Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Sutarno, S.H., M.M., Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung : CV.
Alfabeta, 2004), hlm. 1.
2
Try Widiyono, S.H., M.H., Sp.N., Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk
Perbankan di Indonesia. ( Bogor : Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 256.
3
Universitas Indonesia
2
yang dinamakan fungsi bank sebagai intermediasi. Karena itu suatu bank yang
tidak memiliki sumber dana dari masyarakat yang memadai akan sangat
mengganggu usaha dan kegiatan bank dan bank juga tidak mampu memperluas
ekspansinya.4
Fungsi utama bagi perbankan di Indonesia adalah sebagai penghimpun dan
5
penyalur dana masyarakat. Fungsi perbankan tersebut dlama penerapannya
disesuaikan dengan jenis banknya dan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 5
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, jenis-jenis bank adalah bank umum dan
bank perkreditan rakyat, yang masing-masing memiliki cakupan bidang usaha
yang berbeda. Terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan
ini, usaha bank umum meliputi :6
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b. memberikan kredit;
c. menerbitkan surat pengakuan hutang;
d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya;
e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah;
f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan
dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana
telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm.2.
5
Indonesia, Undang-Undang Perbankan, UU No.10 Tahun 1998, LN No.182 Tahun
1998, TLN No.3790, ps. 3.
6
Ibid., ps. 6.
Universitas Indonesia
3
Universitas Indonesia
4
b. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.8
Kredit merupakan perjanjian antara debitur dan kreditur di mana hak dan
kewajibannya termuat dalam perjanjian tersebut dan dikenal dengan perjanjian
utang piutang, dimana terdapat unsur-unsur di dalamnya sebagai berikut :9
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut
akan dibayar kembali oleh sipenerima kredit dalam jangka waktu tertentu yang
telah diperjanjikan.
b. Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit dengan pembayaran kembali tidak
dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh tenggang
waktu.
c. Risiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit mempunyai risiko akibat
adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dengan
pembayaran kembali. Semakin panjang jangka waktu pemberian kredit semakin
tinggi resiko kredit tersebut.
d. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,
tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Namun dalam obyek kredit yang
menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam praktek perkreditan.
Kredit dapat dibedakan menurut kriteria lembaga pemberi dan penerima
kredit yang menyangkut struktur pelaksanaan kredit di Indonesia, maka jenis
kredit terdiri dari:10
a. Kredit Perbankan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau konsumsi.
Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta kepada dunia usaha
untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan permodalan, dan atau kredit dari bank
8
Ibid., ps. 1 angka 11.
9
Febby M. Sukatendel, 2006. “Kredit dan Masalah Keuangan, Panduan Bantuan Hukum
di Indonesia”. YLBHI, Jakarta.
10
Universitas Indonesia
5
11
Universitas Indonesia
6
14
Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm. 158-
160.
15
CH. Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan
Manajemen, Nopember-Desember 1992 hlm.64-69 dikutip dari: Drs. Muhammad Djumhana, S.H.,
Hukum Perbankan di Indonesia, Cet. 3, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 228.
Universitas Indonesia
7
Sesuai dengan judul tesis ini yaitu “Aspek Hukum Kerjasama Penyaluran
Kredit/Pembiayaan Antara Bank X dengan PT. Y” dan berdasarkan uraian latar
belakang tersebut di atas, maka permasalahan-permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Permasalahan hukum apa yang terdapat dalam pelaksanaan kerjasama
penyaluran kredit/pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y dalam rangka
penyaluran kredit kepada Penerima Kredit (end user) ?
2. Bagaimana pelaksanaan penyelesaian kredit berdasarkan perjanjian
restrukturisasi kredit antara Bank X dengan PT. Y?
Universitas Indonesia
8
16
Universitas Indonesia
9
17
Drs. O. P. Simorangkir, Kamus Perbankan, cet. 2, (Jakarta : Bina Aksara, 1989), hlm.33.
18
Universitas Indonesia
10
2. Debitur
Nasabah Debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.22 Selanjutnya
dalam penulisan tesis ini akan disebut debitur.
Debitur adalah One who owes a debt to another who is called the director;
one who may be compelled to pay a claim or demand; anyone lieable on a claim,
whether due or to become due. 23
19
Universitas Indonesia
11
3. Kredit
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan : 24
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga”.
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/2/PBI/2009 : 25
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah
yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.”
4. Perjanjian
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.26 Perjanjian dalam
KUHPerdata diatur dalam buku III tentang perikatan, bab kedua, bagian kesatu
sampai dengan bagian keempat.
Pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh Subekti menyebutkan
bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada
Henry Black Campbell, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, (St. Paul Minn: West
Publishing Co, 1990), hlm. 404.
24
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum,
PBI No.11/2/PBI/2009 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/2/PBI/2005, ps. 1 angka 5.
