You are on page 1of 13

TAMBO (edit)

-SAN-

Tambo ialah riwayat Minangkabau kuno yang dikisahkan dengan gaya bahasa
yang prosaistis. Tambo Minangkabau terdiri Tambo Alam dan Tambo Adat.

Tambo Alam mengisahkan asal usul alam Minangkabau dan asal usul nama
Minangkabau. Asal usul Minangkabau dari tiga orang turunan Iskandar Zulkarnaini,
raja Makedonia. Yang tua Maharaja Alif, yang jadi raja di banua Ruhun (Romawi);
yang tengah Maharaja Dipang jadi raja di benua Cina; dan yang bungsu Maharaja
Diraja yang berlayar ke selatan, akhirnya sampai di (puncak) Gunung Merapi. Ikut
bersama rombongan: Suri Dirajo, Cati (Cateri) Bilang Pandai (cendikiawan), Indo
Jati, Harimau Campo, Kucing Siam , Kambiang Hutan dan Anjing Mualim.
Penamaan dengan nama binatang anggota rombongan Maharajo Dirajo ke Pulau
Paco tersebut suatu kiasan semata. Harimau Campo adalah rombongan yang berasal
dari Campa, Kucing Siam dari Cochin dari negeri Siam (Thailand). Sedangkan
Anjing Mualim adalah rombongan yang datang dari daratan Cina. Kata Anjing
asalnya dari Han Jiang.

Rombongan Maharajo Dirajo datang dari Tanah Basa tersebut berlayar ke selatan,
sebagaimana dikatakan tambo, lauik samato dahulunyo. Kutiko langik lah berenjeng
naiak, bumi mahantak turun, lalu balabuah parahu nantun di Labuhan Si Tambago
di lereng gunung Merapi. Rombongan ketika itu melihat Gunung Merapi, kemudian
mendarat di Pulau Paco, mendirikan pemukiman di *Pariangan Padang Panjang.
Pariangan, berasal dari kata para hiyangan. Nagari yang pertama dibangun dilengkapi
dengan adat dan pertanian. Pariangan mempunyai kedudukan di luar kedua aliran
pemerintahan adat lareh Bodi Caniago dan Koto Piliang. Mereka menamakan Lareh
Nan Panjang. Tentang nama Minangkabau, tambo menyebutkan dari kisah adu
kerbau Minangkabau dengan kerbau dari Jawa.

Tambo Adat berisi undang, norma dan peraturan alam Minangkabau. Menurut
orang Minangkabau seluruh wilayah suku bangsa Minangkabau dinamakan *Alam
Minangkabau, yang terdiri dari wilayah Minangkabau dan rantau. Tempat mereka
tinggal dinamakan nagari yang kedudukannya bersifat otonom. Tambo mengisahkan
juga berdirinya nagari, mulai dari taratak, dusun koto dan nagari. Tentang luhak
dikisahkan tentang luhak nan tigo, yang terdiri dari luhak Tanah Datar, Agam dan
Limo Puluah yang berada di sekitar Gunung Merapi, Singgalang dan Sago. Juga
dikisahkan pemerintahan adat yang disebut lareh yang digagaskan oleh Datuk
Parpatih Nan Sabatang* dan Datuk Katumanggungan*.

Tambo adat memuat juga tentang syarat-syarat berdirinya nagari, bentuk pimpinan
nagari dan syarat-syarat pimpinan setiap tingkat pemukiman, seperti tua kampung,
tentang perkawinan, warisan, tentang undang-undang atau hukum pidana dan perdata.
Tambo juga berisi etika sosial, petunjuk bagaimana seseorang bertingkah laku dan
bersikap dalam posisi dan hubungan sosial. Tambo menjadi sumber yang berharga
dalam mengungkapkan Adat Minangkabau. Bentuk awal dari tambo disampaikan
secara lisan (oral), kemudian dalam bentuk tulisan Arab Melayu. Tambo merupakan
kumpulan tentang nama dan asal usul nenek moyang Minangkabau, uraian tentang
peranan adat dan pengaturan masyarakat
Ada bermacam-macam kitab tambo yang terdapat di Sumatera Barat, di antaranya
Tambo Loyang di Pariangan, Tambo Sawah Tangah, Tambo Pagaruyung, Tambo di
Lasi Canduang, Tambo di Aie Tabik (Payakumbuh).

