, baik dalam


pelaksanaan pemberian kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan
bermotor roda dua kepada masyarakat, pengadministrasian pemberian
kredit/pembiayaan tersebut, maupun dalam pelaksanaan segala hak-hak
Pihak Pertama yang timbul sehubungan dengan pemberian
kredit/pembiayaan tersebut pada ayat 1 pasal ini, kuasa mana apabila
diperlukan akan dibuat secara tersendiri yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari akta ini.”
Disamping itu, ketentuan mengenai penandatanganan perjanjian kredit
tersebut diatur pula dalam Buku Pedoman Perusahaan Bank X mengenai
Kerjasama Penyaluran Pembiayaan sebagai berikut: 106
”(1) Perjanjian Kredit ditandatangani antara Bank X dengan Debitur yang
diajukan oleh Agen atau antara Agen dengan Debitur.
(2) Penandatanganan Perjanjian Kredit berdasarkan kuasa dari Bank X
kepada Agen dituangkan dalam perjanjian kerjasama penyaluran
pembiayaan.”
Kuasa yang dimaksud pada Perjanjian Kerjasama pasal 1 ayat (2) sampai
saat ini tidak dibuat secara tersendiri, dengan demikian kuasa hanya diberikan
terbatas pada hal-hal yang diatur dalam pasal 1 ayat (2) tersebut di atas, yaitu
kuasa untuk :
a. Pelaksanaan pemberian kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan bermotor
roda dua kepada masyarakat;
b. Pengadministrasian pemberian kredit/pembiayaan;
c. Pelaksanaan segala hak-hak Bank X yang timbul sehubungan dengan pemberian
kredit/pembiayaan.
Konsekuensi hukum dari kuasa yang tercantum dalam Perjanjian
Kerjasama adalah PT. Y bertindak mewakili/atas nama Bank X dalam pemberian
kredit kepada end user. Namun demikian, walaupun Bank X telah memberikan
kuasa kepada PT. Y untuk melaksanakan pemberian kredit/pembiayaan tersebut,
kuasa ini dibatasi oleh klausul yang terdapat pada pasal 8 Perjanjian Kerjasama
mengenai Hak-Hak Bank X sebagai berikut :
a. Menerima data dan dokumen Nasabah dari PT. Y;

106

Keputusan Direksi Bank X tentang Kerjasama Penyaluran Pembiayaan, SK Dir. No.66


Tahun 2003 tentang Kerjasama Penyaluran Pembiayaan, ps. 5 ayat (1) dan ayat (2).

Universitas Indonesia
65

b. Melakukan analisa dan evaluasi terhadap permohonan dan dokumen calon


Nasabah sesuai dengan persyaratan dan ketentuan Bank X;
c. Menerima pembayaran angsuran hutang pokok dan bunga atas kredit/pembiayaan
yang diberikan oleh Bank X kepada Nasabah setelah diperhitungkan dengan hak
PT. Y;
d. Menerima pembayaran dari PT. Y dalam hal nasabah wanprestasi guna pelunasan
kredit/pembiayaannya;
e. Meninjau kembali kerjasama kredit/pembiayaan ini apabila terdapat
penyimpangan-penyimpangan dalam penyaluran kredit/pembiayaan kepada
Nasabah (end user).
Disamping itu, diatur pula dalam Pasal 4 mengenai Permintaan Penyaluran
Kredit/ Pembiayaan bahwa penyaluran kredit/pembiayaan oleh Bank X melalui
PT. Y dilakukan setelah terlebih dahulu PT. Y menyampaikan tembusan
perjanjian kredit/pembiayaan dan accesoirnya antara PT. Y dengan end user dan
PT. X melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan untuk pencairan
kredit. Selanjutnya, Bank X berhak menolak permohonan pencairan kredit dari
PT. Y jika Calon Nasabah tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
Bank X.
Apabila dilihat dari tujuan penyaluran kredit/pembiayaan sesuai dengan
Pasal 2 jo Pasal 3 Perjanjian Kerjasama, plafond kredit/pembiayaan disalurkan
oleh Bank X kepada end user melalui PT. Y dengan sifat Non Revolving
(sekaligus), maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan PT. Y dalam perjanjian
kerjasama ini bukan sebagai Debitur. Disamping itu, berdasarkan hak-hak Bank X
dalam Perjanjian Kerjasama, Bank X tetap menjalankan fungsinya sebagai Bank
karena Bank X juga melakukan analisa dan evaluasi terhadap permohonan dan
dokumen dari Calon Nasabah serta dapat menolak permohonan pencairan kredit.
Dengan demikian, Bank X merupakan Kreditur dari end user.
Dilihat dari bentuk perjanjiannya, yaitu Perjanjian Kerjasama, dan
berdasarkan kedudukan hukum Bank X (Pihak Pertama) dengan PT. Y (Pihak
Kedua) sebagai pemberi kuasa dan penerima kuasa, maka hubungan hukum antara
Bank X dengan PT. Y adalah sebagai mitra usaha sebagaimana dijelaskan dalam
komparisi (pembukaan) perjanjian kerjasama sebagai berikut :

Universitas Indonesia
66

“Bahwa dalam rangka mengembangkan bisnis ritel, Pihak Pertama


bermaksud menjalin kerjasama dengan perusahaan pembiayaan (multi
finance) sebagai mitra usaha dalam memberikan kredit/pembiayaan untuk
pembelian kendaraan bermotor kepada masyarakat”.

