Professional Documents
Culture Documents
Namanya terpatri kemudian di batu basurek (prasasti) Padang Roco 1208 Çaka
(1347 ) ketika dinobatkan menjadi raja Melayu yang kemudian meluas sampai ke
Pagaruyung meningalkan bukti-bukti tertulis di atas bongkahan batu. Rupanya
Adityawarman telah dipersiapkan di Mojopahit dengan menempatkannya pada
beberapa jabatan, seperti Werdamenteri dan sebagai duta ke Cina.
Adityawarman (1294 -1377), putra Melayu dari seorang ibu bernama Dara
Jingga, Asal usul ini dihubungkan dengan berita dalam Kitab Pararaton yang
mengisahkan bahwa:
"Aksara sapuluh dina teka kang andon saking malayu, olih putri roro, kang sawiji
ginawe binihaji denira Raden Wijaya, aran Raden Dara Petak: kang atuha arab Dara
Jingga alaki dewa apuputra ratu ing Malayu, aran Tuhan janaka, kasir-kasir
warmadewa, bhiseka Siraji Mantrolot. Tunggul Pamalayu lan Patumapel : Saka-rsi-
sanga-samadhi: 1197
Artinya:
Suami Dara Jingga adalah seorang pejabat tinggi di kraton Mojopahit yang
gelarnya "dewa". Gelar dewa itu tidak ada di kraton-kraton Jawa, tentu ia juga
seorang Malayu. Dalam prasasti Adityawarman tahun 1347, di balik arca
Amoghapasa, disebut Dewa Tuhan Perpatih adalah mertua atau bahkan ayahnya
sendiri, sedangkan ibunya seorang putri Dharmasraya.
.
Pagaruyung, Batu Basurek. 1347
Prasasti ini berasal dari Dusun Kapalo Bukit Gombak, Batu Sangkar.
Sebelumnya disebut Prasasti Bukit Gombak II, yang sekarang dinamakan
Prasasti Pagaruyung.
Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sansekerta dan bahasa Melayu Kuno,
berangka tahun dalam bentuk candrasengkala pada baris ke-19 Wasur mmumi
bhuja stjalam, 1278 Çaka atau tahun 1357 M. Prasasti ini terdiri dari 19
baris tulisan yang menyatakan Adityawarman bergelar Sri Maharaja Diraja
Batu basurek ini ditulis seorang pendeta atau seorang guru bernama
Dharmadwaja. Hampir seluruh Sumatera sampai ke Semenanjung Malaka
tunduk kepadanya. Sebagai Perdana Menteri dalam pemerintahan, ia dibantu
oleh tokoh dwitunggal di bidang politik; oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang,
mengadakan pertemuan dengan senang hati. Artinya, kekuasaan eksekutif,
legislatif dan yudikatif sepenuhnya dipegang oleh penghulu di nagari-nagari
dan kerapatan adat untuk mencapai kata sepakat.
Hasan Djaffar, Prasasti-prasasti masa Kerajaan Malayu kuno dan beberapa Permasalahannya
Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi 7-8 Desember 1992
Batu Basurek (Prasasti) Pagaruyung II.
Prasasti ini berasal Dusun Kapalo Bukit Gombak dan sekarang disebut
Prasasti Pagaruyung II. Prasasti ini dalam keadaan terpotong menjadi dua
terdiri dari 14 baris, sedangkan baris ke-9 dan ke-10 hilang. Pada bagian atas
tulisan terdapat hiasan sejenis kala. Pada baris ke-14 manyebutkan nama
Adityawarman. Batu basurek ini transkripsi belum diterbitkan dan tulisannya
telah kabur, sehingga sulit dibaca.
Pada tahun saka 1269 yang telah lalu, pada bulan Kartika, bagian bulan
terang, pada hari kelima, Senin, wajra, Yoga, Indra Bajra"
1. Raja …..
9. Disusun du ….
16. Disumpah apa bila sedang berada di (pohon di tepi sungai) akan
dibunuh (disambar buaya).
Isi prasasti ini tidak dapat dibaca seluruhnya, karena sudah banyak
hurufnya yang hilang, tetapi ada yang menyebutkan nama Adityawarman
dengan gelar Maharajadiraja. Ada juga nama lain, srimat Akendrawarman,
patih bernama Tuhan Perpatih dan Tuhan Gha Sri (Dunia) Ratu
"Bahagia pada tahun Saka 1291 bulan jyesta tanggal 12 (adalah) seorang
raja yang selalu ringan dalam berdana emas dan menjadi contoh bagaikan
dewa (berbau) harum.