Tambo selalu diucapkan penghulu ketika upacara adat, sehingga setiap


penghulu harus lancar dan tepat mengucapkan *pidato adat.

Sumber : Ensilopedi Indonesia, Edisi Khusus, Jakarta, 1991


LKAAM,Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Padanh, 2002
M. Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghulu,Sejarah Singkat dan Adatnya, Mutiara 1980
14. DENDANG (edit)

Seni suara atau nyanyi Minangkabau. Kata dendang berasal dari den indang yang
mengandung dua arti; saya asuh dan menampi. Perpaduan antara bernyanyi atau
berdendang sambil mengayun-ayunkan anak dilakukan terus menerus. Irama
menidurkan anak tanpa disadari melahirkan dendang. Terkenal dengan dendang Si
Dawiyah di Maninjau. Lain halnya dengan menampi, memisahkan beras dari atah
sambil mengayunkan niru. Secara sadarpun melahirkan irama dendang, seperti den
tampi bareh den tampi. Hampir setiap nagari mengenal nama dendangnya sendiri.
Secara garis besarnya, menurut daerahnya, dendang di Minangkabau dibagi dua,
dendang darek dan dendang pasisia . Perbedaannya pada tangga nada Tangga nada
dendang darek pentatonis dengan susunan nada do, re, mi, fa, so atau so, la, do, re,
mi.

Walaupun termasuk dendang darek, ada juga daerah yang mempunyai susunan
nada yang berbeda, misalnya ratok: Koto Tuo, Rimbo Panjang, Kumbang Cari, Batu
Balang dan Kumbang Cari. Susunan tangga nadanya do, re, mi, fa, so. Talago Biru,
Tanjung Pati dan Tanjung Raya susunan tangga nadanya do, re, mi, fa, so, la.
Malereng Tabing, Si Kanduang Yo, Simpang Ampek susunan tangga nadanya lain
pula. Nada nyanyi darek non diatonis.

Tangga nada dendang pasisia heptatosis, seperti lagu palayaran, dayung


palinggam, si Kadarang.

Menurut iramanya dendang dibagi jenis, yakni:

1) Irama dendang ratok membawakan lagu sedih. Asal mulanya dendang ratok ini
dari perbuatan orang meratap karena kematian, kemalangan, dan lain sebagainya.
Ketika meratap itu keluar kata-kata yang lama kelamaan menimbulkan suatu
irama yang akhirnya menjadi irama ratok. Karena itulah Dendang Ratok biasanya
berirama sedih.

2) Dendang *kaba ialah irama nyanyi yang biasa digunakan untuk menyanyikan
cerita-cerita rakyat atau kaba.Irama dendang kaba banyak pula macamnya sesuai
dengan jalan cerita dan situasi waktu berdendang itu. Jadi, tergantung kepadan
tukang dendang itu sendiri. Contoh lagu yang mempergunakan irama dendang
kaba adalah Gadang Batipuh, Batipuh Koto, Dayung Dani, Talipuak, si Jobang.
3) Dendang tari adalah irama lagu yang dipergunakan untuk mengiringi tari yang
biasanya bersifat gembira. Contoh lagu-lagu yang mempergunakan irama
Dendang tari: Si Tujuh, Indang Sarilamak, Si Bungsu Bajalan Malam, Cak Din,
Dendang Talu, SiTujuah, Si Kumbang Cari, Si Marantang dari Agam, Din Din Ai
dari Tanah Datar.

4) Dendang Salawat Talam dari Solok ialah dendang yang iramanya berbau dendang
padang pasir (Arab) sesuai dengan asal dari penyiar-penyiar Islam Pada mulanya
mempergunakan kata-kata bahasa Arab, tetapi kemudian dimasukkan kata-kata
daerah. Kata-kata Arab kedengaran dalam mendendangkan salawat talam itu..

5) Irama Dendang Indang adlah irama yang dipergunakan untuk mengiringi lagu-
lagu berindang. Permainan berindang adalah permainan berbalas-balas pantun
yang dinyanyikan Permainan berindang merupakan beradu argumentasi antara
dua kelompok yang dikepalai kalipah. Irama nyanyi pengiringnya itu yang disebut
dendang indang.