Dalam kerjasama ini, Bank X memperoleh keuntungan berupa provisi dan


bunga pinjaman sebagai akibat dari meluasnya penyaluran kredit ke masyarakat
melalui PT. Y. Sedangkan di lain pihak, PT. Y memperoleh keuntungan berupa
spread (selisih) antara bunga pinjaman dari bank dengan bunga pinjaman kepada
end user.
Berdasarkan konstruksi dan hubungan hukum yang ada, wanprestasi end
user terkait dengan pembayaran kembali/pelunasan kredit ke Bank X bukanlah
menjadi tanggung jawab dari PT. Y. Seharusnya tanggung jawab PT. Y hanya
terbatas pada pemberian kredit/pembiayaan dan tindakan wanprestasi dari PT. Y
hanya meliputi penyimpangan-penyimpangan atas penyaluran kredit yang tidak
sesuai dengan perjanjian kerjasama.

3.2 Analisa Perjanjian Kredit antara PT. Y dengan Penerima Kredit


3.2.1 Hak dan Kewajiban Para Pihak
Perjanjian antara PT. Y dengan penerima kredit (end user), dibuat dengan
judul perjanjian “Perjanjian Pembiayaan Konsumen”, ditandatangani oleh para
pihak secara bawah tangan (tidak notariil). Perjanjian Pembiayaan Konsumen
tersebut merupakan perjanjian kredit/pembiayaan sebagaimana diatur pada pasal 1
ayat 3 huruf e Perjanjian Kerjasama sebagai berikut :
“Perjanjian Kredit/Pembiayaan adalah perjanjian yang dibuat oleh dan
antara Pihak Kedua dengan Nasabah sebagai pelaksanaan dari Perjanjian
ini yang bentuk dan isinya sesuai dengan ketentuan/standard yang berlaku
pada Pihak Kedua”.
Pembuatan Perjanjian Kredit antara PT.Y dengan end user terdiri dari tiga tahap
sebagai berikut :
a. Pra-contractual
Perjanjian bermula dari Surat Permohonan dari end user untuk
memperoleh fasilitas dana pembiayaan berupa sejumlah uang untuk

Universitas Indonesia
67

pembelian kendaraan bermotor, kemudian ditanggapi dengan persetujuan


PT. Y.
b. Contractual
Persesuaian pernyataan kehendak (kesepakatan) antara PT. Y dengan end
user dituangkan dalam akta “Perjanjian Pembiayaan Konsumen”.
c. Post Contractual
Pelaksanaan perjanjian berupa pemenuhan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati antara
PT. Y dengan end user.
Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit antara PT. Y dengan end user
disusun dalam beberapa pasal sebagai berikut :
a. Pasal 1 : Fasilitas Pembiayaan
b. Pasal 2 : Jumlah Fasilitas Pembiayaan
c. Pasal 3 : Tata Cara Pembayaran
d. Pasal 4 : Hak dan Kewajiban atas Barang Jaminan
e. Pasal 5 : Wanprestasi
f. Pasal 6 : Berakhirnya Perjanjian
g. Pasal 7 : Lain-Lain
h. Pasal 8 : Perjanjian Pemberian Jaminan Fidusia
i. Pasal 9 : Penyelesaian Perselisihan
j. Pasal 10 : Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia
k. Pasal 11 : Kuasa
Berdasarkan komparisi (pembukaan) perjanjian kredit antara PT. Y dengan
end user, tidak disebutkan bahwa PT. Y merupakan kuasa dari Bank X dalam
meyalurkan kredit, sehingga dalam kedudukan hukumnya PT. Y bertindak sendiri
sebagai kreditur atau dengan kata lain tidak mewakili Bank X. Akibat hukumnya
adalah perjanjian tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan perjanjian
kerjasama antara Bank X dengan PT. Y. Disamping itu, perjanjian kredit tersebut
dapat dimohonkan kembali kepada bank lain untuk pencairan kredit serupa.
Berdasarkan perjanjian kredit ini, Hak dan Kewajiban para pihak meliputi:
Hak end user adalah memperoleh pinjaman uang melalui fasilitas
pembiayaan untuk pembelian barang dari penjual berupa satu unit kendaraan

