You are on page 1of 37

pasar tradisional vs hypermart

Pasar tradisional vs hypermart


DENGAN terbitnya Peraturan Presiden RI Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan
pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern, banyak pihak yang
menyatakan Perpres tersebut merupakan ''angin segar" bagi usaha kesil dan menengah
(UKM). Khususnya kawan-kawan yang berkutat dan mencari nafkah dengan mengambil
sebuah pilihan di pasar tardisional. Namun apa benar terbitnya Perpres tersebut
merupakan angin segar?
Ternyata harapan yang ''katanya angin segar'' tersebut tidak sesegar yang didengungkan.
Pertama, secara substansial isi dari Perpres tersebut masih abu-abu. Kedua, di beberapa
daerah, ternyata tidak segera dengan cepat merespons Perpres tersebut dengan membuat
regulasi implementatif berupa peraturan daerah.
Sehingga harapan besar para pedagang kecil dan menengah, pedagang dan pengguna
pasar tradisional, untuk selamat dari gempuran pasar modern masih harus menunggu. Itu
pun kalau tidak keburu mati karena saat ini saja sudah banyak yang sekarat.
Maraknya supermarket, hipermarket, minimarket dan ritel modern lainnya berdampak
sangat buruk terhadap ritel-ritel kecil (tradisional) dan pasar tradisional. Toko modern,
minimarket yang sudah menjamur sampai tingkat kecamatan dan kelurahan yang hampir
semuanya berdekatan dengan pasar tradisional nyata-nyata dan telah terbukti
menyusutkan pendapatan pelaku ritel kecil (tradisional) dan pasar tradisional. Sehingga
tidak aneh kalau sekarang sudah banyak pedagang/pengguna pasar tardisional sampai
pada taraf sekarat.
Jika hal ini tidak dengan cepat segera diambil langkah taktis oleh pemerintah daerah,
mereka saudara-saudara kita yang sekarang sekarat saya rasa tidak perlu butuh waktu
terlalu lama akan segera mati.
Permasalahan sebenarnya dan yang paling krusial disamping profesionalisme,
permodalan dan kenyamanan adalah pengaturan zonasi antara pasar modern,
supermarket, hypermarket dan minimarket dengan pasar tradisional dan warung/toko
yang lebih kecil dari minimarket. Dengan ke-abu-abuan Perpres tersebut teman-teman
para pengguna pasar tradisional masih berusaha untuk mencoba menyadari dan
menunggu, yang mungkin menurut teman-teman tersebut pada akhirnya Perpres akan
diperjelas terutama ''perihal zonasi pasar modern dengan pasar tradisional'' pada peraturan
pendukung lainnya (dibawahnya).
Namun ternyata setelah satu tahun menunggu tepatnya tanggal 12 Desember 2008 terbit
juga yang namanya Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008
yang merupakan penjabaran dari Perpres 112/2007. Terbitnya dua peraturan tersebut
belum juga menyentuh permasalahan krusial dengan memberikan batasan secara jelas
tentang pengaturan zonasi antara toko modern dengan pasar tradisional. Keduanya
(Perpres dan Permendag) ternyata sama abu-abunya.
Perpres 112/2007 Pasal 4 (1) menyebutkan ''Pendirian Pusat perbelanjaan dan toko
modern wajib memperhatikan jarak antara hipermarket dengan pasar tradisional yang
telah ada sebelumnya."
Sedangkan Permendag Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 Pasal 3 (9) ''Pendirian
minimarket baik yang berdiri sendiri maupun yang terintegrasi dengan pusat perbelanjaan
atau bangunan lain wajib memperhatikan keberadaan pasar tradisional dan warung/toko
di wilayah sekitar yang lebih kecil daripada minimarket tersebut.
Kenapa cuma dengan bahasa ''memperhatikan jarak" dan ''memperhatikan keberadaan"
tanpa menyebut secara jelas berapa meter atau berapa kilometer batas minimal kedekatan
antara pasar modern, hypermarket, minimarket dengan pasar tradisional. Padahal hal
itulah yang ditunggu-tunggu oleh pengguna pasar tardisional.
Trading Terms
Dalam Perpres ini menurut penulis setidaknya ada hal yang menarik yang layak
diapresiasi. Yakni terdapatnya pasal khusus dan lumayan detail yang mengatur tentang
Trading Terms. Dimana disebutkan syarat trading terms, biaya yang dikenakan kepada
pemasok adalah biaya yang berhubungan langsung dengan penjualan produk pemasok
seperti regular discount, fixed rebate, condisional rebate, promotion discount, promotion
budget, distribution cost, listing fee.
Khusus mengenai listing fee di Perpres ini disebutkan ''pengenaan listing fee yang wajar".
Meskipun penulis kategorikan menarik namun tetap saja ada pertanyaan yang tidak bisa
terjawab. Pertanyaannya adalah parameter apa yang digunakan untuk mengukur listing
fee yang wajar tersebut dan seberapa kuat pemasok jika berhadapan dengan toko modern
yang pada akhirnya mendapatkan listing fee yang wajar? Untuk itu memang sangat
mutlak diperlukan regulasi tambahan untuk menciptakan kejelasan dan menghilangkan
keabu-abuan ini.

Zonasi
Banyak permasalahan yang dihadapi oleh pasar tradisional ketika berhadapan dengan
pusat perbelanjaan modern, hypermarket, minimarket. Namun permasalahan zonasi
sebagaimana disebutkan dimuka adalah permasalahan yang paling krusial, dengan
terbitnya dua regulasi (Perpres-Permendag) sekalipun ternyata belum juga cukup bisa
menjawab persoalan zonasi. Perpres dan Permendag hanya mengatur supermarket dan
departemen store tidak boleh berlokasi pada sistem jaringan jalan lingkungan dan tidak
boleh berada pada kawasan pelayanan lingkungan di dalam kota/perkotaan.
Jalan lingkungan adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan
dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
Khusus untuk minimarket boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk
sistem jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di
dalam kota. Jalan lingkungan adalah merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah.
Pasar tradisional boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem
jaringan jalan lokal atau jalan lingkungan pada kawasan pelayanan bagian kota/kabupaten
atau lokal atau lingkungan (perumahan) di dalam kota/kabupaten.
Jalan lokal adalah merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat
dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.
Dengan demikian pengaturan zonasi sebagaimana diharapkan pengguna pasar tradisional
belum cukup memuaskan karena keduanya masih abu-abu dan untuk pengaturan zonasi
yang lebih detail Perpres dan Permendag dengan bahasa yang sama persis menyatakan
''Lokasi pendirian pusat perbelanjaan dan pusat toko modern wajib mengacu pada
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Rencana Detail Tata Ruang
kabupaten/Kota termasuk zonasinya".
Itu berarti regulasi lanjutan yang bersifat implementatif diserahkan kepada peraturan
daerah.
Kelemahan poin ini adalah sudah menjadi kebiasaan dan jamak bahwa Peraturan Daerah
yang mengatur tentang Tata Ruang /Rencana detail Tata Ruang Wilayah seringkali
dilanggar oleh yang seharusnya menegakkannya. Tentunya dengan berbagai macam dalih
dan alasan demi meloloskan kepentingan tertentu.

Kepemilikan
Yang juga sangat menggembiarakan adalah ketentuan Permendag 53/M-
DAG/PER/12/2008 Pasal 3 (10) ''Pendirian minimarket baik yang berdiri sendiri maupun
yang berintegrasi dengan pusat perbelanjaan modern diutamakan untuk diberikan kepada
pelaku usaha yang domisilinya sesuai dengan lokasi minimarket dimaksud."
Jika pasal ini mampu dilaksanakan dengan baik sudah lumayan cukup untuk dijadikan
sebagai obat dari korban tidak adanya regulasi yang berpihak kepada masyarakat yang
kebetulan tergolong sebagai pemodal kecil.

Sanksi
Kedua Peraturan tersebut (Perpres dan Permendag) belum cukup mengatur tentang sanksi
yang diakibatkan oleh pihak-pihak yang melakukan pelanggaran, baik pelanggaran pasal
per-pasal maupun pelanggaran kolektivitas dari beberapa pasal. Untuk itu kita sementara
cuma bisa berharap banyak terhadap lahirnya peraturan daerah yang diharapkan bisa
menjawab kebutuhan pengguna pasar tradisional dan memuat sanksi yang sangat bisa
menjamin dilaksanakannya peraturan daerah dengan penuh tanggung jawab.

Untuk itu kita tunggu aksi pemerintah daerah dalam menindaklanjuti Perpres dan
Permendag ini, dan dari kecepatan penerbitan serta isi dari peraturan daerah tersebut kita
bisa memotret sampai sejauh mana tingkat kepekaan pemerintah daerah dalam
memahami nasib saudara-saudara kita pengguna pasar tradisional. Masyarakat juga tidak
boleh hanya pasrah, namun harus selalu melakukan kontrol, pengawalan dan pemerintah
daerah mutlak harus memberikan ruang yang cukup atas keterlibatan masyarakat secara
aktif terhadap munculnya regulasi di tingkat pemerintah daerah .
Bolehlah kita berharap banyak namun rasanya hampir tidak mungkin bisa terlaksana aksi
pemerintah daerah dalam waktu dekat ini, terutama disebabkan seluruh anggota DPRD-
nya yang juga punya hak inisiatif untuk membuat peraturan daerah saat ini ''disibukkan"
berpikir tentang strategi apa yang harus diterapkan pada Pemilu 2009 supaya beliau-
beliau yang terhormat terpilih kembali.
Jika demikian adanya masyarakat harus bersabar, bersabar dan bersabar lagi untuk
menunggu regulasi berupa peraturan daerah yang mengatur zonasi pasar modern-pasar
tradisioonal sampai dengan dilantiknya anggota DPRD Periode 2009-2014, untuk itu
sangat perlu dan mutlak kiranya masyarakat dalam menentukan pilihannya lebih
memprioritaskan kepada figur-figur yang terbukti mempunyai kepekaan dan kemampuan
untuk ''memperjuangkan sampai berhasil'' terhadap perubahan nasib masyarakat yang
termarginalkan oleh sistem dan keadaan terutama nasib pedagang kecil, UKM dan pasar
tradisional. (*)

http://www.radarmojokerto.co.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=2199
Kesimpulan dari bacaan diatas :
dalam pembangunan pasar tradisional maupun pasar modern (hypermarket) memiliki
undang-undang khusus atau peraturan ayng harus dipatuhi dan dilakukan. Seperi
pentingnya surat – surat mengenai hak kepemilikan pasar yang akan didirikan. Lalu
lingkungan dari pasar tersebut apakah memenuhi kemungkinan akan kestrategisan letak
pasar. Adanya macam atau syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan suatu pasar
dalam lingkungan masyarakat.

KUR PENGGERAK UMKM

Jakarta, 2 Juli 2009 (Business News)

Salah satu wujud dari maju dan mandirinya suatu bangsa adalah tenaganya stabilitas
perekonomian guna kemakmuran rakyatnya. Indonesia merupakan negara peringkat
ketiga terbanyak jumlah penduduknya di Asia, peringkat pertama adalah negara China
dengan jumlah penduduk mencapai 1,3 miliar jiwa kemudian di susul negara India
dengan jumlah penduduk mencapai 1,1 miliar jiwa kemudian Indonesia dengan jumlah
penduduk mencapai 230 juta jiwa. Dengan begitu penanganan permasalahan
kependudukan di Indonesia pun juga cukup rumit.

Salah satu permasalahan krusial yang di hadapi bangsa ini adalah masih tingginya angka
kemiskinan dan pengangguran yang hingga saat ini masih belum bisa terselesaikan.
Untuk itu berbagai macam program dalam upaya peningkatan ekonomi kerakyatan pun
perlu di sinergikan. Salah satu cara guna mengatasi masalah pengangguran dan dalam
rangka meningkatkan perekonomian rakyat di tengah krisis keuangan global saat ini
yakni dengan cara menanamkan jiwa kewirausahaan kepada masyarakat, mendorong agar
supaya masyarakat mau membuka usaha/bisnis seperti dalam bentuk usaha mikro, kecil
dan menengah misalnya. Karena usaha ini sudah terbukti mampu menciptakan lapangan
kerja baru dan meningkatkan perekonomian rakyat.

Di Indonesia jumlah usaha mikro kecil, menengah mencapai 91 persen dari jumlah usaha
yang ada di Indonesia dan usaha ini mampu menampung tenaga kerja hingga 95 persen
dari total tenaga kerja yang ada yang saat ini mencapai 126 juta orang. Namun demikian,
seiring dengan krisis keuangan global saat ini sektor usaha kecil pun tidak luput dari
imbasnya.