Di samping irama dendang tersebut, masih banyak irama dendang lain di


Minangkabau, akanterus bertambah sesuai dengan kemampuan pendendangnya.
Karena dendang merupakan umum di daerah Minangkabau, alat musik pengiring
banyak pula yang dapat dipakai. Semua jenis alat musik tradisional daerah
Minangkabau, seperti bansi, saluang, talempong, pupuik baranak, pupuik gadang,
serunai dapat mengiringi dendang. Ada pula alat musik di Minangkabau yang tidak
dapat membawakan melodi dari suatu lagu, seperti dol, tasa, rebana, dan gendang
berfungsi sebagai penuntun irama dendang.

Sumber: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Ensiklopedi Musik Indonesia, Seri A-E, 1979/1980
15. Minangkabau (edit)

1. Minangkabau adalah sebuah nagari di Kabupaten Tanah Datar yang terletak 5


km dari kota batu Sangkar. Nama Minangkabau besar kemungkinan berasal
dari nama negeri ini, karena sekeliling nagari Minangkabau masih terdapat
parit batu yang luas. Parit batu dapat dianggap sebagai sebuah ciri sebuah
koto yang sebenarnya berarti benteng, pusat pertahanan tiap-tiap nagari
maupun bandar yang dikelilingi parit dan dipagari dengan aur duri. Sehabis
Perang Padri, memaksa penduuk menimbun parit dan membongkar pagar
bambu tersebut. Oleh karena itu koto kehilangan fungsinya sebagai benteng,
lalu mempunyai arti kampung

2. Minangkabau adalah nama sukubangsa yang mendiami Provinsi Sumatera


Barat sekarang. Dulu, wilayah suku bangsa Minangkabau lebih luas dari
Provinsi Sumatra Barat, seperti Kampar dan Kuantan di Riau, Jambi. Kini,
suku bangsa itu meliputi dwilayah Sumatra Barat. Daerah ini disebut juga
Ranah Minang.

Mengenai asal kata Minangkabau ada beberapa pendapat, baik dari tambo,
maupun dari teori-teori yang dapat ditarik kesimpulannya.

Tambo mengisahkan nama Minangkabau itu berarti tanduk kerbau yang diberi
minang, sejenis timah yang runcing, yang diletakkan diatas tanduk kerbau. Ini
dilakukan sewaktu kerbau sedang diadu dengan seekor kerbau betina besar dan
bertanduk panjang . Mereka ingin mengadu kerbau dengan kerbau datuk-datuk,
pimpinan kerajaan Melayu. Pimpinan kerajaan Melayu menyanggupi melawan
kerbau yang datang itu dengan mencari kerbau kecil yang erat menyusu yang diberi
tanduk dari besi yang disebut minang. Di arena aduan, kerbau itu melihat kerbau
besar menyangka induknya, segera mengejar kerbau besar itu karena ingin menyusu.
Tanduknya yang runcing terluka dan tembus oleh tanduk besi kerbau itu, kemudian
lari. Di tengah jalan kerbau itu rebah dan mati. Sejak itu negeri ini bernama
Minangkabau, berasal dari menangkabau karena minang. Kisah tambo ini amsal
ekspedisi Mojopahit datang ke daerah ini yang melahirkan cerita sastra tentang adu
kerbau.
Menurut Buya HAMKA, kata Minangkabau berasal dari kata mainang kabau
yang berarti mengasuh dan menggembalakan kerbau. Orang Minangkabau suka
memelihara kerbau, bahkan kekayaan seseorang sering dilihat dari kerbau
peliharaannnya.
Menurut Prof. Pubacaraka, Minangkabau berasal dari Minangawanwan.
Wanwan sama dengan tamwan dalam bahsa Jawa Kuno dan tamwan dalam bahasa
Jawa Kuno Muda, atau temon dalam bahasa Jawa baru. Maksudnya adalah pertemuan
dua buah sungai yang sama besarnya, yaitu Kampar Kanan dan Kampar Kiri.
Pertemuan kedua sungai ini dinamakan Minangakamwan, atau Minanga Kembar.
Inilah yang diucapkan orang Sumatra Barat dengan Minangakamwa yang lama
kelamaan menjadi Minangkabau.
Sedangkan van der Tuuk berpendapat perkataan itu berasal dari Pinang
Kabhu yang berarti tanah asal. Ada juga yang mengatakan asal kata Minangkabau
nan ingka bahu.
Nama Minang telah dikenal dalam prasasti Kedukan Bukit, yaitu proklamasi
pembentukan kedatuan Sriwijaya ketika ekspedisi bertolak dari Minang(a) tamwan
pada tahun 683 M. Sedangkan ekpedisi itu dipimpin oleh Dapunta Hiyang (prasasti
Talang Tuo, 684). Tulisan Malayu Kuno ini mempunyai arti (daerah) Pertemuan
Minang. Memang tempat pertemuan orang Minang itu melalui sungai Mahek terus ke
pertemuan Kampar Kiri dan Kampar Kanan di daerah Koto Panjang sekarang.
Menilik kepada bahasa yang dipakai, hampir semua prasasti Sriwijaya memakai
bahsa Melayu Kuno, seperti halnya dengan prasasti Adityawarman di daerah Tanah
Datar, sedang di Jawa prasasti Sedomerjo (Jawa Tengah) pun mempergunakan bahasa
Melayu Kuno.
Batas Minangkabau dikemukakan penulis buku Hukum Adat dan Adat
Minangkabau,yangdimaksud dengan Minangkabau ialah suatu daerah ditengah Pulau
Paco (Perca) meliputi keresidenan Sumatra Barat, Kuantan, Kampar Kiri menurut
batas-batas: ka Sikilang Aia Bangih, ka Taratak aia hitam sampai ka Sisisak pisau
hanyuik, durian ditakuak rajo, ka gunuang patah sambilan jo kalauik nan sadidiah
taratak aia hitam, ka Sialang balantak basi
Menurut Tambo Alam Minangkabau, ke selatan berbatas dengan riak nan
badabua (negeri Bandar Sepuluh, atau di selatan Kerinci sekarang) ke timur sampai
durian ditakuak rajo (batas Indragiri dengan Sumatra Barat) sampai ke Muara
Takuang Mudiak (Alahan Panjang, selingkung Gunung Singgalang, saedaran
Gunung Pasaman sampai ke Sikilang Aia Bangih (sebelah barat), sampai ke taratak
aia hitam. Secara rinci disebut: batas-batas Minangkabau disebutkan sebagai
berikut:

“…..dari Riak nan berdebur di Sikilang Air Bangis, di Sasak Rando Manjo sampai ke Tapan
Indrapura, di Teratak Air Hitam berbatas dengan Raja Syair Alam di Muko-Muko, lalu ke
Durian Ditekuk Raja, berbatasan dengan Jambi, sampai ke Rantau Kurang Esa Dua Puluh
dan digenapkan dua puluh dengan Muaro di Sijunjung, di dalamnya terletak Sipisak Pisau
Hanyut di Silukah Pinang Tunggal, di hilirnya Rantau Singingi. Paranap dengan Cerenti,
sampai ke Sialang berlantak besi, di Pintu Raya Hilir, di dalamnya XII Koto Kampar
termasuk Kuok, Bangkinang, Salo, Air Tiris dan Rumbio. Ke Utara tegak berdiri gunung
Mahalintang dan gunung Sahilan. Seluruhnya disebut Rantau dalam tiga kabung air: sungai
yang airnya deras bernama Batanghari, sungai yang airnya keruh bernama Batang Kuantan
dan sungai yang airnya tenang itulah Batang Kampar dan Sungai Siak
Batas yang dikemukakan P.E. Josselin de Jong, bahwa Minangkabau adalah
daerah yang berbatasan dengan daerah Lubuak Sikapiang dan Rao di sebelah utara,
sepanjang pantai timur dan utara, ke selatan berbatas dengan daerah-daerah sungai
Rokan, Tapung, Siak, Kampar, Kuantan atau Indragiri dan Batang Hari serta dengan
Kerinci sebelah selatan..
Pengertian Minangkabau, P.E. de Josselin de Jong dan Joustra mengemukakan
bahwa Minangkabau itu terdiri dari dua daerah, Pertama, Minangkabau asli
(Minangkabau proper atau de Padangsche Bovenlanden) yang disebut juga darek,
Kedua Rantau. Terjadinya rantau, karena perkembangan penduduk di daerah
Minangkabau asli, sehingga mereka mendirikan pemuliman baru sekelilingnya yang
maikin lama main jauh. Namun antara Minangkabau asli dengan rantau tetap
dihubungkan dengan adat dan peraturan. Menurut tambo ada 9 daerah rantau:
Kuantan (Indragiri), iak Sri Indrapura, rao Mandahiliang< Natal Air bangis, Tiku,
Ranah Sungai Pagu, Pesisir barat,Tapan Indrapura , dan jambi sembilan lurah.