Universitas Indonesia
68

bermotor roda dua dengan spesifikasi sesuai dengan permohonan end user,
sedangkan kewajiban end user diatur dalam pasal 3 jo pasal 4 perjanjian kredit
sebagai berikut :
a. Membayar kembali hutang pembiayaan (pokok dan bunga) dengan cara
mengangsur dengan tertib dan teratur sesuai jadwal pembayaran angsuran tanpa
terlebih dahulu dilakukan penagihan/pemberitahuan oleh PT. Y dan pembayaran
dilakukan pada hari kerja di tempat PT. Y.
b. Membayar denda keterlambatan sebesar 2 ‰ (dua permil) perhari dari jumlah
angsuran yang tertunggak atas setiap keterlambatan pembayaran angsuran hutang
pembiayaan.
c. Menyerahkan setiap unit sepeda motor merk apapun yang dibeli oleh end user
dari penjual melalui akad pembiayaan dari PT. Y sebagai Barang Jaminan,
kemudian barang jaminan tersebut diikat secara Fidusia dan tunduk pada
Perjanjian Pemberian Jaminan Fidusia.
Hak PT. Y adalah memperoleh pembayaran kembali hutang pembiayaan
dari end user berupa pokok dan bunga dan hak-hak lain dalam Perjanjian
Pemberian Jaminan Fidusia, sedangkan kewajiban PT. Y, dalam pasal 1 jo pasal 2
ayat (1) perjanjian kredit, adalah memberikan pinjaman uang melalui fasilitas
pembiayaan dengan jaminan hak milik secara Fidusia kepada end user untuk
pembelian barang dari penjual berupa satu unit kendaraan bermotor roda dua
dengan spesifikasi sesuai dengan permohonan end user.
Ketentuan mengenai keadaan wanprestasi oleh end user diatur dalam Pasal
5 sebagai berikut :
a. Penerima Fasilitas lalai dan/atau tidak dan/atau gagal memenuhi satu atau lebih
kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian ini dan/atau Perjanjian
Pemberian Jaminan Fidusia.
b. Penerima Fasilitas tidak/lalai melakukan pembayaran angsuran Hutang
Pembiayaan pada tanggal jatuh tempo angsuran.
c. Barang jaminan yang berada di bawah penguasaan Penerima Fasilitas/Pemberi
Jaminan hilang atau musnah.
d. Barang jaminan disita atau terancam oleh suatu tindakan penyitaan oleh pihak lain
atau siapapun juga dan karena sebab apapun.

Universitas Indonesia
69

e. Penerima Fasilitas atau Pemberi Jaminan dinyatakan pailit, diletakkan di bawah


pengampuan, meninggal dunia atau mengajukan penundaan pembayaran hutang.

3.2.2 Kedudukan Hukum Para Pihak


Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.107
Perjanjian Kredit adalah perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan
nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan,
atau pembagian hasil keuntungan.108
Dalam kredit perbankan, hubungan hukum antara Bank dengan Debitur
pada prinsipnya didasarkan pada perjanjian kredit.
Ketentuan mengenai penandatanganan perjanjian kredit dalam rangka
pemberian/penyaluran kredit kepada end user diatur dalam Buku Pedoman
Perusahaan Bank X mengenai Kerjasama Penyaluran Pembiayaan sebagai
berikut:109
”(1) Perjanjian Kredit ditandatangani antara Bank X dengan Debitur yang
diajukan oleh Agen atau antara Agen dengan Debitur.
(2) Penandatanganan Perjanjian Kredit berdasarkan kuasa dari Bank X
kepada Agen dituangkan dalam perjanjian kerjasama penyaluran
pembiayaan.”
Disamping itu dijelaskan pula pada pasal 1 ayat (2) perjanjian kerjasama antara
Bank X (Pihak Pertama) dengan PT. Y (Pihak Kedua) bahwa :
“Pihak Kedua bertindak sebagai kuasa Pihak Pertama, baik dalam
pelaksanaan pemberian kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan

107

Undang-Undang Perbankan, op. cit., ps. 1 angka 11.


108

Sutan Remi Sjahdeini, op.cit.


109
Keputusan Direksi Bank X tentang Kerjasama Penyaluran Pembiayaan, No.66 Tahun
2003, op.cit., ps. 5 ayat (1) dan ayat (2).

Universitas Indonesia
70

bermotor roda dua kepada masyarakat, pengadministrasian pemberian


kredit/pembiayaan tersebut, maupun dalam pelaksanaan segala hak-hak
Pihak Pertama yang timbul sehubungan dengan pemberian
kredit/pembiayaan tersebut pada ayat 1 pasal ini, kuasa mana apabila
diperlukan akan dibuat secara tersendiri yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari akta ini.”
Secara hukum, perjanjian tersebut merupakan perjanjian kredit, karena
dalam perjanjian disebutkan bahwa PT. Y bertindak sebagai Pemberi Fasilitas
(kreditur) dan end user bertindak sebagai Penerima Fasilitas (debitur). Di samping
itu, perjanjian tersebut telah memenuhi unsur-unsur perjanjian kredit.
Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara debitur dan kreditur di
mana hak dan kewajibannya termuat dalam perjanjian tersebut dan dikenal dengan
perjanjian utang piutang, dimana terdapat unsur-unsur di dalamnya sebagai
berikut :110
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut
akan dibayar kembali oleh sipenerima kredit dalam jangka waktu tertentu yang
telah diperjanjikan.
b. Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit dengan pembayaran kembali tidak
dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh tenggang
waktu.
c. Risiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit mempunyai risiko akibat
adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dengan
pembayaran kembali. Semakin panjang jangka waktu pemberian kredit semakin
tinggi resiko kredit tersebut.
d. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,
tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Namun dalam obyek kredit yang
menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam praktek perkreditan.
Prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan
kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi utangnya tetapi juga
disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
sebelumnya.

110

Drs. Thomas Suyatno, op. cit., hlm. 12-13.

