You are on page 1of 46

Psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu terbilang berusia muda.

Ilmu pengetahuan yang


mempelajari tingkah laku dan proses mental itu diklaim Barat baru muncul pada tahun 1879 M --
ketika Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium pertamanya di Leipzig. Padahal, jauh sebelum
itu peradaban manusia dari zaman ke zaman telah menaruh perhatian pada masalah-masalah
psikologi.

Peradaban manusia kuno di Mesir, Yunani, Cina, dan India telah memikirkan tentang ilmu yang
mempelajari manusia dalam kurun waktu bersamaan. Kebudayaan kuno itu juga telah
memikirkan tentang sifat pikiran, jiwa, ruh, dan sebagainya. Masyarakat Mesir Kuno dalam
catatan yang tertulis pada papirus bertarik 1550 SM telah mencoba mendeskripsikan tentang otak
dan beberapa spekulasi mengenai fungsinya.

Selain itu, filsuf Yunani Kuno, Thales, juga telah mengelaborasi apa yang disebut sebagai psuch
atau jiwa. Pemikir lainnya dari peradaban Yunani Kuno seperti Plato, Pythagoras, dan
Aristoteles juga turut mendedikasikan diri mereka untuk mempelajari dan mengembangkan
dasar-dasar psikologi. Sejak abad ke-6 M, peradaban Cina telah mengembangkan tes
kemampuan sebagai bagian dari sistem pendidikan.

Lalu bagaimana peradaban Islam berperan dalam mengembangkan psikologi? Sebenarnya. jauh
sebelum Barat mendeklarasikan berdirinya disiplin ilmu psikologi di abad ke-19 M, di era
keemasannya para psikolog dan dokter Muslim telah turut mengembangkan psikologi dengan
membangun klinik yang kini dikenal sebagai rumah sakit psikiatris.

Di era kekhalifahan, psikologi berkembang beriringan dengan pesatnya pencapaian dalam ilmu
kedokteran. Pada masa kejayaannya, para psikolog Muslim telah mengembangkan Psikologi
Islam atau Ilm-Al Nafsiat. Psikologi yang berhubungan dengan studi nafs atau jiwa itu mengkaji
dan mempelajari manusia melalui qalb (jantung), ruh, aql (intelektual), dan iradah (kehendak).

Kontribusi para psikolog Muslim dalam mengembangkan dan mengkaji psikologi begitu sangat
bernilai. Sejarah mencatat, sarjana Muslim terkemuka, Al-Kindi, merupakan psikolog Muslim
pertama yang mencoba menerapkan terapi musik. Psikolog Muslim lainnya, Ali ibn Sahl Rabban
Al-Tabari, juga diakui dunia sebagai orang pertama yang menerapkan psikoterapi atau 'al-`ilaj al-
nafs'.

Psikolog Muslim di era kejayaan, Ahmed ibnu Sahl Al-Balkhi, merupakan sarjana pertama yang
memperkenalkan konsep kesehatan spiritual atau al-tibb al-ruhani dan ilmu kesehatan mental.
Al-Balkhi diyakini sebagai psikolog medis dan kognitif pertama yang secara jelas membedakan
antara neuroses dan psychoses untuk mengklasifikasi gangguan penyakit syaraf.

Melalui kajian yang dilakukannya, Al-Balkhi, juga mencoba untuk menunjukkan secara detail
bagaimana terapi rasional dan spiritual kognitif dapat digunakan untuk memperlakukan setiap
kategori penyakit. Pencapaian yang berhasil ditorehkan Al-Balkhi pada abad pertengahan itu
terbilang begitu gemilang.

Sumbangan yang tak kalah pentingnya terhadap studi psikologi juga diberikan oleh Al-Razi.
Rhazes - begitu orang Barat menyebut Al-Razi - telah menorehkan kemajuan yang begitu
signifikan dalam psikiatri. Melalui kitab yang ditulisnya yakni El-Mansuri dan Al-Hawi, Al-Razi
mengungkapkan definisi symptoms (gejala) dan perawatannya untuk menangani sakit mental dan
masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan mental.

Al-Razi juga tercatat sebagai psikolog pertama yang membuka ruang psikiatri di sebuah rumah
sakit di Kota Baghdad. Pada saat yang sama, Barat belum mengenal dan menerapkan hal serupa,
sebab waktu itu Eropa berada dalam era kegelapan. Apa yang telah dilakukan Al-Razi di masa
kekhalifahan Abbasiyah itu kini diterapkan di setiap rumah sakit.

Pemikir Muslim lainnya di masa keemasan Islam yang turut menyumbangkan pemikirannya
untuk mengembangkan psikologi adalah Al-Farabi. Ilmuwan termasyhur ini secara khusus
menulis risalah terkait psikologi sosial dan berhubungan dengan studi kesadaran. Dari Andalusia,
dokter bedah terkemuka, Al-Zahrawi, alias Abulcasis mempelopori bedah syaraf.

Selain itu, Ibnu Zuhr, alias Avenzoar tercatat sebagai psikolog Muslim pertama yang
mencetuskan deskripsi tentang penyakit syaraf secara akurat. Ibnu Zuhr juga telah memberi
sumbangan yang berarti bagi neuropharmakology modern. Yang tak kalah penting lagi, Ibnu
Rusyd atau Averroes -- ilmuwan Muslim termasyhur - telah mencetuskan adanya penyakit
Parkinson's.

Ali ibnu Abbas Al-Majusi, psikolog Muslim lainnya di masa kejayaan turut menyumbangkan
pemikirannya bagi studi psikologi. Ia merupakan psikolog yang menghubungkan antara
peristiwa-peristiwa psikologis tertentu dengan perubahan psikologis dalam tubuh. Ilmuwan besar
Muslim lainnya, Ibnu Sina, alias Avicenna dalam kitabnya yang fenomenal Canon of Medicine
juga mengupas masalah neuropsikiatri. Ibnu Sina menjelaskan pendapatnya tentang kesadaran
diri atau self-awareness.

Sementara itu, Ibnu Al-Haitham alias Alhazen lewat kitabnya yang terkenal Book of Optics
dianggap telah menerapkan psikologi eksperimental, yakni psikologi persepsi visual. Dialah
ilmuwan pertama yang mengajukan argumen bahwa penglihatan terjadi di otak, dibandingkan di
mata. Al-Haitham mengesakan bahwa pengalaman seseorang memiliki efek pada apa yang
dilihat dan bagaimana seseorang melihat.

Menurut Al-Haitham, penglihatan dan persepsi adalah subjektif. Al-Haitham juga adalah
ilmuwan pertama yang menggabungkan fisika dengan psikologi sehingga terbentuklah
psychophysics. Melalui percobaan yang dilakukannya dalam studi psikologi, Al-Haitham banyak
mengupas tentang persepsi visual termasuk sensasi, variasi, dalam sensitivitas, sensasi rabaan,
persepsi warna, serta persepsi kegelapan.

Sejarawan psikologi, Francis Bacon menyebut Al-Haitham sebagai ilmuwan yang meletakkan
dasar-dasar psychophysics dan psikologi eksperimental. Berdasarkan hasil penelusuran yang
dilakukannya, Bacon merasa yakin bahwa Al-Haitham adalah sarjana pertama yang berhasil
menggabungkan fisika dengan psikologi, dibandingkan Fechner yang baru menulis Elements of
Psychophysics pada tahun 1860 M.

Bacon juga mengakui Al-Haitham sebagai pendiri psikologi eksperimental. Dia mencetuskan
teori besar itu pada awal abad ke-11 M. Selain itu, dunia juga mengakui Al-Biruni sebagai salah
seorang perintis psikologi eksperimental lewat konsep reaksi waktu yang dicetuskannya.
Sayangnya, sumbangan yang besar dari para ilmuwan Muslim terhadap studi psikologi itu
seakan tak pernah tenggelam ditelan zaman.

Rumah Sakit Jiwa Pertama di Dunia


Umat Muslim di era keemasan kembali membuktikan bahwa Islam adalah pelopor peradaban.
Sepuluh abad sebelum masyarakat Barat memiliki rumah sakit jiwa untuk mengobati orang-
orang yang mengalami gangguan kejiwaan, umat Muslim di kota Baghdad pada tahun 705 M
sudah mendirikannya. Rumah sakit jiwa atau insane asylums mulai didirikan para dokter dan
psikolog Islam pada masa kekhalifahan.

Tak lama setelah itu, di awal abad ke-8 M peradaban Muslim di kota Fes juga telah memiliki
rumah sakit jiwa. Rumah sakit jiwa juga sudah berdiri di kota Kairo pada tahun 800 M. Setelah
itu pada tahun 1270 M, kota Damaskus dan Aleppo juga mulai memiliki rumah sakit jiwa.
Rumah sakit jiwa itu dibangun para dokter dan psikolog sebagai tempat untuk merawat pasien
yang mengalami beragam gangguan kejiwaan.

Sementara itu, Inggris - negara terkemuka di Eropa -- baru membuka rumah sakit jiwa pada
tahun 1831 M. Rumah sakit jiwa pertama di Inggris itu adalah Middlesex County Asylum yang
terletak di Hanwell sebelah barat London. Pemerintah Inggris membuka rumah sakit jiwa setelah
mendapat desakan dari Middlesex County Court Judges. Setelah itu Inggris mengeluarkan
Madhouse Act 1828 M.

Psikolog Muslim di abad ke-10 M, Ahmed ibnu Sahl Al-Balkhi, (850 M - 934 M) telah
mencetuskan gangguan atau penyakit yang berhubungan antara pikiran dan badan. Al-Balkhi
berkata, ''Jika jiwa sakit, maka tubuh pun tak akan bisa menikmati hidup dan itu bisa
menimbulkan penyakit kejiwaan.'' Al-Balkhi mengakui bahwa badan dan jiwa bisa sehat dan bisa
pula sakit alias keseimbangan dan ketidakseimbangan. Dia menulis bahwa ketidakseimbangan
dalam tubuh dapat menyebabkan demam, sakit kepala, dan rasa sakit di badan. Sedangkan, papar
dia, ketidakseimbangan dalam jiwa dapat mencipatakan kemarahan, kegelisahan, kesedihan, dan
gejala-gejala yang berhubungan dengan kejiwaan lainnya.

Dia juga mengungkapkan dua macam penyebab depresi. Pertama, kata Al-Balkhi, depresi
disebabkan oleh alasan yang diketahui, seperti mengalami kegagalan atau kehilangan. Ini bisa
disembuhkan secara psikologis. Kedua, depresi bisa terjadi oleh alasan-alasan yang tak
diketahui, kemukinan disebabkan alasan psikologis. Tipe kedua ini bisa disembuhkan melalui
pemeriksaan ilmu kedokteran.

Begitulah para pemikir Muslim di era keemasan memberikan begitu banyak sumbangan bagi
pengembangan psikologi.

Pemikir Islam dan Psikologi

- Ibnu Sirin: Ilmuwan Muslim ini memberi sumbangan bagi pengembangan psikologi melalui
bukunya berjudul a book on dreams and dream interpretation.
- Al-Kindi alias Alkindus: Dialah pemikir Muslim terkemuka yang mengembangkan bentuk-
bentuk terapi musik.
- Ali ibn Sahl Rabban Al-Tabari: Dialah ilmuwan yang mengambangkan al-`ilaj al-nafs atau
psikoterapi.
- Al-Farabi alias Alpharabius: Inilah pemikir Islam yang mendiskusikan masalah yang
berhubungan dengan psikologi sosial dan studi kesadaran. - Ali ibn Abbas al-Majusi: Dia adalah
sarjana Muslim yang menjelaskan tentang neuroanatomy dan neurophysiology.
- Abu al-Qasim Al-Zahrawi (Abulcasis): Inilah bapak ilmu bedah modern yang pertamakali
menjelaskan bedah syaraf atau neurosurgery.
- Abu Rayhan al-Biruni: Dialah pemikir Islam yang menjelaskan reaksi waktu.
- Ibn Tufail: Inilah sarjana Muslim yang mengantisipasi argumen tabula rasa.
- Abu Al-Qasim Al-Zahrawi (Abulcasis): Inilah bapak ilmu bedah modern yang pertamakali
menjelaskan bedah syaraf atau neurosurgery

_________________
Menghidupkan kembali agama berarti menghidupkan suatu bangsa. Hidupnya agama berarti
cahaya kehidupan.

Selama separuh abad mendedikasikan diri nya untuk pengembangan ilmu kedokteran khususnya
bedah, Al-Zahrawi telah menemukan puluhan alat bedah modern. Dalam Kitab Al-Tasrif, ‘Bapak
Ilmu Bedah’ itu memperkenalkan lebih dari 200 alat bedah yang dimilikinya. Di an tara ratusan
koleksi alat bedah yang dipunyainya, ternyata banyak peralatan yang tak pernah digunakan ahli
bedah sebelumnya.

Menurut catatan, selama karirnya Al-Zahrawi telah menciptakan atau menemukan 26 peralatan
bedah. Salah satu alat bedah yang ditemukan dan digunakan Al-Zahrawi adalah catgut. Alat yang
d gu nakan Al-Zahrawi untuk menjahit bagian dalam itu hingga kini masih digunakan ilmu
bedah modern. Selain itu, juga menemukan forceps untuk mengangkat janin yang meninggal.
Alat itu digambarkan dalam Kitab Al-Tasrif.

Dalam Al-Tasrif, Al-Zahrawi juga memperkenalkan penggenaan ligature 9benang pengikat luka)
untuk mengontrol pendarahaan arteri. Ja rum bedah ternyata juga ditemukan dan dipapar kan
secara jelas oleh Al-Zahrawi dalam kitabnya yang paling fenomenal itu. Selain itu, Al-Zahrawi
juga memperkenalkan sedere alat bedah lain hasil penemuannya dalam Kitab Al-Tasrif.

Peralatan penting untuk bedah yang ditemukan Al-Zahrawi itu antara lain, pisau bedah (scalpel),
curette, retractor, sendok bedah (surgical spoon), sound, pengait bedah (surgical hook), surgical
rod, dan specula. Tak cuma itu, Al-Zahrawi juga menemukan peralatan bedah yang digunakan
untuk memeriksi dalam uretra, alat untuk memindahkan benda asing dari tenggorokan serta alat
pemeriksa telinga. Kontribusi Al- Zahrawi bagi dunia kedokteran khususnya bedah hingga kini
tetap dikenang dunia

Jika di abad pertengahan umat Islam memiliki Al-Zahrawi seorang ahli bedah nomor satu di Eropa, di
millenium baru ini Islam pun memiliki Dr Mehmet Oz dokter bedah nomor wahid di Amerika Serikat
(AS). Kiprah gemilang Mehmet Oz sebagai ahli bedah jantung di AS mendapat pengakuan dari majalah
Timesebagai salah satu dari 100 orang berpengaruh di dunia.

Mehmet Oz nama yang mengingatkan kita pada kehebatan Sultan Mehmet II dari Kerajaan Usmani
erlahir pada 12 Juni 1960. Ia merupakan keturunan Turki. Dokter bedah yang dalam setahun sukses
melakukan 400 operasi bedah itu lahir di Cleveland, Ohio. Sang ayah juga merupakan ilmuwan
terkemuka bernama Profesor Mustafa Oz. Mehmet Oz menimba ilmu pada Tower Hill School di
Wilmington, Delaware. Pada tahun 1982, dia menyabet gelar sarjananya dari Harvard University. Empat
tahun kemudian, Mehmet meraih gelar MBA dari University of Pennsylvania School of Medicine dan The
Wharton School.

Kini, Mehmet adalah seorang guru besar Ilmu Bedah Jantung pada Columbia University. Dia juga tercatat
memimpin Heart Assist Device Program. Selain itu, Mehmet merupakan seorang pendiri Complementary
Medicine Program di NewYork-Presbyterian Hospital. Salah satu penelitiannya adalah bedah ganti
jantung.

Mehmet semakin diakui kiprahnya di bidang ilmu bedah jantung di AS dan dunia setelah mampu
menghasilkan 350 artikel orisinil yang dimuat berbagai media bergeng si dunia. Dia pun banyak menulis
buku. Sela in itu, dia sukses mengoperasi jantung 400 pasien dalam setahun. Saat ini, Mehmet pun
dipercaya menjadi direktur Siga Technologies sebuah perusahaan bioteknologi.

Selain didaulat majalah Timesebagai 100 tokoh berpengaruh dunia, Mehmet pun sempat didapuk
sebuah majalah terkemuka lainnya di AS menjadi dokter spesialis bedah jantung nomor wahid di New
York. Mehmet paling tidak telah melanjutkan kiprah yang pernah dicatat Al-Zahrawi sebagai seorang
dokter bedah Muslim terkemuka di abad ke 10 M.hri

''Ilmu optik merupakan penemuan ilmiah para sarjana Muslim yang paling orisinil dan penting dalam
sejarah Islam,'' ungkap Howard R Turner dalam bukunya Science in Medieval Islam. Pernyataan Turner
itu membuktikan bahwa dunia modern yang didominasi Barat saat ini tak boleh menafikkan peran
sarjana Muslim di era keemasan. Sebab, dari para ilmuwan Muslimlah, sarjana Barat seperti Leonardo
da Vinci, Kepler, Roger Bacon, serta yang lainnya belajar ilmu optik.

Keberhasilan umat Islam menguasai bidang optik di masa kekhalifahan berawal dari kerja keras para
filosof, matematikus, dan ahli kesehatan yang mempelajari sifat fundamental dan cara bekerja
pandangan dan cahaya. Di abad ke-9 M, ilmuwan Muslim dengan tekun menggali dan mempelajari
karya-karya ilmuwan Yunani seperti Euclid serta risalah-risalah astronom Mesir, Ptolemeus tentang
optik.