Permasalahan utama yang di hadapi usaha mikro kecil menengah pada umumnya adalah
kurangnya permodalan, akibat krisis global industri ini semakin sulit untuk memperoleh
modal dari perbankkan, karena di samping Wni bank mengurangi jumlah likuiditas
kreditnya, suku bunga perbankkan juga cukup tinggi yakni di kisaran 16-18 persen.
Untuk itu, pemerintah dalam rangka membantu permasalahan yang di hadapi para pelaku
usaha mikro kecil, menengah yakni dengan melakukan program Kredit Usaha Rakyat
(KUR).
Pada bulan November 2007 presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan Kredit
Usaha Rakyat (KUR) yang merupakan perwujudan dari program kebijakan percepatan
sektor riil, pemberdayaan usaha mikro kecil menengah dalam rangka meningkatkan
perekonomian bangsa pada umumnya dan masyarakat kecil pada khususnya. Dalam
pelaksanaannya pemerintah menunjuk 6 bank pelaksana Kredit Usaha Rakyat (KUR)
yakni BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin dan Bank Syariah
Mandiri. Sedangkan kredit tersebut mendapatkan penjaminan dari pemerintah melalui
FT. Askrindo dan Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU), dalam skema penjaminan
tersebut Askrido dan Perum SPU memberikan jaminan sampai 70 persen dari nilai kredit.

Pada awalnya plafom kredit KUR maksimal Rp500 juta per debitur atau per usaha mikro
kecil, menengah, sementara tingkat suku bunga pembiayaan maksimal 16 persen per
tahun dan kredit di berikan kepada kegiatan produktif yang layak sesuai kriteria yang di
tentukan oleh perbankkan yang bersangkutan (bank yang di tunjuk). Pada umumnya
semua kredit di mana pun dan berapa pun besarannyaperbankan akan selalu minta agunan
dari debitur. Namun kalau untuk KUR sudah di jamin oleh lembaga penjamin kredit
dalam hal ini PT. Askrindo dan Perum SPU 70 persen dan 30 persennya oleh bank.
Program KUR dengan jaminan ini di fokuskan pada lima sektor usaha yakni kelautan,
pertanian, kehutanan, perindustrian dan perdagangan.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara Koperasi dan UKM untuk ke depan
berencana untuk segera menurunkan plafon pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari
maksimal RpSOO juta per debitur menjadi Rp50 juta per debitur, hal ini dimaksudkan
agar program KUR dapat menjangkau lebih luas dan lebih banyak usaha-usaha skala
mikro, karena jumlah populasi usaha bersekala mikro kecil, dalam hal ini sebagai pelaku
pada umumnya adalah rakyat sangat besar.

Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM sejak program KUR di luncurkan
pemerintah pada 5 November 2007 hingga akhir tahun 2007, realisasi kredit KUR
mencapai Rp485 miliar, sementara selama kurun waktu tahun 2008 realisasi penyaluran
kredit usaha rakyat mencapai Rpl4,5 triliun. Pemerintah pada tahun 2009 melanjutkan
program KUR dengan menyediakan dana tambahan RplO triliun, sehingga akumulasi
dana yang beredar pada Usaha Mikro Kecil, Menengah (UMKM) mencapai Rp25,5
triliun.

Pentingnya pengembangan UMKM bagi peningkatan perekonomian rakyat pada


khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya sudah jelas sehingga peranannya
perlu ditingkatkan.

Program KUR hingga saat ini dalam pelaksanaannya masih mengalami kendala,
diantaranya mengenai kebijakan perbankan terkait likuiditas perbankan, lembaga
penjamin yang masih belum maksimal, serta masih banyaknya usaha mikro kecil dan
orang miskin yang tidak mendapatkan akses keuangan karena mereka berada di luar
target sasaran. Sebagai contoh masih banyak di temukan pedagang-pedagang di pasar
tradisional yang masih terjerat oleh rentenir dan kredit harian yang bunganya mencekik.
Untuk itu, ada beberapa langkah strategis yang bisa di jadikan acuan agar akses dan
akselerasi penyaluran KUR dapat optimal. Pertama, Pemerintah agar selalu simultan
melibatkan perbankannasional untuk menyalurkan KUR ke sektor-sektor produktif.
Perluasan akses KUR dengan melibatkan bank umum akan membawa keuntungan bagi
wirausaha UMKM, sektor perbankan dan pemerintah. Sisi positifnya antara lain
peningkatan kinerja pelayanan dan penurunan suku bunga sebagai dampak dari kompetisi
antar bank yang menyalurkan kredit. Kedua. Menambah cannel penyaluran kredit KUR
dengan menyertakanlembaga keuangan yang dimiliki pemerintah seperti perum
pegadaian serta lembaga venture capital milik pemda. Secara komulatif kapasitas dan
jumlah jaringan lembaga tersebut cukup luas serta lebih berpengalaman dalam
menyalurkan pembiayaan kredit pada UMKM, Ketiga. Segera melaksanakan dan
memperkuat linkage program bankumum dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan
bank umum dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) untuk menyalurkan kredit.

Pada prinsipnya program KUR yang di terapkan pemerintah, guna membantu para pelaku
industri kecil menengah cukup berhasil, hal ini terlihat dari tingkat kegagalan
pengembalian kredit (NPL) program ini yang jumlahnya masih rasional yakni sekitar 3
persen.

Saat ini masih banyak pelaku UMKM menunggu akses KUR. Kita berharap program
KUR untuk ke depan dapat sukses dan benar-benar menjadi penggerak sektor riil dan
UMKM di Indonesia.

Ketepatan sasaran dan pelaksanaan management yang baik sangat di perlukan untuk
menunjang kesuksesan program ini, yang pada akhirnya penyaluran KUR sesuai dengan
yang di harapkan, sehingga sektor usaha mikro kecil, menengah tetap terus menjadi
bagian yang signifikan sebagai penopang dan penggerak peningkatan ekonomi rakyat
(Mn)

Oleh:
A. Sholikhin Ruslie*

DENGAN
terbitnya Peraturan Presiden RI Nomor 112 Tahun
2007 tentang Penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat
perbelanjaan dan toko modern, banyak pihak yang menyatakan Perpres
tersebut merupakan ''angin segar" bagi usaha kesil dan menengah (UKM). Khususnya
kawan-kawan yang berkutat dan mencari nafkah dengan mengambil sebuah pilihan di
pasar tardisional. Namun apa benar terbitnya Perpres tersebut merupakan angin
segar?

Ternyata
harapan yang ''katanya angin segar'' tersebut tidak sesegar yang
didengungkan. Pertama, secara substansial isi dari Perpres tersebut
masih abu-abu. Kedua, di beberapa daerah, ternyata tidak segera dengan
cepat merespons Perpres tersebut dengan membuat regulasi implementatif berupa
peraturan
daerah.

Sehingga
harapan besar para pedagang kecil dan menengah, pedagang dan pengguna pasar
tradisional, untuk selamat dari gempuran pasar modern masih harus menunggu. Itu
pun kalau tidak keburu mati karena saat ini saja sudah banyak yang
sekarat.

Maraknya
supermarket, hipermarket, minimarket dan ritel modern lainnya berdampak sangat
buruk terhadap ritel-ritel kecil (tradisional) dan pasar tradisional.
Toko modern, minimarket yang sudah menjamur sampai tingkat kecamatan dan
kelurahan yang hampir semuanya berdekatan dengan pasar tradisional nyata-nyata
dan telah terbukti menyusutkan pendapatan pelaku ritel kecil (tradisional) dan
pasar tradisional. Sehingga tidak aneh kalau sekarang sudah banyak
pedagang/pengguna pasar tardisional sampai pada taraf sekarat.

Jika
hal ini tidak dengan cepat segera diambil langkah taktis oleh pemerintah daerah,
mereka saudara-saudara kita yang sekarang sekarat saya rasa tidak perlu butuh
waktu terlalu lama akan segera mati.

Permasalahan
sebenarnya dan yang paling krusial disamping profesionalisme, permodalan dan
kenyamanan adalah pengaturan zonasi antara pasar modern, supermarket, hypermarket
dan minimarket dengan pasar tradisional dan warung/toko yang
lebih kecil dari minimarket. Dengan ke-abu-abuan Perpres tersebut teman-teman
para pengguna pasar tradisional masih berusaha untuk mencoba menyadari dan
menunggu, yang mungkin menurut teman-teman tersebut pada akhirnya Perpres akan
diperjelas terutama ''perihal zonasi pasar modern dengan pasar tradisional''
pada peraturan pendukung lainnya (dibawahnya).

Namun
ternyata setelah satu tahun menunggu tepatnya tanggal 12 Desember 2008 terbit
juga yang namanya Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor
53/M-DAG/PER/12/2008 yang merupakan penjabaran dari Perpres 112/2007.
Terbitnya dua peraturan tersebut belum juga menyentuh permasalahan krusial
dengan memberikan batasan secara jelas tentang pengaturan zonasi antara toko modern
dengan pasar tradisional. Keduanya (Perpres dan Permendag) ternyata sama
abu-abunya.

Perpres
112/2007 Pasal 4 (1) menyebutkan ''Pendirian Pusat perbelanjaan dan toko modern
wajib memperhatikan jarak antara hipermarket dengan pasar tradisional yang
telah ada sebelumnya."

Sedangkan
Permendag Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 Pasal 3 (9) ''Pendirian minimarket
baik yang berdiri sendiri maupun yang terintegrasi dengan pusat
perbelanjaan atau bangunan lain wajib memperhatikan keberadaan
pasar tradisional dan warung/toko di wilayah sekitar yang lebih kecil daripada
minimarket tersebut.

Kenapa
cuma dengan bahasa ''memperhatikan jarak" dan ''memperhatikan keberadaan"
tanpa menyebut secara jelas berapa meter atau berapa kilometer batas
minimal kedekatan antara pasar modern, hypermarket, minimarket dengan pasar
tradisional. Padahal hal itulah yang ditunggu-tunggu oleh pengguna pasar
tardisional.

Trading Terms
Dalam
Perpres ini menurut penulis setidaknya ada hal yang menarik yang layak
diapresiasi. Yakni terdapatnya pasal khusus dan lumayan detail yang mengatur
tentang Trading Terms. Dimana disebutkan syarat trading terms, biaya yang
dikenakan kepada pemasok adalah biaya yang berhubungan langsung dengan
penjualan produk pemasok seperti regular discount, fixed rebate,
condisional rebate, promotion discount, promotion budget, distribution
cost, listing fee.

Khusus
mengenai listing fee di Perpres ini disebutkan ''pengenaan listing fee
yang wajar". Meskipun penulis kategorikan menarik namun tetap saja ada
pertanyaan yang tidak bisa terjawab. Pertanyaannya adalah parameter apa
yang digunakan untuk mengukur listing fee yang wajar tersebut dan
seberapa kuat pemasok jika berhadapan dengan toko modern yang pada akhirnya
mendapatkan listing fee yang wajar? Untuk itu memang sangat
mutlak diperlukan regulasi tambahan untuk menciptakan kejelasan dan
menghilangkan keabu-abuan ini.

Zonasi

Banyak
permasalahan yang dihadapi oleh pasar tradisional ketika berhadapan dengan pusat
perbelanjaan modern, hypermarket, minimarket. Namun permasalahan
zonasi sebagaimana disebutkan dimuka adalah permasalahan yang
paling krusial, dengan terbitnya dua regulasi (Perpres-Permendag) sekalipun
ternyata belum juga cukup bisa menjawab persoalan zonasi. Perpres dan Permendag
hanya mengatur supermarket dan departemen store tidak boleh
berlokasi pada sistem jaringan jalan lingkungan dan tidak boleh berada
pada kawasan pelayanan lingkungan di dalam kota/perkotaan.

Jalan
lingkungan adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan
ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
Khusus
untuk minimarket boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk
sistem jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan
(perumahan) di dalam kota. Jalan lingkungan adalah merupakan jalan umum yang
berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat,
kecepatan rata-rata rendah.

Pasar tradisional boleh berlokasi


pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan
jalan lokal atau jalan
lingkungan pada kawasan pelayanan bagian kota/kabupaten atau lokal atau lingkungan
(perumahan) di dalam kota/kabupaten.

Jalan lokal adalah merupakan


jalan umum yang berfungsi
melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata
rendah, dan jumlah
jalan masuk tidak dibatasi.

Dengan
demikian pengaturan zonasi sebagaimana diharapkan pengguna pasar tradisional
belum cukup memuaskan karena keduanya masih abu-abu dan untuk pengaturan zonasi
yang lebih detail Perpres dan Permendag dengan bahasa yang sama persis
menyatakan ''Lokasi pendirian pusat perbelanjaan dan pusat toko modern wajib
mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Rencana Detail
Tata Ruang kabupaten/Kota termasuk zonasinya".

Itu
berarti regulasi lanjutan yang bersifat implementatif diserahkan
kepada peraturan daerah.

Kelemahan
poin ini adalah sudah menjadi kebiasaan dan jamak bahwa Peraturan
Daerah yang mengatur tentang Tata Ruang /Rencana detail Tata Ruang Wilayah
seringkali dilanggar oleh yang seharusnya menegakkannya. Tentunya dengan
berbagai macam dalih dan alasan demi meloloskan kepentingan tertentu.