Universitas Indonesia
71

Pada perjanjian kredit antara PT. Y dengan end user telah dipenuhi unsur-
unsur perjanjian kredit, yaitu :
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari PT. Y bahwa kredit tersebut akan dibayar
kembali oleh end user dalam jangka waktu tertentu yang telah diperjanjikan.
Keyakinan ini didasarkan pada analisa dan evaluasi atas permohonan kredit dan
pengikatan jaminan yang diberikan oleh end user.
b. Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit kepada end user dengan pembayaran
kembali tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh
jangka waktu kredit.
c. Risiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit kepada end user mempunyai risiko
yang akan ditanggung oleh PT. Y.
d. Prestasi, atau obyek kredit diberikan dalam bentuk uang sejumlah pembelian
kendaraan bermotor yang dimohonkan oleh end user. Prestasi yang wajib
dilakukan oleh end user adalah tidak semata-mata melunasi utangnya tetapi juga
disertai dengan bunga.
Berdasarkan ketentuan dalam perjanjian kerjasama dan Buku Pedoman
Perusahaan tersebut, seharusnya PT. Y bertindak sebagai kuasa dari Bank X untuk
menandatangani perjanjian kredit/pembiayaan dengan end user, sehingga
hubungan hukum yang harusnya terbentuk dari perjanjian yang berjudul
“Perjanjian Pembiayaan Konsumen” tersebut adalah Bank X sebagai Kreditur dan
end user sebagai Debitur.
Pada bagian penutup dari perjanjian kredit ini disebutkan bahwa Bank
sebagai mediasi. Hal yang perlu dicermati adalah dari awal perjanjian Bank sama
sekali tidak disebut sebagai pihak dalam perjanjian tersebut, selain itu kedudukan
Bank sebagai mediasi tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

3.3. Analisa Penyelesaian Kredit


3.3.1. Pembayaran Kembali Kredit
Hak Bank X sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) angka 1 huruf c
perjanjian kerjasama adalah menerima pembayaran angsuran hutang pokok dan
bunga atas kredit/pembiayaan yang diberikan oleh Bank X kepada end user
setelah diperhitungkan dengan hak PT. Y.

Universitas Indonesia
72

Sehubungan dengan pembayaran kembali kredit ini, kewajiban PT. Y


dalam perjanjian kerjasama, yaitu pada Pasal 8 ayat (2) angka 2 huruf (l) dan (m),
sebagai berikut :
a. Menerima pembayaran angsuran kredit/pembiayaan dari end user baik
berupa angsuran pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya yang
berkaitan dengan pemberian kredit/pembiayaan serta mengeluarkan
kuitansi atau tanda bukti pembayaran yang sah.
b. Menyetorkan semua dan setiap pembayaran yang diterima dari end user
setelah diperhitungkan dengan hak atau keuntungan PT. Y.
Selanjutnya, dalam Pasal 10 ayat (1) perjanjian kerjasama mengenai
Pembukaan Rekening diatur bahwa PT. Y wajib membuka rekening pada Bank X
guna menampung pencairan kredit/pembiayaan dan pembayaran angsuran serta
biaya-biaya lain. Kemudian pada Pasal 10 ayat (2) diatur bahwa Bank X diberi
kuasa oleh end user untuk mendebet rekening PT. Y sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 pasal ini. Ketentuan pada pasal 10 ayat (2) tersebut tidak sesuai
dengan kaidah hukum, karena seharusnya kuasa pendebetan rekening PT. Y
diberikan oleh PT. Y sebagai pemilik rekening, bukan oleh end user.
Mengenai pembayaran kembali, telah diatur dalam perjanjian kerjasama,
yaitu pada Pasal 8 ayat (2) angka 2 huruf (n) dan (o), bahwa kewajiban PT. Y
dalam hal end user wanprestasi adalah :
a. Sebagai kuasa dari Bank X, melakukan setiap tindakan hukum yang
diperlukan guna melindungi kepentingan Bank X, diantaranya tetapi tidak
terbatas pada mengeluarkan surat peringatan, somasi, penagihan kepada
end user dan pihak-pihak lainnya sehubungan dengan administrasi
penyelesaian kredit/pembiayaan;
b. Melaporkan kepada Bank X mengenai hasil dari langkah-langkah
penyelesaian yang telah diambil terhadap end user yang wanprestasi;
c. Apabila terdapat end user yang menunggak pembayaran angsuran lebih
dari 3 (tiga) kali angsuran, maka PT. Y wajib mengupayakan untuk
mendapatkan kembali dana atau porsi kredit/pembiayaan yang telah
disalurkan oleh Bank X melalui PT. Y kepada end user tersebut dengan
menyetorkan seluruh dana atau porsi kredit/pembiayaan yang disalurkan

Universitas Indonesia
73

dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender sejak end


user menunggak.
d. Apabila PT. Y tidak melakukan penyetoran pada tanggal yang ditentukan,
maka PT. Y wajib membayar denda keterlambatan sebesar 150% (seratus
lima puluh persen) dari tarif bunga yang berlaku pertahun untuk per hari
keterlambatan dihitung dari jumlah tertunggak.
Kemudian, pada Pasal 8 ayat (1) angka 1 huruf d perjanjian kerjasama,
Bank X berhak menerima pembayaran dari PT. Y dalam hal end user wanprestasi
guna pelunasan kredit/pembiayaannya.
Ketentuan mengenai pembayaran kembali tersebut menimbulkan
inkonsistensi antara kedudukan hukum PT. Y selaku kuasa dan mitra usaha dari
Bank X dengan kewajibannya menanggung pelunasan kredit/pembiayaan end
user selaku debitur dalam hal terjadi wanprestasi oleh end user. Selain itu,
ketentuan mengenai keadaan wanprestasi debitur tidak diatur dalam perjanjian
kerjasama antara Bank X dengan PT. Y, melainkan hanya diatur dalam perjanjian
kredit antara PT. Y dengan end user.