26
Universitas Indonesia
12
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.27
Untuk memperjelas pengertian perjanjian, maka dapat ditemukan di dalam
doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah perbuatan
hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan
menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan
perjanjian, yaitu : 28
“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
Di dalam teori baru tersebut, tidak hanya melihat perjanjian semata-mata
tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya. Ada tiga tahap untuk membuat
perjanjian, yaitu tahap pra-contractual (adanya penawaran dan penerimaan),
tahap contractual (adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak)
dan tahap post-contractual (pelaksanaan perjanjian).29
Sementara M. Yahya Harahap mengartikan perjanjian sebagai hubungan
hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, yang
memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan kepada pihak lain untuk menunaikan prestasi.30
Berdasarkan uraian dari beberapa pengertian perjanjian tersebut, maka
unsur-unsur di dalam perjanjian adalah sebagai berikut : 31
a. Adanya Hubungan Hukum; Hubungan hukum merupakan hubungan yang
menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.
b. Adanya Subyek Hukum; Subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban.
27
Prof. R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 20, (Jakarta : PT. Intermasa, 2004), hlm.1.
28
Salim H.S., Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cet. 4, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2006), hlm. 25-26.
29
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, cet. 2., (Bandung: Alumni, 1986), hlm.
6.
31
Universitas Indonesia
13
5. Perjanjian Kredit
Perjanjian Kredit adalah perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan
nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan,
atau pembagian hasil keuntungan.33
Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara debitur dan kreditur di
mana hak dan kewajibannya termuat dalam perjanjian tersebut dan dikenal dengan
perjanjian utang piutang, dimana terdapat unsur-unsur di dalamnya sebagai
berikut :34
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut
akan dibayar kembali oleh sipenerima kredit dalam jangka waktu tertentu yang
telah diperjanjikan.
b. Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit dengan pembayaran kembali tidak
dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh tenggang
waktu.
32
Drs. Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan, cet. 4., (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1995), hlm. 12-13.
Universitas Indonesia
14
6. Kerjasama
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari kerjasama
adalah :35
a. Kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang atau pihak untuk
mencapai tujuan bersama;
b. Interaksi sosial antara individu atau kelompok secara bersama-sama
mewujudkan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.
35
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 3,
(Jakarta : Balai Pustaka, 2002), hlm. 428.
36
Universitas Indonesia
15
dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif yang dikenal juga
dengan istilah penelitian kepustakaan. 37
37
Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum, hlm. 52,
cet.3, yang diterbitkan di Jakarta oleh Penerbit UI-Press pada tahun 1986, Penelitian hukum dapat
dibedakan antara penelitian hukum normatif dengan penelitian hukum sosiologis atau empiris.
Pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang
mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Pada penelitian hukum sosiologis
atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan
dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau masyarakat.
38
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, cet. 3 (Jakarta : Rajawali Pers, 1990), hlm. 14. Lihat juga Rasyid Sartuni, Teknik
Penyusunan Karya Ilmiah Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta : Nina Dinamika, 1986), hlm. 15.
39
Ibid.
40
Ibid.
Universitas Indonesia
16
41
Ibid.
Universitas Indonesia
17
BAB II
TINJAUAN UMUM PERKREDITAN
DAN PELAKSANAANNYA PADA BANK X
Universitas Indonesia
18
42
Universitas Indonesia
19
d. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,
tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Namun dalam obyek kredit yang
menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam praktek perkreditan.
Dapat disimpulkan bahwa prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas
kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi utangnya
tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
sebelumnya dan unsur-unsur yang terdapat dalam kredit yaitu kepercayaan,
waktu, risiko dan prestasi.
45
Universitas Indonesia
20
47
Munir Fuady (A), Hukum Perkreditan Kontemporer, cet. 1 (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996), hlm.15-21.