Kepemilikan

Yang
juga sangat menggembiarakan adalah ketentuan Permendag 53/M-DAG/PER/12/2008
Pasal 3 (10) ''Pendirian minimarket baik yang berdiri sendiri maupun yang
berintegrasi dengan pusat perbelanjaan modern diutamakan untuk diberikan kepada
pelaku usaha yang domisilinya sesuai dengan lokasi minimarket dimaksud."

Jika
pasal ini mampu dilaksanakan dengan baik sudah lumayan cukup untuk dijadikan
sebagai obat dari korban tidak adanya regulasi yang berpihak kepada
masyarakat yang kebetulan tergolong sebagai pemodal kecil.

Sanksi

Kedua
Peraturan tersebut (Perpres dan Permendag) belum cukup mengatur tentang sanksi
yang diakibatkan oleh pihak-pihak yang melakukan pelanggaran, baik pelanggaran
pasal per-pasal maupun pelanggaran kolektivitas dari beberapa pasal. Untuk itu
kita sementara cuma bisa berharap banyak terhadap lahirnya peraturan daerah
yang diharapkan bisa menjawab kebutuhan pengguna pasar tradisional dan memuat
sanksi yang sangat bisa menjamin dilaksanakannya peraturan daerah dengan penuh
tanggung jawab.
Untuk
itu kita tunggu aksi pemerintah daerah dalam menindaklanjuti Perpres dan
Permendag ini, dan dari kecepatan penerbitan serta isi dari peraturan daerah
tersebut kita bisa memotret sampai sejauh mana tingkat kepekaan pemerintah
daerah dalam memahami nasib saudara-saudara kita pengguna pasar tradisional.
Masyarakat juga tidak boleh hanya pasrah, namun harus selalu melakukan kontrol,
pengawalan dan pemerintah daerah mutlak harus memberikan ruang yang cukup atas
keterlibatan masyarakat secara aktif terhadap munculnya regulasi di tingkat
pemerintah daerah .

Bolehlah
kita berharap banyak namun rasanya hampir tidak mungkin bisa terlaksana aksi
pemerintah
daerah dalam waktu dekat ini, terutama disebabkan seluruh anggota DPRD-nya yang
juga punya hak inisiatif untuk membuat peraturan daerah saat ini ''disibukkan"
berpikir tentang strategi apa yang harus diterapkan pada Pemilu 2009 supaya
beliau-beliau yang terhormat terpilih kembali.

Jika
demikian adanya masyarakat harus bersabar, bersabar dan bersabar lagi untuk
menunggu regulasi berupa peraturan daerah yang mengatur zonasi pasar
modern-pasar tradisioonal sampai dengan dilantiknya anggota DPRD Periode
2009-2014, untuk itu sangat perlu dan mutlak kiranya masyarakat dalam
menentukan pilihannya lebih memprioritaskan kepada figur-figur yang terbukti
mempunyai kepekaan dan kemampuan untuk ''memperjuangkan sampai berhasil''
terhadap perubahan nasib masyarakat yang termarginalkan oleh sistem dan keadaan
terutama nasib pedagang kecil, UKM dan pasar tradisional. (*)

*) Penulis adalah Penasehat Paguyuban Pedagang Pasar


Mojoagung-Jombang.

Pasar Tradisional di Tengah Arus Modernitas

19 Feb 2010 Tinggalkan sebuah Komentar

by kiptykipty in Urban Planning Things


PENDAHULUAN

Manusia telah mengenal dan melakukan kegiatan jual-beli sejak mengenal peradaban
sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan. Dalam kegiatan jual beli, keberadaan pasar
merupakan salah satu hal yang paling penting karena merupakan tempat untuk
melakukan kegiatan tersebut selain menjadi salah satu indikator paling nyata kegiatan
ekonomi masyarakat di suatu wilayah.

Sama halnya dengan bangsa lain, bangsa Indonesia telah lama mengenal pasar khususnya
pasar tradisional. Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia pasar berarti tempat
orang berjual beli sedangkan tradisional dimaknai sikap dan cara berpikir serta bertindak
yang selalu berpegang kepada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun.
Berdasarkan arti diatas, maka pasar tradisional adalah tempat orang berjual beli yang
berlangsung di suatu tempat berdasarkan kebiasaan. Di Indonesia, keberadaan pasar
tradisional bukan semata urusan ekonomi tetapi lebih jauh kepada norma, ranah budaya,
sekaligus peradaban yang berlangsung sejak lama di berbagai wilayah di Indonesia.

Di tengah arus modernitas, keberadaan pasar tradisional sebagai suatu budaya bangsa saat
ini mencoba untuk bertahan dan mengembangkan diri agar mampu bersaing di tengah
arus tersebut. Liberalisasi investasi yang makin tidak terbendung telah membuat pasar
tradisional semakin terdesak dengan bermunculannya pasar modern yang menawarkan
lebih banyak keunggulan komoditi, harga serta kenyaman. Kenyataan tersebut telah
membuat masyarakat Indonesia berpaling dari bagian kebudayaan dan beralih kepada
kehidupan modern yang serba praktis dengan intensitas interaksi yang minim.

Menyikapi kenyataan bahwa keberadaan pasar tradisional saat ini makin terdesak
munculah suatu pertanyaan yaitu mampukah pasar tradisional bertahan di tengah arus
modernitas yang terjadi?. Hal tersebutlah yang patut kita renungkan agar pasar tradisonal
tetap dapat menunjukkan eksistensinya sebagai bagian kebudayaan, tidak semata tempat
bernilai ekonomi yang dapat hilang oleh arus modernitas.

PEMBAHASAN

Berdasarkan Perpres No. 112 tahun 2007, pasar tradisional adalah pasar yang dibangun
dan dikelola oleh pemerintah, pemda, swasta, BUMN dan BUMD, termasuk kerja sama
dengan swasta, dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki atau
dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan
usaha skala kecil, modal kecil, dan dengan proses jual beli dagangan melalui tawar-
menawar.

Sebagai salah satu bagian dari aktivitas ekonomi wilayah, pasar tradisional memiliki
fungsi dan peranan yang tidak terpisahkan dari kegiatan masyarakat di wilayah tersebut.
Berikut adalah fungsi pasar tradisional:
1. Pusat kegiatan sosial ekonomi kerakyatan
2. Pusat pertemuan, pusat pertukaran informasi dan aktivitas kesenian rakyat.

Sedangkan peranan pasar tradisional adalah:

1. Pusat distribusi barang


2. Menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar
3. Penggerak perekonomian yang mengembangkan wilayah baik desa maupun kota

Pasar tradisional merupakan salah satu sektor dari prasarana wilayah dan kota. Oleh
karena itu, pasar tradisional juga memiliki prinsip distribusi seperti layaknya sektor lain
yaitu:

1. Jumlah penduduk yang dilayani ±30.000 jiwa dengan standar 0,33 m2/jiwa
2. Jangkauan pelayanan rata-rata sebesar 1.56 km dan dapat dijangkau dengan
kendaraan umum

Seperti layaknya sektor prasarana wilayah dan kota yang lain, pasar tradisional memiliki
beberapa permasalahan yang kompleks untuk saat ini. Beberapa permasalahan tersebut
antara lain :

1. Berkurangnya 60% pengunjung pasar sejak ada Hypermart


2. Modernisasi pasar oleh swasta secara tidak langsung malah menggusur pedagang
lama karena tidak kuat menyewa kembali kios di pasar yang dipugar.
3. Persaingan tidak seimbang, pertumbuhan PT 5%, pertumbuhan Hypermarket 16%
(AC Nielsen.2004)
4. Sumbangan Retribusi PAD pada Pemda masih sangat kecil. Misalnya, gabungan
seluruh pasar tradisional di sebuah kota hanya memberi restribusi 300 juta rupiah
per tahun.
5. SDM dalam pengelolaan pasar tradisional masih rendah sehingga rendah pula
fungsi kontrol dan manajemen
6. Pergeseran Trend berbelanja segmen Menengah Atas yang lebih suka belanja di
Mall
7. Fisik bangunan yang tidak terawat

Penyebab utama tidak berkembangnya pasar tradisional saat ini sebagian besar berasal
dari kondisi fisik dari pasar itu sendiri. Seperti yang kita tahu, image pasar tradisional di
masyarakat saat ini adalah tempat berdagang yang bau, pengap, becek dan jorok.
Kenyataan itulah yang membuat para pengunjung pasar tradisional beralih memilih pasar
modern dan hypermart yang lebih menawarkan kelengkapan dan kenyamanan berbelanja
dibandingkan pasar tradisional.

Selain keadaan fisik yang kalah bersaing dengan pasar modern, saat ini pasar tradisional
tidak memiliki suatu ciri khas yang menonjol dibandingkan pasar modern. Jika dahulu
pasar tradisional menawarkan harga barang yang murah dengan adanya tawar-menawar,
namun saat ini berbagai hypermart menawarkan diskon-diskon menarik yang membuat
para konsumen semakin melupakan keberadaan pasar tradisional.

Menanggapi fenomena tergilasnya pasar tradisional oleh modernisasi, kita harus mulai
bergerak untuk mempertahankan keberadaan pasar tradisional sebagai warisan budaya
leluhur. Perlu kita sadari bahwa pasar tradisional saat ini bukan satu-satunya pusat
perdagangan, oleh karena itu suatu strategi pengembangan sangat dibutuhkan agar pasar
tradisional dapat menjalankan kembali fungsi dan peranannya.

Menanggapi fenomena diatas, solusi mutakhir yang dapat dijalankan antara lain:

1. Memperbaiki citra pasar tradisional di mata masyarakat

Seperti yang kita tahu, citra pasar tradisional saat ini tidak bagus lagi di mata masyarakat.
Oleh karena itu, perbaikan citra pasar tradisional dapat dilakukan dengan memperbaiki
sarana dan prasarana seperti tempat parkir, sirkulasi udara, kebersihan, keamanan dan
penerangan agar kesan sumpek, pengap dan kotor yang melekat di citra pasar tradisional
dapat dihilangkan.

a2. Menonjolkan ciri khas tertentu tiap pasar tradisional

Dengan adanya spesialisasi barang dagangan di tiap pasar, konsumen akan makin tertarik
karena dapat mengunjungi pasar sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai contoh ciri khas
yang dapat diangkat adalah pasar burung, pasar tekstil dan garment, pasar barang bekas,
pasar obat-obatan, pasar oleh-oleh dan lain-lain.

3. Aplikasi konsep-konsep baru yang mendukung

Beberapa konsep yang dapat diaplikasikan antara lain town market, street market,
waterfront market dan night market. Konsep street market misalnya, dapat dijalankan
dengan menghubungkan beberapa pasar tradisional yang lokasinya berdekatan dengan
interconecting walkways agar memiliki keunikan kolektif yang saling melengkapi.

4. Manajemen Pasar

Upaya manajemen pasar dapat dilakukan dengan perbaikan sistem distribusi, perbaikan
manajemen pengelolaan dan pengaturan zoning pasar tradisional dengan pasar modern.

Sebagai contoh pengembangan pasar tradisional dengan menerapkan ide penonjolan ciri
khas adalah di pasar Klewer sebagai pasar tekstil penopang pertumbuhan ekonomi Kota
Solo yang keberadaannya tak bisa lepas dari jalinan industri batik yang banyak
berkembang di Laweyan maupun Kauman yang juga telah berlangsung lama. Di
Surabaya sendiri, contoh pasar tradisional yang menjadi ramai dikunjungi setelah
dilakukan revitalisasi adalah pasar Soponyono Rungkut dengan penambahan fasilitas
parkir dan peningkatan kebersihan fisik di dalam pasar. Dengan contoh diatas diharapkan
pasar tradisional lain dapat menyusul keberhasilan pasar-pasar tersebut dalam
mempertahankan eksistensinya di dunia modern saat ini.

KESIMPULAN

Pasar tradisional mempunyai fungsi dan peranan yang tidak hanya sebagai tempat
perdagangan tetapi juga sebagai peninggalan kebudayaan yang telah ada sejak jaman
dahulu. Saat ini perlu kita sadari bahwa pasar tradisional bukan satu-satunya pusat
perdagangan. Semakin banyaknya pusat perdagangan lain seperti pasar modern,
hypermart dan Mall membuat pasar tradisional harus mampu bertahan dalam persaingan
agar tidak tergilas oleh arus modernisasi. Berbagai upaya yang dapat kita lakukan antara
lain memperbaiki citra pasar tradisional di mata masyarakat, menonjolkan ciri khas
tertentu tiap pasar tradisional, aplikasi konsep-konsep baru yang mendukung dan
manajemen pasar dapat membantu mengatasi berbagai permasalahan pasar tradisional
agar peninggalan kebudayaan ini tidak tergilas oleh arus modernitas.