3.3.2. Perjanjian Restrukturisasi Kredit


Setelah kerjasama penyaluran kredit/pembiayaan berjalan selama satu
tahun, yaitu tahun 2008, terjadi kesulitan pembayaran dari para end user
(penerima kredit) yang disebabkan adanya penurunan harga kelapa sawit dunia
yang drastis akibat krisis ekonomi global. Hal ini mengakibatkan
angsuran/pembayaran kembali kredit ke Bank X menjadi terhambat dan kualitas
kredit menjadi memburuk. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, Bank X
segera mengambil upaya penyelamatan kredit.
111
Adapun bentuk penyelamatan kredit tersebut secara umum berupa :
Restrukturisasi Kredit; Novasi Kredit dan Likuidasi Agunan. Berdasarkan
Pedoman Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit Bank X, pelaksanaan
restrukturisasi kredit harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 112

111

Ibid., hlm. 174-175.


112

Keputusan Direksi Bank X tentang Restrukturisasi, op. cit., Bab I huruf (A).

Universitas Indonesia
74

a. Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan terhadap debitur-debitur yang


mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit, memiliki
prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah kredit
direstrukturisasi.
b. Restrukturisasi kredit dilarang dilakukan oleh Bank, jika bertujuan hanya
untuk menghindari : penurunan penggolongan kualitas kredit, peningkatan
pembentukan PPA, atau penghentian pengakuan pendapatan bunga secara
akrual.
c. Restrukturisasi kredit harus dilakukan berdasarkan analisis yang cermat,
memperhatikan praktek-praktek perbankan yang sehat (good corporate
governance) dan penerapan manajemen risiko secara memadai. Selain itu
untuk menjaga obyektivitas, maka restrukturisasi kredit wajib dilakukan
oleh pejabat yang lebih tinggi dari pejabat yang memutus pemberian
kredit.
d. Restrukturisasi Kredit diharapkan dapat memperbaiki kualitas kredit,
sebagai upaya untuk menurunkan rasio Non Performing Loan (NPL)
terhadap eksposur kredit secara keseluruhan.
e. Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis sebagain dasar
pelaksanaan Restrukturisasi Kredit yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko sebagaimana diatur oleh
ketentuan Bank Indonesia.
Pola-pola restrukturisasi kredit di Bank X adalah sebagai berikut : 113
a. Perpanjangan jangka waktu kredit;
b. Penurunan suku bunga kredit;
c. Pengurangan tunggakan bunga kredit;
d. Penangguhan pembayaran tunggakan bunga kredit;
e. Penambahan fasilitas kredit;
f. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara;
g. Pengurangan tunggakan pokok kredit; Pelaksanaan dengan pola ini belum
dapat diaplikasikan pada Bank X.

113

Ibid., Bab I huruf (C) angka (5).

Universitas Indonesia
75

h. Perlakuan untuk kredit konsumtif; Pada kredit konsumtif, penyelesaian


fasilitas kredit lama dan memberikan fasilitas kredit baru dengan jumlah
angsuran dan jangka waktu yang telah disepakati oleh debitur dan bank.
Terbentur dengan kesulitan yang dialami oleh end user dalam pembayaran
kembali kredit, PT. Y mengajukan proposal penyelesaian kredit dengan
restrukturisasi kredit tertanggal 30 Desember 2008, kemudian Bank X dengan
suratnya (surat pemberitahuan persetujuan restrukturisasi kredit/ SPPRK)
tertanggal 27 April 2009 memutuskan untuk menyetujui restrukturisasi kredit
tersebut.
Bank X dan PT. Y sepakat dan setuju untuk melakukan restrukturisasi
kredit dengan membuat akta Perjanjian Restrukturisasi Kredit pada tanggal 29
Juni 2009 yang mengatur beberapa hal :
a. Perpanjangan jangka waktu fasilitas kredit selama 24 bulan sejak tanggal
kredit jatuh tempo;
b. Mengubah pola kredit dari kredit channeling menjadi kredit executing;
c. Jumlah rekening pinjaman yang sebelumnya sesuai dengan jumlah dan
atas nama end user menjadi satu rekening pinjaman atas nama PT. Y;
d. Jaminan restrukturisasi yang semula hanya berupa BPKB (Bukti
Pemilikan Kendaraan Bermotor) yang fisiknya disimpan oleh PT. Y serta
corporate guarantee, kemudian ditambah dengan jaminan piutang PT. Y
atas end user yang diikat dengan Jaminan Fidusia.
Penandatanganan Akta Perjanjian Restrukturisasi Kredit antara Bank X
dengan PT. Y tersebut dilaksanakan bersamaan dengan penyerahan fisik BPKB
sebagai jaminan kredit dan diikat secara bawah tangan, serta penyerahan jaminan
tagihan/piutang PT. Y atas end user kepada Bank X yang diikat secara Fidusia
dan didaftarkan kepada instansi yang berwenang.
Sehubungan dengan Perjanjian Restruturisasi Kredit yang dibuat antara
Bank X dan PT. Y, perlu dilihat kembali kedudukan hukum para pihak yaitu Bank
X sebagai Kreditur, PT. Y selaku Agen/Kuasa dari Bank X, dan End User sebagai
Debitur.
Dalam kredit perbankan, hubungan hukum antara Bank dengan Debitur
pada prinsipnya didasarkan pada Perjanjian Kredit, sehingga pelaksanaan