Ilmuwan Muslim pertama yang mencurahkan pikirannya untuk mengkaji ilmu optik adalah Al-Kindi (801
M - 873 M). Hasil kerja kerasnya mampu menghasilkan pemahaman baru tentang refleksi cahaya serta
prinsip-prinsip persepsi visual. Buah pikir Al-Kindi tentang optik terekam dalam kitab berjudul De Radiis
Stellarum. Buku yang ditulisnya itu sangat berpengaruh bagi sarjana Barat seperti Robert Grosseteste
dan Roger Bacon.
Tak heran, bila teori-teori yang dicetuskan Al-Kindi tentang ilmu optik telah menjadi hukum-hukum
perspektif di era Renaisans Eropa. Secara lugas, Al-Kindi menolak konsep tentang penglihatan yang
dilontarkan Aristoteles. Dalam pandangan ilmuwan Yunani itu, penglihatan merupakan bentuk yang
diterima mata dari obyek yang sedang dilihat. Namun, menurut Al-Kindi penglihatan justru ditimbulkan
daya pencahayaan yang berjalan dari mata ke obyek dalam bentuk kerucut radiasi yang padat.

Seabad kemudian, sarjana Muslim lainnya yang menggembangkan ilmu optik adalah Ibnu Sahl (940 M -
100 M). Sejatinya, Ibnu Sahl adalah seorang matematikus yang mendedikasikan dirinya di Istana
Baghdad. Pada tahun 984 M, dia menulis risalah yang berjudul On Burning Mirrors and Lenses
(pembakaran dan cermin dan lensa). Dalam risalah itu, Ibnu Sahl mempelajari cermin membengkok dan
lensa membengkok serta titik api cahaya.

Ibnu Sahl pun menemukan hukum refraksi (pembiasan) yang secara matematis setara dengan hukum
Snell. Dia menggunakan hukum tentang pembiasan cahaya untuk memperhitungkan bentuk-bentuk
lensa dan cermin yang titik fokus cahanya berada di sebuah titik di poros.

Ilmuwan Muslim yang paling populer di bidang optik adalah Ibnu Al-Haitham (965 M - 1040 M). Menurut
Turner, Al-Haitham adalah sarjana Muslim yang mengkaji ilmu optik dengan kualitas riset yang tinggi dan
sistematis. "Pencapaian dan keberhasilannya begitu spektakuler,'' puji Turner.

Al-Haitham adalah sarjana pertama menemukan pelbagai data penting mengenai cahaya. Salah satu
karyanya yang paling fenomenal adalah Kitab Al-Manazir (Buku Optik). Dalam kitab itu, ia menjelaskan
beragam fenomena cahaya termasuk sistem penglihatan manusia. Saking fenomenalnya, kitab itu telah
menjadi buku rujukan paling penting dalam ilmu optik. Selama lebih dari 500 tahun buku dijadikan
pegangan.

Pada tahun 1572 M, Kitab Al-Manadzir diterjemahkan kedalam bahasa Latin Opticae Thesaurus. Dalam
kitab itu, dia mengupas ide-idenya tentang cahaya. Sang ilmuwan Muslim itu meyakini bahwa sinar
cahaya keluar dari garis lurus dari setiap titik di permukaan yang bercahaya.

Selain itu, Al-Haitham memecahkan misteri tentang lintasan cahaya melalui berbagai media melalui
serangkaian percobaan dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Keberhasilannya yang lain adalah
ditemukannya teori pembiasan cahaya. Al-Haitham pun sukses melakukan eksperimen pertamanya
tentang penyebaran cahaya terhadap berbagai warna.

Tak cuma itu, dalam kitab yang ditulisnya, Alhazen - begitu dunia Barat menyebutnya - juga menjelaskan
tentang ragam cahaya yang muncul saat matahari terbenam. Ia pun mencetuskan teori tentang berbagai
macam fenomena fisik seperti bayangan, gerhana, dan juga pelangi. Ia juga melakukan percobaan untuk
menjelaskan penglihatan binokular dan memberikan penjelasan yang benar tentang peningkatan ukuran
matahari dan bulan ketika mendekati horison.
Keberhasilan lainnya yang terbilang fenomenal adalah kemampuannya menggambarkan indra
penglihatan manusia secara detail. Tak heran, jika 'Bapak Optik' dunia itu mampu memecahkan rekor
sebagai orang pertama yang menggambarkan seluruh detil bagian indra pengelihatan manusia.
Hebatnya lagi, ia mampu menjelaskan secara ilmiah proses bagaimana manusia bisa melihat.

Teori yang dilahirkannya juga mampu mematahkan teori penglihatan yang diajukan dua ilmuwan
Yunani, Ptolemy dan Euclid. Kedua ilmuwan ini menyatakan bahwa manusia bisa melihat karena ada
cahaya keluar dari mata yang mengenai objek. Berbeda dengan keduanya, Ibnu Haytham mengoreksi
teori ini dengan menyatakan bahwa justru objek yang dilihatlah yang mengeluarkan cahaya yang
kemudian ditangkap mata sehingga bisa terlihat.

Secara detail, Al-Haitham pun menjelaskan sistem penglihatan mulai dari kinerja syaraf di otak hingga
kinerja mata itu sendiri. Ia juga menjelaskan secara detil bagian dan fungsi mata seperti konjungtiva, iris,
kornea, lensa, dan menjelaskan peranan masing-masing terhadap penglihatan manusia. Hasil penelitian
Al-Haitham itu lalu dikembangkan Ibnu Firnas di Spanyol dengan membuat kaca mata.

Dalam buku lainnya yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul Light dan On Twilight
Phenomena Al-Haitham membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari
serta bayang-bayang dan gerhana. Menurut Al-Haitham, cahaya fajar bermula apabila matahari berada
di garis 19 derajat ufuk timur. Warna merah pada senja akan hilang apabila matahari berada di garis 19
derajat ufuk barat. Ia pun menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya.

Al-Haitham juga mencetuskan teori lensa pembesar. Teori itu digunakan para saintis di Italia untuk
menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia. Pada abad ke-13 M, fisikawan Muslim lainnya yang
banyak berkontribusi dalam bidang optik adalah Kamaluddin Al-Farisi. Dia mampu menjelaskan
fenomena pelangi. Melalui penelitian yang dilakukannya, ia berhasil mengungkapkan bagaimana cahaya
matahari direfraksi melalui hujan serta terbentuknya pelangi primer dan sekunder. Itulah peran sarjana
Muslim di era kekhalifahan dalam bidang optik.

Dunia mendapuknya sebagai Bapak Optik. Gelar kehormatan itu dianugerahkan kepada Ibnu Al-Haitam
atas kontribusinya dalam mengembangkan ilmu optik. Alhazen - begitu orang Barat menyebutnya -
bernama lengkap Abu Ali Muhammad Ibnu Al-Hasan Ibnu Al-Haitham merupakan sarjana Muslim
terkemuka yang terlahir di Basrah, Irak pada tahun 965 M.

Sejak kecil Al-Haitham yang berotak encer menempuh pendidikan di tanah kelahirannya. Ia merintis
kariernya sebagai pegawai pemerintah di Basrah. Namun, Al-Haitham ternyata tak betah berlama-lama
berkarir di dunia birokrasi. Al-Haitham yang lebih tertarik untuk menimba ilmu akhirnya memutuskan
untuk berhenti sebagai pegawai pemerintah.

Ia pun lalu memilih merantau ke Ahwaz dan metropolis intelektual dunia saat itu yakni kota Baghdad. Di
kedua kota itu ia menimba beragam ilmu. Ghirah keilmuannya yang tinggi membawanya terdampar
hingga ke Mesir. Di negeri piramida itu, Al-Haitham meneliti men aliran dan saluran Sungai Nil serta
menerjemahkan buku-buku tentang matematika dan ilmu falak.

Al-Haitham pun sempat mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar. Setelah itu, secara otodidak, ia
mempelajari hingga menguasai beragam disiplin ilmu seperti ilmu falak, matematika, geometri,
pengobatan, fisika, dan filsafat. Secara serius dia mengkaji dan mempelajari seluk-beluk ilmu optik.
Beragam teori tentang ilmu optik telah dilahirkan dan dicetuskannya.

Penelitiannya tentang cahaya memberikan ilham kepada ahli sains Barat seperti Boger, Bacon, dan
Kepler menciptakan mikroskop serta teleskop. Dialah orang pertama yang menulis dan menemukan
pelbagai data penting mengenai cahaya. Konon, dia telah menulis tak kurang dari 200 judul buku.

Sayangnya, hanya sedikit yang terisa. Bahkan karya monumentalnya, Kitab Al Manadhir, tidak diketahui
lagi rimbanya. Orang hanya bisa mempelajari terjemahannya yang ditulis dalam bahasa Latin.
Kekurangpedulian umat Islam terhadap karya-karya ilmuwan terdahulu, telah membuat Islam tertinggal.

Tak salah bila dunia mendapuknya sebagai bapak ki mia modern. Ahli kimia Mus lim terkemuka
di era kekhalifahan yang dikenal di dunia Barat dengan pang gilan Geber itu memang sangat
fenomenal. Betapa tidak, 10 abad se be lum ahli kimia Barat bernama John Dal ton (1766-1844)
mencetuskan teori mo lekul kimia, Jabir Ibnu Hayyan (721M - 815 M) telah menemukannya di
abad ke-8 M.

Hebatnya lagi, penemuan dan eksperimennya yang telah berumur 13 abad itu ternyata hingga
kini masih tetap dijadikan rujukan. Dedikasinya dalam pengembangan ilmu kimia sungguh tak
ternilai harganya. Tak heran, jika ilmuwan yang juga ahli farmasi itu dinobatkan sebagai
renaissance man
(manusia yang mencerahkan).

Tanpa kontribusinya, boleh jadi ilmu kimia tak berkembang pesat seperti saat ini. Ilmu
pengetahuan modern sungguh telah berutang budi kepada Jabir yang dikenal sebagai seorang sufi
itu. Jabir telah menorehkan sederet karyanya dalam 200 kitab. Sebanyak 80 kitab yang ditulisnya
itu mengkaji dan mengupas seluk-beluk ilmu kimia. Sebuah pencapaian yang terbilang amat
prestisius.

Itulah sebabnya, ahli sejarah Barat, Philip K Hitti dalam History of the Arabs berujar, ‘’Sesudah
ilmu kedokteran, astronomi, dan matematika, bangsa Arab juga memberikan sumbangan yang
begitu besar di bidang kimia.’‘ Penyataan Hitti itu merupakan sebuah pengakuan Barat terhadap
pencapaian yang telah ditorehkan umat Islam di era keemasan.

Sejatinya, ilmuwan kebanggaan umat Islam itu bernama lengkap Abu Musa Jabir Ibnu Hayyan.
Asal-usul kesukuan Jabir memang tak terungkap secara jelas. Satu versi menyebutkan, Jabir
adalah seorang Arab. Namun, versi lain menyebutkan ahli kimia kesohor itu adalah orang Persia.
Kebanyakan literatur menulis bahwa Jabir terlahir di Tus, Khurasan, Iran pada 721 M.

Saat terlahir, wilayah Iran berada dalam kekuasaan Dinasti Umayyah. Sang ayah bernama
Hayyan Al-Azdi, seorang ahli farmasi berasal dari suku Arab Azd. Pada era kekuasaan Daulah
Umayyah, sang ayah hijrah dari Yaman ke Kufah, salah satu kota pusat gerakan Syiah di Irak.
Sang ayah merupakan pendukung Abbasiyah yang turut serta menggulingkan Dinasti Umayyah.

Ketika melakukan pemberontakan, Hayyan tertangkap di Khurasan dan dihukum mati.


Sepeninggal sang ayah, Jabir dan keluarganya kembali ke Yaman. Jabir kecil pun mulai
mempelajari Alquran, matematika, serta ilmu lainnya dari seorang ilmuwan bernama Harbi Al-
Himyari.

Setelah Abbasiyah menggulingkan kekuasaan Umayyah, Jabir memutuskan untuk kembali ke


Kufah. Di kota Syiah itulah, Jabir belajar dan merintis karier. Ketertarikannya pada bidang
kimia, boleh jadi lantaran profesi sang ayah sebagai peracik obat. Jabir pun memutuskan untuk
terjun di bidang kimia.

Jabir yang tumbuh besar di pusat peradaban Islam klasik itu menimba ilmu dari seorang imam
termasyhur bernama Imam Ja’far Shadiq. Selain itu, ia juga sempat belajar dari Pangeran Khalin
Ibnu Yazid. Jabir memulai kariernya di bidang kedokteran setelah berguru pada Barmaki Vizier
pada masa kekhalifahan Abbasiyah berada dibawah kepemimpinan Harun Ar-Rasyid.

Sejak saat itulah, Jabir bekerja keras mengelaborasi kimia di sebuah laboratorium dengan
serangkaian eksperimen. Dalam karirnya, ia pernah bekerja di laboratorium dekat Bawwabah di
Damaskus. Salah satu ciri khasnya, ia mendasari eksperimen-eksperimen yang dilakukannya
secara kuantitatif. Selain itu, instrumen yang digunakan dibuat sendiri, menggunakan bahan
berasal dari logam, tumbuhan, dan hewani. ‘’Saya pertama kali mengetahuinya dengan melalui
tangan dan otak saya, dan saya menelitinya hingga sebenar
mungkin, dan saya mencari kesalahan yang mungkin masih terpendam.’‘ Kalimat itu kerap
dituliskan Jabir saat mengakhiri uraian suatu eksperimen yang telah dilakukannya.

Setelah sempat berkarier di Damas - kus, Jabir pun dikabarkan kembali ke Kufah. Dua abad
pasca-berpulangnya Jabir, dalam sebuah penggalian jalan telah ditemukan bekas laboratorium
tempat sang ilmuwan berkarya. Dari tempat itu ditemukan peralatan kimianya yang hingga kini
masih mempesona serta sebatang emas yang cukup berat.

Begitu banyak sumbangan yang telah dihasilkan Jabir bagi pengembangan kimia. Berkat jasa
Jabir-lah, ilmu pengetahuan modern bisa mengenal asam klorida, asam nitrat, asam sitrat, asam
asetat, tehnik distilasi, dan tehnik kristalisasi. Jabir pulalah yang menemukan larutan aqua regia
(dengan menggabungkan asam klorida dan asam nitrat) untuk melarutkan emas.

Keberhasilan penting lainnya yang dicapai Jabir adalah kemampuannya mengapli kasi kan
pengetahuan me ngenai kimia ke dalam proses pembuatan besi dan logam lainnya, serta
pencegahan karat. Ter nyata, Jabir jugalah yang kali pertama mengaplikasikan penggunaan
mangan dioksida pada pembuatan gelas kaca.

Adalah Jabir pula yang pertama kali mencatat tentang pemanasan anggur akan menimbulkan gas
yang mudah terbakar. Hal inilah yang kemudian memberikan jalan bagi Al-Razi untuk
menemukan etanol.
Selain itu, Jabir pun berhasil menyempurnakan proses dasar sublimasi, peng uapan, pencairan,
kristalisasi, pembuatan
kapur, penyulingan, pencelupan, pemurnian, sematan (fixation), amalgamasi, dan oksidasi-
reduksi. Apa yang dihasilkannya itu merupakan teknikteknik kimia modern.

Tak heran, bila sosok dan pemikiran Jabir begitu berpengaruh bagi para ahli kimia Muslim
lainnya seperti Al-Razi (9 M), Tughrai (12 M) dan Al-Iraqi (13 M). Tak cuma itu, buku-buku
yang ditulisnya juga begitu besar pengaruhnya terhadap pengembangan ilmu kimia di Eropa.
Jabir tutup usia pada tahun 815 M di Kufah.

Dedikasi dan prestasi yang dicapai Jabir Ibnu Hayyan dalam bidang kimia terekam dengan baik lewat
buku-buku yang ditulisnya. Tak kurang dari 200 buku berhasil ditulisnya. Sebanyak 80 judul buku di
antaranya mengupas hasil-hasil eksperimen kimia yang dilakukannya. Buku-buku itu sungguh amat
berpengaruh hingga sekarang.

Sebanyak 112 buku karya Jabir secara khusus ditulis untuk dipersembahkan kepada Barmakid sang guru
yang juga pembantu atau wazir Khalifah Harun Ar- Rasyid. Buku-buku itu ditulis dalam bahasa Arab.
Pada abad pertengahan, orang-orang Barat mulai menerjemahkan karya-karya Jabir itu ke dalam bahasa
Latin (Tabula Smaragdina).Buku-buku itu lalu menjadi rujukan pada ahli kimia di Eropa.

Selain itu, sebanyak 70 buku karya Jabir lainnya juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Latin pada abad
pertengahan. Dari ke-70 kitab berpengaruh itu, salah satu yang terkenal adalah Kitab Al-Zuhra yang
diterjemakan menjadi Book of Venus, serta Kitab Al-Ahjar yang dialihbahasakan menjadi Book of Stones.

Sebanyak 10 buku yang ditulis Jabir lainnya adalah kitab pembetulan yang berisi penjelasan mengenai
ahli kimia Yunani seperti Pythagoras, Socrates, Plato dan Aristoteles. Sisanya, kitab yang ditulis Jabir
merupakan buku-buku keseimbangan. Dalam buku kelompok ini, Jabir melahirkan teori yang begitu
terkenal, yakni ‘teori keseimbangan alam.’

Risalat-risalat karya Jabir yang secara khusus membedah ilmu kimia antara lain’ Kitab Al-Kimya dan Kitab
Al-Sab’een. Kitab penting itu juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di abad pertengahan. Kitab
Al-Kimya menjadi sangat populer di Barat setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Ingris oleh orang
Inggris Robert of Chester pada 1144 M.

Al-Kimya versi alih bahasa berjudul ‘The Book of Composition of Alchemy’. Sedangkan, Kitab Al-Sab’een
diterjemahkan oleh Gerard of Cremona. Beberapa karya Jabir lainnya juga dialihbahasakan oleh
Berthelot ke dalam bahasa Inggris antara lain; ‘Book of Kingdom’, ‘Book of the Balances’, serta ‘Book of
Eastern Mercur.’