DAFTAR PUSTAKA

- IDP.2006.Proposal Peningkatan Sarana dan Prasarana Pasar Tradisional. diunduh


tanggal 5 Maret 2009 dari http://www.kbrikualalumpur.org/id/perdagangan/pasar-
koridor-ekonomi-v3-idp.pdf

- Koesworodjati,Yudhi.2009.Pasar Tradisional:Aset Ekonomi Daerah.diunduh


tanggal 3 maret 2009 dari http://www.galamedia.ws/content/view/2247/888889/

- Napitupulu,Albert.2005.Masa Depan Pasar Tradisional.


diunduh tanggal 17 maret 2009 dari Pasar Tradisional di
Tengah Arus Modernitas

19 Feb 2010 Tinggalkan sebuah Komentar

by kiptykipty in Urban Planning Things

PENDAHULUAN

Manusia telah mengenal dan melakukan kegiatan jual-beli sejak mengenal peradaban
sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan. Dalam kegiatan jual beli, keberadaan pasar
merupakan salah satu hal yang paling penting karena merupakan tempat untuk
melakukan kegiatan tersebut selain menjadi salah satu indikator paling nyata kegiatan
ekonomi masyarakat di suatu wilayah.

Sama halnya dengan bangsa lain, bangsa Indonesia telah lama mengenal pasar khususnya
pasar tradisional. Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia pasar berarti tempat
orang berjual beli sedangkan tradisional dimaknai sikap dan cara berpikir serta bertindak
yang selalu berpegang kepada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun.
Berdasarkan arti diatas, maka pasar tradisional adalah tempat orang berjual beli yang
berlangsung di suatu tempat berdasarkan kebiasaan. Di Indonesia, keberadaan pasar
tradisional bukan semata urusan ekonomi tetapi lebih jauh kepada norma, ranah budaya,
sekaligus peradaban yang berlangsung sejak lama di berbagai wilayah di Indonesia.

Di tengah arus modernitas, keberadaan pasar tradisional sebagai suatu budaya bangsa saat
ini mencoba untuk bertahan dan mengembangkan diri agar mampu bersaing di tengah
arus tersebut. Liberalisasi investasi yang makin tidak terbendung telah membuat pasar
tradisional semakin terdesak dengan bermunculannya pasar modern yang menawarkan
lebih banyak keunggulan komoditi, harga serta kenyaman. Kenyataan tersebut telah
membuat masyarakat Indonesia berpaling dari bagian kebudayaan dan beralih kepada
kehidupan modern yang serba praktis dengan intensitas interaksi yang minim.

Menyikapi kenyataan bahwa keberadaan pasar tradisional saat ini makin terdesak
munculah suatu pertanyaan yaitu mampukah pasar tradisional bertahan di tengah arus
modernitas yang terjadi?. Hal tersebutlah yang patut kita renungkan agar pasar tradisonal
tetap dapat menunjukkan eksistensinya sebagai bagian kebudayaan, tidak semata tempat
bernilai ekonomi yang dapat hilang oleh arus modernitas.

PEMBAHASAN

Berdasarkan Perpres No. 112 tahun 2007, pasar tradisional adalah pasar yang dibangun
dan dikelola oleh pemerintah, pemda, swasta, BUMN dan BUMD, termasuk kerja sama
dengan swasta, dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki atau
dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan
usaha skala kecil, modal kecil, dan dengan proses jual beli dagangan melalui tawar-
menawar.

Sebagai salah satu bagian dari aktivitas ekonomi wilayah, pasar tradisional memiliki
fungsi dan peranan yang tidak terpisahkan dari kegiatan masyarakat di wilayah tersebut.
Berikut adalah fungsi pasar tradisional:

1. Pusat kegiatan sosial ekonomi kerakyatan


2. Pusat pertemuan, pusat pertukaran informasi dan aktivitas kesenian rakyat.

Sedangkan peranan pasar tradisional adalah:

1. Pusat distribusi barang


2. Menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar
3. Penggerak perekonomian yang mengembangkan wilayah baik desa maupun kota

Pasar tradisional merupakan salah satu sektor dari prasarana wilayah dan kota. Oleh
karena itu, pasar tradisional juga memiliki prinsip distribusi seperti layaknya sektor lain
yaitu:
1. Jumlah penduduk yang dilayani ±30.000 jiwa dengan standar 0,33 m2/jiwa
2. Jangkauan pelayanan rata-rata sebesar 1.56 km dan dapat dijangkau dengan
kendaraan umum

Seperti layaknya sektor prasarana wilayah dan kota yang lain, pasar tradisional memiliki
beberapa permasalahan yang kompleks untuk saat ini. Beberapa permasalahan tersebut
antara lain :

1. Berkurangnya 60% pengunjung pasar sejak ada Hypermart


2. Modernisasi pasar oleh swasta secara tidak langsung malah menggusur pedagang
lama karena tidak kuat menyewa kembali kios di pasar yang dipugar.
3. Persaingan tidak seimbang, pertumbuhan PT 5%, pertumbuhan Hypermarket 16%
(AC Nielsen.2004)
4. Sumbangan Retribusi PAD pada Pemda masih sangat kecil. Misalnya, gabungan
seluruh pasar tradisional di sebuah kota hanya memberi restribusi 300 juta rupiah
per tahun.
5. SDM dalam pengelolaan pasar tradisional masih rendah sehingga rendah pula
fungsi kontrol dan manajemen
6. Pergeseran Trend berbelanja segmen Menengah Atas yang lebih suka belanja di
Mall
7. Fisik bangunan yang tidak terawat

Penyebab utama tidak berkembangnya pasar tradisional saat ini sebagian besar berasal
dari kondisi fisik dari pasar itu sendiri. Seperti yang kita tahu, image pasar tradisional di
masyarakat saat ini adalah tempat berdagang yang bau, pengap, becek dan jorok.
Kenyataan itulah yang membuat para pengunjung pasar tradisional beralih memilih pasar
modern dan hypermart yang lebih menawarkan kelengkapan dan kenyamanan berbelanja
dibandingkan pasar tradisional.

Selain keadaan fisik yang kalah bersaing dengan pasar modern, saat ini pasar tradisional
tidak memiliki suatu ciri khas yang menonjol dibandingkan pasar modern. Jika dahulu
pasar tradisional menawarkan harga barang yang murah dengan adanya tawar-menawar,
namun saat ini berbagai hypermart menawarkan diskon-diskon menarik yang membuat
para konsumen semakin melupakan keberadaan pasar tradisional.

Menanggapi fenomena tergilasnya pasar tradisional oleh modernisasi, kita harus mulai
bergerak untuk mempertahankan keberadaan pasar tradisional sebagai warisan budaya
leluhur. Perlu kita sadari bahwa pasar tradisional saat ini bukan satu-satunya pusat
perdagangan, oleh karena itu suatu strategi pengembangan sangat dibutuhkan agar pasar
tradisional dapat menjalankan kembali fungsi dan peranannya.

Menanggapi fenomena diatas, solusi mutakhir yang dapat dijalankan antara lain:

1. Memperbaiki citra pasar tradisional di mata masyarakat


Seperti yang kita tahu, citra pasar tradisional saat ini tidak bagus lagi di mata masyarakat.
Oleh karena itu, perbaikan citra pasar tradisional dapat dilakukan dengan memperbaiki
sarana dan prasarana seperti tempat parkir, sirkulasi udara, kebersihan, keamanan dan
penerangan agar kesan sumpek, pengap dan kotor yang melekat di citra pasar tradisional
dapat dihilangkan.

a2. Menonjolkan ciri khas tertentu tiap pasar tradisional

Dengan adanya spesialisasi barang dagangan di tiap pasar, konsumen akan makin tertarik
karena dapat mengunjungi pasar sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai contoh ciri khas
yang dapat diangkat adalah pasar burung, pasar tekstil dan garment, pasar barang bekas,
pasar obat-obatan, pasar oleh-oleh dan lain-lain.

3. Aplikasi konsep-konsep baru yang mendukung

Beberapa konsep yang dapat diaplikasikan antara lain town market, street market,
waterfront market dan night market. Konsep street market misalnya, dapat dijalankan
dengan menghubungkan beberapa pasar tradisional yang lokasinya berdekatan dengan
interconecting walkways agar memiliki keunikan kolektif yang saling melengkapi.

4. Manajemen Pasar

Upaya manajemen pasar dapat dilakukan dengan perbaikan sistem distribusi, perbaikan
manajemen pengelolaan dan pengaturan zoning pasar tradisional dengan pasar modern.

Sebagai contoh pengembangan pasar tradisional dengan menerapkan ide penonjolan ciri
khas adalah di pasar Klewer sebagai pasar tekstil penopang pertumbuhan ekonomi Kota
Solo yang keberadaannya tak bisa lepas dari jalinan industri batik yang banyak
berkembang di Laweyan maupun Kauman yang juga telah berlangsung lama. Di
Surabaya sendiri, contoh pasar tradisional yang menjadi ramai dikunjungi setelah
dilakukan revitalisasi adalah pasar Soponyono Rungkut dengan penambahan fasilitas
parkir dan peningkatan kebersihan fisik di dalam pasar. Dengan contoh diatas diharapkan
pasar tradisional lain dapat menyusul keberhasilan pasar-pasar tersebut dalam
mempertahankan eksistensinya di dunia modern saat ini.

KESIMPULAN

Pasar tradisional mempunyai fungsi dan peranan yang tidak hanya sebagai tempat
perdagangan tetapi juga sebagai peninggalan kebudayaan yang telah ada sejak jaman
dahulu. Saat ini perlu kita sadari bahwa pasar tradisional bukan satu-satunya pusat
perdagangan. Semakin banyaknya pusat perdagangan lain seperti pasar modern,
hypermart dan Mall membuat pasar tradisional harus mampu bertahan dalam persaingan
agar tidak tergilas oleh arus modernisasi. Berbagai upaya yang dapat kita lakukan antara
lain memperbaiki citra pasar tradisional di mata masyarakat, menonjolkan ciri khas
tertentu tiap pasar tradisional, aplikasi konsep-konsep baru yang mendukung dan
manajemen pasar dapat membantu mengatasi berbagai permasalahan pasar tradisional
agar peninggalan kebudayaan ini tidak tergilas oleh arus modernitas.

DAFTAR PUSTAKA

- IDP.2006.Proposal Peningkatan Sarana dan Prasarana Pasar Tradisional. diunduh


tanggal 5 Maret 2009 dari http://www.kbrikualalumpur.org/id/perdagangan/pasar-
koridor-ekonomi-v3-idp.pdf

- Koesworodjati,Yudhi.2009.Pasar Tradisional:Aset Ekonomi Daerah.diunduh


tanggal 3 maret 2009 dari http://www.galamedia.ws/content/view/2247/888889/

- Napitupulu,Albert.2005.Masa Depan Pasar Tradisional. diunduh tanggal 17 maret


2009 dari
http://www.jakarta.go.id/en/pemerintahan/perusahaan_pemda/pasar_jaya/pasar3a.htm