Universitas Indonesia
21
Universitas Indonesia
22
48
Universitas Indonesia
23
Universitas Indonesia
24
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia
26
Universitas Indonesia
27
Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan pada siapa saja yang
memiliki kemampuan untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara pemberi
utang (kreditur) di satu pihak dan penerima utang (debitur) di lain pihak. Setelah
perjanjian disepakati dan debitur telah menyerahkan sejumlah jaminan bagi kredit
yang diperolehnya, maka lahirlah kewajiban pada diri kreditur, yaitu untuk
menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada debitur, dengan hak untuk
menerima kembali uang itu dari debitur pada waktunya, disertai dengan bunga
yang disepakati oleh para pihak pada saat perjanjian kredit tersebut disetujui oleh
para pihak.50
Dalam melakukan setiap usahanya, bank wajib memperhatikan prinsip
kehati-hatian (prudent principle).51 Hal tersebut tidak terkecuali dalam usaha
penyaluran kredit. Bank Indonesia menerbitkan ketentuan-ketentuan yang harus
ditaati oleh bank sebagai upaya untuk meminimalisasi risiko akibat kredit dan
berkenaan dengan prinsip kehati-hatian bank. Ketentuan-ketentuan tersebut antara
lain penentuan Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK), rasio kredit terhadap
simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR), Rasio kecukupan modal (Capital
Adequacy Ratio/CAR), alokasi jumlah kredit untuk golongan usaha tertentu dan
batas minimum perolehan bank.52
Disadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko,
sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan
yang sehat. Bank harus memperoleh keyakinan bahwa kredit yang disalurkannya
tersebut dapat dikembalikan kembali oleh debitur tepat pada waktunya. Untuk
memperoleh keyakinan tersebut, maka dalam proses pemberian kredit, bank akan
mengikuti prosedur pemberian kredit (Standard Of Procedure/SOP)53 yang
50
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm.1.
51
Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva
Produktif, SK No. 30/267/KEP/DIR/1998, ps. 2.
52
Rachmat Firdaus dan Maya Ariyani, Manajemen Perkreditan Bank Umum, (Bandung:
Alfabeta, 2004), hlm. 44-50.
53
Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tanggal
31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi
Bank Umum.
Universitas Indonesia
28
Agus Santoso. “Kredit Macet : Antara Kerugian Negara atau Kerugian Korporasi,”
(Makalah disampaikan pada Pelatihan Kriminalisasi Kredit Macet Perbankan sebagai Tindak
Pidana Korupsi), Jakarta, 25-26 Januari 2010, hlm.1.
55
Universitas Indonesia
29
resiko dari pinjaman, tipe dari produk pinjaman dan keamanan apa yang
diperlukan. Bank tidak memberikan kredit untuk tujuan yang illegal misalnya
memberikan kredit untuk tujuan yang dapat membahayakan lingkungan.57
Collateral (agunan) diperlukan untuk menanggung pembayaran kredit
macet. Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa
agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau
pembiayaan yang diterimanya. Agunan berfungsi sebagai jaminan tambahan.
Kesulitan bank dalam melakukan analisis dengan menggunakan prinsip 5 C
sebagaimana dikemukakan di atas dapat diatasi dengan adanya skim penjaminan
atau skim asuransi kredit. Dengan adanya skim tersebut maka bank lebih mudah
menilai risiko kredit yang diberikannya.58
Kredit dari sisi bank merupakan sumber pendapatan yang memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan bank itu sendiri. Sedangkan bagi
debitur, kredit bagaikan suatu obat yang dapat menyembuhkan atau atau bahkan
dapat mematikan. Kenapa, karena bila kredit yang diberikan tidak sesuai dengan
kebutuhan debitur, maka kredit tersebut tidak bermanfaat karena tidak cukup
untuk membiayai usaha debitur, sehingga usaha debitur juga tidak jalan.
Akibatnya pada saat jangka waktu berakhir kredit tidak dapat diselesaikan
sebagaimana seharusnya. Demikian juga apabila berlebih diberikan akan
mematikan debitur, karena keuntungan atas obyek yang dibiayai tidak mencukupi
untuk membayar kewajibannya kepada bank sehingga memberi peluang dana
yang diberikan tidak digunakan sebagaimana seharusnya.59
Kegiatan perkreditan merupakan proses pembentukan aset bank. Kredit
merupakan risk asset bagi bank karena aset bank itu dikuasai oleh pihak luar bank
yaitu debitur. Setiap bank menginginkan dan berusaha keras agar kualitas risk
asset ini sehat, produktif dan collectable. Namun kredit yang diberikan kepada
debitur selalu ada resiko berupa kredit tidak dapat kembali tepat pada waktunya
57
Ibid. dikutip dari PM Weaver & CD Kingsley, Banking & Lending Practice, (Sydney:
Lawbook Co., 2001), hlm. 97-104.
58
Ibid.
59
Ibid.
Universitas Indonesia
30
yang dinamakan kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL). Kredit
bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan bank, karena bank tidak
mungkin menghindari adanya kredit bermasalah. Bank hanya dapat berusaha
menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah agar tidak melebihi
ketentuan Bank Indonesia sebagai Pengawas Perbankan.60
60
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Cet. II, (Bandung: Alfabeta,
2004), hlm. 263.
61
Universitas Indonesia
31
63
Universitas Indonesia
32
Universitas Indonesia
33
Universitas Indonesia
34
Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, op. cit., ps.12
ayat (3).
Universitas Indonesia
35
Kredit bermasalah dapat disebabkan oleh dua macam sumber, yaitu faktor
intern dan faktor ekstern sebagai berikut :
1. Faktor Intern Penyebab kredit Bermasalah :67
a. Kebijaksanaan pemberian kredit yang terlalu ekspansif.