Buku karya Jabir lainnya juga mendapat perhatian dari ilmuwan Inggris bernama Richard Russel. Pada
abad ke-17 M, Russel menerjemahkan buku yang ditulis Jabir ke dalam bahasa Ingris berjudul ‘Sum of
Perfection’.
Dalam buku itu, Russel memperkenalkan Jabir dengan nama Geber seorang pange ran Arab terkenal
yang juga seorang filsuf. ‘Sum of Perfection’ selama beberapa abad begitu populer dan berpengaruh.
Buku itu telah mendorong terjadinya evolusi kimia modern. Begitu berpengaruhnya buku-buku karya
Jabir di Eropa dan Barat umumnya telah dibuktikan dengan munculnya beberapa istilah teknis yang
ditemukan dalam kamus kimia Barat dan menjadi kosa kata ilmia yang sebelumnya digunakan Jabir
seperti istilah ‘alkali.’

Berkembangnya geografi di dunia Islam dimulai ketika Khalifah Al-Ma'mun yang berkuasa dari tahun 813
hingga 833 M memerintahkan para geografer Muslim untuk mengukur kembali jarak bumi.

Islam mendorong umatnya untuk membuka pikiran dan cakrawala. Allah SWT SWT berfirman: Sungguh
telah berlaku sunnah Allah SWT (hukum Allah SWT) maka berjalanlah kamu di muka bumi dan lihatlah
bagaimana akibat (perbuatan) orangorang mendustakan ayat-ayat-Nya. (QS. Al-Imran: 137). Perintah ini
telah membuat umat Islam di abad-abad pertama berupaya untuk melakukan ekspansi serta ekspedisi.

Selain dilandasi faktor ideologi dan politik, ekspansi Islam yang berlangsung begitu cepat itu juga
didorong insentif perdagangan yang menguntungkan. Tak pelak umat Islam pun mulai mengarungi
lautan dan menjelajah daratan untuk menyebarkan agama Allah SWT. Seiring meluasnya ekspansi dan
ekspedisi ruterute perjalanan melalui darat dan laut pun mulai bertambah.

Tak heran, jika sejak abad ke-8 M, kawasan Mediterania telah menjadi jalur utama Muslim. Jalur-jalur
laut dan darat yang sangat sering digunakan akhirnya menghubungkan seluruh wilayah Muslim yang
berkembang mencapai India, Asia Tenggara, dan Cina meluas ke utara dari Sungai Volga hingga
Skandinavia dan menjangkau jauh ke pedalaman Afrika.

Ekspansi dan ekspedisi di abad-abad itu mendorong para sarjana dan penjelajah Muslim untuk
mengembangkan geografi atau ilmu bumi. Di era kekhalifahan, geografi mulai berkembang dengan
pesat. Perkembangan geografi yang ditandai dengan ditemukannya peta dunia serta jalur-jalur
perjalanan di dunia Muslim itu ditopang sejumlah faktor pendukung.

Era keemasan Islam, perkembangan astronomi Islam, penerjemahan naskahnaskah kuno ke dalam
bahasa Arab serta meningkatnya ekspansi perdagangan dan kewajiban menunaikan ibadah haji
merupakan sejumlah faktor yang mendukung berkembangnya geografi di dunia Islam. Tak pelak, Islam
banyak memberi kontribusi bagi pengembangan geografi.

Umat Islam memang bukan yang pertama mengembangkan dan menguasai geografi. Ilmu bumi pertama
kali dikenal bangsa Yunani adalah bangsa yang pertama dikenal secara aktif menjelajahi geografi.
Beberapa tokoh Yunani yang berjasa mengeksplorasi geografi sebagai ilmu dan filosofi antara lain;
Thales dari Miletus, Herodotus, Eratosthenes, Hipparchus, Aristotle, Dicaearchus dari Messana, Strabo,
dan Ptolemy.

Selain itu, bangsa Romawi juga turut memberi sumbangan pada pemetaan karena mereka banyak
menjelajahi negeri dan menambahkan teknik baru. Salah satu tekniknya adalah periplus, deskripsi pada
pelabuhan, dan daratan sepanjang garis pantai yang bisa dilihat pelaut di lepas pantai.

Selepas Romawi jatuh, Barat dicengkeram dalam era kegelapan. Perkembangan ilmu pengetahuan
justru mulai berkembang pesat di Timur Tengah. Geografi mulai berkembang pesat pada era
Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Ketika itu, Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Al- Mamun
berkuasa, mereka mendorong para sarjana Muslim untuk menerjemahkan naskah-naskah kuno dari
Yunani ke dalam bahasa Arab.

Ketertarikan umat Muslim terhadap geografi diawali dengan kegandrungan atas astronomi.
Perkembangan di bidang astronomi itu perlahan tapi pasti mulai membawa para sarjana untuk
menggeluti ilmu bumi. Umat Islam mulai tertarik mempelajari peta yang dibuat bangsa Yunani dan
Romawi. Beberapa naskah penting dari Yunani yang diterjemahkan antara lain; Alemagest dan
Geographia.

Berkembangnya geografi di dunia Islam dimulai ketika Khalifah Al- Ma’mun yang berkuasa dari tahun
813 hingga 833 M memerintahkan para geografer Muslim untuk mengukur kembali jarak bumi. Sejak
saat itu muncullah istilah mil untuk mengukur jarak. Sedangkan orang Yunani menggunakan istilah
stadion.

Upaya dan kerja keras para geografer Muslim itu berbuah manis. Umat Islam pun mampu menghitung
volume dan keliling bumi. Berbekal keberhasilan itu, Khalifah Al-Mamun memerintahkan para geografer
Muslim untuk menciptakan peta bumi yang besar. Adalah Musa Al-Khawarizmi bersama 70 geografer
lainnya mampu membuat peta globe pertama pada tahun 830 M.

Khawarizmi juga berhasil menulis kitab geografi yang berjudul Surah Al- Ard (Morfologi Bumi) sebuah
koreksi terhadap karya Ptolemaeus. Kitab itu menjadi landasan ilmiah bagi geografi Muslim tradisional.
Pada abad yang sama, Al-Kindi juga menulis sebuah buku bertajuk ‘Keterangan tentang Bumi yang
Berpenghuni’.

Sejak saat itu, geografi pun berkembang pesat. Sejumlah geografer Muslim berhasil melakukan
terobosan dan penemuan penting. Di awal abad ke-10 M, secara khusus, Abu Zayd Al-Balkhi yang
berasal dari Balkh mendirikan sekolah di kota Baghdad yang secara khusus mengkaji dan membuat peta
bumi.

Di abad ke-11 M, seorang geografer termasyhur dari Spanyol, Abu Ubaid Al- Bakri berhasil menulis kitab
di bidang geografi, yakni Mu’jam Al-Ista’jam (Eksiklopedi Geografi) dan Al-Masalik wa Al-Mamalik (Jalan
dan Kerajaan). Buku pertama berisi nama-nama tempat di Jazirah Arab. Sedangkan yang kedua berisi
pemetaan geografis dunia Arab zaman dahulu.

Pada abad ke-12, geografer Muslim, Al-Idrisi berhasil membuat peta dunia. Al-Idrisi yang lahir pada
tahun 1100 di Ceuta Spanyol itu juga menulis kitab geografi berjudul Kitab Nazhah Al- Muslak fi Ikhtira
Al-Falak (Tempat Orang yang Rindu Menembus Cakrawala). Kitab ini begitu berpengaruh sehingga
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Geographia Nubiensis.

Seabad kemudian, dua geografer Muslim yakni, Qutubuddin Asy-Syirazi (1236 M - 1311 M) dan Yaqut
Ar-Rumi (1179 M -1229 M) berhasil melakukan terobosan baru. Qutubuddin mampu membuat peta Laut
Putih/Laut Tengah yang dihadiahkan kepada Raja Persia. Sedangkan, Yaqut berhasil menulis enam jilid
ensiklopedi bertajuk Mu’jam Al-Buldan (Ensiklopedi Negeri-negeri).

Penjelajah Muslim asal Maroko, Ibnu Battuta di abad ke-14 M memberi sumbangan dalam menemukan
rute perjalanan baru. Hampir selama 30 tahun, Ibnu Battuta menjelajahi daratan dan mengarungi lautan
untuk berkeliling dunia. Penjelajah Muslim lainnya yang mampu mengubah rute perjalanan laut adalah
Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok. Dia melakukan ekspedisi sebanyak tujuh kali mulai dari tahun 1405
hingga 1433 M.

Dengan menguasai geografi, di era keemasan umat Islam mampu menggenggam dunia.

Kontribusi Geografer Muslim

Sederet geografer Muslim telah banyak memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu bumi. Al-Kindi
diakui begitu berjasa sebagai geografer pertama yang memperkenalkan percobaan ke dalam ilmu bumi.
Sedangkan, Al-Biruni didapuk sebagai ‘bapak geodesi’ yang banyak memberi kontribusi terhadap
geografi dan juga geologi.

John J O’Connor dan Edmund F Robertson menuliskan pengakuannya terhadap kontribusi Al-Biruni
dalam MacTutor History of Mathematics. Menurut mereka, ‘’Al-Biruni telah menyumbangkan kontribusi
penting bagi pengembangan geografi dan geodesi. Dialah yang memperkenalkan teknik pengukuran
bumi dan jaraknya dengan menggunakan triangulation.’’

Al-Biruni-lah yang menemukan radius bumi mencapai 6.339,6 km. Hingga abad ke-16 M, Barat belum
mampu mengukur radius bumi seperti yang dilakukan Al-Biruni. Bapak sejarah sains, George Sarton, juga
mengakui kontribusi sarjana Muslim dalam pengembangan geografi dan geologi. ‘’Kita menemukan
dalam tulisannya metedo penelitian kimia, sebuah teori tentang pembentukan besi.’’

Salah satu kekhasan yang dikembangkan geografer Muslim adalah munculnya bio-geografi. Hal itu
didorong oleh banyaknya orang Arab di era kekhalifahan yang tertarik untuk mendistribusi dan
mengklasifikasi tanaman, binatang, dan evolusi kehidupan. Para sarjana Muslim mencoba menganalisis
beragam jenis tanaman.

Geografer Muslim di Era Keemasan

1. Hisyam Al-Kalbi (abad ke-8 M)


Dia adalah ahli ilmu bumi pertama dalam sejarah Islam. Hisyam begitu populer dengan studinya yang
mendalam mengenai kawasan Arab.

2. Musa Al-Khawarizmi (780 M - 850 M)


Ahli matematika yang juga geografer itu merevisi pandangan Ptolemaues mengenai geografi. Bersama-
sama 70 puluh geografer, Al-Khawarizmi membuat peta globe pertama pada tahun 830 M.

3. Al-Ya’qubi (wafat 897 M)


Dia menulis buku geografi bertajuk ‘Negeri-negeri’ yang begitu populer dengan studi topografisnya.

4. Ibn Khordadbeh (820 M - 912 M)


Dia adalah murid Al-Kindi yang mempelajari jalan-jalan di berbagai provinsi secara cermat dan
menuangkannya ke dalam buku Al- Masalik wa Al-Mamalik (Jalan dan Kerajaan).

5. Al-Dinawari (828 M - 898 M)


Geografer Muslim yang juga banyak memberi kontribusi pada perkembangan ilmu geografi.

6. Hamdani (893 M - 945 M) Geografer Muslim abad ke-9 M yang mendedikasikan dirinya untuk
mengembangkan geografi.

7. Ali al-Masudi (896 M - 956 M)


Nama lengkapnya Abul hasan Ali Al-Ma’sudi. Ia mempelajari faktorfaktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi pembentukan batubatuan di bumi dengan orisinalitas yang mencengangkan.

8. Ahmad ibn Fadlan (abad ke-10 M)


Dia adalah geografer yang menulis ensiklopedia dan kisah perjalanan ke daerah Volga dan Kaspia.

9. Ahmad ibn Rustah (abad ke-10 M)


Ibnu Rustah merupakan geografer yang menulis ensiklopedia besar mengenai geografi. Al Balkhi
Memberikan sumbangan cukup besar dalam pemetaan dunia. Al Kindi Selain terkenal sebagai ahli
oseanografi, dia juga seorang ilmuwan multitalenta. Sebagai ahli fisika, optik, metalurgi, bahkan filosofi.

10. Al Istakhar II dan Ibnu Hawqal (abad ke-10 M)


Memberikan kontribusi besar dalam pemetaan dunia.

11. Al-Idrisi (1099 M)


Ahli geografi kesohor pada zamannya, yang juga dikenal sebagai ahli zoologi.

12. Al Baghdadi (1162 M)


Seorang geografer Muslim terkemuka.

13. Abdul-Leteef Mawaffaq (1162 M)


Selain pakar geografi, dia juga merupakan ahli pengobatan.
Imperium Usmani memiliki konsep dan metode khusus dalam mendidik tenaga medis. Selain
sudah memiliki tabib yang dikenal sebagai spesialis penyakit dalam pada era itu pemerintahan
Usmani juga sudah memiliki dokter spesialis bedah, dokter spesiali orthopedi, dan lainnya. Para
dokter itu dididik dengan cara yang berbeda-beda.

Dokter pada masa itu menempati posisi yang amat tinggi. Para dokter itu dididik dan ditempa di
sebuah madrasah dan dar al-shifa alias rumah sakit (RS). Di era itu, RS tak hanya menjadi
tempat mengobati pasien, namun juga menjadi tempat bagi para calon dokter menempa diri. Di
RS Kayseri, para calon dokter belajar mengenai dunia kedokteran secara teori dan praktik.

Anak muda yang ingin menjadi dokter disebut talib. Sedangkan, mahasiswa kedokteran
mendapat gelar Shaqirdi tabib. Para sakird atau mahasiswa kedokteran itu ikut hadir menangani
berbagai kasus secara langsung di RS. Sedangkan di madrasah mereka mempelajari seluk-beluk
kedokteran secara teori.

Kerajaan Usmani Turki memiliki tradisi baru dalam membangun RS, yang berbeda dengan
Dinasti Seljuk. Salah satunya adalah RS Bursa - bagian dari kompleks Sultan Yildirim. Di
tempat itu juga dibuka sekolah kedokteran. Di RS Bursa itu ada ruang belajar dan ruangan guru
yang juga para dokter. Di Istanbul, pemerintahan Usmani membangun RS Fatih pada 1470 M
yang juga sekolah kedokteran.

Selain itu di Edirne juga dibangun RS dan sekolah kedokteran yang bernama RS Bayezid II pada
1484. Hingga abad ke-19 M, para dokter dididik di RS yang sekaligus menjadi sekolah
kedokteran. hri

Sebelum Perang Salib mele tus, Yerusalem berada dalam masa kejayaan. Kota itu menjelma menjadi
pusat perdagangan dan ilmu pengeta hu an. Tak heran, bila di Yerusalem tersebar begitu banyak
madrasah yang melahirkan sederet ilmuwan Muslim terkemuka. Sayang, ke makmuran dan kemajuan
itu sirna begitu saja, setelah tentara Perang Salib menghancurkan dan membunuhi penduduk kota suci
itu.

Seorang pelancong Muslim, Nas ruddin Khusraw pada tahun 1047 M sempat bertandang ke Yerusalem.
Ia mencatat, Yerusalem telah mencapai kemajuan beberapa dekade sebelum berkecamuk nya Perang
Salib. Menurut Nas ruddin, pada era itu Yerusalem be gitu makmur. Harga barang-barang begitu murah.
Kotanya juga begitu indah berhiaskan pasar nan cantik dan gedung-gedung yang tinggi.

Menurut Nasruddin, Yerusalem sudah memiliki sederet seniman dan setiap hasil karyanya memiliki
pasar tersendiri. Jumlah penduduk kota itu pun terbilang be gitu besar. Satu hal yang mem buat
Nasruddin ter kagum- kagum, di kota itu ternyata sudah berdiri rumah sakit (RS) yang besar. RS yang
dikelola de ngan dana wakaf, menggratiskan biaya pengobatan pasien dan membayar dokter dengan
gaji yang besar.

Nasruddin juga menuturkan, di kota itu juga berdiri asrama-asra ma bagi para Sufi tinggal dan ber
ibadah. Pada era keemasan Islam di Yerusalem, masjid tak hanya berfungsi sebagai tempat ber- ibadah,
namun juga tempat mengembang - kan ilmu pengetahun dan kebudayaan Islam. Di sekitar Masjid Al-
Aqsa berdiri sejumlah madrasah tempat para pelajar menuntut ilmu.

Beberapa madrasah yang ber diri di Yerusalem itu antara lain, Madrasah Farisiya yang dibangun Emir
Fares-ud-din Albky. Selain itu ada pula Madrasah Nahriye, Nassiriya, Qataniya, Fakriya, Ba la diya dan
Tankeziya. Sejumlah wa nita asal Turki berada di bela kang pembangunan madrasah-madrasah yang
berada di sekitar Al-Aqsa.

Menjamurnya madrasah di se kitar Al-Aqsa menandakan aktivitas perkembangan ilmu pengetahuan


begitu menggeliat di Ye rusalem pada masa kejayaan Is lam. Pada abad ke-11 M, di bawah kekuasaan
Dinasti Seljuk be ra gam aktivitas kebudayaan ber kembang di Yerusalem. Sejumlah sarjana dari Barat
dan Timur ber tandangdan menetap di kota ini. Mereka ikut ambil bagian untuk memperkaya kehidupan
kebudayaan.

Beberapa ilmuwan yang ikut mengembangkan aktivitas kebudayaan dan ilmu pengetahuan itu antara
lain; Sha’afiite Nasir bin Ibrahim Al-Maqdisi (1096) yag mengajar di madrasah Nassriyya; Ata al-Maqdisi
(Abu’l Fadl); serta Al-Rumali. Abu’l Farradj Abd Al- Waheed juga ber mukim di Yerusalem untuk
menyebar kan Madzhab Hanbali di Ye rusalem. Dia menulis Kitab al- Djawaher yakni tafsir Alquran.

Selain itu, be berapa ulama lainnya yang ting gal di Ye ru salem seperti Abu Fath Nasr, pengarang
sejumlah karya. Abu’l Maaly Al-Mucharraf merupakan ilmuwan besar Ye rusalem yang menulis kitab
Fadail al-Bayt Al-muqaddas wa Asakh ra. Kitab itu mengupas tentang kota beserta sejarahnya. Ulama se
kaligus ilmuwan Muslim tersohor, Al-Ghazali (lahir 1058) juga bermukim di kota ini.

Para sarjana Islam menemukan dan mengembangkan bubuk mesiu serta senjata peledak mulai awal
abad ke-12.