PERGESEKAN PASAR TRADISIONAL-MODERN


Agustus 3, 2010 oleh Rasyad Ahmad al-Shodiq Tinggalkan sebuah Komentar

7 Votes

Pasar merupakan pranata penting dalam kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat.
Pasar sudah dikenal sejak masa Jawa Kuno yaitu sebagai tempat berlangsungnya
transaksi jual beli atau tukar menukar barang yang telah teratur dan terorganisasi. Hal ini
berarti pada masa Jawa Kuno telah ada pasar sebagai suatu sistem. (Nastiti, 2003)
Maksudnya adalah pasar yang mempunyai suatu kesatuan dari komponen-komponen
yang mempunyai fungsi untuk mendukung fungsi secara keseluruhan, atau dapat pula
diartikan pasar yang telah memperlihatkan aspek-aspek perdagangan yang erat kaitannya
dengan kegiatan jual-beli, misalnya adanya lokasi atau tempat, adanya ketentuan pajak
bagi para pedagang, adanya pelbagai macam jenis komoditi yang diperdagangkan,
adanya proses produksi, distribusi, transaksi dan adanya suatu jaringan transportasi serta
adanya alat tukar.
Timbulnya pasar tidak lepas dari kebutuhan ekonomi masyarakat setempat. Kelebihan
produksi setelah kebutuhan sendiri terpenuhi memerlukan tempat pengaliran untuk dijual.
Selain itu pemenuhan kebutuhan akan barang-barang, memerlukan tempat yang praktis
untuk mendapatkan barang-barang baik dengan menukar atau membeli. Adanya
kebutuhan-kebutuhan inilah yang mendorong munculnya tempat berdagang yang disebut
pasar.
Perkembangan zaman telah diikuti dengan semakin banyak berdirinya beberapa swalayan
(baca: pasar modern), sehingga sangat memprihatinkan bagi wong cilik yang
penghasilannya sebagian besar berasal dari pasar tradisional, sementara disamping
mereka banyak berdiri swalayan-swalayan mulai minimarket sampai kepada supermarket
dan sebagainya yang mulai masuk ke Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No.
96/1998 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan
Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal.
Hingga kini pun dampak kehadiran supermarket (termasuk hipermarket) terhadap
keberadaan pasar tradisional menjadi topik yang menyulut perdebatan hangat di kalangan
masyarakat. Liberalisasi sektor perdagangan eceran pada 1998 telah mendorong
munculnya berbagai market asing di Indonesia. Dengan semakin menjamurnya
supermarket di berbagai kota, timbul pendapat dari beberapa kalangan bahwa di era
globalisasi, pasar tradisional menjadi korban utama persaingan antara pasar tradisional
dan pasar modern. Bahkan ada pihak-pihak yang menganggap perlu adanya pembatasan
keberadaan supermarket, terutama di lokasi yang berdekatan dengan pasar tradisional,
agar tidak merebut konsumen pasar tradisional.
Masalah persaingan merupakan konsekuensi logis yang timbul dengan hadirnya para
modern marketer yang memiliki modal melimpah. Permasalahan timbul ketika modern
marketer mulai memasuki wilayah keberadaan tradisional marketer. Ekspansi agresif
untuk pendirian pusat perbelanjaan modern mendapat izin dari Pemerintah Daerah yang
bersangkutan dimana proses pemberian izin oleh aparat setempat tidak dilakukan secara
transparan dan sering berbenturan dengan berbagai kepentingan pribadi didalamnya.
Beberapa faktor yang perlu dikaji dalam industri retail tersebut adalah faktor regulasi,
faktor efisiensi produk dan economics of scope, faktor lokasi, faktor perilaku konsumen
termasuk pola selera konsumsi masyarakat serta karakteristik dari produk yang dijual.
Semakin tinggi pendapatan rata-rata masyarakat per kapita semakin besar kelompok
konsumen menengah ke atas dan pola konsumen juga dengan sendirinya akan berubah ke
pasar modern yang berfasilitas jauh lebih baik dibandingkan pasar tradisional seperti
kenyamanan, keamanan, kebersihan dan arena parkir yang luas. Hal ini terjadi karena
modern marketer memiliki modal yang besar.
Dengan berbagai isu yang berkembang bahwa pertumbuhan pasar (retail) modern
berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat. Dengan kata
lain, semakin tinggi pendapatan masayarakat, semakin pesat pertumbuhan retail modern.
Sebaliknya, pertumbuhan retail tradisional berkorelasi negatif dengan pendapatan atau
berkorelasi positif dengan kemiskinan, yaitu semakin besar populasi di bawah garis
kemiskinan semakin banyak pasar-pasar tradisional telah megakibatkan perubahan pola
belanja masyarakat, yakni pergi berbelanja bersama keluarga ke gerai one stop shopping
yang lengkap dan serba ada.
Permasalahan lain tidak hanya timbul di sisi perubahan konsumen saja, namun juga
hubungan antara marketer dengan pemasok barang. Beberapa pemasok merasa bahwa
kekuatan yang sangat besar dari modern marketer dapat mendikte jumlah trading terms
yang harus dibayarkan pemasok kepada modern marketer. Kuatnya posisi tawar yang
dimiliki oleh modern marketer membuat para pemasok cenderung mengikuti aturan main
yang dibuat oleh para modern marketer tersebut. Akibatnya, pemasok tidak fokus pada
peningkatan nilai jual maupun inovasi produk melainkan lebih fokus pada pembayaran
trading terms yang telah ditetapkan oleh marketer. Pemerintah pun sebenarnya telah
berusha mengatasi probema tersebut dengan mengeluarkan regulasi pengkondisian pasar
menjadi lebih baik dalam PerPres No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan. PerPres yang dibahas sehak 2005
tersebut ternyata juga belum bisa menghindari pergesekan antar modern marketer dan
tradisional marketer sehingga diterbitkannya aturan pelaksana dari Perpres tersebut yaitu
Peraturan Menteri Perdagangan No. 53/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan. Namun, masalah lama tetap saja
lestari yakni pelaksanaan yang kurang serius (kalau tidak mau dibilang tidak serius) dan
dilakukan ala kadarnya oleh pemerintah.
Solusi yang paling tepat bagi isu-isu di atas adalah dengan melakukan pemberdayaan
pasar tradisional. Kondisi pasar tradisional secara fisik sangat tertinggal yang menjadi
salah satu alasan mengapa konsumen lebih memilih untuk berpindah ke pasar modern
harus dipecahkan. Tentunya dengan melengkapi fasilitas pasar tradisional yang lebih baik
dari kondisi sekarang. Kondisi pasar tradisional harus dibenahi dari segi kenyamanan,
keamanan, dan kebersihan agar tidak kalah daya saingnya dengan pasar modern. Siapa
lagi yang bertanggungjawab dalam hal ini kalau bukan pemerintah? Upaya Pemerintah
untuk membenahi pasar tradisional sangat diperlukan mengingat sampai saat ini
pengelola pasar tradisional sebagian besar dipegang oleh Pemerintah. Hal terpenting yang
harus dibenahi adalah mainstream masyarakat yang dianggap normal dalam kondisi yang
abnormal yang beranggapan bahwa pasar tradisional sangat tidak relevan lagi bagi
kondisi kekinian. Apapun cara yang digunakan oleh pemerintah haruslah sesuai dengan
isu-isu di atas. Jika tidak, layaknya kita ucapkan selamat tinggal kepada pasar tardisional.
Namun penulis berharap hal tersebut tidak terjadi karena akan sangat membahayakan
Indonesia. Dan dengan penuh keyakinan Indonesia bisa melakukannya.

PERGESEKAN PASAR TRADISIONAL-MODERN


Agustus 3, 2010 oleh Rasyad Ahmad al-Shodiq Tinggalkan sebuah Komentar

7 Votes

Pasar merupakan pranata penting dalam kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat.
Pasar sudah dikenal sejak masa Jawa Kuno yaitu sebagai tempat berlangsungnya
transaksi jual beli atau tukar menukar barang yang telah teratur dan terorganisasi. Hal ini
berarti pada masa Jawa Kuno telah ada pasar sebagai suatu sistem. (Nastiti, 2003)
Maksudnya adalah pasar yang mempunyai suatu kesatuan dari komponen-komponen
yang mempunyai fungsi untuk mendukung fungsi secara keseluruhan, atau dapat pula
diartikan pasar yang telah memperlihatkan aspek-aspek perdagangan yang erat kaitannya
dengan kegiatan jual-beli, misalnya adanya lokasi atau tempat, adanya ketentuan pajak
bagi para pedagang, adanya pelbagai macam jenis komoditi yang diperdagangkan,
adanya proses produksi, distribusi, transaksi dan adanya suatu jaringan transportasi serta
adanya alat tukar.
Timbulnya pasar tidak lepas dari kebutuhan ekonomi masyarakat setempat. Kelebihan
produksi setelah kebutuhan sendiri terpenuhi memerlukan tempat pengaliran untuk dijual.
Selain itu pemenuhan kebutuhan akan barang-barang, memerlukan tempat yang praktis
untuk mendapatkan barang-barang baik dengan menukar atau membeli. Adanya
kebutuhan-kebutuhan inilah yang mendorong munculnya tempat berdagang yang disebut
pasar.
Perkembangan zaman telah diikuti dengan semakin banyak berdirinya beberapa swalayan
(baca: pasar modern), sehingga sangat memprihatinkan bagi wong cilik yang
penghasilannya sebagian besar berasal dari pasar tradisional, sementara disamping
mereka banyak berdiri swalayan-swalayan mulai minimarket sampai kepada supermarket
dan sebagainya yang mulai masuk ke Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No.
96/1998 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan
Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal.
Hingga kini pun dampak kehadiran supermarket (termasuk hipermarket) terhadap
keberadaan pasar tradisional menjadi topik yang menyulut perdebatan hangat di kalangan
masyarakat. Liberalisasi sektor perdagangan eceran pada 1998 telah mendorong
munculnya berbagai market asing di Indonesia. Dengan semakin menjamurnya
supermarket di berbagai kota, timbul pendapat dari beberapa kalangan bahwa di era
globalisasi, pasar tradisional menjadi korban utama persaingan antara pasar tradisional
dan pasar modern. Bahkan ada pihak-pihak yang menganggap perlu adanya pembatasan
keberadaan supermarket, terutama di lokasi yang berdekatan dengan pasar tradisional,
agar tidak merebut konsumen pasar tradisional.
Masalah persaingan merupakan konsekuensi logis yang timbul dengan hadirnya para
modern marketer yang memiliki modal melimpah. Permasalahan timbul ketika modern
marketer mulai memasuki wilayah keberadaan tradisional marketer. Ekspansi agresif
untuk pendirian pusat perbelanjaan modern mendapat izin dari Pemerintah Daerah yang
bersangkutan dimana proses pemberian izin oleh aparat setempat tidak dilakukan secara
transparan dan sering berbenturan dengan berbagai kepentingan pribadi didalamnya.
Beberapa faktor yang perlu dikaji dalam industri retail tersebut adalah faktor regulasi,
faktor efisiensi produk dan economics of scope, faktor lokasi, faktor perilaku konsumen
termasuk pola selera konsumsi masyarakat serta karakteristik dari produk yang dijual.
Semakin tinggi pendapatan rata-rata masyarakat per kapita semakin besar kelompok
konsumen menengah ke atas dan pola konsumen juga dengan sendirinya akan berubah ke
pasar modern yang berfasilitas jauh lebih baik dibandingkan pasar tradisional seperti
kenyamanan, keamanan, kebersihan dan arena parkir yang luas. Hal ini terjadi karena
modern marketer memiliki modal yang besar.
Dengan berbagai isu yang berkembang bahwa pertumbuhan pasar (retail) modern
berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat. Dengan kata
lain, semakin tinggi pendapatan masayarakat, semakin pesat pertumbuhan retail modern.
Sebaliknya, pertumbuhan retail tradisional berkorelasi negatif dengan pendapatan atau
berkorelasi positif dengan kemiskinan, yaitu semakin besar populasi di bawah garis
kemiskinan semakin banyak pasar-pasar tradisional telah megakibatkan perubahan pola
belanja masyarakat, yakni pergi berbelanja bersama keluarga ke gerai one stop shopping
yang lengkap dan serba ada.
Permasalahan lain tidak hanya timbul di sisi perubahan konsumen saja, namun juga
hubungan antara marketer dengan pemasok barang. Beberapa pemasok merasa bahwa
kekuatan yang sangat besar dari modern marketer dapat mendikte jumlah trading terms
yang harus dibayarkan pemasok kepada modern marketer. Kuatnya posisi tawar yang
dimiliki oleh modern marketer membuat para pemasok cenderung mengikuti aturan main
yang dibuat oleh para modern marketer tersebut. Akibatnya, pemasok tidak fokus pada
peningkatan nilai jual maupun inovasi produk melainkan lebih fokus pada pembayaran
trading terms yang telah ditetapkan oleh marketer. Pemerintah pun sebenarnya telah
berusha mengatasi probema tersebut dengan mengeluarkan regulasi pengkondisian pasar
menjadi lebih baik dalam PerPres No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan. PerPres yang dibahas sehak 2005
tersebut ternyata juga belum bisa menghindari pergesekan antar modern marketer dan
tradisional marketer sehingga diterbitkannya aturan pelaksana dari Perpres tersebut yaitu
Peraturan Menteri Perdagangan No. 53/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan. Namun, masalah lama tetap saja
lestari yakni pelaksanaan yang kurang serius (kalau tidak mau dibilang tidak serius) dan
dilakukan ala kadarnya oleh pemerintah.
Solusi yang paling tepat bagi isu-isu di atas adalah dengan melakukan pemberdayaan
pasar tradisional. Kondisi pasar tradisional secara fisik sangat tertinggal yang menjadi
salah satu alasan mengapa konsumen lebih memilih untuk berpindah ke pasar modern
harus dipecahkan. Tentunya dengan melengkapi fasilitas pasar tradisional yang lebih baik
dari kondisi sekarang. Kondisi pasar tradisional harus dibenahi dari segi kenyamanan,
keamanan, dan kebersihan agar tidak kalah daya saingnya dengan pasar modern. Siapa
lagi yang bertanggungjawab dalam hal ini kalau bukan pemerintah? Upaya Pemerintah
untuk membenahi pasar tradisional sangat diperlukan mengingat sampai saat ini
pengelola pasar tradisional sebagian besar dipegang oleh Pemerintah. Hal terpenting yang
harus dibenahi adalah mainstream masyarakat yang dianggap normal dalam kondisi yang
abnormal yang beranggapan bahwa pasar tradisional sangat tidak relevan lagi bagi
kondisi kekinian. Apapun cara yang digunakan oleh pemerintah haruslah sesuai dengan
isu-isu di atas. Jika tidak, layaknya kita ucapkan selamat tinggal kepada pasar tardisional.
Namun penulis berharap hal tersebut tidak terjadi karena akan sangat membahayakan
Indonesia. Dan dengan penuh keyakinan Indonesia bisa melakukannya.