Universitas Indonesia
76

restrukturisasi dapat dilakukan dengan mengubah ketentuan-ketentuan pada


perjanjian kreditnya. Perjanjian Kredit yang dimaksud dalam kajian ini telah
dijelaskan sebelumnya adalah Perjanjian Kredit/Pembiayaan antara PT. Y (selaku
Kuasa dari Bank X) dengan Penerima Kredit/End User yang dibuat dengan judul
“Perjanjian Pembiayaan Konsumen”.
Berdasarkan kesepakatan antara Bank X dengan PT. Y restrukturisasi
kredit dilakukan antara lain dengan melakukan perubahan yang mendasar,
sebagaimana diatur pada Perjanjian Restrukturisasi Kredit Pasal 2 dan Pasal 3
ayat (1) meliputi :
a. Jumlah rekening pinjaman yang sebelumnya sesuai dengan jumlah dan
atas nama end user menjadi satu rekening pinjaman atas nama PT. Y;
b. Mengubah pola kredit dari kredit channeling menjadi kredit executing;
Ada perbedaan utama antara pola channeling dengan executing. Pada pola
channeling, kredit diberikan kepada debitur melalui lembaga/perusahaan lain.
Fungsi lembaga/perusahaan (agent) lain dalam pola channeling ditetapkan dalam
Perjanjian Kerjasama. Dalam hal perjanjian kredit ditandatangani antara debitur
dengan agen, maka agen yang bersangkutan wajib mendapatkan kuasa dari
kreditur (bank) karena agen dalam hal ini bertindak dalam kapasitasnya
berdasarkan kuasa dan oleh karena itu, untuk dan atas nama bank/kreditur.
Sedangkan kredit dengan pola executing, debitur adalah agen tersebut langsung.
Hubungan hukum antara agen dengan nasabahnya (nasabah agen/end user) adalah
hubungan hukum yang terpisah dengan hubungan hukum antara bank dengan
agen. Oleh karena agen adalah debitur, maka agen harus memenuhi syarat dan
ketentuan bidang perkreditan sebagaimana mestinya.
Sehubungan dengan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam
Perjanjian Restrukturisasi Kredit tersebut kedudukan debitur dalam pelaksanaan
kredit telah berubah, kedudukan hukum end user sebagai debitur telah digantikan
oleh PT. Y sebagai debitur baru.
Secara hukum, perbuatan seperti ini merupakan suatu Pembaharuan Utang
atau Novasi, sehingga perbuatan ini harus ditegaskan secara tegas dan nyata. Hal
ini diatur dalam pasal 1417 KUHPerdata sebagai berikut : 114
114

Universitas Indonesia
77

“ Delegasi atau pemindahan, dengan mana seorang berutang memberikan


kepada orang yang mengutangkan padanya seorang berutang baru
mengikatkan dirinya kepada si berpiutang, tidak menerbitkan suatu
pembaharuan utang, jika si berpitang tidak secara tegas menyatakan bahwa
ia bermaksud membebaskan orang berutang yang melakukan pemindahan
itu, dari perikatannya.”

Pengalihan tersebut semakin mempertegas bahwa benar kedudukan PT. Y


pada perjanjian kerjasama berkedudukan hukum sebagai mitra usaha, bukan
sebagai debitur dari Bank X.

Novasi baru terjadi kalau kreditur, setelah menerima/menyetujui persoon


debitur yang baru, dengan tegas menyatakan bahwa ia membebaskan debitur lama
dari keterikatannya berdasarkan perikatan yang lama dari kewajibannya
berprestasi (lebih lanjut) terhadap kreditur.115

Pada prakteknya, Novasi tersebut tidak secara tegas dinyatakan dalam


suatu Perjanjian Pembaharuan Utang (Novasi). Akibat hukum yang muncul dari
peristiwa seperti itu adalah bahwa paling-paling kreditur sekarang mempunyai
tambahan seorang debitur lagi yang dapat ditagih untuk memenuhi perikatan yang
116
ada antara kreditur dengan debitur. Seharusnya pelaksanaan restrukturisasi
kredit sebagaimana dijelaskan di atas, didahului dengan pembuatan Akta
Perjanjian Pembaharuan Utang (Novasi) antara Bank X dengan PT. Y. Kemudian,
dibuat Akta Perjanjian Kredit antara Bank X dengan PT. Y secara terpisah.
BAB IV
PENUTUP

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], op. cit., ps. 1417.
115

J. Satrio, S.H., op. cit., hlm. 118.


116

Pitlo, Verbintenissenrecht, hlm. 279; Vollmar, Verbintenissenrecht, hlm. 461,


mengatakan bahwa dalam hal demikian, pada novasi yang tidak selesai maka paling-paling ada
borgtocht (penanggungan) atau penyediaan diri untuk menjadi debitur serta (mede-schuldenaar).
P. Scholten, “Overnemen van en toetreding tot eens anders schuld” dalam V.G., hlm. 298
menganggap syarat yang seperti tersebut dalam pasal 1417 [Burgerlijk Wetboek] perlu karena
tidak tertutup kemungkinan bahwa memang maksud para pihak adalah hanya mau menambah
seorang debitur disamping debitur yang lama, sehingga bukan dengan penerimaan debitur yang
baru debitur lama terbebaskan, tetapi yang benar adalah dengan pembayaran oleh debitur baru
debitur lama menjadi bebas. Dikutip dari J. Satrio, S.H., ibid., hlm. 119.