Peningkatan penghimpunan dana pihak ketiga yang cukup cepat
menyebabkan beberapa bank melakukan kebijakan pertumbuhan kredit
yang melebihi tingkat wajar, yang dilakukan untuk menghindari
terjadinya penumpukan dana yang ideal akibat penghimpunan dana
yang cukup besar. Bank seharusnya tetap melakukan kebijakan
pemberian kredit dengan prosedur yang berhati-hati untuk
menghindari terjadinya risiko kredit bermasalah. Kebijakan pemberian
kredit yang hanya didasarkan pada pencapaian target jumlah tertentu
tanpa memperhatikan aspek-aspek lainnya hanya akan menimbulkan
masalah yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tingkat kesehatan
bank di kemudian hari.
b. Penyimpangan pemberian kredit.
Penyimpangan pemberian kredit terhadap prosedur atau kebijakan
yang ada pada umumnya disebabkan oleh kurangnya kuantitas maupun
kualitas pejabat-pejabat pemberi kredit selain disebabkan oleh adanya
dominasi pemutusan kredit oleh pejabat tertentu kepada bank yang
bersangkutan.
c. Itikad kurang baik pemilik/pengurus dan pegawai bank .
Praktek-praktek yang terjadi adalah pihak-pihak tersebut memberikan
kredit pada debitur yang sebenarnya tidak “bankable”. Kegiatan usaha
tersebut misalnya kegiatan-kegiatan yang kurang jelas tujuannya,
selain juga tidak jelas debiturnya (debitur fiktif), yaitu misalnya
penggunaan dana yang sebenarnya berbeda dengan yang tercantum
pada bukti-bukti yang ada.
d. Lemahnya sistem informasi kredit serta system pengawasan dan
administrasi kredit.
67
Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah : Konsep, Teknik dan Kasus. Cet.1.
(Jakarta: Pustaka Binawan Pressindo, 1997), hlm.20-21.
Universitas Indonesia
36
68
Ibid., hlm. 22, dikutip dari seminar Penghapusan Kredit Macet: Problematika dan
Pemecahannya yang diselenggarakan di Jakarta, 30 Agustus 1996, disampaikan oleh DR. Erman
Munzir, Deputi Direktur Bank Indonesia.
Universitas Indonesia
37
69
Universitas Indonesia
38
70
Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, op. cit., Ps.1
angka 25
Universitas Indonesia
39
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], op. cit., ps. 1413.
73
Universitas Indonesia
40
perikatan yang lain yaitu novasi subjektif aktif - kreditur lama digantikan
oleh kreditur yang baru; novasi subjektif pasif - debitur lama digantikan
oleh debitur yang baru, novasi ganda, novasi dan janji-janji untuk pihak
ketiga, exprommissio.
3. Likuidasi Agunan
Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa
agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau
pembiayaan yang diterimanya. Berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor
10 tahun 1998 Pasal 8 ayat (1) yaitu :
“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah
Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan
dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Dalam upaya penyelamatan kredit, likuidasi agunan merupakan alternatif
terakhir yang diambil oleh pihak bank. Hal ini biasanya akan memakan waktu
yang cukup lama, karena tidak seluruh debitur merelakan barang yang dijamnkan
disita oleh bank. Hambatan terbut dilakukan dengan melalui pengadilan. Setelah
berhasil dimenangkan bank, sering kali pihak bank masih harus mengeluarkan
sejumlah biaya khususnya untuk biaya perawatan. Akhirnya harga jual setelah
dikurangi biaya pengadilan dan perawatan lebih kecil dengan kerugian yang
diderita pihak bank (bunga plus pokok).
Beberapa alternatif penyelesaian kredit yang dapat dilakukan oleh bank
tergantung parah tidaknya usaha dan niat baik dari debitur itu sendiri untuk
menyelesaikan kewajibannya.
Pada saat kredit direstrukturisasi atau dinovasi sebagai tindakan preventif
bagi bank hal yang sangat penting penting mendapat perhatian adalah dari aspek
hukumnya, yaitu menyangkut :
1. Addendum perjanjian kredit
Maksudnya apakah dalam addendum telah tercantum dengan baik syarat-
syarat perubahan perjanjian kredit dengan adanya restrukturisasi yaitu antara lain
menyangkut, jangka waktu, besarnya suku bunga kredit, besarnya angsuran dan
jadwal angsuran kredit serta kemungkinan adanya tambahan kredit yang harus
Universitas Indonesia
41
diikuti dengan pertambahan penyerahan jaminan/ agunan oleh debitur yang nilai
ekonomisnya harus mengcover besarnya limit kredit.