MASA DEPAN PASAR TRADISIONAL

Oleh:
Albert Napitupulu
Direktur Utama PD. Pasar Jaya
Dan Alumnus Program Pascasarjana Universitas Indonesia

Pusat perbelajaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini. Khususnya di DKI Jakarta. Di berbagai wilayah terus tumbuh pusat-
pusat perbelanjaan baru dengan berbagai bentuknya. Pusat-pusat perbelanjaan ini diisi oleh berbagai retailer (pegecer) yang umumnya
adalah pengecer-pengecer besar, baik perusahaan pengecer multinasional maupun nasional.

Menurut riset First Pacific Davies dalam Asia Property Focus Oktober 1996, sampai akhir tahun 1996 ini pasokan total pusat
perbelanjaan di Jakarta akan mencapai 1.1 juta meter persegi dan diperkirakan akan terus tumbuh pesat mengingat masih banyak
pembangunan pusat perbelanjaan yang belum selesai. Diperkirakan pada tahun 1997 nanti akan bertambah 169.200 meter persegi
pusat perbelanjaan baru. Pada tahun 1998 diperkirakan pasokannya akan bertambah lagi sebesar 243.000 meter persegi.

Dampak Pusat Perbelanjaan Modern


Perkembangan pusat perbelanjaan ini secara umum akan menguntungkan bagi konsumen karena semakin tersedia banyak pilihan
untuk berbelanja. Persaingan yang semakin tajam antar pusat perbelanjaan dan juga antar pengecer juga akan menguntungkan karena
mereka akan berusaha untuk menarik konsumen dengan memberikan pelayanan yang lebih baik. Meskipun demikian saat ini banyak
pengusaha yang mengkhawatirkan akan terjadi kelebihan pasok. Kelebihan pasok ini bisa menyebabkan banyaknya kredit macet di
pusat-pusat perbelanjaan, sebagaimana yang terjadi sektor properti saat ini.
Perkembangan pesat pusat perbelanjaan modern ini juga akan memberikan dampak pada keberadaan pasar tradisonal. Jakarta saat ini
memiliki sekitar 150 pasar tradisional yang menampung sekitar 80.000 pedagang. Pedagang di pasar tradisional ini secara umum
adalah pedagang-pedagang kecil bukan pengecer raksasa seperti pusat-pusat perbelanjaan modern.

Pusat perbelanjaan modern merupakan pesaing dan akan mengancam keberadaan pedagang di pasar tradisional.

Jika dahulu pusat perbelanjaan lebih banyak ditujukan untuk penduduk berpendapatan menengah keatas. Kini mereka mulai masuk
juga ke kelas menengah kebawah. Para pengecer kini juga bervariasi memasuki berbagai segmen pasar.

Menurut laporan First Pacific Davies, konsumen di Jakarta dan sekitarya dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok menengah ke
bawah. Kelompok menengah berjumalh 18 persen dan kelompok menengah kebawah berjumlah sekitar 69 persen.

Kelompok menengah ke atas adalah kelompok tenaga terampil dan tenaga manajemen yang memiliki pendapatan sangat tinggi untuk
dibelanjakan. Kelompok merupakan sasaran pusat perbelanjaan seperti Sogo, Metro Galeria, Jc Penney, dan sejumlah speciality store
( toko khusus ) seperti Mark and Spencer, Mal Taman Anggrek dan Citra Land merupakan pusat perbelanjaan yang menggarap segmen
pasar ini.

Kelompok menengah merupakan kelompok yang baru tumbuh daya belinya. Kelompok ini umumnya terdiri atas tenaga Manager muda
dan teknisi terampil. Kelompok ini sekarang banyak diincar oleh berbagai pusat perbelanjaan. Beberapa mal baru yang mengincar
kelompok ini seperti Mal Puri Indah di Jakarta Barat, Mal Mega di Jakarta Utara. Beberapa departement store seperti Mega-M dan Wall -
Mart juga mengincar kelompok ini.

Kelompok menengah kebawah kini juga menjadi sasaran pusat perbelanjaan modern, kelompok ini umumnya memiliki pendidikan lebih
baik dan lebih terbuka dengan alternatif belanja dibanding generasi tuanya. Kelompok ini lebih suka berbelanja di pasar modern dari
pada di pasar tradisional. Kelompok ini juga diduga mempunyai potensi pertumbuhan yang kuat. Departement Store lokal seperti
Matahari dan Ramayana merupakan pengecer yang sangat aktif menggarap kelompok ini. Di masa mendatang, generasi muda ini
sangat potensial menyebabkan pergeseran kegiatan belanja dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern.

Jika semua segmen pasar telah digarap sedemikian gencarnya oleh para pengecer melalui pusat perbelanjaan modern, apa yang tersisa
bagi pasar tradisional. Apakah pasar tradisional kini cukup memanfaatkan konsumen dengan pendapatan terendah, atau harus bersaing
dengan mereka ? Bagaimana pasar tradisional bisa bersaing dengan pusat perbelanjaan modern?.

Keterbatasan Pasar Tradisional


Ruang bersaing pedagang pasar tradisional kini juga mulai terbatas. Kalau selama ini pasar tradisional dianggap unggul dalam
memberikan harga relatif lebih rendah untuk banyak komoditas, dengan fasilitas berbelanja yang jauh lebih baik. Skala ekonomis
pengecer modern yang cukup luas dan akses langsung mereka terhadap produsen dapat menurunkan harga pokok penjualan mereka
sehingga mereka mampu menawarkan harga yang lebih rendah. Sebaliknya para pedagang pasar tradisional, mereka umumnya
mempunyai skala yang kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya.
Keunggulan biaya rendah pedagang tradisional kini mulai terkikis.

Keunggulan pasar tradisional mungkin juga didapat dari lokasi. Masyarakat akan lebih suka berbelanja ke pasar-pasar yang lokasinya
lebih dekat. Akan tetapi pusat-pusat perbelanjaan modern terus berkembang memburu lokasi-lokasi potensial. Dengan semakin marak
dan tersebarnya lokasi pusat perbelanjaan modern maka keunggulan lokasi juga akan semakin hilang. Kedekatan lokasi kini tidak lagi
dapat dijadikan sumber keunggulan yang berkelanjutan.

Jika diamati, pasar yang sampai saat ini bertahan dan banyak dikunjungi adalah pasar-pasar khusus (specialty Market) seperti Pasar
Tanah Abang untuk garmen, Pasar Glodok untuk elektronik. Pasar-pasar khusus ini memiliki citra tertentu di mata konsumen dan
mampu menawarkan produk yang diinginkan masyarakat dengan harga yang menarik.

Di pasar tradisional lainnya yang sampai saat ini tetap diminati masyarakat adalah produk kebutuhan sehari-hari, terutama bahan
mentah. Untuk komoditas ini tampaknya pasar tradisional masih mampu bersaing dengan memberikan harga yang relatif murah dan
produk yang segar. Beberapa pengecer yang menawarkan bahan pangan mentah (supermarket) masih memberikan harga yang lebih
tinggi, akan tetapi kualitas, pengemasan dan displai (penyajian ) yang jauh lebih baik.

Dengan demikian segmen supermarket untuk bahan pangan ini umumnya adalah kelompok kelas menengah keatas.

Peran Pemerintah
Pemerintah perlu memikirkan kelangsungan hidup pedagang pasar tradisional karena menyangkut hajat hidup banyak keluarga.
Pengembangan sektor perekonomian rakyat ini perlu menjadi perhatian pemerintah sesuai dengan sasaran utama pembangunan dalam
PJP II yaitu pemerataan. Pemihakan pemerintah ini tidak perlu diwujudkan dengan cara menghambat pertumbuhan pasar modern ini
dapat melibatkan pelaku ekonomi golongan ekonomi lemah. Jadi peran pemerintah yang utama dalam hal ini adalah alokasi peran
pelaku ekonomi.
Pemihakan pemerintah kepada pedagang pasar tradisional dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan kepada pedagang pasar
tradisional untuk turut memetik keuntungan dari peluang pertumbuhan permintaan masarakat serta membantu mengantisipasi
perubahan lingkungan yang akan mengancam eksistensi mereka. Karena sifat pedagang pasar tradisional yang umumnya lemah dalam
banyak hal,maka peran pemerintahlah untuk secara aktif memberdayakan pedagang tradisional.

Pemberdayaan pedagang kecil ini dapat dilakukan antara lain dengan membantu memperbaiki akses mereka kepada informasi,
permodalan, dan hubungan dengan produsen atau supplier (pemasok). Pedagang pasar tradisional perlu mendapatkan informasi
tentang masa depan, ancaman dan peluang usahanya, serta perlunya perubahan sikap dan pengelolaan usahanya sesuai dengan
perubahan tuntutan konsumen. Dalam kaitannya dengan produsen pemasok, pedagang pasar tradisioanal perlu dibantu dalam
mengefisienkan rantai pemasaran untuk mendapatkan barang dagangannya. Pemerintah dapat berperan sebagai mediator untuk
menghubungkan pedagang pasar tradisioanal secara kolektif kepada industri untuk mendapatkan akses barang dagangan yang lebih
murah.

Modernisasi pasar juga merupakan langkah untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil. Modernisasi pasar disini dimaksudkan
sebagai upaya pengelolaan pasar secara modern sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Modernisasi ini perlu diciptakan untuk
menghambat beralihnya tempat belanja masyarakat masih dapat diakomodasikan oleh para pedagang kecil.*

SEBAGAI masyarakat pemakai jalan di Yogyakarta, saya menemui suatu hambatan di


depan Pasar Demangan. Masalahnya, jalan di depan pasar itu digunakan untuk parkir
kendaraan roda dua, yang hampir memenuhi separuh jalan. Arus kendaraan menuju
selatan dari Jalan Gejayan menuju Jalan Solo, menjadi sangat lambat. Bahkan kadang
sampai macet total.