Tak lama setelah memproklamirkan kedaulatannya sekitar tahun 1300 M, Kekhalifahan Usmani kian
memperluas cengkraman kekuasaannya ke seantero jagad. Eropa pun berhasil ditaklukkan kerajaan
yang awalnya berpusat di baratlaut Anatolia itu. Kesuksesan Usmani menguasai wilayah yang begitu luas
ditopang teknologi militer modern dan tercanggih di zamannya.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II, Kerajaan Usmani sudah mulai mengembangkan senjata
meriam. Teknologi meriam yang dikembangkan pada era kejayaan Usmani tersebut terbilang paling
mutakhir. Senjata meriamnya sudah bisa dibagi menjadi dua bagian. Sehingga, memudahkan saat di
bawa ke medan perang.

Pada abad ke-15 hingga 16 M, negaranegara Eropa belum memiliki meriam secanggih itu. Meriam
berukuran besar itu secara khusus diciptakan pada 1464 M atas pesanan Sultan Mehmet II. Sang
Penakluk - begitu Sultan Muhammad II dijuluki - sengaja memesan meriam berukuran raksasa yang
belum ada sebelumnya.
Berat meriam raksasa yang dikenal dengan Meriam Mehmed II itu mencapai 18 ton. Panjangnya sekitar
5,23 meter dan diameternya mencapai 0,635 meter. Panjang laranya mencapai 3,15 meter dan tempat
mesiunya berdiameter 0,248 meter. Selain itu, pasukan artileri (bagian meriam) yang dimiliki Sultan
Muhammad juga diperkuat oleh sederet desainer dan insinyur yang mumpuni di bidang teknologi
persenjataan. Beberapa ahli meriam yang termasyhur yang bergabung dalam tim artileri itu antara lain,
Saruca Usta dan Muslihiddni Usta.

Tak sedikit pula non-Muslim bergabung dalam kelompok artileri. Mereka adalah orang-orang miskin
yang tak puas dengan kebijakan Bizantium. Saat menaklukkan Konstantinopel, — ibu kota Bizantium —
pasukan tentara Usmani mengepung dan menjebol benteng pertahanan musuh dengan meriam
tercanggih, di zamannya.

Senjata meriam raksasa yang diciptakan pada masa kejayaan Daulah Usmani itu memiliki daya jangkau
dan daya ledak yang terbilang luar biasa. Dalam Pertempuran Dardanelles, meriam itu mampu
menenggelamkan enam kapal Sir John Ducksworth. Jangkauan Meriam Mehmet II mampu melintasi
selat sejauh satu mil.

Meriam raksasa itu kini berada di Fort Nelson Museum. Konon, meriam itu dihadiahkan Sultan Abdulaziz
kepada Ratu Victoria sebagai hadiah. Pada saat berkuasa Sultan Abdulaziz sempat diundang oleh Ratu
Victoria. Setahun kemudian, meriam bersejarah itu pun dihibahkan kepada sang ratu.

Para sarjana Islam menemukan dan mengembangkan bubuk mesiu serta senjata peledak mulai awal
abad ke-12. Pengembangan teknologi senjata itu dilakukan menyusul terjadinya Perang Salib I. Saat itu
umat Islam terutama Turki berperang melawan pasukan tentara Salib (crusader).

Pengembangan senjata berdaya ledak serta bubuk mesiu dikembangkan di Syria, khususnya Damaskus.
Pemerintahan
Turki yang menguasai wilayah itu banyak mendirikan sekolah. Para sarjana Islam pun bergelut
menciptakan bubuk mesiu sebagai bahan peledak untuk roket.

Dalam kitabnya berjudul Kitab alfurusiya val-muhasab al-harbiyaI dan Niyahat al-su’ul val-ummiya fi
ta’allum a’mal al-furusiya, insinyur Islam, Hasan ar-Rammah Najm al-Din al-Ahdab, pada abad ke-13 M,
merumuskan dan menciptakan bubuk mesiu, persenjataan. Selain itu, untuk pertama kalinya, Hasan ar-
Rammah mengungkapkan tentang torpedo yang digerakkan sistem roket.

Dalam kitab yang ditulis pada tahun 1275, Hasan ar-Rammah, mengilustrasikan sebuah torpedo yang
diluncurkan sebuah roket yang berisi bahan peledak. Selain itu, umat Islam juga memiliki buku tentang
persenjataan dan militer penting lainnya, seperti Kitab anåq fi’l-manajniq yang khusus ditulis untuk Ibnu
Aranbugha Al-ZardkÉsh, komandan pasukan Ayyubiyah. Namun, penulis kitab itu tak dikenal.

Buku tentang persenjataan lainnya yang ditulis sarjana Islam adalah Kitab al-hiyal fi’l-hurub ve fath
almada’in hifz al-durub (roket, bom, dan panah api) ditulis oleh Komandan Turki Alaaddin Tayboga Al-
Umari Al-Saki Al-Meliki Al- Nasir. Kitab lainnya yang mengupas tentang roket ditulis Ibnu Arabbugha
berjudul KitabÅl anik fil manajik kitabÅl hiyal fil hurub fi fath.

Barat juga kerap mengklaim bahwa roda terbang atau


mesin terbang pertama kali diciptakan Leonardo da Vinci. Sesungguhnya, da Vinci itu banyak
terpengaruh oleh karya-karya sarjana Islam bernama Al-Hazen. Selain itu, yang patut diketahui umat
Islam adalah tulisan tangan karya-karya insinyur Islam bernama Ahmad bin Musa masih berada di
perpustakaan Vatikan.

Peradaban Islam-Turki tercatat sebagai perintis dunia penerbangan jauh sebelum dunia Kristen-Eropa.
Seorang sajana Turki bernama Sayram telah meneliti hubungan antara permukaan sayap burung dengan
berat badannya untuk menemukan sebab-sebab burung bisa terbang. Penemuan itu membuat horizon
baru dalam bidang aerodinamis.

Upaya penerbangan yang paling menarik dilakukan dua ilmuwan Muslim Turki, Hazarfan Ahmed Celebi
dan Lagarå
Hasan Celebi pada tahun 1630 M-1632 M pada masa pemerintahan Sultan Murad IV. Evliya Celebi yang
menyaksikan peristiwa bersejarah dalam dunia teknologi Islam itu menuturkan kesaksiannya.

‘’Hazarfan Ahmed Celebi, pertama kali mencoba terbang sebanyak delapan atau sembilan kali dengan
sayap elang menggunakan tenaga angin,’’ ujar Evliya Celebi dalam buku catatan perjalannya yang masih
tersimpan di Perpustakaan Istanbul.

Sultan Murad Han menyaksikan uji coba terbang itu dari bangunan besar bernama Sinan Pasha di
Sarayburnu. Hazarfan Ahmed Celebi terbang dari puncak menara Galata dan mendarat di Dogancilar
Square yang terletak di Uskudar dengan bantuan angin dari arah barat daya. Atas prestasinya itu, Sultan
menghadiahinya koin emas.

‘’Hazerpan Ahmed Celebi telah membuka era baru dalam sejarah penerbangan,’’ papar Sultan Murad.
Insinyur
sekaligus penerbang. Lagarå Hasan Celebi, juga tercatat terbang dengan menggunakan tujuh sayap roket
dan mendarat dengan selamat di laut. Sosok Lagarå Hasan Celebi itu sangat patut mendapat tempat
khusus dalam
sejarah penerbangan.

Tangguh di Darat, Kuat di Laut

Hegemoni Kesultanan Usmani semakin menggurita tatkala Konstantinopel — ibu kota Kekaisaran
Bizantium — pada 1453 M berhasil ditundukkan. Sejak itu, pemerintahan Usmani pun mengembangkan
Istanbul (kota Islam) menjadi pusat pelayaran. Sultan Muhammad II pun menetapkan lautan dalam
Golden Horn sebagai pusat industri dan gudang persenjataan maritim. Dia menitahkan komandan
angkatan laut, Hamza Pasha, untuk membangun industri dan gudang persenjataan laut. Tak hanya itu,
pemerintahan Ottoman juga berhasil membangun sebuah kapal di Gallipoli Maritime Arsenal. Di bawah
komando Gedik Ahmed Pasha (1480 M), Daulah Usmani membangun basis kekuatan lautnya di Istanbul.
Tak heran, jika marinir Turki mendominasi Laut Hitam dan menguasai Otranto.

Pada era kekuasaan Sultan Salim I (1512-1520), pusat persenjataan maritim di Istanbul dimodifikasi.
Salim I berambisi untuk menciptakan Daulah Usmani yang tak hanya tanggung di darat, tapi juga kuat di
lautan. Selain mengembangkan Pusat persenjataan Maritim Istanbul, Sultan juga memerintahkan
membangun kapal laut yang besar.

Tak heran, jika Salim I kerap berseloroh, ‘’Jika scorpions (Kristen) menempati laut dengan kapalnya, jika
bendera Paus dan raja-raja Prancis serta Spanyol berkibar di Pantai Trace, itu semata-mata karena
toleransi kami.’’

Salim I bertekad memiliki angkatan laut yang besar dan kuat untuk menguasai lautan. Pembangunan dan
perluasan pusat persenjataan maritim pun akhirnya dilakukan dari Galata sampai ke Sungai Kagithane
River dibawah pengawasan Laksamana Cafer dan tuntas pada 1515 M. Total dana yang dikucurkan
untuk pembangunan pusat pertahanan dan persenjataan bahari itu menghabiskan 50 ribu koin.
Sebanyak 150 unit kapal dibangun.

Dilengkapi dengan kapal laut terbesar di dunia, pada abad ke-16 M, Turki Usmani telah menguasai
Mediterania, Laut Hitam, dan Samudera Hindia. Tak heran, bila kemudian Daulah Usmani kerap disebut
sebagai kerajaan yang bermarkas di atas kapal laut.

Sultan Selim I mulai kembali melirik pentingnya membangun kekuatan di lautan setelah kembali dari
Mesir. Sebelumnya, kekuasaan Usmani Turki telah menguasai pelabuhan penting di Timur Mediterania,
seperti Syiria dan Mesir. Pembangunan pelabuhan dan pusat persenjataan maritim terus dikembangkan
oleh sultansultan berikutnya. Pada masa kejayaannya, Turki Usmani sempat menjadi Adikuasa yang
disegani bangsabangsa di dunia baik di darat maupun di laut.

Bisnis Senjata di Era Usmani

Berniaga tak mengenal batas, begitu kata pepatah. Sekalipun Daulah Usmani bersitegang dan
bermusuhan dengan Eropa, namun aktivitas perdagangan tak lantas berhenti. Pada era itu, perdagangan
senjata di pasar gelap antara Turki dan Eropa masih terus berlangsung.

Padahal, penguasa di benua Eropa termasuk Paus melarang warganya untuk berbisnis dengan Usmani
Turki. Larangan itu diberlakukan Paus Gregory XI pada 15 Mei 1373 M. Pada pertengahan abad ke-14,
persenjataan mulai berkembang ke negara-negara Eropa, sebagai teknologi militer baru. Namun, kala itu
bisnis persenjataan belum begitu pesat.

Selain melarang berbisnis senjata dengan Daulah Usmani, Paus juga tak mengizinkan umat Kristiani
untuk membeli kuda, besi, tembaga, dan barang-barang lainnya. Larangan berbisnis dengan Kesultanan
Usmani diterapkan beberapa negara melalui undang-undang.

Larangan itu tak berdampak besar bagi Kerajaan Ottoman. Turki Usmani masih dengan mudah bisa
memperoleh munisi. Daulah Usmani tetap bisa memperoleh pasokan baja dan amunisi untuk kebutuhan
militer dari Dubrovnik, Florence, Venicia, dan Genoa pada abad ke-14 M hingga 16 M. Bahkan, dua kota
di Italia, Venicia dan Genoa hidup dari perdagangan.

Second teacher alias mahaguru kedua. Begitulah Peter Adamson pengajar filsafat di King's College
London, Inggris, menjuluki Al-Farabi sebagai pemikir besar Muslim pada abad pertengahan. Dedikasi dan
pengabdiannya dalam filsafat dan ilmu pengetahuan telah membuatnya didaulat sebagai guru kedua
setelah Aristoteles: pemikir besar zaman Yunani.

Sosok dan pemikiran Al-Farabi hingga kini tetap menjadi perhatian dunia. Dialah filosof Islam pertama
yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam. Sehingga,
bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Pemikirannya begitu berpengaruh besar
terhadap dunia Barat.

''Ilmu Logika Al-Farabi memiliki pengaruh yang besar bagi para pemikir Eropa,'' ujar Carra de Vaux. Tak
heran, bila para intelektual merasa berutang budi kepada Al-Farabi atas ilmu pengetahuan yang telah
dihasilkannya. Pemikiran sang mahaguru kedua itu juga begitu kental mempengaruhi pikiran-pikiran
Ibnu Sina dan Ibnu Rush.

Al-Farabi atau Barat mengenalnya dengan sebutan Alpharabius memiliki nama lengkap Abu Nasr
Muhammad ibn al-Farakh al-Farabi. Tak seperti Ibnu Khaldun yang sempat menulis autobiografi, Al-
Farabi tidak menulis autobiografi dirinya.

Tak ada pula sahabatnya yang mengabadikan latar belakang hidup sang legenda itu, sebagaimana Al-
Juzjani mencatat jejak perjalanan hidup gurunya Ibnu Sina.

Tak heran, bila muncul beragam versi mengenai asal-muasal Al-Farabi. Ahli sejarah Arab pada abad
pertengahan, Ibnu Abi Osaybe'a, menyebutkan bahwa ayah Al-Farabi berasal dari Persia. Mohammad
Ibnu Mahmud Al-Sahruzi juga menyatakan Al-Farabi berasal dari sebuah keluarga Persia. Namun,
menurut Ibn Al-Nadim, Al-Farabi berasal dari Faryab di Khurasan.

Faryab adalah nama sebuah provinsi di Afganistan. Keterangan itu diperoleh oleh Al-Nadim dari
temannya bernama Yahya ibn Adi yang dikenal sebagai murid terdekat Al-Farabi. Sejumlah ahli sejarah
dari Barat, salah satunya Peter J King juga menyatakan Al-Farabi berasal dari Persia.

Berbeda dengan pendapat para ahli di atas, ahli sejarah abad pertengahan, Ibnu Khallekan, mengklaim
bahwa Al-Farabi lahir di sebuah desa kecil bernama Wasij di dekat Farab ( sekarang Otrar berada di
Kazakhstan). Konon, ayahnya berasal dari Turki. Menurut Encyclopaedia Britannica, Al-Farabi juga
berasal dari Turki atau Turki Seljuk.

Konon, Al-Farabi lahir sekitar tahun 870 M. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di Farab. Di kota
yang didominasi pengikut mazhab Syafi'iyah itulah Al-Farabi menempuh pendidikan dasarnya. Sejak
belia, Al-Farabi sudah dikenal berotak encer alias sangat cerdas. Ia juga memiliki bakat yang begitu besar
untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.

Setelah menyelesaikan studi dasarnya, Al-Farabi hijrah ke Bukhara untuk mempelajari ilmu fikih dan
ilmu-ilmu lainnya. Ketika itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius Dinasti
Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia.

Saat itu Bukhara dipimpin Nashr ibn Ahmad (874-892). Pada masa itulah Al-Farabi mulai berkenalan
dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Di kota lautan pengetahuan itu pula Al-Farabi muda
mengenal dan mempelajari musik. 936.

Dia sempat menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhi-nya, Al-Farabi hijrah ke Merv
untuk mendalami logika Aristotelian serta filsafat. Guru utama filsafatnya adalah Yuhanna ibn Hailan,
seorang Kristen. Dari Ibnu Hailan-lah dia mulai bisa membaca teks-teks dasar logika Aristotelian,
termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya.

Beberapa tahun sebelum kitab-kitab Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Al-Farabi telah
menguasai bahasa Syria dan Yunani. Pada 901 M, bersama sang guru, Al-Farabi dia mengembara ke
Baghdad yang saat itu menjadi kota metropolis intelektual pada abad pertengahan. Ketika kekhalifahan
Al-Muqtadir (908-932), berkuasa, Al-Farabi sempat pula pergi ke Konstantinopel untuk memperdalam
filsafat dan singgah di Harran.

Ketika 910-920 M, Al-Farabi kembali ke Baghdad. Di negeri 1001 malam itu, dia terus mengembangkan
ketertarikannya untuk menggali dan mempelajari alam semesta dan manusia. Ketertarikannya pada dua
hal itu membuatnya tertarik untuk menggali filsafat kuno terutama filsafat Plato dan Aristoteles.

Dengan otaknya yang cemerlang, Al-Farabi membuat terobosan untuk menggabungkan filsafat Platonik
dan Aristotelian dengan pengetahuan mengenai Alquran serta beragam ilmu lainnya. Beruntung Al-
Farabi bisa menimba ilmu dari sejumlah guru yang mumpuni. Ia belajar filsafat Aristoteles dan logika
langsung dari seorang filosof termasyhur Abu Bishr Matta ibnu Yunus.

Dalam waktu yang tak terlalu lama, kecemerlangan pemikiran Al-Farabi mampu mengatasi reputasi
gurunya dalam bidang logika. Sedangkan tata bahasa Arab di pelajarinya dari seorang pakar tata bahasa
dan linguistik kondang bernama Abu Bakr ibn Saraj. Selain menguasai filsafat dan bahasa, Al-Farabi juga
dikenal sebagai ilmuwan yang berjasa dan memberi kontribusi dalam berbagai bidang ilmu seperti,
aritmatika, fisika, kimia, medis, astronomi, dan musik.

Akhir tahun 942 M, hengkang dari Baghdad ke Damaskus, karena situasi politik yang memburuk. Selama
dua tahun tinggal di Damaskus, pada siang hari Al-Farabi bekerja sebagai penjaga kebun. Sedangkan
pada malam hari dia membaca dan menulis karya-karya filsafat. Ia sempat pula hijrah ke Mesir dan lalu
kembali lagi ke Damaskus pada 949 M.