2. Pengikatan terhadap barang jaminan
Maksudnya apakah barang jaminan/ agunan tersebut tidak cacat hukum
untuk dilakukan pengikatan sesuai dengan jenis pengikatannya, dan mutlak bahwa
pengikatan terhadap barang jaminan harus secara notarial, yaitu antara lain dalam
bentuk pengikatan secara Fiducia dan pengikatan dengan Hak Tanggungan yang
dibuat dihadapkan Notaris yang berwenang.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam pemberian kredit/
pelepasan kredit atau restrukturisasi kredit akan terlahirlah suatu perjanjian antara
dua pihak yaitu peminjam (debitur) dan yang meminjamkan (kreditur). Sebagai
pengaman terhadap kemungkinan terjadinya wansprestasi oleh debitur (tidak
memenuhi kesepakatan yang diperjanjikan) atas fasilitas kredit yang
dinikmatinya, maka sangat perlu untuk perjanjian pokok berikut perjanjian ikutan
(accesoir) dibuat secara notarial dihadapan notaris yang berwenang. Sedangkan
pengikatan atas barang-barang agunan akan dilakukan setelah perjanjian kredit
ditandatangani dan sebelum pencairan kredit.
74
Universitas Indonesia
42
g. Kredit Multiguna;
h. Kredit Multiguna Kembang;
i. Cash Collateral Credit;
j. Kredit Pemilikan Rumah;
k. Kredit Dana Talangan;
l. Kredit Laris;
m. Kredit Paket Lebaran;
n. Kredit Tenaga Kerja dan Wira Usaha Baru;
o. Kredit Bagi Golongan Usaha Skala Kecil (GUSK);
p. Kredit Dana Bergulir;
q. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana;
r. Garansi Bank;
s. Letter of Credit;
t. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN); dan
u. Kerjasama Penyaluran Pembiayaan.
Disadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko,
sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan
yang sehat. Bank harus memperoleh keyakinan bahwa kredit yang disalurkannya
tersebut dapat dikembalikan kembali oleh debitur tepat pada waktunya. Untuk
memperoleh keyakinan tersebut, maka dalam proses pemberian kredit, bank akan
mengikuti prosedur pemberian kredit (Standard Of Procedure/SOP). Pada Bank
X, SOP diatur dalam Buku Pedoman Perusahaan (BPP). Terkait dengan
operasional kredit, BPP terdiri dari :
a. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan, diklasifikasikan ke dalam empat
buku pedoman yaitu Buku I Kebijakan Umum, Buku II Jenis-Jenis Produk, Buku
III Kebijakan dan Prosedur dan Buku IV Formulir dan Petunjuk Pengisian;
b. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit, Non Restrukturisasi
Kredit, Penyisihan Penghapusan Aktiva, Hapus Buku dan Hapus Tagih,
diklasifikasikan ke dalam dua buku pedoman yaitu Buku I Kebijakan Umun dan
Buku II Sistem dan Prosedur.
Universitas Indonesia
43
75
Keputusan Direksi Bank X No.163 tahun 2010, op.cit. Sub Bab 01, angka (1).
76
Ibid.
77
Ibid.
78
Ibid.
Universitas Indonesia
44
79
Ibid.
80
Universitas Indonesia
45
Universitas Indonesia
46
Universitas Indonesia
47
81
Ibid.
83
Ibid.
Universitas Indonesia
48
Ibid., ps.2.
85
Ibid., ps.4.
86
Ibid., ps. 6.
Universitas Indonesia
49
87
Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, op. cit.
90
Universitas Indonesia
50
91
Berdasarkan PBI No.11/9/2009 tentang Penilaian Kualitas Aktiva, ps.1 angka 19,
Penyisihan Penghapusan Aktiva yang untuk selanjutnya disebut PPA adalah cadangan yang harus
dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas Aktiva.
92
Surat Keputusan Direksi Bank X tentang Restrukturisasi, op. cit., Bab 1 huruf (C) angka
(5).
Universitas Indonesia
51
BAB III
ASPEK HUKUM KERJASAMA PENYALURAN
KREDIT/PEMBIAYAAN ANTARA BANK X DENGAN PT. Y
Universitas Indonesia
52
menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan
perjanjian, yaitu : 93
“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
Di dalam teori baru tersebut, tidak hanya melihat perjanjian semata-mata
tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya. Ada tiga tahap untuk membuat
perjanjian, yaitu tahap pra-contractual (adanya penawaran dan penerimaan),
tahap contractual (adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak)
dan tahap post-contractual (pelaksanaan perjanjian).94
Sementara M. Yahya Harahap mengartikan perjanjian sebagai hubungan
hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, yang
memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan kepada pihak lain untuk menunaikan prestasi.95
Berdasarkan uraian dari beberapa pengertian perjanjian tersebut, maka
unsur-unsur di dalam perjanjian adalah sebagai berikut : 96
a. Adanya Hubungan Hukum
Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.
b. Adanya Subyek Hukum
Subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban.
c. Adanya Prestasi
Prestasi terdiri dari memberikan (menyerahkan) sesuatu, melakukan
sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.
d. Di bidang harta kekayaan.