Pasar modern yang dicirikan oleh hadirnya mini market, super market, dan hyper market
sudah merasuk ke lingkungan masyarakat, tidak hanya di perkotaan bahkan hingga ke
pedesaan. Dengan berbagai keunggulannya, pasar modern telah menarik masyarakat
pembeli untuk datang ke situ. Pembeli mulai ada tanda-tanda bakal meninggalkan pasar
tradisional. Kalau hal ini dibiarkan terus berlangsung dengan mekanisme pasar bebas,
dikhawatirkan pasar tradisional akan kalah bersaing. Bukan tidak mungkin nasibnya akan
mirip dengan dinosaurus yang punah lantaran tidak sanggup menyesuaikan diri dengan
tuntutan perubahan.
Untuk mencegah hal itu terjadi, kiranya diperlukan upaya revitalisasi pasar tradisional.
Kalau Pemerintah Kota Denpasar membuat blue print sebagai acuan dalam memperkuat
pasar tradisional, sungguh sebuah kebijakan yang patut diapresiasi. Sebagaimana
dikatakan oleh Wali Kota Denpasar, I. B. Rai Wijaya Mantra (Bali Post, 28 September
2010, hal. 2), bahwa blue print tersebut diharapkan bisa memperkuat kapasitas pedagang
dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan.
Ini sebuah langkah maju dalam menjaga eksistensi pasar tradisional yang notabene
adalah masyarakat kelas bawah yang rata-rata bermodal kecil berhadapan dengan
kapitalisme. Revitalisasi ini penting, tak hanya bagi pasar-pasar tradisional di wilayah
Denpasar, bahkan juga untuk seluruh pasar tradisional di Bali.
Ekonomi Kerakyatan
Pasar tradisional bersentuhan langsung dengan ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan
sendiri dimaknai sebagai sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Sistem ekonomi
kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat. Menurut
Mubyarto sebagaimana dikutip Prof. Cornelis Rintuh dan Miar, M.S. dalam bukunya
yang berjudul Kelembagaan dan Ekonomi Kerakyatan (2005 : 4), ekonomi kerakyatan
mempunyai ciri-ciri: 1. Dilakukan oleh rakyat tanpa modal besar; 2. Dikelola dengan
cara-cara swadaya, 3. Bersifat mandiri sebagai ciri khasnya; 4. Tidak ada buruh dan tidak
ada majikan, dan 5. Tidak (semata-mata- Red) mengejar keuntungan.
Dalam rangka membangun basis ekonomi kerakyatan yang antara lain dilaksanakan
melalui revitalisasi pasar tradisional, maka peran serta pemerintah tidak bisa diabaikan.
Ekonomi kerakyatan tidak boleh dibiarkan lepas begitu saja kepada kekuatan pasar
dengan persaingan bebasnya. Tetapi, pengambil kebijakan dapat melakukan intervensi
secara proporsional sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan rakyat sehingga pasar
tradisional menjadi tempat ekonomi kerakyatan bisa tumbuh dan berkembang dengan
baik.
Tiga Faktor yang Perlu Perhatian
Berkenaan dengan merevitalisasi pasar tradisional yang diperuntukkan bagi tumbuh-
kembangnya ekonomi kerakyatan, penulis ingin menyumbangkan pemikiran sederhana
dengan mengetengahkan beberapa hal yang patut mendapatkan perhatian dari para
pedagang pasar tradisional, manajemen pengelola pasar, dan pemerintah (daerah), dan
semua komponen yang terkait lainnya, diantaranya sebagai berikut.
Pertama, sanitasi pasar. Masih cukup banyak sesungguhnya pasar tradisional di Bali yang
kurang memenuhi syarat kelayakan sanitasi. Diantaranya cenderung kotor, bau, becek,
kurang penerangan, dan barang dagangan yang kurang tertata dengan apik.
Untuk menanggulanginya, maka kebiasaan memcampakkan sampah sembarangan harus
dihentikan. Tempat sampah hendaknya disiapkan oleh para pedagang di tempatnya
berjualan dan benar-benar dimanfaatkan sebagai tempat sampah, dan kemudian setelah
penuh, sampahnya dibuang ke dalam bak sampah besar yang disiapkan pemerintah.
Untuk mengurangi bau tak sedap, sebaiknya hindari membuang limbah cucian
sembarangan, seperti cucian piring, cucian daging/ikan, dan sebagainya. Kalau air limbah
ini bercampur dengan sampah, niscaya akan menimbulkan bau tak sedap. Bagian pasar
yang menjadi tempat menjual ayam, bebek dan sejenisnya yang cenderung menimbulkan
bau, mestinya lebih memperhatikan lagi aspek kebersihan tempat berjualan dengan secara
rutin membersihkan kotoran binatang itu untuk mengurangi bau menyengat ke
sekitarnya.
Pasar tradisional yang becek biasanya karena berlantaikan tanah. Ketika turun hujan, air
hujan merembes ke lantai pasar. Ini menimbulkan keadaan lantai yang becek sehingga
terkesan kotor. Lantai pasar yang masih tanah tersebut, seyogianya dipaving atau dilantai
dengan dasar semen.
Di samping itu, pasar tradisional pada umumnya masih menggunakan penerangan
seadanya, sehingga terkesan redup dan kusam, suasana yang tidak menarik orang untuk
datang, memilih, dan membeli dagangan pada malam hari. Oleh karena itu, perlu
dipasang lampu penerangan yang lebih besar Watt-nya sehingga pembeli lebih gampang
melihat-lihat dan memilih barang yang hendak dibelinya sekaligus untuk memberikan
kesan cerah/terang (galang-Bahasa Bali) di dalam pasar.
Lorong-lorong yang menjadi area pembeli lalu-lalang pun demikian sempit, sehingga
orang agak sulit berpapasan apalagi untuk berhenti sebentar di situ tatkala memilih
barang yang hendak dibeli. Untuk mengatasi hal itu, perlu membenahi penataan barang
dagangan agar jalur lalu-lalang pembeli menjadi lebih leluasa.
Lingkungan pasar tradisional pada umumnya juga kurang terawat. Hampir setiap
sudutnya ditempati pedagang. Tidak ada space ruang terbuka hijau yang cukup
melegakan. Area yang sempit dan pengap ditambah lagi dengan kondisi yang kotor
benar-benar melengkapi kesan ‘tradisional’ itu. Seakan-akan yang tradisional tersebut
harus seperti itu kondisinya. Oleh karenanya, perlu ada areal terbuka yang cukup untuk
taman-taman kecil, tempat tumbuhnya tanaman dan pepohonan yang menghijaukan
wilayah seputar pasar. Walaupun berisikan setumpuk dagangan tapi kalau ditimpali
dengan taman nan asri dan terpelihara, tentu pasar tradisional akan mampu memberi rasa
nyaman kepada pengunjung.
Kedua, perlunya pelayanan yang profesional yang berorientasi pada pembeli. Kalau kita
melihat pola pelayanan pasar modern, maka dalam beberapa hal perlu ditiru dan
diterapkan di pasar tradisional. Salah satunya, pelayanan ramah yang tulus dari hati, perlu
diperhatikan. Para pedagang yang sebagian besar kaum ibu itu pada umumnya sudah
sangat menghayati perannya sebagai pedagang. Yang perlu sedikit dipoles adalah aspek
pelayanan yang ramah. Ini penting, sebab masyarakat kita sekarang sudah mulai
memperhatikan aspek keramahtamahan pelayanan ini, yang pada umumnya mereka
dapatkan di pasar modern. Nah, jika para pedagang di pasar tradisional tidak
meningkatkan keramah-tamahannya yang keluar dari hati yang tulus, maka akan kalah
saing dengan pasar modern. Hal-hal yang baik dan berguna untuk kemajuan, ada baiknya
diadopsi.
Ketiga, penetapan harga. Harga di pasar tradisional kadang-kadang lebih tinggi daripada
di pasar modern. Walaupun perbedaan harga tersebut tidak terlalu besar, tapi hal ini boleh
jadi berpengaruh terhadap minat pembeli. Karena harga di pasar tradisional lebih mahal,
mungkin saja mereka akan beralih ke pasar modern. Jika berlangsung terus-menerus,
maka hal ini dapat membahayakan eksistensi pasar tradisional. Di samping sudah kalah
bersaing dalam penataan, pelayanan, kebersihan, juga kalah dalam hal persaingan harga.
Kasihan sekali pasar tradisional kita. Untuk mengatasinya, diperlukan upaya-upaya
komprehensif dan sinergis dari berbagai pihak yang terlibat. Melepas harga ke dalam
transaksi dan persaingan pasar bebas kiranya perlu ditinjau kembali. Pemerintah daerah
dapat melakukan intervensi dalam upaya mengontrol kenaikan harga dan menjaga
stabilitasnya.
Setiap komponen pengelola pasar tradisional seyogianya peduli terhadap perubahan.
Pasar tradisional harus maju bersamaan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Tidak boleh puas dengan keadaan yang ada kini, melainkan harus maju terus menata diri
dengan dukungan pemerintah dan seluruh komponen yang terkait. Revitalisasi dapat
diwujudkan antara lain melalui perbaikan sanitasi, penataan lingkungan nan asri,
profesionalisme pelayanan, dan pengontrolan harga pasar agar tak lebih tinggi dibanding
pasar modern.
Semoga dengan implementasi pemikiran sederhana ini, pasar tradisional dapat
memperlihatkan daya tarik terbaiknya kepada masyarakat pembeli, sekaligus menjadi
bagian dari budaya bisnis masyarakat Bali yang dapat dibanggakan. Dan, tidak perlu
senasib dengan dinosaurus!
Yogyakarta merupakan salah satu kota yang menyandang predikat sebagai kota budaya,
kota wisata, dan kota pendidikan. Sebagai kota budaya, Yogyakarta adalah kota tua yang
relatif terjaga kelestarian budayanya. Potensi yang dimiliki oleh suatu tempat akan
menjadi daya tarik tersendiri sehingga dapat mendorong keinginan manusia untuk
menikmati. Pasar Demangan yang sebagai pasar tradisional inilah merupakan suatu
tempat yang memiliki suatu khas budaya tersendiri menjadi daya tarik yang akan
mereangsang kegiatan manusia untuk menikmati. Pasar tradisional menjadi salah satu
alternatif masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari dengan harga yang relatif
lebih murah. Untuk sebagian masyarakat, pasar tradisional bahkan dapat dijadikan tempat
rekreasi untuk melepas kepenatan dalam kesibukan sehari-hari. Di pasar tradisional,
interaksi antara penjual dan pembeli dapat berlangsung lebih akrab dan menawar harga
suatu produk dapat memberikan kepuasan tertentu. Namun seiring berjalan waktu, pasar
demangan yang bisa menjadi potensi sebagai sektor ekonomi rakyat akan berangsur
menurun akibat pertumbuhan Kota Yogyakarta yang semakin modernitas.
Jika dikelola dengan baik, tidak mustahil pasar tradisional akan mendatangkan
keuntungan. Pasar tradisional dengan ciri khasnya bisa menjadi komoditas wisata yang
pada akhirnya juga menguntungkan pemerintah daerah. Malah pasar tradisional dapat
menjadi trade mark suatu kota. Artinya, mendengar nama pasar tradisional orang akan
secara otomatis ingat kota di mana pasar itu berada. Misalnya Pasar Beringharjo, orang
akan ingat kota Yogyakarta, atau Pasar Kumbasari, orang akan ingat Kota Denpasar.
Karena itulah pasar tradisional dapat dijadikan salah satu atraksi wisata kota.

Namun, kita tak jarang mendengar sebutan becek, panas, sumpek, sempit, dan entah kata-
kata berkonotasi negatif apalagi yang biasanya dicitrakan masyarakat umum terhadap
sebuah pasar tradisional. Pasar tradisional memang memiliki keterbatasan fisik dan
terkesan semrawut. Hal ini sebenarnya masih bisa diperbarui. Dalam permasalahan ini,
menjadi tugas semua elemen untuk memperbaruinya. Pemerintah, masyarakat, dan
penghuni pasar itu sendiri. Pasar tradisional sebaiknya mulai ditata, dirapikan, dan
ditertibkan. Sebagai gambaran, Pasar Putih di Bukittinggi, Sumatera Barat. Disana, pasar
ditata rapi, tempatnya bersih, pedagangnya ramah, nuansanya teduh, terkadang samar-
samar terdengar alunan ayat suci yang dikumandangkan seorang tuna netra. Jauh dari
kesemrawutan.

MENGGAGAS AKAR PERMASALAHAN


REVITALISASI PASAR TRADISIONAL

Oleh: Sumardi

Dosen Fakultas Ekonomi UNS Surakarta dan Peneliti pada Pusat Pengembangan
Ekonomi Pembangunan (PPEP) Fakultas Ekonomi UNS Surakarta

Keluhan para pedagang Pasar Nusukan Kota Surakarta yang berada di lantai II
akibat maraknya pedagang oprokan di belakang pasar yang berbatasan dengan kampung,
memperpanjang deretan agenda masalah pasar tradisional di Kota Surakarta khususnya,
dan kota atau kabupaten lain pada umumnya. (Baca : Solopos, 26 Oktober 2007,
halaman II). Keluhan para pedagang yang disampaikan pada Komisi III DPRD Kota
Surakarta disaat sidak langsung ke pasar Nusukan itu antara lain karena alasan semakin
sepinya tempat dagangan lantai II dimana mereka menggelar dagangannya, menyusul
semakin banyaknya pedagang oprokan di lantai I.

Di sepanjang jalan trotoar, pedagang liar menggelar dagangannya yang jenis


barang dagangannya sama seperti di dalam pasar itu sendiri Jika persoalan ini tidak
segera ditanggapi secara serius, kemungkinan akan menjadi masalah besar dimasa yang
akan datang. Para pedagang berangsur-angsur akan meninggalkan tempat dasaran mereka
di lantai II, dan menggelar dagangan mereka di lantai I, campur berdesakan dan berebut
dengan para pedagang oprokan yang sudah ada. Kondisi itu akan berdampak luas, antara
lain yaitu: (1) Kondisi pasar lantai pertama semakin “semrawut” karena semakin
banyaknya pedagang menggelar dagangan dijalan-jalan yang tentu jauh dari ketertiban,
(2) Kondisi pasar lantai II semakin “sepi” pedagang, sehingga pemanfaatan tempat
dasaran di lantai II menjadi kurang optimal.

Hal itu juga menyebabkan persoalan kumuh pasar dan problem transportasi yang
macet, karena pedagang menggelar dagangannya sampai kejalan-jalan.
Selain persoalan konsep konstruksi pasar bertingkat itu, penataan dan revitalisasi
pengelolaan pasar tradisional ke depan perlu mewaspadai persoalan-persoalan antara lain:
(1) Daya tampung pasar, (2) Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Ketiga, dan (3)
Fasilitas pendukung pasar, serta (4) Pemilihan dan penyediaan pasar darurat/sementara.

Masalah pertama, yaitu daya tampung pasar tradisional harus mendapatkan


perhatian tatkala suatu pasar tradisional ditata dan direvitalisasi, terutama berkaitan
dengan jumlah pedagang yang harus ditampung dalam kegiatan revitalisasi itu. Pasar
tradisional yang berkembang, memiliki jumlah pedagang yang semakin banyak, bahkan
melebihi fasilitas tempat dasaran kios/los yang semula disediakan. Banyak pedagang
yang berjualan dipelataran pasar sebagai pedagang “oprokan”. Jumlah pedagang oprokan
dan Pedagang Kaki Lima itu semakin bertambah seiring dengan berkembangnya aktivitas
setiap pasar.