Ketika tinggal di Damaskus untuk yang kedua kalinya, Al-Farabi mendapat perlindungan dari putra
mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah. Saif al-Daulah sangat terkesan dengan Al-Farabi karena
kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa.

Ratusan kitab telah dihasilkan Al-Farabi. Kehidupan sufi yang dijalaninya membuatnya tetap hidup
sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Ia tutup usia di
Damaskus pada 970 M. Amir Sayf ad-Dawla kemudian membawa jenazahnya dan menguburkannya di
Damaskus. Ia dimakamkan di pemakaman Bab as-Saghir yang terletak di dekat makam Muawiyah, yang
merupakan pendiri dinasti Ummayah.

Pemikiran dan Filsafat Al-Farabi

Filsafat Al-Farabi dapat dikelompokkan ke dalam Neoplatonis. Ia mensintesiskan buah pikir dua pemikir
besar, yakni Plato dan Aristoteles. Guna memahami pemikiran kedua filsfuf Yunani itu, Al-Farabi secara
khusus membaca karya kedua pemikir besar Yunanni itu, yakni On the Soul sebanyak 200 kali dan
Physics sampai 40 kali.

Al-Farabi pun akhirnya mampu mendemonstrasikan dasar persinggungan antara Aristoteles dan Plato
dalam sejumlah hal, seperti penciptaan dunia, kekekalan ruh, serta siksaan dan pahala di akhirat kelak.
Konsep Farabi mengenai alam, Tuhan, kenabian, esensi, dan eksistensi tak dapat dipisahkan antara
keduanya. Mengenai proses penciptaan alam, ia memahami penciptaan alam melalui proses
pemancaran (emanasi) dari Tuhan sejak zaman azali.

Menurut Al-Farabi, Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Al-
Farabi mengungkapkan bahwa Tuhan itu Esa karena itu yang keluar dari-Nya juga harus satu wujud.
Sedangkan mengenai kenabian ia mengungkapkan bahwa kenabian adalah sesuatu yang diperoleh nabi
yang tidak melalui upaya mereka. Jiwa para nabi telah siap menerima ajaran-ajaran Tuhan.

Sementara itu, menurut Al-Farabi, manusia memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk
pengetahuan yang terpahami (ma'qulat) atau universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia
disinari oleh 'intelek aktif'. Pencerahan oleh 'intelek aktif' memungkinkan transformasi serempak intelek
potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal
potensial dengan 'akal aktif' seperti mata dengan matahari.

Menurutnya, mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi dia
menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat,
tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri.
Terkait filsafat kenegaraan, Al-Farabi membagi negara ke dalam lima bentuk. Pertama ada negara utama
(al-madinah al-fadilah). Inilah negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Bentuk negara ini
dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf. Kedua negara orang-orang bodoh (al-madinah
al-jahilah). Inilah negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.

Ketiga negara orang-orang fasik. Inilah negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah
laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh. Keempat negara yang berubah-ubah
(al-madinah al mutabaddilah). Penduduk negara ini awalnya mempunyai pikiran dan pendapat seperti
yang dimiliki penduduk negara utama, tetapi mengalami kerusakan.

Kelima negara sesat (al-madinah ad-dallah). Negara sesat adalah negara yang pemimpinnya
menganggap dirinya mendapat wahyu. Ia kemudian menipu orang banyak dengan ucapan dan
perbuatannya.

Kontribusi Ilmuwan Besar

Logika
Al-Farabi adalah ahli logika muslim pertama yang mengembangkan logika no-Aristotelian. Dia membagai
logika ke dalam dua kelompok, pertama idea dan kedua bukti.

Musik
Selain seorang ilmuwan, Al-Farabi juga seorang seniman. Dia mahir memainkan alat musik dan
menciptakan beragam instrumen musik dan sistem nada Arab yang diciptakannya hingga kini masih
tetap digunakan musik Arab. Dia juga berhasil menulis Kitab Al-Musiqa - sebuah buku yang mengupas
tentang musik. Bagi Al-Farabi, musik juga menjadi sebuah alat terapi.

Fisika
Farabi juga dikenal sebagai ilmuwan yang banyak menggali pengetahuan tentang eksistensi alam dalam
fisika.

Psikologi
Social Psychology and Model City merupakan risalat pertama Al-Farabi dalam bidang psikologi sosial. Dia
menyatakan bahwa, ''Seorang individu yang terisolasi tak akan bisa mencapai kesempurnaan dengan
dirinya sendiri, tanpa bantuan dari orang lain.''

`'Ilmu kedokteran tak lahir dalam waktu semalam,'' ujar Dr Ezzat Abouleish MD dalam tulisannya
berjudul Contributions of Islam to Medicine. Studi kedokteran yang berkembang pesat di era modern ini
merupakan puncak dari usaha jutaan manusia, baik yang dikenal maupun tidak, sejak ribuan tahun
silam.

Saking pentingnya, ilmu kedokteran selalu diwariskan dari generasi ke generasi dan bangsa ke bangsa.
Cikal bakal ilmu medis sudah ada sejak dahulu kala. Sejumlah peradaban kuno, seperti Mesir, Yunani,
Roma, Persia, India, serta Cina sudah mulai mengembangkan dasar-dasar ilmu kedokteran dengan cara
sederhana.

Orang Yunani Kuno mempercayai Asclepius sebagai dewa kesehatan. Pada era ini, menurut penulis
Canterbury Tales, Geoffrey Chaucer, di Yunani telah muncul beberapa dokter atau tabib terkemuka.
Tokoh Yunani yang banyak berkontribusi mengembangkan ilmu kedokteran adalah Hippocrates atau
`Ypocras' (5-4 SM). Dia adalah tabib Yunani yang menulis dasar-dasar pengobatan.

Selain itu, ada juga nama Rufus of Ephesus (1 M) di Asia Minor. Ia adalah dokter yang berhasil menyusun
lebih dari 60 risalat ilmu kedokteran Yunani. Dunia juga mengenal Dioscorides. Dia adalah penulis risalat
pokok-pokok kedokteran yang menjadi dasar pembentukan farmasi selama beberapa abad. Dokter asal
Yunani lainnya yang paling berpengaruh adalah Galen (2 M).

Ketika era kegelapan mencengkram Barat pada abad pertengahan, perkembangan ilmu kedokteran
diambil alih dunia Islam yang tengah berkembang pesat di Timur Tengah. Menurut Ezzat Abouleish,
seperti halnya lmu-ilmu yang lain, perkembangan kedokteran Islam melalui tiga periode pasang-surut.

Periode pertama dimulai dengan gerakan penerjemahan literatur kedokteran dari Yunani dan bahasa
lainnya ke dalam bahasa Arab yang berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Pada masa ini,
sarjana dari Syiria dan Persia secara gemilang dan jujur menerjemahkan litelatur dari Yunani dan Syiria
kedalam bahasa Arab.

Buah pikiran para tabib di era Yunani Kuno secara gencar dialihbahasakan. Adalah Khalifah Al-Ma'mun
dari Diansti Abbasiyah yang mendorong para sarjana untuk berlomba-lomba menerjemahkan literatur
penting ke dalam bahasa Arab. Khalifah pun menawarkan bayaran yang sangat tinggi, berupa emas, bagi
para sarjana yang bersedia untuk menerjemahkan karya-karya kuno.

Sejumlah sarjana terkemuka ikut ambil bagian dalam proses transfer pengetahuan itu. Tercatat sejumlah
tokoh seperti, Jurjis Ibn-Bakhtisliu, Yuhanna Ibn Masawaya, serta Hunain Ibn Ishak ikut menerjemahkan
literatur kuno. Selain melibatkan sarjana-sarjana Islam, tak sedikit pula dari para penerjemahan itu yang
beragama Kristen. Mereka diperlakukan secara terhormat oleh penguasa Muslim.

Proses transfer ilmu kedokteran yang berlangsung pada abad ke-7 dan ke-8 M membuahkan hasil. Pada
abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran Islam berkembang begitu pesat. Sejumlah RS (RS) besar
berdiri. Pada masa kejayaan Islam, RS tak hanya berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan
para pasien, namun juga menjadi tempat menimba ilmu para dokter baru.

Tak heran, bila penelitian dan pengembangan yang begitu gencar telah menghasilkan ilmu medis baru.
Era kejayaan peradaban Islam ini telah melahirkan sejumlah dokter terkemuka dan berpengaruh di
dunia kedokteran, hingga sekarang. `'Islam banyak memberi kontribusi pada pengembangan ilmu
kedokteran,'' papar Ezzat Abouleish.
Sekolah kedokteran pertama yang dibangun umat Islam sekolah Jindi Shapur. Khalifah Al-Mansur dari
Dinasti Abbasiyah yang mendirikan kota Baghdad mengangkat Judis Ibn Bahtishu sebagai dekan sekolah
kedokteran itu. Pendidikan kedokteran yang diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik. Era
kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Zahrawi,
Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd, Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon.

Al-Razi (841-926 M) dikenal di Barat dengan nama Razes. Pemilik nama lengkap Abu-Bakr Mohammaed
Ibn-Zakaria Al-Razi itu adalah dokter istana Pangerang Abu Saleh Al-Mansur, penguasa Khorosan. Ia lalu
pindah ke Baghdad dan menjadi dokter kepala di RS Baghdad dan dokter pribadi khalifah. Salah satu
buku kedokteran yang dihasilkannya berjudul 'Al-Mansuri' (Liber Al-Mansofis).

Ia menyoroti tiga aspek penting dalam kedokteran, antara lain; kesehatan publik, pengobatan preventif,
dan perawatan penyakit khusus. Bukunya yang lain berjudul 'Al-Murshid'. Dalam buku itu, Al-Razi
mengupas tentang pengobatan berbagai penyakit. Buku lainnya adalah 'Al-Hawi'. Buku yang terdiri dari
22 volume itu menjadi salah satu rujukan sekolah kedokteran di Paris. Dia juga menulis tentang
pengobatan cacar air.

Tokoh kedokteran lainnya adalah Al-Zahrawi (930-1013 M) atau dikenal di Barat Abulcasis. Dia adalah
ahli bedah terkemuka di Arab. Al-Zahrawi menempuh pendidikan di Universitas Cordoba. Dia menjadi
dokter istana pada masa Khalifah Abdel Rahman III. Sebagain besar hidupnya didedikasikan untuk
menulis buku-buku kedokteran dan khususnya masalah bedah.

Salah satu dari empat buku kedokteran yang ditulisnya berjudul, 'Al-Tastif Liman Ajiz'an Al-Ta'lif' -
ensiklopedia ilmu bedah terbaik pada abad pertengahan. Buku itu digunakan di Eropa hingga abad ke-
17. Al-Zahrawi menerapkan cautery untuk mengendalikan pendarahan. Dia juga menggunakan alkohol
dan lilin untuk mengentikan pendarahan dari tengkorak selama membedah tengkorak. Al-Zahrawi juga
menulis buku tentang tentang operasi gigi.

Dokter Muslim yang juga sangat termasyhur adalah Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037 M). Salah satu
kitab kedokteran fenomela yang berhasil ditulisnya adalah Al-Qanon fi Al- Tibb atau Canon of Medicine.
Kitab itu menjadi semacam ensiklopedia kesehatan dan kedokteran yang berisi satu juta kata. Hingga
abad ke-17, kitab itu masih menjadi referensi sekolah kedokteran di Eropa.

Tokoh kedokteran era keemasan Islam adalah Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198 M). Dokter
kelahiran Granada, Spanyol itu sangat dikagumi sarjana di di Eropa. Kontribusinya dalam dunia
kedokteran tercantum dalam karyanya berjudul 'Al- Kulliyat fi Al-Tibb' (Colliyet). Buku itu berisi
ramngkuman ilmu kedokteran. Buku kedokteran lainnya berjudul 'Al-Taisir' mengupas praktik-praktik
kedokteran.

Nama dokter Muslim lainnya yang termasyhur adalah Ibnu El-Nafis (1208 - 1288 M). Ia terlahir di awal
era meredupnya perkembangan kedokteran Islam. Ibnu El-Nafis sempat menjadi kepala RS Al-Mansuri di
Kairo. Sejumlah buku kedokteran ditulisnya, salahsatunya yang tekenal adalah 'Mujaz Al-Qanun'. Buku
itu berisi kritik dan penmbahan atas kitab yang ditulis Ibnu Sina.

Beberapa nama dokter Muslim terkemuka yang juga mengembangkan ilmu kedokteran antara lain; Ibnu
Wafid Al-Lakhm, seorang dokter yang terkemuka di Spanyol; Ibnu Tufails tabib yang hidup sekitar tahun
1100-1185 M; dan Al-Ghafiqi, seorang tabib yang mengoleksi tumbuh-tumbuhan dari Spanyol dan
Afrika.

Setelah abad ke-13 M, ilmu kedokteran yang dikembangkan sarjana-sarjana Islam mengalami masa
stagnasi. Perlahan kemudian surut dan mengalami kemunduran, seiring runtuhnya era kejayaan Islam di
abad pertengahan.

Rekam Medis, Warisan RS Al-Nuri

Pada era keemasan Islam, ibu kota pemerintahan selalu berubah dari dinasti ke dinasti. Di setiap ibu
kota pemerintahan, pastilah berdiri rumah sakit besar. Selain berfungsi sebagai tempat merawat orang-
orang yang sakit (RS), rumah sakit juga menjadi tempat bagi para dokter Muslim mengembangkan ilmu
medisnya. Konsep yang dikembangkan umat Islam pada era keemasan itu hinga kini juga masih banyak
memberikan pengaruh.

RS terkemuka pertama yang dibangun umat Islam berada di Damaskus pada masa pemerintahan
Khalifah Al-Walid dari Dinasti Umayyah pada 706 M. Namun, rumah sakit terpenting yang berada di
pusat kekuasaan Dinasti Umayyah itu bernama Al-Nuri. Rumah sakit itu berdiri pada 1156 M, setelah era
kepemimpinan Khalifah Nur Al-Din Zinki pada 1156 M.

Pada masa itu, RS Al-Nuri sudah menerapkan rekam medis (medical record). Inilah RS pertama dalam
sejarah yang menggunakan rekam medis. Sekolah kedokteran Al-Nuri juga telah meluluskan sederet
dokter terkemuka, salah satunya adalah Ibn Al-Nafis - ilmuwan yang menemukan sirkulasi paru-paru. RS
ini melayani masyarakat selama tujuh abad, dan bagiannya hingga kini masih ada.

RS penting lainnya yang dibangun umat Islam berada di Baghdad. Ketika Khalifah Harun Al-Rashid
berkuasa, dia memerintahkan cucu Ibn-Bahtishu, yang juga dokter istana bernama Jibril untuk
membangun RS Baghdad. RS ini berkembang menjadi sebuah pusat kesehatan yang amat penting. Salah
satu pemimpinnya adalah Al-Razi, ahli penyakit dalam termasyhur.

RS terkemuka lainnya di Baghdad adalah Al-Adudi yang dibangun pada 981 M, setelah Khalifah Adud Al-
Dawlah. Bangunan RS merupakan paling megah di Baghdad sebelum era modern. RS tersebut dilengkapi
dengan peralatan dan perlengkapan yang paling lengkap dan terkemuka pada masanya. RS itu hancur
lebur ketika bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan menyerang Baghdad pada 1258 M.

Ilmu kedokteran Islam juga berkembang di Mesir. Pada 872 M, Ahmed Ibn-Tulun membangun RS Al-
Fusta di kota Al-Fustat, sekarang Kairo. Pada 1284 M, Khalifah Al-Mansur Qalawun juga membangun RS
terkemuka bernama Al-Mansuri. Di Tunisia, pada 830 M, Pangeran Ziyadad Allah SWT I membangun RS
Al-Qayrawan di wilayah kota Al-Dimnah. RS ini sudah menerapkan pemisahan antara ruang tunggu
pengunjung dan pasien.

Di Marokko, pada 1190 M, Khalifah Al-Mansur Ya'qub IbnuYusuf, membangun RS Marakesh. Itu adalah
RS terbesar da terindah karena dihiasi taman yang penuh dengan bunga dan pohon buah-buahan. Ilmu
medis juga berkembang pesat di Spanyol. Pada 1366 M, Pangeran Muhammed Ibn-Yusuf Ibn Nasr,
membangun RS Granada di kota Granada.

Kontribusi Dokter Muslim

Bakteriologi
Ilmu yang mempelajari kehidupan dan klasifikasi bakteri. Dokter Muslim yang banyak memberi
perhatian pada bidang ini adalah Al-Razi serta Ibnu Sina.

Anesthesia
Suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Ibnu Sina tokoh yang memulai mengulirkan ide menggunakan
anestesi oral. Ia mengakui opium sebagai peredam rasa sakit yang sangat manjur.

Surgery
Bedah atau pembedahan adalah adalah spesialisasi dalam kedokteran yang mengobati penyakit atau
luka dengan operasi manual dan instrumen. Dokter Islam yang berperan dalam bedah adalah Al-Razi
dan Abu al-Qasim Khalaf Ibn Abbas Al-Zahrawi.

Ophthamology
Cabang kedokteran yang berhubungan dengan penyakit dan bedah syaraf mata, otak serta
pendengaran. Dokter Muslim yang banyak memberi kontribusi pada Ophtamology adalah lbnu Al-
Haytham (965-1039 M). Selain itu, Ammar bin Ali dari Mosul juga ikut mencurahkan kontribusinya. Jasa
mereka masih terasa hingga abad 19 M.

Psikoterapi
Serangkaian metode berdasarkan ilmu-ilmu psikologi yang digunakan untuk mengatasi gangguan
kejiwaan atau mental seseorang. Dokter Muslim yang menerapkan psikoterapi adalah Al-Razi serta Ibnu
Sina.

Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga
menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah
menyelaraskan filsafat dan agama.

''Al-Kindi adalah salah satu dari 12 pemikir terbesar di abad pertengahan,'' cetus sarjana Italia era
Renaissance, Geralomo Cardano (1501-1575). Di mata sejarawan Ibnu Al-Nadim, Al-Kindi
merupakan manusia terbaik pada zamannya. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Dunia
pun mendapuknya sebagai filosof Arab yang paling tangguh.