Selanjutnya, mengenai asas-asas dalam suatu perjanjian, Pasal 1338
KUHPerdata menyebutkan : 97
93
Universitas Indonesia
53
98
J. Satrio, Hukum Perikatan : Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku II, (Bandung :
Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 145.
100
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung : Alumni, 1982), hlm. 102.
Universitas Indonesia
54
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 3,
(Jakarta : Balai Pustaka, 2002), hlm. 428.
Universitas Indonesia
55
Universitas Indonesia
56
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (6), Pihak Pertama (Bank X) menetapkan
bunga pinjaman sebesar 16% (enam belas persen) efektif pertahun dihitung dari
Universitas Indonesia
57
pencairan kredit dan setiap pencairan kredit dikenakan provisi sebesar 1% (satu
persen) yang langsung dipotong dari pencairan kredit.
Kewajiban PT. Y diatur dalam Pasal 8 ayat (2) sebagai berikut:
a. Menjamin dan bertanggung jawab atas kelancaran pembayaran Angsuran Nasabah
kepada Bank X sesuai jadwal yang ditetapkan;
b. Mencari, menyeleksi dan memutuskan calon Nasabah yang akan memperoleh
kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan bermotor dengan memenuhi
kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 perjanjian ini dan
tidak terdapat kredit/pembiayaan ganda atas nama Nasabah yang sama.
c. Menerapkan prinsip-prinsip pemberian kredit/pembiayaan dan manajemen
kredit/pembiayaan yang sehat dan berlaku umum di Indonesia, untuk mengurangi
timbulnya risiko sehubungan dengan pemberian kredit/pembiayaan.
d. Mengadakan evaluasi atas permohonan kredit/pembiayaan yang diajukan oleh
calon Nasabah berikut dokumen penununjangnya, kelayakan usaha serta
kemampuan pembayarannya.
e. Menyetujui atau menolak permohonan kredit/pembiayaan yang diajukan oleh
calon Nasabah, termasuk untuk jenis kendaraan yang akan dibiayai.
f. Menandatangani perjanjian dengan Nasabah antara lain Perjanjian Fidusia, Surat
Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia dan Surat Kuasa Menjual.
g. Menetapkan besarnya jumlah kredit/pembiayaan yang akan diberikan berikut tarif
bunga sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat (4) Perjanjian ini, denda serta
biaya-biaya lain yang dikenakan kepada Nasabah dengan tetap berpedoman pada
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
h. Melakukan pemotongan pajak, bea atau iuran sebagaimana ditetapkan oleh
ketentuan perpajakan yang berlaku.
i. Meneliti keabsahan semua dokumen yang berkaitan dengan Perjanjian
Kredit/Pembiayaan.
j. Menyimpan asli dokumen Perjanjian Kredit/Pembiayaan dan surat-surat lainnya
yang berkaitan dengan pemberian kredit/pembiayaan.
k. Membukukan kredit/pembiayaan, melakukan perhitungan jumlah
kredit/pembiayaan yang diberikan, jumlah hutang pokok dan bunga serta biaya
yang terhutang oleh setiap Nasabah.
Universitas Indonesia
58
Universitas Indonesia
59
Universitas Indonesia
60
Dalam Perjanjian Kerjasama Pasal 1 ayat (3) huruf (c) dijelaskan pengertian dari
Nasabah sebagai berikut :
“Nasabah adalah pihak yang menerima fasilitas kredit/pembiayaan untuk
pembelian kendaraan dari Pihak Pertama melalui Kantor Cabang Pihak
Kedua di seluruh Indonesia yang tidak termasuk dalam daftar orang-orang
yang mempunyai kredit bermasalah di Pihak Pertama, Pihak Kedua
maupun Bank Indonesia dan tidak terdapat kredit/pembiayaan ganda atas
nama calon end user yang sama”.
Sedangkan istilah end user, walaupun seringkali disebutkan pada perjanjian
kerjasama dimaksud, tidak dijelaskan pengertiannya. Pada praktek perbankan,
istilah ini sering digunakan dalam kerjasama penyaluran kredit103 walaupun tidak
dikenal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, sedangkan istilah
“Nasabah” dalam Pasal 1 angka 16 sampai dengan angka 18 berturut-turut
dijelaskan sebagai berikut :
102
Keputusan Direksi Bank X tentang Kerjasama Penyaluran Pembiayaan, op. cit., Sub Bab
01 angka (1) huruf (f).