Kegiatan revitalisasi dan pembangunan pasar harus dapat menampung para


pelaku kegiatan di pasar itu, setidaknya dengan revitalisasi jumlah pedagang yang
tertampung di pasar lebih banyak. Sehingga selain pedagang lama yang jelas harus
menjadi prioritas utama penempatan, pasar baru juga harus dapat menampung tambahan
pedagang baru di pasar itu. Hal itu merupakan perwujudan peningkatan pelayanan pasar
kepada masyarakat.

Persoalan daya tampung itu selain berkenaan dengan jumlah atau luasan pasar,
juga menyangkut masalah distribusi atau pembagian fasilitas tempat dasaran pasar.
Karena keterbatasan anggaran Pemerintah Daerah, seringkali jumlah tempat dasaran yang
dapat disediakan oleh kegiatan revitalisasi dan pembangunan itu juga relatif terbatas dan
tidak dapat menjangkau semua kebutuhan jumlah pedagang yang ada. Untuk itu proses
penempatan menjadi perhatian penting agar tidak menyisakan masalah dikemudian hari.
Sering terjadi ketegangan pada proses penempatan atau distribusi los/kios pedagang ini
antara para pedagang dengan petugas yang berwenang dari Dinas Pengelolaan pasar
Pemerintah Daerah. Issue miring yang berkembang pada proses ini antara lain misalnya
muncul rumor bahwa para pejabat Pemerintah Daerah mendapatkan “jatah” los/kios yang
strategis atau bahkan muncul issue bahwa los/kios telah habis terbagi sebelum hari
pembagian los/kios kepada para pedagang itu tiba.

Masalah kedua, tentang kerjasama pihak ketiga perlu mendapatkan perhatian juga
dalam menata dan mengoptimalkan pasar tradisional. Kegiatan pembangunan dan
revitalisasi pasar tradisional di suatu daerah membutuhkan biaya yang cukup besar. Ada
beberapa daerah mencoba menjadwalkan kegiatan revitalisasi dan pembangunan pasar
dalam beberapa tahun, hal itu juga dikarenakan antara lain karena alasan pendanaan yang
terbatas, sehingga perlu dilakukan secara bertahap. Untuk itu, kerjasama dengan pihak
ketiga dalam rangka revitalisasi dan pembangunan pasar tradisional ini menjadi alternatif
pilihan pemecahan persoalan pendanaan itu.

Jika kerjasama dengan pihak ketiga ini menjadi alternatif pilihan, maka perlu ada
beberapa persiapan untuk melancarkan program kerjasama dengan pihak ketiga tersebut,
yaitu: (1) Persiapan regulasi yang mengatur tentang tata cara kerjasama dengan pihak
ketiga. Regulasi ini mengatur beberapa opsi jenis kerjasama dengan pihak ketiga,
persyaratan, tata cara dan regulasi lain yang berkenaan dengan kerjasama pihak ketiga
itu. (2) Persiapan berupa pemetaan kondisi dan potensi pasar sebagian bagian informasi
bagi pihak ketiga untuk memahami peta potensi pasar tradisional di suatu daerah.
Pemetaan kondisi dan potensi pasar itu bukan saja memotret secara fisik keberadaan
pasar tradisional, tetapi juga status kinerja pasar tradisional masing-masing, dan juga
dokumen-dokumen pendukung seperti studi kelayakan / feasibility study berikut detail
enginering design (DED) serta dokumen lingkungan jika diperlukan. Peta potensi pasar
tradisional itu kemudian perlu dikomunikasikan kepada para calon investor melalui
forum gelar potensi daerah, seperti Central Java Investment Business Forum (CJIBF)
atau forum promosi investasi yang lebih luas. (3) Persiapan regulasi dan penataan bidang
pelayanan investasi lebih dioptimalkan, yaitu dengan melakukan penyederhaan proses
perijinan menjadi lebih cepat, murah dan mudah (one day service), membentuk dan
menguatkan lembaga pelayanan satu pintu (one stop service) serta memberikan berbagai
insentif investasi kepada pihak ketiga.
Masalah yang harus diwaspadai dalam kegiatan revitalisasi pasar tradisional
dengan melibatkan kerjasama pihak ketiga ini adalah kontribusi signifikan yang diperoleh
oleh Pemerintah Daerah dari kerjasama itu. Revitalisasi pasar tradisional selain untuk
kepentingan penataan kota, juga harus memiliki dampak meyakinkan terhadap
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal itu dapat dipahami karena retribusi
pasar merupakan jenis retribusi daerah yang biasanya memiliki kontribusi dominan dalam
pembentukan retribusi daerah sebagai salah satu komponen penting Pendapatan Asli
Daerah (PAD).

Pengalaman di beberapa daerah, kerjasama dengan pihak ketiga dengan pola


Built Operation and Transfer (BOT) ternyata tidak selamanya menguntungkan
Pemerintah Daerah dalam kaitannya dengan penguatan keuangan daerah. Dampak
revitalisasi pasar tradisional pada peningkatan PAD belum signifikan. Apalagi secara
fisik sebagian besar bangunan tidak dapat lagi dipergunakan setelah masa perjanjian
kerjasama itu selesai. Apalagi, pada kurun waktu penggunaan bangunan pasar oleh pihak
ketiga yang biasanya selama 20 tahun itu, Pemerintah Daerah tidak memiliki kewenangan
ikut campur, dan dinas terkait, tidak bisa memungut retribusi secara penuh dari pelayanan
pasar itu. Karena itulah, di beberapa daerah, kegiatan revitalisasi pasar tradisional
kerjasama dengan pihak ketiga ini diusulkan untuk ditinjau kembali.

Persoalan ketiga yang tidak kalah penting dalam revitalisasi pasar tradisional
adalah tersedianya fasilitas pendukung pasar yang cukup memadai. Fasilitas pendukung
dimaksud antara lain adalah tempat parkir dan penitipan kendaraan, tempat mandi cuci
dan kencing (MCK), tempat penitipan dan bongkar muat barang yang aman dan cukup.
Revitalisasi pasar tradisional harus difikirkan agar menyediakan areal parkir kendaraan
bagi para pelaku transaksi di pasar dengan luas yang memadai, demikian pula fasilitas
MCK yang bersih dan higienis dengan jumlah yang cukup sesuai kebutuhan komunitas
pasar. Para pedagang pasar tradisional juga memerlukan tempat penyimpanan barang
yang aman dan tempat bongkar muat barang dagangan yang cukup.

Masalah keempat, adalah berkenaan dengan penyediaan pasar darurat / sementara


untuk memindahkan para pedagang dari pasar yang sedang dibangun. Pemilihan tempat
pasar darurat harus memadahi dan dipersiapkan secara baik sehingga masing-masing
pedagang mendapatkan tempat yang relatif layak untuk berdagang. Pasar darurat yang
disediakan untuk pembangunan Pasar Bunder di Kabupaten Sragen, misalnya, karena
lokasi yang kurang memadai para pedagang mengeluh mendapatkan tempat dasaran yang
berhadapan dengan genangan air yang bau, sehingga menganggu transaksi perdagangan
dan akan berdampak pada penurunan pendapatan pedagang itu.

Tempat atau lokasi yang akan digunakan sebagai pasar darurat juga harus dipilih
yang tidak mengganggu komunitas masyarakat lainnya karena keberadaan pasar darurat
dapat menggeser fungsi lokasi itu dari kepentingan mereka selama ini. Pada
pembangunan Pasar Nusukan, upaya penyediaan pasar darurat di lapangan sempat
mendapat protes keras dari masyarakat karena selama ini lapangan telah digunakan untuk
berbagai kepentingan mereka. Selain karena alasan menggeser fungsi, masyarakat juga
merasa tidak nyaman berada pada lingkungan pasar.

Revitalisasi pasar tradisional juga perlu diiringi dengan peningkatan manajemen


dan pengelolaan pasar tradisional. Produktivitas institusi pengelola pasar di Pemerintah
Daerah relatif masih lemah. Penarikan Pendapatan Asli Daerah yang berasal dari pasar
berupa retribusi pasar masih lebih rendah dibandingkan dengan biaya belanja institusi
pengelola pasar tersebut, sehingga kondisi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) itu
tidak surplus tetapi masih defisit.

Kelemahan manajemen pasar itu juga nampak dalam berbagai persoalan, seperti:
(1) Kurang responsifnya institusi pengelola pasar terhadap masalah dan keluhan para
pedagang pasar, (2) Pengawasan pemasukan retribusi pasar belum dilakukan secara
optimal, sehingga nilai penerimaan retribusi pasar masih belum sesuai dengan potensi
yang ada, (3) Disatu sisi terjadi pasar tumpah dan kekumuhan pasar, disisi lain ada pasar
yang belum secara optimal digunakan pedagang.

Pada konsep pengembangan pasar tadisional seringkali ada kepercayaan bahwa


keberadaan suatu pasar itu adalah ”pulung”, tidak dapat dibuat atau direkayasa. Banyak
pasar-pasar baru yang dibuat menemui kegagalan atau tidak bisa berkembang
sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu kegiatan revitalisasi pasar tradisional perlu
diarahkan bukan untuk menciptakan pasar tradisional baru, tetapi lebih melakukan
penataan pasar tradisional untuk mengembalikan fungsi pasar tradisional agar dapat
menyentuh aspek-aspek ekonomi, sosial, dan historis masyarakat sehingga diharapkan ke
depan ”pasar ora ilang kumandhange”.

Pasar tradisional menjadi salah satu alternatif masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan
sehari-hari dengan harga yang relatif lebih murah. Untuk sebagian masyarakat, pasar
tradisional bahkan dapat dijadikan tempat rekreasi untuk melepas kepenatan dalam
kesibukan sehari-hari. Di pasar tradisional, interaksi antara penjual dan pembeli dapat
berlangsung lebih akrab dan menawar harga suatu produk dapat memberikan kepuasan
tertentu.

Jika dikelola dengan baik, tidak mustahil pasar tradisional akan mendatangkan
keuntungan. Pasar tradisional dengan ciri khasnya bisa menjadi komoditas wisata yang
pada akhirnya juga menguntungkan pemerintah daerah. Malah pasar tradisional dapat
menjadi trade mark suatu kota. Artinya, mendengar nama pasar tradisional orang akan
secara otomatis ingat kota di mana pasar itu berada. Misalnya Pasar Beringharjo, orang
akan ingat kota Yogyakarta, atau Pasar Kumbasari, orang akan ingat Kota Denpasar.
Karena itulah pasar tradisional dapat dijadikan salah satu atraksi wisata kota.

Namun, kita tak jarang mendengar sebutan becek, panas, sumpek, sempit, dan entah kata-
kata berkonotasi negatif apalagi yang biasanya dicitrakan masyarakat umum terhadap
sebuah pasar tradisional. Pasar tradisional memang memiliki keterbatasan fisik dan
terkesan semrawut. Hal ini sebenarnya masih bisa diperbarui. Dalam permasalahan ini,
menjadi tugas semua elemen untuk memperbaruinya. Pemerintah, masyarakat, dan
penghuni pasar itu sendiri. Pasar tradisional sebaiknya mulai ditata, dirapikan, dan
ditertibkan. Sebagai gambaran, Pasar Putih di Bukittinggi, Sumatera Barat. Disana, pasar
ditata rapi, tempatnya bersih, pedagangnya ramah, nuansanya teduh, terkadang samar-
samar terdengar alunan ayat suci yang dikumandangkan seorang tuna netra. Jauh dari
kesemrawutan.
I. Rekomendasi

II. Amatan Empiris


Amatan empiris ini mengenai pengamatan lapangan secara langsung mengenai
informasi data.
II.1 Pengamatan Kondisi Fisik Pasar Demangan

Di sepanjang jalan trotoar, pedagang liar menggelar dagangannya


yang jenis barang dagangannya sama seperti di dalam pasar itu sendiri Jika persoalan ini
tidak segera ditanggapi secara serius, kemungkinan akan menjadi masalah besar dimasa
yang akan datang. Para pedagang berangsur-angsur akan meninggalkan tempat dasaran
mereka di lantai II, dan menggelar dagangan mereka di lantai I, campur berdesakan dan
berebut dengan para pedagang oprokan yang sudah ada. Kondisi itu akan berdampak
luas, antara lain yaitu: (1) Kondisi pasar lantai pertama semakin “semrawut” karena
semakin banyaknya pedagang menggelar dagangan dijalan-jalan yang tentu jauh dari
ketertiban, (2) Kondisi pasar lantai II semakin “sepi” pedagang, sehingga pemanfaatan
tempat dasaran di lantai II menjadi kurang optimal. Hal itu juga menyebabkan persoalan
kumuh pasar dan problem transportasi yang macet, karena pedagang menggelar
dagangannya sampai kejalan-jalan.

II.2 Pengamatan Kegiatan yang Terjadi dalam Pasar Demangan


II.3 Pengamatan Mengenai Fasilitas Pendukung Pasar Demangan
II.4 Hasil Wawancara terhadap Penjual di Pasar Demangan

III. Masalah Krusial Pasar Demangan

IV. Potensi Pasar Demangan

You might also like