Ilmuwan kelahiran Kufah, 185 H/801 M itu bernama lengkap Abu Yusuf Ya'qub bin Ishak bin
Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin Al-Asy'ats bin Qais Al-Kindi. Ia berasal dari
sebuah keluarga pejabat. Keluarganya berasal dari suku Kindah -- salah satu suku Arab yang
besar di Yaman -- sebelum Islam datang. Nenek moyangnya kemudian hijrah ke Kufah.

Ayahnya bernama Ibnu As-Sabah. Sang ayah pernah menduduki jabatan Gubernur Kufah pada
era kepemimpinan Al-Mahdi (775-785) dan Harun Arrasyid (786-809). Kakeknya Asy'ats bin
Qais kakeknya AL-Kindi dikenal sebagah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Bila
ditelusuri nasabnya, Al-Kindi merupakan keturunan Ya'rib bin Qathan, raja di wilayah Qindah.

Pendidikan dasar ditempuh Al-Kindi di tanah kelahirannya. Kemudian, dia melanjutkan dan
menamatkan pendidikan di Baghdad. Sejak belia, dia sudah dikenal berotak encer. Tiga bahasa
penting dikuasainya, yakni Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang dimiliki
orang pada era itu.

Al-Kindi hidup di era kejayaan Islam Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak
kurang dari lima periode khalifah dilaluinya yakni, Al-Amin (809-813), Al-Ma'mun (813-833),
Al-Mu'tasim, Al-Wasiq (842-847) dan Mutawakil (847-861). Kepandaian dan kemampuannya
dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan
tabib kerajaan.

Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah (House of Wisdom) yang kala
itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani.
Ketika Khalifah Al-Ma'mun tutup usia dan digantikan puteranya, Al-Mu'tasim, posisi Al-Kindi
semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi
guru bagi puteranya.

Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang
mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan. Menurut Al-Nadhim,
selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi telah
melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirnya dituangkan dalam risalah-risalah pendek
yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi adalah
seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.

Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik,
astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorologi. Bukunya
yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing
mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.

Buah pikir yang dihasilkannya begitu berpengaruh terhadap perkembangan peradaban Barat pada
abad pertengahan. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Eropa.
Buku-buku itu tetap digunakan selama beberapa abad setelah ia meninggal dunia.

Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam pertama yang
mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi orang Kristen
Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga
menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah
menyelaraskan filsafat dan agama.

Setelah era Khalifah AL-Mu'tasim berakhir dan tampuk kepemimpin beralih ke Al-watiq dan Al-
Mutawakkil, peran Al-Kindi semakin dipersempit. Namun, tulisan kaligrafinya yang menawan
sempat membuat Khalifah kepincut. Khalifah AL-Mutawakkil kemudian mendapuknya sebagai
ahli kaligrafi istana. Namun, itu tak berlangsung lama.

Ketika Khalifah Al-Mutawakkil tak lagi menggunakan paham Muktazilah sebagai aliran
pemikiran resmi kerajaan, Al-Kindi tersingkir. Ia dipecat dari berbagai jabatan yang sempat
diembannya. Jabatannya sebagai guru istana pun diambil alih ilmuwan lain yang tak sepopuler
Al-Kindi. Friksi pun sempat terjadi, perpustakaan pribadinya sempat diambil alih putera-putera
Musa. Namun akhirnya Al-Kindiyah - perpustakaan pribadi itu - dikembalikan lagi.

Sebagai penggagas filsafat murni dalam dunia Islam, Al-Kindi memandang filasafat sebagai ilmu
pengetahuan yang mulia. Sebab, melalui filsafat-lah, manusia bisa belajar mengenai sebab dan
realitas Ilahi yang pertama da merupakan sebab dari semua realitas lainnya.

Baginya, filsafat adalah ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat, dalam
pandangan Al-Kindi bertujuan untuk memperkuat agama dan merupakan bagian dari kebudayaan
Islam.

Salah seorang penulis buku tentang studi Islam, Henry Corbin, menggambarkan akhir hayat dari
sang filosof Islam. Menurut Corbin, pada tahun 873, Al-Kindi tutup usia dalam kesendirian dan
kesepian. Saat itu, Baghdad tengah dikuasai rezim Al-Mu'tamid. Begitu dia meninggal, buku-
buku filsafat yang dihasilkannya banyak yang hilang.

Sejarawan Felix Klein-Franke menduga lenyapnya sejumlah karya filsafat Al-Kindi akibat
dimusnahkan rezim Al-Mutawakkil yang tak senang dengan paham Muktazilah. Selain itu, papar
Klein-Franke, bisa juga lenyapnya karya-karya AL-Kindi akibat ulah serangan bangsa Mongol di
bawah pimpinan Hulagu Khan yang membumihanguskan kota Baghdad dan Baitulhikmah.

Hingga kini, Al-Kindi tetap dikenang sebagai ilmuwan Islam yang banyak berjasa bagi ilmu
pengetahuan dan peradaban manusia.

Kitab Pemecah Kode

Sebagai ilmuwan serba bisa, Al-Kindi tak cuma melahirkan pemikiran di bidang filsafat saja.
Salah satu karyanya yang termasuk fenomenal adalah Risalah Fi Istikhraj al-Mu'amma. Kitab itu
mengurai dan membahas kriptologi atau seni memecahkan kode. Dalam kitabnya itu, Al-Kindi
memaparkan bagaimana kode-kode rahasia diurai.

Teknik-teknik penguraian kode atau sandi-sandi yang sulit dipecahkan dikupas tuntas dalam
kitab itu. Selain itu, ia juga mengklasifikasikan sandi-sandi rahasia serta menjelaskan ilmu
fonetik Arab dan sintaksisnya. Yang paling penting lagi, dalam buku tersebut, A-Kindi
mengenalkan penggunaan beberapa teknik statistika untuk memecahkan kode-kode rahasia.

Kriptografi dikuasainya, lantaran dia pakar di bidang matematika. Di area ilmu ini, ia menulis
empat buku mengenai sistem penomoran dan menjadi dasar bagi aritmatika modern. Al-Kindi
juga berkontribusi besar dalam bidang geometri bola, bidang yang sangat mendukungnya dalam
studi astronomi

Bekerja di bidang sandi-sandi rahasia dan pesan-pesan tersembunyi dalam naskah-naskah asli
Yunani dan Romawi mempertajam nalurinya dalam bidang kriptoanalisa. Ia menjabarkannya
dalam sebuah makalah, yang setelah dibawa ke Barat beberapa abad sesudahnya diterjemahkan
sebagai Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages. ''Salah satu cara untuk
memecahkan kode rahasia, jika kita tahu bahasannya adalah dengan menemukan satu naskah asli
yang berbeda dari bahasa yang sama, lalu kita hitung kejadian-kejadian pada tiap naskah Pilah
menjadi naskah kejadian satu, kejadian dua, dan seterusnya,'' kata Al-Kindi.

Setelah itu, lanjut Al-Kindi, baru kemudian dilihat kepada teks rahasia yang ingin dipecahkan.
Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan klasifikasi simbol-simbolnya. ''Di situ kita akan
menemukan simbol yang paling sering muncul, lalu ubahlah dengan catatan kejadian satu, dua,
dan seterusnya itu, sampai seluruh simbol itu terbaca.''

Teknik itu, kemudian dikenal sebagai analisa frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara paling
sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus dalam naskah asli, persentase huruf
dalam kode rahasia, dan menggantikan simbol dengan huruf.

Filsafat Al-Kindi

Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan
selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai
hakikat, baik hakikat secara juz'iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau
mahiyah (keseluruhan).

Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah
Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-
Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan
haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-
obyek yang dapat ditangkap indera.

Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-
Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya. Jiwa
atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan filosof Muslim pertama
yang membahas hakikat roh secara terperinci.

Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya
berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat
eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial, akal yang telah
keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari
aktualitas.

Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada
kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu
macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas.

Sebagai salah satu ilmu pengetahuan tertua dalam peradaban manusia, Astronomi kerap dijuluki
sebagai 'ratu sains'. Astronomi memang menempati posisi yang terbilang istimewa dalam
kehidupan manusia. Sejak dulu, manusia begitu terkagum-kagum ketika memandang kerlip
bintang dan pesona benda-benda langit yang begitu luar biasa.

Awalnya, manusia menganggap fenomena langit sebagai sesuatu yang magis. Seiring
berputarnya waktu dan zaman, manusia pun memanfaatkan keteraturan benda-benda yang
mereka amati di angkasa untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti penanggalan. Dengan
mengamati langit, manusia pun bisa menentukan waktu utuk pesta, upacara keagamaan, waktu
untuk mulai menabur benih dan panen.

Jejak astronomi tertua ditemukan dalam peradaban bangsa Sumeria dan Babilonia yang tinggal
di Mesopotamia (3500 - 3000 SM). Bangsa Sumeria hanya menerapkan bentuk-bentuk dasar
astronomi. Pembagian lingkaran menjadi 360 derajat berasal dari bangsa Sumeria.

Orang Sumeria juga sudah mengetahui gambaran konstelasi bintang sejak 3500 SM. Mereka
menggambar pola-pola rasi bintang pada segel, vas, dan papan permainan. Nama rasi Aquarius
yang dikenal saat ini berasal dari bangsa Sumeria.

Astronomi juga sudah dikenal masyarakat India kuno. Sekitar tahun 500 SM, Aryabhata
melahirkan sistem matematika yang menempatkan bumi berputar pada porosnya. Aryabhata
membuat perkiraan mengenai lingkaran dan diameter bumi. Brahmagupta (598 - 668) juga
menulis teks astronomi yang berjudul Brahmasphutasiddhanta pada 628. Dialah astronom
pendahulu yang menggunakan aljabar untuk memecahkan masalah-masalah astronomi.

Masyarakat Cina kuno 4000 SM juga sudah mengenal astronomi. Awalnya, astronomi di Cina
digunakan untuk mengatur waktu. Orang Cina menggunakan kalender lunisolar. Namun, kerena
perputaran matahari dan bulan berbeda, para ahli astronomi Cina sering menyiapkan kalender
baru dan membuat observasi.

Bangsa Yunani kuno juga amat tertarik dengan astronomi. Adalah Thales yang mengawalinya
pada abad ke-6 SM. Menurut dia, bumi itu berbentuk datar. Phytagoras sempat membantah
pendapat itu dengan menyatakan bumi itu bulat. Dua abad berselang, Aristoteles melahirkan
terobosan penting yang menegaskan menyatakan bahwa bumi itu bulat bundar.

Aristachus pada abad ke-3 SM sempat melontarkan pendapat bahwa Bumi bukanlah pusat alam
semesta. Teori itu tak mendapat tempat pada masa itu. Era astronomi klasik ditutup Hipparchus
pada abad ke-1 SM yang melontarkan teori geosentris. Bumi itu diam dan dikelilingi oleh
matahari, bulan, dan planet-planet yang lain. Sistem geosentris itu disempurnakan Ptolomeus
pada abad ke-2 M .

Astronomi Islam

Setelah runtuhnya kebudayaan Yunani dan Romawi pada abad pertengahan, maka kiblat
kemajuan ilmu astronomi berpindah ke bangsa Arab. Astronomi berkembang begitu pesat pada
masa keemasan Islam (8 - 15 M). Karya-karya astronomi Islam kebanyakan ditulis dalam bahasa
Arab dan dikembangkan para ilmuwan di Timur Tengah, Afrika Utara, Spanyol dan Asia
Tengah.

Salah satu bukti dan pengaruh astronomi Islam yang cukup signifikan adalah penamaan sejumlah
bintang yang menggunakan bahasa Arab, seperti Aldebaran dan Altair, Alnitak, Alnilam,
Mintaka (tiga bintang terang di sabuk Orion), Aldebaran, Algol, Altair, Betelgeus.

Selain itu, astronomi Islam juga mewariskan beberapa istilah dalam `ratu sains' itu yang hingga
kini masih digunakan, seperti alhidade, azimuth, almucantar, almanac, denab, zenit, nadir, dan
vega. Kumpulan tulisan dari astronomi Islam hingga kini masih tetap tersimpan dan jumlahnya
mencapaii 10 ribu manuskrip.

Ahli sejarah sains, Donald Routledge Hill, membagi sejarah astronomi Islam ke dalam empat
periode. Periode pertama (700-825 M) adalah masa asimilasi dan penyatuan awal dari astronomi
Yunani, India dan Sassanid. Periode kedua (825-1025) adalah masa investigasi besar-besaran
dan penerimaan serta modifikasi sistem Ptolomeus. Periode ketiga (1025-1450 M), masa
kemajuan sistem astronomi Islam. Periode keempat (1450-1900 M), masa stagnasi, hanya sedikit
kontribusi yang dihasilkan.

Geliat perkembangan astronomi di dunia Islam diawali dengan penerjemahan secara besar-
besaran karya-karya astronomi dari Yunani serta India ke dalam bahasa Arab. Salah satu yang
diterjemahkan adalah karya Ptolomeus yang termasyhur, Almagest. Berpusat di Baghdad,
budaya keilmuan di dunia Islam pun tumbuh pesat.

Sejumlah, ahli astronomi Islam pun bermunculan, Nasiruddin at-Tusi berhasil memodifikasi
model semesta episiklus Ptolomeus dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga
keseragaman rotasi benda-benda langit. Selain itu, ahli matematika dan astronomi Al-
Khawarizmi, banyak membuat tabel-tabel untuk digunakan menentukan saat terjadinya bulan
baru, terbit-terbenam matahari, bulan, planet, dan untuk prediksi gerhana.

Ahli astronomi lainnya, seperti Al-Batanni banyak mengoreksi perhitungan Ptolomeus mengenai
orbit bulan dan planet-planet tertentu. Dia membuktikan kemungkinan gerhana matahari tahunan
dan menghitung secara lebih akurat sudut lintasan matahari terhadap bumi, perhitungan yang
sangat akurat mengenai lamanya setahun matahari 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik.
Astronom Islam juga merevisi orbit bulan dan planet-planet. Al-Battani mengusulkan teori baru
untuk menentukan kondisi dapat terlihatnya bulan baru. Tak hanya itu, ia juga berhasil
mengubah sistem perhitungan sebelumnya yang membagi satu hari ke dalam 60 bagian (jam)
menjadi 12 bagian (12 jam), dan setelah ditambah 12 jam waktu malam sehingga berjumlah 24
jam.

Buku fenomenal karya Al-Battani pun diterjemahkan Barat. Buku 'De Scienta Stelarum De
Numeris Stellarum' itu kini masih disimpan di Vatikan. Tokoh-tokoh astronomi Eropa seperti
Copernicus, Regiomantanus, Kepler dan Peubach tak mungkin mencapai sukses tanpa jasa Al-
Batani. Copernicus dalam bukunya 'De Revoltionibus Orbium Clestium' mengaku berutang budi
pada Al-Battani.

Dunia astronomi juga tak bisa lepas dari bidang optik. Melalui bukunya Mizan Al-Hikmah, Al
Haitham mengupas kerapatan atmofser. Ia mengembangkan teori mengenai hubungan antara
kerapatan atmofser dan ketinggiannya. Hasil penelitiannya menyimpulkan ketinggian atmosfir
akan homogen di ketinggian lima puluh mil.

Teori yang dikemukakan Ibn Al-Syatir tentang bumi mengelilingi matahari telah menginspirasi
Copernicus. Akibatnya, Copernicus dimusuhi gereja dan dianggap pengikut setan. Demikian
juga Galileo, yang merupakan pengikut Copernicus, secara resmi dikucilkan oleh Gereja Katolik
dan dipaksa untuk bertobat, namun dia menolak.

Menurut para ahli sejarah, kedekatan dunia Islam dengan dunia lama yang dipelajarinya menjadi
faktor berkembangnya astronomi Islam. Selain itu, begitu banyak teks karya-karya ahli
astronomi yang menggunakan bahasa Yunani Kuno, dan Persia yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab selama abad kesembilan. Proses ini dipertinggi dengan toleransi terhadap sarjana
dari agama lain. Sayang, dominasi itu tak bisa dipertahankan umat Islam.

Jejak Abadi di Kawah ke Bulan

Ilmuwan Islam begitu banyak memberi kontribusi bagi pengembangan dunia astronomi. Buah
pikir dan hasil kerja keras para sarjana Islam di era tamadun itu diadopsi serta dikagumi para
saintis Barat. Inilah beberapa ahli astronomi Islam dan kontribusi yang telah disumbangkannya
bagi pengembangan `ratu sains' itu.

Al-Battani (858-929).
Sejumlah karya tentang astronomi terlahir dari buah pikirnya. Salah satu karyanya yang paling
populer adalah al-Zij al-Sabi. Kitab itu sangat bernilai dan dijadikan rujukan para ahli astronomi
Barat selama beberapa abad, selepas Al-Battani meninggal dunia. Ia berhasil menentukan
perkiraan awal bulan baru, perkiraan panjang matahari, dan mengoreksi hasil kerja Ptolemeus
mengenai orbit bulan dan planet-planet tertentu. Al-Battani juga mengembangkan metode untuk
menghitung gerakan dan orbit planet-planet. Ia memiliki peran yang utama dalam merenovasi
astronomi modern yang berkembang kemudian di Eropa.

Al-Sufi (903-986 M)
Orang Barat menyebutnya Azophi. Nama lengkapnya adalah Abdur Rahman as-Sufi. Al-Sufi
merupakan sarjana Islam yang mengembangkan astronomi terapan. Ia berkontribusi besar dalam
menetapkan arah laluan bagi matahari, bulan, dan planet dan juga pergerakan matahari. Dalam
Kitab Al-Kawakib as-Sabitah Al-Musawwar, Azhopi menetapkan ciri-ciri bintang,
memperbincangkan kedudukan bintang, jarak, dan warnanya. Ia juga ada menulis mengenai
astrolabe (perkakas kuno yang biasa digunakan untuk mengukur kedudukan benda langit pada
bola langit) dan seribu satu cara penggunaannya.