103
Penulis melihat penggunaan istilah “end user” pada suatu akta “Perjanjian Kerjasama
Dalam Rangka Pemberian Fasilitas Pembiayaan (Joint Financing)” tanggal 24 Juli 2007 yang
dilaksanakan oleh PT. Bank Mandiri, Tbk.
Universitas Indonesia
61
104
Universitas Indonesia
62
Unsur ini merupakan unsur dalam suatu perikatan yang lahir oleh karena
adanya persetujuan (vide Pasal 1233 jo Pasal 1313 KUHPerdata). Pasal
1313 KUHPerdata menyatakan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Hal lain yang penting berkaitan dengan persetujuan
ini adalah Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur mengenai syarat-syarat
sahnya suatu persetujuan, yaitu : sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan
suatu sebab yang halal.
b. Antara Pemberi kepada Penerima Kuasa
Surat kuasa diberikan oleh oleh pemberi kuasa kepada pihak lain.
Ketentuan ini maksudnya adalah surat kuasa tersebut diberikan dari dan
untuk subjek hukum, baik orang atau badan. Dimaksud dengan subjek
hukum tersebut harus memenuhi unsur kecakapan dan punya kewenangan
bertindak. Berkaitan dengan badan ini perlu diperhatikan aspek hukum
korporasi, yakni hukum yang mengatur mengenai berbagai badan, baik
badan hukum maupun bukan badan hukum.
c. Bertindak atas Nama Pemberi Kuasa
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa pemberi kuasa dalam surat
kuasa tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri, oleh karena itu
diwakili oleh pihak lain. Perwakilan itu memberi konsekuensi bahwa
seakan-akan pemberi kuasa tersebut hadir dalam melakukan perbuatan
hukum tersebut. Kehadiran penerima kuasa tersebut mewakili pemberi
kuasa, sebatas dengan kuasa atau kewenangan yang diberikan oleh pihak
pemberi kuasa. Di luar kuasa atau kewenangan yang diberikan oleh
pemberi kuasa, maka pihak penerima kuasa harus bertanggung jawab
sendiri.
Jadi, harus diperhatikan dasar bertindak atau dasar pemberian kuasa
tersebut (kewenangan bertindak). Dalam hal tertentu, kewenangan tersebut
perlu kita minta buktinya untuk meyakini kewenangan itu. Kewenangan
itu harus dilihat, baik pihak pemberi kuasa maupun kuasanya, apakah
pemberi kuasa bertindak atas dirinya sendiri atau dalam suatu jabatan
Universitas Indonesia
63
Universitas Indonesia
64
106
Universitas Indonesia
65
Universitas Indonesia
66
Universitas Indonesia
67
Universitas Indonesia
68
bermotor roda dua dengan spesifikasi sesuai dengan permohonan end user,
sedangkan kewajiban end user diatur dalam pasal 3 jo pasal 4 perjanjian kredit
sebagai berikut :
a. Membayar kembali hutang pembiayaan (pokok dan bunga) dengan cara
mengangsur dengan tertib dan teratur sesuai jadwal pembayaran angsuran tanpa
terlebih dahulu dilakukan penagihan/pemberitahuan oleh PT. Y dan pembayaran
dilakukan pada hari kerja di tempat PT. Y.
b. Membayar denda keterlambatan sebesar 2 ‰ (dua permil) perhari dari jumlah
angsuran yang tertunggak atas setiap keterlambatan pembayaran angsuran hutang
pembiayaan.
c. Menyerahkan setiap unit sepeda motor merk apapun yang dibeli oleh end user
dari penjual melalui akad pembiayaan dari PT. Y sebagai Barang Jaminan,
kemudian barang jaminan tersebut diikat secara Fidusia dan tunduk pada
Perjanjian Pemberian Jaminan Fidusia.
Hak PT. Y adalah memperoleh pembayaran kembali hutang pembiayaan
dari end user berupa pokok dan bunga dan hak-hak lain dalam Perjanjian
Pemberian Jaminan Fidusia, sedangkan kewajiban PT. Y, dalam pasal 1 jo pasal 2
ayat (1) perjanjian kredit, adalah memberikan pinjaman uang melalui fasilitas
pembiayaan dengan jaminan hak milik secara Fidusia kepada end user untuk
pembelian barang dari penjual berupa satu unit kendaraan bermotor roda dua
dengan spesifikasi sesuai dengan permohonan end user.
Ketentuan mengenai keadaan wanprestasi oleh end user diatur dalam Pasal
5 sebagai berikut :
a. Penerima Fasilitas lalai dan/atau tidak dan/atau gagal memenuhi satu atau lebih
kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian ini dan/atau Perjanjian
Pemberian Jaminan Fidusia.
b. Penerima Fasilitas tidak/lalai melakukan pembayaran angsuran Hutang
Pembiayaan pada tanggal jatuh tempo angsuran.
c. Barang jaminan yang berada di bawah penguasaan Penerima Fasilitas/Pemberi
Jaminan hilang atau musnah.
d. Barang jaminan disita atau terancam oleh suatu tindakan penyitaan oleh pihak lain
atau siapapun juga dan karena sebab apapun.