Universitas Indonesia
78

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan dalam bab-bab
terdahulu dari tesis ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Permasalahan hukum yang terdapat dalam pelaksanaan kerjasama penyaluran
kredit/pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y dalam rangka penyaluran kredit
ke end user (penerima kredit) adalah sebagai berikut :
a. Ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Kerjasama antara Bank X
dengan PT. Y baik dari segi bahasa maupun materi yang dikandung
banyak memiliki hal-hal yang inkonsistensi sehingga perlu dikaji dari
Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1988 dan Buku
Pedoman Perusahaan Bank X sebagai berikut :
i) Dilihat dari bentuk perjanjian yang mendasari kerjasama ini, yaitu
“Perjanjian Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara
Bank X dengan PT. Y untuk Pembelian Kendaraan Bermotor”,
dan berdasarkan kedudukan hukum Bank X (Pihak Pertama)
dengan PT. Y (Pihak Kedua) sebagai pemberi kuasa dan
penerima kuasa, maka hubungan hukum antara Bank X dengan
PT. Y adalah sebagai mitra usaha sebagaimana dijelaskan dalam
komparisi perjanjian kerjasama.
ii) Berdasarkan hubungan hukum yang ada antara Bank X dengan
PT. Y, sebagai mitra usaha yang diatur dalam perjanjian
kerjasama penyaluran kredit kepada end user, PT. Y bertanggung
jawab hanya terbatas pada pemberian kredit/pembiayaan dan
tindakan wanprestasi dari PT. Y hanya meliputi penyimpangan-
penyimpangan atas penyaluran kredit yang tidak sesuai dengan
perjanjian kerjasama. Dengan demikian, tidak ada kewajiban bagi
PT. Y untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh keadaan
wanprestasi dari end user.Berdasarkan tujuan penyaluran
kredit/pembiayaan sesuai dengan Pasal 2 jo Pasal 3 Perjanjian
Kerjasama bahwa plafond kredit/pembiayaan disalurkan oleh
Bank X kepada end user melalui PT. Y, maka kedudukan PT. Y
dalam perjanjian kerjasama ini bukan sebagai Debitur, melainkan

Universitas Indonesia
79

sebagai Agen atau Kuasa dari Bank X. Disamping itu, Bank X


juga berhak melakukan analisa dan evaluasi terhadap permohonan
dan dokumen dari calon Nasabah (end user), maka diketahui
bahwa Bank X tetap menjalankan fungsinya sebagai Bank.
iii) Dalam hubungan mitra usaha ini, Bank X memperoleh
keuntungan berupa provisi dan bunga pinjaman sebagai akibat
dari meluasnya penyaluran kredit ke masyarakat melalui jasa PT.
Y, sedangkan di lain pihak PT. Y memperoleh keuntungan berupa
spread (selisih) antara bunga pinjaman dari bank dengan bunga
pinjaman kepada end user.
iv) Istilah “Penyaluran Pembiayaan” yang digunakan dalam
perjanjian kerjasama antara Bank X dengan PT. Y lebih tepat
digunakan pada produk perbankan syariah, sedangkan Bank X
adalah termasuk perbankan konvensional. Dalam perbankan
konvensional, istilah yang lebih tepat digunakan untuk
penyaluran dana ke masyarakat adalah “Kredit” sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1
angka 11.
v) Istilah “Nasabah” yang digunakan dalam perjanjian kerjasama
antara Bank X dan PT. Y masih bersifat luas, karena dalam
undang-undang pengertian Nasabah sendiri dibedakan lagi
menjadi dua yaitu Nasabah Penyimpan dan Nasabah Debitur.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis berpendapat agar istilah
yang lebih tepat digunakan untuk menyebut penerima kredit
adalah Nasabah Debitur, Debitur ataupun End User.
b. Dalam kredit perbankan, hubungan hukum antara Bank dengan
Debitur pada prinsipnya didasarkan pada Perjanjian Kredit.
Sehubungan dengan hal tersebut terdapat permasalahan sebagai
berikut :
i) Perjanjian antara PT. Y dengan end user yang dibuat dengan judul
“Perjanjian Pembiayaan Konsumen” merupakan perjanjian kredit
dimana PT. Y (Kuasa dari Bank X) berkedudukan sebagai Kreditur

Universitas Indonesia
80

dan end user berkedudukan sebagai Debitur. Namun demikian,


berdasarkan komparisi (pembukaan) perjanjian kredit antara PT. Y
dengan end user, tidak disebutkan bahwa PT. Y merupakan kuasa
dari Bank X dalam meyalurkan kredit, sehingga dalam kedudukan
hukumnya PT. Y bertindak sendiri sebagai kreditur atau dengan
kata lain tidak mewakili Bank X. Akibat hukumnya adalah
perjanjian tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan
perjanjian kerjasama antara Bank X dengan PT. Y. Disamping itu,
perjanjian kredit tersebut dapat dimohonkan kembali kepada bank
lain untuk pencairan kredit serupa.
ii) Pada bagian penutup dari perjanjian kredit ini disebutkan bahwa
Bank sebagai mediasi. Hal yang perlu dicermati adalah dari awal
perjanjian Bank sama sekali tidak disebut sebagai pihak dalam
perjanjian tersebut, selain itu kedudukan Bank sebagai mediasi
tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