Al-Biruni (973-1050 M)
Ahli astronomi yang satu ini, turut memberi sumbangan dalam bidang astrologi pada zaman
Renaissance. Ia telah menyatakan bahwa bumi berputar pada porosnya. Pada zaman itu, Al-
Biruni juga telah memperkirakan ukuran bumi dan membetulkan arah kota Makkah secara
saintifik dari berbagai arah di dunia. Dari 150 hasil buah pikirnya, 35 diantaranya didedikasikan
untuk bidang astronomi.

Ibnu Yunus (1009 M)


Sebagai bentuk pengakuan dunia astronomi terhadap kiprahnya, namanya diabadikan pada
sebuah kawah di permukaan bulan. Salah satu kawah di permukaan bulan ada yang dinamakan
Ibn Yunus. Ia menghabiskan masa hidupnya selama 30 tahun dari 977-1003 M untuk
memperhatikan benda-benda di angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang besar, hingga
berdiameter 1,4 meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari 10 ribu catatan mengenai
kedudukan matahari sepanjang tahun.

Al-Farghani
Nama lengkapnya Abu'l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani. Ia merupakan
salah seorang sarjana Islam dalam bidang astronomi yang amat dikagumi. Beliau adalah
merupakan salah seorang ahli astronomi pada masa Khalifah Al-Ma'mun. Dia menulis mengenai
astrolabe dan menerangkan mengenai teori matematik di balik penggunaan peralatan astronomi
itu. Kitabnya yang paling populer adalah Fi Harakat Al-Samawiyah wa Jaamai Ilm al-Nujum
tentang kosmologi.

Al-Zarqali (1029-1087 M)
Saintis Barat mengenalnya dengan panggilan Arzachel. Wajah Al-Zarqali diabadikan pada setem
di Spanyol, sebagai bentuk penghargaan atas sumbangannya terhadap penciptaan astrolabe yang
lebih baik. Beliau telah menciptakan jadwal Toledan dan juga merupakan seorang ahli yang
menciptakan astrolabe yang lebih kompleks bernama Safiha.

Jabir Ibn Aflah (1145 M)


Sejatinya Jabir Ibn Aflah atau Geber adalah seorang ahli matematik Islam berbangsa Spanyol.
Namun, Jabir pun ikut memberi warna da kontribusi dalam pengembangan ilmu astronomi.
Geber, begitu orang barat menyebutnya, adalah ilmuwan pertama yang menciptakan sfera
cakrawala mudah dipindahkan untuk mengukur dan menerangkan mengenai pergerakan objek
langit. Salah satu karyanya yang populer adalah Kitab al-Hay'ah.

Kegemilangan Observatorium Ulugh Beg


Sejatinya observatorium pertama di dunia dibangun astronom Yunani bernama Hipparchus (150
SM). Namun, di mata ahli astronomi Muslim abad pertengahan, konsep observatorium yang
dilahirkan Hipparcus itu jauh dari memadai. Sebagai ajang pembuktian, para sarjana Muslim pun
membangun observatorium yang lebih moderen pada zamannya.

Sejumlah astronom Muslim yang dipimpin Nasir al-Din al-Tusi berhasil membangun
observatorium astronomi di Maragha pada 1259 M. Observatorium itu dilengkapi perpustakaan
dengan koleksi buku mencapai 400 ribu judul. Observatorium Maragha juga telah melahirkan
sejumlah astronom terkemuka seperti, QuIb al-Din al-Shirazy, Mu'ayyid al-Din al-Urdy, Muiyi
al-Din al-Maghriby, dan banyak lagi.

Ahli astronomi Barat, Kevin Krisciunas dalam tulisannya berjudul The Legacy of Ulugh Beg
mengungkapkan, observatorium termegah yang dibangun sarjana Muslim adalah Ulugh Beg.
Observatorium itu dibangun seorang penguasa keturunan Mongol yang bertahta di Samarkand
bernama Muhammad Taragai Ulugh Beg (1393-1449). Dia adalah seorang pejabat yang menaruh
perhatian terhadap astronomi.

`'Ketertarikan dalam astronomi bemula, ketika dia mengunjungi Observatorium Maragha yang
dibangun ahli astronomi Muslim terkemuka, Nasir al-Din al-Tusi,'' tutur Krisciunas. Geliat
pengkajian astronomi di Samarkand mulai berlangsung pada tahun 1201. Namun, aktivitas
astronomi yang sesungguhnya di wilayah kekuasaan Ulugh Beg mulai terjadi pada 1408 M.

Ghirah astronomi di Samarkand mengalami puncaknya ketika Ulugh Beg mulai membangun
observatorim pada 1420. Menurut Kriscunas, berdasarkan laporan yang ditulis ahli astronomi
pada saat iru, Al-Kashi aktivitas pengkajian astronomi di Observatorium Ulugh Beg didukung
oleh tujuh puluh sarjana. Para ahli astronomi itu mendapatkan perlakukan istimewa dengan
fasilitas dan gaji yang luar biasa besarnya.

Observatorium ini beroperasi selama 50 tahun. Sayangnya, setelah Ulugh Beg meninggal,
obeservatorium itu pun mengalami kehancuran. Sejumlah astronom telah lahir dari lembaga itu
yakni, Giyath al-Din Jamshid al-Kushy, Qadizada al-Rumy dan `Ali ibn Muhammad al-Qashji.
Observatorium yang terakhir milik Islam dibangun di Istanbul tahun 1577, di zaman kekuasaan
Sultan Murad III (1574-1595) yang didirikan Taqi al-Din Muhammad ibn Ma'ruf al-Rashyd al-
Dimashqiy.

Dunia mendaulatnya sebagai `Bapak Sosiologi Islam'. Sebagai salah seorang pemikir hebat dan serba
bisa sepanjang masa, buah pikirnya amat berpengaruh. Sederet pemikir Barat terkemuka, seperti Georg
Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur
Laffer mengagumi pemikirannya.

Tak heran, pemikir Arab, NJ Dawood menjulukinya sebagai negarawan, ahli hukum, sejarawan dan
sekaligus sarjana. Dialah Ibnu Khaldun, penulis buku yang melegenda, Al-Muqaddimah. Ilmuwan besar
yang terlahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 atau 1 Ramadhan 732 H itu memiliki nama lengkap Waliuddin
Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami Al-Ishbili. Nenek moyangnya berasal dari
Hadramaut (Yaman) yang bermigrasi ke Seville (Spanyol) pada abad ke-8 M, setelah semenanjung itu
ditaklukan Islam.

Setelah Spanyol direbut penguasa Kristen, keluarga besar Ibnu Khaldun hijrah ke Maroko dan kemudian
menetap di Tunisia. Di kota itu, keluarga Ibnu Khaldun dihormati pihak istana dan tinggal di lahan milik
dinasti Hafsiah. Sejak terlahir ke dunia, Ibnu Khaldun sudah hidup dalam komunitas kelas atas.

Ibnu Khaldun hidup pada masa peradaban Islam berada diambang degradasi dan disintegrasi. Kala itu,
Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran
Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun
sebelum kelahiran Ibnu Khaldun.

Guru pertama Ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Sejak kecil, ia sudah menghafal Alquran dan
menguasai tajwid. Selain itu, dia juga menimba ilmu agama, fisika, hingga matematika dari sejumlah
ulama Andalusia yang hijrah ke Tunisia. Ia selalu mendapatkan nilai yang memuaskan dalam semua
bidang studi.

Studinya kemudian terhenti pada 749 H. Saat menginjak usia 17 tahun, tanah kelahirannya diserang
wabah penyakit pes yang menelan ribuan korban jiwa. Akibat peristiwa yang dikenal sebagai Black
Death itu, para ulama dan penguasa hijrah ke Maghrib Jauh (Maroko).

Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Ibn Khaldun dalam pandangan Penulis Barat dan Timur
memaparkan, di usia yang masih muda, Ibnu Khaldun sudah menguasi berbagai ilmu Islam klasik seperti
filsafat, tasawuf, dan metafisika. Selain menguasai ilmu politik, sejarah, ekonomi serta geografi, di
bidang hukum, ia juga menganut madzhab Maliki.

Sejak muda, Ibnu Khaldun sudah terbiasa berhadapan dengan berbagai intrik politik. Pada masa itu,
Afrika Utara dan Andalusia sedang diguncang peperangan. Dinasti-dinasti kecil saling bersaing
memperebutkan kekuasaan, di saat umat Islam terusir dari Spanyol. Tak heran, bila dia sudah terbiasa
mengamati fenomena persaingan keras, saling menjatuhkan, saling menghancurkan.

Di usianya yang ke-21, Ibnu Khaldun sudah diangkat menjadi sekretaris Sultan Al-Fadl dari Dinasti Hafs
yang berkedudukan di Tunisia. Dua tahun kemudian, dia berhenti karena penguasa yang didukungnya
itu kalah dalam sebuah pertempuran. Ia lalu hijrah ke Baskarah, sebuah kota di Maghrib Tengah
(Aljazair).

Ia berupaya untuk bertemu dengan Sultan Abu Anam, penguasa Bani Marin dari Fez, Maroko, yang
tengah berada di Maghrib Tengah. Lobinya berhasil. Ibnu Khaldun diangkat menjadi anggota majelis
ilmu pengetahuan dan sekretaris sultan setahun kemudian. Ia menduduki jabatan itu selama dua kali
dan sempat pula dipenjara. Ibnu Khaldun kemudian meninggalkan negeri itu setelah Wazir Umar bin
Abdillah murka.
Ia kemudian terdampar di Granada pada 764 H. Sultan Bani Ahmar menyambut kedatangannya dan
mempercayainya sebagai duta negar di Castilla, sebuah kerajaan Kristen yang berpusat di Seville.
Tugasnya dijalankan dengan baik dan sukses. Namun tak lama kemudian, hubungannya dengan Sultan
kemudian retak.

Dua tahun berselang, jabatan strategis kembali didudukinya. Penguasa Bani Hafs, Abu Abdillah
Muhammad mengangkatnya menjadi perdana menteri sekaligus, khatib dan guru di Bijayah. Setahun
kemudian, Bijayah jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, gubernur Qasanthinah (sebuah kota di
Aljazair). Ibnu Khaldun lalu hijrah ke Baskarah.

Ia kemudian berkirim surat kepada Abu Hammu, sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad yang isinya akan
memberi dukungan. Tawaran itu disambut hangat Sultan dan kemudian memberinya jabatan penting.
Iming-iming jabatan itu ditolak Ibnu Khaldun, karena akan melanjutkan studinya secara otodidak. Ia
bersedia berkampanye untuk mendukung Abu Hammu. Sikap politiknya berubah, tatkala Abu Hammu
diusir Sultan Abdul Aziz.

Ibnu Khaldun kemudian berpihak kepada Abdul Aziz dan tinggal di Baskarah. Tak lama kemudian,
Tilmisan kembali direbut Abu Hammu. Ia lalu menyelamatkan diri ke Fez, Maroko pada 774. Saat Fez
jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, ia kembali pergi ke Granada buat yang kedua kalinya.
Namun, penguasa Granada tak menerima kehadirannya.

Ia balik lagi ke Tilmisan. Meski telah dikhianati, namun Abu Hammu menerima kehadiran Ibnu Khaldun.
Sejak saat itulah, Ibnu Khaldun memutuskan untuk tak berpolitik praktis lagi. Ibnu Khaldun lalu menyepi
di Qa'lat Ibnu Salamah dan menetap di tempat itu sampai tahun 780 H. Dalam masa menyepinya itulah,
Ibnu Khaldun mengarang sejumlah kitab yang monumental.

Di awali dengan menulis kitab Al-Muqaddimah yang mengupas masalah-masalah sosial manusia, Ibnu
Khaldun juga menulis kitab Al-`Ibar (Sejarah Umum). Pada 780 H, Ibnu Khaldun sempat kembali ke
Tunisia. Di tanah kelahirannya itu, ia sempat merevisi kitab Al'Ibar.

Empat tahun kemudian, ia hijrah ke Iskandaria (Mesir) untuk menghindari kekisruhan politik di Maghrib.
Di Kairo, Ibnu Khaldun disambut para ulama dan penduduk. Ia lalu membentuk halaqah di Al-Azhar. Ia
didaulat raja menjadi dosen ilmu Fikih Mazhab Maliki di Madrasah Qamhiyah. Tak lama kemudian, dia
diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan.

Ibnu Khaldun sempat mengundurkan diri dari pengadilan kerajaan, lantaran keluarganya mengalami
kecelakaan. Raja lalu mengangkatnya lagi menjadi dosen di sejumlah madrasah. Setelah menunaikan
ibadah haji, ia kembali menjadi ketua pengadilan dan kembali mengundurkan diri. Pada 803 H, dia
bersama pasukan Sultan Faraj Barquq pergi ke Damaskus untuk mengusir Timur Lenk, penguasa Mogul.

Berkat diplomasinya yang luar biasa, Ibnu Khaldun malah bisa bertemu Timur Lenk yang dikenal sebagai
penakluk yang disegani. Dia banyak berdiskusi dengan Timur. Ibnu Khaldun, akhirnya kembali ke Kairo
dan kembali ditunjuk menjadi ketua pengadilan kerajaan. Ia tutup usia pada 25 Ramadhan 808 H di
Kairo. Meski dia telah berpulang enam abad yang lalu, pemikiran dan karya-karyanya masih tetap dikaji
dan digunakan hingga saat ini.

Al-Muqaddimah Karya yang Abadi

Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibnu Khaldun bersama keluarganya menyepi di Qal'at Ibn
Salamah istana yang terletak di negeri Banu Tajin selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itu,
Ibnu Khaldun berhasil merampungkan sebuah karya monumental yang hingga kini masih tetap dibahas
dan diperbincangkan.

`'Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya
orisinal dalam perencanaannya dan saya ramu dari hasil penelitian luas yang terbaik,'' ungkap Ibnu
Khaldun dalam biografinya yang berjudul Al-Ta'rif bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Sharqan.
Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee
menganggap Al-Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.

Menurut Ahmad Syafii Ma'arif, salah satu tesis Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah yang sering dikutip
adalah: `'Manusia bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.''
Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah menjadi
tiga bagian utama .Pertama, membicarakan histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan
Arab-Muslim.

Kedua, Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur. Bagi Ibnu Khaldun, ilmu tersebut merupakan dasar
bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah
berkembang sampai dengan abad ke-14. Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang
berjudul Al-`Ibar, kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur. Pasalnya, seluruh bangunan teorinya
tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun
diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis.

`'Di tangan Ibnu Khaldun, sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-
dongeng,'' papar Syafii Ma'arif. Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia politik
pada masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis Almuqaddimah dengan jernih. Dalam kitabnya itu, Ibnu
Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum kemasyarakatan dan perubahan sosial.

Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun
adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang
menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu
kemasyarakatan antara lain; `'Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk soisal berubah dan berkembang.''

Pemikiran Ibnu Khaldun telah memberi pengaruh yang besar terhadap para ilmuwan Barat. Jauh,
sebelum Aguste Comte pemikir yang banyak menyumbang kepada tradisi keintelektualan positivisme
Barat metode penelitian ilmu pernah dikemukakan pemikir Islam seperti Ibnu Khaldun (1332-1406).

Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian
hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan
dunia, saat ini. `'Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum
sosial,'' papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon.

''Setiap penyakit pasti ada obatnya.'' Sabda Rasulullah SAW yang begitu populer di kalangan umat Islam
itu tampaknya telah memicu para ilmuwan dan sarjana di era kekhalifahan untuk berlomba meracik dan
menciptakan beragam obat-obatan. Pencapaian umat Islam yang begitu gemilang dalam bidang
kedokteran dan kesehatan di masa keemasan tak lepas dari keberhasilan di bidang farmakologi dan
farmasi.

Di masa itu para dokter dan ahli kimia Muslim sudah berhasil melakukan penelitian ilmiah mengenai
komposisi, dosis, penggunaan, dan efek dari obat-obat sederhana serta campuran. Menurut Howard R
Turner dalam bukunya Science in Medievel Islam, umat Islam mulai menguasai farmakologi dan farmasi
setelah melakukan gerakan penerjemahan secara besar-besaran di era Kekhalifahan Abbasiyah.

Salah satu karya penting yang diterjemahkan adalah De Materia Medica karya Dioscorides. Selain itu
para sarjana dan ilmuwan Muslim juga melakukan transfer pengetahuan tentang obat-obatan dari
berbagai naskah yang berasal dari Suriah, Persia, India, serta Timur Jauh.

Karya-karya terdahulu itu telah membuat para ilmuwan Islam terinspirasi untuk melahirkan berbagai
inovasi dalam bidang farmakologi. ''Kaum Muslimin telah menyumbang banyak hal dalam bidang
farmasi dan pengaruhnya sangat luar biasa terhadap Barat,'' papar Turner.

Betapa tidak, para sarjana Muslim di zaman kejayaan telah memperkenalkan adas manis, kayu manis,
cengkeh, kamper, sulfur, serta merkuri sebagai unsur atau bahan racikan obat-obatan. Menurut Turner
umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama. Para ahli farmakologi Islam juga
termasuk yang pertama dalam mengembangkan dan menyempurnakan pembuatan sirup dan julep.

Pada awalnya, farmasi dan farmakologi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu kedokteran.
Dunia farmasi profesional secara resmi terpisah dari ilmu kedokteran di era kekuasaan Kekhalifahan
Abbasiyah. Terpisahnya farmasi dari kedokteran pada abad ke-8 M, membuat farmakolog menjadi
profesi yang independen dan farmakologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

Dalam praktiknya, farmakologi danfarmasi melibatkan banyak praktisi seperti herbalis, kolektor, penjual
tumbuhan, rempah-rempah untuk obat-obatan, penjual dan pembuat sirup, kosmetik, air aromatik,
serta apoteker yang berpengalaman. Merekalah yang kemudian turut mengembangkan farmasi di era
kejayaan Islam.
Setelah dinyatakan terpisah dari ilmu kedokteran, beragam penelitian dan pengembangan dalam bidang
farmasi atau saydanah (bahasa Arab) kian gencar dilakukan. Pada abad itu, para sarjana dan ilmuwan
Muslim secara khusus memberi perhatian untuk melakukan investigasi atau pencarian terhadap
beragam produk alam yang bisa digunakan sebagai obat-obatan di seluruh pelosok dunia Islam.