Universitas Indonesia
69
107
Universitas Indonesia
70
110
Universitas Indonesia
71
Pada perjanjian kredit antara PT. Y dengan end user telah dipenuhi unsur-
unsur perjanjian kredit, yaitu :
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari PT. Y bahwa kredit tersebut akan dibayar
kembali oleh end user dalam jangka waktu tertentu yang telah diperjanjikan.
Keyakinan ini didasarkan pada analisa dan evaluasi atas permohonan kredit dan
pengikatan jaminan yang diberikan oleh end user.
b. Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit kepada end user dengan pembayaran
kembali tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh
jangka waktu kredit.
c. Risiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit kepada end user mempunyai risiko
yang akan ditanggung oleh PT. Y.
d. Prestasi, atau obyek kredit diberikan dalam bentuk uang sejumlah pembelian
kendaraan bermotor yang dimohonkan oleh end user. Prestasi yang wajib
dilakukan oleh end user adalah tidak semata-mata melunasi utangnya tetapi juga
disertai dengan bunga.
Berdasarkan ketentuan dalam perjanjian kerjasama dan Buku Pedoman
Perusahaan tersebut, seharusnya PT. Y bertindak sebagai kuasa dari Bank X untuk
menandatangani perjanjian kredit/pembiayaan dengan end user, sehingga
hubungan hukum yang harusnya terbentuk dari perjanjian yang berjudul
“Perjanjian Pembiayaan Konsumen” tersebut adalah Bank X sebagai Kreditur dan
end user sebagai Debitur.
Pada bagian penutup dari perjanjian kredit ini disebutkan bahwa Bank
sebagai mediasi. Hal yang perlu dicermati adalah dari awal perjanjian Bank sama
sekali tidak disebut sebagai pihak dalam perjanjian tersebut, selain itu kedudukan
Bank sebagai mediasi tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Universitas Indonesia
72
Universitas Indonesia
73
111
Keputusan Direksi Bank X tentang Restrukturisasi, op. cit., Bab I huruf (A).
Universitas Indonesia
74
113
Universitas Indonesia
75
Universitas Indonesia
76
Universitas Indonesia
77
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], op. cit., ps. 1417.
115
Universitas Indonesia
78
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan dalam bab-bab
terdahulu dari tesis ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Permasalahan hukum yang terdapat dalam pelaksanaan kerjasama penyaluran
kredit/pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y dalam rangka penyaluran kredit
ke end user (penerima kredit) adalah sebagai berikut :
a. Ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Kerjasama antara Bank X
dengan PT. Y baik dari segi bahasa maupun materi yang dikandung
banyak memiliki hal-hal yang inkonsistensi sehingga perlu dikaji dari
Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1988 dan Buku
Pedoman Perusahaan Bank X sebagai berikut :
i) Dilihat dari bentuk perjanjian yang mendasari kerjasama ini, yaitu
“Perjanjian Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara
Bank X dengan PT. Y untuk Pembelian Kendaraan Bermotor”,
dan berdasarkan kedudukan hukum Bank X (Pihak Pertama)
dengan PT. Y (Pihak Kedua) sebagai pemberi kuasa dan
penerima kuasa, maka hubungan hukum antara Bank X dengan
PT. Y adalah sebagai mitra usaha sebagaimana dijelaskan dalam
komparisi perjanjian kerjasama.
ii) Berdasarkan hubungan hukum yang ada antara Bank X dengan
PT. Y, sebagai mitra usaha yang diatur dalam perjanjian
kerjasama penyaluran kredit kepada end user, PT. Y bertanggung
jawab hanya terbatas pada pemberian kredit/pembiayaan dan
tindakan wanprestasi dari PT. Y hanya meliputi penyimpangan-
penyimpangan atas penyaluran kredit yang tidak sesuai dengan
perjanjian kerjasama. Dengan demikian, tidak ada kewajiban bagi
PT. Y untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh keadaan
wanprestasi dari end user.Berdasarkan tujuan penyaluran
kredit/pembiayaan sesuai dengan Pasal 2 jo Pasal 3 Perjanjian
Kerjasama bahwa plafond kredit/pembiayaan disalurkan oleh
Bank X kepada end user melalui PT. Y, maka kedudukan PT. Y
dalam perjanjian kerjasama ini bukan sebagai Debitur, melainkan
Universitas Indonesia
79
Universitas Indonesia
80
Universitas Indonesia
81
4.2. Saran
Universitas Indonesia
82
Universitas Indonesia