2. Pelaksanaan penyelesaian kredit dilakukan dengan tahapan awal adalah


pembayaran kembali kredit, namun pada kenyataannya telah terjadi
kesulitan pembayaran dari para end user (penerima kredit) sehingga
kualitas kredit menjadi memburuk. Sehubungan dengan permasalahan
tersebut, Bank X segera mengambil upaya penyelamatan kredit dengan
cara merestrukturisasi kredit tersebut. Hal-hal yang dikaji dalam
penyelesaian kredit ini adalah permasalahan dalam ketentuan mengenai
Pembayaran Kembali Kredit dan pelaksanaan restrukturisasi kredit.
a. Pada ketentuan mengenai Pembayaran Kembali Kredit terdapat
inkonsistensi yaitu :
i) Ketidaksesuaian antara kedudukan hukum PT. Y selaku kuasa dan
mitra usaha dari Bank X dengan kewajibannya menanggung
pelunasan kredit/pembiayaan end user selaku debitur dalam hal
terjadi wanprestasi oleh end user. Selain itu, ketentuan mengenai
keadaan wanprestasi debitur tidak diatur dalam perjanjian

Universitas Indonesia
81

kerjasama antara Bank X dengan PT. Y, melainkan hanya diatur


dalam perjanjian kredit antara PT. Y dengan end user.
ii) Dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) perjanjian kerjasama
mengenai Pembukaan Rekening diatur bahwa PT. Y wajib
membuka rekening pada Bank X guna menampung pencairan
kredit/pembiayaan dan pembayaran angsuran serta biaya-biaya
lain, selanjutnya Bank X diberi kuasa oleh end user untuk
mendebet rekening PT. Y. Ketentuan mengenai kuasa pendebetan
rekening ini tidak sesuai dengan kaidah hukum, karena seharusnya
kuasa pendebetan rekening PT. Y diberikan oleh PT. Y sebagai
pemilik rekening, bukan oleh end user.
b. Selanjutnya, dalam “Perjanjian Restrukturisasi Kredit antara Bank X
dengan PT. Y” telah disepakati bahwa pola kredit diubah dari kredit
channeling menjadi kredit executing, sehingga kredit masing-masing
end user beralih menjadi satu kredit dengan atas nama PT. Y.
Kedudukan hukum end user sebagai debitur telah digantikan oleh PT.
Y sebagai debitur baru. Pengalihan tersebut semakin mempertegas
bahwa benar kedudukan PT. Y pada perjanjian kerjasama
berkedudukan hukum sebagai mitra usaha, bukan sebagai debitur dari
Bank X.
Secara hukum, perbuatan seperti ini merupakan suatu
Pembaharuan Utang atau Novasi. Namun demikian, pada prakteknya
perjanjian tersebut tidak didahului dengan Perjanjian Pembaharuan
Utang (Novasi) yang mencakup peralihan hak dan kewajiban dari end
user selaku debitur lama kepada PT. Y selaku debitur baru.

4.2. Saran

Universitas Indonesia
82

Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang telah penulis kemukakan di


atas, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut :

1. Sehubungan dengan permasalahan yang terdapat pada pelaksanaan


kerjasama penyaluran kredit/pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y,
perlu dilakukan suatu penyempurnaan dalam Buku Pedoman Perusahaan
Bank X mengenai konsep hukum yang tepat dalam penyaluran kredit
dengan pola kerjasama pembiayaan (channeling), terutama mengenai
hubungan hukum antara Bank selaku Kreditur, Lembaga Pembiayaan
selaku Agen dengan End User selaku Debitur, mengingat bahwa suatu
hubungan hukum dan kedudukan para pihak akan menentukan tanggung
jawab atau akibat hukum bagi para pihak.

2. Hubungan hukum antara Bank X dengan End User adalah hubungan


antara Debitur dengan Kreditur, sehingga perjanjian kredit yang dibuat
seharusnya berdasarkan standar dan pedoman peraturan perkreditan yang
ada di Bank X, bukan standar yang ada di PY. Y (Kuasa dari Bank X).
Selanjutnya klausul yang harus dimasukkan di dalam perjanjian tersebut
adalah penegasan bahwa PT. Y bertindak selaku Kuasa dari Bank X.

3. Seharusnya restrukturisasi kredit antara Bank X dengan PT. Y didahului


dengan membuat Perjanjian Pembaharuan Utang (Novasi), karena
perbuatan Novasi harus secara tegas dinyatakan. Kemudian, Novasi
tersebut diikuti dengan Perjanjian Kredit tersendiri antara Bank X selaku
Kreditur dengan PT. Y selaku Debitur.

4. Dalam Buku Pedoman Perusahaan Bank X sama sekali tidak diatur


mengenai Novasi Kredit (Pembaharuan Utang), padahal pada praktek
perbankan hal ini sudah lazim dilakukan, untuk itu perlu adanya
penyempurnaan Buku Pedoman Perusahaan Bank X sehubungan dengan
Novasi Kredit dalam rangka penyelamatan kredit.

Universitas Indonesia

You might also like