Masih ada asal nenek moyang Minangklabau, menurut tambo. Ketika masa
dahulunya, bertiga raja naik nobat (naik tahta). Pertama: Raja Alif yang berkuasa di
benua Rum, kedua: Raja Dipang yang berkuasa di benua Cina dan yang ketiga:
Maharajadiraja yang menepat ke pulau Perca ini. Ketiganya adalah putra dari
Iskandar Zulkarnain yang Agung atau Alexander The Great. kisah Tambo dapat ditelusuri
dengan bercermin ke masa lampau, menelusuri kehidupan nenek moyang orang Minangkabau.
Bukankah adat itu merupakan jawaban atas tantangan terhadap alam dan sejarahnya dalam dinamika
masyarakat Minangkabau?

Kisah-kisah itu tetap diucapkan di dalam pidato-pidato adat, pelewaan penghulu, atau pidato
sakti “pati ambalau”, upacara menaiki rumah gadang atau panganugerahan gelar sangsako adat
kepada seseorang.

Apakah nama Minangkabau sudah ada pada waktu itu? Artinya sekitar tiga ratus tahun sebelum
Masehi? Para ahli sependapat perpindahan bangsa-bangsa dari “tanah basa” sudah berlangsung
sejak dua ribu sebelum Masehi. Mereka bertolak dari Vietnam sekarang. Bangsa-bangsa itu berasal
dari rumpun bangsa Astronesia. Mereka itu pendukung kebudayaan neolitikum, pada zaman
prasejarah.
Pada umumnya sungai-sungai yang berhulu di pedalaman Sumatera Barat bermuara ke Selat
Malaka (ke timur) bagaikan ular raksasa yang sedang menganga. Sungai-sungai itu adalah Siak,
Kampar, Indragiri (Batang Kuantan) dan Batanghari. Melalui sungai-sungai itulah rombongan
perpindahan bangsa-bangsa itu dari India Belakang atau tanah basa tersebut. Mereka memudiki
sungai-sungai t di atas sampai ke pedalaman Minangkabau.

Peninggalan zaman perunggu yang dikenal dengan nama kebudayaan Dongson ditemukan di
Kerinci, Bangkinang dan sebagiannya di dekat Batusangkar. Dong-son adalah suatu tempat di
selatan Hanoi yang dipakai sebagai ciri kebudayaan zaman perunggu di Asia Tenggara.

Sumber: Majlis Ilmu Pengetahuan Indonesia, Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Pertama, Jilid Kelima,
Malang 1958.
Prof. Dr. Purbotjaroko, Riwayat Indonesia, tt.

Kisah yang disampaikan tambo itu merupakan kebenaran sejarah


masa lalu. Artinya antara budaya Romawi Timur ada hubungannnya
dengan sejarah Minangkabau.
Pertama, pelayar Minangkabau pada abad ke-3 Sebelum Masehi
pernah bertemu dengan pasukan Iskandar Zulkarnaini di lembah Indus di
bawah pimpinan Onesecritus. Kemudian melahirkan kisah hubungan
dengan Iskandar Zulkarnaini.
Kedua, duta Rachias dari pantai barat Sumatera pernah berkunjung ke
istana Cladius di Romawi Timur pada abad kedua Masehi. Duta itu tidak
lain berasal dari Minangkabau.
Demikian juga halnya hubungan antara Minangkabau dan Cina sekitar abad ke-
7, ketika It sing pulang pergi ke Cina singgah di Malayu belajar pepatah petitih yang
tidak lain adalah budaya Minangkabau.