Batu Basurek Kubu Rajo atau Prasasti Kubu Rajo terletak situs purbakala di
Kuburajo, Batu Sangkar. Kubu Rajo terdiri dari dua kata, kubu dan rajo yang
artinya benteng raja (Adityawarman). Prasasti ini ditulis dengan huruf Jawa Kuno
dan bahasa Sansekerta terdiri dari 16 baris. Tulisannya masih baik dan dapat
dibaca semuanya.
Di Saruaso terdapat 2 buah batu basurek atau prasasti dan sebuah di Bandar
Bapahat.
1. subhamastu //o// bhuh karnne darssane saka gate jesthe sasi manggale/sukle
sasthi tithi nrpotta
Sampai tahun 1987 batu basurek atau prasasti Saruaso ini berada di halaman
Bupati Tanah Datar, Batu Sangkar. Pada tahun 1992 dipindahkan ke kantor Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Jl. MT. Harjono 11 Batu Sangkar.
Pengaruh sekte seperti ini terdapat juga dari prasasti lempengan emas dari
biara Tanjung Medan, dekat Panti, Kabupaten Pasaman. Di samping ukiran bajra
yang ganda, ada nama Dhyani Budha dan kata "phat" ialah nama Tibet untuk
Budha. Hubungan Tibet dengan Sumatera telah berlangsung semenjak abad ke-12
ketika Atissa, biksu dari India belajar di Sriwijaya di bawah pimpinan
Dharmakirti. Atisa belajar di Malayagiri di Sriwijayapura.
Banda Bapahek, Saruaso, irigasi
Untuk membaca prasasti ini sangat sulit karena keadaan tulisan yang sudah
aus dimakan masa. Dari sisa tulisan yang dapat dibaca, terdapat nama
Adityawarman dan nama desa Surawasawan, yaitu grama Surawasawan, yang
artinya penguasa Suruaso
Pada dinding yang sebelah kanan prasasti ditulis dengan aksara Granta dari
dari India Selatan dengan corak bahasa Tamil. Pada masa pemerintahan
Adityawarman terdapat kelompok masyarakat yang berasal dari India Selatan
yang hubungan kerja dengan rakyat Adityawarman. Masyarakat dari India Selatan
itu telah tinggal selama 300 tahun di Pagaruyung. Mereka datang dari pantai barat
dan menetap di Pariangan pada abad 11, ikut membantu menata kembali 'nagari'
dan 'koto' di Minangkabau. Kata 'nagari dan koto adalah kosa kata bahasa Tamil.
Ombilin, Batu Basurek,
Batu basurek atau prasasti Rambatan ini ditemukan tahun 1950 di desa Limo
Suku, Kepala Koto, Kecamatan Rambatan terdapat sebuah batu bersurat
Adityawarman, yang disebut Prasasti Rambatan. Prasasti ini terdiri dari 6 baris
tulisan yang sudah aus. Bahasanya Melayu Kuno yang ditulis pada tahun 1291
Çaka atau 1370 Masehi. Di atas batu basurek itu ada gambar dua ekor ular yang
saling membelit. Gambar ini merupakan lambang dunia bawah. Penganut agama
Budha mencari kebenaran untuk mencapai dunia bawah atau nirwana.
Pada prasasti tersebut terdapat jejak kaki Budha yang sekarang berada di desa
Bodi, Rambatan.Kabupaten Tanah Datar. Tapak Budha disediakan Adityawarman
sebagai tempat pemujaan bagi pengikut agama Budha. Adityawarman memerintah
Menterinya membuat cungkup untuk tempat berteduh bagi para peziarah Budha
ke tempat itu.
Rambahan, prasasti
Pada tahun 1992 di tempat ini ditemukan juga komplek percandian yang
terdiri dari 3 buah candi, sebuah candi induk 36 x 36 m, dikelilingi dua candi
Perwara yangluasnya masing-masing 20 x 20 m
Lubuk Layang, batu bersurat
Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu pada kedua sisinya. Sisi depan
terdapat 9 baris kalimat dan sisi belakang 8 kalimat yang semuanya berbahasa
Melayu Kuno. Keadaan prasasti sudah sangat aus dimakan masa. Prasasti ini
tidak menyebutkan nama Adityawarman, melainkan menyebut
Bijayendrawarman sebagai jauwa raja atau raja muda di Sri Indrakila
parwatapuri.
1. Tahun 1208 Çaka (1275), arca Amoghapasa dibawa dari pulau Jawa ke
Suwarnabhumi (Sumatra)