Di zaman itu, toko-toko obat bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang banyak jumlahnya
tak cuma hadir di kota Baghdad - kota metropolis dunia di era kejayaan Abbasiyah - namun juga di kota-
kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek sendiri. Mereka
menggunakan keahlian yang dimilikinya untuk meracik, menyimpan, serta menjaga aneka obat-obatan.

Pemerintah Muslim pun turun mendukung pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik
pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya juga
mendirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi aneka obat-obatan dalam skala besar.

Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan pemerintah diawasi secara ketat. Secara
periodik, pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib - semacam badan pengawas obat-obatan -
mengawasi dan memeriksa seluruh toko obat dan apotek. Para pengawas dari Al-Muhtasib secara teliti
mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat yang digunakan.

Pengawasan yang amat ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan yang berbahaya
dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya
obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan
teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam mestinya menjadi contoh bagi negara-negara
Muslim, khususnya Indonesia.

Seperti halnya di bidang kedokteran, dunia farmasi profesional Islam telah lebih unggul lebih dulu
dibandingkan Barat. Ilmu farmasi baru berkembang di Eropa mulai abad ke-12 M atau empat abad
setelah Islam menguasainya. Karena itulah, Barat banyak meniru dan mengadopsi ilmu farmasi yang
berkembang terlebih dahulu di dunia Islam.

Umat Islam mendominasi bidang farmasi hingga abad ke-17 M. Setelah era keemasan perlahan
memudar, ilmu meracik dan membuat obat-obatan kemudian dikuasai oleh Barat. Negara-negara Eropa
yang menguasai farmasi dari aneka risalah Arab dan Persia tentang obat dan senyawa obat yang ditulis
para sarjana dan ilmuwan Islam. Tak heran, bila kini industri farmasi dunia berada dalam genggaman
Barat.

Pengaruh kaum Muslimin dalam bidang farmasi di dunia Barat begitu besar. "Hal itu tecermin dalam
kembalinya minat terhadap pengobatan natural yang begitu populer dalan pendidikan kesehatan saat
ini," papar Turner. Mungkinkah umat Islam kembali menguasai dan mendominasi bidang farmasi seperti
di era keemasan?

Kontribusi Ilmuwan Islam di Bidang Farmakologi


* Ibnu Al-Baitar

Lewat risalahnya yang berjudul Al-Jami fi Al-Tibb (Kumpulan Makanan dan Obat-obatan yang
Sederhana), Ibnu Al-Baitar turut memberi kontribusi dalam farmakologi dan farmasi. Dalam kitabnya itu,
Al-Baitar mengupas beragam tumbuhan berkhasiat obat yang berhasil dikumpulkannya di sepanjang
pantai Mediterania antara Spanyol dan Suriah. Tak kurang dari seribu tanaman obat dipaparkannya
dalam kitab itu. Seribu lebih tanaman obat yang ditemukannya pada abad ke-13 M itu berbeda dengan
tanaman yang telah ditemukan ratusan ilmuwan sebelumnya. Tak heran bila kemudian Al-Jami fi Al-Tibb
menjadi teks berbahasa Arab terbaik yang berkaitan dengan botani pengobatan. Capaian yang berhasil
ditorehkan Al-Baitar sungguh mampu melampaui prestasi Dioscorides. Kitabnya masih tetap digunakan
sampai masa Renaisans di Eropa.

* Abu Ar-Rayhan Al-Biruni (973 M - 1051 M)

Al-Biruni mengenyam pendidikan di Khwarizm. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya seperti


astronomi, matematika, filsafat dan ilmu alam. Ia memulai melakukan eksperimen ilmiah sejak remaja.
Ilmuwan Muslim yang hidup di zaman keemasan Dinasti Samaniyaah dan Ghaznawiyyah itu turut
memberi kontribusi yang sangat penting dalam farmakologi dan farmasi. Melalui kitab As-Sydanah fit-
Tibb, Al-Biruni mengupas secara lugas dan jelas mengenai seluk-beluk ilmu farmasi. Kitab penting bagi
perkembangan farmakologi dan farmasi itu diselesaikannya pada tahun 1050 M - setahun sebelum Al-
Biruni tutup usia. Dalam kitab itu, Al-Biruni tak hanya mengupas dasar-dasar farmasi, namun juga
meneguhkan peran farmasi serta tugas dan fungsi yang diemban seorang farmakolog.

* Abu Ja'far Al-Ghafiqi (wafat 1165 M)

Ilmuwan Muslim yang satu ini juga turut memberi kontribusi dalam pengembangan farmakologi dan
farmasi. Sumbangan Al-Ghafiqi untuk memajukan ilmu tentang komposisi, dosis, meracik dan
menyimpan obat-obatan dituliskannya dalam kitab Al-Jami' Al-Adwiyyah Al-Mufradah. Risalah itu
memaparkan tentang pendekatan dalam metodelogi, eksperimen, serta observasi dalam farmakologi
dan farmasi.

* Al-Razi

Sarjana Muslim yang dikenal di Barat dengan nama Razes itu juga ikut andil dalam membesarkan bidang
farmakologi dan farmasi. Ilmuwan Muslim serba bisa itu telah memperkenalkan penggunaaan bahan
kimia dalam pembuatan obat-obatan.

* Sabur Ibnu Sahl (wafat 869 M)

Ibnu Sahal adalah dokter pertama yang mempelopori pharmacopoeia. Kontribusinya dalam bidang
farmakologi dan farmasi juga terbilang mata besar. Dia menjelaskan beragam jenis obat-obatan.
Sumbangannya untuk pengembangan farmakologi dan farmasi dituangkannya dalam kitab Al-
Aqrabadhin.

* Ibnu Sina

Dalam kitabnya yang fenomenal, Canon of Medicine, Ibnu Sina juga mengupas tentang farmakologi dan
farmasi. Ia menjelaskan lebih kurang dari 700 cara pembuatan obat dengan kegunaannya. Ibnu Sina
menguraikan tentang obat-obatan yang sederhana.

* Al-Zahrawi

Bapak ilmu bedah modern ini juga ikut andil dalam membesarkan farmakologi serta farmasi. Dia adalah
perintis pembuatan obat dengan cara sublimasi dan distilasi.

* Yuhanna Ibnu Masawayh (777 M - 857 M)

Orang Barat menyebutnya Mesue. Ibnu Masawayh merupakan anak seorang apoteker. Kontribusinya
juga terbilang penting dalam pengembangan farmasi dan farmakologi. Dalam kitab yang ditulisnya, Ibnu
Masawayh membuat daftar sekitar 30 macam aromatik.
Salah satu karya Ibnu Masawayh yang terkenal adalah kitab Al-Mushajjar Al-Kabir. Kitab ini merupakan
semacam ensiklopedia yang berisi daftar penyakit berikut pengobatannya melalui obat-obatan serta
diet.

* Abu Hasan 'Ali bin Sahl Rabban at- Tabari

At-Tabari lahir pada tahun 808 M. Pada usia 30 tahun, dia dipanggil oleh Khalifah Al-Mu'tasim ke
Samarra untuk menjadi dokter istana. Salah satu sumbangan At-Tabari dalam bidang farmakologi adalah
dengan menulis sejumlah kitab. Salah satunya yang terkenal adalah Paradise of Wisdom. Dalam kitab ini
dibahas mengenai pengobatan menggunakan binatang dan organ-organ burung. Dia juga
memperkenalkan sejumlah obat serta cara pembuatannya.

Astronomi

Ia menulis beragam kitab yang mengupas tentang Astronomi. Nasiruddin juga membangun
observatorium yang mampu menghasilkan tabel pergerakan planet secara akurat. Model sistem
plenaterium yang dibuatnya diyakini paling maju pada zamannya. Dia juga berhasil menemukan
sebuah teknik geometrik yang dikenal di barat dengan a Tusi-couple. Sejarah juga mencatat,
Nasiruddin sebagai astronom pertama yang mengungkapkan bukti observasi empiris tentang
rotasi Bumi.

Biologi

Nasiruddin juga turut memberi sumbangan dalam pengembangan ilmu hayat atau biologi. Ia
menulis secara luas tentang biologi. Nasiruddin menempatkan dirinya sebagai perintis awal
dalam evolusi biologi. Dia memulai teorinya tentang evolusi dengan alam semesta yang terdiri
dari elemen-eleman yang sama dan mirip. Menurutnya, kontradiksi internal mulai tampak
sebagai sebuah hasil, dan beberapa zat mulai berkembang lebih cepat serta berbeda dengan zat
lain.

Dia lalu menjelaskan bagaimana elemen-elemen berkembang menjadi mineral kemudian


tanaman, kemudian hewan, dan kemudian manusia. Di juga menjelaskan bagaimana variabilitas
heriditas merupakan faktor penting dalam evolusi biologi mahluk hidup.

Kimia

Dalam bidang kimia, Nasiruddin mengungkapkan versi awal tentang hukum kekekalan
massa:''Zat dalam tubuh tak bisa sepenuhnya menghilang. Zat itu hanya merubah bentuk,
kondisi, komposisi, warna, dan bentuk lainnya yang berbeda.''

Matematika

Selain menghasilkan rumus sinus pada segitiga, Nasiruddin juga adalah matematikus pertama
yang memisahkan trigonometri sebagai disiplin ilmu yang terpisah dari matematika.

Selama mendedikasikan hidupnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Nasiruddin Al-Tusi telah
menulis beragam kitab yang mengupas bermacam ilmu pengetahuan. Di antara kitab yang berhasil
ditulisnya itu antara lain; kitab Tajrid-al-'Aqaid (sebuah kajian tentang ilmu kalam); serta Al-Tadhkirah
fi'ilm al-hay'ah (sebuah memoar tentang ilmu astronomi).

Kitab tentang astronomi yang ditulis Nasiruddin itu banyak mendapat komentar dari para pakar
astronomi. Komentar-komentar itu dibukukan dalam sebuah buku berjudul Sharh al-Tadhkirah (Sebuah
Komentar atas Al-Tadhkirah) yang ditulis Abd al-Ali ibn Muhammad ibn al-Husayn al-Birjandi dan
Nazzam Nishapuri.

Selain itu, Nasiruddin juga menulis kitab berjudul Akhlaq-i-Nasri yang mengupas tentang etika. Kitab
lainnya yang terbilang populer adalah Al-Risalah Al-Asturlabiyah (Risalah Astrolabe). Kitab ini mengupas
tentang peralatan yang digunakan dalam astronomi. Di bidang astronomi, Nasiruddin juga menulis
risalah yang amat populer, yakni Zij-i ilkhani (tabel ilkhanic). Ia juga menulis Sharh Al-Isharat, sebuah
buku yang berisi kritik terhadap hasil kerja Ibnu Sina.

Selama tinggal di Nishapur, Nasiruddin memiliki reputasi yang cemerlang, sebagai ilmuwan yang beda
dari yang lain. Pencapaian mengagumkan yang berhasil ditorehkan Nasiruddin dalam bidang
matematika adalah pembuatan rumus sinus untuk segitiga, yakni; a / sin A = b / sin B = c / sin C.

Ilmuwan serba bisa. Julukan itu rasanya amat pantas disandang Nasiruddin Al-Tusi. Sumbangannya bagi
perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tak ternilai besarnya. Selama hidupnya, ilmuwan
Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan beragam ilmu seperti, astronomi,
biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama Islam.

Sarjana Muslim yang kemasyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja, Thomas
Aquinas, itu memiliki nama lengkap Abu Ja'far Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan Nasiruddin Al-
Tusi. Ia terlahir pada 18 Februari 1201 M di kota Tus yang terletak di dekat Meshed, sebelah timur laut
Iran. Sebagai seorang ilmuwan yang amat kondang di zamannya, Nasiruddin memiliki banyak nama
antara lain, Muhaqqiq Al-Tusi, Khuwaja Tusi, dan Khuwaja Nasir.

Nasiruddin lahir di awal abad ke-13 M, ketika dunia Islam tengah mengalami masa-masa sulit. Pada era
itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat menginvansi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas.
Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam.

Menurut JJ O'Connor dan EF Robertson, pada masa itu dunia diliputi kecemasan. Hilangnya rasa aman
dan ketenangan itu membuat banyak ilmuwan sulit untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Nasiruddin pun tak dapat mengelak dari konflik yang melanda negerinya. Sejak kecil, Nasiruddin
digembleng ilmu agama oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang ahli hukum di Sekolah Imam
Keduabelas.

Selain digembleng ilmu agama disekolah itu, Nasiruddin juga mempelajari beragam topik ilmu
pengetahuan lainnya dari sang paman. Menurut O'Connor dan Robertson, pengetahuan tambahan yang
diperoleh dari pamannya itu begitu berpengaruh pada perkembangan intelektual Nasiruddin.
Pengetahuan pertama yang diperolehnya dari sang paman antara lain; logika, fisika, dan metafisika.

Selain itu, Nasiruddin juga mempelajari matematika pada guru lainnya. Ia begitu tertarik pada aljabar
dan geometri. Ketika menginjak usia 13 tahun, kondisi keamanan kian tak menentu. Pasukan Mongol
dibawah pimpinan Jengis Khan yang berutal dan sadis mulai bergerak cepat dari Cina ke wilayah barat.
Sebelum tentara Mongol menghancurkan kota kelahirannya, dia sudah mempelajari dan menguasai
beragam ilmu pengetahuan.

Untuk menimba ilmu lebih banyak lagi, Nasiruddin hijrah dari kota kelahirannya ke Nishapur - sebuah
kota yang berjarak 75 km di sebelah barat Tus. Di kota itulah, Nasiruddin menyelesaikan pendidikannya
filsafat, kedokteran, dan matematika. Dia sungguh beruntung, karena bisa belajar matematika dari
Kamaluddin ibn Yunus. Kariernya mulai melejit di Nishapur. Nasiruddin pun mulai dikenal sebagai
seorang sarjana yang hebat.

Pada tahun 1220 M, invasi militer Mongol telah mencapai Tus dan kota kelahiran Nasiruddin pun
dihancurkan. Ketika situasi keamanan tak menentu, penguasa Ismailiyah Nasiruddin 'Abdurrahim
mengajak sang ilmuwan itu untuk bergabung. Tawaran itu tak disia-siakannya. Nasiruddin pun
bergabung menjadi salah seorang pejabat di Istana Ismailiyah. Selama mengabdi di istana itu, Nasiruddin
mengisi waktunya untuk menulis beragam karya yang penting tentang logika, filsafat, matematika, serta
astronomi. Karya pertamanya adalah kitab Akhlag-i Nasiri yang ditulisnya pada 1232 M.
Pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan - cucu Jengis Khan - pada tahun 1251 M akhirnya
menguasai Istana Alamut dan meluluh-lantakannya. Nyawa Nasiruddin selamat, karena Hulagu ternyata
sangat menaruh minat terhadap ilmu pengetahuan. Hulagu yang dikenal bengis dan kejam
memperlakukan Nasiruddin dengan penuh hormat. Dia pun diangkat Hulagu menjadi penasihat di
bidang ilmu pengetahuan.

Meski telah menjadi penasihat pasukan Mongol, sayangnya Nasiruddin tak mampu menghentikan ulah
dan kebiadaban Hulagu Khan yang membumi hanguskan kota metropolis intelektual dunia, Baghdad,
pada tahun 1258 M. Terlebih, saat itu Dinasti Abbasiyah berada dalam kekuasaan Khalifah Al-Musta'sim
yang lemah. Terbukti, militer Abbasiyah tak mampu membendung gempuran pasukan Mongol.

Meski tak mampu mencegah terjadinya serangan bangsa Mongol, paling tidak Nasiruddin bisa
menyelamatkan dirinya dan masih berkesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang
dimilikinya. "Hulagu sangat bangga karena berhasil menaklukkan Baghdad dan lebih bangga lagi karena
ilmuwan terkemuka seperti Al-Tusi bisa bergabung bersamanya,'' papar O'Connor dan Robertson dalam
tulisannya tentang sejarah Nasiruddin.

Hulagu juga amat senang, ketika Nasirrudin mengungkapan rencananya untuk membangun
Observatorium di Maragha. Saat itu, Hulagu telah menjadikan Malagha yang berada di wilayah
Azerbaijan sebagai ibu kota pemerintahannya. Pada tahun 1259 M, Nasiruddin pun mulai membangun
observatorium yang megah. Jejak dan bekas bangunan observatorium itu masih ada hingga sekarang.

Observatorium Maragha mulai beroperasi pada tahun 1262 M. Pembangunan dan operasional
observatorium itu melibatkan sarjana dari Persia dibantum astronom dari Cina. Teknologi yang
digunakan di observatorium itu terbilang canggih pada zamannya. Beberapa peralatan dan teknologi
penguak luar angkasa yang digunakan di observatorium itu ternyata merupakan penemuan Nasiruddin,
salah satunya adalah 'kuadran azimuth.'

Selain itu, dia juga membangun perpustakaan di observatorium itu. Koleksi bukunya tebilang lengkap,
terdiri dari beragam ilmu pengetahuan. Di tempat itu, Nasiruddin tak cuma mengembangkan bidang
astronomi saja. Dia pun turut mengembangkan matematika serta filsafat.

Di Observatorium yang dipimpinnya itu, Nasiruddin Al-Tusi berhasil membuat tabel pergerakan planet
yang sangat akurat. Kontribusi lainnya yang amat penting bagi perkembangan astronomi adalah kitab
Zij-i Ilkhani yang ditulis dalam bahasa Persia dan lalu diterjemahkan dalam bahasa Arab. Kitab itu
disusun setelah 12 tahun memimpin obeservatorium Maragha.

Selain itu, Nasiruddin juga berhasil menulis kitab terkemuka lainnya berudul Al-Tadhkira fi'ilm Al-hay'a
(Memoar Astronomi). Nasiruddin mampul memodifikasi model semesta episiklus Ptolomeus dengan
prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langi

Nasiruddin meninggal dunia pada 26 Juni 1274 M di Baghdad. Meski begitu, jasa dan kontribusinya
dalam pengembangan ilmu pengetahuan masih tetap dikenang. Namanya, dibadikan mejadi salah satu
nama kawah di bulan.

You might also like