Sementara itu, menurut pendapat Profesor Purbatjaraka, kata


Minangkabau berasal dari kata “Minanga Kanwar” yang artinya sungai kembar,
Kampar Kiri dan kampar kanan.
Tapi menurut kisah dalam Tambo, kata Minangkabau berasal kisah mengadu
kerbau. Dari kata menang kerbau (manangkabau) atau mainang kerbau yang lama
kelamaan menjadi Minangkabau.
“Peristiwa adu kerbau ini terjadi ketika ekspedisi Pamalayu untuk menundukkan
orang-orang Melayu dengan menawarkan adu kerbau. Rombongan yang datang
dari Jawa telah siap dengan seekor induk kerbau betina yang panjang tanduknya
sedepa. Dalam peristiwa itu kerbau orang Melayu yang menang dengan kecerdikan
nenek moyang orang Minang. Orang Minangkabau tidak mencarikan kerbau yang
sepadan dengan kerbau dari Jawa, tapi mengusahakan seekor anak kerbau yang
erat menyusu. Kerbau kecil itu dipisahkan dari induknya selama seminggu dan diberi
tanduk yang terbuat dari besi runcing. Ketika pertandingan dimulai anak kerbau
tersebut dilepaskan dan langsung berlari menuju induk kerbau besar dari Jawa
tersebut untuk menyusu. Ketika menyusu itulah tanduk runcing anak kerbau itu
menembus perut kerbau dari Jawa. Maka menanglah kerbau orang Minang.
Sejak itulah nama suku bangsa yang bermukim di lembah atau di kaki gunung Merapi, Singgalang dan Sago itu disebut
Minangkabau yang berasal dari kata manangkabau atau mainang kabau.
15. Kekerabatan- Matrilineal (belum diedit)

Orang Minangkabau menghitung garis keturunannya berdasarkan garis keibuan


(matrilineal). Mereka hidup berkelompok dalam suku yang mulanya dikenal dua suku
induk, Koto Piliang dan Bodi Caniago. Kedua suku induk ini merupakan gagasan
dari kedua peletak dasar adat Minangkabau, Datuk Katumanggungan dan Datuk
Perpatih Nan Sabatang.

Kedua suku induk ini dibedakan dalam cara mengambil keputusan dan pemilihan
penghulu yang bergelar datuk. Koto Piliang mengambil keputusan dalam suatu
musyawarah yang ditentukan oleh tingkatan kedudukan penghulu di nagari itu.
Pengambilan keputusan dilakukan secara bertingkat yang disebut dalam fatwa adat,
"bajanjang naiak, batanggo turun. Gelar sako pada Koto Piliang diwariskan
berdasarkan "karambia tumbuah di mato", kelapa tumbuh pada matanya.
Maksudnya, penghulu baru diganti sesudah meninggal dunia dan diwariskan kepada
kemenakan dekat, atau kemenakan di bawah daguak

Berbeda dengan cara pengambilan keputusan pada Bodi Caniago. Pada


dasarnya kedudukan setiap penghulu di nagari sederajat, yang dikatakan duduak
samo randah, tagak samo tinggi. Salah seorang di antaranya dipilih menjadi
penghulu yang dituakan berdasarkan wibawanya yang disebut Pamuncak Adat.
Dari perbedaan kedua sistem pengambilan keputusan dan kedudukan penghulu
dalam kedua suku induk itu lahir kata lareh atau , yaitu Kelarasan Koto Piliang dan
Kelarasan Bodi Caniago. Dari kedua suku induk itu kemudian pecah menjadi empat
suku: Koto, Piliang, Bodi, dan Caniago. Akhirnya pecah menjadi bermacam-macam
suku sesuai dengan perkembangan penduduk Minangkabau
16. PARIANGAN
Tambo mengatakan, Pariangan nagari nan tertua di Ranah Minang. Ketika
sumur akan digali, ranting akan dipatah disusun nagari Pariangan.
Di sinan sirangkak nan badangkang
Sarato buayo putiah daguak
Di bawah batu hambaran putiah
Dakek galundi nan baselo
di sinan rantiang mulai dipatah
disusun koto jo nagari”
17. CINDUA MATO
Sering juga disebut Cendur (Candra) Mata , artinya Tanda Mata. Tokoh utama dalam
kisah kerajaan Pagaruyung ketika diperintah seorang raja perempuan yang disebut
Bundo Kanduang. Cindua Mato diberi tugas oleh Bundo Kanduang untuk menculik
Puti Bungsu, anak Rajo Mudo, saudara Bundo Kanduang dari Kerajaan Singingi. Puti
Bungsu akan dikawinkan dengan Imbang Jayo, raja di selatan kerjaan Pagaruyung.
Pada hal, menurut adat, Puti Bungsu telah dipertunangkan dengan *Dang Tuanku,
anak Bundo Kanduang, semenjak kecil. Cindur Mato berhasil mengalahkan
perampok upahan Imbang Jayo di Bukit Tambun Tulang. Dalam perkelahian ini
Cindua Mato dibantu oleh kerbau yang setia, si Binuang*, dan kuda Gumarang*, dan
ayam jago Kinantan*
Penculikan Puti Bungsu berhasil dikala sedang kenduri (perhelatan)
perkawinan berlangsung antara Puti Bungsu dengan Imbang Jayo. Ketika itu hujan
patuih kilek (hujan halilintar), Puti Bungsu dibawa kembali ke Pagaruyung. Namun
tindakan Cindua Mato melarikan isteri orang (Imbang Jayo) menimbulkan polemik di
kalangan istana Pagaruyung, khusus Tuan Kadhi Padang Ganting adalah salah
seorang pejabat kerajaan Pagaruyung yang menyelesaikan bidang agama.
Pada babak selanjutnya pembalasan Raja Imbang Jaya dengan menyerang
pagaruyung dengan api yang dipantulkan dari kaca pemantul (suryakanta).
Pagaruyung terbakar hangus. Bundo Kanduang dengan anaknya Dang Tuanku mikraj
ke langit. Cindua Mato menjadi budak Imbang Jayo. Setelah Cindua Mato
mengetahui kelemahannya, Imbang Jayo dapat dikalahkan dengan kerisnya sendiri
yang terletak di tiang bungkuk. Takhta Pagaruyung dapat diduduki Cindua Mato
Pada tahun 1926 kisah Cindua Mato dipentaskan oleh seorang Belanda, guru
Sekolah Raja (Kweekschool) bersama muridnya di Bukittinggi. Usahanya itu
merupakan langkah awal mementaskan cerita kaba* menjadi cerita sandiwara. Randai
juga diperkaya dengan memasukkan unsur teater ke dalamnya.

Sumber : Ensi I, edisi khusus, Ibid


18. Dang Tuanku,
anak Bundo Kanduang, pewaris kerajaan Pagaruyung, yang terletak di Ulak Tanjung
Bungo, di kaki Gunung Bungsu. Dalam masyarakat matrilineal, Dang Tuanku
menjadi raja Kerajaan Pagaruyung karena ibunya seorang Ratu, Bundo Kanduang.
Agar takhta dapat diwariskan kepada anaknya, maka Dang Tuanku harus dikawinkan
dengan Puti Bungsu, anak Rajo Mudo dari Singgingi, saudara Bundo Kandung.
Kisah ini dihubungkan dengan masa jayanya kerajaan Pagaruyung/ Minangkabau
dengan kedatangan kembali Dara Jingga dan Putranya, Adityawarman. Pertentangan
antara Adityawarman dengan belahannya di Darmasraya yang meminta segel kepada
Cina menjadi dasar kisah pertentangan antara Pagaruyung dengan Imbang Jayo.

Sumber: Satyawati Suleiman, The History and Archaeology of West Sumatra,Direktorat Sejarah dan
Arkeology, Jakarta, 1975, terjemahan Drs. Sjafnir Aboe Nain, Museum Negeri Adityawarman Padang

19. Menurut tambo, rombongan tersebut terdiri dari Suri Dirajo 4) Cati (Cateri) yang disebut
juga sebagai “Bilang Pandai” (Cendikiawan), Indo Jati, Harimau (Campo), Kucing Siam
(Cochin), Kambiang Hutan (Cambay) dan Anjing Mualim.
Penamaan dengan nama binatang atas anggota rombongan Maharajo Dirajo ke Pulau Paco
tersebut, bukanlah sebenarnya binatang, tapi juga suatu kiasan semata.
Harimau Campo adalah rombongan yang berasal dari Campa, Kucing Siam dari Cochin dan
dari negeri Siam (Thailand). Sedangkan Anjing Mualim adalah rombongan yang datang dari
daratan Cina (Tiongkok). Kata Anjing mungkin asalnya dari Han Jiang (?)
Yang menjadi keraguan kita sampai sekarang, apakah
Selanjutnya, masyarakat disusun dengan adat berlembaga yang disebut tambo, “disusun
tungkai ciek-ciek, dibuek adat dilukih limbago”. Maka untuk memimpin Nagari Pariangan
Padangpanjang diangkatlah dua orang penghulu (pangka hulu atau pemegang hulu) yaitu Dt.
Bandaro Kayo di Pariangan dan Dt. Maharajo Basa di Padangpanjang.
4. Tentang nama Minangkabau
A. Adu kerbau – Manangkabau – Mainangkabau
Kini kita beralih tentang nama Minangkabau. Berbagai pendapat yang telah
dikemukakan oleh para ahli tentang nama itu. Tambo pun memuat kisah tentang
penamaan Minangkabau ini.
“Pada suatu hari, datanglah rombongan dari laut dengan kapal yang sarat dengan
muatan. Di samping barang-barang persiapan atau bekalnya dalam pelayaran juga
terdapat bermacam cendera mata dan yang lebih penting lagi kapal tersebut
membawa seekor kerbau betina yang sangat besar dan bertanduk panjang. Sesampai
di darat, pimpinan rombongan yang datang dari laut tersebut ingin bertemu dengan
Datuk-datuk yang memimpin kerajaan Melayu Bukit Batu Patah (Pagaruyung).
Mereka ingin mengadu kerbau dengan kerbau Datuk-datuk yang ada di negeri ini.
Pimpinan Kerajaan Melayu untuk melawan kerbau yang datang itu. Tapi mereka
meminta janji sekitar seminggu untuk menyiapkannya.
Akhirnya disepakati agar kerbau besar yang bertanduk panjang tersebut dilawan
kerbau kecil yang sedang erat menyusu. Tanduknya diulas dengan besi runcing.
Setelah didapatkan anak kerbau yang sedang erat menyusu, dibawalah ke arena adu
kerbau di nagari Minangkabau yang sekarang terletak di Kabupaten Tanah Datar.
Ketika melihat induk kerbau besar itu, anak kerbau yang bertanduk besi tersebut
segera menyusu dengan menanduk-nanduk perut induk kerbau besar. Akhirnya induk
kerbau itu terluka. Perutnya tembus oleh tanduk besi, kemudian kerbau itu lari. Di

4)
M. Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghulu dalam Sejarah Singkat dan Adatnya, Mutiara 1980
tengah jalan keluar isi perut kerbau besar tersebut. Tempat itu sekarang bernama
“Simpurut”. Tak jauh dari sana kerbau besar itu terbaring di tanah dan mati.
Penduduk setempat kemudian mengulitinya (jangat =jangek-Min). Tempat itu
sekarang bernama Sijangek. Tanduknya dibawa orang ke Nagari Minangkabau dan
sampai sekarang masih ada.
Sejak itu negeri ini bernama Minangkabau dari Manangkabau atau Mainang
kabau. Demikian menurut tutur kitab tambo, jawat berjawat dan turun temurun dari
dahulu sampai sekarang.

B. Pendapat ahli tentang nama Minangkabau


Baiklah kita kemukakan pendapat para ahli atau pakar tentang penamaan Minangkabau
ini.
Menurut Prof. Purbacaraka,5) kata Minangkabau berasal dari kata Minanga
Tamwan yang artinya pertemuan dua muara sungai. Letaknya diperkirakan pada
pertemuan dua muara sungai, Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Sementara Prof. Van
de Tuuk berpendapat bahwa kata Minangkabau berasal dari kata Pinang khabu yang
artinya Tanah Asal.
Barangkali disebut Tanah Asal karena dari sinilah asal usul raja-raja yang diangkat
di rantau Minangkabau sampai ke Jambi dan Palembang.
Besar dugaan bahwa nama Minangkabau yang berasal dari Minanga Tamwan,
Pinang Khabu atau Menonkhabu yang sudah dikenal sebelum abad ke 7 Masehi.
Menurut prasasti yang terdapat di Kedukan Bukit sebelah barat kota Palembang
disebutkan bahwa “Pada 7 Paro terang bulan Yestha 605 Caka (683 M), Yang
Dipertuan Hyang berlepas dari Minanga Tamwan datang bersuka cita membuat kota
Criwijaya dengan perjalanan suci yang menyebabkan kemakmuran”.
Dapat diartikan bahwa kerajaan Sriwijaya pun didirikan oleh rombongan yang
datang dari Minanga Tamwan atau Minangkabau.

5)
M. Rasyid Manggis Dt. Rajo Panghulu, Sejarah ringkas Minangkabau dan Adatnya, Mutiara, Jakarta
1982.

You might also like